I. PENDAHULUAN A. Epidemiologi Rheumatoid arthritis secara global menyerang semua etnis dan usia, dengan angka kejadian yang berbeda-beda sebesar 0,3-5 persen. Tapi gangguan itu cenderung meningkat pada usia dewasa muda atau usia pertengahan dan usia produktif. Wanita 3-4 kali lebih berisiko terkena, serta lebih banyak terjadi di negara berkembang. Prevalensi penyakit RA di Indonesia saat ini belum diketahui secara pasti. Dalam penelitiannya, Darmawan et al., pada tahun 1993 menyebutkan prevalensi RA di Indonesia 0,2% untuk penduduk di daerah pedesaan dan 0,3% untuk penduduk di daerah kota. Di Indonesia, diperkirakan, pada kelompok dewasa di atas 18 tahun ada 0,1-0,3 persen penderita. Sedangkan pada anak-anak dan remaja yang kurang dari 18 tahun ada 1 dari 100 ribu penduduk. Kini diperkirakan ada sekitar 360 ribu pasien rheumatoid arthritis dewasa di Indonesia. Kendati prevalensinya rendah, penyakit ini sangat progresif dan paling sering menyebabkan kecacatan. Kerusakan sendi sudah mulai terjadi pada enam bulan pertama setelah terserang penyakit ini, sedangkan kecacatan terjadi 2-3 tahun kemudian bila tidak diobati (Widowati, 2010). II. PATOFISIOLOGI A. Definisi Rheumatoid artritis atau radang sendi merupakan suatu penyakit yang tersebar luas serta melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia. Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang menyebabkan peradangan pada sendi, misalnya: jari-jari tangan, pergelangan tangan, kaki, leher, sendi bahu, sendi lutut, dan panggul; umumnya selalu simetris, yang artinya mengenai sendi kanan dan kiri secara bersamaan. Penyakit ini terjadi akibat reaksi antigen antibodi. Antibodi merupakan mekanisme pertahanan tubuh terhadap 1 bakteri, virus, dan sel-sel asing lainnya yang dilakukan oleh sel darah putih. Pada RA, sel antibodi akan menghadapi sel antibodi yang telah berubah sifat menjadi antigen dan mulai menyerang sendi atau organ internal lainnya, sehingga terjadinya kerusakan adan peradangan (inflamasi) pada sendi tersebut. Radang sendi ini sebenarnya terjadi pada lapisan membran sinovial. Membran sinovial yang meradang akan mengeluarkan cairan yng banayak mengandung sel makrofag limfosit T. Sel makrofag limfosit T ini dapat merusak tulang dan mendesak cairan sinovial sehingga akan mengakibatkan timbulnya rasa nyeri atau sakit pada persendian (Rizasyah, 1997). B. Klasifikasi Kerusakan fungsi pada sendi yang mengalami rheumatoid arthritis diklasifikasikan berdasarkan tingkat kerusakan pada sendi berdasarkan klasifikasi Steinbroker, yaitu : Stadium I : hasil radiografi menunjukkan tidak adanya kerusakan pada sendi. Stadium II : terjadi osteoporosis dengan atau tanpa kerusakan tulang yang ringan disertai penyempitan pada ruang sendi. Stadium III : terjadi kerusakan pada kartilago dan tulang tertentu dengan penyempitan ruang sendi; sehingga terjadi perubahan bentuk sendi. Stadium IV : imobilisasi menyeluruh pada sendi karena menyatunya tulangtulang pada sendi. Sebagian besar penderita rheumatoid arthritis akan menjadi kronis dengan gejala yang hilang timbul, jika dalam waktu lama tidak dilakukan pengobatan dapat menyebabkan cacat atau kelainan bentuk pada persendian sehingga akan menghilangkan mobilitas serta fungsi persendian. Bila suatu ketika terjadi imobilisasi menyeluruh pada sendi hanya satu pilihan untuk memperbaiki imobilitas sendi tersebut yaitu dengan operasi mengganti persendian tersebut, yang prosesnya sangat kompleks dan membutuhkan rahbilitasi yang lama (Rizasyah, 1997). 2 C. Etiologi Penyebab pasti rheumatoid arthritis (RA) tidak diketahui, diperkirakan merupakan kombinasi dari faktor genetik, lingkungan, hormonal dan faktor system reproduksi. Namun faktor pencetus terbesar adalah faktor infeksi seperti bakteri, mikoplasma dan virus. Ada beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan seseorang menderita RA, yaitu : 1. Faktor genetik Beberapa penelitian yang telah dilakukan melaporkan terjadinya RA sangat terkait dengan faktor genetik. 80% orang kulit putih yang menderita RA mengekspresikan HLA-DR1 atau HLA-DR4 pada MHC yang terdapat di permukaan sel T. Pasien yang mengekspresikan antigen HLADR4 3,5 kali lebih rentan terhadap RA (Smith dan Haynes, 2002). 2. Usia dan kelamin Insidensi RA lebih banyak dialami oleh wanita daripada laki-laki dengan rasio 2:1 hingga 3:1. Perbedaan ini diasumsikan karena pengaruh dari hormon namun data ini masih dalam penelitian. Wanita memiliki hormon estrogen sehingga dapat memicu sistem imun. Onset RA terjadi pada orang-orang usia sekitar 50 tahun. 3. Infeksi Infeksi dapat memicu RA pada host yang mudah terinfeksi secara genetik. Virus merupakan agen yang potensial memicu RA seperti parvovirus, rubella, EBV, borellia burgdorferi. 4. Lingkungan Faktor lingkungan dan gaya hidup juga dapat memicu RA seperti : a. Konsumsi kopi lebih dari 3 gelas sehari b. Merokok (Alamanos dan Drosos, 2005; Rindfleisch dan Muller, 2005) 3 Ada beberapa teori penyebab rheumatoid arthritis, yaitu : 1. Infeksi streptokokus hemolitikus dan streptokokus non-hemolitikus 2. Endokrin 3. Autoimun 4. Metabolik 5. Faktor genetik serta faktor pemicu lainnya. Pada saat ini, rheumatoid arthritis diduga disebabkan oleh faktor autoimun dan infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II; faktor infeksi mungkin disebabkan oleh karena virus dan organisme mikoplasma atau grup difterioid yang menghasilkan antigen tipe II kolagen dari tulang rawan sendi penderita. D. Patogenesis Sistem imun merupakan bagian pertahanan tubuh yang dapat membedakan komponen self dan non-self. Kasus rheumatoid arthritis sistem imun tidak mampu lagi membedakan keduanya dan menyerang jaringan sinovial serta jaringan penyokong lain. Gambar 1. Proses inflamasi pada pasien RA 4 Inflamasi berlebihan merupakan manifestasi utama yang tampak pada kasus rheumatoid arthritis. Inflamasi terjadi karena adanya paparan antigen. Antigen dapat berupa antigen eksogen, seperti protein virus atau protein antigen endogen. . Paparan antigen akan memicu pembentukan antibodi oleh sel B. Pada pasien RA ditemukan antibodi yang dikenal dengan rheumatoid factor (RF). Rheumatoid factor mengaktiflkan komplemen kemudian memicu kemotaksis, fagositosis, dan pelepasan sitokin oleh sel mononuklear sehingga dapat mempresentasikan antigen kepada sel T CD4+. Sitokin yang dilepaskan merupakan sitokin proinflamasi dan kunci terjadinya inflamasi pada RA seperti TNF-α, IL-1, dan IL-6. Aktivasi sel T CD4+ akan memicu sel-sel inflamasi datang ke area yang mengalami inflamasi. Makrofag akan melepaskan prostaglandin dan sitotoksin yang akan memperparah inflamasi. Protein vasoaktif seperti histamine dan kinin juga dilepaskan yang menyebabkan edema, eritema, nyeri, dan terasa panas. Selain itu, aktivasi makrofag, limfosit dan fibroblas juga dapat menstimulasi angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru) sehingga terjadi peningkatan vaskularisasi yang ditemukan pada sinovial penderita RA. Inflamasi kronis yang dialami pasien RA menyebabkan membran sinovial mengalami proliferasi berlebih yang dikenal dengan pannus. Pannus akan menginvasi kartilago dan permukaan tulang yang menyebabkan erosi tulang dan akhirnya kerusakan sendi (Dipiro dkk., 2005). Proses awalnya, antigen (bakteri, mikroplasma atau virus) menginfeksi sendi akibatnya terjadi kerusakan lapisan sendi yaitu pada membran sinovial dan terjadi peradangan yang berlangsung terus-menerus. Peradangan ini akan menyebar ke tulang rawan kapsul fibroma ligament tendon. Kemudian terjadi penimbunan sel darah putih dan pembentukan pada jaringan parut sehingga membran sinovium menjadi hiperatropi dan menebal. Terjadinya hiperatropi dan penebalan ini menyebabkan aliran darah yang masuk ke dalam sendi menjadi terhambat. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan terjadinya nekrosis (rusaknya jaringan sendi), nyeri hebat dan deformitas. 5 E. Gejala Klinis Gejala klinis utama adalah poliartritis yang mengakibatkan kerusakan rawan sendi dan tulang di sekitarnya. Kerusakan ini terutama mengenai sendi perifer tangan dan kaki yang umumnya bersifat simetris. Gambar 2. Bagian sendi yang terserang RA Diagnosa diterapkan berdasarkan gejala (simptom), riwayat penyakit, serta pemeriksaan fisik. Penunjang diagnosis yang diperlukan antara lain sinar-x, pemeriksaan cairan sendi, tes urin dan darah untuk menetukan proses kerusakan sendi (Rizasyah, 1997). Terdapat kriteria untuk rheumatoid arthritis berdasarkan American Rheumatism Assosiation yaitu sebagai berikut : 1. Kaku pagi hari; kekakuan pada pagi hari pada persendian dan sekitarnya, sekurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal. 2. Artritis pada 3 daerah persendian atau lebih; pembengkakan jaringan lunak atau persendian atau lebih efusi (bukan pertumbuhan tulang) pada sekurangkurangnya 3 sendi secara bersamaan yang diobservasi oleh seorang dokter. 3. Artritis pada persendian tangan; sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian tangan. 4. Artritis simetris; keterlibatan sendi yang sama (seperti yg tertera pada kriteria 2) pada kedua belah sisi. 5. Nodul rheumatoid; nodul subcutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juxta artrikuler yang diobservasi oleh seorang dokter. 6 6. Faktor reumatoid serum positif; terdapatnya titer abnormal faktor reumatoid serum yang diperiksa dengan cara memberikan hasil positif kurang dari 5% kelompok kontrol yang diperiksa. 7. Perubahan gambaran radiologis; khas pada tangan posterior atau pergelangan tangan menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang berlokasi pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi. (A) (B) Gambar 3. Kerusakan sendi pada pasien RA. (A) Pembengkakan sendi. (B) Rheumathoid hand terjadi pada pasien RA yang sudah parah. Gejala-gejala rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada derajat peradangan jaringan. Ketika jaringan-jaringan tubuh meradang, penyakitnya aktif. Ketika peradangan jaringan mereda, penyakitnya tidak aktif (dalam remisi). Remisi-remisi dapat terjadi secara spontan atau dengan perawatan, dan dapat berlangsung berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun. Selama remisi-remisi, gejala-gejala penyakit hilang, dan pasienpasien umumnya merasa baik. Ketika penyakitnya kembali aktif (kambuh), gejala muncul kembali. Kembalinya aktivitas penyakit dan gejala-gejala disebut suatu flare. Perjalanan dari rheumatoid arthritis bervariasi dari pasien ke pasien, dan periode-periode dari flare-flare dan remisi-remisi memiliki cirri yang khas (Anonim, 2008). Rheumatoid arthritis hampir selalu mempengaruhi sendi tangan (seperti sendi buku jari), pergelangan tangan, siku, lutut, pergelangan kaki, dan/atau kaki. Sendi yang lebih besar, seperti bahu, pinggul, dan rahang juga dapat 7 terlibat. Tulang leher kadang-kadang terlibat pada pasien yang sudah menderita penyakit ini selama bertahun-tahun. Gejala-gejala umum rheumatoid arthritis adalah pada sendi terjadi pembengkakan, warna kemerahan, terasa hangat, bila ditekan terasa lunak dan disertai rasa sakit. Gejala-gejala umum datang sebelum gejala-gejala sendi, sehingga kadang gejala awal seperti sedang terkena flu atau penyakit yang serupa seperti malaise, demam, kelelahan, kehilangan nafsu makan, berat badan turun, mialgia, lemah, kurang energi (Shiel Jr, 2011). Gejala-gejala sendi biasanya meliputi: 1. Kekakuan: sendi tidak dapat digerakkan secara normal. Area gerak sendi mungkin berkurang. Gejala yang paling sering terlihat adalah kekakuan di pagi hari yang nantinya dapat berkembang menjadi semakin parah. 2. Peradangan (kemerahan, empuk, dan terasa) 3. Pembengkakan di daerah di sekitar sendi 4. Nodul : benjolan keras yang muncul pada sendi atau di dekat sendi. Nodul ini sering ditemukan di dekat siku. Nodul akan terlihat pada bagian sendi yang menjorok keluar ketika sendi tertekuk. 5. Nyeri: Nyeri berasal dari peradangan atau pembengkakan pada sendi dan jaringan sekitarnya, bisa juga dari kerja sendi yang terlalu keras. Intensitas terjadinya nyeri ini bervariasi pada tiap-tiap individu (Shiel Jr, 2011). F. Diagnosis Kerusakan sendi pada rheumatoid arthritis (RA) dimulai pada beberapa minggu setelah onset gejala. Pengobatan yang dilakukan sejak dini dapat menurunkan progresivitas penyakit. Bukti menunjuk pada suatu “jendela oportunitas” untuk memulai pengobatan yang dapat mengubah perjalanan penyakit. Bukti terakhir menunjukkan bahwa jendela ini mungkin berkisar antara 3-4 bulan (Anonim, 20091). Oleh karena itu, penting sekali untuk mendiagnosis penyakit dan memulai modifikasi terapi penyakit sesegera mungkin. Diagnosis RA memerlukan sejumlah tes untuk meningkatkan kepastian diagnosis RA, membedakannya dengan bentuk artritis yang lain, memprediksi perkembangan 8 penyakit pasien, serta melakukan monitoring untuk mengetahui perkembangan penyakit yaitu: 1. Laju enap darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP) menunjukkan adanya proses inflamasi, akan tetapi memiliki spesifisitas yang rendah untuk RA. Tes ini berguna untuk memonitor aktivitas penyakit dan responnya terhadap pengobatan (Anonim, 20091). 2. Tes RhF (rheumatoid factor). Tes ini tidak konklusif dan mungkin mengindikasikan penyakit peradangan kronis yang lain (positif palsu). Pada beberapa kasus RA, tidak terdeteksi adanya RhF (negatif palsu). RhF ini terdeteksi positif pada sekitar 60-70% pasien RA. Level RhF jika dikombinasikan dengan level antibodi anti-CCP dapat menunjukkan tingkat keparahan penyakit (Anonim, 20091). 3. Tes antibodi anti-CCP (cyclic citrullinated peptide) adalah tes untuk mendiagnosis RA secara dini. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa tes tersebut memiliki sensitivitas yang mirip dengan tes RhF, akan tetapi spesifisitasnya jauh lebih tinggi, dan merupakan prediktor yang kuat terhadap perkembangan penyakit yang erosif (Anonim, 20091). 4. Tes hitung darah lengkap biasanya dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai inflamasi dan anemia yang berguna sebagai indikator prognosis pasien (Anonim, 20091). 5. Analisis cairan synovial. Peradangan yang mengarah pada RA ditandai dengan cairan synovial abnormal dalam hal kualitas dan jumlahnya yang meningkat drastis. Sampel cairan ini biasanya diambil dari sendi (lutut), untuk kemudian diperiksa dan dianalisis tanda-tanda peradangannya (Shiel Jr., 2011). 6. X-ray tangan dan kaki dapat menjadi kunci untuk mengidentifikasi adanya erosi dan memprediksi perkembangan penyakit dan untuk membedakan dengan jenis artritis yang lain, seperti osteoartritis (Shiel Jr., 2011). 7. MRI dapat mendeteksi adanya erosi lebih dini jika dibandingkan dengan XRay (Shiel Jr., 2011). 9 8. USG dapat digunakan untuk memeriksa dan mendeteksi adanya cairan abnormal di jaringan lunak sekitar sendi (Shiel Jr, 2011). 9. Scan tulang. Tes ini dapat digunakan untuk mendeteksi adanya inflamasi pada tulang (Shiel Jr., 2011). 10. Densitometri dapat mendeteksi adanya perubahan kepadatan tulang yang mengindikasikan terjadinya osteoporosis (Shiel Jr, 2011). 11. Tes antinuklear antibodi (ANA) berguna untuk membedakan diagnosis RA dari penyakit lupus. Pasien RA memiliki hasil ANA positif (Shiel Jr., 2011). G. Prognosis Diagnosis dan pengobatan yang terlambat dapat membahayakan pasien. Sekitar 40% pasien rheumatoid arthritis ini menjadi cacat setelah 10 tahun. Akan tetapi, hasilnya sangatlah bervariasi. Beberapa pasien menunjukkan progresi yang nampak seperti self-limiting disease, sedangkan pasien lain mungkin menunjukkan progresi penyakit yang kronis (Temprano, 2011). Prognosis yang buruk dapat dilihat dari hasil tes yang menunjukkan adanya cedera tulang pada tes radiologi awal, adanya anemia persisten yang kronis, dan adanya antibodi anti-CCP (Temprano, 2011). Rheumatoid arthritis (RA) yang aktif terus-menerus selama lebih dari satu tahun cenderung menyebabkan deformitas sendi serta kecacatan. Morbiditas dan mortalitas karena masalah kardiovaskular meningkat pada penderita RA. Secara keseluruhan, tingkat mortalitas pasien RA adalah 2,5 kali dari populasi umum (Temprano, 2011). H. Komplikasi Rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit sistemik, sehingga peradangannya dapat mempengaruhi organ-organ area tubuh lain. Peradangan dari kelenjar-kelenjar mata-mata dan mulut dapat menyebabkan kekeringan dari areaarea ini dan dirujuk sebagai sindrom Sjogren. 10 Peradangan rheumatoid dari selaput paru (pleuritis) menyebabkan sakit dada dengan bernapas yang dalam atau batuk. Jaringan paru sendiri dapat juga meradang, dan adakalanya simpul-simpul (nodul-nodul) peradangan (rheumatoid nodules) berkembang dalam paru-paru. Peradangan dari jaringan/selaput yang mengelilingi jantung (pericardium), disebut pericarditis, dapat menyebabkan suatu sakit dada yang secara khas berubah dalam intensitas ketika berbaring atau bersandar ke depan. Penyakit rheumatoid dapat mengurangi jumlah sel-sel darah merah (anemia) dan sel-sel darah putih. Sel-sel putih yang berkurang dapat dikaitkan dengan suatu pembesaran limpa (dirujuk sebagai sindrom Felty) dan dapat meningkatkan risiko infeksi-infeksi. Benjolan-benjolan keras di bawah kulit (rheumatoid nodules) dapat terjadi sekitar siku-siku dan jari-jari tangan dimana seringkali ada tekanan. Meskipun nodul-nodul ini biasanya tidak menyebabkan gejala-gejala, adakalanya mereka dapat terinfeksi. Suatu komplikasi serius yang jarang, biasanya dengan penyakit rheumatoid yang sudah berjalan lama, adalah peradangan pembuluh darah (vasculitis). Vasculitis dapat merusak penyediaan darah pada jaringan-jaringan dan menjurus pada kematian jaringan. Ini paling sering awalnya terlihat sebagai area-area hitam yang kecil sekali sekitar dasardasar kuku atau sebagai borok-borok kaki (Anonim, 2008). Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik yang merupakan efek samping utama penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit (disease modifying antirhematoid drugs, DMARD ) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada arthritis reumatoid. Komplikasi saraf yang terjadi memberikan gambaran jelas , sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi artikuler dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis. 11 III. 1. Penatalaksanaan Terapi Tujuan Terapi Rheumatoid Arthritis Pengobatan penderita rheumatoid arthritis bertujuan untuk : a. Menghilangkan gejala peradangan/inflamasi yang aktif baik lokal maupun sistemik. b. Mencegah terjadinya kerusakan pada jaringan. c. Mencegah terjadinya deformitas atau kelainan bentuk sendi dan menjaga fungsi persendian agar tetap dalam keadaan baik. d. Mengembalikan kelainan fungsi orga dan persendian yang mengalami Rheumatoid Arthritis agar sedapat mungkin menjadi normal kembali (Rizasyah, 1997). 2. Strategi Terapi Pengobatan RA memiliki dua komponen (Shiel Jr, 2011): a. Mengurangi inflamasi dan menjegah kerusakan dan kecacatan sendi b. Menghilangkan gejala, terutama nyeri 3. Tata Laksana Terapi Obat-obatan dapat digunakan untuk mengurangi peradangan pada sendi, menghilangkan rasa sakit, dan mencegah atau memperlambat terjadinya kerusakan sendi. Terapi fisik dapat dilakukan untuk melindungi sendi. Jika sendi sudah rusak parah, suatu tindakan pembedahan mungkin diperlukan. a. Terapi non-farmakologi Terapi non-farmakologi untuk RA meliputi latihan, istirahat, pengurangan berat badan, dan pembedahan (Shiel Jr, 2011). 1) Latihan Penelitian menunjukkan bahwa olahraga sangat membantu mengurangi rasa sakit dan kelelahan pada pasien RA serta meningkatkan fleksibilitas dan kekuatan gerak. Tiga jenis olahraga yang disarankan adalah latihan rentang gerak, latihan penguatan, dan latihan daya tahan (aerobik). Aerobik air adalah pilihan yang sangat baik karena dapat meningkatkan jangkauan gerak dan daya tahan, 12 juga dapat menjaga berat badan dari sendi-sendi tubuh bagian bawah (Shiel Jr, 2011). 2) Istirahat Istirahat merupakan komponen esensial pada terapi nonfarmakologi RA. Istirahat dapat menyembuhkan stres dari sendi yang mengalami peradangan dan mencegah kerusakan sendi yang lebih parah. Akan tetapi, terlalu banyak istirahat (berdiam diri) juga dapat menyebabkan imobilitas, sehingga dapat menurunkan rentang gerak dan menimbulkan atrofi otot. Pasien hendaknya tetap menjaga gerakan dan tidak berdiam diri terlalu lama. Dalam kondisi yang mengharuskan pasien duduk lama, pasien mungkin dapat beristirahat sejenak setiap jam, berjalan-jalan sambil meregangkan dan melenturkan sendi (Schuna, 2008). 3) Pengurangan berat badan Menurunkan berat badan dapat membantu mengurangi stres pada sendi dan dapat mengurangi nyeri. Menjaga berat badan tetap ideal juga dapat mencegah kondisi medis lain yang serius seperti penyakit jantung dan diabetes. Pasien hendaknya mengkonsumsi makanan yang bervariasi, dengan memperbanyak buah dan sayuran, protein tanpa lemak, dan produk susu rendah lemak. Berhenti merokok akan mengurangi risiko komplikasi RA (Shiel Jr, 2011). 4) Pembedahan Jika terapi obat gagal mencegah atau memperlambat kerusakan sendi, tindakan pembedahan mungkin dapat dipertimbangkan untuk memperbaiki sendi yang rusak. Pembedahan dapat membantu mengembalikan kemampuan penggunaan sendi, mengurangi rasa sakit, dan mengurangi kecacatan. Pembedahan yang dilakukan antara lain sebagai berikut (Anonim, 20092): 1. Artoplasti (penggantian total sendi). Bagian sendi yang rusak akan diganti dengan prostesis yang terbuat dari logam dan plastik. 2. Perbaikan tendon. Peradangan dan kerusakan sendi dapat menyebabkan tendon di sekitar sendi menjadi longgar atau pecah. Untuk itu, perlu dilakukan perbaikan tendon di sekitar sendi. 3. Sinovektomi (penghapusan lapisan sendi). Lapisan sendi yang meradang dan menyebabkan nyeri dapat dihilangkan. 13 4. Arthrodesis (fusi sendi). Fusi sendi mungkin direkomendasikan untuk menstabilkan atau menyetel kembali sendi dan dapat mengurangi nyeri ketika penggantian sendi tidak menjadi suatu pilihan. Pembedahan berisiko menyebabkan perdarahan, infeksi, dan nyeri, sehingga sebelum dilakukan tindakan, harus diperhitungkan dulu manfaat dan risikonya. b. Terapi farmakologi Ada dua kelas obat yang digunakan untuk mengobati RA, yaitu obat fast acting (lini pertama) dan obat slow acting (lini kedua). Obat-obat fast acting digunakan untuk mengurangi nyeri dan peradangan, seperti aspirin dan kortikosteroid sedangkan obat-obat slow acting adalah obat antirematik yang dapat memodifikasi penyakit (DMARDs), seperti emas, metotreksat, dan hidroksiklorokuin yang digunakan untuk remisi penyakit dan mencegah kerusakan sendi progresif, tetapi tidak memberikan efek antiinflamasi (Shiel , 2011). Gambar 4. Algoritma terapi RA (Schuna, 2008) Pengobatan dengan DMARDs sebaiknya dimulai selama 3 bulan pertama sejak diagnosis RA ditegakkan. Kombinasi dengan NSAID dan/atau kortikosteroid dapat diberikan untuk mengurangi gejala. Pengobatan dengan DMARDs sejak dini dapat mengurangi mortalitas. DMARDs yang paling sering digunakan adalah metotreksat, hidroksiklorokuin, sulfasalazin, dan leflunomid. Metotreksat lebih banyak dipilih karena menghasilkan outcome yang lebih baik jika dibandingkan dengan agen lain. Metotreksat juga lebih ekonomis jika 14 dibandingkan dengan agen biologik.Obat lain yang efikasinya mirip dengan metotreksat adalah leflunomid (Schuna, 2008). Agen biologik yang mempunyai efek DMARDs juga dapat diberikan pada pasien yang gagal dengan terapi DMARDs. Agen ini dirancang untuk memblokir aksi zat alami yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh, seperti faktor TNF, atau IL-1. Zat-zat yang terlibat dalam RA adalah reaksi kekebalan tubuh abnormal sehinggga perlu dihambat untuk memperlambat reaksi autoimun sehingga dapat meringankan gejala dan memperbaiki kondisi secara keseluruhan. Agen biologik yang biasa digunakan adalah obat-obat anti-TNF (etanercept, infliximab, adalimumab), antagonis reseptor IL-1 anakinra, modulator kostimulasi abatacept dan rituximab yang dapat mendeplesi sel B periferal (Schuna, 2008). Infliximab dapat diberikan secara kombinasi bersama metotreksat untuk mencegah perkembangan antobodi yang dapat mereduksi eefek obat ataupun menginduksi reaksi alergi. Kombinasi dua atau lebih DMARDs juga diketahui lebih efektif jika dibandingkan dengan terapi tunggal (Schuna, 2008). Untuk pendosisan pada masing-masing obat, dapat dilihat pada tabel I. Tabel I. Dosis lazim dan parameter monitoring obat antirematik (Schuna, 2008) 15 Kortikosteroid berguna untuk mengontrol gejala sebelum efek terapi DMARDs muncul. Dosis rendah secara terus-menerus dapat diberikan sebagai tambahan ketika pengobatan dengan DMARDs tidak dapat mengontrol penyakit. Kortikosteroid dapat disuntikkan ke dalam sendi dan jaringan lokal untuk mengendalikan peradangan lokal. Kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan sebagai monoterapi, dan penggunaannya secara kronis sebaiknya dihindari (Schuna, 2008). NSAID juga dapat diberikan untuk mengurangi pembengkakan dan nyeri pada RA. NSAID tidak memperlambat terjadinya kerusakan sendi, sehingga tidak dapat diberikan sebagai terapi tunggal untuk mengobati RA. Seperti kortikosteroid, NSAID digunakan sebagai terapi penunjang DMARDs (Schuna, 2008). Pengaturan dosis NSAID dapat dilihat pada tabel II. Tabel II. Regimen dosis NSAID (Schuna, 2008) 16 4. Monitoring Terapi Evaluasi terapi terutama didasarkan pada perbaikan tanda-tanda klinis dan gejala RA. Perbaikan tanda klinis misalnya adalah berkurangnya pembengkakan sendi, berkurangnya panas pada sendi yang aktif, dan berkurangnya keempukan sendi saat dipalpasi. Pengurangan gejala misalnya adalah berkurangnya nyeri sendi yang dirasakan, perbaikan dan kemampuan untuk beraktivitas sehari-hari. Radiografi dan pemeriksaan laboratorium mungkin diperlukan untuk memantau hasil terapi (Schuna, 2008). Pemantauan terhadap efek samping dan toksisitas obat juga harus dilakukan. Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk menilai efek samping dan toksisitas obat dapat dilihat pada tabel III berikut ini: Tabel III. Monitoring obat pada terapi rheumatoid arthritis (Schuna, 2008) 17 18