INJEKSI BOVINE SOMATOTROPIN (bST) DAN PENAMBAHAN KONSENTRAT PADA SAPI HOLSTEIN LAKTASI DI DATARAN TINGGI CIKOLE, LEMBANG ELVIA HERNAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 2 ABSTRAK ELVIA HERNAWAN. Injeksi Bovine Somatotropin (bST) dan Penambahan Konsentrat pada Sapi Holstein Laktasi di Dataran Tinggi Cikole, Lembang. Di bawah bimbingan WASMEN MANALU, SYAHRUN HAMDANI NASUTION, dan NASTITI KUSUMORINI Sebanyak 24 ekor sapi Holstein laktasi yang dipelihara di dataran tinggi telah digunakan untuk mempelajari respons fisiologis terhadap injeksi somatotropin. Penelitian dirancang menggunakan rancangan acak kelompok dengan pola faktorial 3x2. Faktor pertama adalah injeksi somatotropin (bST) dengan 3 level, yang terdiri atas injeksi nonbST atau kontrol (plasebo yang diberi injeksi 1 mL sesame oil/ekor/hari), injeksi bST harian (36 mg/ekor/hari), dan injeksi bST selang 14 hari. (500 mg/ekor/14hari). Faktor ke dua adalah penambahan konsentrat dengan 2 level, yang terdiri atas pakan standar dan pakan standar ditambah 25% konsentrat. Parameter yang diukur meliputi denyut jantung, frekuensi pernapasan, suhu tubuh, nilai hematokrit, kadar hemoglobin, glukosa, trigliserida, nitrogen urea, kortisol, T4, T3 dalam darah, produksi susu, produksi 4% FCM (fat corrected milk), komposisi susu, bobot tubuh, pertambahan bobot tubuh, konsumsi bahan kering, efisiensi produksi susu dan nilai kondisi ternak, Injeksi somatotropin nyata meningkatkan denyut jantung dan frekuensi pernapasan demikian pula pemberian pakan standar ditambah 25% konsentrat nyata meningkatkan konsumsi bahan kering pakan. Terdapat interaksi antara injeksi bST dan penambahan 25% konsentrat pada produksi susu dan pertambahan bobot tubuh. Injeksi somatotropin pada sapi yang diberi pakan standar (sesuai dengan kebutuhan) dapat meningkatkan produksi susu sebesar 1726%, sedangkan injeksi bST dan pakan yang ditambah 25% konsentrat cenderung menurunkan produksi susu, namun meningkatkan bobot tubuh, khususnya pada sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari. Kata kunci: Bovine somatotropin, Holstein, konsentrat, produksi susu, dataran tinggi. 3 ABSTRACT ELVIA HERNAWAN. Bovine Somatotropin Injection and Concentrate Supplementations in Lactating Holstein Cows in the Highland Cikole, Lembang. Under the supervision of WASMEN MANALU, SYAHRUN HAMDANI NASUTION, and NASTITI KUSUMORINI Twenty four lactating Holstein cows were used to study the effect of bovine somatotropin injection and concentrate supplementations in lactating cows in the highland Cikole Lembang. The experimental cows were assigned into a Randomized Block Design with a 3 x 2 factorial arrangement. The first factor was somatotropin injection with three levels (nonbST injection, daily injection, and biweekly injection). The second factor was concentrate supplementation with two levels (fed standard ration and standard ration plus 25% concentrate.) Parameters measured were heart rate, respiration frequency, rectal temperature, hematocrit, hemoglobin, glucose, triglyceride, blood urea nitrogen, cortisol, thyroxine, triiodothyronine concentrations in the blood, weight gain, dry matter intake, milk production efficiency, and body condition score, milk production, 4% FCM (fat corrected milk), milk composition, weight gain, dry matter intake, milk production efficiency, and body condition score. Bovine Somatotropin injection significantly increased heart rate and respiration rate. Concentrate supplementation increased dry matters intake. There were an interaction between bST and concentrate supplementation on milk production and weight gain. Bovine somatotropin injection in cows fed standart ration increased milk production by 17–26%, but injection in cows fed ration with 25% concentrate decreased milk production but showed increase weight gain. Daily and biweekly somatotropin supplementation did not significantly affect milk production. Keywords: Holstein, Bovine somatotropin, concentrate, milk production, highland 4 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan judul Injeksi Bovine Somatotropin (bST) dan Penambahan Konsentrat pada Sapi Holstein Laktasi di Dataran Tinggi Cikole, Lembang adalah benar-benar asli karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapa pun serta belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Bogor, Mei 2007 Elvia Hernawan NIM G 361020161 5 INJEKSI BOVINE SOMATOTROPIN (bST) DAN PENAMBAHAN KONSENTRAT PADA SAPI HOLSTEIN LAKTASI DI DATARAN TINGGI CIKOLE, LEMBANG ELVIA HERNAWAN Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Biologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 6 7 PENGUJI LUAR KOMISI I. Ujian Tertutup tanggal 24 April 2007 Dr. Ir. Bagus Pryo Purwanto Staf Pengajar Departemen Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. II. Ujian Terbuka tanggal 28 Mei 2007 1. Dr. Ir. Chalid Talib MS Peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan , Departemen Pertanian. 2. Dr. Ir. Suryahadi DEA Staf Pengajar Departemen Nutrisi dan Makanan Ternak, Institut Pertanian Bogor. 8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 25 Desember 1951 sebagai anak ke empat dari 12 bersaudara pasangan R. H. Ma’mun Hernawan dan R. Hj. Siti Halimah Zyin. Pendidikan SD diselesaikan pada tahun 1963 di SD Palasari Bandung, SMP diselesaikan pada tahun 1966 di SMPN V Bandung, dan SMA di selesaikan pada tahun 1969 di SMAN II Bandung . Pada tahun 1970 penulis tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung dan menyandang gelar Sarjana Peternakan pada tahun 1977. Pada tahun 1985 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Ternak, Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, melalui beasiswa TMPD dari Ditjen DIKTI, DEPDIKBUD dan memperoleh gelar Magister Sain (MS) pada tahun 1989. Pada bulan September 2002 penulis tercatat sebagai mahasiwa Program Doktor pada Program Studi Biologi, Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan status swadana. Pada bulan September 2003 mendapat beasiswa dari BPPS Ditjen DIKTI, DEPDIKNAS. Penulis menikah dengan Ir. Burhanudin Soelaeman pada bulan Desember 1979 dan dikaruniai tiga anak, yaitu Gia Ginanjar S. Burhanudin, Gerry Nugraha S. Burhanudin, dan Gistya Gemma Rahayu S. Burhanudin. Penulis tercatat menjadi staf pengajar di Laboratorium Fisiologi dan Biokimia, Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran Bandung. 9 PRAKATA Alhamdulillah wa syukurillah atas berkah dan rahmat Allah SWT, penulis dapat berhasil menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya ilmiah yang berjudul Injeksi Bovine Somatotropin (bST) dan Penambahan Konsentrat pada Sapi Holstein Laktasi di Dataran Tinggi Cikole Lembang yang telah dilaksanakan sejak bulan Juni 2005 sampai Maret 2006. Pada kesempatan ini tak lupa penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada 1. Prof. Ir. Wasmen Manalu Ph.D Ketua komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama penulis mengikuti program S3. 2. Drh. Syahrun Hamdani Nasution Ph.D anggota komisi pembimbing yang telah memberikan saran, dorongan, dan koreksi dalam penyempurnaan penelitian disertasi. 3. Dra. Nastiti Kusumorini Ph.D anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan koreksi dalam penyempurnaan penelitian disertasi. 4. Dr. Ir. Bagus Pryo Purwanto penguji luar komisi pada ujian tertutup yang telah memberikan saran dan koreksi dalam penyempurnaan disertasi. 5. Dr.Ir. Chalid Talib MS penguji luar komisis pada ujian terbuka yang telah memberikan saran dan koreksi dalam penyempurnaan disertasi. 6. Dr. Ir. Suryahadi DEA penguji luar komisi pada ujian terbuka yang telah memberikan masukan dalam penyempurnaan disertasi. 7. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana Insitut Pertanian Bogor yang telah memberikan fasilitas yang terbaik selama penulis menimba ilmu di program S3. 8. Departemen Pendidikan Nasional dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah mendanai penulis melalui BPPS (Beasiswa Pendidikan program Pascasarjana) saat mengikuti pendidikan Program Doktor di Insitut Pertanian Bogor . 9. Rektor Universitas Padjadjaran, Padjadjaran, Dekan Fakultas Peternakan, Universitas dan Kepala Laboratorium Fisiologi dan Biokimia, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran beserta staf, yang telah memberi 10 kesempatan untuk mengikuti program S3 dan dorongan yang tak henti- hentinya. 10. Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dan Kepala Balai Peningkatan Produksi Ternak Perah, Balai Pelatihan, Balai Pengujian Sarana Produksi Peternakan Pakan, dan Balai Penyidikan Penyakit dan Kesmavet di Cikole Lembang, yang telah memberikan izin dan fasilitas penelitian pada saat penulis melaksanakan pengumpulan data 11. Bunda, Ibu Hj. Siti Halimah Zyin Hernawan, Keluarga besar Bpk R.H. Mamun Hernawan dan Keluarga besar Bpk H.Soelaeman yang telah memberikan doa, dorongan bantuan berupa materi dan spriritual yang tidak ternilai kepada penulis. 12. Suami tercinta Ir. Burhanudin Soelaeman MM, buah hati tersayang Gia Ginanjar BS, Gerry Nugraha BS, dan Gistya Gemma Rahayu BS, yang telah memberikan pengertian dan dorongan dengan penuh keikhlasan, serta kesempatan yang luas, sehingga banyak waktu-waktu keluarga yang tersita selama penulis mengikuti program S3. 13. Bapak K.H Aan Mustafa Kamil beserta keluarga besar Tariqoh Assadzaliah yang telah memberi semangat dan dorongan spiritual, siraman rohani yang menyejukkan selama mengikuti program S3. 14. Dr. Ir. Aslamiyah MS dan Ir. Arief Nasution MS (dari Universitas Hasanudin), teman seperjuangan menimba ilmu di program S3, yang telah banyak membantu dan memberi semangat selama mengikuti program S3. 15. Grup Somatotropin (Gatot Muslim, SPt, M.Si, La Eddy SPd M.Si dari Ternate, Dr. Ir. Hudiana Hernawan MS, Ni Wayan M.Si dari Udayana) yang telah bahu membahu dalam persiapan dan pelaksanaan penelitian, dengan suasana penuh canda tawa dan kekeluargaan. 16. Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor beserta jajarannya, yang telah banyak memberikan fasilitas dan bantuan kepada penulis selama mengikuti program S3 17. Poppy, Yudi, Titta, Ida, Nining, Caca, Cecen, Dedih, Mang Ade, Ayun dan Poniman, group Cikole adalah kawan- kawan setia yang telah menemani dan membantu dengan tanpa pamrih dalam pengumpulan data selama penelitian. 11 18. Ibu Asmarida, Ibu Sri dan Pak Wawan dari Laboratorium Fisiologi, Departemen AFF, FKH IPB, yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian penelitian di laboratorium. 19. Dinda Dr. Dra. Iis Arifiantini MSi beserta keluarga yang telah banyak tersita waktunya untuk membantu saat akhir penyelesaian disertasi ini. 20. Rekan-rekan dan semua pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang terlibat dalam pelaksanaan dan penulisan disertasi ini. Akhirulkalam semoga amal dan budi baik yang telah diberikan kepada penulis menjadikan pahala dan mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, Sang Maha Pemberi dan Pengabul. Kunfayakun! Semoga Karya Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan khasanah biologi khususnya peternakan di Indonesia. ` Bogor, Mei 2007 ELVIA HERNAWAN 12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................... i DAFTAR TABEL ...................................................................................... ii DAFTAR GAMBAR ................................................................................. iii DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. v PENDAHULUAN ..................................................................................... Latar Belakang .................................................................................. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... Hipotesis ......................................................................................... 1 1 5 6 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ Sapi Perah di Indonesia .................................................................. Masa Laktasi .................................................................................. Homeostasis ................................................................................... Somatotropin dan Mekanisme Kerja .............................................. Somatotropin, IGF-I, dan Produksi Susu ....................................... Somatotropin, Metabolisme, dan Produksi Susu ........................... Somatotropin, Kesehatan Ternak dan Keamanan Pangan ............. 7 7 9 10 11 16 18 22 MATERI DAN METODE PENELITIAN ................................................. Materi Penelitian ............................................................................ Metode Penelitian .......................................................................... Alir Penelitian ................................................................................ Peubah yang Diamati dan Cara Pengukuran .................................. Analisis Statistik ............................................................................ 25 25 25 27 29 34 HASIL ........................................................................................................ Status Faali dan Hematologi ................................................................ Metabolit Darah dan Hormon Metabolisme .................................. Produksi Susu...................................................................................... Komposisi Susu dan Berat Jenis Susu ........................................... Tubuh, Konsumsi Bahan Kering, Efisiensi Produksi Susu, dan Nilai Kondisi Ternak ...................................................................... 36 36 40 46 53 PEMBAHASAN ......................................................................................... 65 SIMPULAN ............................................................................................... 89 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 90 LAMPIRAN ............................................................................................... 99 57 13 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Komposisi asam-amino somatotropin manusia, sapi, domba, dan babi ............................................................................................... 13 Tabel 2 Komposisi pakan sapi perah laktasi di BPPTP Cikole ................. 28 Tabel 3 Kandungan nutrisi pakan penelitian, imbangan hijauan dan konsentrat pakan, dan angka kebutuhan nutrien sapi penelitian .. 28 Tabel 4 Rataan denyut jantung, frekuensi pernapasan, suhu tubuh, nilai hematoktit dan kadar hemoglobin sapi yang diinjeksi bST dan ditambah konsentrat selama 84 hari (12 minggu) pengamatan .... 37 Tabel 5 Rataan kadar metabolit dan hormon metabolisme pada sapi yang diinjeksi bST dan ditambah konsentrat selama 84 hari (12 minggu) pengamatan .................................................................... 41 Tabel 6 Rataan produksi susu dan 4% FCM pada sapi yang disuplementasi bST dan pakan selama 84 hari (12 minggu) pengamatan .................................................................................. 47 Tabel 7 Hubungan produksi susu dan waktu perlakuan dari masingmasing kombinasi perlakuan selama 84 hari (12 minggu) pengamatan .................................................................................. 52 Tabel 8 Rataan komposisi dan bobot jenis susu pada sapi yang diinjeksi bST dan ditambah konsentrat selama 84 hari (12 minggu) pengamatan .................................................................................. 54 Tabel 9 Bobot tubuh, pertambahan bobot tubuh, konsumsi bahan kering dan efisiensi produksi susu, dan nilai kondisi ternak sapi yang diinjeksi bST dan ditambah konsentrat selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ............................................................. 58 14 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Kurva Produksi Susu selama Laktasi (Alim et al. 2001) ......... 9 Gambar 2 Aktivitas langsung dan tidak langsung ST pada pertumbuhan dan metabolisme (Kamil et al. 2001) ....................................... 15 Gambar 3 Koordinasi antarjaringan dalam adaptasi metabolik pada sapi laktasi yang diinjeksi bST (Aker 2002) ................................... 21 Gambar 4 Alir Penelitian .......................................................................... 27 Gambar 5 Rataan denyut jantung efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan .............................................................................. 36 Gambar 6 Rataan frekuensi pernapasan efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan .............................................................................. 38 Gambar 7 Rataan suhu tubuh efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan .............................................................................. 39 Gambar 8 Rataan nilai hematokrit efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan .............................................................................. 39 Gambar 9 Rataan kadar hemoglobin efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan .............................................................................. 40 Gambar 10 Rataan kadar glukosa serum efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan .............................................................................. 42 Gambar 11 Rataan kadar trigliserida serum efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan .............................................................................. 43 Gambar 12 Rataan kadar nitrogen urea serum efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan .............................................................................. 43 Gambar13 Rataan kadar kortisol serum efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan .............................................................................. 44 Gambar 14 Rataan kadar T4 serum efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan .............................................................................. 45 Gambar 15Rataan kadar T3 serum efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan .............................................................................. 45 15 Gambar 16 Rataan produksi susu (kg/minggu) masing-masing kombinasi perlakuan selama penelitian ............................................................. 46 Gambar 17 Interaksi injeksi bST harian, injeksi bST selang 14 hari, dan pakan satandar (P1), pakan standar ditambah 25% konsentrat (P2) ............................................................................................... 49 Gambar 18 Hubungan produksi susu dan waktu perlakuan dari masingyang lebih rendah masing kombinasi perlakuan selama 84 hari (12 minggu) ...................................................................................... 51 Gambar19 Rataan produksi susu 4% FCM efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ...................................................................................... 53 Gambar 20 Rataan protein susu (%) efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ...................................................................................... 55 Gambar21 Rataan lemak susu (%) efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ...................................................................................... 55 Gambar 22 Rataan BKTL susu (%) efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ................................................................................... 56 Gambar 23 Rataan bobot jenis susu efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ...................................................................................... 56 Gambar 24 Rataan bobot tubuh efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ...................................................................................... 57 Gambar 25 Interaksi injeksi bST harian, injeksi bST selang 14 hari, dan pakan standar (P1), pakan standar ditambah 25% konsentrat (P2) pada penambahan bobot tubuh ................................................. 59 Gambar 26 Rataan konsumsi bahan kering efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ...................................................................................... 59 Gambar 27 Rataan efisiensi produksi susu (EPS) efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ........................................................................ 60 Gambar 28 Rataan nilai kondisi ternak (NKT) efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ...................................................................................... 61 16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Analisis ragam rataan denyut jantung selama 84 hari pengamatan ......................................................................... 91 Analisis ragam rataan frekuensi pernapasan selama 84 hari pengamatan ......................................................................... 91 Analisis ragam rataan suhu tubuh selama 84 hari pengamatan ......................................................................... 91 Analisis ragam rataan nilai hematokrit selama 84 hari pengamatan ......................................................................... 92 Analisis ragam rataan kadar hemoglobin selama 84 hari pengamatan ......................................................................... 92 Analisis ragam rataan glukosa serum selama 84 hari pengamatan ......................................................................... 92 Analisis ragam rataan nitrogen urea serum selama 84 hari pengamatan ......................................................................... 92 Analisis ragam rataan trigliserida serum selama 84 hari pengamatan ......................................................................... 93 Analisis ragam rataan kortisol serum selama 84 hari pengamatan ......................................................................... 93 Lampiran 10 Analisis ragam rataan T4 serum selama 84 hari pengamatan ......................................................................... 93 Lampiran 11 Analisis ragam rataan T3 serum selama 84 hari pengamatan ......................................................................... 93 Lampiran 12 Analisis ragam total produksi susu bulan ke-1 perlakuan ... 89 Lampiran 13 Analisis ragam total produksi susu bulan ke-2 perlakuan ... 89 Lampiran 14 Analisis ragam total produksi susu bulan ke-3 perlakuan ... 89 Lampiran 15 Analisis ragam total produksi susu selama 84 hari pengamatan ......................................................................... 89 Lampiran 16 Analisis ragam produksi susu 4% FCM selama 84 hari pengamatan ......................................................................... 90 Lampiran 17 Analisis ragam rataan kadar protein susu selama 84 hari pengamatan ......................................................................... 90 Lampiran 18 Analisis ragam rataan kadar lemak susu selama 84 hari pengamatan ......................................................................... 90 Lampiran 19 Analisis ragam rataan kadar berat kering tanpa lemak selama 84 hari pengamatan ................................................. 90 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8 Lampiran 9 Lampiran 20 Analisis ragam rataan bobot jenis susu selama 84 hari pengamatan ......................................................................... 17 Lampiran 21 Analisis ragam bobot tubuh awal sapi uji ........................... 94 Lampiran 22 Analisis ragam bobot tubuh akhir ....................................... 94 Lampiran 23 Analisis ragam pertambahan bobot tubuh selama penelitin ............................................................................................... 94 Lampiran 24 Analisis ragam rataan bobot tubuh selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ........................................................... 94 Lampiran 25 Analisis ragam rataan konsumsi bahan kering selama 84 hari pengamatan .................................................................. 94 Lampiran 26 Analisis ragam efisiensi produksi susu selama 84 hari (12 minggu) pengamatan ........................................................... 95 Lampiran 27 Analisis ragam rataan nilai kondisi ternak 1-4 minggu pengamatan ......................................................................... 95 Lampiran 28 Analisis ragam rataan nilai kondisi ternak 5-8 minggu pengamatan ......................................................................... 95 Lampiran 29 Analisis ragam rataan nilai kondisi ternak 8-12 minggu pengamatan ......................................................................... 95 Lampiran 30 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan .................................................................................. 108 Lampiran 31 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan .................................................................................. 108 Lampiran 32 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan .................................................................................. 109 Lampiran 33 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan .................................................................................. 109 Lampiran 34 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan .................................................................................. 109 Lampiran 35 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan .................................................................................. 110 18 PENDAHULUAN Latar Belakang Angka konsumsi susu di Indonesia saat ini tercatat paling rendah di Asean, yaitu 7 kg/kapita/tahun atau setara dengan 19 cc/kapita/hari, sedangkan Malaysia, Thailand dan Bangladesh mempunyai rataan konsumsi susu di atas 20 kg/kapita/tahun. Berdasarkan data produksi susu segar yang dilaporkan Direktorat Jenderal Peternakan (2005) menunjukkan adanya peningkatan produksi susu dari tahun 2002, 2003, 2004, dan 2005 yang secara berturut-turut sebesar 493 375; 553 442; 550 000; dan 550 000 ton. Namun demikian, produksi susu dalam negeri baru dapat mensuplai sekitar 30% saja sehingga kekurangannya yaitu 70% atau sebanyak 1 425 200 ton diimpor dalam bentuk susu olahan dari Selandia Baru, Australia, Irlandia, Belanda, Filipina, dan Thailand. Kegiatan impor susu ditengarai sebagai akibat rendahnya produksi susu dalam negeri, dan di samping itu juga akibat kesenjangan yang kian melebar antara angka kebutuhan konsumsi dan produksi susu dalam negeri. Pada tahun 2005 populasi sapi perah di Indonesia adalah sekitar 374 000 ekor dan hampir 91,1% dikelola dalam usaha yang berbasis peternakan rakyat dengan produksi susu yang masih rendah, yaitu berkisar antara 8 dan 10 L/ekor/hari atau antara 2 500 dan 3 000 L/laktasi. Sejumlah 8,9% lainnya dikelola dalam perusahaan komersial dengan produksi susu antara 3 000 dan 5 000 L/laktasi. Berdasarkan asal usulnya, sapi perah yang banyak dipelihara di Indonesia adalah bangsa FH yang berasal dari negara beriklim subtropis/temperate, yang telah mengalami proses adaptasi lingkungan. Namun, hasil produksinya masih jauh di bawah rataan sapi-sapi perah di negara asalnya, yakni 7 342 kg/laktasi (Talib et al. 2003). Indonesia termasuk daerah tropis lembab yang dicirikan oleh suhu lingkungan, kelembaban, dan curah hujan yang tinggi. Sapi perah termasuk hewan homoioterm yang akan selalu menjaga keseimbangan antara panas tubuhnya dengan lingkungan disekeliling. Perubahan lingkungan luar akan segera diikuti dengan perubahan lingkungan dalam tubuh, dan dikembalikan ke kondisi semula agar seluruh kerja sistem organ kembali ke dalam keadaan normal, atau dikenal 2 dengan proses homeostasis. Konsep homeostasis melibatkan keseimbangan panas, kegiatan organ sirkulasi, kardiovaskular, dan lain-lain. Perubahan lingkungan dalam tubuh akan menimbulkan serangkaian perubahan reaksi biokimia dalam tubuh, yang berdampak pada aktivitas sel dan kerja organ yang pada gilirannya menyebabkan banyak energi yang digunakan hanya untuk mempertahankan kondisi tubuh atau untuk hidup pokok. Proses yang jika berlangsung cukup lama dan berkesinambungan ini akan mempengaruhi penggunaan energi, sedangkan produksi yang dihasilkan ternak merupakan kelebihan energi setelah digunakan untuk mengelola atau mempertahankan kebutuhan hidup pokok. Ternak dalam kondisi tersebut di atas cenderung menurunkan level konsumsi pakan bila berada di daerah panas. Proses tersebut diyakini sebagai penyebab rendahnya produktivitas ternak di daerah panas karena serangkaian proses metabolisme tubuh yang harus dilakukan untuk mempertahankan sistem kerja organ-organ tubuh. Sapi perah asal subtropis akan berkembang biak secara baik dengan produksi susu yang cukup tinggi pada daerah yang mempunyai ketinggian dari 750 sampai 1 250 m di atas permukaan laut, yang memiliki kisaran suhu udara antara 17 dan 22°C dan kelembaban di atas 55% (Atmadilaga 1979). Hasil penelitian di Thailand, yang juga negara tropis, menunjukkan bahwa sapi-sapi perah subtropis dapat beraklimatisasi dengan baik pada suhu di bawah 18°C dan kelembaban di atas 55% (Siregar et al. 2003). Dengan alasan ini, populasi sapi perah di Indonesia tersebar di daerah-daerah tertentu saja, khususnya yang mempunyai kesamaan iklim dengan daerah asalnya. Dalam menanggulangi permasalahan tentang kesenjangan antara produksi susu dan kebutuhan konsumsi susu nasional, pemerintah dalam kebijakan peningkatan produksi dan kualitas susu tahun 2010 mencanangkan peningkatan suplai susu dalam negeri dari 30 menjadi 40% melalui peningkatan produksi susu dari 8-10 L menjadi 15L/ekor/hari, kepemilikan ternak dari 4-6 ekor menjadi 10 ekor/kepala keluarga (Departemen Pertanian 2006). Sebagai tindak lanjut maka berbagai upaya peningkatan produktivitas ternak telah banyak dilakukan, di antaranya dengan memanipulasi lingkungan, nutrisi, bahkan reproduksi melalui inseminasi buatan dan trasfer embrio. Namun, hasilnya dipandang belum memuaskan. Upaya peningkatan melalui aplikasi hasil bioteknologi belum banyak 3 dilaporkan, sementara di luar negeri penggunaan produk bioteknologi seperti hormon pertumbuhan rekombinan sudah luas di kalangan peternak. Somatotropin sapi rekombinan atau bovine somatotropin (bST) rekombinan telah dikenal sejak tahun 80-an, yang merupakan hasil bioteknologi khususnya dalam manipulasi genetik, reproduksi dan fisiologi, dan aplikasinya sangat mewarnai perubahan dalam industri peternakan. Mekanisme kerja somatotropin dalam peningkatan produksi susu pada sapi laktasi secara langsung terlibat dalam penggalangan nutrisi. Sementara aktivitas sintesis susu dalam kelenjar susu tidak secara langsung oleh kerja ST karena di dalam sel-sel kelenjar susu hampir tidak ditemukan reseptor ST, namun reseptor IGF-1 banyak djumpai sehingga para peneliti meyakini bahwa perangsangan produksi susu melalui injeksi bST pada sapi laktasi dimediasi oleh insulin like growth factor-1 (IGF-1). Hal ini terlihat jelas adanya peningkatan konsentrasi IGF-1 mencapai 3 sampai 4 kali lipat setelah diberi perlakuan ST, dan peningkatan akan terus berlanjut selama perlakuan. Somatotropin pada sapi laktasi berperan dalam proses-proses yang berkaitan erat dengan penggalangan nutrien untuk kebutuhan sintesis susu sehingga perangsangan produksi susu melalui injeksi ST berdampak pada metabolisme. Peningkatan sintesis susu memerlukan sejumlah tambahan nutrien baik substrat atau prekursor sehingga sebagai konsekuensinya aliran darah menuju kelenjar susu perlu ditingkatkan. Dalam penggalangan nutrien, ST berperan sebagai agen homeorhesis dengan melakukan serangkaian adaptasi metabolisme dalam tubuh. Semakin tersedianya ST hasil isolasi pituitari atau rekayasa genetika, penggunaan ST dalam industri peternakan semakin berkembang pesat. Hasil ulasan Peel dan Bauman (1987), Chalupa dan Galligan (1989) menyimpulkan bahwa penggunaan ST tidak memberikan dampak yang merugikan pada ternak, bahkan akan tampak seperti produksi susu dari jenis genetik unggul jika diberikan pada sapi yang berproduksi tinggi. Injeksi ST pada sapi-sapi yang berproduksi rendah dengan manajemen yang baik akan memberikan respons yang lebih baik dibandingkan dengan sapi yang berproduksi tinggi. Bovine somatotropin (bST) semakin populer di kalangan peternak, dan penggunaan bST dilakukan dengan cara injeksi harian atau injeksi dengan selang 4 waktu tertentu (14 atau 28 hari). Cara injeksi tersebut di atas akan berdampak pada konsentrasi ST dalam darah yang pada gilirannya akan berdampak pada kerja ST dalam penggalangan nutrisi. Injeksi bST selang 14 hari dilaporkan menghasilkan produksi susu yang lebih rendah, yaitu hanya 70-79% dibandingkan dengan cara injeksi bST harian, namun dipandang lebih efektif untuk aplikasi di lapangan (Chilliard 1989, Jenny et al.1992, Etherton&Bauman 1998). Penambahan hormon eksogen berpengaruh pada konsentrasi hormon– hormon lain yang saling berkaitan secara metabolis. Respons sapi laktasi terhadap injeksi bST akan meningkatkan sekresi susu harian atau mingguan, dan peningkatan produksi susu akan dipertahankan selama pemberian yang berkesinambungan (Akers 2002), tetapi akan cepat kembali ke level basal ketika injeksi bST dihentikan ( Manalu 2001; Akers 2002). Injeksi ST dalam industri peternakan saat ini dianggap merupakan suatu terobosan dari hasil bioteknologi yang cukup ekonomis dan efisien, sekalipun dibandingkan dengan upaya pemberantasan penyakit, vaksinasi atau penggunaan bioteknologi reproduksi (Hardjopranjoto 2001). Somatotropin sangat menjanjikan peningkatan produktivitas serta efisiensi penggunaan pakan pada sapi perah. Penggunaan bST pada tingkat peternak dapat meningkatkan rataan produksi susu hingga 5 kg/hari atau berkisar antara 15 dan 20% tanpa menimbulkan penyakit metabolis atau perubahan kualitas susu yang berarti (Manalu 1994), bahkan laporan terakhir peningkatan produksi susu dapat mencapai antara 30 dan 40% bergantung pada dosis pemakaian (Akers 2002). Namun, demikian pasokan pakan yang diberikan perlu mendapat perhatian, khususnya dalam hal keseimbangan nutrisi pakan agar bisa mendukung penggalangan pasokan bahan sintesis susu. Pakan sapi perah terdiri atas penyusun pakan terbesar berupa hijauan dan konsentrat sebagai tambahan. Keseimbangan antara hijauan dan konsentrat akan berpengaruh pada produksi dan komposisi susu. Pakan melalui proses fermentasi rumen akan menghasilkan sejumlah asam lemak terbang (asam asetat, asam propionat, asam butirat) yang akan digunakan sebagai sumber energi utama (Akers 2002). Hijauan secara kuantitas cenderung berpengaruh pada produksi asam asetat dan berkaitan erat dengan kadar lemak susu serta penyediaan rangka karbon, sedangkan konsentrat berpeluang untuk meningkatkan produksi asam 5 propionat yang melalui proses glukoneogenesis dalam hati akan diubah menjadi glukosa. Glukosa merupakan substrat dan prekursor yang sangat dibutuhkan dalam proses sintesis susu khususnya dalam sintesis laktosa. Untuk dapat meningkatkan produksi susu perlu dilakukan penambahan sumber glukosa yang tiada lain dari konsentrat. Peningkatan produksi susu melalui injeksi bST pada usaha sapi perah kiranya dapat dijadikan salah satu jalan pintas bagi penyediaan kebutuhan konsumsi susu dalam negeri. Namun, perlu penjajagan ke arah tersebut. Untuk mendapatkan data konkrit khususnya bagi peternakan di Indonesia yang berlatar belakang iklim tropis, dan dicirikan rendahnya produktivitas yang diakibatkan oleh suhu lingkungan dan kelembaban tinggi, maka perlu dilakukan penelitian tentang injeksi somatotropin (bST) pada sapi laktasi di dataran tinggi. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan mengkaji potensi sapi perah yang sudah beradaptasi dengan iklim Indonesia dalam merespons injeksi bST dan penambahan konsentrat dalam upaya peningkatan produktivitas ternak. Tujuan penelitian secara rinci : 1. Membandingkan efektivitas selang waktu injeksi bST dan penambahan 25% konsentart pada profil metabolit dan hormon metabolisme darah yang erat kaitannya dengan sintesis susu. 2. Membandingkan pengaruh selang waktu injeksi bST dan penambahan 25% konsentrat pada produksi susu dan komposisi susu. 3. Membandingkan efisiensi produksi susu masing-masing selang waktu injeksi bST dan penambahan 25% konsentrat. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah khasanah biologi dalam penerapan produk bioteknologi, yaitu somatotropin rekombinan dan selanjutnya dapat dijadikan informasi dasar bagi para peternak atau penentu kebijakan dalam upaya peningkatan produktivitas sapi perah nasional. 6 Hipotesis Injeksi bST selang 14 hari dan penambahan 25% konsentrat pada sapi Holstein laktasi akan menghasilkan produksi susu dan komposisi yang sama dengan hasil injeksi bST harian dan pakan standar, yang dinilai melalui perubahan status faali, hematologi, metabolit, hormon metabolisme, bobot tubuh, konsumsi bahan kering, efisiensi produksi susu, dan nilai kondisi ternak. 7 TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah di Indonesia Rumpun sapi perah Fries Holstein (FH) banyak dipelihara di Indonesia. Rumpun sapi perah ini berasal dari daerah subtropis atau lebih jelasnya dari provinsi Holland Utara dan Friesland Barat Belanda. Berdasarkan asal usulnya, rumpun sapi ini dikembangkan dari nenek moyang sapi liar Bos (Taurus) Typicus primigenius dan telah diternakkan di negeri Belanda sekurang-kurangnya 2000 tahun. Sapi FH mempunyai ciri-ciri kepala panjangnya sedang, mulut lebar dengan hidung terbuka lebar, rahang kuat, dahi lebar, leher panjang dan pipih. Selain itu, sapi FH mempunyai punggung kuat dan rata dengan ruas-ruas tulang belakang yang rapih hubungannya, dan pinggang lebar dan kuat. Kedudukan keempat kaki sapi FH membentuk empat persegi panjang, dan bentuk kaki halus tetapi tampak kuat. Warna tubuh pada umumnya belang hitam putih, tetapi di negeri Belanda bagian timur dan di Jerman terdapat kelompok sapi yang berwarna belang merah putih (Sosroamidjojo & Soeradji 1978). Pada umumnya sapi-sapi Eropa mempunyai kisaran suhulingkungan nyaman yang rendah sehingga lebih toleran terhadap suhu lingkungan dingin dibandingkan suhu lingkungan panas. Agar sapi perah FH dapat memberikan produksi maksimal sesuai dengan kemampuan genetiknya, perlu lokasi yang mempunyai lingkungan mikro yang hampir menyamai tempat asalnya. Wilayah yang sesuai untuk pengembangan sapi perah adalah daerah yang memiliki suhu lingkungan antara 0 dan 20ºC, sedangkan suhu kritis untuk sapi Holstein, Brown Swiss, dan Brahman secara berturut-turut adalah 21; 24-27; 32ºC (Hafez 1968). Sapi perah akan berproduksi maksimal pada suhu lingkungan antara 4,4 dan 21,1ºC dengan tingkat kelembaban berkisar antara 60 dan 80%. Kenaikan suhu lingkungan akan menurunkan konsumsi pakan dan produksi susu sementara konsumsi air meningkat (Schmidt 1971). Sekitar abad ke-19 sapi FH pertama kali didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Belanda untuk memenuhi kebutuhan susu bagi bangsa Belanda yang ada di Indonesia. Indonesia terletak di daerah tropis yang sangat sedikit daerah curah hujan rendah dan musiman, radiasi sinar matahari yang sangat kuat 8 sehingga kombinasi tersebut menyebabkan fluktuasi suhu harian dan kelembaban yang sangat luas. Secara geografis, Indonesia terletak antara 5 dan 7º Lintang Utara dan Lintang Selatan, yang mempunyai suhu yang relatif konstan (± 27ºC), curah hujan yang tinggi berkisar dari 2 032 sampai 3 048 mm (Williamson & Payne 1993). Dalam kurun waktu yang cukup panjang sapi-sapi asal Belanda tersebut mengalami aklimatisasi dengan lingkungan tropis Indonesia, bahkan pada saat ini telah berkembang pesat peranakan FH yang telah lebih beradaptasi dengan lingkungan. Suhu optimal untuk produksi susu sapi yang berasal dari daerah subtropis adalah 10°C (Williamson & Payne 1993). Penampilan produksi masih cukup baik walau suhu lingkungan meningkat sampai 21,1°C (Sutardi, 1981). Suhu kritis yang berdampak pada penurunan produksi susu yang tajam adalah antara 21 sampai 27°C (Williamson & Payne 1993). Tidak mengherankan apabila pemeliharaan sapi FH sebagian besar terkonsentrasi pada daerah-daerah dataran tinggi (±1000 m dpl) seperti Garut, Lembang, Pangalengan, Pujon, Nongkojajar, yang lingkungannya hampir menyamai daerah asalnya (Siregar et al. 2003). Populasi sapi perah di Indonesia menunjukkan perkembangan. Selama kurun waktu 1970 hingga 2001 terjadi peningkatan populasi dari 52 000 ekor menjadi 347 000 ekor, sedangkan sejak tahun 1994 produksi susu tercatat 426 727 ton dan meningkat menjadi 550 000 ton pada tahun 2004 (Direktorat Jenderal Peternakan 2005). Sapi Fries Holstein mempunyai produksi susu yang tinggi (4 000 sampai 5 000 L/tahun), dan di daerah tropis dalam kisaran dari 2 500 sampai 5 000 kg/ laktasi (Pane 1986). Tampaknya sapi Fries Holstein mengalami penurunan produktivitas khususnya pada peternakan rakyat: produksi susu mencapai 8 L/hari dan pada peternakan sapi perah komersial berkisar dari 3 000 sampai 5 000 L/305 hari, sedangkan di negara asalnya rata-rata produksi mencapai 7 342 kg/laktasi (Talib et al. 2003). 9 Masa Laktasi Masa laktasi seekor sapi perah menunjukkan lamanya waktu sapi perah tersebut menghasilkan susu dalam satu periode (Bath et al.1978). Periode laktasi normal berlangsung kira-kira 44 minggu atau 305 hari. Produksi susu sapi perah pada awal laktasi umumnya meningkat secara dramatis dan mencapai puncaknya pada minggu keempat hingga kedelapan setelah partus dan menurun secara perlahan sampai ahir masa laktasi (NRC 1988). Produksi susu selama 2 bulan pertama laktasi mencapai 145% dari rataan produksi satu periode laktasi, sedangkan pada bulan ketiga dan keempat menunjukkan penurunan menjadi 120%, bulan laktasi kelima dan keenam produksi susu sama dengan rataan produksi dalam satu periode laktasi dan setelah itu produksi menjadi 78% pada bulan laktasi ketujuh dan kedelapan, akan menurun hingga 70% ketika menjelang beranak (Tanuwiria 2004). Sebagai gambaran kurva produksi susu selama laktasi Produksi Susu (Kg) disajikan pada Gambar 1. 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 BULAN Gambar 1 Kurva Produksi Susu selama Laktasi (Alim et al. 2001) Produksi susu setiap periode laktasi akan meningkat sejalan dengan bertambahnya umur, dan puncak prestasi produksi dicapai pada umur antara 6 dan 7 tahun. Laktasi pertama sapi betina yang sehat akan terjadi pada umur dua tahun dengan produksi susu 75% dari produksi umur dewasa, laktasi kedua terjadi pada umur tiga tahun dengan produksi 85% dari produksi umur dewasa, laktasi ketiga dan keempat terjadi pada umur antara 4 dan 5 tahun dengan produksi susu antara 10 92% dan 98% dari produksi umur dewasa. Umur dewasa dicapai pada 6 tahun, keadaan ini sedikit bervariasi di antara sapi perah. Jika sapi betina berumur dari 8 sampai 9 tahun atau lebih maka produksi susu akan menunjukkan penurunan setiap laktasi (Schmidt et al. 1988). Jumlah produksi susu per laktasi dari seekor sapi perah sangat dipengaruhi oleh bangsa sapi, umur, musim kelahiran, geografis, masa laktasi, manajemen, nutrien, dan frekuensi pemerahan (Homan & Wattiaux 1996). Selain itu, jumlah produksi susu per laktasi dipengaruhi juga oleh manajemen sehingga lambatnya pengaturan perkawinan dalam periode laktasi akan memungkinkan periode laktasi lebih panjang. Homeostasis Semua ternak merupakan hewan homeotermis yang mempunyai suhu tubuh yang relatif tetap atau mempunyai kisaran suhu tubuh yang sempit. Untuk dapat mempertahankan suhu tubuh yang tetap, ternak harus mampu mengatur keseimbangan antara panas yang diproduksi dari hasil metabolisme seluler dan yang diperoleh dari lingkungan dengan pengeluaran panas dari tubuh (Hafez 1968). Produksi panas tubuh berlangsung secara berkesinambungan di dalam protoplasma sebagai hasil oksidasi zat-zat makanan terutama yang terjadi di dalam tenunan-tenunan otot dan kelenjar. Ternak tetap memerlukan energi untuk menyelenggarakan proses-proses untuk mendukung hidup pokok, yaitu sirkulasi darah, respirasi, gerak otot, ekskresi, dan lain-lainnya (Soeharsono 1984). Selain itu, panas diperoleh secara langsung dari luar tubuh berupa penyerapan melalui permukaan tubuh dari panas matahari (Cole 1962; Hafez 1968). Proses fisiologis hanya akan berlangsung baik apabila kondisi lingkungan luar tubuh (millieu exterieur) dan di dalam tubuh (millieu interieur) berada dalam keseimbangan. Perubahan kondisi lingkungan luar tubuh akan mengubah kondisi lingkungan di dalam tubuh. Pada ternak homoiotermis, perubahan dari luar akan berdampak pada serangkaian proses dalam tubuh untuk mengembalikan ke dalam keadaan yang relatif tetap. Proses tersebut dikenal dengan homeostasis. Setiap individu akan dihadapkan pada dua tipe lingkungan, yakni lingkungan luar (external 11 environment) dan lingkungan dalam tubuh (internal enviroment). Perubahan lingkungan eksternal akan menimbulkan banyak perubahan reaksi biokimia yang berdampak pada gangguan kerja sel dan kerja organ yang mengakibatkan banyak energi yang digunakan hanya untuk mempertahankan kondisi tubuh atau hidup pokok (Soeharsono 1984). Konsep homeostasis menyangkut keseimbangan panas, pengaturan suhu tubuh, keseimbangan kimiawi air, persenyawaan karbon, elektrolit, kardiovaskular dan lain-lain. Kondisi luar yang menimbulkan perubahan di dalam tubuh terjadi terus menerus sehingga lambat laun ternak akan terbiasa dengan perubahan di luar tersebut dan kegiatan proses homeostasis semakin ringan menandakan ternak telah mengalami proses penyesuaian fisiologis. Dalam jangka panjang akan terjadi proses adaptasi, namun tidak memperlihatkan produktivitas yang tinggi (Soeharsono 1984). Somatotropin dan mekanisme kerja Somatotropin (ST) adalah nama ilmiah hormon pertumbuhan (growth hormone atau GH) yang merupakan hormon protein atau hormon polipeptida dengan rangkaian 190-191 residu asam amino yang membentuk satu molekul polipeptida. Somatotropin disintesis dan disekresikan oleh sel-sel somatotrof yang terletak dalam lobus anterior kelenjar pitiutari (Djojosoebagio 1990; Manalu 1994; Soeharsono 2001), dan sekresinya sangat dipengaruhi oleh faktor neural, metabolik, dan hormonal (Djojosoebagio 1990). Fungsi fisiologis hormon ini adalah mempengaruhi proses metabolisme yang menyangkut pertumbuhan melalui stimulasi sintesis protein, meningkatkan transportasi asam amino ke dalam sel, mempengaruhi metabolisme karbohidrat, glukoneogenesis dalam hati, memacu mobilisasi lemak tubuh, dan mempengaruhi metabolisme mineral (Hardjopranjoto 2001; Koentjoko 2001; Soeharsono 2001). Bovine somatotropin (bST) mampu mempercepat pengangkutan asam amino melalui dinding sel ke dalam sitoplasma sehingga dapat menambah konsentrasi asam amino dalam sel. Selain itu, bST juga mampu meningkatkan pembentukan asam ribonukleat (RNA) dalam inti sel sehingga dapat mendorong proses transkripsi dan translasi dalam ribosom di dalam sitoplasma sel (Hardjopranjoto 2001). 12 Secara spesifik terdapat 3 macam bentuk somatotropin. Bentuk pertama adalah ST dengan 191 asam amino, dengan berat molekul 22 kDa, yang mengandung dua jembatan disulfida yang menghubungkan asam amino 53 dan 165 membentuk suatu loop besar dan asam amino 182 dan 189 dekat terminus karboksil dari peptida membentuk loop yang kecil. Bentuk ST ini banyak terdapat dalam kelenjar pituitari. Bentuk kedua adalah ST yang mempunyai urutan asam amino yang sama dengan bentuk pertama, tapi kehilangan 15 asam amino nomor 32-46 dari terminal Amino, dengan berat molekul 20 kDa, dan terdapat sekitar 10 sampai 15% dari hormon pituitari. Bentuk ketiga merupakan dimerisasi 2 bentuk 22 kDa peptida yang dihubungkan dengan ikatan disulfida antar-rantai dengan berat molekul 45 kDa dan hanya ditemukan sekitar 1% dari jumlah hormon pituitari. Secara keseluruhan perbedaan bentuk tersebut menyebabkan adanya perbedaan fungsi biologis somatotropin. Bentuk 20 kDa mempunyai ikatan yang kurang efektif terhadap reseptor hati dan kelenjar susu dibandingkan dengan bentuk 22 kDa, walaupun kedua hormon tersebut sama-sama merangsang pertumbuhan (Kamil et al. 2001). Komposisi asam amino penyusun ST berbeda antarspesies (Tabel 1) sehingga aktivitas biologis ST dari satu spesies tidak akan mempunyai pengaruh apabila disuntikkan ke spesies lain, atau dengan kata lain setiap somatotropin dari satu spesies mempunyai kekhususan sendiri (species specifity) (Turner & Bagnara l988; Djojosoebagio 1990; Soeharsono 2001). Sekresi ST oleh kelenjar hipofisa dilakukan sesuai kebutuhan fisiologis melalui dua faktor, yakni growth hormone releasing factor (GHRF) dan growth hormone inhibiting factor (GHIF) atau somatostatin (Gambar 2). Somatotropin (ST) setelah dikeluarkan oleh pituitari akan diangkut melalui sistem aliran darah, namun dengan sifat molekulnya yang besar hormon ini tidak dapat menerobos membran sel sehingga hormon protein memerlukan kehadiran reseptor spesifik di membran sel (Shahib 2001; Manalu 2001). 13 Tabel 1. Komposisi asam amino somatotropin manusia, sapi, domba, dan babi Asam Amino Lisina Histidina Arginina Aspartat Treonina Serina Glutamat Prolina Glisina Alanina Sistina Valina Metionina Isoleusina Leusina Tirosina Fenilalanina Triptofan Manusia 9 3 11 20 10 18 26 8 8 7 4 7 3 8 26 8 13 1 Sapi 11 3 13 16 12 13 24 6 10 15 4 6 4 7 27 6 13 1 Domba 13 3 13 16 12 12 25 8 10 14 4 7 4 7 22 6 13 1 Babi 11 3 12 15 7 14 24 7 8 16 4 8 3 6 24 7 12 1 Sumber : Hariadi et al. (2001) Reseptor ST adalah suatu glikoprotein berantai tunggal dari 620 asam amino dengan suatu domain ekstraseluler yang luas (246 residu asam amino), domain transmembran tunggal (24 residu), dan domain sitoplasmik yang panjang (350 residu). Reseptor ST terdapat dalam dua bentuk, yaitu reseptor yang berafinitas tinggi dan rendah. Reseptor berafinitas tinggi sangat spesifik dikaitkan dengan pertumbuhan. Bagian ekstraseluler meliputi hormone binding site dan suatu daerah yang penting untuk dimerisasi reseptor. Reseptor ST banyak didapatkan pada permukaan sel seperti hati, otot, tulang, dan jaringan adiposa (Granner 1997; Kamil et al, 2001). Somatotropin atau growth hormone yang beredar dalam aliran darah diikat oleh suatu growth hormone binding proteins (GHBP). Fungsi GHBP ini masih belum jelas, tetapi diyakini bahwa kehadiran GHBP dapat meningkatkan waktu paruh ST, memodifikasi distribusinya, mengurangi efek biologis ST pada preadiposit, dan mengurangi efek biologis sekresi ST pulsatif dengan mengurangi ST bebas selama sekresi pulsatif sekretori. Growth hormone binding protein 14 (GHBP) berada dalam sirkulasi darah beberapa spesies termasuk manusia, kera, kelinci, babi, kuda, sapi, domba, anjing, tikus, ayam, dan kalkun (Kamil et al. 2001). Dalam keadaan normal, kadar hormon di dalam darah dipengaruhi oleh kecepatan sintesis dan degradasi hormon serta kecepatan sekresi, sedangkan kerja hormon dipengaruhi oleh keadaan reseptor pada sel target dan protein pengangkut di dalam darah. Ikatan hormon dengan reseptor (HR) pada permukaan membran sel akan meningkatkan permiabilitas membran plasma sehingga meningkatkan permiabilitas ion-ion dan zat-zat lain yang mempunyai konfigurasi sedemikian rupa. Selain itu, HR dapat menyebabkan hiperpolarisasi membran plasma sehingga memungkinkan pemasukan ion-ion dan zat-zat anorganik ke dalam sel. Selanjutnya, perubahan ini akan diikuti dengan proses-proses dalam sitoplasma dan juga modulasi enzim adenilat siklase yang akan merangsang sintesis cyclic adenosine 3, 5–monophosphate (cAMP), yaitu caraka kedua (second messenger), yang bekerja mempengaruhi fungsi sel (Djojosoebagio 1990; Manalu 2001; Shahib 2001). Meskipun ST telah diketahui sejak tahun 30-an, pada permulaan tahun 1937 para peneliti mendapatkan bahwa sapi-sapi yang disuntik dengan ekstrak ST dari hipofisis sapi yang diperoleh dari rumah potong hewan (RPH) memperlihatkan peningkatan produksi susu. Sampai dengan tahun 70-an, kemajuan yang dicapai hanya sebatas aplikasi ST pada ternak untuk tujuan komersial. Hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan produksi ST. Untuk memperoleh ST yang akan diberikan kepada seekor sapi dibutuhkan ekstrak hipofisis yang berasal dari 200 ekor sapi (Hardjopranjoto 2001). Setelah 50 tahun, pemakaian ST berkembang pesat khususnya ketika ditemukannya sistem rekombinan, ST banyak digunakan untuk meningkatkan produksi ternak daging dan susu (Kamil et al. 2001). Dewasa ini berkembang hormon rekombinan antara lain recombinant growth hormone (rbGH) atau recombinant soamtotropin (rbST). Salah satu produk tersebut dibuat oleh Monsanto Corporation melalui rekayasa genetika, yakni rbGH dengan nama dagang Posilac yang juga dikenal sebagai bST atau bGH atau rbGH. Terdapat tiga macam hormon yang banyak mendapat perhatian 15 dalam penggunaannya dewasa ini, yaitu bovine Somatotropin (bST), ovine Somatotropin (oST), dan porcine Somatotropin (pST) (Hardjopranjoto 2001). HIPOTALAMUS MEKANISME UMPAN BALIK GHRH SOMATOSTATIN (+) (–) KELENJAR PITUITARI SOMATOTROF SOMATOTROPIN AKSI TAK LANGSUNG AKSI LANGSUNG PROLAKTIN KHORIONIK SOMATOTROPIN INSULIN HATI SOMATOMEDIN SEL LEMAK LIPOGENESIS EFEK ANTI INSULIN SEL LEMAK KHONDROSIT LIPOLISIS METABOLISME KARBOHIDRAT FFA DAN GLISEROL GLUKOSA OTOT SINTESIS PROTEIN PEMBENTUKAN KARTILAGO AKTIVITAS DIABETOGENIK PERTUMBUHAN TULANG Gambar 2. Aktivitas langsung dan tidak langsung ST pada pertumbuhan dan metabolisme ( Kamil et al. 2001) Somatotropin berpengaruh pada metabolisme tubuh yang pada gilirannya akan merangsang proses produksi dan proses adaptasi homeostatis yang akan menyediakan nutrien yang digunakan dalam proses tersebut (Vernon 1989). Somatotropin mempunyai dua pengaruh utama. Pengaruh pertama berkaitan dengan proses-proses produksi yang mungkin sebagian diperantarai oleh IGF-I. Pengaruh yang kedua adalah penyediaan zat-zat makanan yang diperantarai oleh ST sendiri, akan tetapi pengaruh ini bergantung pada keadaan fisiologis hewan percobaan karena pada hewan yang sedang tumbuh perlakuan somatotropin bisa 16 mengakibatkan peningkatan akresi protein otot sementara selama laktasi perlakuan ST dapat mengakibatkan kehilangan protein tubuh (Peel et al. 1981; Akers 2002). Somatotropin, IGF-I, dan Produksi susu Telah disepakati bahwa somatotropin tidak saja berperan dalam pengontrolan pertumbuhan, namun juga berperan dalam produksi susu (Manalu 1994). Somatotropin sering juga digunakan sebagai agen galaktopoietis yang dapat meningkatkan produksi susu tanpa memberikan implikasi pada kesehatan konsumen atau ternak itu sendiri (Tucker 2000). Somatomedins atau IGF-I (Insulin-like growth factor I) mempunyai rangkaian 70 asam amino dengan berat molekul 7 649 Dalton sedangkan IGF-II mengandung 67 asam amino dengan berat molekul 7 471 Dalton. Urutan asam amino IGF-I dan IGF-II memiliki kemiripan sekitar 70% dan juga mempunyai struktur yang sama dengan proinsulin. Aktivitas biologis IGF bergantung pada reseptor IGF yang spesifik yang ada pada sel target. Reseptor IGF ada dua macam, tipe I (reseptor IGF-I) dan tipe II (reseptor IGF-II). Reseptor IGF-I merupakan glikoprotein yang mempunyai dua subunit ekstra selluler dan dua subunit B transmembran. Walaupun mempunyai persamaan affinitas ikatan, reseptor IGF-I lebih menyukai ikatan dengan IGF-I diikuti dengan IGF-II dan insulin. Tipe II atau reseptor IGF-II merupakan polipeptida rantai tunggal yang disebut sebagai reseptor mannosa-6-fosfat. Secara struktural reseptor ini tidak berkaitan dengan reseptor IGF-I atau insulin. Reseptor tipe II mengikat IGF-II dengan afinitas yang lebih tinggi daripada IGF-I dan tidak mengenal insulin ( Kamil et al.2001). Hipotesis klasik yang dikemukakan oleh peneliti terdahulu bahwa aksi ST menstimulasi hati untuk memproduksi somatomedin atau insulin-like growth faktor I (IGF-I) yang selanjutnya akan diangkut melalui darah untuk bereaksi pada organ sasaran yang spesifik (Sharma et al. 1994). Reseptor ST banyak dijumpai pada hati sehingga diyakini sebagian besar peneliti bahwa ST memodulasi hati untuk mensintesis IGF-I. Insulin-like growth factor I (IGF-I) mempunyai peranan penting dalam mengatur metabolisme sel mammalia, pertumbuhan, dan diferensiasi. Insulin-like growth factor I (IGF-I) hampir sebagian besar disintesis dalam hati (55%) (Kamil et al. 2001) walaupun beberapa 17 jaringan dapat mensintesisnya sehingga IGF-I bukan saja bereaksi secara endokrin tetapi juga sebagai autokrin atau parakrin (Prosser & Mepham 1989; Sharma et al. 1994; Tucker 2000; Kamil et al. 2001) sehingga level plasma IGF-I merupakan produksi kumulatif dari beberapa jaringan (Tucker 2000). Produksi IGF-I akut sensitif terhadap status nutrien (Prosser & Mepham 1989). Hampir sebagian besar hormon dalam aksi biologisnya mempunyai organ target. Namun, tidak demikian halnya dengan ST. Hormon ini tidak memiliki organ target yang spesifik, tetapi sebagian besar sel tubuh dapat merespons ST (Djojosoebagio 1990). Efek ST pada peningkatan produksi susu sangat kontradiktif karena pada jaringan kelenjar susu hampir tidak ditemukan reseptor untuk ST (Prosser & Mepham 1989; Akers 2002), sedangkan untuk melakukan aktivitasnya kehadiran reseptor spesifik sangat mutlak (Shahib 2001) sehingga diyakini bahwa ST tidak mempunyai efek langsung pada fungsi sel sekretori kelenjar susu (Prosser & Mepham 1989). Pernyataan tersebut didasarkan pada hasil pengamatan in vitro bahwa pemberian infus ST langsung melalui pembuluh darah arteri kelenjar susu mengakibatkan terjadi pengurangan efek ST pada jaringan kelenjar susu dan stimulasi sekresi susu. Hipotesis lain menyatakan bahwa aksi ST dimediasi oleh somatomedin, khususnya IGF-I. Pernyataan ini didasari pengamatan secara in vitro bahwa efek langsung IGF-I pada pertumbuhan kelenjar susu dan perkembangan sistem transport glukosa pada sel-sel epitel kelenjar susu diyakini sebagai aksi ST dalam kelenjar susu yang dimediasi oleh IGF-I. Bukti lain adalah bahwa konsentrasi IGF-I plasma meningkat 3 sampai 4 kali pada sapi laktasi yang diberi injeksi ST dalam jangka waktu singkat (short term). Peningkatan IGF-I jika dihitung berdasarkan peningkatan aliran darah ternyata dapat mencapai 5 kali dari jumlah IGF-I yang beredar dalam kelenjar susu (Prosser & Mepham 1989). Hasil pengamatan in vivo tentang aksi IGF-I untuk meningkatkan sekresi susu pada ternak kambing, dengan cara penyuntikan IGF-I pada arteri tertutup ke dalam satu kelenjar dengan laju 1,1 ηmol/menit selama 6 jam, ternyata dapat meningkatkan laju sekresi sebesar 30 ± 5% dibandingkan dengan yang tidak mendapat infus hanya sebesar 15 ± 4% (Prosser & Mepham 1989). Konsentrasi IGF-I dalam susu telah meningkat sebesar 32 ± 22% dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan perlakuan hanya sebesar 14 ± 9%. Peningkatan jumlah sel 18 kelenjar susu dan peningkatan sekresi susu juga diamati secara in vitro ketika ternak ruminansia kecil diinfus IGF-I melalui pembuluh darah yang langsung menuju kelenjar susu (Sharma et al. 1994). Efek galaktopoietik ST mengantar peningkatan sekresi IGF-I ke dalam susu, walaupun pada puncak produksi masih terdapat dalam rentang fisiologis normal untuk ruminansia penghasil susu. Somatotropin, Metabolisme, dan Produksi Susu Penggunaan somatoropin pada sapi laktasi dapat memodifikasi hampir seluruh aspek metabolisme baik melalui pengaruh langsung atau tidak langsung (Vernon 1989). Pengaruh langsung khususnya dalam rangka penggalangan zat-zat makanan, sedangkan pengaruh tidak langsung bukan berkaitan dengan prosesproses produksi yang mungkin sebagian diperantarai oleh IGF-1. Kerja somatoropin bergantung pada keadaan fisiologis hewan percobaan. Perlakuan ST pada hewan yang sedang tumbuh akan mengakibatkan peningkatan akresi protein otot, sedangkan pada hewan laktasi menyebabkan kehilangan protein tubuh (Peel et al.1981). Glukosa merupakan prekursor laktosa utama dan hampir 80% glukosa darah pada sapi laktasi digunakan untuk sintesis laktosa. Pada ternak ruminansia, konsentrasi glukosa dalam sistem sirkulasi berasal dari ekstraksi propionat dalam hati (Baldwin & Smith 1983; Annison et al. 1984; Collier 1985). Laktosa atau gula susu adalah karbohidrat susu berupa disakarida yang tersusun dari satu molekul glukosa dan satu molekul galaktosa yang bersatu dalam ikatan karbon 1-4 sebagai β-galaktosida (Larson 1985). Kadar laktosa dalam susu relatif konstan dan dipertahankan pada kisaran yang tetap. Laktosa merupakan osmoregulator dan determinan untuk volume susu sehingga produksi susu akan sejalan dengan produksi laktosa. Jalur sintesis laktosa adalah sebagai berikut : Glukosa + ATP ------------------- (1) Æ Glukosa -6-fosfat + ADP Glukosa-6-fosfat ------------------- (2) Æ Glukosa-1-fosfat Uridine trifosfat + glukosa-1-P -- (3) Æ Uridine difosfat-glukosa + Pirofosfat Uridine difosfat glukosa ---------- (4) Æ Uridine Difosfat-galaktosa Uridine-galaktosa + glukosa ----- (5) Æ Laktosa + Uridine Difosfat 19 (1) Heksokinase (2) Fosfoglukomutase (3) Uridine difosforil glukosa pirofosforilase (4) Uridine difosforil galaktosa-4-epimerase (5) Laktosa sintetase ( terdiri atas galaktosil transferase dan α-laktalbumin) Protein susu disintesis dari asam amino yang beredar dalam darah hasil penyerapan dari saluran pencernaan maupun hasil perombakan protein tubuh. Glukosa dan beberapa sumber nitrogen diperlukan untuk sintesis asam amino di kelenjar susu ruminansia (Annison et al. 1984; Collier 1985). Sintesis lemak susu terjadi dalam sitoplasma sel-sel kelenjar susu. Pada ternak ruminansia, asetat dan β-OH butirat (hasil metabolisme asam butirat), selain untuk sumber energi juga digunakan untuk sintesis lemak di dalam kelenjar susu oleh enzim asetil KoA karboksilase (Annison et al. 1984; Collier 1985). Oksidasi glukosa melalui siklus pentosa oleh enzim glukosa 6-p dehidrogenase menghasilkan NADPH yang diperlukan untuk sintesis asam lemak di kelenjar susu. Laju sintesis komponen air susu terutama laktosa, lemak, dan protein akan semakin berkurang jika ketersediaan substrat di kelenjar susu semakin sedikit sehingga dalam keadaan seperti ini sejumlah besar cadangan zat-zat makanan akan dimobilisasi untuk mempertahankan produksi susu (Bines & Hart 1982). Neraca nutrien negatif akan terjadi bila tingkat konsumsi tidak memenuhi kebutuhan untuk sintesis susu, dan keadaan ini sering dijumpai pada awal laktasi karena hampir 65% sampai 83% dari metabolisme energi akan diubah untuk sintesis susu selama laktasi (Gardner & Hogue 1985). Hasil mobilisasi asam lemak menyebabkan penumpukan asetil KoA yang tak dapat memasuki siklus asam sitrat sehingga akan diubah menjadi benda-benda keton seperti aseton, β-OH butirat, maupun asetoasetat sebagai hasil kondensasi 2 molekul asetil KoA (Foot et al. 1984). Pada ternak yang berada dalam neraca nitrogen negatif akan terjadi katabolisme protein yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi nitrogen urea darah (Peel et al. 1981). Produksi susu merupakan fungsi jumlah sel-sel sekretoris yang aktif dan aktivitas metabolik kelenjar susu sehingga tingkat produksi susu selama laktasi 20 hanya akan bergantung pada jumlah sel-sel sekretoris yang aktif dan tersedianya subtrat (zat-zat makanan) untuk sintesis komponen air susu (Davis & Collier 1983). Lebih lanjut dikemukakan Sumaryadi & Manalu (1996) bahwa dengan meningkatkan aliran substrat, sel-sel sekretoris akan lebih aktif sehingga keadaan tersebut diduga akan dapat memperlambat laju involusi sel-sel sekretoris. Proses modulasi aliran substrat ke kelenjar susu sangat ditentukan oleh konsentrasi substrat dan laju aliran darah ke kelenjar susu. Substrat atau zat-zat makanan yang berada dalam sistem sirkulasi berasal dari penyerapan dari sistem saluran pencernaan (Davis & Collier 1983) dan mobilisasi cadangan energi tubuh (Collier 1985; Vernon 1989), yang selanjutnya masuk ke dalam sel-sel sekretori dengan sistem transportasi melalui pengaturan hormonal. Hormon-hormon metabolisme, melalui pengaktifan beberapa enzim pada saat laktasi, akan meningkatkan aktivitas sintesis komponen susu dalam sel-sel sekretoris yang telah siap bersama semua perangkat enzimnya untuk merangkai substrat berupa glukosa, asam amino, asam lemak, dan gliserol secara berturut menjadi laktosa, protein (kasein), dan lemak untuk menghasilkan susu (Anderson 1985). Penggunaan bST dalam memacu produksi akan menyebabkan terjadinya adaptasi metabolik yang sangat dinamis dan sangat variatif sesuai dengan status hewan yang bersangkutan. Koordinasi antarjaringan dalam regulasi homeorhetik stimulasi bST pada sintesis susu dapat dilihat pada Gambar 3. Kehadiran reseptor ST pada hati (Pocious & Herbein 1986) menyebabkan pemberian ST akan berpengaruh langsung pada metabolisme glukosa, dan ST pada situasi ini mampu bekerja mirip insulin, khususnya dalam meningkatkan glukosa darah, sementara dalam keadaan lain ST akan bersifat antiinsulin dengan cara mengurangi glukosa dengan mengorbankan cadangan lemak (Manalu 1994). Perlakuan bST akan menyebabkan perubahan dalam metabolisme karbohidrat karena terjadinya peningkatan kebutuhan glukosa yang tinggi untuk sintesis susu. Dengan demikian, terjadi peningkatan produksi glukosa hati dan terjadi penurunan oksidasi oleh jaringan tubuh dalam upaya meningkatkan glukosa untuk sintesis susu. Pada hewan ruminan, produk fermentasi rumen adalah volatile fatty acid (VFA) dan hanya sedikit persentase (15%) pada glukosa darah yang berasal dari makanan. Suplai glukosa tubuh dipenuhi melalui 21 glukoneogenesis hati yang mana produksinya dapat bertambah 3 kg/hari pada sapi laktasi yang tinggi. JARINGAN TUBUH PENGAMBILAN GLUKOSA OKSIDASI ASAM AMINO UNTUK ENERGI GLUKOSA NEFA ASAM AMINO HATI GLUKONEOGENESIS GUDANG LEMAK PENGAMBILAN GLUKOSA DAN ASETAT LIPOGENESIS SELAMA NERACA ENERGI POSITIF LIPOLISIS SELAMA NERACA ENERGI NEGATIF GLUKOSA DARI GLISEROL MELALUI LIPOLISIS KELENJAR SUSU ALIRAN DARAH SINTESIS SUSU PENGAMBILAN GLUKOSA DAN SINTESIS LAKTOSA PENGGUNAAN NEFA UNTUK SINTESIS LEMAK SUSU PENGGUNAAN ASAM AMINO UNTUK PROTEIN SUSU PEMELIHARAAN JUMLAH SEL SEKRETORI Gambar 3 Koordinasi antarjaringan dalam adaptasi metabolik pada sapi laktasi yang diinjeksi bST (Aker 2002) Pada sapi yang mendapat injeksi bST akan terjadi peningkatan glukoneogenesis hati, yang paling tidak menjelaskan kemampuan antiinsulin untuk menghambat glukoneogenesis. Glukosa akan digunakan sebagai substrat untuk sintesis laktosa di dalam kelenjar susu, dan pada sapi laktasi dengan produksi yang tinggi hampir mendekati 85% total glukosa digunakan untuk sintesis susu. Injeksi bST dapat meningkatkan pemanfaatan netto glukosa pada jaringan kelenjar susu dan menurunkan penggunaan glukosa pada jaringan nonkelenjar susu. Adaptasi metabolik ini cukup untuk memenuhi kebutuhan glukosa untuk sintesis susu (Akers 2002). Menurut Cohick et al. (1989) bahwa pada ruminansia, peningkatan kehilangan karbon secara irrevesibel mempunyai implikasi peningkatan glukosa, terutama oleh hati. Dalam jangka pendek (yaitu dalam tempo beberapa jam) 22 peningkatan ini bisa disebabkan oleh peningkatan glikogenolisis, akan tetapi dalam tempo beberapa hari keadaan itu pasti disebabkan oleh glukoneogenesis. Beberapa hormon yang terlibat dalam metabolisme dalam tubuh adalah tiroksin, insulin, prolaktin, dan somatotropin (McDonald & Pineda 1980; Collier 1984; Bauman et al. 1985) dan beberapa hormon yang turut andil dalam metabolisme mineral dalam penyediaan aliran mineral ke kelenjar susu di antaranya, paratiroid, kalsitonin, dan vitamin D (McDonald & Pineda 1980; Collier et al. 1984; Tucker 1985). Tiroksin (triiodotironin dan tetraiodotironin) berperan sangat vital dalam penyediaan energi ATP (McDonald & Pineda 1980; Ultiger 1987) bagi perakitan glukosa, asam amino, asam lemak, dan gliserol menjadi glikogen, protein, dan lemak. Hormon tiroksin telah diketahui dapat mempengaruhi aktivitas metabolisme pada kelenjar susu (Sumaryadi & Manalu 1995b). Kortisol berfungsi dalam memobilisasi glukosa, asam amino, dan asam lemak untuk tujuan sintesis pada jaringan dan menghambat penggunaan zat-zat makanan untuk tujuan oksidasi dalam sel (McDonald & Pineda 1980; Manalu & Sumaryadi 1995b) dengan merombak cadangan energi tubuh yang akan dibebaskan ke dalam sistem sirkulasi untuk mendukung proses sintesis di kelenjar susu (Annison et al. 1984). Insulin mempunyai peran dalam mengangkut glukosa, asam amino, dan asam lemak ke dalam sel (Bines & Hart 1982). Namun, insulin tidak memiliki reseptor pada sel-sel kelenjar susu sehingga tidak menunjukkan pengaruh pada pengangkutan substrat ke dalam sel-sel sekretoris kelenjar susu (Manalu 1994). Prolaktin sangat spesifik dan selalu dikaitkan dengan produksi susu, namun berperan hanya sebatas mengaktifkan (menginisiasi) bukan memelihara atau mempertahankan sintesis air susu (Forsyth 1986). Somatotropin, Kesehatan Ternak, dan Keamanan Pangan Sebelumnya telah diramalkan bahwa penggunaan bST akan menimbulkan pengaruh yang membahayakan bagi kesehatan sapi yang mengakibatkan permasalahan ketosis, milk fever, dan “burn-out” (Manalu 2001). Injeksi bST pada sapi perah menunjukkan terjadinya perubahan metabolisme dalam tubuh, yang disebabkan mekanisme pengaturan metabolisme 23 seiring dengan peningkatan produksi (Akers 2002). Peningkatan pengaliran subtrat ke kelenjar susu membawa konsekuensi peningkatan aliran darah, namun selama penggunaan bST ini tidak nyata berpengaruh pada pengukuran klinis seperti suhu tubuh ataupun pernapasan (Eppard et al. 1987; Manalu et al. 1991), tapi denyut nadi tampak sedikit meningkat khususnya pada pemakaian dosis tinggi (Soderholm et al. 1988). Perubahan-perubahan kimia darah yang terjadi selama perlakuan bST umumnya berkaitan dengan peningkatan produksi dan tetap berada dalam kisaran normal yang dapat diterima secara klinis. Angka hemoglobin dan nilai hematokrit termasuk dalam kategori ini, dan kelihatannya penurunan tersebut terlalu kecil untuk menggambarkan anemia fungsional (Manalu 1994). Dari hasil beberapa penelitian yang dilakukan di Amerika, pemakaian hingga dosis 40,5 mg/hari tidak menunjukkan kejadian mastitis (Manalu 1994). Injeksi bST secara berlebihan dapat mendorong terjadinya pemakaian lemak yang berlebihan sehingga menghasilkan asam asetoasetat dalam hati yang akan dikeluarkan ke dalam cairan tubuh dan menyebabkan terjadinya penyakit metabolik seperti ketosis (Harjopranjoto 2001). Injeksi bST tidak menghasilkan pengaruh yang konsisten pada kejadian mastitis klinis atau hitungan sel somatis (Phipps 1989). Pada suatu percobaan selama dua tahun di U.K, hitungan sel somatis untuk kontrol dan sapi perlakuan lebih rendah dibandingkan rata-rata kejadian secara nasional (Phipps 1989). Bahkan, bovine somatotropin (bST) secara positif bisa mempengaruhi pemulihan fungsi kelenjar susu setelah kejadian mastitis (Phipps 1989). Hasil penelitian dari Cornell University menunjukkan bahwa sapi-sapi yang diinjeksi bST setiap hari, mulai hari ke-84 sampai hari ke-272 postpartum, ternyata tidak menunjukkan adanya gangguan pada kesehatan maupun status reproduksi (Hariadi et al. 2001). Lebih lanjut diungkapkan bahwa hasil tersebut di atas diperoleh dari sapi-sapi yang dikelola dengan baik, namun sampai sejauh mana injeksi bST bila diberikan pada sapi-sapi yang dikelola secara sederhana masih belum diketahui (Hariadi et al. 2001). Hasil diskusi The Standing Senate Committee on Agriculture and Forestry, Canada pada tahun 1999 yang dikutip Soeharsono (2001) menyatakan bahwa penggunaan bST dapat meningkatkan produksi hingga 10% namun akan 24 menyebabkan adanya metabolit IGF-I yang disebut miotropin pada susu yang dapat menyebabkan mastitis pada sapi perah. Lebih lanjut dikemukakan bahwa penyuntikan bST/rbGH di California (sebelum tahun 1995) dapat menurunkan harapan hidup sapi perah, meningkatkan risiko penyakit, penurunan bobot hidup, kadang-kadang menyebabkan sapi jadi infertile dan lebih peka terhadap mastitis. Dampak injeksi bST pada keamanan pangan sudah banyak dipublikasikan, namun masih menyisakan kontroversi di antara peneliti. Injeksi bST pada sapi perah dapat meningkatkan produksi susu secara tajam, namun bagaimana pengaruhnya pada orang yang mengkonsumsi produk susu tersebut masih perlu kajian lebih lanjut. Kandungan hormon, faktor pertumbuhan, dan peptida lainnya telah banyak diteliti. Konsentrasi ST pada susu sapi hampir sama dengan susu manusia masing-masing kurang dari 1 ηg/mL. Konsentrasi IGF-I, suatu mediator untuk aksi ST berkisar antara 1,5 sampai 8 ηg/mL pada susu sapi dan 1 sampai 3 ηg/mL pada susu manusia, konsentrasi tersebut akan meningkat pada penggunaan bST antara 2 sampai 5 ηg/mL, sedangkan konsentrasi IGF-II tidak meningkat (Budinuryanto 2001). Lebih lanjut diungkapkan adanya kontroversi antarpeneliti, khususnya yang berkaitan dengan jumlah IGF-I dan kanker. Insulinlike growth factor I dan II diidentifikasi merupakan regulator pertumbuhan autokrin dan endokrin yang ikut memacu berbagai karsinoma. Insulin- like growth factor I (IGF-I) memainkan peranan sangat penting pada proliferasi sel kanker pankreas, serta berperan dalam metabolisme glukosa dalam tumor, bahkan pasteurisasi yang menginaktifkan dan merusak bST tidak mempengaruhi IGF-I. Berkaitan dengan dugaan sebagian peneliti bahwa bST yang diberikan secara oral akan tercerna dalam traktus digestivus dan tidak terabsorbsi, dan tidak masuk ke pembuluh darah, namun peneliti lainnya berpendapat bahwa IGF-I tidak rusak, kandungan kasein akan melindungi IGF-I dan selanjutnya diabsorbsi dan masuk ke dalam darah. 25 MATERI DAN METODE PENELITIAN Materi Penelitian Penelitian telah dilakukan di Balai Peningkatan Produksi Ternak Perah (BPPTP) Cikole Lembang. Daerah ini dipilih sebagai lokasi yang dapat mewakili dataran tinggi tropis, dan di lokasi ini terdapat populasi sapi perah yang cukup tinggi. Cikole terletak 22 km sebelah utara kota Bandung dengan ketinggian tempat 1 200 m di atas permukaan laut, yang mempunyai kisaran suhu antara 13,9 dan 24,0ºC dengan rataan suhu 19,3ºC, dan kelembaban 80,5%. Suhu lingkungan merupakan salah satu faktor pembatas produksi susu sehingga suhu yang nyaman sangat diutamakan dalam pemeliharaan sapi perah. Sapi perah, khususnya sapi FH dikenal memiliki produksi yang tinggi di antara bangsa-bangsa sapi perah, namun mempunyai toleransi yang rendah terhadap suhu lingkungan tinggi. Kisaran suhu nyaman untuk sapi FH berkisar antara 17 dan 22ºC (Siregar 2003), atau batas tertinggi 80ºF yang setara dengan 22ºC dengan kelembaban udara 55 sampai 70%. Suhu di tempat penelitian dilaksanakan tersebut masih dalam kisaran suhu yang nyaman bagi sapi. Sapi uji yang digunakan adalah sebanyak 24 ekor, yang terdiri atas laktasi ke-1, 2, 3, dan 4. Sapi uji sudah melewati puncak laktasi, dan telah memasuki bulan laktasi ke-3 dan 4 atau pertengahan laktasi. Dengan demikian sapi uji mempunyai kurva produksi yang sama. Sapi ditempatkan dalam satu kandang dengan tata letak yang diacak. Somatotropin yang digunakan adalah produk Korea dengan merk dagang Boostin. Sesame oil digunakan untuk keperluan pengenceran somatotropin dan injeksi plasebo. Metode Penelitian Penelitian dirancang dengan menggunakan rancangan acak kelompok pola faktorial 3 x 2. Faktor pertama adalah injeksi bST yang terdiri atas 3 level, yaitu injeksi plasebo (nonbST), injeksi bST harian dengan dosis 36 mg/ekor/hari, dan injeksi bST selang 14 hari dengan dosis 500 mg/ekor/14 hari. Faktor ke dua adalah pakan yang terdiri atas 2 level. Pakan Balai (P1), yaitu pakan yang biasa diberikan oleh BPPTP Cikole, dan pakan 26 Balai ditambah 25% konsentrat (P2). Penambahan 25% konsentrat adalah penambahan konsentrat sejumlah 2 kg yang dihitung dari jumlah konsentrat yang biasa diberikan (8 kg/ekor/hari). Penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap praperlakuan (3 minggu), tahap perlakuan (12 minggu), dan tahap pascaperlakuan (2 minggu). Selama tahap praperlakuan, sapi diberi pakan yang biasa diberikan oleh BPPTP Cikole atau disebut pakan Balai. Selama praperlakuan dilakukan pengukuran produksi susu, komposisi susu, pengukuran status faali, hematologi dan bobot tubuh melalui pengukuran lingkar dada. Selama tahap perlakuan, kelompok kontrol (K0) diberi injeksi plasebo, yaitu 1 mL sesame oil/ekor/hari, kelompok kedua (K1) diberi injeksi 1 mL bST yang setara dengan 36 mg bST/ ekor/hari, dan kelompok (K14) diberi injeksi 2 mL bST yang setara dengan 500 mg bST/ekor/14hari. Injeksi diberikan secara intramuskular (i.m). Selama tahap pascaperlakuan, injeksi plasebo dan injeksi bST dihentikan. Seluruh ternak diberi pakan Balai . Pengamatan dilakukan selama 2 minggu, pengumpulan data sama seperti pada tahap praperlakuan. Untuk mempermudah teknik pemberian injeksi bST harian ditambahkan sesame oil sebagai pengencer. Cara mengencerkan bST dilakukan dengan menambahkan 12 mL sesame oil ke dalam 500 mg/ampul (volume 2 mL) sehingga volume menjadi 14 mL selanjutnya dicampur hingga merata. Campuran tersebut siap diinjeksikan pada sapi uji kelompok injeksi bST harian. Setiap sapi uji mendapat injeksi bST sebanyak 1 mL/ekor/hari. Injeksi suplementasi bST harian dan plasebo dilakukan setiap hari setelah selesai pemberian pakan (pukul. 09.00 pagi). Injeksi bST selang 14 hari dilakukan pada pagi hari setelah pemberian pakan. (pukul 09.00 pagi) 14 hari sekali. Injeksi plasebo dan bST diberikan selama 12 minggu. Masing-masing subkelompok diberi pakan Balai (P1) dan pakan Balai ditambah 25% konsentrat (P2). Pemberian pakan dilakukan 3 kali/hari, yaitu pagi hari pukul 06.00 setelah pemerahan, siang hari pukul 11.00, dan sore hari pukul 16.00 setelah pemerahan. Pengumpulan data meliputi data harian, data mingguan atau dua mingguan dan data bulanan. Secara ringkas, alir penelitian disajikan dalam Gambar 4. 27 TAHAP I : MASA PRAPERLAKUAN 24 Ekor Sapi FH; Laktasi ke 1, 2, 3, 4; Bulan Laktasi ke 3-4; Produksi 13-15 kg 8 ekor 4 ekor 8 ekor 4 ekor Pakan Balai • • 4 ekor 8 ekor 4 ekor 4 ekor Pakan Balai Berat badan (awal) Status faali (Harian) 4 ekor Pakan Balai Pengamatan tiga minggu • Sampel darah (Mingguan) • Susu (Harian dan Mingguan) TAHAP II : MASA PERLAKUAN 8 ekor 8 ekor 8 ekor Injeksi harian 2 mL sesame oil/ekor/hari Injeksi harian 36 mg bST/ekor/hari (K1) Injeksi 14 harian 500 mg bST/ekor/14 hari (K14) 4 ekor 4 ekor 4 ekor 4 ekor 4 ekor 4 ekor Pakan Balai Pakan Balai + 25% konsentrat Pakan Balai Pakan Balai + 25% konsentrat Pakan Balai Pakan Balai + 25% konsentrat Pengukuran harian • Konsumsi pakan • Status faali • Produksi Susu Pengukuran Dua Mingguan • Komposisi susu, 4% FCM • Sampel darah • Hematologi Pengukuran Bulanan • Bobot tubuh • Nilai kondisi ternak • Efisiensi produksi susu TAHAP III : MASA PASCAPERLAKUAN 8 ekor 4 ekor 8 ekor 4 ekor Pakan Balai • • Berat badan (akhir) Status faali (Harian) 4 ekor 8 ekor 4 ekor Pakan Balai 4 ekor Pakan Balai Pengamatan Dua Minggu • Sampel darah (Mingguan) • Susu (Harian dan Mingguan) Gambar 4 Alir Penelitian 4 ekor 28 Tabel 2 Komposisi pakan sapi perah laktasi di BPPTP Cikole Bahan Pakan Jumlah (kg) Rumput gajah Ampas bir Rumput lapangan Konsentrat: • Pollard • Bungkil kelapa • Tepung jagung • Dedak • Bungkil kedelai • Mineral Mix • Kapur Komposisi (%) 35 3 5 8 40.4 15.2 24.3 10.1 9.9 0.5 0.5 Sumber: UPTD-BPPTP Cikole Lembang Tabel 3 Kandungan nutrisi pakan penelitian, imbangan hijauan dan konsentrat pakan, dan angka kebutuhan nutrien sapi penelitian. Bahan Pakan P1 (kg) BK Rumput gajah Rumput lapang Konsentrat SK L P2 (kg) BETN Abu TDN BK PK SK L BETN Abu TDN 7,77 0,68 2,51 0,21 3,4 0,99 4,5 7,77 0,68 2,51 0,21 3,4 0, 9 4,5 1,22 0,10 0,39 0,02 0,54 0,18 0,68 1,22 0,10 0,39 0,02 0,54 0,18 0,68 7,49 1,11 2,69 0,91 2,24 0,53 5,51 9,36 1,39 3,37 1,13 2,8 0,67 6,88 1,45 0,24 0,77 0,16 0,23 0,06 1,09 1,45 0,24 0, 7 0,16 0,23 0,06 1,09 17,93 2,13 6,36 1,29 6,41 1,76 11,78 19,8 2.41 7,03 1,52 6,97 50% : Ampas bir Total PK Hijauan : Konsentrat Kebutuhan 12,15 nutrisi (kg) Keterangan : BK : PK : SK : 1,97 - - 50% - 45% - Bahan Kering Protein Kasar Serat Kasar 7,85 12,15 1,97 - : 1.9 13,15 55% - - - 7,85 L : Lemak BETN : Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen TDN : Total Digestable Nutrient Pengambilan sampel darah untuk keperluan analisis metabolit darah dan hormon dilakukan dua minggu sekali. Darah diambil sebanyak 5 mL dari bagian pangkal ekor dengan menggunakan venoject, dan disimpan ± 2 jam pada suhu kamar. Setelah itu sampel darah disentrifuse dengan kecepatan 3 000 rpm selama 10 sampai 15 menit. Selanjutnya bagian bening (serum) dipisahkan dandipindahkan ke dalam tabung khusus dan disimpan dalam suhu -20ºC sampai analisis selanjutnya. 29 Peubah yang Diamati dan Cara Pengukuran. 1. Status faali Pengukuran status faali meliputi frekuensi denyut jantung, frekuensi pernapasan, dan suhu tubuh. Angka yang diperoleh merupakan rataan dari pengukuran pagi dan siang. Pengukuran pagi dilakukan antara pukul 06.00 dan 07.00, sedangkan pengukuran siang hari antara pukul 12.00 dan 14.00. a. Frekuensi denyut jantung Pengukuran denyut jantung dilakukan dengan bantuan stetoskop yang ditempelkan pada bagian tulang interkosta antara 2 dan 5. Penentuan jumlah frekuensi denyut jantung dilakukan dengan menghitung jumlah suara jantung yang paling keras selama satu menit. b. Frekuensi pernapasan Pengukuran frekuensi pernapasan dilakukan dengan menghitung jumlah inspirasi atau ekspirasi (dengan cara memperhatikan gerakan rongga dada) selama satu menit. c. Suhu tubuh Pengukuran suhu tubuh dilakukan dengan mempergunakan termometer klinis. Untuk mendapatkan suhu tubuh yang akurat, pengukuran dilakukan dengan pencatatan suhu rektal. Termometer dimasukkan ke dalam bagian anus ternak, dan diusahakan menempel pada bagian mukosa selama satu menit. 2. Hematologi Pengukuran hematologi meliputi nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin yang dilakukan setiap dua minggu sekali. a. Nilai hematokrit Penentuan nilai hematokrit dilakukan dengan metode mikrohematokrit. Mikrohematokrit berheparin ditempelkan ke sampel darah agar darah tersedot sampai kira-kira 1 cm sebelum ujung kapiler. Kemudian salah satu ujung kapiler disumbat dengan crystoseal. Selanjutnya kapiler disentrifuse selama 10 menit dengan kecepatan 8 000 rpm. Nilai hematokrit dibaca dengan bantuan standar khusus dengan membandingkan volume sel darah merah dengan seluruh volume darah (bagian merah dan bagian bening). 30 b. Kadar hemoglobin Penentuan kadar hemoglobin dilakukan dengan metode hematin asam dari Sahli. ke dalam tabung Sahli dituangkan beberapa tetes larutan HCl 0,1N sampai batas angka paling bawah. Sampel darah dihisap dengan menggunakan pipet khusus sampai batas angka 1, dan setelah itu dituangkan ke dalam tabung Sahli. Sampel darah dalam tabung diaduk agar bercampur dengan larutan HCl 0,1N sampai terjadi perubahan warna kecokelat-cokelatan. Selanjutnya ditambahkan akuades sedikit demi sedikit sambil dibandingkan dengan standar warna yang telah tersedia. Setelah warna sampel sesuai dengan warna standar, angka kadar hemoglobin dapat dibaca pada dinding tabung Sahli. Angka kadar hemoglobin yang diperoleh dari pengukuran dalam satuan persen. Angka 100% kadar hemoglobin setara dengan 15,4 gram/100 mL. 3. Metabolit darah Metabolit darah yang dianalisis adalah glukosa, trigliserida, dan nitrogen urea darah. Pembuatan serum dipersiapkan setiap dua minggu sekali dan disimpan dalam Freezer (-20ºC). Analisis dilakukan pada akhir penelitian dengan menggunakan kit komersial. a. Glukosa Konsentrasi glukosa darah diukur melalui serum dengan menggunakan metode Wedermeyer dan Yasutake (1977). Pertama-tama dilakukan penyiapan larutan standar glukosa dan pereaksi warna ortho-toluidine. Larutan standar glukosa dibuat dengan melarutkan 100 mg pereaksi glukosa murni dalam sedikit air, kemudian diencerkan menjadi 100,0 mL. Selanjutnya larutan disimpan dalam lemari es dengan tujuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Pereaksi warna ortho-toluidine dibuat dengan mencampurkan 94 mL asam asetat glasial dengan 6 mL O-toluidine. Selanjutnya, sebanyak 0,05 mL (50 µL) sampel yang akan diuji dituangkan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah diisi dengan 3,5 mL pereaksi warna. Di samping itu dibuat standar glukosa ke dalam tabung reaksi yang telah diisi dengan 3,5 mL pereaksi warna. Selanjutnya tabung reaksi sampel dan standar glukosa direndam dalam water bath yang berisi air mendidih selama 10 menit. Setelah itu didinginkan dalam suhu kamar, selanjutnya absorbansi 31 sampel dibaca pada panjang gelombang 634 ηm dengan spektometer (Spectronic Hitachi U-2001). Kadar glukosa dihitung dengan rumus : (GD) = Keterangan : [GD] Abs Sp Abs ST [GSt] = = = = Abs Sp x (G St) Abs St Kadar glukosa (mg/100 mL) Absorbansi sampel Absorbansi standar Kadar glukosa standar (mg/100 mL). b. Trigliserida Konsentrasi trigliserida dalam serum diukur dengan menggunakan teknik enzimatik memakai kit komersial dari Human. Kisaran standar yang digunakan untuk mengukur konsentrasi trigliserida dalam serum adalah mulai dari 0 sampai dengan 200 mg/dL. Semua konsentrasi trigliserida sampel darah berada dalam kisaran standar yang digunakan. Konsentrasi trigliserida dibaca melalui spektrofotometer (Spectronic Hitachi U-2001). c. Nitrogen Urea (NU) Konsentrasi NU diukur dengan menggunakan teknik enzimatik memakai kit komersial produk Human. Kisaran standar yang digunakan untuk mengukur konsentrasi NU dalam serum adalah mulai dari 0 sampai dengan 80 mg/dL. Semua konsentrasi NU serum berada dalam kisaran srandar yang digunakan. Konsentrasi NU yang terkandung dalam serum dibaca melalui spektrofotometer (Spectronic Hitachi U-2001). 4. Hormon Hormon yang diukur adalah hormon metabolisme yaitu kortisol. tetraiodotironin, dan triiodotironin. Konsentrasi ketiga hormon tersebut dilakukan dengan mempergunakan kit radioimmunoassai teknik fase padat. a. Kortisol Konsentrasi hormon kortisol dalam serum ditentukan dengan menggunakan kit radioimmunoassai teknik fase padat yang dirangkai dalam antibodi monoklonal dan suatu radiolabel yang menggunakan 125 I (Diagnostic Products Corporation. Los Angeles, CA). Kisaran standar yang digunakan untuk membuat kurva standar adalah mulai dari 0 sampai dengan 24 µg/dL. Konsentrasi 32 kortisol dianalisis secara langsung dalam serum darah dengan volume sebanyak 0,25 µL. Radioaktivitas hormon yang terikat dibaca dengan gamma counter. b. Tetraiodotironin (T4) Konsentrasi T4 dalam serum ditentukan dengan menggunakan kit radioimmunoassai teknik fase padat yang dirangkai dalam antibodi monoklonal dan suatu radiolabel yang menggunakan 125 I (Diagnostic Products Corporation. Los Angeles, CA). Kisaran standar yang digunakan untuk membuat kurva standar adalah mulai dari 0 sampai dengan 24 µg/dL. Konsentrasi T4 dianalisis secara langsung dalam serum darah dengan volume sebanyak 0,25 µL. Radioaktivitas hormon yang terikat dibaca dengan gamma counter. c. Triiodotironin (T3) Konsentrasi T3 dalam serum ditentukan dengan menggunakan kit radioimmunoassai teknik fase padat yang dirangkai dalam antibodi monoklonal dan suatu radiolabel yang menggunakan 125 I (Diagnostic Products Corporation. Los Angeles, CA). Kisaran standar yang digunakan untuk membuat kurva standar adalah mulai dari 0 sampai dengan 24 µg/dL Konsentrasi T3 dianalisis secara langsung dalam serum darah dengan volume sebanyak 0,25 µL. Radioaktivitas hormon yang terikat dibaca dengan gamma counter. 5. Produksi susu, produksi susu 4% FCM ( fat corrected milk), dan komposisi susu a. Produksi susu Produksi susu harian merupakan hasil penjumlahan pemerahan pagi hari dan siang hari. Pemerahan dilakukan dengan menggunakan mesin perah portabel. Hasil pemerahan ditimbang dengan menggunakan timbangan merk Nagata kapasitas 20 kg dengan skala terkecil 200 gr. b. Produksi 4 %FCM Produksi hasil pencatatan dihitung dengan mempergunakan faktor koreksi. Rumus yang dipergunakan : Produksi 4% FCM = ( 0,4 x prod.susu ) + 15 (kg prod.susu x % lemak) 33 6. Komposisi susu a. Protein susu Penentuan kadar protein susu dilakukan dengan menggunakan kit komersial bermerk Tottal produksi Belgia. Dilakukan di Laboratorium Kesehatan Hewan, Balai Penyidikan Penyakit Hewan dan Kesmavet di Cikole Lembang. b. Lemak susu Penentuan kadar lemak susu dilakukan dengan menggunakan metode Babcock. Penentuan dilakukan di Laboratorium Pemeriksaan Susu Balai Peningkatan Produksi Ternak Perah di Cikole Lembang. c. Bahan Kering Tanpa Lemak Kadar bahan kering tanpa lemak diperoleh melalui penggunaan rumus Fleischmann. BK = Keterangan : ((1,311 ) × L ) ÷ (2,738 )× 100 (BJ − 1) BJ L = kadar lemak susu (%) BJ = berat jenis susu pada 27,5oC 7. Bobot jenis susu Penentuan bobot jenis susu dilakukan dengan cara pengukuran langsung dan dilakukan dua minggu sekali. Pengukuran bobot jenis susu dilakukan dengan menggunakan alat laktodensimeter. Sebanyak 500 mL susu dituangkan ke dalam gelas ukur (volume 500 mL). Setelah itu, laktodensimeter dicelupkan ke dalam susu. Bobot jenis dan susu yang tertera pada laktodensimeter dibaca. Bobot jenis distandarkan pada suhu 27,5ºC (Sudono et al.1999). 8. Bobot tubuh Pengukuran bobot tubuh dilakukan dengan mempergunakan pita ukur yang secara langsung dikonversi ke dalam kilogram. Pengukuran dilakukan satu bulan sekali meliputi bobot tubuh pada awal penelitian, rataan bobot tubuh selama perlakuan, dan bobot tubuh pada akhir penelitian. 34 9. Konsumsi pakan dan konsumsi bahan kering pakan Pakan yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua macam pakan, yaitu pakan Balai (P1), yaitu pakan yang biasa diberikan oleh BPPTP Cikole, dan pakan Balai ditambah 25% konsentrat (P2). Konsumsi pakan dihitung berdasarkan jumlah hijauan dan konsentrat yang diberikan dikurangi pakan sisa (dari setiap pemberian). Konsumsi bahan kering dihitung dengan mengalikan jumlah bahan kering yang dikonsumsi dengan kadar bahan kering pakan. 10. Efisiensi Produksi Susu (EPS) Pengukuran efisiensi produksi susu dilakukan dengan menggunakan rumus Varga (1984). EPS = produksi 4% FCM (kg)/konsu msi bahan kering (kg) x 100% bobot tubuh (kg) 11. Nilai Kondisi Ternak (NKT) Nilai kondisi ternak ditentukan dengan menggunakan metode Wildman et al.(1982) yang dilakukan dengan mengamati tubuh sapi bagian punggung (back), badan (waist), paha (haunch), pangkal ekor (roof of tail), tulang punggung (hip bone), pangkal paha (waist horn), dan tulang rusuk (rib) sebagai titik poin. Nilai untuk sapi perah berkisar dari 1 sampai 5. Nilai 1 menunjukkan sapi sangat kurus atau tidak ada perlemakan, sedangkan nilai 5 untuk sapi yang sangat gemuk. Analisis Statistik Data yang dikumpulkan dari semua peubah yang diamati, yaitu status faali, hematologi, metabolit darah, hormon metabolisme produksi susu, produksi 4% FCM, komposisi susu, konsumsi pakan, bobot tubuh, konsumsi bahan kering, efisiensi produksi susu, dan nilai kondisi ternak diuji dengan menggunakan rancangan acak kelompok pola faktorial 3 x 2. Model persamaan matematik yang digunakan adalah : Yijk = µ + Kk + Ai + Bj + ABij + Єijk keterangan : Yijk : Nilai Pengamatan (respons) yang diamati µ : Nilai Tengah Umum 35 Kk : Pengaruh Kelompok ke – k Ai : Pengaruh cara pemberian hormon ke – i Bj : Pengaruh periode pengamatan ke – j ABij:Pengaruh interaksi antara pemberian hormon ke – i dan periode pengamatan ke j 36 HASIL Status Faali dan Hematologi Status faali yang diamati meliputi frekuensi denyut jantung frekuensi pernapasan, dan suhu tubuh. Hematologi meliputi nilai hematokrit dan kadar hemoglobin. Peubah-peubah tersebut merupakan indikator yang cukup akurat dalam menentukan status ternak secara fisiologis. Hasil pengamatan injeksi bST dan penambahan konsentrat pada status faali dan hematologi disajikan dalam Tabel 4. Frekuensi denyut jantung menunjukkan terjadi peningkatan yang diakibatkan oleh injeksi bST. Sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari memiliki frekuensi denyut jantung tertinggi, diikuti oleh sapi yang mendapat injeksi bST harian, dan sapi kontrol yang secara berturut-turut adalah 69,15; 67,73; dan 64,65 kali/menit. Injeksi bST selang 14 hari nyata meningkatkan rataan denyut jantung sebesar 6,9%, dan pada injeksi bST harian 4,8% dibandingkan dengan kontrol. Penambahan konsentrat tidak mempengaruhi frekuensi denyut jantung, yaitu 67,67 kali/menit untuk sapi yang diberi pakan Balai dan 67,26 kali/menit untuk sapi yang mendapat pakan Balai ditambah 25% konsentrat. Rataan denyut jantung dari masing-masing kombinasi perlakuan, injeksi bST dan penambahan Denyut Jantung (kali /menit) kosentrat dapat dilihat dalam Gambar 5 70 69 68 67 66 65 64 63 62 P1 P2 (a) Gambar 5 K0 K1 (b) K14 K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2 (c) Rataan denyut jantung efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan. Tabel 4 Rataan denyut jantung, frekuensi pernapasan, suhu tubuh, nilai hematokrit dan kadar hemoglobin sapi yang diinjeksi bST, dan ditambah konsentrat selama 84 hari (12 minggu) pengamatan bST Peubah Kontrol (Ko) P1 Denyut Jantung (kali/menit) 64,65c ± 0,64 P>F Harian (K1) 14 Harian (K14) P2 P1 P2 P1 P2 bST Pkn Int 64,64c ± 0,67 67,69b ± 0,27 67,77b ± 0,38 68,87a ± 0,62 69,35a ± 0,07 * ns - Pernapasan (kali/menit) 28,96c ± 0,25 28,70c ± 0,27 29,39b ± 0,43 29,33b ± 0,40 30,20a ± 0,53 30,36a ± 0,41 * ns - Suhu Tubuh (oC) 38,58 ± 0,11 38,54 ± 0,12 38,51 ± 0,02 38,56 ± 0,17 38,57 ± 0,07 38,59 ± 0,11 ns ns - Hematokrit (%) 28,74± 1,65 29,13 ± 1,35 28,02 ± 0,45 30,08 ± 1,46 29,00 ± 0,77 29,27 ± 0,63 ns ns - Hemoglobin (gr/dL) 9,46 ± 1,98 9,75 ± 2,58 9,45 ± 3,39 9,73 ± 0,83 10,19 ± 3,63 9,80 ± 1,61 ns ns - Keterangan: tanda * menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%. ns : tidak berbeda nyata. P1 adalah pakan standar yang biasa diberikan di BPPTP Cikole. P2 adalah pakan standar ditambah 25% konsentrat (2 kg konsentrat yang digunakan pada pakan standar) 37 38 Pola yang sama didapatkan pada frekuensi pernapasan, frekuensi tertinggi diperoleh dari sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari, diikuti sapi yang mendapat injeksi bST harian, dan sapi kontrol secara berturut-turut adalah 30,28; 29,36 dan 28,84 kali/menit. Injeksi bST selang 14 hari nyata meningkatkan rataan frekuensi pernapasan sebesar 5,0%, dan injeksi bST harian 1,8% dibandingkan dengan kontrol. Penambahan konsentrat tidak mempengaruhi frekuensi pernapasan, yaitu 29,52 kali/menit untuk sapi yang diberi pakan Balai dan 29,50 kali/menit pada sapi yang mendapat tambahan 25% konsentrat. Rataan frekuensi pernapasan dari kombinasi perlakuan, injeksi bST dan penambahan konsentrat disajikan dalam Gambar 6. Frekuensi pernapasan mempunyai selisih yang sangat kecil antara sapi kontrol dengan sapi yang diberi injeksi bST. 31.0 30.5 Pernapasan (kali/menit) 30.0 29.5 29.0 28.5 28.0 27.5 P1 P2 (a) Gambar 6 K0 K1 (b) K14 K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2 (c) Rataan frekuensi pernapasan efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan. Injeksi bST dan penambahan konsentrat ternyata tidak berpengaruh pada suhu tubuh. Rataan suhu tubuh tertinggi dimiliki sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari, yaitu sebesar 38,58οC, yang diikuti sapi yang mendapat injeksi bST harian 38,56οC, sapi kontrol 38,53οC, dan pakan Balai, pakan Balai ditambah 25% konsentrat secara berturut-turut adalah 38,56 dan 38,56οC. Sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari mempunyai rataan suhu tubuh 1,3% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, sedangkan sapi yang diinjeksi bST harian lebih tinggi 0,8% dari sapi kontrol, namun peningkatan tersebut tidak nyata secara statistik (P>0.05). Sapi yang mendapat pakan Balai, sapi yang mendapat pakan Balai ditambah 25% konsentrat mempunyai suhu tubuh secara berturut-turut 39 adalah 38,55 dan 38,56oC. Rataan suhu tubuh dari kombinasi perlakuan, injeksi bST dan penambahan konsentrat disajikan dalam Gambar 7. 38.60 o Suhu Tubuh ( C) 38.58 38.56 38.54 38.52 38.50 38.48 38.46 P1 P2 K0 K1 K14 (b) (a) K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2 (c) Gambar 7 Rataan suhu tubuh efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan. Injeksi bST dan penambahan konsentrat tidak memperlihatkan pengaruh pada nilai hematokrit. Namun, ada kecenderungan bahwa sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari dan sapi yang mendapat bST harian mempunyai nilai hematokrit yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi kontrol. Rataan nilai hematokrit sapi kontrol, sapi yang diinjeksi bST harian, dan sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari secara berturut-turut adalah sebesar 28,93; 29,05; dan 29,29% (Gambar 8). Rataan nilai hematokrit sapi uji yang mendapat pakan Balai, dan pakan Balai ditambah 25% konsentrat secara berturut-turut 28,59 dan 29,6%. Tampak ada kecenderungan nilai hematokrit sapi yang mendapat pakan Balai ditambah 25% konsentrat lebih tinggi 3,53% dibandingkan yang diberi pakan Balai saja. Hematokrit (%) 30.5 30.0 29.5 29.0 28.5 28.0 27.5 27.0 26.5 P1 P2 (a) Gambar 8 K0 K1 (b) K14 K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2 (c) Rataan nilai hematokrit efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan. 40 Kadar hemoglobin sapi kontrol, sapi yang diinjeksi bST harian, dan sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari secara berturut-turut adalah sebesar 9,61; 9,60; dan 10,00 gr/dL. Kadar hemoglobin sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari tampak lebih tinggi (0,41%) dibandingkan dengan sapi yang diinjeksi bST harian atau perlakuan kontrol, namun peningkatan ini tidak nyata secara statistik (P>0.05). Demikian pula rataan kadar hemoglobin sapi yang diberi pakan Balai ditambah 25% konsentrat tampak lebih tinggi 0,65% dibandingkan kadar hemoglobin sapi yang mendapat pakan Balai saja, namun tidak nyata secara statistik (P>0.05). Rataan kadar hemoglobin dari kombinasi perlakuan, injeksi bST dan penambahan konsentrat disajikan dalam Gambar 9. Hemoglobin (gr/dL) 10,00 9,75 9,50 9,25 9,00 8,75 8,50 8,25 8,00 P1 P2 (a) K0 K1 K14 K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2 (b) (c) Gambar 9 Rataan kadar hemoglobin efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan. Metabolit dan Hormon Metabolisme Peningkatan produksi susu akan mempengaruhi rangkaian metabolisme dalam tubuh, khususnya yang berkaitan erat dengan metabolisme nutrien yang dibutuhkan untuk sintesis susu. Somatotropin sebagai agen galaktopoietik akan berupaya membuat keadaan kesinambungan proses sintesis susu dalam sel-sel kelenjar susu. Produksi susu sangat ditentukan oleh aktivitas sel-sel kelenjar susu dan ketersediaan substrat yang sangat dibutuhkan dalam sintesis susu. Pada Tabel 5 disajikan pengaruh injeksi bST dan penambahan konsentrat pada kadar glukosa. trigliserida, dan nitrogen urea serum. 41 Tabel 5 Rataan kadar metabolit dan hormon metabolisme pada sapi yang diinjeksi bST dan ditambah konsentrat selama 84 hari (12 minggu) pengamatan bST Peubah Kontrol (Ko) P1 P>F Harian (K1) P2 P1 P2 14 Harian (K14) P1 P2 bST Pkn Int Glukosa (mg/dL) 39,43 ± 8,95 33,40 ± 5,38 39,69 ± 6,14 38,48 ± 6,85 35,85 ± 5,73 40,46 ± 7,00 ns ns - Trigliserida (mg/dL) 99,37 ± 16,09 96,20 ± 2,71 100,52 ± 19,52 92,80 ± 15,05 93,47 ± 27,63 103,14 ± 29,42 ns ns - Nitrogen urea (mg/dL) 115,17 ± 10,31 95,67 ± 0,01 107,65 ± 0,03 102,14 ± 0,07 101,72 ± 0,03 105,38 ± 0,15 ns ns - Kortisol (µg/ dL) 0,731 ± 0,06 0,612 ± 0,01 0,669 ± 0,03 0,574 ± 0,15 0,592 ± 0,03 0,665 ± 0,07 ns ns - T4 (µg/dL) 3,281 ± 0,34 2,993 ± 0,07 2,935 ± 0,15 2,805 ± 0,29 2,811 ± 0,11 2,620 ± 0,14 ns ns - T3 (Å‹g/dL) 111,45 ± 2,67 99,86 ± 7,35 100,73 ± 6,00 100,92 ± 2,80 100,66 ± 9,47 96,17 ± 0,31 ns ns - Keterangan: tanda * menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%. ns : tidak berbeda nyata. P1 adalah pakan standar yang biasa diberikan di BPPTP Cikole. P2 adalah pakan standar ditambah 25% konsentrat (2 kg konsentrat yang digunakan pada pakan standar) 41 42 Peningkatan kadar glukosa serum terjadi sebesar 7,33% pada sapi yang mendapat injeksi bST harian, dan 4,78% pada sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari dibandingkan dengan sapi kontrol, namun tidak nyata secara statistik (P>0.05). Kadar glukosa serum sapi yang mendapat pakan Balai ditambah ditambah 25% konsentrat mengalami penurunan 2,27% dibandingkan dengan sapi yang mendapat pakan Balai saja. Rendahnya kadar glukosa serum sangat erat kaitannya dengan tingkat produksi susu yang dihasilkan. Pada sapi yang mendapat pakan Balai ditambah 25% konsentrat, kadar glukosa juga mengalami penurunan dibandingkan dengan sapi yang mendapat pakan Balai saja walau tidak nyata secara statistik (P>0.05). Rataan kadar glukosa serum dari masing-masing kombinasi perlakuan disajikan pada Gambar 10. Kadar Glukosa (mg/100 d L) 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 P1 P2 (a) K0 K1 (b) K14 K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2 (c) Gambar 10 Rataan kadar glukosa serum efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan. Kadar trigliserida serum sapi yang mendapat injeksi bST harian menurun 1,16%, sedangkan sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari justru memperlihatkan peningkatan 0,53% dibandingkan dengan sapi kontrol namun tidak nyata secara statistik (P.> 0.05). Sapi yang diberi pakan Balai memiliki kadar trigliserida serum yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang diberi pakan Balai ditambah 25% konsentrat. Rataan kadar trigliserida serum sapi yang mendapat pakan Balai, pakan Balai ditambah 25% konsentrat dan sapi kontrol, sapi yang diinjeksi bST harian, dan sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari secara berturut-turut sebesar 97,79; 99,28 dan 97,79; 96.66; 101,15 mg/dL (Gambar 11). 43 Kadar Trigliserida serum (mg/d L) 115 110 105 100 95 90 85 80 P1 K0 P2 K1 (b) (a) K14 K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2 (c) Gambar 11 Rataan kadar trigliserida serum efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan. Pada level pakan Balai, kadar nitrogen urea serum sapi yang mendapat injeksi bST harian dan sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari masing-masing sebesar 0,49 dan 1,77% lebih rendah dibandingkan dengan sapi kontrol, namun tidak berbeda. Sapi yang mendapat pakan Balai ditambah 25% konsentrasi memiliki kadar nitrogen urea serum sebesar 6,58% lebih rendah dari sapi yang mendapat pakan Balai walau tidak berbeda. Rataan kadar nitrogen urea sapi yang mendapat pakan Balai, sapi yang mendapat pakan Balai ditambah 25% konsentrat dan sapi kontrol, sapi yang mendapat injeksi bST harian, dan sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari secara berturutturut adalah sebesar 108,18; 99,71 dan 105,42; 104,89; 101,52 mg/dL (Gambar12). Kadar Nirogen Urea serum (mg/d L) 140 120 100 80 60 40 20 0 P1 P2 (a) Gambar 12 K0 K1 (b) K14 K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2 (c) Rataan kadar nitrogen urea serum efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan. 44 Injeksi bST dan penambahan konsentrat dapat meningkatkan produksi susu, yang berarti telah terjadi peningkatan metabolisme khususnya pada sintesis susu. Peningkatan sintesis susu akan membutuhkan sejumlah tambahan nutrien, baik sebagai prekursor, hormon yang berperan dalam metabolisme dan pengaturan sintesis susu. Kortisol berperan dalam pengaturan glukosa darah sehingga dalam pengamatan ini dijadikan salah satu indikator untuk mengetahui ketersediaan glukosa. Glukosa dibutuhkan sebagai prekursor dalam sintesis laktosa dan berkorelasi positif dengan produkai susu. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa kadar kortisol serum sapi yang mendapat injeksi bST harian, dan sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari lebih rendah secara berturut-turut sebesar 7,44% dan 6,40% dibandingkan dengan sapi kontrol. Namun, penurunan ini tidak nyata secara statistik (P>0.05). Sapi yang mendapat pakan Balai ditambah 25% konsentrat menunjukkan kadar kortisol serum 7% lebih rendah dibandingkan dengan sapi yang mendapat pakan Balai. Kadar kortisol serum sapi yang mendapat pakan Balai, pakan Balai ditambah 25% konsentrat dan sapi kontrol, sapi yang mendapat injeksi bST harian, dan sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari berturut-turut sebesar 0,664; 0,610 dan 0,672; 0,622; 0,629 µg/dL (Gambar13). 0.8 Kadar Kortisol Serum (µg/dL) 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 P1 P2 (a) K0 K1 (b) K14 K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2 (c) Gambar 13 Rataan kadar kortisol serum efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan. Tetraiodotironin berperan penting dalam penyediaan energi untuk kelangsungan proses metabolisme. Kadar Tetraiodotironin serum mengalami penurunan pada sapi yang mendapat injeksi bST harian sebesar 8,51%, demikian pula sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari, yaitu 12,02% dibandingkan dengan sapi kontrol dan sapi 45 yang diberi pakan Balai ditambah 25% konsentrat mengalami penurunan kadar T4 serum sebesar 6,75% dibandingkan dengan sapi yang diberi pakan Balai. Kadar T4 serum pada sapi yang mendapat pakan Balai, sapi yang mendapat pakan Balai ditambah 25% konsentrat dan sapi kontrol, sapi yang mendapat injeksi bST harian, dan sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari, secara berturut-turut adalah sebesar 3,00; 2,81 dan 3,14; 2,87; 2,72 µg/dL (Gambar14). Kadar T4 Serum (µg/dL) 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0 P1 P2 (a) Gambar14 K0 K1 (b) K14 K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2 (c) Rataan kadar T4 serum efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan. Rataan kadar triiodotironin (T3) serum sapi yang mendapat injeksi bST harian dan sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari masing-masing 4,57 dan 6,52% lebih rendah dibandingkan dengan sapi kontrol. Kadar T3 serum sapi yang mendapat pakan Balai ditambah 25% konsentrat ternyata lebih rendah sebesar 5,14% dibandingkan sapi yang mendapat pakan Balai saja. Kadar T3 serum dari sapi yang mendapat pakan Balai, sapi yang mendapat pakan Balai ditambah 25% konsentrat dan sapi kontrol, sapi yang mendapat injeksi bST harian, dan sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari secara berturut-turut adalah 104,28; 98,98 dan 105,66; 100,83; 98,98 ηg/dL (Gambar15). 46 110 Kadar T3 Serum (µg/dL) 105 100 95 90 85 P1 K0 P2 K14 K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2 (b) (a) Gambar15 K1 (c) Rataan kadar T3 serum efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan. Produksi Susu Rataan produksi susu selama penelitian terdiri atas masa praperlakuan, perlakuan dan pascaperlakuan disajikan dalam Gambar 16. 160.00 120.00 80.00 40.00 0.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 minggu K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2 Keterangan : K0P1 : injeksi bST dan pakan Balai K1P1 : injeksi bST harian dan pakan Balai K14P1 : injeksi bST selang 14 hari dan pakan Balai K0P2 : injeksi bST dan pakan Balai+25% konsentrat K1P2 : injeksi bST harian dan pakan Balai+25% konsentrat K14P2: injeksi bST selang 14 hari dan pakan Balai+25% konsentrat Gambar 16 Produksi susu masing-masing kombinasi perlakuan (kg/minggu) selama penelitian ( praperlakuan, perlakuan, dan pascaperlakuan). Hasil pengamatan selama penelitian masa praperlakuan (3 minggu) tercatat rataan produksi susu harian sapi uji pada level pakan Balai (P1), untuk sapi kontrol, sapi yang diinjeksi bST harian, sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari secara berturut-turut adalah sebesar 93,75±3,47; 101,16±5,94; dan 114,75±2,56 kg/ekor/hari. Pada level 47 pakan Balai ditambah 25% konsentrat (P2), rataan produksi susu sapi kontrol, sapi yang diinjeksi bST harian, dan sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari secara berturut turut adalah 102,61±6,85; 97,69±3,75; dan 89,77±4,87kg/ekor/hari. Rataan produksi susu pada masa praperlakuan relatif seragam ( koefisien keragaman 14,37%). Selama perlakuan rataan produksi susu sapi uji pada level pakan Balai (P1), untuk sapi kontrol, sapi yang diinjeksi bST harian, sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari secara berturut-turut adalah sebesar 93,41±4,86; 109,05±10,06; dan 117,6±9,99 kg/ekor/hari. Pada level pakan Balai ditambah 25% konsentrat (P2), rataan produksi susu sapi kontrol, sapi yang diinjeksi bST harian, dan sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari secara berturut turut adalah 107,44±8,90; 106,42±8,84; dan 91,33±6,71kg/ekor/hari. Selama pascaperlakuan rataan produksi susu sapi uji pada level pakan Balai (P1), untuk sapi kontrol, sapi yang diinjeksi bST harian, sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari secara berturut-turut adalah sebesar 94,32±3,38; 97,09±6,70 dan 107,39±1,29 kg/ekor/hari. Pada level pakan Balai ditambah 25% konsentrat (P2), rataan produksi susu sapi kontrol, sapi yang diinjeksi bST harian, dan sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari secara berturut turut adalah 100,1±1,70; 95,83±4,72; dan 88,72±2,47 kg/ekor/hari. Rataan total produksi susu masing-masing kombinasi perlakuan, injeksi bST dan penambahan konsentrat yang diberikan selama 84 hari (12 minggu) pengamatan disajikan pada Tabel 6. Pada bulan pertama dan kedua (8 minggu) pengamatan menunjukkan terdapat interaksi antara injeksi bST dan penambahan konsentrat. Pada level pakan Balai injeksi bST harian meningkatkan produksi susu sebesar 24% untuk bulan pertama, dan 12% untuk bulan kedua, sedangkan pada injeksi bST selang 14 hari mempunyai produksi susu yang lebih tinggi, yaitu 32% untuk bulan pertama dan 22% untuk bulan kedua, dibandingkan dengan produksi susu sapi kontrol. Sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari mempunyai produksi susu yang lebih tinggi 7% untuk bulan pertama, dan 9% untuk bulan kedua dibandingkan dengan produksi susu sapi yang diinjeksi bST harian. . 48 Tabel 6. Rataan produksi susu dan 4% FCM pada sapi yang diinjeksi bST dan ditambah konsentrat selama 84 hari (12 minggu) pengamatan bST P>F Kontrol (Ko) Harian (K1) 14 Harian (K14) Peubah P1 P2 P1 P2 P1 P2 bST Pkn Int Prod bln ke I (kg) 385,28 ± 38,48 463,95 ± 49, 48 477,4 ± 34,37 462,63 ± 28,34 510,13 ± 76,15 374,08 ± 43,64 ns ns * Prod bln ke II (kg) 378,88 ± 39,19 431,15 ± 20,56 424,80 ± 36, 22 421,28 ± 27,14 462,38± 87,43 351,45 ± 45,23 ns ns * Prod bln ke III (kg) 356,97 ± 35,24 394,30 ± 34,43 406,43 ± 42,25 393,15 ± 30,82 438,68 ± 45,57 352,96 ± 20,05 ns ns - Total prod (kg) 1120,92 ± 106,54 1289,30 ± 87,69 1308,63 ± 109,70 1277,05 ± 69,35 1411,18 ± 252,35 1096,00 ± 107, 17 ns ns * 12,69± 1.96 12,84 ± 0.48 13,87 ± 1.49 13,10 ± 2.25 14,24 ± 1.57 11,00 ± 1.55 ns ns - 4%FCM (kg) 48 Keterangan: tanda * menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%. ns : tidak berbeda nyata. P1 adalah pakan standar yang biasa diberikan di BPPTP Cikole. P2 adalah pakan standar ditambah 25% konsentrat (2 kg konsentrat yang digunakan pada pakan standar) 49 Pada sapi yang diberi pakan Balai ditambah 25% konsentrat, injeksi bST harian pada bulan pertama dan kedua cenderung menunjukkan produksi susu yang lebih rendah, yaitu secara berturut-turut sebesar 1 dan 2% dibandingkan dengan produksi susu sapi kontrol. Produksi susu sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari menunjukkan nilai yang jauh lebih rendah, yaitu sebesar 19 dan 15% masing-masing untuk bulan pertama dan kedua dibandingkan produksi susu sapi kontrol. Produksi susu sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari ternyata lebih rendah dibandingkan dengan produksi susu sapi yang diinjeksi bST harian, yaitu 19% untuk bulan pertama dan 17% untuk bulan kedua. Penambahan 25% konsentrat pada sapi kontrol (yang tidak diinjeksi bST) memperlihatkan peningkatan produksi susu sebesar 20 dan 14% masing-masing untuk bulan pertama dan bulan kedua. Namun, pada sapi yang diinjeksi bST harian penambahan 25% konsentrat pada pakan Balai menunjukkan hasil produksi susu yang lebih rendah, yaitu sebesar 3 dan 1% masing-masing untuk bulan pertama dan kedua Demikian pula sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari, penambahan 25% konsentrat menurunkan produksi susu, yaitu 27% untuk bulan pertama dan 24% untuk bulan kedua. Pada pengamatan bulan ketiga, tidak terjadi interaksi antara injeksi bST dengan pakan, demikian pula faktor injeksi bST atau penambahan konsentrat tidak menunjukkan pengaruh pada produksi susu. Rataan produksi susu sapi kontrol, sapi yang diinjeksi bST harian, dan sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari secara berturutturut adalah 375,69; 399,29; dan 395,82 kg, dan sapi yang diberi pakan Balai serta pakan Balai ditambah 25% konsentrat adalah 400,70 dan 380,14 kg. Secara keseluruhan, total produksi susu selama 84 hari dipengaruhi oleh interaksi antara injeksi bST dan pakan seperti yang tersaji dalam Gambar 17. Injeksi bST harian dan selang 14 hari pada sapi yang diberi pakan Balai memperlihatkan peningkatan produksi secara berturut-turut sebesar 17 dan 26%. Produksi susu sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari lebih tinggi 8% dibandingkan dengan produksi susu sapi yang diinjeksi bST harian. Namun, pada sapi yang diberi pakan Balai ditambah 25% konsentrat, sapi yang diinjeksi bST harian dan selang 14 hari menghasilkan produksi susu yang lebih rendah, masing- 50 masing sebesar 2,41% dan 22% dibandingkan dengan produksi susu sapi kontrol. Produksi susu sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari lebih rendah dibandingkan Produksi susu (kg/ 84 hari) produksi susu sapi yang diinjeksi bST harian, yaitu sebesar 14%. 1500 1400 1300 1289.3 1308.625 1411.175 1277.05 1200 1100 P2 P1 1120.925 1096.33 1000 900 K0 Keterangan: P1 : Pakan Balai Ko: Perlakuan noninjeksi bST K14: Perlakuan injeksi bST selang 14 hari K1 K14 P2: Pakan Balai ditambah 25% konsentrat K1: Perlakuan injeksi bST harian Gambar 17 Interaksi injeksi bST harian, injeksi bST selang 14 hari, dan standar (P1), pakan Balai ditambah 25% konsentrat (P2). Dari paparan hasil pengamatan tampak adanya konsistensi interaksi antara faktor injeksi bST dan penambahan konsentrat. Khususnya pada bulan pertama dan kedua atau total selama 84 hari (3 bulan), walau pada bulan ketiga interaksi itu tidak tampak lagi. Pada sapi yang diberi pakan Balai, injeksi bST menunjukkan pola yang tetap, yaitu injeksi bST selang 14 hari menghasilkan susu paling tinggi (24-32%) dibandingkan dengan injeksi bST harian atau sapi kontrol. Pada sapi yang diberi pakan Balai ditambah 25% konsentrat, produksi susu yang dihasilkan sapi yang diinjeksi bST lebih rendah dibandingkan sapi kontrol. Produksi susu sapi yang diinjeksi bST harian lebih rendah namun tidak kurang dari 3%, sedangkan pada sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari produksi susu yang dihasilkan lebih rendah, yaitu mencapai 26%. Produksi susu yang dihasilkan sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari jauh lebih rendah dibandingkan dengan produksi susu sapi yang diinjeksi bST harian. Penambahan 25% konsentrat pada sapi kontrol (sapi yang tidak diinjeksi bST) meningkatkan produksi susu, walau persentase peningkatannya lebih rendah dari hasil sapi yang diinjeksi bST. Penambahan 25% konsentrat pada sapi yang diinjeksi bST menghasilkan susu yang lebih rendah. 51 Selisih produksi susu sapi yang diinjeksi bST harian kurang dari 3%, sedangkan sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari produksi susu lebih rendah, yaitu sebesar 22% dibandingkan dengan kontrol. Dapat disimpulkan bahwa injeksi bST meningkatkan produksi susu pada sapi yang diberi pakan Balai, sedangkan pada sapi yang diberi pakan Balai ditambah 25% konsentrat justru produksi susu lebih rendah dibandingkan kontrol. Selisih produksi susu antara sapi yang diinjeksi bST harian dan kontrol tidak melebihi 3%, sedangkan pada injeksi bST selang 14 hari mencapai 15%. Perbedaan ini dapat diakibatkan kerja ST, dan IGF-1 dalam memediasi ST di dalam kelenjar susu. Rataan total produksi susu selama 84 hari pengamatan (12 minggu) memperlihatkan adanya penurunan (Gambar18). Penurunan produksi mengikuti persamaan garis seperti yang disajikan dalam Tabel 7 walau mengalami penurunan produksi yang berjalan seiring dengan waktu pengamatan. Sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari dan diberi pakan Balai secara konsisten tetap menghasilkan susu tertinggi, diikuti sapi yang mendapat injeksi bST harian dan pakan Balai, produksi susu sapi kontrol dan pakan Balai ditambah 25% konsentrat. Dari hasil pengujian homogenitas kofisien regresi ternyata antara kombinasi perlakuan berbeda. Uji lanjutan menunjukkan bahwa pada level pakan Balai, injeksi nonbST (kontrol), injeksi bST harian, dan injeksi bST selang 14 hari menunjukkan penurunan jumlah produksi yang berbeda dalam kurun waktu yang bersamaan, sedangkan pada level pakan Balai ditambah 25% konsentrat tampak injeksi nonbST ( kontrol), injeksi bST harian, dan injeksi bST selang 14 hari memperlihatkan penurunan jumlah produksi susu yang sama dalam kurun waktu yang sama. Produksi susu sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari dengan pakan Balai ditambah 25% konsentrat sebanyak 29,18% dipengaruhi oleh waktu perlakuan, sedangkan hampir 70% disebabkan oleh faktor lain. Koefisien determinasi dari kombinasi perlakuan lainnya berada dalam kisaran 45–84% yang umumnya adalah akibat faktor waktu perlakuan. Dari hasil uji signifikansi koefisien determinasi, ternyata pada semua kombinasi perlakuan waktu pengamatan berpengaruh nyata pada produksi susu, kecuali pada suplementasi selang 14 hari dan pakan Balai ditambah 25%. 140 Produksi Susu (Kg) 130 120 110 100 90 80 0 1 K0P1 2 y = -0.9053x + 99.295 R K0P2 3 2 2 5 Mi K1 P1 = 0.4504 y = -2.1253x + 121.26 R 4 = 0.7412 6 7 y = -2.2149x + 123.45 R K1P2 8 2 R 10 K14P1 = 0.6299 y = -2.1288x + 120.26 2 9 = 0.8425 K14P2 11 12 y = -2.3915x + 133.14 R 2 = 0.7452 y = -1.0054x + 97.896 R 2 = 0.2918 52 Gambar 14 Hubungan produksi susu dan waktu perlakuan dari masing-masing kombinasi perlakuan selama 84 hari (12 minggu). 53 Tabel 7 Hubungan produksi susu dan waktu perlakuan dari masing-masing kombinasi perlakuan selama 84 hari (12 minggu) pengamatan Kombinasi perlakuan Persamaan garis R2 K14P2 Y=-1,0054X + 97,896 0,2918 K0P1 Y=-0,9053X + 99,295 0,4504 K1P2 Y=-2,1253X + 121,26 0,7412 K0P2 Y=-2,1288X + 120,26 0,8425 K1P1 Y=-2,2149X + 123,45 0,6299 K14P1 Y=-2,3915X + 133,14 0,7452 Keterangan : K0P1 : injeksi bST dan pakan Balai K1P1 : injeksi bST harian dan pakan Balai K14P1: injeksi bST selang 14 hari dan pakan Balai K0P2 : injeksi bST dan pakan Balai+25% konsentrat K1P2 : injeksi bST harian dan pakan Balai+25% konsentrat K14P2: injeksi bST selang 14 hari dan pakan Balai+25% konsentrat Produksi susu terkoreksi 4% FCM, produksi susu sapi yang mendapat injeksi bST harian memperlihatkan lebih tinggi 5,6% dibandingkan sapi kontrol, sedangkan sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari mempunyai produksi susu yang sama dengan sapi kontrol. Tampak ada kecenderungan injeksi bST (harian dan selang 14 hari) memperlihatkan produksi 4% FCM yang lebih tinggi, namun peningkatan produksi 4% FCM ini secara statistik tidak nyata (P>0.05). Demikian pula produksi susu 4% FCM dari sapi uji yang mendapat pakan Balai adalah 8,75% lebih tinggi dibandingkan dengan produksi susu sapi yang mendapat pakan Balai ditambah 25% konsentrat, namun tidak nyata secara statistik (P> 0.05). Rataan produksi 4% FCM, pemberian pakan Balai, pakan Balai ditambah 25% konsentrat dan perlakuan kontrol, injeksi bST harian, dan injeksi bST selang 14 hari, secara berturut-turut adalah sebesar 13,60; 12,41 dan 12,77; 13,49; 12,77 kg (Gambar 19). 4% FCM (kg) 54 16 14 12 10 8 6 4 2 0 P1 P2 (a) K0 K1 (b) K14 K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 Kon K14P2 di i (c) Gambar 19 Rataan produksi susu 4% FCM efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan. Komposisi Susu dan Bobot Jenis Susu Komposisi susu terdiri atas beberapa komponen yang pada dasarnya mempunyai kadar yang dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya masa laktasi, umur, bangsa, bahkan status pakan. Hasil pengamatan selama 84 hari menunjukkan injeksi bST atau penambahan konsentrat tidak mempengaruhi kadar protein, kadar lemak susu, bahan kering tanpa lemak, dan bobot jenis susu. Hasil analisis disajikan dalam Tabel 8. Rataan kadar protein susu sapi yang diberi pakan Balai, pakan Balai ditambah 25% konsentrat dan sapi kontrol, sapi yang mendapat injeksi bST harian, dan sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari, secara berturut-turut adalah 3,43; 3,51 dan 3,39; 3,46; 3,56%. Kadar protein susu sapi yang mendapat injeksi bST (harian dan selang 14 hari) cenderung lebih tinggi, namun tidak nyata secara statistik (P>0.05). Kadar protein susu masing-masing perlakuan disajikan dalam Gambar 20. 55 Tabel 8 Rataan komposisi dan bobot jenis susu pada sapi yang diinjeksi bST dan ditambah konsentrat selama 84 hari (12 minggu) pengamatan bST Peubah Kontrol (Ko) P>F Harian (K1) 14 Harian (K14) P1 P2 P1 P2 P1 P2 bST Pkn Int Protein Susu (%) 3,52 ± 0,23 3,26 ± 0,28 3,32 ± 0,26 3,59 ± 0,12 3,44 ± 0,36 3,68 ± 0,24 ns ns - Lemak Susu (%) 3,88 ± 0,38 4,12 ± 0,12 3,60 ± 0,23 3,93 ± 0,26 3,63 ± 0,26 3,85 ± 0,27 ns ns - BKTL (%) 7,14 ± 0,15 7,23 ± 0,16 7,01 ± 0,24 7,03 ± 0,23 6,96 ± 0,13 7,19 ± 0,20 ns ns - Bobot Jenis Susu 1,0227 ± 5.10--4 1,0228 ± 4.10--4 1,0223 ± 8.10--4 1,0223 ± 7.10--4 1,0224 ± 3.10--4 1,0227 ± 7.10--4 ns ns - Keterangan: tanda * menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%. ns : tidak berbeda nyata. P1 adalah pakan standar yang biasa diberikan di BPPTP Cikole. P2 adalah pakan standar ditambah 25% konsentrat (2 kg konsentrat yang digunakan pada pakan standar) 55 56 3.70 Kadar Protein (%) 3.60 3.50 3.40 3.30 3.20 3.10 3.00 P1 P2 (a) K0 K1 (b) K14 K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2 (c) Gambar 20 Rataan kadar protein susu (%) efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan. Hasil pengamatan pengaruh injeksi bST pada kadar lemak menunjukkan lbahwa sapi yang diinjeksi bST mempunyai kadar lemak susu lebih rendah dibandingkan kontrol. Kadar lemak susu sapi yang diinjeksi bST harian dan selang 14 hari secara berturut-turut adalah 5,0 dan 6,5% lebih rendah dibandingkan sapi kontrol. Rataan kadar lemak susu sapi kontrol, sapi yang diinjeksi bST harian, dan sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari secara berturutturut adalah 4,0; 3,8; dan 3,74%, namun perbedaan tersebut tidak nyata secara statistik (P>0.05). Pemberian pakan Balai ditambah 25% konsentrat meningkatkan kadar lemak susu 7,8% dibandingkan dengan pemberian pakan Balai saja (3,70 vs 3,97%), namun peningkatan tersebut tidak nyata secara statistik (P>0.05). Rataan kadar lemak susu pada masing masing perlakuan disajikan dalam Gambar 21. Hasil pengamatan injeksi bST dan penambahan konsentrat menunjukkan bahwa kedua faktor tersebut tidak mempengaruhi kadar bahan kering susu tanpa lemak. Rataan bahan kering susu tanpa lemak dari sapi yang mendapat pakan Balai, sapi yang mendapat pakan Balai ditambah 25% konsentrat dan sapi kontrol, sapi yang diberi injeksi bST harian, dan sapi yang diberi injeksi bST selang 14 hari, secara berturut-turut adalah 7,04; 7,15 dan 7,19; 7,02; 7,08% (Gambar 22). Terdapat penurunan kadar bahan kering tanpa lemak (BKTL) pada sapi yang diinjeksi bST, sedangkan penambahan 25% konsentrat pada pakan Balai meningkatkan kadar BKTL sebesar 1,50%, namun peningkatan tersebut tidak nyata secara statistik (P>0.05). 57 4.20 Kadar Lemak (%) 4.10 4.00 3.90 3.80 3.70 3.60 3.50 3.40 3.30 P1 P2 K0 (a) K1 K14 K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2 (b) (c) Kadar BKTL (%) Gambar 21 Rataan kadar lemak susu (%) efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari pengamatan(12 minggu) 7.25 7.20 7.15 7.10 7.05 7.00 6.95 6.90 6.85 P1 P2 K0 K1 K14 K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2 (b) (a) (c) Gambar 22 Rataan kadar BKTL susu (%) efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan. Hasil pengamatan injeksi bST atau pemberian pakan tidak berpengaruh pada bobot jenis susu. Rataan bobot jenis susu sapi yang mendapat pakan Balai, pakan Balai ditambah 25% konsentrat dan sapi kontrol, sapi yang diberi injeksi bST harian, dan sapi yang diberi injeksi bST selang 14 hari secara berturut-turut Bobot jenis adalah 1,0225; 1,0226 dan 1,0228; 1,0223; 1,0226 (Gambar 23). 1.0228 1.0226 1.0224 1.0222 1.0220 1.0218 1.0216 1.0214 1.0212 P1 P2 (a) K0 K1 (b) K14 K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2 (c) Gambar 23 Rataan bobot jenis susu efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan. 58 Bobot Tubuh, Konsumsi Bahan Kering, Efisiensi Produksi Susu, dan Nilai Kondisi Ternak Bobot tubuh, pertambahan bobot tubuh, rataan bobot tubuh, konsumsi bahan kering, efisiensi produksi susu, dan nilai kondisi ternak disajikan pada Tabel 9. Bobot tubuh awal sapi uji kombinasi perlakuan menunjukkan kisaran bobot awal yang sama antarkombinasi perlakuan, dan selama 84 hari ternyata bobot sapi uji tidak berbeda antarkombinasi perlakuan. Rataan bobot tubuh Bobot Tubuh (kg) selama pengamatan disajikan dalam Gambar 24. 500 490 480 470 460 450 440 430 420 410 400 P1 P2 (a) K0 K1 K14 K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2 (b) (c) Gambar 24 Rataan bobot tubuh efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan. Pertambahan bobot tubuh selama 84 hari pengamatan menunjukkan terdapat interaksi antara injeksi bST dan pakan seperti tertera pada Gambar 25. P1 P2 40 36 30 21.75 20 16 12.25 10 0 -10.75 -10 -15 -2 0 K0 K1 K14 BST Gambar 25 Interaksi injeksi bST dan pakan pada penambahan bobot tubuh selama penelitian (12 minggu). 59 Tabel 9 Bobot tubuh, pertambahan bobot tubuh, konsumsi bahan kering dan efisiensi produksi susu, dan nilai kondisi ternak sapi yang diinjeksi bST dan ditambah konsentrat selama 84 hari (12 minggu) pengamatan Peubah Bobot tubuh awal (kg) Bobot tubuh akhir (kg) Pertambahan bobot tubuh (kg) Rataan bobot tubuh (kg) Konsumsi bahan kering (kg) Efisiensi produksi susu (%) Nilai kondisi ternak Keterangan: bST Harian (K1) Kontrol (Ko) P>F 14 Harian (K14) P1 P2 P1 P2 P1 P2 bST Pkn Int 462,5 ± 71,59 457,8 ± 31,38 440,5 ± 39,08 448,5 ± 59,27 430,0 ± 33,66 448,0 ± 63,00 ns ns - 475 ± 77, 27 447 ± 18,96 462 ± 46,28 434 ± 39,20 446 ± 40,04 494,7 ± 59,48 ns ns - + 12,25 ± 7.80 -10,75 ± 18.96 +21,75 ± 17.42 -15 ± 30.80 +16 ± 6.97 +36 ± 6.36 ns ns * 469,33 ± 68,12 455,67± 29,90 456,42 ± 49,33 435,25 ± 43,48 447,17 ± 37,88 491,22 ± 50,77 ns ns - 17,80a± 0,09 19,72b ± 0,03 17,81a ± 0,07 19,94b ± 0,39 17,86a ± 0,03 19,71b ± 0,01 ns * - 15,60 ± 3,03 14,31 ± 1,06 17,35 ± 1,82 15,36 ± 3,86 17,96 ± 5,27 12,08 ± 2,91 ns ns - 2,71 ± 0,20 2,65 ± 0,14 2,75 ± 0,20 2,69 ± 0,12 2,60 ± 0,20 2,94 ± 0,19 ns ns - tanda * menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%. ns : tidak berbeda nyata. P1 adalah pakan standar yang biasa diberikan di BPPTP Cikole. P2 adalah pakan standar ditambah 25% konsentrat (2 kg konsentrat yang digunakan pada pakan standar) 59 60 Pada level pakan Balai, sapi kontrol dan sapi yang mendapat injeksi bST harian menunjukkan peningkatan bobot tubuh, sedangkan pada sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari terjadi penurunan bobot tubuh. Pada level pakan Balai ditambah 25% konsentrat, sapi kontrol dan sapi yang mendapat injeksi bST harian mengalami penurunan bobot tubuh, sedangkan pada sapi yang mendapat injeksi selang 14 hari terjadi peningkatan bobot tubuh . Penambahan konsentrat sebesar 25% pada pakan Balai nyata menyebabkan peningkatan konsumsi bahan kering antarkombinasi perlakuan. Rataan konsumsi bahan kering sapi yang mendapat pakan Balai ditambah 25% konsentrat adalah sebesar 19,73 kg, sedangkan sapi yang mendapat pakan Balai saja adalah sebesar 17,82 kg. Terdapat selisih konsumsi bahan kering sebesar 1,97 kg (11,05%). Injeksi bST tidak mempengaruhi konsumsi bahan kering. Rataan konsumsi bahan kering pakan Balai, pakan Balai ditambah 25% konsentrat dan perlakuan kontrol, injeksi bST harian, dan injeksi bST selang 14 hari secara berturut-turut adalah 17,83; 19,80 dan 18,76; 18,88; 18,79 kg disajikan Konsumsi Bahan Kering (kg) dalam Gambar 26. 20.0 19.5 19.0 18.5 18.0 17.5 17.0 16.5 P1 P2 (a) K0 K1 (b) K14 K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2 (c) Gambar 26 Rataan konsumsi bahan kering efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan. Injeksi bST (harian dan selang 14 hari) atau pakan ternyata tidak berpengaruh pada efisiensi produksi susu. Rataan efisiensi produksi susu pakan Balai, pakan Balai ditambah 25% konsentrat dan perlakuan kontrol, injeksi bST harian, dan injeksi bST 61 selang 14 hari secara berturut-turut adalah 16,97; 13,40 dan 14,96; 16,40; 15,02% Efisiensi Produksi Susu (%) disajikan dalam Gambar 27. 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 P1 K0 P2 K1 K14 K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2 (b) (a) (c) Gambar 27 Rataan efisiensi produksi susu (EPS) efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan. Angka efisiensi produksi susu dari sapi uji yang mendapat injeksi bST harian lebih tinggi dari sapi kontrol, yaitu sebesar 9,4% sedangkan sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari menunjukkan lebih rendah 1% dari sapi kontrol. Pemberian pakan Balai ditambah 25% konsentrat memiliki angka efisiensi produksi susu yang lebih rendah 18,68% dibandingkan dengan sapi yang mendapat pakan Balai saja. Perhitungan efisiensi produksi susu melibatkan beberapa peubah, khususnya produksi susu yang telah distandarkan pada 4% FCM, konsumsi bahan kering pakan dan bobot tubuh. Angka efisiensi produksi susu sapi uji yang mendapat injeksi bST harian cenderung lebih tinggi dari sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari, namun tidak nyata secara statistik (P>0.05). Sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari tampak memiliki angka efisiensi produksi susu yang sama dengan sapi kontrol, sedangkan sapi yang mendapat pakan Balai dapat meningkatkan efisiensi produksi susu, namun peningkatannya tidak nyata. Peningkatan angka efisiensi produksi susu pada injeksi bST harian menunjukkan peran bST sebagai agen galaktopoietik. Nilai kondisi ternak (NKT) menunjukkan tidak berbeda antarperlakuan. Nilai kondisi ternak, sapi yang mendapat pakan Balai, sapi yang mendapat pakan Balai ditambah 25% konsentrat dan sapi kontrol, sapi yang mendapat injeksi bST harian, dan sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari, secara berturut-turut adalah sebesar 2,69; 2,76 dan 2,68; 2,72; 2,77. Hasil penelitian menunjukkan ada kecenderungan bahwa pada sapi yang diinjeksi bST selang 62 14 hari lebih tinggi dibanding sapi yang diinjeksi bST harian atau sapi kontrol. Sapi yang diberi pakan Balai ditambah 25% konsentrat memiliki nilai kondisi ternak yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang diberi pakan Balai saja. Rataan nilai kondisi Nilai Kondisi Ternak ternak antarperlakuan disajikan dalam Gambar 28. 2.90 2.80 2.70 2.60 2.50 2.40 P1 P2 (a) K0 K1 (b) K14 K0P1 K0P2 K1P1 K1P2 K14P1 K14P2 (c) Gambar 28 Rataan nilai kondisi ternak (NKT) efek utama pakan (a), bST (b), dan kombinasi perlakuan (c), selama 84 hari (12 minggu) pengamatan. 63 . PEMBAHASAN Fungsi utama jantung adalah memompakan darah ke seluruh tubuh. Pada hewan laktasi, peranan kardiovaskular dan aliran darah sangat penting, khususnya pengaliran darah yang menuju ke kelenjar susu untuk memasok kebutuhan nutrien yang diperlukan untuk sintesis susu dan membawa hasil metabolisme. Denyut jantung merupakan manifestasi dari kerja jantung dalam memompakan darah sehingga terdapat hubungan positif antara denyut jantung dengan aliran darah. Dalam keadaan normal, denyut jantung sapi perah berkisar antara 60 dan 70 kali/menit (Frandson 1996). Sebagai gambaran pada sapi yang berbobot tubuh 500 kg, dengan denyut jantung 70 kali/menit, curah jantung dalam sehari kira-kira 71 000 L (Akers 2002). Kelenjar susu yang sedang laktasi menggunakan hampir 10% dari curah jantung, dan akan meningkat pada akhir kebuntingan dan awal laktasi. Rasio antara aliran darah dengan produksi susu adalah 500:1 sehingga bila produksi susu 35 kg, dibutuhkan aliran darah ke kelenjar susu sebanyak 17 500 L (Prosser &Mepham 1989). Hasil pengamatan menunjukkan injeksi bST harian dan selang 14 hari nyata meningkatkan denyut jantung secara berturut-turut 4,6%, dan 6,7% dibandingkan kontrol. Angka peningkatan denyut jantung masih dalam kisaran normal walau secara statistik berbeda nyata. Peningkatan denyut jantung mengindikasikan peningkatan aliran darah. Dalam rangka penyesuaian metabolisme sebagai salah satu peran ST adalah mempengaruhi atau meningkatkan kerja jantung dalam memompa darah ke seluruh bagian tubuh. Peningkatan produksi susu akan meningkatkan rasio antara aliran darah dengan produksi susu. Seperti yang dilaporkan peneliti terdahulu bahwa injeksi bST meningkatkan aliran darah menuju kelenjar susu untuk memasok kebutuhan nutrien dan prekursor (Prosser & Mepham 1989). Prinsip utama peningkatan sintesis susu adalah peningkatan aktivitas sel sel epitel kelenjar susu yang didukung oleh peningkatan laju darah yang membawa substrat dan prekursor yang dibutuhkan. Hasil pengamatan menunjukkan frekuensi denyut jantung pada sapi yang disuntik bST mengalami peningkatan walau masih dalam kisaran normal. Rataan denyut jantung hasil pengamatan ternyata lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan Soderholm et al (1986) bahwa sapi yang diinjeksi bST dengan dosis 10,3; 20,6; dan 41,2 mg/hari 64 menunjukkan peningkatan secara berturut-turut 5; 9; dan 15% dibandingkan dengan sapi kontrol. Hal tersebut memperkuat pernyataan Peel & Bauman (1987) dan Phipps (1989) bahwa injeksi bST meningkatkan sedikit denyut jantung khususnya pada dosis tinggi. Pernapasan adalah proses pengambilan sejumlah O2 untuk metabolisme dan pengeluaran CO2 hasil metabolisme, namun di samping itu juga digunakan untuk proses evaporasi, yaitu pengeluaran kelebihan produk panas tubuh. Produksi panas dalam tubuh terus berlangsung sebagai proses oksidasi fisiologis dari organ tubuh. Untuk keperluan tersebut dibutuhkan sejumlah energi, dan dari proses tersebut juga diproduksi sejumlah kalor dalam bentuk panas. Sapi perah yang berada dalam keadaan tidak beraktivitas, dan tidak laktasi menghasilkan 400–500 kalori/jam, pada saat laktasi produk panas dapat mencapai 2 kali lipat (Soeharsono 1984). Hasil pengamatan menunjukkan frekuensi pernapasan berkisar antara 28,70 dan 30,46 kali/menit, dan masih termasuk dalam kisaran normal, yaitu 30,0 kali/menit pada kondisi ideal 18ºC (McDowell 1972). Injeksi bST nyata meningkatkan frekuensi pernapasan 1,8 sampai 5,0% walau masih dalam kisaran normal. Hasil pengamatan yang dilaporkan Soderholm et al (1988) bahwa sapi yang mendapat injeksi bST 0; 10,3; 20,6; 41,2 mg/hari memiliki frekuensi pernapasan berturut-turut sebesar 41,1; 47,3; 41,7, dan 47,3 kali/menit namun secara statistik tidak berbeda. Injeksi bST (harian dan selang 14 hari) meningkatkan produksi susu, yang berarti telah terjadi peningkatan produk panas. Sebagai hewan homoeoterm, sapi akan mempertahankan keseimbangan panas sehingga kelebihan produk panas harus segera dikeluarkan agar keseimbangan panas dapat tetap dipertahankan dan dimanifestasikan pada suhu tubuh yang relatif konstan. Cara pengeluaran kelebihan panas dapat dilakukan melalui berbagai proses seperti radiasi, konveksi, konduksi dan evoporasi. Pengeluaran panas melalui evaporasi yaitu peningkatan pernapasan dipandang lebih efektif karena pada umumnya ternak tidak mempunyai kelenjar keringat dalam jumlah banyak (Soeharsono 1984). Dalam pengamatan ini tampaknya peningkatan frekuensi pernapasan yang terjadi dapat mendukung proses homeostasis berjalan lancar. Peningkatan frekuensi pernapasan yang diperoleh dari hasil pengamatan 65 relatif kecil hal ini berkaitan erat dengan waktu pengamatan yang dilakukan pada pagi hari antara pukul 5.00-6.00 dan pengukuran siang pada pukul 13.00-14.00 sehingga sapi belum mendapat pakan sehingga kisaran frekuensi pernapasan secara bilangan relatif lebih rendah dan perbedaan antarperlakuan berada dalam kisaran yang sempit. Suhu tubuh merupakan manifestasi akhir dari seluruh rangkaian proses metabolisme yang terjadi dalam tubuh. Sapi uji sebagai hewan homoioterm akan selalu memelihara/mempertahankan keseimbangan panas (Hafez 1968). Pada pengamatan ini terjadi peningkatan produksi susu, yang mengindikasikan adanya penambahan produk panas tubuh selain panas tubuh dari metabolisme untuk kelangsungan hidup pokok. Semakin tinggi produksi susu yang dihasilkan berarti semakin bertambah panas yang terbentuk, yang pada gilirannya merupakan beban panas yang harus segera dikeluarkan. Setiap terjadi pergeseran keseimbangan panas antara produksi panas dalam tubuh akan segera diikuti dengan upaya pengembalian ke dalam keadaan seimbang (homeostasis). Hasil pengamatan menunjukkan rataan suhu tubuh sapi uji terdapat dalam kisaran 38,51 sampai 38,59ºC, yang masih termasuk dalam kisaran suhu normal yaitu 38,00-39,30ºC (Williamson&Payne 1978) atau 38,6ºC (McDowell 1972; Robinson 1992). Sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari memiliki suhu tubuh 1,3% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, sedangkan sapi yang mendapat injeksi bST harian justru lebih rendah 0,8% dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan suhu tubuh pada sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari mengindikasikan adanya peningkatan produksi susu (Tarazon-Herrera 1999). Peningkatan suhu tubuh selama pemberian ST masih tetap dalam variasi yang normal dan tidak berbahaya terhadap sistem termoregulasi fisiologis hewan uji (Manalu 1991). Dalam proses homeostasis, tampak upaya penyeimbangan panas telah dilakukan melalui evaporasi, yaitu dengan peningkatan frekuensi pernapasan, bahkan peningkatan denyut jantung. Pada injeksi bST harian atau selang 14 hari, beban panas dikeluarkan melalui peningkatan pernapasan sebesar 1,8– 5,0% dan 4,8–6,9% melalui peningkatan denyut jantung. Nilai hematokrit dan kadar hemoglobin dalam keadaan normal secara berturutturut adalah 24– 40% dan 8–14 gr/dL (Phipps 1989). Sapi-sapi akan mengalami penurunan nilai hematokrit dan kadar hemoglobin setelah partus sampai 3 atau 4 bulan masa laktasi (Eppard et al.1989), yang diduga sebagai akibat peningkatan 66 produksi susu sehingga penggunaan asam amino atau protein difokuskan untuk sintesis susu. Keadaan tersebut diduga berdampak pada suplai asam amino untuk pembentukan sel darah merah, atau lebih spesifik terjadinya kelambatan pendewasaan sel darah merah yang akan berpengaruh pada peran hemoglobin dalam pengikatan oksigen yang dibutuhkan dalam metabolisme. Hasil pengamatan memperlihatkan injeksi bST (harian dan selang 14 hari) tidak mempengaruhi nilai hematokrit. Nilai hematokrit berada dalam kisaran antara 28,02 dan 30,08%. Tampak pada injeksi bST (harian dan selang 14 hari) nilai hematokrit menunjukkan peningkatan walau tidak secara nyata. Kecenderungan peningkatan nilai hematokrit dipacu oleh neraca nitrogen tubuh dan status pakan, yang pada saat pengamatan berada dalam neraca positif. Keadaan tersebut di atas turut memperkuat hasil pengamatan Hasil pengamatan memperlihatkan injeksi bST (harian dan 14 hari) tidak mempengaruhi kadar hemoglobin. Kadar hemoglobin yaitu selang berkisar antara 9,46 dan 10,19 gr/dL. Tampak pada sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari memiliki kadar hemoglobin lebih tinggi 0,41 % dibandingkan kontrol atau sapi yang diinjeksi bST harian, sedangkan penambahan 25% konsentrat lebih tinggi (0,65%) dibandingkan dengan sapi yang mendapatkan pakan Balai saja. Keadaan tersebut di atas turut memperkuat hasil pengamatan dilaporkan Phipps (1989) bahwa sapi yang mendapat injeksi bST umumnya memiliki nilai hematokrit dan kadar hemoglobin yang relatif sama dan masih terdapat dalam kisaran normal. Secara rinci kisaran normal nilai hematokrit dan kadar hemoglobin secara berturut-turut adalah 24-40% dan 8-14 gr/dL. Hasil pengamatan Phipps (1989) menunjukkan nilai hematokrit untuk sapi kontrol adalah 30,10% dan 26,10% untuk sapi yang dinjeksi bST, sedangkan kadar hemoglobin untuk sapi kontrol dan sapi yang diinjeksi bST secara berturut-turut adalah 11,5 gr/dL dan 10,00 gr/dL. Sapi akan memperlihatkan penurunan nilai hmatokrit atau kadar hemoglobin pada penggunaan bST dengan dosis yang tinggi (Phipps 1989). Peningkatan produksi susu mengindikasikan terjadinya peningkatan aktivitas metabolisme dalam tubuh. Namun, hasil analisis beberapa metabolit penting antara lain glukosa, trigliserida, dan nitrogen urea serta hormon metabolism ternyata tidak 67 menunjukkan perbedaan pada sapi yang diinjeksi bST (harian dan selang 14 hari) atau ditambahkan konsentrat. Glukosa merupakan prekursor yang dibutuhkan dalam sintesis laktosa. Laktosa berperan dalam mempertahankan osmolaritas air dan komponen-komponen dalam susu sehingga untuk menentukan peningkatan susu dapat dilakukan melalui kadar glukosa dan laktosa. Kadar glukosa darah pada ternak sapi berkisar antar 40 dan 60 mg% (Preston dan Leng 1987; Sutardi 1981). Pada sapi laktasi kadar glukosa lebih rendah daripada sapi yang tidak sedang laktasi (Akers 2002; Sutardi 1981). Rendahnya kadar glukosa pada sapi laktasi selalu dihubungkan dengan cepatnya up take glukosa dan penggunaan nutrien oleh kelenjar susu (Riis 1983). Selama periode laktasi, glukosa dibutuhkan secara terus menerus sehingga diperlukan sumber glukosa untuk mencukupi proses sintesis susu dalam waktu yang relatif cepat, yaitu melalui perombakan cadangan energi yang tersimpan dalam tubuh. Salah satu di antaranya adalah glikogen, namun cadangan ini hanya tersedia dalam jumlah terbatas, dan selanjutnya akan dipasok melalui jalur glukoneogenesis yang terjadi di dalam hati (Rose & Obara 2000). Rataan glukosa serum hasil pengamatan ini berada dalam kisaran 33,40 sampai 40,46 mg%, yang lebih rendah dari yang dilaporkan Sutardi (1981). Hal ini diduga erat kaitannya dengan waktu pengambilan sampel darah, yaitu 3–4 jam setelah pemberian pakan sehingga kadar glukosa cenderung sudah mengalami penurunan, yang diakibatkan oleh peningkatan laju up take glukosa oleh kelenjar susu. Injeksi bST dan penambahan konsentrat tidak mempengaruhi kadar glukosa serum. Namun, tampak ada kecenderungan kadar glukosa serum pada sapi yang mendapat injeksi bST harian sedikit lebih tinggi dari perlakuan kontrol atau injeksi bST selang 14 hari. Cepatnya laju up take glukosa mempunyai hubungan yang positif dengan laju peningkatan produksi susu sehingga pada sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari memiliki produksi susu yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Riis 1983) Aksi Somatotropin pada sapi laktasi bekerja langsung sebagai antiinsulin (Eckert & Randall 1983; Kamil et al. 2001; Manalu 2001) dan pengaruhnya akan tampak beberapa jam setelah injeksi pertama dan setelah injeksi harian (Manalu 2001) pada seluruh jaringan tubuh nonkelenjar susu, dalam rangka penyesuaian metabolisme dan 68 homeostasis. Up take glukosa dan penggunaan glukosa pada seluruh jaringan nonkelenjar susu menjadi rendah (Etherton & Bauman 1998), yang ditandai dengan berkurangnya ekspresi transport glukosa dalam jaringan, namun terjadi peningkatan stimulasi lipolisis (Zhao et al.1996) yang akan menyebabkan rendahnya konsentrasi insulin dalam darah. Rendahnya kadar glukosa darah akan berdampak pada konsentrasi dan kerja insulin dalam rangka memfasilitasi glukosa masuk ke dalam sel, yang selanjutnya akan mempengaruhi aktivitas tiroksin dalam penyediaan ATP (Collier et al. 1984; Tucker 1984). Di samping itu bST akan meningkatkan aliran darah sehingga glukosa yang besama sirkulasi darah akan sampai pada kelenjar susu dan segera dimanfaatkan untuk kebutuhan sintesis susu. Kadar trigliserida darah merupakan hasil antara laju penyerapan trigliserida hasil hidrolisis enzimatis lemak pada saluran pencernaan ke dalam aliran darah dan laju pemanfaatnya pada sel-sel hati, sebelum disintesis kembali dan disimpan dalam jaringan. Trigliserida adalah pembentuk lemak susu terbesar hampir 97 sampai 98% dan sekitar 2 sampai 3% lainnya berupa senyawa fosfolipid (Larson 1985; Lynch et al. 1992). Ketersediaan trigliserida harus bersama-sama dengan asam asetat dan beta hidroksibutirat dan prekursor lainnya , khususnya dalam penyediaan sumber karbon untuk sintesis asam lemak rantai pendek dan medium dalam proses de novo (Tanwattana 2002). Hasil pengamatan menunjukkan trigliserida serum berkisar antara 92,8 dan 103,14 mg/dL. Injeksi bST atau suplementasi konsentrat ternyata tidak mempengaruhi kadar trigliserida serum. Kadar trigliserida yang diperoleh antara sapi kontrol dan sapi yang diinjeksi bST (harian dan selang 14 hari) berada dalam kisaran yang sama. Namun, kisaran kadar trigliserida pada penelitian ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil yang dilaporkan oleh Soderholm et al. (1988), yaitu pada pemakaian dosis bST 0; 10,3; 20,6 dan 41,2 mg/hari diperoleh kadar trigliserida secara berturut-turut 20,2; 24,2; 26,7; dan 25,4mg/dL, sementara dari hasil pengamatan ini kadar trigliserida secara berturut-turut untuk sapi kontrol, sapi yang mndapat injeksi bST harian, dan sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari adalah 97,79; 96,66, dan 101,15 mg/dL. Kadar trigliserida sapi yang diberi pakan Balai, dan sapi yang mendapat pakan Balai ditambah 25% konsentrat 69 adalah 97,79 dan 99,28 mg/dL. Perbedaan angka-angka hasil pengamatan ini disinyalir sebagai akibat dari laju hidrolisis pakan dan penggunaan pada metabolisme hati yang diduga bersumber dari bahan penyusun konsentrat. Peningkatan produksi susu yang tidak seimbang dengan peningkatan konsumsi pakan akan menyebabkan pembongkaran cadangan nutrien dalam tubuh. Urea nitrogen merupakan produk metabolisme protein, dan kadar urea dijadikan indikator standar tingkat kebutuhan protein selama laktasi. Peningkatan kadar urea menggambarkan tingkat penggunaan protein khususnya perombakan protein untuk memenuhi kebutuhan energi dalam sintesis susu. Selama kebuntingan dan laktasi, konsentrasi nitrogen urea dapat pula meningkat sejalan dengan peningkatan penggunaan protein dan konsumsi protein pakan, dan akan menurun bila konsentrasi protein dan komsumsi protein menurun. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa injeksi bST dan penambahan konsentrat tidak mempengaruhi konsentrasi nitrogen urea darah. Namun, ada kecenderungan pada sapi yang diinjeksi bST (harian dan selang 14 hari) konsentrasi nitrogen urea mengalami penurunan sebesar 0,5% pada injeksi harian, dan 3,7% pada injeksi selang 14 hari dibandingkan dengan sapi kontrol. Pada injeksi bST harian dan selang 14 hari terjadi peningkatan produksi susu 17 sampai 26% namun tidak tampak berbeda dengan kontrol. Kadar nitrogen urea hasil pengamatan berkisar antara 0,96 dan 1,16 mg/mL atau setara dengan 15,95 dan 19,20 mmol/L. Kisaran kadar nitrogen urea darah tersebut ternyata jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan Soderholm et al. (1988), yaitu sapi yang mendapat injeksi bST dengan dosis berturut-turut sebesar 0; 10,3; 20,6; dan 41,2 mg/hari diperoleh kadar nitrogen urea dalam darah secara berturut-turut sebesar 17,8; 16,4; 17,1 dan 15,2 mg/dL atau setara dengan 0,178; 0,164; 0,171 dan 0,152 mg/mL. Sementara itu, kadar nitrogen urea darah sapi yang diinjeksi bST dan ditambahkan konsentrat pada level energi dan protein kasar tinggi memperlihatkan kadar nitrogen urea 5,7 mmol/L untuk sapi kontrol, dan 4,0 mmol/L untuk sapi yang diinjeksi bST (McGuire et al. 1992). Kadar nitrogen urea sangat bergantung pada kondisi pakan bukan disebabkan telah terjadinya perombakan protein untuk kebutuhan energi sehingga tinggi rendahnya angka yang diperoleh menggambarkan peningkatan penggunaan protein. Level nitrogen urea sel tidak 70 konsisten selama masa laktasi dan perubahan konsentrasi protein dan metabolit darah tidak sepenuhnya dimediasi oleh hormon (Mege 2004). Peningkatan nitrogen urea hasil pengamatan diduga akibat pasokan protein pakan berlebih sehingga kelebihan protein harus dideaminasi menjadi amonia dan sebagian besar lainnya ditransformasi kembali menjadi urea dan selanjutnya memasuki aliran darah untuk segera diekskresikan melalui urin (NRC 1988). Hormon kortisol selalu dihubungkan dengan glukosa dan berfungsi dalam mengatur proses fisiologis dan biokimia glukosa (Djojosoebagio 1990). Kadar kortisol yang berlebih akan merangsang produksi glikogen dan glukosa oleh hati dengan jalan meningkatkan konversi piruvat menjadi glikogen yang merupakan aksinya dalam mengatur pasokan gula darah melalui proses glukoneogenesis (Schmidt 1971; Djojosoebagio 1990). Di samping itu, kortisol merupakan hormon yang bertanggung jawab pada penanggulangan cekaman (Schmidt 1971). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa injeksi bST dan pakan tidak mempengaruhi kadar kortisol darah. Kadar kortisol hasil pengamatan berkisar antara 5,74 dan 7,31 ηg/mL. Namun, ada kecenderungan sapi yang diinjeksi bST (harian dan selang 14 hari) terjadi penurunan kadar kortisol, yang mengindikasikan pasokan glukosa melalui proses glukoneogenesis pada sapi yang diinjeksi bST harian lebih rendah sebesar 7,5%, dan sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari sebesar 5,97% lebih rendah dibandingkan sapi kontrol (6,72 ηg/mL). Kadar kortisol akan menjadi rendah saat pasokan glukosa sudah tercukupi atau dengan kata lain kortisol merupakan glucose sparing effect Di samping itu diduga pemberian injeksi yang dilakukan setiap hari pada sapi kontrol, dan sapi yang di injeksi bST harian menjadikan sapi kurang nyaman atau sedikit mengalami cekaman. Kadar kortisol yang diperoleh pada pengamatan ini berada di bawah hasil yang dilaporkan Peel (1983), yaitu 9,90 ηg/mL untuk perlakuan kontrol, dan 8,20 ηg/mL untuk injeksi bST. Johnson et al. (1991) melaporkan bahwa kadar kortisol yang diperoleh dari sapi yang diinjeksi bST pada musim panas (farm) adalah 7,50 ηg/mL ternyata lebih rendah dibandingkan sapi kontrol, yaitu sebesar 10,20 ηg/mL. Hormon-hormon tiroid bersifat galaktopoietik dan berperan mengatur fungsi kelenjar susu dan selalu dikaitkan dengan kalorigenesis, khususnya dalam proses 71 metabolisme. Tetraiodotironin (T4) merupakan prohormon yang memiliki aktivitas biologis yang rendah dalam sirkulasinya, sedangkan triiodotironin (T3) merupakan bentuk aktif T4 yang telah mengalami proses deiodinasi oleh enzim 5’deiodinase (5’D) (Kahl et al.1994). Enzim 5’deiodinase berperan penting dalam pengaturan berbagai status fisiologis (Akers 2002). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sapi yang mendapat injeksi bST (harian dan selang 14 hari) dan penambahan konsentrat tidak mempengaruhi konsentrasi T4 dan T3. Namun, tampak adanya kecenderungan bahwa konsentrasi T4 dan T3 pada sapi yang diinjeksi bST relatif lebih rendah dibandingkan sapi kontrol. Hal tersebut mengindikasikan bahwa hormon-hormon tiroid dalam sel non-kelenjar susu menjadi rendah, yang mencerminkan penurunan aktivitas metabolisme. Keadaan tersebut senada dengan hasil penelitian Kahl et al. (1995) bahwa injeksi bST dapat meningkatkan status hipotiroid pada jaringan non-kelenjar susu, dan mempertahankan status eutiroid (normal) pada kelenjar susu, keadaan tersebut di atas untuk memberi prioritas metabolik pada kelenjar susu. Pada sapi laktasi, jaringan non-kelenjar susu berada dalam status hipotiroid sehingga konsentrasi T3 sebagai agen kalorigenesis mengalami penurunan. Triiodotironin merupakan hormon yang erat kaitannya dengan penyediaan ATP walau belum jelas bagaimana mekanismenya (Kahl et al. 1995). Penurunan konsentrasi T3 serum lebih jauhnya akan mengurangi efek kalorigenesis yang kerap ditimbulkan oleh T3 pada gilirannya akan membantu ternak dalam proses homeostasis (Johnson et al 1991). Hal ini memperkuat pernyataan Riis (1983) bahwa terdapat korelasi negatif antara produksi susu dengan konsentrasi tiroksin dalam darah. Pada ternak laktasi, injeksi bST akan meningkatkan aktivitas enzim 5’deiodinase dalam kelenjar susu yang diikuti dengan peningkatan 5’D pada kelenjar susu (Capuco et al.1989). Antara aktivitas 5’D dalam kelenjar susu dan produksi susu terjadi hubungan positif pada sapi laktasi yang diinjeksi bST dalam jangka pendek. Peningkatan produksi susu diikuti dengan peningkatan aktivitas 5’D pada kelenjar susu, sementara pada hati dan ginjal aktivitas 5’D tidak mengalami perubahan (Kahl et al.1995). Hasil pengamatan pada sapi yang mendapat injeksi bST (harian dan selang 14 hari) menunjukkan tidak berbeda dibandingkan kontrol. Pada Tabel 8 dapat dilihat 72 bahwa konsentrasi T3 dan T4 pada sapi yang mendapat injeksi bST (harian dan selang 14 hari) lebih rendah dibandingkan kontrol. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aktivitas metabolisme tiroksin dalam sel non-jaringan kelenjar susu menjadi rendah sekali. Kisaran kadar T4 dan T3 pada penelitian ini (secara berturut-turut adalah dari 0,96 sampai 1,12 ηg/mL; 26,20 sampai 32,81 ηg/mL) tidak terpaut jauh dari hasil pengamatan Peel (1983), (secara berturut-turut T4 dan T3 adalah 37,60; 0,85 ηg/mL untuk sapi kontrol, dan 29,0; 0,75 ηg/mL untuk sapi yang diinjeksi bST). Demikian pula hasil pengamatan yang dilaporkan Johnson et al. (1991) bahwa sapi yang mendapat injeksi bST pada musim panas (farm) memiliki kadar T4 dan T3 yang lebih rendah (masing-masing sebesar 36,20; 1,32 ng/mL) dibandingkan sapi kontrol ( yaitu sebesar 32,60; 1,21 ηg/mL). Somatotropin dikenal sebagai hormon perangsang yang termasuk ke dalam golongan hormon protein yang diproduksi oleh sel-sel somatotrof kelenjar pituitari (Djojosoebagio 10090; Kamil et al.2001; Manalu 2001). Somatotropin dapat bekerja secara langsung sebagai antiinsulin, khususnya pada hewan laktasi dengan meningkatkan lipolisis dan efek diabetogenik (Kamil et al.2001), sedangkan efek tidak langsung merangsang hati untuk meningkatkan sintesis somatomedin atau insulin-like growth factor-I (IGF-I) yang selanjutnya IGF-I berperan memediasi peran ST dalam kelenjar susu (Sharma et al.1994; Manalu 2001). Injeksi bST akan mempengaruhi konsentrasi ST di dalam darah (Manalu 2001). Hasil pengamatan selama 3 minggu yang dilakukan pada sapi uji pada masa praperlakuan, sapi uji sudah memasuki bulan laktasi 3-4 dengan rataan produksi susu (kg/minggu) awal pengamatan menunjukkan sapi berada dalam kisaran yang sama (koefisisn keragamana 14.37%). Rataan produksi sapi perah di BPPTP Cikole Lembang adalah 13-15 kg/ekor/hari. Saat pengamatan berlangsung sapi telah memasuki bulan ke lima atau berada dalam kisaran rataan selama laktasi (100%). Sapi-sapi uji mempunyai produksi di atas rataan produksi sapi perah di Indonesia, yaitu 8-10L/ekor/tahun (Direktorat Jenderal Peternakan 2004). Secara keseluruhan selama pengamatan terjadi interaksi antara injeksi bST dan pakan. Pada level pakan Balai terjadi kenaikkan produksi susu, walau pada pemberian pakan Balai ditambah 25% konsentrat produksi susu cenderung menurun. Pada akhir pengamatan 73 (masa pascaperlakuan) tampak sapi memiliki rataan produksi yang tidak jauh berbeda dibandingkan dengan produksi awal pengamatan (prapenelitian) (Gambar 16). Hasil pengamatan secara total selama 84 hari menunjukkan bahwa sapi uji memberikan respons positif pada injeksi bST (harian dan selang 14 hari) dengan pakan Balai, yaitu berupa peningkatan produksi susu sebesar 17 dan 26%. Namun, respons sapi uji menjadi negatif pada injeksi bST (harian dan selang 14 hari) dan pakan Balai ditambah 25% konsentrat, yang menyebabkan penurunan produksi susu sebesar 2,4 dan 22%. Derajat penurunan produksi susu pada sapi yang mendapat injeksi bST harian relatif kecil, yaitu dalam kisaran kurang dari 2,4% dibandingkan dengan sapi kontrol, sedangkan penurunan produksi susu sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari jauh lebih besar, yaitu sebesar 22% dibandingkan sapi kontrol. Pakan Balai yang dipergunakan dalam penelitian ini, merupakan pakan yang disusun oleh BPPPT Cikole. Kandungan nutrisi pakan sapi penelitian, dihitung berdasarkan hasil analisis proksimat Balai Pengujian Sarana Produksi Peternakan (UPTD BPS PP). Pakan Balai terdiri atas bahan kering sebesar 17,93 kg, protein kasar sebesar 2,13 kg, dan TDN sebesar 11,78 kg. Kandungan nutrisi pakan tersebut di atas melebihi angka kebutuhan sapi uji (Tanuwiria 2005). Namun dari hasil pengamatan selama 12 minggu tampak sapi uji masih dapat memberikan respons positif atau dapat mendukung fungsi bST yang dimediasi oleh IGF-I dalam kelenjar susu yang dimanifestasikan dengan meningkatkan produksi susu Penambahan 25% konsentrat pada sapi kontrol (yang tidak mendapat injeksi bST) mampu meningkatkan produksi susu sebesar 15% dibandingkan produksi susu sapi kontrol dengan pakan Balai saja. Selang waktu injeksi bST pada level pakan Balai secara konsisten memperlihatkan perbedaan produksi susu. Sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan hasil injeksi bST harian yang terpaut sebesar 9 sampai 10%. Peningkatan produksi susu yang diperoleh dalam penelitian ini masih dalam kisaran 15 – 40% (Bauman 1992; Raymond & Sorensen 1989) atau kisaran yang umum adalah 10-20% ( Eppard 1988). Namun, pada level pakan Balai ditambah 25% konsentrat, produksi susu sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari memperlihatkan penurunan yang jauh lebih besar (14%). Hal tersebut memperkuat pernyataan peneliti sebelumnya (Prosser & Mepham 74 1989; Manalu 1994) bahwa somatotropin dan IGF-I dalam aksinya sangat sensitif dengan status nutrisi, metabolik dan steroid. Injeksi bST dianjurkan untuk digunakan sesaat setelah sapi mencapai puncak laktasi (6–8 minggu postpartum) (Rose & Obara 2000), namun penelitian ini dilakukan pada sapi bulan laktasi ketiga dan keempat. Saat puncak laktasi produksi susu yang dihasilkan mencapai 145% dari rataan produksi susu selama laktasi. Pada saat perlakuan diberikan sapi sudah memasuki bulan kelima laktasi dan produksi susu yang dihasilkan sama dengan rataan produksi produksi susu diakibatkan oleh satu periode laktasi (Tanuwiria 2004). Penurunan laju penurunan aktivitas sel-sel sekretoris atau perubahan sel-sel sekretori yang aktif menjadi sel-sel yang nonaktif dan peningkatan involusi sel-sel epitel kelenjar susu yang berlangsung lambat namun alami (Etherton & Bauman 1998). Walau pengamatan sudah memasuki bulan laktasi kelima saat produksi terlihat menurun, bST sebagai agen homeorhesis mampu meningkatkan produksi susu. Keadaan tersebut merupakan salah satu peran bST dalam meningkatkan persistensi laktasi dengan meningkatkan proliferasi sel kelenjar susu (Capuco et al. 2001) khususnya dalam proses adaptasi metabolisme dengan jalan mensuplai kebutuhan nutrien melalui penghambatan oksidasi di seluruh jaringan tubuh nonkelenjar susu serta meningkatkan aktivitas sel-sel sekresi melalui peningkatan aliran darah yang menuju kelenjar susu (Tucker 2000). Kerja bST sebagai alat kontrol homeorhesis adalah menyelaraskan rangkaian metabolisme dalam tubuh, khususnya dalam rangka meningkatkan sintesis susu. Keadaan tersebut memperkuat dugaan telah terjadi penggalangan nutrien (substrat dan prekursor) yang difokuskan untuk kelenjar susu dalam rangka peningkatan sintesis susu (Key et al. 1997; Akers 2002). Somatotropin memanipulasi produksi susu dengan meningkatkan sensitivitas jaringan perifer pada sinyal homeostasis (Keys et al. 1997). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa produksi susu selama 84 hari (12 minggu) ternyata secara bertahap mengalami penurunan. Persentase penurunan produksi mencerminkan persistensi laktasi dari sapi uji. Selisih produksi susu antara bulan pertama dan kedua, pada sapi yang mendapat injeksi bST harian memperlihatkan penurunan cukup tinggi (10%), sedangkan sapi yang mendapat injeksi 75 bST selang 14 hari adalah sebesar 6,7%, dan produksi susu sapi kontrol sebesar 4,6%. Selisih produksi susu antara bulan kedua dan ketiga pada sapi yang diinjeksi bST harian adalah sebesar 5,5%, sapi yang diinjeksi bST selang 14 hari adalah sebesar 4,3%, dan sapi kontrol adalah sebesar 6,2%. Secara keseluruhan, angka laju penurunan berada dalam kisaran 4,3 sampai 10,0%. Tingginya laju penurunan (bulan pertama dan kedua) produksi susu sapi yang diinjeksi bST harian (10%) lebih cenderung disebabkan oleh kurang nyaman dengan perlakuan injeksi setiap hari, sedangkan pada bulan berikutnya (selisih bulan kedua dan ketiga) laju penurunan produksi susu berada dalam kisaran antara 4,3 dan 5,5% untuk sapi yang mendapat injeksi bST (harian dan selang 14 hari), dan 6,2% untuk produksi susu sapi kontrol. Hasil pengamatan tersebut di atas menunjukkan peran bST dalam proses galaktopoietik. Laju penurunan produksi susu menunjukkan persistensi produksi susu. Walau sapi-sapi berada pada bulan laktasi antara kelima dan ketujuh namun sapi yang diinjeksi bST (harian dan selang 14 hari) memiliki angka persistensi sedikit lebih tinggi dibandingkan sapi kontrol. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Akers (2002) bahwa bST merupakan alat untuk menstimulasi produksi susu pada sapi laktasi. Angka persisten pada sapi laktasi pertama sebesar 6% per bulan, sedangkan pada sapi laktasi kedua dan seterusnya sebesar 9% per bulan (Akers 2002). Tampak bahwa injeksi bST selang 14 hari menghasilkan susu yang lebih tinggi dibandingkan injeksi bST harian, terpaut hampir 9-10%. Peningkatan produksi mengikuti persamaan garis hubungan antara produksi susu dengan waktu perlakuan. Tampak produksi susu dari injeksi bST selang 14 hari menghasilkan rataan produksi di atas injeksi bST harian. Fenomena yang terjadi dapat diartikan bahwa selang waktu injeksi bST erat kaitannya dengan konsentrasi ST dalam darah yang pada gilirannya menyebabkan perbedaan respons dalam proses adaptasi metabolisme dalam tubuh khususnya jaringan dan organ. Pola injeksi bST harian seperti yang dilaporkan Manalu (1994), akan menghasilkan puncak konsentrasi ST dalam darah 8 jam setelah injeksi bST dan menurun ke konsentrasi basal 24 jam setelah injeksi sehingga penggunaan bST yang berkesinambungan selama 84 hari akan menggambarkan siklus periodik konsentrasi ST yang stabil. Pada injeksi bST selang 14 hari, puncak konsentrasi ST dalam darah dicapai 76 3 hari setelah injeksi (Schams 1989a) namun puncak produksi susu dicapai dalam waktu yang bervariasi bergantung pada produk yang dipergunakan (Chilliard 1989). Puncak produksi dicapai pada 3 (Schams et al .1989b), 5–7 (Manalu 1994), dan 7–9 hari ( Gallo et al. 1994) setelah injeksi bST dan selanjutnya akan diikuti dengan penurunan produksi sampai hari ke-14. Pada umumnya produksi susu akan berangsur meningkat dalam kurun waktu 2/3 dari 14 hari pertama dan 1/3 waktu berikutnya menunjukkan penurunan produksi, yang besar kemungkinan disebabkan oleh penurunan konsentrasi ST dalam darah sehingga akan berdampak pada pemacuan laju aliran darah, dan stimulasi pada organ lainnya (Barbano et al.1992). Sementara itu pendapat lain menyatakan bahwa pemakaian bST selang 14 hari menghasilkan produksi susu lebih rendah namun dipandang lebih efisien khususnya untuk aplikasi di lapangan (Akers 2002; Chilliard 1989; Peel & Bauman 1987), lebih rincinya hasil produksi susu dari injeksi bST selang 14 hari hanya 70% -79% dari injeksi bST harian ( Chilliard 1989; Jenny et al.1992). Hasil pengamatan menunjukkan hasil yang berbeda dari hasil penelitian sebelumnya. Interaksi antara injeksi bST dan penambahan konsentrat memperlihatkan bahwa injeksi bST selang 14 hari justru secara konsistensi lebih tinggi daripada hasil injeksi bST harian, khususnya pada pakan Balai. Keadaan tersebut diduga disebabkan beberapa faktor, terutama preparat bST yang digunakan pada penelitian ini berbentuk slow release. Mekanisme kerja preparat slow release dirancang satu kali injeksi dalam konsentrasi tinggi untuk kurun waktu tertentu (14, 28 hari), yang kerjanya relatif lambat karena terikat dalam bentuk oil, dan dibebaskan ke dalam darah secara bertahap (sedikit demi sedikit) disesuaikan dengan kebutuhan fisiologis tubuh. Tampak dalam penelitian ini bahwa puncak produksi susu dicapai secara bertahap dan sangat bergantung pada produk yang digunakan ( Gambar 16). Hal tersebut akan berpengaruh ketika digunakan secara harian, dan efek kerjanya akan lebih lambat dari sediaan yang biasa digunakan harian, yang umumnya berbentuk water/saline. Puncak konsentrasi ST dalam darah dicapai 8 jam setelah injeksi (Manalu 2001) sehingga dengan menggunakan preparat slow release, puncak konsentrasi ST dalam darah dicapai lebih lambat. Konsentrasi ST dalam darah berkorelasi positif dengan produksi susu. Di samping itu, faktor lain yang turut mempengaruhi produksi 77 susu adalah pemberian injeksi harian sedikitnya akan menimbulkan keadaan yang kurang nyaman (cekaman) dibandingkan dengan injeksi selang 14 harian akan tampak jika dihubungan dengan konsentrasi kortisol serum yang diperoleh dari hasil pengamatan ini. Penambahan 25% konsentrat pada pakan Balai dirancang untuk mengantisipasi peningkatan produksi susu akibat injeksi bST, seperti halnya dilaporkan peneliti sebelumnya bahwa kisaran kenaikan produksi sangat bervariasi, namun kisaran yang banyak dilaporkan adalah sebesar 5 kg/hari (Manalu 2001) atau berkisar dari 15 sampai 25% (Chilliard 1989). Hasil pengamatan selama bulan pertama, bulan kedua, dan total produksi selama 84 hari memperlihatkan bahwa penambahan 25% konsentrat pada sapi kontrol dapat meningkatkan produksi susu sebesar 20% untuk bulan pertama dan 18% untuk bulan kedua. Pada ternak ruminansia, energi merupakan faktor pembatas utama untuk mendapatkan produksi susu yang tinggi (Schmidt 1971). Pada umumnya pakan sapi perah terdiri atas hijauan dan konsentrat. Hijauan merupakan bahan penyusun pakan terbesar dan konsentrat hanya sebagai tambahan. Imbangan bahan kering antara hijauan dan konsentart akan mempengaruhi produksi dan komposisi susu. Pakan akan mengalami fermentasi di dalam rumen dan menghasilkan sejumlah asam lemak terbang (asam asetat, propionat dan butirat dengan perbandingan 70:20:10) yang selanjutnya akan digunakan sebagai sumber energi bagi ternak ruminansia. Di dalam rumen, hijauan tertahan relatif lebih lama sehingga dapat menghasilkan asam asetat yang lebih tinggi. Asam asetat sangat dibutuhkan dalam pembentukan lemak susu dan berkorelasi positif dengan kadar lemak susu. Sebaliknya, fermentasi konsentrat dalam rumen relatif lebih singkat dibandingkan dengan hijauan (Siregar 1990). Jumlah konsumsi hijauan akan mempengaruhi asam asetat yang dihasilkan , sedangkan konsentrat cenderung mempengaruhi produksi asam propionat (Sutardi 1981). Imbangan antara hijauan dan konsentrat akan berdampak pada produksi dan komposisi susu sehingga pada aplikasi di lapangan sangat bergantung pada tujuan yang dikehendaki, yaitu peningkatan kualitas atau kuantitas susu (Sudono 1985; Siregar 1990). Perbandingan hijauan dan konsentrat cukup bervariasi 50:50, 60:40, 70:30, bahkan 90:10. Untuk mencapai produksi susu yang tinggi dengan tetap 78 mempertahankan kadar lemak dalam batas normal, imbangan ideal antara hijauan dan konsentrat adalah 60:40 (dalam bahan kering) (Siregar 1990). Pada pengamatan ini, imbangan bahan kering antara hijauan dan konsentrat berbanding seperti 50:50 untuk pakan Balai (P1), dan 45:55 untuk pakan Balai ditambah 25% konsentrat (P2) (Tabel 3). Penambahan 25% konsentrat pada pakan Balai, yaitu pakan dengan imbangan hijauan dan konsentrat 45:55 akan mengubah kandungan nutrien pakan yang pada gilirannya jumlah nutrien yang dikonsumsi. Rasio asam lemak terbang hasil fermentasi akan mengalami perubahan, sebab produksi asam propionat cenderung meningkat (Siregar 1990; Akers 2002). Asam propionat merupakan asam lemak glukogenik di dalam rumen yang berdifusi pada dinding rumen dan masuk ke dalam hati dan dirombak menjadi glukosa (Anggorodi 1979). Pada hewan ruminansia hampir 85% kebutuhan glukosa diperoleh melalui jalur hasil fermentasi dan hanya 15% saja berasal dari pakan langsung (Knapp et al. 1992), yang selanjutnya digunakan untuk kebutuhan metabolisme (Granner 1997). Proporsi asam lemak terbang dalam cairan rumen bervariasi bergantung pada jenis pakan dan jam setelah makan (Preston dan Leng 1987) dan hampir 60% asam propionat akan diubah menjadi glukosa sehingga tersedia tambahan pasokan glukosa. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penambahan 25% konsentrat pada pakan Balai pada perlakuan kontrol (yang tidak mendapat injeksi bST) dapat meningkatkan produksi susu sebesar 15% dikarenakan ada tambahan pasokan glukosa dari perombakan asam propionat hasil fermentasi rumen dijadikan glukosa. Hasil tersebut memperkuat pernyataan tersebut di atas bahwa meningkatnya produk asam propionat yang bersifat glukogenik selanjutnya akan digunakan sebagai sumber glukosa melalui proses glukoneogenesis (Schmidt 1971; Granner 1997). Sapi yang diinjeksi bST harian atau selang 14 hari dan penambahan 25% konsentrat, justru memberikan hasil yang lebih rendah (secara berturut-turut adalah kurang dari 2,4%, dan 15%) dibandingkan dengan sapi kontrol. Pakan Balai ditambah 25% konsentrat pada dasarnya dirancang untuk dapat meningkatkan kualitas pakan yang dibutuhkan untuk mengantisipasi peningkatan produksi susu sebagai respons injeksi bST namun peran bST dalam partitioning nutrient akan mempengaruhi proses metabolisme dalam tubuh. Injeksi bST akan meningkatkan konsentrasi ST dalam darah. 79 Kehadiran sejumlah besar reseptor somatogenik pada hati akan merespons injeksi bST dengan meningkatkan laju sintesis IGF-1 (Manalu 2001). Produksi sintesis IGF-I hampir sebagian besar (55%) berasal dari hati (Kamil et al. 2001). Selanjutnya IGF-I berperan memediasi kerja ST di dalam kelenjar susu, karena reseptor ST sangat kecil jumlahnya bahkan hampir tidak didapatkan di dalam kelenjar susu (Manalu 2001). Reseptor IGF-I banyak dijumpai pada jaringan kelenjar susu, dan meningkat selama laktogenesis, bahkan pada penggunaan bentuk bST slow release konsentrasi IGF-1 dapat meningkat sebesar 2–5 kali (Schams et al.1989). Laju sintesis IGF-I akan meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi ST (Weber et al.2000), namun aksi IGF-1 akut sensitif terhadap perubahan status nutrisi (Proser & Mepham 1989; Djojosoebagio 1990; Vicini et al. 1995), steroid (Sharma et al.1994) dan metabolik (Djojosoebagio 1990) sehingga dalam status neraca energi positif, penambahan 25% konsentrat (pakan energi tinggi dan protein kasar tinggi) cenderung menjadikan IGF-I menjadi kurang responsif terhadap aksi ST. Pada saat nutrien berlimpah (pakan energi tinggi dan protein tinggi) konsentrasi IGF-I akan meningkat dan diduga peningkatan konsentrasi IGF-I merupakan akumulasi dari IGF-I lokal yang dihasilkan melalui proses autokrin dan parakrin (Kamil et al 2001). Selanjutnya akan bekerja sama dalam melakukan proses anabolisme bersama insulin, yang akan mengalihkan kelebihan energi dalam bentuk lain, yaitu pertambahan bobot tubuh atau lebih spesifik penyimpanan dalam bentuk lemak, otot atau jaringan lemak pada kelenjar susu. Dalam pengamatan ini interaksi antara injeksi bST dan pakan yang terjadi pada pertambahan bobot tubuh. Tampak sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari dan penambahan 25% konsentrat memiliki penambahan bobot badan (10%) yang jauh lebih besar dari perlakuan lainnya. Disisi lain, kondisi nutrisi tinggi atau berlimpah akan menyebabkan penurunan konsentrasi ST (Radcliff et al. 2004; Weber et al.2000) yang pada gilirannya akan berdampak pada adaptasi metabolisme dalam tubuh. Rendahnya produksi susu yang dihasilkan diduga merupakan manifestasi dari konsentrasi ST yang rendah sehingga aktivitas penggalangan nutrisi menuju kelenjar susu, pemompaan aliran darah atau curah jantung menjadi rendah yang pada gilirannya akan berdampak pada rendahnya aktivitas sintesis susu. Senada dengan hasil penelitian yang dikemukakan oleh Vicini et 80 al. (1995) bahwa penambahan protein dan energi postruminal pada sapi yang mendapat pakan seimbang dan diberi injeksi bST eksogen ternyata tidak meningkatkan produksi susu, demikian pula hasil yang dilaporkan oleh Sejrsen et al. (2000), pemberian makanan secara ad-libitum dengan tingkat energi tinggi pada sapi dara akan mengakibatkan efek negatif yang diprediksi akan menurunkan potensi produksi susu pada masa laktasi berikutnya. Penelitian senada dari Weber et al. (2000) bahwa perlakuan ST dan level pakan pada kelenjar susu dari sapi prepubertal sebagian dimediasi oleh perubahan sintesis IGF-I dan IGFBP lokal. Level pakan tinggi akan memodulasi level protein IGF-I dan binding protein dalam ekstrak jaringan kelenjar susu. Mengacu pada hasil penelitian sebelumnya, level pakan tinggi dan injeksi bST memicu peningkatan konsentrasi IGFBP3 dan penurunan konsentrasi IGFBP2. Walau belum diketahui jelas fungsi dari IGFBP tersebut, diduga keras kehadiran dari IGFBP3 sebagai reserve dari IGF-1, sedangkan IGFBP2 berperan menghambat aksi IGF-1 (Vicini et al. 1995; Weber et al.2000; Radcliff et al. 2004). Persentase penurunan produksi susu pada sapi yang mendapat injeksi bST harian lebih rendah dibandingkan dengan sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari. Keadaan tersebut disebabkan oleh tingkat konsentrasi ST dalam darah (Bauman 1992). Pada injeksi bST harian konsentrasi ST dalam darah relatif lebih stabil selama perlakuan bST sehingga akan berdampak pada laju sintesis IGF-1, sedangkan injeksi bST selang 14 hari meningkatkan konsentrasi ST dan mencapai puncaknya dalam waktu 3 hari setelah injeksi bST. Keadaan tersebut berpeluang untuk memacu hati meningkatkan laju sintesis IGF-1 seiring dengan konsentrasi ST. Tinggi rendahnya konsentrasi ST dalam darah juga akan berdampak pada laju pasokan nutrisi dalam kelenjar susu yang disebabkan oleh peningkatan aliran darah (Tucker 2000). Dalam pengamatan ini tampak adaptasi metabolisme yang terjadi dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya konsentrasi ST dalam tubuh. Hasil pengamatan Peel dan Bauman (1987) menunjukkan bahwa pengaliran nutrisi pada sapi yang diberi perlakuan bST dengan peningkatan produksi susu sebesar 21%, diikuti oleh peningkatan curah jantung sebesar 10%, dan aliran darah sebesar 35%. Diperkuat oleh laporan 81 Tanwattana et al. (2002) bahwa selama perlakuan bST pada sapi laktasi akhir memperlihatkan peningkatan aliran darah dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Produksi susu pada bulan ketiga pengamatan menunjukkan tidak terjadi interaksi antara injeksi bST dan pakan, begitu pula faktor bST atau pakan tidak berpengaruh pada produksi susu. Produksi susu mengalami peningkatan 40 – 60 hari setelah partus sampai pada puncak laktasi, setelah itu akan diikuti dengan penurunan secara berangsur-angsur hingga akhir laktasi. Penurunan produksi susu pada tahap ini disebabkan berkurangnya sejumlah sel-sel epitel kelenjar susu yang aktif selama laktasi yang disebabkan oleh proses apoptosis (Capuco et al.2001). Injeksi bST selama laktasi akan dapat meningkatkan proliferasi sel-sel epitel kelenjar susu bahkan dapat mencapai 50%, namun tidak berpengaruh pada proses apoptosis sehingga rasio antara penambahan sel epitel kelenjar susu yang diakibatkan injeksi bST dengan pengurangan sel-sel epitel yang mati merupakan manifestasi tingkat persistensi. Pada pengamatan ini injeksi bST dilakukan pada sapi yang telah memasuki bulan laktasi keempat dan kelima sehingga pada pengamatan bulan ketiga sapi uji sudah memasuki tahap produksi yang paling rendah. Peningkatan jumlah sel-sel epitel akibat stimulasi bST diduga lebih rendah dari percepatan laju apoptosis sel epitel yang berlangsung secara alamiah. Standardisasi produksi susu yang dikoreksi terhadap kadar 4% lemak (FCM), dipengaruhi oleh kadar lemak susu. Tingkat produksi susu yang dihasilkan berpengaruh pada kadar lemak dan ada kecenderungan berkorelasi negatif, namun sebagian peneliti menyatakan kadar lemak erat kaitannya dengan status keseimbangan energi. Hasil pengamatan menunjukkan produksi susu 4% FCM dari injeksi bST tidak berbeda. Namun, tampak kecenderungan hasil 4% FCM antarperlakuan menunjukkan bahwa injeksi bST selang 14 hari dan pakan Balai lebih tinggi. Hal ini erat kaitannya dengan peningkatan produksi susu yang diakibatkan oleh injeksi bST, sementara kadar lemak tidak berbeda. Hasil dari pengamatan ini turut memperkuat pernyataan Etherton & Bauman (1998), Jenny et al. (1992), Akers (2002), dan Muslim (2005). Pada awal laktasi terjadi peningkatan produksi susu yang mengakibatkan penurunan kadar protein susu, namun seiring dengan penurunan produksi susu kadar protein berangsur-angsur meningkat sampai akhir laktasi (Schmidt 1971). Injeksi bST segera akan diikuti dengan peningkatan produksi susu sehingga sebagian besar protein 82 atau asam amino difokuskan untuk sintesis susu, dan akibatnya protein susu menjadi relatif rendah (Jenny et al. 1992; Akers 2002). Hal ini erat kaitannya dengan kecukupan asam amino intraseluler untuk sintesis susu, bukan oleh penurunan mRNA untuk protein susu atau kapasitas untuk mensintesis dan mensekresikan protein, namun oleh neraca nitrogen negatif (Prosser & Mepham 1989). Injeksi bST dalam jangka pendek umumnya tidak mempengaruhi komposisi susu, namun dalam jangka panjang bisa terjadi perubahan yang diakibatkan oleh keseimbangan energi dan nitrogen (Barbano et al. 1992) sehingga hasil penelitian yang diperoleh menjadi tidak konsisten (Manalu 1994). Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa injeksi bST atau penambahan konsentrat tidak berpengaruh pada kadar protein susu. Hal tersebut memperkuat pengamatan Bauman (1992) dan Etherton & Bauman (1998) bahwa pada keseimbangan nitrogen positif, kadar protein susu tidak mengalami perubahan yang diakibatkan oleh injeksi bST. Kadar lemak susu pada sapi perah akan mengalami peningkatan sejak partus sampai mencapai puncak laktasi (6–8 minggu setelah partus) dan diikuti penurunan sampai akhir laktasi. Kadar lemak susu akan mengalami peningkatan saat keseimbangan energi negatif karena pada saat tersebut terjadi mobilisasi cadangan energi tubuh untuk digunakan dalam memasok kebutuhan untuk sintesis susu, di samping itu akan diikuti dengan peningkatan sintesis asam lemak di dalam sel-sel sekresi susu (Kim et al. 1997). Hasil pengamatan menunjukkan kadar lemak susu berkisar dari 3,60 sampai 4,21% dan hasil ini ternyata lebih tinggi dari yang dilaporkan Schmidt (1971) dan Sudono et al. (2003), yaitu 3,5%. Injeksi bST berpengaruh pada produksi susu. Produksi susu berkorelasi negatif dengan kadar lemak susu sehingga peningkatan produksi susu yang diakibatkan injeksi bST secara persentase akan mengalami penurunan kadar lemak susu (Akers 2002). Dalam posisi neraca energi positif yang disertai injeksi bST tidak menyebabkan perubahan kadar lemak susu (Etherton & Bauman 1998). Hasil pengamatan ini memperkuat hasil penelitian Jenny et al. (1992) dan Akers (2002) bahwa injeksi bST secara total tidak berpengaruh pada komposisi susu karena komposisi susu cenderung lebih dipengaruhi oleh kecukupan antara energi dan nutrien, genetik, bangsa, umur laktasi, dan musim. 83 Kadar bahan kering tanpa lemak (BKTL) diperoleh dari hasil pengurangan kadar bahan kering susu dengan kadar lemak susu (Sudono 1985). Protein dan laktosa merupakan komponen terbesar pada BKTL. Bahan kering tanpa lemak dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya komposisi susu (protein, lemak, laktosa, dan mineral) (Sudono et al. 2003). Banyak faktor yang mempengaruhi kadar BKTL di antaranya suhu lingkungan, masa kering kandang, nutrisi dan masa laktasi (Schmidt 1971). Seperti halnya lemak dan protein, kadar BKTL pada awal laktasi akan tinggi dan menurun cepat setelah puncak laktasi Hasil pengamatan selama 84 hari menunjukkan kadar BKTL berkisar antara 7,01 dan 7,23%. Angka tersebut lebih rendah dari yang dilaporkan Sudono et al. (2003), yaitu 8,56% dan Setiadi (2006), yaitu 7,77%. Injeksi bST tidak berpengaruh pada kadar BKTL. Keadaan tersebut memperkuat hasil pengamatan Barbano et al. (1992) dan Muslim (2005), namun, bertendensi untuk menurunkan persentase kadar bahan kering tanpa lemak (Muslim 2005). Bobot jenis dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya komposisi susu (protein, lemak, laktosa dan mineral) (Sudono et al. 2003). Hasil pengamatan selama 84 hari menunjukkan injeksi bST dan suplementasi konsentrat ternyata tidak mempengaruhi bobot jenis. Kisaran bobot jenis hasil pengamatan berkisar dari 1,0223 sampai dengan 1,0227 yang masih berada dalam kisaran normal. Hasil tersebut memperkuat hasil pengamatan Muslim (2005). Bobot jenis susu cenderung dipengaruhi oleh genetik, spesies, dan variasi individu (Schmidt 1971; Sujadmogo 1996). Bobot tubuh sapi setelah partus akan mengalami penurunan akibat neraca energi negatif, yaitu energi pakan yang dikomsumsi tidak memenuhi kebutuhan untuk produksi susu (Sheffield & Anderson 1985) sehingga terjadi perombakan cadangan energi tubuh yang ditumpuk selama waktu akhir kebuntingan (Bine & Hart 1982). Setelah melewati puncak laktasi, bobot tubuh akan pulih kembali secara berangsur-angsur sampai pertengahan masa laktasi. Bobot tubuh awal, bobot tubuh akhir, dan rataan bobot tubuh tidak menunjukkan perubahan selama injeksi bST atau suplementasi konsentrat. Setiap kelompok sapi uji merupakan kumpulan sapi laktasi 1, 2, 3, dan 4, yang mempunyai 84 kisaran bobot tubuh yang relatif sama antarperiode laktasi dan mempunyai bobot tubuh yang relatif seragam antarperlakuan (435–491 kg). Rataan pertambahan bobot tubuh selama pengamatan memperlihatkan telah terjadi interaksi antara injeksi bST dan pakan (Gambar 25). Tampak pada pemberian pakan Balai, injeksi bST harian dan selang 14 hari secara konsisten sapi uji mengalami penambahan bobot tubuh, yang dapat diartikan bahwa sapi tersebut sudah berada dalam neraca energi positif sehingga kelebihan energi mulai digunakan untuk memperbaiki performa atau mengganti cadangan energi tubuh yang telah dikuras selama neraca energi negatif (setelah partus sampai puncak laktasi) (Schmidt 1971). Pada pemberian pakan Balai ditambah 25% konsentrat, sapi kontrol dan sapi yang mendapat injeksi bST harian mengalami penurunan bobot tubuh secara berturut-turut 10,75; 15 kg (2,36; 3,23%), namun pada sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari mengalami peningkatan bobot tubuh 36 kg( 10,42%). Keadaan tersebut di atas , khususnya pada sapi kontrol dan sapi yang mendapat injeksi bST harian telah terjadi mobilisasi cadangan lemak tubuh untuk mensuplai sintesis susu, sedangkan pada sapi yang mendapat injeksi bST selang 14 hari peningkatan bobot tubuh berkaitan erat dengan rendahnya produksi susu sehingga kelebihan energi dialihkan pada bobot tubuh. Hal tersebut diduga akibat kerja antara ST dan IGF-I yang saling berlawanan khususnya pada kondisi pakan enrgi tingi dan protein tinggi ( Eckert& Randall 198; Prosser & Mepham 1989). Seperti telah dijelaskan dimuka peningkatan bobot tubuh pada pengamatan ini akibat dari kerja yang berlawanan antara ST dan IGF-I, yaitu pengalihan kelebihan energi. Peningkatan bobot tubuh dimungkinkan terjadi akibat antagonis kerja ST dan insulin. Kerja ST sebagai antiinsulin dengan cara menghambat kegiatan oksidasi di dalam jaringan nonkelenjar susu, ST bekerja beberapa jam setelah kegaiatan makan atau beberapa saat setelah aktivitas fisik (Eckert & Randall 1983). Di lain pihak, insulin bekerja pada saat kadar glukosa darah tinggi sehingga ada kecenderungan bahwa peningkatan kadar glukosa sesaat setelah makan akan menstimulasi sekresi insulin dari sel beta pankreas sehingga aktivitas insulin bekerja mendahului kerja ST, memfasilitasi pemasukan glukosa ke dalam sel dan dalam kegiatan tersebut juga terjadi pemasukan asam amino sehingga pada akhirnya memungkinkan terjadinya peningkatan bobot tubuh. Antara insulin dan ST bekerja antagonis, yang mana insulin aktif mendorong ke 85 arah lipogenesis sedangkan ST bekerja memacu lipolisis, namun dalam kegiatan anabolisme kedua hormon ini dapat bekerja saling menunjang (Faigin 2001). Sapi uji yang mendapat injeksi bST selang 14 hari dan diberi pakan Balai ditambah 25% konsentrat berada pada level nutrisi tinggi sehingga kerja IGF-I kurang responsif terhadap injeksi ST (Prosser & Mepham 1989). Pada level pakan tinggi, konsentrasi IGF-I cenderung meningkat, sementara konsentrasi ST justru mengalami penurunan sehingga penurunan konsentrasi ST akan menghambat proses adaptasi metabolisme sementara level pakan akan menstimulasi kerja insulin seperti telah dibahas pada produksi susu di atas. Dengan demikian, pada keadaan seperti ini peluang untuk peningkatan bobot tubuh melalui lipogenesis sangat dimungkinkan. Konsumsi bahan kering merupakan kriteria yang penting dalam pakan sapi laktasi, khusus sapi yang berproduksi tinggi karena kebutuhan energi tidak terpenuhi akibat keterbatasan konsumsi bahan kering. Keterbatasan konsumsi bahan kering ini pada gilirannya akan berdampak pada penyusutan bobot tubuh atau penurunan produksi susu (NRC 1988). Untuk mengantisipasi peningkatan produksi susu sebagai respons terhadap injeksi bST dalam penelitian ini dirancang 25% konsentrat pada pakan Balai. Hasil pengamatan selama 84 hari menunjukkan bahwa penambahan konsentrat nyata meningkatkan konsumsi bahan kering. Sapi yang diberi pakan Balai ditambah 25% konsentrat mempunyai konsumsi bahan kering yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan sapi uji yang mendapat pakan Balai saja. Berdasarkan perhitungan NRC (1988), angka kebutuhan bahan kering untuk sapi uji adalah 2,7% dari bobot tubuh, yaitu 12,15 kg/ekor/hari (dalam bahan kering). Rataan konsumsi bahan kering adalah 17,75 kg/ekor/hari untuk sapi yang diberi pakan Balai dan 19,66 kg/ekor/hari untuk sapi yang diberi pakan Balai ditambah 25% konsentrat. Konsumsi bahan kering sapi uji cukup memadai bahkan di atas angka kebutuhan, namun kualitas hijauan dan konsentrat pakan sangat bervariasi, khususnya di daerah tropis (Williamson & Payne 1993; Tanwattana 2003) sehingga akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan nutrien. Konsumsi bahan kering dapat dijadikan sebagai peubah dalam penentuan efisiensi produksi susu. Angka efisiensi ditentukan dengan menggunakan rumus Varga (1984). Penilaian efisiensi yang dikemukakan oleh Varga (1984) dan Brody (1945) menunjukkan bahwa angka efisiensi produksi susu dipengaruhi oleh beberapa peubah, 86 yaitu produksi susu 4% FCM, konsumsi bahan kering, dan bobot tubuh. Pemberian tambahan 25% konsentrat pada pakan Balai menunjukkan konsumsi bahan kering yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang diberi pakan Balai saja, bila dikaitkan dengan efisiensi produksi susu ternyata tidak berbeda antar perlakuan bST (harian dan selang 14 hari) atau penambahan konsentrat. Dari hasil pengamatan (Tabel 9) tampak ada kecenderungan efisiensi produksi susu dari sapi yang mendapat injeksi bST harian atau selang 14 hari menunjukkan angka yang lebih tinggi. Hal ini diduga erat kaitannya dengan peran bST, yakni dapat meningkatkan efisiensi pakan, yang tergambar dari jumlah konsumsi bahan kering. Sapi uji yang mendapat injeksi bST dan diberi pakan Balai mengkonsumsi pakan lebih rendah dari sapi uji yang diberi pakan Balai ditambah 25% konsentrat. Produksi susu 4% FCM yang dihasilkan sapi uji yang mendapat injeksi bST (harian dan selang 14 hari) dengan pakan Balai ternyata menunjukkan produksi yang lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya. Angka efisiensi produksi susu hasil pengamatan selama 84 hari menunjukkan berada dalam kisaran 12.08 sampai 17,96. Angka kisaran efisiensi produksi susu seperti yang dikemukakan oleh Brody (1945) yang disitir Supriat (1994) dibagi dalam tiga kategori, yaitu 10 sampai 24% untuk inferior producer, 25 sampai 34% termasuk good producer, dan 35 sampai 45% untuk superior producer. Hasil pengamatan menunjukkan efisiensi produksi susu masih termasuk dalam kategori inferior producer. Lebih rincinya, angka efisiensi produksi susu yang mendapat injeksi bST berada pada tingkat 17,35% (harian) dan 17,96% (selang 14 hari) khususnya yang mendapat pakan Balai. Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa injeksi bST yang diikuti dengan pemberian pakan Balai memperlihatkan angka efisiensi produksi susu yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Hal tersebut di atas memperkuat indikasi peran bST dalam meningkatkan efisiensi produksi susu (Jenny et al. 1992). Peningkatan efisiensi produksi susu walau dalam status manajemen inferior producer, bST memperlihatkan konsistensi sebagai agen hemorhesis yang pada gilirannya dimanifestasikan dengan angka efisiensi produksi susu yang lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Faktor utama yang besar pengaruhnya pada sapi laktasi yang diinjeksi bST adalah kualitas manajemen, yang lebih spesifik program pemberian pakan yaitu kecukupan atau keseimbangan nutrisi (Bauman 1992; Etherton & Bauman 1998). Tingginya angka efisiensi produksi susu 87 diduga erat kaitannya dengan fungsi fisiologis bST, hewan yang mendapat perlakuan bST akan memperlihatkan neraca nitrogen positif (Granner 1999). Nilai kondisi ternak (Body Condition Score) merupakan penilaian kondisi ternak yang dikaitkan dengan manajemen pemberian pakan. Penilaian dilakukan dengan memperhatikan bagian tertentu yang umumnya sebagai tempat penyimpanan cadangan energi berupa bantalan lemak. Di antaranya bagian punggung (back), badan (waist), paha (haunch), pangkal ekor (roof of tail), tulang punggung (hip bone), pangkal paha (waist horn) dan tulang rusuk (rib) (Tanaka et al.2001). Nilai untuk sapi perah berkisar dari 1sampai 5. Nilai 1 menunjukkan sapi sangat kurus atau tidak ada perlemakan pada bagian belakang, sedangkan nilai 5 untuk sapi yang sangat gemuk. Satu unit NKT setara dengan 57 kg bobot tubuh. Pada awal laktasi kehilangan bobot tubuh 0,5–1 kg/ekor/hari, sedangkan 1 kg bobot tubuh dimobilisasi untuk energi yang setara 7 kg susu, dan pada akhir laktasi peningkatan bobot tubuh berkisar antara 0,25 dan 0,5 kg/hari. Nilai kondisi ternak yang ideal untuk sapi perah pada awal laktasi adalah 2,5, 100 – 200 hari setelah partus adalah 2,5–3,5, 200 hari - kering kandang adalah 2,75–3,5, dan selama kering kandang adalah 3,25–3,5 (Tanaka et al. 2001; Alim 2002). Kondisi ternak umumnya akan memperlihatkan nilai yang relatif tinggi pada saat partus yang diikuti dengan penurunan hingga mencapai puncak produksi, dan selanjutnya NKT akan meningkat hingga akhir laktasi. Nilai kondisi ternak yang dianggap cukup baik untuk sapi perah berada dalam kisaran 2,5 sampai 3,25 (Alim 2002). Pada saat puncak produksi, terjadi penurunan bobot badan secara besar-besaran sementara selera makan beranjak meningkat secara lambat (Tanaka. 2001). Kondisi ternak saat kering kandang sangat berperan penting karena hampir hasil 85% metabolisme pakan akan diubah menjadi simpanan energi tubuh yang akan digunakan setelah partus (Bine & Hart 1982). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa NKT berada dalam kisaran 2,60–2,94, dan tidak berbeda antarperlakuan. Nilai kondisi ternak berada dalam kisaran NKT ideal (Alim 2002). Secara konsisten tidak ada perbedaan NKT pada bulan pertama, bulan kedua, dan bulan ketiga pengamatan. Nilai kondisi ternak dapat dijadikan tolok ukur untuk melihat penimbunan lemak tubuh atau cadangan energi tubuh. Pada injeksi bST akan cenderung terjadi penurunan penambahan bobot tubuh (Jenny et al.1992), 88 khususnya dalam penggalangan nutrien untuk sintesis susu. Aksi ST akan menghambat lipogenesis dan cenderung untuk menstimulasi lipolisis (Kamil et al. 2001). Dengan demikian, pada injeksi bST, NKT akan tampak lebih rendah dari NKT kontrol. Nilai kondisi ternak secara tidak langsung berkaitan dengan status neraca energi. Pada injeksi bST, neraca energi berada dalam kondisi positif, dimana bST menghambat lipogenesis tanpa menstimulasi lipolisis, namun pada status neraca energi negatif akan terjadi aktivitas lipolisis yang akan digunakan dalam mencukupi kebutuhan sintesis susu. Intisari penelitian, injeksi bST dan penambahan 25% konsentrat pada sapi laktasi di dataran tinggi memperlihatkan peningkatan denyut jantung, frekuensi pernapasan namun masih dalam kisaran fisiologis normal, sedangkan suhu tubuh tidak mengalami perubahan sehingga status faali ternak tidak mengalami perubahan yang berarti. Metabolit dan hormon metabolisme yang diukur melalui kadar serum glukosa, trigliserida, dan nitrogen urea , serta hormon kortisol, T4 dan T3 tidak mengalami perubahan. Demikian pula bobot tubuh, efisiensi produksi susu, dan nilai kondisi ternak tidak menunjukkan perubahan. Namun demikian, terjadi interaksi antara injeksi bST dan pakan pada produksi susu dan pertambahan bobot tubuh. Sapi memberikan respons positif pada pemberian injeksi bST dan pakan Balai dengan peningkatan produksi susu sebesar 17-26%, sementara respons negatif terjadi pada sapi yang diinjeksi bST dan penambahan 25% konsentrat berupa penurunan produksi susu. Penurunan produksi susu pada injeksi bST selang 14 hari diikuti dengan pengalihan kelebihan energi dalam bentuk pertambahan bobot tubuh. 89 SIMPULAN Injeksi bST pada sapi Holstein laktasi yang dipelihara di dataran tinggi tidak mengalami perubahan status fisiologis, hematologis, metabolit dan hormon metabolisme, bobot tubuh, efisiensi produksi susu, dan nilai kondisi ternak. Injeksi bST memberikan respons positif berupa peningkatan produksi susu sebesar 17-26% pada pemberian pakan yang memiliki nutrien relatif lebih tinggi dari kebutuhan, namun injeksi bST yang diikuti penambahan 25% konsentrat cenderung memperlihatkan respons negatif, yang dimanifestasikan dengan rendahnya produksi susu dan diikuti dengan peningkatan bobot tubuh. SARAN Respons positif yang diperoleh dari injeksi bST di dataran tinggi masih perlu dilengkapi penelitian lanjutan penggunaan injeksi bovine somatotropin di dataran rendah (Indonesia), guna melengkapi informasi respons sapi perah Indonesia pada produk bioteknologi. Informasi tersebut dapat dijadikan bahan kajian bagi penentu kebijakan dalam upaya peningkatan produktivitas ternak perah di Indonesia dalam jangka waktu yang relatif singkat. 90 DAFTAR PUSTAKA Akers RM. 2002. Lactation and The Mammary Gland. Edisi ke 1 United State: Iowa State Press. Alim AF, Hidaka T, Nakanishi T. 2002. Pakan dan Tatalaksana Sapi Perah, Buku Petunjuk Tehnologi Sapi Perah di Indonesia Untuk Petugas Penyuluh dan Petugas Teknis. Bandung. Jica-Dairy Technology Improvement Project. Anderson RR. 1985. Mammary Gland Di dalam: Larson. BL. Editor. Lactation. Ames. Iowa State University Press. Anggorodi R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta. Gramedia. Annison EF, Gooden JM, Houge GM, McDowell GH. 1984. Physiological cost of pregnancy and lactation in the ewe. Di dalam: Lindsay DR, Pearce DT. editor. Reproduction Sheep. Cambridge. Cambridge University Press. Atmadilaga, D. 1979. Pengaruh Iklim Terhadap Ternak. Simposium Meteorologi Pertanian. Bagian Klimatologi Pertanian. Departemen Ilmu Pengetahuan Alam. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Baldwin RL, Smith NE. 1983. Adaptation of metabolism to various conditions; Milk production. Di dalam: Riis PM. Editor Dynamic Biochemistry of Animal Production. New York Elsevier. hlm.359-386. Barbano DM et al. 1992. Effect of a prolonged-release formulation of N-methyonyl bovine somatotropin (sometribove) on milk composition. J.Dairy Sci. 75: 17751793. Bath DL, Dickinson FN, Tucker HA, Appleman RD. 1978. Dairy cattle: Principles, Practices. Problem, Profit. Philadelphia Lea and Febiger. Bauman DE. 1992. Bovine somatotropin: review of an emerging animal technology. J Dairy Sci. 75: 3432-4351. Bauman DE, Eppard PJ, DeGeeter MJ, Lanza GM. 1985. Response of high producing dairy cows to long-term treatment with pituitary somatotropin and recombinant somatotropin. J. Dairy Sci. 68: 1352-1362. Bines JA, Hart IC. 1982. Metabolic limits to milk production, especially roles of growth hormone and insulin. J. Dairy. Sci. 65:1375-1389. Budinuryanto DC. 2001. Hormon pemacu pertumbuhan dalam perspektif keamanan pangan, Prosiding, Diskusi Sehari Problema Penggunaan Hormon Dalam Produksi Ternak; Bandung, 3 Feb 2001, Bandung: Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. hlm. 88-108. Capuco AV, Keys JE, Smith JJ. 1989. Somatotropin increases thyroxine-5' – monodeidonase activity in lactating mammary tissue of the cow. J. Endocrinol. 121:205-211. Capuco AV, Wood DL, Baldwin R, McLeod, Paape MJ. 2001. Mammary cell number, proliferation, and apoptosis during a bovine lactation: Relation to milk production and effect of bST. J. Dairy Sci. 84: 2177-2187. 91 Chalupa W, Galligan DT. 1989. Nutritional implication of somatotropin for lactating cows. J. Dairy. Sci. 72: 2510-2524. Chilliard Y. 1989. Long term effect of recombinant bovine somatotropin (r bST) on dairy cow performances: A review Di dalam; Sejrsen, K., M. Vestergaard and A. Neimann-Sorensen editor. Use of Somatotropin in Livestock Production. New York. Applied Science. hlm.61-87. Cohick WS, Plaut K, Sechen SJ, Bauman DE. 1989. Temporal pattern of insulin like growth factor I response to exogenous bovine somatotropin in lactating cows. Domest. Anim. Endocrinol. 6: 263-274. Cole HH. 1962. Introduction to Livestock Production Including Dairy and Poultry. London. Freeman WH and Company. San Francisco and London. Collier RJ, McNamara, Wallace CR, DeHoff MH. 1984. A review of endocrine regulation of metabolism during lactation. J. Animal. Sci. 59: 498-510. Collier RJ. 1985. Nutritional control of milk synthesis Di dalam: Larson. B. Editor. Lactation. Ames. Iowa State University Press. hlm.80-128. Davis SR, Collier RJ. 1983. Mammary blood flow and regulation of substrate supply for milk synthesis. J. Dairy Sci. 68: 1041-1058. Departemen Pertanian. 2006. Kebijakan Departemen Pertanian dalam Peningkatan Produksi dan Kualitas Susu. Di dalam: Seminar Peningkatan Produksi dan Kualitas Susu Sapi. Indonesian National Committee of International Dairy Federation (IDNC-IDF). Bogor, 19 Desember 2006. Bogor: IDNC-IDF. Direktorat Jenderal Peternakan. 2004. Statistik Peternakan. Depatemen Pertanian. Direktorat Jenderal Pternakan. 2005. Statistik Peternakan. Depatemen Pertanian. Direktorat Jenderal Peternakan.2006. Pertanian.www.ditjenak.co.id Statistik Peternakan 2006. Departemen Djojosoebagio S. 1990. Fisiologi Kelenjar Endokriologi. Vol 1. Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Eckert R, Randall D. 1983. Physiology: Mechanisms and Adaptations. New York. Freeman WH and Company. hlm. 445. Eppard PJ et al.1987. Effect of dose of bovine growth hormone on milk composition: alpha-lactalbumin, fatty acids and mineral elements. J. Dairy. Sci. 68: 3047-3054. Eppard PJ, et al.1988, Response of lactating dairy cows to multiple injection of sometribove, USAN (recombinant methionyl bovine somatotropin) in a prolonge release system. Part 1. Production response. J. Dairy Sci. 71 (suppl.1) 184 (Abstract). Etherton TD, Bauman DE. 1998. Biology in growth and lactation of domestic animals. Physiol Rev. Vol 78: 745-761. Faigin R. 2001. Meningkatkan Hormon Secara Alami. Sugeng Hariyanto, penerjemah. Jakarta.: PT RajaGrafindo Persada. Terjemahan dari: Natural Hormonal Enchancement. 92 Foot JZ, Cummins LJ, Spiker SA. Flinn P. 1984. Concentration of b-hydoxybuttyrate in plasma of ewes in late pregnancy and early lactation, and survival and growth of lambs. Di dalam: Linsday D.R and Pearce DE, editor Reproduction in Sheep. Cambridge: Cambridge University Press. hlm.187-190. Forsyth IA. 1986. Variation among species in the endocrine control of mammary growth and function: The roles of prolactin, growth hormone, and placental lactogen. J. Dairy Sci. 69: 886-903. Frandson RD. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi ke 4.Srigandono B dan Praseno K. Penerjemah; Soedarsono editor. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Terjemahan dari: Anatomy and Physiology of Farm Animals. Gallo L et al. 1994. Modelling response to slow-releasing somatotropin administered at 3 or 4 week intervals. J. Dairy Sci. 77: 759 Gardner , Hogue 1963. Effect of energy intake and member of lamb, suckled on milk yield, milk composes and energetic efficiency of lactating ewes, J. Anim. Sci. 29: 935-945. Granner DK. 1997. Hormon Hipofise dan Hipothalamus. Di dalam : Biokimia Harper. Hartono A. Penerjemah; Santoso AH. editor. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Harper Biochemistry. Hafez ESE. 1968. Adaptation of Domestic Animal. Philadelphia: Lea and Febinger. Hardjopranjoto S. 2001. Somatotropin sebagai hormon anabolik, keuntungan dan bahayanya. Prosiding. Diskusi Sehari Problema Penggunaan Hormon Dalam Produksi Ternak; Bandung, 3 Feb 2001, Bandung: Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. hlm.38-43. Hariadi M, Ismudiono, Lusiastuti MA. 2001. Penggunaan somatotropin untuk meningkatkan produksi paging dan susu pada ternak. Prosiding, Diskusi Sehari Problema Penggunaan Hormon Dalam Produksi Ternak; Bandung, 3 Feb 2001, Bandung: Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. hlm.50-54. Homan EJ, Wattiaux MA, 1996. Lactation and Milking. Ed ke 2. The Babcock Institute for International Dairy Research and Development International Agricultural Programs. Madison: University of Wisconsin. USA. Jenny BF, Grimes LW, Pardue FE, Rock DW, Patterson DL. 1992. Lacatational response of jersey cows to bovine somatotropin administered daily or in a sustained-release formulation. J.Dairy Sci. 75: 3402-3407. Johnson HD et al. 1991. Effect of somatotropin on milk yield and physiological rsponses during summer farm and hot laboratory condition. J. Dairy Sci. 74: 12501262. Kamil K, Eten Maryuman, An-an Yulianti, Elvia Hernawan, Diding Latifudin. 2001. Peranan somatotropic axis dalam pengaturan pertumbuhan ternak ruminansia. Prosiding. Diskusi Sehari Problema Penggunaan Hormon Dalam Produksi Ternak; Bandung, 3 Feb 2001,Bandung: Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. hlm.14-27. 93 Kim WY, Ha JK, Han IK, Baldwin RL. 1997. Bovine growth hormone and milk fat synthesis: from the body to the molecule review. Asian-Australasian J. Anim Sci. Vol.10. No.4: 335-356. Knapp JR, Freetly HC, Reis BL, Calvert CC, Baldwin RL. 1992. Effect of somatotropin and substrates on patterns of liver metabolism in lactating dairy cattle. J. Dairy Sci. 75: 1025-1035. Koentjoko. 2001. Penggunaan hormon pemacu pertumbuhan bagi ternak. Prosiding. Diskusi Sehari Problema Penggunaan Hormon Dalam Produksi Ternak. Bandung, 3 Feb 2001,Bandung: Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. hlm.33-37. Larson BL, 1985. Biosinthesis and cellular secretion of milk. Di dalam: Lactation. Larson BL. Ed. Iowa. Iowa State University Press. Lynch JM, Barbano DM, Bauman DE, Hartnell GF, Nemeth MA.1992. Effect of a prolonged-release formulation of N-methionil bovine somatotropin (sometribove) on milk fat. J. Dairy Sci. 75: 1794-1809 Manalu W, Johnson HD, Li R, Becker BA, Collier RJ. 1991. The assessment of thermal status of somatotropin-injected lactating Holstein cows maintained under controlled-laboratory thermoneutral, hot and cold environments. J. Dairy. Sci. 121: 2006-2019 Manalu W. 1994. Menyongsong aplikasi hasil bioteknologi dalam industri peternakan: Suatu ulasan mengenai kegunaan somatotropin untuk meningkatkan produksi susu dan dampaknya terhadap kesehatan dan reproduksi sapi perah serta masa depannya dalam industri sapi perah di Indonesia. Media Veteriner. I(1): 9-42. Manalu W. 2001. Somatotropin dalam industri peternakan sapi perah. Prosiding, Diskusi Sehari Problema Penggunaan Hormon Dalam Produksi Ternak: Bandung, 3 Feb 2001,Bandung: Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. hlm.1-5. McDonald LE, Pineda MH .1980. Veterinary Endocrinology and Reproduction. Third Ed. Philadelphia: Lea and Febiger. McDowell RE.1972. Improvement of Livestock Production in Warm Climates. San Francisco: Freeman and Company. McGuire AM, Bauman DE, Miller MA, Hartnell GF. 1992. Response of somatomedins (IGF-I and IGF-II) in lacatating cows to variations in dietary energy and protein and treatment with recombinant n-methionyl bovine somatotropin. J. Nutr. 122: 128-136. Mege RA.2004. Optimasi Produksi Anak Babi Melalui Superovulasi Induk Sebelum Perkawinan [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Muslim G. 2005. Effek Penggunaan Somatotropin pada Produksi Susu dan Termoregulasi Sapi Perah Peranakan Fries Holland. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. NRC.1988. Kebutuhan Nutrien untuk Sapi Perah. Tanuwiria UH. Penerjemah Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak. Jurusan 94 Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan. Universitas Padjadjaran. Edisi ke 6. Terjemahan dari Nutrient Requirement of Dairy Cattle. Pane I. 1986. Pemuliabiakan ternak sapi. Jakarta: Gramedia. Peel CJ, Bauman DE. 1987. Somatotropin and Lactation. J. Dairy. Sci. 70: 474-486. Peel CJ, Bauman DE, Gorewit RC, Sniffen JC. 1981. Effect of exogenous growth hormone on lactational performance in the high-yielding dairy cows. J. Nutr. 111: 1662-1671. Peel CJ, Fronk TJ. Bauman DE . Gorewit RC. 1983. Effect of exogenous growth hormone in early and late lactation performance in dairy cows. J. Dairy. Sci. 66: 776-782. Phipps RH. 1989. A Review of The Influence of somatotropin on health, reproduction and welfare in lactating dairy cows. Di dalam : Sejrsen. Vestergaard KM and A. Neimann-Sorensen editor. Use of Somatotropin in Livestock Production.. New Tork. Elsevier Applied Science. hlm. 88-119. Pocius P A, Herbein. 1986. Effects of in vivo administration of growth hormone on milk production and in vitro hepatic metabolism in dairy cattle. J. Dairy. Sci. 69: 713-720. Preston TR, Leng LE. 1987. Matching Ruminant Production System with Available Resources in The Tropics and Subtropics. Australia: Penambul Books. Prosser CG, Mepham TB .1989. Mechanism of action of bovine somatotropin in increasing milk secretion in dairy ruminant. Di dalam : Sejrsen, K., M. Vestergaard and A. Neimann-Sorensen editor Use of Somatotropin in Livestock Production. New York . Elsevier Applied Science. hlm.1-17. Radcliff RP et al. 1997. Effect of diet and bovine somatotropin on heifer growth and mammary development.J. Dairy Sci. 60:1996-2003. Radcliff RP et al. 2004. Effect of dietary and somatotropin on component of the somatotropic axis in Holstein heifers. J. Dairy Sci. 87: 1229-1235 Raymond WF, Sorensen AN. 1989. Use of somatotropin in livestock production in the European Community: Seminar summary and concluding remarksDi dalam : Sejrsen, K., M. Vestergaard and A. Neimann-Sorensen editor Use of Somatotropin in Livestock Production. New York: Elsevier Applied Science. hlm.1-17. Riis PM.1983. Adaptation of metabolism to various condition . Di dalam: Riis PM Editor. Dynamic Biochemistry of Animal Production. Tokyo: PM. Elsevier. hlm.319-353. Robinson NE.1992. Homeostasis Di dalam: Cunningham JG editor. Text Book of Veterinary Physiology. Tokyo: Saunder WB & Company. hlm.691. Rose MT, Obara Y.2000. The manipulation of milk secretion in lactating dairy cowsAsian-Aus. J. Anim. Sci. 13: 236- 243. Schmidt GH. 1971. Biology of Lactation. San Francisco: Freeman WH and Company. 95 Schmidt G H, Van Velk LD, Hutjens MF. 1988. Principles of Dairy Science. Ed. Ke 2. New Jersey: Prentice Hall. Englewood Cliffs. Sejrsen K., Purup S., Vegestergaard M., Foldager J. 2000. High body weight gain and reduced bovine mammary growth: physiological basis and implications for milk yield potential. Domest Anim. Endocrinol. 19: 93-104. Setiadi D. 2006. Usaha dan Rencana Koperasi susu untuk meningkatkan produksi dan kualitas sapi perah di Indonesia. Di dalam: Seminar Peningkatan Produksi dan Kualitas Susu Sapi. Indonesian National Committee of International Dairy Federation (IDNC-IDF). Bogor, 19 Desember 2006. Bogor: IDNC-IDF. Shahib NM. 2001. Hormon dari Klinik ke Bioteknologi. Prosiding. Diskusi Sehari Problema Penggunaan Hormon Dalam Produksi Ternak. Bandung, 3 Feb 2001, Bandung: Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. hlm.6-13. Sharma BK, Vandehaar JM, Ames NK. 1994. Expression of insulin-like growth factor-I in cows at different stages of lactation and in late lactation cows treated with somatotropin. J. Dairy Sci. 77: 2232-2241. Siregar AR et al. 2003. Pengembangan sapi perah rumpun unggul pada dataran rendah, Di dalam: Supriyati, Syahgiar S. Kumpulan hasil-hasil penelitian APBN tahun Anggaran 2002. Buku I Ternak Ruminansia. Bogor: Balai Penelitian Ternak Ciawi. Siregar S. 1990. Sapi Perah jenis, Tehnik Pemeliharaan dan Analisa Usaha. Jakarta: Penebar Swadaya. Soderholm CG et al. 1986. Effect of different doses of recombinant bovine somatotropin on circulating metabolites, hormones and physiological parameters. J. Dairy. Sci. 69 (Suppl.1): 152. (Abstr) Soderholm CG et al 1988. Effect of recombinant bovine somatotropin on milk production, body composition and physiological parameters. J. Dairy. Sci. 71: 355-365. Soeharsono.1984. Fisiologi Lingkungan. Bahan kuliah. Bandung: Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Soeharsono. 2001. Kontroversi penggunaan hormon sebagai pemacu pertumbuhan pada produksi ternak. Prosiding. Diskusi Sehari Problema Penggunaan Hormon Dalam Produksi Ternak. Bandung, 3 Feb 2001, Bandung: Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. hlm.60-67. Sosroamidjojo MS , Soeraji. 1978. Peternakan Umum. Jakarta: CV Yasa Guna. Sudjatmogo. 1996. Pengaruh Superovulasi dan Kualitas Pakan Terhadap Pertumbuhan Ambing dalam Upaya Meningkatkan Produksi Air Susu dan Daya Tahan Hidup Anak Domba sampai Umur Sapih. [Disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sudono A. 1985. Produksi Sapi Perah. Fakultas Peternakan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 96 Sudono A, Abdulgani IK, Najid H, Mahesawari RRA. 1999. Penuntun Praktikum Ternak Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Sudono A. 2003. Ilmu Produksi Ternak Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sudono A, Rosdiana RF, Setiawan BS. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Jakarta: Agromedia. Sumaryadi MY dan Manalu W,. 1995b. Konsentrasi triiodotironin dan kortisol dalam serum induk domba selama periode kebuntingan dan laktasi pada berbagai jumlah anak. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Sumaryadi MY dan Manalu W. 1996. Perubahan status energi pada induk domba ekor tipis dengan bertambahnya umur kebuntingan dan jumlah fetus yang dikandung. Prosiding Seminar NasionalKiat Usaha Peternakan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Supriat D. 1994. Pengaruh pengontrolan suhu tubuh melalui penyemprotan air terhadap produksi susu dan perubahan faali pada sapi perah laktasi [Thesis] . Bogor: Program Pascasarjan, Institut Pertanian Bogor. Sutardi T 1980 Sapi Perah dan Pemberian Makananya. Bogor. Departemen Ilmu Makanan Ternak . Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor Sutardi T. 1981. Landasan Ilmu Nutrisi. Jilid 1. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Talib C, Kuswandi, Siregar AR, Sugiarti T. 2003. Progeny test dan performance test sapi-sapi FH calon pejantan dan induk ke arah pembentukan elite herd sapi Indonesian Holstein. Kumpulan hasil-hasil penelitian APBN tahun Anggaran 2002. Buku I. Ternak Ruminansia. Bogor: Balai Penelitian Ternak Ciawi. Tanaka H, Herliantien, Deasy Zamanti. 2001. Fisiologi dan Gangguan Reproduksi. Japan International Cooperation Agency Indonesia. hlm.19-25. Tanuwiria UH. 2004. Suplemen seng dan tembaga organik, serta kompleks kalsiumminyak ikan dalam ransum berbasis limbah industriargo untuk pemacu pertumbuhan dan produksi susu pada sapi perah. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tanuwiria UH. 2005. Kebutuhan Nutrien pada Berbagai Ternak. Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak. Sumedang: Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Tarazon-Herrera M, Hurber JT, Santos J. Mena H, Nusso L, Nussio C.1999. Effect o bovine somatotropin and evaporative cooling plus shade on lactation performance of cows during summer heat stress. J. Dairy Sci 82:2352-2357 97 Tanwattana P, Chanpongsang S, Chaiyabutr N. 2003. Effect of exogenous bovine somatotropin on mammary function of the late lactating crossbred holstein cows. Asain-Aust. J. Anim. Sci.16: 88-95. Tucker HA. 1985. Endocrine and neural control of mammary gland. Di dalam: Lactation. Larson B. Editor. Ames: Iowa State University Press. hlm.39-79. Tucker HA. 2000. Symposium : Hormonal regulation of synthesis, hormone, mammary growth, and lactation: a 41-year perspective. J. Dairy Sci. 83: 874-884. Turner CD, Bagnara JT.1976. Endokrinologi Umum. Harsojo. penerjemah. Surabaya: Airlangga University Press. Terjemahan dari : General Endocrinology. Ultinger RD. 1987. The thyroid : Physiology, hyperthyroidism, hypothyroidism and the painful. Di dalam : Endocrinology and Metabolism. 2nd Edition. Felig P Baxter JD. A.E. Broadus, dan Frohman LA Editor. New York: McGraw-Hill Inc. hlm.409-412. Varga GA, Meisteriling EM, Dailey RA, Hoover WA. 1984. Effect of high diets on dry matter intake, milk production, and reproduction performance during early lactation. J. Dairy Sci. 67: 1240-1248. Vernon, RG 1989. Influence of somatotropin on metabolism. Di dalam : Sejrsen, K.. Vestergaard M and Neimann-Sorensen A editor. Use of Somatotropin in Livestock Production. New York: Elsevier Applied Science. hlm.31-50. Vicini JL, Hartnell GF, Veenhuizen JJ, Collier RJ, dan Munyakaz L. 1995. Effect of supplemental dietary fat or protein on the short term milk production response to bovine somatotropin. J. Dairy Sci. 78: 863-871. Weber MS, Purup S, Vestergaard M, Akers RM, Sejrsen K. 2000. Regulation of local synthesis of insulin-like growth factor-1 and binding protein in mammary tissue. J. Dairy Sci. 83: 30-37. Wedermeyer GA, Yasutake WT. 1977. Clinical Method for the Assessment of the Effect of Environmental Stress on Fish Health. Technical Paper of the US Fish and Wildlife Service. Volume 89. USA Washington DC: US Departement of the Interior Fish and Wildlife Service. Wildman EE et al. 1982. A dairy cow condition scoring system and its relationship to selected production characteristics. J.Dairy Sci. 65: 495-501. Wiliamson G, Payne, WJA. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis . Darmaja D. SGN. penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari An Introduction To Animal Husbandry in The Tropic. Zhao FQ, Moseley WM, Tucker TA, Kennelley JJ. 1996. Regulation of glucose transporter gene expresion in mammary gland, muscle, and fat of lactating cows by administration of bovine growth hormone and bovine growth hormonereleasing factors. J. Anim Sci. 74: 183-189. 98 LAMPIRAN 99 LAMPIRAN Lampiran 1 Analisis ragam rataan denyut jantung selama 84 hari pengamatan Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat 0.846 77.841 0.168 0.213 3.535 82.603 Kuadrat Tengah 0.282 38.921 0.168 0.107 0.252 F-Hitung 1.12 154.15 0.67 0.42 P-Value 0.3755 <.0001* 0.4284 0.6637 Ket : (*) = nyata pada taraf 5% Lampiran 2 Analisis ragam rataan frekuensi pernapasan selama 84 hari pengamatan Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat 0.547 7.656 0.021 0.144 2.112 10.480 Kuadrat Tengah 0.182 3.828 0.021 0.072 0.151 F-Hitung 1.21 25.38 0.14 0.48 P-Value 0.3431 <.0001* 0.7126 0.6297 Ket : (*) = nyata pada taraf 5% Lampiran 3 Analisis ragam rataan suhu tubuh selama 84 hari pengamatan Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total Lampiran 4 db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat 0.120 0.004 0.000 0.010 0.081 4.470 Kuadrat Tengah 0.040 0.002 0.000 0.005 0.006 F-Hitung 6.97 0.37 0.00 0.85 P-Value 0.0042 0.6969 0.9755 0.4499 Analisis ragam rataan nilai hematokrit selama 84 hari pengamatan Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat 5.518 0.336 5.334 3.491 17.675 32.353 Kuadrat Tengah 1.839 0.168 5.334 1.745 1.262 F-Hitung 1.46 0.13 4.22 1.38 P-Value 0.2688 0.8765 0.059 0.2832 100 Lampiran 5 Analisis ragam rataan kadar hemoglobin selama 84 hari pengamatan Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F-Hitung P-Value 0.513 0.768 0.033 0.487 1.872 3.673 0.171 0.384 0.033 0.244 0.134 1.28 2.87 0.25 1.82 0.3204 0.0901 0.6247 0.1982 Lampiran 6 Analisis ragam rataan kadar glukosa serum selama 84 hari pengamatan Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat 333.692 32.578 1.506 124.931 443.953 936.660 Kuadrat Tengah 111.231 16.289 1.506 62.466 31.711 F-Hitung 3.51 0.51 0.05 1.97 P-Value 0.0439 0.6091 0.8306 0.1763 Lampiran 7 Analisis ragam rataan kadar nitrogen urea serum selama 84 hari pengamatan Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat 1306.739 31.715 337.735 435.759 1459.650 3571.597 Kuadrat Tengah 435.580 15.857 337.735 217.879 104.261 F-Hitung 4.18 0.15 3.24 2.09 P-Value 0.0262 0.8603 0.0935 0.1606 Lampiran 8 Analisis ragam rataan kadar trigliserida serum selama 84 hari pengamatan Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat 3002.840 141.864 34.262 683.832 6792.503 10655.301 Kuadrat Tengah 1000.947 70.932 34.262 341.916 485.179 F-Hitung 2.06 0.15 0.07 0.70 P-Value 0.1513 0.8653 0.7943 0.5110 Lampiran 9 Analisis ragam rataan kadar kortisol serum selama 84 hari penelitian 101 Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat 0.00603008 0.00577850 0.00658008 0.02184017 0.02597542 0.02597542 Kuadrat Tengah 0.00603008 0.00288925 0.00658008 0.01092008 0.00519508 F-Hitung 1.16 0.56 1.27 2.10 P-Value 0.3305 0.6052 0.3115 0.2175 Lampiran 10 Analisis ragam rataan kadar T4 serum selama 84 hari penelitian Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat 0.00156408 0.36268717 0.12383008 0.01278317 0.24755042 0.74841492 Kuadrat Tengah 0.00156408 0.18134358 0.12383008 0.00639158 0.04951008 F-Hitung 0.03 3.66 2.50 0.13 P-Value 0.8659 0.1048 0.1746 0.8817 Lampiran 11 Analisis ragam rataan kadar T3 serum selama 84 hari penelitian Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat 133.2000333 108.8199500 84.2700000 70.4394500 89.7433667 486.4728000 Kuadrat Tengah 133.2000333 54.4099750 84.2700000 133.2000333 17.9486733 F-Hitung 7.42 3.03 4.70 7.42 P-Value 0.0416 0.1373 0.0825 0.416 Lampiran 12 Analisis ragam total produksi susu bulan ke-1 perlakuan Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Ket : (*) = nyata pada taraf 5% Jumlah Kuadrat 12054.688 8264.959 2289.421 37426.846 26881.865 86917.779 Kuadrat Tengah 4018.229 4132.480 2289.421 18713.423 1920.133 F-Hitung 2.09 2.15 1.19 9.75 P-Value 0.1472 0.1531 0.2933 0.0022* 102 Lampiran 13 Analisis ragam total produksi susu bulan ke-2 perlakuan Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat 13428.252 1506.667 751.834 16787.330 25615.767 58089.850 Kuadrat Tengah 4476.084 753.333 751.834 8393.665 1829.698 F-Hitung 2.45 0.41 0.41 4.59 P-Value 0.1069 0.6703 0.5319 0.0294* Ket : (*) = nyata pada taraf 5% Lampiran 14 Analisis ragam total produksi susu bulan ke-3 perlakuan Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat 18674.416 3548.563 1315.991 10541.795 25018.097 59098.862 Kuadrat Tengah 6224.805 1774.281 1315.991 5270.898 1787.007 F-Hitung 3.48 0.99 0.74 2.95 P-Value 0.0447* 0.3952 0.4053 0.0853 Ket : (*) = nyata pada taraf 5% Lampiran 15 Analisis ragam total produksi susu selama 84 hari pengamatan Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat 121974.241 33327.256 12442.080 181061.265 199689.238 548494.080 Kuadrat Tengah 40658.080 16663.628 12442.080 90530.632 14263.517 F-Hitung 2.85 1.17 0.87 6.35 P-Value 0.0753 0.3395 0.3661 0.0109* Ket : (*) = nyata pada taraf 5% Uji lanjut Duncan total produksi susu selama 84 hari BST Pakan P1 P2 K0 1120.93 bc 1289.30 abc K1 1308.63 ab 1277.05 abc K14 1411.18 a 1096.33 c Ket : nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% 103 Lampiran 16 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan Perlakuan db ∑(X-Xrata)(X-Xrata) 1 11 143 -129.463 260.219 10 143.013 2 11 143 -303.925 871.534 10 225.587 3 11 143 -316.738 1113.698 10 412.141 4 11 143 -304.425 769.207 10 121.133 5 11 143 -341.988 1097.588 10 279.718 6 11 sisa regresi masing-masing 143 -143.767 495.286 10 350.749 total regresi 858 66 ∑(X-Xrata)(Y-Yrata) -1540.304 ∑(Y-Yrata)(Y-Yrata) 4607.532894 Beda bagi kehomogenan regresi F Hitung = 2.428 F Tabel = 2.368 db JK sisa 60 1532.3411 65 1842.339 5 309.998 Karena F Hitung > F Tabel maka tolak H0 ==> disimpulkan kemiringan garis regresi berbeda Lampiran 17 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan (K0P1 Vs K1P1) K0P1 Vs K1P1 Perlakuan db 1 ∑(X-Xrata)(X-Xrata) ∑(X-Xrata)(Y-Yrata) ∑(Y-Yrata)(Y-Yrata) db JK sisa 11 143 -129.463 260.219 10 143.013 3 11 sisa regresi masingmasing 143 -316.738 1113.698 10 412.141 20 555.154 total regresi 286 21 677.783 1 122.629 22 -446.200 1373.917 Beda bagi kehomogenan regresi F Hitung = 4.418 F Tabel = 4.351 Karena F Hitung > F Tabel maka tolak H0 ==> disimpulkan kemiringan garis regresi K0P1 berbeda dengan K1P1 Lampiran 18 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan (K0P1 Vs K14P1) K0P1 Vs K14P1 Perlakuan db ∑(X-Xrata)(X-Xrata) 1 ∑(X-Xrata)(Y-Yrata) ∑(Y-Yrata)(Y-Yrata) db JK sisa 11 143 -129.463 260.219 10 143.013 5 11 sisa regresi masingmasing 143 -341.988 1097.588 10 279.718 20 422.731 total regresi 286 22 Beda bagi kehomogenan regresi F Hitung = 7.472 -471.450 1357.807 21 580.657 1 157.926 104 F Tabel = 4.351 Karena F Hitung > F Tabel maka tolak H0 ==> disimpulkan kemiringan garis regresi K0P1 berbeda dengan K14P1 Lampiran 19 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan (K1P1 Vs K14P1) K1P1 Vs K14P1 Perlakuan db ∑(X-Xrata)(X-Xrata) 3 11 143 -316.738 1113.698 10 412.141 5 11 sisa regresi masingmasing 143 -341.988 1097.588 10 279.718 20 691.859 total regresi 286 21 694.088 1 2.229 22 ∑(X-Xrata)(Y-Yrata) -658.725 ∑(Y-Yrata)(Y-Yrata) db 2211.286 Beda bagi kehomogenan regresi F Hitung = JK sisa 0.064 F Tabel = 4.351 Karena F Hitung < F Tabel maka terima H0 ==> disimpulkan kemiringan garis regresi K1P1 sama dengan K14P1 ==> sejajar Lampiran 20 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan (K14P1 Vs K14P2) K14P1 Vs K14P2 Perlakuan db ∑(X-Xrata)(X-Xrata) ∑(X-Xrata)(Y-Yrata) ∑(Y-Yrata)(Y-Yrata) db 5 11 143 -341.988 1097.588 10 6 sisa regresi masingmasing 11 143 -143.767 495.286 10 total regresi 22 JK sisa 279.718 350.749 630.467 767.850 137.383 20 286 -485.754 1592.874 Beda bagi kehomogenan regresi F Hitung = 4.358 F Tabel = 4.351 21 1 Karena F Hitung > F Tabel maka tolak H0 ==> disimpulkan kemiringan garis regresi K14P1 berbeda dengan K14P2 ==> tidak sejajar Lampiran 21 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan (K0P2 Vs K1P2) K0P2 Vs K1P2 ∑(X-Xrata)(YYrata) ∑(Y-Yrata)(YYrata) Perlakuan db ∑(X-Xrata)(X-Xrata) 2 11 143 -303.925 871.534 10 225.587 4 11 sisa regresi masingmasing 143 -304.425 769.207 10 121.133 total regresi 286 20 22 Beda bagi kehomogenan regresi F Hitung = 0.000 F Tabel = 4.351 db karena sejajar -608.350 1640.742 JK sisa 346.721 21 346.721 1 0.001 105 Karena F Hitung < F Tabel maka terima H0 ==> disimpulkan kemiringan garis regresi K0P2 sama dengan K1P2 ==> sejajar Lampiran 22 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan (K0P2 Vs K14P2) K0P2 Vs K14P2 Perlakuan db ∑(X-Xrata)(X-Xrata) 2 11 143 6 11 143 sisa regresi masingmasing total regresi 22 286 Beda bagi kehomogenan regresi F Hitung = ∑(X-Xrata)(YYrata) ∑(Y-Yrata)(Y-Yrata) -303.925 -143.767 db 871.534 495.286 JK sisa 10 10 225.587 350.749 20 -447.692 1366.820 576.336 21 1 666.024 89.688 3.112 F Tabel = 4.351 Karena F Hitung < F Tabel maka terima H0 ==> disimpulkan kemiringan garis regresi K0P2 sama dengan K14P2 ==> sejajar Lampiran 23 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan (K1P2 Vs K14P2) K1P2 Vs K14P2 db 4 11 143 -304.425 769.207 10 121.133 6 sisa regresi masingmasing 11 143 -143.767 495.286 10 350.749 total regresi ∑(X-Xrata)(X-Xrata) ∑(X-Xrata)(YYrata) Perlakuan ∑(Y-Yrata)(Y-Yrata) JK sisa 20 286 22 -448.192 1264.493 Beda bagi kehomogenan regresi F Hitung = db 471.882 21 562.131 1 90.249 3.825 F Tabel = 4.351 Karena F Hitung < F Tabel maka terima H0 ==> disimpulkan kemiringan garis regresi K1P2 sama dengan K14P2 ==> sejajar Lampiran 24 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan (K14P1 Vs K14P2) K14P1 Vs K14P2 Perlakuan db db JK sisa 1 11 ∑(X-Xrata)(X-Xrata) 143 -129.463 260.219 10 143.013 2 11 sisa regresi masingmasing 143 -303.925 871.534 10 225.587 20 368.600 total regresi 286 22 Beda bagi kehomogenan regresi F Hitung = 5.774 F Tabel = 4.351 ∑(X-Xrata)(Y-Yrata) -433.388 ∑(Y-Yrata)(Y-Yrata) 1131.754 21 475.024 1 106.424 106 Karena F Hitung > F Tabel maka tolak H0 ==> disimpulkan kemiringan garis regresi K0P1 berbeda dengan K0P2 ==> tidak sejajar Lampiran 25 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan (K14P1 Vs K14P2) K14P1 Vs K14P2 Perlakuan db ∑(X-Xrata)(X-Xrata) db JK sisa 3 11 143 -316.738 1113.698 10 412.141 4 11 sisa regresi masingmasing 143 -304.425 769.207 10 121.133 20 533.274 total regresi 286 21 533.805 1 0.530 22 ∑(X-Xrata)(Y-Yrata) -621.163 ∑(Y-Yrata)(Y-Yrata) 1882.905 Beda bagi kehomogenan regresi F Hitung = 0.020 F Tabel = 4.351 Karena F Hitung < F Tabel maka terima H0 ==> disimpulkan kemiringan garis regresi K1P1 sama dengan K1P2 ==> sejajar Lampiran 26 Analisis homogenitas koefisien regresi hubungan antara produksi susu dan waktu pengamatan antarkombinasi perlakuan (K14P1 Vs K14P2) K14P1 Vs K14P2 Perlakuan db ∑(X-Xrata)(X-Xrata) 5 ∑(X-Xrata)(Y-Yrata) ∑(Y-Yrata)(Y-Yrata) db JK sisa 11 143 -341.988 1097.588 10 279.718 6 11 sisa regresi masingmasing 143 -143.767 495.286 10 350.749 total regresi 286 20 22 -485.754 1592.874 Beda bagi kehomogenan regresi F Hitung = 630.467 21 767.850 1 137.383 4.358 F Tabel = 4.351 Karena F Hitung > F Tabel maka tolak H0 ==> disimpulkan kemiringan garis regresi K14P1 berbeda dengan K14P2 ==> tidak sejajar Lampiran 27 Analisis ragam produksi susu 4% FCM selama 84 hari pengamatan Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat 3.234 0.170 0.216 2.519 8.859 14.998 Kuadrat Tengah 1.078 0.085 0.216 1.260 0.633 F-Hitung 1.70 0.13 0.34 1.99 P-Value 0.2120 0.8752 0.5687 0.1734 107 Lampiran 28 Analisis ragam rataan kadar protein susu selama 84 hari pengamatan Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat 0.198 0.056 0.016 0.300 0.839 1.409 Kuadrat Tengah 0.066 0.028 0.016 0.150 0.060 F-Hitung 1.10 0.47 0.26 2.50 P-Value 0.3805 0.6340 0.6185 0.1175 Lampiran 29 Analisis ragam rataan kadar lemak susu selama 84 hari pengamatan Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat 0.076 0.392 0.293 0.046 1.115 1.922 Kuadrat Tengah 0.025 0.196 0.293 0.023 0.080 F-Hitung 0.32 2.46 3.68 0.29 P-Value 0.8123 0.1213 0.0757 0.7515 Lampiran 30 Analisis ragam rataan kadar berat kering tanpa lemak (BKTL) susu selama 84 hari pengamatan Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat 0.073 0.114 0.063 0.030 0.532 0.812 Kuadrat Tengah 0.024 0.057 0.063 0.015 0.038 F-Hitung 0.64 1.49 1.65 0.39 P-Value 0.6027 0.2581 0.2192 0.6824 Lampiran 31 Analisis ragam rataan kadar bobot jenis susu selama 84 hari pengamatan Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F-Hitung P-Value 9.50E-07 6.85E-07 2.94E-08 6.69E-08 5.01E-6 6.74E-6 3.17E-07 3.42E-07 2.94E-08 3.34E-08 3.58E-7 0.89 0.96 0.08 0.09 0.4724 0.4077 0.7785 0.9113 108 Lampiran 32 Analisis ragam bobot tubuh awal sapi uji Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat 3467.417 1187.022 743.906 1195.081 41321.000 47914.426 Kuadrat Tengah 1155.806 593.511 743.906 597.540 2951.500 F-Hitung 0.39 0.2 0.25 0.2 P-Value 0.7609 0.8202 0.6234 0.8191 F-Hitung 0.13 0.38 0 1.32 P-Value 0.9397 0.6932 0.9556 0.2979 Lampiran 33 Analisis ragam bobot tubuh akhir Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat 1149.511 2190.840 9.344 7697.604 40759.656 51806.955 Kuadrat Tengah 383.170 1095.420 9.344 3848.802 2911.404 Lampiran 34 Analisis ragam rataan bobot tubuh selama 84 hari (12 minggu) pengamatan Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat 638.444 2251.593 66.388 4659.390 39322.886 46938.701 Kuadrat Tengah 212.815 1125.797 66.388 2329.695 2808.778 F-Hitung 0.08 0.4 0.02 0.83 P-Value 0.972 0.6772 0.88 0.4566 Lampiran 35 Analisis ragam untuk pertambahan bobot tubuh Sumber Keragaman db Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F-Hitung P-Value Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total 3 2 1 2 14 22 1805.594 2882.131 920.001 3280.141 3400.656 601.865 1441.066 920.001 1640.071 242.90397 2.48 5.93 3.79 6.75 0.1040 0.0136* 0.0720 0.0089* Ket : (*) = nyata pada taraf 5% 12288.523 109 Uji lanjut Duncan pertambahan bobot tubuh selama 84 hari pengamatan BST Pakan P1 P2 K0 12.25 ab -10.75 bc K1 21.75 a -15.00 c K14 16.00 a 36.00 a Ket : nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Lampiran 36 Analisis ragam efisiensi produksi susu (EPS) selama 84 hari (12 minggu) pengamatan Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat 13.116 11.604 55.783 25.674 211.003 317.179 Kuadrat Tengah 4.372 5.802 55.783 12.837 15.072 F-Hitung 0.29 0.38 3.7 0.85 P-Value 0.8318 0.6875 0.0749 0.4476 Lampiran 37 Analisis ragam rataan nilai kondisi ternak (NKT) 1-4 minggu pengamatan Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat 0.203 0.006 0.007 0.161 0.372 0.749 Kuadrat Tengah 0.068 0.003 0.007 0.081 0.027 F-Hitung 2.54 0.11 0.26 3.03 P-Value 0.0985 0.8998 0.6186 0.0804 Lampiran 38 Analisis ragam rataan nilai kondisi ternak (NKT) 5-8 minggu pengamatan Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat 0.361 0.019 0.001 0.071 0.337 0.790 Kuadrat Tengah 0.120 0.010 0.001 0.036 0.024 F-Hitung 5.00 0.40 0.05 1.48 P-Value 0.0145 0.6763 0.8349 0.2602 110 Lampiran 39 Analisis ragam rataan nilai kondisi ternak (NKT) 8-12 minggu pengamatan Sumber Keragaman Kelompok BST Pakan BST*Pakan Galat Total db 3 2 1 2 14 22 Jumlah Kuadrat 0.300 0.039 0.007 0.039 0.351 0.737 Kuadrat Tengah 0.100 0.020 0.007 0.020 0.025 F-Hitung 3.98 0.78 0.29 0.78 P-Value 0.0304 0.4780 0.5973 0.4780