MODEL SIMULASI TANAMAN JAGUNG (Zea Mays

advertisement
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Jagung merupakan tanaman serealia selain
padi yang perlu mendapat perhatian yang
lebih besar dan serius. Ditinjau dari luas
panen, jagung merupakan tanaman pangan
penting kedua di Indonesia selain padi. Dari
tahun ke tahun, peran jagung semakin
meningkat sejalan dengan pertambahan
penduduk, peningkatan industri pakan, serta
perkembangan
industri
pangan
yang
mengolah jagung menjadi berbagai bentuk
makanan yang menarik konsumen.
Permintaan jagung di dalam negeri terus
meningkat. Pada periode 1991 – 2000
permintaan jagung di Indonesia meningkat
sebesar 6,4 % per tahun sedangkan
peningkatan produksi pada periode yang sama
hanya 5,6 % per tahun. (Pamedon et al. 2006).
Berdasarkan proyeksi yang dilakukan
Swastika et al. (2002) yang dikutip oleh
Susanto dan Wirappa (2005) diketahui bahwa
persedian jagung domestik pada tahun 2010
mengalami defisit sekitar 6 juta ton. Untuk
mengatasi defisit tersebut diperlukan upayaupaya peningkatan produksi jagung nasional.
Sampai saat ini sebagian besar penelitian
mempelajari pengaruh iklim-cuaca terhadap
tanaman secara kualitatif. Kegunaan dari
hubungan cuaca-tanaman akan lebih berarti
dalam perencanaan dan operasional pertanian
apabila pengaruh cuaca dapat dikuantifikasi
(Baharsjah 1991). Model simulasi tanaman
merupakan model mekanistik, yang mengarah
pada penjelasan proses adalah salah satu
alternatif yang menjembatani keterbatasan
pengetahuan, namun berusaha menjabarkan
proses yang terjadi berdasarkan asumsiasumsi tertentu.
Proses pertumbuhan tanaman serta
hubungan antara cuaca dengan tanaman
sebenarnya merupakan sesuatu yang teratur
sedangkan proses produksi tanaman relatif
tetap dari musim ke musim. Dengan asumsi
faktor teknologi budidaya tanaman tetap,
maka variasi hasil dari musim ke musim
disebabkan oleh fluktuasi unsur-unsur cuaca
musiman
maupun
harian.
Dengan
menggunakan model simulasi tanaman yang
telah teruji keabsahannya, pengaruh ini dapat
disimulasi pada komputer dengan waktu yang
singkat. Oleh sebab itu, salah satu keunggulan
penggunaan model simulasi tanaman yaitu
dalam hal penghematan waktu dan biaya,
dibandingkan penelitian agronomis di
lapangan (Handoko 1994).
Model simulasi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman jagung disusun
untuk menjelaskan mekanisme proses
pertumbuhan yang terjadi selama masa
hidup tanaman. Selain hasil akhir (yield),
model ini akan mensimulasikan komponenkomponen proses yang terjadi selama masa
pertumbuhan tanaman, seperti neraca air
(kadar air tanah, drainase, evapotranspirasi),
pertumbuhan tanaman (berat akar, batang,
daun, tongkol) serta periode perkembangan
(seperti periode waktu pembungaan).
Umumnya hasil-hasil penelitian yang telah
dilakukan tidak mencakup data-data tersebut
secara keseluruhan.
1.2. Tujuan
Membangun suatu model simulasi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman
jagung (zea mays L.) yang dapat menjelaskan
mekanisme proses yang terjadi selama periode
pertumbuhan serta mampu mensimulasikan
komponen-komponen proses yang terjadi
selama masa pertumbuhan tanaman, seperti
komponen neraca air (kadar air tanah, dan
evapotranspirasi), pertumbuhan tanaman
(berat batang, daun, akar tongkol) serta
periode perkembangan (seperti waktu
pembungaan).
1.3. Asumsi
Model hanya dipengaruhi oleh unsur-unsur
cuaca khususnya curah hujan, radiasi surya,
suhu dan kelembaban udara, serta kecepatan
angin. Sifat fisik tanah yang berpengaruh
hanya titik layu permanen dan kapasitas
lapang serta parameter penguapan tanah.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pertumbuhan dan Perkembangan
Tanaman Jagung
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman
merupakan proses yang saling berhubungan
dan berlangsung secara terus menerus
sepanjang daur hidup tanaman, bergantung
pada
ketersediaan
hasil
asimilasi.
Pertumbuhan dapat didefenisikan sebagai
penambahan massa atau dimensi satu organ
tumbuhan atau keseluruhan organ tumbuhan
dalam interval waktu suatu fase tertentu atau
dalam keseluruhan siklus hidup tanaman. Di
lain pihak, perkembangan diartikan sebagai
kemunculan suatu fase atau beberapa fase
secara berurutan dalam keseluruhan hidup
tanaman.
Hasil asimilasi yang dibutuhkan tanaman
untuk hidup diperoleh dari hasil netto
1
karbohidrat yang merupakan selisih dari laju
perolehan massa bruto dan kehilangan massa.
Dalam periode waktu tertentu, laju perubahan
bobot tanaman netto tanaman dapat ditulis
(Charles-Edward, et al. 1986) :
∆W/∆t = laju perolehan massa bruto – laju
kehilangan massa
Laju perolehan massa pada tanaman ini
tergantung pada jumlah energi cahaya yang
mampu diintersepsi oleh tajuk tanaman (Qint)
dan efisiensi penggunaannya dalam proses
fotosintesis (ε). Sedangkan laju kehilangan
massa utama pada tanaman berasal dari
respirasi. Sebagian energi hasil fotosintesis
bruto hilang melalui dua cara, yaitu (1)
digunakan untuk pemeliharaan kompleks
kehidupan dalam organ tanaman agar prosesproses biokimia dan fisologi dapat berjalan
sempurna dan (2) sintesis dan pembentukan
jaringan baru dalam organ tanaman. Kedua
bentuk respirasi ini disebut respirasi
pertumbuhan (Rg) dan respirasi pemeliharaan
(Rm) (Kropff & Laar 1993).
2.2. Fotosintesis
Fotosintes dapat didefenisikan sebagai
proses pemanenan energi radiasi surya oleh
jaringan tanaman. Tanaman menggunakan
khlorofil untuk menangkap, menyerap dan
mengubah energi radiasi surya menjadi energi
kimia. Dalam proses ini CO2 dari atmosfer
dan H2O dari perakaran diubah menjadi
glukosa, suatu karbohidrat sederhana C6H12O6
dan O2 dilepas ke atmosfer.
6H 2 O + 6CO 2 + e.Par → C 6 H 12 O 6 + 6 H 2 0
Pancaran radiasi surya yang sampai kebumi
terkonsentrasi pada panjang gelombang 300
– 3000 nm atau sering disebut radiasi
gelombang pendek. Tidak seluruh rentang
panjang gelombang tersebut cocok dalam
proses fotosintesis. Daun sebagai medium
fotosintesis
memerlukan radiasi dengan
kisaran panjang gelombang 390 – 760 nm
sebagi pembangkit proses fotosintesis
(Gardner et al. 1991) atau biasa disebut
dengan istilah Photosynthetically Active
Radiation (PAR).
Penerimaan radiasi surya oleh daun tidak
terdistribusi merata, semakin jauh dari
puncak tajuk masuk ke bagian bawah,
penerimaan radiasi semakin berkurang.
Dengan asumsi secara horizontal tajuk
tanaman memiliki tajuk seragam pada setiap
lapisan horizontal tajuk dan hanya berubah
ketinggian didalam tajuk, maka radiasi surya
yang diterima akan berkurang secara
eksponensial mengikuti
(Chang, 1974) :
Qint = Qo(1 − e − k.ILD )
Hukum
Beer
dengan :
Qint = radiasi surya yang diintersepsi tajuk
Qo = radiasi surya di puncak tajuk
k = koefesien pemadaman
ILD = indeks luas daun
Karbondioksida (CO2) merupakan salah
satu bahan baku dalam proses fotosintesis.
Keseimbangan antara pengambilan CO2
(fotosintesis) dan pengeluran CO2 (respirasi)
dipercaya oleh para ahli merupakan hasil berat
kering tumbuhan (Gardner et al. 1991).
Secara umum ada dua lintasan fiksasi CO2
fotosintetik, yaitu lintasan C3 dan C4. Pada
kondisi jenuh cahaya laju fotosintesis pada
tanaman C4 lebih tinggi dari tanaman C3.
Perbedaan ini mengakibatkan efisiensi
fotosintesis tanaman C4 yang lebih tinggi dari
tanaman C3 (Charles-Edward, et al. 1986).
Suhu merupakan salah satu unsur cuaca
selain radiasi surya yang mempengaruhi
pertumbuhan tanaman khususnya pada proses
biokimia (Fitter & Hay 1991). Fotosintesis
harus dipisahkan menjadi bagian-bagian
penyusunnya untuk menetapkan pengaruhnya
terhadap suhu. Umumnya peningkatan suhu
akan meningkatkan aktivitas enzim dalam
proses fiksasi CO2, laju kenaikan fotosintesis
makin tinggi sejalan peningkatan suhu hingga
mencapai temperatur yang menyebabkan
enzim mengalami denaturasi (Gardner et.al.
1991). Penelitan pada sel chloerella yang
dilakukan Hall dan Rao (1977) menunjukkan
bahwa pada intensitas cahaya rendah laju
fotosintesis tidak dipengaruhi oleh suhu, tetapi
seiring dengan peningkatan intensitas cahaya
laju fotosintesis bertambah sampai akhirnya
tetap ketika intensitas cahaya mencapai titik
jenuhnya.
2.3. Evapotranspirasi
Evapotranspirasi (ET) adalah kombinasi
dua proses kehilangan air melalui jalur yang
berbeda, yaitu melalui permukaan tanah
(evaporasi) dan tanaman (transpirasi).
Meskipun evaporasi dan transpirasi terjadi
melalui jalur yang berbeda, namun keduanya
sangat sulit dibedakan dan terjadi secara
simultan (Allen et al. 1998).
Kehilangan air ke atmosfer ditentukan
oleh faktor cuaca (atmospheric demand),
tanaman dan tanah, serta kondisi dan
pengelolaan lingkungan (Allen et al. 1998).
Faktor Cuaca. Penguapan memerlukan
energi, yang terutama berasal dari energi
2
radiasi surya dan pada taraf tertentu energi
dapat berasal dari suhu udara lingkungan.
Energi atau bahang (heat) untuk penguapan
dinamakan bahang laten untuk penguapan
(latent heat of vaporization, λ). Nilai λ
tergantung pada suhu air. Pada suhu 20oC, λ =
2,45 MJ kg-1. Artinya pada suhu air 20oC,
dibutuhkan energi sebanyak 2,45 MJ untuk
menguapkan 1 kg air. Defisit tekanan uap air
merupakan gaya pendorong (driving force)
untuk pemindahan uap air dari permukaan
penguap ke atmosfer (Allen et al. 1998), yang
prosesnya lebih dominan terjadi secara
vertikal. Udara disekitar bidang penguap akan
mengandung lebih banyak uap air (lembab).
Oleh angin, massa udara lembab tersebut akan
dipindahkan (yang prosesnya lebih dominan
terjadi secara horizontal) ketempat lain. Angin
juga membawa udara yang lebih kering dari
tempat lain untuk menggantikan udara lembab
yang sudah dipindahkan. Sehingga, unsur
cuaca
utama
yang
mempengaruhi
evapotranspirasi adalah radiasi matahari,
kelembaban udara, dan kecepatan angin
(Allen et al. 1998).
Faktor tanaman dan tanah. Pemilahan
ET menjadi E (evaporasi) dan T (transpirasi)
sebagian besar ditentukan oleh kondisi
vegetasi dan tanah (sifat fisik dan kebasahan).
Dengan keberadaan vegetasi, radiasi netto
(Qn) dapat dibagi menjadi : Qn yang diserap
tanaman berperan dalam proses transpirasi,
sedang Qn yang sampai ke permukaan tanah
akan menentukan proses evaporasi. Apabila
bidang penguap adalah lahan bertanaman,
maka tingkat naungan oleh kanopi tanaman
dan ketersediaan air tanah adalah beberapa
faktor yang akan berpengaruh terhadap proses
evaporasi. Kadar air tanah di zona perakaran
tanaman dan karakteristik tanaman serta tipe
budidaya merupakan beberapa faktor yang
mempengaruhi proses transpirasi.
Kondisi lingkungan dan pengelolaan.
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman
yang terganggu akan mengurangi laju
evapotranspirasi. Kondisi lingkungan yang
dapat
mengganggu
pertumbuhan
dan
perkembangan tanaman misalnya kesuburan
tanah yang rendah dan serangan organisme
pengganggu tanaman. Pengelolaan budidaya
tanaman seperti pengaturan populasi tanaman
dan pemberian mulsa dapat memodifikasi
lingkungan
tumbuh
tanaman
yang
mempengaruhi kesetimbangan energi dan
pembagian Qn untuk transpirasi dan
evaporasi. Setiap keadaan permukaan yang
berbeda dari keadaan permukaan standar
memerlukan
faktor
koreksi
untuk
menyesuaikan nilai evapotranspirasi yang
digunakan untuk perencanaan pengairan
(ETc) (Allen et al. 1998).
2.4. Deskripsi Jagung
Jagung atau zea mays L. merupakan
tanaman semusim yang berasal dari famili
poaceae. Satu siklus hidupnya diselesaikan
dalam 80-150 hari, namun terkadang dapat
lebih cepat atau lebih pendek tergantung lama
penyinaran dan suhu (Pursegloves 1975).
Umur jagung yang ditanam Bunting (1977)
dalam Fisher dan Palmer (1983) dapat
mencapai 184 hari. Paruh pertama dari siklus
merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan
paruh kedua untuk tahap pertumbuhan
generatif. Berdasarkan tingkat taksonominya
maka jagung dapat duraikan sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Subkelas
: Commelinidae
Subkingdom : Tracheobionta
Ordo
: Cyperales
Superdivisio : Spermatophyta
Famili
: Poaceae
Divisio
: Magnoliophyta
Genus
: Zea L.
Kelas
: Liliopsida
Spesies
: Zea mays L.
Akar jagung tergolong akar serabut yang
dapat mencapai kedalaman 8 m meskipun
sebagian besar berada pada kisaran 2 m. Pada
tanaman yang sudah cukup dewasa muncul
akar adventif dari buku-buku batang bagian
bawah yang membantu menyangga tanaman
tegak. Batangnya padat dan tingginya
bervariasi dari 1 - 6 meter, tetapi umumnya 2
– 3 meter. Diameter batangnya 3 - 4 meter
yang memiliki ruas (Pursegloves 1975).
Batang jagung tegak dan mudah terlihat,
sebagaimana sorgum dan tebu, namun tidak
seperti padi atau gandum. Terdapat mutan
yang batangnya tidak tumbuh pesat sehingga
tanaman berbentuk roset. Batang beruas-ruas.
Ruas terbungkus pelepah daun yang muncul
dari buku. Batang jagung cukup kokoh namun
tidak banyak mengandung lignin.
Dilihat dari strukutur bunganya, jagung
memiliki bunga jantan dan bunga betina yang
terpisah dalam satu tanaman (monoecious).
Bunga jantan tumbuh di bagian puncak yang
berupa karangan bunga (inflorescene) dan
bunga betina tersusun dalam tongkol (ears).
Bagian tongkol ini merupakan hasil ekonomi
(economic yield /grain) dari tanaman jagung
(Fisher & Palmer 1983). Daunnya tumbuh
pada selang-seling di pinggiran batang, sekitar
8 – 21 helai (Pursegloves 1975). Permukaan
daun ada yang licin dan ada yang berambut.
3
Stomata pada daun jagung berbentuk halter,
yang khas dimiliki familia poaceae. Setiap
stomata
dikelilingi
sel-sel
epidermis
berbentuk kipas. Struktur ini berperan penting
dalam respon tanaman menanggapi defisit air
pada sel-sel daun.
2.5. Hubungan Iklim dan Pertumbuhan
Tanaman Jagung
Jagung merupakan tanaman yang dapat
beradaptasi baik dengan lingkungannya.
Tanaman ini dapat dijumpai mulai dari lintang
550N sampai 400S dan mulai atas permukaan
laut sampai ketinggian 4000 meter
(Goldsworthy 1974 dalam Fisher & Palmer
1983). Suhu minimum untuk pertumbuhan
jagung sekitar 8 - 100 C sedangkan suhu
maksimum yang dapat ditoleransi mencapai
400C. Untuk pertumbuhan optimal, jagung
membutuhkan suhu rata-rata 24 0C selama
periode pertumbuhan (Leng & Aldrich 1972,
Martin et al. 1976, Muhadjir et al. 1977 dalam
Muhadjir 1988).
Kebutuhan air terbanyak dibutuhkan pada
fase pembungaan dan pengisian biji. Dalam
hal ini distribusi curah hujan lebih penting
daripada total curah hujan. Menurut penelitian
diketahui bahwa penurunan hasil akibat
kekeringan mencapai 15 % (Muhadjir 1988).
Untuk mengatasi kekeringan disarankan untuk
menanam jagung pada awal musim hujan atau
menjelang
musim
kemarau
(www.warintek.ristek.go.id). Curah hujan 85
– 100 mm per bulan sudah mencukupi
kebutuhan air tanaman jagung (Muhadjir
1984, Oldeman 1977 dalam Muhadjir 1988)
bila terlalu tinggi intensitas hujan maka hasil
yang diperoleh tidak optimum. Hal ini
disebabkan oleh leaching yang dapat
memiskinkan tanah melalui degradasi
struktur, erosi, dan pencucian nitrogen dan
unsur hara lainnya (Moentono 1993).
Jagung merupakan jenis tanaman yang
memiliki lintasan fotosintesis C4 (Hatch &
Slack 1970 dalam Fisher & Palmer 1983),
lintasan ini berbeda dengan dua tanaman
serealia utama, yaitu gandum dan padi yang
memiliki lintasan C3 (Fisher & Palmer 1983).
Telah diketahui bahwa lintasan fotosintesis C4
mempuyai laju fotosintesis dan titik jenuh
cahaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan
tanaman C3, serta titik kompensasi CO2 yang
lebih rendah dari tanaman C3. (Hesketh &
Musgrave 1962, Hesketh 1963, Hesketh &
Moss 1963 dalam Fisher & Palmer 1983). Hal
ini sangat menguntungkan bagi kegiatan
budidaya yang dilakukan di daerah tropis
yang mempunyai suhu yang optimum bagi
proses fotosintesis (Evans 1975 dalam Fisher
& Palmer 1983), hal ini juga didukung dari
data produksi jagung yang tinggi
Hesketh dan Moss (1962) dalam
Moentono (1993) mengemukakan bahwa daun
jagung dapat mengalami jenuh atau kenyang
cahaya pada konsentrasi CO2 yang rendah
kira-kira 40 ppm. Tingkat fotosintesis pada
konsentrasi CO2 500 ppm dapat mencapai 1,4
kali lipat fotosintesisnya pada konsentrasi CO2
320 ppm bila intensitas cahaya 1,0 ly/menit.
Jika faktor-faktor lain tidak merupakan faktor
pembatas, maka intensitas cahaya merupakan
faktor utama yang menentukan kecepatan
tumbuh tanaman jagung (Moss et al. 1961,
Early et al. 1967, Wiliams et al. 1968, Duncan
et al. 1973 dalam Moetono 1993)
ILD merupakan nisbah luas daun per
satuan luas tanah. ILD merupakan salah satu
indikator yang dapat digunakan dalam
menganalisis pertumbuhan tanaman. Dari
hasil penelitian, ILD 3,0 dapat menyerap 95 %
radiasi surya, namun bila lebih besar dari 5,0
maka penyerapan radiasi akan menurun
karena daun saling menutupi (Wereing &
Cooper 1971 dalam Muhadjir 1988).
2.6. Sistem dan Model
Sistem adalah gambaran suatu proses atau
beberapa proses yang teratur. Keteraturan ini
mampu menjelaskan interaksi dari komponenkomponen yang ada didalamnya. Sedangkan
model
dapat
didefenisikan
sebagai
penyederhanaan suatu sistem, sehingga tidak
harus menjelaskan semua proses yang terjadi
dalam suatu sistem secara lengkap. Makin
banyak proses yang mampu dijelaskan maka
makin rumit model tersebut. Oleh karena itu
dalam penyusunan model, tujuan penyusunan
model merupakan faktor utama yang harus
diperhatikan (Handoko 1994).
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium
Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan
Meteorologi, FMIPA IPB, Bogor untuk
menyusun tiga buah submodel, yaitu
perkembangan
tanaman,
pertumbuhan
tanaman, dan neraca air.
3.2. Bahan dan Alat
Personal computer (PC) yang dilengkapi
software Visual Basic 6.0. Sebagai data
masukan dalam analisis digunakan data iklim
harian dari stasiun stasiun Meteorologi
4
Download