1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara dengan tingkat pertumbuhan penduduknya cepat mencapai 1,49 % per tahun berdasarkan data BPS tahun 2010 (Anonim, 2010). Pertambahan penduduk yang tidak dikendalikan akan berdampak buruk seperti kerusakan lingkungan, pemanasan global, kelaparan, dan perkembangan penyakit (Page dkk., 2008). Salah satu upaya untuk mengendalikan ledakan penduduk khususnya di Indonesia adalah dengan menggalakkan penggunaan kontrasepsi melalui program Keluarga Berencana (KB). Program KB yang dilaksanakan pemerintah belum sepenuhnya berjalan optimal. Partisipasi pria dalam melaksanakan KB masih minim. Salah satu faktor minimnya partisipasi pria dalam pelaksanaan program KB adalah keterbatasan alat kontrasepsi bagi pria. Alat kontrasepsi pria hanya terbatas kondom dan vasektomi (Sukardi, 2012). Penggunaan alat kontrasepsi pria masih menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. Penelitian bahan antifertilisasi perlu dilakukan untuk dapat digunakan sebagai kontrasepsi yang aman dan efektif , sehingga upaya peningkatan partisipasi pria dalam program KB dapat dilaksanakan. Ada 74 tanaman di Indonesia yang tercatat berpotensi sebagai kontrasepsi tradisional dan digunakan secara empiris oleh masyarakat di beberapa daerah. Salah satu jenis tanaman yang digunakan untuk kontrasepsi tradisional adalah tanaman pacing (Amina, 1992 ; Dzulkarnain dkk., 1994). Penggunaan tumbuhan 1 2 sebagai obat sudah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak ribuan tahun yang lalu, jauh sebelum adanya pelayanan kesehatan formal (Wijayakusuma, 2000). Tumbuhan pacing secara empirik digunakan oleh masyarakat Pulau Wawonii , Sulawesi Tenggara dengan cara merebus daunnya kemudian diminum sebagai perawatan paska persalinan dan pencegahan kehamilan. Tumbuhan ini mudah ditemukan dan dibudidayakan di Indonesia (Rahayu, 2006). Hasil penelitian terdahulu mengungkapkan bahwa, infusa daun pacing memberikan efek terhadap spermatogenesis meliputi penurunan jumlah, viabilitas, dan motilitas spermatozoa pada mencit jantan (Sari dkk., 2013). Penelitian lain menyebutkan bahwa ektrak etanolik herba pacing dapat menurunkan produksi kadar hormon testosteron intratestikuler (Paramita, 2014). Tanaman pacing mengandung diosgenin,saponin steroid seperti prosapogenin, α dan β dioscin, saponin furostanol seperti costusosid I & J,asam oktasonoat, dan sikloartenol (Srivastava dkk., 2011). Penggunaan obat tradisional dinilai lebih aman daripada menggunakan obat sintetik. Efek samping yang diberikan relatif lebih kecil. Namun demikian tidak menutup kemungkinan munculnya efek samping yang tidak diinginkan (Anonim, 2008). Mengingat bahwa kontrasepsi biasanya digunakan dalam jangka waktu lama perlu dilakukan penelitian ilmiah yang dapat memastikan bahwa tumbuhan pacing aman digunakan. Informasi ilmiah tentang ketoksikan dari tumbuhan pacing sangat diperlukan untuk mengetahui keamanan tumbuhan pacing apabila digunakan untuk pengobatan, sehingga perlu dilakukan suatu uji toksisitas subkronis untuk memperoleh informasi ketoksikan apabila dikonsumsi dalam 3 jangka panjang. Pemeriksaan kimia darah berperan penting untuk mengevaluasi organ target spesifik dari zat toksik dan memberikan informasi yang saling berhubungan untuk memahami proses terjadinya penyakit (Gad, 2007). Pengamatan parameter urin berguna untuk mengevaluasi apakah senyawa uji yang dipejankan memiliki efek toksik pada saluran ekskresi urin yang ditandai dengan perubahan urin pada pengamatan makroskopik (Schnellmann, 2008). Selain itu, perlu juga dilakukan uji terhadap sifat reversibilitas efek toksik yang mungkin ditimbulkan, jika penggunaan dihentikan. B. Rumusan Masalah 1. Apa saja gejala toksik yang timbul akibat pemberian ekstrak herba pacing secara berulang selama 90 hari pada mencit jantan Balb/C? 2. Bagaimana pengaruh pemberian ekstrak herba pacing secara berulang selama 90 hari terhadap parameter kimia darah dan urin pada mencit jantan Balb/C? 3. Bagaimana sifat reversibilitas efek toksik yang ditimbulkan terhadap parameter kimia darah dan urin? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui gejala toksik yang timbul akibat pemberian ekstrak herba pacing secara berulang selama 90 hari pada mencit jantan Balb/C. 2. Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak herba pacing secara berulang selama 90 hari terhadap parameter kimia darah dan urin pada mencit jantan Balb/C. 4 3. Mengetahui sifat reversibilitas efek toksik yang ditimbulkan terhadap parameter kimia darah dan urin. D. Pentingnya Penelitian Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui kemungkinan apakah ekstrak herba pacing aman jika digunakan sebagai kontrasepsi alami serta dapat menambah bukti ilmiah tentang penggunaannya sebagai terapi pada manusia. E. Tinjauan Pustaka 1. Toksikologi a. Definisi toksikologi Istilah toksikologi berasal dari Bahasa Latin yang terdiri dari dua kata yaitu toxicus yang berarti racun dan logos yang berarti pengetahuan (James dkk, 2000). Toksikologi didefinisikan sebagai ilmu tentang racun (Donatus, 2005). Definisi tersebut dinilai kurang tepat, karena zat yang paling tidak berbahaya pun, jika masuk ke dalam tubuh dalam jumlah yang cukup akan menyebabkan keracunan. Paracelsus (1493˗1541) kemudian menyatakan bahwa yang membedakan antara racun dan bukan racun adalah takarannya (Doull & Bruce, 1986 ; Gallo, 2003). Definisi toksikologi kemudian berkembang menjadi ilmu yang mempelajari pengaruh kuantitatif zat kimia atas sistem biologi (Donatus,2005). 5 b. Asas umum toksikologi Ketoksikan suatu senyawa ditentukan dari keberadaan (kadar dan lama tinggal) senyawa itu atau metabolitnya di tempat aksi dan keefektifan antaraksinya (mekanisme aksi) dengan sel sasaran. Berdasarkan alur peristiwa timbulnya efek toksik, ada empat asas utama dalam toksikologi yaitu, kondisi, mekanisme aksi, wujud dan sifat efek toksik (Donatus, 2005). 1) Kondisi efek toksik. Kondisi efek toksik didefinisikan sebagai berbagai keadaan atau faktor yang mempengaruhi aktifitas absorbsi dan distribusi suatu zat dalam tubuh. Kondisi efek toksik menentukan keberadaan zat kimia atau metabolitnya di dalam sel sasaran atau tempat kerjanya. Kondisi efek toksik meliputi kondisi paparan atau pemejanan dan kondisi makhluk hidup. Kondisi paparan atau pemejanan meliputi jenis, jalur, lama, kekerapan, saat dan takaran pemejanan. Kondisi makhluk hidup mencakup keadaan fisiologi dan patologi yang mempengaruhi ketersediaan zat kimia di sel sasaran (Priyanto, 2009). 2) Mekanisme efek toksik. Mekanisme aksi toksik berdasarkan sifat dan tempat kejadian awal dibagi menjadi dua, yaitu mekanisme luka intrasel dan mekanisme luka ekstrasel. Mekanisme luka intrasel atau mekanisme primer adalah luka sel yang diawali oleh aksi langsung zat beracun atau metabolitnya pada tempat aksi tertentu di tempat sel sasaran. Mekanisme luka ekstrasel terjadi apabila zat beracun pada 6 awalnya beraksi di lingkungan luar sel yang berakibat terjadinya luka di dalam sel (Sulistyowati, 2008). 3) Wujud efek toksik. Wujud efek toksik suatu racun dapat berwujud perubahan biokimia, fisiologi (fungsional) dan struktural (Donatus, 2005). Wujud efek toksik berdasarkan perubahan biokimia berkaitan dengan respon dan perubahan biokimia terhadap luka sel, perubahan fungsional berkaitan dengan perubahan fungsi homeostatis tertentu, sedangkan perubahan struktural berkaitan dengan perubahan morfologi sel yang terwujud sebagai kekacauan struktural (Sulistyowati, 2008). 4) Sifat efek toksik. Sifat efek toksik suatu racun dapat dibedakan menjadi terbalikkan dan tak terbalikkan (Priyanto, 2009). Ciri dari efek toksik yang terbalikkan adalah apabila kadar racun yang ada dalam tempat aksi maka reseptor akan kembali kepada keadaan semula, efek toksik yang ditumbulkan akan segera kembali kepada kondisi normal (Sulistyowati, 2008). Ciri dari efek toksik yang tak terbalikkan yaitu kerusakan yang terjadi sifatnya menetap, pemejanan berikutnya akan menimbulkan kerusakan yang sifatnya sama sehingga memungkinkan terjadinya penumpukan efek toksik (Priyanto, 2009). c. Uji Toksiksisitas Uji toksisitas digolongkan menjadi dua yaitu, uji toksisitas khas dan uji toksisitas tak khas (Donatus, 2005). Uji toksisitas khas dirancang untuk mengevaluasi efek toksik yang khas dari suatu zat terhadap aneka ragam hewan uji. Uji toksisitas khas meliputi, uji potensiasi, uji kemutagenikan, 7 uji keteratogenikan, uji kekarsinogenikan, uji kulit dan mata, serta uji perilaku. Uji toksisitas tak khas dirancang untuk mengevaluasi efek toksik secara keseluruhan dari suatu zat terhadap aneka ragam hewan uji. Uji toksisitas tak khas meliputi uji toksisitas akut, subkronis dan kronis. 1) Uji Toksisitas Akut. Uji toksisitas akut dirancang untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang akan terjadi dalam waktu yang singkat setelah pemejanan dosis tunggal dengan takaran tertentu (Donatus, 2005). 2) Uji Toksisitas Subkronis. Uji toksisitas subkronis dirancang untuk menentukan efek toksik suatu zat yang dipejankan pada hewan uji dengan dosis berulang selama kurang lebih tiga bulan. Uji ini ditujukan untuk mengetahui secara keseluruhan efek toksik dan apakah efek toksik berkaitan dengan takaran suatu zat (Donatus,2005). 3) Uji Toksisitas Kronis. Uji ketoksikan kronis serupa dengan uji ketoksikan subkronis. Perbedaanya terletak pada lama pemejanan dan pengamatan yaitu lebih dari tiga bulan. Uji ini dilakukan untuk menutupi kelemahan dari uji toksisitas akut maupun subkronis (Donatus, 2005). 2. OECD guideline nomor 408 Organization of Economic Co-Operation and Development (OECD) merupakan sebuah lembaga yang mempunyai misi untuk mempromosikan kebijakan-kebijakan guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat dunia. OECD bekerja sama dengan pemerintah untuk memahami 8 hal-hal yang mendorong perubahan ekonomi, sosial, dan lingkungan. OECD mempunyai peran penting dalam menetapkan standar international tentang berbagai hal, dari pertanian, pajak, hingga keamanan bahan kimia. OECD Guideline for Testing of Chemical merupakan salah satu publikasi pedoman yang digunakan sebagai pedoman standar untuk menguji keamanan bahan kimia yang ada di dunia (OECD, 2015). Salah satu OECD Guideline adalah OECD 408 yang digunakan sebagai metode uji toksisitas pada suatu zat secara per oral dengan pemejanan dosis berulang selama 90 hari pada hewan uji rodent. Hewan uji yang digunakan dibagi ke dalam empat kelompok, tiga kelompok peringkat dosis dan satu kelompok kontrol. Tiap kelompok terdiri dari sepuluh hewan uji per jenis kelamin. Selain itu, dilakukan penambahan kelompok satelit (lima hewan uji/ jenis kelamin/kelompok) pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dosis tertinggi (dosis III). Kelompok satelit ini ditujukan untuk mengetahui sifat reversibilitas efek yang ditimbulkan dari suatu zat yang diuji. Informasi yang dapat diperoleh dari metode ini di antaranya, efek toksik mayor dari suatu zat uji, dan organ-organ yang terpengaruh, hubungan kadar zat dalam darah dengan luka toksik, dan sifat reversibilitas efek toksik (Anonim, 1998). 3. Uraian tanaman pacing a. Morfologi Tanaman pacing adalah herba dengan tinggi 0,5-3 meter. Tangkai daun panjangnya maksimal 1,5 cm. Helaian daun memanjang sampai bentuk lanset, ujung meruncing, terutama dibagian bawah berambut. Bunga 9 duduk, berbentuk bulir terminal rapat, putih, merah. Daun pelindung bulat telur sampai memanjang dengan ujung meruncing yang berduri menempel. Kelopak tidak rontok, serupa tulang. Panjang tabung mahkota ± 1 cm, lebar 0,5 cm, bentuk corong. Buah kotak, bentuk telur, merah, tinggi 1,5-3 cm. pacing tumbuh pada tempat lembab dan teduh (Steenis, 1975). Gambar 1. Tanaman (Costus speciosus (Koen.) J.E. Smith) Klasifikasi tanaman pacing adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Bangsa : Zingiberales Suku : Zingiberaceae Marga : Costus Jenis : Costus speciosus (Koen.) J.E. Smith (Steenis,1975) b. Kandungan Kandungan utama dari tanaman pacing yang dapat diisolasi adalah diosgenin. Diosgenin pada batang sebesar 0,65 %, daun 0,37 %, pada 10 bunga 1,21 %, dan pada rimpang 0,2%. Kandungan lainnya adalah tigogenin, dioscin, gracillin, β-sitosterol glukosidase, prosapogenin, α dan β dioscin, saponinfurostanol seperti kustusosid I dan J, asam oktasonoat, serta sikloartenol (Srivastava dkk., 2011). Kandungan senyawa daun pacing di dalam berbagai pelarut dapat dilihat pada Tabel.I. Tabel I. Kandungan senyawa daun pacing di dalam berbagai pelarut (Devi & Urooj,2010) Fitokimia Flavonoid Alkaloid Terpenoid Steroid Tanin Fenolik Saponin Petroleum eter + - Benzen Kloroform Metanol Air + + + - + + - + + + + + - + + + Keterangan : + : Adanya kandungan senyawa dalam pacing - : Tidak ada kandungan senyawa dalam pacing c. Kegunaan Tanaman pacing memiliki aktivitas farmakologi sebagai antidiabetik, hipolipidemik, hepatoprotektif, antifertilitas, antioksidan, dan antifungi. Tanaman ini juga mempunyai aktivitas sebagai antirhematik, asma bronkial, leprosi dan sebagai kardiotonik (Srivastava dkk., 2011). Pemberian ekstrak air daun dan rimpang pacing selama 14 hari berpengaruh terhadap gangguan spermatogenesis meliputi penurunan jumlah, viabilitas, dan motilitas spermatozoa (Rahayu, 2012). Penelitian lain menyebutkan bahwa ektrak etanolik herba pacing dapat menurunkan produksi kadar hormon testosteron intratestikuler (Paramita, 2014). 11 4. Parameter kimia darah Pemeriksaan kimia darah ini dilakukan untuk mengetahui kadar berbagai zat kimia dan mengetahui apakah tubuh berfungsi dalam proses metabolisme dengan baik (Widmann, 1983). Pemeriksaan kimia darah berperan penting untuk mengevaluasi organ target spesifik dari zat toksik dan memberikan informasi yang saling berhubungan untuk memahami proses terjadinya penyakit (Gad, 2007). Pemeriksaan kimia darah meliputi, glukosa, kolesterol total, albumin, SGOT, SGPT, bilirubin, protein total, urea, dan kreatinin. a. Glukosa Glukosa dibentuk dari hasil penguraian karbohidrat dan perubahan glikogen dalam hati (Anonim, 2011). Glukosa merupakan bahan bakar bagi sebagian besar fungsi sel, sehingga prioritas utama dalam homeostasis adalah penyediaan glukosa. Pengukuran kadar glukosa darah dapat memberikan informasi apakah homeostasis tubuh berjalan normal atau tidak. Jika kadar glukosa darah tidak berada pada kisaran normal berarti proses homeostasis terganggu ( Widmann, 1983). Pemeriksaan glukosa darah adalah prosedur skrining yang menunjukkan ketidakmampuan sel pankreas memproduksi insulin, ketidakmampuan usus halus mengabsorpsi glukosa, ketidakmampuan sel mempergunakan glukosa secara efisien, atau ketidakmampuan hati mengumpulkan dan memecahkan glikogen (Anonim, 2011). Hiperglikemia atau peningkatan gula darah menyertai penyakit hati kronik (Anonim, 2011), diabetes karena adanya kerusakan sel-sel β pankreas atau berkurangnya sensitivitas insulin 12 (Kawahito dkk., 2009). Hipoglikemia atau kadar gula darah menurun dapat disebabkan oleh kadar insulin yang berlebihan (Anonim, 2011), penyakit hati, ginjal, gastrointestinal dan kelenjar endokrin, selain itu juga dapat disebabkan karena asupan yang kurang ( Field, 1989). b. Kolesterol total Kolesterol merupakan senyawa lipid amfiatik yang merupakan komponen esensial pembentuk membran sel serta lapisan eksterna lipoprotein plasma. Kolesterol merupakan prekursor utama asam empedu, dan hormon steroid (Murray,2000). Sumber kolesterol berasal dari asupan makanan dan sintesis endogenus. Hampir 90% sintesis kolesterol endogenus terjadi di hati dan usus (Burtis dkk, 2008). Keseimbangan jumlah kolesterol dapat dijaga dalam tubuh, melalui mekanisme yang akan mengatur agar jumlah kolesterol yang diproduksi seimbang dengan jumlah kolesterol yang diproduksi dalam hati. Mekanisme tersebut pada individu sehat akan menjaga agar kadar kolesterol berada pada batasan normal, tetapi pada individu tertentu, terutama yang mengonsumsi kolesterol dalam jumlah banyak, mekanisme ini tidak bekerja secara efektif atau bahkan berhenti sama sekali. Bila hal ini terjadi, maka kadar kolesterol di dalam darah akan naik (Tejayadi, 1991). Oleh karena itu, pengukuran kadar kolesterol digunakan untuk menilai metabolisme lemak oleh hati (Haschek dkk., 2010). 13 c. Albumin Albumin merupakan protein yang banyak terdapat di dalam darah. Albumin bertanggung jawab pada 80 % tekanan osmotik koloidal antara darah dan jaringan (Weatherby & Fergusson, 2002). Albumin disintesis di hati dari 575 asam amino dengan kecepatan 9-12 gram per hari tanpa penyimpanan (Bishop, 2010). Kadar albumin dipengaruhi oleh disfungsi pencernaan dan penurunan kadar albumin dapat mengindikasi malnutrisi, disfungsi pencernaan atau disfungsi hati (Weatherby & Fergusson, 2002). Tingginya kadar albumin tidak terlalu penting secara klinik. Peningkatan level albumin hanya terlihat ketika dehidrasi atau infusi albumin yang banyak (Bishop, 2010). d. SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) SGOT atau aspartate aminotransferase merupakan enzim kelas transferase yang dikenal sebagai transaminase dan terlibat dalam transfer gugus amino antara aspartat dan α-keto. SGOT tersebar luas di jaringan manusia. Konsentrasi paling tinggi terdapat pada jaringan jantung, hati, dan otot rangka,dengan jumlah yang lebih kecil ditemukan di ginjal, pankreas, dan eritrosit. Pemeriksaan SGOT untuk mengevaluasi kelainan hepatoseluler dan kerusakan otot rangka. Kenaikan SGOT terlihat pada embolisme pulmonari. Selain itu dapat disebabkan karena kegagalan jantung kongesti, merefleksikan adanya kerusakan hati akibat kurangnya pasokan darah ke hati. Kadar SGOT tertinggi ditemukan pada gangguan hepatoselular akut. Pada viral hepatitis, kadarnya mencapai 100 kali kadar 14 normal. Gangguan otot rangka seperti muskular distrofi dan kondisi inflamasi menyebabkan peningkatan sebesar 4-8 kali dari normal (Bishop, 2010). e. SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) SGPT atau alanine transferase memiliki aktivitas yang mirip dengan SGOT. SGPT mengkatalisis pemindahan gugus asam amino dari alanin ke α-ketoglutarat dengan pembentukan glutamat dan piruvat. SGPT paling banyak terdapat di hati dan terdistribusi pada banyak jaringan. SGPT dianggap enzim yang lebih spesifik untuk hati diantara enzim transferase yang lain. Pemeriksaan SGPT terbatas untuk mengevaluasi kelainan hati. Kenaikan SGPT ditemukan pada gangguan hepatoseluler dibandingkan ekstrahepatik atau gangguan penyumbatan intrahepatik. Kenaikan SGPT lebih tinggi pada kondisi inflamasi hati akut dan cenderung bertahan lebih lama (Bishop, 2010). f. Bilirubin Bilirubin merupakan hasil oksidasi heme pada proses penuaan eritrosit normal atau eritrosit yang rusak sebelum waktunya hemolisis eritrosit dalam sirkulasi (Widmann, 1983). Bilirubin terbentuk di dalam makrofag monosit dari limpa dan sumsum tulang belakang juga sel kupffer hati, dan dirilis dalam plasma. Bilirubin digunakan sebagai marker dalam diagnosis penyakit hati dan gangguan darah (Berk dkk., 1969). Kenaikan kadar bilirubin dapat disebabkan karena menurunnya fungsi hati (Widmann, 1983). 15 g. Protein total Protein dalam tubuh melakukan banyak fungsi. Fungsi-fungsi dalam sel hidup tergantung pada protein (Bishop,2010). Protein terdapat di dalam maupun di luar sel. Protein-protein di luar sel yang paling banyak terdapat dalam darah ialah albumin, globulin-globulin, dan fibrinogen. Serum dan plasma susunannya sama kecuali fibrinogen dan beberapa faktor koagulasi yang tidak ada di dalam serum (Widmann, 1983). Gangguan fungsi lambung, pankreas, dan usus halus mempengaruhi penyerapan protein. Penurunan protein total dapat mengindikasi gangguan fungsi pencernaan, malnutrisi, dan gangguan fungsi hati. Peningkatan kadar protein total dipengaruhi oleh kondisi dehidrasi, hipofungsi adrenal, dan kebutuhan asam amino (Weatherby & Fergusson, 2002). h. Urea Urea merupakan hasil akhir katabolisme protein yang dibentuk di hati. BUN mencerminkan rasio antara pembetukan dan ekskresi urea. Peningkatan nilai BUN kemungkinan karena produksi urea dalam hati meningkat atau jumlah urea yang diekskresikan oleh ginjal menurun (Weatherby & Fergusson, 2002). Nilai kadar urea darah dapat digunakan untuk mengukur fungsi ginjal. Penurunan fungsi ginjal dapat menyebabkan peningkatan kadar urea di dalam darah (Bishop,2010). Selain itu peningkatan kadar urea juga disebabkan karena dehidrasi, konsumsi protein yang terlalu banyak, dan hipofungsi adrenal. Penurunan kadar urea dipengaruhi oleh malabsorbsi, 16 diet protein rendah, disfungsi hati,dan disfungsi pankreas (Weatherby & Fergusson, 2002). i. Kreatinin Kreatinin merupakan produk akhir dari metabolisme kreatin. Kreatin yang terutama disintesis di hati, terdapat hampir semuanya dalam otot rangka. Banyaknya kreaitinin yang disusun setiap hari hampir konstan, kecuali adanya kerusakan jaringan otot karena trauma atau suatu penyakit (Widmann, 1983). Kreatinin dalam darah meningkat seiring berkurangnya fungsi ginjal. Kreatinin difiltrasi oleh glomerulus, tetapi tidak diabsorbsi oleh tubulus. Pengukuran kadar kreatinin digunakan untuk mengevaluasi fungsi ginjal dan tingkat keparahannya serta untuk monitoring perkembangan penyakit ginjal. Indikasi adanya kerusakan ginjal adalah ketika konsentrasi kreatinin plasma meningkat dan kecepatan filtrasi glomerulus menurun. Kreatinin plasma relatif kurang sensitif dan tidak terukur sebelum kerusakan ginjal mencapai lebih dari 50 % (Bishop, 2010). 5. Parameter urin Urin merupakan cairan biologis yang dikeluarkan oleh tubuh makhluk hidup untuk mengekskresikan sisa-sisa metabolisme. Urin sering digunakan sebagai parameter uji suatu zat karena selain mudah dikoleksi, kandungan metabolit dalam urin dapat menggambarkan kondisi fisiologis makhluk hidup tersebut (Saude dkk., 2007). Pemeriksaan makroskopi urin meliputi warna, pH, bau, dan volume. 17 Warna urin dipengaruhi oleh konsentrasi, adanya obat, senyawa eksogen dan endogen serta pH (Anonim, 2011). Adanya darah segar atau hemoglobin dapat menyebabkan warna kemerahan yang menandakan terjadinya pendarahan pada saluran urogenitalia. Pigmen empedu menyebabkan urin berwarna kuning kehijauan yang menandakan gangguan fungsi hati (Wijaya, 2014). Bau urin dapat dipengaruhi oleh makanan tertentu, dan adanya infeksi bakteri proteus yang menyebabkan bau ammonia yang menyengat. Bau busuk menandakan telah terjadi dekomposisi oleh bakteri karena dibiarkan terlalu lama (Wijaya, 2014). Volume urin dapat dipengaruhi oleh banyaknya asupan cairan dan juga kontrol oleh hormon. Volume urin dapat digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya gangguan fungsi ginjal. Oligouria yaitu penurunan volume urin yang dapat disebabkan karena gangguan ginjal. Poliuria yaitu volume urin yang dikeluarkan mengalami peningkatan atau berlebih. Poliura dapat disebabkan karena penyakit diabetes, defisiensi hormon ADH ,atau asupan cairan yang terlalu banyak (Wijaya, 2014). pH urin dapat dipengaruhi oleh diet, konsumsi obat, atau adanya bakteri di dalam urin yang dapat menghasilkan ammonia (Wijaya, 2014). pH urin basa dapat disebabkan karena adanya bakteri yang dapat memproduksi protease seperti proteus atau penyakit ginjal kronis. pH urin asam disebabkan karena kelaparan, diare , atau dehidrasi (Anonim, 2011). 18 F. Keterangan Empiris Penelitian ini bersifat eksploratif untuk mengetahui gejala toksik, pengaruh yang timbul pada profil kimia darah dan urin, serta sifat reversibilitas efek toksik akibat pemberian ekstrak herba pacing secara per oral dengan dosis berulang selama 90 hari.