BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan dan Fungsi Utama Lahan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lahan dan Fungsi Utama Lahan
Definisi lahan memiliki keterkaitan dengan tanah. Menurut Utomo, et al
(1992), lahan memiliki ciri-ciri yang unik dibandingkan sumberdaya lainnya, yakni
lahan merupakan sumberdaya yang tidak habis, namun jumlahnya tetap dan dengan
lokasi yang tidak dapat dipindahkan. Jayadinata (1999) memaparkan bahwa tanah
berarti bumi (earth), sedangkan lahan merupakan tanah yang sudah ada
peruntukannya dan umumnya ada pemiliknya, baik perseorangan atau lembaga.
Lahan sebagai modal alami utama yang melandasi kegiatan kehidupan menurut
Utomo, et al (1992), memiliki dua fungsi dasar, yaitu:
1. Fungsi kegiatan budidaya, yang memiliki makna suatu kawasan yang
dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, seperti pemukiman, baik
sebagai kawasan perkotaan maupun pedesaan, perkebunan, hutan produksi
dan lain-lain.
2. Fungsi lindung, bermakna bahwa kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utamanya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang ada, yang
mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan nilai sejarah serta
budaya bangsa yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya.
Universitas Sumatera Utara
2.1.1. Penggunaan Lahan (Land Use)
Karakteristik lahan sebagai sumberdaya yang jumlahnya tetap dengan
lokasinya yang tidak dapat dipindahkan, membutuhkan suatu perencanaan yang
berkaitan dengan pola pemanfaatan lahan guna memenuhi kebutuhan manusia yang
beragam. Berbagai macam bentuk intervensi manusia terhadap lahan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dapat dikatakan land use atau penggunaan lahan atau
tata guna lahan.
Menurut Jayadinata (1999), tata guna lahan meliputi dua unsur, yaitu:
1. Tata guna lahan yang berarti penataan atau pengaturan penggunaan (merujuk
kepada sumberdaya manusia).
2. Lahan (merupakan sumberdaya alam), yang berarti ruang (permukaan lahan
serta lapisan batuan di bawahnya dan lapisan di atasnya), serta memerlukan
dukungan berbagai unsur alam lain seperti air, iklim, hewan, vegetasi,
mineral, dan sebagainya.
Pertimbangan mengenai kepentingan atas lahan di berbagai wilayah mungkin
berbeda tergantung kepada struktur sosial penduduk dan kebijakan yang dijalankan
oleh pemerintah dalam mengembangkan wilayah. Aturan-aturan dalam penggunaan
lahan dijalankan berdasarkan pada beberapa kategori antara lain kepuasan,
kecenderungan untuk kegiatan dalam tata guna lahan, kesadaran akan tata guna lahan,
kebutuhan orientasi dan pemanfaatan atau pengaturan estetika (Munir, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Sehubungan dengan hal tersebut, Chapin (1995) seperti yang dikutip oleh Jayadinata
(1999) menggolongkan lahan dalam tiga kategori, yaitu:
1. Nilai keuntungan, yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang
dapat dicapai dengan jual-beli lahan di pasaran bebas.
2. Nilai kepentingan umum, yang dihubungkan dengan pengaturan untuk
masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat.
3. Nilai sosial, yang merupakan hal mendasar bagi kehidupan dan dinyatakan
oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi,
kepercayaan dan sebagainya.
2.1.2. Konversi Lahan
Utomo, et al (1992) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut
sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan
dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang
membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan tersebut.
Alih fungsi lahan dalam artian perubahan atau penyesuaian peruntukan penggunaan,
disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk
memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya
tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Sihaloho (2004) menjelaskan bahwa konversi lahan adalah alih fungsi lahan
khususnya dari lahan pertanian ke penggunaan non pertanian atau dari lahan non
pertanian ke lahan pertanian. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di
Universitas Sumatera Utara
Kelurahan Mulyaharja, Sihaloho (2004) memaparkan bahwa konversi lahan
dipengaruhi dua faktor utama, yakni:
i.
Faktor pada makro yang meliputi pertumbuhan industri, pertumbuhan
pemukiman,
pertumbuhan
penduduk,
intervensi
pemerintah,
dan
‘marginalisasi’ ekonomi atau kemiskinan ekonomi.
ii.
Faktor pada mikro yang meliputi pola nafkah rumah tangga (struktur
ekonomi rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai
ekonomi rumah tangga) dan strategi bertahan hidup rumah tangga
(tindakan ekonomi rumah tangga).
2.1.3. Faktor Penyebab Konversi Lahan
Konversi lahan pada umumnya dipengaruhi oleh transformasi struktur
ekonomi yang semula bertumpu pada sektor pertanian ke sektor ekonomi yang lebih
bersifat industrial, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang. Proses
transformasi ekonomi tersebut selanjutnya mendorong terjadinya migrasi penduduk
ke daerah-daerah pusat kegiatan bisnis sehingga lahan pertanian yang lokasinya
mendekati pusat kegiatan bisnis dikonversi untuk pembangunan perumahan. Secara
umum, pergeseran atau transformasi struktur ekonomi merupakan ciri dari suatu
daerah atau negara yang sedang berkembang. Berdasarkan hal tersebut maka konversi
lahan pertanian dapat dikatakan sebagai suatu fenomena pembangunan yang pasti
terjadi selama proses pembangunan masih berlangsung. Begitu pula selama jumlah
penduduk terus mengalami peningkatan dan tekanan penduduk terhadap lahan terus
meningkat maka konversi lahan sangat sulit dihindari (Kustiawan, 1997).
Universitas Sumatera Utara
Konversi lahan erat kaitannya dengan kepadatan penduduk yang semakin
meningkat. Rusli (1995) mengungkapkan bahwa dengan meningkatnya jumlah
penduduk, rasio antara manusia dan lahan menjadi semakin besar, sekalipun
pemanfaatan setiap jengkal lahan sangat dipengaruhi taraf perkembangan kebudayaan
suatu masyarakat. Pertumbuhan penduduk menyebabkan makin mengecilnya
persediaan lahan rata-rata per orang.
2.1.4. Dampak Konversi Lahan
Konversi lahan yang terjadi mengubah status kepemilikan lahan dan
penguasaan lahan. Perubahan dalam penguasaan lahan di pedesaan membawa
implikasi bagi perubahan pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat yang menjadi
indikator kesejahteraan masyarakat desa (Furi, 2007). Terbatasnya akses untuk
menguasai lahan menyebabkan terbatas pula akses masyarakat atas manfaat lahan
yang menjadi modal utama mata pencaharian sehingga terjadi pergesaran kesempatan
kerja ke sektor non pertanian (sektor informal).
Menurut Munir (2008), dampak konversi lahan pertanian menjadi penambangan
pasir dan batu di Desa Candimulyo, Wonosobo dapat dilihat pada berbagai kehidupan
masyarakat. Antara lain dampak positif dan negatif. Dampak positif yang dirasakan
oleh masyarakat adalah meningkatnya kesejahteraan rumah tangga petani, tingkat
keamanan yang meningkat, serta berkurangnya tingkat pengangguran karena
banyaknya masyarakat yang pada awalnya mengganggur ikut bekerja menjadi buruh
penambangan pasir dan batu. Sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan adalah
perubahan sikap sebagian masyarakat yang selalu ingin mengambil bagian
Universitas Sumatera Utara
keuntungan dari orang lain dan dampak lingkungan yang menyebabkan lahan
pertanian menjadi rusak .
2.2.
Produktifitas Lahan
Produktifitas lahan sawah menentukan pendapatan petani dari usahataninya.
Semakin rendah produktifitas lahan sawah, maka produk yang dihasilkan oleh lahan
sawah tersebut semakin rendah dan selanjutnya pendapatan yang diterima oleh petani
akan semakin rendah.
Rendahnya pendapatan petani yang diakibatkan oleh rendahnya produktifitas
lahan sawah akan menyebabkan petani memutuskan untuk mengkonversi lahan
sawahnya dan beralih ke sektor non pertanian. Hal ini dikarenakan pekerjaan di
sektor non pertanian dipandang dapat menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi
daripada pendapatan yang diperoleh dari hasil lahan sawah yang mempunyai
produktifitas rendah (Utama, 2006).
2.2.1 Lahan Pemukiman (Land Rent)
Teori sewa lahan model klasik dikembangkan oleh David Ricardo dan Von
Thunen. David Ricardo memberikan konsep sewa atas dasar perbedaan dalam hal
kesuburan lahan, terutama lahan pertanian. Analisis yang dikemukakan oleh David
Ricardo berdasarkan asumsi bahwa pada daerah pemukiman baru terdapat
sumberdaya lahan yang subur dan berlimpah. David Ricardo mengemukakan bahwa
hanya lahan yang subur yang digunakan untuk bercocok tanam dan tidak ada
pembayaran sewa sehubungan dengan penggunaan lahan tersebut. Sewa lahan akan
Universitas Sumatera Utara
muncul hanya apabila penduduk bertambah yang menyebabkan permintaan terhadap
lahan meningkat dan terjadi penggunaan lahan kurang subur oleh masyarakat.
Teori yang dikemukakan oleh Von Thunen menentukan nilai sewa lahan
berdasarkan faktor lokasi. Analisis Von Thunen berdasarkan tanaman yang dihasilkan
oleh daerah-daerah subur dekat pusat pasar dan dikemukakan bahwa sewa lahan lebih
tinggi dari daerah-daerah yang lebih jauh dari pusat pasar. Menurut Von Thunen sewa
lahan berkaitan dengan perlunya biaya transportasi dari daerah yang jauh ke pusat
pasar (Suparmoko, 1997).
Nilai ekonomi lahan menurut Barlowe (1978) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Sewa lahan (contract rent) sebagai pembayaran aktual dari penyewa kepada
pemilik dimana pemilik melakukan kontrak sewa dalam jangka waktu
tertentu.
2. Keuntungan usaha (economic rent atau land rent) merupakan surplus
pendapatan di atas biaya produksi atau harga input lahan yang memungkinkan
faktor produksi lahan dapat dimanfaatkan dalam proses produksi.
2.3.
Pengertian Pertumbuhan Ekonomi
Secara umum, pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan kemampuan dari
suatu perekonomian dalam memproduksi barang
maupun jasa. Pertumbuhan
ekonomi adalah salah satu indikator yang amat penting dalam melakukan analisis
tentang perkembangan ekonomi yang terjadi pada suatu negara. Pertumbuhan
ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekomian akan menghasilkan
tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu. Karena pada dasarnya
Universitas Sumatera Utara
aktivitas perekonomian adalah suatu proses penggunaan faktor-faktor produksi untuk
menghasilkan output, maka proses ini pada gilirannya akan menghasilkan suatu aliran
balas jasa terhadap faktor produksi yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan adanya
pertumbuhan ekonomi maka diharapkan pendapatan masyarakat sebagai pemilik
faktor produksi juga akan meningkat.
Dengan perkataan lain bahwa pertumbuhan ekonomi lebih menunjuk kepada
perubahan yang bersifat kuantitatif (quantitative change) dan biasanya diukur dengan
menggunakan data Produk Domestik Bruto (PDB) atau pendapatan atau nilai akhir
pasar (total market value) dari barang akhir dan jasa (final goods and services) yang
dihasilkan dari suatu perekonomian selama kurun waktu tertentu.
Perlu diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi berbeda dengan pembangunan
ekonomi, kedua istilah ini mempunyai arti yang sedikit berbeda. Kedua-duanya
memang menerangkan mengenai perkembangan ekonomi yang berlaku. Tetapi
biasanya, istilah ini digunakan dalam konteks yang berbeda. Pertumbuhan selalu
digunakan
sebagai
suatu
ungkapan
umum
yang
menggambarkan
tingkat
perkembangan sesuatu negara, yang diukur melalui persentasi pertambahan
pendapatan nasional riil.
Istilah pembangunan ekonomi biasanya dikaitkan dengan perkembangan
ekonomi di negara-negara berkembang. Dengan kata lain, dalam mengartikan istilah
pembangunan ekonomi, ahli ekonomi bukan saja tertarik kepada masalah
perkembangan pendapatan nasional riil, tetapi juga kepada modernisasi kegiatan
ekonomi, misalnya kepada usaha merombak sektor pertanian yang tradisional,
Universitas Sumatera Utara
masalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan masalah perataan pembagian
pendapatan (Sukirno, 2006:423).
2.3.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi
Teori-teori pertumbuhan ekonomi yang berkembang antara lain: (Sadono
Sukirno, 2006:243-270).
2.3.2 Teori Pertumbuhan Klasik
Teori ini dipelopori oleh Adam Smith, David Ricardo, Malthus, dan John
Stuart Mill. Menurut teori ini pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh empat faktor,
yaitu jumlah penduduk, jumlah barang modal, luas tanah dan kekayaan alam serta
teknologi yang digunakan. Mereka lebih menaruh perhatiannya pada pengaruh
pertambahan penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi. Mereka asumsikan luas
tanah dan kekayaan alam serta teknologi tidak mengalami perubahan. Teori yang
menjelaskan keterkaitan antara pendapatan perkapita dengan jumlah penduduk
disebut dengan teori penduduk optimal.
Menurut teori ini, pada mulanya pertambahan penduduk akan menyebabkan
kenaikan pendapatan perkapita. Namun jika jumlah penduduk terus bertambah maka
hukum hasil lebih yang semakin berkurang akan mempengaruhi fungsi produksi yaitu
produksi marginal akan mengalami penurunan, dan akan mengarahkan pada keadaan
pendapatan perkapita sama dengan produksi marginal.
Pada keadaan ini pendapatan perkapita mencapai nilai yang maksimal. Jumlah
penduduk pada waktu itu dinamakan penduduk optimal. Apabila jumlah penduduk
Universitas Sumatera Utara
terus meningkat melebihi titik optimal maka pertumbuhan penduduk berbanding
terbalik terhadap nilai pertumbuhan ekonomi.
2.3.3 Teori Pertumbuhan Harrod-Domar
Teori ini dikembangkan hampir pada waktu yang bersamaan oleh Roy F.
Harrod (1984) di Inggris dan Evsey D. Domar (1957) di Amerika Serikat. Mereka
menggunakan proses perhitungan yang berbeda tetapi memberikan hasil yang sama,
sehingga keduanya dianggap mengemukakan ide yang sama dan disebut teori HarrodDomar. Teori ini melengkapi teori Keynes, dimana Keynes melihatnya dalam jangka
pendek (kondisi statis), sedangkan Harrod-Domar melihatnya dalam jangka panjang
(kondisi dinamis). Teori Harrod-Domar didasarkan pada asumsi :
a. Perkonomian bersifat tertutup.
b. Hasrat menabung (MPS = s) adalah konstan.
c. Proses produksi memiliki koefisien yang tetap (constant return to scale).
d. Tingkat pertumbuhan angkatan kerja adalah konstan dan sama dengan tingkat
pertumbuhan penduduk.
Model ini menerangkan dengan asumsi supaya perekonomian dapat mencapai
pertumbuhan yang kuat (steady growth) dalam jangka panjang. Asumsi yang
dimaksud di sini adalah kondisi dimana barang modal telah mencapai kapasitas
penuh, tabungan memiliki proposional yang ideal dengan tingkat pendapatan
nasional, rasio antara modal dengan produksi (Capital Output Ratio/COR) tetap dan
perekonomian terdiri dari dua sektor (Y = C + I).
Universitas Sumatera Utara
Atas dasar asumsi-asumsi khusus tersebut, Harrod- Domar membuat analisis
dan menyimpulkan bahwa pertumbuhan jangka panjang yang mantap (seluruh
kenaikan produksi baik barang maupun jasa dapat diserap oleh pasar) hanya bisa
tercapai apabila terpenuhi syarat-syarat keseimbangan sebagai berikut:
g=K=n
Dimana :
g
=
Growth (tingkat pertumbuhan output)
K =
Capital (tingkat pertumbuhan modal)
n
Tingkat pertumbuhan angkatan kerja
=
Harrod - Domar
campur
mendasarkan teorinya berdasarkan mekanisme pasar
tanpa
tangan pemerintah. Akan tetapi kesimpulannya menunjukkan bahwa
pemerintah perlu merencanakan besarnya investasi agar terdapat keseimbangan
dalam sisi penawaran dan permintaan barang.
2.3.4 Teori Pertumbuhan Neo-klasik
Teori pertumbuhan neo-klasik dikembangkan oleh Robert M. Solow (1970)
dan T.W. Swan (1956). Unsur-unsur yang digunakan dalam metode Sollow-Swan
adalah pertumbuhan penduduk, akumulasi kapital, kemajuan teknologi, dan besarnya
output yang saling berinteraksi.
Perbedaan utama dengan model Harrod-Domar adalah dimasukkannya unsur
kemajuan teknologi dalam rumusannya. Selain itu, Solow-Swan menggunakan model
fungsi produksi yang memungkinkan adanya substitusi antara kapital (K) dan tenaga
kerja (L). Dengan demikian, syarat-syarat adanya pertumbuhan ekonomi yang baik
Universitas Sumatera Utara
dalam model Solow-Swan kurang restriktif disebabkan kemungkinan substitusi antara
tenaga kerja dan modal. Hal ini berarti ada fleksibilitas dalam rasio modal-output dan
rasio modal-tenaga kerja.
Teori Solow-Swan melihat bahwa dalam banyak hal mekanisme pasar dapat
menciptakan keseimbangan, sehingga pemerintah tidak perlu terlalu banyak
mencampuri atau mempengaruhi pasar. Campur tangan pemerintah hanya sebatas
kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Tingkat pertumbuhan berasal dari tiga
sumber yaitu, akumulasi modal, bertambahnya penawaran tenaga kerja, dan
peningkatan teknologi. Teknologi ini terlihat dari peningkatan skill atau kemajuan
teknik, sehingga produktivitas capital meningkat. Dalam model tersebut, masalah
teknologi dianggap sebagai fungsi dari waktu.
Teori neo-klasik sebagai penerus dari teori klasik menganjurkan agar kondisi
selalu diarahkan untuk menuju pasar sempurna. Dalam keadaan pasar sempurna,
perekonomian bisa tumbuh maksimal. Sama seperti dalam ekonomi model klasik,
kebijakan yang perlu ditempuh adalah meniadakan hambatan dalam perdagangan,
termasuk perpindahan orang, barang, dan modal. Harus dijamin kelancaran arus
barang, modal, dan tenaga kerja, dan perlunya penyebarluasan informasi pasar. Harus
diusahakan terciptanya prasarana perhubungan yang baik dan terjaminnya keamanan,
ketertiban, dan stabilitas politik. Analisis lanjutan dari paham neoklasik menunjukkan
bahwa untuk terciptanya suatu pertumbuhan yang mantap (steady growth ),
diperlukan suatu tingkat tabungan yang tinggi dan seluruh keuntungan pengusaha
diinvestasikan kembali.
Universitas Sumatera Utara
2.3.5 Teori Schumpeter
Teori ini menekankan pada inovasi yang dilakukan oleh para pengusaha dan
mengatakan bahwa kemajuan teknologi sangat ditentukan oleh jiwa usaha
(enterpreneurship) dalam masyarakat yang mampu melihat peluang dan berani
mengambil risiko membuka usaha baru, maupun memperluas usaha yang telah ada.
Dengan pembukaan usaha baru dan perluasan usaha, tersedia lapangan kerja
tambahan untuk menyerap angkatan kerja yang bertambah setiap tahunnya.
Didorong oleh adanya keinginan untuk memperoleh keuntungan dari inovasi
tersebut, maka para pengusaha akan meminjam modal dan mengadakan investasi.
Investasi ini akan mempertinggi kegiatan ekonomi suatu negara. Kenaikan tersebut
selanjutnya juga akan mendorong pengusaha-pengusaha lain untuk menghasilkan
lebih banyak lagi sehingga produksi agregat akan bertambah.
Selanjutnya Schumpeter menyatakan bahwa jika tingkat kemajuan suatu
perekonomian semakin tinggi maka keinginan untuk melakukan inovasi semakin
berkurang, hal ini disebabkan oleh karena masyarakat telah merasa mencukupi
kebutuhannya. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi akan semakin lambat
jalannya dan pada akhirnya tercapai tingkat keadaan tidak berkembang (stationary
state). Namun keadaan tidak berkembang yang dimaksud di sini berbeda dengan
pandangan klasik. Dalam pandangan Schumpeter keadaan tidak berkembang itu
dicapai pada tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi. Sedangkan dalam pandangan
Universitas Sumatera Utara
klasik, keadaan tidak berkembang terjadi pada waktu perekonomian berada pada
kondisi tingkat pendapatan masyarakat sangat rendah.
2.3.6 Teori Tahap-Tahap Pertumbuhan Ekonomi
Teori ini dimunculkan oleh Prof. W.W. Rostow yang memberikan lima tahap
dalam pertumbuhan ekonomi. Analisis ini didasarkan pada keyakinan bahwa
pertumbuhan ekonomi akan tercapai sebagai akibat dari timbulnya perubahan yang
fundamental dalam corak kegiatan ekonomi, juga dalam kehidupan politik dan
hubungan sosial dalam suatu masyarakat dan negara.
Adapun kelima tahapan tersebut adalah:
1).Tahap Masyarakat Tradisional (The Traditional Society)
Rostow
mengartikan
bahwa
masyarakat
tradisional
sebagai
suatu
masyarakat yang:
a. Cara-cara memproduksi yang relatif primitif dan sikap masyarakat
serta cara hidupnya yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang
dicetuskan oleh cara pemikiran yang bukan rasional, tetapi oleh
kebiasaan yang telah berlaku secara turun-temurun. Tingkat produksi
yang dapat dicapai masih sangat terbatas, karena ilmu pengetahuan
dan teknologi modern belum ada atau belum digunakan secara
sistematis dan teratur.
b. Tingkat produksi perkapita dan tingkat produktivitas per pekerja masih
sangat terbatas. Oleh sebab itu sebagian besar dari sumber-sumber
daya masyarakat digunakan untuk kegiatan dalam sektor pertanian.
Universitas Sumatera Utara
Dalam sektor ini struktur sosialnya sangat bersifat hierarkis, sehingga
mobilitas secara vertikal dalam masyarakat sedikit sekali.
c. Kegiatan politik dan pemerintahan terdapat di daerah-daerah dipegang
oleh tuan-tuan tanah yang berkuasa, dan kebijakan-kebijakan dari
pemerintah pusat selalu dipengaruhi oleh pandangan tuan-tuan tanah
di berbagai daerah tersebut.
2) Tahap Prasyarat Lepas Landas
Tahap ini adalah tahap sebagai suatu masa transisi pada saat masyarakat
mempersiapkan dirinya ataupun dipersiapkan dari luar untuk mencapai pertumbuhan
yang mempunyai kekuatan untuk terus berkembang (self-sustain growth). Pada tahap
ini dan sesudahnya pertumbuhan ekonomi akan berlaku secara otomatis. Tahap
prasyarat lepas landas ini dibedakan menjadi dua, yaitu:
a) Tahap prasyarat untuk lepas landas yang dicapai oleh negara-negara
Eropa, Asia, Timur Tengah, dan Afrika yang dilakukan dengan
merubah struktur masyarakat tradisional yang sudah ada.
b) Yang dinamakan Rostow bom free, yaitu prasyarat lepas landas yang
dicapai Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Selandia Baru, dengan
tanpa harus merombak sistem masyarakat yang tradisional, karena
masyarakat negara-negara itu terdiri dari emigran yang telah
mempunyai sifat-sifat yang diperlukan oleh masyarakat untuk
mencapai tahap prasyarat lepas landas.
3) Tahap Lepas Landas (Take Off)
Universitas Sumatera Utara
Adalah suatu tahap interval dimana tahap masyarakat tradisional dan tahap
prasyarat untuk lepas landas telah dilewati. Pada periode ini, beberapa penghalang
pertumbuhan dihilangkan dan kekuatan-kekuatan yang menimbulkan kemajuan
ekonomi diperluas dan dikembangkan, serta mendominasi masyarakat sehingga
menyebabkan efektivitas investasi dan meningkatnya tabungan masyarakat.
Ciri-ciri tahap lepas landas yaitu:
a) Adanya kenaikan dalam penanaman modal investasi (yang produktif,
dari 5% atau kurang, menjadi 10% dari Produk Nasional Neto).
NNP=GNP-D (penyusutan).
b) Adanya
perkembangan
beberapa
sektor
industri
dengan
laju
perkembangan yang tinggi.
c) Adanya atau terciptanya suatu kerangka dasar politik, sosial dan
institusional yang akan menciptakan: Kenyataan yang membuat
perluasan di sektor modern dan potensi ekonomi ekstern sehingga
menyebabkan petumbuhan terus-menerus berlangsung.
4) Tahap Gerakaan ke Arah Kedewasaan (The Drive of Maturity)
Gerakan ke arah kedewasaan diartikan sebagai suatu periode ketika
masyarakat secara efektif menerapkan teknologi modern dalam mengolah sebagian
besar faktor-faktor produksi dan kekayaan alamnya. Ciri-ciri gerakan ke arah
kedewasaan adalah:
a) Kematangan teknologi, dimana struktur keahlian tenaga kerja
mengalami perubahan.
Universitas Sumatera Utara
b) Sifat kepemimpinan dalam perusahaan mengalami perubahan.
c) Masyarakat secara keseluruhan merasa bosan dengan keajaiban yang
diciptakan oleh industrialisasi, karena berlakunya hukum kegunaan
batas semakin berkurang.
5) Tahap Masa Konsumsi Tinggi.
Pada masa ini perhatian masyarakat mengarah kepada masalah-masalah yang
berkaitan dengan konsumsi dan kesejahteraan masyarakat dan bukan lagi kepada
masalah produksi. Leading sectors, bergerak ke arah barang-barang konsumsi yang
tahan lama serta jasa-jasa. Pada periode ini terdapat tiga macam tujuan masyarakat
untuk mendapatkan sumber-sumber daya yang tersedia dan dukungan politis, yaitu:
a) Memperbesar kekuasaan dan pengaruh negara tersebut ke luar negeri
dan kecenderungan ini dapat berakhir pada penaklukan atas negaranegara lain.
b) Menciptakan suatu welfare state, yaitu kemakmuran yang lebih merata
kepada pendukungnya dengan cara mengusahakan terciptanya
pembagian pendapatan yang lebih merata melalui sistem perpajakan
yang progresif, dalam sistem perpajakan seperti ini makin besar
pendapatan maka makin besar pajaknya.
c) Mempertinggi tingkat konsumsi masyarakat di atas konsumsi dasar
yang sederhana atas makanan, pakaian, rumah keluarga secara terpisah
dan juga barang-barang konsumsi tahan lama serta barang-barang
mewah.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Penelitian Terdahulu
Dewi (2008) melakukan penelitian dengan judul: Pengaruh alih fungsi lahan
sawah terhadap produksi tanaman pangan di Kabupaten Badung. Metode yang
digunakan dengan menggunakan analisis regresi log linear. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa alih fungsi lahan sawah sangat bergantung pada banyak
faktor misalnya terjadinya pembanguan fisik seperti perkantoran, jalan,
perumahan dll. Luas lahan sawah nyata berpengaruh terhadap peningkatan
produksi total tanaman padi,sedangkan luas sawah yang beralih ke non sawah
belum dapat membuktikan pengaruh produksi padi secara total di Kabupaten
Badung. Hasil ini di dukung oleh hasil uji statistik yang signifikan pada tingkat
signifikansi 5%.
Irawan dan Friyatno (2001). Melakukan penelitian dengan judul Dampak
konversi lahan sawah di jawa terhadap produksi beras dan kebijakan
pengendaliannya. Metode yang dilakukan dengan menggunakan analisis Model
regresi linear. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Secara umum konversi lahan
sawah banyak terjadi di Provinsi atau Kabupaten yang memiliki tingkat
pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk yang relatif tinggi. Konversi lahan
sawah cenderung menunjukkan penurunan produksi per satuan lahan yang
semakin
besar,
sedangkan
percetakan
sawah
cenderung
menunjukkan
peningkatan produksi per satuan lahan yang semakin kecil.
Universitas Sumatera Utara
Afriani (2009) melakukan penelitian dengan judul; Analisis pengaruh
beberapa variable terhadap alih fungsi lahan perkebunan di Kota Semarang (kasus
di PT. karyadeka alam lestari). Metode yang dilakukan menggunakan analisis
Metode kuadrat terkecil biasa atau ordinary least square (OLS). Hasil penelitian
menun jukkan bahwa dari jumlah variable independen yang ada seperti
produktivitas lahan, harga lahan, jumlah penduduk, PDRB, serta PDRB per kapita
hanya jumlah PDRB perkapita berpengaruh nyata terhadap alih fungsi lahan,
sedangkan variabel lainnya tidak berpengaruh nyata terhadap alih fungsi lahan.
2.5. Kerangka Konseptual
Dari beberapa teori yang telah diuraikan pada kerangka teori maka langkah
selanjutnya mermuskan kerangka konsep sebagai hasil dari suatu pemikiran
rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasilpenelitian
yang akan dicapai (Nawawi, 1995 :40). Konsep adalah penggambaran fenomena
yang hendak diteliti, yakni istilah dan definisi yang akan digunakan untuk
menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang
menjadi pusat perhatian ilmu social (Singarimbun, 1995: 33).
Maka kerangka konsep yang akan diteliti adalah:
•
Menganalisis factor-faktor yang mempengaruhi Pemerintah Kota
Padangsidimpuan dalam mengkorversi lahan dengan metode survey.
Universitas Sumatera Utara
•
Menganalisis laju konversi lahandari data konversi lahan yang
diperoleh dari Kecamatan untuk menjawab tujuan pertama dalam
penelitian ini.
•
Melakukan analisis keterkaitan harga lahan terhadap dampak
pembangunan di daerah pemukiman.
Konversi Lahan
Pertanian
Kesejahteraan Ekonomi
(Pendapatan)
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual
2.6. Hipotesis
Hipotesis merupakan personal yang sangat penting dimana hipotesis
dimaksud merupakan petunjuk di dalam pengumpulan data yang diperlukan,
disamping itu biasa digunakan sebagai alat untuk menghubungkan penyelidikanpenyelidikan yang bersangkutan dengan permasalahan. Berdasarkan permasalahan di
atas penulis mencoba mengemukakan hipotesis sebagai berikut: Konversi lahan
Universitas Sumatera Utara
berpengaruh positif terhadap kesejahteraan ekonomi (pendapatan) di Kecamatan
Batunadua.
Universitas Sumatera Utara
Download