BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal jantung merupakan suatu sindrom klinis akibat kelainan struktural maupun fungsional dari pengisian atau pompa ventrikel (Yancy et al., 2013). Prevalensi gagal jantung di negara maju sebesar 1-2% dari populasi dewasa dimana pada usia lebih dari 70 tahun meningkat menjadi lebih dari 10% (McMurray et al., 2012). Prevalensi dan insidensi gagal jantung semakin tinggi selain karena angka harapan hidup yang semakin meningkat juga karena prevalensi faktor risiko gagal jantung seperti hipertensi, diabetes, dislipidemia, obesitas juga meningkat. Selain itu, angka harapan hidup penyakit yang berkaitan dengan kejadian gagal jantung seperti infark miokard, penyakit katup jantung, dan aritmia juga semakin tinggi (Mann dan Chakinala, 2012). Penyakit arteri koroner (PAK) adalah penyebab gagal jantung paling banyak di Amerika Serikat dan juga di negara-negara lain di dunia, sedangkan kardiomiopati dilatasi (KMD) menduduki urutan ketiga terbanyak (Guo et al., 2013; Wexler et al., 2009). Penyakit arteri koroner adalah penyakit aterosklerosis yang mengenai arteri koronaria yang manifestasinya dapat berupa infark miokard akut (IMA) (Beltrame et al., 2012). Velagaleti et al. menyebutkan bahwa 24% pasien yang menderita IMA akan mengalami gagal jantung (Velagaleti et al., 2008). Kardiomiopati dilatasi didefinisikan sebagai adanya dilatasi dan disfungsi 1 ventrikel kiri tanpa dijumpai penyakit hipertensi, katup jantung dan PAK (Elliott et al., 2008). Penyebab gagal jantung secara umum ditegakkan berdasarkan pemeriksaan baku emas berupa ekokardiografi (Talwar et al., 2000). Namun gambaran ekokardiografi pada gagal jantung akibat PAK dan KMD sering tidak dapat dibedakan. Gangguan kinetik segmental hanya memiliki sensitivitas 83%, spesifisitas 57%, dan positive predictive value (PPV) 66% dalam mendiagnosis PAK. Hipokinetik segmental yang merupakan tanda PAK ditemukan pada 38% pasien KMD (Medina et al., 1985). Sebaliknya 50% pasien gagal jantung dengan hipokinetik global menderita PAK. Kurang lebih seperempat pasien IMA berdasarkan studi Framingham (1979) bersifat asimptomatik. Oleh karena itu, pada pasien gagal jantung dengan gambaran ekokardiografi hipokinetik global, apabila tidak dijumpai adanya keluhan angina, maka masih mungkin diagnosis suatu PAK. Padahal kedua penyakit ini memiliki aspek prognosis, terapi farmakologis, maupun intervensi yang berbeda (Adams et al., 1996; McCrohon, 2003). Diagnosis baku emas untuk membuktikan adanya PAK yang membedakannya dengan KMD adalah dengan angiografi koroner (Montalescot et al., 2013; Figulla et al., 1992). Namun modalitas ini memerlukan biaya yang relatif mahal (Depkes, 2013) dan di Indonesia hanya dapat dilakukan di pusat kota-kota besar (Firdaus, 2011). Oleh karena itu, diperlukan modalitas diagnostik lain yang lebih murah dan aplikatif untuk membantu membedakan PAK dan KMD yang lebih mendekati nilai diagnostik angiografi koroner. 2 Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) adalah pemeriksaan yang mudah, murah, cepat, dan banyak digunakan untuk diagnosis gagal jantung (Sadaka et al., 2013). Pemeriksan EKG dapat mendeteksi disfungsi sistolik ventrikel kiri dengan sensitivitas 100%, spesifisitas 70%, PPV 89,3%, dan negative predictive value (NPV) 100% (Basnet et al., 2009). Selain itu EKG juga dapat memperkirakan etiologi gagal jantung (McMurray et al., 2012). Namun penelitian tentang perbedaan nilai diagnostik EKG terutama pada depolarisasi ventrikel pada pasien gagal jantung yang disebabkan oleh PAK dan KMD masih sangat sedikit. Gagal jantung akibat PAK dan KMD memiliki patogenesis yang berbeda. Pada gagal jantung akibat PAK terjadi infark miokard yang akan menyebabkan fibrosis yang bersifat menyeluruh pada subendokard hingga transmural sesuai dengan cakupan vaskularisasi pembuluh darah koroner yang tersumbat. Proses patofisiologi pada KMD terutama melibatkan proses apoptosis hingga fibrosis yang bersifat patchy atau bercak-bercak tetapi merata di interstitial atau perivaskuler pada subepikardium atau midmiokardium (Leyva et al., 2012; Nozynski et al., 2009). Perbedaan pola fibrosis ini akan mempengaruhi proses depolarisasi ventrikel sehingga akan memberikan gambaran EKG yang berbeda. Selain itu vektor jantung pada gagal jantung akibat PAK dan KMD juga relatif berbeda. Pergeseran vektor QRS ke bidang transversal dan menjauhi bidang frontal pada KMD relatif lebih besar dibandingkan pada gagal jantung akibat PAK sehingga dapat mempengaruhi aksis depolarisasi ventrikel. Hal ini dapat memberikan gambaran EKG yang berbeda pula (Goldberger et al., 1985). Depolarisasi ventrikel digambarkan dengan kompleks gelombang QRS pada EKG. Gangguan depolarisasi dapat berupa perubahan morfologi maupun 3 voltase kompleks QRS seperti Q patologis, fragmented QRS, atau tinggi voltase gelombang R termasuk poor R wave progression, dan low voltage (Akgun, et al., 2014). Sejauh ini hanya ada dua studi yang meneliti perbedaan EKG pada gagal jantung akibat PAK dan KMD. Pertama, penelitian Aghasadeghi dan Aslani (2008) menyatakan bahwa gambaran EKG yang memiliki nilai diagnostik paling baik dalam menegakkan PAK yang membedakannya dengan KMD adalah gelombang Q patologis (di sandapan II, aVF, V3 atau V4) dengan spesifisitas 100%, sensitivitas 40%, PPV 100%, dan NPV 31%, sementara gambaran EKG pada KMD adalah rasio gelombang R di sandapan V6/III ≥5 (spesifisitas 50%, sensitivitas 94%), dan tinggi gelombang R di V6 ≥1,5 mm (spesifisitas 89%, sensitivitas 58%). Kedua, penelitian Momiyama et al. (1995) memperlihatkan bahwa pada PAK ditandai dengan rendahnya voltase gelombang R di sandapan V6 dan Q patologis di II, III, aVF, atau V2-V4 dengan nilai spesifisitas 94%, sensitivitas 61%, PPV 96%, dan NPV 61%, sedangkan pada KMD ditandai dengan tingginya voltase gelombang R di V6 ≥15 mm (PPV 86%) , dan tingginya rasio gelombang R di V6/ tinggi maksimal gelombang R di sandapan I, II, atau III ≥3mm (PPV 100%, NPV 80%). Namun kedua studi ini tidak memasukkan hipertensi sebagai kriteria eksklusi KMD, sementara hipertensi merupakan salah satu kriteria eksklusi KMD menurut Taylor et al. (2006) dan diketahui dapat mempengaruhi voltase EKG (Momiyama et al., 1994; Seward et al., 2010). Pasien gagal jantung dengan hipertensi secara umum akan memiliki dinding septum maupun posterior yang lebih tebal dibandingkan tanpa hipertensi (Park et al., 2011). Hal ini akan dapat mempengaruhi voltase EKG dan menunjukkan tanda- 4 tanda hipertrofi ventrikel kiri atau left ventricular hyperthrophy (LVH) (Xie dan Wang, 2010). Fragmented QRS complex (fQRS) memiliki sensitivitas yang lebih baik (94,2% vs 85,6%) dibandingkan dengan Q patologis dalam mendeteksi ada tidaknya infark miokard sebelumya (Das et al., 2006). Namun studinya apakah berbeda angka kejadiannya dibandingkan dengan KMD belum didapatkan. Selain itu, pada KMD dapat dijumpai gambaran poor R wave progression (PRWP) dan low voltage pada sandapan ekstremitas, yaitu berturut-turut sebesar 32% dan 22% (McCrohon et al., 2003 dan Roberts et al., 1987), namun gambarannya pada gagal jantung akibat PAK dan apakah berbeda dengan KMD tidak didapatkan referensi dari penelitian-penelitian terdahulu. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud untuk melihat kembali nilai diagnostik depolarisasi ventrikel yang dilihat dari EKG untuk membedakan gagal jantung akibat PAK dan KMD terutama apabila istilah kardiomiopati ini dikembalikan pada definisi dimana tidak boleh ada hipertensi. Dengan demikian diharapkan dapat menambah wawasan penelitian tentang nilai diagnostik perbedaan EKG dalam membedakan gagal jantung akibat PAK dan KMD sehingga dapat membantu keputusan klinis terkait diagnosis maupun terapi. B. Perumusan Masalah Mortalitas gagal jantung sangat tinggi yaitu sebesar 50% dalam 5 tahun setelah terdiagnosis (Pagley et al., 1997). Oleh karena itu, dengan semakin meningkatnya prevalensi gagal jantung maka diperlukan tatalaksana yang tepat dalam manajemen gagal jantung kronik. Adapun terapi gagal jantung tergantung dari etiologi gagal jantung itu sendiri. PAK dan KMD adalah penyebab terbanyak 5 gagal jantung yang keduanya memiliki pendekatan terapi dan prognosis yang berbeda namun pemeriksaan ekokardiografi dapat memiliki gambaran yang sama. Pemeriksaan baku emas untuk membedakan keduanya adalah dengan pemeriksaan angiografi koroner. Namun pemeriksaan ini bersifat invasif, memerlukan biaya yang mahal, dan ketersediannya sangat terbatas dimana hanya terdapat di rumah sakit besar pusat rujukan di Indonesia. Pemeriksaan EKG adalah pemeriksaan yang murah, cepat, dan banyak tersedia di pusat pelayanan kesehatan primer di daerah. Oleh karena itu, hasil pemeriksaan EKG diharapkan dapat lebih berperan dalam membedakan etiologi gagal jantung. Penelitian tentang perbedaan depolarisasi ventrikel yang dilihat dari gambaran EKG pada pasien gagal jantung akibat PAK dan KMD masih sangat sedikit. Penelitian yang ada menyebutkan bahwa gelombang Q patologis dan tingginya voltase gelombang R di prekordial dan ekstremitas memiliki nilai diagnostik yang baik. Gelombang Q patologis dilaporkan memiliki PPV 96-100% dalam menegakkan PAK, sedangkan rasio gelombang R di V6/ inferior juga memiliki PPV hingga 100% untuk diagnosis KMD. Namun gambaran EKG lain seperti fQRS, PRWP, atau low voltage di ekstremitas belum ada yang secara langsung meneliti perbedaannya pada PAK dan KMD. Penelitian-penelitian sebelumnya juga tidak menyingkirkan hipertensi dalam diagnosis KMD, sehingga penulis bermaksud untuk meneliti hal tersebut. C. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka timbul pertanyaan penelitian yaitu apakah depolarisasi ventrikel yang dilihat dari gambaran EKG berupa Q patologis, fQRS, PRWP, low voltage di sandapan ekstremitas, dan tingginya 6 voltase di prekordial memiliki nilai diagnostik yang baik dalam membedakan pasien gagal jantung kronik akibat PAK dan KMD? D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai diagnostik depolarisasi ventrikel dari gambaran EKG berupa gelombang Q patologis, fQRS, PRWP, low voltage di sandapan ekstremitas, dan tingginya voltase di prekordial dalam membedakan gagal jantung kronik akibat PAK dan KMD. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat terhadap Ilmu Pengetahuan Dengan mengetahui perbedaan gambaran EKG pada pasien gagal jantung kronik akibat PAK dan KMD, maka dapat memperkuat nilai diagnostik EKG dalam pelacakan etiologi gagal jantung. Hal ini penting terkait keputusan terapi atau tindakan yang akan dilakukan pada tatalaksana gagal jantung kronik. 2. Manfaat Klinis Dengan mengetahui perbedaan gambaran EKG pada pasien gagal jantung kronik akibat PAK dan KMD, maka dapat membantu klinisi dalam penegakan etiologi gagal jantung. Hal ini mengingat modalitas ekokardiografi dan angiografi koroner praktis sulit dilakukan di pelayanan kesehatan di daerah terutama yang jauh dari pusat rujukan. Dengan mengetahui etiologi gagal jantung, maka klinisi dalam menentukan jenis terapi gagal jantung secara lebih tepat, mengetahui prognosis, tindak lanjut, termasuk edukasi kepada pasien, serta kemungkinan jenis 7 tindakan yang direkomendasikan. Dengan demikian diharapkan dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas gagal jantung kronik di Indonesia. F. Keaslian Penelitian Sejauh yang diketahui penulis, hanya ada dua penelitian yang membandingkan gambaran EKG pada gagal jantung akibat PAK dan KMD. Penelitian pertama adalah penelitian Aghasadeghi dan Aslani di Iran pada tahun 2008. Mereka meneliti perbedaan EKG pada 105 pasien dengan penurunan fraksi ejeksi (ejection fraction/ EF) <50% akibat PAK dan KMD. Hasilnya adalah gelombang Q patologis pada sandapan II, aVF, V3 atau V4 paling spesifik pada PAK dan memiliki positive predictive value (PPV) yang tinggi, sedangkan rasio gelombang R di sandapan V6 dan III ≥5 paling sensitif pada KMD. Namun pada studi ini, hipertensi tidak dieksklusi pada pasien KMD. Hipertensi terdapat pada kedua kelompok meskipun tidak berbeda jumlahnya secara signifikan, sementara hipertensi merupakan salah satu kriteria eksklusi KMD menurut Taylor et al. (2006) dan diketahui dapat mempengaruhi voltase EKG (Momiyama et al., 1994; Seward et al., 2010). Penelitian kedua adalah penelitian Momiyama et al. pada tahun 1995 yang meneliti perbedaan EKG pada pasien dengan disfungsi dan dilatasi ventrikel kiri (EF <40% dan Left ventricle end-diastolic internal dimension ≥55 mm) pada KMD idiopatik dan PAK. Mereka membandingkan EKG pada 23 pasien KMD, 36 pasien PAK, dan 63 orang normal. Hasilnya memperlihatkan bahwa pada PAK ditandai oleh gelombang R voltase rendah di sandapan V6 dan Q patologis di II, III, aVF, atau V2-V4, sementara pada KMD ditandai dengan tingginya voltase gelombang R di V6, dan tingginya rasio gelombang R di V6 dibagi tinggi 8 gelombang R maksimal di I, II, atau III. Namun studi ini juga tidak memasukkan hipertensi sebagai kriteria eksklusi KMD. Keaslian penelitian ini berupa parameter EKG lain yang dinilai dari penelitian ini yaitu fQRS, PRWP, dan low voltage di ekstremitas. Selain itu penggunaan hipertensi sebagai kriteria eksklusi pada pasien KMD serta penelitian dengan populasi di Indonesia yang belum pernah dilaporkan sebelumnya. 9