BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang masalah Kasus kenakalan remaja semakin banyak terjadi dalam kurun waktu belakangan ini. Pengaruh globalisasi membawa dampak bertambahnya tindak kriminalitas yang dilakukan anak pada usia remaja. Remaja yang seharusnya mencapai salah satu tugas perkembangannya yaitu mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab pada kenyataannya banyak terlibat tindakan-tindakan kriminal yang tidak bertanggung jawab. Tindakan kriminal yang dilakukan para remaja tidak hanya seputar pencurian, narkoba, atau tawuran, akan tetapi juga terlibat kasus yang tergolong berat seperti perampokan, pemerkosaan, hingga pembunuhan berencana. Perilaku kriminal tersebut tidak hanya muncul di kotakota besar, akan tetapi merata hingga ke daerah – daerah terpencil di Indonesia dan jumlahnya semakin bertambah dari waktu ke waktu. Fenomena kenakalan remaja yang marak akhir akhir ini adalah tawuran dan pengeroyokan. Dalam satu tahun 13 pelajar Jabodetabek tewas akibat tawuran. Pada bulan September 2012 terdapat dua tawuran pelajar SMA yang menewaskan 2 orang pelajar dengan jarak hanya 2 hari (Nel, Ray, Mdn, Gal, Eln, Rts, Fro & Pin, 2012). Di Yogyakarta pada tahun 2011 tercatat kasus pengeroyokan pelajar SMA yang menewaskan satu orang pelajar SMU Gama akibat sabetan clurit (www.polri.go.id). Di Padang aksi tawuran mengakibatkan empat pelajar mengalami luka tusuk. Korban sendiri mengaku tidak mengenal 1 2 pelaku yang juga berstatus pelajar (www.republika.co.id). Peristiwa serupa juga terjadi di Sukabumi, para siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) terlibat perkelahian, dalam peristiwa ini polisi mengamankan sekitar empat puluh delapan pelajar yang diduga terlibat perkelahian missal (www.pikiranrakyat.com) Selain kasus tawuran, kasus pemakaian narkotika dan obat-obatan terlarang juga kian marak terjadi dikalangan remaja. Berdasarkan penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2006 memperlihatkan angka prevalensi yang mencapai 5,6 persen yang berarti dari 100 remaja terdapat lima sampai enam orang yang menggunakan narkoba (www.kompas.com/read/xml/2008/02/13/20463659). Pada tahun 2010 terjadi peningkatan yaitu tercatat 19% dari jumlah remaja di Indonesia atau sekitar empat belas ribu remaja diindikasikan sebagai pengguna narkoba (www.muda.kompasiana.com). Di Yogyakarta, BNN mencatat 158 kasus pemakaian narkoba pada remaja pada tahun 2007 hingga 2011 (www.bnn.go.id). Razia polisi pada Oktober 2012 di tempat hiburan malam di daerah Sukabumi juga menemukan lima remaja yang positif menggunakan narkoba. Berdasarkan data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pemakaian narkoba pada remaja cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Kasus pemerkosaan dan seks bebas juga semakin banyak terjadi pada kalangan remaja. Pada Januari 2012 seorang remaja berusia 16 tahun ditangkap kepolisisan Tegal karena terlibat kasus pencabulan gadis berusia 15 tahun (www.suaramerdeka.com). Kasus pemerkosaan juga terjadi di Sleman pada April 2012. Kasus tersebut melibatkan dua remaja putra dan seorang remaja putri berusia 14 tahun, sebelumnya korban dipaksa meminum minuman keras dan obat-obatan terlarang (www.solopos.com). Di Makasar lima orang remaja putra 3 terlibat dalam kasus pemerkosaan seorang siswi berusia 17 tahun, kelima remaja tersebut telah ditangkap dan diproses pihak kepolisian, peristiwa tersebut terjadi pada September 2012 lalu (www.sindonews.com). Pada awal Desember 2012 terungkap kasus arisan pelajar berhadiah PSK di Situbondo, para pelaku adalah para pelajar dari beberapa SMA yang menggelar arisan, hasil dari arisan tersebut digunakan untuk menyewa PSK (www.liputan6.com). Remaja juga terlibat kasus perampokan, pada Juli 2012 Kepolisisan Resor Depok menangkap seorang remaja berusia 14 tahun beserta empat orang lainnya karena terlibat kasus perampokan dan pembunuhan, setelah pemeriksaan terungkap bahwa remaja tersebut merupakan otak dari aksi tersebut (www.tempo.com). Pada November 2012 seorang remaja berusia 17 tahun merampok dan membunuh ayah temannya sendiri dikarenakan remaj tersebut membutuhkan uang untuk membayar hutang (www.metro.vivanews.com). Di Jakarta pada bulan yang sama empat remaja berumur dibawah 15 tahun ditangkap kepolisian karena terlibat kasus perampokan supir taksi di sebuah jalan tol (www.tempo.com). Data LAPAS Anak Blitar juga menunjukan pada tahun 2012 terdapat 280 anak yang menghuni Lapas tersebut, 2 diantaranya adalah perempuan. Usia anak didik tersebut berkisar antara 11-18 tahun dengan kasus yang sangat beragam, namun sebagian besar adalah kasus pidana kriminal, pencurian, dan akhir-akhir ini meningkat pada kasus narkoba dan tindakan asusila (www.kesehatan.kompasiana.com). Fenomena tersebut di atas merupakan beberapa contoh nyata dari banyaknya kenakalan remaja pada saat ini, baik yang terungkap secara hukum maupun yang tidak terungkap. Sudarsono (2004) mengemukakan bahwa 4 kenakalan remaja merupakan tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang belum dewasa dengan sengaja dan dapat dikenai hukuman. Tindakan kenakalan remaja dapat berwujud ; pembunuhan, penganiayaan, pencurian, penggelapan, penipuan, dan pelecehan seksual ataupun pemerkosaan. Fuhrmann (1990) mendefinisikan kenakalan remaja sebagai bentuk penyimpangan perilaku pada remaja, seperti melakukan hal-hal yang merusak baik untuk dirinya maupun orang lain. Hurlock (2008), Kartono (2000), Graham (Sarwono, 2002), dan Basri (2000) menguraikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi remaja melakukan tindakan kenakalan dan kriminalitas yang meliputi gangguan emosional seperti emosi yang tidak terkendali, labil dan tumpul sehingga diperlakukan kemampuan meregulasi emosi untuk mencegah munculnya kenakalan remaja. Faktor lingkungan keluarga yang membuat anak merasa kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian, serta banyak mengalami penolakan dan pengabaian dari orang tua. Kemudian faktor milieu yaitu faktor lingkungan yang termasuk juga didalamnya media yang banyak menayangkan tayangan kekerasan sehingga mempengaruhi pola pikir dan perilaku remaja yang melihatnya. Pengaruh faktor media terhadap munculnya kenakalan remaja juga diungkapkan oleh Rice dan Dolgin (2008) yang menyebut salah satu faktor munculnya kenakalan remaja dipengaruhi oleh peran media massa yang mengekspos tayangan kekerasan. Televisi akhir-akhir ini semakin banyak menayangkan adegan bertemakan kekerasan. Peristiwa demonstrasi yang berakhir dengan kerusuhan, perkelahian, pemukulan, dan tawuran antarpelajar, perusakan yang berakhir dengan pembakaran dan lain sebagainya. Tayangan 5 tersebut hadir lewat acara berita, sinetron, tayangan film baik buatan dalam maupun luar negeri. Dengan gencarnya tayangan kekerasan tentu akan berdampak pada terbentuknya sikap, karakter, dan tingkah laku remaja yang dikhawatirkan meniru apa yang disaksikannya. Akibat yang ditimbulkan dari banyaknya tayangan yang bertema kekerasan salah satunya adalah perubahan pola pikir yang berpengaruh pada perilaku remaja, seringnya melihat drama kekerasan yang penuh dengan baku hantam, tuduh menuduh, saling memukul, dan menghina dapat membentuk konsep berpikir bahwa kekerasan merupakan hal yang normal dan bisa dijadikan salah satu solusi bagi permasalahan mereka (Slotsve, Carmen, Sarver & Villareal-Watkins 2008). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Bushman (1998) yang menemukan tayangan kekerasan dapat membentuk jaringan sistem kognisi tentang kekerasan dalam proses berpikir. Hanim (2005) juga menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk peniru dan imitatif. Perilaku imitatif ini sangat menonjol pada masa kanak-kanak dan remaja, sehingga cenderung menganggap apa yang ditampilkan ditelevisi sesuai dengan sebenarnya serta sulit membedakan mana tayangan yang fiktif dan mana yang kisah nyata. Selain itu mereka juga masih sulit memilah-milah perilaku yang baik sesuai dengan norma agama dan masyarakat. Penelitian tentang tayangan kekerasan telah cukup banyak diteliti diantaranya Steur dkk (dalam Santrock, 1998), Vincent ( 2012) yang menemukan kelompok anak-anak yang diberi tayangan kartun dengan tema kekerasan lebih banyak menunjukan perilaku agresif terhadap teman-temanya seperti menendang, mendorong, dibandingkan kelompok yang diberi tayangan kartun tanpa kekerasan. Huesmann dan Taylor (2006) juga menemukan remaja yang 6 melihat klip tayangan kekerasan cenderung lebih agresif dibandingkan dengan remaja yang tidak melihat klip tayangan kekerasan. Robinson dan Bachman (dalam Murray, 2009), Slotsve, Carmen, Sarver & Villareal-Watkins (2008) Cheung (1997), dan Johnson, Cogen, Smailes, Kasen & Brooks (2002) juga menemukan adanya suatu hubungan antara durasi menonton televisi dengan laporan pribadi remaja dalam keterlibatanya pada perilaku agresif dan antisosial, bermasalah di sekolahnya setidaknya tiga kali dalam setahun, dan adanya tendensi untuk meniru karakter pada tayangan kekerasan tersebut. Dari pemaparan diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa penelitian-penelitian yang telah dilakukan lebih banyak mengkaji tayangan kekerasan dengan agresivitas sehingga perlu adanya usaha lebih lanjut untuk melakukan penelitian mengenai intensitas menonton tayangan kekerasan dengan kenakalan remaja. Hal ini disebabkan variabel kenakalan remaja dinilai lebih menggambarkan kompleksitas perilaku yang muncul dan lebih terfokus karena subjeknya adalah remaja. Selain dari banyaknya tayangan kekerasan di televisi yang ditonton remaja, kenakalan remaja juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti yang telah diuraikan diatas yaitu regulasi emosi. Silk, Steinberg dan Morris (2003) menyebutkan beberapa alasan pentingnya regulasi emosi pada masa remaja yaitu : (1). Proses transisi pada masa remaja meliputi fisik, psikis, dan sosial menimbulkan banyak pengalaman akan dorongan emosi (2). Penelitian menemukan bahwa pengalaman emosi remaja lebih intens dibandingkan individu yang lebih muda maupun lebih tua (3). Periode remaja merupakan periode proses pematangan pada sistem hormonal, neural, dan kognitif yang mendasari 7 regulasi emosi (4). Pada masa remaja ada kecenderungan meningkatnya gangguan afektif dan perilaku. Dari uraian diatas maka dapat dilihat pentingnya regulasi emosi pada remaja sebagai pencegahan terhadap munculnya perilaku kenakalan remaja. Kostiuk dan Fouts (2002) mengemukakan regulasi emosi sebagai suatu strategi untuk mengelola, meningkatkan, mengurangi, maupun menghambat emosi-emosi yang ada untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Kemampuan regulasi emosi seseorang berdampak pada peningkatan respon-respon yang tepat dan fleksibel sedangkan ketidakmampuan meregulasi emosi-emosi negatif berpengaruh terhadap penyimpangan perilaku. Campos dan Eisenberg (dalam MacDermott, Gullone & Allen, 2010) juga menguraikan bahwa regulasi emosi yang optimal berkorelasi secara kuat pada kesadaran emosi pada diri sendiri dan rasa malu. Remaja dengan regulasi emosi yang baik akan mengelola dorongandorongan emosi yang muncul dan melakukan hal-hal yang menghindarkannya dari rasa malu seperti perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain, sehingga cenderung menjauhi perilaku kenakalan remaja. Penelitian – penelitian tentang pengaruh emosi terhadap munculnya perilaku kekerasan telah banyak dilakukan antara lain penelitian Plattner, dkk (2007), Carroll, Hemingway, Bower, Ashman, Houghton dan Durkin (2006) dan Yeh (2011) menemukan rasa marah dengan tingkat yang tinggi sebagai reaksi dari stimulus terhadap suatu tekanan serta impulsivitas mempunyai pengaruh terhadap munculnya perilaku kekerasan. Robinson, Robert, Strayer, dan Koopman (2007) juga menemukan kurangnya respon emosi dan empati mempunyai hubungan terhadap munculnya kenakalan remaja. Selain itu 8 penelitian Hunter, Figueredo, Becker, dan Malamuth (2007) juga mengungkapkan bahwa empati secara emosi merupakan faktor yang memediasi kecenderungan pelaku kekerasan seksual untuk melakukan tindakan kekerasan non seksual. Penelitian Kim dan Page (2012) yang menunjukan kemampuan dalam meregulasi emosi berpengaruh terhadap munculnya perilaku kekerasan pada masa sekolah yang meliputi kekerasan, masalah sosial, melanggar aturan dan membolos. Dari sejumlah uraian penellitian – penelitian yang telah dilakukan maka peneliti menyimpulkan belum ditemukan penelitian yang secara spesifik mengkaitkan hubungan antara regulasi emosi dan kenakalan remaja, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk meneliti hubungan antara regulasi emosi terhadap kenakalan remaja. Kemampuan remaja dalam meregulasi emosi yang dimiliki dipengaruhi juga oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor keluarga terutama hubungan orang tua dan anak. Gross (2006) memaparkan salah satu faktor yang berpengaruh dalam perkembangan regulasi emosi adalah pengasuhan ketika bayi atau anak-anak mulai belajar untuk mengatur emosinya, belajar bahasa penyampaian emosi mereka dan melihat respon balik dari pengasuh. Hal tersebut terjadi dalam interaksi antara orang tua dan anak. (Kostiuk &Fouts, 2002) juga mengungkapkan anak menginternalisasi teknik-teknik pengekspresian emosi yang ditunjukan orang tua, selain itu kombinasi dari kelekatan yang tidak aman dan pola asuh yang bermasalah membuat anak cenderung tidak mampu mengatur emosinya dan terlibat dalam perilaku-perilaku yang menyimpang. Anak dengan gaya kelekatan pencemas (anxious/ ambivalent) cenderung mengembangkan perilaku yang hiperaktif pada pengekspresian afek-afek negatif 9 dan mengakibatkan munculnya perilaku yang negatif seperti permusuhan, perkelahian, atau menarik diri secara sosial. Anak dengan gaya kelekatan menghindar cenderung mempunyai pengalaman ditolak secara emosi, sehingga akan belajar untuk tidak mengaktifkan pengekspresian afek-afek negatif dengan cara menghindar dalam membangun suatu hubungan yang dekat dengan menghapus dan menumpulkan pengalaman-pengalaman afektif tersebut. Kelekatan (attachment) sendiri merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang dibangun oleh anak dan pengasuhnya (Santrock, 2002). Ainsworth (Santrock, 2002) membagi kelekatan menjadi tiga kategori yaitu kelekatan aman (tipe B) dengan ciri anak mengasosiasikan ibu atau pengasuh sebagai suatu landasan yang aman untuk mengeksplorasi lingkungannya. Kedua tipe berikutnya yaitu cemas menghindar (tipe A) dengan ciri menghindari ibu seperti mengabaikan kehadirannya, menghindari tatapannya dan tidak berusaha mencari kedekatan dengan ibu. Kategori berikutnya adalah cemas-menolak (tipe C) yang ditandai dengan menolak ibu, misalnya dengan menendang atau mendorongnya jauh-jauh. Kedua kategori terkahir merupakan kategori kelekatan tidak aman. Penelitian Kobak dan Hasan (1991) menemukan perbedaan dalam gaya kelekatan berpengaruh dalam respon emosi dan regulasi emosi pada anak. Anak yang mempunyai kelekatan yang tidak aman cenderung mempunyai perasaan negatif dan mempunyai akses yang cepat terhadap efek memori negatif yang relevan dengan pengalaman kelekatan mereka. Penelitian yang dilakukan Helmi (2004) juga menyebutkan bahwa individu dengan gaya kelekatan yang tidak aman cenderung memandang perilaku ataupun situasi dari pihak lain mempunyai 10 implikasi negatif bagi mereka, sehingga cenderung lebih peka terhadap emotional distressed yang ada disekitar mereka. Hal tersebut berbanding terbalik dengan anak yang mempunyai kelekatan aman. Remaja yang mempunyai kelekatan yang aman akan berusaha untuk tidak mempermalukan atau menyakiti perasaan orang yang merupakan figur lekatnya, dengan tidak terlibat pada tindakan dan perilaku kenakalan remaja (Rankin & Kern dalam Cheung, 1997). Ervika (2005) menyebutkan bahwa anak dengan kelekatan yang aman akan menunjukan kompetensi sosial yang baik serta lebih popular di kalangan teman sebayanya. Parke dan Waters (dalam Ervika 2005) mengungkapkan anak-anak yang mempunyai kelekatan aman lebih mampu membina hubungan persahabatan yang baik, intens, mempunyai pola interaksi yang baik, lebih responsif, dan tidak mendominasi. Terkait dengan kenakalan remaja, kelekatan yang tidak aman mempunyai peran dalam munculnya perilaku kenakalan remaja. Bee (2006) mengemukakan bahwa kelekatan tidak aman (insecure attachment) dengan pengasuh mempunyai kecenderungan untuk memunculkan masalah perilaku pada masa pra sekolah seperti bertindak kejam dan suka menentang, selain itu agresivitas pada masa sekolah diprediksikan berkaitan dengan kelekatan yang tidak aman. Kartono (2005) juga menguraikan bahwa anak dengan kelekatan tidak aman cenderung merasa tidak dicintai dan disayangi, merasa tertolak dan diabaikan. Penolakan dari orang tua terhadap anak menyebabkan perasaan tidak aman dan kehilangan tempat berlindung serta memunculkan reaksi dendam, kemarahan, kebencian, serta rasa tidak percaya dan dikhianati, sehingga anak cenderung melakukan protes dan berusaha menarik perhatian orang tua dengan 11 tindakan yang menyimpang atau memberontak terhadap orang tua maupun dunia luar. Beberapa penelitian yang dilakukan Elgar, Knight, Worral dan Sherman (2003), Wampler dan Downs (2010), dan Ryder (2007) menemukan bahwa kelekatan yang tidak aman berpengaruh pada munculnya perilaku kenakalan remaja yang ditandai dengan hubungan pertemanan buruk, serta munculnya gejala-gejala agresivitas dan depresi ketika anak-anak. Buruknya hubungan antara orang tua dan anak yang terkait dengan kelekatan tidak aman juga diidentifikasi sebagai pengaruh munculnya perilaku anti sosial dan mengganggu pada remaja, cenderung lebih mudah terlibat perkelahian antar kelompok teman sebaya, serta menimbulkan trauma psikologis yang memicu perilaku kenakalan dan kekerasan. Penelitian ini didasari oleh social cognitive theory dari Bandura. Menurut Bandura (1978) teori belajar sosial (social learning theory) menekankan observational learning sebagai proses pembelajaran, bentuk pembelajarannya adalah seseorang mempelajari perilaku dengan mengamati secara sistemis imbalan dan hukuman yang diberikan. Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana hubungan antara intensitas menonton tayangan kekerasan di televisi, regulasi emosi dan kelekatan aman terhadap kecenderungan kenakalan remaja. B. Rumusan Permasalahn Fenomena di lapangan yang menunjukan tingkat kenakalan remaja yang semaking tinggi diduga berhubungan dengan faktor-faktor eksternal berupa 12 intensitas menonton tayangan kekerasan dan kelekatan aman pada orang tua, selain itu faktor internal berupa regulasi emosi juga dianggap berperan. Berdasarkan latar belakang itu maka penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan apakah intensitas menonton tayangan kekerasan di televisi, regulasi emosi dan kelekatan aman mempengaruhi kecenderungan kenakalan remaja. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan dari penelitian ini adalah menguji secara empiris adanya hubungan antara intensitas menonton tayangan kekerasan di televisi, regulasi emosi dan gaya kelekatan aman dengan kecenderungan kenakalan remaja. 2. Manfaat teoritis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan baru dalam ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan yang berkaitan dengan pencegahan terhadap kenakalan remaja. 3. Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat membantu orang tua, maupun calon orang tua dalam hal pengasuhan ataupun permasalahan anak dan remaja terkait dengan kenakalan remaja. D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai kenakalan remaja sebelumnya sudah banyak dilakukan oleh peneliti yang berasal dari luar negeri ataupun peneliti yang berasal dari dalam negeri. Adapun beberapa penelitian terdahulu yang memiliki kesamaan pada satu variabel yakni variable kenakalan remaja dengan penelitian ini adalah : 13 1. Penelitian yang dilakukan “Efektivitas pelatihan oleh Fatiasari (2008) yang berjudul asertivitas untuk menurunkan dorongan melakukan kenakalan remaja pada siswa SMA “. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan satu variable yang digunakan dalam penelitian ini yaitu asertivitas. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Ulfah (2007) yang berjudul “ Peran persepsi keharmonisan keluarga dan konsep diri terhadap kecenderungan kenakalan remaja ”. Subjek dalam penelitian ini menggunakan 117 siswa SMPN 20 Surakarta Jawa Tengah. Dua variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah persepsi keharmonisa keluarga dan konsep diri. 3. Asher (2006) juga melakukan penelitian tentang kenakalan remaja yang berjudul “ Exploring the relationship between parenting styles and juvenile delinquency “. Pada penelitian ini Asher menggunakan subjek 39 orang tua dan 24 remaja laki-laki yang terlibat kenakalan remaja. Variabel pada penelitian ini adalah gaya pola asuh orang tua. 4. Longshore, Chang dan Messina (2005) melakukan penelitian yang berjudul Self Control and Social Bonds : A Combined Control Perspective on Juvenile Offending. Penelitian ini merupakan penelitian longitudinal yang melibatkan 359 remaja sebagai responden. Hasil penelitian ini menunjukan kontrol diri yang rendah berkorelasi positif pada penyimpangan perilaku pada remaja. 5. Apollo (2003) yang melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan antara Intensitas Menonton Tayangan Televisi berisi Kekerasan, Persepsi terhadap Keharmonisan Keluarga, Jenis Kelamin dan 14 Tahap Perkembangan dengan Kecenderungan Agresivitas Remaja”. Teori dalam penelitian ini menggunakan teori imitasi dari Bandura dengan subjek 180 siswa SMU. Letak perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Fatiasari (2008), Ulfah (2007), Asher (2006), Longshore, Chang dan Messina (2005), dan Apollo (2003) adalah pada variabel yang digunakan yaitu asertivitas, persepsi keharmonisan keluarga, konsep diri, gaya pengasuhan orang tua, kontrol diri, dan kecenderungan agresivitas remaja. Pada penelitian yang akan dilakukan oleh penulis tiga variabel yang akan digunakan adalah intensitas menonton tayanga kekerasan di televisi, regulasi emosi, dan kelekatan aman. Berdasarkan dari penjelasan tersebut, maka peneliti menyimpulkan bahwa belum ada penelitian sebelumnya yang mengkaitkan hubungan antara intensitas menonton tayangan kekerasan di televisi, regulasi emosi dan kelekatan aman terhadap kecenderungan kenakalan remaja.