BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Munculnya

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Munculnya isu kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan karena
berbagai hal seperti polusi, hujan asam, efek rumah kaca, kenaikan suhu bumi,
kenaikan permukaan air laut dan pemanasan global merupakan isu yang sedang
hangat di berbagai negara. Begitu juga di Indonesia, karena adanya isu tersebut
sebagian besar wilayah Indonesia yang merupakan kepulauan akan kehilangan pulaupulau kecil karena tenggelam yang disebabkan karena kenaikan permukaan air laut.
Selain itu akan ada dampak lain dari pemanasan global terhadap Indonesia yaitu
pertanian, transportasi dan ekonomi (Meiviana, 2004).
Perubahan iklim adalah perubahan yang signifikan pada iklim, seperti suhu
udara atau curah hujan, selama kurun waktu 30 tahun atau lebih. Tanpa disadari
dampak dari perubahan iklim itu sendiri sudah dapat dirasakan. Dampak perubahan
iklim terhadap Indonesia dapat positif maupun negatif. Salah satu dampak positif dari
perubahan iklim adalah meningkatnya konsentrasi CO2 di atmosfer dan radiasi
matahari dapat berakibat positif untuk proses fotosintesis. Selain itu, terdapat dampak
negatif seperti musim kemarau yang semakin panjang serta musim hujan yang
semakin pendek periodenya namun semakin tinggi intensitasnya. Hal ini kemudian
berdampak pada berbagai aspek kehidupan manusia seperti kekeringan, gagal panen,
krisis pangan dan air bersih, banjir dan longsor, wabah penyakit tropis. Perubahan
iklim jelas menyengsarakan kehidupan umat manusia. Kerugian materi dan juga
korban nyawa adalah akibat yang harus terjadi (RMS, 2010).
Akibat jenis aktivitas yang berbeda-beda, maka gas rumah kaca yang
dikontribusikan oleh setiap negara ke atmosfer pun porsinya berbeda-beda. Di
Indonesia sendiri gas rumah kaca yang berasal dari aktivitas manusia dapat dibedakan
atas beberapa hal, yaitu :
1) Kerusakan hutan termasuk perubahan tata guna lahan.
2) Pemanfaatan energi fosil.
1
3) Pertanian dan peternakan.
4) Sampah.
Pemanfaatan energi secara berlebihan terutama energi fosil merupakan
penyebab utama terjadinya perubahan iklim secara global. Hutan yang semakin rusak,
baik karena kejadian alam maupun penebangan liar, juga menambah jumlah gas
rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer secara signifikan serta fungsi hutan sebagai
penyerap emisi gas rumah kaca (Meiviana, 2004).
Dampak paling merugikan akibat perubahan iklim akan melanda sektor
pertanian di Indonesia akibat pergeseran musim dan perubahan pola hujan. Pada
umumnya semua bentuk sistem pertanian sangat sensitif terhadap variasi iklim.
Terjadinya keterlambatan musim tanam atau panen akan memberikan dampak yang
besar baik secara langsung maupaun tak langsung seperti ketahahnan pangan karena
permasalahan pertanian seperti gagal panen (Meiviana, 2004).
Perubahan iklim mempengaruhi pola presipitasi, evaporasi, water run-off,
kelembaban tanah dan variasi iklim yang sangat fluktuatif secara keseluruhan
mengancam keberhasilan produksi pangan. Pertanian di Indonesia telah dipengaruhi
secara nyata oleh adanya variasi hujan tahunan dan antar tahun yang disebabkan oleh
Australia-Asia Monsoon and El Nino-Southern. Oleh karena itu perlu dikaji sejauh
mana dampak perubahan iklim (Climate Change) terhadap produktivitas tanaman
pangan (padi dan palawija), dengan tujuan untuk mengetahui dampak perubahan
iklim terhadap produksi tanaman pangan (padi dan palawija) (Meiviana, 2004).
Klasifikasi iklim Oldeman didasarkan pada bulan basah yang berturut-turut dan
bulan kering yang berturut-turut juga. Klasifikasi tersebut digunakan untuk keperluan
pertanian. Bulan basah memiliki curah hujan >200 mm sedangkan bulan kering
memiliki curah hujan <100 mm. Oldeman mengungkapkan bahwa kebutuhan air
untuk tanaman padi adalah 150 mm per bulan sedangkan untuk tanaman palawija
adalah 70 mm/bulan, dengan asumsi bahwa peluang terjadinya hujan yang sama
adalah 75% maka untuk mencukupi kebutuhan air tanaman padi 150 mm/bulan
diperlukan curah hujan sebesar 220 mm/bulan, sedangkan untuk mencukupi
2
kebutuhan air untuk tanaman palawija diperlukan curah hujan sebesar 120 mm/bulan,
sehingga menurut Oldeman suatu bulan dikatakan bulan basah apabila mempunyai
curah hujan bulanan lebih besar dari 200 mm dan dikatakan bulan kering apabila
curah hujan bulanan lebih kecil dari 100 mm (Tjasyono, 2004).
Indonesia adalah negara yang sebagian besar penduduknya bermata
pencaharian sebagai petani, oleh sebab itu pengklasifikasian iklim di Indonesia sering
ditekankan pada pemanfaatannya dalam kegiatan budidaya pertanian. Pada daerah
tropik suhu udara jarang menjadi faktor pembatas kegiatan produksi pertanian,
sedangkan ketersediaan air merupakan faktor yang paling menentukan dalam
kegiatan budidaya pertanian khususnya budidaya padi dan palawija. Lamanya periode
pertumbuhan padi terutama ditentukan oleh jenis/varietas yang digunakan, sehingga
periode 5 bulan basah berurutan dalan satu tahun dipandang optimal untuk satu kali
tanam. Jika lebih dari 9 bulan basah maka petani dapat melakukan 2 kali masa tanam.
Jika kurang dari 3 bulan basah berurutan, maka tidak dapat membudidayakan padi
tanpa irigasi tambahan. Lamanya periode pertumbuhan padi terutama ditentukan oleh
jenis/varietas yang digunakan, sehingga periode 5 bulan basah berurutan dalan satu
tahun dipandang optimal untuk satu kali tanam. Jika lebih dari 9 bulan basah maka
petani dapat melakukan 2 kali masa tanam. Jika kurang dari 3 bulan basah berurutan,
maka tidak dapat membudidayakan padi tanpa irigasi tambahan (Tjasyono, 2004).
Provinsi Jawa Tengah memiliki wilayah seluas 32.548 km² . Sebagian besar
wilayah ini memiliki kemiringan lereng antara 2%-15%, sehingga memiliki potensi
yang besar untuk dijadikan sebagai lahan pertanian yang produktif. Daerah Istimewa
Yogyakarta memiliki wilayah seluas 3.185 km² yang sebagian besar wilayahnya
digunakan untuk pertanian. Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi
penyangga pangan nasional, oleh karena itu produktivitas padi lebih diutamakan
untuk terus dipacu. Pada tahun 2008, produktivitas padi sekitar 55,06 kuintal per
hektar, meningkat 3,14 persen dibanding produktivitas tahun sebelumnya. Sebagian
produksi padi merupakan padi sawah yaitu sekitar 97,92 %. Daerah Istimewa
Yogyakarta pada tahun 2008 produksi padi tercatat sebesar 798.232 ton (mengalami
3
kenaikan sebesar 12,54 % dari tahun 2007) dengan rincian 78,71 % merupakan padi
sawah dan 21,29 % padi ladang, dengan luas panen masing-masing sebesar 100,359
hektar dan 39,808 hektar diperoleh angka produktivitas sebesar 62,61 kuintal per ha
untuk padi sawah dan 4,68 kuintal per ha untuk padi ladang (BPS, 2009).
Selain itu, terdapat gunungapi yang menjadikan tanah menjadi subur karena
material vulkanik dari gunungapi seperti Gunung Merapi di Kabupaten Boyolali,
Kabupaten Sleman, Kabupaten Magelang dan Kabupaten Klaten. Gunung Slamet di
berada di Kabupaten Brebes, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga,
Kabupaten Tegal dan Kabupaten Pemalang. Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing
yang terletak di Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo,Gunung Dieng di
Kabupaten Banjarnegara dan Gunung Merbabu di Kabupaten Boyolali. Curah hujan
di kedua provinsi cukup tinggi yaitu 2000 mm/tahun. Keberadaan gunungapi juga
memberikan kontribusi ketersediaan sumberdaya air, biasanya pada tekuk lereng
gunungapi akan memiliki sumberdaya air yang melimpah.
1.1.2
Perumusan Masalah
Perubahan iklim adalah perubahan yang signifikan pada iklim, seperti suhu
udara atau curah hujan, selama kurun waktu 30 tahun atau lebih. Jika iklim berubah,
maka rata-rata selama 30 tahun suhu udara, atau curah hujan, atau jumlah hari
matahari bersinar, pun akan berubah. Perubahan iklim dapat merubah kondisi fisik
atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak
luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia (KLH, 2001).
Iklim biasanya dinyatakan dalam rata-rata waktu tertentu, merentang dari
selang waktu bulanan hingga jutaan tahun. Sistem iklim berevolusi terhadap waktu
oleh adanya pengaruh-pengaruh yang berasal dari dinamika internalnya sebagai
akibat adanya perubahan pada faktor-faktor luar yang mempengaruhi iklim seperti
aktivitas vulkanik dan variabilitas matahari, serta perubahan-perubahan komposisi
atmosfer yang diimbas oleh aktivitas manusia. Perubahan iklim yang disebabkan
manusia telah terjadi terutama sebagai akibat terjadinya perubahan konsentrasi gas4
gas rumah kaca di dalam atmosfer, tetapi juga oleh adanya perubahan konsentrasi
partikel-partikel kecil (aerosol) dan perubahan tata guna lahan. Dengan berubahnya
iklim, terjadi pula perubahan dalam probabilitas terjadinya kondisi-kondisi cuaca
tertentu, termasuk cuaca ekstrem. Sebagai contoh dengan naiknya suhu rata-rata
bumi, sejumlah fenomena cuaca menjadi semakin sering dan semakin intens
(misalnya fenomena gelombang panas dan hujan lebat), sementara yang lainnya
menjadi lebih jarang dan kurang intens (misalya kejadian-keadian ekstrem dingin)
(Rataq, 2008).
Pada Gambar 1.1 dapat dilihat bahwa di Indonesia telah terjadi perubahan
curah hujan rata-rata. Curah hujan rata-rata Indonesia telah turun secara signifikan
pada semua musim, pada tingkat rata-rata 7,8mm per bulan (3,6%) per dekade sejak
tahun 1960. Terjadi kecenderungan penurunan yang sama pada semua musim,
bervariasi antara -7,5mm (3,3%) per dekade di Oktober November Desember hingga
-8,9mm per bulan (3,6%) per dekade. Namun, penurunan proporsional terbesar terjadi
di musim kemarau Juli Agustus September, sebanyak -4,8% per dekade. Indonesia
diperkirakan menjadi lebih basah, dengan kenaikan curah hujan secara keseluruhan.
Simulasi berbagai model iklim memperkirakan perubahan curah hujan bervariasi
antara -28 dan +53mm per bulan (-12% hingga +20%) pada tahun 2090an (RMS,
2010).
Peta agroklimat untuk tanaman-tanaman pertanian utama (padi dan
palawija), yang didasarkan atas data klimatologi dan hubungannya dengan tanaman
sangat diperlukan. Kebutuhan tanaman akan air merupakan salah satu faktor penting
untuk memungkinkan tanaman itu tumbuh baik dan produktif. Curah hujan sebesar
200 mm tiap bulan dianggap cukup untuk memungkinkan budidaya padi sawah,
sedang untuk sebagian besar tanaman palawija curah hujan minimal yang diperlukan
adalah 100 mm tiap bulan (Oldeman, 1975).
5
Gambar 1.1 Perubahan rata-rata curah hujan di Indonesia (RMS, 2010)
Perubahan iklim yang menyebabkan perubahan curah hujan akan berdampak
pada tipe iklim. Tipe iklim akan mengalami perubahan karena perubahan curah hujan
sehingga peta agroklimat yang telah dibuat oleh Oldeman pada tahun 1975 menjadi
tidak relevan lagi karena perubahan tipe iklim tersebut. Oleh karena itu perlu adanya
pembaruan peta agroklimat jika akan digunakan untuk pedoman pertanian pada
wilayah tertentu. Sehingga petani pada daerah yang mengalami perubahan zona tipe
iklim akan beradaptasi sesuai dengan kondisi saat ini. Penyesuaian atau adaptasi
yang dilakukan oleh petani dapat melalui pengunaan varietas tanaman seperti tahan
terhadap perubahan iklim dan rotasi penanaman sesuai prakiraan iklim tersebut serta
melakukan sistem irigasi untuk mengatasi ketersediaan air.
Provinsi Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di
tengah Pulau Jawa dari segi geomorfologi memiliki bentuklahan asal proses vulkanik
dan fluvial. Keberadaan gunungapi baik yang aktif maupun yang tidak aktif akan
memberikan pasokan material vulkanik yang subur sehingga daerah tersebut cocok
6
untuk pertanian. Daerah-daerah tekuk lereng gunungapi banyak memiliki potensi
sumberdaya air yang digunakan untuk sektor pertanian tersebut. Daerah yang berupa
dataran aluvial yang subur karena memiliki tanah endapan hasil sedimentasi sungai
akan berpotensi untuk daerah pertanian yang produktif.
Berdasarkan kondisi tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1) Daerah mana saja yang mengalami perubahan tipe iklim Oldeman?
2) Apakah zona yang yang mengalami perubahan tipe iklim Oldeman juga
mengalami perubahan pola tanam?
1.2 Tujuan
1)
Mengetahui daerah yang mengalami perubahan tipe iklim Oldeman.
2) Mengetahui perubahan pola tanam pada daerah yang mengalami perubahan
tipe iklim Oldeman.
1.3 Kegunaan Penelitian
1) Sebagai salah satu syarat akademik dalam menyelesaikan program S1 Jurusan
Geografi dan Ilmu Lingkungan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
2) Memberikan informasi mengenai zona agroklimat dan juga pola tanam di
Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta setelah tahun 1975
3) Memberikan masukan untuk pengkajian iklim selanjutnya agar lebih baik dari
penelitian sebelumnya.
1.4 Tinjauan Pustaka
Atmosfer adalah lapisan udara yang menyelimuti bumi secara menyeluruh
yang terdiri atas beberapa gasyang dipertahankan oleh gravittasi bumi dan digunakan
untuk melindungi bumi dari serangan luar. Udara kering padaatmosfer mengandung
nitrogen ±78 %, atmosfer semakin ke atas cenderung berubah menjadi atom-atom
gas. Cuaca adalah keadaan atmosfer sehari-hari dan terjadi di daerah yang sempit.
Iklim adalah keadaan rata-rata cuaca dalam periode yang lama (umumnya sekitar 30
7
tahun) meliputi daerah yang luas. Perbedaan iklim di bumi disebabkan oleh adanya
pengaruh
rotasi
dan
revolusi
bumi
serta
perbedaan
letak
lintang
(Wardiyatmoko,2004).
Cuaca berubah dari waktu ke waktu, oleh karena adanya rotasi dan revolusi
bumi. Rotasi bumi akan menimbulkan siang dan malam hari, sedangkan revolusi
bumi akan menimbulkan musim. Daerah subtropika dikenal adanya 4 musim yakni
musim panas, musim dingin, musim gugur dan musim semi, sedangkan daerah
tropika dikenal musim hujan dan kemarau serta peralihan kedua musim. Iklim akan
berbeda dari suatu lokasi atau daerah. Perubahan dan perbedaan cuaca dan iklim
disebabkan oleh pengendalian cuaca atau iklim yaitu (Wardiyatmoko, 2004):
a. Altitude (ketinggian tempat)
b. Latitude (lintang)
c. Penyebarab daratan dan perairan
d. Daerah-daerah tekanan tinggi dan rendah
e. Arus-arus laut
f. Gangguan-gangguan atmosfer
g. Satu atau lebih unsur cuaca dan iklim (terutama pancaran surya).
Hujan adalah peristiwa jatuhnya butir-butir air dalam bentuk cair atau padat
menuju bumi. Hampir seluruh hujan di daerah tropis berbentuk cair, sedangkan di
daerah kutub berupa es atau salju (Hestiyanto, 2005).
Penyelidikan atmosfer
memiliki beberapa kegunaan, antara lain untuk mengadakan ramalan cuaca (prakiraan
cuaca) jangka pendek atau jangka panjang. Prakiraan cuaca ini penting sekali bagi
keperluan pertanian, penerbangan, pelayaran dan peternakan. Sifat data cuaca dan
iklim adalah data diskontinyu yang terdiri dari pancaran surya, lama penyinaran
surya, presipitasi (hujan, hujan es, salju dan embun) dan penguapan (evaporasi dan
transpirasi) (Wardiyatmoko, 2004).
Besar kecilnya hujan antara lain dipengaruhi oleh arus udara, besarnya
perairan, intensitas panas matahari, topografi serta banyak sedikitnya asap pabrik dan
kendaraan bermotor. Oleh karena itu, besarnya curah huajn berbeda-beda menurut
8
waktu dan tempat. Besarnya curah hujan dapat diukur dengan gelas ukur (rain
gauge). Alat pengukur hujan disebut penakar hujan. Tujuan pengukuran curah hujan
adalah untuk mengetahui jumlah dan intensitas curah hujan yang turun di permukaan
tanpa memperhatikan
adanya
air
yang meresap, mengalir dan menguap
(Wardiyatmoko, 2004).
Alat pengukur curah hujan biasanya berfungsi untuk mengukur jumlah hujan
berfungsi untuk mengukur jumlah hujan yang jatuh selama 24 jam per hari pada suatu
gelas ukur. Sedangkan alat pencatat hujan otomatik mencatat jumlah curah hujan
pada kertas pencatat yang setiap hari atau minggu diganti dengan yang baru. Jumlah
curah hujan tidak merata di seluruh Indonesia. Curah hujan di Nusa Tenggara Timur
lebih kecil daripada curah hujan di Jawa. Jumlah curah hujan tidak sama sepanjang
tahun, paling banyak ialah selama angin musim barat (Hestiyanti, 2005).
Jumlah curah hujan dinyatakan dalam inci atau milimeter (1 inci = 25,4 mm).
jumlah curah hujan 1 mm, menunjukkan tinggi air hujan yang menutupi permukaan 1
mm, jika air tersebut tidak meresap ke dalam tanah atau menguap ke atmosfer. Di
daerah tropis hujannya lebih lebat daripada di daerah lintang tinggi. Garis yang
menghubungkan titik-titik dengan curah hujan sama selama periode tertentu disebut
isohyets (Tjasyono, 2004) .
Hasil suatu jenis tanaman bergantung pada interaksi antara faktor genetik dan
faktor lingkungan seperti jenis tanah, topografi, pengelolaan, pola iklim, teknologi
dan faktor ekonomi. Dari faktor lingkungan, faktor tanah telah banyak dipelajari dan
dipahami dibandingkan dengan faktor cuaca dan iklim. Cuaca dan iklim merupakan
salah satu peubah dalam produksi pangan yang sukar dikendalikan. Oleh karena itu,
dalam usaha pertanian pada umumnya cara-cara bertani disesuaikan dengan kondisi
iklim setempat (Tjasyono, 2004).
Unsur-unsur iklim yang menunjukan pola keragaman yang jelas merupakan
dasar dalam melakukan klasifikasi iklim. Unsur iklim yang sering dipakai adalah
suhu dan curah hujan (presipitasi). Klasifikasi iklim umumnya sangat spesifik yang
didasarkan atas tujuan penggunaannya, misalnya untuk pertanian, penerbangan atau
9
kelautan. Pengklasifikasian iklim yang spesifik tetap menggunakan data unsur iklim
sebagai landasannya, tetapi hanya memilih data unsur-unsur iklim yang berhubungan
dan secara langsung mempengaruhi aktivitas atau objek dalam bidang-bidang
tersebut. Oldeman membuat klasifikasi iklim berdasarkan adanya bulan basah yang
berturut-turut dan bulan kering yang berturut-turut pula. Klasifikasi itu terutama
untuk keperluan pertanian. Bulan basah adalah bulan dengan curah hujan > 200 mm,
sedangkan bulan kering curah hujannya < 100 mm. Klasifikasi iklimnya lebih dikenal
dengan sebutan zona agroklimat (Wardiyatmoko, 2004).
Klasifikasi iklim Oldeman yang memakai curah hujan sebagai dasar
klasifikasi iklim dengan kriteria bulan basah dengan curah hujan > 200 mm,curah
hujan sebesar 200 mm setiap bulan cukup untuk membudidayakan padi sawah. Bulan
kering dengan curah hujan < 100 mm merupakan curah hujan minimal untuk
membudidayakan palawija (Tjasyono,2004).
Peta yang menggambarkan persebaran zona agroklimat disebut dengan peta
agroklimat. Peta ini menggambarkan, mengklasifikasikan dan mengarah hanya
kepada satu unsur lingkungan alami yang sangat penting, yaitu
jumlah dan
penyebaran curah hujan. Manusia akan banyak mengalami kesulitan dengan adanya
kekeringan. Dengan terbatasnya air dan meningkatnya jumlah penduduk serta
meningkatnya kebutuhan pangan , air menjadi sangat berharga sekali disebagian
besar wilayah dunia. Karena iklim Indonesia dicirikan dengan adanya musim
penghujan dan kemarau, klasifikasi agroklimat didasarkan kepada penyebaran dan
lamanya periode basah dan periode kering (Oldeman, 1980).
Berdasarkan adanya bulan basah yang berturut-turut, Oldeman membuat 5
zona agroklimat utama sebagai berikut:
a. Zona A bulan basah > 9 kali berturut-turut
b. Zona B bulan basah 7- 9 kali berturut-turut
c. Zona C bulan basah 5-6 kali berturut-turut
d. Zona D bulan basah 3-4 kali berturut-turut
e. Zona E bulan basah <3 kali berturut-turut
10
Zona agroklimat utama dibagi atas 5 sub divisi yaitu A, B, C, D dan E dapat
dilihat pada Tabel 1.1. Masing-masing subdivisi terdiri dari bulan kering berurutan
yang dihubungkan dengan masa tanam. Sub tipe klasifikasi Oldeman dibagi atas 4
macam, yang disimbolkan dengan angka 1, 2, 3 dan 4 merupakan angka indeks setiap
tipe utama. Namun tiap tipe utama mempunyai jumlah sub tipe yang berbeda. Untuk
tipe utama A ada 2 sub tipe, B ada 3 sub tipe, sedangkan tipe C, D dan E masingmasing mempunyai 4 sub tipe. Sehingga ada 17 iklim pertanian berdasarkan
klasifikasi Oldeman (Oldeman, 1975).
Tabel 1.1 Penetapan Iklim Pertanian menurut Oldeman
Tipe Iklim
Klasifikasi
BB
BK
A
A
>9
<2
B1
7-9
<2
B2
7-9
2-4
C1
5-6
<2
C2
5-6
2-4
C3
5-6
5-6
D1
3-4
<2
D2
3-4
2-4
D3
3-4
5-6
D4
3-4
>6
E1
<3
<2
E2
<3
2-4
E3
<3
5-6
E4
<3
>6
B
C
D
E
Sumber : Oldeman, 1975
Walaupun Oldeman tidak menginformasikan faktor-faktor lain yang
mempengaruhinya, namun penggolongan iklimnya lebih praktis dan dapat memberi
petunjuk untuk mencari kemungkinan-kemungkinan pemanfaatan pertanian yang
11
lebih produktif. Klasifikasi iklim berdasarkan jumlah bulan basah dan bulan kering
dapat dianalisis data curah hujan di suatu daerah lebih rinci dan dapat menafsirkan
kemungkinan-kemungkinannya untuk pertanain yang cocok.
Pola tanam adalah pola untuk menanam tanaman setiap 4 bulan sekali dalam
waktu 1 tahun dengan memilih jenis tanaman budidaya yang disesuaikan dengan
keadaan lahan. Penentuan pola tanam sangat dipengaruhi ketersediaan air. Maka dari
itu, ketika waktu defisit air penentuan pola tanam akan berbeda jika air dapat
ditambahkan ataupun tidak dapat diberikan penambahan air. Jika diketahui
ketersediaan air disuatu daerah dengan adanya neraca air maka penentuan pola tanam
dalam satu tahun dapat diatur sehingga lahan dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Beberapa model pola tanam diuraikan sebagai berikut:
a. Pola Padi - Padi - Padi
Jika air saat terjadi defisit dapat disediakan irigasi maka dapat dilakukan
penanaman padi sepanjang tahun. Namun jika air sulit tersedia ketika defisit air
maka masih memungkinkan dilakukan penanaman padi sepanjang tahun namun
dengan beberapa kriteria. Jika dalam satu tahun akan ditanam padi sebanyak tiga
kali maka varietas padi yang digunakan adalah varietas genjah agar umurnya
lebih pendek sehingga saat surplus air dapat dimanfaatkan penanaman hingga
panen. Awal bulan November merupakan awal musim hujan namun pada dekade
pertama masih terjadi defisit air. Maka penanaman padi kesatu dapat mulai. Jika
persiapan hingga panen memerlukan waktu empat bulan maka saat penanaman
padi kedua yaitu pada bulan Maret masih terdapat air namun bulan April hingga
juni terjadi defisit air. Maka varietas padi yang ditanam mengunakan padi lahan
kering. Penanaman padi ketiga pada bulan Juli jika tetap tidak dapat diusahakan
pengairan maka padi yang ditanam menggunakan varietas lahan kering.
b. Pola Padi - Padi - Palawija
Penanaman dengan pola tanam padi-padi-palawija dapat dimulai dengan
penanaman padi pertama saat awal musim yaitu awal November. Persiapan
dimulai bulan Oktober sehingga pada awal musim penanaman telah siap. Pada
12
bulan Februari penanaman padi kedua dapat dilaksanakan sehingga pada waktu
defisit air yaitu pada bulan Juni hingga Oktober dapat digunakan untuk penanaman
palawija dan pengolahan tanah.
c. Pola Padi - Padi - Bero
Untuk memperbaiki keadaan tanah maka disamping dilakukan penanaman
dapat juga dilakukan pemberoan. Jika padi ditanam dua kali seperti pola tanam
padi-padi-palawija maka waktu penanaman palawija dapat digunakan untuk
pemberoan dan pengolahan tanah. Waktu penanaman padi dapat disamakan
dengan pola tersebut.
d. Pola Padi - Palawija - Bero
Menurut rekomendasi Oldeman, pola tanam yang sesuai untuk tipe iklim ini
yaitu hanya mungkin satu kali padi atau satu kali palawija setahun tergantung pada
adanya persediaan air irigasi. Pola tanam ini sesuai dengan rekomendasi Oldeman
maka penanaman padi dapat dilakukan saat terjadi surplus air yaitu pada bulan
November hingga Maret, dengan waktu lima bulan ini maka pertumbuhan padi
dapat dioptimalkan. Penanaman palawija ini dapat disesuaikan dengan jenis
palawija dengan kebutuhannya terhadap air. Jika palawija yang ditanam tidak
terlalu tahan kekeringan maka penanamannya dapat dilakukan bulan Maret
disesuaikan saat surplus air sehingga waktu untuk penanaman padi lebih
dimajukan dan sisanya untuk palawija. Jika palawija yang ditanam tahan terhadap
kekeringan maka penanamannya dapat dilakukan bulan April kemudian dilakukan
pemberoan.
e. Pola Padi - Padi
Jika penanaman padi akan dilaksanakan dua kali dalam satu tahun tanpa
kegiatan lagi. Maka penanaman padi pertama dilakukan saat surplus air yaitu bulan
November hingga Maret. Penanaman padi kedua dapat digunakan padi lahan kering
yang ditanam setelah padi kedua. Varietas padi dapat menggunakan varietas
berumur panjang karena dalam satu tahun hanya dilakukan dua kali penanaman
(Trisno, 2010).
13
1.4.1
Penelitian Sebelumnya
Penelitian tentang zona agroklimat telah dilakukan oleh Oldeman pada tahun
1975 untuk pulau Jawa dengan tujuan untuk mengklasifiksikan dan memetakan
zona agroklimat. Pengklasifikasian iklim Oldeman dan pemetaan juga dilakukan
oleh Oldeman pada tahun 1980 untuk pulau Bali. Hasil penelitian Oldeman pada
tahun 1975 menghasilkan zona agroklimat di Pulau Jawa yang terdiri dari 8 zona
agroklimat yaitu A, B1, B2, C2, C3, D2, D3 dan E.
Sumiana (2012) melakukan penelitian di Pulau Bali tentang implikasi
perubahan spasial dan temporal curah hujan terhadap tipe iklim Oldeman di Bali.
Penelitian tersebut mengkaji tentang perubahan spasial dan temporal curah hujan
di Pulau Bali serta pengaruhnya terhadap perubahan musim dan pola tanam di
Pulau Bali.
Puslitanak
(2000)
melakukan
penelitian
di
Pulau
Sumatera
untuk
pemutakhiran zona agroklimat dan pewilayahan hujan Sumatera. Penelitian ini
mengkaji tentang perubahan pola curah hujan di pantai timur yang disebabkan
karena perubahan jumlah bulan basah dan bulan kering di Pulau Sumatera.
Daryono dkk. (2003) melakukan pemutakhiran tipe iklim Oldeman
menggunakan data hujan periode 1970-2000. Hasil pemutakhiran tipe iklim Pulau
Bali ini menghasilkan 2 (dua) tipe iklim baru yang belum ada sebelumnya yaitu
tipe iklim B3 dan D2. Penelitian Daryono sudah mengkaji perubahan tipe iklim,
akan tetapi belum mengkaji dampak perubahan tipe iklim dan tidak mengkaji pola
tanam berdasarkan tipe iklim hasil pemutakhiran data.
Penelitian Ngurah (2013) melakukan penelitian tentang pola adaptasi petani
terhadap kekeringan di pulau Nusa Penida kabupaten Klungkung provinsi Bali.
Penelitian tersebut mengkaji risiko kekeringan yang dihadapi petani dan
bagaimana pola adaptasi yang berlaku selama ini yang dilakukan oleh petani desa
wilayah studi di pulau Penida.
Penelitian yang dilakukan Widoretno (2012) mengkaji tentang perubahan tipe
iklim provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dari peta agroklimat
14
Oldeman yang pertama pada tahun 1975. Kemudian dari daerah-daerah yang tipe
iklimnya berubah akan dianalisis pola tanamnya. Pola tanam berubah atau tidak
pada daerah yang mengalami perubahan kemudian dianalisis penyebabnya serta
penyelesaian dari permasalahan pertanian yang menyebabkan perubahan pola
tanam tersebut. Perbandingan antara peta agroklimat tahun 1975 dengan peta
agroklimat yang baru akan dianalisis apakah tipe iklim tahun 1975 masih relevan
untuk acuan pertanian atau sudah tidak relevan. Penelitian yang mengkaji tentang
perubahan tipe iklim Oldeman baru dilakukan kali ini. Penelitian sebelumnya yang
mengkaji tentang perubahan curah hujan terhadap tipe iklim Oldeman dilakukan di
Pulau Bali.
Tabel 1. 2 Kajian Penelitian Sebelumnya
No
1.
2.
3.
Nama
Peneliti
Oldeman,
1975
Puslitanak
(2000)
Judul Penelitian
Daryono
(2003)
Evaluasi Zone Iklim
Oldeman Pulau Bali
Berdasarkan
Pemutakhiran Data
An
agroclimatic
map of Java
Pemutakhiran zona
agroklimat
dan
pewilayahan hujan
Sumatera
Metode
Penelitian
Survey klasifikasi
Oldeman
Survey klasifikasi
Oldeman
Hasil Penelitian
Pulau Jawa terdiri dari 8 tipe iklim
Oldeman yaitu
Perubahan tipe iklim di Sumatera
umumnya terjadi karena menurunnya
jumlah BB sedangkan meningkatnya
jumlah BK terjadi di daerah pantai
timur yang menyebabkan perubahan
pola curah hujan.
Survey klasifikasi Hasil pemutakhiran menemukan 2 tipe
Oldeman
iklim Oldeman yang baru di Pulau
Bali, yaitu tipe iklim B3 dan D2
Lanjutan Tabel 1.2.
15
No
4.
5.
Nama
Peneliti
Yani
Sumiana
(2012)
Judul
Penelitian
Implikasi
perubahan
spasial
dan
temporal curah
hujan terhadap
tipe
iklim
Oldeman
di
Pulau Bali
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Survey, moving average,
wavelet,
kuantitatif
dan
kualitatif
Ida Dewa
Ayu
Istri
Ngurah
(2013)
Kajian
pola
adaptasi petani
terhadap
kekeringan di
pulau
Nusa
Penida
kabupaten
Klungkung
provinsi Bali
Unit sampling adalah petani
di lokasi penelitian dengan
teknik pengambilan sampel
dilakukan
dengan
cara
snowball sampling yang
kemudian dianalisis dengan
deskriptif
1. Pola persebaran curah hujan
di Pulau Bali secara spasial
dan
temporal
yang
menunjukkan secara spasial
curah hujan di Pulau Bali
dipengaruhi oleh variasi
topografi
dan
secara
temporal dipengaruhi oleh
monsoon.
2. Selama periode 1970-2009
telah terjadi perubahan
spasial dan temporal curah
hujan di Pulau Bali.
3. Perubahan pola curah hujan
di
Pulau
Bali
telah
menyebabkan
terjadinya
perubahan zona agroklimat
dan perubahan pola tanam.
Hasil yang diharapkan dari
penelitian
ini
adalah
mengetahui risiko kekeringan
yang dihadapi petani dan
bagaimana pola adaptasi yang
berlaku selama ini yang
dilakukan oleh petani desa
wilayah studi di pulau Penida
Tujuan : 1. Mengidentifikasi
apa saja risiko bencana
kekeringan yang dihadapi
petani
2. menganalisis pola adaptasi
yang berlaku pada petani
mengahadapi
bencana
kekeringan
3. menganalisis hubungan
karakteristik petani terhadap
pola adaptasi
Lanjutan Tabel 1.2.
16
No
6.
Nama
Peneliti
Widoretno
(2013)
Judul Penelitian
Metode Penelitian
Dampak Perubahan
Zona
Agroklimat
Terhadap Perubahan
Pola
Tanam
di
Provinsi
Jawa
Tengah dan DIY
Survey
Oldeman
Tanam
Hasil Penelitian
klasifikasi 1. Daerah
yang
mengalami
dan Pola
perubahan tipe iklim yaitu tipe
iklim B1 ke B2 tersebar di
Kabupaten
Cilacap
dan
Wonosobo, tipe iklim C2 ke C3
tersebar di Kabupaten Blora,
Boyolali,
Demak,
Kulon
Proogo dan Purworejo, tipe
iklim C2 ke D3 tersebar di
Kabupaten Sleman dan Blora,
tipe iklim C3 ke D3 tersebar di
Kabupaten
Bantul,
Gunungkidul,
Klaten
dan
Wonogiri, tipe iklim D3 ke C3
tersebar di Kabupaten Jepara
dan Tegal, tipe iklim E ke D3
tersebar
di
Kabupaten
Rembang dan Pati.
2. Berdasarkan 22 lokasi sampel
yang mengalami perubahan
pola tanam ada 11 lokasi yang
merupakan 50 % dari seluruh
sampel. Sedangkan 50 % atau
11 lokasi yang lain tidak
mengalami perubahan pola
tanam.
1.5 Landasan Pemikiran
Peta agroklimat merupakan gambaran dari zona agroklimat
merupakan
hasil
klasifikasi
iklim
berdasarkan
Oldeman.
Peta
yang
ini
menggambarkan, mengklasifikasikan dan mengarah hanya kepada satu unsur
lingkungan alami yang penting, yaitu jumlah dan penyebaran curah hujan.
Perubahan iklim dapat menyebabkan perubahan intensitas curah hujan. Perubahan
intensitas curah hujan akan merubah tipe iklim dan juga persebaran zona
agroklimat yang dapat mempengaruhi perubahan pola tanam tanaman utama. Jika
17
pola tanam terpengaruh oleh perubahan zona agroklimat maka produktivitas
pertanian juga akan berubah.
Peta agroklimat tahun 1975 yang berisi zona agroklimat tahun 1975
dioverlay dengan peta agroklimat tahun 2008 yang merupakan hasil klasifikasi
iklim berdasarkan Oldeman berdasarkan data hujan bulanan dari tahun 1970
sampai tahun 2008. Perubahan zona agroklimat diidentifikasi dari hasil overlay
peta agroklimat tahun 1975 dengan peta agroklimat tahun 2008. Berdasarkan hasil
overlay yang menunjukkan luasan perubahan zona agroklimat dapat diketahui
daerah yang mengalami perubahan tipe iklim Oldeman untuk diidentifikasi
perubahan pola tanamnya. Perubahan pola tanam diketahui dengan wawancara
kepada petani dan Balai Penyuluh Pertanian. Berdasarkan hasil overlay peta
agroklimat tahun 1975 dengan tahun 2008 dan hasil wawancara pola tanam dapat
dianalisis pengaruh perubahan zona agroklimat terhadap pola tanam.
1.6 Kerangka Teori
Perubahan iklim yang terjadi karena perubahan intensitas hujan dapat
merubah tipe iklim berdasarkan klasifikasi Oldeman. Analisis tentang perubahan tipe
iklim dan pola tanam dilakukan untuk mengetahui pengaruh perubahan zona
agroklimat terhadap pola tanam tanaman utama berupa padi dan palawija.
Peta agroklimat tahun 1975 yang memuat informasi tentang tipe iklim
Oldeman yang dibuat berdasarkan data hujan setidaknya 20 tahun pada lebih dari
1500 lokasi. Unit pemetaan zona agroklimat merupakan banyaknya jumlah bulan
basah dan bulan kering secara berturut-turut. Peta agroklimat tahun 1975 akan
dioverlay dengan peta agroklimat tahun 2008 yang merupakan hasil klasifikasi
berdasarkan Oldeman. Peta agroklimat tahun 2008 dibuat berdasarkan data curah
hujan tahun 1979 sampai 2008 pada 37 stasiun hujan yang kemudian
didiklasifikasikan jumlah bulan basah dan bulan keringnya dengan bulan basah yang
memiliki curah hujan >200 mm/bulan dan bulan kering memiliki curah hujan <100
mm/bulan. Berdasarkan jumlah bulan basah dan bulan kering kemudian digolongkan
18
menurut tipe iklim berdasarkan klasifikasi Oldeman yaitu A, B1, B2, C1, C2, C3, D1,
D2, D3, D4, E1, E2, E3, dan E4.
Berdasarkan hasil klasifikasi tipe iklim tahun 2008 kemudian dilakukan
interpolasi dengan Inverse Distance Weighted (IDW) untuk menghasilkan zona
agroklimat tahun 2008. Hasil interpolasi berupa peta agroklimat tahun 2008
kemudian dioverlay dengan peta agroklimat tahun 1975 untuk mengetahui luasan
yang mengalami perubahan tipe iklim. Berdasarkan luasan tersebut kemudian dipilih
secara acak dengan mempertimbangkan luasan daerah yang mengalami perubahan
tipe iklim untuk sampel wawancara tentang perubahn pola tanam. Berdasarkan hasil
wawancara dapat diketahui apakah perubahan tipe iklim Oldeman mempengaruhi
pola tanam pada daerah yang mengalami perubahan tipe iklim. Kemudian dapat
dilakukan pengkajian tentang pengaruh perubahan tipe iklim terhadap pola tanam.
Diagram alir kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.2.
1.7 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran, pertanyaan penelitian dalam penelitian ini
adalah:
1) Apakah telah terjadi perubahan tipe iklim?
2) Apakah zona yang mengalami perubahan tipe iklim juga mengalami
perubahan pola tanam?
19
Peta Agroklimat
Oldeman tahun 1975
Data hujan tahun
1979-2008
Klasifikasi BB : CH>200 mm
BK : CH <100 mm
Peta tipe iklim hasil
klasifikasi Oldeman
tahun 2008
Overlay
Zona perubahan iklim
Wawancara pada
sampel daerah yang
mengalami perubahan
tipe iklim Oldeman
Kajian perubahan tipe iklim
terhadap pola tanam
Gambar 1.2 Diagram Alir Kerangka Pemikiran
20
Download