PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki jumlah keanekaragaman hayati nomor 2 paling banyak di dunia setelah Brasil (Noerdjito et al. 2005), yang mencakup 10% tumbuhan berbunga, 12% spesies mamalia, 16% spesies reptil dan ampibi, 17% spesies burung, dan lebih dari 25% spesies ikan (BAPPENAS 1993). Keanekaragaman hayati Indonesia penting karena banyak sektor pembangunan bergantung secara langsung maupun tidak langsung pada keanekaragaman hayati dan fungsi-fungsi alami yang terlindungi (BAPPENAS 1993). Bahkan semua mahluk hidup di bumi bergantung pada keanekaragaman tumbuhan dalam siklus materi dan aliran energi (Given 1994) yang senantiasa hijau sepanjang tahun, karena itu hutan hujan Indonesia dikenal sebagai paru-paru dunia. Kondisi keanekaragaman hayati menurun saat ini dengan semakin terbatasnya kemampuan untuk regenerasi, fragmentasi habitat, perubahan iklim, polusi, introduksi spesies pendatang dan penggunaan bahan material secara luas (McNeely et al. 1991 dalam Salleh & Manokaran 1995; Burley 1994 dalam Burley & Gauld 1995; Smitinand 1995). Hutan hujan dataran rendah merupakan daerah yang paling tinggi mengalami penurunan keanekaragaman hayati. Hal ini disebabkan daerah inilah yang paling sering menerima gangguan seperti kebakaran, pencurian kayu, pemukiman dan konversi untuk perkebunan. (MacKinnon et al. 1986; Yusuf 1994). Klasifikasi hutan hujan dataran rendah adalah hutan di daerah tropis yang memiliki ketinggian 2 m – 1000 m dpl (Soerianegara & Indrawan 2005). Indonesia terkait dengan 5 (lima) konvensi yang sudah ditandatangani yang berhubungan dengan keanekaragaman hayati, yaitu : Konvensi Ramsar 1975, Konvensi CITES 1975, Konvensi Keanekaragaman Hayati 1992 dan Konvensi Perubahan Iklim 1992 (diperbaharui menjadi Protokol Kyoto 1997) dan Konvensi Bio-Safety (Cartagena Protocol) 2004 (Noerdjito et al. 2005). Tahapan paling penting dari pelaksanaan konvensi-konvensi itu adalah mengukur dan memantau keanekaragaman hayati (KMNLH 1992; BAPPENAS 1993), yang akhirnya dalam berbagai simposium internasional (terakhir di Bangkok, 27 Agustus – 2 September 1994 tentang Measuring and Monitoring Biodiversity in Tropical and Temperate Forests) pembahasan tentang pengukuran keanekaragaman hayati menjadi agenda penting. Pengelolaan keanekaragaman hayati mensyaratkan pengukuran keanekaragaman hayati (WCMC 1992), untuk menjaga keanekaragaman hayati di habitatnya melalui upaya untuk menjaga keberadaan spesies di dalam habitatnya, membantu kita menemukan dan memulai pemahaman kondisi saat ini dan kemungkinan kondisinya di masa datang, memantau dampak pengelolaan kawasan dan perubahan lingkungan, dan menentukan areal yang diberikan prioritas dalam konservasi keanekaragaman hayati (Pielou 1995; Namkoong 1995; Burley & Gauld 1995). Pengukuran dan indeks keanekaragaman hayati didasarkan atas jumlah spesies atau kelimpahan relatif (Burley & Gauld 1995) dalam plot-plot contoh (Pielou 1995). Jumlah spesies ini yang ditransformasikan ke dalam indek-indeks keanekaragaman, yang diambil dari 2 (dua) hal, yaitu : kekayaan spesies, yaitu jumlah spesies; dan kemerataan, yaitu sejauhmana kesamaan dari kelimpahan spesies (Magurran 1988). Semakin tinggi nilai indeks mencerminkan sema kin tinggi keanekaragaman spesies (Boontawee et al. 1995). Keanekaragaman bervariasi dalam ruang dan waktu, yang merupakan fungsi dari spatial dan temporal dari perubahan ekosistem yang terjadi padanya (WCMC 1992; Turner 1995). Hal ini tentu saja tidak selalu menjamin bahwa seluruh ukuran plot contoh selalu sama dan jumlah spesies meningkat seiring plot contoh yang dibuat (Magurran 1988). Masalah yang muncul adalah sulitnya menentukan jumlah spesies, karena jumlah spesies berhubungan dengan luas plot contoh (Kreb 1978; Darlington 1957 dalam Van Dyke 2003), demikian halnya dengan besarnya gangguan dari masing-masing spesies di dalam habitatnya (Lloyd 1967 dalam Kumar 1977) sehingga ukuran dan bentuk plot contoh lebih menjadi hal penting dalam pengukuran keanekaragaman (Myers et al. 1995). Dari sini para ahli belum sepakat tentang bentuk dan luas plot contoh yang dapat digunakan dalam pengukuran keanekaragaman spesies. Taman Nasional Kutai (TN. Kutai) yang mewakili ekosistem hutan hujan dataran rendah, memiliki fungsi melestarikan keanekaragaman spesies tumbuhan dan satwa (BAPPENAS 2003). Pengelolaan yang dilakukan adalah mengukur dan memantau keanekaragaman spesies yang diwakilinya sebagai upaya mempertahankan ekosistem hutan hujan dataran rendah. Pertanyaan penting yang diajukan adalah bentuk dan luas plot contoh seperti apa yang optimal (Burley & Gauld 1995) dalam pengukuran keanekaragaman spesies tumbuhan di TN. Kutai? Karena menurut Myers (1984) untuk melestarikan spesies membutuhkan pengetahuan berapa jumlah spesies yang ada, dimana mereka berada dan seberapa besar ancaman yang terjadi. Pengukuran keanekaragaman tumbuhan di TN. Kutai akan dilakukan pada tumbuhan berkayu (pohon), karena hutan merupakan sekelompok tumbuhan yang didominasi pohon yang berinteraksi dengan lingkungannya (Soerianegara & Indrawan 2005). Spesies tumbuhan berkayu (pohon) inilah yang digunakan sebagai penanda keberadaan sebuah hutan (Moon & Brown 1914; De Laubenfels 1970; Myers 1984; Anwar et al. 1984). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa bentuk dan luas plot contoh dilakukan pada tingkat pohon (Laurance et al. 1998; Stochlgren et al. 1995 dalam Keely & Fotheringham 2005). Sedangkan penelitian ini ditambahkan tingkat pancang, sehingga dapat digunakan untuk tingkat semai dan tingkat tiang dapat digunakan luas plot contoh tingkat pohon. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui indeks keanekaragaman yang paling responsif 2. Bentuk dan luas plot contoh yang optimal untuk mengukur keanekaragaman spesies tumbuhan tingkat pancang dan pohon di Taman Nasional Kutai (TN. Kutai). Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan metode baku dalam pengukuran dan pemantauan keanekaragaman spesies tumbuhan tingkat pancang dan pohon di TN. Kutai. Kerangka Pemikiran Pengukuran keanekaragaman hayati yang paling sederhana adalah dengan menghitung jumlah spesies (Poole 1974; Krebs 1978). Hal ini mengingat tingkatan spesies merupakan pemeran utama dalam konservasi yang secara konseptual, biologis dan legal dapat diterima (Meffe & Carrol 1992 dalam Haryanto 1995). Pemahaman tingkatan spesies merupakan dasar dalam memahami keanekaragaman hayati karena tingkatan spesies hampir secara universal digunakan sebagai unit dimana keanekaragaman hayati diukur (WCMC 1992). Mengingat peran sentralnya dalam konservasi keanekaragaman hayati, keanekaragaman spesies merupakan unit pengukuran yang dapat dijadikan indikator keanekaragaman hayati dari suatu wilayah (Haryanto 1995). Keanekaragaman bervariasi menurut ruang dan waktu (WCMC 1992; Turner 1995), secara sistematik dan dapat diduga mengikuti garis lintang (Pianka 1983 dalam Magurran 1988; Kreb 1985 dalam Magurran 1986; Begon et al. 1986 dalam Magurran 1988) dan berhubungan dengan areal (MacArthur & Wilson 1967 dalam Magurran 1988; Wiliamson 1981 dalam Magurran 1988), dari sinilah pemahaman bahwa peningkatan spesies berkaitan dengan perluasan plot contoh yang dipelajari (Myers et al. 1995). Sebaran spesies di dalam ekosistem dijelaskan Ludwig dan Reynolds (1988) mengikuti pola acak, kelompok dan teratur. Pola sebaran ini merupakan posisi individu di dalam lingkungannya, yang merupakan hasil dari sejarah keberadaan, kematian dan pergerakan (Poole 1974), dan respon dari keterbatasan, kebakaran dan hempasan angin yang secara kontinu menggangu keberhasilan suksesi (Couhgley 1977). Bentuk plot contoh dengan luasan yang sama memiliki panjang bentuk (keliling) yang berbeda-beda, demikian halnya dengan daerah yang terwakili dalam sebaran garis lintang dan ketinggian dari atas laut di TN. Kutai. Keunggulan masing-masing bentuk plot contoh antara lain bahwa persegi panjang menjangkau ketinggian dari muka laut lebih luas dan bujur sangkar menjangkau garis lintang lebih luas. Bentuk dan luas plot contoh akhirnya menjadi perhatian dalam penelitian ini yang akan diuji, untuk menjawab bentuk dan luas yang optimal dalam pengukuran keanekaragaman spesies tumbuhan tingkat pancang dan pohon di TN. Kutai. Bentuk dan luas plot contoh ini diuji dengan mentransformasikannya ke dalam kurva minimum spesies area hingga mencapai delta kurang dari 10% (Kusmana 1995; Soerianegara & Indrawan 2005) untuk mengetahui metode yang optimal dalam pengukuran keanekaraman spesies tumbuhan di TN. Kutai. Hipotesa Hipotesa dalam penelitian ini adalah : 1. Besarnya ukuran keanekaragaman spesies tumbuhan pada tingkat pancang dan pohon yang diperoleh di TN. Kutai bervariasi menurut bentuk plot contoh. 2. Besarnya ukuran keanekaragaman spesies tumbuhan pada tingkat pancang dan pohon yang diperoleh di TN. Kutai bervariasi menurut luas plot contoh.