Pengawasan dan Peradilan Administrasi

advertisement
Pengawasan dan Peradilan Administrasi
Oleh:
DIAN PUJI N. SIMATUPANG, S.H.
Materi Hukum Administrasi Negara
Program Ekstensi
Fakaultas Hukum Universitas Indonesia
2004
PENGERTIAN PENGAWASAN
Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan
atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan
kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan,
melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai
sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga dapat mendeteksi sejauhmana kebijakan
pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut.
Konsep pengawasan demikian sebenarnya menunjukkan pengawasan merupakan bagian dari fungsi
manajemen, di mana pengawasan dianggap sebagai bentuk pemeriksaan atau pengontrolan dari pihak yang lebih
atas kepada pihak di bawahnya.” Dalam ilmu manajemen, pengawasan ditempatkan sebagai tahapan terakhir dari
fungsi manajemen. Dari segi manajerial, pengawasan mengandung makna pula sebagai:
“pengamatan atas pelaksanaan seluruh kegiatan unit organisasi yang diperiksa untuk menjamin agar seluruh
pekerjaan yang sedang dilaksanakan sesuai dengan rencana dan peraturan.”
atau
“suatu usaha agar suatu pekerjaan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan, dan
dengan adanya pengawasan dapat memperkecil timbulnya hambatan, sedangkan hambatan yang telah terjadi
dapat segera diketahui yang kemudian dapat dilakukan tindakan perbaikannya.”
Sementara itu, dari segi hukum administrasi negara, pengawasan dimaknai sebagai
“proses kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan
apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan.”
Hasil pengawasan ini harus dapat menunjukkan sampai di mana terdapat kecocokan dan ketidakcocokan dan
menemukan penyebab ketidakcocokan yang muncul. Dalam konteks membangun manajemen pemerintahan publik
yang bercirikan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik), pengawasan merupakan aspek penting
untuk menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini, pengawasan menjadi sama
pentingnya dengan penerapan good governance itu sendiri.
Dalam kaitannya dengan akuntabilitas publik, pengawasan merupakan salah satu cara untuk membangun dan
menjaga legitimasi warga masyarakat terhadap kinerja pemerintahan dengan menciptakan suatu sistem
pengawasan yang efektif, baik pengawasan intern (internal control) maupun pengawasan ekstern (external
control). Di samping mendorong adanya pengawasan masyarakat (social control).
Sasaran pengawasan adalah temuan yang menyatakan terjadinya penyimpangan atas rencana atau target.
Sementara itu, tindakan yang dapat dilakukan adalah:
a. mengarahkan atau merekomendasikan perbaikan;
b. menyarankan agar ditekan adanya pemborosan;
c. mengoptimalkan pekerjaan untuk mencapai sasaran rencana.
Pada dasarnya ada beberapa jenis pengawasan yang dapat dilakukan, yaitu:
a. pengawasan intern dan pengawasan ekstern
Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang atau badan yang ada di dalam lingkungan
unit organisasi yang bersangkutan.” Pengawasan dalam bentuk ini dapat dilakukan dengan cara pengawasan
atasan langsung atau pengawasan melekat (built in control) atau pengawasan yang dilakukan secara rutin
oleh inspektorat jenderal pada setiap departemen dan inspektorat wilayah untuk setiap daerah yang ada di
Indonesia, dengan menempatkannya di bawah pengawasan Departemen Dalam Negeri.
Sejak 1988-1998, pengawasan intern dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan
Industri (Ekuin) dan Pengawasan Pembangunan (Menko Ekuin dan Wasbang).1 Selain itu juga terdapat
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang merupakan pelaksana teknis operasional
pengawasan, dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 31 tahun 1983.
b. pengawasan preventif dan represif;
c. pengawasan aktif dan pasif;
d. pengawasan kebenaran formil menurut hak (rechtimatigheid) dan pemeriksaan kebenaran materiil mengenai
maksud tujuan pengeluaran (doelmatigheid).
Dalam kaitannya dengan keuangan negara, pengawasan ditujukan untuk menghindari terjadinya “korupsi,
penyelewengan, dan pemborosan anggaran negara yang tertuju pada aparatur atau pegawai negeri.” Dengan
dijalankannya pengawasan tersebut diharapkan pengelolaan dan pertanggungjawaban anggaran negara dapat
berjalan sebagaimana direncanakan.
Koordinasi pengawasan pada Kabinet Pembangunan VII (Maret-Mei 1998) dan kabinet Reformasi Pembangunan
(Mei 1998-Oktober 1999), diserahkan kepada Menteri koordinator yang khusus menangani pengawasan pembangunan
dan aparatur negara, yaitu Menko Wasbang dan PAN.
1
Dalam aspek pengawasan keuangan negara, DPR mempunyai kepentingan kuat untuk melakukan
pengawasan terhadapnya. Hal demikian disebabkan “uang yang digunakan membiayai kegiatan-kegiatan negara
adalah diperoleh dari rakyat.” Penjelasan UUD 1945 menegaskan:
“Oleh karena penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, maka segala
tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat, sebagai pajak dan lain-lainnya, harus ditetapkan dengan
undang-undang, yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Persetujuan DPR terhadap anggaran negara yang diajukan pemerintah sebenarnya mempunyai makna pengawasan
pula. Hal demikian disebabkan persetujuan yang diberikan DPR bukan berarti membebaskan pemerintah
melakukan segala aktivitas yang berkaitan dengan anggaran negara. Adanya pengawasan terhadap pelaksanaan
anggaran negara sebenarnya diarahkan kemudian pada upaya, “menindaklanjuti hasil pengawasan, sehingga ada
sanksi hukum.”
Sementara itu, pembagian macam pengawasan terbagi atas dasar pengawasan intern yang berarti “
Sementara itu, pengawasan eksternal dimaksudkan sebagai “pengawasan yang dilakukan oleh orang atau
badan yang ada di luar lingkungan unit organisasi yang bersangkutan.” 2 Pengawasan dalam bentuk ini dilakukan
oleh suatu badan yang ditetapkan oleh pasal 23 ayat (5) UUD 1945, yang menyatakan,
“Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan,
yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.”
Adanya lembaga ini dimaksudkan agar pengawasan terhadap keuangan negara dapat berjalan secara obyektif
dan konsekuen, tanpa adanya pengaruh dari manapun. Dalam menjalankan fungsinya, BPK dapat menjalin kerja
sama dengan aparat pengawasan intern pemerintah dengan maksud agar terwujud suatu “penilaian yang obyektif,
2
Sumosudirjo, Op.cit., hal. 216.
sehingga hasil pemeriksaannya dapat diterima oleh semua pihak.”3 Konsekuensinya, dapat BPK memberikan
menguji hasil pemeriksaan yang dilakukan aparat pengawasan intern pemerintah, untuk kemudian disampaikan
kepada DPR. Adapun maksud pemeriksaan diserahkan kepada DPR disebabkan DPR yang memberikan delegasi
kepada pemerintah untuk menjalankan undang-undang APBN. Dengan demikian, tepat sekiranya pengawasan
yang dilaksanakan oleh BPK merupakan, “pengawasan ekstern, sehingga faktor obyektivitasnya yang merupakan
salah satu norma dari pemeriksaan dapat terjamin.”4
Sementara itu, pengawasan preventif lebih dimaksudkan sebagai, “pengawasan yang dilakukan terhadap
suatu kegiatan sebelum kegiatan itu dilaksanakan, sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan.” 5
Lazimnya, pengawasan ini dilakukan pemerintah dengan maksud untuk menghindari adanya penyimpangan
pelaksanaan keuangan negara yang akan membebankan dan merugikan negara lebih besar. Di sisi lain, pengawasan
ini juga dimaksudkan agar sistem pelaksanaan anggaran dapat berjalan sebagaimana yang dikehendaki.
Pengawasan preventif akan lebih bermanfaat dan bermakna jika dilakukan oleh atasan langsung, sehingga
penyimpangan yang kemungkinan dilakukan akan terdeteksi lebih awal.
Di sisi lain, pengawasan represif adalah “pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan setelah
kegiatan itu dilakukan.”6 Pengawasan keuangan model ini lazimnya dilakukan pada akhir tahun anggaran, di mana
anggaran yang telah ditentukan kemudian disampaikan laporannya. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan dan
pengawasannya untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyimpangan.
3
Sekretariat Jenderal BPK, Op.cit., hal. 88.
4
Sumosudirjo, Op.cit., hal. 218.
5
Ibid., hal. 216.
6
Ibid.
Selain itu, pengawasan dekat (aktif) dilakukan sebagai bentuk “pengawasan yang dilaksanakan di tempat
kegiatan yang bersangkutan.”7 Hal ini berbeda dengan pengawasan jauh (pasif) yang melakukan pengawasan
melalui “penelitian dan pengujian terhadap surat-surat pertanggungjawaban yang disertai dengan bukti-bukti
penerimaan dan pengeluaran.”8 Di sisi lain, pengawasan berdasarkan pemeriksaan kebenaran formil menurut hak
(rechmatigheid) adalah “pemeriksaan terhadap pengeluaran apakah telah sesuai dengan peraturan, tidak kadaluarsa,
dan hak itu terbukti kebenarannya.” Sementara, hak berdasarkan pemeriksaan kebenaran materil mengenai maksud
tujuan pengeluaran (doelmatigheid) adalah “pemeriksaan terhadap pengeluaran apakah telah memenuhi prinsip
ekonomi, yaitu pengeluaran tersebut diperlukan dan beban biaya yang serendah mungkin.”9
Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh unit pengawas intern organisasi yang diawasi di mana
tugasnya adalah membantu fungsi pengawasan pimpinan organisasi serta membantu menyusun laporan
pelaksanaan kegiatan organisasi. Pengawasan ini lazimnya dilakukan instansi pemerintahan dengan membentuk
suatu organisasi khusus yang menangani secara menyeluruh pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran negara.
Konsep pengawasan ini dibutuhkan dengan maksud agar penyimpangan pelaksanaan anggaran lebih cepat diatasi
oleh unit intern yang dekat dengan organisasi tersebut.
Di dalam organisasi pemerintahan negara, Presiden yang dibentuk kabinet menyelenggarakan pemerintahan
berdasarkan undang-undang. Salah satu pelaksanaan pemerintahan tersebut adalah melaksanakan UU APBN, yang
secara terpusat dan terintegrasi dilakukan oleh Departemen Keuangan. Guna menjalankan pengawasan terhadap
keuangan negara yang dilakukan pemerintah, dibentuk suatu badan yang khusus melakukan pengawasan, yaitu
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berdasarkan Keputusan Presiden No. 31 tahun 1984
tentang Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Selain itu, di dalam pemerintahan juga dibentuk
berbagai aparat pengawasan fungsional pemerintah, baik di pusat seperti inspektorat jenderal pembangunan,
7
Ibid.
8
Ibid.
9
Ibid.
inspektorat jenderal departemen/unit pengawasan lembaga. Juga, pengawasan fungsional pemerintahan di tingkat
daerah seperti inspektorat wilayah daerah tingkat I dan tingkat II.10
Banyaknya lembaga pengawasan dalam struktur kelembagaan pemerintahan sebenarnya tidak mengandung
efektivitas dalam proses pelaksanaannya. Hal demikian disebabkan kemungkinan terjadinya tumpah tindih sangat
besar yang akibat adanya,
“…dalam suatu waktu yang bersamaan atau dalam jangka waktu yang dekat, dua aparat pengawasan
fungsional atau lebih melakukan pemeriksaan terhadap suatu instansi/proyek tertentu dengan sasaran yang
sama…”11
Sebenarnya, tumpang tindih demikian tidak akan terjadi jika terdapat pengelompokan atas dasar kewenangan
unit pengawas intern yang ada. Sebab, sesuai dengan struktur pengawasan yang dianut dalam ICW 1925, di mana
pelaksanaan APBN didasarkan atas administratief beheer dan comptabel beheer, maka pengawas intern akan
membagi atas salah satu di antaranya atau kedua-duanya. Dengan tugas pemeriksaan yang dibedakan tersebut
sebenarnya akan terdeskripsikan suatu pola pengawasan berjenjang. Pengawasan tersebut pada dasarnya dilakukan
di mana,
“…aparat pengawasan yang lebih tinggi tingkatnya secara hierarkis organisatoris melaksanakan tugas yang
lebih luas pendekatannya atau lebih makro wawasannya daripada aparat pengawasan yang lebih rendah.
Mengenai penyebutan tingkat I dan tingkat II sejalan dengan dibentuknya UU No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, istilah tersebut dihapuskan. Dengan demikian, nama inspektorat wilayah daerah tingkat
I dan tingkat II menjadi inspektorat daerah propinsi dan inspektorat daerah kabupaten/kotamadya.
10
Gandhi, Op.cit., hal. 46. Lebih lanjut disampaikan bahwa tumpang tindih dalam pelaksanaan pengawasan
pada dasarnya merupakan pemborosan, baik ditinjau dari sudut pengawas maupun dari sudut yang diperiksa.
Bahkan terdapat kemungkinan, adanya instansi yang tidak diperiksa.
11
Dengan perkataan lain, sasaran pengawasan antar-aparat pengawasan berbeda satu sama lain, tergantung
mana yang lebih ekstern dan mana yang lebih intern.”12
Selama ini, penjenjangan pengawasan keuangan negara tampaknya belum dapat diwujudkan secara optimal
disebabkan “tidak adanya kebijaksanaan pengawasan secara nasional dan tidak adanya alat yang dapat dipakai
untuk melakukan koordinasi pelaksanaan pengawasan.”13 Akan tetapi, kemudian pemerintah mengambil langkah
yang sedikit maju dengan menugaskan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin) untuk
melakukan koordinasi pengawasan pembangunan (wasbang). Selain itu, Presiden memberikan tugas kepada Wakil
Presiden untuk melakukan pengawasan pembangunan, yang salah satu bagian di antaranya adalah mengenai
pengawasan keuangan negara.
Dalam hal pengawasan intern keuangan negara, kedudukan BPKP cukup potensial untuk menjalankan tugas
mempersiapkan perumusan kebijakan pengawasan keuangan dan pembangunan. Selain itu juga menyelenggarakan
pengawasan umum atas penguasaan dan pengurusan keuangan. Guna mendukung tugas BPKP tersebut, BPKP
dapat melakukan pemeriksaan setempat, meminta keterangan mengenai tindak lanjut hasil pemeriksaan yang
dilakukan BPKP atau aparat pengawas lainnya. Juga meminta keterangan pada semua pejabat yang terkait erat
dengan obyek pemeriksaan. Hasil pemeriksaan BPKP kemudian disampaikan langsung kepada menteri atau
pejabat instansi yang diawasi.
Apabila ditelaah secara mendalam eksistensi pengawasan intern keuangan negara sebenarnya ditujukan pada
upaya membantu presiden dalam bidang pemeriksaan dan pengendalian lingkup pemerintahan negara. Sebagai
kepala pemerintahan yang menjalankan fungsi pemerintahan, presiden tidak dapat senantiasa melakukan
Dani Sudarsono, “Interaksi Eksternal Auditor Pemerintah dan Internal Auditor Pemerintah: antara
Harapan dan Kenyataan,” (makalah yang disampaikan dalam Seminar Reinventing Auditor Internal Pemerintah
yang diselenggarakan Pusat Pengembangan Akuntansi dan Keuangan, Jakarta 7 Juni 2000), hal. 2.
12
13
Gandhi, Op.cit., hal. 49.
pengawasan. Oleh sebab itu, presiden meminta bantuan aparatur pemerintahan juga untuk melakukan fungsi
pengawasan terhadap keuangan dan pembangunan. Dengan statusnya sebagai aparatur pemerintahan, yang juga
aparat pengawas intern, pihaknya “tidak boleh mengeluarkan pernyataan pendapat yang dapat dijadikan dasar bagi
masyarakat umum dalam mengambil suatu keputusan.”14
Sementara itu, berbeda dengan BPK yang menyerahkan hasil laporan pengawasannya kepada DPR, aparat
pemeriksa intern pemerintahan tidak dapat menyampaikan laporan hasil pemeriksanaannya langsung kepada DPR,
tetapi jika DPR berkeinginan atas hasil pemeriksaan BPKP, pemerintahlah yang menyampaikannya kepada DPR.15
Hal demikian dimaksudkan agar dapat dibedakan posisi pemeriksaan BPK dan BPKP agar tidak terjadi
kesalahkaprahan dalam proses penilaian kinerja pelaksanaan APBN oleh DPR.
D.2 Pemeriksaan Ekstern
Pengawasan ekstern adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh unit pengawasan yang berada di luar unit
organisasi yang diawasi. Dalam hal ini di Indonesia adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang merupakan
lembaga tinggi negara yang terlepas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dalam menjalankan tugasnya, BPK tidak
mengabaikan hasil laporan pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah, sehingga sudah sepantasnya di
antara keduanya perlu terwujud harmonisasi dalam proses pengawasan keuangan negara. Proses harmonisasi
demikian tidak mengurangi independensi BPK untuk tidak memihak dan menilai secara obyektif aktivitas
pemerintah.
Dalam menjalankan tugas pengawasan keuangan negara, beberapa pandangan dikemukakan bahwa BPK
tidak selayaknya melakukan kontrol atas semua bentuk keuangan negara, termasuk di dalamnya kekayaan negara.
14
Gandhi (2), “Sistem Pemeriksaan Keuangan Negara,” (Makalah yang
“Reformasi Sistem Pengelolaan Keuangan Negara, Jakarta, 17 Mei 2000), hal. 4.
15
Ibid., hal. 5.
disampaikan
dalam
lokakarya
Akan lebih bermakna jika BPK melakukan fungsi pengawasan keuangan yang bersifat “makro strategis” yang
mempunyai dampak sosial ekonomis yang luas.”16 Konsekuensinya, BPK tidak perlu bersusah payah melakukan
pengawasan keuangan negara dengan rentang yang tidak terbatas. Akan tetapi, cukup pada pengujian atas hasil
pemeriksaan keuangan yang dilakukan aparat intern pengawas pemerintah dan pengawasan terhadap pelaksanaan
APBN.
Hasil pemeriksaan BPK yang ‘diberitahukan’ kepada DPR, sebenarnya mengandung makna yuridis yang
kurang tegas dipandang dari pemakaian istilahnya. Dengan demikian, perlu ada perubahan kata ‘diberitahukan’
menjadi ‘dilaporkan’ kepada DPR.17 Hal demikian juga akan membawa dampak psikologis kepada DPR untuk
segera menindaklanjuti temuan pemeriksaan dan pengawasan BPK, sehingga dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya. Pelaksanaan tindak lanjut ini dilakukan secepat mungkin untuk menyelesaikan masalah dan mencegah
penyimpangan yang akan merugikan posisi keuangan negara. Apabila dalam temuan pemeriksaan terdapat indikasi
terjadinya penyelewengan, laporan tersebut dapat disampaikan kepada Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti
sesuai dengan prosedur hukum.
16
Atmadja (6), Op.cit., hal. 263.
17
Ibid.
Download