Petugas Kesehatan dengan Hepatitis B yang Diperberat

advertisement
Tinjauan Pustaka
Petugas Kesehatan dengan Hepatitis B yang Diperberat oleh Pekerjaan
Jennifer
10.2012.023 / D2
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Email: [email protected]
Tutor : dr. Monica
Pendahuluan
Dalam 10 tahun terakhir telah terjadi perubahan besar dalam pengertian, diagnosis serta klasifikasi
hepatitis B. Perubahan ini sangat besar pengaruhnya terhadap penatalaksanaan pasien. Salah satu
yang mendasar adalah tentang perubahan definisi hepatitis B kronik. Pada saat ini definisi hepatitis
B kronik adalah adanya persistensi virus hepatitis B (VHB) lebih dari 6 bulan, sehingga pemakaian
istilah carier sehat (healthy carrier) tidak dianjurkan lagi.1
Hepatitis B merupakan masalah kesehatan besar terutama di Asia, dimana terdapat sedikitnya 75%
dari seluruhnya 300 juta individu HbsAg positif menetap di seluruh dunia. Di Asia sebagian besar
pasien B kronik mendapat infeksi pada masa perinatal. Kebanyakan pasien ini tidak mengalami
keluhan ataupun gejala sampai akhirnya menjadi penyakit hati kronik.1
Gambaran klinis hepatitis B sangat bervariasi. Pada banyak kasus tidak didapatkan keluhan
maupun gejala dan pemeriksaan tes faal hati hasilnya normal. Pada sebagian lagi didapatkan
hepatomegali atau bahkan splenomegali atau eritema palmaris dan spider nevi dan juga terdapat
kenaikan konsentrasi ALT walaupun hal ini tidak selalu didapatkan. Pada umumnya didapatkan
konsentrasi bilirubin yang normal. Konsentrasi albumin serum umumya masih normal kecuali
pada kasus-kasus yang parah.1
Skenario 4
Seorang perempuan berumur 32 tahun datang ke poliklinik Penyakit Dalam dengan keluhan lemas
dan sering merasa demam sejak 5 hari yang lalu.
Alur Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
Diagnosis
Untuk mendiagnosis penyakit akibat kerja karena pajanan biologis perlu dilakukan hal-hal sebagai
berikut:2
1. Identifikasi pajanan biologis ditempat kerja
 Pengalaman proses kerja
 Mempelajari epidemiologi dan penyebaran penyakit diwilayah kerja
2. Identifikasi kelompok pekerja risiko
 Melakukan pemetaan pekerja yang berisiko terpajan biologis
 Identifikasi kelompok pekerja yang rentan terhadap infeksi/allergi
Untuk menegakkan Diagnosis penyakit akibat kerja dilaukan sesuai dengan 7 langkah diagnosis
PAK:2
1) Menentukan diagnosis klinis
 Anamnesis : penyakit dan pekerjaan ditanyakan dimana tempat kerja, apa
pekerjaannya, pajanan biologis dominan yang ada, berapa lama bekerja di tempat
kerja tersebut dan apakah yang menderita penyakit tersebut lebih dari seseorang?
 Pemeriksaan fisik sesuai standar pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan penunjang sesuai dengan indikasi
2) Menentukan pajanan di tempat kerja dalam hal ini ditentukan pajanan biologi dan faktor
lingkungan kerja yang berpengaruh terhadap timbulnya penyakit.
3) Menentukan apakah ada hubungan pajanan biologis dengan penyakit. Adanya hubungan
antara pajanan dan penyakit dibuktikan berdasarkan evidence based (masa inkubasi,
virulensi, ketahanan tubuh, dll)
4) Menentukan apakah pajanan biologis cukup besar. Untuk pajanan biologis besar pajanan
tidak menentukan timbulnya penyakit.
5) Menentukan apakah ada faktor individu yang berperan. Faktor individu yang berperan
dalam hal ini adalah ketahanan tubuh, gizi, penyakit lain yang diderita, dll.
6) Menentukan apakah ada faktor lain diluar pekerjaan. Apakah terdapat penderita lain di
lingkungan keluarga dan di lingkungan sekitar tempat tinggalnya, dll.
7) Menentukan diagnosis penyakit akibat kerja karena pajanan biologis.
Anamnesis
Dalam praktik ilmu kesehatan anak, tidak mungkin membuat diagnosis atau perencanaan program
perawatan yang memadai tanpa data mengenai anak, umur, ukuran tubuh, kemampuan, dan
kepribadiannya. Lebih lanjut, seorang anak adalah bagian dari sebuah keluarga. Maka untuk
memahami anak, kita harus tahu tentang keluarganya, orang tuanya, gaya hidupnya, kehidupan
keluarganya, kemampuan keluarga memelihara anak, terutama hubungan keluarga dengan pasien
kita serta sikap keluarga terhadap penyakitnya.1
Setiap dokter mengembangkan caranya sendiri dalam mengumpulkan informasi. Kita sebaiknya
memulai anamnesis dengan menanyakan keluhan utama pasien. Jika terdapat banyak masalah,
maka kita perlu menyusun suatu daftar masalah singkat yang dapat mempermudah kita. Kemudian
kita harus mengembangkan dan menetapkan setiap masalah, serta menanyakan masalah-masalah
yang berhubungan. Penyelidikan yang obsesif mengenai seluruh fungsi tubuh biasanya tidak selalu
diperlukan karena hal tersebut membuang waktu dan dapat mengganggu jalannya anamnesis.
Namun, informasi tertentu tentang latar belakang penyakit merupakan hal yang penting pada
sebagian besar malasah kesehatan dan juga pada setiap anak yang dirawat di rumah sakit. Pertama,
kita harus menanyakan informasi tentang kehidupan anak. Apakah kehamilan, persalinan dan
kelahirannya normal? Berapa berat lahirnya? Bagaimana keadaan anak pada hari-hari pertama
kehidupannya? Mungkin kita juga perlu menayakan apakah anak mendapat ASI atau susu formula
dan kapan anak itu disapih. Apakah anak pernah mengalami infeksi yang sering ditemukan pada
masa kanak-kanak? Apakah sudah diimunisasi? Apakah pernah dirawat di rumah sakit? Bila
pernah, kapan, di mana, dan untuk apa?1
Identitas Pasien
Identitas meliputi nam lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, nama orang tua atau
suami atau isteri atau penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa dan gama.
Identitas perlu ditanyakan untuk memastikan bahwa pasien yang dihadapi adalah memang benar
pasien yang dimaksud. Selain itu iddentitas ini juga perlu untuk data penelitian, asuransi dan lain
sebagainya.1
Keluhan Utama
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien pergi ke dokter atau
mencari pertolongan. Dalam menuliskan keluhan utama, harus disertai dengan indicator waktu,
berapa lama pasien mengalami hal tersebut. Contoh: Buang air besar encer seperti cucian beras
sejak 5 jam yang lalu.1
Riwayat Penyakit Sekarang
Riwayat perjalanan penyakit merupakan cerita yang kronologis, reinci dan jelas mengenai keadaan
kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat. Dalam melakukan
anamnesis harus diusahakan mendapat data-data sebagai berikut:1
•
Waktu dan lamanya keluhan berlangsung.
•
Sifat dan beratnya serangan, misalnya mendadak, perlahan-lahan, terus menerus, hilang
timbul, cenderung bertambah berat atau berkurang dan sebagainya,
•
Lokalisasi dan penyebarannya, menetap, menjalar, berpindah-pindah,
•
Hubungannya dengan waktu, misalnya pagi lebih sakit dari pada siang dan sore, atau
sebaliknya, atau terus menerus tidak mengenal waktu,
•
Hubungsnnys dengan aktivitas, misalnya bertambah berat bila melakukan aktivitas atau
bertambah ringan bila beristirahat,
•
Keluhan-keluhan yang menyertai serangan, misalnya keluhan yang mendahului serangan,
atau keluhan lain yang bersamaan dengan serangan,
•
Apakah keleuhan baru pertama kali atau sudah berulang kali,
•
Faktor risiko dan pencetus serangan, termasuk faktor-faktor yang memperberat atau
meringankan serangan,
•
Apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat yang menderita keluhan yang sama,
•
Riwayat perjalanan ke daerah yang endemis untuk penyakit tertentu,
•
Perkembangan penyakit, kemungkinan telah terjadi komplikasi atau gejalasisa,
•
Upaya yang telah dilakukan dan bagaimana hasilnya, jenis-jenis obat yang telah diminum
oleh pasien; juga tindakan medic lain yang berhubungan dengan penyakit yang saat ini
diderita.
Setelah semua data terkumpul, usahakan membuat diagnosis sementara dan diagnosis diferensial.
Bila mungkin, singkirkan diagnosis diferensial, dengan menanyakan tanda-tanda positif dan tandatanda negatif dari diagnosis yang mungkin.1
Riwayat Penyakit Dulu
Bertujuan untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang
pernah diderita dengan penyakitnya sekarang. Tanyakan pula apakah pasien pernah mengalami
kecelakaan, menderita penyakit yang berat dan menjalani operasi tertentu, riwayat alergi obat dan
makanan, lama perawatan, apakah sembuh sempurna atau tidak. Obat-obat yang pernah diminum
oleh pasien juga harus ditanyakan, termasuk steroid, kontrasepsi, transfuse, kemoterapi, dan
riwayat imunisasi.1
Riwayat Penyakit Keluarga
Penting untuk mencari kemungkinan penyakit herediter, familial atau penyakit infeksi. Pada
penyakit yang bersifat kongenital, perlu juga ditanyakan riwayat kehamilan dan kelahiran.1
Riwayat Penyakit Sosial
Riwayat pribadi meliputi data-data social, ekonomi, pendidikan dan kebiasaan. Pada anak-anak
perlu juga dilakukan anaamnesis gizi yang seksama, meliputi jenis makanan, kuantitas dan
kualitanya. Perlu ditanyakan pula apakah pasien mengalami kesulitan dalam kehidupan sehari-hari
seperti masalah keuangan, pekerjaan dan sebagainya. Kebiasaan pasien yang juga hrus ditanyakan
adalah kebiasaan merokok, minum alcohol, termasuk penyalahgunaan obat-obat terlarang
(narkoba). Pasien-pasien yang sering melakukan perjalanan yang telah dilakukan untuk mencari
kemungkinan tertular penyakit infeksi tertentu di tempat tujuan perjalanannya. Bila ada indikasi,
riwayat perkawinan dan kebiasaan seksualnya juga harus ditanyakan. Yang tidak kalah pentingnya
adalah anamnesis mengenai lingkungan tempat tinggalnya, termasuk keadaan rumahnya, sanitasi,
sumber air minum, ventilasi, tempat pembuangan sampah dan sebagainya. Pada pasien-pasien
dengan kecenderungan anxietas dan depresi, juga harus dilakukan anmnesis psikologik secara
khusus.1
Pada kasus hepatitis B ini biasanya dokter akan bertanya mengenai keluhan apa yang mendorong
pasien datang berobat, apakah mual, nyeri perut, kembung, mata kuning, perut bengkak, dan
sebagainya. Dokter sering terkecoh dan salah mendiagnosis infeksi virus hepatitis B yang
keluhannya sangat mirip dengan penyakit lambung. Untuk membedakannya, dokter perlu
mempertanyakan bagaimana warna air kencingnya (biasanya seperti air teh) dan melihat sekilas
mata pasien, menguning atau tidak. Perlu digali juga mengenai riwayat transfusi darah,
hemodialisis, apakah ibu dari anak pernah menderita hepatitis B, dan juga mempertanyakan
kebiasaan-kebiasaan seperti hubungan seks bebas dan pemakaian narkoba suntik sebelumnya. 3
Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi harus diperhatikan apakah terdapat penonjolan pada region hipokondrium kanan.
Pada keadaan pembesaran hati yang esktrim (misal pada tumor hati) akan terlihat permukaan
abdomen yang asimetris antara daerah hipokondrium kanan dan kiri. Untuk memudahkan perabaan
hati diperlukan:1
a. Dinding usus yang lemas dengan cara kaki ditekuk sehingga membentuk sudut 45-60o,
b. Pasien diminta untuk menarik napas panjang,
c. Pada saat ekspirasi maksimal jari ditekan ke bawah, kemudian pada awal inspirasi jari
bergerak ke kranial dalam arah parabolic,
d. Diharapkan, bila hati membesar akan terjadi sentuhan antara jari pemeriksa dengan hati
pada saat inspirasi maksimal.
Posisi pasien berbaring terlentang dengan kedua tungkai kanan dilipat agar dinding abdomen lebih
lentur. Palpasi dikerjakan dengan menggunakan sisi palmar radial jari tangan kanan (bukan ujung
jari) dengan posisi ibu jari terlipat di bawah palmar manus. Lebih tegas lagi bila arah jari
membentuk sudut 45o dengan garis median. Ujung jari terletak pada bagian lateral muskulus rektus
abdominalis dan kemudian pada garis median untuk memeriksa hati lobus kiri.1
Palpasi dimulai dari regio iliaka kanan menuju ke tepi lengkung iga kanan. Dinding abdomen
ditekan ke bawah dengan arah dorsal dan kranial sehingga akan dapat menyentuh tepi anterior hati.
Gerakan ini dilakukan berulang dan posisinya digeser 1-2 jari kea rah lengkung iga. Penekanan
dilakukan pada saat pasien sedang inspirasi. Bila pada palpasi kita dapat meraba adanya
pembesaran hati, maka harus dilakukan deskripsi sebagai berikut:1


Berapa lebar jari tangan di bawah lengkung iga kanan?
Bagaimana keadaan tepi hati. Misalnya tajam pada hepatitis akut atau tumpul pada tumor

hati?
Bagaimana konsistensinya? Apakah kenyal (konsistensi normal) atau keras (pada tumor


hati)?
Bagaimana permukaannya? Pada tumor hati permukaannya teraba berbenjol
Apakah terdapat nyeri tekan. Hal ini dapat terjadi pada kelainan antara lain abses hati,
tumor hati. Selain itu pada abses hati dapat dirasakan adanya fluktuasi.
Pada keadaan normal hati tidak akan teraba pada palpasi kecuali pada beberapa kasus dengan
tubuh yang kurus (sekitar 1 jari). Terabanya hati 1-2 jari di bawah lengkung iga harus dikonfirmasi
apakah hal tersebut memang suatu pembesaran hati atau karena adanya perubahan bentuk
diagfragma (misal emfisema paru). Untuk menilai adanya pembesaran lobus kiri hati dapat
dilakukan palpasi pada daerah garis tengah abdomen kearah epigastrium. Batas atas hati sesuai
dengan pemeriksaan perkusi batas paru hati (normal pada sela iga ke 6). Pada beberapa keadaan
patologis misal emfisema paru, batas ini akan lebih rendah sehingga besar hati yang normal dapat
teraba tepinya pada waktu palpasi. Perkusi batas atas dan bawah hati (perubahan suara dari redup
ke timpani) berguna untuk menilai adanya pengecilan hati (misal sirosis hati). Pekak hati
menghilang bila terjadi udara bebas di bawah diafragma karena perforasi. Suara bruit dapat
terdengar pada pembesaran hati akibat tumor hati yang besar.1
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Fungsi Hati
Organ hati mengemban berbagai macam tugas, seperti fungsi sintesis, ekskresi, detoksifikasi, dan
penyimpanan cadangan energy. Gangguan organ hati entah disebabkan oleh penyakit apa pun,
termasuk infeksi hepatitis B, dengan sendirinya akan mempengaruhi fungsi hati. Untuk
mengetahui ada tidaknya gangguan fungsi hati diperlukan beberapa pemeriksaan berikut.3

Menilai fungsi sintesis, misalnya melalui pemeriksaan kadar protein, masa protrombin
(faktor pembekuan darah), dan kolinesterase. Pada infeksi HBV akut pada umumnya fungsi
sintesis hati tidak terganggu. Namun apabila terjadi hepatitis fulminant (hepatitis akut yang
berat), fungsi sintesis hati menurun (dibuktikan dengan menurunnya kadar protein dan

faktor pembekuan).
Menilai fungsi ekskresi, misalnya melalui pemeriksaan asam empedu dan bilirubin. Pada
infeksi HBV pemeriksaan yang penting dilakukan adalah mengukur kadar bilirubin darah,
karena zat inilah yang memberikan warna kuning pada selaput mata seseorang yang

menderita infeksi hepatitis B (terutama pada infeksi HBV akut).
Menilai fungsi detoksikasi, misalnya melalui pemeriksaan kadar ammonia darah.

Pemeriksaan ini penting apabila penderita sudah mengalami sirosis hati.
Menilai keutuhan sel-sel hati, misalnya melalui pemeriksaan enzim aspartate amino
transferase (GPT) dan glutamic oxaloacetic transamninase (GOT). Pada infeksi HBV
pemeriksaan ini mutlak dilakukan. Pada infeksi HBV akut baik kadar GPT dan GOT dapat
meningkat puluhan hingga ratusan kali diatas nilai normal, sedangkan pada infeksi hepatitis
HBV kronis umumnya hanya meningkat ringan. Khusus untuk menentukan kapan
pengobatan antiviral dimulai, yang digunakan sebagai penentu adalah GPT.
Pemeriksaan Serologi
Tidak semua pemeriksaan serologi mutlak diterapkan pada seseorang yang dicurigai menderita
hepatitis B. manfaat pemeriksaan ini adalah untuk mendiagnosis adanya infeksi HBV dan
memastikan sejauh mana infeksi HBV berada pada keadaan infeksi akut, kronis, atau telah sembuh
(Tabel 1). Berikut jenis pemeriksaan serologi pada infeksi HBV.3

Pemeriksaan HBsAg. Pemeriksaan ini memastikan apakah seseorang menderita
hepatitis B atau tidak. Hasil pemeriksaan hepatitis B positif memastikan bahwa
seseorang menderita infeksi VHB. Pemeriksaan HBsAg positif yang menetap lebih dari

enam bulan disebut sebagai infeksi VHB kronis.
Anti HBs. Dengan meningkatnya kadar anti HBs memperlihatkan bahwa seseorang
memiliki kekebalan alami atau pernah mendapatkan vaksinasi hepatitis B. Pemeriksaan
ini sebaiknya dilakukan bersama-sama dengan HBsAg ketika seseorang perlu atau tidak
mendapatkan vaksin hepatitis B. Seseorang dengan hasil HBsAg negatif dan tidak ada
kadar anti HBs (atau titer kurang dari 10 UI/ml), memberikan arti bahwa orang tersebut
tidak sedang menderita infeksi VHB dan tidak memiliki perlindungan terhadap VHB
sehingga ia perlu mendapatkan vaksin hepatitis B. namun, bila seseorang telah
memiliki kadar anti HBs tinggi, lebih dari 100 UI/ml, ia tidak perlu mendapatkan

vaksinasi hepatitis B.
HBeAg. Pemeriksaan HBeAg hanya dilakukan pada seseorang yang menderita hepatitis
B kronis, atau seseorang yang memberikan hasil HBsAg positif tanpa diketahui kapan
infeksi HBV tersebut diperoleh. Seseorang dengan HBeAg positif memperlihatkan
virus di dalam tubuh orang tersebut bersifat aktif menggandakan diri. Apabila kadar
enzim hati (GPT) meningkat jauh di atas normal dan terlebih lagi muatan VHB lebih

dari 105 copies/ml, pengobatan antiviral harus segera diberikan.
Anti HBe. Pemeriksaan antibody ini bermanfaat untuk mengevaluasi hasil pengobatan
antiviral. Misalkan, pada seseorang yang mendapatkan pengobatan antiviral, apabila
sebelum diterapi memiliki HBeAg positif dan setelah mendapatkan obat antiviral
menjadi negatif serta HBe-nya positif (terjadi serokonversi), hal ini menandakan terapi
memberikan hasil yang baik.

IgM anti HBc dan anti HBc total. Hasil pemeriksaan HBsAg positif bisa mengandung
dua arti, telah terjadi infeksi VHB akut atau kronis. Pada infeksi VHB akut didapatkan
IgM anti HBc positif. Pada infeksi HBV kronis anti-HBc total positif atau meningkat.
Tabel 1. Marker Diagnostik Hepatitis B Akut.3
Pemeriksaan Jumlah Virus
Pemeriksaan jumlah/muatan virus dilakukan untuk mendeteksi DNA HBV melalui pemeriksaan
PCR. Terdeteksinya DNA HBV memperlihatkan bahwa virus hepatitis B masih diproduksi secara
aktif di dalam tubuh. Semakin tinggi jumlah muatan virus, semakin besar risiko hati mengalami
kerusakan. Infeksi HBV dengan muatan virus > 20.000 IU/ml (lebih dari 105 copies/ml) sangat
berisiko berkembang menjadi kanker hati. Selain bermanfaat untuk memprediksi risiko terjadinya
kanker hati, pemeriksaan ini juga digunakan oleh para dokter untuk mengambil keputusan kapan
seseorang dengan infeksi HBV kronis aktif harus diterapi dengan obat anti virus. Selain itu,
muatan virus digunakan pula untuk menilai keberhasilan suatu terapi. Terapi dianggap berhasil
apabila kadar muatan virus menurun 2 log (misal, muatan virus semula lebih dari 100.000 IU/ml
menjadi kurang dari 1.000 IU/ml).3
Saat ini ada beberapa jenis pemeriksaan DNA HBV, yaitu branched DNA, hybrid capture, liquid
hybridization, dan PCR. Dalam penelitian, umumnya titer DNA HBV diukur menggunakan
amplifikasi, misalnya PCR, karena dapat mengukur sampai 100-1.000 IU/ml). 3
Tabel 2. Definisi dan Kriteria Diagnostik pada Pasien dengan Infeksi Hepatitis B.3
Pemeriksaan Biopsi Hati
Melalui biopsi hati, seorang dokter patologi anatomi dapat mengetahui secara lebih tepat dan teliti
sejauh mana karakter sel-sel normal di hati telah berubah. Dengan kata lain, sejauh mana sel-sel di
organ hati telah mengalami proses nekro-inflamasi. Biopsy hati dilakukan oleh seorang dokter
yang sudah berpengalaman, umumnya dilakukan oleh dokter spesialis penyakit dalam – konsultan
gastroenterology – hepatologi). Dalam prosedur ini, sebuah jarum Menghini atau Tru-cut dengan
diameter 1,2-2 mm ditusukkan melalui sela iga kanan di atas organ hati. Setelah dilakukan
pembiusan local, jarum didorong masuk sampai ke organ hati. Dengan bantuan tabung injeksi
(spuit) bertekanan negatif, specimen hati dapat diambil dan diperiksa oleh dokter spesialis patologi
anatomi. Tidak semua pasien hepatitis B kronis perlu menjalani biopsy hati. Berbagai pedoman
dalam manajemen infeksi HBV merekomendasikan, biopsy hati dilakukan pada seseorang dengan
muatan virus yang tinggi (> 20.000 Iu/ml) namun memperlihatkan kadar GPT yang normal dan
terlebih lagi jika keadaan ini dialami pasien yang berusia lebih dari 40 tahun. Dalam sebuah studi
dilaporkan pasien dengan muatan virus yang tinggi, dengan kadar GPT yang normal, ternyata 1343% diantaranya mengalami kerusakan hati yang bermakna.3
Pemeriksaan Alfa-Fetoprotein
Alfa-fetoprotein merupakan protein yang dihasilkan oleh, salah satunya, sel-sel kanker hati.
Peningkatan kadar AFP mengindikasikan adanya kanker hati. AFP bersama dengan ultrasonografi
dimanfaatkan untuk mendeteksi secara awal adanya kanker hati pada infeksi HBV kronis.3
Pemeriksaan Ultrasonografi dan CT Scan
Kelainan hati dapat berupa penurunan fungsi – yang dapat diketahui melalui pemeriksaan darah,
maupun kelainan struktur yang dapat diketahui menggunakan ultrasonografi atau imaging lainnya,
seperti CT scan. Pemeriksaan ultrasonografi memanfaatkan gelombang suara yang dipancarkan
dari sebuah sumber, kemudian gelombang tersebut masuk ke organ hati, akan dipantulkan dan
diterima kembali oleh alat USG dan divisualisasikan melalui monitor. Dari monitor dokter dapat
menginterpretasi kelainan hati. Ultrasonografi tidak banyak memberikan informasi pada kasus
infeksi HBV akut, kecuali hanya mengetahui adanya pembesaran hati. Demikian halnya pada
infeksi HBV kronis, ultrasonografi kurang begitu bermanfaat. Ultrasonografi sangat bermanfaat
untuk mendeteksi adanya benjolan atau tumor di hati. Benjolan yang berukuran 1-2 cm dapat
dideteksi melalui alat ini. Itulah sebabnya ultrasonografi dimanfaatkan untuk mendeteksi kanker
hati secara lebih awal. Ultrasonografi juga bermanfaat untuk mendiagnosis penyakit sirosis hati.
Pada sirosis, hati tampak mengecil, permukaan tidak beraturan (normal halus dan rata), dan tepi
tumpul. Apabila diperlukan, pemeriksaan CT scan dapat dilakukan untuk memperjelas apakah ada
tumor di organ hati.3
Differential Diagnosis
Hepatitis A
VAH merupakan virus untai tunggal tidak berselubung yang tergolong dalam genus hepatovirus
dari picornaviridae. Virus tersebut mati dengan perebusan air suhu 70oC selama 1 menit, dengan
formaldehid atau klorin, radiasi sinar ultraviolet. VAH memiliki masa inkubasi ± 4 minggu.
Replikasi virus dominasi terjadi pada hepatosit, meski VHA juga ditemukan pada empedu, feses,
dan darah. Diagnosis hepatitis A akut ditegakkan dengan deitemukannya IgM anti-VHA. Anti HAV
positif tanpa keberadaan IgM menunjukkan infeksi lampau. Faktor risiko penyebaran VHA terjadi
secara fekal-oral, baik berupa kontak langsung atau melalui makanan/minuman yang
terkontaminasi. Tidak terbukti adanya penularan secara perinatal (ibu ke janin) pada penyakit ini.4
Hepatitis C
VHC merupakan virus RNA rantai tunggal, sferis, dengan selubung glikoprotein yang tergabung
dalam famili Flaviridae dan genus Hepacivirus. Protein pada selubungnya akan membantu
terbentuknya antibodi anti-VHC. Target utama VHC adalah hepatosit, namun dapat punya
menginfeksi leukosit, limfosit T, limfosit B, dan limpa. Berbeda dengan VHB yang umumnya
bersifat akut. Infeksi VHC lebih sering bersifat kronis. Sekitar 80% infeksi VHC menngakibatkan
hepatitis C kornis, sementara 20% sisanya berupa infeksi akut atau sembuh spontan. Masa inkubasi
VHC rata-rata 50 hari (rentang 14-180 hari).4
Faktor risiko:4

Pengguna obat injeksi (67%)

Resipien darah atau produk darah di fasilitas dengan kontrol infeksi tidak adekuat;

Anak yang lahir dari ibu terinfeksi VHC. Tingkat transmisi VHC perinatal ialah 4-8%
(tanpa koinfeksi HIV) atau 17-25% (dengan koinfeksi HIV);

Individu yang berhubungan seksual dengan pengidap VHC;

Individu dengan infeksi HIV;

Individu pengguna obat intranasal;

Individu dengan tatto atau tindik
Working Diagnosis
Hepatitis B
VHB merupakan virus DNA rantai ganda tidak komplit., berbentuk sirkular dan tergolong dalam
famili hepadnaviridae. VHB memiliki ukuran 40-42 nm (virus DNA terkecil) dan dapat
diklasifikasikan menjadi genotipe A-J. Di Indonesia genotipe VHB paling banyak ialah tipe B
(55%) diikuti oleh tipe C (26%), tipe D (7%) serta tipe A (0,8%). Berdasarkan analisis genomik
VHB, telah diketahui berbagai produk protein dari VHB yang terdiri atas selubung (HBsAg),
protein nukleokapsid (HBcAg), protein nucleocapsid lainnya (hepatitis B e antigen): HBeAg, serta
protein X dan enzim polimerase. Faktor risiko tingginya prevalensi tersebut sebagian besar
diakibatkan oleh infeksi perinatal (transmisi vertikal) dan sebagian kecil terjadi secara horizonal,
yakni melalui kotak langsung cairan tubuh (darah dan produk darah, saliva, cairan cerebrospinal,
cairan peritoneum, cairan pleura, cairan amnion, semen, cairan vagina, dan sebagainya).4
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis hepatitis B sangat bervariasi. Pada banyak kasus tidak didapatkan keluhan
maupun gejala dan pemeriksaan tes faal hati hasilnya normal. Pada sebagian lagi didapatkan
hepatomegali atau bahkan splenomegali atau eritema palmaris dan spider nevi dan juga terdapat
kenaikan konsentrasi ALT walaupun hal ini tidak selalu didapatkan. Pada umumnya didapatkan
konsentrasi bilirubin yang normal. Konsentrasi albumin serum umumya masih normal kecuali
pada kasus-kasus yang parah.1
Pajanan
Faktor penyebab Penyakit Akibat Kerja sangat banyak, tergantung pada bahan yang digunakan
dalam proses kerja, lingkungan kerja ataupun cara kerja. Pada umumnya faktor penyebab dapat
dikelompokkan dalam 5 golongan:5
1. Golongan fisik
: suara (bising), radiasi, suhu (panas/dingin), tekanan yang sangat
tinggi, vibrasi, penerangan lampu yang kurang baik.
2. Golongan kimiawi
: bahan kimiawi yang digunakan dalam proses kerja,maupun yang
terdapat dalam lingkungan kerja, dapat berbentuk debu, uap,gas, larutan, awan atau kabut.
3. Golongan biologis
: bakteri, virus atau jamur (infeksi)
4. Golongan fisiologis
: biasanya disebabkan oleh penataan tempat kerja dan cara kerja.
5. Golongan psikososial : lingkungan kerja yang mengakibatkan stress.
Penyakit hati dalam praktik kesehatan kerja tidak jauh berbeda dengan masalah yang dihadapi.
Secara umum, sel hati dapat dirusak (efek hepatoseluler) dan mekanisme transpor dari dan ke sel
hati dapat terhambat (efek obstruktif). Kedua kelainan ini dapat berlanjut menjadi sakit kuning.
Pajanan utama di tempat kerja yang berhubungan dengan penyakit hati adalah bahan kimia dan
agen infeksi.5
1. Agen kimia
Beberapa hepatotoksin bekerja dengan menyebabkan penyakit akut saat terjadi pajanan.
Hal ini biasanya disebabkan pajanan tersebut yang berat tapi pada kasus lain, seperti pada
kasus yang jarang yaitu keracunan fosfor kuning, walaupun dalam pajanan yang kecil, efek
yang terjadi dapat merupakan bencana besar dengan kematian sel hati yang luas. Kini,
kebanyakan pajanan di tempat kerja relatif rendah sehingga apapun efek yang terjadi
mungkin disebabkan pajanan kronis dosis rendah yang mengarah ke penyakit keracunan
hati kronis.
2. Agen penyebab infeksi
Pekerja laboratorium yang harus memproses organisme atau spesimen biologis yang
terinfeksi merupakan kelompok yang dapat terpajan berbagai jenis agen penyebab infeksi.
Beberapa agen tersebut akan menyebabkan sebagaian kelainan patologi berupa hati.
Tabel 3. Agen Penyebab Infeksi.5
Penyakit Akibat Kerja Karena Pajanan Biologis
Penyakit akibat kerja karena pajanan biologis adalah penyakit yang disebabkan pajanan biologis
yang terjadi akibat kontak langsung dengan bahan kerja, proses kerja, dan lingkungan kerja.
Pajanan biologis dapat terjadi karena akibat:2

Proses kerja dan bahan kerja
Bila pekerja terpajan bahan biologis karena bekerja langsung dengan bahan biologis
tersebut ataupun merupakan hasil langsung dari proses kerja yang dilakukan pekerja.

Lingkungan kerja
Bila pekerja terpajan lingkungan yang tercemar pajanan biologis yang berasal langsung
dari proses kerja di tempat kerja. Ini termasuk penyakit akibat kerja. Sebagai contoh,
penyakit hepatitis pada petugas laboratorium kesehatan.
Bila pekerja terpajan bahan biologis akibat tercemarnya lingkungan kerja oleh suatu bahan
biologis yang tidak langsung akibat proses kerja seperti hygene dan pemeliharan tempat kerja yang
tidak baik bukan merupakan PAK. Contohnya penyakit hepatitis pada pekerja pabrik sepatu.2
Tabel 4. Pekerja yang Beresiko terkena PAK akibat Pajanan Biologis.2
Hubungan Diagnosis Klinis dengan Pajanan
Hepatitis B merupakan penyakit akibat kerja tersering di kalangan pekerja kesehatan, labortorium,
dan pekerja kesehatan masyarakat. Hepatitis B dapat menyebabkan hepatitis fulminant dan juga
dapat berakhir sebagai carier kronik sebanyak 10%. Pengidap carier kronik memiliki resiko lebih
tinggi terkena sirosis dan kanker hati. Prevalensi terkena HBV di antara pekerja kesehatan lebih
banyak 10 kali dibanding populasi umum.6
Darah mengandung titer tertinggi dari virus pada individu yang terinfeksi, dengan level yang
rendah pada berbagai macam cairan tubuh seperti: cairan serebrospinal, synovial, pleural,
peritoneal, pericardial, semen, sekret vagina, dan cairan amnion. Titer virus pada urin, feses, air
mata, dan saliva sangat rendah untuk memungkinkan penularan.6
Resiko transmisi HBV lewat jarum suntik kira-kira 30%. Bagaimanapun juga, lebih dari 50%
infeksi akut HBV pada orang dewasa adalah tanpa gejala/asimptomatik. Mengingat bahwa, 10%
dari infeksi akut HBV dapat berujung pada infeksi kronis. Sejumlah besar dari mereka yang
terinfeksi HBV akibat pekerjaan akan menjadi cronic asimptomatik carier.6
HBV dapat bertahan hidup setidaknya 1 bulan pada lingkungan yang kering pada temperatur
kering. Ini menimbulkan peluang tambahan bagi pekerja untuk mendapat HBV infeksi ketika
pekerja dengan luka terbuka, kulit terabrasi, atau mukosa membran yang kontak dengan
permukaan yang terkontaminasi. Faktanya, hampir semua infeksi okupasional tidak memiliki
cedera perkutan yang jelas untuk transmisi HBV ini.6
Prescreening tes serologi sebelum vaksinasi tidak direkomendasikan karena prevalensi infeksi
HBV di US rendah. Beberapa kelompok telah melembagakan penyaringan dari semua penerima
vaksin potensial dengan hepatitis b core antibodi ketika presentasi tinggi datang dari daerah yang
endemik hepatitis B. Antibodi core yang positif mengindikasikan lampau atau sekarang sedang
menderita infeksi HBV. Seharusnya test yang sesuai untuk permukaan antigen demi
mengidentifikasi apakah telah sembuh dari infeksi lampau.6
Walaupun vaksin hepatitis B yang original adalah derivat plasma, studi menunjukkan bahwa tidak
ada transmisi infeksi dari vaksini ini. Perkembangan vaksin rekombinan DNA pada tahun 1986
menunjukkan bahwa lebih diterima dan lebih aman untuk vaksinasi massal bagi pekerja kesehatan.
Sejak 1991, telah direkomendasikan untuk melakukan vaksinasi pada bayi baru lahir walaupun
prevalensi dari hepatitis B kurang dari 0,5% dari populasi. Pada tahun yang sama, terjadi
penurunan infeksi okupasional berkat vaksinasi tersebut. Walaupun begitu, masih ada beberapa
pekerja yang menolak divaksinasi sehingga masih rentan terhadap infeksi ini.6
Eksposure yang dikenal untuk infeksi HBV adalah darah dan produk darah pada mereka yang tidak
divaksinasi atau dimana proteksi antibodi tidak berkembang memerlukan HBIG atau hepatitis B
immune globulin, yang mahal dan memerlukan dosis kedua pada 1 bulan berikutnya kecuali jika
vaksinasi hepatitis B diberikan sekaligus.6
Penderita Hepatitis C sering kali orang yang menderita Hepatitis C tidak menunjukkan gejala,
walaupun infeksi telah terjadi bertahun-tahun lamanya. Namun beberapa gejala yang samar
diantaranya adalah: lelah, hilang selera makan, sakit perut, urin menjadi gelap dan kulit atau mata
menjadi kuning yang disebut "jaundice" (jarang terjadi). Pada beberapa kasus dapat ditemukan
peningkatan enzyme hati pada pemeriksaan urine, namun demikian pada penderita Hepatitis C
justru terkadang enzyme hati fluktuasi bahkan normal. Walaupun pasien sirosis sebagian besar
memiliki lebih dari satu penyebab, hepatitis C kronis dan konsumsi alkohol berat secara tradisional
menjadi penyebab paling umum dari sirosis.6
Patofisiologi
Infeksi VHB merupakan proses dinamis yang melibatkan interaksi antara virus, hepatosit, dan
sistem imun pasien. Infeksi VHB pada dewasa muda yang imunotoleran umumnya menyebabkan
hepatitis B akut (>90%), dan hanya 1% yang menjadi infeksi kronis. Namun sebaliknya, 90%
infeksi VHB secara perinatal akan menyebabkan bayi lahir dengan infeksi VHB kronis yang
bersifat asimtomatis di kemudian hari.4
Masa inkubasi VHB rata-rata 75 hari (rentang 30-180 hari). Pada kasus infeksi VHB akut, penanda
HbsAg serum baru dapat terdeteksi 30-60 hari pasca infeksi VHB. Kenaikan kadar HbsAg serum
akan diikuti dengan peningkatan enzim aminotransferase dan munculnya gejala klinis (ikterik)
pada 2-6 minggu setelahnya. Penanda HbsAg jarang terdeteksi 1-2 bulan setelah awitan ikterus,
dan jarang menetap hingga 6 bulan. Hepatitis B pada umumnya sembuh secara spontan dan
membentuk antibodi secara alami, ditandai dengan HbsAg positif, IgG anti-HBc positif, dan antiHBe positif.4
Pada kasus infeksi VHB kronis, HbsAg ditemukan menetap minimal selama enam bulan. Hingga
saat ni infeksi VHB kronis tidak dapat dieradikasi sepenuhnya karena adanya molekul covalently
closed circular DNA (cccDNA) yang permanen di dalam nukleus hepatosit terinfeksi. Selain itu,
VHB memiliki enzim reverse transciptase untuk replikasi sehingga untaian genom VHB dapat
menyatu dengan DNA hepatosit, yang kemudia berpotensi menyebabkan transformasi
karsinogenik.4
Perjalanan alami infeksi VHB kronis ini didapat dibagi menjadi empat tahapan sebagai berikut:4
1.
2.
3.
4.
Fase imunotoleransi
Fase imunoaktif/ immune clearance
Pengidap inaktif (inactive carrier)
Fase reaktivasi
Epidemiologi
Hepatitis B merupaan infeksi virus hepatitis B pada hati yang dapat bersifat akut atau kronis.
Menurut data WHO 2014, lebih dari 240 juta penduduk di dunia mengalami infeksi VHB kronis,
dan lebih dari 780.000 orang per tahun meninggal akibat komplikasi infeksi VHB akut maupun
kronis. Indonesia sendiri termasuk negara endemis VHB dengan seroprevalensi HbsAg sebesar
9,4% (kisaran 2,5-36,1%) dan pengidap karier 5-10% dari populasi umum.4
Jumlah Pajanan
Untuk memastikan seberapa terpapar pasien dengan pajanan biologis dipastikan dengan mengukur
kadar pajanan tersebut dalam darah, dimana pada pajanan biologis tidak memiliki NAB/nilai
ambang batas sebagaimana ada pada pajanan kimia. Pada pajanan biologi ditentukan oleh daya
tahan atau virulensi dari mikroorganisme tersebut.7
Tabel 5. Intepretasi Pajanan Virus Hepatitis dalam Darah.2
Alat Pelindung Diri (APD)
Perlindungan keselamatan pekerja melalui upaya teknis pengamatan tempat, mesin, peralatan dan
lingkungan kerja wajib diutamakan. Namun kadang-kadang risiko terjadinya kecelakaan masih
belum sepenuhnya dapat dikendalikan, sehingga digunakan alat pelindung diri (alat proteksi diri)
(personal protective device). Jadi penggunaan APD adalah alternatif terakhir yaitu kelengkapan
dari segenap upaya teknis pencegahan kecelakaan. APD harus memenuhi persyaratan:8
1. Enak dipakai;
2. Tidak menganggu pelaksanaan pekerjaan;
3. Memberikan perlindungan efektif terhadap macam bahaya yang dihadapi.
Pakaian kerja harus dianggap suatu alat perlindungan terhadap bahaya kecelakaan. Pakaian pekerja
pria yang bekerja melayani mesin seharusnya berlengan pendek, pas (tidak longgar) pada dada
atau punggung, tidak berdasi dan tidak ada lipatan atau pun kerutan yang mungkin mendatangkan
bahaya. Wanita sebaiknya memakai celana panjang, jala atau ikat rambut, baju yang pas dan tidak
mengenakan perhiasan. Pakaian kerja sintetis hanya baik terhadap bahan kimia korosif, tetapi
justru berbahaya pada lingkungan kerja dengan bahan yang dapat meledak oleh aliran listrik statis.8
Alat proteksi diri beraneka ragam. Jika digolongkan menurut bagian tubuh yang dilindunginya,
maka jenis alat proteksi diri dapat dilihat pada daftar sbb:8
1. Kepala
: Pengikat dan penutup rambut
2. Mata
: Kaca mata pelindung (protective goggles)
3. Muka
: Pelindung muka (face shields)
4.
Tangan & jari
: Sarung tangan (gloves); pelindung telapak
tangan (hand pad) dan sarung tangan yang menutupi sampai lengan
(sleeve)
5.
Kaki
: Sepatu pengaman (safety shoes)
6.
Alat pernafasan
7.
Telinga : Sumbat telinga,
8.
Tubuh : Pakaian kerja menurut keperluan yaitu pakaian tahan panas,
: Respirator, masker, alat bantu pernafasan
tahan dingin.
9.
Lainnya
: Sabuk pengaman
Peranan Faktor Individu
Langkah kelima dalam diagnosis okupasi adalah mencari tahu apakah ada kaitannya dengan
peranan faktor individu itu sendiri seperti status kesehatan fisik, kesehatan mental, dan hygene
perseorangan. Status kesehatan fisik misalnya apakah ada riwayat penyakit keturunan dkeluarga,
alergi, ataupun atopi. Apakah ada keterangan dari riwayat penyakit maupun riwayat pekerjaannya,
yang dapat mengubah keadaan pajanannya, misalnya penggunaan APD, riwayat adanya pajanan
serupa sebelumnya sehingga risikonya meningkat. Apakah pasien mempunyai riwayat kesehatan
(riwayat keluarga) yang mengakibatkan penderita lebih rentan/lebih sensitif terhadap pajanan yang
dialami.7
Peranan Faktor Lain
Apakah ada faktor lain yang dapat merupakan penyebab penyakit? Seperti misalnya hobi pasien,
kebiasaan sehari hari, pekerjaan sambilan. Apakah penderita mengalami pajanan lain yang
diketahui dapat merupakan penyebab penyakit. Meskipun demikian, adanya penyebab lain tidak
selalu dapat digunakan untuk menyingkirkan penyebab di tempat kerja.7
Menentukan Diagnosis PAK
Untuk menegakkan Diagnosis penyakit akibat kerja dilaukan sesuai dengan 7 langkah diagnosis
PAK. Berdasarkan skenario yang kita dapatkan maka dapat diperoleh:
1) Menentukan diagnosis klinis
 Anamnesis :
 Keluhan lemas dan sering merasa demam sejak 9 hari yang lalu
 Nafsu makan berkurang
 Mual dan muntah dirasakan sejak 3 hari yang lalu
 Buang air kecil berwarna kecoklatan seperti the
 Pasien bekerja sebagai perawat di RS swasta dibagian IGD selama 10 tahun.
Dengan waktu kerja 8 jam/hari dengan shift kerja.
 Hal ini belum pernah dirasakan sebelumnya
 Di dalam keluarga tidak ada yang mempunyai penyakit serupa
 Pemeriksaan fisik sesuai standar pemeriksaan fisik
 Keadaan umum tampak sakit sedang
 Kesadaran compos mentis
 Tekanan darah 120/75 mmHg
 Frekuensi nadi 70x/menit
 Pernapasan 22x/menit
 Suhu 37,8oC
 Konjungtiva tidak anemis
 Sklera tampak ikterik dikedua mata
 Hepar teraba 1 jbac
 Lien tidak teraba
 Akral tidak dingin
 Pemeriksaan penunjang sesuai dengan indikasi
 Darah rutin dalam batas normal
 ALT 70 u/L (N: < 55 u/L)
 AST 40 u/L (N: 5-34 u/L)
 Dianjurkan: HBsAg, anti HBsAg, anti HBc, anti HAV IgM
2) Menentukan pajanan di tempat kerja dalam hal ini ditentukan pajanan biologi dan faktor
lingkungan kerja yang berpengaruh terhadap timbulnya penyakit.

Lingkungan kerja
Bila pekerja terpajan lingkungan yang tercemar pajanan biologis yang berasal
langsung dari proses kerja di tempat kerja. Ini termasuk penyakit akibat kerja.
Sebagai contoh, penyakit hepatitis pada petugas laboratorium kesehatan.

Faktor lingkungan kerja:2
 Petugas kesehatan yang kontak dengan darah
 Pekerja kebersihan alat kesehatan yang kontak dengan darah atau cairan
tubuh
 Pekerja bank darah
 Pekerja di bagian dialisa dan onkologi
 Polisi lalu lintas yang menolong korban kecelakaan
3) Menentukan apakah ada hubungan pajanan biologis dengan penyakit. Adanya hubungan
antara pajanan dan penyakit dibuktikan berdasarkan evidence based (masa inkubasi,
virulensi, ketahanan tubuh, dll)

Pada skenario, diketahui bahwa pekerjaan perempuan 32 tahun adalah sebagai
perawat. Baik hepatitis B maupun C dapat menular melalui mikrolesi atapun
tusukan jarum. Namun riwayat tusukan jarum disangkal dan pada umumnya
hepatitis C tidak memberikan gejala dan ALT/AST cenderung normal. Prevalensi
hepatitis B dibanding C juga berbeda jauh. Dimana prevalensi hepatitis B lebih
sering ditemukan di Indonesia.
4) Menentukan apakah pajanan biologis cukup besar. Untuk pajanan biologis besar pajanan
tidak menentukan timbulnya penyakit.
 Tabel 5
5) Menentukan apakah ada faktor individu yang berperan. Faktor individu yang berperan
dalam hal ini adalah ketahanan tubuh, gizi, penyakit lain yang diderita, dll.
 Status kesehatan fisik  apakah ada riwayat penyakit keturunan dkeluarga, alergi,
ataupun atopi. Apakah ada keterangan dari riwayat penyakit maupun riwayat
pekerjaannya, yang dapat mengubah keadaan pajanannya, misalnya penggunaan
APD, riwayat adanya pajanan serupa sebelumnya sehingga risikonya meningkat.
Apakah


pasien
mempunyai
riwayat
kesehatan
(riwayat
keluarga)
yang
mengakibatkan penderita lebih rentan/lebih sensitif terhadap pajanan yang dialami.
Kesehatan mental
Hygene perseorangan.
6) Menentukan apakah ada faktor lain diluar pekerjaan. Apakah terdapat penderita lain di
lingkungan keluarga dan di lingkungan sekitar tempat tinggalnya, dll.
 Hobi pasien,
 Kebiasaan sehari hari
 Pekerjaan sambilan
7) Menentukan diagnosis penyakit akibat kerja karena pajanan biologis  diperberat oleh
pekerjaan.
Penatalaksanaan
Terapi dengan Imunomodulator
Interferon (IFN) alfa. IFN adalah kelompok protein intraselular yang normal ada dalam tubuh
dan diproduksi oleh berbegai macam sel. IFN alfa diproduksi oleh limfosit B, IFN beta diproduksi
oleh ,pmpsot fibroepitelial, dan IFN gamma diproduksi oleh sel limfosit T. Produksi IFN
dirangsang oleh berbagai macam stimulasi terutama infeksi virus.1
IFN adalah salah satu pilihan untuk pengobatan pasien hepatitis B dengan HBeAg positif, dengan
aktivitas penyakit ringan sampai sedang, yang belum mengalami sirosis. Pengaruh pengobatan
IFN dalam menurunkan replikasi irus telah banyak dilaporkan dari berbagai laporan penelitian
yang menggunakan follow up jangka panjang.1
Dosis IFN yang dianjurkan untuk hepatitis B dengan HBeAg positif adalah 5-10 MU 3x seminggu
selama 16-24 minggu. Penelitian menunjukkan bahwa terapi IFN untuk hepatitis B kronik HBeAg
negatif sebaiknya diberikan sedikitnya selama 12 bulan. Kontraindikasi terapi IFN adalah sirosis
dekompensata, depresi atau riwayat depresi di waktu yang lalu, dan adanya penyakit jantung
berat.1
Terapi Antivirus
Lamivudin. Lamivudin adalah suatu enantiomer (­) dari 3’ tiasitidin yang merupakan suatu analog
nukleosid. Lamivudin berkhasiat menghambat enzim reverse transkriptase yang berfungsi dalam
transkripsi balik dari RNA menjadi DNA yang terjadi dalam replikasi VHB. Lamivudin
menghambat produksi VHB baru dan mencegah terjadinya infeksi hepatosit sehat yang belum
terinfeksi, tetapi tidak mempengaruhi sel­sel yang telah terinfeksi karena pada sel­sel yang telah
terinfeksi DNA VHB adadalam keadaan convalent closed circular (cccDNA). Karena itu setelah
obat dihentikan, titer DNA VHB akan kembali lagi seperti semula karena sel­sel yang terinfeksi
akhirnya memproduksi virus baru lagi. Lamivudin adalah analog nukleosid oral dengan aktivitas
antivirus yang kuat.1 Khasiat lamivudin semakin meningkat bila diberikan dalam waku yang lebih pajang. Karena itu
strategi pengobatan yang tepat adalah pengobatan jangka panjang. Disamping khasiat lamivudin
untuk menghambat fibrosis. Juga dapat mencegah terjadinya karsinoma hepatoselular.1
Adefovir dipivoksil. Adefovir dipivoksil adalah suatu nukleosid oral yang menghambat enzim
reverse transcriptase. Mekanisme khasiat adefocir hampir sama dengan lamivudin. Penelitian
menunukkan bahwa pemakaian adefovir dengan dosis 10 dan 30 mg tiap hari selama 48 minggu
menunjukkan perbaikan.1
Walaupun adefovir dapat juga dipakai untuk terapi tunggal primer, namun karena alasan ekonomik
dan efek samping adefovir, maka pada saat ini adefovir baru dipakai pada kasus­kasus yang kebal
terhadap lamivudin. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg tiap hari. Salah satu hambatan utama
dalam pemakaian adefovir adalah toksisitas pada ginjal yang sering dijumpai paa dosis 30
mg/lebih.1
Preventif
Melaksanakan Kewaspadaan Standar

Pengendalian lingkungan
: proses alat sesuai standar (dekominasi, pencucian dan
sterilisasi/DTT)

Membersihkan permukaan dari barang yang terkontaminasi cairan tubuh.
Penggunaan Alat Pelindung Diri 
Menggunakan sarung tangan pada waktu melakukan tindakan yang memungkinkan kontak
dengan cairan tubuh atau mencuci alat yang telah terkontaminasi.

Menggunakan alas kaki tertutup.

Menggunakan pelindung wajah (google mask) bila melakukan tindakan yang
memungkinkan karena cipratan vaksinasi hepatitis B. Bagi yang terpajan
(tertusuk/terpecik) yang harus dilakukan mencuci bersih dengan air dan sabun (kulit)

Untuk mata hidung atau mulut bilas air selama 10 menit.

Kalau tertusuk atau luka tersayat cuci dengan air dan sabun, biarkan darah mengalir,
kemudian luka ditutup.

Peeriksaan HBsAg pada sesudah terpajan dan 6 bulan berikutnya.
Deteksi Dini Pada petugas kesehatan termasuk petugas laboratorium dianjurkan dilakukan pemeriksaan
laboratorium (fungsi liver, status vaksinasi hepatitis/HBsAg).2
Kesimpulan
Keluhan yang pasien alami belum dapat didiagnosis sebagai hepatitis B karena belum dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan serologi. Namun, dapat disimpulkan bahwa suspect
hepatitis B yang pasien alami diperberat oleh pekerjaan dari pajanan biologis di tempat ia bekerja
yaitu di RS swasta selama 10 tahun dengan waktu kerja 8 jam/hari dengan shift kerja.
Daftar Pustaka
1. Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h. 26-8.
2. Kementerian Kesehatan RI. Penyakit akibat kerja karena pajanan biologi. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI; 2011. h. 3-5,16-8.
3. Cahyono J.B. Suharjo B. Hepatitis B. Yogyakarta: Kanisius; 2010.h. 47-56.
4. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Edisi 4. Jilid II.
Jakarta: EGC; 2014.
5. Jeyaratnam J. Buku ajar kedokteran kerja. Jakarta: EGC; 2009. h. 212.
6. Shanahan JF, Barahona M, Boyle PJ. Current occupational and environment medicine.
America; McGraw-Hill Companies Inc. p. 266-7.
7. Harrianto R. Buku ajar kesehatan kerja. Jakarta : EGC; 2008.h.2, 16-7,246.
8. Suma’mur. Higiene perusahaan dan kesehatan kerja (hiperkes). Jakarta: Sagung Seto;
2013.h. 462.
Download