Injeksi Bovine Somatotropin (bST)

advertisement
INJEKSI BOVINE SOMATOTROPIN (bST) DAN
PENAMBAHAN KONSENTRAT PADA SAPI
HOLSTEIN LAKTASI DI DATARAN TINGGI CIKOLE,
LEMBANG
ELVIA HERNAWAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
2
ABSTRAK
ELVIA HERNAWAN. Injeksi Bovine Somatotropin (bST) dan Penambahan
Konsentrat pada Sapi Holstein Laktasi di Dataran Tinggi Cikole, Lembang. Di
bawah bimbingan WASMEN MANALU, SYAHRUN HAMDANI NASUTION,
dan NASTITI KUSUMORINI
Sebanyak 24 ekor sapi Holstein laktasi yang dipelihara di dataran tinggi
telah digunakan untuk mempelajari respons fisiologis terhadap injeksi
somatotropin. Penelitian dirancang menggunakan rancangan acak kelompok
dengan pola faktorial 3x2. Faktor pertama adalah injeksi somatotropin (bST)
dengan 3 level, yang terdiri atas injeksi nonbST atau kontrol (plasebo yang
diberi injeksi 1 mL sesame oil/ekor/hari), injeksi bST harian (36 mg/ekor/hari),
dan injeksi bST selang 14 hari. (500 mg/ekor/14hari). Faktor ke dua adalah
penambahan konsentrat dengan 2 level, yang terdiri atas pakan standar dan pakan
standar ditambah 25% konsentrat. Parameter yang diukur meliputi denyut
jantung, frekuensi pernapasan, suhu tubuh, nilai hematokrit, kadar hemoglobin,
glukosa, trigliserida, nitrogen urea, kortisol, T4, T3 dalam darah, produksi susu,
produksi
4% FCM (fat corrected milk), komposisi susu, bobot tubuh,
pertambahan bobot tubuh, konsumsi bahan kering, efisiensi produksi susu dan
nilai kondisi ternak, Injeksi somatotropin nyata meningkatkan denyut jantung dan
frekuensi pernapasan demikian pula pemberian pakan standar ditambah 25%
konsentrat nyata meningkatkan konsumsi bahan kering pakan. Terdapat interaksi
antara injeksi bST dan penambahan 25% konsentrat pada produksi susu dan
pertambahan bobot tubuh. Injeksi somatotropin pada sapi yang diberi pakan
standar (sesuai dengan kebutuhan) dapat meningkatkan produksi susu sebesar 1726%, sedangkan injeksi bST dan pakan yang ditambah 25% konsentrat
cenderung menurunkan produksi susu, namun meningkatkan bobot tubuh,
khususnya pada sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari.
Kata kunci: Bovine somatotropin, Holstein, konsentrat, produksi susu, dataran
tinggi.
3
ABSTRACT
ELVIA HERNAWAN. Bovine Somatotropin Injection and Concentrate
Supplementations in Lactating Holstein Cows in the Highland Cikole, Lembang.
Under the supervision of WASMEN MANALU, SYAHRUN HAMDANI
NASUTION, and NASTITI KUSUMORINI
Twenty four lactating Holstein cows were used to study the effect of
bovine somatotropin injection and concentrate supplementations in lactating
cows in the highland Cikole Lembang. The experimental cows were assigned
into a Randomized Block Design with a 3 x 2 factorial arrangement. The first
factor was somatotropin injection with three levels (nonbST injection, daily
injection, and biweekly injection). The second factor was concentrate
supplementation with two levels (fed standard ration and standard ration plus
25% concentrate.) Parameters measured were heart rate, respiration frequency,
rectal temperature, hematocrit, hemoglobin, glucose, triglyceride, blood urea
nitrogen, cortisol, thyroxine, triiodothyronine concentrations in the blood, weight
gain, dry matter intake, milk production efficiency, and body condition score,
milk production, 4% FCM (fat corrected milk), milk composition, weight gain,
dry matter intake, milk production efficiency, and body condition score. Bovine
Somatotropin injection significantly increased heart rate and respiration rate.
Concentrate supplementation increased dry matters intake. There were an
interaction between bST and concentrate supplementation on milk production
and weight gain. Bovine somatotropin injection in cows fed standart ration
increased milk production by 17–26%, but injection in cows fed ration with 25%
concentrate decreased milk production but showed increase weight gain. Daily
and biweekly somatotropin supplementation did not significantly affect milk
production.
Keywords: Holstein, Bovine somatotropin, concentrate, milk production,
highland
4
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan
judul Injeksi Bovine Somatotropin (bST) dan Penambahan Konsentrat pada Sapi
Holstein Laktasi di Dataran Tinggi Cikole, Lembang adalah benar-benar asli
karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan
atau tiruan dari tulisan siapa pun serta belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun.
Bogor, Mei 2007
Elvia Hernawan
NIM G 361020161
5
INJEKSI BOVINE SOMATOTROPIN (bST) DAN
PENAMBAHAN KONSENTRAT PADA SAPI
HOLSTEIN LAKTASI DI DATARAN TINGGI
CIKOLE, LEMBANG
ELVIA HERNAWAN
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Biologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
6
7
PENGUJI LUAR KOMISI
I. Ujian Tertutup tanggal 24 April 2007
Dr. Ir. Bagus Pryo Purwanto
Staf Pengajar Departemen Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor.
II. Ujian Terbuka tanggal 28 Mei 2007
1. Dr. Ir. Chalid Talib MS
Peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan , Departemen
Pertanian.
2. Dr. Ir. Suryahadi DEA
Staf Pengajar Departemen Nutrisi dan Makanan Ternak, Institut Pertanian
Bogor.
8
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 25 Desember 1951 sebagai
anak ke empat dari 12 bersaudara pasangan R. H. Ma’mun Hernawan dan R. Hj.
Siti Halimah Zyin.
Pendidikan SD diselesaikan pada tahun 1963 di SD Palasari Bandung,
SMP diselesaikan pada tahun 1966 di SMPN V Bandung, dan SMA di selesaikan
pada tahun 1969 di SMAN II Bandung .
Pada tahun 1970 penulis tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran Bandung dan menyandang gelar Sarjana Peternakan pada
tahun 1977. Pada tahun 1985 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program
Studi Ilmu Ternak,
Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, melalui
beasiswa TMPD dari Ditjen DIKTI, DEPDIKBUD dan memperoleh gelar
Magister Sain (MS) pada tahun 1989. Pada
bulan September 2002 penulis
tercatat sebagai mahasiwa Program Doktor pada Program Studi Biologi, Fakultas
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan status swadana. Pada bulan
September 2003 mendapat beasiswa dari BPPS Ditjen DIKTI, DEPDIKNAS.
Penulis menikah dengan Ir. Burhanudin Soelaeman pada bulan Desember
1979 dan dikaruniai tiga anak, yaitu Gia Ginanjar S. Burhanudin, Gerry Nugraha
S. Burhanudin, dan Gistya Gemma Rahayu S. Burhanudin.
Penulis tercatat
menjadi staf pengajar di Laboratorium Fisiologi dan Biokimia, Jurusan Nutrisi
dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran Bandung.
9
PRAKATA
Alhamdulillah wa syukurillah atas berkah dan rahmat Allah SWT, penulis
dapat berhasil menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya ilmiah yang berjudul Injeksi
Bovine
Somatotropin (bST) dan Penambahan Konsentrat pada Sapi Holstein
Laktasi di Dataran Tinggi Cikole Lembang yang telah dilaksanakan sejak bulan
Juni 2005 sampai Maret 2006.
Pada kesempatan ini tak lupa penulis menyampaikan ucapan terima kasih
dan penghargaan setinggi-tingginya kepada
1.
Prof. Ir. Wasmen Manalu Ph.D Ketua komisi pembimbing yang telah
memberikan arahan dan bimbingan selama penulis mengikuti program S3.
2. Drh. Syahrun Hamdani Nasution Ph.D anggota komisi pembimbing yang telah
memberikan saran, dorongan, dan koreksi dalam penyempurnaan penelitian
disertasi.
3.
Dra. Nastiti Kusumorini Ph.D anggota komisi pembimbing yang telah
memberikan arahan dan koreksi dalam penyempurnaan penelitian disertasi.
4. Dr. Ir. Bagus Pryo Purwanto penguji luar komisi pada ujian tertutup yang
telah memberikan saran dan koreksi dalam penyempurnaan disertasi.
5. Dr.Ir. Chalid Talib MS penguji luar komisis pada ujian terbuka yang telah
memberikan saran dan koreksi dalam penyempurnaan disertasi.
6. Dr. Ir. Suryahadi DEA penguji luar komisi pada ujian terbuka yang telah
memberikan masukan dalam penyempurnaan disertasi.
7. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana Insitut Pertanian
Bogor
yang telah memberikan fasilitas yang terbaik
selama penulis
menimba ilmu di program S3.
8. Departemen
Pendidikan Nasional
dalam hal ini Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi yang telah mendanai penulis melalui BPPS (Beasiswa
Pendidikan program Pascasarjana)
saat mengikuti pendidikan Program
Doktor di Insitut Pertanian Bogor .
9.
Rektor Universitas Padjadjaran,
Padjadjaran,
Dekan Fakultas Peternakan, Universitas
dan Kepala Laboratorium Fisiologi dan Biokimia, Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjaran
beserta staf, yang telah memberi
10
kesempatan untuk mengikuti program S3 dan dorongan yang
tak henti-
hentinya.
10. Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dan Kepala Balai Peningkatan
Produksi Ternak Perah, Balai Pelatihan, Balai Pengujian Sarana Produksi
Peternakan Pakan, dan Balai Penyidikan Penyakit dan Kesmavet di Cikole
Lembang, yang telah
memberikan izin dan fasilitas penelitian pada saat
penulis melaksanakan pengumpulan data
11. Bunda, Ibu Hj. Siti Halimah Zyin Hernawan, Keluarga besar Bpk R.H.
Mamun Hernawan dan Keluarga besar Bpk
H.Soelaeman yang telah
memberikan doa, dorongan bantuan berupa materi dan spriritual yang tidak
ternilai kepada penulis.
12. Suami tercinta Ir. Burhanudin Soelaeman MM, buah hati tersayang Gia
Ginanjar BS, Gerry Nugraha BS, dan Gistya Gemma Rahayu BS, yang telah
memberikan pengertian dan dorongan dengan penuh keikhlasan, serta
kesempatan yang luas, sehingga banyak waktu-waktu keluarga yang tersita
selama penulis mengikuti program S3.
13. Bapak K.H Aan Mustafa Kamil beserta keluarga besar Tariqoh Assadzaliah
yang telah memberi semangat dan dorongan spiritual, siraman rohani yang
menyejukkan selama mengikuti program S3.
14. Dr. Ir. Aslamiyah MS dan Ir. Arief Nasution MS (dari
Universitas
Hasanudin), teman seperjuangan menimba ilmu di program S3, yang telah
banyak membantu dan memberi semangat selama mengikuti program S3.
15. Grup Somatotropin (Gatot Muslim, SPt, M.Si, La Eddy SPd M.Si dari
Ternate, Dr. Ir. Hudiana Hernawan MS, Ni Wayan M.Si dari Udayana) yang
telah bahu membahu dalam persiapan dan pelaksanaan penelitian, dengan
suasana penuh canda tawa dan kekeluargaan.
16. Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor beserta jajarannya,
yang telah banyak memberikan fasilitas dan bantuan kepada penulis selama
mengikuti program S3
17. Poppy, Yudi, Titta, Ida, Nining, Caca, Cecen, Dedih, Mang Ade, Ayun dan
Poniman, group Cikole adalah kawan- kawan setia yang telah menemani dan
membantu dengan tanpa pamrih dalam pengumpulan data selama penelitian.
11
18. Ibu Asmarida, Ibu Sri dan Pak Wawan dari Laboratorium
Fisiologi,
Departemen AFF, FKH IPB, yang telah banyak membantu penulis dalam
penyelesaian penelitian di laboratorium.
19. Dinda Dr. Dra. Iis Arifiantini MSi beserta keluarga yang telah banyak tersita
waktunya untuk membantu saat akhir penyelesaian disertasi ini.
20. Rekan-rekan dan semua pihak baik secara langsung maupun tidak langsung
yang terlibat dalam pelaksanaan dan penulisan disertasi ini.
Akhirulkalam semoga amal dan budi baik yang telah diberikan kepada
penulis menjadikan
pahala dan mendapat balasan
yang berlipat ganda dari
Allah SWT, Sang Maha Pemberi dan Pengabul. Kunfayakun! Semoga Karya
Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan khasanah biologi khususnya
peternakan di Indonesia.
`
Bogor, Mei 2007
ELVIA HERNAWAN
12
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ...............................................................................................
i
DAFTAR TABEL ......................................................................................
ii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
iii
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
v
PENDAHULUAN .....................................................................................
Latar Belakang ..................................................................................
Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................
Hipotesis .........................................................................................
1
1
5
6
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
Sapi Perah di Indonesia ..................................................................
Masa Laktasi ..................................................................................
Homeostasis ...................................................................................
Somatotropin dan Mekanisme Kerja ..............................................
Somatotropin, IGF-I, dan Produksi Susu .......................................
Somatotropin, Metabolisme, dan Produksi Susu ...........................
Somatotropin, Kesehatan Ternak dan Keamanan Pangan .............
7
7
9
10
11
16
18
22
MATERI DAN METODE PENELITIAN .................................................
Materi Penelitian ............................................................................
Metode Penelitian ..........................................................................
Alir Penelitian ................................................................................
Peubah yang Diamati dan Cara Pengukuran ..................................
Analisis Statistik ............................................................................
25
25
25
27
29
34
HASIL ........................................................................................................
Status Faali dan Hematologi ................................................................
Metabolit Darah dan Hormon Metabolisme ..................................
Produksi Susu......................................................................................
Komposisi Susu dan Berat Jenis Susu ...........................................
Tubuh, Konsumsi Bahan Kering, Efisiensi Produksi Susu, dan
Nilai Kondisi Ternak ......................................................................
36
36
40
46
53
PEMBAHASAN .........................................................................................
65
SIMPULAN ...............................................................................................
89
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
90
LAMPIRAN ...............................................................................................
99
57
13
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Komposisi asam-amino somatotropin manusia, sapi, domba, dan
babi ...............................................................................................
13
Tabel 2 Komposisi pakan sapi perah laktasi di BPPTP Cikole .................
28
Tabel 3 Kandungan nutrisi pakan penelitian, imbangan hijauan dan
konsentrat pakan, dan angka kebutuhan nutrien sapi penelitian ..
28
Tabel 4 Rataan denyut jantung, frekuensi pernapasan, suhu tubuh, nilai
hematoktit dan kadar hemoglobin sapi yang diinjeksi bST dan
ditambah konsentrat selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ....
37
Tabel 5 Rataan kadar metabolit dan hormon metabolisme pada sapi yang
diinjeksi bST dan ditambah konsentrat selama 84 hari (12
minggu) pengamatan ....................................................................
41
Tabel 6 Rataan produksi susu dan 4% FCM pada sapi yang
disuplementasi bST dan pakan selama 84 hari (12 minggu)
pengamatan ..................................................................................
47
Tabel 7 Hubungan produksi susu dan waktu perlakuan dari masingmasing kombinasi perlakuan selama 84 hari (12 minggu)
pengamatan ..................................................................................
52
Tabel 8 Rataan komposisi dan bobot jenis susu pada sapi yang diinjeksi
bST dan ditambah konsentrat selama 84 hari (12 minggu)
pengamatan ..................................................................................
54
Tabel 9 Bobot tubuh, pertambahan bobot tubuh, konsumsi bahan kering
dan efisiensi produksi susu, dan nilai kondisi ternak sapi yang
diinjeksi bST dan ditambah konsentrat selama 84 hari
(12 minggu) pengamatan .............................................................
58
14
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Kurva Produksi Susu selama Laktasi (Alim et al. 2001) .........
9
Gambar 2 Aktivitas langsung dan tidak langsung ST pada pertumbuhan
dan metabolisme (Kamil et al. 2001) .......................................
15
Gambar 3 Koordinasi antarjaringan dalam adaptasi metabolik pada sapi
laktasi yang diinjeksi bST (Aker 2002) ...................................
21
Gambar 4 Alir Penelitian ..........................................................................
27
Gambar 5 Rataan denyut jantung efek utama pakan (a), bST (b), dan
kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu)
pengamatan ..............................................................................
36
Gambar 6 Rataan frekuensi pernapasan efek utama pakan (a), bST (b),
dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu)
pengamatan ..............................................................................
38
Gambar 7 Rataan suhu tubuh efek utama pakan (a), bST (b), dan
kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu)
pengamatan ..............................................................................
39
Gambar 8 Rataan nilai hematokrit efek utama pakan (a), bST (b), dan
kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu)
pengamatan ..............................................................................
39
Gambar 9 Rataan kadar hemoglobin efek utama pakan (a), bST (b), dan
kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu)
pengamatan ..............................................................................
40
Gambar 10 Rataan kadar glukosa serum efek utama pakan (a), bST (b),
dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu)
pengamatan ..............................................................................
42
Gambar 11 Rataan kadar trigliserida serum efek utama pakan (a), bST (b),
dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu)
pengamatan ..............................................................................
43
Gambar 12 Rataan kadar nitrogen urea serum efek utama pakan (a), bST
(b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu)
pengamatan ..............................................................................
43
Gambar13 Rataan kadar kortisol serum efek utama pakan (a), bST (b),
dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu)
pengamatan ..............................................................................
44
Gambar 14 Rataan kadar T4 serum efek utama pakan (a), bST (b), dan
kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu)
pengamatan ..............................................................................
45
Gambar 15Rataan kadar T3 serum efek utama pakan (a), bST (b), dan
kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu)
pengamatan ..............................................................................
45
15
Gambar 16 Rataan produksi susu (kg/minggu) masing-masing kombinasi
perlakuan selama penelitian ............................................................. 46
Gambar 17 Interaksi injeksi bST harian, injeksi bST selang 14 hari, dan
pakan satandar (P1), pakan standar ditambah 25% konsentrat
(P2) ............................................................................................... 49
Gambar 18 Hubungan produksi susu dan waktu perlakuan dari masingyang lebih rendah masing kombinasi perlakuan selama 84 hari
(12 minggu) ...................................................................................... 51
Gambar19 Rataan produksi susu 4% FCM efek utama pakan (a), bST (b),
dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu)
pengamatan ...................................................................................... 53
Gambar 20 Rataan protein susu (%) efek utama pakan (a), bST (b), dan
kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu)
pengamatan ...................................................................................... 55
Gambar21 Rataan lemak susu (%) efek utama pakan (a), bST (b), dan
kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu)
pengamatan ...................................................................................... 55
Gambar 22 Rataan BKTL susu (%) efek utama pakan (a), bST (b), dan
kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu)
pengamatan ...................................................................................
56
Gambar 23 Rataan bobot jenis susu efek utama pakan (a), bST (b), dan
kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu)
pengamatan ...................................................................................... 56
Gambar 24 Rataan bobot tubuh efek utama pakan (a), bST (b), dan
kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu)
pengamatan ...................................................................................... 57
Gambar 25 Interaksi injeksi bST harian, injeksi bST selang 14 hari, dan
pakan standar (P1), pakan standar ditambah 25% konsentrat
(P2) pada penambahan bobot tubuh ................................................. 59
Gambar 26 Rataan konsumsi bahan kering efek utama pakan (a), bST (b),
dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu)
pengamatan ...................................................................................... 59
Gambar 27 Rataan efisiensi produksi susu (EPS) efek utama pakan (a),
bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12
minggu) pengamatan ........................................................................ 60
Gambar 28 Rataan nilai kondisi ternak (NKT) efek utama pakan (a), bST
(b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu)
pengamatan ...................................................................................... 61
16
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1
Analisis ragam rataan denyut jantung selama 84 hari
pengamatan .........................................................................
91
Analisis ragam rataan frekuensi pernapasan selama 84 hari
pengamatan .........................................................................
91
Analisis ragam rataan suhu tubuh selama 84 hari
pengamatan .........................................................................
91
Analisis ragam rataan nilai hematokrit selama 84 hari
pengamatan .........................................................................
92
Analisis ragam rataan kadar hemoglobin selama 84 hari
pengamatan .........................................................................
92
Analisis ragam rataan glukosa serum selama 84 hari
pengamatan .........................................................................
92
Analisis ragam rataan nitrogen urea serum selama 84 hari
pengamatan .........................................................................
92
Analisis ragam rataan trigliserida serum selama 84 hari
pengamatan .........................................................................
93
Analisis ragam rataan kortisol serum selama 84 hari
pengamatan .........................................................................
93
Lampiran 10 Analisis ragam rataan
T4 serum selama 84 hari
pengamatan .........................................................................
93
Lampiran 11 Analisis ragam rataan T3
serum selama 84 hari
pengamatan .........................................................................
93
Lampiran 12 Analisis ragam total produksi susu bulan ke-1 perlakuan ...
89
Lampiran 13 Analisis ragam total produksi susu bulan ke-2 perlakuan ...
89
Lampiran 14 Analisis ragam total produksi susu bulan ke-3 perlakuan ...
89
Lampiran 15 Analisis ragam total produksi susu selama 84 hari
pengamatan .........................................................................
89
Lampiran 16 Analisis ragam produksi susu 4% FCM selama 84 hari
pengamatan .........................................................................
90
Lampiran 17 Analisis ragam rataan kadar protein susu selama 84 hari
pengamatan .........................................................................
90
Lampiran 18 Analisis ragam rataan kadar lemak susu selama 84 hari
pengamatan .........................................................................
90
Lampiran 19 Analisis ragam rataan kadar berat kering tanpa lemak
selama 84 hari pengamatan .................................................
90
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6
Lampiran 7
Lampiran 8
Lampiran 9
Lampiran 20 Analisis ragam rataan bobot jenis susu selama 84 hari
pengamatan .........................................................................
17
Lampiran 21 Analisis ragam bobot tubuh awal sapi uji ...........................
94
Lampiran 22 Analisis ragam bobot tubuh akhir .......................................
94
Lampiran 23 Analisis ragam pertambahan bobot tubuh selama penelitin
...............................................................................................
94
Lampiran 24 Analisis ragam rataan bobot tubuh selama 84 hari (12
minggu) pengamatan ...........................................................
94
Lampiran 25 Analisis ragam rataan konsumsi bahan kering selama 84
hari pengamatan ..................................................................
94
Lampiran 26 Analisis ragam efisiensi produksi susu selama 84 hari (12
minggu) pengamatan ...........................................................
95
Lampiran 27 Analisis ragam rataan nilai kondisi ternak 1-4 minggu
pengamatan .........................................................................
95
Lampiran 28 Analisis ragam rataan nilai kondisi ternak 5-8 minggu
pengamatan .........................................................................
95
Lampiran 29 Analisis ragam rataan nilai kondisi ternak 8-12 minggu
pengamatan .........................................................................
95
Lampiran 30 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara
produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi
perlakuan .................................................................................. 108
Lampiran 31 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara
produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi
perlakuan .................................................................................. 108
Lampiran 32 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara
produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi
perlakuan .................................................................................. 109
Lampiran 33 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara
produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi
perlakuan .................................................................................. 109
Lampiran 34 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara
produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi
perlakuan .................................................................................. 109
Lampiran 35 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara
produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi
perlakuan .................................................................................. 110
18
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Angka konsumsi susu di Indonesia saat ini
tercatat paling rendah di
Asean, yaitu 7 kg/kapita/tahun atau setara dengan 19 cc/kapita/hari, sedangkan
Malaysia, Thailand dan Bangladesh mempunyai rataan konsumsi susu di atas 20
kg/kapita/tahun. Berdasarkan data produksi susu segar yang dilaporkan Direktorat
Jenderal Peternakan (2005) menunjukkan adanya peningkatan produksi susu dari
tahun 2002, 2003, 2004, dan 2005 yang secara berturut-turut sebesar 493 375;
553 442; 550 000; dan 550 000 ton. Namun demikian, produksi susu dalam
negeri baru dapat mensuplai sekitar 30% saja sehingga kekurangannya yaitu
70% atau sebanyak 1 425 200 ton diimpor dalam bentuk susu olahan dari
Selandia Baru, Australia, Irlandia, Belanda, Filipina, dan Thailand. Kegiatan
impor susu ditengarai sebagai akibat rendahnya produksi susu dalam negeri, dan
di samping itu juga akibat kesenjangan yang kian melebar
antara angka
kebutuhan konsumsi dan produksi susu dalam negeri.
Pada tahun 2005 populasi sapi perah di Indonesia adalah sekitar 374 000
ekor dan hampir 91,1% dikelola dalam usaha yang berbasis peternakan rakyat
dengan produksi susu yang masih rendah, yaitu berkisar antara 8 dan 10
L/ekor/hari atau antara 2 500 dan 3 000 L/laktasi. Sejumlah 8,9% lainnya
dikelola dalam perusahaan komersial dengan produksi susu antara 3 000 dan
5 000 L/laktasi. Berdasarkan asal usulnya, sapi perah yang banyak dipelihara di
Indonesia
adalah
bangsa
FH
yang
berasal
dari
negara
beriklim
subtropis/temperate, yang telah mengalami proses adaptasi lingkungan. Namun,
hasil produksinya masih jauh di bawah rataan sapi-sapi perah di negara asalnya,
yakni 7 342 kg/laktasi (Talib et al. 2003).
Indonesia termasuk daerah tropis lembab yang dicirikan oleh suhu
lingkungan, kelembaban, dan curah hujan yang tinggi. Sapi perah termasuk hewan
homoioterm yang akan selalu menjaga keseimbangan antara panas tubuhnya
dengan lingkungan disekeliling. Perubahan lingkungan luar akan segera diikuti
dengan perubahan lingkungan dalam tubuh, dan dikembalikan ke kondisi semula
agar seluruh kerja sistem organ kembali ke dalam keadaan normal, atau dikenal
2
dengan proses homeostasis. Konsep homeostasis melibatkan keseimbangan panas,
kegiatan organ sirkulasi, kardiovaskular, dan lain-lain.
Perubahan lingkungan dalam tubuh akan menimbulkan serangkaian
perubahan reaksi biokimia dalam tubuh, yang berdampak pada aktivitas sel dan
kerja organ yang pada gilirannya menyebabkan banyak energi yang digunakan
hanya untuk mempertahankan kondisi tubuh atau untuk hidup pokok. Proses yang
jika berlangsung cukup lama dan berkesinambungan ini akan mempengaruhi
penggunaan energi, sedangkan produksi yang dihasilkan ternak merupakan
kelebihan energi setelah digunakan untuk mengelola atau mempertahankan
kebutuhan hidup pokok. Ternak dalam kondisi tersebut di atas cenderung
menurunkan level konsumsi pakan bila berada di daerah panas. Proses tersebut
diyakini sebagai penyebab rendahnya produktivitas ternak di daerah panas karena
serangkaian
proses
metabolisme
tubuh
yang
harus
dilakukan
untuk
mempertahankan sistem kerja organ-organ tubuh.
Sapi perah asal subtropis akan berkembang biak secara baik dengan
produksi susu yang cukup tinggi pada daerah yang mempunyai ketinggian dari
750 sampai 1 250 m di atas permukaan laut, yang memiliki kisaran suhu udara
antara 17 dan 22°C dan kelembaban di atas 55% (Atmadilaga 1979). Hasil
penelitian di Thailand, yang juga negara tropis, menunjukkan bahwa sapi-sapi
perah subtropis dapat beraklimatisasi dengan baik pada suhu di bawah 18°C dan
kelembaban di atas 55% (Siregar et al. 2003). Dengan alasan ini, populasi sapi
perah di Indonesia tersebar di daerah-daerah tertentu saja, khususnya yang
mempunyai kesamaan iklim dengan daerah asalnya.
Dalam menanggulangi permasalahan tentang kesenjangan antara produksi
susu dan kebutuhan konsumsi susu nasional, pemerintah dalam kebijakan
peningkatan produksi dan kualitas susu tahun 2010 mencanangkan peningkatan
suplai susu dalam negeri dari 30 menjadi 40% melalui peningkatan produksi susu
dari 8-10 L menjadi 15L/ekor/hari, kepemilikan ternak dari 4-6 ekor menjadi 10
ekor/kepala keluarga (Departemen Pertanian 2006). Sebagai tindak lanjut maka
berbagai upaya peningkatan produktivitas ternak telah banyak dilakukan, di
antaranya dengan memanipulasi lingkungan, nutrisi, bahkan reproduksi melalui
inseminasi buatan dan trasfer embrio. Namun, hasilnya dipandang belum
memuaskan. Upaya peningkatan melalui aplikasi hasil bioteknologi belum banyak
3
dilaporkan, sementara di luar negeri penggunaan produk bioteknologi seperti
hormon pertumbuhan rekombinan sudah luas di kalangan peternak.
Somatotropin
sapi
rekombinan
atau
bovine
somatotropin
(bST)
rekombinan telah dikenal sejak tahun 80-an, yang merupakan hasil bioteknologi
khususnya dalam manipulasi genetik, reproduksi dan fisiologi, dan aplikasinya
sangat mewarnai perubahan dalam industri peternakan. Mekanisme kerja
somatotropin dalam peningkatan produksi susu pada sapi laktasi secara langsung
terlibat dalam penggalangan nutrisi. Sementara aktivitas sintesis susu dalam
kelenjar susu tidak secara langsung oleh kerja ST karena di dalam sel-sel kelenjar
susu hampir tidak ditemukan reseptor ST, namun reseptor IGF-1 banyak djumpai
sehingga para peneliti meyakini bahwa perangsangan produksi susu melalui
injeksi bST pada sapi laktasi dimediasi oleh insulin like growth factor-1 (IGF-1).
Hal ini terlihat jelas adanya peningkatan konsentrasi IGF-1 mencapai 3 sampai 4
kali lipat setelah diberi perlakuan ST, dan peningkatan akan terus berlanjut selama
perlakuan.
Somatotropin pada sapi laktasi berperan dalam proses-proses yang
berkaitan erat dengan penggalangan nutrien untuk kebutuhan
sintesis susu
sehingga perangsangan produksi susu melalui injeksi ST berdampak pada
metabolisme. Peningkatan sintesis susu memerlukan sejumlah tambahan nutrien
baik substrat atau prekursor sehingga sebagai konsekuensinya aliran darah menuju
kelenjar susu perlu ditingkatkan. Dalam penggalangan nutrien, ST berperan
sebagai agen homeorhesis dengan melakukan serangkaian adaptasi metabolisme
dalam tubuh.
Semakin tersedianya ST hasil isolasi pituitari atau rekayasa genetika,
penggunaan ST dalam industri peternakan semakin berkembang pesat. Hasil
ulasan Peel dan Bauman (1987), Chalupa dan Galligan (1989) menyimpulkan
bahwa penggunaan ST tidak memberikan dampak yang merugikan pada ternak,
bahkan akan tampak seperti produksi susu dari jenis genetik unggul jika diberikan
pada sapi yang berproduksi tinggi. Injeksi ST pada sapi-sapi yang berproduksi
rendah dengan manajemen yang baik akan memberikan respons yang lebih baik
dibandingkan dengan sapi yang berproduksi tinggi.
Bovine somatotropin (bST) semakin populer di kalangan peternak, dan
penggunaan bST dilakukan dengan cara injeksi harian atau injeksi dengan selang
4
waktu tertentu (14 atau 28 hari). Cara injeksi tersebut di atas akan berdampak
pada konsentrasi ST dalam darah yang pada gilirannya akan berdampak pada
kerja ST dalam penggalangan nutrisi. Injeksi bST selang 14 hari dilaporkan
menghasilkan produksi susu yang
lebih rendah, yaitu hanya 70-79%
dibandingkan dengan cara injeksi bST harian, namun dipandang lebih efektif
untuk aplikasi di lapangan (Chilliard 1989, Jenny et al.1992, Etherton&Bauman
1998). Penambahan hormon eksogen berpengaruh pada konsentrasi hormon–
hormon lain yang saling berkaitan secara metabolis. Respons sapi laktasi terhadap
injeksi bST akan meningkatkan sekresi susu harian atau mingguan, dan
peningkatan produksi susu akan dipertahankan selama pemberian yang
berkesinambungan (Akers 2002), tetapi akan cepat kembali ke level basal ketika
injeksi bST dihentikan ( Manalu 2001; Akers 2002). Injeksi ST dalam industri
peternakan saat ini dianggap merupakan suatu terobosan dari hasil bioteknologi
yang cukup ekonomis dan efisien, sekalipun dibandingkan dengan upaya
pemberantasan penyakit, vaksinasi atau penggunaan bioteknologi reproduksi
(Hardjopranjoto 2001).
Somatotropin sangat menjanjikan peningkatan produktivitas serta efisiensi
penggunaan pakan pada sapi perah. Penggunaan bST pada tingkat peternak dapat
meningkatkan rataan produksi susu hingga 5 kg/hari atau berkisar antara 15 dan
20% tanpa menimbulkan penyakit metabolis atau perubahan kualitas susu yang
berarti (Manalu 1994), bahkan laporan terakhir peningkatan produksi susu dapat
mencapai antara 30 dan 40% bergantung pada dosis pemakaian (Akers 2002).
Namun, demikian pasokan pakan yang diberikan perlu mendapat perhatian,
khususnya dalam hal keseimbangan nutrisi pakan agar bisa mendukung
penggalangan pasokan bahan sintesis susu.
Pakan sapi perah terdiri atas penyusun pakan terbesar berupa hijauan dan
konsentrat sebagai tambahan. Keseimbangan antara hijauan dan konsentrat akan
berpengaruh pada produksi dan komposisi susu. Pakan melalui proses fermentasi
rumen akan menghasilkan sejumlah
asam lemak terbang (asam asetat, asam
propionat, asam butirat) yang akan digunakan sebagai
sumber energi utama
(Akers 2002). Hijauan secara kuantitas cenderung berpengaruh pada produksi
asam asetat dan berkaitan erat dengan kadar lemak susu serta penyediaan rangka
karbon, sedangkan konsentrat berpeluang untuk meningkatkan produksi asam
5
propionat yang melalui proses glukoneogenesis dalam hati akan diubah menjadi
glukosa. Glukosa merupakan substrat dan prekursor
yang sangat dibutuhkan
dalam proses sintesis susu khususnya dalam sintesis laktosa. Untuk dapat
meningkatkan produksi susu perlu dilakukan penambahan sumber glukosa yang
tiada lain dari konsentrat.
Peningkatan produksi susu melalui injeksi bST pada usaha sapi perah
kiranya dapat dijadikan salah satu jalan pintas bagi penyediaan kebutuhan
konsumsi susu dalam negeri. Namun, perlu penjajagan ke arah tersebut. Untuk
mendapatkan data konkrit khususnya bagi peternakan di Indonesia yang berlatar
belakang iklim tropis, dan dicirikan rendahnya produktivitas yang diakibatkan
oleh suhu lingkungan dan kelembaban tinggi, maka perlu dilakukan penelitian
tentang injeksi somatotropin (bST) pada sapi laktasi di dataran tinggi.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengkaji potensi sapi perah yang sudah
beradaptasi dengan iklim Indonesia dalam merespons injeksi bST dan
penambahan konsentrat dalam upaya peningkatan produktivitas ternak. Tujuan
penelitian secara rinci :
1. Membandingkan efektivitas selang waktu injeksi bST dan penambahan 25%
konsentart pada profil metabolit dan hormon metabolisme darah yang erat
kaitannya dengan sintesis susu.
2. Membandingkan pengaruh selang waktu injeksi bST dan penambahan 25%
konsentrat pada produksi susu dan komposisi susu.
3. Membandingkan efisiensi produksi susu masing-masing selang waktu injeksi
bST dan penambahan 25% konsentrat.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah khasanah biologi dalam
penerapan produk bioteknologi, yaitu somatotropin rekombinan dan selanjutnya
dapat dijadikan informasi dasar bagi para peternak atau penentu kebijakan dalam
upaya peningkatan produktivitas sapi perah nasional.
6
Hipotesis
Injeksi bST selang 14 hari dan penambahan 25% konsentrat pada sapi
Holstein laktasi akan menghasilkan produksi susu dan komposisi yang sama
dengan hasil injeksi
bST harian dan pakan standar, yang dinilai melalui
perubahan status faali, hematologi, metabolit, hormon metabolisme, bobot tubuh,
konsumsi bahan kering, efisiensi produksi susu, dan nilai kondisi ternak.
7
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Perah di Indonesia
Rumpun sapi perah Fries Holstein (FH) banyak dipelihara di Indonesia.
Rumpun sapi perah ini berasal dari daerah subtropis atau lebih jelasnya dari
provinsi Holland Utara dan Friesland Barat Belanda. Berdasarkan asal usulnya,
rumpun sapi ini dikembangkan dari nenek moyang sapi liar Bos (Taurus) Typicus
primigenius dan telah diternakkan di negeri Belanda sekurang-kurangnya 2000
tahun.
Sapi FH mempunyai ciri-ciri kepala panjangnya sedang, mulut lebar
dengan hidung terbuka lebar, rahang kuat, dahi lebar, leher panjang dan pipih.
Selain itu, sapi FH mempunyai punggung kuat dan rata dengan ruas-ruas tulang
belakang yang rapih hubungannya, dan pinggang lebar dan kuat. Kedudukan
keempat kaki sapi FH membentuk empat persegi panjang, dan bentuk kaki halus
tetapi tampak kuat. Warna tubuh pada umumnya belang hitam putih, tetapi di
negeri Belanda bagian timur dan di Jerman terdapat kelompok sapi yang berwarna
belang merah putih (Sosroamidjojo & Soeradji 1978).
Pada umumnya sapi-sapi Eropa mempunyai kisaran suhulingkungan
nyaman yang rendah sehingga lebih toleran terhadap suhu lingkungan dingin
dibandingkan suhu lingkungan panas. Agar sapi perah FH dapat memberikan
produksi maksimal sesuai dengan kemampuan genetiknya, perlu lokasi yang
mempunyai lingkungan mikro yang hampir menyamai tempat asalnya. Wilayah
yang sesuai untuk pengembangan sapi perah adalah daerah yang memiliki suhu
lingkungan antara 0 dan 20ºC, sedangkan suhu kritis untuk sapi Holstein, Brown
Swiss, dan Brahman secara berturut-turut adalah 21; 24-27; 32ºC (Hafez 1968).
Sapi perah akan berproduksi maksimal pada suhu lingkungan antara 4,4 dan
21,1ºC dengan tingkat kelembaban berkisar antara 60 dan 80%. Kenaikan suhu
lingkungan akan menurunkan konsumsi pakan dan produksi susu sementara
konsumsi air meningkat (Schmidt 1971).
Sekitar abad ke-19 sapi FH pertama kali didatangkan ke Indonesia oleh
pemerintah Belanda untuk memenuhi kebutuhan susu bagi bangsa Belanda yang
ada di Indonesia. Indonesia terletak di daerah tropis yang sangat sedikit daerah
curah hujan rendah dan musiman, radiasi sinar matahari yang sangat kuat
8
sehingga kombinasi tersebut menyebabkan fluktuasi suhu harian dan kelembaban
yang sangat luas. Secara geografis, Indonesia terletak antara 5 dan 7º Lintang
Utara dan Lintang Selatan, yang mempunyai suhu yang relatif konstan (± 27ºC),
curah hujan yang tinggi berkisar dari 2 032 sampai 3 048 mm (Williamson &
Payne 1993). Dalam kurun waktu yang cukup panjang sapi-sapi asal Belanda
tersebut
mengalami aklimatisasi dengan lingkungan tropis Indonesia, bahkan
pada saat ini telah berkembang pesat peranakan FH yang telah lebih beradaptasi
dengan lingkungan.
Suhu optimal untuk produksi susu sapi yang berasal dari daerah subtropis
adalah 10°C (Williamson & Payne 1993). Penampilan produksi masih cukup baik
walau suhu lingkungan meningkat sampai 21,1°C (Sutardi, 1981). Suhu kritis
yang berdampak pada penurunan produksi susu yang tajam adalah antara 21
sampai 27°C (Williamson & Payne 1993). Tidak mengherankan apabila
pemeliharaan sapi FH sebagian besar terkonsentrasi pada daerah-daerah dataran
tinggi (±1000 m dpl) seperti Garut, Lembang, Pangalengan, Pujon, Nongkojajar,
yang lingkungannya hampir menyamai daerah asalnya (Siregar et al. 2003).
Populasi sapi perah di Indonesia menunjukkan perkembangan. Selama
kurun waktu 1970 hingga 2001 terjadi peningkatan populasi dari 52 000 ekor
menjadi 347 000 ekor, sedangkan sejak tahun 1994 produksi susu tercatat
426 727 ton dan meningkat menjadi 550 000 ton pada tahun 2004 (Direktorat
Jenderal Peternakan 2005).
Sapi Fries Holstein mempunyai produksi susu yang tinggi (4 000 sampai
5 000 L/tahun), dan di daerah tropis dalam kisaran dari 2 500 sampai 5 000 kg/
laktasi (Pane 1986). Tampaknya sapi Fries Holstein mengalami penurunan
produktivitas khususnya pada peternakan rakyat: produksi susu mencapai 8 L/hari
dan pada peternakan sapi perah komersial berkisar dari 3 000 sampai 5 000 L/305
hari, sedangkan di negara asalnya rata-rata produksi mencapai 7 342 kg/laktasi
(Talib et al. 2003).
9
Masa Laktasi
Masa laktasi seekor sapi perah menunjukkan lamanya waktu sapi perah
tersebut menghasilkan susu dalam satu periode (Bath et al.1978). Periode laktasi
normal berlangsung kira-kira 44 minggu atau 305 hari. Produksi susu sapi perah
pada awal laktasi umumnya meningkat secara dramatis dan mencapai puncaknya
pada minggu keempat hingga kedelapan setelah partus dan menurun secara
perlahan sampai ahir masa laktasi (NRC 1988). Produksi susu selama 2 bulan
pertama laktasi mencapai 145% dari rataan produksi satu periode laktasi,
sedangkan pada bulan ketiga dan keempat menunjukkan penurunan menjadi
120%, bulan laktasi kelima dan keenam produksi susu sama dengan rataan
produksi dalam satu periode laktasi dan setelah itu produksi menjadi 78% pada
bulan laktasi ketujuh dan kedelapan, akan menurun hingga 70% ketika menjelang
beranak (Tanuwiria 2004). Sebagai gambaran kurva produksi susu selama laktasi
Produksi Susu (Kg)
disajikan pada Gambar 1.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
BULAN
Gambar 1 Kurva Produksi Susu selama Laktasi (Alim et al. 2001)
Produksi susu setiap periode laktasi akan meningkat sejalan dengan
bertambahnya umur, dan puncak prestasi produksi dicapai pada umur antara 6 dan
7 tahun. Laktasi pertama sapi betina yang sehat akan terjadi pada umur dua tahun
dengan produksi susu 75% dari produksi umur dewasa, laktasi kedua terjadi pada
umur tiga tahun dengan produksi 85% dari produksi umur dewasa, laktasi ketiga
dan keempat terjadi pada umur antara 4 dan 5 tahun dengan produksi susu antara
10
92% dan 98% dari produksi umur dewasa. Umur dewasa dicapai pada 6 tahun,
keadaan ini sedikit bervariasi di antara sapi perah. Jika sapi betina berumur dari 8
sampai 9 tahun atau lebih maka produksi susu akan menunjukkan penurunan
setiap laktasi (Schmidt et al. 1988).
Jumlah produksi susu per laktasi dari seekor sapi perah sangat dipengaruhi
oleh bangsa sapi, umur, musim kelahiran, geografis, masa laktasi, manajemen,
nutrien, dan frekuensi pemerahan (Homan & Wattiaux 1996). Selain itu, jumlah
produksi susu per laktasi dipengaruhi juga oleh manajemen sehingga lambatnya
pengaturan perkawinan dalam periode laktasi akan memungkinkan periode laktasi
lebih panjang.
Homeostasis
Semua ternak merupakan hewan homeotermis yang
mempunyai suhu
tubuh yang relatif tetap atau mempunyai kisaran suhu tubuh yang sempit. Untuk
dapat mempertahankan suhu tubuh yang tetap, ternak harus mampu mengatur
keseimbangan antara panas yang diproduksi dari hasil metabolisme seluler dan
yang diperoleh dari lingkungan dengan pengeluaran panas dari tubuh (Hafez
1968).
Produksi panas tubuh berlangsung secara berkesinambungan di dalam
protoplasma sebagai hasil oksidasi zat-zat makanan terutama yang terjadi di
dalam tenunan-tenunan otot dan kelenjar. Ternak tetap memerlukan energi untuk
menyelenggarakan proses-proses untuk mendukung hidup pokok, yaitu sirkulasi
darah, respirasi, gerak otot, ekskresi, dan lain-lainnya (Soeharsono 1984). Selain
itu, panas diperoleh secara langsung dari luar tubuh berupa penyerapan melalui
permukaan tubuh dari panas matahari (Cole 1962; Hafez 1968). Proses fisiologis
hanya akan berlangsung baik apabila kondisi lingkungan luar tubuh (millieu
exterieur) dan di dalam tubuh (millieu interieur) berada dalam keseimbangan.
Perubahan kondisi lingkungan luar tubuh akan mengubah kondisi lingkungan di
dalam tubuh.
Pada ternak homoiotermis, perubahan dari luar akan berdampak pada
serangkaian proses dalam tubuh untuk mengembalikan ke dalam keadaan yang
relatif tetap. Proses tersebut dikenal dengan homeostasis. Setiap individu akan
dihadapkan pada dua tipe lingkungan, yakni lingkungan luar (external
11
environment) dan lingkungan dalam tubuh (internal enviroment). Perubahan
lingkungan eksternal akan menimbulkan banyak perubahan reaksi biokimia yang
berdampak pada gangguan kerja sel dan kerja organ yang mengakibatkan banyak
energi yang digunakan hanya untuk mempertahankan kondisi tubuh atau hidup
pokok (Soeharsono 1984).
Konsep homeostasis menyangkut keseimbangan panas, pengaturan suhu
tubuh, keseimbangan kimiawi air, persenyawaan karbon, elektrolit, kardiovaskular
dan lain-lain. Kondisi luar yang menimbulkan perubahan di dalam tubuh terjadi
terus menerus sehingga lambat laun ternak akan terbiasa dengan perubahan di luar
tersebut dan kegiatan proses homeostasis semakin ringan menandakan ternak telah
mengalami proses penyesuaian fisiologis. Dalam jangka panjang akan terjadi
proses adaptasi, namun tidak memperlihatkan produktivitas yang tinggi
(Soeharsono 1984).
Somatotropin dan mekanisme kerja
Somatotropin (ST) adalah nama ilmiah hormon pertumbuhan (growth
hormone atau GH) yang merupakan hormon protein atau hormon polipeptida
dengan rangkaian 190-191 residu asam amino yang membentuk satu molekul
polipeptida. Somatotropin disintesis dan disekresikan oleh sel-sel somatotrof yang
terletak dalam lobus anterior kelenjar pitiutari (Djojosoebagio 1990; Manalu
1994; Soeharsono 2001), dan sekresinya sangat dipengaruhi oleh faktor neural,
metabolik, dan hormonal (Djojosoebagio 1990).
Fungsi fisiologis hormon ini adalah mempengaruhi proses metabolisme
yang menyangkut pertumbuhan melalui stimulasi sintesis protein, meningkatkan
transportasi asam amino ke dalam sel, mempengaruhi metabolisme karbohidrat,
glukoneogenesis dalam hati, memacu mobilisasi lemak tubuh, dan mempengaruhi
metabolisme mineral (Hardjopranjoto 2001; Koentjoko 2001; Soeharsono 2001).
Bovine somatotropin (bST) mampu mempercepat pengangkutan asam amino
melalui dinding sel ke dalam sitoplasma sehingga dapat menambah konsentrasi
asam amino dalam sel. Selain itu, bST juga mampu meningkatkan pembentukan
asam ribonukleat (RNA) dalam inti sel sehingga dapat mendorong proses
transkripsi dan translasi dalam ribosom di dalam sitoplasma sel (Hardjopranjoto
2001).
12
Secara spesifik terdapat 3 macam bentuk somatotropin. Bentuk pertama
adalah ST dengan 191 asam amino, dengan berat molekul 22 kDa, yang
mengandung dua jembatan disulfida yang menghubungkan asam amino 53 dan
165 membentuk suatu loop besar dan asam amino 182 dan 189 dekat terminus
karboksil dari peptida membentuk loop yang kecil. Bentuk ST ini banyak terdapat
dalam kelenjar pituitari. Bentuk kedua adalah ST yang mempunyai urutan asam
amino yang sama dengan bentuk pertama, tapi kehilangan 15 asam amino nomor
32-46 dari terminal Amino, dengan berat molekul 20 kDa, dan terdapat sekitar 10
sampai 15% dari hormon pituitari. Bentuk ketiga merupakan dimerisasi 2 bentuk
22 kDa peptida yang dihubungkan dengan ikatan disulfida antar-rantai dengan
berat molekul 45 kDa dan hanya ditemukan sekitar 1% dari jumlah hormon
pituitari. Secara keseluruhan perbedaan bentuk tersebut menyebabkan adanya
perbedaan fungsi biologis somatotropin. Bentuk 20 kDa mempunyai ikatan yang
kurang efektif terhadap reseptor hati dan kelenjar susu dibandingkan dengan
bentuk 22 kDa, walaupun kedua hormon tersebut sama-sama merangsang
pertumbuhan (Kamil et al. 2001). Komposisi asam amino penyusun ST berbeda
antarspesies (Tabel 1) sehingga aktivitas biologis ST dari satu spesies tidak akan
mempunyai pengaruh apabila disuntikkan ke spesies lain, atau dengan kata lain
setiap somatotropin dari satu spesies mempunyai kekhususan sendiri (species
specifity) (Turner & Bagnara l988; Djojosoebagio 1990; Soeharsono 2001).
Sekresi ST oleh kelenjar hipofisa dilakukan sesuai kebutuhan fisiologis
melalui dua faktor, yakni growth hormone releasing factor (GHRF) dan growth
hormone inhibiting factor (GHIF) atau somatostatin (Gambar 2). Somatotropin
(ST) setelah dikeluarkan oleh pituitari akan diangkut melalui sistem aliran darah,
namun dengan sifat molekulnya yang besar hormon ini tidak dapat menerobos
membran sel sehingga hormon protein memerlukan kehadiran reseptor spesifik di
membran sel (Shahib 2001; Manalu 2001).
13
Tabel 1. Komposisi asam amino somatotropin manusia, sapi, domba, dan babi
Asam Amino
Lisina
Histidina
Arginina
Aspartat
Treonina
Serina
Glutamat
Prolina
Glisina
Alanina
Sistina
Valina
Metionina
Isoleusina
Leusina
Tirosina
Fenilalanina
Triptofan
Manusia
9
3
11
20
10
18
26
8
8
7
4
7
3
8
26
8
13
1
Sapi
11
3
13
16
12
13
24
6
10
15
4
6
4
7
27
6
13
1
Domba
13
3
13
16
12
12
25
8
10
14
4
7
4
7
22
6
13
1
Babi
11
3
12
15
7
14
24
7
8
16
4
8
3
6
24
7
12
1
Sumber : Hariadi et al. (2001)
Reseptor ST adalah suatu glikoprotein berantai tunggal dari 620 asam
amino dengan suatu domain ekstraseluler yang luas (246 residu asam amino),
domain transmembran tunggal (24 residu), dan domain sitoplasmik yang panjang
(350 residu). Reseptor ST terdapat dalam dua bentuk, yaitu reseptor yang
berafinitas tinggi dan rendah. Reseptor berafinitas tinggi sangat spesifik dikaitkan
dengan pertumbuhan. Bagian ekstraseluler meliputi hormone binding site dan
suatu daerah yang penting untuk dimerisasi reseptor. Reseptor ST banyak
didapatkan pada permukaan sel seperti hati, otot, tulang, dan jaringan adiposa
(Granner 1997; Kamil et al, 2001).
Somatotropin
atau growth hormone yang beredar dalam aliran darah
diikat oleh suatu growth hormone binding proteins (GHBP). Fungsi GHBP ini
masih belum jelas, tetapi diyakini bahwa kehadiran GHBP dapat meningkatkan
waktu paruh ST, memodifikasi distribusinya, mengurangi efek biologis ST pada
preadiposit, dan mengurangi efek biologis sekresi ST pulsatif dengan mengurangi
ST bebas selama sekresi pulsatif sekretori. Growth hormone binding protein
14
(GHBP) berada dalam sirkulasi darah beberapa spesies termasuk manusia, kera,
kelinci, babi, kuda, sapi, domba, anjing, tikus, ayam, dan kalkun (Kamil et al.
2001). Dalam keadaan normal, kadar hormon di dalam darah dipengaruhi oleh
kecepatan sintesis dan degradasi hormon serta kecepatan sekresi, sedangkan kerja
hormon dipengaruhi oleh keadaan reseptor pada sel target dan protein pengangkut
di dalam darah.
Ikatan hormon dengan reseptor (HR) pada permukaan membran sel akan
meningkatkan
permiabilitas
membran
plasma
sehingga
meningkatkan
permiabilitas ion-ion dan zat-zat lain yang mempunyai konfigurasi sedemikian
rupa. Selain itu, HR dapat menyebabkan hiperpolarisasi membran plasma
sehingga memungkinkan pemasukan ion-ion dan zat-zat anorganik ke dalam sel.
Selanjutnya, perubahan ini akan diikuti dengan proses-proses dalam sitoplasma
dan juga modulasi enzim adenilat siklase yang akan merangsang sintesis cyclic
adenosine 3, 5–monophosphate (cAMP), yaitu caraka kedua (second messenger),
yang bekerja mempengaruhi fungsi sel (Djojosoebagio 1990; Manalu 2001;
Shahib 2001).
Meskipun ST telah diketahui sejak tahun 30-an, pada permulaan tahun
1937 para peneliti mendapatkan bahwa sapi-sapi yang disuntik dengan ekstrak ST
dari hipofisis sapi yang diperoleh dari rumah potong hewan (RPH)
memperlihatkan peningkatan produksi susu. Sampai dengan tahun 70-an,
kemajuan yang dicapai hanya sebatas aplikasi ST pada ternak untuk tujuan
komersial. Hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan produksi ST. Untuk
memperoleh ST yang akan diberikan kepada seekor sapi dibutuhkan ekstrak
hipofisis yang berasal dari 200 ekor sapi (Hardjopranjoto 2001). Setelah 50 tahun,
pemakaian ST berkembang pesat khususnya ketika ditemukannya sistem
rekombinan, ST banyak digunakan untuk meningkatkan produksi ternak daging
dan susu (Kamil et al. 2001).
Dewasa ini berkembang hormon rekombinan antara lain recombinant
growth hormone (rbGH) atau recombinant soamtotropin (rbST). Salah satu
produk tersebut dibuat oleh Monsanto Corporation melalui rekayasa genetika,
yakni rbGH dengan nama dagang Posilac yang juga dikenal sebagai bST atau
bGH atau rbGH. Terdapat tiga macam hormon yang banyak mendapat perhatian
15
dalam penggunaannya dewasa ini, yaitu bovine Somatotropin (bST), ovine
Somatotropin (oST), dan porcine Somatotropin (pST) (Hardjopranjoto 2001).
HIPOTALAMUS
MEKANISME
UMPAN BALIK
GHRH
SOMATOSTATIN
(+)
(–)
KELENJAR PITUITARI
SOMATOTROF
SOMATOTROPIN
AKSI TAK LANGSUNG
AKSI LANGSUNG
PROLAKTIN
KHORIONIK
SOMATOTROPIN
INSULIN
HATI
SOMATOMEDIN
SEL LEMAK
LIPOGENESIS
EFEK ANTI INSULIN
SEL LEMAK
KHONDROSIT
LIPOLISIS
METABOLISME
KARBOHIDRAT
FFA DAN
GLISEROL
GLUKOSA
OTOT
SINTESIS PROTEIN
PEMBENTUKAN KARTILAGO
AKTIVITAS DIABETOGENIK
PERTUMBUHAN TULANG
Gambar 2.
Aktivitas langsung dan tidak langsung ST pada pertumbuhan dan
metabolisme ( Kamil et al. 2001)
Somatotropin berpengaruh pada metabolisme tubuh yang pada gilirannya
akan merangsang proses produksi dan proses adaptasi homeostatis yang akan
menyediakan nutrien yang digunakan dalam proses tersebut (Vernon 1989).
Somatotropin mempunyai dua pengaruh utama. Pengaruh pertama berkaitan
dengan proses-proses produksi yang mungkin sebagian diperantarai oleh IGF-I.
Pengaruh yang kedua adalah penyediaan zat-zat makanan yang diperantarai oleh
ST sendiri, akan tetapi pengaruh ini bergantung pada keadaan fisiologis hewan
percobaan karena pada hewan yang sedang tumbuh perlakuan somatotropin bisa
16
mengakibatkan peningkatan akresi protein otot sementara selama laktasi
perlakuan ST dapat mengakibatkan kehilangan protein tubuh (Peel et al. 1981;
Akers 2002).
Somatotropin, IGF-I, dan Produksi susu
Telah disepakati bahwa somatotropin tidak saja berperan dalam
pengontrolan pertumbuhan, namun juga berperan dalam produksi susu (Manalu
1994). Somatotropin sering juga digunakan sebagai agen galaktopoietis yang
dapat meningkatkan produksi susu tanpa memberikan implikasi pada kesehatan
konsumen atau ternak itu sendiri (Tucker 2000).
Somatomedins atau IGF-I (Insulin-like growth factor I) mempunyai
rangkaian 70 asam amino dengan berat molekul 7 649 Dalton sedangkan IGF-II
mengandung 67 asam amino dengan berat molekul 7 471 Dalton. Urutan asam
amino IGF-I dan IGF-II memiliki kemiripan sekitar 70% dan juga mempunyai
struktur yang sama dengan proinsulin. Aktivitas biologis IGF bergantung pada
reseptor IGF yang spesifik yang ada pada sel target. Reseptor IGF ada dua
macam, tipe I (reseptor IGF-I) dan tipe II (reseptor IGF-II). Reseptor IGF-I
merupakan glikoprotein yang mempunyai dua subunit ekstra selluler dan dua
subunit B transmembran. Walaupun mempunyai persamaan affinitas ikatan,
reseptor IGF-I lebih menyukai ikatan dengan IGF-I diikuti dengan IGF-II dan
insulin. Tipe II atau reseptor IGF-II merupakan polipeptida rantai tunggal yang
disebut sebagai reseptor mannosa-6-fosfat. Secara struktural reseptor ini tidak
berkaitan dengan reseptor IGF-I atau insulin. Reseptor tipe II mengikat IGF-II
dengan afinitas yang lebih tinggi daripada IGF-I dan tidak mengenal insulin (
Kamil et al.2001).
Hipotesis klasik yang dikemukakan oleh peneliti terdahulu bahwa aksi ST
menstimulasi hati untuk memproduksi somatomedin atau insulin-like growth
faktor I (IGF-I) yang selanjutnya akan diangkut melalui darah untuk bereaksi
pada organ sasaran yang spesifik (Sharma et al. 1994). Reseptor ST banyak
dijumpai pada hati sehingga diyakini sebagian besar peneliti bahwa ST
memodulasi hati untuk mensintesis IGF-I. Insulin-like growth factor I (IGF-I)
mempunyai peranan penting dalam mengatur metabolisme sel mammalia,
pertumbuhan, dan diferensiasi. Insulin-like growth factor I (IGF-I) hampir
sebagian besar disintesis dalam hati (55%) (Kamil et al. 2001) walaupun beberapa
17
jaringan dapat mensintesisnya sehingga IGF-I bukan saja bereaksi secara endokrin
tetapi juga sebagai autokrin atau parakrin (Prosser & Mepham 1989; Sharma et al.
1994; Tucker 2000; Kamil et al. 2001) sehingga level plasma IGF-I merupakan
produksi kumulatif dari beberapa jaringan (Tucker 2000). Produksi IGF-I akut
sensitif terhadap status nutrien (Prosser & Mepham 1989).
Hampir sebagian besar hormon dalam aksi biologisnya mempunyai organ
target. Namun, tidak demikian halnya dengan ST. Hormon ini tidak memiliki
organ target yang spesifik, tetapi sebagian besar sel tubuh dapat merespons ST
(Djojosoebagio 1990). Efek ST pada peningkatan produksi susu sangat
kontradiktif karena pada jaringan kelenjar susu hampir tidak ditemukan reseptor
untuk ST (Prosser & Mepham 1989; Akers 2002), sedangkan untuk melakukan
aktivitasnya kehadiran reseptor spesifik sangat mutlak (Shahib 2001) sehingga
diyakini bahwa ST tidak mempunyai efek langsung pada fungsi sel sekretori
kelenjar susu (Prosser & Mepham 1989). Pernyataan tersebut didasarkan pada
hasil pengamatan in vitro bahwa pemberian infus ST langsung melalui pembuluh
darah arteri kelenjar susu mengakibatkan terjadi pengurangan efek ST pada
jaringan kelenjar susu dan stimulasi sekresi susu.
Hipotesis lain menyatakan bahwa aksi ST dimediasi oleh somatomedin,
khususnya IGF-I. Pernyataan ini didasari pengamatan secara in vitro bahwa efek
langsung IGF-I pada pertumbuhan kelenjar susu dan perkembangan sistem
transport glukosa pada sel-sel epitel kelenjar susu diyakini sebagai aksi ST dalam
kelenjar susu yang dimediasi oleh IGF-I. Bukti lain adalah bahwa konsentrasi
IGF-I plasma meningkat 3 sampai 4 kali pada sapi laktasi yang diberi injeksi ST
dalam
jangka
waktu singkat (short term). Peningkatan IGF-I jika dihitung
berdasarkan peningkatan aliran darah ternyata dapat mencapai 5 kali dari jumlah
IGF-I yang beredar dalam kelenjar susu (Prosser & Mepham 1989).
Hasil pengamatan in vivo tentang aksi IGF-I untuk meningkatkan sekresi
susu pada ternak kambing, dengan cara penyuntikan IGF-I pada arteri tertutup ke
dalam satu kelenjar dengan laju 1,1 ηmol/menit selama 6 jam, ternyata dapat
meningkatkan laju sekresi sebesar 30 ± 5% dibandingkan dengan yang tidak
mendapat infus hanya sebesar 15 ± 4% (Prosser & Mepham 1989). Konsentrasi
IGF-I dalam susu telah meningkat sebesar 32 ± 22% dibandingkan dengan yang
tidak mendapatkan perlakuan hanya sebesar 14 ± 9%. Peningkatan jumlah sel
18
kelenjar susu dan peningkatan sekresi susu juga diamati secara in vitro ketika
ternak ruminansia kecil diinfus IGF-I melalui pembuluh darah yang langsung
menuju kelenjar susu (Sharma et al. 1994). Efek galaktopoietik ST mengantar
peningkatan sekresi IGF-I ke dalam susu, walaupun pada puncak produksi masih
terdapat dalam rentang fisiologis normal untuk ruminansia penghasil susu.
Somatotropin, Metabolisme, dan Produksi Susu
Penggunaan somatoropin pada sapi laktasi dapat memodifikasi hampir
seluruh aspek metabolisme baik melalui pengaruh langsung atau tidak langsung
(Vernon 1989). Pengaruh langsung khususnya dalam rangka penggalangan zat-zat
makanan, sedangkan pengaruh tidak langsung bukan berkaitan dengan prosesproses produksi yang mungkin sebagian diperantarai oleh IGF-1. Kerja
somatoropin bergantung pada keadaan fisiologis hewan percobaan. Perlakuan ST
pada hewan yang sedang tumbuh akan mengakibatkan peningkatan akresi protein
otot, sedangkan pada hewan laktasi menyebabkan kehilangan protein tubuh (Peel
et al.1981).
Glukosa merupakan prekursor laktosa utama dan hampir 80% glukosa
darah pada sapi laktasi digunakan untuk sintesis laktosa. Pada ternak ruminansia,
konsentrasi glukosa dalam sistem sirkulasi berasal dari ekstraksi propionat dalam
hati (Baldwin & Smith 1983; Annison et al. 1984; Collier 1985). Laktosa atau
gula susu adalah karbohidrat susu berupa disakarida yang tersusun dari satu
molekul glukosa dan satu molekul galaktosa yang bersatu dalam ikatan karbon 1-4
sebagai β-galaktosida (Larson 1985). Kadar laktosa dalam susu relatif konstan dan
dipertahankan pada kisaran yang tetap. Laktosa merupakan osmoregulator dan
determinan untuk volume susu sehingga produksi susu akan sejalan dengan
produksi laktosa.
Jalur sintesis laktosa adalah sebagai berikut :
Glukosa + ATP ------------------- (1) Æ Glukosa -6-fosfat + ADP
Glukosa-6-fosfat ------------------- (2) Æ Glukosa-1-fosfat
Uridine trifosfat + glukosa-1-P -- (3) Æ Uridine difosfat-glukosa + Pirofosfat
Uridine difosfat glukosa ---------- (4) Æ Uridine Difosfat-galaktosa
Uridine-galaktosa + glukosa ----- (5) Æ Laktosa + Uridine Difosfat
19
(1) Heksokinase
(2) Fosfoglukomutase
(3) Uridine difosforil glukosa pirofosforilase
(4) Uridine difosforil galaktosa-4-epimerase
(5) Laktosa sintetase ( terdiri atas galaktosil transferase dan α-laktalbumin)
Protein susu disintesis dari asam amino yang beredar dalam darah hasil
penyerapan dari saluran pencernaan maupun hasil perombakan protein tubuh.
Glukosa dan beberapa sumber nitrogen diperlukan untuk sintesis asam amino di
kelenjar susu ruminansia (Annison et al. 1984; Collier 1985).
Sintesis lemak susu terjadi dalam sitoplasma sel-sel kelenjar susu. Pada
ternak ruminansia, asetat dan β-OH butirat (hasil metabolisme asam butirat),
selain untuk sumber energi juga digunakan untuk sintesis lemak di dalam kelenjar
susu oleh enzim asetil KoA karboksilase (Annison et al. 1984; Collier 1985).
Oksidasi glukosa melalui siklus pentosa oleh enzim glukosa 6-p dehidrogenase
menghasilkan NADPH yang diperlukan untuk sintesis asam lemak di kelenjar
susu.
Laju sintesis komponen air susu terutama laktosa, lemak, dan protein akan
semakin berkurang jika ketersediaan substrat di kelenjar susu semakin sedikit
sehingga dalam keadaan seperti ini sejumlah besar cadangan zat-zat makanan
akan dimobilisasi untuk mempertahankan produksi susu (Bines & Hart 1982).
Neraca nutrien negatif akan terjadi bila tingkat konsumsi tidak memenuhi
kebutuhan untuk sintesis susu, dan keadaan ini sering dijumpai pada awal laktasi
karena hampir 65% sampai 83% dari metabolisme energi akan diubah untuk
sintesis susu selama laktasi (Gardner & Hogue 1985).
Hasil mobilisasi asam lemak menyebabkan penumpukan asetil KoA yang
tak dapat memasuki siklus asam sitrat sehingga akan diubah menjadi benda-benda
keton seperti aseton, β-OH butirat, maupun asetoasetat sebagai hasil kondensasi
2 molekul asetil KoA (Foot et al. 1984). Pada ternak yang berada dalam neraca
nitrogen negatif akan terjadi katabolisme protein yang ditandai dengan
peningkatan konsentrasi nitrogen urea darah (Peel et al. 1981).
Produksi susu merupakan fungsi jumlah sel-sel sekretoris yang aktif dan
aktivitas metabolik kelenjar susu sehingga tingkat produksi susu selama laktasi
20
hanya akan bergantung pada jumlah sel-sel sekretoris yang aktif dan tersedianya
subtrat (zat-zat makanan) untuk sintesis komponen air susu (Davis & Collier
1983). Lebih lanjut dikemukakan Sumaryadi & Manalu (1996) bahwa dengan
meningkatkan aliran substrat, sel-sel sekretoris akan lebih aktif sehingga keadaan
tersebut diduga akan dapat memperlambat laju involusi sel-sel sekretoris.
Proses modulasi aliran substrat ke kelenjar susu sangat ditentukan oleh
konsentrasi substrat dan laju aliran darah ke kelenjar susu. Substrat atau zat-zat
makanan yang berada dalam sistem sirkulasi berasal dari penyerapan dari sistem
saluran pencernaan (Davis & Collier 1983) dan mobilisasi cadangan energi tubuh
(Collier 1985; Vernon 1989), yang selanjutnya masuk ke dalam sel-sel sekretori
dengan sistem transportasi melalui pengaturan hormonal.
Hormon-hormon metabolisme, melalui pengaktifan beberapa enzim pada
saat laktasi, akan meningkatkan aktivitas sintesis komponen susu dalam sel-sel
sekretoris yang telah siap bersama semua perangkat enzimnya untuk merangkai
substrat berupa glukosa, asam amino, asam lemak, dan gliserol secara berturut
menjadi laktosa, protein (kasein), dan lemak untuk menghasilkan susu (Anderson
1985).
Penggunaan bST dalam memacu produksi akan menyebabkan terjadinya
adaptasi metabolik yang sangat dinamis dan sangat variatif sesuai dengan status
hewan yang bersangkutan. Koordinasi antarjaringan dalam regulasi homeorhetik
stimulasi bST pada sintesis susu dapat dilihat pada Gambar 3. Kehadiran reseptor
ST pada hati (Pocious & Herbein 1986) menyebabkan pemberian ST akan
berpengaruh langsung pada metabolisme glukosa, dan ST pada situasi ini mampu
bekerja mirip insulin, khususnya dalam meningkatkan glukosa darah, sementara
dalam keadaan lain ST akan bersifat antiinsulin dengan cara mengurangi glukosa
dengan mengorbankan cadangan lemak (Manalu 1994).
Perlakuan bST akan menyebabkan perubahan dalam metabolisme
karbohidrat karena terjadinya peningkatan kebutuhan glukosa yang tinggi untuk
sintesis susu. Dengan demikian, terjadi peningkatan produksi glukosa hati dan
terjadi penurunan oksidasi oleh jaringan tubuh dalam upaya meningkatkan
glukosa untuk sintesis susu. Pada hewan ruminan, produk fermentasi rumen
adalah volatile fatty acid (VFA) dan hanya sedikit persentase (15%) pada glukosa
darah yang berasal dari makanan. Suplai glukosa tubuh dipenuhi melalui
21
glukoneogenesis hati yang mana produksinya dapat bertambah 3 kg/hari pada sapi
laktasi yang tinggi.
JARINGAN TUBUH
PENGAMBILAN GLUKOSA
OKSIDASI ASAM AMINO
UNTUK ENERGI
GLUKOSA
NEFA
ASAM AMINO
HATI
GLUKONEOGENESIS
GUDANG LEMAK
PENGAMBILAN GLUKOSA DAN
ASETAT
LIPOGENESIS SELAMA NERACA
ENERGI POSITIF
LIPOLISIS SELAMA NERACA
ENERGI NEGATIF
GLUKOSA DARI GLISEROL
MELALUI LIPOLISIS
KELENJAR SUSU
ALIRAN DARAH
SINTESIS SUSU
PENGAMBILAN GLUKOSA DAN
SINTESIS LAKTOSA
PENGGUNAAN NEFA UNTUK
SINTESIS LEMAK SUSU
PENGGUNAAN ASAM AMINO
UNTUK PROTEIN SUSU
PEMELIHARAAN JUMLAH SEL
SEKRETORI
Gambar 3 Koordinasi antarjaringan dalam adaptasi metabolik pada sapi laktasi
yang diinjeksi bST (Aker 2002)
Pada sapi yang mendapat injeksi bST akan terjadi peningkatan
glukoneogenesis hati, yang paling tidak menjelaskan kemampuan antiinsulin
untuk menghambat glukoneogenesis. Glukosa akan digunakan sebagai substrat
untuk sintesis laktosa di dalam kelenjar susu, dan
pada sapi laktasi dengan
produksi yang tinggi hampir mendekati 85% total glukosa digunakan untuk
sintesis susu. Injeksi bST dapat meningkatkan pemanfaatan netto glukosa pada
jaringan kelenjar susu dan menurunkan penggunaan glukosa pada jaringan
nonkelenjar susu. Adaptasi metabolik ini cukup untuk memenuhi kebutuhan
glukosa untuk sintesis susu (Akers 2002).
Menurut Cohick et al. (1989) bahwa pada ruminansia, peningkatan
kehilangan karbon secara irrevesibel mempunyai implikasi peningkatan glukosa,
terutama oleh hati. Dalam jangka pendek (yaitu dalam tempo beberapa jam)
22
peningkatan ini bisa disebabkan oleh peningkatan glikogenolisis, akan tetapi
dalam tempo beberapa hari keadaan itu pasti disebabkan oleh glukoneogenesis.
Beberapa hormon yang terlibat dalam metabolisme dalam tubuh adalah
tiroksin, insulin, prolaktin, dan somatotropin (McDonald & Pineda 1980; Collier
1984; Bauman et al. 1985) dan beberapa hormon yang turut andil dalam
metabolisme mineral dalam penyediaan aliran mineral ke kelenjar susu di
antaranya, paratiroid, kalsitonin, dan vitamin D (McDonald & Pineda 1980;
Collier et al. 1984; Tucker 1985).
Tiroksin (triiodotironin dan tetraiodotironin) berperan sangat vital dalam
penyediaan energi ATP (McDonald & Pineda 1980; Ultiger 1987) bagi perakitan
glukosa, asam amino, asam lemak, dan gliserol menjadi glikogen, protein, dan
lemak. Hormon tiroksin telah diketahui dapat mempengaruhi aktivitas
metabolisme pada kelenjar susu (Sumaryadi & Manalu 1995b).
Kortisol berfungsi dalam memobilisasi glukosa, asam amino, dan asam
lemak untuk tujuan sintesis pada jaringan dan menghambat penggunaan zat-zat
makanan untuk tujuan oksidasi dalam sel (McDonald & Pineda 1980; Manalu &
Sumaryadi 1995b) dengan merombak cadangan energi tubuh yang akan
dibebaskan ke dalam sistem sirkulasi untuk mendukung proses sintesis di kelenjar
susu (Annison et al. 1984).
Insulin mempunyai peran dalam mengangkut glukosa, asam amino, dan
asam lemak ke dalam sel (Bines & Hart 1982). Namun, insulin tidak memiliki
reseptor pada sel-sel kelenjar susu sehingga tidak menunjukkan pengaruh pada
pengangkutan substrat ke dalam sel-sel sekretoris kelenjar susu (Manalu 1994).
Prolaktin sangat spesifik dan selalu dikaitkan dengan produksi susu,
namun berperan hanya sebatas mengaktifkan (menginisiasi) bukan memelihara
atau mempertahankan sintesis air susu (Forsyth 1986).
Somatotropin, Kesehatan Ternak, dan Keamanan Pangan
Sebelumnya telah diramalkan bahwa penggunaan bST akan menimbulkan
pengaruh yang membahayakan bagi kesehatan sapi yang mengakibatkan
permasalahan ketosis, milk fever, dan “burn-out” (Manalu 2001).
Injeksi bST pada sapi perah menunjukkan terjadinya perubahan
metabolisme dalam tubuh, yang disebabkan mekanisme pengaturan metabolisme
23
seiring dengan peningkatan produksi (Akers 2002). Peningkatan pengaliran
subtrat ke kelenjar susu membawa konsekuensi peningkatan aliran darah, namun
selama penggunaan bST ini tidak nyata berpengaruh pada pengukuran klinis
seperti suhu tubuh ataupun pernapasan (Eppard et al. 1987; Manalu et al. 1991),
tapi denyut nadi tampak sedikit meningkat khususnya pada pemakaian dosis
tinggi (Soderholm et al. 1988). Perubahan-perubahan kimia darah yang terjadi
selama perlakuan bST umumnya berkaitan dengan peningkatan produksi dan tetap
berada dalam kisaran normal yang dapat diterima secara klinis. Angka
hemoglobin dan nilai hematokrit termasuk dalam kategori ini, dan kelihatannya
penurunan tersebut terlalu kecil untuk menggambarkan anemia fungsional
(Manalu 1994).
Dari hasil beberapa penelitian yang dilakukan di Amerika, pemakaian
hingga dosis 40,5 mg/hari tidak menunjukkan kejadian mastitis (Manalu 1994).
Injeksi bST secara berlebihan dapat mendorong terjadinya pemakaian lemak yang
berlebihan sehingga menghasilkan asam asetoasetat dalam hati yang akan
dikeluarkan ke dalam cairan tubuh dan menyebabkan terjadinya penyakit
metabolik seperti ketosis (Harjopranjoto 2001).
Injeksi bST tidak menghasilkan pengaruh yang konsisten pada kejadian
mastitis klinis atau hitungan sel somatis (Phipps 1989). Pada suatu percobaan
selama dua tahun di U.K, hitungan sel somatis untuk kontrol dan sapi perlakuan
lebih rendah dibandingkan rata-rata kejadian secara nasional (Phipps 1989).
Bahkan, bovine somatotropin (bST) secara positif bisa mempengaruhi pemulihan
fungsi kelenjar susu setelah kejadian mastitis (Phipps 1989).
Hasil penelitian dari Cornell University menunjukkan bahwa sapi-sapi
yang diinjeksi bST setiap hari, mulai hari ke-84 sampai hari ke-272 postpartum,
ternyata tidak menunjukkan adanya gangguan pada kesehatan maupun status
reproduksi (Hariadi et al. 2001). Lebih lanjut diungkapkan bahwa hasil tersebut di
atas diperoleh dari sapi-sapi yang dikelola dengan baik, namun sampai sejauh
mana injeksi bST bila diberikan pada sapi-sapi yang dikelola secara sederhana
masih belum diketahui (Hariadi et al. 2001).
Hasil diskusi The Standing Senate Committee on Agriculture and Forestry,
Canada pada tahun 1999 yang dikutip Soeharsono (2001) menyatakan bahwa
penggunaan bST dapat meningkatkan produksi hingga 10% namun akan
24
menyebabkan adanya metabolit IGF-I yang disebut miotropin pada susu yang
dapat menyebabkan mastitis pada sapi perah. Lebih lanjut dikemukakan bahwa
penyuntikan bST/rbGH di California (sebelum tahun 1995) dapat menurunkan
harapan hidup sapi perah, meningkatkan risiko penyakit, penurunan bobot hidup,
kadang-kadang menyebabkan sapi jadi infertile dan lebih peka terhadap mastitis.
Dampak injeksi bST pada keamanan pangan sudah banyak dipublikasikan,
namun masih menyisakan kontroversi di antara peneliti. Injeksi bST pada sapi
perah dapat meningkatkan produksi susu secara tajam, namun bagaimana
pengaruhnya pada orang yang mengkonsumsi produk susu tersebut masih perlu
kajian lebih lanjut. Kandungan hormon, faktor pertumbuhan, dan peptida lainnya
telah banyak diteliti. Konsentrasi ST pada susu sapi hampir sama dengan susu
manusia masing-masing kurang dari 1 ηg/mL. Konsentrasi IGF-I, suatu mediator
untuk aksi ST berkisar antara 1,5 sampai 8 ηg/mL pada susu sapi dan
1 sampai 3 ηg/mL pada susu manusia, konsentrasi tersebut akan meningkat pada
penggunaan bST antara 2 sampai 5 ηg/mL, sedangkan konsentrasi IGF-II tidak
meningkat (Budinuryanto 2001). Lebih lanjut diungkapkan adanya kontroversi
antarpeneliti, khususnya yang berkaitan dengan jumlah IGF-I dan kanker. Insulinlike growth factor I dan II diidentifikasi merupakan regulator pertumbuhan
autokrin dan endokrin yang ikut memacu berbagai karsinoma. Insulin- like growth
factor I (IGF-I) memainkan peranan sangat penting pada proliferasi sel kanker
pankreas, serta berperan dalam metabolisme glukosa dalam tumor, bahkan
pasteurisasi yang menginaktifkan dan merusak bST tidak mempengaruhi IGF-I.
Berkaitan dengan dugaan sebagian peneliti bahwa bST yang diberikan secara oral
akan tercerna dalam traktus digestivus dan tidak terabsorbsi, dan tidak masuk ke
pembuluh darah, namun peneliti lainnya berpendapat bahwa IGF-I tidak rusak,
kandungan kasein akan melindungi IGF-I dan selanjutnya diabsorbsi dan masuk
ke dalam darah.
25
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Materi Penelitian
Penelitian telah dilakukan di Balai Peningkatan Produksi Ternak Perah
(BPPTP) Cikole Lembang. Daerah ini dipilih sebagai lokasi yang dapat mewakili
dataran tinggi tropis, dan di lokasi ini terdapat populasi sapi perah yang cukup
tinggi. Cikole terletak 22 km sebelah utara kota Bandung dengan ketinggian
tempat 1 200 m di atas permukaan laut, yang mempunyai kisaran suhu antara
13,9 dan 24,0ºC dengan rataan suhu 19,3ºC, dan kelembaban 80,5%.
Suhu lingkungan merupakan salah satu faktor pembatas produksi susu
sehingga suhu yang nyaman sangat diutamakan dalam pemeliharaan sapi perah.
Sapi perah, khususnya sapi FH dikenal memiliki produksi yang tinggi di antara
bangsa-bangsa sapi perah, namun mempunyai toleransi yang rendah terhadap
suhu lingkungan tinggi. Kisaran suhu nyaman untuk sapi FH berkisar antara
17 dan 22ºC (Siregar 2003), atau batas tertinggi 80ºF yang setara dengan 22ºC
dengan kelembaban udara 55 sampai 70%. Suhu di tempat penelitian dilaksanakan
tersebut masih dalam kisaran suhu yang nyaman bagi sapi.
Sapi uji yang digunakan adalah sebanyak 24 ekor, yang terdiri atas laktasi
ke-1, 2, 3, dan 4. Sapi uji sudah melewati puncak laktasi, dan telah memasuki
bulan laktasi ke-3 dan 4 atau pertengahan laktasi. Dengan demikian sapi uji
mempunyai kurva produksi yang sama. Sapi ditempatkan dalam satu kandang
dengan tata letak yang diacak.
Somatotropin yang digunakan adalah produk Korea dengan merk dagang
Boostin. Sesame oil digunakan untuk keperluan pengenceran somatotropin dan
injeksi plasebo.
Metode Penelitian
Penelitian dirancang dengan menggunakan rancangan acak kelompok pola
faktorial 3 x 2. Faktor pertama adalah injeksi bST yang terdiri atas
3 level, yaitu injeksi plasebo (nonbST), injeksi bST harian dengan dosis
36 mg/ekor/hari, dan injeksi bST selang 14 hari dengan dosis 500 mg/ekor/14
hari. Faktor ke dua adalah pakan yang terdiri atas 2 level. Pakan
Balai (P1), yaitu pakan yang biasa diberikan oleh BPPTP Cikole, dan pakan
26
Balai ditambah 25% konsentrat (P2). Penambahan 25% konsentrat adalah
penambahan konsentrat sejumlah 2 kg yang dihitung dari jumlah konsentrat yang
biasa diberikan (8 kg/ekor/hari).
Penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap praperlakuan (3
minggu), tahap perlakuan (12 minggu), dan tahap pascaperlakuan (2 minggu).
Selama tahap praperlakuan, sapi diberi pakan yang biasa diberikan oleh BPPTP
Cikole atau disebut pakan Balai. Selama praperlakuan dilakukan pengukuran
produksi susu, komposisi susu, pengukuran status faali, hematologi dan bobot
tubuh melalui pengukuran lingkar dada. Selama tahap perlakuan, kelompok
kontrol (K0) diberi injeksi plasebo, yaitu 1 mL sesame oil/ekor/hari, kelompok
kedua (K1) diberi injeksi 1 mL bST yang setara dengan 36 mg bST/ ekor/hari,
dan kelompok (K14) diberi injeksi 2 mL bST yang setara dengan
500 mg
bST/ekor/14hari. Injeksi diberikan secara intramuskular (i.m). Selama tahap
pascaperlakuan, injeksi plasebo dan injeksi bST dihentikan. Seluruh ternak diberi
pakan Balai . Pengamatan dilakukan selama 2 minggu, pengumpulan data sama
seperti pada tahap praperlakuan.
Untuk mempermudah teknik pemberian injeksi bST harian ditambahkan
sesame oil sebagai pengencer. Cara mengencerkan bST dilakukan dengan
menambahkan 12 mL sesame oil ke dalam 500 mg/ampul (volume 2 mL)
sehingga volume menjadi 14 mL selanjutnya dicampur hingga merata. Campuran
tersebut siap diinjeksikan pada sapi uji kelompok injeksi bST harian. Setiap sapi
uji mendapat injeksi bST sebanyak 1 mL/ekor/hari. Injeksi suplementasi bST
harian dan plasebo dilakukan setiap hari setelah selesai pemberian pakan (pukul.
09.00 pagi). Injeksi bST selang 14 hari dilakukan pada pagi hari setelah
pemberian pakan. (pukul 09.00 pagi) 14 hari sekali. Injeksi plasebo dan bST
diberikan selama 12 minggu. Masing-masing subkelompok diberi pakan Balai
(P1) dan pakan Balai ditambah 25% konsentrat (P2).
Pemberian pakan dilakukan 3 kali/hari, yaitu pagi hari pukul 06.00 setelah
pemerahan, siang hari pukul 11.00, dan sore hari pukul 16.00 setelah pemerahan.
Pengumpulan data meliputi data harian, data mingguan atau dua mingguan
dan data bulanan. Secara ringkas, alir penelitian disajikan dalam Gambar 4.
27
TAHAP I : MASA PRAPERLAKUAN
24 Ekor Sapi FH; Laktasi ke 1, 2, 3, 4; Bulan Laktasi ke 3-4; Produksi 13-15 kg
8 ekor
4 ekor
8 ekor
4 ekor
Pakan Balai
•
•
4 ekor
8 ekor
4 ekor
4 ekor
Pakan Balai
Berat badan (awal)
Status faali (Harian)
4 ekor
Pakan Balai
Pengamatan tiga minggu
• Sampel darah (Mingguan)
• Susu (Harian dan Mingguan)
TAHAP II : MASA PERLAKUAN
8 ekor
8 ekor
8 ekor
Injeksi harian
2 mL sesame oil/ekor/hari
Injeksi harian
36 mg bST/ekor/hari (K1)
Injeksi 14 harian
500 mg bST/ekor/14 hari (K14)
4 ekor
4 ekor
4 ekor
4 ekor
4 ekor
4 ekor
Pakan Balai
Pakan Balai +
25% konsentrat
Pakan Balai
Pakan Balai +
25% konsentrat
Pakan Balai
Pakan Balai +
25% konsentrat
Pengukuran harian
• Konsumsi pakan
• Status faali
• Produksi Susu
Pengukuran Dua Mingguan
• Komposisi susu, 4% FCM
• Sampel darah
• Hematologi
Pengukuran Bulanan
• Bobot tubuh
• Nilai kondisi ternak
• Efisiensi produksi susu
TAHAP III : MASA PASCAPERLAKUAN
8 ekor
4 ekor
8 ekor
4 ekor
Pakan Balai
•
•
Berat badan (akhir)
Status faali (Harian)
4 ekor
8 ekor
4 ekor
Pakan Balai
4 ekor
Pakan Balai
Pengamatan Dua Minggu
• Sampel darah (Mingguan)
• Susu (Harian dan Mingguan)
Gambar 4 Alir Penelitian
4 ekor
28
Tabel 2 Komposisi pakan sapi perah laktasi di BPPTP Cikole
Bahan Pakan
Jumlah (kg)
Rumput gajah
Ampas bir
Rumput lapangan
Konsentrat:
• Pollard
• Bungkil kelapa
• Tepung jagung
• Dedak
• Bungkil kedelai
• Mineral Mix
• Kapur
Komposisi (%)
35
3
5
8
40.4
15.2
24.3
10.1
9.9
0.5
0.5
Sumber: UPTD-BPPTP Cikole Lembang
Tabel 3 Kandungan nutrisi pakan penelitian, imbangan hijauan dan konsentrat
pakan, dan angka kebutuhan nutrien sapi penelitian.
Bahan
Pakan
P1 (kg)
BK
Rumput
gajah
Rumput
lapang
Konsentrat
SK
L
P2 (kg)
BETN Abu
TDN
BK
PK
SK
L
BETN Abu
TDN
7,77
0,68
2,51
0,21
3,4 0,99
4,5
7,77
0,68
2,51
0,21
3,4
0, 9
4,5
1,22
0,10
0,39
0,02
0,54 0,18
0,68
1,22
0,10
0,39
0,02
0,54
0,18
0,68
7,49
1,11
2,69
0,91
2,24
0,53
5,51
9,36
1,39
3,37
1,13
2,8
0,67
6,88
1,45
0,24
0,77
0,16
0,23
0,06
1,09
1,45
0,24
0, 7
0,16
0,23
0,06
1,09
17,93
2,13
6,36
1,29
6,41
1,76 11,78
19,8
2.41
7,03
1,52
6,97
50%
:
Ampas bir
Total
PK
Hijauan :
Konsentrat
Kebutuhan
12,15
nutrisi (kg)
Keterangan : BK :
PK :
SK :
1,97
-
-
50%
-
45%
-
Bahan Kering
Protein Kasar
Serat Kasar
7,85
12,15
1,97
-
:
1.9 13,15
55%
-
-
-
7,85
L
: Lemak
BETN : Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen
TDN : Total Digestable Nutrient
Pengambilan sampel darah untuk keperluan analisis metabolit darah dan
hormon dilakukan dua minggu sekali. Darah diambil sebanyak 5 mL dari bagian
pangkal ekor dengan menggunakan venoject, dan disimpan ± 2 jam pada suhu
kamar. Setelah itu sampel darah disentrifuse dengan kecepatan 3 000 rpm selama
10
sampai
15
menit.
Selanjutnya
bagian
bening
(serum)
dipisahkan
dandipindahkan ke dalam tabung khusus dan disimpan dalam suhu -20ºC sampai
analisis selanjutnya.
29
Peubah yang Diamati dan Cara Pengukuran.
1. Status faali
Pengukuran status faali meliputi frekuensi denyut jantung, frekuensi
pernapasan, dan suhu tubuh. Angka yang diperoleh merupakan rataan dari
pengukuran pagi dan siang. Pengukuran pagi dilakukan antara pukul 06.00 dan
07.00, sedangkan pengukuran siang hari antara pukul 12.00 dan 14.00.
a. Frekuensi denyut jantung
Pengukuran denyut jantung dilakukan dengan bantuan stetoskop yang
ditempelkan pada bagian tulang interkosta antara 2 dan 5. Penentuan jumlah
frekuensi denyut jantung dilakukan dengan menghitung jumlah suara jantung
yang paling keras selama satu menit.
b. Frekuensi pernapasan
Pengukuran frekuensi pernapasan dilakukan dengan menghitung jumlah
inspirasi atau ekspirasi (dengan cara memperhatikan gerakan rongga dada) selama
satu menit.
c. Suhu tubuh
Pengukuran suhu tubuh dilakukan dengan mempergunakan termometer
klinis. Untuk mendapatkan suhu tubuh yang akurat, pengukuran dilakukan dengan
pencatatan suhu rektal. Termometer dimasukkan ke dalam bagian anus ternak, dan
diusahakan menempel pada bagian mukosa selama satu menit.
2. Hematologi
Pengukuran hematologi meliputi nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin
yang dilakukan setiap dua minggu sekali.
a. Nilai hematokrit
Penentuan nilai hematokrit dilakukan dengan metode mikrohematokrit.
Mikrohematokrit berheparin ditempelkan ke sampel darah agar darah tersedot
sampai kira-kira 1 cm sebelum ujung kapiler. Kemudian salah satu ujung kapiler
disumbat dengan crystoseal. Selanjutnya kapiler disentrifuse selama 10 menit
dengan kecepatan 8 000 rpm. Nilai hematokrit dibaca dengan bantuan standar
khusus dengan membandingkan volume sel darah merah dengan seluruh volume
darah (bagian merah dan bagian bening).
30
b. Kadar hemoglobin
Penentuan kadar hemoglobin dilakukan dengan metode hematin asam dari
Sahli. ke dalam tabung Sahli dituangkan beberapa tetes larutan HCl 0,1N sampai
batas angka paling bawah. Sampel darah dihisap dengan menggunakan pipet
khusus sampai batas angka 1, dan setelah itu dituangkan ke dalam tabung Sahli.
Sampel darah dalam tabung diaduk agar bercampur dengan larutan HCl 0,1N
sampai terjadi perubahan warna kecokelat-cokelatan. Selanjutnya ditambahkan
akuades sedikit demi sedikit sambil dibandingkan dengan standar warna yang
telah tersedia. Setelah warna sampel sesuai dengan warna standar, angka kadar
hemoglobin dapat dibaca pada dinding tabung Sahli. Angka kadar hemoglobin
yang diperoleh dari pengukuran dalam satuan persen. Angka 100% kadar
hemoglobin setara dengan 15,4 gram/100 mL.
3. Metabolit darah
Metabolit darah yang dianalisis adalah glukosa, trigliserida, dan nitrogen
urea darah. Pembuatan serum dipersiapkan setiap dua minggu sekali dan disimpan
dalam Freezer (-20ºC). Analisis dilakukan pada akhir penelitian dengan
menggunakan kit komersial.
a. Glukosa
Konsentrasi glukosa darah diukur melalui serum dengan menggunakan
metode Wedermeyer dan Yasutake (1977). Pertama-tama dilakukan penyiapan
larutan standar glukosa dan pereaksi warna ortho-toluidine. Larutan standar
glukosa dibuat dengan melarutkan 100 mg pereaksi glukosa murni dalam sedikit
air, kemudian diencerkan menjadi 100,0 mL. Selanjutnya larutan disimpan dalam
lemari es dengan tujuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Pereaksi warna
ortho-toluidine dibuat dengan mencampurkan 94 mL asam asetat glasial dengan 6
mL O-toluidine. Selanjutnya, sebanyak 0,05 mL (50 µL) sampel yang akan diuji
dituangkan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah diisi dengan 3,5 mL
pereaksi warna. Di samping itu dibuat standar glukosa ke dalam tabung reaksi
yang telah diisi dengan 3,5 mL pereaksi warna. Selanjutnya tabung reaksi sampel
dan standar glukosa direndam dalam water bath yang berisi air mendidih selama
10 menit. Setelah itu didinginkan dalam suhu kamar, selanjutnya absorbansi
31
sampel dibaca pada panjang gelombang 634 ηm dengan spektometer (Spectronic
Hitachi U-2001). Kadar glukosa dihitung dengan rumus :
(GD) =
Keterangan :
[GD]
Abs Sp
Abs ST
[GSt]
=
=
=
=
Abs Sp
x (G St)
Abs St
Kadar glukosa (mg/100 mL)
Absorbansi sampel
Absorbansi standar
Kadar glukosa standar (mg/100 mL).
b. Trigliserida
Konsentrasi trigliserida dalam serum diukur dengan menggunakan teknik
enzimatik memakai kit komersial dari Human. Kisaran standar yang digunakan
untuk mengukur konsentrasi trigliserida dalam serum adalah mulai dari 0 sampai
dengan 200 mg/dL. Semua konsentrasi trigliserida sampel darah berada dalam
kisaran standar yang digunakan. Konsentrasi trigliserida dibaca melalui
spektrofotometer (Spectronic Hitachi U-2001).
c. Nitrogen Urea (NU)
Konsentrasi NU diukur dengan menggunakan teknik enzimatik memakai
kit komersial produk Human. Kisaran standar yang digunakan untuk mengukur
konsentrasi NU dalam serum adalah mulai dari 0 sampai dengan 80 mg/dL.
Semua konsentrasi NU serum berada dalam kisaran srandar yang digunakan.
Konsentrasi NU yang terkandung dalam serum dibaca melalui spektrofotometer
(Spectronic Hitachi U-2001).
4. Hormon
Hormon yang diukur adalah hormon metabolisme yaitu kortisol.
tetraiodotironin, dan triiodotironin. Konsentrasi ketiga hormon tersebut dilakukan
dengan mempergunakan kit radioimmunoassai teknik fase padat.
a. Kortisol
Konsentrasi
hormon
kortisol
dalam
serum
ditentukan
dengan
menggunakan kit radioimmunoassai teknik fase padat yang dirangkai dalam
antibodi monoklonal dan suatu radiolabel yang menggunakan
125
I (Diagnostic
Products Corporation. Los Angeles, CA). Kisaran standar yang digunakan untuk
membuat kurva standar adalah mulai dari 0 sampai dengan 24 µg/dL. Konsentrasi
32
kortisol dianalisis secara langsung dalam serum darah dengan volume sebanyak
0,25 µL. Radioaktivitas hormon yang terikat dibaca dengan gamma counter.
b. Tetraiodotironin (T4)
Konsentrasi T4 dalam serum ditentukan dengan menggunakan kit
radioimmunoassai teknik fase padat yang dirangkai dalam antibodi monoklonal
dan suatu radiolabel yang menggunakan
125
I (Diagnostic Products Corporation.
Los Angeles, CA). Kisaran standar yang digunakan untuk membuat kurva standar
adalah mulai dari 0 sampai dengan 24 µg/dL. Konsentrasi T4 dianalisis secara
langsung dalam serum darah dengan volume sebanyak 0,25 µL. Radioaktivitas
hormon yang terikat dibaca dengan gamma counter.
c. Triiodotironin (T3)
Konsentrasi T3 dalam serum ditentukan dengan menggunakan kit
radioimmunoassai teknik fase padat yang dirangkai dalam antibodi monoklonal
dan suatu radiolabel yang menggunakan
125
I (Diagnostic Products Corporation.
Los Angeles, CA). Kisaran standar yang digunakan untuk membuat kurva standar
adalah mulai dari 0 sampai dengan 24 µg/dL Konsentrasi T3 dianalisis secara
langsung dalam serum darah dengan volume sebanyak 0,25 µL. Radioaktivitas
hormon yang terikat dibaca dengan gamma counter.
5. Produksi susu, produksi susu 4% FCM ( fat corrected milk), dan komposisi
susu
a. Produksi susu
Produksi susu harian merupakan hasil penjumlahan pemerahan pagi hari
dan siang hari. Pemerahan dilakukan dengan menggunakan mesin perah portabel.
Hasil pemerahan ditimbang dengan menggunakan timbangan merk Nagata
kapasitas 20 kg dengan skala terkecil 200 gr.
b. Produksi 4 %FCM
Produksi hasil pencatatan dihitung dengan mempergunakan faktor koreksi.
Rumus yang dipergunakan :
Produksi 4% FCM = ( 0,4 x prod.susu ) + 15 (kg prod.susu x % lemak)
33
6. Komposisi susu
a.
Protein susu
Penentuan kadar protein susu dilakukan dengan menggunakan kit
komersial bermerk Tottal produksi Belgia. Dilakukan di Laboratorium Kesehatan
Hewan, Balai Penyidikan Penyakit Hewan dan Kesmavet di Cikole Lembang.
b.
Lemak susu
Penentuan kadar lemak susu dilakukan dengan menggunakan metode
Babcock. Penentuan dilakukan di Laboratorium Pemeriksaan Susu Balai
Peningkatan Produksi Ternak Perah di Cikole Lembang.
c. Bahan Kering Tanpa Lemak
Kadar bahan kering tanpa lemak diperoleh melalui penggunaan rumus
Fleischmann.
BK =
Keterangan :
((1,311 ) × L ) ÷ (2,738 )×
100
(BJ
− 1)
BJ
L = kadar lemak susu (%)
BJ = berat jenis susu pada 27,5oC
7. Bobot jenis susu
Penentuan bobot jenis susu dilakukan dengan cara pengukuran langsung
dan dilakukan dua minggu sekali.
Pengukuran bobot jenis susu dilakukan dengan menggunakan alat
laktodensimeter. Sebanyak 500 mL susu dituangkan ke dalam gelas ukur
(volume 500 mL). Setelah itu, laktodensimeter dicelupkan ke dalam susu. Bobot
jenis dan susu yang tertera pada laktodensimeter dibaca. Bobot jenis distandarkan
pada suhu 27,5ºC (Sudono et al.1999).
8. Bobot tubuh
Pengukuran bobot tubuh dilakukan dengan mempergunakan pita ukur
yang secara langsung dikonversi ke dalam kilogram. Pengukuran dilakukan satu
bulan sekali meliputi bobot tubuh pada awal penelitian, rataan bobot tubuh selama
perlakuan, dan bobot tubuh pada akhir penelitian.
34
9. Konsumsi pakan dan konsumsi bahan kering pakan
Pakan yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua macam pakan,
yaitu pakan Balai (P1), yaitu pakan yang biasa diberikan oleh BPPTP Cikole,
dan pakan Balai ditambah 25% konsentrat (P2). Konsumsi pakan dihitung
berdasarkan jumlah hijauan dan konsentrat yang diberikan dikurangi pakan sisa
(dari setiap pemberian). Konsumsi bahan kering dihitung dengan mengalikan
jumlah bahan kering yang dikonsumsi dengan kadar bahan kering pakan.
10. Efisiensi Produksi Susu (EPS)
Pengukuran efisiensi produksi susu dilakukan dengan menggunakan rumus
Varga (1984).
EPS =
produksi 4% FCM (kg)/konsu msi bahan kering (kg)
x 100%
bobot tubuh (kg)
11. Nilai Kondisi Ternak (NKT)
Nilai kondisi ternak ditentukan dengan menggunakan metode Wildman
et al.(1982) yang dilakukan dengan mengamati tubuh sapi bagian punggung
(back), badan (waist), paha (haunch), pangkal ekor (roof of tail), tulang punggung
(hip bone), pangkal paha (waist horn), dan tulang rusuk (rib) sebagai titik poin.
Nilai untuk sapi perah berkisar dari 1 sampai 5. Nilai 1 menunjukkan sapi sangat
kurus atau tidak ada perlemakan, sedangkan nilai 5 untuk sapi yang sangat gemuk.
Analisis Statistik
Data yang dikumpulkan dari semua peubah yang diamati, yaitu status
faali, hematologi, metabolit darah, hormon metabolisme produksi susu, produksi
4% FCM, komposisi susu, konsumsi pakan, bobot tubuh, konsumsi bahan kering,
efisiensi produksi susu, dan nilai kondisi ternak diuji dengan menggunakan
rancangan acak kelompok pola faktorial 3 x 2. Model persamaan matematik yang
digunakan adalah :
Yijk = µ + Kk + Ai + Bj + ABij + Єijk
keterangan :
Yijk : Nilai Pengamatan (respons) yang diamati
µ : Nilai Tengah Umum
35
Kk : Pengaruh Kelompok ke – k
Ai : Pengaruh cara pemberian hormon ke – i
Bj : Pengaruh periode pengamatan ke – j
ABij:Pengaruh interaksi antara pemberian hormon ke – i dan periode pengamatan
ke j
36
HASIL
Status Faali dan Hematologi
Status faali yang diamati meliputi frekuensi denyut jantung frekuensi
pernapasan, dan suhu tubuh. Hematologi meliputi nilai hematokrit dan kadar
hemoglobin. Peubah-peubah tersebut merupakan indikator yang cukup akurat
dalam menentukan status ternak secara fisiologis. Hasil pengamatan injeksi bST
dan penambahan konsentrat pada status faali dan hematologi disajikan dalam
Tabel 4.
Frekuensi denyut jantung menunjukkan terjadi peningkatan yang
diakibatkan oleh injeksi bST. Sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari
memiliki frekuensi denyut jantung tertinggi, diikuti oleh sapi yang mendapat
injeksi bST harian, dan sapi kontrol yang secara berturut-turut adalah 69,15;
67,73; dan 64,65 kali/menit. Injeksi bST selang 14 hari nyata meningkatkan rataan
denyut jantung sebesar 6,9%, dan pada injeksi bST harian 4,8% dibandingkan
dengan kontrol.
Penambahan konsentrat tidak mempengaruhi frekuensi denyut jantung,
yaitu 67,67 kali/menit untuk sapi yang diberi pakan Balai dan 67,26 kali/menit
untuk sapi yang mendapat pakan Balai ditambah 25% konsentrat. Rataan denyut
jantung dari masing-masing kombinasi perlakuan, injeksi bST dan penambahan
Denyut Jantung
(kali /menit)
kosentrat dapat dilihat dalam Gambar 5
70
69
68
67
66
65
64
63
62
P1
P2
(a)
Gambar 5
K0
K1
(b)
K14
K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2
(c)
Rataan denyut jantung efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi
perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan.
Tabel 4
Rataan denyut jantung, frekuensi pernapasan, suhu tubuh, nilai hematokrit dan kadar hemoglobin sapi yang diinjeksi
bST, dan ditambah konsentrat selama 84 hari (12 minggu) pengamatan
bST
Peubah
Kontrol (Ko)
P1
Denyut
Jantung
(kali/menit)
64,65c ± 0,64
P>F
Harian (K1)
14 Harian (K14)
P2
P1
P2
P1
P2
bST
Pkn
Int
64,64c ± 0,67
67,69b ± 0,27
67,77b ± 0,38
68,87a ± 0,62
69,35a ± 0,07
*
ns
-
Pernapasan
(kali/menit)
28,96c ± 0,25
28,70c ± 0,27
29,39b ± 0,43
29,33b ± 0,40
30,20a ± 0,53
30,36a ± 0,41
*
ns
-
Suhu Tubuh
(oC)
38,58 ± 0,11
38,54 ± 0,12
38,51 ± 0,02
38,56 ± 0,17
38,57 ± 0,07
38,59 ± 0,11
ns
ns
-
Hematokrit
(%)
28,74± 1,65
29,13 ± 1,35
28,02 ± 0,45
30,08 ± 1,46
29,00 ± 0,77
29,27 ± 0,63
ns
ns
-
Hemoglobin
(gr/dL)
9,46 ± 1,98
9,75 ± 2,58
9,45 ± 3,39
9,73 ± 0,83
10,19 ± 3,63
9,80 ± 1,61
ns
ns
-
Keterangan: tanda * menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%. ns : tidak berbeda nyata. P1 adalah pakan standar yang biasa
diberikan di BPPTP Cikole. P2 adalah pakan standar ditambah 25% konsentrat (2 kg konsentrat yang digunakan pada
pakan standar)
37
38
Pola yang sama didapatkan pada frekuensi pernapasan, frekuensi tertinggi
diperoleh dari sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari, diikuti sapi yang
mendapat injeksi bST harian, dan sapi kontrol secara berturut-turut adalah 30,28;
29,36 dan 28,84 kali/menit. Injeksi bST selang 14 hari nyata meningkatkan rataan
frekuensi pernapasan sebesar 5,0%, dan injeksi bST harian 1,8% dibandingkan
dengan
kontrol.
Penambahan
konsentrat
tidak
mempengaruhi
frekuensi
pernapasan, yaitu 29,52 kali/menit untuk sapi yang diberi pakan Balai dan
29,50 kali/menit pada sapi yang mendapat tambahan 25% konsentrat. Rataan
frekuensi pernapasan dari kombinasi perlakuan, injeksi bST dan penambahan
konsentrat disajikan dalam Gambar 6. Frekuensi pernapasan mempunyai selisih
yang sangat kecil antara sapi kontrol dengan sapi yang diberi injeksi bST.
31.0
30.5
Pernapasan
(kali/menit)
30.0
29.5
29.0
28.5
28.0
27.5
P1
P2
(a)
Gambar 6
K0
K1
(b)
K14
K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2
(c)
Rataan frekuensi pernapasan efek utama pakan (a), bST (b), dan
kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan.
Injeksi bST dan penambahan konsentrat ternyata tidak berpengaruh pada
suhu tubuh. Rataan suhu tubuh tertinggi dimiliki sapi yang diinjeksi bST selang
14 hari, yaitu sebesar 38,58οC, yang diikuti sapi yang mendapat injeksi bST
harian 38,56οC, sapi kontrol 38,53οC, dan pakan Balai, pakan Balai ditambah 25%
konsentrat secara berturut-turut adalah 38,56 dan 38,56οC. Sapi yang mendapat
injeksi bST selang 14 hari mempunyai rataan suhu tubuh 1,3% lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol, sedangkan sapi yang diinjeksi bST harian lebih
tinggi 0,8% dari sapi kontrol, namun peningkatan tersebut tidak nyata secara
statistik (P>0.05). Sapi yang mendapat pakan Balai, sapi yang mendapat pakan
Balai ditambah 25% konsentrat mempunyai suhu tubuh secara berturut-turut
39
adalah 38,55 dan 38,56oC. Rataan suhu tubuh dari kombinasi perlakuan, injeksi
bST dan penambahan konsentrat disajikan dalam Gambar 7.
38.60
o
Suhu Tubuh ( C)
38.58
38.56
38.54
38.52
38.50
38.48
38.46
P1
P2
K0
K1
K14
(b)
(a)
K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2
(c)
Gambar 7 Rataan suhu tubuh efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi
perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan.
Injeksi bST dan penambahan konsentrat tidak memperlihatkan pengaruh
pada nilai hematokrit. Namun, ada kecenderungan bahwa sapi yang mendapat
injeksi bST selang 14 hari dan sapi yang mendapat bST harian mempunyai nilai
hematokrit yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi kontrol. Rataan nilai
hematokrit sapi kontrol, sapi yang diinjeksi bST harian, dan sapi yang diinjeksi
bST selang 14 hari secara berturut-turut adalah sebesar 28,93; 29,05; dan 29,29%
(Gambar 8). Rataan nilai hematokrit sapi uji yang mendapat pakan Balai, dan
pakan Balai ditambah 25% konsentrat secara berturut-turut 28,59 dan 29,6%.
Tampak ada kecenderungan nilai hematokrit sapi yang mendapat pakan Balai
ditambah 25% konsentrat lebih tinggi 3,53% dibandingkan yang diberi pakan
Balai saja.
Hematokrit (%)
30.5
30.0
29.5
29.0
28.5
28.0
27.5
27.0
26.5
P1
P2
(a)
Gambar 8
K0
K1
(b)
K14
K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2
(c)
Rataan nilai hematokrit efek utama pakan (a), bST (b), dan
kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan.
40
Kadar hemoglobin sapi kontrol, sapi yang diinjeksi bST harian, dan sapi
yang diinjeksi bST selang 14 hari secara berturut-turut adalah sebesar 9,61; 9,60;
dan 10,00 gr/dL. Kadar hemoglobin sapi yang mendapat injeksi bST selang
14 hari tampak lebih tinggi (0,41%) dibandingkan dengan sapi yang diinjeksi bST
harian atau perlakuan kontrol, namun peningkatan ini tidak nyata secara statistik
(P>0.05). Demikian pula rataan kadar hemoglobin sapi yang diberi pakan Balai
ditambah 25% konsentrat tampak lebih tinggi 0,65% dibandingkan kadar
hemoglobin sapi yang mendapat pakan Balai saja, namun tidak nyata secara
statistik (P>0.05). Rataan kadar hemoglobin dari kombinasi perlakuan, injeksi
bST dan penambahan konsentrat disajikan dalam Gambar 9.
Hemoglobin (gr/dL)
10,00
9,75
9,50
9,25
9,00
8,75
8,50
8,25
8,00
P1
P2
(a)
K0
K1
K14
K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2
(b)
(c)
Gambar 9 Rataan kadar hemoglobin efek utama pakan (a), bST (b), dan
kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan.
Metabolit dan Hormon Metabolisme
Peningkatan produksi susu akan mempengaruhi rangkaian metabolisme
dalam tubuh, khususnya yang berkaitan erat dengan metabolisme nutrien yang
dibutuhkan untuk sintesis susu. Somatotropin sebagai agen galaktopoietik akan
berupaya membuat keadaan kesinambungan proses sintesis susu dalam sel-sel
kelenjar susu. Produksi susu sangat ditentukan oleh aktivitas sel-sel kelenjar susu
dan ketersediaan substrat yang sangat dibutuhkan dalam sintesis susu. Pada
Tabel 5 disajikan pengaruh injeksi bST dan penambahan konsentrat pada kadar
glukosa. trigliserida, dan nitrogen urea serum.
41
Tabel 5
Rataan kadar metabolit dan hormon metabolisme pada sapi yang diinjeksi bST dan ditambah konsentrat selama 84
hari (12 minggu) pengamatan
bST
Peubah
Kontrol (Ko)
P1
P>F
Harian (K1)
P2
P1
P2
14 Harian (K14)
P1
P2
bST
Pkn
Int
Glukosa
(mg/dL)
39,43 ± 8,95
33,40 ± 5,38
39,69 ± 6,14
38,48 ± 6,85
35,85 ± 5,73
40,46 ± 7,00
ns
ns
-
Trigliserida
(mg/dL)
99,37 ± 16,09
96,20 ± 2,71
100,52 ± 19,52
92,80 ± 15,05
93,47 ± 27,63
103,14 ± 29,42
ns
ns
-
Nitrogen
urea
(mg/dL)
115,17 ± 10,31
95,67 ± 0,01
107,65 ± 0,03
102,14 ± 0,07
101,72 ± 0,03
105,38 ± 0,15
ns
ns
-
Kortisol
(µg/ dL)
0,731 ± 0,06
0,612 ± 0,01
0,669 ± 0,03
0,574 ± 0,15
0,592 ± 0,03
0,665 ± 0,07
ns
ns
-
T4
(µg/dL)
3,281 ± 0,34
2,993 ± 0,07
2,935 ± 0,15
2,805 ± 0,29
2,811 ± 0,11
2,620 ± 0,14
ns
ns
-
T3
(Å‹g/dL)
111,45 ± 2,67
99,86 ± 7,35
100,73 ± 6,00
100,92 ± 2,80
100,66 ± 9,47
96,17 ± 0,31
ns
ns
-
Keterangan: tanda * menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%. ns : tidak berbeda nyata. P1 adalah pakan standar yang biasa
diberikan di BPPTP Cikole. P2 adalah pakan standar ditambah 25% konsentrat (2 kg konsentrat yang digunakan pada
pakan standar)
41
42
Peningkatan kadar glukosa serum terjadi sebesar 7,33% pada sapi yang
mendapat injeksi bST harian, dan 4,78% pada sapi yang mendapat injeksi bST selang
14 hari dibandingkan dengan sapi kontrol, namun tidak nyata secara statistik (P>0.05).
Kadar glukosa serum sapi yang mendapat pakan Balai ditambah
ditambah 25% konsentrat mengalami penurunan 2,27% dibandingkan dengan sapi yang
mendapat pakan Balai saja. Rendahnya kadar glukosa serum sangat erat kaitannya
dengan tingkat produksi susu yang dihasilkan. Pada sapi yang mendapat pakan Balai
ditambah 25% konsentrat, kadar glukosa juga mengalami penurunan dibandingkan
dengan sapi yang mendapat pakan Balai saja walau tidak nyata secara statistik (P>0.05).
Rataan kadar glukosa serum dari masing-masing kombinasi perlakuan disajikan pada
Gambar 10.
Kadar Glukosa
(mg/100 d L)
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
P1
P2
(a)
K0
K1
(b)
K14
K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2
(c)
Gambar 10 Rataan kadar glukosa serum efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi
perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan.
Kadar trigliserida serum sapi yang mendapat injeksi bST harian menurun 1,16%,
sedangkan sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari justru memperlihatkan
peningkatan 0,53% dibandingkan dengan sapi kontrol namun tidak nyata secara statistik
(P.> 0.05). Sapi yang diberi pakan Balai memiliki kadar trigliserida serum yang sedikit
lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang diberi pakan Balai ditambah 25%
konsentrat. Rataan kadar trigliserida serum sapi yang mendapat pakan Balai, pakan
Balai ditambah 25% konsentrat dan sapi kontrol, sapi yang diinjeksi bST harian, dan
sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari secara berturut-turut sebesar 97,79; 99,28 dan
97,79; 96.66; 101,15 mg/dL (Gambar 11).
43
Kadar Trigliserida serum
(mg/d L)
115
110
105
100
95
90
85
80
P1
K0
P2
K1
(b)
(a)
K14
K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2
(c)
Gambar 11 Rataan kadar trigliserida serum efek utama pakan (a), bST (b), dan
kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan.
Pada level pakan Balai, kadar nitrogen urea serum sapi yang mendapat injeksi
bST harian dan sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari masing-masing sebesar
0,49 dan 1,77% lebih rendah dibandingkan dengan sapi kontrol, namun tidak berbeda.
Sapi yang mendapat pakan Balai ditambah 25% konsentrasi memiliki kadar nitrogen
urea serum sebesar 6,58% lebih rendah dari sapi yang mendapat pakan Balai walau
tidak berbeda. Rataan kadar nitrogen urea sapi yang mendapat pakan Balai, sapi yang
mendapat pakan Balai ditambah 25% konsentrat dan sapi kontrol, sapi yang mendapat
injeksi bST harian, dan sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari secara berturutturut adalah sebesar 108,18; 99,71 dan 105,42; 104,89; 101,52 mg/dL (Gambar12).
Kadar Nirogen Urea
serum (mg/d L)
140
120
100
80
60
40
20
0
P1
P2
(a)
Gambar 12
K0
K1
(b)
K14
K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2
(c)
Rataan kadar nitrogen urea serum efek utama pakan (a), bST (b), dan
kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan.
44
Injeksi bST dan penambahan konsentrat dapat meningkatkan produksi susu,
yang berarti telah terjadi
peningkatan metabolisme khususnya pada sintesis susu.
Peningkatan sintesis susu akan membutuhkan sejumlah tambahan nutrien, baik sebagai
prekursor, hormon yang berperan dalam metabolisme dan pengaturan sintesis susu.
Kortisol berperan dalam pengaturan glukosa darah sehingga dalam pengamatan
ini dijadikan salah satu indikator untuk mengetahui ketersediaan glukosa. Glukosa
dibutuhkan sebagai prekursor dalam sintesis laktosa dan berkorelasi positif dengan
produkai susu. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa kadar kortisol serum sapi yang
mendapat injeksi bST harian, dan sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari lebih
rendah
secara berturut-turut sebesar 7,44% dan 6,40% dibandingkan dengan sapi
kontrol. Namun, penurunan ini tidak nyata secara statistik (P>0.05). Sapi yang
mendapat pakan Balai ditambah 25% konsentrat menunjukkan kadar kortisol serum 7%
lebih rendah dibandingkan dengan sapi yang mendapat pakan Balai. Kadar kortisol
serum sapi yang mendapat pakan Balai, pakan Balai ditambah 25% konsentrat dan sapi
kontrol, sapi yang mendapat injeksi bST harian, dan sapi yang mendapat injeksi bST
selang 14 hari berturut-turut sebesar 0,664; 0,610 dan 0,672; 0,622; 0,629 µg/dL
(Gambar13).
0.8
Kadar Kortisol
Serum (µg/dL)
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
P1
P2
(a)
K0
K1
(b)
K14
K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2
(c)
Gambar 13 Rataan kadar kortisol serum efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi
perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan.
Tetraiodotironin berperan penting dalam penyediaan energi untuk kelangsungan
proses metabolisme. Kadar Tetraiodotironin serum mengalami penurunan pada sapi
yang mendapat injeksi bST harian sebesar 8,51%, demikian pula sapi yang mendapat
injeksi bST selang 14 hari, yaitu 12,02% dibandingkan dengan sapi kontrol dan sapi
45
yang diberi pakan Balai ditambah 25% konsentrat mengalami penurunan kadar T4
serum sebesar 6,75% dibandingkan dengan sapi yang diberi pakan Balai. Kadar T4
serum pada sapi yang mendapat pakan Balai, sapi yang mendapat pakan Balai ditambah
25% konsentrat dan sapi kontrol, sapi yang mendapat injeksi bST harian, dan sapi yang
mendapat injeksi bST selang 14 hari, secara berturut-turut adalah sebesar 3,00; 2,81 dan
3,14; 2,87; 2,72 µg/dL (Gambar14).
Kadar T4 Serum
(µg/dL)
3.5
3.0
2.5
2.0
1.5
1.0
0.5
0
P1
P2
(a)
Gambar14
K0
K1
(b)
K14
K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2
(c)
Rataan kadar T4 serum efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi
perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan.
Rataan kadar triiodotironin (T3) serum sapi yang mendapat injeksi bST harian
dan sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari masing-masing 4,57 dan 6,52%
lebih rendah dibandingkan dengan sapi kontrol. Kadar T3 serum sapi yang mendapat
pakan Balai ditambah 25% konsentrat ternyata lebih rendah sebesar 5,14%
dibandingkan sapi yang mendapat pakan Balai saja. Kadar T3 serum dari sapi yang
mendapat pakan Balai, sapi yang mendapat pakan Balai ditambah 25% konsentrat dan
sapi kontrol, sapi yang mendapat injeksi bST harian, dan sapi yang mendapat injeksi
bST selang 14 hari secara berturut-turut adalah 104,28; 98,98 dan 105,66; 100,83; 98,98
ηg/dL (Gambar15).
46
110
Kadar T3 Serum
(µg/dL)
105
100
95
90
85
P1
K0
P2
K14
K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2
(b)
(a)
Gambar15
K1
(c)
Rataan kadar T3 serum efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi
perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan.
Produksi Susu
Rataan produksi susu selama penelitian
terdiri atas masa praperlakuan,
perlakuan dan pascaperlakuan disajikan dalam Gambar 16.
160.00
120.00
80.00
40.00
0.00
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17
minggu
K0P1
K0P2
K1P1
K1P2
K14P1
K14P2
Keterangan :
K0P1 : injeksi bST dan pakan Balai
K1P1 : injeksi bST harian dan pakan Balai
K14P1 : injeksi bST selang 14 hari dan pakan Balai
K0P2 : injeksi bST dan pakan Balai+25% konsentrat
K1P2 : injeksi bST harian dan pakan Balai+25% konsentrat
K14P2: injeksi bST selang 14 hari dan pakan Balai+25% konsentrat
Gambar 16 Produksi susu masing-masing kombinasi perlakuan (kg/minggu) selama
penelitian ( praperlakuan, perlakuan, dan pascaperlakuan).
Hasil pengamatan selama penelitian masa praperlakuan (3 minggu) tercatat
rataan produksi susu harian sapi uji pada level pakan Balai (P1), untuk sapi kontrol, sapi
yang diinjeksi bST harian, sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari secara berturut-turut
adalah sebesar 93,75±3,47; 101,16±5,94; dan 114,75±2,56 kg/ekor/hari. Pada level
47
pakan Balai ditambah 25% konsentrat (P2), rataan produksi susu sapi kontrol, sapi yang
diinjeksi bST harian, dan sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari secara berturut turut
adalah 102,61±6,85; 97,69±3,75; dan 89,77±4,87kg/ekor/hari. Rataan produksi susu
pada masa praperlakuan relatif seragam ( koefisien keragaman 14,37%).
Selama perlakuan rataan produksi susu sapi uji pada level pakan Balai (P1),
untuk sapi kontrol, sapi yang diinjeksi bST harian, sapi yang diinjeksi bST selang 14
hari secara berturut-turut adalah sebesar 93,41±4,86; 109,05±10,06; dan 117,6±9,99
kg/ekor/hari. Pada level pakan Balai ditambah 25% konsentrat (P2), rataan produksi
susu sapi kontrol, sapi yang diinjeksi bST harian, dan sapi yang diinjeksi bST selang 14
hari
secara
berturut
turut
adalah
107,44±8,90;
106,42±8,84;
dan
91,33±6,71kg/ekor/hari.
Selama pascaperlakuan rataan produksi susu sapi uji pada level pakan Balai
(P1), untuk sapi kontrol, sapi yang diinjeksi bST harian, sapi yang diinjeksi bST selang
14 hari secara berturut-turut adalah sebesar 94,32±3,38; 97,09±6,70 dan 107,39±1,29
kg/ekor/hari. Pada level pakan Balai ditambah 25% konsentrat (P2), rataan produksi
susu sapi kontrol, sapi yang diinjeksi bST harian, dan sapi yang diinjeksi bST selang 14
hari secara berturut turut adalah 100,1±1,70; 95,83±4,72; dan 88,72±2,47 kg/ekor/hari.
Rataan total produksi susu masing-masing kombinasi perlakuan, injeksi bST dan
penambahan
konsentrat
yang
diberikan
selama
84
hari
(12 minggu) pengamatan disajikan pada Tabel 6.
Pada bulan pertama dan kedua (8 minggu) pengamatan menunjukkan terdapat
interaksi antara injeksi bST dan penambahan konsentrat. Pada level pakan Balai injeksi
bST harian meningkatkan produksi susu sebesar 24% untuk bulan pertama, dan 12%
untuk bulan kedua, sedangkan pada injeksi bST selang 14 hari mempunyai produksi
susu yang lebih tinggi, yaitu 32% untuk bulan pertama dan 22% untuk bulan kedua,
dibandingkan dengan produksi susu sapi kontrol. Sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari
mempunyai produksi susu yang lebih tinggi 7% untuk bulan pertama, dan 9% untuk
bulan kedua dibandingkan dengan produksi susu sapi yang diinjeksi bST harian.
.
48
Tabel 6. Rataan produksi susu dan 4% FCM pada sapi yang diinjeksi bST dan ditambah konsentrat selama 84 hari (12 minggu)
pengamatan
bST
P>F
Kontrol (Ko)
Harian (K1)
14 Harian (K14)
Peubah
P1
P2
P1
P2
P1
P2
bST
Pkn
Int
Prod bln
ke I (kg)
385,28 ± 38,48
463,95 ± 49, 48
477,4 ± 34,37
462,63 ± 28,34
510,13 ± 76,15
374,08 ± 43,64
ns
ns
*
Prod bln
ke II (kg)
378,88 ± 39,19
431,15 ± 20,56
424,80 ± 36, 22
421,28 ± 27,14
462,38± 87,43
351,45 ± 45,23
ns
ns
*
Prod bln
ke III (kg)
356,97 ± 35,24
394,30 ± 34,43
406,43 ± 42,25
393,15 ± 30,82
438,68 ± 45,57
352,96 ± 20,05
ns
ns
-
Total prod
(kg)
1120,92 ± 106,54
1289,30 ± 87,69
1308,63 ± 109,70
1277,05 ± 69,35
1411,18 ± 252,35
1096,00 ± 107, 17
ns
ns
*
12,69± 1.96
12,84 ± 0.48
13,87 ± 1.49
13,10 ± 2.25
14,24 ± 1.57
11,00 ± 1.55
ns
ns
-
4%FCM
(kg)
48
Keterangan: tanda * menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%. ns : tidak berbeda nyata. P1 adalah pakan standar yang biasa
diberikan di BPPTP Cikole. P2 adalah pakan standar ditambah 25% konsentrat (2 kg konsentrat yang digunakan pada
pakan standar)
49
Pada sapi yang diberi pakan Balai ditambah 25% konsentrat, injeksi bST harian
pada bulan pertama dan kedua cenderung menunjukkan produksi susu yang lebih
rendah, yaitu secara berturut-turut sebesar 1 dan 2% dibandingkan dengan produksi susu
sapi kontrol. Produksi susu sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari menunjukkan nilai
yang jauh lebih rendah, yaitu sebesar 19 dan 15% masing-masing untuk bulan pertama
dan kedua dibandingkan produksi susu sapi kontrol. Produksi susu sapi yang diinjeksi
bST selang 14 hari ternyata lebih rendah dibandingkan dengan produksi susu sapi yang
diinjeksi bST harian, yaitu 19% untuk bulan pertama dan 17% untuk bulan kedua.
Penambahan 25% konsentrat pada sapi kontrol (yang tidak diinjeksi bST)
memperlihatkan peningkatan produksi susu sebesar 20 dan 14% masing-masing untuk
bulan pertama dan bulan kedua. Namun, pada sapi yang diinjeksi bST harian
penambahan 25% konsentrat pada pakan Balai menunjukkan hasil produksi susu yang
lebih rendah, yaitu sebesar 3 dan 1% masing-masing untuk bulan pertama dan kedua
Demikian pula sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari, penambahan 25%
konsentrat menurunkan produksi susu, yaitu 27% untuk bulan pertama dan 24% untuk
bulan kedua.
Pada pengamatan bulan ketiga, tidak terjadi interaksi antara injeksi bST dengan
pakan, demikian pula faktor injeksi bST atau penambahan konsentrat
tidak
menunjukkan pengaruh pada produksi susu. Rataan produksi susu sapi kontrol, sapi
yang diinjeksi bST harian, dan sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari secara berturutturut adalah 375,69; 399,29; dan 395,82 kg, dan sapi yang diberi pakan Balai serta
pakan Balai ditambah 25% konsentrat adalah 400,70 dan 380,14 kg.
Secara keseluruhan, total produksi susu selama 84 hari dipengaruhi oleh
interaksi antara injeksi bST dan pakan seperti yang tersaji dalam Gambar 17. Injeksi
bST harian dan selang 14 hari pada sapi yang diberi pakan Balai memperlihatkan
peningkatan produksi secara berturut-turut sebesar 17 dan 26%. Produksi susu sapi yang
diinjeksi bST selang 14 hari lebih tinggi 8% dibandingkan dengan produksi susu sapi
yang diinjeksi bST harian. Namun, pada sapi yang diberi pakan Balai ditambah 25%
konsentrat, sapi yang diinjeksi bST harian dan selang 14 hari menghasilkan produksi
susu yang lebih rendah, masing-
50
masing sebesar 2,41% dan 22% dibandingkan dengan produksi susu sapi kontrol.
Produksi susu sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari lebih rendah dibandingkan
Produksi susu (kg/ 84 hari)
produksi susu sapi yang diinjeksi bST harian, yaitu sebesar 14%.
1500
1400
1300
1289.3
1308.625
1411.175
1277.05
1200
1100
P2
P1
1120.925
1096.33
1000
900
K0
Keterangan:
P1 : Pakan Balai
Ko: Perlakuan noninjeksi bST
K14: Perlakuan injeksi bST selang 14 hari
K1
K14
P2: Pakan Balai ditambah 25% konsentrat
K1: Perlakuan injeksi bST harian
Gambar 17 Interaksi injeksi bST harian, injeksi bST selang 14 hari, dan standar (P1),
pakan Balai ditambah 25% konsentrat (P2).
Dari paparan hasil pengamatan tampak adanya konsistensi interaksi antara faktor
injeksi bST dan penambahan konsentrat. Khususnya pada bulan pertama dan kedua atau
total selama 84 hari (3 bulan), walau pada bulan ketiga interaksi itu tidak tampak lagi.
Pada sapi yang diberi pakan Balai, injeksi bST menunjukkan pola yang tetap, yaitu
injeksi bST selang 14 hari menghasilkan susu paling tinggi (24-32%) dibandingkan
dengan injeksi bST harian atau sapi kontrol. Pada sapi yang diberi pakan Balai ditambah
25% konsentrat, produksi susu yang dihasilkan sapi yang diinjeksi bST lebih rendah
dibandingkan sapi kontrol. Produksi susu sapi yang diinjeksi bST harian lebih rendah
namun tidak kurang dari 3%, sedangkan pada sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari
produksi susu yang dihasilkan lebih rendah, yaitu mencapai 26%. Produksi susu yang
dihasilkan sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari jauh lebih rendah dibandingkan
dengan produksi susu sapi yang diinjeksi bST harian. Penambahan 25% konsentrat pada
sapi kontrol (sapi yang tidak diinjeksi bST) meningkatkan produksi susu, walau
persentase peningkatannya lebih rendah dari hasil sapi yang diinjeksi bST. Penambahan
25% konsentrat pada sapi yang diinjeksi bST menghasilkan susu yang lebih rendah.
51
Selisih produksi susu sapi yang diinjeksi bST harian kurang dari 3%, sedangkan sapi
yang diinjeksi bST selang 14 hari produksi susu lebih rendah, yaitu sebesar 22%
dibandingkan dengan kontrol. Dapat disimpulkan bahwa injeksi bST meningkatkan
produksi susu pada sapi yang diberi pakan Balai, sedangkan pada sapi yang diberi pakan
Balai ditambah 25% konsentrat justru produksi susu lebih rendah dibandingkan kontrol.
Selisih produksi susu antara sapi yang diinjeksi bST harian dan kontrol tidak melebihi
3%, sedangkan pada injeksi bST selang 14 hari mencapai 15%. Perbedaan ini dapat
diakibatkan kerja ST, dan IGF-1 dalam memediasi ST di dalam kelenjar susu.
Rataan total produksi susu selama 84 hari pengamatan (12 minggu)
memperlihatkan adanya penurunan (Gambar18). Penurunan produksi mengikuti
persamaan garis seperti yang disajikan dalam Tabel 7 walau mengalami penurunan
produksi yang berjalan seiring dengan waktu pengamatan.
Sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari dan diberi pakan Balai secara konsisten
tetap menghasilkan susu tertinggi, diikuti sapi yang mendapat injeksi bST harian dan
pakan Balai, produksi susu sapi kontrol dan pakan Balai ditambah 25% konsentrat. Dari
hasil pengujian homogenitas kofisien regresi ternyata antara kombinasi perlakuan
berbeda. Uji lanjutan menunjukkan bahwa pada level pakan Balai, injeksi nonbST
(kontrol), injeksi bST harian, dan injeksi bST selang 14 hari menunjukkan penurunan
jumlah produksi yang berbeda dalam kurun waktu yang bersamaan, sedangkan pada
level pakan Balai ditambah 25% konsentrat tampak injeksi nonbST ( kontrol), injeksi
bST harian, dan injeksi bST selang 14 hari memperlihatkan penurunan jumlah produksi
susu yang sama dalam kurun waktu yang sama.
Produksi susu sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari dengan pakan
Balai ditambah 25% konsentrat sebanyak 29,18% dipengaruhi oleh waktu perlakuan,
sedangkan hampir 70% disebabkan oleh faktor lain. Koefisien determinasi dari
kombinasi perlakuan lainnya berada dalam kisaran 45–84% yang umumnya adalah
akibat faktor waktu perlakuan. Dari hasil uji signifikansi koefisien determinasi, ternyata
pada semua kombinasi perlakuan waktu pengamatan berpengaruh nyata pada produksi
susu, kecuali pada suplementasi selang 14 hari dan pakan Balai ditambah 25%.
140
Produksi Susu (Kg)
130
120
110
100
90
80
0
1
K0P1
2
y = -0.9053x + 99.295
R
K0P2
3
2
2
5
Mi
K1 P1
= 0.4504
y = -2.1253x + 121.26
R
4
= 0.7412
6
7
y = -2.2149x + 123.45
R
K1P2
8
2
R
10
K14P1
= 0.6299
y = -2.1288x + 120.26
2
9
= 0.8425
K14P2
11
12
y = -2.3915x + 133.14
R
2
= 0.7452
y = -1.0054x + 97.896
R
2
= 0.2918
52
Gambar 14 Hubungan produksi susu dan waktu perlakuan dari masing-masing kombinasi perlakuan selama 84 hari (12 minggu).
53
Tabel 7 Hubungan produksi susu dan waktu perlakuan dari masing-masing
kombinasi perlakuan selama 84 hari (12 minggu) pengamatan
Kombinasi perlakuan
Persamaan garis
R2
K14P2
Y=-1,0054X + 97,896
0,2918
K0P1
Y=-0,9053X + 99,295
0,4504
K1P2
Y=-2,1253X + 121,26
0,7412
K0P2
Y=-2,1288X + 120,26
0,8425
K1P1
Y=-2,2149X + 123,45
0,6299
K14P1
Y=-2,3915X + 133,14
0,7452
Keterangan :
K0P1 : injeksi bST dan pakan Balai
K1P1 : injeksi bST harian dan pakan Balai
K14P1: injeksi bST selang 14 hari dan pakan Balai
K0P2 : injeksi bST dan pakan Balai+25% konsentrat
K1P2 : injeksi bST harian dan pakan Balai+25% konsentrat
K14P2: injeksi bST selang 14 hari dan pakan Balai+25% konsentrat
Produksi susu terkoreksi 4% FCM, produksi susu sapi yang mendapat
injeksi bST harian memperlihatkan lebih tinggi 5,6% dibandingkan sapi kontrol,
sedangkan sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari mempunyai produksi
susu yang sama dengan sapi kontrol. Tampak ada kecenderungan injeksi bST
(harian dan selang 14 hari) memperlihatkan produksi 4% FCM yang lebih tinggi,
namun peningkatan produksi 4% FCM ini secara statistik tidak nyata (P>0.05).
Demikian pula produksi susu 4% FCM dari sapi uji yang mendapat pakan Balai
adalah 8,75% lebih tinggi dibandingkan dengan produksi susu sapi yang
mendapat pakan Balai ditambah 25% konsentrat, namun tidak nyata secara
statistik (P> 0.05).
Rataan produksi 4% FCM, pemberian pakan Balai, pakan Balai ditambah
25% konsentrat dan perlakuan kontrol, injeksi bST harian, dan injeksi bST selang
14 hari, secara berturut-turut adalah sebesar 13,60; 12,41 dan 12,77; 13,49; 12,77
kg (Gambar 19).
4% FCM (kg)
54
16
14
12
10
8
6
4
2
0
P1
P2
(a)
K0
K1
(b)
K14
K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 Kon K14P2
di i
(c)
Gambar 19 Rataan produksi susu 4% FCM efek utama pakan (a), bST (b), dan
kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan.
Komposisi Susu dan Bobot Jenis Susu
Komposisi susu terdiri atas beberapa komponen yang pada dasarnya
mempunyai kadar yang dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya masa
laktasi, umur, bangsa, bahkan status pakan. Hasil pengamatan selama 84 hari
menunjukkan injeksi bST atau penambahan konsentrat tidak mempengaruhi kadar
protein, kadar lemak susu, bahan kering tanpa lemak, dan bobot jenis susu. Hasil
analisis disajikan dalam Tabel 8.
Rataan kadar protein susu sapi yang diberi pakan Balai, pakan Balai
ditambah 25% konsentrat dan sapi kontrol, sapi yang mendapat injeksi bST
harian, dan sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari, secara berturut-turut
adalah 3,43; 3,51 dan 3,39; 3,46; 3,56%. Kadar protein susu sapi yang mendapat
injeksi bST (harian dan selang 14 hari) cenderung lebih tinggi, namun tidak nyata
secara statistik (P>0.05). Kadar protein susu masing-masing perlakuan disajikan
dalam Gambar 20.
55
Tabel 8 Rataan komposisi dan bobot jenis susu pada sapi yang diinjeksi bST dan ditambah konsentrat selama 84 hari (12 minggu)
pengamatan
bST
Peubah
Kontrol (Ko)
P>F
Harian (K1)
14 Harian (K14)
P1
P2
P1
P2
P1
P2
bST
Pkn
Int
Protein
Susu (%)
3,52 ± 0,23
3,26 ± 0,28
3,32 ± 0,26
3,59 ± 0,12
3,44 ± 0,36
3,68 ± 0,24
ns
ns
-
Lemak Susu
(%)
3,88 ± 0,38
4,12 ± 0,12
3,60 ± 0,23
3,93 ± 0,26
3,63 ± 0,26
3,85 ± 0,27
ns
ns
-
BKTL (%)
7,14 ± 0,15
7,23 ± 0,16
7,01 ± 0,24
7,03 ± 0,23
6,96 ± 0,13
7,19 ± 0,20
ns
ns
-
Bobot Jenis
Susu
1,0227 ± 5.10--4
1,0228 ± 4.10--4
1,0223 ± 8.10--4
1,0223 ± 7.10--4
1,0224 ± 3.10--4
1,0227 ± 7.10--4
ns
ns
-
Keterangan: tanda * menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%. ns : tidak berbeda nyata. P1 adalah pakan standar yang biasa diberikan di
BPPTP Cikole. P2 adalah pakan standar ditambah 25% konsentrat (2 kg konsentrat yang digunakan pada pakan standar)
55
56
3.70
Kadar Protein
(%)
3.60
3.50
3.40
3.30
3.20
3.10
3.00
P1
P2
(a)
K0
K1
(b)
K14
K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2
(c)
Gambar 20 Rataan kadar protein susu (%) efek utama pakan (a), bST (b), dan
kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan.
Hasil pengamatan pengaruh injeksi bST pada kadar lemak menunjukkan
lbahwa sapi yang diinjeksi bST mempunyai kadar lemak susu lebih rendah
dibandingkan kontrol. Kadar lemak susu sapi yang diinjeksi bST harian dan
selang 14 hari secara berturut-turut adalah 5,0 dan 6,5% lebih rendah
dibandingkan sapi kontrol. Rataan kadar lemak susu sapi kontrol, sapi yang
diinjeksi bST harian, dan sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari secara berturutturut adalah 4,0; 3,8; dan 3,74%, namun perbedaan tersebut tidak nyata secara
statistik (P>0.05). Pemberian pakan Balai ditambah 25% konsentrat meningkatkan
kadar lemak susu 7,8% dibandingkan dengan pemberian pakan Balai saja (3,70 vs
3,97%), namun peningkatan tersebut tidak nyata secara statistik (P>0.05). Rataan
kadar lemak susu pada masing masing perlakuan disajikan dalam Gambar 21.
Hasil pengamatan injeksi bST dan penambahan konsentrat menunjukkan
bahwa kedua faktor tersebut tidak mempengaruhi kadar bahan kering susu tanpa
lemak. Rataan bahan kering susu tanpa lemak dari sapi yang mendapat pakan
Balai, sapi yang mendapat pakan Balai ditambah 25% konsentrat dan sapi kontrol,
sapi yang diberi injeksi bST harian, dan sapi yang diberi injeksi bST selang 14
hari, secara berturut-turut adalah 7,04; 7,15 dan 7,19; 7,02; 7,08% (Gambar 22).
Terdapat penurunan kadar bahan kering tanpa lemak (BKTL) pada sapi yang
diinjeksi bST, sedangkan penambahan 25% konsentrat pada pakan Balai
meningkatkan kadar BKTL sebesar 1,50%, namun peningkatan tersebut tidak
nyata secara statistik (P>0.05).
57
4.20
Kadar Lemak (%)
4.10
4.00
3.90
3.80
3.70
3.60
3.50
3.40
3.30
P1
P2
K0
(a)
K1
K14
K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2
(b)
(c)
Kadar BKTL (%)
Gambar 21 Rataan kadar lemak susu (%) efek utama pakan (a), bST (b), dan
kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari pengamatan(12 minggu)
7.25
7.20
7.15
7.10
7.05
7.00
6.95
6.90
6.85
P1
P2
K0
K1
K14
K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2
(b)
(a)
(c)
Gambar 22 Rataan kadar BKTL susu (%) efek utama pakan (a), bST (b), dan
kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan.
Hasil pengamatan injeksi bST atau pemberian pakan tidak berpengaruh
pada bobot jenis susu. Rataan bobot jenis susu sapi yang mendapat pakan Balai,
pakan Balai ditambah 25% konsentrat dan sapi kontrol, sapi yang diberi injeksi
bST harian, dan sapi yang diberi injeksi bST selang 14 hari secara berturut-turut
Bobot jenis
adalah 1,0225; 1,0226 dan 1,0228; 1,0223; 1,0226 (Gambar 23).
1.0228
1.0226
1.0224
1.0222
1.0220
1.0218
1.0216
1.0214
1.0212
P1
P2
(a)
K0
K1
(b)
K14
K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2
(c)
Gambar 23 Rataan bobot jenis susu efek utama pakan (a), bST (b), dan
kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan.
58
Bobot Tubuh, Konsumsi Bahan Kering, Efisiensi Produksi Susu, dan
Nilai Kondisi Ternak
Bobot tubuh, pertambahan bobot tubuh, rataan bobot tubuh, konsumsi
bahan kering, efisiensi produksi susu, dan nilai kondisi ternak disajikan pada
Tabel 9. Bobot tubuh awal sapi uji kombinasi perlakuan menunjukkan kisaran
bobot awal yang sama antarkombinasi perlakuan, dan selama 84 hari ternyata
bobot sapi uji tidak berbeda antarkombinasi perlakuan.
Rataan bobot tubuh
Bobot Tubuh (kg)
selama pengamatan disajikan dalam Gambar 24.
500
490
480
470
460
450
440
430
420
410
400
P1
P2
(a)
K0
K1
K14
K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2
(b)
(c)
Gambar 24 Rataan bobot tubuh efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi
perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan.
Pertambahan bobot tubuh selama 84 hari pengamatan menunjukkan
terdapat interaksi antara injeksi bST dan pakan seperti tertera pada Gambar 25.
P1
P2
40
36
30
21.75
20
16
12.25
10
0
-10.75
-10
-15
-2 0
K0
K1
K14
BST
Gambar 25 Interaksi injeksi bST dan pakan pada penambahan bobot tubuh
selama penelitian (12 minggu).
59
Tabel 9 Bobot tubuh, pertambahan bobot tubuh, konsumsi bahan kering dan efisiensi produksi susu, dan nilai kondisi ternak sapi
yang diinjeksi bST dan ditambah konsentrat selama 84 hari (12 minggu) pengamatan
Peubah
Bobot tubuh
awal
(kg)
Bobot tubuh
akhir
(kg)
Pertambahan
bobot tubuh
(kg)
Rataan bobot
tubuh (kg)
Konsumsi
bahan
kering (kg)
Efisiensi
produksi
susu (%)
Nilai kondisi
ternak
Keterangan:
bST
Harian (K1)
Kontrol (Ko)
P>F
14 Harian (K14)
P1
P2
P1
P2
P1
P2
bST
Pkn
Int
462,5 ± 71,59
457,8 ± 31,38
440,5 ± 39,08
448,5 ± 59,27
430,0 ± 33,66
448,0 ± 63,00
ns
ns
-
475 ± 77, 27
447 ± 18,96
462 ± 46,28
434 ± 39,20
446 ± 40,04
494,7 ± 59,48
ns
ns
-
+ 12,25 ± 7.80
-10,75 ± 18.96
+21,75 ± 17.42
-15 ± 30.80
+16 ± 6.97
+36 ± 6.36
ns
ns
*
469,33 ± 68,12
455,67± 29,90
456,42 ± 49,33
435,25 ± 43,48
447,17 ± 37,88
491,22 ± 50,77
ns
ns
-
17,80a± 0,09
19,72b ± 0,03
17,81a ± 0,07
19,94b ± 0,39
17,86a ± 0,03
19,71b ± 0,01
ns
*
-
15,60 ± 3,03
14,31 ± 1,06
17,35 ± 1,82
15,36 ± 3,86
17,96 ± 5,27
12,08 ± 2,91
ns
ns
-
2,71 ± 0,20
2,65 ± 0,14
2,75 ± 0,20
2,69 ± 0,12
2,60 ± 0,20
2,94 ± 0,19
ns
ns
-
tanda * menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%. ns : tidak berbeda nyata. P1 adalah pakan standar yang biasa
diberikan di BPPTP Cikole. P2 adalah pakan standar ditambah 25% konsentrat (2 kg konsentrat yang digunakan pada
pakan standar)
59
60
Pada level pakan Balai, sapi kontrol dan sapi yang mendapat injeksi bST
harian menunjukkan peningkatan bobot tubuh, sedangkan pada sapi yang mendapat
injeksi bST selang 14 hari terjadi penurunan bobot tubuh. Pada level pakan Balai
ditambah 25% konsentrat, sapi kontrol dan sapi yang mendapat injeksi bST harian
mengalami penurunan bobot tubuh, sedangkan pada sapi yang mendapat injeksi selang
14 hari terjadi peningkatan bobot tubuh .
Penambahan konsentrat sebesar 25% pada pakan Balai nyata menyebabkan
peningkatan konsumsi bahan kering antarkombinasi perlakuan. Rataan konsumsi bahan
kering sapi yang mendapat pakan Balai ditambah 25% konsentrat adalah sebesar 19,73
kg, sedangkan sapi yang mendapat pakan Balai saja adalah sebesar 17,82 kg. Terdapat
selisih
konsumsi
bahan
kering
sebesar
1,97 kg (11,05%). Injeksi bST tidak mempengaruhi konsumsi bahan kering. Rataan
konsumsi bahan kering pakan Balai, pakan Balai ditambah 25% konsentrat dan
perlakuan
kontrol,
injeksi
bST
harian,
dan
injeksi
bST
selang
14 hari secara berturut-turut adalah 17,83; 19,80 dan 18,76; 18,88; 18,79 kg disajikan
Konsumsi Bahan Kering (kg)
dalam Gambar 26.
20.0
19.5
19.0
18.5
18.0
17.5
17.0
16.5
P1
P2
(a)
K0
K1
(b)
K14
K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2
(c)
Gambar 26 Rataan konsumsi bahan kering efek utama pakan (a), bST (b), dan
kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan.
Injeksi bST (harian dan selang 14 hari) atau pakan ternyata tidak berpengaruh
pada efisiensi produksi susu. Rataan efisiensi produksi susu pakan Balai, pakan Balai
ditambah 25% konsentrat dan perlakuan kontrol, injeksi bST harian, dan injeksi bST
61
selang 14 hari secara berturut-turut adalah 16,97; 13,40 dan 14,96; 16,40; 15,02%
Efisiensi
Produksi Susu (%)
disajikan dalam Gambar 27.
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
P1
K0
P2
K1
K14
K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2
(b)
(a)
(c)
Gambar 27 Rataan efisiensi produksi susu (EPS) efek utama pakan (a), bST (b), dan
kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan.
Angka efisiensi produksi susu dari sapi uji yang mendapat injeksi bST harian
lebih tinggi dari sapi kontrol, yaitu sebesar 9,4% sedangkan sapi yang mendapat injeksi
bST selang 14 hari menunjukkan lebih rendah 1% dari sapi kontrol. Pemberian pakan
Balai ditambah 25% konsentrat memiliki angka efisiensi produksi susu yang lebih
rendah 18,68% dibandingkan dengan sapi yang mendapat pakan Balai saja.
Perhitungan efisiensi produksi susu melibatkan beberapa peubah, khususnya
produksi susu yang telah distandarkan pada 4% FCM, konsumsi bahan kering pakan
dan bobot tubuh. Angka efisiensi produksi susu sapi uji yang mendapat injeksi bST
harian cenderung lebih tinggi dari sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari,
namun tidak nyata secara statistik (P>0.05). Sapi yang mendapat injeksi bST selang 14
hari tampak memiliki angka efisiensi produksi susu yang sama dengan sapi kontrol,
sedangkan sapi yang mendapat pakan Balai dapat meningkatkan efisiensi produksi susu,
namun peningkatannya tidak nyata. Peningkatan angka efisiensi produksi susu pada
injeksi bST harian menunjukkan peran bST sebagai agen galaktopoietik.
Nilai kondisi ternak (NKT) menunjukkan tidak berbeda antarperlakuan. Nilai
kondisi ternak, sapi yang mendapat pakan Balai, sapi yang mendapat pakan Balai
ditambah 25% konsentrat dan sapi kontrol, sapi yang mendapat injeksi bST harian, dan
sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari, secara berturut-turut adalah sebesar
2,69; 2,76 dan 2,68; 2,72; 2,77. Hasil penelitian menunjukkan ada kecenderungan
bahwa
pada
sapi
yang
diinjeksi
bST
selang
62
14 hari lebih tinggi dibanding sapi yang diinjeksi bST harian atau sapi kontrol. Sapi
yang diberi pakan Balai ditambah 25% konsentrat memiliki nilai kondisi ternak yang
lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang diberi pakan Balai saja. Rataan nilai kondisi
Nilai Kondisi Ternak
ternak antarperlakuan disajikan dalam Gambar 28.
2.90
2.80
2.70
2.60
2.50
2.40
P1
P2
(a)
K0
K1
(b)
K14
K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2
(c)
Gambar 28 Rataan nilai kondisi ternak (NKT) efek utama pakan (a), bST (b), dan
kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan.
63
.
PEMBAHASAN
Fungsi utama jantung adalah memompakan darah ke seluruh tubuh. Pada hewan
laktasi, peranan kardiovaskular dan aliran darah sangat penting, khususnya pengaliran
darah yang menuju ke kelenjar susu untuk memasok kebutuhan nutrien yang diperlukan
untuk sintesis susu dan membawa hasil metabolisme.
Denyut jantung merupakan manifestasi dari kerja jantung dalam memompakan
darah sehingga terdapat hubungan positif antara denyut jantung dengan aliran darah.
Dalam keadaan normal, denyut jantung sapi perah berkisar antara 60 dan 70 kali/menit
(Frandson 1996). Sebagai gambaran pada sapi yang berbobot tubuh 500 kg, dengan
denyut jantung 70 kali/menit, curah jantung dalam sehari kira-kira 71 000 L (Akers
2002). Kelenjar susu yang sedang laktasi menggunakan hampir 10% dari curah jantung,
dan akan meningkat pada akhir kebuntingan dan awal laktasi. Rasio antara aliran darah
dengan produksi susu adalah 500:1 sehingga bila produksi susu 35 kg, dibutuhkan aliran
darah ke kelenjar susu sebanyak 17 500 L (Prosser &Mepham 1989).
Hasil pengamatan menunjukkan injeksi bST harian dan selang 14 hari nyata
meningkatkan denyut jantung secara berturut-turut 4,6%, dan 6,7% dibandingkan
kontrol. Angka peningkatan denyut jantung masih dalam kisaran normal walau secara
statistik berbeda nyata. Peningkatan denyut jantung mengindikasikan
peningkatan
aliran darah. Dalam rangka penyesuaian metabolisme sebagai salah satu peran ST
adalah mempengaruhi atau meningkatkan kerja jantung dalam memompa darah ke
seluruh bagian tubuh. Peningkatan produksi susu akan meningkatkan rasio antara aliran
darah dengan produksi susu. Seperti yang dilaporkan peneliti terdahulu bahwa injeksi
bST meningkatkan aliran darah menuju kelenjar susu untuk memasok kebutuhan nutrien
dan prekursor (Prosser & Mepham 1989). Prinsip utama peningkatan sintesis susu
adalah peningkatan aktivitas sel sel epitel kelenjar susu yang didukung oleh peningkatan
laju darah yang membawa substrat dan prekursor yang dibutuhkan. Hasil pengamatan
menunjukkan frekuensi denyut jantung pada sapi yang disuntik bST mengalami
peningkatan walau masih dalam kisaran normal.
Rataan
denyut jantung hasil
pengamatan ternyata lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan Soderholm et
al (1986) bahwa sapi yang diinjeksi bST dengan dosis 10,3; 20,6; dan 41,2 mg/hari
64
menunjukkan peningkatan secara berturut-turut 5; 9; dan 15% dibandingkan dengan
sapi kontrol. Hal tersebut memperkuat pernyataan Peel & Bauman (1987) dan Phipps
(1989) bahwa injeksi bST meningkatkan sedikit denyut jantung khususnya pada dosis
tinggi.
Pernapasan adalah proses pengambilan sejumlah O2 untuk metabolisme dan
pengeluaran CO2 hasil metabolisme, namun di samping itu juga digunakan untuk proses
evaporasi, yaitu pengeluaran kelebihan produk panas tubuh. Produksi panas dalam
tubuh terus berlangsung sebagai proses oksidasi fisiologis dari organ tubuh. Untuk
keperluan tersebut dibutuhkan sejumlah energi, dan dari proses tersebut juga diproduksi
sejumlah kalor dalam bentuk panas. Sapi perah yang berada dalam keadaan tidak
beraktivitas, dan tidak laktasi menghasilkan 400–500 kalori/jam, pada saat laktasi
produk panas dapat mencapai 2 kali lipat (Soeharsono 1984).
Hasil
pengamatan
menunjukkan
frekuensi
pernapasan
berkisar
antara
28,70 dan 30,46 kali/menit, dan masih termasuk dalam kisaran normal, yaitu
30,0 kali/menit pada kondisi ideal 18ºC (McDowell 1972). Injeksi bST nyata
meningkatkan frekuensi pernapasan 1,8 sampai 5,0% walau masih dalam kisaran
normal. Hasil pengamatan yang dilaporkan Soderholm et al (1988) bahwa sapi yang
mendapat injeksi bST 0; 10,3; 20,6; 41,2 mg/hari memiliki frekuensi pernapasan
berturut-turut sebesar 41,1; 47,3; 41,7, dan 47,3 kali/menit namun secara statistik tidak
berbeda. Injeksi bST (harian dan selang 14 hari) meningkatkan produksi susu, yang
berarti telah terjadi peningkatan produk panas. Sebagai hewan homoeoterm, sapi akan
mempertahankan keseimbangan panas sehingga kelebihan produk panas harus segera
dikeluarkan agar keseimbangan panas dapat tetap dipertahankan dan dimanifestasikan
pada suhu tubuh yang relatif konstan. Cara pengeluaran kelebihan panas dapat
dilakukan melalui berbagai proses seperti radiasi, konveksi, konduksi dan evoporasi.
Pengeluaran panas melalui evaporasi yaitu peningkatan pernapasan dipandang lebih
efektif karena pada umumnya ternak tidak mempunyai kelenjar keringat dalam jumlah
banyak (Soeharsono 1984). Dalam pengamatan ini tampaknya peningkatan frekuensi
pernapasan yang terjadi dapat mendukung proses homeostasis berjalan lancar.
Peningkatan frekuensi pernapasan yang diperoleh dari hasil pengamatan
65
relatif kecil hal ini berkaitan erat dengan waktu pengamatan yang dilakukan pada pagi
hari antara pukul 5.00-6.00 dan pengukuran siang pada pukul 13.00-14.00 sehingga
sapi belum mendapat pakan sehingga kisaran frekuensi pernapasan secara bilangan
relatif lebih rendah dan perbedaan antarperlakuan berada dalam kisaran yang sempit.
Suhu tubuh merupakan manifestasi akhir dari seluruh rangkaian proses
metabolisme yang terjadi dalam tubuh. Sapi uji sebagai hewan homoioterm akan selalu
memelihara/mempertahankan keseimbangan panas (Hafez 1968). Pada pengamatan ini
terjadi peningkatan produksi susu, yang mengindikasikan adanya penambahan produk
panas tubuh selain panas tubuh dari metabolisme untuk kelangsungan hidup pokok.
Semakin tinggi produksi susu yang dihasilkan berarti semakin bertambah panas yang
terbentuk, yang pada gilirannya merupakan beban panas yang harus segera dikeluarkan.
Setiap terjadi pergeseran keseimbangan panas antara produksi panas dalam tubuh akan
segera diikuti dengan upaya pengembalian ke dalam keadaan seimbang (homeostasis).
Hasil pengamatan menunjukkan rataan suhu tubuh sapi uji terdapat dalam
kisaran 38,51 sampai 38,59ºC, yang masih termasuk dalam kisaran suhu normal yaitu
38,00-39,30ºC (Williamson&Payne 1978) atau 38,6ºC (McDowell 1972; Robinson
1992). Sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari memiliki suhu tubuh 1,3% lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol, sedangkan sapi yang mendapat injeksi bST harian
justru lebih rendah 0,8% dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan suhu tubuh pada
sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari mengindikasikan adanya peningkatan produksi
susu (Tarazon-Herrera 1999). Peningkatan suhu tubuh selama pemberian ST masih
tetap dalam variasi yang normal dan tidak berbahaya terhadap sistem termoregulasi
fisiologis hewan uji (Manalu 1991). Dalam proses homeostasis, tampak upaya
penyeimbangan panas telah dilakukan melalui evaporasi, yaitu dengan peningkatan
frekuensi pernapasan, bahkan peningkatan denyut jantung. Pada injeksi bST harian atau
selang 14 hari, beban panas dikeluarkan melalui peningkatan pernapasan sebesar 1,8–
5,0% dan 4,8–6,9% melalui peningkatan denyut jantung.
Nilai hematokrit dan kadar hemoglobin dalam keadaan normal secara berturutturut adalah 24– 40% dan 8–14 gr/dL (Phipps 1989). Sapi-sapi akan
mengalami penurunan nilai hematokrit dan kadar hemoglobin setelah partus sampai 3
atau 4 bulan masa laktasi (Eppard et al.1989), yang diduga sebagai akibat peningkatan
66
produksi susu sehingga penggunaan asam amino atau protein difokuskan untuk sintesis
susu. Keadaan tersebut diduga berdampak pada suplai asam amino untuk pembentukan
sel darah merah, atau lebih spesifik terjadinya kelambatan pendewasaan sel darah merah
yang akan berpengaruh pada peran hemoglobin dalam pengikatan oksigen yang
dibutuhkan dalam metabolisme.
Hasil
pengamatan
memperlihatkan
injeksi
bST
(harian
dan
selang
14 hari) tidak mempengaruhi nilai hematokrit. Nilai hematokrit berada dalam kisaran
antara 28,02 dan 30,08%. Tampak pada injeksi bST (harian dan selang 14 hari) nilai
hematokrit menunjukkan peningkatan walau tidak secara nyata. Kecenderungan
peningkatan nilai hematokrit dipacu oleh neraca nitrogen tubuh dan status pakan, yang
pada saat pengamatan berada dalam neraca positif. Keadaan tersebut di atas turut
memperkuat hasil pengamatan
Hasil
pengamatan
memperlihatkan
injeksi
bST
(harian
dan
14 hari) tidak mempengaruhi kadar hemoglobin. Kadar hemoglobin yaitu
selang
berkisar
antara 9,46 dan 10,19 gr/dL. Tampak pada sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari
memiliki kadar hemoglobin lebih tinggi 0,41 % dibandingkan kontrol atau sapi yang
diinjeksi bST harian, sedangkan penambahan 25% konsentrat lebih tinggi (0,65%)
dibandingkan dengan sapi yang mendapatkan pakan Balai saja. Keadaan tersebut di atas
turut memperkuat hasil pengamatan dilaporkan Phipps (1989) bahwa sapi yang
mendapat injeksi bST umumnya memiliki nilai hematokrit dan kadar hemoglobin yang
relatif sama dan masih terdapat dalam kisaran normal. Secara rinci kisaran normal nilai
hematokrit dan kadar hemoglobin secara berturut-turut adalah 24-40% dan 8-14 gr/dL.
Hasil pengamatan Phipps (1989) menunjukkan nilai hematokrit untuk sapi kontrol
adalah 30,10% dan 26,10% untuk sapi yang dinjeksi bST, sedangkan kadar hemoglobin
untuk sapi kontrol dan sapi yang diinjeksi bST secara berturut-turut adalah 11,5 gr/dL
dan 10,00 gr/dL. Sapi akan memperlihatkan penurunan nilai hmatokrit atau kadar
hemoglobin pada penggunaan bST dengan dosis yang tinggi (Phipps 1989).
Peningkatan produksi susu mengindikasikan terjadinya peningkatan aktivitas
metabolisme dalam tubuh. Namun, hasil analisis beberapa metabolit penting antara lain
glukosa, trigliserida, dan nitrogen urea serta hormon metabolism ternyata tidak
67
menunjukkan perbedaan pada sapi yang diinjeksi bST (harian dan selang 14 hari) atau
ditambahkan konsentrat.
Glukosa merupakan prekursor yang dibutuhkan dalam sintesis laktosa. Laktosa
berperan dalam mempertahankan osmolaritas air dan komponen-komponen dalam susu
sehingga untuk menentukan peningkatan susu dapat dilakukan melalui kadar glukosa
dan laktosa. Kadar glukosa darah pada ternak sapi berkisar antar 40 dan 60 mg%
(Preston dan Leng 1987; Sutardi 1981). Pada sapi laktasi kadar glukosa lebih rendah
daripada sapi yang tidak sedang laktasi (Akers 2002; Sutardi 1981). Rendahnya kadar
glukosa pada sapi laktasi selalu dihubungkan dengan cepatnya up take glukosa dan
penggunaan nutrien oleh kelenjar susu (Riis 1983).
Selama periode laktasi, glukosa dibutuhkan secara terus menerus sehingga
diperlukan sumber glukosa untuk mencukupi proses sintesis susu dalam waktu yang
relatif cepat, yaitu melalui perombakan cadangan energi yang tersimpan dalam tubuh.
Salah satu di antaranya adalah glikogen, namun cadangan ini hanya tersedia dalam
jumlah terbatas, dan selanjutnya akan dipasok melalui jalur glukoneogenesis yang
terjadi di dalam hati (Rose & Obara 2000).
Rataan glukosa serum hasil pengamatan ini berada dalam kisaran 33,40 sampai
40,46 mg%, yang lebih rendah dari yang dilaporkan Sutardi (1981). Hal ini diduga erat
kaitannya dengan waktu pengambilan sampel darah, yaitu 3–4 jam setelah pemberian
pakan sehingga kadar glukosa cenderung sudah mengalami penurunan, yang
diakibatkan oleh peningkatan laju up take glukosa oleh kelenjar susu. Injeksi bST dan
penambahan konsentrat tidak mempengaruhi kadar glukosa serum. Namun, tampak ada
kecenderungan kadar glukosa serum pada sapi yang mendapat injeksi bST harian sedikit
lebih tinggi dari perlakuan kontrol atau injeksi bST selang 14 hari. Cepatnya laju up
take glukosa mempunyai hubungan yang positif dengan laju peningkatan produksi susu
sehingga pada sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari memiliki produksi susu yang lebih
tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Riis 1983)
Aksi Somatotropin pada sapi laktasi bekerja langsung sebagai antiinsulin (Eckert
& Randall 1983; Kamil et al. 2001; Manalu 2001) dan pengaruhnya akan tampak
beberapa jam setelah injeksi pertama dan setelah injeksi harian (Manalu 2001) pada
seluruh jaringan tubuh nonkelenjar susu, dalam rangka penyesuaian metabolisme dan
68
homeostasis. Up take glukosa dan penggunaan glukosa pada seluruh jaringan nonkelenjar susu menjadi rendah (Etherton & Bauman 1998), yang ditandai dengan
berkurangnya ekspresi transport glukosa dalam jaringan, namun terjadi peningkatan
stimulasi lipolisis (Zhao et al.1996) yang akan menyebabkan rendahnya konsentrasi
insulin dalam darah. Rendahnya kadar glukosa darah akan berdampak pada konsentrasi
dan kerja insulin dalam rangka memfasilitasi glukosa masuk ke dalam sel, yang
selanjutnya akan mempengaruhi aktivitas tiroksin dalam penyediaan ATP (Collier et al.
1984; Tucker 1984). Di samping itu bST akan meningkatkan aliran darah sehingga
glukosa yang besama sirkulasi darah akan sampai pada kelenjar susu dan segera
dimanfaatkan untuk kebutuhan sintesis susu.
Kadar trigliserida darah merupakan hasil antara laju penyerapan trigliserida hasil
hidrolisis enzimatis lemak pada saluran pencernaan ke dalam aliran darah dan laju
pemanfaatnya pada sel-sel hati, sebelum disintesis kembali dan disimpan dalam
jaringan. Trigliserida adalah pembentuk lemak susu terbesar hampir 97 sampai 98% dan
sekitar 2 sampai 3% lainnya berupa senyawa fosfolipid (Larson 1985; Lynch et al.
1992). Ketersediaan trigliserida harus bersama-sama dengan asam asetat dan beta
hidroksibutirat dan prekursor lainnya , khususnya dalam penyediaan sumber karbon
untuk
sintesis asam lemak rantai pendek dan medium
dalam
proses de novo
(Tanwattana 2002).
Hasil pengamatan menunjukkan trigliserida serum berkisar antara 92,8 dan
103,14 mg/dL. Injeksi bST atau suplementasi konsentrat ternyata tidak mempengaruhi
kadar trigliserida serum. Kadar trigliserida yang diperoleh antara sapi kontrol dan sapi
yang diinjeksi bST (harian dan selang 14 hari) berada dalam kisaran yang sama.
Namun, kisaran kadar trigliserida pada penelitian ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan
dengan hasil yang dilaporkan oleh Soderholm et al. (1988), yaitu pada pemakaian dosis
bST 0; 10,3; 20,6 dan 41,2 mg/hari diperoleh kadar trigliserida secara berturut-turut
20,2; 24,2; 26,7; dan 25,4mg/dL,
sementara dari hasil pengamatan ini kadar trigliserida secara berturut-turut untuk sapi
kontrol, sapi yang mndapat injeksi bST harian, dan sapi yang mendapat injeksi bST
selang 14 hari adalah 97,79; 96,66, dan 101,15 mg/dL. Kadar trigliserida sapi yang
diberi pakan Balai, dan sapi yang mendapat pakan Balai ditambah 25% konsentrat
69
adalah 97,79 dan 99,28 mg/dL. Perbedaan angka-angka hasil pengamatan ini disinyalir
sebagai akibat dari laju hidrolisis pakan dan penggunaan pada metabolisme hati yang
diduga bersumber dari bahan penyusun konsentrat.
Peningkatan produksi susu yang tidak seimbang dengan peningkatan konsumsi
pakan akan menyebabkan pembongkaran cadangan nutrien dalam tubuh. Urea nitrogen
merupakan produk metabolisme protein, dan kadar urea dijadikan indikator standar
tingkat kebutuhan protein selama laktasi. Peningkatan kadar urea menggambarkan
tingkat penggunaan protein khususnya perombakan protein untuk memenuhi kebutuhan
energi dalam sintesis susu. Selama kebuntingan dan laktasi, konsentrasi nitrogen urea
dapat pula meningkat sejalan dengan peningkatan penggunaan protein dan konsumsi
protein pakan, dan akan menurun bila konsentrasi protein dan komsumsi protein
menurun.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa injeksi bST dan penambahan konsentrat
tidak mempengaruhi konsentrasi nitrogen urea darah. Namun, ada kecenderungan pada
sapi yang diinjeksi bST (harian dan selang 14 hari) konsentrasi nitrogen urea mengalami
penurunan sebesar 0,5% pada injeksi harian, dan 3,7% pada injeksi selang 14 hari
dibandingkan dengan sapi kontrol. Pada injeksi bST harian dan selang 14 hari terjadi
peningkatan produksi susu 17 sampai 26% namun tidak tampak berbeda dengan kontrol.
Kadar nitrogen urea hasil pengamatan berkisar antara 0,96 dan 1,16 mg/mL atau setara
dengan 15,95 dan 19,20 mmol/L. Kisaran kadar nitrogen urea darah tersebut ternyata
jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan Soderholm et al. (1988), yaitu sapi yang
mendapat injeksi bST dengan dosis berturut-turut sebesar 0; 10,3; 20,6; dan 41,2
mg/hari diperoleh kadar nitrogen urea dalam darah secara berturut-turut sebesar 17,8;
16,4; 17,1 dan 15,2 mg/dL atau setara dengan 0,178; 0,164; 0,171 dan 0,152 mg/mL.
Sementara itu, kadar nitrogen urea darah sapi yang diinjeksi bST dan ditambahkan
konsentrat pada level energi dan protein kasar tinggi
memperlihatkan kadar nitrogen urea 5,7 mmol/L untuk sapi kontrol, dan 4,0 mmol/L
untuk sapi yang diinjeksi bST (McGuire et al. 1992). Kadar nitrogen urea sangat
bergantung pada kondisi pakan bukan disebabkan telah terjadinya perombakan protein
untuk
kebutuhan
energi
sehingga
tinggi
rendahnya
angka
yang
diperoleh
menggambarkan peningkatan penggunaan protein. Level nitrogen urea sel tidak
70
konsisten selama masa laktasi dan perubahan konsentrasi protein dan metabolit darah
tidak sepenuhnya dimediasi oleh hormon (Mege 2004). Peningkatan nitrogen urea hasil
pengamatan diduga akibat pasokan protein pakan berlebih sehingga kelebihan protein
harus dideaminasi menjadi amonia dan sebagian besar lainnya ditransformasi kembali
menjadi urea dan selanjutnya memasuki aliran darah untuk segera diekskresikan melalui
urin (NRC 1988).
Hormon kortisol selalu dihubungkan dengan glukosa dan berfungsi dalam
mengatur proses fisiologis dan biokimia glukosa (Djojosoebagio 1990). Kadar kortisol
yang berlebih akan merangsang produksi glikogen dan glukosa oleh hati dengan jalan
meningkatkan konversi piruvat menjadi glikogen yang merupakan aksinya dalam
mengatur pasokan gula darah melalui proses glukoneogenesis (Schmidt 1971;
Djojosoebagio 1990). Di samping itu, kortisol merupakan hormon yang bertanggung
jawab pada penanggulangan cekaman (Schmidt 1971).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa injeksi bST dan pakan tidak
mempengaruhi kadar kortisol darah. Kadar kortisol hasil pengamatan berkisar antara
5,74 dan 7,31 ηg/mL. Namun, ada kecenderungan sapi yang diinjeksi bST (harian dan
selang 14 hari) terjadi penurunan kadar kortisol, yang mengindikasikan pasokan glukosa
melalui proses glukoneogenesis pada sapi yang diinjeksi bST harian lebih rendah
sebesar 7,5%, dan sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari sebesar 5,97% lebih rendah
dibandingkan sapi kontrol (6,72 ηg/mL). Kadar kortisol akan menjadi rendah saat
pasokan glukosa sudah tercukupi atau dengan kata lain kortisol merupakan glucose
sparing effect Di samping itu diduga pemberian injeksi yang dilakukan setiap hari pada
sapi kontrol, dan sapi yang di injeksi bST harian menjadikan sapi kurang nyaman atau
sedikit mengalami cekaman. Kadar kortisol yang diperoleh pada pengamatan ini berada
di bawah hasil yang dilaporkan Peel (1983), yaitu 9,90 ηg/mL untuk perlakuan kontrol,
dan 8,20 ηg/mL untuk injeksi bST. Johnson et al. (1991)
melaporkan bahwa kadar kortisol yang diperoleh dari sapi yang diinjeksi bST pada
musim panas (farm) adalah 7,50 ηg/mL ternyata
lebih rendah dibandingkan sapi
kontrol, yaitu sebesar 10,20 ηg/mL.
Hormon-hormon tiroid bersifat galaktopoietik dan berperan mengatur fungsi
kelenjar susu dan selalu dikaitkan dengan kalorigenesis, khususnya dalam proses
71
metabolisme. Tetraiodotironin (T4) merupakan prohormon yang memiliki aktivitas
biologis yang rendah dalam sirkulasinya, sedangkan triiodotironin (T3) merupakan
bentuk aktif T4 yang telah mengalami proses deiodinasi oleh enzim 5’deiodinase (5’D)
(Kahl et al.1994). Enzim 5’deiodinase berperan penting dalam pengaturan berbagai
status fisiologis (Akers 2002).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sapi yang mendapat injeksi bST (harian
dan selang 14 hari) dan penambahan konsentrat tidak mempengaruhi konsentrasi T4 dan
T3. Namun, tampak adanya kecenderungan bahwa konsentrasi T4 dan T3 pada sapi
yang diinjeksi bST relatif lebih rendah dibandingkan sapi kontrol. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa hormon-hormon tiroid dalam sel non-kelenjar susu menjadi
rendah, yang mencerminkan penurunan aktivitas metabolisme. Keadaan tersebut senada
dengan hasil penelitian Kahl et al. (1995) bahwa injeksi bST dapat meningkatkan status
hipotiroid pada jaringan non-kelenjar susu, dan mempertahankan status eutiroid
(normal) pada kelenjar susu,
keadaan tersebut di atas untuk memberi prioritas
metabolik pada kelenjar susu. Pada sapi laktasi, jaringan non-kelenjar susu berada
dalam status hipotiroid sehingga konsentrasi T3 sebagai agen kalorigenesis mengalami
penurunan. Triiodotironin merupakan hormon yang erat kaitannya dengan penyediaan
ATP walau belum jelas bagaimana mekanismenya (Kahl et al. 1995). Penurunan
konsentrasi T3 serum lebih jauhnya akan mengurangi efek kalorigenesis yang kerap
ditimbulkan oleh T3 pada gilirannya akan membantu ternak dalam proses homeostasis
(Johnson et al 1991). Hal ini memperkuat pernyataan Riis (1983) bahwa terdapat
korelasi negatif antara produksi susu dengan konsentrasi tiroksin dalam darah.
Pada ternak laktasi, injeksi bST akan meningkatkan aktivitas enzim 5’deiodinase
dalam kelenjar susu yang diikuti dengan peningkatan 5’D pada kelenjar susu (Capuco et
al.1989). Antara aktivitas 5’D dalam kelenjar susu dan
produksi susu terjadi hubungan positif pada sapi laktasi yang diinjeksi bST dalam
jangka pendek. Peningkatan produksi susu diikuti dengan peningkatan aktivitas 5’D
pada kelenjar susu, sementara pada hati dan ginjal aktivitas 5’D tidak mengalami
perubahan (Kahl et al.1995).
Hasil pengamatan pada sapi yang mendapat injeksi bST (harian dan selang 14
hari) menunjukkan tidak berbeda dibandingkan kontrol. Pada Tabel 8 dapat dilihat
72
bahwa konsentrasi T3 dan T4 pada sapi yang mendapat injeksi bST (harian dan selang
14 hari) lebih rendah dibandingkan kontrol. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
aktivitas metabolisme tiroksin dalam sel non-jaringan kelenjar susu menjadi rendah
sekali. Kisaran kadar T4 dan T3 pada penelitian ini (secara berturut-turut adalah dari
0,96 sampai 1,12 ηg/mL; 26,20 sampai 32,81 ηg/mL) tidak terpaut jauh dari hasil
pengamatan Peel (1983), (secara berturut-turut T4 dan T3 adalah 37,60; 0,85 ηg/mL
untuk sapi kontrol, dan 29,0; 0,75 ηg/mL untuk sapi yang diinjeksi bST). Demikian pula
hasil pengamatan yang dilaporkan Johnson et al. (1991) bahwa sapi yang mendapat
injeksi bST pada musim panas (farm) memiliki kadar T4 dan T3 yang lebih rendah
(masing-masing sebesar 36,20; 1,32 ng/mL) dibandingkan sapi kontrol ( yaitu sebesar
32,60; 1,21 ηg/mL).
Somatotropin dikenal sebagai hormon perangsang yang termasuk ke dalam
golongan hormon protein yang diproduksi oleh sel-sel somatotrof kelenjar pituitari
(Djojosoebagio 10090; Kamil et al.2001; Manalu 2001). Somatotropin dapat bekerja
secara langsung sebagai antiinsulin, khususnya pada hewan laktasi dengan
meningkatkan lipolisis dan efek diabetogenik (Kamil et al.2001), sedangkan efek tidak
langsung merangsang hati untuk meningkatkan sintesis somatomedin atau insulin-like
growth factor-I (IGF-I) yang selanjutnya IGF-I berperan memediasi peran ST dalam
kelenjar susu (Sharma et al.1994; Manalu 2001). Injeksi bST akan mempengaruhi
konsentrasi ST di dalam darah (Manalu 2001).
Hasil pengamatan selama 3 minggu yang dilakukan pada sapi uji pada masa
praperlakuan, sapi uji sudah memasuki bulan laktasi 3-4 dengan rataan produksi susu
(kg/minggu) awal pengamatan menunjukkan sapi berada dalam kisaran yang sama
(koefisisn keragamana 14.37%). Rataan produksi sapi perah di BPPTP Cikole Lembang
adalah 13-15 kg/ekor/hari. Saat pengamatan berlangsung
sapi telah memasuki bulan ke lima atau berada dalam kisaran rataan selama laktasi
(100%). Sapi-sapi uji mempunyai produksi di atas rataan produksi sapi perah di
Indonesia, yaitu 8-10L/ekor/tahun (Direktorat Jenderal Peternakan 2004). Secara
keseluruhan selama pengamatan terjadi interaksi antara injeksi bST dan pakan. Pada
level pakan Balai terjadi kenaikkan produksi susu, walau pada pemberian pakan Balai
ditambah 25% konsentrat produksi susu cenderung menurun. Pada akhir pengamatan
73
(masa pascaperlakuan) tampak sapi memiliki rataan produksi yang tidak jauh berbeda
dibandingkan dengan produksi awal pengamatan (prapenelitian) (Gambar 16).
Hasil pengamatan secara total selama 84 hari menunjukkan bahwa sapi uji
memberikan respons positif pada injeksi bST (harian dan selang 14 hari) dengan pakan
Balai, yaitu berupa peningkatan produksi susu sebesar 17 dan 26%. Namun, respons
sapi uji menjadi negatif pada injeksi bST (harian dan selang 14 hari) dan pakan Balai
ditambah 25% konsentrat, yang menyebabkan penurunan produksi susu sebesar 2,4 dan
22%. Derajat penurunan produksi susu pada sapi yang mendapat injeksi bST harian
relatif kecil, yaitu dalam kisaran kurang dari 2,4% dibandingkan dengan sapi kontrol,
sedangkan penurunan produksi susu sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari jauh
lebih besar, yaitu sebesar 22% dibandingkan sapi kontrol.
Pakan Balai yang dipergunakan dalam penelitian ini, merupakan pakan yang
disusun oleh BPPPT Cikole. Kandungan nutrisi pakan sapi penelitian, dihitung
berdasarkan hasil analisis proksimat Balai Pengujian Sarana Produksi Peternakan
(UPTD BPS PP). Pakan Balai terdiri atas bahan kering sebesar 17,93 kg, protein kasar
sebesar 2,13 kg, dan TDN sebesar 11,78 kg. Kandungan nutrisi pakan tersebut di atas
melebihi angka kebutuhan sapi uji (Tanuwiria 2005). Namun dari hasil pengamatan
selama 12 minggu tampak sapi uji masih dapat memberikan respons positif atau dapat
mendukung fungsi bST yang dimediasi oleh IGF-I
dalam kelenjar susu yang
dimanifestasikan dengan meningkatkan produksi susu
Penambahan 25% konsentrat pada sapi kontrol (yang tidak mendapat injeksi
bST) mampu meningkatkan produksi susu sebesar 15% dibandingkan produksi susu
sapi kontrol dengan pakan Balai saja. Selang waktu injeksi bST
pada level pakan Balai secara konsisten memperlihatkan perbedaan produksi susu. Sapi
yang mendapat injeksi bST selang 14 hari ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan
hasil injeksi bST harian yang terpaut sebesar 9 sampai 10%. Peningkatan produksi
susu yang diperoleh dalam penelitian ini masih dalam kisaran 15 – 40% (Bauman 1992;
Raymond & Sorensen 1989) atau kisaran yang umum adalah 10-20% ( Eppard 1988).
Namun, pada level pakan Balai ditambah 25% konsentrat, produksi susu sapi yang
mendapat injeksi bST selang 14 hari memperlihatkan penurunan yang jauh lebih besar
(14%). Hal tersebut memperkuat pernyataan peneliti sebelumnya (Prosser & Mepham
74
1989; Manalu 1994) bahwa somatotropin dan IGF-I dalam aksinya sangat sensitif
dengan status nutrisi, metabolik dan steroid.
Injeksi bST dianjurkan untuk digunakan sesaat setelah sapi mencapai puncak
laktasi (6–8 minggu postpartum) (Rose & Obara 2000), namun penelitian ini dilakukan
pada sapi bulan laktasi ketiga dan keempat. Saat puncak laktasi produksi susu yang
dihasilkan mencapai 145% dari rataan produksi susu selama laktasi. Pada saat perlakuan
diberikan sapi sudah memasuki bulan kelima laktasi dan produksi susu yang dihasilkan
sama dengan rataan produksi
produksi susu diakibatkan oleh
satu periode laktasi (Tanuwiria 2004). Penurunan
laju penurunan aktivitas sel-sel sekretoris atau
perubahan sel-sel sekretori yang aktif menjadi sel-sel yang nonaktif dan peningkatan
involusi sel-sel epitel kelenjar susu yang berlangsung lambat namun alami (Etherton &
Bauman 1998).
Walau pengamatan sudah memasuki bulan laktasi kelima saat produksi terlihat
menurun, bST sebagai agen homeorhesis mampu meningkatkan produksi susu. Keadaan
tersebut merupakan salah satu peran bST dalam meningkatkan persistensi laktasi
dengan meningkatkan proliferasi sel kelenjar susu (Capuco et al. 2001) khususnya
dalam proses adaptasi metabolisme dengan jalan mensuplai kebutuhan nutrien melalui
penghambatan oksidasi di seluruh jaringan tubuh nonkelenjar susu serta meningkatkan
aktivitas sel-sel sekresi melalui peningkatan aliran darah yang menuju kelenjar susu
(Tucker 2000). Kerja bST sebagai alat kontrol homeorhesis adalah menyelaraskan
rangkaian metabolisme dalam tubuh, khususnya dalam rangka meningkatkan sintesis
susu. Keadaan tersebut memperkuat dugaan telah terjadi penggalangan nutrien (substrat
dan prekursor)
yang difokuskan untuk kelenjar susu dalam rangka peningkatan sintesis susu (Key et al.
1997; Akers 2002). Somatotropin memanipulasi produksi susu dengan meningkatkan
sensitivitas jaringan perifer pada sinyal homeostasis (Keys et al. 1997).
Hasil
pengamatan
menunjukkan
bahwa
produksi
susu
selama
84 hari (12 minggu) ternyata secara bertahap mengalami penurunan. Persentase
penurunan produksi mencerminkan persistensi laktasi dari sapi uji. Selisih produksi
susu antara bulan pertama dan kedua, pada sapi yang mendapat injeksi bST harian
memperlihatkan penurunan cukup tinggi (10%), sedangkan sapi yang mendapat injeksi
75
bST selang 14 hari adalah sebesar 6,7%, dan produksi susu sapi kontrol sebesar 4,6%.
Selisih produksi susu antara bulan kedua dan ketiga pada sapi yang diinjeksi bST
harian adalah sebesar 5,5%, sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari adalah sebesar
4,3%, dan sapi kontrol adalah sebesar 6,2%. Secara keseluruhan, angka laju penurunan
berada dalam kisaran 4,3 sampai 10,0%. Tingginya laju penurunan (bulan pertama dan
kedua) produksi susu sapi yang diinjeksi bST harian (10%) lebih cenderung disebabkan
oleh kurang nyaman dengan perlakuan injeksi setiap hari,
sedangkan pada bulan
berikutnya (selisih bulan kedua dan ketiga) laju penurunan produksi susu berada dalam
kisaran antara 4,3 dan 5,5% untuk sapi yang mendapat injeksi bST (harian dan selang
14 hari), dan 6,2% untuk produksi susu sapi kontrol. Hasil pengamatan tersebut di atas
menunjukkan peran bST dalam proses galaktopoietik. Laju penurunan produksi susu
menunjukkan persistensi produksi susu. Walau sapi-sapi berada pada bulan laktasi
antara kelima dan ketujuh namun sapi yang diinjeksi bST (harian dan selang 14 hari)
memiliki angka persistensi sedikit lebih tinggi dibandingkan sapi kontrol. Hal tersebut
sejalan dengan pernyataan Akers (2002) bahwa bST merupakan alat untuk menstimulasi
produksi susu pada sapi laktasi. Angka persisten pada sapi laktasi pertama sebesar 6%
per bulan, sedangkan pada sapi laktasi kedua dan seterusnya sebesar 9% per bulan
(Akers 2002).
Tampak bahwa injeksi bST selang 14 hari menghasilkan susu yang lebih tinggi
dibandingkan injeksi bST harian, terpaut hampir 9-10%. Peningkatan produksi
mengikuti persamaan garis hubungan antara produksi susu dengan waktu perlakuan.
Tampak produksi susu dari injeksi bST selang 14 hari menghasilkan
rataan produksi di atas injeksi bST harian. Fenomena yang terjadi dapat diartikan bahwa
selang waktu injeksi bST erat kaitannya dengan konsentrasi ST dalam darah yang pada
gilirannya menyebabkan perbedaan respons dalam proses adaptasi metabolisme dalam
tubuh khususnya jaringan dan organ.
Pola injeksi bST harian seperti yang dilaporkan Manalu (1994), akan
menghasilkan puncak konsentrasi ST dalam darah 8 jam setelah injeksi bST dan
menurun ke konsentrasi basal 24 jam setelah injeksi sehingga penggunaan bST yang
berkesinambungan selama 84 hari akan menggambarkan siklus periodik konsentrasi ST
yang stabil. Pada injeksi bST selang 14 hari, puncak konsentrasi ST dalam darah dicapai
76
3 hari setelah injeksi (Schams 1989a) namun puncak produksi susu dicapai dalam
waktu yang bervariasi bergantung pada produk yang dipergunakan (Chilliard 1989).
Puncak produksi dicapai pada 3 (Schams et al .1989b), 5–7 (Manalu 1994), dan 7–9
hari ( Gallo et al. 1994) setelah injeksi bST dan selanjutnya akan diikuti dengan
penurunan produksi sampai hari ke-14. Pada umumnya produksi susu akan berangsur
meningkat dalam kurun waktu 2/3 dari 14 hari pertama dan 1/3 waktu berikutnya
menunjukkan penurunan produksi, yang besar kemungkinan disebabkan oleh penurunan
konsentrasi ST dalam darah sehingga akan berdampak pada pemacuan laju aliran darah,
dan stimulasi pada organ lainnya (Barbano et al.1992). Sementara itu pendapat lain
menyatakan bahwa pemakaian bST selang 14 hari menghasilkan produksi susu lebih
rendah namun dipandang lebih efisien khususnya untuk aplikasi di lapangan (Akers
2002; Chilliard 1989; Peel & Bauman 1987), lebih rincinya hasil produksi susu dari
injeksi bST selang 14 hari hanya 70% -79% dari injeksi bST harian ( Chilliard 1989;
Jenny et al.1992).
Hasil pengamatan menunjukkan hasil yang berbeda dari hasil penelitian
sebelumnya. Interaksi antara injeksi bST dan penambahan konsentrat memperlihatkan
bahwa injeksi bST selang 14 hari justru secara konsistensi lebih tinggi daripada hasil
injeksi bST harian, khususnya pada pakan Balai. Keadaan tersebut diduga disebabkan
beberapa faktor, terutama preparat bST yang digunakan pada penelitian ini berbentuk
slow release. Mekanisme kerja preparat slow release dirancang satu kali injeksi dalam
konsentrasi tinggi untuk kurun waktu tertentu (14, 28 hari), yang kerjanya relatif
lambat karena terikat dalam bentuk oil, dan dibebaskan ke dalam darah secara bertahap
(sedikit demi sedikit) disesuaikan dengan kebutuhan fisiologis tubuh.
Tampak dalam penelitian ini bahwa puncak produksi susu dicapai secara
bertahap dan sangat bergantung pada produk yang digunakan ( Gambar 16). Hal
tersebut akan berpengaruh ketika digunakan secara harian, dan efek kerjanya akan lebih
lambat dari sediaan
yang biasa digunakan harian, yang umumnya berbentuk
water/saline. Puncak konsentrasi ST dalam darah dicapai 8 jam setelah injeksi (Manalu
2001) sehingga dengan menggunakan preparat slow release, puncak konsentrasi ST
dalam darah dicapai lebih lambat. Konsentrasi ST dalam darah berkorelasi positif
dengan produksi susu. Di samping itu, faktor lain yang turut mempengaruhi produksi
77
susu adalah pemberian injeksi harian sedikitnya akan menimbulkan keadaan yang
kurang nyaman (cekaman) dibandingkan dengan injeksi selang 14 harian akan tampak
jika dihubungan dengan konsentrasi kortisol serum yang diperoleh dari hasil
pengamatan ini.
Penambahan 25% konsentrat pada pakan Balai dirancang untuk mengantisipasi
peningkatan produksi susu akibat injeksi bST, seperti halnya dilaporkan peneliti
sebelumnya bahwa kisaran kenaikan produksi sangat bervariasi, namun kisaran yang
banyak dilaporkan adalah sebesar 5 kg/hari (Manalu 2001) atau berkisar dari 15 sampai
25% (Chilliard 1989).
Hasil pengamatan selama bulan pertama, bulan
kedua, dan total produksi
selama 84 hari memperlihatkan bahwa penambahan 25% konsentrat pada sapi kontrol
dapat meningkatkan produksi susu sebesar 20% untuk bulan pertama dan 18% untuk
bulan kedua. Pada ternak ruminansia, energi merupakan faktor pembatas utama untuk
mendapatkan produksi susu yang tinggi (Schmidt 1971). Pada umumnya pakan sapi
perah terdiri atas hijauan dan konsentrat. Hijauan merupakan bahan penyusun pakan
terbesar dan konsentrat hanya sebagai tambahan. Imbangan bahan kering antara hijauan
dan konsentart akan mempengaruhi produksi dan komposisi susu. Pakan akan
mengalami fermentasi di dalam rumen dan menghasilkan sejumlah asam lemak terbang
(asam asetat, propionat dan butirat dengan perbandingan 70:20:10) yang selanjutnya
akan digunakan sebagai sumber energi bagi ternak ruminansia. Di dalam rumen, hijauan
tertahan relatif lebih lama sehingga dapat menghasilkan asam asetat yang
lebih tinggi. Asam asetat sangat dibutuhkan dalam pembentukan lemak susu dan
berkorelasi positif dengan kadar lemak susu. Sebaliknya, fermentasi konsentrat dalam
rumen relatif lebih singkat dibandingkan dengan hijauan (Siregar 1990). Jumlah
konsumsi hijauan akan mempengaruhi asam asetat yang dihasilkan , sedangkan
konsentrat cenderung mempengaruhi produksi asam propionat (Sutardi 1981).
Imbangan antara hijauan dan konsentrat akan berdampak pada produksi dan komposisi
susu sehingga pada aplikasi di lapangan
sangat bergantung pada tujuan yang
dikehendaki, yaitu peningkatan kualitas atau kuantitas susu (Sudono 1985; Siregar
1990). Perbandingan hijauan dan konsentrat cukup bervariasi 50:50, 60:40, 70:30,
bahkan
90:10.
Untuk
mencapai
produksi
susu
yang
tinggi
dengan
tetap
78
mempertahankan kadar lemak dalam batas normal, imbangan ideal antara hijauan dan
konsentrat adalah 60:40 (dalam bahan kering) (Siregar 1990). Pada pengamatan ini,
imbangan bahan kering antara hijauan dan konsentrat berbanding seperti 50:50 untuk
pakan Balai (P1), dan 45:55 untuk pakan Balai ditambah 25% konsentrat (P2) (Tabel 3).
Penambahan 25% konsentrat pada pakan Balai, yaitu pakan dengan imbangan
hijauan dan konsentrat 45:55 akan mengubah kandungan nutrien pakan yang pada
gilirannya jumlah nutrien yang dikonsumsi. Rasio asam lemak terbang hasil fermentasi
akan mengalami perubahan, sebab produksi
asam propionat cenderung meningkat
(Siregar 1990; Akers 2002). Asam propionat merupakan asam lemak glukogenik di
dalam rumen yang
berdifusi pada dinding rumen dan masuk ke dalam hati dan
dirombak menjadi glukosa (Anggorodi 1979). Pada hewan ruminansia hampir 85%
kebutuhan glukosa diperoleh melalui jalur hasil fermentasi dan hanya 15% saja berasal
dari pakan langsung (Knapp et al. 1992), yang selanjutnya digunakan untuk kebutuhan
metabolisme (Granner 1997). Proporsi asam lemak terbang dalam cairan rumen
bervariasi bergantung pada jenis pakan dan jam setelah makan (Preston dan Leng 1987)
dan hampir 60% asam propionat akan diubah menjadi glukosa sehingga tersedia
tambahan pasokan glukosa.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penambahan 25% konsentrat pada pakan
Balai pada perlakuan kontrol (yang tidak mendapat injeksi bST) dapat meningkatkan
produksi susu sebesar 15% dikarenakan ada tambahan pasokan
glukosa dari perombakan asam propionat hasil fermentasi rumen dijadikan glukosa.
Hasil tersebut memperkuat pernyataan tersebut di atas bahwa meningkatnya produk
asam propionat yang bersifat glukogenik selanjutnya akan digunakan sebagai sumber
glukosa melalui proses glukoneogenesis (Schmidt 1971; Granner 1997).
Sapi yang diinjeksi bST harian atau selang 14 hari dan penambahan 25%
konsentrat, justru memberikan hasil yang lebih rendah (secara berturut-turut adalah
kurang dari 2,4%, dan 15%) dibandingkan dengan sapi kontrol. Pakan Balai ditambah
25% konsentrat pada dasarnya dirancang untuk dapat meningkatkan kualitas pakan
yang dibutuhkan untuk mengantisipasi peningkatan produksi susu sebagai respons
injeksi bST namun peran bST dalam partitioning nutrient akan mempengaruhi proses
metabolisme dalam tubuh. Injeksi bST akan meningkatkan konsentrasi ST dalam darah.
79
Kehadiran sejumlah besar reseptor somatogenik pada hati akan merespons injeksi bST
dengan meningkatkan laju sintesis IGF-1 (Manalu 2001). Produksi sintesis IGF-I
hampir sebagian besar (55%) berasal dari hati (Kamil et al. 2001). Selanjutnya IGF-I
berperan memediasi kerja ST di dalam kelenjar susu, karena reseptor ST sangat kecil
jumlahnya bahkan hampir tidak didapatkan di dalam kelenjar susu (Manalu 2001).
Reseptor IGF-I banyak dijumpai pada jaringan kelenjar susu, dan meningkat selama
laktogenesis, bahkan pada penggunaan bentuk bST slow release konsentrasi IGF-1
dapat meningkat sebesar 2–5 kali (Schams et al.1989). Laju sintesis IGF-I
akan
meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi ST (Weber et al.2000), namun aksi
IGF-1 akut sensitif terhadap perubahan status nutrisi (Proser & Mepham 1989;
Djojosoebagio 1990; Vicini et al. 1995), steroid (Sharma et al.1994) dan metabolik
(Djojosoebagio 1990) sehingga dalam status neraca energi positif, penambahan 25%
konsentrat (pakan energi tinggi dan protein kasar tinggi) cenderung menjadikan IGF-I
menjadi kurang responsif terhadap aksi ST. Pada saat nutrien berlimpah (pakan energi
tinggi dan protein tinggi) konsentrasi IGF-I akan meningkat dan diduga peningkatan
konsentrasi IGF-I merupakan akumulasi dari
IGF-I lokal yang dihasilkan melalui
proses autokrin dan parakrin (Kamil et al 2001). Selanjutnya akan bekerja sama dalam
melakukan proses anabolisme bersama insulin, yang akan mengalihkan kelebihan
energi dalam bentuk lain,
yaitu pertambahan bobot tubuh atau lebih spesifik
penyimpanan dalam bentuk lemak, otot atau jaringan lemak pada kelenjar susu. Dalam
pengamatan ini interaksi antara injeksi bST dan pakan yang terjadi pada pertambahan
bobot tubuh. Tampak sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari dan penambahan
25% konsentrat memiliki penambahan bobot badan (10%) yang jauh lebih besar dari
perlakuan lainnya.
Disisi lain, kondisi nutrisi tinggi atau berlimpah akan menyebabkan penurunan
konsentrasi ST (Radcliff et al. 2004; Weber et al.2000) yang pada gilirannya akan
berdampak pada adaptasi metabolisme dalam tubuh. Rendahnya produksi susu yang
dihasilkan diduga merupakan manifestasi dari konsentrasi ST yang rendah sehingga
aktivitas penggalangan nutrisi menuju kelenjar susu, pemompaan aliran darah atau
curah jantung menjadi rendah yang pada gilirannya akan berdampak pada rendahnya
aktivitas sintesis susu. Senada dengan hasil penelitian yang dikemukakan oleh Vicini et
80
al. (1995) bahwa penambahan protein dan energi postruminal pada sapi yang mendapat
pakan seimbang dan diberi injeksi bST eksogen ternyata tidak meningkatkan produksi
susu, demikian pula hasil yang dilaporkan oleh Sejrsen et al. (2000), pemberian
makanan secara ad-libitum dengan tingkat energi tinggi pada sapi dara akan
mengakibatkan efek negatif yang diprediksi akan menurunkan potensi produksi susu
pada masa
laktasi berikutnya. Penelitian senada dari Weber et al. (2000) bahwa
perlakuan ST dan level pakan pada kelenjar susu dari sapi prepubertal sebagian
dimediasi oleh perubahan sintesis IGF-I dan IGFBP lokal. Level pakan tinggi akan
memodulasi level protein IGF-I dan binding protein dalam ekstrak jaringan kelenjar
susu.
Mengacu pada hasil penelitian sebelumnya, level pakan tinggi dan injeksi bST
memicu peningkatan konsentrasi IGFBP3 dan penurunan konsentrasi IGFBP2. Walau
belum diketahui jelas fungsi dari IGFBP tersebut, diduga keras kehadiran dari IGFBP3
sebagai reserve dari IGF-1, sedangkan IGFBP2 berperan menghambat aksi IGF-1
(Vicini et al. 1995; Weber et al.2000; Radcliff et al. 2004).
Persentase penurunan produksi susu pada sapi yang mendapat injeksi bST
harian lebih rendah dibandingkan dengan sapi yang mendapat injeksi bST
selang 14 hari. Keadaan tersebut disebabkan oleh tingkat konsentrasi ST dalam darah
(Bauman 1992). Pada injeksi bST harian konsentrasi ST dalam darah relatif lebih
stabil selama perlakuan bST sehingga akan berdampak pada laju sintesis IGF-1,
sedangkan injeksi bST selang 14 hari meningkatkan konsentrasi ST dan mencapai
puncaknya dalam waktu 3 hari setelah injeksi bST. Keadaan tersebut berpeluang untuk
memacu hati meningkatkan laju sintesis IGF-1 seiring dengan konsentrasi ST. Tinggi
rendahnya konsentrasi ST dalam darah juga akan berdampak pada laju pasokan nutrisi
dalam kelenjar susu yang disebabkan oleh peningkatan aliran darah (Tucker 2000).
Dalam pengamatan ini tampak adaptasi metabolisme yang terjadi dalam tubuh sangat
dipengaruhi oleh tinggi rendahnya konsentrasi ST dalam tubuh. Hasil pengamatan Peel
dan Bauman (1987) menunjukkan bahwa pengaliran nutrisi pada sapi yang diberi
perlakuan bST dengan peningkatan produksi susu sebesar 21%, diikuti oleh peningkatan
curah jantung sebesar 10%, dan aliran darah sebesar 35%. Diperkuat oleh laporan
81
Tanwattana et al. (2002) bahwa selama perlakuan bST pada sapi laktasi akhir
memperlihatkan peningkatan aliran darah dibandingkan dengan perlakuan kontrol.
Produksi susu pada bulan ketiga pengamatan menunjukkan tidak terjadi interaksi
antara injeksi bST dan pakan, begitu pula faktor bST atau pakan tidak berpengaruh pada
produksi susu. Produksi susu mengalami peningkatan 40 – 60 hari setelah partus sampai
pada puncak laktasi, setelah itu akan diikuti dengan penurunan secara berangsur-angsur
hingga akhir laktasi. Penurunan produksi susu pada tahap ini disebabkan berkurangnya
sejumlah sel-sel epitel kelenjar susu yang aktif selama laktasi yang disebabkan oleh
proses apoptosis (Capuco et al.2001). Injeksi bST selama laktasi akan dapat
meningkatkan proliferasi sel-sel epitel kelenjar susu bahkan dapat mencapai 50%,
namun tidak berpengaruh pada proses apoptosis sehingga rasio antara penambahan sel
epitel kelenjar susu yang diakibatkan injeksi bST dengan pengurangan sel-sel epitel
yang mati merupakan manifestasi tingkat persistensi. Pada pengamatan ini injeksi bST
dilakukan pada sapi yang telah memasuki bulan laktasi keempat dan kelima sehingga
pada pengamatan bulan ketiga sapi uji sudah memasuki tahap produksi yang paling
rendah. Peningkatan jumlah sel-sel epitel akibat stimulasi bST diduga lebih rendah dari
percepatan laju apoptosis sel epitel yang berlangsung secara alamiah.
Standardisasi produksi susu yang dikoreksi terhadap kadar 4% lemak (FCM),
dipengaruhi oleh kadar lemak susu. Tingkat produksi susu yang dihasilkan berpengaruh
pada kadar lemak dan ada kecenderungan berkorelasi negatif, namun sebagian peneliti
menyatakan kadar lemak erat kaitannya dengan status keseimbangan energi. Hasil
pengamatan menunjukkan produksi susu 4% FCM dari injeksi bST tidak berbeda.
Namun, tampak kecenderungan hasil 4% FCM antarperlakuan menunjukkan bahwa
injeksi bST selang 14 hari dan pakan Balai lebih tinggi. Hal ini erat kaitannya dengan
peningkatan produksi susu yang diakibatkan oleh injeksi bST, sementara kadar lemak
tidak berbeda. Hasil dari pengamatan ini turut memperkuat pernyataan Etherton &
Bauman (1998), Jenny et al. (1992), Akers (2002), dan Muslim (2005).
Pada awal laktasi terjadi peningkatan produksi susu yang mengakibatkan
penurunan kadar protein susu, namun seiring dengan penurunan produksi susu kadar
protein berangsur-angsur meningkat sampai akhir laktasi (Schmidt 1971). Injeksi bST
segera akan diikuti dengan peningkatan produksi susu sehingga sebagian besar protein
82
atau asam amino difokuskan untuk sintesis susu, dan akibatnya protein susu menjadi
relatif rendah (Jenny et al. 1992; Akers 2002). Hal ini erat kaitannya dengan kecukupan
asam amino intraseluler untuk sintesis susu, bukan oleh penurunan mRNA untuk
protein susu atau kapasitas untuk mensintesis dan mensekresikan protein, namun oleh
neraca nitrogen negatif (Prosser & Mepham 1989).
Injeksi bST dalam jangka pendek umumnya tidak mempengaruhi komposisi
susu, namun dalam jangka panjang bisa terjadi perubahan yang diakibatkan oleh
keseimbangan energi dan nitrogen (Barbano et al. 1992) sehingga hasil penelitian yang
diperoleh menjadi tidak konsisten (Manalu 1994). Hasil pengamatan memperlihatkan
bahwa injeksi bST atau penambahan konsentrat tidak berpengaruh pada kadar protein
susu. Hal tersebut memperkuat pengamatan Bauman (1992) dan Etherton & Bauman
(1998) bahwa pada keseimbangan nitrogen positif, kadar protein susu tidak mengalami
perubahan yang diakibatkan oleh injeksi bST.
Kadar lemak susu pada sapi perah akan mengalami peningkatan sejak partus
sampai mencapai puncak laktasi (6–8 minggu setelah partus) dan diikuti
penurunan sampai akhir laktasi. Kadar lemak susu akan mengalami peningkatan saat
keseimbangan energi negatif karena pada saat tersebut terjadi mobilisasi cadangan
energi tubuh untuk digunakan dalam memasok kebutuhan untuk sintesis susu, di
samping itu akan diikuti dengan peningkatan sintesis asam lemak di dalam sel-sel
sekresi susu (Kim et al. 1997).
Hasil pengamatan menunjukkan kadar lemak susu berkisar dari 3,60 sampai
4,21% dan hasil ini ternyata lebih tinggi dari yang dilaporkan Schmidt (1971) dan
Sudono et al. (2003), yaitu 3,5%. Injeksi bST berpengaruh pada produksi susu. Produksi
susu berkorelasi negatif dengan kadar lemak susu sehingga peningkatan produksi susu
yang diakibatkan injeksi bST secara persentase akan mengalami penurunan kadar lemak
susu (Akers 2002). Dalam posisi neraca energi positif yang disertai injeksi bST tidak
menyebabkan perubahan kadar lemak susu (Etherton & Bauman 1998). Hasil
pengamatan ini memperkuat hasil penelitian Jenny et al. (1992) dan Akers (2002)
bahwa injeksi bST secara total tidak berpengaruh pada komposisi susu karena
komposisi susu cenderung lebih dipengaruhi oleh kecukupan antara energi dan nutrien,
genetik, bangsa, umur laktasi, dan musim.
83
Kadar bahan kering tanpa lemak (BKTL) diperoleh dari hasil pengurangan kadar
bahan kering susu dengan kadar lemak susu (Sudono 1985). Protein dan laktosa
merupakan komponen terbesar pada BKTL. Bahan kering tanpa lemak dipengaruhi oleh
beberapa faktor di antaranya komposisi susu (protein, lemak, laktosa, dan mineral)
(Sudono et al. 2003). Banyak faktor yang mempengaruhi kadar BKTL di antaranya
suhu lingkungan, masa kering kandang, nutrisi dan masa laktasi (Schmidt 1971). Seperti
halnya lemak dan protein, kadar BKTL pada awal laktasi akan tinggi dan menurun
cepat setelah puncak laktasi
Hasil pengamatan selama 84 hari menunjukkan kadar BKTL berkisar antara
7,01 dan 7,23%. Angka tersebut lebih rendah dari yang dilaporkan Sudono et al. (2003),
yaitu 8,56% dan Setiadi (2006), yaitu 7,77%. Injeksi bST tidak berpengaruh pada kadar
BKTL. Keadaan tersebut memperkuat hasil pengamatan Barbano et al. (1992) dan
Muslim (2005), namun, bertendensi untuk menurunkan persentase kadar bahan kering
tanpa lemak (Muslim 2005).
Bobot jenis dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya komposisi susu
(protein, lemak, laktosa dan mineral) (Sudono et al. 2003). Hasil pengamatan selama 84
hari
menunjukkan
injeksi
bST dan
suplementasi
konsentrat
ternyata
tidak
mempengaruhi bobot jenis. Kisaran bobot jenis hasil pengamatan berkisar dari 1,0223
sampai dengan 1,0227 yang masih berada dalam kisaran normal. Hasil tersebut
memperkuat hasil pengamatan Muslim (2005). Bobot jenis susu cenderung dipengaruhi
oleh genetik, spesies, dan variasi individu (Schmidt 1971; Sujadmogo 1996).
Bobot tubuh sapi setelah partus akan mengalami penurunan akibat neraca energi
negatif, yaitu energi pakan yang dikomsumsi tidak memenuhi kebutuhan untuk produksi
susu (Sheffield & Anderson 1985) sehingga terjadi perombakan cadangan energi tubuh
yang ditumpuk selama waktu akhir kebuntingan (Bine & Hart 1982). Setelah melewati
puncak laktasi, bobot tubuh akan pulih kembali secara berangsur-angsur sampai
pertengahan masa laktasi.
Bobot tubuh awal, bobot tubuh akhir, dan rataan bobot tubuh tidak
menunjukkan perubahan selama injeksi bST atau suplementasi konsentrat. Setiap
kelompok sapi uji merupakan kumpulan sapi laktasi 1, 2, 3, dan 4, yang mempunyai
84
kisaran bobot tubuh yang relatif sama antarperiode laktasi dan mempunyai bobot tubuh
yang relatif seragam antarperlakuan (435–491 kg). Rataan pertambahan bobot tubuh
selama pengamatan memperlihatkan telah terjadi interaksi antara injeksi bST dan pakan
(Gambar 25). Tampak pada pemberian pakan Balai, injeksi bST harian dan selang 14
hari
secara konsisten sapi uji mengalami penambahan bobot tubuh, yang dapat
diartikan bahwa
sapi tersebut sudah berada dalam neraca energi positif sehingga
kelebihan energi mulai digunakan untuk memperbaiki performa atau mengganti
cadangan energi tubuh yang telah dikuras selama neraca energi negatif (setelah partus
sampai puncak laktasi) (Schmidt 1971). Pada pemberian pakan Balai ditambah 25%
konsentrat, sapi kontrol dan sapi yang mendapat injeksi bST harian mengalami
penurunan bobot tubuh secara berturut-turut 10,75; 15 kg (2,36; 3,23%), namun pada
sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari mengalami peningkatan bobot tubuh 36
kg( 10,42%). Keadaan tersebut di atas , khususnya pada sapi kontrol dan sapi yang
mendapat injeksi bST harian telah terjadi mobilisasi cadangan lemak tubuh untuk
mensuplai sintesis susu, sedangkan pada sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari
peningkatan bobot tubuh berkaitan erat dengan rendahnya produksi susu sehingga
kelebihan energi dialihkan pada bobot tubuh. Hal tersebut diduga akibat kerja antara ST
dan IGF-I yang saling berlawanan khususnya pada kondisi pakan enrgi tingi dan protein
tinggi ( Eckert& Randall 198; Prosser & Mepham 1989).
Seperti telah dijelaskan dimuka peningkatan bobot tubuh pada pengamatan ini
akibat dari kerja yang berlawanan antara ST dan IGF-I, yaitu pengalihan kelebihan
energi. Peningkatan bobot tubuh dimungkinkan terjadi akibat antagonis kerja ST dan
insulin. Kerja ST sebagai antiinsulin dengan cara menghambat kegiatan oksidasi di
dalam jaringan nonkelenjar susu, ST bekerja beberapa jam setelah kegaiatan makan atau
beberapa saat setelah aktivitas fisik (Eckert & Randall 1983). Di lain pihak, insulin
bekerja pada saat kadar glukosa darah tinggi sehingga ada kecenderungan
bahwa
peningkatan kadar glukosa sesaat setelah makan akan menstimulasi sekresi insulin dari
sel beta pankreas sehingga aktivitas insulin bekerja mendahului kerja ST, memfasilitasi
pemasukan glukosa ke dalam sel dan dalam kegiatan tersebut juga terjadi pemasukan
asam amino sehingga pada akhirnya memungkinkan terjadinya peningkatan bobot
tubuh. Antara insulin dan ST bekerja antagonis, yang mana insulin aktif mendorong ke
85
arah lipogenesis sedangkan ST bekerja memacu lipolisis, namun dalam kegiatan
anabolisme kedua hormon ini dapat bekerja saling menunjang (Faigin 2001). Sapi uji
yang mendapat injeksi bST selang 14 hari dan diberi pakan Balai ditambah 25%
konsentrat berada pada level nutrisi tinggi sehingga kerja IGF-I kurang responsif
terhadap injeksi ST (Prosser & Mepham 1989). Pada level pakan tinggi, konsentrasi
IGF-I cenderung meningkat, sementara konsentrasi ST justru mengalami penurunan
sehingga penurunan konsentrasi ST akan menghambat proses adaptasi metabolisme
sementara level pakan akan menstimulasi kerja insulin seperti telah dibahas pada
produksi susu di atas. Dengan demikian, pada keadaan seperti ini peluang untuk
peningkatan bobot tubuh melalui lipogenesis sangat dimungkinkan.
Konsumsi bahan kering merupakan kriteria yang penting dalam pakan sapi
laktasi, khusus sapi yang berproduksi tinggi karena kebutuhan energi tidak terpenuhi
akibat keterbatasan konsumsi bahan kering. Keterbatasan konsumsi bahan kering ini
pada gilirannya akan berdampak pada penyusutan bobot tubuh atau penurunan produksi
susu (NRC 1988). Untuk mengantisipasi peningkatan produksi susu sebagai respons
terhadap injeksi bST dalam penelitian ini dirancang 25% konsentrat pada pakan Balai.
Hasil pengamatan selama 84 hari menunjukkan bahwa penambahan konsentrat
nyata meningkatkan konsumsi bahan kering. Sapi yang diberi pakan Balai ditambah
25% konsentrat mempunyai konsumsi bahan kering yang nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan sapi uji yang mendapat pakan Balai saja. Berdasarkan perhitungan
NRC (1988), angka kebutuhan bahan kering untuk sapi uji adalah 2,7% dari bobot
tubuh, yaitu 12,15 kg/ekor/hari (dalam bahan kering). Rataan konsumsi bahan kering
adalah 17,75 kg/ekor/hari untuk sapi yang diberi pakan Balai dan 19,66 kg/ekor/hari
untuk sapi yang diberi pakan Balai ditambah 25% konsentrat. Konsumsi bahan kering
sapi uji cukup memadai bahkan di atas angka kebutuhan, namun kualitas hijauan dan
konsentrat pakan sangat bervariasi, khususnya di daerah tropis (Williamson & Payne
1993; Tanwattana 2003) sehingga akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan nutrien.
Konsumsi bahan kering dapat dijadikan sebagai peubah dalam penentuan
efisiensi produksi susu. Angka efisiensi ditentukan dengan menggunakan rumus Varga
(1984). Penilaian efisiensi yang dikemukakan oleh Varga (1984) dan Brody (1945)
menunjukkan bahwa angka efisiensi produksi susu dipengaruhi oleh beberapa peubah,
86
yaitu produksi susu 4% FCM, konsumsi bahan kering, dan bobot tubuh. Pemberian
tambahan 25% konsentrat pada pakan Balai menunjukkan konsumsi bahan kering yang
nyata lebih tinggi dibandingkan dengan sapi
yang diberi pakan Balai saja, bila
dikaitkan dengan efisiensi produksi susu ternyata tidak berbeda antar perlakuan bST
(harian dan selang 14 hari) atau penambahan konsentrat. Dari hasil pengamatan (Tabel
9) tampak ada kecenderungan efisiensi produksi susu dari sapi yang mendapat injeksi
bST harian atau selang 14 hari menunjukkan angka yang lebih tinggi. Hal ini diduga
erat kaitannya dengan peran bST, yakni dapat meningkatkan efisiensi pakan, yang
tergambar dari jumlah konsumsi bahan kering. Sapi uji yang mendapat injeksi bST dan
diberi pakan Balai mengkonsumsi pakan lebih rendah dari sapi uji yang diberi pakan
Balai ditambah 25% konsentrat. Produksi susu 4% FCM yang
dihasilkan sapi uji yang mendapat injeksi bST (harian dan selang 14 hari) dengan pakan
Balai ternyata menunjukkan produksi yang lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya.
Angka efisiensi produksi susu hasil pengamatan selama 84 hari menunjukkan berada
dalam kisaran 12.08 sampai 17,96. Angka kisaran efisiensi produksi susu seperti yang
dikemukakan oleh Brody (1945) yang disitir Supriat (1994) dibagi dalam tiga kategori,
yaitu 10 sampai 24% untuk inferior producer, 25 sampai 34% termasuk good producer,
dan 35 sampai 45% untuk superior producer. Hasil pengamatan menunjukkan efisiensi
produksi susu masih termasuk dalam kategori inferior producer. Lebih rincinya, angka
efisiensi produksi susu yang mendapat injeksi bST berada pada tingkat 17,35% (harian)
dan 17,96% (selang 14 hari) khususnya yang mendapat pakan Balai. Fenomena tersebut
mengindikasikan bahwa injeksi bST yang diikuti dengan pemberian pakan Balai
memperlihatkan angka efisiensi produksi susu yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kontrol. Hal tersebut di atas memperkuat indikasi peran bST dalam meningkatkan
efisiensi produksi susu (Jenny et al. 1992). Peningkatan efisiensi produksi susu walau
dalam status manajemen inferior producer, bST memperlihatkan konsistensi sebagai
agen hemorhesis yang pada gilirannya dimanifestasikan dengan angka efisiensi
produksi susu yang lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Faktor utama yang besar
pengaruhnya pada sapi laktasi yang diinjeksi bST adalah kualitas manajemen, yang
lebih spesifik program pemberian pakan yaitu kecukupan atau keseimbangan nutrisi
(Bauman 1992; Etherton & Bauman 1998). Tingginya angka efisiensi produksi susu
87
diduga erat kaitannya dengan fungsi fisiologis bST, hewan yang mendapat perlakuan
bST akan memperlihatkan neraca nitrogen positif (Granner 1999).
Nilai kondisi ternak (Body Condition
Score) merupakan penilaian kondisi
ternak yang dikaitkan dengan manajemen pemberian pakan. Penilaian dilakukan dengan
memperhatikan bagian tertentu yang umumnya sebagai tempat penyimpanan cadangan
energi berupa bantalan lemak. Di antaranya bagian punggung (back), badan (waist),
paha (haunch), pangkal ekor (roof of tail), tulang punggung (hip bone), pangkal paha
(waist horn) dan tulang rusuk (rib) (Tanaka et al.2001). Nilai untuk sapi perah berkisar
dari 1sampai 5. Nilai 1 menunjukkan sapi sangat kurus atau tidak ada perlemakan pada
bagian belakang, sedangkan
nilai 5 untuk sapi yang sangat gemuk. Satu unit NKT setara dengan 57 kg bobot tubuh.
Pada awal laktasi kehilangan bobot tubuh 0,5–1 kg/ekor/hari, sedangkan 1 kg bobot
tubuh dimobilisasi untuk energi yang setara 7 kg susu, dan pada akhir laktasi
peningkatan bobot tubuh berkisar antara 0,25 dan 0,5 kg/hari. Nilai kondisi ternak
yang ideal untuk sapi perah pada awal laktasi adalah 2,5, 100 – 200 hari setelah partus
adalah 2,5–3,5, 200 hari - kering kandang adalah 2,75–3,5, dan selama kering
kandang adalah 3,25–3,5 (Tanaka et al. 2001; Alim 2002). Kondisi ternak umumnya
akan memperlihatkan nilai yang relatif tinggi pada saat partus yang diikuti dengan
penurunan hingga mencapai puncak produksi, dan selanjutnya NKT akan meningkat
hingga akhir laktasi. Nilai kondisi ternak yang dianggap cukup baik untuk sapi perah
berada dalam kisaran 2,5 sampai 3,25 (Alim 2002). Pada saat puncak produksi, terjadi
penurunan bobot badan secara besar-besaran sementara selera makan beranjak
meningkat secara lambat (Tanaka. 2001). Kondisi ternak saat kering kandang sangat
berperan penting karena hampir hasil 85% metabolisme pakan akan diubah menjadi
simpanan energi tubuh yang akan digunakan setelah partus (Bine & Hart 1982).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa NKT berada dalam kisaran 2,60–2,94,
dan tidak berbeda antarperlakuan. Nilai kondisi ternak berada dalam kisaran NKT ideal
(Alim 2002). Secara konsisten tidak ada perbedaan NKT pada bulan pertama, bulan
kedua, dan bulan ketiga pengamatan. Nilai kondisi ternak dapat dijadikan tolok ukur
untuk melihat penimbunan lemak tubuh atau cadangan energi tubuh. Pada injeksi bST
akan cenderung terjadi penurunan penambahan bobot tubuh (Jenny et al.1992),
88
khususnya dalam penggalangan nutrien untuk sintesis susu. Aksi ST akan menghambat
lipogenesis dan cenderung untuk menstimulasi lipolisis (Kamil et al. 2001). Dengan
demikian, pada injeksi bST, NKT akan tampak lebih rendah dari NKT kontrol. Nilai
kondisi ternak secara tidak langsung berkaitan dengan status neraca energi. Pada injeksi
bST, neraca energi berada dalam kondisi positif, dimana bST menghambat lipogenesis
tanpa menstimulasi lipolisis, namun pada status neraca energi negatif akan terjadi
aktivitas lipolisis yang akan digunakan dalam mencukupi kebutuhan sintesis susu.
Intisari penelitian,
injeksi bST dan penambahan 25% konsentrat pada sapi
laktasi di dataran tinggi memperlihatkan peningkatan denyut jantung, frekuensi
pernapasan namun masih dalam kisaran fisiologis normal, sedangkan suhu tubuh tidak
mengalami perubahan sehingga status faali ternak tidak mengalami perubahan yang
berarti. Metabolit dan hormon metabolisme yang diukur melalui kadar serum glukosa,
trigliserida, dan nitrogen urea , serta hormon kortisol, T4 dan T3 tidak mengalami
perubahan. Demikian pula bobot tubuh, efisiensi produksi susu, dan nilai kondisi ternak
tidak menunjukkan perubahan. Namun demikian, terjadi interaksi antara injeksi bST
dan pakan pada produksi susu dan pertambahan
bobot tubuh. Sapi
memberikan
respons positif pada pemberian injeksi bST dan pakan Balai dengan peningkatan
produksi susu sebesar 17-26%, sementara
respons negatif terjadi pada sapi yang
diinjeksi bST dan penambahan 25% konsentrat berupa penurunan produksi susu.
Penurunan produksi susu pada injeksi bST selang 14 hari diikuti dengan pengalihan
kelebihan energi dalam bentuk pertambahan bobot tubuh.
89
SIMPULAN
Injeksi bST pada sapi Holstein laktasi yang dipelihara di dataran tinggi tidak
mengalami
perubahan
status
fisiologis,
hematologis,
metabolit
dan
hormon
metabolisme, bobot tubuh, efisiensi produksi susu, dan nilai kondisi ternak. Injeksi bST
memberikan respons positif berupa peningkatan produksi susu sebesar 17-26% pada
pemberian pakan yang memiliki nutrien relatif lebih tinggi dari kebutuhan, namun
injeksi bST
yang diikuti penambahan
25% konsentrat cenderung memperlihatkan
respons negatif, yang dimanifestasikan dengan rendahnya produksi susu dan diikuti
dengan peningkatan bobot tubuh.
SARAN
Respons positif yang diperoleh dari injeksi bST di dataran tinggi masih perlu
dilengkapi penelitian lanjutan penggunaan injeksi bovine somatotropin di dataran
rendah (Indonesia), guna melengkapi informasi respons sapi perah Indonesia pada
produk bioteknologi. Informasi tersebut dapat dijadikan bahan kajian bagi penentu
kebijakan dalam upaya peningkatan produktivitas ternak perah di Indonesia dalam
jangka waktu yang relatif singkat.
90
DAFTAR PUSTAKA
Akers RM. 2002. Lactation and The Mammary Gland. Edisi ke 1 United State: Iowa
State Press.
Alim AF, Hidaka T, Nakanishi T. 2002. Pakan dan Tatalaksana Sapi Perah, Buku
Petunjuk Tehnologi Sapi Perah di Indonesia Untuk Petugas Penyuluh dan
Petugas Teknis. Bandung. Jica-Dairy Technology Improvement Project.
Anderson RR. 1985. Mammary Gland Di dalam: Larson. BL. Editor. Lactation. Ames.
Iowa State University Press.
Anggorodi R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta. Gramedia.
Annison EF, Gooden JM, Houge GM, McDowell GH. 1984. Physiological cost of
pregnancy and lactation in the ewe. Di dalam: Lindsay DR, Pearce DT. editor.
Reproduction Sheep. Cambridge. Cambridge University Press.
Atmadilaga, D. 1979. Pengaruh Iklim Terhadap Ternak. Simposium Meteorologi
Pertanian. Bagian Klimatologi Pertanian. Departemen Ilmu Pengetahuan Alam.
Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Baldwin RL, Smith NE. 1983. Adaptation of metabolism to various conditions; Milk
production. Di dalam: Riis PM. Editor Dynamic Biochemistry of Animal
Production. New York Elsevier. hlm.359-386.
Barbano DM et al. 1992. Effect of a prolonged-release formulation of N-methyonyl
bovine somatotropin (sometribove) on milk composition. J.Dairy Sci. 75: 17751793.
Bath DL, Dickinson FN, Tucker HA, Appleman RD. 1978. Dairy cattle: Principles,
Practices. Problem, Profit. Philadelphia Lea and Febiger.
Bauman DE. 1992. Bovine somatotropin: review of an emerging animal technology. J
Dairy Sci. 75: 3432-4351.
Bauman DE, Eppard PJ, DeGeeter MJ, Lanza GM. 1985. Response of high producing
dairy cows to long-term treatment with pituitary somatotropin and recombinant
somatotropin. J. Dairy Sci. 68: 1352-1362.
Bines JA, Hart IC. 1982. Metabolic limits to milk production, especially roles of growth
hormone and insulin. J. Dairy. Sci. 65:1375-1389.
Budinuryanto DC. 2001. Hormon pemacu pertumbuhan dalam perspektif keamanan
pangan, Prosiding, Diskusi Sehari Problema Penggunaan Hormon Dalam
Produksi Ternak; Bandung, 3 Feb 2001, Bandung: Jurusan Nutrisi dan Makanan
Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. hlm. 88-108.
Capuco AV, Keys JE, Smith JJ. 1989. Somatotropin increases thyroxine-5' –
monodeidonase activity in lactating mammary tissue of the cow. J. Endocrinol.
121:205-211.
Capuco AV, Wood DL, Baldwin R, McLeod, Paape MJ. 2001. Mammary cell number,
proliferation, and apoptosis during a bovine lactation: Relation to milk production
and effect of bST. J. Dairy Sci. 84: 2177-2187.
91
Chalupa W, Galligan DT. 1989. Nutritional implication of somatotropin for lactating
cows. J. Dairy. Sci. 72: 2510-2524.
Chilliard Y. 1989. Long term effect of recombinant bovine somatotropin (r bST) on
dairy cow performances: A review Di dalam; Sejrsen, K., M. Vestergaard and A.
Neimann-Sorensen editor. Use of Somatotropin in Livestock Production. New
York. Applied Science. hlm.61-87.
Cohick WS, Plaut K, Sechen SJ, Bauman DE. 1989. Temporal pattern of insulin like
growth factor I response to exogenous bovine somatotropin in lactating cows.
Domest. Anim. Endocrinol. 6: 263-274.
Cole HH. 1962. Introduction to Livestock Production Including Dairy and Poultry.
London. Freeman WH and Company. San Francisco and London.
Collier RJ, McNamara, Wallace CR, DeHoff MH. 1984. A review of endocrine
regulation of metabolism during lactation. J. Animal. Sci. 59: 498-510.
Collier RJ. 1985. Nutritional control of milk synthesis Di dalam: Larson. B. Editor.
Lactation. Ames. Iowa State University Press. hlm.80-128.
Davis SR, Collier RJ. 1983. Mammary blood flow and regulation of substrate supply for
milk synthesis. J. Dairy Sci. 68: 1041-1058.
Departemen Pertanian. 2006. Kebijakan Departemen Pertanian dalam Peningkatan
Produksi dan Kualitas Susu. Di dalam: Seminar Peningkatan Produksi dan
Kualitas Susu Sapi. Indonesian National Committee of International Dairy
Federation (IDNC-IDF). Bogor, 19 Desember 2006. Bogor: IDNC-IDF.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2004. Statistik Peternakan. Depatemen Pertanian.
Direktorat Jenderal Pternakan. 2005. Statistik Peternakan. Depatemen Pertanian.
Direktorat Jenderal Peternakan.2006.
Pertanian.www.ditjenak.co.id
Statistik
Peternakan
2006.
Departemen
Djojosoebagio S. 1990. Fisiologi Kelenjar Endokriologi. Vol 1. Bogor: Pusat Antar
Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor.
Eckert R, Randall D. 1983. Physiology: Mechanisms and Adaptations. New York.
Freeman WH and Company. hlm. 445.
Eppard PJ et al.1987. Effect of dose of bovine growth hormone on milk composition:
alpha-lactalbumin, fatty acids and mineral elements. J. Dairy. Sci. 68: 3047-3054.
Eppard PJ, et al.1988, Response of lactating dairy cows to multiple injection of
sometribove, USAN (recombinant methionyl bovine somatotropin) in a prolonge
release system. Part 1. Production response. J. Dairy Sci. 71 (suppl.1) 184
(Abstract).
Etherton TD, Bauman DE. 1998. Biology in growth and lactation of domestic animals.
Physiol Rev. Vol 78: 745-761.
Faigin R. 2001. Meningkatkan Hormon Secara Alami. Sugeng Hariyanto, penerjemah.
Jakarta.: PT RajaGrafindo Persada. Terjemahan dari: Natural Hormonal
Enchancement.
92
Foot JZ, Cummins LJ, Spiker SA. Flinn P. 1984. Concentration of b-hydoxybuttyrate in
plasma of ewes in late pregnancy and early lactation, and survival and growth of
lambs. Di dalam: Linsday D.R and Pearce DE, editor Reproduction in Sheep.
Cambridge: Cambridge University Press. hlm.187-190.
Forsyth IA. 1986. Variation among species in the endocrine control of mammary
growth and function: The roles of prolactin, growth hormone, and placental
lactogen. J. Dairy Sci. 69: 886-903.
Frandson RD. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi ke 4.Srigandono B dan
Praseno K. Penerjemah; Soedarsono editor. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press Terjemahan dari: Anatomy and Physiology of Farm Animals.
Gallo L et al. 1994. Modelling response to slow-releasing somatotropin administered at
3 or 4 week intervals. J. Dairy Sci. 77: 759
Gardner , Hogue 1963. Effect of energy intake and member of lamb, suckled on milk
yield, milk composes and energetic efficiency of lactating ewes,
J. Anim. Sci. 29: 935-945.
Granner DK. 1997. Hormon Hipofise dan Hipothalamus. Di dalam : Biokimia Harper.
Hartono A. Penerjemah; Santoso AH. editor. Jakarta: EGC. Terjemahan dari:
Harper Biochemistry.
Hafez ESE. 1968. Adaptation of Domestic Animal. Philadelphia: Lea and Febinger.
Hardjopranjoto S. 2001. Somatotropin sebagai hormon anabolik, keuntungan dan
bahayanya. Prosiding. Diskusi Sehari Problema Penggunaan Hormon Dalam
Produksi Ternak; Bandung, 3 Feb 2001, Bandung: Jurusan Nutrisi dan Makanan
Ternak
Fakultas
Peternakan
Universitas
Padjadjaran.
hlm.38-43.
Hariadi M, Ismudiono, Lusiastuti MA. 2001. Penggunaan somatotropin untuk
meningkatkan produksi paging dan susu pada ternak. Prosiding, Diskusi Sehari
Problema Penggunaan Hormon Dalam Produksi Ternak; Bandung, 3 Feb 2001,
Bandung: Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas
Padjadjaran. hlm.50-54.
Homan EJ, Wattiaux MA, 1996. Lactation and Milking. Ed ke 2. The Babcock Institute
for International Dairy Research and Development International Agricultural
Programs. Madison: University of Wisconsin. USA.
Jenny BF, Grimes LW, Pardue FE, Rock DW, Patterson DL. 1992. Lacatational
response of jersey cows to bovine somatotropin administered daily or in a
sustained-release formulation. J.Dairy Sci. 75: 3402-3407.
Johnson HD et al. 1991. Effect of somatotropin on milk yield and physiological
rsponses during summer farm and hot laboratory condition. J. Dairy Sci. 74: 12501262.
Kamil K, Eten Maryuman, An-an Yulianti, Elvia Hernawan, Diding Latifudin. 2001.
Peranan somatotropic axis dalam pengaturan pertumbuhan ternak ruminansia.
Prosiding. Diskusi Sehari Problema Penggunaan Hormon Dalam Produksi
Ternak; Bandung, 3 Feb 2001,Bandung: Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. hlm.14-27.
93
Kim WY, Ha JK, Han IK, Baldwin RL. 1997. Bovine growth hormone and milk fat
synthesis: from the body to the molecule review. Asian-Australasian J. Anim Sci.
Vol.10. No.4: 335-356.
Knapp JR, Freetly HC, Reis BL, Calvert CC, Baldwin RL. 1992. Effect of somatotropin
and substrates on patterns of liver metabolism in lactating dairy cattle. J. Dairy
Sci. 75: 1025-1035.
Koentjoko. 2001. Penggunaan hormon pemacu pertumbuhan bagi ternak. Prosiding.
Diskusi Sehari Problema Penggunaan Hormon Dalam Produksi Ternak.
Bandung, 3 Feb 2001,Bandung: Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjaran. hlm.33-37.
Larson BL, 1985. Biosinthesis and cellular secretion of milk. Di dalam: Lactation.
Larson BL. Ed. Iowa. Iowa State University Press.
Lynch JM, Barbano DM, Bauman DE, Hartnell GF, Nemeth MA.1992. Effect of a
prolonged-release formulation of N-methionil bovine somatotropin (sometribove)
on milk fat. J. Dairy Sci. 75: 1794-1809
Manalu W, Johnson HD, Li R, Becker BA, Collier RJ. 1991. The assessment of thermal
status of somatotropin-injected lactating Holstein cows maintained under
controlled-laboratory
thermoneutral,
hot
and
cold
environments.
J. Dairy. Sci. 121: 2006-2019
Manalu W. 1994. Menyongsong aplikasi hasil bioteknologi dalam industri peternakan:
Suatu ulasan mengenai kegunaan somatotropin untuk meningkatkan produksi
susu dan dampaknya terhadap kesehatan dan reproduksi sapi perah serta masa
depannya dalam industri sapi perah di Indonesia. Media Veteriner. I(1): 9-42.
Manalu W. 2001. Somatotropin dalam industri peternakan sapi perah. Prosiding,
Diskusi Sehari Problema Penggunaan Hormon Dalam Produksi Ternak:
Bandung, 3 Feb 2001,Bandung: Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjaran. hlm.1-5.
McDonald LE, Pineda MH .1980. Veterinary Endocrinology and Reproduction. Third
Ed. Philadelphia: Lea and Febiger.
McDowell RE.1972. Improvement of Livestock Production in Warm Climates. San
Francisco: Freeman and Company.
McGuire AM, Bauman DE, Miller MA, Hartnell GF. 1992. Response of somatomedins
(IGF-I and IGF-II) in lacatating cows to variations in dietary energy and protein
and treatment with recombinant n-methionyl bovine somatotropin. J. Nutr. 122:
128-136.
Mege RA.2004. Optimasi Produksi Anak Babi Melalui Superovulasi Induk Sebelum
Perkawinan [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Muslim G. 2005. Effek Penggunaan Somatotropin pada Produksi Susu dan
Termoregulasi Sapi Perah Peranakan Fries Holland. [Tesis]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
NRC.1988. Kebutuhan Nutrien untuk Sapi Perah. Tanuwiria UH. Penerjemah
Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak. Jurusan
94
Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan. Universitas Padjadjaran. Edisi
ke 6. Terjemahan dari Nutrient Requirement of Dairy Cattle.
Pane I. 1986. Pemuliabiakan ternak sapi. Jakarta: Gramedia.
Peel CJ, Bauman DE. 1987. Somatotropin and Lactation. J. Dairy. Sci. 70: 474-486.
Peel CJ, Bauman DE, Gorewit RC, Sniffen JC. 1981. Effect of exogenous growth
hormone on lactational performance in the high-yielding dairy cows.
J. Nutr. 111: 1662-1671.
Peel CJ, Fronk TJ. Bauman DE . Gorewit RC. 1983. Effect of exogenous growth
hormone in early and late lactation performance in dairy cows. J. Dairy. Sci. 66:
776-782.
Phipps RH. 1989. A Review of The Influence of somatotropin on health, reproduction
and welfare in lactating dairy cows. Di dalam : Sejrsen. Vestergaard KM and A.
Neimann-Sorensen editor. Use of Somatotropin in Livestock Production.. New
Tork. Elsevier Applied Science. hlm. 88-119.
Pocius P A, Herbein. 1986. Effects of in vivo administration of growth hormone on
milk production and in vitro hepatic metabolism in dairy cattle. J. Dairy. Sci. 69:
713-720.
Preston TR, Leng LE. 1987. Matching Ruminant Production System with Available
Resources in The Tropics and Subtropics. Australia: Penambul Books.
Prosser CG, Mepham TB .1989. Mechanism of action of bovine somatotropin in
increasing milk secretion in dairy ruminant. Di dalam : Sejrsen, K., M.
Vestergaard and A. Neimann-Sorensen editor Use of Somatotropin in Livestock
Production. New York . Elsevier Applied Science. hlm.1-17.
Radcliff RP et al. 1997. Effect of diet and bovine somatotropin on heifer growth and
mammary development.J. Dairy Sci. 60:1996-2003.
Radcliff RP et al. 2004. Effect of dietary and somatotropin on component of the
somatotropic axis in Holstein heifers. J. Dairy Sci. 87: 1229-1235
Raymond WF, Sorensen AN. 1989. Use of somatotropin in livestock production in the
European Community: Seminar summary and concluding remarksDi dalam :
Sejrsen, K., M. Vestergaard and A. Neimann-Sorensen editor
Use of
Somatotropin in Livestock Production. New York: Elsevier Applied Science.
hlm.1-17.
Riis PM.1983. Adaptation of metabolism to various condition . Di dalam: Riis PM
Editor. Dynamic Biochemistry of Animal Production. Tokyo: PM. Elsevier.
hlm.319-353.
Robinson NE.1992. Homeostasis Di dalam: Cunningham JG editor. Text Book of
Veterinary Physiology. Tokyo: Saunder WB & Company. hlm.691.
Rose MT, Obara Y.2000. The manipulation of milk secretion in lactating dairy cowsAsian-Aus. J. Anim. Sci. 13: 236- 243.
Schmidt GH. 1971. Biology of Lactation. San Francisco: Freeman WH and Company.
95
Schmidt G H, Van Velk LD, Hutjens MF. 1988. Principles of Dairy Science. Ed. Ke 2.
New Jersey: Prentice Hall. Englewood Cliffs.
Sejrsen K., Purup S., Vegestergaard M., Foldager J. 2000. High body weight gain and
reduced bovine mammary growth: physiological basis and implications for milk
yield potential. Domest Anim. Endocrinol. 19: 93-104.
Setiadi D. 2006. Usaha dan Rencana Koperasi susu untuk meningkatkan produksi dan
kualitas sapi perah di Indonesia. Di dalam: Seminar Peningkatan Produksi dan
Kualitas Susu Sapi. Indonesian National Committee of International Dairy
Federation (IDNC-IDF). Bogor, 19 Desember 2006. Bogor: IDNC-IDF.
Shahib NM. 2001. Hormon dari Klinik ke Bioteknologi. Prosiding. Diskusi Sehari
Problema Penggunaan Hormon Dalam Produksi Ternak. Bandung, 3 Feb 2001,
Bandung: Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas
Padjadjaran. hlm.6-13.
Sharma BK, Vandehaar JM, Ames NK. 1994. Expression of insulin-like growth factor-I
in cows at different stages of lactation and in late lactation cows treated with
somatotropin. J. Dairy Sci. 77: 2232-2241.
Siregar AR et al. 2003. Pengembangan sapi perah rumpun unggul pada dataran rendah,
Di dalam: Supriyati, Syahgiar S. Kumpulan hasil-hasil penelitian APBN tahun
Anggaran 2002. Buku I Ternak Ruminansia. Bogor: Balai Penelitian Ternak
Ciawi.
Siregar S. 1990. Sapi Perah jenis, Tehnik Pemeliharaan dan Analisa Usaha. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Soderholm CG et al. 1986. Effect of different doses of recombinant bovine
somatotropin on circulating metabolites, hormones and physiological parameters.
J. Dairy. Sci. 69 (Suppl.1): 152. (Abstr)
Soderholm CG et al 1988. Effect of recombinant bovine somatotropin on milk
production, body composition and physiological parameters. J. Dairy. Sci. 71:
355-365.
Soeharsono.1984. Fisiologi Lingkungan. Bahan kuliah. Bandung: Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran.
Soeharsono. 2001. Kontroversi penggunaan hormon sebagai pemacu pertumbuhan pada
produksi ternak. Prosiding. Diskusi Sehari Problema Penggunaan Hormon
Dalam Produksi Ternak. Bandung, 3 Feb 2001, Bandung: Jurusan Nutrisi dan
Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. hlm.60-67.
Sosroamidjojo MS , Soeraji. 1978. Peternakan Umum. Jakarta: CV Yasa Guna.
Sudjatmogo. 1996. Pengaruh Superovulasi dan Kualitas Pakan Terhadap Pertumbuhan
Ambing dalam Upaya Meningkatkan Produksi Air Susu dan Daya Tahan Hidup
Anak Domba sampai Umur Sapih. [Disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Sudono A. 1985. Produksi Sapi Perah. Fakultas Peternakan. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
96
Sudono A, Abdulgani IK, Najid H, Mahesawari RRA. 1999. Penuntun Praktikum
Ternak Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor.
Sudono A. 2003. Ilmu Produksi Ternak Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas
Peternakan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sudono A, Rosdiana RF, Setiawan BS. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif.
Jakarta: Agromedia.
Sumaryadi MY dan Manalu W,. 1995b. Konsentrasi triiodotironin dan kortisol dalam
serum induk domba selama periode kebuntingan dan laktasi pada berbagai jumlah
anak. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Sumaryadi MY dan Manalu W. 1996. Perubahan status energi pada induk domba ekor
tipis dengan bertambahnya umur kebuntingan dan jumlah fetus yang dikandung.
Prosiding Seminar NasionalKiat Usaha Peternakan. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan.
Supriat D. 1994. Pengaruh pengontrolan suhu tubuh melalui penyemprotan air terhadap
produksi susu dan perubahan faali pada sapi perah laktasi [Thesis] . Bogor:
Program Pascasarjan, Institut Pertanian Bogor.
Sutardi T 1980 Sapi Perah dan Pemberian Makananya. Bogor. Departemen Ilmu
Makanan Ternak . Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor
Sutardi T. 1981. Landasan Ilmu Nutrisi. Jilid 1. Departemen Ilmu Makanan Ternak.
Fakultas Peternakan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Talib C, Kuswandi, Siregar AR, Sugiarti T. 2003. Progeny test dan performance test
sapi-sapi FH calon pejantan dan induk ke arah pembentukan elite herd sapi
Indonesian Holstein. Kumpulan hasil-hasil penelitian APBN tahun Anggaran
2002. Buku I. Ternak Ruminansia. Bogor: Balai Penelitian Ternak Ciawi.
Tanaka H, Herliantien, Deasy Zamanti. 2001. Fisiologi dan Gangguan Reproduksi.
Japan
International
Cooperation
Agency
Indonesia.
hlm.19-25.
Tanuwiria UH. 2004. Suplemen seng dan tembaga organik, serta kompleks kalsiumminyak ikan dalam ransum berbasis limbah industriargo untuk pemacu
pertumbuhan dan produksi susu pada sapi perah. [Disertasi]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Tanuwiria UH. 2005. Kebutuhan Nutrien pada Berbagai Ternak. Laboratorium Nutrisi
Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak. Sumedang: Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran.
Tarazon-Herrera M, Hurber JT, Santos J. Mena H, Nusso L, Nussio C.1999. Effect o
bovine somatotropin and evaporative cooling plus shade on lactation performance
of cows during summer heat stress. J. Dairy Sci 82:2352-2357
97
Tanwattana P, Chanpongsang S, Chaiyabutr N. 2003. Effect of exogenous bovine
somatotropin on mammary function of the late lactating crossbred holstein cows.
Asain-Aust. J. Anim. Sci.16: 88-95.
Tucker HA. 1985. Endocrine and neural control of mammary gland. Di dalam:
Lactation. Larson B. Editor. Ames: Iowa State University Press. hlm.39-79.
Tucker HA. 2000. Symposium : Hormonal regulation of synthesis, hormone, mammary
growth,
and
lactation:
a
41-year
perspective.
J.
Dairy
Sci.
83: 874-884.
Turner CD, Bagnara JT.1976. Endokrinologi Umum. Harsojo. penerjemah. Surabaya:
Airlangga University Press. Terjemahan dari : General Endocrinology.
Ultinger RD. 1987. The thyroid : Physiology, hyperthyroidism, hypothyroidism and the
painful. Di dalam : Endocrinology and Metabolism. 2nd Edition. Felig P Baxter
JD. A.E. Broadus, dan Frohman LA Editor. New York: McGraw-Hill Inc.
hlm.409-412.
Varga GA, Meisteriling EM, Dailey RA, Hoover WA. 1984. Effect of high diets on dry
matter intake, milk production, and reproduction performance during early
lactation. J. Dairy Sci. 67: 1240-1248.
Vernon, RG 1989. Influence of somatotropin on metabolism. Di dalam : Sejrsen, K..
Vestergaard M and Neimann-Sorensen A editor. Use of Somatotropin in
Livestock Production. New York: Elsevier Applied Science. hlm.31-50.
Vicini JL, Hartnell GF, Veenhuizen JJ, Collier RJ, dan Munyakaz L. 1995. Effect of
supplemental dietary fat or protein on the short term milk production response to
bovine somatotropin. J. Dairy Sci. 78: 863-871.
Weber MS, Purup S, Vestergaard M, Akers RM, Sejrsen K. 2000. Regulation of local
synthesis of insulin-like growth factor-1 and binding protein in mammary tissue.
J. Dairy Sci. 83: 30-37.
Wedermeyer GA, Yasutake WT. 1977. Clinical Method for the Assessment of the Effect
of Environmental Stress on Fish Health. Technical Paper of the US Fish and
Wildlife Service. Volume 89. USA Washington DC: US Departement of the
Interior Fish and Wildlife Service.
Wildman EE et al. 1982. A dairy cow condition scoring system and its relationship to
selected production characteristics. J.Dairy Sci. 65: 495-501.
Wiliamson G, Payne, WJA. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis . Darmaja D.
SGN. penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari
An Introduction To Animal Husbandry in The Tropic.
Zhao FQ, Moseley WM, Tucker TA, Kennelley JJ. 1996. Regulation of glucose
transporter gene expresion in mammary gland, muscle, and fat of lactating cows
by administration of bovine growth hormone and bovine growth hormonereleasing factors. J. Anim Sci. 74: 183-189.
98
LAMPIRAN
99
LAMPIRAN
Lampiran 1 Analisis ragam rataan denyut jantung selama 84 hari pengamatan
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
0.846
77.841
0.168
0.213
3.535
82.603
Kuadrat Tengah
0.282
38.921
0.168
0.107
0.252
F-Hitung
1.12
154.15
0.67
0.42
P-Value
0.3755
<.0001*
0.4284
0.6637
Ket : (*) = nyata pada taraf 5%
Lampiran 2
Analisis ragam rataan frekuensi pernapasan selama 84 hari pengamatan
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
0.547
7.656
0.021
0.144
2.112
10.480
Kuadrat Tengah
0.182
3.828
0.021
0.072
0.151
F-Hitung
1.21
25.38
0.14
0.48
P-Value
0.3431
<.0001*
0.7126
0.6297
Ket : (*) = nyata pada taraf 5%
Lampiran 3 Analisis ragam rataan suhu tubuh selama 84 hari pengamatan
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
Lampiran 4
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
0.120
0.004
0.000
0.010
0.081
4.470
Kuadrat Tengah
0.040
0.002
0.000
0.005
0.006
F-Hitung
6.97
0.37
0.00
0.85
P-Value
0.0042
0.6969
0.9755
0.4499
Analisis ragam rataan nilai hematokrit selama 84 hari pengamatan
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
5.518
0.336
5.334
3.491
17.675
32.353
Kuadrat Tengah
1.839
0.168
5.334
1.745
1.262
F-Hitung
1.46
0.13
4.22
1.38
P-Value
0.2688
0.8765
0.059
0.2832
100
Lampiran 5
Analisis ragam rataan kadar hemoglobin selama 84 hari pengamatan
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F-Hitung
P-Value
0.513
0.768
0.033
0.487
1.872
3.673
0.171
0.384
0.033
0.244
0.134
1.28
2.87
0.25
1.82
0.3204
0.0901
0.6247
0.1982
Lampiran 6 Analisis ragam rataan kadar glukosa serum selama 84 hari pengamatan
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
333.692
32.578
1.506
124.931
443.953
936.660
Kuadrat Tengah
111.231
16.289
1.506
62.466
31.711
F-Hitung
3.51
0.51
0.05
1.97
P-Value
0.0439
0.6091
0.8306
0.1763
Lampiran 7 Analisis ragam rataan kadar nitrogen urea serum selama 84 hari pengamatan
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
1306.739
31.715
337.735
435.759
1459.650
3571.597
Kuadrat Tengah
435.580
15.857
337.735
217.879
104.261
F-Hitung
4.18
0.15
3.24
2.09
P-Value
0.0262
0.8603
0.0935
0.1606
Lampiran 8 Analisis ragam rataan kadar trigliserida serum selama 84 hari pengamatan
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
3002.840
141.864
34.262
683.832
6792.503
10655.301
Kuadrat Tengah
1000.947
70.932
34.262
341.916
485.179
F-Hitung
2.06
0.15
0.07
0.70
P-Value
0.1513
0.8653
0.7943
0.5110
Lampiran 9 Analisis ragam rataan kadar kortisol serum selama 84 hari penelitian
101
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
0.00603008
0.00577850
0.00658008
0.02184017
0.02597542
0.02597542
Kuadrat Tengah
0.00603008
0.00288925
0.00658008
0.01092008
0.00519508
F-Hitung
1.16
0.56
1.27
2.10
P-Value
0.3305
0.6052
0.3115
0.2175
Lampiran 10 Analisis ragam rataan kadar T4 serum selama 84 hari penelitian
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
0.00156408
0.36268717
0.12383008
0.01278317
0.24755042
0.74841492
Kuadrat Tengah
0.00156408
0.18134358
0.12383008
0.00639158
0.04951008
F-Hitung
0.03
3.66
2.50
0.13
P-Value
0.8659
0.1048
0.1746
0.8817
Lampiran 11 Analisis ragam rataan kadar T3 serum selama 84 hari penelitian
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
133.2000333
108.8199500
84.2700000
70.4394500
89.7433667
486.4728000
Kuadrat Tengah
133.2000333
54.4099750
84.2700000
133.2000333
17.9486733
F-Hitung
7.42
3.03
4.70
7.42
P-Value
0.0416
0.1373
0.0825
0.416
Lampiran 12 Analisis ragam total produksi susu bulan ke-1 perlakuan
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Ket : (*) = nyata pada taraf 5%
Jumlah Kuadrat
12054.688
8264.959
2289.421
37426.846
26881.865
86917.779
Kuadrat Tengah
4018.229
4132.480
2289.421
18713.423
1920.133
F-Hitung
2.09
2.15
1.19
9.75
P-Value
0.1472
0.1531
0.2933
0.0022*
102
Lampiran 13 Analisis ragam total produksi susu bulan ke-2 perlakuan
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
13428.252
1506.667
751.834
16787.330
25615.767
58089.850
Kuadrat Tengah
4476.084
753.333
751.834
8393.665
1829.698
F-Hitung
2.45
0.41
0.41
4.59
P-Value
0.1069
0.6703
0.5319
0.0294*
Ket : (*) = nyata pada taraf 5%
Lampiran 14 Analisis ragam total produksi susu bulan ke-3 perlakuan
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
18674.416
3548.563
1315.991
10541.795
25018.097
59098.862
Kuadrat Tengah
6224.805
1774.281
1315.991
5270.898
1787.007
F-Hitung
3.48
0.99
0.74
2.95
P-Value
0.0447*
0.3952
0.4053
0.0853
Ket : (*) = nyata pada taraf 5%
Lampiran 15 Analisis ragam total produksi susu selama 84 hari pengamatan
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
121974.241
33327.256
12442.080
181061.265
199689.238
548494.080
Kuadrat Tengah
40658.080
16663.628
12442.080
90530.632
14263.517
F-Hitung
2.85
1.17
0.87
6.35
P-Value
0.0753
0.3395
0.3661
0.0109*
Ket : (*) = nyata pada taraf 5%
Uji lanjut Duncan total produksi susu selama 84 hari
BST
Pakan
P1
P2
K0
1120.93 bc
1289.30 abc
K1
1308.63 ab
1277.05 abc
K14
1411.18 a
1096.33 c
Ket : nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%
103
Lampiran 16 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan
waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan
Perlakuan
db
∑(X-Xrata)(X-Xrata)
1
11
143
-129.463
260.219
10
143.013
2
11
143
-303.925
871.534
10
225.587
3
11
143
-316.738
1113.698
10
412.141
4
11
143
-304.425
769.207
10
121.133
5
11
143
-341.988
1097.588
10
279.718
6
11
sisa regresi
masing-masing
143
-143.767
495.286
10
350.749
total regresi
858
66
∑(X-Xrata)(Y-Yrata)
-1540.304
∑(Y-Yrata)(Y-Yrata)
4607.532894
Beda bagi kehomogenan regresi
F Hitung =
2.428
F Tabel =
2.368
db
JK sisa
60
1532.3411
65
1842.339
5
309.998
Karena F Hitung > F Tabel maka tolak H0 ==> disimpulkan kemiringan garis regresi berbeda
Lampiran 17 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan
waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan (K0P1 Vs K1P1)
K0P1 Vs K1P1
Perlakuan
db
1
∑(X-Xrata)(X-Xrata)
∑(X-Xrata)(Y-Yrata)
∑(Y-Yrata)(Y-Yrata)
db
JK sisa
11
143
-129.463
260.219
10
143.013
3
11
sisa regresi masingmasing
143
-316.738
1113.698
10
412.141
20
555.154
total regresi
286
21
677.783
1
122.629
22
-446.200
1373.917
Beda bagi kehomogenan regresi
F Hitung =
4.418
F Tabel =
4.351
Karena F Hitung > F Tabel maka tolak H0 ==> disimpulkan kemiringan garis regresi K0P1 berbeda
dengan K1P1
Lampiran 18 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan
waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan (K0P1 Vs K14P1)
K0P1 Vs K14P1
Perlakuan
db
∑(X-Xrata)(X-Xrata)
1
∑(X-Xrata)(Y-Yrata)
∑(Y-Yrata)(Y-Yrata)
db
JK sisa
11
143
-129.463
260.219
10
143.013
5
11
sisa regresi masingmasing
143
-341.988
1097.588
10
279.718
20
422.731
total regresi
286
22
Beda bagi kehomogenan regresi
F Hitung =
7.472
-471.450
1357.807
21
580.657
1
157.926
104
F Tabel =
4.351
Karena F Hitung > F Tabel maka tolak H0 ==> disimpulkan kemiringan garis regresi K0P1 berbeda dengan
K14P1
Lampiran 19 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan
waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan (K1P1 Vs K14P1)
K1P1 Vs K14P1
Perlakuan
db
∑(X-Xrata)(X-Xrata)
3
11
143
-316.738
1113.698
10
412.141
5
11
sisa regresi masingmasing
143
-341.988
1097.588
10
279.718
20
691.859
total regresi
286
21
694.088
1
2.229
22
∑(X-Xrata)(Y-Yrata)
-658.725
∑(Y-Yrata)(Y-Yrata)
db
2211.286
Beda bagi kehomogenan regresi
F Hitung =
JK sisa
0.064
F Tabel =
4.351
Karena F Hitung < F Tabel maka terima H0 ==> disimpulkan kemiringan garis regresi K1P1 sama dengan
K14P1 ==> sejajar
Lampiran 20 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan
waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan (K14P1 Vs K14P2)
K14P1 Vs K14P2
Perlakuan
db
∑(X-Xrata)(X-Xrata)
∑(X-Xrata)(Y-Yrata)
∑(Y-Yrata)(Y-Yrata)
db
5
11
143
-341.988
1097.588
10
6
sisa regresi masingmasing
11
143
-143.767
495.286
10
total regresi
22
JK sisa
279.718
350.749
630.467
767.850
137.383
20
286
-485.754
1592.874
Beda bagi kehomogenan regresi
F Hitung =
4.358
F Tabel =
4.351
21
1
Karena F Hitung > F Tabel maka tolak H0 ==> disimpulkan kemiringan garis regresi K14P1
berbeda dengan K14P2 ==> tidak sejajar
Lampiran 21 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan
waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan (K0P2 Vs K1P2)
K0P2 Vs K1P2
∑(X-Xrata)(YYrata)
∑(Y-Yrata)(YYrata)
Perlakuan
db
∑(X-Xrata)(X-Xrata)
2
11
143
-303.925
871.534
10
225.587
4
11
sisa regresi masingmasing
143
-304.425
769.207
10
121.133
total regresi
286
20
22
Beda bagi kehomogenan regresi
F Hitung =
0.000
F Tabel =
4.351
db
karena sejajar
-608.350
1640.742
JK sisa
346.721
21
346.721
1
0.001
105
Karena F Hitung < F Tabel maka terima H0 ==> disimpulkan kemiringan garis regresi K0P2 sama
dengan K1P2 ==> sejajar
Lampiran 22 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan
waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan (K0P2 Vs K14P2)
K0P2 Vs K14P2
Perlakuan
db
∑(X-Xrata)(X-Xrata)
2
11
143
6
11
143
sisa regresi masingmasing
total regresi
22
286
Beda bagi kehomogenan regresi
F Hitung =
∑(X-Xrata)(YYrata)
∑(Y-Yrata)(Y-Yrata)
-303.925
-143.767
db
871.534
495.286
JK sisa
10
10
225.587
350.749
20
-447.692
1366.820
576.336
21
1
666.024
89.688
3.112
F Tabel =
4.351
Karena F Hitung < F Tabel maka terima H0 ==> disimpulkan kemiringan garis regresi K0P2 sama
dengan K14P2 ==> sejajar
Lampiran 23 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan
waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan (K1P2 Vs K14P2)
K1P2 Vs K14P2
db
4
11
143
-304.425
769.207
10
121.133
6
sisa regresi masingmasing
11
143
-143.767
495.286
10
350.749
total regresi
∑(X-Xrata)(X-Xrata)
∑(X-Xrata)(YYrata)
Perlakuan
∑(Y-Yrata)(Y-Yrata)
JK sisa
20
286
22
-448.192
1264.493
Beda bagi kehomogenan regresi
F Hitung =
db
471.882
21
562.131
1
90.249
3.825
F Tabel =
4.351
Karena F Hitung < F Tabel maka terima H0 ==> disimpulkan kemiringan garis regresi K1P2 sama dengan
K14P2 ==> sejajar
Lampiran 24 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan
waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan (K14P1 Vs K14P2)
K14P1 Vs
K14P2
Perlakuan
db
db
JK sisa
1
11
∑(X-Xrata)(X-Xrata)
143
-129.463
260.219
10
143.013
2
11
sisa regresi masingmasing
143
-303.925
871.534
10
225.587
20
368.600
total regresi
286
22
Beda bagi kehomogenan regresi
F Hitung =
5.774
F Tabel =
4.351
∑(X-Xrata)(Y-Yrata)
-433.388
∑(Y-Yrata)(Y-Yrata)
1131.754
21
475.024
1
106.424
106
Karena F Hitung > F Tabel maka tolak H0 ==> disimpulkan kemiringan garis regresi K0P1 berbeda dengan K0P2 ==>
tidak sejajar
Lampiran 25 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan
waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan (K14P1 Vs K14P2)
K14P1 Vs
K14P2
Perlakuan
db
∑(X-Xrata)(X-Xrata)
db
JK sisa
3
11
143
-316.738
1113.698
10
412.141
4
11
sisa regresi masingmasing
143
-304.425
769.207
10
121.133
20
533.274
total regresi
286
21
533.805
1
0.530
22
∑(X-Xrata)(Y-Yrata)
-621.163
∑(Y-Yrata)(Y-Yrata)
1882.905
Beda bagi kehomogenan regresi
F Hitung =
0.020
F Tabel =
4.351
Karena F Hitung < F Tabel maka terima H0 ==> disimpulkan kemiringan garis regresi K1P1 sama dengan
K1P2 ==> sejajar
Lampiran 26 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan
waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan (K14P1 Vs K14P2)
K14P1 Vs K14P2
Perlakuan
db
∑(X-Xrata)(X-Xrata)
5
∑(X-Xrata)(Y-Yrata)
∑(Y-Yrata)(Y-Yrata)
db
JK sisa
11
143
-341.988
1097.588
10
279.718
6
11
sisa regresi masingmasing
143
-143.767
495.286
10
350.749
total regresi
286
20
22
-485.754
1592.874
Beda bagi kehomogenan regresi
F Hitung =
630.467
21
767.850
1
137.383
4.358
F Tabel =
4.351
Karena F Hitung > F Tabel maka tolak H0 ==> disimpulkan kemiringan garis regresi K14P1 berbeda dengan K14P2
==> tidak sejajar
Lampiran 27 Analisis ragam produksi susu 4% FCM selama 84 hari pengamatan
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
3.234
0.170
0.216
2.519
8.859
14.998
Kuadrat Tengah
1.078
0.085
0.216
1.260
0.633
F-Hitung
1.70
0.13
0.34
1.99
P-Value
0.2120
0.8752
0.5687
0.1734
107
Lampiran 28 Analisis ragam rataan kadar protein susu selama 84 hari pengamatan
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
0.198
0.056
0.016
0.300
0.839
1.409
Kuadrat Tengah
0.066
0.028
0.016
0.150
0.060
F-Hitung
1.10
0.47
0.26
2.50
P-Value
0.3805
0.6340
0.6185
0.1175
Lampiran 29 Analisis ragam rataan kadar lemak susu selama 84 hari pengamatan
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
0.076
0.392
0.293
0.046
1.115
1.922
Kuadrat Tengah
0.025
0.196
0.293
0.023
0.080
F-Hitung
0.32
2.46
3.68
0.29
P-Value
0.8123
0.1213
0.0757
0.7515
Lampiran 30 Analisis ragam rataan kadar berat kering tanpa lemak (BKTL) susu selama
84 hari pengamatan
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
0.073
0.114
0.063
0.030
0.532
0.812
Kuadrat Tengah
0.024
0.057
0.063
0.015
0.038
F-Hitung
0.64
1.49
1.65
0.39
P-Value
0.6027
0.2581
0.2192
0.6824
Lampiran 31 Analisis ragam rataan kadar bobot jenis susu selama 84 hari
pengamatan
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F-Hitung
P-Value
9.50E-07
6.85E-07
2.94E-08
6.69E-08
5.01E-6
6.74E-6
3.17E-07
3.42E-07
2.94E-08
3.34E-08
3.58E-7
0.89
0.96
0.08
0.09
0.4724
0.4077
0.7785
0.9113
108
Lampiran 32 Analisis ragam bobot tubuh awal sapi uji
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
3467.417
1187.022
743.906
1195.081
41321.000
47914.426
Kuadrat Tengah
1155.806
593.511
743.906
597.540
2951.500
F-Hitung
0.39
0.2
0.25
0.2
P-Value
0.7609
0.8202
0.6234
0.8191
F-Hitung
0.13
0.38
0
1.32
P-Value
0.9397
0.6932
0.9556
0.2979
Lampiran 33 Analisis ragam bobot tubuh akhir
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
1149.511
2190.840
9.344
7697.604
40759.656
51806.955
Kuadrat Tengah
383.170
1095.420
9.344
3848.802
2911.404
Lampiran 34 Analisis ragam rataan bobot tubuh selama 84 hari (12 minggu)
pengamatan
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
638.444
2251.593
66.388
4659.390
39322.886
46938.701
Kuadrat Tengah
212.815
1125.797
66.388
2329.695
2808.778
F-Hitung
0.08
0.4
0.02
0.83
P-Value
0.972
0.6772
0.88
0.4566
Lampiran 35 Analisis ragam untuk pertambahan bobot tubuh
Sumber Keragaman
db
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F-Hitung
P-Value
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
3
2
1
2
14
22
1805.594
2882.131
920.001
3280.141
3400.656
601.865
1441.066
920.001
1640.071
242.90397
2.48
5.93
3.79
6.75
0.1040
0.0136*
0.0720
0.0089*
Ket : (*) = nyata pada taraf 5%
12288.523
109
Uji lanjut Duncan pertambahan bobot tubuh selama 84 hari pengamatan
BST
Pakan
P1
P2
K0
12.25 ab
-10.75 bc
K1
21.75 a
-15.00 c
K14
16.00 a
36.00 a
Ket : nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%
Lampiran 36 Analisis ragam efisiensi produksi susu (EPS) selama 84 hari
(12 minggu) pengamatan
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
13.116
11.604
55.783
25.674
211.003
317.179
Kuadrat Tengah
4.372
5.802
55.783
12.837
15.072
F-Hitung
0.29
0.38
3.7
0.85
P-Value
0.8318
0.6875
0.0749
0.4476
Lampiran 37 Analisis ragam rataan nilai kondisi ternak (NKT) 1-4 minggu
pengamatan
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
0.203
0.006
0.007
0.161
0.372
0.749
Kuadrat Tengah
0.068
0.003
0.007
0.081
0.027
F-Hitung
2.54
0.11
0.26
3.03
P-Value
0.0985
0.8998
0.6186
0.0804
Lampiran 38 Analisis ragam rataan nilai kondisi ternak (NKT) 5-8 minggu
pengamatan
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
0.361
0.019
0.001
0.071
0.337
0.790
Kuadrat Tengah
0.120
0.010
0.001
0.036
0.024
F-Hitung
5.00
0.40
0.05
1.48
P-Value
0.0145
0.6763
0.8349
0.2602
110
Lampiran 39 Analisis ragam rataan nilai kondisi ternak (NKT) 8-12 minggu
pengamatan
Sumber Keragaman
Kelompok
BST
Pakan
BST*Pakan
Galat
Total
db
3
2
1
2
14
22
Jumlah Kuadrat
0.300
0.039
0.007
0.039
0.351
0.737
Kuadrat Tengah
0.100
0.020
0.007
0.020
0.025
F-Hitung
3.98
0.78
0.29
0.78
P-Value
0.0304
0.4780
0.5973
0.4780
Download