BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Teori utama penelitian ini

advertisement
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA
Teori utama penelitian ini menggunakan Teori Keagenan didukung dengan Teori
Kontijensi dan Desentralisasi.
2.1 Teori Keagenan (Agency Theory)
Masyarakat di era keterbukaan saat ini semakin kritis menanggapi tingkat
keberhasilan kinerja instansi pemerintah. Kesenjangan antara harapan masyarakat
dengan kinerja pemerintah dalam menyediakan layanan publik sering terjadi dan
menimbulkan ketidak harmonisan pemerintah dengan masyarakat.
Hal ini
disebabkan belum ada sistem pengukuran kinerja pemerintah yang bersifat formal,
yang dapat memberikan informasi tingkat keberhasilan suatu instansi pemerintah.
Untuk itu diperlukan teori-teori yang dapat dijadikan dasar untuk menjelaskannya.
Teori keagenan menurut Jensen dan Meckling (1976) merupakan interaksi
antara agen dan principal. Agen adalah pihak yang menerima perintah dan prinsipal
menjadi pihak pemberi perintah, pengawas, memberikan nilai dan masukan terhadap
pelaksanaan tugas-tugas oleh agen. Sugiyono (2013) menyatakan bahwa principal
memberikan wewenang pengaturan kepada agent, dan memberikan sumber daya
kepada agent (dalam bentuk pajak dan lain-lain).
Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi
sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumya mementingkan diri sendiri (self
interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa
10
11
mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk
averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut agent sebagai manusia akan
bertindak opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya (Haris, 2004).
Hubungan agen dan prinsipal di sektor pemerintah harus tetap pada tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat didasari peraturan-peraturan yang berlaku.
Hal tersebut untuk mengurangi perilaku oportunistik antara agen dan prinsipal.
2.2 Teori Kontijensi
Pendekatan kontijensi pada akuntansi didasarkan pada premis bahwa tidak ada
sistem akuntansi secara universal selalu tepat untuk bisa diterapkan pada seluruh
organisasi dalam setiap keadaan, tetapi dipengaruhi juga oleh faktor-faktor
situasional yang ada dalam organisasi (Hanu, 2006). Adopsi teori kontijensi pada
akuntansi muncul sebagai suatu kebutuhan untuk menginterpretasikan hasil riset
empiris (Hanu, 2006).
Penelitian yang menggunakan pendekatan kontijensi dilakukan, dengan tujuan
mengidentifikasi berbagai variabel kontijensi yang memengaruhi perancangan.
Hakikat teori kontijensi adalah tidak ada satu cara terbaik yang bisa digunakan dalam
semua keadaan (situasi) lingkungan. Tujuan akhir sebuah organisasi dalam
beroperasi menurut Teori Kontijensi adalah agar bisa bertahan (survive) dan bisa
tumbuh (growth) atau disebut juga keberlangsungan (viability). Teori kontijensi
memberi penekanan pada perlunya memfokuskan pada perubahan dengan asumsi
tidak ada satu aturan atau hukum yang memberi solusi terbaik untuk setiap waktu,
tempat, semua orang atau semua situasi. Pendekatan kontijensi tersebut
12
memungkinkan adanya variabel-variabel yang dapat bertindak sebagai moderating
dan intervening.
2.3 Desentralisasi
Desentralisasi dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan
merupakan salah satu asas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dimaknai
sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah
otonom dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia, yang secara utuh dan
bulat dilaksanakan pada daerah kabupaten dan kota. Pendapat
yang sama juga
disampaikan Pide (1997) dalam Akam (2011) bahwa desentralisasi pada dasarnya
adalah pelimpahan atau penyerahan kekuasaan atau wewenang di bidang tertentu
secara
vertikal
dari
institusi/lembaga/pejabat
institusi/lembaga/fungsionaris
bawahannya,
yang
sehingga
lebih
yang
tinggi
kepada
menerima
kuasa
wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tertentu
tersebut. Desentralisasi pada dasarnya merupakan pelimpahan kewenangan penentu
kebijaksanaan pemerintah terhadap potensi dan kemampuan daerah dengan
melibatkan wakil-wakil rakyat di daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan
pembangunan, dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menggunakan
hak yang seimbang dengan kewajiban. Pendapat Barkley (1978) yang dikutip Akam
(2011) menyatakan desentralisasi dapat mendorong pengambilan keputusan yang
lebih cepat dan lebih luas bahkan mampu memberi dukungan yang lebih konstruktif
di dalam proses pengambilan keputusan.
13
Desentralisasi memberikan kewenangan kepada daerah untuk membuat
kebijakan terkait pemberian pelayanan, meningkatkan partisipasi, pemberdayaan dan
prakarsa masyarakat. Pemerintah daerah dapat mengoptimalkan pembangunan
berorientasi pada kepentingan masyarakat dengan adanya kebijakan desentralisasi,
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendelegasian wewenang kepada
pemerintah daerah diharapkan mampu membuat pemerintah daerah lebih sensitif dan
lebih bisa memahami kebutuhan dan masalah yang terjadi di masyarakat, untuk itu
informasi dari masyarakat menjadi pendukung terlaksananya kebijakan yang lebih
efektif. Pemerintah daerah harus menjalin kedekatan dengan masyarakat agar dapat
menjaring aspirasi sebagai masukan bagi pemerintah dalam menyusun dan
merumuskan rencana kegiatan pembangunan. Harmoni hubungan antara pemerintah
dengan
masyarakat
dalam
sistem
pemerintahan
yang
desentralistik
akan
meningkatkan efisiensi dalam perekonomian sehingga akhirnya akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, dalam bidang ekonomi, stabilitas politik, dan kualitas
pelayanan publik. Melalui penyelenggaraan desentralisasi daerah diharapkan dapat
mandiri dengan sumber daya yang dimiliki. Namun tidak tertutup kemungkinan ada
daerah-daerah
yang
menghadapi
kesulitan
dalam
menyelenggarakan
tugas
desentralisasi, mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki.
Kajian-kajian tentang desentralisasi terus berkembang, tetapi inti dari
desentralisasi sebagai alat untuk mencapai kesatuan, demokrasi dan kemandirian.
Menurut Ryaas (2002), mengatakan bahwa kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah adalah kebijakan yang paling sukses dan didasarkan pada komitmen
reformasi secara nasional dengan dukungan perangkat hukum yang luas dan jelas
14
serta diterima luas oleh pemerintah daerah, partai politik, organisasi masyarakat dan
kaum intelektual bahkan pemuka agama.
2.4 Keuangan Daerah
Penyelenggaraan otonomi daerah bergantung pada pengelolaan sumber daya
daerah untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah dalam membiayai
kebutuhan pembangunan. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13
Tahun 2006 tentang pengelolaan keuangan daerah, menjelaskan keuangan daerah
adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk segala bentuk
kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah. Sejalan dengan hal
tersebut Halim (2007) mengungkapkan bahwa kemampuan pemda dalam mengelola
keuangan daerah dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) yang langsung maupun tidak langsung mencerminkan kemampuan pemda
dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan sosial masyarakat.
Keuangan daerah menjadi faktor penting karena tanpa biaya yang cukup
pemerintah tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik dalam memberikan
pelayanan dan melakukan pembangunan. Keuangan daerah juga merupakan salah
satu indikator untuk mengetahui kemampuan pemerintah daerah dalam mengatur dan
mengurus sendiri daerahnya. Menurut Kunarjo (1996) untuk melaksanakan
pembangunan prasarana, pemerintah daerah dapat membiayai dari sumber
pendapatan asli daerah, dana perimbangan maupun pinjaman daerah.
15
2.5 Kinerja Keuangan
Literatur manajemen menyatakan pentingnya pengukuran kinerja yang dapat
dijelaskan dengan dua teori yaitu teori keagenan dan teori pensinyalan. Teori
keagenan menjelaskan bahwa hubungan agen-prinsipal sangat tergantung pada
penilaian prinsipal tentang kinerja agen. Kinerja yang baik akan berpengaruh positif
pada kompensasi yang mereka terima, dan sebaliknya kinerja yang buruk akan
berpengaruh negatif. Teori pensinyalan menjelaskan bahwa laporan keuangan yang
baik merupakan sinyal atau tanda bahwa organisasi telah beroperasi dengan baik.
Sinyal yang baik akan direspon dengan baik oleh pihak lain.
Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu
kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi yang
(Sularso dan Restianto, 2011). Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri)
No.13 tahun 2006 menyebutkan kinerja sebagai keluaran/hasil dari kegiatan/program
yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan
kuantitas dan kualitas yang terukur. Pengukuran kinerja berfungsi untuk menilai
sukses atau tidaknya suatu organisasi, kegiatan/program dan menilai tingkat
penyimpangan antara kinerja aktual dan kinerja yang diharapkan (Pauwah, 2014).
Pengukuran kinerja dalam organisasi sektor publik dilakukan setelah adanya
anggaran untuk menilai prestasi serta akuntabilitas organisasi dan manajemen dalam
menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik. Pengukuran kinerja bertujuan untuk
membantu penilaian atas hasil capaian melalui alat ukur finansial dan non finansial
dan dapat menjadi alat pengendalian organisasi. Pengukuran kinerja dilakukan agar
dapat dipastikan apakah pengambilan keputusan dilakukan secara tepat dan obyektif.
16
Selain itu juga bisa memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kinerja dan
membandingkannya dengan rencana kerja serta melakukan tindakan untuk
memperbaiki kinerja periode berikutnya.
Kinerja keuangan merupakan suatu ukuran kinerja yang menggunakan indikator
keuangan (Fajar, 2013). Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah kemampuan
suatu daerah untuk menggali dan mengelola sumber keuangan asli daerah dalam
memenuhi kebutuhannya guna mendukung berjalannya sistem pemerintahan,
pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerah (Nuritomo, 2014). Kinerja
keuangan dapat menunjukkan bagaimana kondisi keuangan dan kemampuan
pemerintah dalam memperoleh dan menggunakan dana untuk pembangunan (Kalalo
dkk, 2014). Akuntabilitas pemerintah daerah dalam menghasilkan pelayanan publik
dapat diketahui dengan mengukur kinerja keuangan. Mardiasmo (2002) menyatakan
pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah dilakukan untuk memenuhi 3 tujuan
yaitu: 1) Memperbaiki kinerja pemerintah. 2) Membantu mengalokasikan sumber
daya dan pembuatan keputusan. 3) Mewujudkan pertanggungjawaban publik dan
memperbaiki komunikasi kelembagaan. Ukuran penilaian kinerja pemerintah dalam
mengelola keuangan adalah dengan menggunakan analisis rasio keuangan.
Sularso dan Restianto (2011) menyatakan analisis kinerja keuangan pada
dasarnya dilakukan untuk menilai kinerja masa lalu sehingga didapat posisi
keuangan yang mewakili realitas dan potensi potensi-potensi kinerja yang
bermanfaat untuk di masa datang. Kaidah pengukuran kinerja keuangan pada sektor
pemerintahan belum mencapai kesepakatan, tetapi tetap harus dilaksanakan untuk
menjaga transparansi, akuntabilitas, efektis dan efisiensi pengelolaan keuangan
17
daerah. Secara umum kinerja keuangan diukur dengan analisis rasio. Kinerja
keuangan pemerintah dapat diukur dengan rasio derajat desentralisasi, rasio
ketergantungan keuangan daerah, rasio kemandirian, rasio efektivitas PAD, rasio
efektivitas pajak daerah dan rasio derajat kontribusi BUMD (Sularso dan Restianto,
2011).
2.5.1
Derajat Desentralisasi
Desentralisasi merupakan wewenang pemerintahan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan. Derajat desentralisasi menunjukkan
kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah. Sumber keuangan pemerintah
daerah adalah PAD yang merupakan semua penerimaan uang melalui rekening kas
daerah yang akan menambah ekuitas dana untuk membiayai keperluan daerah dalam
membiayai kegiatan rutin maupun pembangunannya, yang berasal dari pajak daerah,
retribusi daerah, hasil usaha milik daerah dan lain-lain pendapatan asli daerah yang
sah. Semakin tinggi kontribusi PAD maka semakin tinggi kemampuan daerah dalam
menyelenggarakan otonomi. Kontribusi PAD yang cukup signifikan dikaitkan
dengan kemampuan melaksanakan otonomi daerah ditunjukkan Saemoela (2012).
Kalalo dkk (2014) menyatakan peningkatan PAD setiap tahun berpengaruh pada
membaiknya rasio derajat desentralisasi kinerja keuangan. Sedangkan hasil
pengukuran kinerja keuangan daerah yang dilakukan Prabowo (2012) menunjukan
rasio desentralisasi yang masih rendah.
Kontribusi PAD terhadap peningkatan kemampuan keuangan pemerintah daerah
dalam penyelenggaraan desentralisasi dinyatakan masih kurang optimal. Waluyo
(2007) menemukan desentralisasi fiskal meningkatkan pertumbuhan ekonomi lebih
18
tinggi pada daerah yang tergolong area bisnis dan memiliki kekayaan alam
melimpah. Desentralisasi fiskal dalam bentuk pemberian otonomi di bidang
keuangan kepada daerah-daerah merupakan suatu proses pengintensifikasian peranan
dan sekaligus pemberdayaan daerah dalam pembangunan. Hasil berbeda ditunjukan
oleh Parhah (2003) bahwa kontribusi desentralisasi belum memiliki dampak yang
berarti, karena hasil penelitian menunjukan bahwa desentralisasi fiskal tidak
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian Pepinsky dan Wihardja
(2009) juga menyatakan desentralisasi
fiskal
tidak berpengaruh
terhadap
pertumbuhan ekonomi yang diukur melalui produk domestik bruto. Rasio derajat
desentralisasi merupakan perbandingan PAD dengan total penerimaan daerah. Rasio
derajat desentralisasi dapat diformulasikan sebagai berikut (BPKP, 2012):
PAD
RD =
X 100 %
……………… 2.1
TPD
Keterangan:
RD
: Rasio Desentralisasi
PAD : Pendapatan Asli Daerah
TPD : Total Pendapatan Daerah
2.5.2 Ketergantungan Keuangan
Pemerintah daerah harus menunjukan kesungguhan dalam melakukan upayaupaya meningkatkan PAD dan mengalokasikan dana yang cukup untuk belanja
pembangunan. Peran PAD dalam membiayai belanja daerah terutama porsi untuk
belanja pembangunan sangat besar yang mencerminkan kualitas pelaksanaan
pelayanan publik. Wong (2004) memberikan bukti empiris adanya kenaikan pajak
ketika pemerintah menaikkan belanja pembangunan untuk sektor industri. Jadi,
19
pelayanan publik yang semakin baik dapat mendorong penerimaan PAD menjadi
semakin tinggi. Kontribusi PAD untuk mengurangi tingkat ketergantungan
pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat sangat besar.
Kajian Bappenas (2003) menyatakan bahwa dalam era otonomi seharusnya
peran PAD semakin besar dalam membiayai berbagai belanja daerah. Sedangkan Adi
(2006) mengindikasikan kecenderungan untuk tetap mempertahankan (bahkan
meningkatkan) transfer dari pemerintah pusat yang jumlahnya sangat besar terutama
DAU. Rasio ketergantungan keuangan diukur dengan (BPKP, 2012):
PT
RTK =
X 100 %
………….……… 2.2
TPD
Keterangan:
RTK : Rasio Ketergantungan Keuangan
PT : Pendapatan Transfer
TPD : Total Pendapatan Daerah
2.5.3 Efektifitas PAD
Rasio efektifitas menunjukkan kemampuan daerah merealisasikan PAD yang
telah direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi
riil daerah (Sularso dan Restianto, 2011). Kemampuan daerah dalam menjalankan
tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal sebesar satu atau 100
persen (Randa dan Paledung, 2013). Rasio efektivitas bertujuan untuk mengetahui
sejauh mana kemampuan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Penyelenggaraan pemerintahan khususnya ditinjau dari segi keuangan dikatakan
efektif bila ratio efektifitas tinggi yang berarti kinerja pemerintah semakin baik.
Keadaan tersebut menunjukkan seluruh kegiatan yang direncanakan dan ditetapkan
20
diawal terlaksana dengan baik. Nilai efektifitas diperoleh dari perbandingan realisasi
penerimaan PAD dengan realisasi target penerimaan PAD yang ditetapkan.
Efektivitas
PAD
menunjukkan
kemampuan
pemerintah
daerah
dalam
memobilisasi penerimaan PAD sesuai dengan yang ditargetkan. Penelitian Kalalo
dkk (2014) mendukung pernyataan tersebut yang menyatakan bahwa Rasio
efektivitas PAD Pemerintah Kota Manado mengalami peningkatan, ditunjukan
dengan terus meningkatkan realisasi penerimaan PAD setiap tahun. Sedangkan Rasio
efektivitas Kabupaten Poso pada tahun 2010-2012 berdasarkan penelitian Randa dan
Paledung (2012) menunjukan kemampuan daerah dalam menjalankan tugas belum
efektif karena persentase rasio efektifitasnya belum mencapai maksimal (100%).
Rasio efektivitas PAD diukur dengan (Halim, 2002 dalam Sularso dan Restianto,
2011):
R PAD
X 100 %
RE PAD =
…………….. 2.3
TrPAD
Keterangan:
RE PAD
: Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah
R PAD
: Realisasi Pendapatan Asli Daerah
TrPAD
: Target Pendapatan Asli Daerah
2.5.4 Kemandirian Keuangan
Rasio kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan daerah dalam
membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada
masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan
yang diperlukan daerah. Kemandirian keuangan menurut Saragih (2003) diartikan
sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi
kepada pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas
21
pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang
pemerintahan yang dilimpahkan.
Kebijakan kemandirian keuangan pada akhirnya menimbulkan perbedaan
orientasi kebijakan ekonomi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang
dipicu keterbatasan keuangan yang dihadapi pemerintah daerah. Pemerintah daerah
cenderung fokus pada pengalokasian dana daripada upaya untuk menjaga stabilitas
perekonomian. Perekonomian yang stabil dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang
tinggi menjadi terabaikan, demikian juga dengan pemerataan distribusi pendapatan.
Rasio kemandirian keuangan dapat diukur dengan (BPKP, 2012):
RKK =
PAD
X 100 %
TP+TV+P
………………. 2.4
Keterangan:
RKK : Rasio Kemandirian Keuangan
PAD : Pendapatan Asli Daerah
TP : Transfer Pusat
TV : Transfer Provinsi
P
: Pinjaman
2.5.5 Derajat Kontribusi BUMD
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat berasal dari pajak daerah, retribusi daerah,
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah.
Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan merupakan pendapatan yang
berasal dari Perusahaan Daerah (PD) atau BUMD. Menurut kajian Badan Pemeriksa
Keuangan Perwakilan Banten, BUMD memiliki peran dalam mewujudkan
kemakmuran daerah dengan memberikan kontribusi terhadap penerimaan PAD baik
dalam bentuk deviden atau pajak. Upaya meningkatkan PAD salah satunya dengan
meningkatkan peran/kontribusi BUMD. Secara makro menurut BPK Perwakilan
22
Banten, peranan PD/BUMD terhadap perekonomian daerah dapat diukur melalui
kontribusi nilai tambahnya terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB)
dan kemampuannya menyerap tenaga kerja.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, menyatakan
BUMD didirikan bertujuan untuk turut serta melaksanakan pembangunan daerah
khususnya dan pembangunan ekonomi nasional umumnya untuk memenuhi
kebutuhan rakyat menuju masyarakat yang adil dan makmur. Perkembangan
selanjutnya BUMD justru menjadi salah satu masalah keuangan daerah. BPK
Perwakilan Banten juga menyebutkan kontribusi BUMD terhadap PDRB nasional
baru sekitar 0,5 persen dan jika BUMD mampu meningkatkan kontribusinya mejadi
10 persen saja terhadap PDRB nasional, maka perekonomian nasional akan sangat
kuat. Berdasarkan http://www.hariansumutpos.com/, diakses pada 12 Februari 2013
dalam Kajian BPK Perwakilan Banten BUMD menyebutkan perlu UU yang
memihak agar dapat memenuhi kontribusi tersebut. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Ir. Purwadi, paling tidak terdapat 13 masalah umum yang dimiliki BUMD
yang menyebabkan BUMD belum mampu berperan mendukung PAD dan
pertumbuhan ekonomi, yaitu:
1) Campur tangan birokrasi tinggi;
2) Kondisi mesin dan peralatan yang sudah ketinggalan;
3) Lemahnya kemampuan permodalan;
4) Banyaknya aset perusahaan yang tidak produktif (idle capacity), seperti
tanah dan bangunan yang menyebabkan overhead relatif tinggi;
5) Keterampilan pegawai pada umumnya masih rendah;
23
6) Kurang jelasnya dasar hukum yang digunakan, tidak sesuai dengan kondisi
saat ini;
7) Marketing system yang dilakukan oleh BUMD relatif lemah;
8) Adanya persaingan dari pihak swasta yang memproduksi barang sejenis;
9) Kurang berfungsinya Badan Pengawas;
10) Perusahaan-perusahaan daerah pada umumnya mempunyai posisi Debt to
Equity Ratio yang tidak menguntungkan, sehingga resiko finansial dari
perusahaan relatif tinggi;
11) Beban keharusan untuk menyetor sebagian laba;
12) Masih dipertahankannya BUMD yang merugi;
13) Adanya BUMD yang pendiriannya dipaksakan, walaupun secara ekonomis
tidak layak didirikan (tidak feasible), dengan alasan menyangkut kebutuhan
pelayanan umum sehingga usahanya tidak efisien (merugi).
Perusahaan publik seperti BUMD memang membutuhkan manajemen khusus,
karena orientasi BUMD bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
tanpa profit oriented. Keuntungan yang diperoleh akan digunakan untuk kepentingan
masyarakat. Tolok ukur keberhasilan BUMD akan ditunjukan oleh kemampuannya
bersaing dalam bidang public service dan profit motive. Rasio derajat kontribusi
BUMD dapat diukur dengan (BPKP, 2012):
Pbl BUMD
RK BUMD =
X 100 %
………………. 2.5
P PAD
Keterangan:
RK BUMD
: Rasio Derajat Kontribusi Badan Usaha Milik Daerah
Pbl BUMD
: Penerimaan bagian laba Badan Usaha Milik Daerah
P PAD
: Penerimaan Pendapatan Asli Daerah
24
2.6 Belanja Modal
Belanja modal adalah pengeluaran yang dikeluarkan dalam rangka pembentukan
modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih
dari satu periode akuntansi, termasuk didalamnya pengeluaran untuk biaya
pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat,
meningkatkan kapasitas dan kualitas aset. Belanja modal menurut Pernyataan
Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) No. 2 Laporan Realisasi Anggaran,
merupakan pengeluaran anggaran untuk memperoleh aset tetap dan aset lainnya yang
memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi belanja
modal tanah, belanja modal peralatan dan mesin, belanja modal gedung dan
bangunan, belanja modal jalan, irigasi dan jaringan, belanja modal fisik lainnya.
Belanja modal sebagian besar berhubungan dengan pelayanan publik, sehingga
pada setiap tahun anggaran jumlahnya seharusnya relatif besar. Alokasi belanja
modal pada prinsinya dibuat untuk menghasilkan aset tetap milik pemerintah daerah
yang sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerah dan atau masyarakat di daerah
untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk mengadaan dan
pemeliharaan fasilitas publik. Alokasi belanja modal erat kaitannya dengan
ketersediaan pendanaan dari pendapatan daerah dinyatakan Halim dan Abdullah
(2006). Sularso dan Restianto (2011), menunjukan bahwa alokasi belanja modal
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi sehingga anggaran yang
dialokasikan dapat menjadi stimulus terhadap perekonomian. Belanja modal yang
semakin tinggi memberi peluang pembangunan infrastruktur sarana prasarana dan
perbaikan fasilitas umum daerah akan semakin besar, dan peluang daerah untuk
25
mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang lebih tinggi juga semakin besar
karena dengan fasilitas umum seperti jalan, irigasi dan jaringan yang memadai dapat
menarik investasi. Investasi dapat meningkatkan PAD melalui retribusi dan pajak.
Alokasi belanja modal dapat dihitung dengan formula sebagai berikut (Sularso dan
Restianto, 2011):
ABM =
BM
X 100 %
.…………. 2.6
TB
Keterangan:
ABM: Alokasi Belanja Modal
BM : Belanja Modal
TB : Total Belanja
2.7 Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi (Economic Growt) merupakan perkembangan kegiatan
perekonomian yang menyebabkan meningkatnya produksi barang dan jasa yang di
masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat meningkat. Perekonomian suatu
daerah menunjukan pertumbuhan jika jumlah balas jasa riil terhadap penggunaan
faktor-faktor produksi pada tahun tertentu lebih besar daripada tahun sebelumnya.
Peningkatan faktor produksi umumnya tidak selalu diikuti pertambahan produksi
barang dan jasa dengan kapasitas sama besar. Pertambahan potensi memproduksi
seringkali lebih besar dari pertambahan produksi yang sebenarnya.
Pertumbuhan ekonomi menurut Sukirno (1996) adalah proses kenaikan output
perkapita yang terus menerus dalam jangka panjang. Simon Kuznets dalam Sukirno
(1996) menyatakan pertumbuhan ekonomi merupakan kemampuan suatu negara
dalam menyediakan kebutuhan masyarakat yang disebabkan adanya kemajuan
26
teknologi, kelembagaan, dan penyesuaian teknologi terhadap berbagai tuntutan yang
ada. Pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan salah satu indikator keberhasilan
pembangunan.
Teori pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan Walt Whiltman Rostow
mempengaruhi cara pandang dan persepsi para ahli ekonomi mengenai strategi
pembangunan dengan membagi menjadi beberapa tahap, yaitu: 1) Tahap
Perekonomian tradisional; 2) Tahap prakondisi tinggal landas; 3) Tahap tinggal
landas; 4) Tahap menuju kedewasaan; 5) Tahap konsumsi masa tinggi.
Menurut Rostow
perekonomian
tradisonal
memiliki
gambaran tingkat
produktifitas terbatas dengan struktur sosial bersifat hirarki sehingga pemanfatan
sumberdaya yang ada fokus pada sektor pertanian. Tahap prakondisi tinggal landas
merupakan masa transisi persiapan untuk mencapai pertumbuhan atas usaha sendiri
(self-sustained growth). Pada tahap ini dan sesudahnya pertumbuhan ekonomi akan
terjadi secara otomatis. Rostow menekankan pada tahap ini terjadinya perubahan
dalam masyarakat baik dalam investasi, pemanfaatan ilmu pengetahuan, perubahan
teknik produksi, pengambilan resiko dan sebagainya. Tahap tinggal landas diyakini
Rostow sebagai tahap kepastian pertumbuhan ekonomi akan selalu terjadi. Revolusi
politi, perkembanngan inovasi dan terbukanya pasar-pasar baru terjadi di awal tahap
ini. Perubahan-perubahan ini memacu peningkatan pertumbuhan pendapatan per
kapita yang akan meningkatkan laju pertumbuhan pendapatan nasional. Rostow
kemudian menyimpulkan untuk mencapai tahap tinggal landas tidak ada satupun
sektor ekonomi yang berlaku baku, tetapi memerlukan inovasi dan pengembangan
untuk mencapainya.
27
Tahap menuju kedewasaan diartikan Rostow sebagai masa penerapan teknologi
modern secara efektif oleh masyarakat pada semua sektor produksi. Sektor-sektor
baru muncul menggantikan sektor-sektor lama yang ditentukan oleh perkembanngan
teknologi, kekayaan alam, tahap tinggal landas dan kebijakan pemerintah. Tahap
konsumsi tinggi merupakan tahap terakhir dari teori Rostow dengan fokus pada
masalah-masalah konsumsi dan peningkatan kesejahteraan.
Menurut Sirojuzilam dan Mahalli (2010) pertumbuhan ekonomi merupakan
suatu gambaran mengenai dampak kebijaksanaan pemerintah yang dilaksanakan
khususnya
dalam
bidang
ekonomi.
Perekonomian
dikatakan
mengalami
pertumbuhan bila tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai sekarang lebih tinggi dari
yang dicapai pada masa sebelumnya.
Adam Smith mengemukakan bahwa sumber daya alam (SDA) adalah hal
mendasar dari proses produksi dan jumlahnya menentukan “batas maksimum’
pertumbuhan ekonomi. Sumber daya manusia (SDM) menurut Smith berperan pasif
dalsm peningkatan output. Berbeda dengan SDM, modal adalah faktor produktif dan
secara aktif menetukan tingkat output. Pengaruh modal secara langsung dapat
meningkatkan output dan secara tidak langsung dapat meningkatkan produktifitas
perkapita.
Kesimpulan-kesimpulan David Ricardo secara garis besar tidak jauh berbeda
dengan teori Adam Smith, tetapi lebih fokus pada laju pertumbuhan penduduk dan
petrumbuhan output. Ricardo juga mengungkapkan bawa SDA akan membatasi
pertumbuhan ekonomi, berarti pertumbuhan ekonomi suatu daerah hanya terjadi
sampai batas yang dimungkinkan oleh SDA.
28
Pertumbuhan ekonomi berdasarkan teori Solow-Swan (Neo Klasik) tergantung
pada pertambahan penyediaan faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja, penduduk,
akumulasi modal) dan kemajuan teknologi. Teori ini didasarkan pada anggapan
bahwa perkembangan perekonomian tergantung pada perkembangan penduduk,
akumulasi modal dan teknologi.
Teori
Harrod-Domar
menyampaikan
syarat-syarat
yang
agar
tercapai
pertumbuhan ekonomi yang baik (staydie growth). Teori ini memberi asumsi
perekonomian full empoyement dan barang modal dimanfaatkan secara baik, saving
masyarakat proporsional dengan pendapatan nasional.
Berdasarkan konsep dan teori yang dikemukakan beberapa ekonom dapat
disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti:
1) Akumulasi modal berwujud tanah (lahan), peralatan fiskal, dan SDM.
2) Pertumbuhan penduduk
3) Kemajuan teknologi.
Produk domestik bruto (PDB) merupakan indikatornya konsep pengukuran
pertumbuhan ekonomi dalam ekonomi makro. Menurut Mankiw (2006) PDB adalah
nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian selama
kurun waktu tertentu. PDB dalam konsep regional dikenal sebagai Produk Domestik
regional bruto (PDRB). Menurut Saggaf (1999) menghitung PDRB secara teliti dan
akurat baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan disimpulkan
sebagai keberhasilan pembangunan suatu daerah, yang memperlihatkan laju
pertumbuhan ekonomi yang mewakili peningkatan produksi di berbagai sektor
lapangan usaha. Menurut Sukirno (1996), pertumbuhan ekonomi adalah proses
29
kenaikan output perkapita yang terus menerus dalam jangka panjang. Pertumbuhan
ekonomi tersebut merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan.
Dengan demikian makin tingginya pertumbuhan ekonomi biasanya makin tinggi pula
kesejahteraan masyarakat, meskipun terdapat indikator yang lain yaitu distribusi
pendapatan.
Berdasarkan konsep regional, pertumbuhan ekonomi daerah adalah angka yang
ditunjukkan oleh besarnya tingkat pertumbuhan PDRB yang diukur atas dasar harga
konstan. Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari data konsumsi rumah tangga,
konsumsi pemerintah, pembentukan modal bruto, perubahan persediaan, ekspor dan
impor. Pertumbuhan ekonomi dapat menjadi salah satu faktor pendorong
peningkatan kemampuan keuangan daerah. Saragih (2003) mengatakan kenaikan
PAD merupakan akses dari pertumbuhan ekonomi. Bappenas (2004) menyatakan
pertumbuhan PAD seharusnya sensitif terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut
Sularso dan Restianto (2011) menyatakan pertumbuhan ekonomi daerah merupakan
kenaikan PDRB tanpa memandang apakah kenaikan tersebut lebih besar atau lebih
kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan ekonomi merupakan
laju pertumbuhan dari tahun ke tahun yang dihitung dengan formula (Sularso dan
Restianto, 2011):
G =
=
PDRBt – PDRBt−1
X 100 %
PDRBt−1
Keterangan:
G : Pertumbuhan PDRB
PDRBt
: Produk Domestik Regional Bruto Tahun t
PDRBt−1 : Produk Domestik Regional BrutoTahunt−1
…………………. 2.7
30
2.8. Penelitian Sebelumnya
Dikatakan Taiwo dan Abayomi (2008) yang memanfaatkan data sekunder
(1970-2008) menggunakan ekonometrik model dengan Ordinary Least Square
(OLS) teknik menunjukkan dengan jelas bahwa ada hubungan positif antara PDB,
belanja rutin dan belanja modal. Dukungan fakta juga menunjukkan bahwa ada
dampak yang besar dari pengeluaran pemerintah dalam kaitannya dengan
pertumbuhan ekonomi Nigeria. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa semakin
tinggi pengeluaran pemerintah, semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi (ceteris
paribus) dan semakin rendah pengeluaran pemerintah, semakin rendah tingkat
pertumbuhan ekonomi bangsa.
Nishimura (2007) menggunakan data panel lima puluh negara bagian Amerika
Serikat selama periode 1992-1997, membahas implikasi desentralisasi fiskal bagi
stabilitas ekonomi. Menunjukkan hubungan negatif yang signifikan antara
desentralisasi fiscal dan volatilitas ekonomi, serta menunjukkan hubungan yang kuat
ketika memperhitungkan endogenitas desentralisasi fiskal.
Sugiono (2014) menggunakan data sekunder mulai periode 2009 sampai dengan
2013 yang diperoleh dari Badan Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Jawa Timur.
Metode analisis yang digunakan adalah regresi sederhana dan moderated regression
analysis, menunjukkan bahwa secara parsial, belanja modal berpengaruh terhadap
kemandirian keuangan daerah dan PAD mampu memoderasi hubungan antara
belanja modal dan kemandirian keuangan daerah. Semakin tinggi PAD maka akan
meningkatkan anggaran belanja modal. Meningkatnya belanja modal akan
31
meningkatkan kemandirian daerah dalam pembiayaan maupun pengelolaan keuangan
daerah.
Malau (2013) meneliti pengaruh PAD, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana
Alokasi Khusus (DAK) terhadap pertumbuhan ekonomi dan menguji pengaruh
belanja modal sebagai variabel moderating terhadap hubungan antara PAD, DAU,
DAK dengan pertumbuhan ekonomi. Populasi dalam penelitian ini adalah sebanyak
33 kabupaten/kota pada Propinsi Sumatera Utara. Sampel ditentukan dengan metode
purposive sampling sebanyak 30 kabupaten/kota yang mempublikasikan APBD
secara konsisten dari tahun 2009-2011. Jenis data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data sekunder dengan metode analisis regresi linier berganda. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa PAD, DAU dan DAK secara simultan berpengaruh
terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Secara parsial PAD, DAU dan DAK berpengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi.
Penelitian Maulida (2014) menunjukan bahwa secara simultan kinerja keuangan
dan alokasi belanja modal tidak berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, kinerja
keuangan tidak dapat menjadi alat dalam memprediksi kontribusi anggaran terhadap
pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2008-2011. Penelitian ini
menggunakan data sekunder dengan metode analisis eksplanatori dan path analysis
untuk analisis statistik.
Sasana (2009) meneliti pengaruh PAD, PDRB, dana perimbangan, dan jumlah
penduduk, terhadap belanja pemerintah daerah di kabupaten/kota di Provinsi Jawa
Barat. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa PDRB, transfer dana, dan
32
pengaruh populasi berpengaruh positif terhadap belanja pemerintah daerah di
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
Menurut Sularso dan Restianto (2011) menyatakan salah satu faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung adalah kinerja keuangan
daerah. Penelitian ini menggunakan data sekunder dan alat analisis structural
equation modeling (SEM).
Penelitian Yuana (2014) menyatakan secara langsung kinerja keuangan
memilikipengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan
secara tidak langsung rasio kemandirian dan rasio efektivitas memiliki pengaruh
negatif signifikan terhadap ketimpangan regional melalui pertumbuhan ekonomi.
Penelitian ini menggunakan secara sensus dengan data sekunder berbentuk time
series dan metode analisis jalur (Path Analysis).
Ringkasan hasil penelitan-penelitian sebelumnya disajikan pada Lampiran 3.
Download