BAB II TELAAH TEORITIS 2.1 Keuangan Berbasis Perilaku Studi keuangan tradisional berasumsi bahwa investor berperilaku rasional dalam pengambilan keputusan, investor akan berusaha untuk memaksimalkan kekayaan mereka. Namun para psikolog telah menyadari sejak lama bahwa ini adalah asumsi yang keliru dimana individu sering bertindak dengan cara yang tampaknya tidak rasional dan membuat kesalahan dalam prediksi mereka (Nofsinger, 2005). Dalam hal ini keuangan konvensional mengesampingkan perilaku keuangan dari sudut pandang psikologi. Padahal psikologi adalah dasar dari keinginan dan motivasi manusia sekaligus sumber kesalahan (bias) akibat salah presepsi, kepercayaan diri berlebihan dan emosi yang mendorong seseorang menjadi tidak rasional (Sina, 2011). Dua prinsip yang mendasari kehadiran keuangan berbasis perilaku sebagaimana dikutip dari Supramono dkk (2010) adalah (1) Keterbatasan dari aksi arbitrase (limits to arbitrage) yang menghambat terjadinya pasar yang efisien dan (b) Psikologi kognitif (cognitive psychology) yang menyangkut bagaimana investor memproses informasi. 1. Limits to Arbitrage Dalam kondisi pasar efisien harga sekuritas yang terbentuk merupakan cerminan dari seluruh informasi yang ada atau “stock 7 price reflect all available information”. Seluruh investor memiliki akses yang sama terhadap informasi dan informasi terdistribusi secara merata sehingga tidak ada imvestor yang mampu mempengaruhi harga. Penyesuaian harga menuju level keseimbangan akan terjadi dengan cepat dan hal ini menyebabkan pelaku pasar tak dapat memperoleh abnormal return. Dalam kenyataannya pasar tidak efisien dan menuai banyak kritik penentangnya. Namun para pendukung hipotesis pasar efisien tetap bertahan dengan berlindung dibawah jargon “anomali”. Segala sesuatu yang tidak sesuai atau tidak dapat dijelaskan oleh hipotesis pasar efisien dikatakan sebagai anomali seperti anomali efek january, efek perusahaan kecil, dan lain-lain. 2. Psikologi Kognitif Setiap pengambilan keputusan tak terlepas dari kebutuhan akan informasi. Berdasarkan informasi yang ada investor berharap dapat membuat keputusan yang optimal. Namun pada kenyataannya informasi yang dibutuhkan oleh investor sering tidak tersedia dengan lengkap dan bahkan mungkin tidak akurat. Terlepas dari kualitas informasi yang tersedia, keputusan investor seringkali dipengaruhi oleh keyakinan (belief) dan preferensi terhadap resiko. Menurut psikologi kognitif investor sering membuat kesalahan sistematis dalam memproses informasi 8 atau dikenal dengan kesalahan kognitif (cognitive bias) ketika membentuk keyakinan dan preferensi. 2.2 Bias Perilaku (Behavioral Bias) Self Attribution Self attribution bias merupakan kecenderungan seseorang untuk menganggap kesuksesan mereka merupakan bagian dari aspek diri mereka seperti talenta atau peramalan, sementara lebih sering menyalahkan kegagalan sebagai pengaruh dari luar (Pompian, 2012). Penelitian membuktikan bahwa jika seseorang berniat untuk sukses, maka hasil yang sesuai dengan tujuan, dalam hal ini sukses, akan dianggap sebagai hasil dari usaha manusia untuk mencapai apa yang diinginkan. Seseorang akan secara alami merasa lebih bangga ketika mengalami kesuksesan daripada kegagalan, karena mereka lebih menginginkan kesuksesan daripada kegagalan. Barber dan Odan (2002) dalam penelitiannya menemukan bahwa investor yang mempunyai pengalaman investasi positif cenderung untuk melakukan online trading. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa investor yang sukses dalam melakukan investasi menjadi overconfidence melalui self attribution bias dengan mengacu pada fenomena psikologi kemampuan yang mengaitkan pribadi, bahkan kesuksesan ketika dengan kenyataannya kesuksesan tersebut disebabkan oleh faktor external. Namun dalam penelitian (Uchida,2006) tidak ditemukan 9 bahwa online investor di Jepang lebih puas dengan return masa lalu seperti yang terjadi di Amerika, sehingga online investor di Jepang tidak mengalami self attribution bias. Hal ini dikarenakan investor di Jepang lebih konservatif. Overconfidence Overconfidence diartikan sebagai penaksiran yang terlalu tinggi (overestimate) dalam menilai suatu financial asset (Odean (1998), Gervais and Odean (2001), Uchida (2006), Pompian (2012), Bhandari & Deaves (2005)). Pompian (2012) mengatakan biasanya muncul bahwa sebagai kesalahan-kesalahan akibat adanya yang perilaku overconfidence dalam kaitannya dengan investasi adalah sebagai berikut : (1) Overconfidence dapat menyebabkan investor melakukan excessive trading (transaksi yang terlalu berlebihan) sebagai efek dari keyakinan bahwa mereka memiliki pengetahuan khusus yang sebenarnya tidak mereka miliki. (2) Overconfidence overestimate menyebabkan (menaksir terlalu investor tinggi) menjadi kemampuannya dalam mengevaluasi suatu investasi dan underestimate (menaksir terlalu rendah) terhadap adanya resiko dan cenderung mengabaikan menyebabkan investor resiko. memiliki (3) Overconfidence kecenderungan tidak mendiversifikasi portofolio investasinya. (4) Memperoleh return yang lebih rendah dibandingkan dengan pasar. Hasil studi di Amerika oleh Coi, Libson dan Metrick (2002) 10 menyatakan bahwa pengalaman online invetor meningkatkan turnover dan menurunkan kinerja setelah beralih ke online trading. Dua ciri ini merupakan ciri dari bias overconfidence. 2.3 Pola Transaksi Online Trading Seiring dengan perkembangan teknologi internet, kegiatan transaksi di pasar modal turut berkembang dengan adanya mekanisme bertransaksi melalui telepon kepada sales perusahaan Efek menjadi order yang diinput sendiri oleh nasabah menggunakan perangkat yang terhubung dengan internet. Investor pun dapat secara langsung memonitor perkembangan harga di pasar secara real time. Mekanisme ini lebih dikenal dengan istilah online trading. Secara umum, perdagangan online trading terjadi ketika seorang investor menyampaikan order beli atau jual Efek melalui media internet pada online broker yang kemudian mengeksekusi perintah tersebut dengan meneruskan ke sistem Bursa Efek secara otomatis (Subagyo dkk, 2010) Definisi online trading menurut situs intradaytips.com adalah tindakan menempatkan pesanan beli atau jual suatu surat berharga keuangan atau mata uang dengan menggunakan platform berbasis internet milik perantara pedagang Efek (broker atau dealer). Dalam peraturan BAPEPAM-LK Nomor V.D.3 tentang pengendalian internal perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai perantara perdagangan Efek istilah yang digunakan adalah 11 sistem perdagangan online, yaitu sistem perdagangan yang disediakan oleh perantara pedagang Efek melalui media komunikasi elektronik termasuk internet, layanan pesan singkat (Short Message Service/SMS), layanan protokol aplikasi nirkabel (wireless application protocol/wap), atau media elektronik lainnya untuk melakukan transaksi Efek. Sedangkan keanggotaan dalam Bursa peraturan PT. Bursa nomor Efek III-A tentang Indonesia (BEI) mengguakan istilah fasilitas penyampaian pesanan secara langsung bagi nasabah, yaitu fasilitas yang disediakan oleh anggota Bursa Efek yang memungkinkan nasabah menyampaikan sendiri penawaran jual dan atau permintaan beli Efek melalui Brokerage Office System dan perangkat Remote Trading anggota Bursa Efek yang dilengkapi dengan validasi otomatis, untuk selanjutnya di teruskan ke Jakarta Automated Trading System (JATS) (tim survey BAPEPAM-LK, 2010) 2.4 Karakteristik Demografi Proses pengambilan keputusan investasi dipengaruhi oleh berbagai faktor sehingga investor diharapkan dapat memutuskan kapan, dimana, seberapa sering dan metode apa yang akan digunakan. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan investasi, salah satunya adalah karakteristik demografi di antaranya yang merupakan personal karakteristik seperti usia, gender, pendapatan, status pendidikan marital status (Shapiro, 12 2001). Selain itu, Warran dkk (1990) dalam Christanti dan Mahastanti (2011) menyatakan bahwa pilihan investasi seseorang lebih berdasar pada gaya hidup dan karakteristik demografinya. Karakterisitik demografi investor perlu dipertimbangkan karena dalam pengambilan keputusan investasi, investor seringkali melibatkan lebih dari satu individu dengan berbagai pengetahuan, pengalaman dan keahlian yang dimiliki. Graham et.al (2005) demografi seorang investor menjelaksan presepsi kompetensinya dipengaruhi oleh karakteristik dari investor tersebut. Penelitian ini menyatakan bahwa perbedaan karakteristik demografi dari investor menyebabkan investor merasa lebih kompeten dalam memahami informasi keuangan dan peluang yang ada. Demografi terdiri dari berbagai indikator namun yang digunakan untuk melihat karakteristik online investor di Indonesia, yaitu: Gender Gender merupakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara biologis sejak seseorang dilahirkan. Barber dan Odean (2001) dalam penelitiannya yang berjudul “Boys Will Be Boys” mengatakan bahwa pria lebih berani terhadap resiko yang akan dihadapi dibandingkan wanita, hal ini dikarenakan pria memiliki tingkat percaya diri yang tinggi (overconfidence) dibandingkan wanita. 13 Selain itu, Uchida (2006) dalam penelitiannya tentang karakteristik online investor di Jepang menyimpulkan bahwa pria lebih dominan pada penggunaan online trading daripada wanita. Pekerjaan Faktor pekerjaan merupakan profesi yang disandang seseorang dalam melakukan aktifitas yang memberikan hasil baik berupa pengalaman maupun materi yang dapat menunjang kehidupannya (Cahyadi, 2010). Dalam online trading, di Jepang dan Amerika terbukti bahwa lingkungan kerja mempengaruhi keputusan investor untuk menggunakan online trading, sebaliknya investor yang jauh dari jaringan informasi di tempat kerja lebih sedikit menggunakan fasilitas online trading (Choi, Libson, dan Metrick’s, 2002; Uchida, 2006). Usia Usia merupakan batasan atau tingkatan ukuran hidup yang mempengaruhi kondisi fisik seseorang. Evans (2004) mengemukakan bahwa investor yang berusia lebih mudah (di bawah 30 tahun) memiliki toleransi resiko lebih besar dibandingkan dengan investor yang berusia lebih tua (di atas 30 tahun). Selain itu, Christanti dan Mahastanti (2011) menyimpulkan bahwa investor yang berusia tua (50-54 tahun) lebih mempertimbangkan hampir semua faktor dalam pengambilan keputusan investasi di pasar 14 modal, sebaliknya investor yang berusia muda (25-29) tahun tidak terlalu mempertimbangkan banyak faktor dalam investasi. Hal ini sejalan dengan penelitian pada online investor Barber dan Odean (2002), Choi, Libson dan Metrick (2002) dan Uchida (2006) menemukan bahwa investor yang berusia lebih mudah lebih sering melakukan online trading dan memiliki toleransi resiko lebih tinggi dibandingkan dengan investor yang lebih tua. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa investor yang lebih tua cenderung untuk menghindari resiko dalam berinvestasi. Status Perkawinan Barber dan Odean (2001a) dalam penelitiannya berpendapat bahwa status perkawinan mempengaruhi keputusan keuangan dengan tingkatan sebagai berikut, laki-laki yang belum menikah adalah orang dengan tingkat kepercayaan diri, yang terakhir adalah wanita yang belum berkeluarga. penelitiannya berpendapat Selain itu, terhadap bahwa Ranganthan investor investor di yang (2004) dalam Mumbai India, sudah menikah cenderung berinvestasi pada jenis investasi yang tidak beresiko tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa investor yang sudah menikah cenderung lebih hati-hati dalam berinvestasi. 15 Tingkat Pendidikan Faktor pendidikan pengetahuan adalah yang tingkat dimiliki oleh penguasaan seseorag ilmu tentang bagaimana kemampuannya dalam memahami suatu hal dengan baik (Cahyadi,2010). Pada umumnya orang yang menempuh pendidikan lebih tinggi cenderung lebih banyak menghasilkan uang daripada mereka yang tidak. Hal ini dikarenakan banyak lapangan pekerjaan dan jabatan yang lebih tinggi bagi mereka yang berpendidikan tinggi. Namun hal ini bukanlah jaminan bahwa orang dengan tingkat pendidikan rendah tidak bisa mendapatkan pendapatan yang besar. Bhandari dan Deaves (2006) mejelaskan bahwa toleransi investor terhadap resiko juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi pula toleransi terhadap resiko. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan yang tinggi diaggap memiliki pengetahuan yang sangat baik dalam berinvestasi sehingga mampu menganalisis dan memperhitungkan resiko yang dihadapi. Pendapatan Yoo (1994) dalam Cahyadi (2010) berpendapat bahwa investor yang masih bekerja akan berinvestasi pada aset yang cukup beresiko dan cenderung menghindari resiko pada saat mereka pensiun. Selain itu, Barber dan Odean (2001a) dalam penelitiannya menemukan bahwa investor yang memiliki pendapatan lebih tinggi cenderung memiliki 16 portofolio saham yang lebih fluktuatif. Hal ini dikarenakan investor merasa memiliki cadangan modal sehingga toleransi terhadap resiko juga tinggi. Pengalaman Investasi Kinerja seseorang akan semakin baik jika lebih berpengalaman. Nicolosi, Peng dan Zhu (2008) dari hasil penelitiannya yang berjudul “Do Individual Investors Learn From Their Trading Experience?” membuktikan bahwa investor belajar dari pengalaman masa lalu mereka dilihat dari kemampuan peramalan, profitabilitas perdagangan dan intensitas yang semakin meningkat. Hal ini juga sejalan dengan Barber, Lee, Liu dan Odean (2010); Koestner, Meyer dan Hacethal (2012) juga membuktikan bahwa investor belajar dari kesalahan mereka dimana perdagangan dimulai dengan jumlah yang relatif kecil dan meningkat saat mereka mendapatkan pengalaman dari investasi masa lalu. Christanti dan Mahastanti (2011) mengatakan bahwa lamanya investor dalam berinvestasi juga berpengaruh dalam menentukan faktor yang harus dipertimbangkan. Christanti dan Mahastanti (2011) menambahkan investor yang sudah cukup lama berinvestasi sudah mulai mengurangi faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam keputusan investasinya, sebaliknya investor yang masih baru (1-3 tahun) masih mempertimbangkan semua faktor. Untuk online investor, investor dengan return yang 17 sangat baik cenderung mengambil terlalu banyak hutang untuk kesuksesan mereka (Barber dan Odean, 2002). Uchida (2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa investor dengan pengalaman investasi lebih lama memiliki frekuensi yang rendah dalam menggunakan online trading. 2. 5 Preferensi Investor Preferensi investor dapat dilihat berdasarkan preferensi hasil antara dividen atau capital gain, preferensi volatilitas tinggi atau rendah, grafik (chart) analisis untuk informasi investasi dan cara memilih saham (Uchida, 2006). Dalam penelitian ini akan melihat preferensi invesrtor berdasarkan Uchida (2006). Preferensi Hasil (Capital gain versus Dividen) Kamus Lengkap Ekonomi (2003) mengartikan dividen sebagai bagian didistribusikan dari pendapatan kepada pemegang perusahaan saham yang secara proposional, sedang capital gain merupakan keuntungan yang diperoleh dari harga jual yang lebih tinggi daripada harga pembeliannya. Dalam Bird in The Hand Theory, Gordon (1963) dan Lintner (1962) menyatakan bahwa investor lebih suka menerima dividen daripada capital gain karena dividend yield lebih pasti daripada capital gain yield. Sudaryanti menyatakan bahwa (2011) investor dalam lebih disertasinya menyukai juga dividen dibandingkan dengan capital gain dikarenakan investor 18 lebih cenderung menghindari resiko. Disisi lain, online investor lebih mengharapkan capital gain daripada dividen yang mengindikasikan online investor lebih aktif dan spekulatif dalam melakukan transaksi dibandingkan dengan non online investor (Uchida, 2006). Investor yang lebih spekulatif cenderung mendapatkan return yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan investor dengan tujuan lain (Hoffman dan Shefrin, 2011). Volatilitas Menurut Firmansyah (2009) dalam tim studi volatilitas pasar modal Indonesia, volatilitas merupakan pengukuran statistik untuk fluktuasi harga suatu sekuritas atau komoditas selama periode waktu tertentu. Volatilitas pasar terjadi akibat masuknya informasi baru ke dalam pasar, akibatnya para pelaku pasar melakukan penilaian kembali terhadap aset yang mereka perdagangkan (Hugida, 2011). Toleransi resiko investor digambarkan oleh preferensi volatilitas, semakin tinggi tingkat volatilitas, semakin tinggi pula tingkat kepastian dari return saham yang dapat diperoleh (Tim Studi Volatilitas Pasar Modal Indonesia, 2011). Dari hasil penelitian Uchida (2006) terbukti bahwa online investor cenderung dibandingkan dengan mencerminkan bahwa non online lebih risk-taken jika online investor yang investor lebih terhadap resiko daripada non online investor. 19 toleransi Chart Analisis untuk Informasi Investasi Derajat penggunaan pergerakan harga historis (chart) untuk memilih saham merupakan karakter investor yang penting. Dalam penelitian Uchida (2006) online investor di Jepang cenderung lebih sering menggunakan grafik. Hal ini mengindikasikan keinginan investor yang menggunakan online trading untuk mengakses banyak informasi terbaru pada pergerakan harga sekuritas. Gaya investasi ini juga konsisten dengan kecenderungan online investor untuk tidak takut mengambil resiko dan lebih menyukai capital gain. Metode dalam Memilih Saham Egan, Merkle dan Weber (2010) menyatakan bahwa investor cenderung naif, karena menganggap diri mereka objektif dalam menilai pasar saham dan meyakinkan orang lain untuk setuju dengan pandangan mereka atau menahan ekspektasi yang agak bias. Uchida (2006) menemukan bahwa online investor cenderug lebih percaya terhadap pendapat sendiri dalam menilai sebuah saham, berbeda dengan non online investor yang masih lebih sering menggunakan konsultan dalam menilai saham. 20