1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara
Indonesia
merupakan
negara
dengan
tingkat
pertumbuhan
penduduknya cepat mencapai 1,49 % per tahun berdasarkan data BPS tahun 2010
(Anonim, 2010).
Pertambahan penduduk yang tidak dikendalikan akan
berdampak buruk seperti kerusakan lingkungan, pemanasan global, kelaparan, dan
perkembangan penyakit (Page dkk., 2008). Salah satu upaya untuk mengendalikan
ledakan penduduk khususnya di Indonesia adalah dengan menggalakkan
penggunaan kontrasepsi melalui program Keluarga Berencana (KB). Program KB
yang dilaksanakan pemerintah belum sepenuhnya berjalan optimal. Partisipasi
pria dalam melaksanakan KB masih minim. Salah satu faktor minimnya
partisipasi pria dalam pelaksanaan program KB adalah keterbatasan alat
kontrasepsi bagi pria. Alat kontrasepsi pria hanya terbatas kondom dan vasektomi
(Sukardi, 2012). Penggunaan alat kontrasepsi pria masih menimbulkan dampak
yang tidak diinginkan. Penelitian bahan antifertilisasi perlu dilakukan untuk dapat
digunakan sebagai kontrasepsi yang aman dan efektif , sehingga upaya
peningkatan partisipasi pria dalam program KB dapat dilaksanakan.
Ada 74 tanaman di Indonesia yang tercatat berpotensi sebagai kontrasepsi
tradisional dan digunakan secara empiris oleh masyarakat di beberapa daerah.
Salah satu jenis tanaman yang digunakan untuk kontrasepsi tradisional adalah
tanaman pacing (Amina, 1992 ; Dzulkarnain dkk., 1994). Penggunaan tumbuhan
1
2
sebagai obat sudah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak ribuan tahun yang
lalu, jauh sebelum adanya pelayanan kesehatan formal (Wijayakusuma, 2000).
Tumbuhan pacing secara empirik digunakan oleh masyarakat Pulau Wawonii ,
Sulawesi Tenggara dengan cara merebus daunnya kemudian diminum sebagai
perawatan paska persalinan dan pencegahan kehamilan. Tumbuhan ini mudah
ditemukan dan dibudidayakan di Indonesia (Rahayu, 2006).
Hasil penelitian terdahulu mengungkapkan bahwa, infusa daun pacing
memberikan efek terhadap spermatogenesis meliputi penurunan jumlah, viabilitas,
dan motilitas spermatozoa pada mencit jantan (Sari dkk., 2013). Penelitian lain
menyebutkan bahwa ektrak etanolik herba pacing dapat menurunkan produksi
kadar hormon testosteron intratestikuler (Paramita, 2014). Tanaman pacing
mengandung diosgenin,saponin steroid seperti prosapogenin, α dan β dioscin,
saponin furostanol seperti costusosid I & J,asam oktasonoat, dan sikloartenol
(Srivastava dkk., 2011).
Penggunaan obat tradisional dinilai lebih aman daripada menggunakan obat
sintetik. Efek samping yang diberikan relatif lebih kecil. Namun demikian tidak
menutup kemungkinan munculnya efek samping yang tidak diinginkan (Anonim,
2008). Mengingat bahwa kontrasepsi biasanya digunakan dalam jangka waktu
lama perlu dilakukan penelitian ilmiah yang dapat memastikan bahwa tumbuhan
pacing aman digunakan. Informasi ilmiah tentang ketoksikan dari tumbuhan
pacing sangat diperlukan untuk mengetahui keamanan tumbuhan pacing apabila
digunakan untuk pengobatan, sehingga perlu dilakukan suatu uji toksisitas
subkronis untuk memperoleh informasi ketoksikan apabila dikonsumsi dalam
3
jangka panjang. Pemeriksaan kimia darah berperan penting untuk mengevaluasi
organ target spesifik dari zat toksik dan memberikan informasi yang saling
berhubungan untuk memahami proses terjadinya penyakit (Gad, 2007).
Pengamatan parameter urin berguna untuk mengevaluasi apakah senyawa uji yang
dipejankan memiliki efek toksik pada saluran ekskresi urin yang ditandai dengan
perubahan urin pada pengamatan makroskopik (Schnellmann, 2008). Selain itu,
perlu juga dilakukan uji terhadap sifat reversibilitas efek toksik yang mungkin
ditimbulkan, jika penggunaan dihentikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja gejala toksik yang timbul akibat pemberian ekstrak herba pacing
secara berulang selama 90 hari pada mencit jantan Balb/C?
2. Bagaimana pengaruh pemberian ekstrak herba pacing secara berulang selama
90 hari terhadap parameter kimia darah dan urin pada mencit jantan Balb/C?
3. Bagaimana sifat reversibilitas efek toksik yang ditimbulkan terhadap
parameter kimia darah dan urin?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui gejala toksik yang timbul akibat pemberian ekstrak herba pacing
secara berulang selama 90 hari pada mencit jantan Balb/C.
2. Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak herba pacing secara berulang selama
90 hari terhadap parameter kimia darah dan urin pada mencit jantan Balb/C.
4
3. Mengetahui sifat reversibilitas efek toksik yang ditimbulkan terhadap
parameter kimia darah dan urin.
D. Pentingnya Penelitian
Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui kemungkinan apakah
ekstrak herba pacing aman jika digunakan sebagai kontrasepsi alami serta dapat
menambah bukti ilmiah tentang penggunaannya sebagai terapi pada manusia.
E. Tinjauan Pustaka
1. Toksikologi
a. Definisi toksikologi
Istilah toksikologi berasal dari Bahasa Latin yang terdiri dari dua kata
yaitu toxicus yang berarti racun dan logos yang berarti pengetahuan (James
dkk, 2000). Toksikologi didefinisikan sebagai ilmu tentang racun
(Donatus, 2005). Definisi tersebut dinilai kurang tepat, karena zat yang
paling tidak berbahaya pun, jika masuk ke dalam tubuh dalam jumlah yang
cukup akan menyebabkan keracunan. Paracelsus (1493˗1541) kemudian
menyatakan bahwa yang membedakan antara racun dan bukan racun
adalah takarannya (Doull & Bruce, 1986 ; Gallo, 2003). Definisi
toksikologi kemudian berkembang menjadi ilmu yang mempelajari
pengaruh kuantitatif zat kimia atas sistem biologi (Donatus,2005).
5
b. Asas umum toksikologi
Ketoksikan suatu senyawa ditentukan dari keberadaan (kadar dan lama
tinggal) senyawa itu atau metabolitnya di tempat aksi dan keefektifan
antaraksinya (mekanisme aksi) dengan sel sasaran. Berdasarkan alur
peristiwa timbulnya efek toksik, ada empat asas utama dalam toksikologi
yaitu, kondisi, mekanisme aksi, wujud dan sifat efek toksik (Donatus,
2005).
1) Kondisi efek toksik. Kondisi efek toksik didefinisikan sebagai berbagai
keadaan atau faktor yang mempengaruhi aktifitas absorbsi dan
distribusi suatu zat dalam tubuh. Kondisi efek toksik menentukan
keberadaan zat kimia atau metabolitnya di dalam sel sasaran atau
tempat kerjanya. Kondisi efek toksik meliputi kondisi paparan atau
pemejanan dan kondisi makhluk hidup. Kondisi paparan atau
pemejanan meliputi jenis, jalur, lama, kekerapan, saat dan takaran
pemejanan. Kondisi makhluk hidup mencakup keadaan fisiologi dan
patologi yang mempengaruhi ketersediaan zat kimia di sel sasaran
(Priyanto, 2009).
2) Mekanisme efek toksik. Mekanisme aksi toksik berdasarkan sifat dan
tempat kejadian awal dibagi menjadi dua, yaitu mekanisme luka
intrasel dan mekanisme luka ekstrasel. Mekanisme luka intrasel atau
mekanisme primer adalah luka sel yang diawali oleh aksi langsung zat
beracun atau metabolitnya pada tempat aksi tertentu di tempat sel
sasaran. Mekanisme luka ekstrasel terjadi apabila zat beracun pada
6
awalnya beraksi di lingkungan luar sel yang berakibat terjadinya luka
di dalam sel (Sulistyowati, 2008).
3) Wujud efek toksik. Wujud efek toksik suatu racun dapat berwujud
perubahan biokimia, fisiologi (fungsional) dan struktural (Donatus,
2005). Wujud efek toksik berdasarkan perubahan biokimia berkaitan
dengan respon dan perubahan biokimia terhadap luka sel, perubahan
fungsional berkaitan dengan perubahan fungsi homeostatis tertentu,
sedangkan perubahan struktural berkaitan dengan perubahan morfologi
sel yang terwujud sebagai kekacauan struktural (Sulistyowati, 2008).
4) Sifat efek toksik. Sifat efek toksik suatu racun dapat dibedakan menjadi
terbalikkan dan tak terbalikkan (Priyanto, 2009). Ciri dari efek toksik
yang terbalikkan adalah apabila kadar racun yang ada dalam tempat
aksi maka reseptor akan kembali kepada keadaan semula, efek toksik
yang ditumbulkan akan segera kembali kepada kondisi normal
(Sulistyowati, 2008). Ciri dari efek toksik yang tak terbalikkan yaitu
kerusakan yang terjadi sifatnya menetap, pemejanan berikutnya akan
menimbulkan kerusakan yang sifatnya sama sehingga memungkinkan
terjadinya penumpukan efek toksik (Priyanto, 2009).
c. Uji Toksiksisitas
Uji toksisitas digolongkan menjadi dua yaitu, uji toksisitas khas dan uji
toksisitas tak khas (Donatus, 2005). Uji toksisitas khas dirancang untuk
mengevaluasi efek toksik yang khas dari suatu zat terhadap aneka ragam
hewan uji. Uji toksisitas khas meliputi, uji potensiasi, uji kemutagenikan,
7
uji keteratogenikan, uji kekarsinogenikan, uji kulit dan mata, serta uji
perilaku. Uji toksisitas tak khas dirancang untuk mengevaluasi efek toksik
secara keseluruhan dari suatu zat terhadap aneka ragam hewan uji. Uji
toksisitas tak khas meliputi uji toksisitas akut, subkronis dan kronis.
1) Uji Toksisitas Akut. Uji toksisitas akut dirancang untuk menentukan
efek toksik suatu senyawa yang akan terjadi dalam waktu yang singkat
setelah pemejanan dosis tunggal dengan takaran tertentu (Donatus,
2005).
2) Uji Toksisitas Subkronis. Uji toksisitas subkronis dirancang untuk
menentukan efek toksik suatu zat yang dipejankan pada hewan uji
dengan dosis berulang selama kurang lebih tiga bulan. Uji ini ditujukan
untuk mengetahui secara keseluruhan efek toksik dan apakah efek
toksik berkaitan dengan takaran suatu zat (Donatus,2005).
3) Uji Toksisitas Kronis. Uji ketoksikan kronis serupa dengan uji
ketoksikan subkronis. Perbedaanya terletak pada lama pemejanan dan
pengamatan yaitu lebih dari tiga bulan. Uji ini dilakukan untuk
menutupi kelemahan dari uji toksisitas akut maupun subkronis
(Donatus, 2005).
2. OECD guideline nomor 408
Organization of Economic Co-Operation and Development (OECD)
merupakan sebuah lembaga yang mempunyai misi untuk mempromosikan
kebijakan-kebijakan guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial
masyarakat dunia. OECD bekerja sama dengan pemerintah untuk memahami
8
hal-hal yang mendorong perubahan ekonomi, sosial, dan lingkungan. OECD
mempunyai peran penting dalam menetapkan standar international tentang
berbagai hal, dari pertanian, pajak, hingga keamanan bahan kimia. OECD
Guideline for Testing of Chemical merupakan salah satu publikasi pedoman
yang digunakan sebagai pedoman standar untuk menguji keamanan bahan
kimia yang ada di dunia (OECD, 2015).
Salah satu OECD Guideline adalah OECD 408 yang digunakan sebagai
metode uji toksisitas pada suatu zat secara per oral dengan pemejanan dosis
berulang selama 90 hari pada hewan uji rodent. Hewan uji yang digunakan
dibagi ke dalam empat kelompok, tiga kelompok peringkat dosis dan satu
kelompok kontrol. Tiap kelompok terdiri dari sepuluh hewan uji per jenis
kelamin. Selain itu, dilakukan penambahan kelompok satelit (lima hewan uji/
jenis kelamin/kelompok) pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan
dosis tertinggi (dosis III). Kelompok satelit ini ditujukan untuk mengetahui
sifat reversibilitas efek yang ditimbulkan dari suatu zat yang diuji. Informasi
yang dapat diperoleh dari metode ini di antaranya, efek toksik mayor dari
suatu zat uji, dan organ-organ yang terpengaruh, hubungan kadar zat dalam
darah dengan luka toksik, dan sifat reversibilitas efek toksik (Anonim, 1998).
3. Uraian tanaman pacing
a. Morfologi
Tanaman pacing adalah herba dengan tinggi 0,5-3 meter. Tangkai daun
panjangnya maksimal 1,5 cm. Helaian daun memanjang sampai bentuk
lanset, ujung meruncing, terutama dibagian bawah berambut. Bunga
9
duduk, berbentuk bulir terminal rapat, putih, merah. Daun pelindung bulat
telur sampai memanjang dengan ujung meruncing yang berduri menempel.
Kelopak tidak rontok, serupa tulang. Panjang tabung mahkota ± 1 cm,
lebar 0,5 cm, bentuk corong. Buah kotak, bentuk telur, merah, tinggi 1,5-3
cm. pacing tumbuh pada tempat lembab dan teduh (Steenis, 1975).
Gambar 1. Tanaman (Costus speciosus (Koen.) J.E. Smith)
Klasifikasi tanaman pacing adalah sebagai berikut :
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Bangsa
: Zingiberales
Suku
: Zingiberaceae
Marga
: Costus
Jenis
: Costus speciosus (Koen.) J.E. Smith (Steenis,1975)
b. Kandungan
Kandungan utama dari tanaman pacing yang dapat diisolasi adalah
diosgenin. Diosgenin pada batang sebesar 0,65 %, daun 0,37 %, pada
10
bunga 1,21 %, dan pada rimpang 0,2%. Kandungan lainnya adalah
tigogenin, dioscin, gracillin, β-sitosterol glukosidase, prosapogenin, α dan
β dioscin, saponinfurostanol seperti kustusosid I dan J, asam oktasonoat,
serta sikloartenol (Srivastava dkk., 2011). Kandungan senyawa daun
pacing di dalam berbagai pelarut dapat dilihat pada Tabel.I.
Tabel I. Kandungan senyawa daun pacing di dalam berbagai pelarut (Devi & Urooj,2010)
Fitokimia
Flavonoid
Alkaloid
Terpenoid
Steroid
Tanin
Fenolik
Saponin
Petroleum
eter
+
-
Benzen
Kloroform
Metanol
Air
+
+
+
-
+
+
-
+
+
+
+
+
-
+
+
+
Keterangan :
+ : Adanya kandungan senyawa dalam pacing
- : Tidak ada kandungan senyawa dalam pacing
c. Kegunaan
Tanaman pacing memiliki aktivitas farmakologi sebagai antidiabetik,
hipolipidemik, hepatoprotektif, antifertilitas, antioksidan, dan antifungi.
Tanaman ini juga mempunyai aktivitas sebagai antirhematik, asma
bronkial, leprosi dan sebagai kardiotonik (Srivastava dkk., 2011).
Pemberian ekstrak air daun dan rimpang pacing selama 14 hari
berpengaruh terhadap gangguan spermatogenesis meliputi penurunan
jumlah, viabilitas, dan motilitas spermatozoa (Rahayu, 2012). Penelitian
lain menyebutkan bahwa ektrak etanolik herba pacing dapat menurunkan
produksi kadar hormon testosteron intratestikuler (Paramita, 2014).
11
4. Parameter kimia darah
Pemeriksaan kimia darah ini dilakukan untuk mengetahui kadar berbagai
zat kimia dan mengetahui apakah tubuh berfungsi dalam proses metabolisme
dengan baik (Widmann, 1983). Pemeriksaan kimia darah berperan penting
untuk mengevaluasi organ target spesifik dari zat toksik dan memberikan
informasi yang saling berhubungan untuk memahami proses terjadinya
penyakit (Gad, 2007). Pemeriksaan kimia darah meliputi, glukosa, kolesterol
total, albumin, SGOT, SGPT, bilirubin, protein total, urea, dan kreatinin.
a. Glukosa
Glukosa dibentuk dari hasil penguraian karbohidrat dan perubahan
glikogen dalam hati (Anonim, 2011). Glukosa merupakan bahan bakar
bagi sebagian besar fungsi sel, sehingga prioritas utama dalam homeostasis
adalah penyediaan glukosa. Pengukuran kadar glukosa darah dapat
memberikan informasi apakah homeostasis tubuh berjalan normal atau
tidak. Jika kadar glukosa darah tidak berada pada kisaran normal berarti
proses homeostasis terganggu ( Widmann, 1983).
Pemeriksaan glukosa darah adalah prosedur skrining yang menunjukkan
ketidakmampuan sel pankreas memproduksi insulin, ketidakmampuan usus
halus mengabsorpsi glukosa, ketidakmampuan sel mempergunakan
glukosa secara efisien, atau ketidakmampuan hati mengumpulkan dan
memecahkan glikogen (Anonim, 2011). Hiperglikemia atau peningkatan
gula darah menyertai penyakit hati kronik (Anonim, 2011), diabetes karena
adanya kerusakan sel-sel β pankreas atau berkurangnya sensitivitas insulin
12
(Kawahito dkk., 2009). Hipoglikemia atau kadar gula darah menurun dapat
disebabkan oleh kadar insulin yang berlebihan (Anonim, 2011), penyakit
hati, ginjal, gastrointestinal dan kelenjar endokrin, selain itu juga dapat
disebabkan karena asupan yang kurang ( Field, 1989).
b. Kolesterol total
Kolesterol merupakan senyawa lipid amfiatik yang merupakan
komponen esensial pembentuk membran sel serta lapisan eksterna
lipoprotein plasma. Kolesterol merupakan prekursor utama asam empedu,
dan hormon steroid (Murray,2000). Sumber kolesterol berasal dari asupan
makanan dan sintesis endogenus. Hampir 90% sintesis kolesterol
endogenus terjadi di hati dan usus (Burtis dkk, 2008).
Keseimbangan jumlah kolesterol dapat dijaga dalam tubuh, melalui
mekanisme yang akan mengatur agar jumlah kolesterol yang diproduksi
seimbang dengan jumlah kolesterol yang diproduksi dalam hati.
Mekanisme tersebut pada individu sehat akan menjaga agar kadar
kolesterol berada pada batasan normal, tetapi pada individu tertentu,
terutama yang mengonsumsi kolesterol dalam jumlah banyak, mekanisme
ini tidak bekerja secara efektif atau bahkan berhenti sama sekali. Bila hal
ini terjadi, maka kadar kolesterol di dalam darah akan naik (Tejayadi,
1991). Oleh karena itu, pengukuran kadar kolesterol digunakan untuk
menilai metabolisme lemak oleh hati (Haschek dkk., 2010).
13
c. Albumin
Albumin merupakan protein yang banyak terdapat di dalam darah.
Albumin bertanggung jawab pada 80 % tekanan osmotik koloidal antara
darah dan jaringan (Weatherby & Fergusson, 2002). Albumin disintesis di
hati dari 575 asam amino dengan kecepatan 9-12 gram per hari tanpa
penyimpanan (Bishop, 2010).
Kadar albumin dipengaruhi oleh disfungsi pencernaan dan penurunan
kadar albumin dapat mengindikasi malnutrisi, disfungsi pencernaan atau
disfungsi hati (Weatherby & Fergusson, 2002). Tingginya kadar albumin
tidak terlalu penting secara klinik. Peningkatan level albumin hanya
terlihat ketika dehidrasi atau infusi albumin yang banyak (Bishop, 2010).
d. SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase)
SGOT atau aspartate aminotransferase merupakan enzim kelas
transferase yang dikenal sebagai transaminase dan terlibat dalam transfer
gugus amino antara aspartat dan α-keto. SGOT tersebar luas di jaringan
manusia. Konsentrasi paling tinggi terdapat pada jaringan jantung, hati,
dan otot rangka,dengan jumlah yang lebih kecil ditemukan di ginjal,
pankreas, dan eritrosit. Pemeriksaan SGOT untuk mengevaluasi kelainan
hepatoseluler dan kerusakan otot rangka. Kenaikan SGOT terlihat pada
embolisme pulmonari. Selain itu dapat disebabkan karena kegagalan
jantung kongesti, merefleksikan adanya kerusakan hati akibat kurangnya
pasokan darah ke hati. Kadar SGOT tertinggi ditemukan pada gangguan
hepatoselular akut. Pada viral hepatitis, kadarnya mencapai 100 kali kadar
14
normal. Gangguan otot rangka seperti muskular distrofi dan kondisi
inflamasi menyebabkan peningkatan sebesar 4-8 kali dari normal (Bishop,
2010).
e. SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase)
SGPT atau alanine transferase memiliki aktivitas yang mirip dengan
SGOT. SGPT mengkatalisis pemindahan gugus asam amino dari alanin ke
α-ketoglutarat dengan pembentukan glutamat dan piruvat. SGPT paling
banyak terdapat di hati dan terdistribusi pada banyak jaringan. SGPT
dianggap enzim yang lebih spesifik untuk hati diantara enzim transferase
yang lain. Pemeriksaan SGPT terbatas untuk mengevaluasi kelainan hati.
Kenaikan SGPT ditemukan pada gangguan hepatoseluler dibandingkan
ekstrahepatik atau gangguan penyumbatan intrahepatik. Kenaikan SGPT
lebih tinggi pada kondisi inflamasi hati akut dan cenderung bertahan lebih
lama (Bishop, 2010).
f. Bilirubin
Bilirubin merupakan hasil oksidasi heme pada proses penuaan eritrosit
normal atau eritrosit yang rusak sebelum waktunya hemolisis eritrosit
dalam sirkulasi (Widmann, 1983). Bilirubin terbentuk di dalam makrofag
monosit dari limpa dan sumsum tulang belakang juga sel kupffer hati, dan
dirilis dalam plasma. Bilirubin digunakan sebagai marker dalam diagnosis
penyakit hati dan gangguan darah (Berk dkk., 1969). Kenaikan kadar
bilirubin dapat disebabkan karena menurunnya fungsi hati (Widmann,
1983).
15
g. Protein total
Protein dalam tubuh melakukan banyak fungsi. Fungsi-fungsi dalam sel
hidup tergantung pada protein (Bishop,2010). Protein terdapat di dalam
maupun di luar sel. Protein-protein di luar sel yang paling banyak terdapat
dalam darah ialah albumin, globulin-globulin, dan fibrinogen. Serum dan
plasma susunannya sama kecuali fibrinogen dan beberapa faktor koagulasi
yang tidak ada di dalam serum (Widmann, 1983).
Gangguan fungsi lambung, pankreas, dan usus halus mempengaruhi
penyerapan protein. Penurunan protein total dapat mengindikasi gangguan
fungsi pencernaan, malnutrisi, dan gangguan fungsi hati. Peningkatan
kadar protein total dipengaruhi oleh kondisi dehidrasi, hipofungsi adrenal,
dan kebutuhan asam amino (Weatherby & Fergusson, 2002).
h. Urea
Urea merupakan hasil akhir katabolisme protein yang dibentuk di hati.
BUN mencerminkan rasio antara pembetukan dan ekskresi urea.
Peningkatan nilai BUN kemungkinan karena produksi urea dalam hati
meningkat atau jumlah urea yang diekskresikan oleh ginjal menurun
(Weatherby & Fergusson, 2002).
Nilai kadar urea darah dapat digunakan untuk mengukur fungsi ginjal.
Penurunan fungsi ginjal dapat menyebabkan peningkatan kadar urea di
dalam darah (Bishop,2010). Selain itu peningkatan kadar urea juga
disebabkan karena dehidrasi, konsumsi protein yang terlalu banyak, dan
hipofungsi adrenal. Penurunan kadar urea dipengaruhi oleh malabsorbsi,
16
diet protein rendah, disfungsi hati,dan disfungsi pankreas (Weatherby &
Fergusson, 2002).
i.
Kreatinin
Kreatinin merupakan produk akhir dari metabolisme kreatin. Kreatin
yang terutama disintesis di hati, terdapat hampir semuanya dalam otot
rangka. Banyaknya kreaitinin yang disusun setiap hari hampir konstan,
kecuali adanya kerusakan jaringan otot karena trauma atau suatu penyakit
(Widmann, 1983).
Kreatinin dalam darah meningkat seiring berkurangnya fungsi ginjal.
Kreatinin difiltrasi oleh glomerulus, tetapi tidak diabsorbsi oleh tubulus.
Pengukuran kadar kreatinin digunakan untuk mengevaluasi fungsi ginjal
dan tingkat keparahannya serta untuk monitoring perkembangan penyakit
ginjal. Indikasi adanya kerusakan ginjal adalah ketika konsentrasi kreatinin
plasma meningkat dan kecepatan filtrasi glomerulus menurun. Kreatinin
plasma relatif kurang sensitif dan tidak terukur sebelum kerusakan ginjal
mencapai lebih dari 50 % (Bishop, 2010).
5. Parameter urin
Urin merupakan cairan biologis yang dikeluarkan oleh tubuh makhluk
hidup untuk mengekskresikan sisa-sisa metabolisme. Urin sering digunakan
sebagai parameter uji suatu zat karena selain mudah dikoleksi, kandungan
metabolit dalam urin dapat menggambarkan kondisi fisiologis makhluk hidup
tersebut (Saude dkk., 2007). Pemeriksaan makroskopi urin meliputi warna,
pH, bau, dan volume.
17
Warna urin dipengaruhi oleh konsentrasi, adanya obat, senyawa eksogen
dan endogen serta pH (Anonim, 2011). Adanya darah segar atau hemoglobin
dapat
menyebabkan warna
kemerahan
yang
menandakan terjadinya
pendarahan pada saluran urogenitalia. Pigmen empedu menyebabkan urin
berwarna kuning kehijauan yang menandakan gangguan fungsi hati (Wijaya,
2014). Bau urin dapat dipengaruhi oleh makanan tertentu, dan adanya infeksi
bakteri proteus yang menyebabkan bau ammonia yang menyengat. Bau busuk
menandakan telah terjadi dekomposisi oleh bakteri karena dibiarkan terlalu
lama (Wijaya, 2014). Volume urin dapat dipengaruhi oleh banyaknya asupan
cairan dan juga kontrol oleh hormon. Volume urin dapat digunakan untuk
mengetahui ada atau tidaknya gangguan fungsi ginjal. Oligouria yaitu
penurunan volume urin yang dapat disebabkan karena gangguan ginjal.
Poliuria yaitu volume urin yang dikeluarkan mengalami peningkatan atau
berlebih. Poliura dapat disebabkan karena penyakit diabetes, defisiensi
hormon ADH ,atau asupan cairan yang terlalu banyak (Wijaya, 2014). pH urin
dapat dipengaruhi oleh diet, konsumsi obat, atau adanya bakteri di dalam urin
yang dapat menghasilkan ammonia (Wijaya, 2014). pH urin basa dapat
disebabkan karena adanya bakteri yang dapat memproduksi protease seperti
proteus atau penyakit ginjal kronis. pH urin asam disebabkan karena
kelaparan, diare , atau dehidrasi (Anonim, 2011).
18
F. Keterangan Empiris
Penelitian ini bersifat eksploratif untuk mengetahui gejala toksik, pengaruh
yang timbul pada profil kimia darah dan urin, serta sifat reversibilitas efek toksik
akibat pemberian ekstrak herba pacing secara per oral dengan dosis berulang
selama 90 hari.
Download