Persepsi dan Perilaku Masyarakat Terhadap Obat Herbal Arief Helmi Fak.Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Abstrak : Pasar dari produk obat herbal meluas secara signifikan, dalam upaya memanfaatkan peluang ini kajian tentang bagaimana persepsi dan perilaku masyarakat terhadap obat herbal menjadi penting. Dengan pendekatan kualitatif, penelitian diarahkan untuk mengeksplorasi perilaku responden melalui focus group dan depth interview. Hasil penelitian menunjukkan obat herbal cenderung dianggap sebagai obat alternatif setelah pilihan pertama obat sintetis, walaupun khasiatnya belum terlalu diyakini, namun masyarakat yakin bahwa obat herbal adalah aman dikonsumsi. Sementara itu masyarakat penguna obat herbal dapat dibagi menjadi tiga kelompok penggunaan: pemakaian penyakit ringan, alternatif pengobatan dokter, dan sebagai makanan suplemen. Kata kunci : Persepsi, Sikap Konsumen, Perilaku Konsumen, Obat Herbal 1. PENDAHULUAN Setiap orang ingin selalu sehat, karena dengan sehat kita dapat menjalankan aktivitas dengan baik. Berbagai cara dilakukan oleh setiap orang untuk menjadi sehat, antara lain dengan menyeimbangkan pola makan dan pola hidup. Tetapi walaupun telah berusaha sedemikian rupa, tetap saja suatu saat orang terkena penyakit. Jika seseorang merasa tidak enak badan, maka tindakan yang dilakukan akan berbeda-beda. Ada yang berusaha mengobati sendiri dengan menentukan cara pengobatannya, atau mencari obat baik membeli sendiri ke apotik atau toko obat atau juga pergi ke dokter. Penggunaan obat untuk menyembuhkan suatu penyakit merupakan hal yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Saat ini penggunaan obat tidak hanya dipakai untuk penyembuhan suatu penyakit tetapi juga digunakan untuk menjaga kesehatan. Obat yang digunakan dapat berupa obat herbal dan obat non herbal. Keberadaan obat herbal di Indonesia sudah digunakan secara turun temurun dan diolah sendiri. Pada saat ini sudah banyak obat herbal yang diolah oleh pabrik. Obat herbal sudah dapat digunakan sebagai pendamping atau juga sebagai pengganti obat non herbal/obat yang dianjurkan oleh dokter untuk dibeli di apotik. Obat herbal dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu; 1. Jamu, yang merupakan obat tradisional warisan nenek moyang, 2. Obat herbal terstandar (OHT) yang dikembangkan berdasarkan bukti-bukti ilmiah, uji praklinis dan standarisasi bahan baku dan 3.Fitofarmaka yang dikembangkan berdasarkan uji klinis, standarisasi bahan baku dan sudah bisa diresepkan dokter. Investor Daily data GP farmasi menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki pertumbuhan pasar farmasi dua digit dengan nilai US$3,7 miliar tahun 2010. Angka tersebut diperkirakan naik menjadi US$ 6,1 miliar tahun 2014, atau terbesar di wilayah Asean. Khusus untuk obat herbal seiring dengan tren back to nature pengguna obat herbal di Indonesia mengalami peningkatan disebutkan dalam artikel Kompas yang mengutip data Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes, pada tahun 2006 pasar obat herbal di Indonesia mencapai Rp 5 triliun. Di tahun 2007 mengalami peningkatan menjadi Rp 6 triliun, dan pada tahun 2008 naik lagi menjadi Rp 7,2 triliun. Sedangkan pada tahun 2012 mencapai Rp 13 triliun atau sekitar 2% dari total pasar obat herbal di dunia. Menurut Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, Indonesia sangat berpotensi menjadi salah satu sumber industri bahan baku obat herbal. Hal ini karena Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Terlebih, imbuhnya, obat herbal tradisional di Indonesia sendiri sudah digunakan secara turun temurun oleh masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, Nasfiah mengatakan saat ini Indonesia masih mengimpor sekitar 60 persen bahan baku obatnya. Dalam laporan World Health Organization (WHO): Enchancing the Role of Traditional Medicine in Health Systems: A Strategy for the Arfican Region, Ossy (2013) mengatakan obat tradisional umumnya telah digunakan berbagai populasi di dunia. Di benua Eropa, penggunaan obat tradisional mencapai 42% di Belgia dan 90% di United Kingdom. Di benua Afrika, penggunaannya mencapai 70% di Benin dan 90% di Burundi dan Ethiopia. Pasar dari produk obat tradisional meluas secara signifikan, dan penjualan dari produk obat tradisional terus meningkat. Meningkatnya permintaan terhadap obat herbal membuat produsen-produsen obat herbal di Indonesia semakin banyak baik yang berbentuk home industry hingga perusahaan yang menerapkan standar dunia. Mengingat masih banyaknya prosuden yang belum memliki izin edar dari BPOM dapat memunculkan keraguan akan obat herbal karena masih terdapat produsen yang sengaja menambahkan bahan kimia obat yang dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan masyarakat. Keraguan masyarakat terhadap obat herbal ini bukan hanya disebabkan oleh masih adanya obat yang belum mendapat ijin edar, tetapi disinyalir masyarakat masih belum paham terhadap obat herbal, masyarakat diduga membeli obat herbal karena dipengaruhi oleh daya tarik pemasar yang memberikan janji keberhasilan obat herbal, disinyalir karena harga yang murah, mungkin pula karena obat herbal mudah didapat, atau mungkin pengaruh budaya, teman, keluarga, atau disinyalir karena dipengaruhi oleh kepribadian dan psikologi pembeli obat herbal itu sendiri. Fenomena persepsi dan perilaku masyarakat terhadap penggunaan obat herbal yang semakin banyak dikonsumsi masyarakat, menarik untuk diteliti dan dikaji. Oleh karenanya yang menjadi fokus pada kajian ini adalah bagaimana persepsi dan perilaku masyarakat terhadap obat herbal. 2. KAJIAN PUSTAKA American Marketing Association seperti dikutip Kotler & Keller (2012) mendefinisikan pemasaran sebagai salah satu fungsi dalam bisnis yang melakukan penciptaan, pengkomunikasian dan penyampaian nilai kepada konsumen untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Definisi tersebut menyiratkan bahwa titik sentral dari kegiatan pemasaran adalah konsumen. Oleh karena itu ilmu pemasaran berusaha mengungkap berbagai komponen dari konsumen yang akan membentuk perilaku konsumen. Menurut Mowen (1995) perilaku konsumen merupakan tindakan–tindakan yang terlibat secara langsung dalam memperoleh, mengkonsumsi, dan membuang suatu produk atau jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan – tindakan tersebut. Dengan nada yang sama Engel (2001) menyebutkan perilaku konsumen adalah aktivitas seseorang saat mendapatkan, mengkonsumsi, dan membuang barang atau jasa. Senada dengan dua pengertian tersebut Shiffman (2006) menunjukkan bahwa perilaku konsumen adalah perilaku yang ditunjukkan konsumen pada tiga tahap konsumsi produk berupa barang atau jasa yaitu pada saat : 1. sebelum melakukan pembelian, 2. saat melakukan pembelian dan 3. setelah melakukan pembelian. Perilaku konsumen pada tahap sebelum melakukan pembelian adalah tahap dimana konsumen memperoleh berbagai stimulus baik yang berasal dari sumber non komersil seperti lingkungan social, budaya, teknologi, ekonomi, politik dan faktor lingkungan lainnya. maupun sumber komersil seperti berbagai penawaran produk, harga, distribusi dan promosi. Selain stimulus yang berasal dari luar individu di atas, konsumen juga akan dipengaruhi oleh karakter pembeli, seperti: faktor budaya, social, individu dan faktor psikologis. Selanjutnya stimulus tersebut diolah secara kognitif dimana pada pengolahan ini ditentukan oleh segi psikologis konsumen yaitu : motivasi, persepsi, kepribadian, learning, dan sikap atau perasaan. Proses psikologis utama pada dasarnya memengaruhi respons konsumen terhadap berbagai macam rangsangan pemasaran. Menurut Kotler dan Keller (2012), Proses psikologis utama terdiri dari ; 1. Motivasi. Seseorang mempunyai banyak kebutuhan pada waktu tertentu. Beberapa kebutuhan bersifat biogenik. Kebutuhan biogenik muncul dari tekanan biologis seperti lapar, haus, dan lain-lain. Kebutuhan yang lain bersifat psikogenik. Kebutuhan psikogenik berasal dari tekanan psikologis seperti kebutuhan akan pengakuan, penghargaan, atau rasa memiliki dan sebagainya. 2. Persepsi. Persepsi adalah proses bagaimana seorang individu memilih, mengorganisasi, dan menginterprestasikan informasi untuk menciptakan gambaran dunia yang memiliki arti. Persepsi tidak hanya bergantung pada rangsangan fisik tetapi juga pada rangsangan yang berhubungan dengan lingkungan sekitar dan keadaan individu yang bersangkutan. 3. Pembelajaran. Sebagian besar perilaku manusia adalah hasil pembelajaran. Pembelajaran dihasilkan melalui perpaduan kerja dorongan, rangsangan, petunjuk, tanggapan, dan penguatan. Pembelajaran meliputi perubahan perilaku seseorang yang timbul dari pengalaman. Suatu dorongan didefinisikan sebagai rangsangan intern kuat yang mendorong adanya tindakan. Dorongan dapat menjadi suatu motif ketika dihubungkan dengan sebuah objek yang dapat mengurangi dorongan tersebut. 4. Memory/ Daya Ingat. Semua informasi dan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang selama masa hidup mereka dapat berakhir pada memori jangka panjang mereka. Psikologis kognitif membedakan antara short term memory (ingatan jangka pendek) – tempat menyimpan informasi sementara, dengan long term memory (ingatan jangka panjang), sebuah tempat penyimpanan informasi yang relatif lebih permanen. Seorang pemasar harus memastikan bahwa konsumen mempunyai informasi mengenai produk dan jasa yang tepat yang disimpan dalam memori mereka. Tahap berikutnya adalah tahap keputusan pembelian. Tahap yang paling menentukan pilihan produk maupun keputusan penggunaan produk. Pemahaman akan berbagai komponen sosial maupun psikologis konsumen akan menjawab pertanyaan mengapa konsumen membeli (why people buy) atau dengan kata lain apa yang melatar belakangi keputusan pembelian konsumen. Perilaku saat membeli menunjukkan produk aktual apa yang dibeli (what), tempat (where) serta bagaimana cara (how) pembelian dilakukan serta berapa yang dibeli (how many). Produk aktual yang dibeli menyangkut pilihan jenis, merek, ukuran maupun tipe tertentu. Sedangkan tempat pembelian berhubungan dengan keputusan tempat bertransaksi produk, apakah di pasar, toko,warung atau bahkan internet. Keputusan bagaimana pembelian dilakukan adalah pilihan konsumen dalam bertransaksi, apakah akan dibayar tunai atau kredit atau kombinasinya. Sedangkan keputusan berapa yang dibeli berhubungan dengan jumlah produk yang dibeli, hal ini dapat diidentifikasi dari ukuran jumlah atau berat. Perilaku dalam membeli dapat dilihat dari pembelian. Frekuensi pembelian menunjukkan frekuensi pembelian dan waktu perilaku konsumen yang cenderung membeli produk sekali-kali, sering atau selalu membeli. Waktu pembelian merupakan pilihan kapan konsumen biasanya membeli produk. Waktu dapat diukur berdasarkan ukuran jam, siang/malam, hari, minggu, bulan atau tahun. Tahap terakhir dari proses pembelian yang menarik perhatian pemasar adalah perilaku pascapembelian, yaitu perilaku bagaimana produk digunakan dan bagaimana afeksi mereka. Bagaimana konsumen menggunakan produk, pada gilirannya akan membantu pemasar membuat keputusannya pada kemudian hari. Afeksi konsumen atas penggunaan juga tidak kalah penting, perasaan puas atau tidak puas terhadap produk akan menentukan keputusan pembelian konsumen pada masa yang akan datang. Perilaku konsumen pada tahap ini ditunjukkan diantaranya dari frekuensi dan jumlah penggunaan produk serta bagaimana cara konsumen menggunakan atau mengkonsumsi produk. Cara konsumen menggunakan produk dapat terlihat dari cara mengkonsumsi produk, diantaranya adalah : apakah sesuai aturan pakai, apakah dikombinasi dengan produk lain. Memahami perilaku konsumen dalam membeli dan menggunakan produk, faktor persepsi memiliki peran yang penting. Keputusan konsumen dalam memilih produk serta perilaku penggunaan produk ditentukan bukan oleh kualitas nyata produk tersebut, tetapi lebih karena persepsi mereka akan kualitas produk tersebut. Persepsi, didefinisikan sebagai proses bagaimana seorang individu memilih, mengorganisasi, dan menginterprestasikan informasi untuk menciptakan gambaran dunia yang memiliki arti (Shifman, 2006). Tahap pertama dari proses persepsi yaitu memilih, adalah tahap dimana individu melakukan penyeleksian stimulus atau informasi apa yang akan dimasukkan ke dalam pikirannya. Walaupun individu dihadapkan dengan berbagai stimulus, namun tidak semua stimulus akan diolah menjadi arti. Stimulus yang dipilih seorang individu, selanjutnya akan diorganisasi atau diolah didalam pikirannya. Penyusunan stimulus didalam pikiran individu serta mekanisme pengolahannya akan menentukan keluaran-nya (output) berupa intepretasi atau pemberian makna atau arti. Tahap pemberian intepretasi ialah tahap pemberian makna atau citra (image). Proses persepsi konsumen pada akhirnya menghasilkan citra (persepsi) akan berbagai penawaran perusahaan terhadap pasar. Seperti citra atau persepsi akan kualitas produk, harga maupun promosinya. Selanjutnya Shifmann (2006) menjelaskan bahwa intepretasi konsumen dari hasil proses promosi adalah citra atau image atau persepsi yang diberikan kepada kualitas produk, posisioning produk, persepsi akan harga, persepsi akan resiko produk, citra pabrik serta citra pengecer. Bahkan nilai konsumen (customer perceived value) yang didefinisikan Kotler (2012) sebagai sekumpulan manfaat yang akan diperoleh konsumen dari suatu produk dibanding dengan biaya/pengorbanan, adalah bersifat persepsional. Perilaku konsumen dalam membeli obat herbal dapat dipengaruhi oleh stimulus yang berasal dari lingkungan maupun stimulus yang berasal dari faktor komersil, begitu pula faktor karakter pembeli itu sendiri. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi, seperti: perkembangan teknologi dalam bidang industry obat-obatan, faktor budaya, misal budaya Cina yang sering meramu obat-obat tradisional non kimia. Faktor alam, dimana di Indonesia banyak tumbuh berbagai tumbuh-tumbuhan yang dapat digunakan sebagai obat. Demikian pula faktor komersil yang akan mempengaruhi perilaku konsumen dalam menggunakan obat herbal, seperti; kualaitas atai kemenarikan obat herbal, daya tarik harga yang cukup terjangkau, kemudahan mendapatkan obat herbal atau stimulus dari informasi atau promosi yang dilakukan oleh pemasar obat herbal. Stimulus tersebut akan membentuk persepsi pada konsumen terhadap obat herbal. Selanjutnya faktor-faktor ini yang akan mempengaruhi proses keputusan pembelian konsumen dalam membeli obat herbal sehingga akan diketahui keputusan konsumen dalam memutuskan untuk membeli obat herbal yang dapat dilihat dari jenis produk yang dibeli, tempat dimana produk tersebut didapat, banyaknya produk yang dibeli, kapan waktu konsumen membeli produk obat herbal tersebut dan keputusan pembelian lainnya. 3. METODE PENELITIAN Jenis penelitian pada kajian ini adalah qualitatif, dengan tujuan untuk mengeksplorasi perilaku responden. Dalam upaya mengungkap persepsi dan perilaku masyarakat terhadap obat herbal, pengumpulan data dilakukan dengan melakukan focus group dan depth interview. Pelaksanaan focus group dilakukan 2 kali dengan masingmasing diikuti oleh 9 responden. Responden dipilih secara non-probabilistic namun sangat diupayakan keterwakilan berbagai kalangan masyarakat dalam konsumsi obat herbal. Responden ditarik dari kalangan : pengguna obat herbal, masyarakat biasa, dan dokter. 5. HASIL DAN PEMBAHASAN Memiliki kondisi kesehatan yang baik adalah kebutuhan pokok semua orang. Dalam sejarah manusia untuk mencapai tujuan ini segala upaya dilakukan, dari mulai tindakan yang bersifat natural yaitu dengan mengkonsumsi berbagai hasil alam yang dianggap berkhasiat, hingga bersifat supranatural dengan mengkaitkannnya dengan kekuatan spiritual benda alam, manusia bahkan roh. Tindakan manusia untuk memilih metode pengobatan banyak ditentukan oleh anggapan atau persepsi mereka akan berbagai metode pengobatan yang tersedia. Bahkan persepsi dapat menjadi kekuatan sendiri (sugesti) untuk penyembuhan penyakit atau sekedar menjaga kesehatan. Pilihan masyarakat terhadap obat herbal sebagai salah satu cara pengobatan sangat tergantung oleh cara mereka mempersepsikannya. Pembahasan persepsi masyarakat akan obat herbal akan dilihat dari dua hal yaitu pengetahuan dasar mereka akan obat herbal dan pemahaman mereka akan kinerja obat herbal. Masyarakat di bumi Nusantara sejak lama telah memiliki kreatifitas dalam memanfaatkan berbagai sumber alam untuk dijadikan obat. Seiring perkembangan sejarah, kreatifitas tersebut terus berkembang dari kategori pengobatan dari sumber alam yang bersifat tradisional hingga yang diklaim modern. Dalam perkembanggannya saat ini di Indonesia obat herbal yang dikonsumsi masyarakat tidak hanya buah karya anak negeri tetapi juga obat herbal dari luar negeri atau diimpor. Berikut ini pembahasan bagaimana tingkat pengetahuan masyarakat terhadap obat herbal. Sejak berkembangnya dunia kedokteran di Nusantara yaitu pada masa penjajahan Belanda, secara berangsur upaya pengobatan penyakit atau pemeliharaan kesehatan masyarakat Indonesia beradaptasi menjadi budaya pengobatan yang mengkonsumsi obat yang terbuat dari kimia sintetik produksi perusahaan farmasi. Padahal jauh sebelum berkembang dunia kedokteran, secara tradisional masyarakat di Nusantara hanya memiliki sebuah alternatif obat, yaitu obat herbal. Walaupun saat ini obat kimia sintetik mendominasi penanganan penyakit dan pemeliharaan kesehatan di Indonesia, namun semua lapisan masyarakat Indonesia mengetahui betul adanya ‘penyembuh’ selain obat kimia sintetik, yaitu jamu atau ramuan tradisional lain baik yang diproduksi pabrikan, dibuat oleh terapis/tabib atau dibuat sendiri di rumah. Namun dalam kehidupan sehari-hari sebutan obat herbal untuk jamu atau ramuan tradisional tersebut tidak begitu popular. Pengetahuan mereka akan jamu atau ramuan (selanjutnya disebut obat herbal) terjadi karena keterlibatan langsung dalam konsumsi sebagai pengguna maupun melihat keluarga yang mengkonsumsi obat herbal. Tetapi dengan banyaknya anggota masyarakat yang mengkonsumsi obat herbal ataupun penawaran obat herbal melalui hampir semua media dalam bentuk iklan atau publikasi, membuat obat herbal sangat akrab di telinga orang Indonesia. Popularitas obat herbal cenderung meningkat dalam dekade terakhir ini, hal ini terjadi karena tiga hal. Pertama adalah adanya fenomena semakin seringnya promosi serta semakin beraninya kemunculan pengobatan alternatif di masyarakat di media masa. Hampir setiap hari promosi pengobatan alternative muncul di surat kabar hingga televisi baik lokal maupun nasional. Pengobatan tradisional hampir selalu dikombinasikan dengan berbagai obat herbal, baik dalam bentuk ramuan untuk seduhan atau dalam bentuk kapsul atau pil layaknya obat produksi pabrik farmasi. Kedua, adalah semakin intensifnya perusahaan jamu berskala besar yang melakukan promosi berbagai jamu mereka. Tidak hanya berhenti di promosi, saat ini perusahaan jamu telah mampu mengemas jamu mereka dengan kemasan yang sangat menarik serta hadirnya produk mereka tidak hanya di kios jamu tetapi di supermarket hingga Mal terkenal. Sebagai faktor ketiga yang membuat obat herbal semakin popular adalah masih banyak masyarakat Indonesia yang memiliki pendapatan yang rendah, sehingga akses mereka terhadap pengobatan medis (modern) sangat terbatas. Obat herbal mereka anggap dapat menjadi solusi alternative untuk mengatasi problem kesehatan mereka. Masyarakat tahu betul dan dapat mengidentifikasi perbedaan antara obat herbal dibanding obat kimia sintetik. Masyarakat sangat mengetahui bahwa obat herbal tidak terbuat dari kimia sintetik tetapi terbuat dari bahan alami tumbuhan, baik berasal dari daun, akar, buah, atau kulit buah. Selain obat herbal produksi pabrikan, masyarakat kenal betul obat herbal buatan mbok jamu yang dijual keliling serta praktek sebagian anggota masyarakat yang rajin untuk membuat obat herbal sendiri di rumah dengan merebus berbagai bahan tumbuhan. Jika diteliti lebih jauh, masyarakat kebanyakan hanya mengetahui kelompok yang pertama dari obat herbal yaitu jamu, dan kental anggapan bahwa produk jamu adalah produk yang tidak terstandar dan dianggap berkhasiat karena pengalaman secara turun temurun, sehingga tidak memiliki pengujian secara laboratorium. Masyarakat pada umumnya belum mengetahui kelompok kedua dan ketiga dari obat herbal yaitu obat herbal terstandar (OHT) dan fitofarmaka. Walaupun obat herbal tetap populer, tetapi sebagian besar anggota masyarakat hanya memiliki pengetahuan yang terbatas akan berbagai obat herbal serta khasiatnya. Kebanyakan dari mereka hanya mengetahui obat herbal sebagai penyembuh penyakit ringan seperti sakit perut, masuk angin, pegal linu. Akhir-akhir ini populer obat herbal dari buah mengkudu dan kulit manggis. Pada masyarakat yang berpenghasilan menengah ke atas, obat herbal lebih dikenal sebagai pemelihara kesehatan yang dikonsumsi sebagai suplemen makanan. Sebagian besar masyarakat mengenal obat herbal sebagai obat yang lebih murah sehingga diharapkan mereka dapat melakukan pengobatan dengan lebih ekonomis. Namun pada masyarakat yang berpenghasilan lebih tinggi, mereka menganggap obat herbal tidak-lah murah, hal ini karena obat yang mereka konsumsi lebih banyak produk makanan suplemen yang diklaim memiliki khasiat yang besar, selain itu pula produk tersebut sebagian adalah produk impor. Sementara itu semua tenaga dokter di Indonesia mengetahui betul adanya obat herbal, namun hampir sama dengan masyarakat biasa, kebanyakan para dokter mengaku tidak tahu banyak mengetahui tentang bahan, cara bekerja dan khasiat dari obat herbal. Tetapi dengan terus bermunculannya dokter yang juga mengkombinasikan obat kimia sintetik dengan obat herbal menunjukkan pengetahuan mereka akan obat herbal telah meningkat. Kualitas suatu produk sangat bergantung kemampuan produk tersebut menjalankan fungsinya, baik fungsi yang bersifat fungsional, emosional bahkan eksperimensial. Pemahaman konsumen akan kualitas produk dibentuk tidak hanya pada kinerja, tetapi juga pada expected perceived value yang berhubungan dengan berbagai atribut produk yang melekat pada produk. Konsumen dari produk obat herbal dapat dibagi menjadi masyarakat pengguna serta dokter atau tenaga medis sebagai pihak yang memiliki posisi untuk merekomendasikan obat herbal untuk pengobatan Sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit, sebagian besar anggota masyarakat menilai bahwa obat herbal cenderung dianggap sebagai obat alternatif. Dalam arti bahwa, jika mereka terserang sakit maka prioritas pertama mereka adalah obat kimia sintetik yang mereka beli bebas atau berobat ke dokter dan mendapatkan obat. Masyarakat masih ragu terhadap khasiat obat herbal, mereka cenderung menganggap obat sintetik lebih berkhasiat dibanding obat herbal. Masih lebih sedikit masyarakat yang meyakini bahwa obat herbal seberkhasiat obat kimia sintetik. Kalaupun dianggap berkhasiat, masyarakat menganggap proses penyembuhan penyakit dengan mengkonsumsi obat herbal tidak langsung tersasa alias lebih memakan waktu yang lama. Sikap masyarakat yang menempatkan obat herbal sebagai prioritas kedua setelah obat kimia sintetik dikarenakan oleh dua hal. Pertama kuatnya anggapan masyarakat akan proses pembuatan obat herbal. Mereka berkeyakinan bahwa obat herbal dalam pembuatan ramuan maupun pembuatannya tidak melalui pengujian laboratorium seketat obat kimia sintetik. Bahkan sebagian masyarakat menganggap obat herbal adalah hasil coba-coba yang kebetulan membuahkan hasil positif dalam menyembuhkan penyakit, bukan hasil riset yang teruji. Kedua, adalah sudah melekatnya budaya mengkonsumsi obat kimia sintetis seiring telah diadaptasinya pengobatan dengan ilmu kedokteran pada masyarakat Indonesia serta gencarnya promosi obat produksi pabrik farmasi. Keyakinan masyarakat akan khasiat obat herbal telah tumbuh, hal ini terjadi selain dipicu oleh meningkatnya pengetahuan masyarakat akan khasiat obat herbal juga karena adanya tren perubahan gaya hidup masyarakat yang semakin ‘hijau’. Masyarakat yang lebih bergaya hidup hijau lebih menghargai obat herbal dengan keyakinan bahwa bahan baku obat herbal yang berasal dari bahan alami lebih aman dan menyehatkan. Sedangkan dihubungkan dengan banyaknya penyakit yang ada di masyarakat dari penyakit yang ringan seperti flu hingga yang dianggap berat seperti kanker, dianggap bahwa obat herbal tidak memiliki jenis obat yang cukup lengkap untuk menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut dibandingkan dengan obat kimia sintetik. Obat herbal yang dijual umum dianggap hanya untuk menyembuhkan penyakit yang ringan-ringan saja. Walaupun telah banyak obat herbal yang dikemas moderen, masih kuat stereotype masyarakat terhadap obat herbal sebagai obat yang tradisional, pahit dan tidak praktis. Sementara itu walaupun sangat kuat bahwa manfaat yang dicari masyarakat dari obat adalah kesembuhan atau kesehatan, tetapi manfaat emosional juga melekat pada obat. Masayarakat tidak memandang bahwa obat herbal adalah tidak bergengsi atau kampungan. Bahkan untuk makanan suplemen yang sangat mengkaim sebagai herbal memiliki nilai prestise yang tinggi. Sebagai tenaga medis yang banyak menjadi referensi masyarakat akan pengobatan penyakit, maka pemahaman dokter akan obat herbal menjadi penting dan menentukan dalam penggunaan bahkan pembudayaan obat herbal di masyarakat. Sebagai tenaga medis yang professional, dokter paham betul perbedaan antara obat kimia sintetik dengan obat herbal. Bahkan tahu betul ada tiga kategori obat herbal yaitu: jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Pengetahuan ini akan tiga kategori tersebut menandakan bahwa dokter mengetahui bahwa ada obat herbal telah memiliki standarisasi yang artinya telah memilikisalah syarat obat yang baik. Bahkan untuk golongan fitofarmaka, pengujian yang mendekati uji klinis telah dilakukan. Walaupun ada obat herbal dengan golongan fitofarmaka, kalangan kedokteran secara umum belum mengakui khasiat obat herbal sebagai ‘unsur penyembuh’ , apalagi untuk golongan jamu dan obat herbal terstandar. Memahami bahwa obat herbal terbuat dari tumbuhan alami, kalangan kedokteran juga cukup yakin akan efek samping yang minimal dari pengkonumsian obat herbal. Namun dengan rendahnya standarisasi dan pengujian klinis yang pada kebanyakan obat herbal, kalangan kedokteran menduga adanya potensi efek samping lain dari pengkonsumsian obat herbal Persepsi konsumen yang positif akan suatu produk memiliki peluang besar untuk diikuti dengan tindakan atau perilaku pembelian dan penggunaan produk tersebut. Perilaku masyarakat dalam penggunaan obat herbal akan mengungkap berbagai keputusan masyarakat dalam mengkonsumsi obat herbal. Perilaku penggunaan obat herbal akan menggambarkan tidak hanya pada tahap konsumsi produk yaitu berbagai cara penggunaan dan intensitas penggunaan produk, tetapi alasan penggunaan dan dimana ia membeli atau memperoleh produk. Patut juga diperhatikan bahwa penggunaan masyarakat akan obat herbal banyak ditentukan oleh kebiasaan orang tua atau keluarga. Jika orang tua dalam satu keluarga adalah pengguna obat herbal, maka putra atau putrinya menunjukkan probalilitas yang besar untuk turut pula menggunakan obat herbal. Kebiasaan untuk membuat sediri obat herbal juga tipikal pada keluarga seperti ini, beberapa kalangan masyarakat membeli bahan tanaman untuk membuat obat herbal yang kebanyakan membuat rebusan dari tanaman tersebut untuk tujuan mengobati penyakit tertentu atau untuk sekedar menjaga kesehatan tubuh. Sebagai contoh, rebusan daun sirih dipercaya sebagai antibiotik alami untuk menghilangkan radang tenggorokan. Berkaitan dengan persepsi kalangan kedokteran terhadap obat herbal, maka sebagaian besar dokter tidak meresepkan obat herbal kepada pasiennya. Bahkan banyak dokter yang menunjukkan penolakannya akan obat herbal. Walaupun dengan jumlah yang kecil, telah bermunculan dokter yang juga dapat menerima kehadiran obat herbal dengan membiarkan pasiennya untuk mengkonsumsi obat herbal. Atau saat ini telah juga hadir dimasyarakat dokter yang sudah mencoba mengkombinasikan obat kimia sintetik dengan obat herbal walaupun dengan jumlah yang sangat terbatas. 6. KESIMPULAN Popularitas obat herbal cenderung meningkat dalam dekade terakhir ini, hal ini terjadi karena tiga hal. Pertama, adalah adanya fenomena semakin seringnya promosi serta semakin beraninya kemunculan pengobatan alternatif di masyarakat melalui media masa. Kedua, adalah semakin intensifnya promosi perusahaan jamu berskala besar. Ketiga, adalah pendapatan yang rendah, sehingga keterbatasan akses mereka terhadap pengobatan medis (modern). Sebagian besar anggota masyarakat hanya memiliki pengetahuan yang terbatas akan berbagai obat herbal serta khasiatnya. Oleh karena itu mereka konsumsi mereka masih pada taraf mencoba. Walaupun begitu masyarakat justru cenderung yakin bahwa mengkonsumsi obat herbal adalah lebih sehat dan aman dibanding obat kimia sintetik. Hampir semua masyarakat Indonesia pernah mencoba obat herbal, tetapi bagi sebagian besar masyarakat penggunaan obat herbal dapat dibagi menjadi tiga kelompok penggunaan: pemakaian penyakit ringan, alternatif pengobatan dokter, makanan suplemen. 7. DAFTAR PUSTAKA Engel, James F., Roger D. Blackwell & Paul W. Miniard ,2001, Consumer Behavior. The Dryden Press Ernie H. Purwaningsih, 2013, Jamu, Obat Tradisional Asli Indonesia Pasang Surut Pemanfaatannya di Indonesia, , eJKI Vol 1 no 2 Hesti Mulyani, Sri Harti Widyastuti, dan Venny Indria Ekowati, 2016, Tumbuhan Herbal sebagai Jamu Pengobatan Tradisional terhadap Penyakit dalam Serat Primbon Jampi Jawi Jilid I, Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 21, No. 2 Kotler, Philip and Kevin Lane Keller, 2012, Marketing Management, Pearson Prentice Hall. Lusia Oktora Ruma Kumala Sari, 2006, Pemanfaatan Obat Tradisional dengan Pertimbangan Manfaat dan Keamanannya, Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. III, No.1 Mowen, John and Michael Minor, 1995, Consumer Behavior, Prentice Hall Inc. Ossy Muganga Julius Kasilo, Jean Baptiste Nikiema, Martin Matthew Okechukwu Ota, Abayneh Tamir Desta and Bokar Touré, 2013, Enhancing the role of traditional medicine in health systems: A strategy for the African Region, WHO-African Health Monitor Schiffman, Leon G and Leslie L. Kanuk. 2006. Consumer Behavior. Prentice Hall Sudibyo Supardi, Feby Nurhadiyanto, dan Sabarijah Witto, 2003, Penggunaan Obat Tradisional Buatan Pabrik dalam Pengobatan Sendiri di Indonesia, Jurnal Bahan Alam Indonesia Vol. 2, No. 4,