Ihwal Pencari Suaka ke Australia

advertisement
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM Rl
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
Pusat Dokumentasi dan Jaringan lnformasi Hukum Nasional
Jl.May.Jen. Sutoyo -Cililitan- Jakarta Timur
Sumber:
hC\>ip~z~
Sub.iek:
r7E>'fc<u~ r
1Hariffgl: SP-A~/
[I
Pf='t~·lz'l·,~~ ~~1.-2c lif
Sv A ;e.-A, - IHJ Sl)<A t- f 4
Hlm/Kol : 0 I
Bidang:
2
or
Ihwal Pencari Suaka ke Australia
Oleh A AGUS SRIYONO
alam konferensi
pers di Canberra
baru-baru ini,
Menteri Imigrasi Australia Scott Morrison menyampaikan permintaan
maaf pemerintahnya kepada Pemerintah Indonesia sehubungan dengan
pelanggaran wilayah perairan "secara tak disengaja" oleh kapal Australia.
D
Sedikitnya lima pelanggaran
dalam dua bulan teri!khir karena
"kesalahan navigasi". Pelanggaran dilakukan saat dilaksanakan
Operasi Perbatasan Berdaulat
untuk mengusir pencari suaka ke
Australia kembali ke Indonesia.
Episode ini menjadi salah satu
kerikil dalam hubungan Indonesia-Australia Kerikil lain adalah penyadapan. Sebagai negara
berdaulat, Australia berhak menolak nonwarga negaranya memasuki wilayahnya. Namun, sebagai negara pihak pada sejumlah
konvensi internasional, "Negeri
Kanguru" ini punya kewajiban
internasional melindungi pencari
suaka yang ingin ke Australia
Martabat mereka perlu dihargai.
Persoalan bagaimana perlindungan dikelola bergantung pada
kebijakan nasional Australia di
bidang keimigrasian dan manajemen perbatasan. Kebijakan pemrosesan pencari suaka di negara
ketiga merupakan salah satu pililian yang tepat. Saat ini, Australia memiliki pusat pemrosesan
di Nauru dan Pulau Manus, Pa-
pua Niugini. Penetapan tempat
pemrosesan didasarkan pada kepakatan bersama antarpemerintah. Dengan adanya pusat pemrosesan ini, mestinya para pencarl suaka tak lagi dikembalikan
paksa ke negara di mana perahu
pembawa pencari suaka berasal.
Wajib melindungi
Darisudutpandanghukuminternasional, sebagai negara pihak
pada Konvensi tentang Status
Pengungsi 1951 beserta protokolnya, Australia wajib melindungi
para pengungsi dan pencari suaka Konvensi tentang Status Pengungsi, Konvensi Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik, serta Koiwensi tentang Hakhak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
mewajibkan Australia tunduk pada prinsip nonderogable nonrefoulement. Artinya, Australia wajib memenuhi ketentuan dalam
konvensi dan wajib menerima
pengungsi dan pencari suaka
yang datang dari Indonesia guna
diproses lebih lanjut untuk menentukan statusnya. Jadi, kebijakan turn back the boats melanggar konvensi-konvensi ini.
Sebagai kampiun hak asasi
manusia (HAM), sudah selayaknya Australia menghormati konvensi itu. Guna memperoleh status hukum dan perlindungan
yang layak, para pengungsi dan
pencari ·suaka seharusnya mendapat akses prosedural secara benar. Perlakuan terhadap para
pencari suaka juga harus memperhatikan kaidah HAM secara
universal. Pelanggaran terhadap
sejumlah konvensi dikhawatir-
kan dapat menimbulkan sangkaan adanya pelanggaran HAM.
Juru bicara Amnesty International, Graeme McGregor, mengingatkan Pemerintah Australia
bahwa mereka bukan tak mungkin melanggar hukum internasional dengan memaksa kapal para imigran berlayar ke perairan
Indonesia (Kompas, 18/l/2014).
Selain itu, kebijakan unilateral
Australia juga bertentangan dengan kesepakatan bilateral dengan Indonesia yang ditandatangani di Lombok (2006). Traktat Lombok yang merupakan kerangka kerja sama keamanan menekankan pentingnya konsultasi
dua negara. Kebijakan Operasi
Perbatasan Berdaulat yang ditetapkan secara sepihak jelas tak
nyaman bagi Indonesia. Seharusnya kebijakan itu tak diambil sepihak, tetapi dibicarakan dengan
Indonesia demi kepentingan bersama.
Bersama menanggulangi
Dalam tataran multilateral, forum Bali Process on People
Smuggling, Trafficking in Persons and Related Transnational
Crime, di mana Indonesia dan
Australia merupakan penggagas,
telah menyediakan landasan bagi
upaya penyelesaian masalah pencari suaka. Dari lima prinsip penyelesaian menurut kerangka
kerja sama ini, pilihan repatriasi,
resettlement, pengembalian secara sukarela, dan kerja sama pengamanan perbatasan dapat dijadikan pedoman bagi penyusunan
langkah implementasinya. Australia tak mungkin menyelesai-
-s
Sambungan
Somber:
Hariffgl:
Hlm!Kol:
kan masalah ini sendirian.
Dari sisi pandangan negara
asal, transit, dan tujuan pencari
suaka, melalui Jakarta Declaration telah ditegaskan adanya komitmen bersama menanggulangi
soal pencari suaka atas dasar
pembagian beban dan tanggung
jawab bersama. Tindakan unilateral Australia melalui kebijakan
Operasi Perbatasan Berdaulat sekali lagi bertolak belakang dengan semangat Deklarasi Jakarta
yang disepakati 13 negara pada
20 Agustus 2013.
Bagi Indonesia, soal pencari
suaka yang dilatari tindak pidana
penyelundupan manusia merupakan beban tersendiri. Selain
beban keuangan karena makin
meningkatnya jumlah pencari
suaka yang transit di Indonesia,
mulai mengemuka persoalan sosial dan kemanusiaan. Terdapat
kekhawatiran para pencari suaka
yang urung menuju Australia
ingin menetap di Indonesia dengan status hukum tak jelas. Secara bersamaan, ketersediaan
anggaran dan kapasitas rumah
detensi imigrasi sangat terbatas.
Dalam jangka pendek, untuk
menanggulangi masalah pencari
suaka dan penyelundupan manusia, Indonesia perlu meningkatkan patroli !aut serta penegakan hukum, baik terhadap pencari
suaka maupun para penyelundup
manusia yang sengaja mencari
keuntungan finansial. Kerja sama
dengan UNHCR dan IOM perlu
lebih ditingkatkan.
A AGUS SRIYONO
Dubes RI untuk Selandia Baru
(2010-2013)
./
Download