1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang masalah Kasus kenakalan

advertisement
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang masalah
Kasus kenakalan remaja semakin banyak terjadi dalam kurun waktu
belakangan ini. Pengaruh globalisasi membawa dampak bertambahnya tindak
kriminalitas yang dilakukan anak pada usia remaja. Remaja yang seharusnya
mencapai salah satu tugas perkembangannya yaitu mencapai perilaku sosial
yang bertanggung jawab pada kenyataannya banyak terlibat tindakan-tindakan
kriminal yang tidak bertanggung jawab. Tindakan kriminal yang dilakukan para
remaja tidak hanya seputar pencurian, narkoba, atau tawuran, akan tetapi juga
terlibat kasus yang tergolong berat seperti perampokan, pemerkosaan, hingga
pembunuhan berencana. Perilaku kriminal tersebut tidak hanya muncul di kotakota besar, akan tetapi merata hingga ke daerah – daerah terpencil di Indonesia
dan jumlahnya semakin bertambah dari waktu ke waktu.
Fenomena kenakalan remaja yang marak akhir akhir ini adalah tawuran
dan pengeroyokan. Dalam satu tahun 13 pelajar Jabodetabek tewas akibat
tawuran. Pada bulan September 2012 terdapat dua tawuran pelajar SMA yang
menewaskan 2 orang pelajar dengan jarak hanya 2 hari (Nel, Ray, Mdn, Gal, Eln,
Rts, Fro & Pin, 2012). Di Yogyakarta pada tahun 2011 tercatat kasus
pengeroyokan pelajar SMA yang menewaskan satu orang pelajar SMU Gama
akibat sabetan clurit (www.polri.go.id). Di Padang aksi tawuran mengakibatkan
empat pelajar mengalami luka tusuk. Korban sendiri mengaku tidak mengenal
1
2
pelaku yang juga berstatus pelajar (www.republika.co.id). Peristiwa serupa juga
terjadi di Sukabumi, para siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) terlibat
perkelahian, dalam peristiwa ini polisi mengamankan sekitar empat puluh
delapan pelajar yang diduga terlibat perkelahian missal (www.pikiranrakyat.com)
Selain kasus tawuran, kasus pemakaian narkotika dan obat-obatan
terlarang juga kian marak terjadi dikalangan remaja. Berdasarkan penelitian
Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2006 memperlihatkan angka
prevalensi yang mencapai 5,6 persen yang berarti dari 100 remaja terdapat lima
sampai
enam
orang
yang
menggunakan
narkoba
(www.kompas.com/read/xml/2008/02/13/20463659). Pada tahun 2010 terjadi
peningkatan yaitu tercatat 19% dari jumlah remaja di Indonesia atau sekitar
empat
belas
ribu
remaja
diindikasikan
sebagai
pengguna
narkoba
(www.muda.kompasiana.com). Di Yogyakarta, BNN mencatat 158 kasus
pemakaian narkoba pada remaja pada tahun 2007 hingga 2011 (www.bnn.go.id).
Razia polisi pada Oktober 2012 di tempat hiburan malam di daerah Sukabumi
juga menemukan lima remaja yang positif menggunakan narkoba. Berdasarkan
data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pemakaian narkoba pada remaja
cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Kasus pemerkosaan dan seks bebas juga semakin banyak terjadi pada
kalangan remaja. Pada Januari 2012 seorang remaja berusia 16 tahun ditangkap
kepolisisan Tegal karena terlibat kasus pencabulan gadis berusia 15 tahun
(www.suaramerdeka.com). Kasus pemerkosaan juga terjadi di Sleman pada April
2012. Kasus tersebut melibatkan dua remaja putra dan seorang remaja putri
berusia 14 tahun, sebelumnya korban dipaksa meminum minuman keras dan
obat-obatan terlarang (www.solopos.com). Di Makasar lima orang remaja putra
3
terlibat dalam kasus pemerkosaan seorang siswi berusia 17 tahun, kelima remaja
tersebut telah ditangkap dan diproses pihak kepolisian, peristiwa tersebut terjadi
pada September 2012 lalu (www.sindonews.com). Pada awal Desember 2012
terungkap kasus arisan pelajar berhadiah PSK di Situbondo, para pelaku adalah
para pelajar dari beberapa SMA yang menggelar arisan,
hasil dari arisan
tersebut digunakan untuk menyewa PSK (www.liputan6.com).
Remaja juga terlibat kasus perampokan, pada Juli 2012 Kepolisisan
Resor Depok menangkap seorang remaja berusia 14 tahun beserta empat orang
lainnya
karena
terlibat
kasus
perampokan
dan
pembunuhan,
setelah
pemeriksaan terungkap bahwa remaja tersebut merupakan otak dari aksi
tersebut (www.tempo.com). Pada November 2012 seorang remaja berusia 17
tahun merampok dan membunuh ayah temannya sendiri dikarenakan remaj
tersebut
membutuhkan
uang
untuk
membayar
hutang
(www.metro.vivanews.com). Di Jakarta pada bulan yang sama empat remaja
berumur dibawah 15 tahun ditangkap kepolisian karena terlibat kasus
perampokan supir taksi di sebuah jalan tol (www.tempo.com). Data LAPAS Anak
Blitar juga menunjukan pada tahun 2012 terdapat 280 anak yang menghuni
Lapas tersebut, 2 diantaranya adalah perempuan. Usia anak didik tersebut
berkisar antara 11-18 tahun dengan kasus yang sangat beragam, namun
sebagian besar adalah kasus pidana kriminal, pencurian, dan akhir-akhir ini
meningkat
pada
kasus
narkoba
dan
tindakan
asusila
(www.kesehatan.kompasiana.com).
Fenomena tersebut di atas merupakan beberapa contoh nyata dari
banyaknya kenakalan remaja pada saat ini, baik yang terungkap secara hukum
maupun yang tidak terungkap. Sudarsono (2004) mengemukakan bahwa
4
kenakalan remaja merupakan tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang
belum dewasa dengan sengaja dan dapat dikenai hukuman. Tindakan kenakalan
remaja dapat berwujud ; pembunuhan, penganiayaan, pencurian, penggelapan,
penipuan, dan pelecehan seksual ataupun pemerkosaan. Fuhrmann (1990)
mendefinisikan kenakalan remaja sebagai bentuk penyimpangan perilaku pada
remaja, seperti melakukan hal-hal yang merusak baik untuk dirinya maupun
orang lain.
Hurlock (2008), Kartono (2000), Graham (Sarwono, 2002), dan Basri
(2000) menguraikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi remaja melakukan
tindakan kenakalan dan kriminalitas yang meliputi gangguan emosional seperti
emosi yang tidak terkendali, labil dan tumpul sehingga diperlakukan kemampuan
meregulasi emosi untuk mencegah munculnya kenakalan remaja. Faktor
lingkungan keluarga yang membuat anak merasa kurang mendapatkan kasih
sayang dan perhatian, serta banyak mengalami penolakan dan pengabaian dari
orang tua. Kemudian faktor milieu yaitu faktor lingkungan yang termasuk juga
didalamnya media yang banyak menayangkan tayangan kekerasan sehingga
mempengaruhi pola pikir dan perilaku remaja yang melihatnya.
Pengaruh faktor media terhadap munculnya kenakalan remaja juga
diungkapkan oleh Rice dan Dolgin (2008) yang menyebut salah satu faktor
munculnya kenakalan remaja
dipengaruhi oleh peran media massa yang
mengekspos tayangan kekerasan. Televisi akhir-akhir ini semakin banyak
menayangkan adegan bertemakan kekerasan. Peristiwa demonstrasi yang
berakhir dengan kerusuhan, perkelahian, pemukulan, dan tawuran antarpelajar,
perusakan yang berakhir dengan pembakaran dan lain sebagainya. Tayangan
5
tersebut hadir
lewat acara berita, sinetron, tayangan film baik buatan dalam
maupun luar negeri. Dengan gencarnya tayangan kekerasan tentu akan
berdampak pada terbentuknya sikap, karakter, dan tingkah laku remaja yang
dikhawatirkan meniru apa yang disaksikannya.
Akibat yang ditimbulkan dari banyaknya tayangan yang bertema
kekerasan salah satunya adalah perubahan pola pikir yang berpengaruh pada
perilaku remaja, seringnya melihat drama kekerasan yang penuh dengan baku
hantam, tuduh menuduh, saling memukul, dan menghina dapat membentuk
konsep berpikir
bahwa kekerasan merupakan hal yang normal dan bisa
dijadikan salah satu solusi bagi permasalahan mereka (Slotsve, Carmen, Sarver
& Villareal-Watkins 2008). Hal tersebut sejalan dengan penelitian
Bushman
(1998) yang menemukan tayangan kekerasan dapat membentuk jaringan sistem
kognisi tentang kekerasan dalam
proses berpikir.
Hanim
(2005)
juga
menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk peniru dan imitatif. Perilaku imitatif
ini sangat menonjol pada masa kanak-kanak dan remaja, sehingga cenderung
menganggap apa yang ditampilkan ditelevisi sesuai dengan sebenarnya serta
sulit membedakan mana tayangan yang fiktif dan mana yang kisah nyata. Selain
itu mereka juga masih sulit memilah-milah perilaku yang baik sesuai dengan
norma agama dan masyarakat.
Penelitian tentang tayangan kekerasan telah cukup banyak diteliti
diantaranya Steur dkk (dalam Santrock, 1998), Vincent ( 2012) yang menemukan
kelompok anak-anak yang diberi tayangan kartun dengan tema kekerasan lebih
banyak
menunjukan
perilaku
agresif
terhadap
teman-temanya
seperti
menendang, mendorong, dibandingkan kelompok yang diberi tayangan kartun
tanpa kekerasan. Huesmann dan Taylor (2006) juga menemukan remaja yang
6
melihat klip tayangan kekerasan cenderung lebih agresif dibandingkan dengan
remaja yang tidak melihat klip tayangan kekerasan. Robinson dan Bachman
(dalam Murray, 2009), Slotsve, Carmen, Sarver & Villareal-Watkins (2008)
Cheung (1997), dan Johnson, Cogen, Smailes, Kasen & Brooks (2002) juga
menemukan adanya suatu hubungan antara durasi menonton televisi dengan
laporan pribadi remaja dalam keterlibatanya pada perilaku agresif dan antisosial,
bermasalah di sekolahnya setidaknya tiga kali dalam setahun, dan adanya
tendensi untuk meniru karakter pada tayangan kekerasan tersebut.
Dari pemaparan diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa
penelitian-penelitian yang telah dilakukan lebih banyak mengkaji tayangan
kekerasan dengan agresivitas sehingga perlu adanya usaha lebih lanjut untuk
melakukan penelitian mengenai intensitas menonton tayangan kekerasan
dengan kenakalan remaja. Hal ini disebabkan variabel kenakalan remaja dinilai
lebih menggambarkan kompleksitas perilaku yang muncul dan lebih terfokus
karena subjeknya adalah remaja.
Selain dari banyaknya tayangan kekerasan di televisi yang ditonton
remaja, kenakalan remaja juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti yang telah
diuraikan diatas yaitu regulasi emosi. Silk, Steinberg dan Morris (2003)
menyebutkan beberapa alasan pentingnya regulasi emosi pada masa remaja
yaitu : (1). Proses transisi pada masa remaja meliputi fisik, psikis, dan sosial
menimbulkan banyak pengalaman akan dorongan emosi (2). Penelitian
menemukan bahwa pengalaman emosi remaja lebih intens dibandingkan individu
yang lebih muda maupun lebih tua (3). Periode remaja merupakan periode
proses pematangan pada sistem hormonal, neural, dan kognitif yang mendasari
7
regulasi emosi (4). Pada masa remaja ada kecenderungan meningkatnya
gangguan afektif dan perilaku. Dari uraian diatas maka dapat dilihat pentingnya
regulasi emosi pada remaja sebagai pencegahan terhadap munculnya perilaku
kenakalan remaja.
Kostiuk dan Fouts (2002) mengemukakan regulasi emosi sebagai suatu
strategi untuk mengelola, meningkatkan, mengurangi, maupun menghambat
emosi-emosi yang ada untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Kemampuan
regulasi emosi seseorang berdampak pada peningkatan respon-respon yang
tepat dan fleksibel sedangkan ketidakmampuan meregulasi emosi-emosi negatif
berpengaruh terhadap penyimpangan perilaku. Campos dan Eisenberg (dalam
MacDermott, Gullone & Allen, 2010) juga menguraikan bahwa regulasi emosi
yang optimal berkorelasi secara kuat pada kesadaran emosi pada diri sendiri dan
rasa malu. Remaja dengan regulasi emosi yang baik akan mengelola dorongandorongan emosi yang muncul dan melakukan hal-hal yang menghindarkannya
dari rasa malu seperti perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain,
sehingga cenderung menjauhi perilaku kenakalan remaja.
Penelitian – penelitian tentang pengaruh emosi terhadap munculnya
perilaku kekerasan telah banyak dilakukan antara lain penelitian Plattner, dkk
(2007), Carroll, Hemingway, Bower, Ashman, Houghton dan Durkin (2006) dan
Yeh (2011) menemukan rasa marah dengan tingkat yang tinggi sebagai reaksi
dari stimulus terhadap suatu tekanan serta impulsivitas mempunyai pengaruh
terhadap munculnya perilaku kekerasan.
Robinson, Robert, Strayer, dan
Koopman (2007) juga menemukan kurangnya respon emosi dan empati
mempunyai hubungan terhadap munculnya kenakalan remaja. Selain itu
8
penelitian
Hunter,
Figueredo,
Becker,
dan
Malamuth
(2007)
juga
mengungkapkan bahwa empati secara emosi merupakan faktor yang memediasi
kecenderungan pelaku kekerasan seksual untuk melakukan tindakan kekerasan
non seksual.
Penelitian Kim dan Page (2012) yang menunjukan kemampuan
dalam meregulasi emosi berpengaruh terhadap munculnya perilaku kekerasan
pada masa sekolah yang meliputi kekerasan, masalah sosial, melanggar aturan
dan membolos. Dari sejumlah uraian penellitian – penelitian yang telah dilakukan
maka peneliti menyimpulkan belum ditemukan penelitian yang secara spesifik
mengkaitkan hubungan antara regulasi emosi dan kenakalan remaja, sehingga
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk meneliti hubungan antara regulasi emosi
terhadap kenakalan remaja.
Kemampuan remaja dalam meregulasi emosi yang dimiliki dipengaruhi
juga oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor keluarga terutama
hubungan orang tua dan anak. Gross (2006) memaparkan salah satu faktor yang
berpengaruh dalam perkembangan regulasi emosi adalah pengasuhan ketika
bayi atau anak-anak mulai belajar untuk mengatur emosinya, belajar bahasa
penyampaian emosi mereka dan melihat respon balik dari pengasuh. Hal
tersebut terjadi dalam interaksi antara orang tua dan anak. (Kostiuk &Fouts,
2002) juga mengungkapkan anak menginternalisasi teknik-teknik pengekspresian
emosi yang ditunjukan orang tua, selain itu kombinasi dari kelekatan yang tidak
aman dan pola asuh yang bermasalah membuat anak cenderung tidak mampu
mengatur emosinya dan terlibat dalam perilaku-perilaku yang menyimpang. Anak
dengan
gaya
kelekatan
pencemas
(anxious/
ambivalent)
cenderung
mengembangkan perilaku yang hiperaktif pada pengekspresian afek-afek negatif
9
dan mengakibatkan munculnya perilaku yang negatif seperti permusuhan,
perkelahian, atau menarik diri secara sosial. Anak dengan gaya kelekatan
menghindar cenderung mempunyai pengalaman ditolak secara emosi, sehingga
akan belajar untuk tidak mengaktifkan pengekspresian afek-afek negatif dengan
cara menghindar dalam membangun suatu hubungan yang dekat dengan
menghapus dan menumpulkan pengalaman-pengalaman afektif tersebut.
Kelekatan (attachment) sendiri merupakan suatu ikatan emosional yang
kuat yang dibangun oleh anak dan pengasuhnya (Santrock, 2002). Ainsworth
(Santrock, 2002) membagi kelekatan menjadi tiga kategori yaitu kelekatan aman
(tipe B) dengan ciri anak mengasosiasikan ibu atau pengasuh sebagai suatu
landasan yang aman untuk mengeksplorasi lingkungannya. Kedua tipe
berikutnya yaitu cemas menghindar (tipe A) dengan ciri menghindari ibu seperti
mengabaikan kehadirannya, menghindari tatapannya dan tidak berusaha
mencari kedekatan dengan ibu. Kategori berikutnya adalah cemas-menolak (tipe
C) yang ditandai dengan menolak ibu, misalnya dengan menendang atau
mendorongnya jauh-jauh. Kedua kategori terkahir merupakan kategori kelekatan
tidak aman.
Penelitian Kobak dan Hasan (1991) menemukan perbedaan dalam gaya
kelekatan berpengaruh dalam respon emosi dan regulasi emosi pada anak. Anak
yang mempunyai kelekatan yang tidak aman cenderung mempunyai perasaan
negatif dan mempunyai akses yang cepat terhadap efek memori negatif yang
relevan dengan pengalaman kelekatan mereka. Penelitian yang dilakukan Helmi
(2004) juga menyebutkan bahwa individu dengan gaya kelekatan yang tidak
aman cenderung memandang perilaku ataupun situasi dari pihak lain mempunyai
10
implikasi negatif bagi mereka, sehingga cenderung lebih peka terhadap
emotional distressed yang ada disekitar mereka.
Hal tersebut berbanding terbalik dengan anak yang mempunyai kelekatan
aman. Remaja yang mempunyai kelekatan yang aman akan berusaha untuk
tidak mempermalukan atau menyakiti perasaan orang yang merupakan figur
lekatnya, dengan tidak terlibat pada tindakan dan perilaku kenakalan remaja
(Rankin & Kern dalam Cheung, 1997). Ervika (2005) menyebutkan bahwa anak
dengan kelekatan yang aman akan menunjukan kompetensi sosial yang baik
serta lebih popular di kalangan teman sebayanya. Parke dan Waters (dalam
Ervika 2005) mengungkapkan anak-anak yang mempunyai kelekatan aman lebih
mampu membina hubungan persahabatan yang baik, intens, mempunyai pola
interaksi yang baik, lebih responsif, dan tidak mendominasi.
Terkait
dengan
kenakalan
remaja,
kelekatan
yang
tidak
aman
mempunyai peran dalam munculnya perilaku kenakalan remaja. Bee (2006)
mengemukakan bahwa kelekatan tidak aman (insecure attachment) dengan
pengasuh mempunyai kecenderungan untuk memunculkan masalah perilaku
pada masa pra sekolah seperti bertindak kejam dan suka menentang, selain itu
agresivitas pada masa sekolah diprediksikan berkaitan dengan kelekatan yang
tidak aman. Kartono (2005) juga menguraikan bahwa anak dengan kelekatan
tidak aman cenderung merasa tidak dicintai dan disayangi, merasa tertolak dan
diabaikan. Penolakan dari orang tua terhadap anak menyebabkan perasaan tidak
aman dan kehilangan tempat berlindung serta memunculkan reaksi dendam,
kemarahan, kebencian, serta rasa tidak percaya dan dikhianati, sehingga anak
cenderung melakukan protes dan berusaha menarik perhatian orang tua dengan
11
tindakan yang menyimpang atau memberontak terhadap orang tua maupun
dunia luar.
Beberapa penelitian yang dilakukan Elgar, Knight, Worral dan Sherman
(2003), Wampler dan Downs (2010), dan Ryder (2007) menemukan bahwa
kelekatan yang tidak aman berpengaruh pada munculnya perilaku kenakalan
remaja yang ditandai dengan hubungan pertemanan buruk, serta munculnya
gejala-gejala agresivitas dan depresi ketika anak-anak. Buruknya hubungan
antara orang tua dan anak yang terkait dengan kelekatan tidak aman juga
diidentifikasi sebagai pengaruh munculnya perilaku anti sosial dan mengganggu
pada remaja, cenderung lebih mudah terlibat perkelahian antar kelompok teman
sebaya, serta menimbulkan trauma psikologis yang memicu perilaku kenakalan
dan kekerasan.
Penelitian ini didasari oleh social cognitive theory dari Bandura. Menurut
Bandura (1978) teori belajar sosial (social learning theory) menekankan
observational learning sebagai proses pembelajaran, bentuk pembelajarannya
adalah seseorang mempelajari perilaku dengan mengamati secara sistemis
imbalan dan hukuman yang diberikan.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengetahui
bagaimana hubungan antara intensitas menonton tayangan kekerasan di televisi,
regulasi emosi dan kelekatan aman terhadap kecenderungan kenakalan remaja.
B. Rumusan Permasalahn
Fenomena di lapangan yang menunjukan tingkat kenakalan remaja yang
semaking tinggi diduga berhubungan dengan faktor-faktor eksternal berupa
12
intensitas menonton tayangan kekerasan dan kelekatan aman pada orang tua,
selain itu faktor internal berupa regulasi emosi juga dianggap berperan.
Berdasarkan latar belakang itu maka penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab
permasalahan apakah intensitas menonton tayangan kekerasan di televisi,
regulasi emosi dan kelekatan aman mempengaruhi kecenderungan kenakalan
remaja.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan dari penelitian ini adalah menguji secara empiris adanya
hubungan antara intensitas menonton tayangan kekerasan di televisi,
regulasi emosi dan gaya kelekatan aman dengan kecenderungan
kenakalan remaja.
2. Manfaat teoritis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan baru dalam ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan
yang berkaitan dengan pencegahan terhadap kenakalan remaja.
3. Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat membantu orang tua,
maupun calon orang tua dalam hal pengasuhan ataupun permasalahan
anak dan remaja terkait dengan kenakalan remaja.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya
Penelitian mengenai kenakalan remaja sebelumnya sudah banyak
dilakukan oleh peneliti yang berasal dari luar negeri ataupun peneliti yang
berasal dari dalam negeri. Adapun beberapa penelitian terdahulu yang memiliki
kesamaan pada satu variabel yakni variable kenakalan remaja dengan penelitian
ini adalah :
13
1.
Penelitian yang dilakukan
“Efektivitas
pelatihan
oleh Fatiasari (2008) yang berjudul
asertivitas
untuk
menurunkan
dorongan
melakukan kenakalan remaja pada siswa SMA “. Penelitian ini
menggunakan metode eksperimen dengan satu variable yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu asertivitas.
2.
Penelitian yang dilakukan oleh Ulfah (2007) yang berjudul “ Peran
persepsi
keharmonisan
keluarga
dan
konsep
diri
terhadap
kecenderungan kenakalan remaja ”. Subjek dalam penelitian ini
menggunakan 117 siswa SMPN 20 Surakarta Jawa Tengah. Dua
variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah persepsi
keharmonisa keluarga dan konsep diri.
3.
Asher (2006) juga melakukan penelitian tentang kenakalan remaja
yang berjudul “ Exploring the relationship between parenting styles
and juvenile delinquency “. Pada penelitian ini Asher menggunakan
subjek 39 orang tua dan 24 remaja laki-laki yang terlibat kenakalan
remaja. Variabel pada penelitian ini adalah gaya pola asuh orang tua.
4.
Longshore, Chang dan Messina (2005) melakukan penelitian yang
berjudul Self Control and Social Bonds : A Combined Control
Perspective on Juvenile Offending. Penelitian ini merupakan
penelitian
longitudinal
yang
melibatkan
359
remaja
sebagai
responden. Hasil penelitian ini menunjukan kontrol diri yang rendah
berkorelasi positif pada penyimpangan perilaku pada remaja.
5.
Apollo (2003) yang melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan
antara Intensitas Menonton Tayangan Televisi berisi Kekerasan,
Persepsi terhadap Keharmonisan Keluarga, Jenis Kelamin dan
14
Tahap Perkembangan dengan Kecenderungan Agresivitas Remaja”.
Teori dalam penelitian ini menggunakan teori imitasi dari Bandura
dengan subjek 180 siswa SMU.
Letak perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Fatiasari (2008), Ulfah
(2007), Asher (2006), Longshore, Chang dan Messina (2005), dan Apollo (2003)
adalah pada variabel yang digunakan yaitu asertivitas, persepsi keharmonisan
keluarga, konsep diri, gaya pengasuhan orang tua, kontrol diri, dan
kecenderungan agresivitas remaja. Pada penelitian yang akan dilakukan oleh
penulis tiga variabel yang akan digunakan adalah intensitas menonton tayanga
kekerasan di televisi, regulasi emosi, dan kelekatan aman.
Berdasarkan dari penjelasan tersebut, maka peneliti menyimpulkan
bahwa belum ada penelitian sebelumnya yang mengkaitkan hubungan antara
intensitas menonton tayangan kekerasan di televisi, regulasi emosi dan
kelekatan aman terhadap kecenderungan kenakalan remaja.
Download