ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BEUNTEUR

advertisement
ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BEUNTEUR
(Puntius binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae)
DI BAGIAN HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
CILIWUNG, JAWA BARAT
INNA RAHMAWATI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
RINGKASAN
INNA RAHMAWATI. Aspek Biologi Reproduksi Ikan Beunteur (Puntius
binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae) di Bagian Hulu Daerah Aliran
Sungai (DAS) Ciliwung, Jawa Barat. Dibimbing oleh DJADJA SUBARDJA
SJAFEI dan MURNIARTI BROJO.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek biologi reproduksi ikan
beunteur (Puntius binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae). Hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam upaya pengelolaan perikanan
khususnya ikan beunteur di bagian hulu DAS Ciliwung, Jawa Barat.
Penelitian ini dilakukan pada akhir bulan Juni sampai awal bulan Agustus
2005 di bagian hulu DAS Ciliwung, Jawa Barat, dengan selang waktu
pengambilan contoh dua minggu setiap bulannya. Ikan contoh diambil dengan
menggunakan electrofishing dan pancing.
Ikan beunteur yang diperoleh selama penelitian berjumlah 187 ekor, terdiri
atas 100 ekor ikan jantan dan 87 ekor ikan betina. Panjang total berkisar antara
33-117 mm dan berat tubuh berkisar antara 0,9-27,7 gram. Ikan jantan dengan
frekuensi tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu di bawah Jembatan Hankam Desa
Jogjogan yang letaknya dekat persawahan dan pemukiman penduduk (43%),
sedangkan untuk ikan betina terdapat pada stasiun 4 yaitu di bawah Jembatan
Nusa Dua, Kampung Muara, Kecamatan Cisarua yang letaknya dekat pemukiman
penduduk (47,13%).
Ikan beunteur jantan memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif,
sedangkan untuk ikan betina bersifat isometrik. Berdasarkan uji chi square,
nisbah kelamin ikan beunteur secara keseluruhan seimbang (1,15:1). Faktor
kondisi ikan jantan dan betina masing-masing berkisar antara 0,87–1,05 dan
1,40–1,54. Berdasarkan selang panjang, TKG, dan waktu pengambilan sample
diperoleh bahwa faktor kondisi pada ikan jantan dan betina berfluktuasi.
Ikan beunteur diduga memijah pada semua stasiun dan selama
pengambilan sample. Ikan jantan pertama kali matang gonad pada ukuran 50 mm
dan betina pada ukuran 56 mm. Berdasarkan persentase ikan betina yang matang
gonad pada setiap waktu pengambilan sample maka dapat dinyatakan bahwa
mulai dari akhir bulan Juni sampai dengan akhir bulan Agustus merupakan musim
pemijahan bagi ikan beunteur, dengan puncak pemijahan terjadi pada akhir bulan
Juli. Indeks kematangan gonad ikan jantan berkisar antara 1,37-2,54%, sedangkan
ikan betina berkisar antara 3,60-9,99%.
Fekunditas ikan beunteur berkisar antara 168-10.858 butir. Fekunditas
memiliki hubungan erat terhadap panjang total. Berdasarkan sebaran diameter
telur diduga bahwa ikan beunteur merupakan total spawner.
ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BEUNTEUR
(Puntius binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae)
DI BAGIAN HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
CILIWUNG, JAWA BARAT
INNA RAHMAWATI
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
SKRIPSI
Judul Penelitian
: Aspek Biologi Reproduksi Ikan Beunteur (Puntius
binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae) di Bagian Hulu
Daerah Aliran Sungai Ciliwung, Jawa Barat
Nama Mahasiswa
: Inna Rahmawati
Nomor Pokok
: C24101045
Departemen
: Manajemen Sumberdaya Perairan
Disetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Djadja Subardja Sjafei
NIP. 130 234 862
Ir. Murniarti Brojo, MS
NIP. 130 875 591
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Kadarwan Soewardi.
NIP. 130 805 031
Tanggal Lulus : 01 Juni 2006
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 12
Mei 1983, merupakan putri kedelapan dari delapan bersaudara dari
pasangan Ayahanda Mamak Usman dan Ibunda Komariah.
Pendidikan formal pertama diawali di TK Semboja Sari I
pada tahun 1988 dan dilanjutkan di SDN Empang 02 pada tahun
1989-1995.
Bersamaan dengan berakhirnya pendidikan dasar, penulis melanjutkan
pendidikan di SLTPN 07 Bogor dan selesai pada tahun 1998. Pada tahun 1998-2001,
penulis melengkapi pendidikan menengah di SMUN 03 Bogor.
Pada tahun 2001, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI
(Undangan Seleksi Masuk IPB) di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Program Studi
Manajemen Sumberdaya Perairan. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis pernah
menjadi
pengurus
Himpunan
Mahasiswa
Manajemen
Sumberdaya
Perairan
(HIMASPER) dalam Divisi ilmu-ilmu MSP pada tahun 2004.
Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis
melaksanakan penelitian yang berjudul ”Aspek Biologi Reproduksi Ikan Beunteur
(Puntius binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae) di Bagian Hulu Daerah Aliran
Sungai Ciliwung, Jawa Barat’’.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunianya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian ini adalah Aspek Biologi Re produksi Ikan Beunteur (Puntius binotatus C. V.
1842, Famili Cyprinidae) di Bagian Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, Jawa
Barat.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Djadja Subardja Sjafei dan Ibu Ir. Murniarti Brojo, MS. yang telah
membimbing dalam penulisan skripsi ini.
2.
Bapak Dr. Ir. M. F. Rahardjo, DEA yang telah banyak memberikan saran dan
membimbing penulis selama kuliah di IPB
3.
Ibu Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS. selaku dosen penguji tamu dan wakil dari
departemen
4. Keluarga tercinta dan Syahrul Purnawan atas segala dukungan doa, bimbingan, dan
kasih sayangnya
5. Teman-teman dari tim Ciliwung atas segala kebersamaan dan kekompakannya selama
ini
6. Teman-teman MSP ’37, ’38, dan ’39 atas bantuan dan dukungannya.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun diharapkan dapat menjadi bahan perbaikan. Akhir
kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Juni 2006
Inna Rahmawati
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
x
LAMPIRAN.................................................................................................
xi
I. PENDAHULUAN ..................................................................................
1.1 Latar belakang..................................................................................
1.2 Tujuan...............................................................................................
1
1
2
II. TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................
2.1 Klasifikasi dan morfologi ikan beunteur ( Puntius binotatus C. V.
1842) ................................................................................................
2.1.1 Klasifikasi................................................................................
2.1.2 Morfologi ................................................................................
2.2 Habitat dan penyebaran....................................................................
2.3 Aspek reproduksi..............................................................................
2.3.1 Faktor kondisi .........................................................................
2.3.2 Nisbah kelamin ........................................................................
2.3.3 Tingkat kematangan gonad.....................................................
2.3.4 Indeks kematangan gonad.......................................................
2.3.5 Fekunditas ...............................................................................
2.3.6 Diameter telur..........................................................................
2.4 Kualitas lingkungan perairan...........................................................
2.4.1 Parameter fisika .......................................................................
2.4.1.1 Suhu.............................................................................
2.4.1.2 Kecerahan....................................................................
2.4.1.3 Kekeruhan ...................................................................
2.4.1.4 TSS (Total Suspended Solid).......................................
2.4.1.5 Kecepatan arus ............................................................
2.4.2 Parameter kimia.......................................................................
2.4.2.1 pH (Derajat keasaman) ................................................
2.4.2.2 Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen-DO)...................
2.4.2.3 BOD (Biochemical Oxygen Demand) .........................
2.4.2.4 Nitrit (NO2) .................................................................
2.4.2.5 Nitrat (NO3) .................................................................
2.4.2.6 Amonia (NH3) .............................................................
2.4.2.7 Orthofosfat..................................................................
III. METODE PENELITIAN......................................................................
3.1 Kondisi umum daerah penelitian.....................................................
3.2 Alat dan bahan.................................................................................
3.3 Metode penelitian............................................................................
3.3.1 Metode pengambilan ikan contoh ..........................................
3.3.2 Analisis ikan contoh di laboratorium .....................................
3.3.2.1 Panjang dengan berat ikan..........................................
3
3
3
3
4
5
5
6
6
7
7
8
9
9
9
9
10
10
11
11
11
11
12
12
12
13
13
14
14
15
15
15
16
16
3.3.2.2 Penentuan jenis kelamin.............................................
3.3.2.3 TKG dan IKG.............................................................
3.3.2.4 Fekunditas ..................................................................
3.3.2.5 Diameter telur.............................................................
3.4 Analisis data ...................................................................................
3.4.1 Sebaran frekuensi...................................................................
3.4.2 Hubungan panjang-berat ........................................................
3.4.3 Faktor kondisi.........................................................................
3.4.4 Nisbah kelamin .......................................................................
3.4.5 Indeks kematangan gonad......................................................
3.4.6 Fekunditas ..............................................................................
16
17
17
17
17
17
18
20
20
21
22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................
4.1 Kondisi stasiun di bagian hulu daerah aliran sungai (DAS)
Ciliwung..........................................................................................
4.2 Ikan beunteur (Puntius binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae)
4.2.1 Deskripsi ikan beunteur (Puntius binotatus C. V. 1842) .......
4.2.2 Distribusi frekuensi ikan beunteur (Puntius binotatus)..........
4.2.3 Hubungan panjang-berat ikan beunteur (Puntius binotatus)..
4.2.4 Aspek biologi reproduksi .......................................................
4.2.4.1 Nisbah kelamin ...........................................................
4.2.4.2 Faktor kondisi.............................................................
4.2.4.3 Tingkat kematangan gonad........................................
4.2.4.4 Indeks kematangan gonad..........................................
4.2.4.5 Fekunditas ..................................................................
4.2.4.6 Diameter telur.............................................................
4.3 Kondisi perairan di bagian hulu DAS Ciliwung .............................
4.4 Alternatif pengelolaan.....................................................................
23
V. KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................
5.1 Kesimpulan.......................................................................................
5.2 Saran.................................................................................................
46
46
46
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
48
LAMPIRAN.................................................................................................
51
RIWAYAT HIDUP......................................................................................
76
23
24
24
25
27
28
28
30
33
36
38
40
41
44
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Klasifikasi kualitas perairan mengalir berdasarkan BOD5...................
12
2. Alat, bahan yang digunakan dalam penelitian dan kegunaannya.........
15
3. Kualitas perairan di bagian hulu DAS Ciliwung..................................
41
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Ikan beunteur (P. binotatus C. V. 1842) ................................................
24
2. Distribusi frekuensi ikan beunteur (P. binotatus) jantan dan betina
setiap selang panjang...............................................................................
25
3. Distribusi frekuensi ikan beunteur (P. binotatus) jantan dan betina
setiap stasiun ...........................................................................................
26
4. Hubungan panjang-berat ikan beunteur (P. binotatus) ...........................
27
5. Nisbah kelamin ikan beunteur (P. binotatus) setiap stasiun ...................
28
6. Nisbah kelamin ikan beunteur (P. binotatus) setiap TKG ......................
29
7. Nisbah kelamin ikan beunteur (P. binotatus) setia p stasiun berdasarkan
TKG III dan IV........................................................................................
29
8. Faktor kondisi rata -rata ikan beunteur (P. binotatus) jantan dan betina
setiap stasiun ...........................................................................................
31
9. Faktor kondisi rata -rata ikan beunteur (P. binotatus) jantan dan betina
setiap selang panjang...............................................................................
32
10. Faktor kondisi rata-rata ikan beunteur (P. binotatus) jantan dan betina
setiap TKG .............................................................................................
32
11. Faktor kondisi rata-rata ikan beunteur (P. binotatus) jantan dan betina
setiap waktu pengambilan sample..........................................................
33
12. Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan be unteur (P. binotatus) jantan
dan betina setiap stasiun.........................................................................
34
13. Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan beunteur (P. binotatus) jantan
dan betina setiap selang panjang ............................................................
35
14. Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan beunteur (P. binotatus) jantan
dan betina setiap waktu pengambilan sample ........................................
36
15. Indeks kematangan gonad (IKG) rata-rata pada ikan beunteur
(P. binotatus) jantan dan betina setiap stasiun .......................................
37
16. Indeks kematangan gonad (IKG) rata-rata pada ikan beunteur
(P. binotatus) jantan dan betina setiap TKG..........................................
38
17. Indeks kematangan gonad (IKG) rata-rata pada ikan beunteur
(P. binotatus) jantan dan betina setiap waktu pengambilan sample ......
38
18. Hubungan fekunditas dengan panjang total ikan beunteur (P. binotatus)
39
19. Sebaran diameter telur ikan beunteur (P. binotatus) TKG III-IV.........
40
LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Peta lokasi pengambilan sampel di bagian hulu daerah aliran sungai
(DAS) Ciliwung, Jawa Barat..................................................................
52
2. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan belanak (Mugil dussumieri )
menurut Cassie (1956) in Effendie (1979) .............................................
53
3. Karakter morfometrik dan meristik ikan beunteur (P. binotatus) ..........
54
4. Distribusi frekuensi ikan beunteur (P. binotatus) di bagian hulu DAS
Ciliwung, Jawa Barat .............................................................................
56
5. Uji t hubungan panjang-berat ikan beunteur (P. binotatus ) ..................
57
6. Nisbah kelamin dan Uji Chi-square ikan beunteur (P. binotatus) .........
58
7. Rata-rata dan kisaran faktor kondisi ikan beunteur (P. binotatus) .........
61
8. Frekuensi tingkat kematangan gonad ikan beunteur (P. binotatus) ........
63
9. Rata-rata dan kisaran indeks kematangan gonad (IKG) ikan beunteur
(P. binotatus) .........................................................................................
65
10. Fekunditas ikan beunteur (P. binotatus) ................................................
66
11. Sebaran diameter telur ikan beunteur (P. binotatus) TKG III................
68
12. Sebaran diameter telur ikan beunteur (P. binotatus) TKG IV ...............
69
13. Data pengukuran parameter fisika dan kimia perairan di bagian hulu
daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung, Jawa Barat .................................
70
14. Foto-foto Ovariun dan Testes ikan beunteur ( P. binotatus)...................
73
13. Foto-foto Stasiun Pengamatan...............................................................
74
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Sungai sebagai salah satu bentuk perairan umum merupakan ekosistem
yang mempunyai peranan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup
organisme perairan dan makhluk hidup di sekitarnya. Sungai Ciliwung merupakan
salah satu sungai besar di Jawa Barat, yang bagian hulunya terletak di pegunungan
pada ketinggian 300-3000 m di atas permukaan laut dengan luas 149 km² atau
14.876 ha. Daerah aliran sungainya meliputi kecamatan Cisarua, Ciawi, dan
Kedunghalang yang dibatasi oleh bendungan Katulampa sebagai outletnya
(Pawitan, 1989). Sungai Ciliwung mempunyai topografi yang bervariasi dari
mulai lereng datar hingga sangat curam, dengan jenis tanah pada bagian hulunya
sebagian besar (73,2%) merupakan tanah latosol dan sebagian lainnya berupa
asosiasi andosol coklat dan regosol coklat. Jenis tanah ini kaya akan unsur hara
dan bahan organik tetapi agak peka terhadap erosi (Anonimus, 1992).
Ikan beunteur (Puntius binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae)
merupakan salah satu spesies yang hidup di perairan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Ciliwung di bagian hulu. Ikan ini dapat digunakan sebagai ikan hias akuarium,
dan dapat dikonsumsi oleh masyarakat.
Menurut Pawitan (1989) dan Anonimus (1992), pemanfaatan DAS
Ciliwung untuk tegalan, sawah, pemukiman, dan kebun campuran sudah jauh
sampai ke hulu.
Pemanfaatan ini
akan memberikan beberapa dampak ke
perairan, beberapa di antaranya adalah tingginya tingkat kekeruhan perairan,
masuknya bahan-bahan organik dan anorganik ke dalam perairan yang pada
akhirnya akan mempengaruhi kehidupan organisme akuatik di dalamnya, salah
satu di antaranya ikan beunteur.
Untuk mempertahankan keseimbangan ekologi perairan sungai Ciliwung
dari berbagai kegiatan manusia diperlukan upaya pelestarian, salah satunya
adalah dengan melindungi keanekaragaman jenis ikan sungai di hulu Sungai
Ciliwung. Pengetahuan yang mendasari kelestarian sumberdaya tersebut antara
lain adalah aspek reproduksi. Kemampuan ikan bereproduksi merupakan suatu
tahapan penting dalam siklus hidupnya untuk menjamin kelangsungan hidup
2
suatu spesies (Effendie, 1997). Beberapa aspek biologi reproduksi ikan
bermanfaat untuk mengetahui frekuensi pemijahan, keberhasilan pemijahan, lama
pemijahan, dan ukuran ikan pertama kali matang gonad (Nikolsky, 1963) .
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan beberapa aspek biologi
reproduksi ikan beunteur (Puntius binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae) di
perairan DAS Ciliw ung bagian Hulu.
Aspek biologi reproduksi ikan beunteur
tersebut meliputi nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, indeks kematangan
gonad, fekunditas, diameter telur, dan faktor kondisi. Informasi tersebut
diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam upaya pengelolaan perikanan
khususnya ikan beunteur di bagian hulu DAS Ciliwung, Jawa Barat.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan morfologi ikan beunteur ( Puntius binotatus C. V. 1842)
2.1.1 Klasifikasi
Klasifikasi ikan beunteur menurut Roberts (1989) dan Kottelat et al.
(1993) adalah sebagai berikut:
Kelas
: Pisces
Subkelas
: Teleostei
Ordo
: Cypriniformes
Subordo
: Cyprinoidea
Famili
: Cyprinidae
Genus
Spesies
: Puntius
: Puntius binotatus, C. V. 1842
Nama sinonim : Barbus maculatus van Hasselt 1823, Barbus oresigenes Bleeker
1850, Barbus maculatus Cuvier & Valenciennes 1842, Barbus
palavanensis Boulenger 1895, Barbus quinquemaculatus Seale &
Bean 1907, Barbodes hemictenus Jordan & Richardson 1907,
Puntius sibukensis Fowler 1940 (Roberts, 1989)
Nama umum : ‘Spotted barb’ dengan ciri khusus berupa bintik hitam
pada
pangkal ekor dan di bagian depan pangkal sirip punggung
(Roberts, 1989).
Nama loka l
: benter, beunteur, dan bunter (Bandung); sepadak, dan tanah
(Sumatra Selatan); bada putia (Padang); pujan (Kalimantan
Selatan); tewaring (Kalimantan Timur); bilak, klemar, dan wader
cakul (Jawa Tengah) (Saanin, 1984; Schuster dan Djajadiredja,
1952).
2.1.2 Morfologi
Roberts (1989) menyatakan bahwa sirip punggung ikan beunteur memiliki
jari-jari keras (D.IV.8) dan sirip dubur (A.III.5). Menurut Kottelat, et al. (1993),
sirip punggung ikan beunteur memiliki 7-101/2 jari-jari bercabang dan sirip
duburnya memiliki
5-61/ 2 jari-jari bercabang. Jari-jari terakhir sirip dubur tidak
4
mengeras. Jari-jari sirip punggung ada yang bergerigi, dan ada yang tidak
bergerigi pada bagian belakangnya . Menurut Saanin (1984) sirip punggung ikan
beunteur memiliki beberapa jari-jari lemah mengeras dengan bagian belakangnya
bergerigi dan 7-9 jari-jari lemah; sirip duburnya memiliki beberapa jari-jari lemah
mengeras dan 5 jari-jari lemah bercabang; jari- jari lemah mengeras paling
belakang tidak bergerigi.
Saanin (1984) menyatakan bahwa ikan ini perutnya membundar, memilik i
2 pasang sungut, mulutnya dapat disembulkan, rahang tidak bergigi, permulaan
sirip punggung di depan permulaan sirip perut, dan sirip perut jauh ke belakang, di
muka dubur. Menurut Kottelat et al. (1993), mulutnya kecil, bibir halus, dan tidak
ada tonjolan di ujung rahang bawah.
Menurut Saanin (1984), ikan ini memiliki beberapa bercak hitam dan
seluruh tubuhnya bersisik. Menurut Roberts (1989), warnanya ber variasi, dari
abu-abu keperakan sampai abu-abu kehijauan, agak gelap atau kehitaman pada
bagian punggung, terdapat tanda bintik atau pita pada tubuh ikan kecil yang akan
menghilang pada saat ikan dewasa atau ukurannya besar, kecuali bintik pada
pangkal ekor. Menurut Kottelat et al. (1993), ikan ini tidak memiliki duri di
bagian manapun dari tubuhnya.
Menurut Saanin (1984), ikan ini memiliki ukuran kepala 3,3-4,5 kali lebar
mata, dan tinggi batang ekornya sama dengan panjangnya dan 1/3-1/2 kepala.
Menurut Roberts (1989), panjang maksimalnya bisa mencapai 20 cm.
Saanin (1984) dan Kottelat et al. (1993) menyatakan ikan beunteur
memiliki gurat sisi yang lengkap. Memiliki kurang dari 40 sisik sepanjang gurat
sisi, dan tidak ada pori tambahan pada sisik sepanjang gurat sisi; di antara gurat
sisi dengan sirip punggung terdapat maksimal 7 sisik. Sekeliling batang ekor
terdapat 12 sisik.
2.2 Habitat dan penyebaran
Ikan beunteur tergolong benthopelagik, hidup di perairan tawar daerah
tropis dengan kisaran pH 6,0-6,5 dan suhu perairan 24-26ºC (Roberts, 1989).
Umumnya ikan ini dapat ditemukan di selokan-selokan, sungai, dan tambak
(Weber dan de Beaufort, 1931). Ikan ini memiliki daerah penyebaran di perairan
5
Indocina, Singapura, Philipina, Malaka, dan perairan Indonesia. Penyebaran ikan
beunteur di perairan Indonesia meliputi Selat Sunda, Bali, Lombok, Sumatra,
Nias, Jawa, Kalimantan, Bangka, dan Belitung (Weber dan de Beaufort, 1931 dan
Kottelat et al., 1993).
2.3 Aspek reproduksi
Reproduksi pada ikan merupakan suatu tahapan penting dalam siklus
hidupnya untuk menjamin kelangsungan hidup suatu spesies. Sjafei et al. (1992)
menyatakan bahwa pada umumnya proses reproduksi pada ikan dapat dibagi
dalam tiga per iode yaitu periode pre-spawning, periode spawning, dan periode
post-spawning. Pada periode pre-spawning, berlangsung penyiapan gonad untuk
menghasilkan telur dan sperma, peningkatan kematangan gonad dan penyiapan
telur dan sperma yang akan dikeluarkan. Periode pre -spawning merupakan bagian
dari proses reproduksi yang paling panjang dibandingkan dengan periode lainnya.
Periode spawning pada ikan adalah proses pengeluaran telur dan sperma dan
pembuahan telur oleh sperma. Pada umumnya periode spawning berlangsung
dalam
waktu
singkat,
se dangkan
pada
periode
post-spawning
terjadi
perkembangan telur yang telah dibuahi, penetasan telur dan pembesaran dari telur
menjadi embrio, larva sampai menjadi anak ikan. Dalam periode post-spawning
diperlukan faktor -faktor yang mendukung keberlangsungan hidupnya antara lain,
makanan yang cukup dan kondisi perairan yang baik.
Menurut Nikolsky (1963) aspek-aspek reproduksi berupa faktor kondisi,
nisbah kelamin, ukuran ikan pertama kali matang gonad, indeks kematangan
gonad, fekunditas, dan diameter telur penting diketahui untuk kepentingan
pengelolaan perikanan dan kelestarian spesies.
2.3.1 Faktor kondisi
Menurut Lagler (1961) in Effendie (1979) faktor kondisi merupakan
keadaan atau kemontokkan ikan yang dinyatakan dalam angka -angka berdasarkan
pada data panjang dan berat. Faktor kondis i menunjukkan keadaan ikan dilihat
dari kapasitas fisik untuk kelangsungan hidup dan reproduksi dan dari segi
komersil berupa kualitas dan kuantitas daging ikan untuk dikonsumsi. Effendie
6
(1979) menyimpulkan bahwa nilai faktor kondisi suatu jenis ikan dipengaruhi
oleh umur, makanan, jenis ke lamin, dan tingkat kematangan gonad (TKG).
Tercapainya kematangan gonad untuk pertama kali akan menyebabkan terjadinya
penurunan kecepatan pertumbuhan karena sebagian dari makanan digunakan
untuk perkembangan gonad.
Menurut Lumbanbatu (1979) in Saepudin (1999)
nilai faktor kodisi dapat dipengaruhi oleh aktifitas pemijahan atau kepadatan ikan
di suatu perairan.
2.3.2 Nisbah kelamin
Nisbah kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan jantan dan betina
dalam suatu populasi, perbandingan 1:1 merupakan kondisi yang ideal (Bal dan
Rao, 1984).
Dari segi tingkah laku pemijahan, Nikolskii (1969) menyatakan bahwa
perbandingan kelamin dapat berubah menjelang dan selama pemijahan. Pada ikan
yang melakukan ruaya untuk memijah terjadi perubahan nisbah kelamin secara
teratur. Pada awalnya ikan jantan dominan daripada ikan betina, kemudian nisbah
kelamin berubah menjadi 1:1 diakhiri dengan dominasi ikan betina.
2.3.3 Tingkat kematangan gonad (TKG)
Tingkat kematangan gonad (TKG) adalah tahap perkembangan gonad dari
sebelum sampai sesudah ikan memijah (Effendie, 1979). Menurut Lagler et al.
(1977) secara garis besar perkembangan gonad dibagi atas dua tahap, yaitu tahap
pertumbuhan gonad hingga mencapai dewasa kelamin dan tahap pematangan
gonad. Tahap pertama dimulai sejak ikan menetas hingga mencapai dewasa
kelamin. Tahap kedua merupakan tahap pematangan seksual dan terus
berlangsung selama fungsi reproduksi berjalan dengan baik.
Dalam proses reproduksi, perkembangan gonad yang semakin matang
merupakan bagian dari proses produksi ikan sebelum terjadi pemijahan. Selama
itu sebagian besar hasil metabolisme tertuju kepada perkembangan gonad
(Effendie, 1997). Berat gonad akan maksimal waktu ikan berpijah, kemudian
akan menurun secara cepat dengan berlangsungnya musim pemijahan hingga
selesai (Effendie, 1979).
7
Perkembangan gonad tersebut dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor
luar. Faktor dalam meliputi perbedaan spesies, umur dan ukuran ikan serta sifatsifat fisiologis masing-masing individu. Sedangkan faktor luar adalah suhu,
makanan, dan arus perairan (Lagler et al., 1977).
Effendie (1997) menyatakan dalam biologi perikanan, pencatatan
perubahan atau tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui
perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi dan yang tidak. Dari
pengetahuan tahap kematangan gonad ini juga akan didapatkan keterangan kapan
ikan itu memijah, baru memijah, atau sudah selesai memijah.
Menurut Inger dan Chin (1962) ukuran pertama kali matang gonad ikan
beunteur (Puntius binotatus) jantan dan betina masing-masing adalah 73 mm dan
66,2 mm, sedangkan menurut Lumbanbatu (1979) in Saepudin (1999) ukuran
pertama kali matang gonad ikan beunteur jantan dan betina masing-masing adalah
61 mm dan 63 mm.
2.3.4 Indeks kematangan gonad (IKG)
Indeks kematangan gonad (IKG) adalah nilai perbandingan antara berat
gonad dengan berat tubuh ikan yang dinyatakan dalam persen (%). Menurut
Effendie (1997) indeks ini akan meningkat nilainya dan akan mencapai batas
maksimum pada waktu akan terjadi pemijahan. Pada ikan betina nilai IKG lebih
besar dibandingkan dengan ikan jantan. Perkembangan gonad ikan betina selain
dapat menunjukkan hubungan antara TKG dan IKG, dapat dihubungkan dengan
perkembangan diameter telur yang didalamnya sebagai hasil dari pengendapan
kuning telur selama proses vitellogenesis.
Berdasarkan hubungan ini akan
didapatkan ukuran diameter telur yang terbesar pada waktu akan terjadi
pemijahan. Penelusuran ukuran telur masak dalam komposisi ukuran telur secara
keseluruhan dapat menuntun kepada pendugaan pola pemijahan ikan tersebut.
2.3.5 Fekunditas
Fekunditas merupakan ukuran yang paling umum dipakai untuk mengukur
potensi produksi pada ikan, karena relatif lebih mudah dihitung, yaitu jumlah telur
didalam ovari ikan betina (Sjafei et al., 1992). Menurut Effendie (1979)
8
fekunditas yaitu jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada waktu ikan
memijah. Fekunditas lebih sering dihubungkan dengan panjang daripada dengan
berat, karena panjang penyusutannya relatif kecil tidak seperti berat ya ng dapat
berkurang dengan mudah (Effendie, 1997).
Peningkatan fekunditas berhubungan dengan peningkatan berat tubuh dan
berat gonad (Nikolskii, 1969). Fekunditas berbeda-beda tiap spesies dan kondisi
lingkungan yang berbeda. Spesies ikan yang mempunyai fekunditas besar, pada
umumnya memijah di daerah permukaan perairan sedangkan spesies yang
mempunyai fekunditas kecil biasanya melindungi telurnya dari pemangsa atau
menempelkan telurnya pada tanaman atau substrat lainnya (Nikolsky, 1963).
Fekunditas ikan beunteur (Puntius binotatus) di Waduk Cirata dengan
panjang dan berat rata-rata 12,5 cm dan 33,5 gram adalah 3.350-5.230 butir
(Satr ia, 1991 in Saepudin, 1999), sedangkan menurut Lumbanbatu (1979) in
Saepudin (1999) fekunditas ikan beunteur di Waduk Lahor dengan panjang 45-93
cm dan berat 2,9-9,8 gram berkisar antara 200-2.524 butir.
2.3.6 Diameter telur
Diameter telur merupakan garis tengah atau ukuran panjang dari suatu
telur yang diukur dengan mikrometer berskala yang sudah ditera. Mendekati
waktu pemijahan diameter telur semakin besar dengan meningkatnya TKG dan
mencapai maksimum setelah itu cenderung menurun (Effendie, 1979).
Menurut Lumbanbatu (1979) in Saepudin (1999) frekuensi pemijahan
dapat diduga dari penyebaran diameter telur ikan di dalam gonad yang sudah
matang, yaitu dengan melihat modus pe nyebarannya. Lama pemijahan dapat
diduga dengan frekuensi ukuran diameter telur. Ovarium yang mengandung telur
masak berukuran sama semua (merata) menunjukkan waktu pemijahan yang
pendek, sebaliknya waktu pemijahan yang panjang dan terus menerus ditandai
oleh banyaknya ukuran telur yang berbe da di dalam ovarium.
9
2.4 Kualitas lingkungan perairan
Kualitas perairan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap
kehidupan organisme baik secara langsung maupun tidak langsung. Kualitas
lingkungan perairan mencakup parameter fisika dan kimia perairan.
2.4.1 Parameter fisika
Parameter fisika yang umum diukur dalam penentuan kualitas lingkungan
perairan sunga i adalah kedalaman, suhu, kecerahan, kekeruhan, TSS, dan
kecepatan arus.
2.4.1.1 Suhu
Suhu merupakan pengatur utama proses fisika dan kimia yang terjadi di
dalam perairan. Suhu air secara tidak langsung akan mempengaruhi kelarutan
oksigen dan secara langsung mempengaruhi proses kehidupan organisme.
Walaupun ikan tergolong hewan yang suhu tubuhnya kurang lebih sama
dengan suhu air lingkungannya (polikiloterm), secara fisiologis ikan akan
merespon apabila terjadi pe rubahan suhu air yang ekstrim. Effendi (2003)
mengemukakan bahwa peningkatan suhu dapat menyebabkan peningkatan
kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air, yang mengakibatkan
peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10°C
menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik
sekitar 2 – 3 kali lipat.
Hariyadi et al. (1992) menyatakan untuk daerah tropis suhu perairan yang
baik untuk kepentingan perikanan adalah suhu norma l (27°C) dengan fluktuasi
3°C. Menurut Axelrod dan Schultz (1983) ikan beunteur dapat hidup pada kisaran
suhu antara 21,1 – 29,4°C.
2.4.1.2 Kecerahan
Kecerahan adalah ukuran transparansi perairan yang diamati secara visual
dengan alat bantu secchi disk. Nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan
cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi, serta ketelit ian
10
orang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan
pada saat cuaca cerah (Effendi, 2003).
Nilai kecerahan sebesar 30 – 60 cm pada umumnya cukup baik untuk
produksi perikanan.
Nilai kecerahan kurang dari 30 cm akan mengurangi
kandungan oksigen terlarut, sedangkan nilai kecerahan lebih besar dari 60 cm
mengakibatkan sinar matahari akan menembus ke bagian yang lebih dalam
sehingga mendorong pertumbuhan tanaman air (Boyd dan Lichkoppler, 1979 in
Effendi, 2003 ).
2.4.1.3 Kekeruhan
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat
di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik
yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan
anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (APHA,
1976 in Effendi, 2003).
Menurut Effendi (2003) kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan
terganggunya sistem osmoregulasi, misalnya pernafasan dan daya lihat organisme
akuatik, serta dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air.
2.4.1.4 TSS (Total Suspended Solid )
Total Suspended Solid merupakan bahan-bahan tersuspensi dan tidak
terlarut dalam air. Padatan tersuspensi terdiri dari partikel-partikel yang
ukurannya 0.001- 1 µm, misalnya tanah liat, bahan-bahan organik tertentu,
mikroorganisme dan sebagainya. Tinggi rendahnya nilai TSS akan berpengaruh
tehadap tingkat kekeruhan air dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap mutu air
badan air penerima limbah tersebut. Padatan tersuspensi ini akan mengurangi
penetrasi sinar/cahaya ke dalam air sehingga mempengaruhi regenerasi O 2 melalui
fotosintesis dan menyebabkan air menjadi keruh (Boyd, 1982 in Effendi, 2003).
11
2.4.1.5 Kecepatan arus
Mason (1981) mengelompokkan sungai berdasarkan kecepatan arusnya,
yaitu sungai yang berarus sangat cepat (> 100 cm/detik), arus cepat (50 – 100
cm/detik), arus sedang (25 – 50 cm/detik), arus lambat (10 – 25 cm/detik). Dan
sungai dengan arus sangat lambat (< 10 cm/detik). Selanjutnya diungkapkan pula
bahwa selain kecepatan arus, faktor yang menentukan debit air sungai adalah
kecuraman gradien permukaan, timgkat kekasaran tepi, dasar sungai, kedalaman,
dan lebar sungai.
2.4.2 Parameter kimia
Parameter kimia yang umum diukur dalam menentukan kualitas perairan
sungai adalah pH (Derajat keasaman), DO (Dissolved Oxygen), BOD
(Biochemical Oxygen Demand), Nitrat, Nitrit, Amonia, dan Orthofosfat.
2.4.2.1 pH (Derajat keasaman)
pH (Derajat keasaman) perairan adalah salah satu faktor lingkungan yang
sangat berpengaruh terhadap proses-proses yang terjadi pada suatu organisme.
Menurut Pescod (1973) in Effendi (2003) batas toleransi organisme perairan
terhadap pH dipengaruhi banyak faktor seperti temperatur, konse ntrasi oksigen
terlarut, alkalinitas, kandungan kation dan anion serta jenis dan stadia hidup biota.
Perairan dengan pH kurang dari 6 menyebabkan organisme -organisme yang
menjadi makanan ikan tidak dapat hidup dengan baik, bahkan ikan akan mati pada
pH 4. Selanjutnya dikatakan pula bahwa pH yang ideal untuk kehidupan ikan
berkisar antara 6,5 – 8,5.
2.4.2.2 Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen - DO)
Oksigen terlarut merupakan salah satu komponen utama bagi metabolisme
organisme perairan. Selain digunakan untuk aktifitas respirasi semua organisme
air, oksigen terlarut juga digunakan oleh organisme pengurai (bakteri) dalam
proses dekomposisi bahan organik di suatu perairan (Hariyadi et al., 1992).
Kebutuhan ikan dan organisme perairan lainnya akan oksige n terlarut
sangat ditentukan oleh jenis dan stadia dalam daur hidupnya. Kebutuhan akan
12
oksigen pada stadia dini umumnya lebih tinggi daripada stadia lanjut. Menurut
Effendie (2003) kadar oksigen terlarut di perairan yang ideal bagi pertumbuhan
ikan adala h > 5 mg/l.
2.4.2.3 BOD (Biochemical Oxygen Demand )
BOD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme
dalam proses dekomposisi bahan organik. Lee et al. (1978) in Rostalina (1994)
mengklasifikasikan pencemaran perairan berdasarkan kandungan BOD5 seperti
pada tabel berikut.
Tabel 1. Klasifikasi kualitas perairan mengalir berdasarkan BOD5
Nilai BOD5 (mg/l)
Kualitas air
< 3,0
Tidak tercemar
3,0 – 4,9
Tercamar ringan
5,0 – 15,0
Tercemar sedang
> 15,0
Tercemar berat
Semakin banyak bahan organik dalam perairan, maka semakin banyak
pula oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme untuk menguraikannya. Dengan
demikian BOD dapat dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran bahan
organik di suatu perairan.
2.4.2.4 Nitrit (NO 2)
Nitrit (NO2) di perairan alami biasanya ditemukan dalam jumlah yang
sangat sedikit, lebih sedikit daripada nitrat, karena bersifat tidak stabil dengan
keberadaan oksigen. Keberadaan nitrit menggambarkan berlangsungnya proses
biologi perombakan bahan organik yang memiliki kadar oksigen terlarut sangat
rendah.
Kadar nitrit yang lebih dari 0,05 mg/l dapat bersifat toksik bagi
organisme perairan yang sangat sensitif (Moore, 1991 in Effendi, 2003).
2.4.2.5 Nitrat (NO 3)
Nitrat (NO 3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan
merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat sangat
13
mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Menurut Effendi (2003) nitrat tidak
bersifat toksik terhadap organisme akuatik.
Pada perairan alami kadar nitrat
hampir tid ak pernah lebih dari 0,1 mg/l. Kadar nitrat yang lebih dari 0,2 mg/l
dapat
mengakibatkan
terjadinya
eutrofikasi
(pengayaan)
perairan,
yang
selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat
(blooming).
2.4.2.6 Amonia (NH 3)
Amonia (NH3)
dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air.
Sumber amonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan
urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, berasal dari
dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) yang
dilakukan oleh mikroba dan jamur. Kadar amonia pada perairan alami biasanya
kurang dari 0,1 mg/l. Kadar ammonia bebas melebihi 0,2 mg/l bersifat toksik bagi
beberapa jenis ikan. Kadar ammonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya
pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan
limpasan (run -off) pupuk pada pertanian (Effendi, 2003).
2.4.2.7 Orthofosfat
Fosfor merupakan suatu elemen penting dalam aktifitas biologi suatu
organisme. Konsentrasi fosfor ditentukan oleh proses dekomposisi, run off,
pelapukan batuan, pupuk buatan, serta buangan domestik dan detergen (Boyd,
1990 in Effendi, 2003).
Fosfor dalam air terdapat dalam bentuk senyawa anorganik (orthofosfat,
metafosfat, dan polifosfat) dan senyawa organik yang terdapat dalam tubuh
organisme maupun sisa organisme. Bentuk senyawa fosfor yang dapat langsung
dimanfaatkan oleh organisme nabati (bakteri, fitoplankton, dan makrofita) adalah
orthofosfat (Hariyadi et al., 1992).
Berdasarkan kadar orthofosfat, perairan
diklasifikasikan menjadi tiga yaitu perairan oligotrofik yang memiliki kadar
orthofosfat 0,003 – 0,01 mg/l, perairan mesotrofik yang memiliki kadar
orthofosfat 0,011 – 0,03 mg/l, dan perairan eutrofik yang memiliki kadar
orthofosfat 0,031 – 0,1 mg/l (Vollenweider in Wetzel, 1975 in Effendi, 2003).
III. METODE PENELITIAN
3.1 Kondisi umum daerah penelitian
Sungai Ciliwung merupakan salah satu sungai besar di Jawa Barat dengan
letak geografis pada koordinat 106°46’30” sampai 107°00’30” BT serta 6°36’30”
sampai 6°46’30”LS (Sabri, 2004). Sungai ini berhulu di Gunung Mandalawangi,
mengalir melalui Kabupaten dan Kotamadya Bogor, DKI Jakarta dan bermuara di
Teluk Jakarta. Panjang keselu ruhan sungai Ciliwung ± 130 km. Sungai tersebut
mengalir dari arah selatan ke utara dengan tiga buah anak sungai, yaitu: Cisarua,
Cisukabirus, dan Ciesek (Sanusi, et al, 1981; Sabri, 2004).
Bagian hulu sungai Ciliwung merupakan pegunungan dan terleta k pada
ketinggian 300-3000 m di atas permukaan laut dengan luas 149 km² atau 14.876
ha (Pawitan, 1989). Sungai Ciliwung me mpunyai topografi yang bervariasi dari
mulai lereng datar hingga sangat curam (Anonimus, 1992). Sungai Ciliwung
bagian hulu berawal di Desa Tugu dan mengalir sampai Kecamatan Bogor Timur
dengan ciri sungai pegunungan yang berarus deras, banyak tebing curam dan
dengan dasar batu, pasir dan kerikil. Batu-batu tersebut ada yang tersusun secara
alami membentuk semacam tanggul, bendung, atau lubuk di bagian tepi sungai.
Anak-anak sungai di bagian hulu ini juga berciri sungai pegunungan dengan air
yang mengalir deras (Pawitan, 1989).
Debit sungai di hulu DAS Ciliwung jauh berbeda antara musim hujan dan
musim kemarau. Ketinggian muka air tanahnya bervariasi antara 3-6 sampai 4-11
meter masing-masing pada musim hujan dan kemarau (Pawitan, 1989). Ciri
penting sifat hujan di kawasan DAS Ciliwung hulu adalah intensitasnya tinggi,
terjadi pada waktu singkat dalam sebaran ruang yang sempit. Hujan biasanya
turun pada siang hari menjelang malam yaitu sekitar 60-80% terjadi antara pukul
14.00-21.00 (Anominus, 1992).
Curah hujan tahunan di daerah hulu antara
3.500-7000 mm pertahun dan tidak terdapat bulan kering. Musim hujan terjadi
antara bulan Oktober sampai dengan bulan April, sedangkan musim kemarau
antara bulan Juni sampai dengan bulan September.
Pemanfaatan DAS Ciliwung sudah jauh sampai ke hulu. Penggunaan lahan
di DAS Ciliwung bagian hulu banyak untuk tegalan, sawah, pemukiman, dan
15
kebun campuran yang pa da umumnya mengalami perluasan.
Sementara
penggunaan lahan sebagai hutan, da n perkebunan mengalami penyempit an
(Pawitan, 1989 dan Anonimus , 1992).
3.2 Alat dan bahan
Tabel 2. Alat, bahan yang digunakan dalam penelitian dan kegunaannya
Jenis
Alat
1. Electrofishing 240 Volt , dan
pancing dengan ukuran mata
pancing No. 1
2. Penggaris 30 cm dengan
ketelitian 1 mm
3. Timbangan
manual
berkapasitas 310 gram dengan
ketelitian 0,01 gram
4. Stoples plastik
5. Alat bedah
6. Mikroskop elektrik, lensa
mikrometer
okuler,
gelas
objek, gelas penutup, cawan
Petri, dan pipet tetes.
7. Botol film dan plastik klip
berukuran 8 x 5 cm
8. Buku identifikasi ikan
9. pH indikator
10. Secchi disk
11. Kamera digital dan manual
12. Timbangan digital dengan
ketelitian 0,0001 gram
Kegunaan
Menangkap ikan
Mengukur ikan
Menimbang bobot ikan
Menyimpan ikan
Membedah ikan
Mengamati gonad ikan
Tempat untuk mengawetkan gonad ikan
Mengidentifikasi ikan
Mengukur pH perairan
Mengukur kecerahan perairan
Dokumentasi
Untuk menimbang gonad ikan
Bahan
1. Ikan Puntius binotatus
Objek penelitian
2. Larutan formalin konsentrasi Mengawetkan ikan dan gonadnya
4%
3. Aquades
Mengencerkan gonad ikan
3.3 Metode penelitian
3.3.1 Metode pengambilan ikan contoh
Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan dengan frekuensi
pengambilan sampel dua minggu sekali yaitu pada akhir bulan Juni 2005 sampai
dengan akhir bulan Agustus 2005. Pengambilan ikan contoh dilakukan di DAS
16
Ciliwung bagian hulu dengan lima stasiun pengamatan berturut-turut kearah hilir
yaitu Taman R. E. Martadinata, Desa Neglasari, Desa Jogjogan, Jembatan Nusa
Dua, dan Bendungan Cibalok (Lampiran 1). Demikian juga pengamatan
parameter fisika dan kimia perairan dilakukan pada waktu dan lokasi yang sama.
Jarak antara stasiun 1 dan 2 sekitar 2,5 km, stasiun 2 dan 3 sekitar 6,25 km,
stasiun 3 dan 4 sekitar 4,325 km, dan stasiun 4 dan 5 sekitar 5,5 km.
Ikan beunteur (Puntius binotatus) di perairan bagian hulu DAS Ciliwung
ditangkap dengan menggunakan electrofishing dan pancing.
Electrofishing
digunakan pada perairan yang dangkal dan berbatu (stasiun1, 2, dan 3) sedangkan
untuk pada perairan dalam dengan substrat lumpur (umumnya berupa lubuk),
digunakan pancing (stasiun 4 dan 5).
Ikan contoh yang terkumpul diawetkan dengan formalin 4% dalam plastik.
Setelah itu ikan contoh dianalisis di Laboratorium Ekobiologi Perairan, sedangkan
untuk parameter fisika dan kimia dianalisis di Laboratorium Limnologi,
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, IPB.
3.3.2 Analisis ikan contoh di laboratorium
3.3.2.1 Panjang dengan berat ikan
Panjang total dan panjang baku diukur menggunakan penggaris dengan
ketelitian 1mm. Panjang total diukur dari ujung kepala terdepan sampai ujung
sirip ekor yang paling belakang. Panjang baku diukur dari bagian ujung kepala
terdepan sampai ke batang ekor. Penimbangan berat tubuh dilakukan dengan
menimbang seluruh tubuh ikan contoh dengan menggunakan timbangan manual
dengan ketelitian 0,01 gram.
3.3.2.2 Penentuan jenis kelamin
Ikan beunteur tidak memiliki ciri seksual sekunder berupa bentuk tubuh
atau warna. Jenis kelamin diketahui dengan membedah bagian gonadnya. Gonad
betina berwarna kuning sedangkan untuk gonad jantan berwarna putih. Setelah
diketahui jenis kelamin ikan tersebut maka dapat diketahui perbandingan ikan
jantan dan ikan betina.
17
3.3.2.3 TKG dan IKG
Pengamatan tingkat kematangan gonad (TKG) ikan jantan dan betina
ditentukan secara morfologi berdasarkan modifikasi Cassie (1956) in Effendie
(1979) (Lampiran 2). Gonad dikeluarkan dari tubuh ikan contoh lalu ditimbang
berat totalnya dengan timbangan digital (ketelitian 0,0001 gram), kemudian
diawetkan dengan formalin 4% di dalam botol film. Indeks kematangan gonad
(IKG) dihitung pada ikan jantan dan betina pada setiap TKG dengan
membandingkan antara berat gonad dengan berat tubuh ikan.
3.3.2.4 Fekunditas
Fekunditas dihitung pada ovarium TKG III dan IV dengan metode
gravimetrik. Seluruh gonad ditimbang dalam keadaan kering (G gram) dengan
menggunakan timbangan digital (ketelitian 0,0001 gr) , kemudian diambil contoh
telur dari bagian anterior, tengah, dan posteriornya.
Contoh telur tersebut
ditimba ng (Q gram) selanjutnya dihitung jumlah telurnya.
3.3.2.5 Diameter telur
Diameter telur diukur pada ovarium ikan TKG III (40 ekor ikan) dan IV
(40 ekor ikan) yang diambil dari bagian anterior (33 butir telur), median (33 butir
telur), dan posterior gona d (34 butir telur), dengan menggunakan mikroskop yang
dilengkapi dengan mikrometer okuler. Sebelumnya mikrometer okuler tersebut
ditera dengan mikrometer objektif yang berskala.
3.4 Analisis data
3.4.1 Sebaran frekuensi
Langkah-langkah dalam membuat sebaran frekuensi panjang adalah
sebagai berikut (Walpole ,1992):
•
Menentukan banyaknya kelompok ukuran yang diperlukan dengan rumus:
18
n = 1 + 3,32 Log N
Keterangan:
n
N
•
= jumlah kelompok ukuran (dibulatkan ke nilai yang lebih besar)
= jumlah ikan beunteur
Menentukan lebar kelas setiap kelompok ukuran dengan rumus:
C=
a−b
c
Keterangan:
C
a
b
•
= lebar kelas
= panjang maksimum ikan beunteur
= panjang minimum ikan beunteur
Menentukan batas ba wah kelompok ukuran yang pertama kemudian
ditambahkan dengan lebar kelas dikurangi satu untuk mendapatkan batas
atas kelompok ukuran berikutnya.
•
Melakukan hal yang sama hingga kelompok ukuran ke-n
•
Masukkan frekuensi dari masing-masing kelompok ukuran yang ada
kemudian menjumlahkan kolom frekuensi yang jumlahnya harus sama
dengan data seluruhnya.
3.4.2 Hubungan panjang-berat
Dalam mencari hubungan antara panjang dengan berat digunakan rumus
(Effendie, 1997):
W = aLb
Keterangan:
W
L
= berat tubuh ikan (gram)
= panjang total ikan (mm)
Nilai a dan b adalah konstanta yang dihitung menurut Rousefell dan
Everhart (1960) dan Lagler (1961) dalam Effendie (1979) sebagai berikut:
19
∑ LogW × ∑(LogL) − ∑ LogL × ∑ (LogL × LogW )
Loga =
n × ∑ (LogL) − (∑ LogL)
∑ LogW − (n × Loga)
b=
∑ LogL
2
2
2
Keterangan:
W
L
n
= berat tubuh ikan(gram)
= panjang total ikan (mm)
= jumlah total ikan
Nilai b yang diperoleh digunakan untuk menduga laju pertumbuhan ikan
beunteur ( Puntius binotatus) yang dianalisis, dengan hipotesis:
1. Nilai b = 3 menunjukkan pola pertumbuhan isometrik
2. Nilai b
3 menunjukkan pola pertumbuhan allometrik
Jika b > 3 = allometrik positif (pertambahan berat lebih cepat dari
pertambahan panjang)
Jika b < 3 = allometrik negatif (pe rtumbuhan panjang lebih cepat dari
pertambahan berat)
Untuk menguji nilai b dilakukan uji t pada selang kepercayaan 95%
(á = 0,05) (Steell dan Torrie, 1993) .
Hipotesis:
1. H0 : b = 3 (pola pertumbuhan isometrik)
2. H1 : b
3. thitung =
3 (pola pertumbuhan allometrik)
b1 − 3
Sb1
, Sb = simpangan baku
4. Keputusan diperoleh dengan membandingkan nilai thitung dengan ttabel :
Apabila thitung < t table maka terima H0
Apabila thitung > t table maka tolak H0
20
Keeratan hubungan antara panjang dan bobot ikan ditunjukkan dengan
koefisien korelasi (r) yang diperoleh.
Nilai r mendekati satu menunjukkan
hubungan antara kedua peubah tersebut kuat dan terdapat korelasi yang tinggi,
tetapi apabila r mendekati 0, maka hubungan keduanya sangat lemah atau hampir
tidak ada (Steell dan Torrie, 1993).
r=
(n∑ x
n ∑ xy − ∑ x∑ y
2
)(
− (∑ x ) × n ∑ y 2 − (∑ y)
2
2
)
3.4.3 Faktor kondisi
Faktor kondisi ditentukan setelah pola pertumbuhan diketahui.
Pola
pertumbuhan ikan betina yang didapat pada saat pengamatan bersifat isometrik
(b = 3), maka faktor kondisi dihitung dengan menggunakan rumus (Effendie,
1979):
K (TI ) =
W × 10 5
L3
Sedangkan pola pertumbuhan ikan jantan yang didapat pada saat
pengamatan bersifat a llometrik (b
3), maka faktor kondisi dihitung dengan
rumus (Effendie, 1979):
K=
W
aLb
Keterangan;
K
= faktor kondisi
W
= berat tubuh ikan (gram)
L
= panjang total ikan (mm)
a dan b = konstanta
3.4.4 Nisbah kelamin
Nisbah kelamin ditentukan dengan membandingkan antara jumlah ikan
jantan dengan jumlah ikan betina yang tertangkap selama penelitian,
menggunakan rumus (Effendie, 1979):
21
X =
J
B
Keterangan:
X
J
B
= nisbah kelamin
= jumlah ikan jantan (ekor)
= jumlah ikan betina (ekor)
Selanjutnya keseragaman nisbah kelamin diuji dengan menggunakan uji
Chi-square (Steel dan Torrie, 1993):
n
(Oi − E i )2
i =1
Ei
χ =∑
2
Keterangan:
÷2
Oi
Ei
= Nilai bagi peubah acak ÷2 yang mempunyai sebaran penarikan contoh
mendekati Chi-square
= Frekuensi ikan jantan dan betina yang teramati
= Frekuensi harapan dari ikan jantan dan betina
3.4.5 Indeks kematangan gonad (IKG)
Indeks kematangan gona d (IKG) dihitung berdasarkan berat gonad dan
berat tubuh ikan contoh secara keseluruhan dengan menggunakan rumus
(Effendie, 1979):
IKG =
Bg
Bt
Keterangan:
IKG
Bg
Bt
= indeks kematangan gonad (%)
= berat gonad (gram)
= berat tubuh ikan contoh (gram)
× 100 %
22
3.4.6 Fekunditas
Fekunditas ikan ditentukan dengan metode gravimetrik, dengan rumus
(Effendie, 1979):
F=
G
×X
Q
Keterangan:
F
G
X
Q
= fekunditas
= berat gonad total (gram)
= jumlah telur contoh (butir)
= berat gonad contoh (gram)
Hubungan fekunditas dengan panjang total tubuh dapat diketahui dengan
rumus (Effendie, 1979):
F = aLb
Keterangan:
F
L
= fekunditas
= panjang total ikan (mm)
Nilai a dan b adalah konstanta yang dihitung menurut Rousefell dan
Everhart (1960) dan Lagler (1961) dalam Effendie (1979) sebagai berikut:
2
LogF × ∑ (LogL) − ∑ LogL × ∑ (LogL × LogF )
∑
Loga =
2
2
n × ∑ (LogL) − (∑ LogL)
∑ LogF − (n × Loga)
b=
∑ LogL
Keterangan:
F
L
n
= fekunditas
= panjang total ikan (mm)
= jumlah total ikan
Keeratan hubungan antara panjang total ikan dengan fekunditas diketahui
dari koefisien korelasi (r) seperti pada perhitungan r hubungan panjang dengan
berat.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi stasiun di bagian hulu daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung
Stasiun 1 (Lampiran 15)
Lokasi stasiun 1 adalah Taman R. E. Martadinata (Cikamasan) , merupakan
daerah perairan yang dekat mata air, sungainya jernih dengan kedalaman yang
dangkal, lebar sungai ± 1 m, ukuran bebatuan relatif kecil, banyak sampah
anorganik, terdapat tebing bekas longsoran, dan berada di area perkebunan teh.
Stasiun 2 (Lampiran 15)
Lokasi stasiun 2adalah Desa Neglasari, merupakan daerah pencampuran
masa air yang berasal dari dua sungai yaitu Sungai Cikamasan dengan Sungai
Ciliwung, lebar sungai ± 5 m, sungai cukup dalam dengan arus deras , ukuran
bebatuan relatif besar, di bagian kiri dan kanan sungai terdapat pemukiman
penduduk, banyak sampah dan masukan limbah organik lainnya.
Stasiun 3 (Lampiran 15)
Lokasi stasiun 3 adalah di bawah Jembatan Hankam Desa Jogjogan,
merupakan daerah perairan yang dekat dengan persawahan dan pemukiman
penduduk (villa -villa) , sehingga buangan nutrien dari sawah dan limbah penduduk
masuk ke perairan, lebar sungai ± 20 m, sungai cukup dalam dengan arus deras,
berbatu-batu dengan ukuran sedang.
Stasiun 4 (Lampiran 15)
Lokasi stasiun 4 adalah di bawah Jembatan Nusa Dua, Kampung Muara,
Kecamatan Cisarua, merupakan daerah perairan yang dekat dengan daerah
pemukiman penduduk sehingga limbah domestik di lokasi perairan ini tinggi,
lebar sungai ± 20 m, sungai cukup dalam dengan arus deras, berbatu-batu dengan
ukuran sedang hingga besar.
Stasiun 5 (Lampiran 15)
Lokasi stasiu n 5 adalah Bendungan Cibalok, merupakan daerah bendungan
perairan, terdapat keramba, ada kegiatan rumah tangga (mandi, mencuci), berbatubatu dengan ukuran sedang hingga besar, sungainya dalam, lebar sungai
± 40-50 m, di sekitar sungai terdapat hutan bambu dan pemukiman penduduk.
24
4.2 Ikan beunteur (Puntius binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae)
4.2.1 Deskripsi ikan beunteur (Puntius binotatus C. V. 1842)
Ikan beunteur (Gambar 1) memiliki ciri-ciri antara lain kepala simetris,
bentuk tubuh pipih dan memanjang dengan perut membundar, tubuh bersisik
sikloid, bentuk ekor cagak, garis rusuk atau Linea lateralis (L.1) lengkap dan tidak
terputus dari belakang operculum paling luar hingga pertengahan pangkal ekor.
Posisi mulut terminal dan dapat disembulkan, mempunyai dua pasang sungut, dan
tidak bergigi. Tubuh berwarna abu-abu keperakan, pada anak ikan terdapat bintik
hitam pada pangkal dasar sirip punggung, dan pada pertengahan batang ekornya.
Pada ikan dewasa bintik hitam hanya terdapat pada pertengahan batang ekornya.
Posisi sirip dada terhadap sirip perut adalah abdominal.
Gambar 1. Ikan beunteur (Puntius binotatus C. V. 1842).
Sumber www.fishbase.org
Panjang baku ikan beunteur 0,76 panjang total, tinggi badan 0,30 kali
panjang baku, panjang kepala 0,30 panjang totalnya dan tinggi batang ekornya
0,15 kali panjang baku.
Rumus jari-jari sirip ikan beunteur adalah D IV. 8; P I. 15-17; V I. 8-9;
A III. 5; C 18. Jumlah sisik L.1 berkisar antara 23-27 (Lampiran 3).
4.2.2 Distribusi frekuensi ikan beunteur (Puntius binotatus)
Ikan beunteur yang diamati selama pe nelitian berjumlah 187 ekor , terdiri
atas 100 ekor ikan jantan dan 87 ekor ikan betina dengan panjang total berkisar
antara 33 mm sampai 117 mm dan berat total berkisar antara 0,9-27,7 gr. Dari
25
kisaran panjang total itu didapatkan sembilan kelas ukuran panjang. Ukuran
minimum panjang total ikan beunteur terdapat pada ikan jantan seda ngkan untuk
ukuran maksimum panjang total terdapat pada ikan betina . Ikan jantan memiliki
kisaran panjang total antara 33–104 mm dan berat total berkisar antara 0,9–18,43
gr, sedangkan ikan betina panjang totalnya berkisar antara 46–117 mm dengan
berat total berkisar antara 1,55–27,7 gr.
Berdasarkan distribusi frekuensi per stasiun, ikan beunteur yang terdapat
di Sungai Ciliwung ba gian hulu bervariasi. Ikan beunteur jantan banyak terdapat
pada stasiun 3 sebesar 43% sedangkan ikan betina pada stasiun 4 sebesar 47,13%.
Frekuensi terendah terdapat pada stasiun 2 untuk ikan jantan sebesar 7% dan ikan
betina pada stasiun 1 sebesar 5,75% (Gambar 2; Lampiran 4A).
Frekuensi (%)
50
Jantan
Betina
40
30
20
10
0
1
2
3
Stasiun
4
5
Gambar 2. Distribusi frekuensi ikan beunteur (Puntius binotatus) jantan dan
betina setiap stasiun.
Frekuensi yang berbeda pada setiap stasiun diduga dipengaruhi oleh
kondisi perairan di bagian hulu sungai Ciliwung.
Lowe-McConnel (1987)
menyatakan bahwa terjadinya fluktuasi kondisi perairan dan adanya migrasi,
mortalitas atau pemijahan menyebabkan fluktuasi pada populasi ikan. Hal lain
yang diduga mempenga ruhi perbedaan frekuensi adalah tersedianya makanan
yang cukup. Stasiun 3 dan 4 berada disekitar pemukiman penduduk dan daerah
persawahan sehingga diduga adanya limpasan dari sawah dan limbah rumah
tangga dapat menyuburkan perairan sehingga mendorong pertumbuhan plankton
26
yang diduga menjadi makanan utama ikan beunteur, seperti menurut Roberts
(1989) bahwa ikan beunteur memakan zooplankton, larva serangga, dan akar
beberapa jenis tanaman.
Distribusi frekuensi berdasarkan kelas ukuran panjang menunjukkan
bahwa ikan beunteur jantan lebih banyak terdapat pada kisaran panjang total
53–62 mm yaitu sebesar 34% dari seluruh ikan jantan yang diamati, sedangkan
ikan betina banyak terdapat pada kisaran panjang total 63–72 mm yaitu sebesar
24,14% dari seluruh ikan betina yang diamati (Gambar 3; Lampiran 4B).
Frekuensi (%)
40
30
Jantan
Betina
20
10
2
12
3-
11
3-
11
2
02
10
-1
2
93
83
-9
2
73
-8
2
-7
2
63
53
-6
2
-5
43
33
-4
2
0
Panjang Total (mm)
Gambar 3. Distribusi frekuensi ikan beunteur (Puntius binotatus) jantan dan
betina setiap selang panjang.
4.2.3 Hubungan panjang-berat ikan beunteur (Puntius binotatus)
Hubungan panjang dan berat, ikan beunteur jantan dan betina mempunya i
persamaan masing-masing :
W = 0,0002L2,3941
W = 2 x 10-5 L2,9573
Hubungan panjang berat menunjukkan nilai korelasi yang kuat yaitu untuk
ikan beunteur jantan sebesar r = 0,9184 dan ikan beunteur betina sebesar
r = 0,9623 (Gambar 4). Nilai korelasi yang tinggi tersebut memperlihatkan bahwa
panjang total tubuh sangat mempengaruhi berat total tubuh ikan beunteur jantan
dan betina, artinya semakin panjang total tubuh ikan maka akan semakin
bertambah berat total tubuhnya.
27
21
18
y = 0.0002x2.3941
r = 0.9184
Jantan (n = 100 ekor) 30
25
Berat total (gram)
15
Betina (n = 87 ekor)
-5 2.9573
y = 2.10 x
r = 0.9623
20
12
15
9
10
6
3
5
0
0
35
45
55
65
75
85
95 105
45
55
65
75
85
95 105 115
Panjang total (mm)
Gambar 4. Hubungan panjang-berat ikan beunteur (Puntius binotatus).
Analisis uji t untuk b ikan jantan = 2,3941 dan b ikan betina = 2,957 pada
taraf 0,05 (95% ), menunjukkan pola pertumbuhan ikan beunteur jantan bersifat
allometrik negatif (b < 3) , sedangkan untuk ikan beunteur betina bersifat isometrik
(b = 3) (Lampiran 5).
Menurut Saepudin (1999), ikan beunteur (Puntius binotatus) di Situ
Cigudeg Kabupaten Bogor, Jawa Barat pola pertumbuhannya bersifat isometrik
baik untuk ikan jantan maupun ikan betina. Perbedaan pola pertumbuhan dari
satu spesies ikan yang hidup di habitat berbeda menurut Nikolsky (1963)
bervariasi tergantung pada kondisi lingkungan organisme tersebut hidup, serta
tersedianya makanan yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang kelangsungan
hidup dan pertumbuhannya.
4.2.4 Aspek biologi reproduksi
4.2.4.1 Nisbah kelamin
Nisbah kelamin yang dihitung pada lima stasiun menunjukkan nilai yang
berfluktuasi (Gambar 5). Nisbah kelamin pada stasiun satu, tiga, dan lima lebih
dari satu, berarti jumlah ikan jantan lebih banyak daripada ikan betina. Pada
stasiun dua dan stasiun empat nisbah kelamin kurang dari satu yang menunjukkan
terjadinya pergeseran jumlah populasi ikan jantan dan betina yang tertangkap.
28
Hasil uji Chi-square pada taraf nyata 0,05 diperoleh bahwa nisbah kelamin ikan
Nisbah Kelamin
jantan dan betina tiap stasiun adalah tidak seimbang (Lampiran 6A).
4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
1
2
3
Stasiun
4
5
Gambar 5. Nisbah kelamin ikan beunteur (Puntius binotatus) setiap stasiun.
Jumlah ikan jantan yang tertangkap selama periode pengamatan adalah
100 ekor dan ikan betina 87 ekor. Nisbah kelamin secara keseluruhan adalah
1,15:1 atau 53,48% ikan jantan dan 46,52% ikan betina. Hasil uji Chi-square
terhadap nisbah kelamin secara keseluruhan pada taraf nyata 0,05 adalah
seimbang (Lampiran 6B). Seimbangnya jumlah ikan jantan dan ikan betina yang
tertangkap diduga karena ikan jantan maupun ikan betina berada pada satu area
saat memijah sehingga menyebabka n peluang tertangkapnya sama.
Hubungan nisbah kelamin dengan tingkat kematangan gonad (TKG)
berkisar antara 0,50-11,67 (Gambar 6). Pada TKG I dan II, nisbah kelaminnya
lebih dari satu yang berarti jumlah ikan jantan lebih banyak daripada ikan betina.
Menjelang pemijahan nisbah kelamin TKG III dan IV yang didapat kurang dari
satu dengan jumlah ikan betina lebih banyak daripada ikan jantan. Hasil uji Chisquare pada taraf nyata 0,05 diperoleh bahwa nisbah kelamin ikan jantan dan
betina tiap TKG adalah tidak seimbang (Lampiran 6C).
Nisbah Kelamin
29
14
12
10
8
6
4
2
0
I
II
III
IV
TKG
Gambar 6. Nisbah kelamin ikan beunteur (Puntius binotatus) setiap TKG.
Nisbah kelamin setiap stasiun berdasarkan TKG III menunjukkan hanya
pada stasiun tiga saja nilai nisbah kelamin yang dihasilkan lebih dari satu, artinya
jumlah ikan jantan pada stasiun tiga lebih banyak daripada jumlah ikan betina.
Sedangkan untuk stasiun lainnya nilai nisbah kelamin yang dihasilkan kurang dari
satu, dengan jumlah ikan betina lebih banyak daripada ikan jantan (Gambar 7).
Hasil uji Chi-square pada taraf nyata 0,05 diperoleh bahwa nisbah kelamin setiap
stasiun berdasarkan TKG III adalah seimbang (Lampiran 6D).
Nisbah kelamin
1.4
TKG III
TKG IV
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
1
2
3
Stasiun
4
5
Gambar 7. Nisbah kelamin ikan beunteur (Puntius binotatus) setiap stasiun
berdasarkan TKG III dan IV.
Nisbah kelamin setiap stasiun berdasarkan TKG IV menunjukkan pada
stasiun satu dan tiga nilai nisbah kelamin yang dihasilkan lebih dari satu,
sedangkan untuk stasiun dua, empat dan lima nisbah kelamin yang dihasilkan
kurang dari satu dengan jumlah ikan betina lebih banyak daripada ikan jantan
30
(Gambar 7). Hasil uji Chi-square pada taraf nyata 0,05 diperoleh bahwa nisbah
kelamin setiap stasiun berdasarkan TKG IV adalah seimbang (Lampiran 6E).
Seimbangnya jumlah ikan jantan dan betina setiap stasiun berdasarkan
TKG III dan IV dapat disimpulkan bahwa satu ekor ikan jantan diduga membuahi
satu ekor ikan betina.
4.2.4.2 Faktor kondisi
Nilai rata-rata faktor kondisi ikan beunteur jantan berkisar 0,87–1,05
sedangkan untuk ikan betina berkisar 1,40–1,54 (Gambar 8; Lampiran 7A). Baik
pada ikan jantan maupun ikan betina, faktor kondisi rata-rata tertinggi terdapat
pada stasiun dua. Diduga pada stasiun tersebut ikan beunteur mencapai tingkat
kematangan gonad yang tinggi dan siap memijah.
Tingginya persentase ikan
mengalami matang gonad menyebabkan nilai faktor kondisi meningkat pula.
Nilai faktor kondisi ikan betina lebih besar dari ikan jantan, diduga karena
pengaruh pertumbuhan ovarium terhadap faktor kondisi lebih besar daripada
testes, yang menunjukkan bahwa ikan betina memiliki kondisi yang lebih baik
untuk bertahan hidup dan melakukan proses reproduksinya. Pada saat pengamatan
didapatkan ukuran gonad (TKG IV) ikan betina lebih be sar daripada gonad ikan
jantan pada berat tubuh yang sama. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lagler
(1972) bahwa jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
Faktor kondisi
faktor kondisi selain umur dan musim.
1.6
1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
Jantan (n = 100)
2
Betina (n = 87)
1.5
1
0.5
0
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
Stasiun
Gambar 8. Faktor kondisi rata-rata ikan beunteur (Puntius binotatus ) jantan dan
betina setiap stasiun.
31
Nilai faktor kondisi ikan beunteur untuk masing-masing selang panjang
(Gambar 9) secara umum cenderung berfluktuasi baik pada ikan jantan maupun
ikan betina . Ikan jantan memiliki nilai faktor kondisi antara 0,84–1,37 sedangkan
untuk ikan betina berkisar antara 1,39–1,73 (Lampiran 7B). Fluktuasi ini diduga
berkaitan dengan aktivitas pemijahan dan adanya perbedaan aktivitas makan pada
setiap selang panjang.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Lagler (1972) dan
Effendie (1997) bahwa jenis-jenis makanan yang dimakan suatu spesies ikan
biasanya bergantung pada kesukaan terhadap jenis makanan tertentu, ukuran dan
umur ikan, musim, serta habitat hidupnya.
Faktor kondisi relatif berfluktuasi terhadap ukuran ikan. Ikan yang
berukuran kecil (juvenil) mempunyai faktor kondisi relatif yang tinggi, kemudian
menurun ketika ikan bertambah besar. Hal ini berhubungan dengan perubahan
jenis makanan ketika ikan mengalami pertumbuhan.
Pada awal masa
pertumbuhan terjadi pembentukan sel dan jaringan pada tubuh ikan yang
membutuhkan banyak energi. Keadaan ini yang mendorong ikan untuk makan
sebanyak mungkin, sehingga faktor kondisi meningkat. Menurut Asyarah (2006)
ikan beunteur yang berukuran kecil cenderung herbivora, kemudian ketika ikan
berukuran sedang cenderung karnivora, dan ketika ikan beunteur dewasa
cenderung omnivora.
Jantan (n = 100)
2
2
Betina (n = 87)
1.5
1.5
1
1
0.5
0
0
33
-42
43
-52
53
-62
63
-72
73
-82
83
-92
93
-1
10 02
3-1
1
11 2
3-1
22
0.5
33
-4
2
43
-5
2
53
-6
2
63
-7
2
73
-8
2
83
-9
93 2
-1
10 02
31
11 12
312
2
Faktor Kondisi
2.5
Panjang Total (mm)
Gambar 9. Faktor kondisi rata-rata ikan beunteur (Puntius binotatus) jantan dan
betina setiap selang panjang.
32
Berdasarkan tingkat kematangan gonad, nilai faktor kondisi ikan beunteur
jantan berkisar 0,92–0,99 dan ikan beunteur betina berkisar 1,41–1,49 (Gambar
10; Lampiran 7C).
Nilai faktor kondisi ikan jantan dan betina cenderung
meningkat menjela ng pemijahan (TKG IV).
Diduga dipengaruhi oleh proses
perkembangan gonad yang berjalan dengan baik.
Hal ini berkaitan dengan
dengan pernyataan Effendie (1997) bahwa tingginya faktor kondisi dapat pula
terjadi pada saat ikan mengisi gonadnya dengan sel kelamin dan akan mencapai
puncak sebelum terjadi pemijahan.
1
Jantan (n = 100)
1.5
1.48
0.98
Faktor Kondisi
Betina (n = 87)
1.46
0.96
1.44
0.94
1.42
0.92
1.4
0.9
1.38
0.88
1.36
I
II
III
I
IV
II
III
IV
TKG
Gambar 10. Faktor kondisi rata -rata ikan beunteur (Puntius binotatus) jantan dan
betina setiap TKG.
Berdasarkan waktu pengambilan sample (Gambar 11) nilai faktor kondisi
pada ikan jantan berkisar antara 0,80-1,04 dan ikan betina berkisar antara 1,311,61 (Lampiran 7D). Nilai faktor kondisi tertinggi terjadi pada akhir bulan Juli
baik untuk ikan jantan (1,04) maupun ikan betina (1,61). Diduga waktu itu
merupakan puncak pemijahan sehingga faktor kondisi meningkat.
Faktor Kondisi
33
1.6
1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
Jantan (n = 100)
2
Betina (n = 87)
1.5
1
0.5
0
1
2
3
4
1
2
3
4
Waktu pengambilan sample
Gambar 11. Faktor kondisi rata-rata ikan beunteur (Puntius binotatus) jantan dan
betina setiap waktu pengambilan sample (Keterangan: 1=Akhir Juni,
2=Awal Juli, 3=Akhir Juli, 4=Awal Agustus).
4.2.4.3 Tingkat kematangan gonad (TKG)
Ikan beunteur jantan dan betina dengan TKG III dan TKG IV ditemukan
hampir disetiap stasiun (Gambar 12; Lampiran 8A). Persentase terbesar ikan
beunteur TKG IV terdapat pada stasiun dua baik untuk ikan jantan (100%)
maupun ikan betina (90%). Diduga stasiun dua merupakan tempat memijah yang
ideal karena substrat dasar perairannya berupa pasir be rbatu serta adanya tanaman
air dan sampah-sampah yang cocok untuk menempelkan telur. Menurut Axelrod
dan Schultz (1983) serta Effendie (1997) ketika ikan beunteur siap untuk
memijah, pasangan tersebut akan menuju suatu tempat, kemudian telur yang
dikeluar kan akan menempel pada tanaman air, substrat, sampah dan lain-lain.
Dilihat dari presentase TKG III dan IV pada setiap stasiun, diduga ikan beunteur
sedang melakukan pemijahan pada semua stasiun.
34
100%
Jantan (n = 100)
80%
IV
III
II
I
60%
40%
20%
TKG (%)
0%
100%
Betina (n = 87)
80%
IV
III
II
I
60%
40%
20%
0%
1
2
3
4
5
Stasiun
Gambar 12. Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan beunteur (Puntius binotatus)
jantan dan betina setiap stasiun.
Persentase tertinggi TKG III ikan jantan terdapat pada selang panjang
103–112 mm (100%), sedangkan untuk ikan betina terdapat pada selang panjang
63–72 mm (66,67%). Presentase tertinggi TKG IV ikan jantan terda pat pada
selang panjang 83-92 dan 93-102 mm (100%), sedangkan untuk ikan betina
terdapat pada selang panjang 113-122 mm (100%) (Gambar 13; Lampiran 8B).
Ikan beunteur jantan mulai matang gonad pada ukuran 50 mm, sedangkan
untuk ikan betina pada ukuran 56 mm. Dengan demikian ikan jantan cenderung
matang gonad pertama kali pada ukuran yang lebih pendek daripada ikan betina.
Affandi dan Tang (2002) menyatakan bahwa tiap-tiap spesies ikan pada
waktu pertama kali ma tang gonad tidak sama ukurannya. Demikian juga dengan
ikan yang spesiesnya sama. Faktor utama yang mempengaruhi kematangan gonad
ikan antara lain suhu dan makanan selain keberadaan hormon.
35
100%
Jantan (n = 100 ekor)
IV
III
II
I
80%
60%
40%
TKG (%)
20%
0%
100%
Betina (n = 87 ekor)
IV
III
II
I
80%
60%
40%
20%
0%
33
-42
43
-52
53
-62
63
-72
73
-82
83
-92
-1
93
02
1
-1
03
12
1
-1
13
22
Panjang total (mm)
Gambar 13. Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan beunteur (Puntius binotatus)
jantan dan betina setiap selang panjang.
Berdasarkan waktu pengambilan sample (Gambar 14) baik pada ikan
jantan maupun ikan betina, TKG IV ditemukan pada setiap pengambilan sample.
Persentase tertinggi TKG IV pada ikan jantan terdapat pada akhir bulan Juni
sebesar 26,7%, sedangkan untuk ikan betina terdapat pada akhir bulan Juli sebesar
66,7% (Lampiran 8C). Berdasarkan persentase ikan betina yang matang gonad
pada setiap waktu pengambilan sample maka dapat dinyatakan bahwa mulai dari
akhir bulan Juni sampai dengan akhir bulan Agustus merupakan musim pemijahan
bagi ikan beunteur, dengan puncak pemijahan terjadi pada akhir bulan Juli.
36
120
Jantan (n = 100)
100
80
IV
60
III
40
II
I
TKG (%)
20
0
120
Betina (n = 87)
100
IV
80
III
60
40
II
20
I
0
1
2
3
4
Waktu pengambilan sample
Gambar 14. Tingkat kema tangan gonad (TKG) ikan beunteur (Puntius binotatus )
jantan dan betina setiap waktu pengambilan sample (Keterangan:
1=Akhir Juni, 2=Awal Juli, 3=Akhir Juli, 4=Awal Agustus).
4.2.4.4 Indeks kematangan gonad (IKG)
Indeks kematangan gonad (IKG) ikan jantan berkisar antara 1,37-2,54%
dan ikan betina berkisar antara 3,60-9,99% (Gambar 15; Lampiran 9A). Rata-rata
IKG pada ikan jantan tertinggi pada stasiun dua dan terendah pada stasiun tiga,
sedangkan pada ikan betina rata-rata IKG tertinggi pada stasiun satu dan terendah
pada stasiun tiga.
37
3.5
Jantan (n = 100)
20
Betina (n = 87)
3
15
IKG (%)
2.5
2
10
1.5
1
5
0.5
0
0
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
Stasiun
Gambar 15. Indeks kematangan gonad rata -rata pada ikan beunteur (Puntius
binotatus) jantan dan betina setiap stasiun.
Dari nilai IKG tersebut diketahui bahwa IKG betina lebih besar dar ipada
IKG ikan jantan, diduga karena pertumbuhan ikan betina lebih tertuju pada
pertumbuhan gonad, akibatnya berat ovarium menjadi lebih besar dib andingkan
berat testes, pada ukuran berat tubuh ikan yang sama. Sehingga dapat dikatakan
bahwa pengaruh perkembangan gonad terhadap berat tubuh pada ikan betina lebih
signifikan dibandingkan pada ikan jantan.
Berdasarkan TKG (Gambar 16), rata-rata IKG ikan jantan dan betina
menunjukkan peningkatan seiring dengan perkembangan gonad. Pada ikan jantan
maupun ikan betina nilai IKG mencapai puncak pada TKG IV, dengan nilai IKG
rata-rata pada ikan jantan 2,49% dan ikan betina 8,84% (Lampiran 9B).
Effendie (1997) mengungkapkan bahwa berat gonad akan mencapai
maksimum saat akan memijah. Nilai tersebut kemudian menurun dengan cepat
selama pemijahan berlangsung sampai pemijahan selesai. TKG IV merupakan
puncak perkembangan gonad sehingga berat gonad mencapai maksimum dan ini
mengakibatkan nilai IKG menjadi maksimum.
38
3
Jantan (n = 100)
10
IKG (%)
2.5
Betina (n = 87)
8
2
6
1.5
4
1
0.5
2
0
0
I
II
III
I
IV
II
III
IV
TKG
Gambar 16. Indeks kematangan gonad rata-rata pada ikan beunteur (Puntius
binotatus) jantan dan betina setiap TKG.
Indeks kematangan gonad (IKG) berdasarkan waktu pengambilan sample,
memiliki nilai yang menurun untuk ikan jantan dan berfluktuasi untuk ikan betina
(Gambar 17; Lampiran 9C). Nilai IKG pada ikan jantan berkisar antara 1,492,19% dan ikan betina berkisar 6,37-7,69%. Rata -rata IKG pada ikan jantan
tertinggi pada akhir bulan Juni dan terendah pada akhir bulan Agustus , sedangkan
untuk ikan betina rata-rata IKG tertinggi pada akhir bulan Juli dan terendah pa da
akhir bulan Agustus .
IKG (%)
3
Jantan (n = 100)
12
2.5
10
2
8
1.5
6
1
4
0.5
2
0
Betina (n = 87)
0
1
2
3
4
1
2
3
4
Waktu pengambilan sample
Gambar 17. Indeks kematangan gonad (IK G) rata-rata pada ikan beunteur
(Puntius binotatus) jantan dan betina setiap waktu pengambilan
sample (Keterangan: 1=Akhir Juni, 2=Awal Juli, 3=Akhir Juli,
4=Awal Agustus).
4.2.4.5 Fekunditas
Fekunditas ikan beunteur dihitung dari 80 ekor yang terdiri dari 40 ekor
ikan TKG III dan 40 ekor ikan TKG IV. Fekunditas berkisar antara 168-10.858
39
butir. Fekunditas maksimum dijumpai pada ukuran panjang total 107 mm dengan
berat tubuh 17,93 gr dan berat gonad 0,29 gr, sedangkan fekunditas terendah
ditemukan pada ukuran panjang total 52 mm dengan berat tubuh 2,41 gr dan berat
gonad 0,03 (Gambar 18; Lampiran 10).
Rata-rata fekunditas ikan beunteur
sebesar 2588 butir. Nilai tersebut menyatakan bahwa ikan beunteur di bagian
hulu DAS Ciliwung memiliki fekunditas yang lebih tinggi dibandingkan
fekunditas ikan beunteur di Situ Cigudeg.
Menurut Saepudin (1999) ikan
beunteur di Situ Cigudeg dengan ukuran panjang antara 47-97 mm da n berat
antara 1,5-10,7 gr memiliki fekunditas antara 901-7.957 butir. Perbedaan ini
diduga berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan dan ketersediaan makanan.
Dalam Effendie (1997) dijelas kan bahwa fekunditas suatu spesies ikan berkaitan
erat dengan lingkungannya. Fekunditas dari suatu spesies ikan akan berubah bila
keadaan lingkungan berubah. Perubahan ini berkaitan dengan kelimpahan
makanan dan kepadatan populasi ikan dalam lingkungan tersebut (Wootton, 1979
dan Effendie , 1997).
Hubungan fekunditas dengan panjang total (mm) mempunyai nilai korelasi
sebesar r = 0,75, yang menunjukkan bahwa hubungan antara fekunditas dengan
panjang total adalah erat. Dari Gambar 18, terlihat bahwa dengan bertambahnya
panjang total maka fekunditasnya juga akan meningkat. Hubungan fekunditas
dengan panjang total ikan beunteur menghasilkan persamaan : F = 6.10-5L3.9158.
12000
F = 6.10-5 L3.91 58
r = 0.75
Fekunditas
10000
8000
6000
4000
2000
0
50
60
70
80
90
100
Panjang Total (mm)
110
120
130
Gambar 18. Hubungan fekunditas dengan panjang total ikan beunteur (Puntius
binotatus).
40
4.2.4.6 Diameter telur
Ikan beunteur mempunyai sebaran diameter telur antara 300–900 µ m
(TKG III dan IV). Jumlah ikan yang diamati sebaran diameter telurnya pada TKG
III 40 ekor dan TKG IV 40 ekor. Sebaran diameter telur pada TKG III berkisar
antara 300–850 µm, dan terbanyak pada selang 525-599 µm (43,23%). Pada TKG
IV, diameter telur berkisar antara 410–900 µm dan terbanyak pada selang 600–
674 µm (51,03%) (Gambar 19; Lampiran 11).
Dari sebaran diameter telur TKG IV, diperoleh modus penyebaran dengan
satu puncak. Ini menunjukkan bahwa ikan beunteur tergolong kelompok ikan
yang memijah dengan mengeluarkan telur sekaligus (total spawner). Biasanya
ikan yang tergolong dalam kelompok ini memiliki ukuran diameter telur yang
kecil, fekunditas yang besar dan musim pemijahan yang tetap (Lowe-McConnell,
1987).
50
TKG III (n = 40 ekor)
40
30
Frekuensi (%)
20
10
0
60
TKG IV (n = 40 ekor)
50
40
30
20
10
30
037
37 4
544
45 9
052
52 4
559
60 9
067
67 4
574
75 9
082
82 4
590
0
0
Selang diameter telur (µm)
Gambar 19. Sebaran diameter telur ikan beunteur ( Puntius binotatus) TKG III-IV
41
4.3 Kualitas perairan di bagian hulu DAS Ciliwung
Parameter fisikan dan kimia di bagian hulu DAS Ciliwung (Tabel 3;
Lampiran 12) menunjukkan bahwa suhu perairan pada saat pengamatan berkisar
antara 19-22,5°C.
Pengukuran suhu pada setiap stasiun tidak menunjukkan
fluktuasi yang besar. Kisaran suhu tersebut semakin ke hilir semakin tinggi, Hal
ini diduga karena adanya perbedaan ketinggian lokasi stasiun pengamatan. Stasiun
1 merupakan daerah yang banyak ditumbuhi pohon-pohon sehingga penetrasi
cahaya matahari terhalang.
Semakin ke arah hilir, lebar sungai semakin
membesar dan daerahnya terbuka, tidak ada yang menghalangi penetrasi cahaya
matahari ke dalam perairan. Lebar sungai tiap stasiun berturut-turut sebesar 1,65
m, 3,33 m, 20,61 m, 22,07 m dan 43,29 m.
Sehingga semakin kearah hilir,
semakin besar pula daerah yang terkena cahaya matahari. Hal ini menyebabkan
semakin kearah hilir suhu perairan semakin meningkat.
Tabel 3. Kualitas air sungai Ciliwung bagian hulu
Stasiun pengamatan
Parameter
Baku
Satuan
St. 1
St. 2
St. 3
St. 4
St. 5
Mutu
19-20
20-22
20-21.5
21-22.5
21-22.5
(- )
Fisika
Suhu
°C
Kecerahan
%
100
100
100
96-100
56.7-83.3
(- )
Kekeruhan
NTU
3,047-15,933
0,797-8,890
4,463-9,767
2,690-9,557
8,897-22,267
(- )
Arus
m/dtk
0,547-0,675
0,601-0,976
0,696-1,162
0,610-1,123
1,219-1,784
(- )
Kedalaman
cm
5-11,67
16,67-38,33
35-40
40-56,67
63,33-68,33
(- )
TSS
mg/l
3-42
2-180
4-21
7-17
10-35
< 400
pH
-
7
6,5-7,5
7-7,5
7-8
7-8
DO
mg/l
5,710-7,436
5,710-7,635
5,909-7,569
6,307-8,166
6,374-8,100
BOD5
mg/l
2,921-6,838
1,062-5,577
0,398-6,440
0,465-4,249
0,332-3,386
N-Nitrat
mg/l
0,468-1,482
0,279-2,137
0.344-1,270
0,457-1,457
0,286-1,713
N-Nitrit
mg/l
0,090-0,110
0,048-0,358
0,034-0,117
0,022-0,060
0,022-0,039
N-Amonia
mg/l
0,112-1,838
0,069-1,929
0,063-1,878
0,120-1,819
0,080-1,749
Orthofosfat
mg/l
0,00-0,145
0,001-0,377
0,003-0,371
0,00-0,438
0,022-0,208
Kimia
Nilai kecerahan yang diperoleh selama pengamatan berkisar antara
56,7-100%. Semakin ke hilir semakin banyak masukan bahan organik dan limbah
rumah tangga, sehingga dengan bertambahnya kedalaman perairan maka penetrasi
cahaya matahari kedalam perairan semakin terbatas.
6- 9
>3
<6
< 20
< 0.06
(- )
<1
42
Kekeruhan di daerah hulu sungai Ciliwung berkisar antara 0,797-22,267
NTU. Berdasarkan Tabel 3, terjadi penurunan nilai kekeruhan di stasiun 2. Hal
ini diduga oleh substrat yang berbatu dan dangkal. Seda ngkan tingginya nilai
kekeruhan di Stasiun 1, di duga karena Stasiun 1 berada di sekitar perkebunan teh.
Limpasan tanah yang disebabkan oleh gerusan arus akan menambah kekeruhan
perairan. Nilai kekeruhan tertinggi terdapat di Stasiun 5. Hal ini diduga karena
lokasi Stasiun 5 yang berada di daerah bendungan (Bendungan Cibalok) dan
terdapat beberapa keramba ikan milik masyarakat yang memungkinkan adanya
masukan bahan-bahan tersuspensi yang terakumulasi dan adanya pengaruh arus
yang mengakibatkan proses pengadukan sehingga kekeruhan menjadi tinggi.
Nilai kekeruhan yang tinggi mengakibatkan berkurangnya penetrasi cahaya
kedalam perairan sehingga akan menghambat laju fotosintesis oleh fitoplankton.
Arus sungai di perairan hulu Sungai Ciliwung secara umum bersifat
turbulen, yaitu bergerak ke segala arah sehingga air akan terdistribusi ke seluruh
bagian perairan tersebut. Pada alur sungai yang lurus arus air biasanya lebih deras
pada bagian tengah daripada bagian tepi. Kecepatan arus yang berbeda-beda akan
berpengaruh terhadap tipe substrat perairan. Kecepatan arus sungai di bagian hulu
Sungai Ciliwung selama pengamatan berkisar antara 0,547-1,784 m/dtk. Semakin
menuju daerah hilir, nilai arus cenderung semakin meningkat. Hal ini diduga
sema kin ke arah hilir, derajat kemiringan sungai cenderung semakin curam
sehingga mempengaruhi kecepatan arus.
Nilai TSS perairan selama pengamatan di bagian hulu daerah aliran Sungai
Ciliwung berkisar antara 2-42 mg/l. Berdasarkan Tabel 3, nilai TSS tertinggi
terdapat di Stasiun 5.
Hal ini diduga karena lokasi Stasiun 5 yang berada di
sekitar pemukiman yang akan menghasilkan limbah rumah tangga. Di Stasiun 5
juga terdapat keramba ikan milik masyarakat dan adanya bendungan yang akan
menyebabkan terakumulasinya bahan-bahan tersuspensi. Tingginya nilai TSS di
Stasiun 1 diduga karena memiliki substrat pasir berlumpur dan adanya kikisan
tanah atau erosi tanah dari perkebunan teh yang terbawa ke badan air.
Hasil pengukuran derajat keasaman (pH) di bagian hulu daerah aliran
Sungai Ciliwung selama pengamatan berkisar antara 6,5-8,0. Dari Tabel 3 dapat
dilihat nilai rata -rata pH selama pengamatan tidak menunjukkan perbedaan yang
43
cukup besar. Kisaran nilai pH tersebut masih dapat ditolerir bagi pertumbuhan
organisme perairan terutama plankton.
Menurut Novotny dan Olem (1994),
sebagian besar biota akuatik lebih senang pada pH mendekati netral, tetapi masih
dapat bertahan pada kisaran pH 6,0-8,5. Dengan demikian pH di perairan hulu
DAS Ciliwung masih mendukung kehidupan ikan.
Kandungan oksigen terlarut (DO) di perairan bagian hulu DAS Ciliwung
berkisar antara 5,710-8,166 mg/l. Nilai oksigen terlarut ini masih tergolong baik
bagi kehidupan ikan dan organisme air lainnya, hal ini seperti yang diungkapkan
oleh Effendi (2003) bahwa kandungan oksigen terlarut minimum agar dapat
mendukung kehidupan ikan pada semua stadia hidupnya adalah sebesar 5 mg/l.
BOD5 di daerah aliran Sungai Ciliwung selama pengamatan berkisar
antara 0,332-6,838 mg/. Pada Tabel 3 terlihat nilai BOD 5 dari hulu ke arah hilir
mengalami penurunan.
Nilai BOD5 terbesar terdapat di Stasiun 1 dan BOD5
terendah terdapat di Stasiun 5. Tingginya nilai BOD5 di Stasiun 1, diduga karena
adanya masukan bahan organik yang berasal dari perkebunan teh di sekitarnya.
Limpasan tanah yang mengandung bahan organik tersebut akan masuk ke
perairan, sehingga bahan organik di perairan meningkat. Berdasarkan klasifikasi
kualitas perairan mengalir (Lee et al. ,1978 in Rostalina, 1994), kisaran nilai BOD
di perairan bagian hulu DAS Ciliwung menunjukkan perairan dalam kriteria tidak
tercemar sampai tercemar sedang.
Hasil pengukuran kandungan NO 3-N di daerah aliran Sungai Ciliwung
selama pengamatan berkisar antara 0,279-2,137 mg/l. Berdasarkan Tabel 3, nilai
NO3-N tertinggi terdapat di Stasiun 2. Hal ini diduga karena Stasiun 2 yang
berada di sekitar pemukiman masyarakat, sehingga limbah buangan rumah tangga
yang dihasilkan akan masuk ke perairan. Nilai NO 3-N di Stasiun 1 lebih tinggi
dibandingkan nilai NO3-N di Stasiun 3, 4 dan 5, diduga letak Stasiun 1 yang
berada di sekitar daerah perkebunan teh yang menghasilkan limpasan bahanbahan organik yang masuk ke dalam perairan. Kandungan NO2-N di daerah aliran
Sungai
Ciliwung selama pengamatan berkisar antara 0,022-0,358 mg/l.
Berdasarkan Tabel 3, nilai kandungan NO2-N tertinggi terdapat pada Stasiun 2.
NO2-N merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat, bersifat tidak stabil
dengan keberadaan oksigen sehingga di perairan biasanya NO2-N lebih sedikit
44
daripada NO3-N (Effendi, 2003). Kandungan NH 3-N di daerah aliran Sungai
Ciliwung selama pengamatan berkisar antara 0,063-1,929 mg/l. Nilai kandungan
NH3-N di setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai rata -rata kandungan
NH3-N di setiap stasiun selama pengamatan termasuk tinggi. Amonia di perairan
berasal dekomposisi bahan organik melalui proses amonifikasi. Kadar amonia
yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang
berasal dari limbah domestik, industri dan limpasan pupuk pertanian (Effendi,
2003).
Hasil pengukuran kandungan ortofosfat di daerah aliran Sungai Ciliwung
selama pengamatan berkisar antara 0-0,438 mg/l. Nilai kandungan ortofosfat
tertinggi di Stasiun 4 dan nilai terendah di Stasiun 1. Tingginya nilai kandungan
ortofosfat di Stasiun 4 diduga karena lokasi 4 yang berada di sekitar pemukiman
penduduk
dan daerah persawahan.
Sumber fosfor berasal dari dekomposisi
bahan organik. Sumber antropogenik fosfor adalah limbah industri dan rumah
tangga, yakni fosfor yang berasal dari deterjen. Limpasan dari daerah pertanian
yang menggunakan pupuk juga memberikan masukan yang cukup besar bagi
keberadaan fosfor (Effendi, 2003).
4.4 Alternatif pengelolaan
Pengelolaan sumberdaya hayati ikan diarahkan pada upaya-upaya yang
menjamin kelestarian stok ikan. Aspek reproduksi ikan sangat berkaitan dengan
ada tidaknya stok ikan. Kegagalan atau keberhasilan reproduksi akan berpengaruh
pada besarnya populasi suatu spesies ikan.
Sjafei et al. (1992) menyebutkan
keberhasilan reproduksi dari suatu individu ikan dipengaruhi oleh tingkat
keberhasilan mendapatkan makanan atau energi untuk menghasilkan keturunan.
Penelitian tentang aspek reproduksi ikan merupakan salah satu mata rantai dalam
rangkaian upaya pengelolaan suberdaya hayati ikan.
Ikan beunteur jantan dan betina masing-masing mencapai umur produktif
diduga pada ukuran panjang minimal 50 mm dan 56 mm. Siklus reproduksi baru
terjadi setelah ikan melewati ukuran tersebut. Oleh karenanya diperlukan regulasi
penangkapan untuk menjamin ikan dapat mencapai umur produktif. Regulasi
penangkapan ini meliputi pengaturan waktu penangkapan dan selektivitas alat
45
tangkap.
Penangkapan sebaiknya tidak dilakukan terhadap ikan yang belum
mencapai umur produktif. Penangkapan ikan pada saat menjelang pemijahan juga
harus dihindari agar ikan mendapat kesempatan melakukan reproduksi. Ikan
beunteur memijah pada setiap stasiun di bagian hulu DAS Ciliwung, dan diduga
puncak pemijahan terjadi pada bulan Juli, sehingga intensitas penangkapan
sebaiknya dikurangi atau ditiadakan pada saat ikan memijah hingga pemijahan
selesai. Alat tangkap yang disarankan adalah alat tangkap yang tidak merusak
lingkungan antara lain jala lempar dan pancing.
Untuk menjaga lingkungan perairan di bagian hulu DAS Ciliwung perlu
dilakukan penyuluhan kepada penduduk setempat mengenai bahaya pencemaran,
yang bukan hanya berdampak pada organisme perairan, namun juga kepada
manusia., penyuluhan tentang alat tangkap dan kegiatan penangkapan, serta perlu
dilakukan pemantauan terhadap limbah-limbah yang dibuang ke perairan sungai
ini mengingat beberapa pabrik industri kecil telah banyak berdiri di sekitarnya.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Ikan beunteur (Puntius binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae) yang
diamati berjumlah 187 ekor, terdiri atas 100 ekor ikan jantan dan 87 ekor ikan
betina. Ukuran panjang ikan beunteur berkisar antara 33-117 mm. Ikan jantan
dan betina masing-masing ditemukan terbanyak pada stasiun 3 dan 4. Ikan
beunteur jantan lebih banyak terdapat pada kisaran panjang total 53–62 mm,
sedangkan ikan betina banyak terdapat pada kisaran panjang total 63–72 mm. Pola
pertumbuhan ikan beunteur jantan bersifat allometrik negatif sedangkan untuk
ikan betina bersifat isometrik. Nisbah kelamin ikan beunteur secara keseluruhan
seimbang (1,15:1). Nilai rata-rata faktor kondisi ikan betina lebih besar daripada
ikan jantan dan menunjukkan fluktuas i berdasarkan ukuran panjang, TKG, dan
waktu pengambilan sampel.
Ikan beunteur diduga memijah pada semua stasiun dan se lama
pengambilan sample. Puncak pemijahan pada akhir bulan Juli dan diduga stasiun
2 yaitu Desa Neglasari merupakan tempat pemijahan yang ideal. Ikan jantan
pertama kali matang gonad pada ukuran yang lebih pendek daripada ikan betina.
Nilai rata-rata IKG tertinggi diperoleh pada stasiun 2 untuk ikan jantan dan
stasiun 1 untuk ikan betina, dan nilainya menunjukkan peningkatan berdasarkan
TKG dan pengambilan sample. Fekunditas ikan beunteur ber kisar antara 16810.858 butir. Hubungan fekunditas dengan panjang total (mm) mempunyai nilai
korelasi sebesar r = 0,75 yang menunjukkan bahwa hubungan antara fekunditas
dengan panjang total adalah erat. Sebaran diameter telur yang membentuk satu
puncak menunjukkan bahwa tipe pemijahan ikan beunteur adalah total spawner.
5.2 Saran
Pemanfaatan sumberdaya ikan beunteur sebaiknya tetap memperhatikan
aspek kelestarian. Upaya pengelolaan yang disarankan meliputi regulasi waktu
penangkapan dan selektivitas alat tangkap serta perlu dilakukan pengelolaan
perairan dan penataan ruang sekitar sungai Ciliwung bagian hulu dalam
mengurangi terjadinya pencemaran. Untuk melengkapi informasi tentang biologi
47
reproduksi ikan beunteur diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menentukan
stasiun pengambilan sampel yang tetap setiap bulan dalam jangka waktu setahun,
sehingga dapat diketahui waktu pemijahannya.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, R. dan U. M. Tang. 2002. Fisiologi Hewan Air. Unri Press. Riau. 217
hal.
Anonimus. 1992. Identifikasi dan Koleksi Flora-Fauna DAS Ciliwung Serta
Prospek Pemanfaatannya: II. Flora Daerah Hulu. Laporan Akhir. Lembaga
Penelitian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Asyarah, D. Q. 2006. Studi Makanan Ikan Beunteur (Puntius binotatus) di Bagian
Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, Jawa Barat. Skripsi.
Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Dipublikasikan.
Axelrod, H. R. dan L. P. Schultz. 1983. Handbook of Tropical Aquarium Fishes.
T. F. H. Publications, Inc. Ltd. Hongkong. 718 p.
Bal, D. V. dan K. V. Rao. 1984. Marine Fisheries. Tata Mc Graw-Hill Publishing
Company Limited. New Delhi. 470 hal.
Effendi, H. 2003. Telaahan Kualitas Air. Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Jurusan MSP. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
IPB. Bogor. 259 h
Effendie, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan De wi Sri. Bogor. 112
hal.
Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
163 hal.
Hariyadi, S., I. N. N. Suryadiputra dan B. Widigdo. 1992. Limnologi Metoda
Analisa Kualitas Air. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 122 hal.
Inger, R. F. dan Chin. P. K. 1962. The Fresh-Water Fishes of North Borneo in
Fieldiana: Zoology, Zoological Series of Field Museum of Natural History.
Chicago Natural History Museum. Chicago. Vol 45: 71-73 hal.
Kottelat, M. A. J. Whitten, S. N. Kartikasari, dan S. Wirjoatmodjo. 1993.
Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi (edisi dwi bahasa).
Barkeley Books. Pte Itd, Terrer Road. Singapore. 293 hal.
Lagler, K. F. 1972. Freshwater Fishery Biology. WM. C. Brown Company
Publisher. Dubuque, Iowa. 421 p.
Lagler, K. F., J. E. Bardach, R. R. Miller. dan Dora M. Passino. 1977.
Ichthyology. John Wiley and Sons, Inc. New York. 505 hal.
49
Lowe-McConnel, R. H. L. 1987. Ecological Studies in Tropical Fish
Communities. Sydney: Cambridge University Press. Hal 212-269.
Mason, C. F. 1981. Biology of Freshwater Pollution. Longman. New York. 351p.
Nikolskii, G. V. 1969. The Theory of Fish Population Dynamics as The
Biological Background for Rational Exploitation and Management of Fish
Fishery Resuorces. Oliver and Boyd Publisher United Kingdom. London.
323 hal.
Nikolsky, G. V. 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press. New york. 325
hal.
Novotny, V. dan H. Olem. 1994. Water Quality, Prevention, Identification, and
Management of Diffuse Pollution. Van Nostrans Reinhold, New York.
1054 p.
Pawitan, H. 1989. Karakteristik Hidrologi dan Daur Limpasan Permukaan Daerah
Aliran Sungai Ciliwung. Laporan Akhir Penelitian. Jurusan Geofisika dan
Meteorologi. Fakultas Matematika da n Ilmu-Ilmu Pengetahuan Alam.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Purwanto, G., Bob W. M. dan Sj. Bustaman. 1986. Studi Pendahuluan Keadaan
Reproduksi dan Perbandingan Kelamin Ikan Cakalang (Katsuwonus
pelamis) di Perairan Sekitar Teluk P iru dan Elpaputih Pulau Seram. Jurnal
Penelitian Perikanan Laut 34: 69-78 hal.
Roberts, T. R. 1989. Puntius binotatus sp. http://www.fishbase.org. 31 Agustus
2005.
Roberts, T. R. 1989. The Freswater Fishes of Western Borneo (Kalimantan Barat,
Indonesia). California Academy of Sciences. San Fransisco.
Rostalina, D. 1994. Perubahan Struktur Komunitas Makrozoobenthos di Berbagai
Ruas Sungai Cimahi Bandung Barat. Skripsi. Manajemen Sumberdaya
Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. Tidak dipublikasikan.
Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid I. Bina Cipta.
Bandung. 256 hal.
Sabri. 2004. Analisis Alih Fungsi Lahan dengan Menggunakan Penginderaan Jauh
dan Kesediaan Membayar di Sub DAS Ciliwung Hulu Jawa Barat. Tesis.
Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak
dipublikasikan.
Saepudin, A. 1999. Studi Aspek Biologi Reproduksi Ikan-ikan di Situ Cigudeg
Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Skripsi. Manajemen Sumberdaya Perairan.
50
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tidak Dipublikasikan.
Sanusi, H. S., M. S. Saeni, D. S. Sjafei, dan A. Kasry. 1981. Kemampuan
Purifikasi Alamiah Sungai Ciliwung Terhadap Pengotoran Air Limbah
Pabrik Penyamak Kulit. Departemen Biologi Perairan. Fakultas Perikanan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Schuster, W. H. dan R. R. Djajadiredja. 1952. Local Common Names of
Indonesian Fishes. W. Van Hoeve. Bandung. 276 hal.
Sjafei, D. S., M. F. Rahardjo, M. Brojo, R. Affandi dan Sulistiono. 1992. Fisiologi
Ikan II: Reproduksi Ikan. Pusat Antar Universitas (PAU). Institut pertanian
Bogor. Bogor. 210 hal.
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu
Pendekatan Biometrik. Terjemahan Bambang Sumantri. Edisi Kedua. PT
Gramedia. Jakarta. 748 hal.
Walpole, R. E. 1992. Pengantar Statistika. Terjemahan Bambang Suma ntri (Edisi
Ketiga). PT Gramedia. Jakarta. 515 hal.
Weber, M. dan L. F. de Beaufort. 1931. The Fish of Indo-Australian Archipelago.
Vol: III (I). Leiden, E. J. Brill Ltd. Amsterdam. Hal 187-189.
Wootton, R. J. 1979. Energy Costs of Egg Production and Environmental
Determinant of Fecundity. H. 133-160. In P. J. Miller (ed.), Fish Phenology:
Anabolic Adaptiveness in Teleosts. The Proceeding of a Symposium Held
at The Zoological Society of London. Academic Press. xv + 449 h.
LAMPIRAN
St 5
St 4
06o40
St 3
U
St 2
St 1
S
106o50
106o55•f
106o70
Lampiran 1: Peta lokasi pengambilan sampel di bagia n hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, Jawa Barat (software
Map of Jakarta 2004).
53
Lampiran 2. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan belanak (Mugil
dussumieri) menurut Cassie (1956) in Effendie (1979).
Tingkat
No
kematangan
Jantan
Betina
gonad
Testes
1.
I
seperti
benang, Ovari
seperti
benang,
lebih pendek dan terlihat panjang sampai ke rongga
ujungnya di rongga tubuh,
perut bagian depan, warna
warna jernih.
jernih dan permukaan licin.
Ukuran testes lebih besar, Ukuran ovari lebih besar,
2.
II
warna putih seperti susu, warna lebih gelap kekuningbentuk lebih jelas daripada kuningan,
TKG I.
bergerigi,
III
belum
terlihat jelas dengan mata.
Permukaan testes tampak Ovari
3.
telur
warna
berwarna
kuning,
makin secara morfologi telur sudah
putih, testes makin besar, kelihatan butirnya dengan
dalam keadaan diawetkan mata.
mudah putus.
Seperti TKG III, testes Ovari makin besar, telur
tampak lebih jelas, testes berwarna kuning dan mudah
4.
IV
semakin pejal.
dipisahkan, ovari mengisi ½
sampai 2/3 rongga tubuh,
usus terdesak.
Testes
5.
V
bagian
belakang Ovari berkerut, dindingnya
kempis dan dibagian dekat tebal,
pelepasan masih berisi.
butir
telur
sisa
terdapat di dekat pelepasan,
banyak telur seperti TKG II.
54
Lampiran 3. Karakter morfometrik dan meristik ikan beunteur (P. binotatus).
A. Morfometrik ikan beunteur
No
PT
PB
TB
ikan (mm) (mm)
PK
(mm)
TBE
PB:PT PK:PB TB:PB
TBE:PB
(mm) (mm)
1
70
56
18
16
8
0.80
0.29
0.32
0.14
2
65
50
14
13
7
0.77
0.26
0.28
0.14
3
65
50
13
14
7
0.77
0.28
0.26
0.14
4
58
45
14
14
7
0.78
0.31
0.31
0.16
5
65
49
14
14
7
0.75
0.29
0.29
0.14
6
60
41
14
13
7
0.68
0.32
0.34
0.17
7
62
47
13
15
7
0.76
0.32
0.28
0.15
8
55
42
13
13
7
0.76
0.31
0.31
0.17
9
56
42
14
13
6
0.75
0.31
0.33
0.14
10
52
40
13
12
6
0.77
0.30
0.33
0.15
11
54
41
13
12
6
0.76
0.29
0.32
0.15
12
53
41
12
12
6
0.77
0.29
0.29
0.15
13
55
43
13
13
6
0.78
0.30
0.30
0.14
14
58
42
13
13
6
0.72
0.31
0.31
0.14
15
53
41
12
12
6
0.77
0.29
0.29
0.15
B. Meristik ikan beunteur
No
Sisik
D
P
V
A
C
1
D IV. 8
P I. 17
V I. 8
A III. 5
C 18
23
Abu-abu keperakan
2
D IV. 8
P I. 17
V I. 9
A III. 5
C 18
23
Abu-abu keperakan
3
D IV. 8
P I. 16
V I. 9
A III. 5
C 18
23
Abu-abu keperakan
4
D IV. 8
P I. 15
V I. 8
A III. 5
C 18
25
Abu-abu keperakan
5
D IV. 8
P I. 15
V I. 8
A III. 5
C 18
27
Abu-abu keperakan
6
D IV. 8
P I. 16
V I. 9
A III. 5
C 18
27
Abu-abu keperakan
7
D IV. 8
P I. 17
V I. 8
A III. 5
C 18
26
Abu-abu keperakan
ikan
L.1
Warna tubuh
55
No
D
P
V
A
C
ikan
Sisik
Warna tubuh
L.1
8
D IV. 8
P I. 15
V I. 8
A III. 5
C 18
24
Abu-abu keperakan
9
D IV. 8
P I. 15
V I. 8
A III. 5
C 18
25
Abu-abu keperakan
10
D IV. 8
P I. 17
V I. 8
A III. 5
C 18
25
Abu-abu keperakan
11
D IV. 8
P I. 16
V I. 9
A III. 5
C 18
27
Abu-abu keperakan
12
D IV. 8
P I. 16
V I. 9
A III. 5
C 18
26
Abu-abu keperakan
13
D IV. 8
P I. 17
V I. 8
A III. 5
C 18
23
Abu-abu keperakan
14
D IV. 8
P I. 15
V I. 9
A III. 5
C 18
23
Abu-abu keperakan
15
D IV. 8
P I. 15
V I. 9
A III. 5
C 18
24
Abu-abu keperakan
Keterangan:
D
: Sirip dorsal
P
: Sirip pectoral
V
: Sirip ventral
A
: Sirip anal
PT
: Panjang total (mm)
PB
: Panjang baku (mm)
PK
: Panjang kepala (mm)
TB
: Tinggi badan (mm)
TBE
: Tinggi batang ekor (mm)
Sisik pada L.1 : Jumlah sisik pada Linea lateralis
56
Lampiran 4. Distribusi frekuensi ikan beunteur (P. binotatus) di bagian hulu DAS
Ciliwung, Jawa Barat.
A. Setiap stasiun
Jantan
Stasiun
Jumlah
ikan
Frek
Betina
Kisaran berat
(%)
Jumlah
ikan
(gr)
(ekor)
Frek
Kisaran berat
(%)
(gr)
(ekor)
1
7
7
0,9-8
5
5,75
4,27-6,4
2
2
2
5,18-9,77
10
11,49
3,91-27,7
3
43
43
0,95-4,71
11
12,64
1,55-9,01
4
24
24
1,74-9,12
41
47,13
2,05-14,5
5
24
24
1,48-18,43
20
22,99
2,05-16,27
Jumlah
100
100
87
100
B. Setiap selang panjang
Jantan
Selang
panjang
(mm)
Jumlah
ikan
Betina
Frek
Kisaran berat
(%)
(gr)
(ekor)
Jumlah
ikan
Frek
Kisaran berat
(%)
(gr)
(ekor)
33 – 42
8
8
0,9-2,83
0
0
-
43 – 52
24
24
0,95-2,57
5
5,75
1,55-2,41
53 – 62
34
34
1,74-3,63
7
8,05
2,05-3,12
63 – 72
15
15
3,04-5,38
21
24,14
2,29-6,88
73 – 82
11
11
4,71-8,81
19
21,84
5,5-10,76
83 – 92
6
6
7,74-9,9
17
19,54
6,89-13,3
93 – 102
1
1
13,96
12
13,79
6,57-16,27
103 – 112
1
1
18,43
5
5,75
15,09-18,35
113 - 122
0
0
-
1
1,15
27,7
Jumlah
100
100
87
100
57
Lampiran 5. Uji t hubungan panjang-berat ikan beunteur (P. binotatus).
Jenis kelamin
b
Sb
Jantan
2,3941
0,1042
Betina
2,9573
0,0907
Ket: Sb = Simpangan baku
Hipotesis:
H0 : b = 3 (Pola pertumbuhan isometrik)
H1 : b 3 (Pola pertumbuhan allometrik)
Taraf nyata 95% (á = 0,05)
Wilayah kritik : t < -1,96 dan t > 1,96
Rumus thit =
b1 − 3
Sb1
thit untuk ikan jantan =
thit untuk ikan betina =
2,3941 − 3
0,1042
2,9573 − 3
0,0907
= 5,8176
= 0,4711
Hasil : Untuk ikan jantan : thit > ttab = tolak H0
Untuk ikan betina : thit < ttab = gagal tolak H 0
Kesimpulan : P ola pertumbuhan untuk ikan jantan adalah allometrik
Pola pertumbuhan untuk ikan betina adalah isometrik
58
Lampiran 6. Nisbah kelamin dan uji Chi-square ikan beunteur (P. binotatus)
A. Setiap stasiun
Stasiun
Jantan
Frekuensi
Betina
harapan
Frekuensi
Jumlah
harapan
Nisbah
kelamin
1
7
6,4171
5
5.5829
12
1,4
2
2
6,4171
10
5,5829
12
0,2
3
43
28,8770
11
25,1230
54
3,9091
4
24
34,7594
41
30,2406
65
0,5854
5
24
23,5294
20
20,4706
44
1,2
Jumlah
100
187
1,1494
87
Hipotesis:
H0 : P1 = P2 = P3 = P4 = P5
H1 : P1 P2 P3 P4 P5
Tingkat kepercayaan: 95% (÷2 (0,05; 5-1) = 9,49)
÷2 hitung =
(7 − 6,4171) 2 + (5 − 5,5829 ) 2 + ... + (24 − 23,5294 )2 + (20 − 20,4706 ) 2
6 ,4171
5,5829
23,5294
20 ,4706
= 28,6743 (Tolak H0 , karena ÷2hit > ÷2tab)
B. Secara keseluruhan
Jenis kelamin
Jantan
Jumlah
100
Frekuensi
harapan
93,5
Betina
87
Hipotesis:
H0 : P = 0,5 (seimbang)
H1 : P 0,5 (tidak seimbang)
Tingkat kepercayaan: 95% (÷ 2 (0,05; 2-1) = 3,84)
2
÷ hitung =
(100 − 93,5)2 + (87 − 93,5) 2
93,5
93,5
= 0,9037 (Terima H 0 , karena ÷2hit < ÷ 2tab)
Frekuensi
harapan
93,5
Jumlah
187
59
Lampiran 6 (lanjutan)
C. Setiap tingkat kematangan gonad (TKG)
TKG
Jantan
Frekuensi
Betina
harapan
Frekuensi
Jumlah
harapan
Nisbah
kelamin
I
23
14,4385
4
12,5615
27
5,75
II
35
20,3209
3
17,6791
38
11,6667
III
21
32,6203
40
28,3797
61
0,525
IV
21
32,6203
40
28,3797
61
0,525
Jumlah
100
187
1,1494
87
Hipotesis:
H0 : P1 = P2 = P3 = P4
H1 : P1 P2 P3 P4
Tingkat kepercayaan: 95% (÷2 (0,05; 4-1) = 7,81)
÷2 hitung =
(23 − 14,4385)2 + (4 − 12,5615)2 + ... + (21 − 32,6203)2 + (40 − 28,3797 )2
14 ,4385
12,5615
32,6203
28,3797
= 51,4989 (Tolak H0 , karena ÷2hit > ÷2tab)
D. Setiap stasiun berdasarkan TKG III
Stasiun
Jantan
Frekuensi
Betina
harapan
Frekuensi
Jumlah
harapan
Nisbah
kelamin
1
1
1.0328
2
1.9672
3
0.5
2
0
0.3443
1
0.6557
1
0
3
4
2.4098
3
4.5902
7
1.3333
4
7
10.6721
24
20.3279
31
0.2917
5
9
6.5410
10
12.4590
19
0.9
Jumlah
21
40
Hipotesis:
H0 : P1 = P2 = P3 = P4 = P5
H1 : P1 P2 P3 P4 P5
Tingkat kepercayaan: 95% (÷2 (0,05; 5-1) = 9,49)
61
60
Lampiran 6 (lanjutan)
÷2 hitung =
(1 − 1,0328)2 + (2 − 1,9672)2
1,0328
1,9672
+ ... +
(9 − 6,5410)2 + (10 − 12,4590 )2
6,5410
12,4590
= 5.4634 (Terima H0 , karena ÷2hit < ÷ 2tab)
E. Setiap stasiun berdasarkan TKG IV
Stasiun
Jantan
Frekuensi
Betina
harapan
Frekuensi
Jumlah
harapan
Nisbah
kelamin
1
3
2.0656
3
3.9344
6
1
2
2
3.7869
9
7.2131
11
0.2222
3
2
1.3770
2
2.6230
4
1
4
7
8.2623
17
15.7377
24
0.4118
5
7
5.5082
9
10.4918
16
0.7778
Jumlah
21
40
61
Hipotesis:
H0 : P1 = P2 = P3 = P4 = P5
H1 : P1 P2 P3 P4 P5
Tingkat kepercayaan: 95% (÷2 (0,05; 5-1) = 9,49)
÷2 hitung =
(3 − 2,0656)2 + (3 − 3,9344 )2 + ... + (7 − 5,5082)2 + (9 − 10,4918)2
2,0656
3,9344
5,5082
= 3.2705 (Terima H0 , karena ÷2hit < ÷ 2tab)
10,4918
61
Lampiran 7. Rata-rata dan kisaran faktor kondisi ikan beunteur (P. binotatus).
A. Setiap stasiun
Jantan
Stasiun
K rata
Kisaran
1
0,9577
0,6573-1,2973
2
1,0507
3
Betina
Sb
K rata
Kisaran
Sb
0,2193 1,4038
1,1719-1,7147
0,2312
0,9909-1,1105
0,0846 1,5364
1,1902-1,8866
0,2091
0,9814
0,5233-3,2759
0,4113 1,4748
0,9158-1,9306
0,3260
4
0,8677
0,5929-1,0371
0,1208 1,4319
0,6981-2,0247
0,2486
5
0,9384
0,6335-1,3664
0,1770 1,4060
1,0477-1,6872
0,1662
Ket: Sb = Simpangan baku
B. Setiap selang panjang
Panjang
Jantan
total (mm)
K rata
33 – 42
1.3106
0,6573-3,2759 0.8353
43 – 52
0.9158
0,5233-13387
53 – 62
0.8414
0,5929-1,1355 0.1364 1.4552 1,1497-1,9306 0.3394
63 – 72
0.9130
0,6944-1,0846 0.1099 1.3944 0,9158-1,8433 0.2413
73 – 82
0.9972
0,7638-1,2973 0.1444 1.4744 1,1719-2,0247 0.2059
83 – 92
1.0188
0,9038-1,1105 0.0778 1.4416 1,0477-1,8958 0.2352
93 – 102
1.1369
1,1369-1,1369
TT
1.3885 0,6981-1,7202 0.2861
103 – 112
1.3664
1,3664-1,3664
TT
1.4262 1,3035-1,6344 0.1301
113 - 122
-
-
-
Ket: TT = Tidak Terdefinisi
Kisaran
Betina
Sb
K rata
Kisaran
Sb
-
-
-
0.2114 1.5844 1,4468-1,7140 0.1050
1.7295 1,7295-1,7295
TT
62
Lampiran 7 (lanjutan)
C. Setiap tingkat kematangan gonad (TKG)
Jantan
TKG
I
II
III
IV
K rata
Kisaran
0,9361
0,5929-1,3365
0,9304
Betina
Sb
K rata
Kisaran
Sb
0,2261 1,4316
1,1673-1,5924
0,1860
0,5233-3,2759
0,4427 1,4908
0,9158-1,9076
0,5145
0,9227
0,6625-1,3664
0,1516 1,4103
0,9409-2,0247
0,2253
0,9943
0,7341-1,2973
0,1344 1,4705
0,6981-19306
0,2327
D. Setiap waktu pengambilan sample
Jantan
Betina
Waktu
K rata
Kisaran
Sb
K rata
Kisaran
Sb
Akhir Juni
0,8022 0,5929-1,0268 0,1212 1,3143
Awal Juli
0,8415 0,5233-1,2973 0,2166 1,4965 1,1056-2,0247 0,2120
Akhir Juli
1,0368 0,6335-1,3664 0,1783 1,6055
1,3509-1,8433 0,1774
Awal Agustus
1,0238 0,6328-3,2759 0,4740 1,5195
1,1953-1,9306 0,1808
0,6981-1,7743 0,2450
63
Lampiran 8. Frekuensi tingkat kematangan gonad ikan beunteur (P. binotatus).
A. Setiap stasiun
Frekuensi (%)
Stasiun
Jantan
Betina
I
II
III
IV
I
II
III
IV
1
28,57
14,29
14,29
42,86
0
0
40
60
2
0
0
0
100
0
0
10
90
3
37,21
48,84
9,30
4,65
27,27
27,27
27,27
18,18
4
8,33
33,33
29,17
29,17
0
0
58,54
41,46
5
12,50
20,83
37,50
29,17
5
0
50
45
B. Setiap selang panjang
Frekuensi (%)
Panjang
Jantan
total (mm)
Betina
I
II
III
IV
I
II
III
IV
33 – 42
30,43
2,86
0
0
0
0
0
0
43 – 52
60,87
25,71
4,76
0
75
33,33
0
2,5
53 – 62
8,70
68,57
33,33
4,76
25
33,33
10
2,5
63 – 72
0
2,86
42,86
23,81
0
33,33
35
15
73 – 82
0
0
14,29
38,10
0
0
27,5
20
83 – 92
0
0
0
28,57
0
0
15
27,5
93 – 102
0
0
0
4,76
0
0
10
20
103 – 112
0
0
4,76
0
0
0
2,5
10
113 - 122
0
0
0
0
0
0
0
2,5
64
Lampiran 8 (lanjutan)
C. Setiap waktu pengambilan sample
Frekuensi (%)
Waktu
Jantan
Betina
I
II
III
IV
I
II
III
IV
Akhir Juni
3,33
46,67
23,33
26,67
3,13
3,13
59,38
34,38
Awal Juli
20
40
20
20
0
0
45,16
54,84
Akhir Juli
38,24
23,53
17,65
20,59
0
0
33,33
66,67
Awal Agustus
26,92
34,62
23,08
15,38
16
11,11
27,78
44,44
65
Lampiran 9. Rata-rata dan kisaran inde ks kematangan gonad (IKG) ikan beunteur
(P. binotatus).
A. Setiap stasiun
Jantan
Stasiun
IKG
Betina
Kisaran
IKG rata
Sb
rata (%)
Kisaran
Sb
(%)
1
2,07
0,68-2,69
0,78
9,99
4,93-22,95
7,60
2
2,54
2,15-2,93
0,55
9,03
4,69-15,20
3,68
3
1,37
0,12-2,93
0,82
3,60
0,41-10,87
3,32
4
2,07
0,95-3,30
0,62
7,53
2,66-13,17
2,98
5
2,03
0,44-5,92
1,09
6,55
1,85-10,68
2,30
B. Setiap tingkat kematangan gonad (TKG)
Jantan
TKG
IKG
Betina
Kisaran
Sb
rata (%)
IKG
Kisaran
Sb
rata (%)
I
0,74
0,12-2,63
0,53
0,85
0,41-1,85
0,67
II
1,67
0,93-2,67
0,50
2,00
1,14-3,25
1,11
III
2,33
0,80-5,92
0,99
6,41
2,66-13,17
2,69
IV
2,49
1,65-3,30
0,47
8,84
3,00-22,95
3,53
C. Setiap waktu pengambilan sample
Jantan
Waktu
IKG
rata (%)
Betina
Kisaran
Sb
IKG
rata (%)
Kisaran
Sb
Akhir Juni
2,19
1,22-3,20
0,55
7,04
1,85-22,95
4,24
Awal Juli
1,88
0,60-2,78
0,72
7,53
2,66-13,84
2,80
Akhir Juli
1,58
0,12-5,92
1,18
7,69
4,40-11,40
2,44
Awal Agustus
1,49
0,44-2,86
0,71
6,37
0,41-15,20
4,25
66
Lampiran 10. Fekunditas ikan beunteur (P. binotatus).
No
PT
ikan
(mm)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
69
80
67
67
65
99
78
81
70
79
65
65
62
56
58
70
67
60
72
89
95
92
81
93
80
70
67
82
83
74
96
105
80
72
92
65
90
75
90
79
72
40
41
BT (gr)
4.51
6
4
2.83
3.5
11.13
8.42
8.37
5.05
7.03
3.68
2.94
2.74
2.05
2.77
4.54
4
3.12
4.53
13.3
14.5
10.36
10.76
9.91
8.5
5.25
4.68
8.08
6.89
5.5
13.88
15.09
6.58
6.88
11.8
4.18
10.05
5.71
10.41
6.57
6.4
TKG
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
4
BG (gr)
0.2872
0.2961
0.2036
0.1249
0.1762
0.6320
0.3628
0.5597
0.6652
0.4274
0.1030
0.2450
0.1486
0.2645
0.1421
0.2392
0.1254
0.1923
0.1544
0.6234
1.4068
0.9743
0.7133
1.2217
0.7080
0.1395
0.1718
0.3315
0.3323
0.1964
1.1359
0.8940
0.5697
0.5502
0.5193
0.1703
0.9832
0.3787
0.9258
0.5073
1.4685
IKG
Fekunditas
(%)
(butir telur)
6.3678
4.9342
5.0900
4.4141
5.0343
5.6783
4.3088
6.6870
13.1723
6.0797
2.7976
8.3347
5.4234
12.9024
5.1300
5.2687
3.1350
6.1635
3.4084
4.6872
9.7021
9.4044
6.6292
12.3280
8.3294
2.6571
3.6709
4.1027
4.8229
3.5709
8.1837
5.9245
8.6581
7.9971
4.4008
4.0742
9.7831
6.6322
8.8934
7.7215
22.9453
874
749
575
199
588
1315
1292
2297
3118
1812
290
974
494
1093
611
985
266
720
301
2280
5961
3732
1976
4751
2992
337
755
1133
1741
347
4396
2846
2592
2294
1988
701
3926
1511
3969
1916
5705
67
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
Keterangan:
77
117
69
98
85
83
76
88
77
79
65
110
103
96
85
83
85
69
95
90
79
85
64
52
90
80
77
106
97
100
90
107
96
54
98
84
80
71
102
PT
BG
BT
TKG
IKG
5.5
27.7
3.91
6.57
8.97
7.44
6.99
7.14
6.8
7.9
4.27
18.35
17.86
12.93
9.01
10.84
8.01
5.34
11.58
8.06
7.41
8.59
4.11
2.41
11.82
6.5
6.58
16.09
15.7
15.16
12.3
17.93
13.7
3.04
11.25
8.73
7.6
5.7
16.27
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
0.2807
2.7280
0.2003
0.8505
1.1251
0.5320
0.3033
0.7625
0.4829
0.6337
0.4519
2.5392
1.0193
0.8275
0.9795
1.0183
0.7370
0.4806
1.0255
0.5547
0.7127
0.7992
0.3396
0.0724
1.0978
0.3342
0.3607
1.8342
1.2458
0.8635
1.0726
2.7252
1.3934
0.2291
1.2350
0.6302
0.3873
0.5549
1.1915
5.1029
9.8484
5.1238
12.9452
12.5429
7.1505
4.3391
10.6793
7.1015
8.0215
10.5831
13.8376
5.7072
6.3998
10.8713
9.3939
9.2010
9.0000
8.8558
6.8821
9.6181
9.3038
8.2628
3.0041
9.2876
5.1415
5.4818
11.3996
7.9350
5.6959
8.7203
15.1991
10.1708
7.5362
10.9778
7.2188
5.0961
9.7351
7.3233
= Panjang Total (mm)
= Berat Gonad (gr)
= Berat Total (gr)
= Tingkat Kematangan Gonad
= Indeks Kematangan Gonad (%)
916
8350
1035
2884
4780
1738
1199
2333
1564
2865
1775
9570
3605
2771
3864
3562
2157
2756
3302
2041
3639
3754
1681
167
5132
1528
1401
5889
4023
3316
4532
10857
5617
1188
4736
2581
1285
2244
3958
68
Lampiran 11. Sebaran diameter telur ikan beunteur (P. binotatus) TKG III
(µm)
telur
300-374
375-449
450-524
525-599
600-674
675-749
750-824
825-900
Total
21
111
348
655
181
4
0
0
1320
Selang diameter telur
butir
(µm)
telur
300-374
375-449
450-524
525-599
600-674
675-749
750-824
825-900
Total
1
22
172
753
358
14
0
0
1320
%
0,08
1,67
13,03
57,05
27,12
1,06
0
0
100
Frekuensi (%)
Median
kelas
60
50
40
30
20
10
0
Selang diameter telur
kelas
butir
(µm)
telur
300-374
375-449
450-524
525-599
600-674
675-749
750-824
825-900
Total
0
11
101
321
846
79
1
1
1360
%
0
0,81
7,43
23,60
62,21
5,81
0,07
0,07
100
Frekuensi (%)
Posterior
70
60
50
40
30
20
10
0
30
03
37 74
54
45 49
05
52 24
55
60 99
06
67 74
57
75 49
08
82 24
590
0
Selang
1,59
8,41
26,36
49,62
13,71
0,30
0
0
100
30
0-3
37 74
5-4
45 49
0-5
2
52 4
5-5
60 99
0-6
67 74
5-7
75 49
0-8
82 24
5-9
00
Selang
%
60
50
40
30
20
10
0
3
37 74
54
45 49
05
52 24
55
60 99
06
67 74
57
75 49
08
82 24
590
0
butir
0-
kelas
Frekuensi (%)
Anterior
30
Selang
Selang diameter telur
69
Lampiran 12. Sebaran diameter telur ikan beunteur (P. binotatus) TKG IV
Anterior
(µm)
telur
300-374
375-449
450-524
525-599
600-674
675-749
750-824
825-900
Total
0
3
120
528
589
66
12
2
1320
0
0,23
9,09
40
44,62
5
0,91
0,15
100
telur
300-374
375-449
450-524
525-599
600-674
675-749
750-824
825-900
Total
0
0
31
352
726
197
12
2
1320
%
0
0
2,35
26,67
55
14,92
0,91
0,15
100
telur
300-374
375-449
450-524
525-599
600-674
675-749
750-824
825-900
Total
0
0
13
163
726
308
126
24
1360
%
0
0
0.96
11.99
53.38
22.65
9.26
1.76
100
Frekuensi (%)
(µm)
60
50
40
30
20
10
0
30
butir
60
50
40
30
20
10
0
Selang diameter telur
Posterior
kelas
20
10
03
37 74
54
45 49
05
52 24
55
60 99
06
67 74
57
75 49
08
82 24
590
0
(µm)
30
Selang diameter telur
Frekuensi (%)
butir
40
0
Median
kelas
Selang
%
30
Selang
50
03
37 74
54
45 49
05
52 24
55
60 99
06
67 74
57
75 49
08
82 24
590
0
butir
Frekuensi (%)
kelas
30
0-3
7
37 4
5-4
45 49
0-5
2
52 4
5-5
60 99
0-6
7
67 4
5-7
4
75 9
0-8
2
82 4
5-9
00
Selang
Selang diameter telur
70
Lampiran 13. Data pengukuran parameter fisika dan kimia perairan di bagian
hulu daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung, Jawa Barat
Suhu
st.1
st.2
st.3
st.4
st.5
Sampling 1
20.0
22.0
21.5
21.0
22.5
Sampling 2
19.5
21.0
20.0
22.0
21.0
Sampling 3
19.5
21.0
21.5
22.5
22.5
Sampling 4
19.0
20.0
21.0
22.5
22.0
Kecerahan
Sampling
Sampling
Sampling
Sampling
1
2
3
4
st1
100
100
100
100
st2
100
100
100
100
st3
100
100
100
100
st4
96
100
100
100
st5
69.4
78.2
56.7
83.3
1
2
3
4
st.1
st.2
st.3
st.4
st.5
3.047
2.247
4.633
9.557 22.267
4.633
0.797
4.463
2.690
8.897
15.933
8.890
9.767
7.307 22.033
5.703
1.713
6.030
6.113 12.167
Kekeruhan
Sampling
Sampling
Sampling
Sampling
pH
st.1
st.2
st.3
st.4
st.5
Samplin g 1
7.000
7.000
7.000
7.500
8.000
Sampling 2
7.000
6.500
7.000
7.000
7.500
Sampling 3
7.000
7.000
7.500
8.000
7.000
Sampling 4
7.000
7.500
7.000
7.500
7.500
Arus
Sampling
Sampling
Sampling
Sampling
1
2
3
4
st.1
st.2
st.3
st.4
st.5
0.547
0.601
0.696
1.123
1.784
0.675
0.880
1.162
0.610
1.219
0.584
0.976
0.806
0.840
1.175
0.609
0.720
1.101
0.695
1.302
71
Lampiran 13 (lanjutan)
Kedalaman
st. 1
Sampling
Sampling
Sampling
Sampling
1
2
3
4
5.00
10.00
11.67
11.67
st. 2
19.17
38.33
21.67
16.67
st. 3
35.00
40.00
38.33
40.00
st. 4
40.00
56.67
40.00
43.33
st. 5
66.67
68.33
63.33
66.67
TSS
Sampling
Sampling
Sampling
Sampling
1
2
3
4
st.1
11
42
37
3
st.2
7
14
18
2
st.3
9
21
15
4
st.4
16
17
9
7
st.5
35
33
29
10
1
2
3
4
st.1
st.2
st.3
st.4
st.5
6.573
6.374
6.772
7.038
6.905
6.905
5.710
7.170
7.834
7.038
7.436
7.635
7.569
8.166
8.100
5.710
5.909
5.909
6.307
6.374
1
2
3
4
st.1
st.2
st.3
st.4
st.5
2.921
1.062
1.328
1.726
1.195
3.718
2.523
0.398
0.465
0.332
3.320
2.589
1.793
0.558
0.531
6.838
5.577
6.440
4.249
3.386
1
2
3
4
st.1
st.2
st.3
st.4
st.5
0.649
0.805
0.533
0.515
0.499
1.482
2.137
1.270
1.236
1.713
0.468
0.279
0.344
0.457
0.286
1.340
2.084
1.234
1.457
1.228
DO
Sampling
Sampling
Sampling
Sampling
BOD5
Sampling
Sampling
Sampling
Sampling
N-Nitrat
Sampling
Sampling
Sampling
Sampling
72
Lampiran 13 (lanjutan)
N-Nitrit
1
2
3
4
st.1
st.2
st.3
st.4
st.5
0.090
0.048
0.034
0.022
0.022
0.290
0.358
0.098
0.046
0.035
0.110
0.050
0.117
0.060
0.038
0.104
0.298
0.076
0.034
0.039
Sampling 1
Sampling 2
Sampling 3
Sampling 4
st.1
st.2
st.3
st.4
st.5
0.112
0.069
0.063
0.120
0.080
1.838
1.929
1.878
1.819
1.749
0.745
0.257
0.414
0.252
0.306
0.783
0.786
0.753
0.633
0.640
Sampling
Sampling
Sampling
Sampling
N-amonia
Orthofosfat
Sampling 1
Sampling 2
Sampling 3
Samplin g 4
st.1
0.104
0.00
0.00
0.145
st.2
0.129
0.014
0.001
0.377
st.3
0.128
0.003
0.023
0.371
st.4
0.122
0.00
0.027
0.438
st.5
0.120
0.022
0.025
0.208
73
Lampiran 14. Foto-foto Ovarium dan Testes ikan beunteur (P. binotatus)
Ovarium
Testes
74
Lampiran 15. Foto-foto Stasiun Pengamatan
Stasiun 1. Taman R.E. Martadinata (Cikamasan)
Stasiun 2. Desa Neglasari
Stasiun 3. Jembatan Hankam, Desa Jogjogan
75
Lampiran 15 (lanjutan)
Stasiun 4. Jembatan Nusa Dua, Kampung Muara, Kecamatan Cisarua.
Stasiun 5. Bendungan Cibalok
Download