SEMINAR HAM: "Intelektual Muda Merajut (Ulang) Semangat Kebhinekaan dan Kebebasan Beragama" USD | 14 December 2012 | 14:45 WIB Sabtu (8/12) di Ruang Drost Gedung Utama Kampus 3 Universitas Sanata Dharma, Campus Ministry menggelar seminar HAM dalam rangka peringatan Dies Natalis Universitas Sanata Dharma ke-57 dan peringatan Hari HAM se-Dunia. Seminar yang bertajuk "Intelektual Muda Merajut (Ulang) Semangat Kebhinekaan dan Kebebasan Beragama" ini adalah bagian dari rangkaian kegiatan Students' Actions for Life and Trust (2012). Seminar yang diikuti oleh 100 orang peserta mahasiswa dari dalam dan luar USD ini menghadirkan Romo Dr. Patrisius Mutiara Andalas, SJ ; Ratna Sarumpaet (Aktivis HAM dan Budayawan); dan Mohammad Guntur Romli (Penulis, Aktivis Komunitas Salihara) sebagai pembicara. Bertindak sebagai moderator seminar ini adalah Romo Dr. Y.B Heru Prakosa, SJ. Seminar dibagi dalam 3 sesi. Sesi pertama, Romo Mutiara Andalas memaparkan refleksi kritis tentang situasi kebebasan beragama, konflik dan kekerasan melalui presentasinya yang berjudul "Habitus Perdamaian di tengah Banalitas Kekerasan". Saat ini, menurut Romo Muti, situasi hidup di negeri ini sudah sedemikian kritis dan kekerasan sudah menjadi bahasa sehari-hari masyarakat. Bahkan agama-pun marak dipakai sebagai topeng tindakan kekerasan oleh sekelompok orang demi kepentingan-kepentingan tertentu. Hal ini menjadikan situasi perdamaian hilang dari hidup masyarakat, digantikan oleh situasi kekerasan dan penguasaan. Romo Muti menutup pemaparannya dengan sebuah ajakan, beranikah intelektual muda membangun habitus perdamaian di tengah maraknya situasi kekerasan? Sesi ke-dua, Ratna Sarumpaet dalam pemaparannya yang berjudul "Apa Kabar Indonesia?" menyoroti betapa situasi kekerasan dan pelanggaran HAM, terrmasuk kasus-kasus kebebasan beragama, sebenarnya menunjukkan kegagalan negara dalam menjamin hak hidup dan keselamatan warganya. Negara cenderung membiarkan munculnya kelompok-kelompok yang berideologi kekerasan dan mengancam warga negara lainnya. Ratna Sarumpaet, yang memulai pemaparannya dengan menayangkan video dokumenter "Inside Indonesia War on Teror", lebih lanjut mengajak para peserta seminar untuk berani keluar dari kampus, menggalang aksi nyata demi solidaritas kemanusiaan dan memaksa negara untuk lebih bisa menjamin hak-hak hidup warganya. Mohammad Guntur Romli, sebagai pembicara sesi ke-tiga menekankan tentang perlunya menggalang solidaritas lintas batas demi ke-Indonesiaan dan kebhinekaan. Dan solidaritas itu bisa dicapai jika kita mampu memahami dan menerima perbedaan. Melalui pemaparannya yang berjudul "Solidaritas, Kebersamaan dalam Perbedaan", aktivis Komunitas Salihara ini menunjukkan bahwa semangat "Bhinneka Tunggal Ika" yang berasal dari Kitab Sutasoma sebenarnya adalah refleksi nenek moyang bangsa Indonesia yang mengolah dan menghidupi nilai-nilai luhur penerimaan, cinta kasih serta anti-kekerasan. Nilai-nilai itu ada dan hidup di dalam masyarakat hingga saat ini. Hanya saja saat ini opini masyarakat tentang hidup bersolidaritas sering tidak ditampilkan dalam wacana-wacana publik. Oleh karenanya, Guntur Romli mengajak mahasiswa untuk berani menggalang aksi-aksi kreatif dalam upaya untuk mempengaruhi opini publik tentang pentingnya nilai-nilai solidaritas dalam keberagaman dalam hidup bersama. (cm) 1/1