OPTIMISME BANGSA Siapkan Antisipasi, Harga Minyak Tak Bisa Diremehkan BAHAS HARGA MINYAK - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Senin (22/10), di Kantor Presiden, menerima Menko Perekonomian Boediono dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro yang melaporkan perkembangan harga minyak dunia. Presiden meminta perkembangan harga minyak dunia diwaspadai. (Ant/RumgapresHaryanto) Suara Karya : Selasa, 23 Oktober 2007 JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah memastikan, gejolak harga minyak mentah di pasar dunia sekarang ini belum mengancam kelangsungan APBN. Karena itu, pemerintah tetap akan menggunakan asumsi harga minyak 60 dolar AS per barel pada APBNP 2007 maupun RAPBN 2008. Tetapi kalangan pengamat mengingatkan pemerintah agar tidak meremehkan dampak kenaikan harga minyak dunia sekarang ini. Dalam konteks ini, pemerintah harus mempersiapkan langkah-langkah antisipasi secara matang. Demikian diutarakan Menko Perekonomian Boediono dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, serta pengamat ekonomi Sutrisno Iwantono, di Jakarta, kemarin. Mereka menyoroti masalah harga minyak dunia sekarang ini terkait optimisme bangsa menyangkut prospek positif ekonomi nasional. Menurut Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, penetapan asumsi harga minyak sebesar 60 dolar AS per barel dalam APBN antara lain karena produksi minyak Indonesia dinilai masih mencukupi. Selain itu, tidak ada negara lain yang menetapkan patokan harga minyak lebih dari 50 dolar AS per barel. "Jadi kita gunakan (patokan) harga minyak yang konservatif. Tetap 60 dolar AS per barel dalam APBN 2007," ujar Purnomo di Jakarta, kemarin. Menurut Purnomo, pemerintah akan terus berupaya meningkatkan produksi minyak dalam negeri sesuai asumsi di APBNP 2007 sebesar 950.000 barel per hari. "Asumsi lifting 950 ribu barel per hari harus kita jaga karena terkait dengan dasar perhitungan APBN kita. Kita akan tingkatkan produksi kita. Pada 30 Oktober, Presiden meresmikan dua lapangan minyak dengan produksi sekitar 6.000 barel per hari, yaitu lapangan minyak Santos dan Primier Oil," katanya. Sementara itu, pengamat ekonomi Sutrisno Iwantono mengatakan, pemerintah semestinya tidak meremehkan situasi global akibat kenaikan harga minyak mentah karena dampaknya begitu nyata bagi Indonesia. Menurut Iwantono, dampak fiskal kenaikan harga minyak pada jangka pendek boleh jadi dapat dikendalikan dan penerimaan fiskal memang meningkat. Tapi, di lain pihak, subsidi minyak juga bertambah dan kalkulasinya bisa positif bisa juga negatif, tergantung kemampuan pemerintah meningkatkan produksi dalam negeri. "Jika produksi minyak mentah bisa dipacu, itu akan menolong penerimaan APBN. Sayangnya, kenaikan produksi tampaknya sulit dipacu. Apalagi sekarang produksi minyak kita kurang dari satu juta barel per hari. Sementara subsidi tetap harus dikeluarkan. Jika harga minyak menembus 100 dolar AS per barel dan berlangsung lama pada tahun depan, ekonomi kita pasti kelabakan," kata Iwantono. Menurut Iwantono, pemerintah harus memiliki peta dampak sektoral kenaikan harga minyak. Peta tersebut diperlukan untuk mengukur sensitivitas sektor dengan tingkat vulnerability (kerentanan) yang terukur. Dengan memiliki peta sensitivitas sektoral, langkah darurat untuk menyelamatkan masalah di tingkat sektoral maupun subsektor bisa mudah dirumuskan. Dengan demikian gejolak harga minyak dan keuangan global bukan semata-mata urusan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Keuangan, atau pun Bank Indonesia. Departemen sektoral juga harus terlibat langsung mempersiapkan langkah pengamanan. Secara terpisah, Menko Perekonomian Boediono mengatakan, lonjakan harga minyak dunia belum mengancam keberlangsungan APBN pada tahun ini. Namun untuk tahun 2008 pemerintah terus mewaspadai dampaknya terhadap ekonomi nasional. Kewaspadaan terhadap kenaikan minyak dunia harus terus diamati, terutama dampaknya terhadap tambahan biaya subsidi BBM dan pengaruhnya pada sektor industri. "Kalau harga minyak naik tinggi, maka biaya industri juga akan naik, begitu pula pengaruhnya terhadap inflasi. Ini karena kenaikan harga minyak akan memengaruhi harga-harga di dalam negeri," katanya. Mengenai kemungkinan pemerintah mengeluarkan kebijakan baru untuk mengantisipasi naiknya harga minyak ini, menurut Boediono, saat ini pemerintah masih terus melihat perkembangan kenaikan harga minyak tersebut. "Apakah perlu kebijakan tertentu masih harus kita lihat perkembangannya, yang jelas APBN harus kita amankan dan jaga serta kelola dengan baik," ujarnya. Yang pasti, menurut Boediono, pemerintah terus mendorong adanya diversifikasi penggunaan energi di luar minyak, sehingga kenaikan harga minyak internasional tidak akan banyak berpengaruh kepada Indonesia. "Kalau kita lebih banyak diversifikasi, yakni penggunaan gas dan batu bara yang lebih besar, maka akan lebih baik," ujar Boediono. Meski demikian, upaya diversifikasi penggunaan energi di Tanah Air tidak lepas dari adanya sejumlah kendala. Misalnya untuk penggunaan gas, masih sangat tergantung pada pasokan gas di dalam negeri. "Saya kira kebijakan untuk mendorong penggunaan gas di dalam negeri tergantung juga dari suplai gas di dalam negeri. Sekarang sedang kita garap beberapa sumur dan ladang gas sehingga kita harapkan pasokan dalam negeri lebih longgar (banyak) lagi," katanya. Sementara itu, Wapres Jusuf Kalla menegaskan, tidak ada upaya lain untuk mengatasi meroketnya harga minyak dunia kecuali dengan mempercepat target penuntasan program konversi energi dari minyak ke gas. Penegasan itu dikemukakan Wapres saat melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Depot LPG Domestik Pertamina di Tanjung Priok, Jakarta, Senin sore, untuk melihat perkembangan program konversi energi masyarakat. (Andrian/Indra)