(WHO) mendefinisikan osteoporosis sebagai penyakit

advertisement
19
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
World Health Organization (WHO) mendefinisikan osteoporosis sebagai
penyakit sistemik dengan sifat-sifat berupa penurunan massa tulang, disertai
perubahan mikroarsitektur tulang, dan penurunan kualitas jaringan tulang. Sifatsifat tersebut dapat menimbulkan kerapuhan tulang dan pada akhirnya bisa
menyebabkan tulang patah. Biasanya, tulang patah terjadi pada tulang trabekula
(tulang berbentuk spongy, tulang mempunyai banyak pori), misalnya di
pergelangan tangan, ruas tulang belakang, dan tulang pinggul (Adams, 2008).
Angka kesakitan dan angka kematian osteoporosis relatif rendah, namun
tulang patah membuat pasien menderita sehingga mempengaruhi kondisi sosial
ekonomi (Adams, 2008). Kelalaian terhadap osteoporosis mengakibatkan kasus
tulang patah. Osteoporosis tidak dapat diobati, namun proses kehilangan densitas
tulang dapat dicegah (Aminah dkk, 2009). Jika osteoporosis dapat dideteksi pada
tahap awal, maka proses penanganannya akan menjadi lebih mudah (Watanabe
dkk, 2008). Salah satu usaha untuk mencegah terjadinya osteoporosis adalah
melakukan pemeriksaan tanda-tanda awal osteoporosis sedini mungkin.
Pemeriksaan bone mineral density (BMD) pada kelompok yang beresiko tinggi,
yaitu wanita postmenopause dengan usia 40 tahun sampai 65 tahun merupakan
salah satu upaya pemeriksaan osteoporosis secara dini (Gueldner dkk., 2008).
Menurut Blake dan Fogelman (2007), dual energy X-ray absorptiometry
(DXA) merupakan alat untuk memeriksa BMD yang dijadikan standar baku emas
oleh WHO. Hasil pemeriksaan DXA adalah citra radiograf tulang yang diperiksa,
nilai T-Score, dan Z-Score. T-Score adalah perbandingan nilai BMD pasien
dengan nilai rata-rata BMD kelompok kontrol, yang terdiri dari orang-orang muda
dengan jenis kelamin yang sama. Z-Score adalah perbandingan nilai BMD pasien
dengan nilai rata-rata BMD kelompok kontrol, pada usia yang sama. Dari kedua
nilai tersebut, WHO menetapkan nilai T-Score dijadikan dasar untuk menentukan
status pasien dalam kategori normal, osteopenia, atau osteoporosis (Gueldner
20
dkk., 2008). Pasien yang dikategorikan pada status normal diindikasikan
mempunyai kualitas tulang yang
kuat dibandingkan dengan pasien yang
diklasifikasikan pada status osteoporosis. Pasien dengan kategori osteoporosis
diindikasikan mempunyai tulang yang rapuh dan mudah patah (Licks dkk., 2010).
Menurut D’Elia dkk. (2009) dan Watanabe dkk. (2008), secara teknis,
penggunaan DXA sebagai alat pemeriksaan osteoporosis memiliki kelemahan,
yaitu hanya dapat mendeteksi BMD. DXA tidak dapat mendeteksi struktur
mikroarsitektur tulang, yang juga menjadi salah satu kunci dalam penilaian
kualitas tulang (Brandi, 2009). Menurut Licks dkk. (2010), pemeriksaan BMD
menggunakan DXA masih menjadi kendala karena alat ini mahal, tidak semua
rumah sakit mempunyai alat ini, dan penggunaan DXA memerlukan tenaga ahli
yang mempunyai lisensi atau sertifikat dari American Registry of Radiologic
Technologists (ARRT) atau Nuclear Medicine Technology Certification Board
(NMTCB). Hal ini menurunkan manfaat DXA untuk pemeriksaan kualitas tulang
menggunakan indikator BMD.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, banyak penelitian telah
mengembangkan model dan metode untuk menilai kualitas tulang menggunakan
pengolahan citra radiograf 2 dimensi (2D). Dari pengolahan citra tersebut dapat
diperoleh struktur mikroarsitektur tulang. Menurut Horner dan Devlin (1998),
pada saat tubuh memerlukan kalsium, tulang rahang merupakan tulang yang akan
diambil terlebih dahulu kalsiumnya. Hal ini mengakibatkan tulang rahang
mengalami kerapuhan terlebih dahulu dibandingkan tulang bagian lain. Menurut
Taguchi (2009), citra radiograf pada tulang rahang lebih mudah diperoleh
daripada citra radiograf di bagian lain. Selain itu, pengambilan citra rahang atas
(maksila) dan rahang bawah (mandibula) bisa dilakukan tidak hanya saat
pengobatan, tetapi juga saat perawatan gigi. Teknik radiograf dental yang paling
banyak digunakan oleh dokter gigi adalah intraoral periapikal karena mudah,
cepat, dan murah. Metode atau teknik periapikal tunggal memancarkan radiasi
yang lebih rendah dibandingkan pengambilan citra panoramik (Taguchi dkk.,
2006; Parks dan Williamson, 2002).
21
Citra radiograf tulang rahang dapat dipergunakan untuk mengetahui
kejadian osteoporosis. Menurut Stuart dan Phaorah (2008), struktur tulang rahang
bawah (mandibular) lebih padat dari pada rahang ata (maksila). Dengan struktur
tersebut, citra obyek-obyek rahang bawah (mandibular) lebih jelas terlihat pada
citra radiograf. Dalam White (2002), von Wowern menyatakan bahwa pada
subyek yang menderita osteoporosis, tulang rahang bawah (mandibular)
mengalami reduksi kepadatan pada trabekula dan korteks, serta bertambahnya
jumlah gigi yang hilang. Perubahan struktur ini bisa menjadi pembeda antara
individu normal, osteopenia, atau osteoporosis. Pernyataan ini juga diperkuat oleh
Jergas (2008). Proses pengambilan citra rahang bawah bagian depan lebih mudah
dibandingkan rahang atas juga menjadi alasan bagi peneliti untuk menggunakan
citra radiograf ini.
Menurut Brandi (2009), mikroarsitektur tulang trabekula terdiri atas
batang (rods) dan porus (plates). Tulang trabekula lebih mudah rapuh
dibandingkan dengan tulang kortikal. Struktur trabekula yang terdiri dari batang
dan porus merupakan obyek yang sangat kecil sehingga sulit diamati oleh dokter
gigi. Dengan kondisi ini, dokter gigi belum memungkinkan untuk turut berperan
mendeteksi pasien dengan resiko osteoporosis (Geraets dkk, 2008; White dkk,
2005).
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti yaitu Geraets
dkk. (2012), Licks dkk. (2010), serta Lee dan White (2005). menyatakan bahwa
batang trabekula kurang berperan dalam usaha pemeriksaan osteoporosis. Salah
satu kemungkinan yang bisa dikemukakan adalah batang trabekula bukan menjadi
bagian dominan pada struktur trabekula (Watanabe dkk, 2008; Davison dkk,
2006). Penelitian yang dilakukan Lestari dkk (2012) serta Widyaningrum dan
Lestari (2013) yang menggunakan data yang sama dengan penelitian ini,
menunjukkan bahwa ciri tekstur mempunyai korelasi yang rendah terhadap
osteoporosis sehingga perlu dieksplorasi menggunakan ciri morfologi.
Penelitian osteoporosis yang menggunakan ciri bentuk porus pada citra
masih jarang ditemukan. Oleh karena itu, masih perlu mendapatkan ciri-ciri
bentuk porus sehingga ciri yang menggunakan bentuk porus semakin lengkap.
22
Dengan ciri yang lebih lengkap, diharapkan nilai akurasi pada pemeriksaan
osteoporosis semakin baik. Menurut Watanabe dkk. (2008) dan Davison dkk.
(2006), ada 3 kategori untuk memperoleh ciri bentuk porus yaitu porositas,
konektifitas, dan bentuk pori. Penderita osteoporosis biasanya mempunyai ciri
bentuk sebagai berikut (Fields dkk, 2010; Davison dkk, 2006; Bounty dkk, 2003):
tingkat porositas besar, konektifitas antar pori rendah, dan pori trabekula bersifat
anisotropik (bentuk pori dengan arah vertikal lebih banyak dibandingkan bentuk
horizontal dan miring). Pada penelitian ini, akan mengembangkan model yang
dapat menghasilkan kategori ciri bentuk porus yaitu porositas, konektifitas, dan
orientasi pori, sehingga dapat melengkapi ciri bentuk porus untuk pemeriksaan
osteoporosis. Bentuk pori yang dihasilkan pada penelitian adalah poligon solid
dan tidak solid. Bentuk pori ini serupa dengan hasil penelitian Geraets dkk.
(2012), serta White dan Rudolph (1999).
Metode untuk menghitung porositas dilakukan dengan cara memanfaatkan
intensitas piksel pada seluruh region of interest (ROI) citra biner dari periapikal
(Geraets dkk, 2012; Licks dkk., 2010; Lee dan White, 2005).
Pada ciri
konektifitas dilakukan identifikasi bentuk terhadap masing-masing pori,
selanjutnya masing-masing pori dihitung luasnya. Rumusan tentang luas obyek
pada citra dapat menggunakan penelitian yang dikemukan oleh Kueh dkk (2008).
Pada penelitian Lee dan White (2005) , Licks dkk (2010), Geraets dkk (2008),
Harrar dan Hamami (2012), dan Legrand dkk (2013) menggunakan ICI (inter
connectivity index) yang memanfaatkan proses penulangan (skeletonize). Untuk
mengetahui ciri orientasi pori, Davison dkk (2006) menggambarkan pori sebagai
bentuk poligon. Dengan bentuk poligon ini, pori dapat diketahui
arah atau
orientasinya (Asatryan dkk., 2010; Feito dkk.,1995). Untuk memperoleh orientasi
pori, diperlukan centroid pori. Rumusan untuk mendapatkan centroid dapat
ditemukan pada penelitian Riquelme dkk (2008). Namun, rumusan tersebut
kurang sesuai digunakan pada penelitian ini karena centroid dihitung
menggunakan rata-rata vertek atau titik-titik pada batas pori yang solid. Pada
poligon yang tidak solid, secara geometris Sommer (2013) menunjukkan bahwa
nilai centroid dapat diperoleh dengan menggunakan luas poligon sesungguhnya.
23
Dengan demikian, terdapat kaitan antara konektifitas pori dan orientasi pori. Jika
terjadi kesalahan pada perhitungan luas pori pada konektifitas pori maka centroid
yang dihasilkan tidak sesuai dan akibatnya arah atau orientasi pori yang diperoleh
menjadi tidak sesuai. Selanjutnya jika informasi ini digunakan untuk pemeriksaan
osteoporosis, hasilnya menjadi kurang tepat. Berdasarkan uraian di atas, masih
perlu mengembangkan metode untuk menghitung centroid yang sesuai dengan
bentuk pori pada penelitian ini, dengan memanfaatkan konektiftas pori.
Setelah mendapatkan ciri porus, tahap selanjutnya adalah melakukan
seleksi ciri agar diperoleh ciri yang berperan untuk melakukan pemeriksaan
osteoporosis. Seleksi ciri dibutuhkan karena tidak semua ciri yang dihasilkan dari
ekstraksi ciri berperan pada tahap berikunya. Salah satu metode yang digunakan
untuk seleksi ciri pada domain osteoporosis adalah pohon keputusan (Licks dkk,
2010, Lee dan White, 2005).
Data yang digunakan sebagai gold standard
diperoleh dari hasil pemeriksaan osteoporosis menggunakan DXA. Hasil seleksi
ciri ini digunakan sebagai masukan untuk pelatihan dan validasi.
Berdasarkan jenis data yang tersedia, jenis pelatihan
adalah supervisi. Dari beberapa penelitian yang
yang digunakan
terkait dengan pemeriksaan
osteoporosis, metode pembelajaran supervisi yang digunakan adalah JST dan
pohon keputusan. Menurut Anto dan Chandramathi (2011), salah satu jenis
pelatihan supervisi dalam bidang medis yang direkomendasikan adalah jaringan
syaraf tiruan
(JST). Hal ini dikarenakan proses pelatihan yang relatif cepat,
memberikan akurasi yang relatif baik, mampu menangani redundansi atribut, dan
dapat memodelkan sistem non linier (Amato dkk, 2013). JST banyak lapisan
merupakan JST yang mampu mengenali pola lebih baik dari pada JST lapis
tunggal, sedangkan metode pembelajaran pada JST banyak lapisan yang dikenal
cukup handal adalah propagasi balik (Fausett, 1994). Pelatihan JST akan
menghasilkan bobot akhir. Bobot tersebut selanjutnya digunakan untuk validasi
data. Pada data yang terbatas, biasanya terjadi perbedaan nilai akurasi pada proses
validasi. Nilai akurasi yang tinggi (hampir mencapai 100%) biasanya diperoleh
pada data pelatihan, namun pada data validasi, nilai akurasinya menjadi rendah
(Refaeilzadeh dkk, 2009). Salah satu metode untuk mengatasi masalah tersebut
24
adalah K-Fold Validation. Pada penelitian ini, metode JST dengan validasi KFold digunakan untuk mengenali pola ciri porus. Selain itu, juga dilakukan
pengujian menggunakan metode pohon keputusan.
1.2 Rumusan Masalah dan Hipotesa
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang terdapat masalah-masalah
untuk melakukan pemeriksaan osteoporosis menggunakan citra radiograf
periapikal dental. Hingga saat ini, pemanfaatan citra radiograf periapikal dental
masih digunakan untuk pengobatan dan perawatan gigi-geligi saja, padahal masih
ada bagian pada citra tersebut yang bisa dimanfaatkan untuk pemeriksaan
osteoporosis. Potensi tersebut seharusnya dapat dieksplorasi lebih dalam, untuk
menjawab kebutuhan terhadap metode dan sistem pemeriksaan osteoporosis. Hasil
pemeriksaan osteoporosis ini adalah klasifikasi nilai BMD yang terdiri dari
normal, osteopenia, dan osteoporosis. Model yang bisa menghasilkan nilai akurasi
tinggi pada proses klasifikasi menggunakan ciri bentuk porus tulang trabekula
pada citra radiograf periapikal dental diperlukan oleh dunia medis terutama bagi
dokter gigi.
Penilaian kualitas tulang trabekula dilakukan dengan metode pengolahan
citra dengan cara melakukan ekstraksi ciri bentuk porus yang terdiri dari
porositas, konektifitas, dan orientasi pori. Pada penelitian ini, konektifitas pori
diperoleh dengan menghitung luas masing-masing pori. Metode yang digunakan
untuk memperoleh ciri orientasi pori, khususnya pada tahap mencari centroid
pori, akan memanfaatkan konektifitas pori. Dengan demikian, ciri orientasi yang
diperoleh sesuai dengan bentuk pori pada penelitian ini, yaitu pori solid dan pori
tidak solid.
Ciri porus yang dihasilkan tidak semuanya berperan dalam
pemeriksaan osteoporosis sehingga perlu dilakukan seleksi ciri. Dalam penelitian
ini,
seleksi ciri menggunakan metode pohon keputusan. Proses ini akan
menghasilkan ciri-ciri yang penting dan selanjutnya digunakan sebagai masukan
JST propagasi balik dan K-Fold Validation, untuk proses klasifikasi nilai BMD
yaitu normal, osteopenia, dan osteoporosis.
25
Berdasarkan penjelasan di atas, maka rumusan masalah yang diajukan pada
penelitian ini adalah
a. Bagaimana model ekstraksi ciri bentuk porus yang bisa digunakan untuk
memperoleh kategori ciri porositas, konektifitas, dan orientasi pori?
b. Metode apa yang bisa digunakan untuk memperoleh nilai centroid pada
pori solid dan tidak solid?
c. Apakah ciri-ciri yang diperoleh dari proses seleksi ciri menggunakan
pohon keputusan, dapat berperan penting untuk melakukan pemeriksaan
osteoporosis?
d. Apakah JST propagasi balik dan K-Fold Validation dapat digunakan
untuk klasifikasi ciri porus untuk menentukan status osteoporosis?
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, hipotesis yang diajukan adalah sebagai
berikut:
a. Model ekstraksi ciri yang dikembangkan bisa memperoleh ciri bentuk
porus tulang trabekula, dalam kategori porositas, konektifitas, dan
orientasi pori.
b. Metode yang dikembangkan dengan memanfaatkan konektifitas pori, bisa
mendapatkan nilai centroid pada pori yang solid dan tidak solid.
c. Ciri-ciri yang dihasilkan dari proses seleksi ciri menggunakan pohon
keputusan, dapat berperan penting untuk melakukan pemeriksaan
osteoporosis
d. Metode JST propagasi balik dan K-Fold Validation dapat digunakan untuk
melakukan klasifikasi ciri porus untuk menentukan status osteoporosis.
1.3 Batasan Masalah
Adapun batasan masalah yang diberikan pada penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Citra radiograf yang digunakan adalah periapikal dental rahang bawah
bagian anterior (depan)
b. Subyek adalah wanita Jawa yang sudah mengalami masa menopause.
26
c. Gold standard digunakan nilai BMD pada pada lumbal atau femoral hasil
pemeriksaan DXA pada subyek yang sama, diklasifikasikan menjadi
normal, osteopenia, dan osteoporosis.
1.4 Tujuan
Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan yang ingin dicapai pada penelitian
ini adalah :
a. Menghasilkan model ekstraksi ciri bentuk porus tulang trabekula pada
citra radiograf periapikal dental, dengan kategori ciri porositas,
konektifitas, dan orientasi pori.
b. Menghasilkan metode untuk memperoleh nilai centroid menggunakan
konektifitas pori.
c. Menghasilkan ciri bentuk porus yang berperan penting untuk
pemeriksaan osteoporosis menggunakan pohon keputusan sehingga dapat
melengkapi atau memperkaya ciri yang sudah ada
d. Memperoleh hasil klasifikasi status osteoporosis menggunakan JST
propagasi balik dan K-Fold Validation.
1.5 Manfaat
Melalui penelitian ini, secara umum model dan metode yang diusulkan
diharapkan dapat memberikan manfaat untuk melengkapi dan menambah variasi
ciri bentuk porus untuk pemeriksaan osteoporosis melalui citra radiograf
periapikal dental. Secara khusus, model penelitian ini diharapkan membantu
dokter gigi dalam menentukan indikasi osteoporosis pada pasien.
1.6 Sistematika Penulisan
Pada disertasi ini akan terbagi menjadi beberapa bab. Adapun pembagian
bab-bab tersebut dapat sebagai berikut.
Bab I. adalah pendahuluan yang menggambarkan tentang osteoporosis, DXA,
kelemahan DXA, dan metode yang telah diteliti untuk pemeriksaan osteoporsis
menggunakan pengolahan citrau. Selain itu, pada bab ini juga membahas tentang
27
alasan penggunaan citra radiograf
periapikal rahang bawah sebagai bahan
penelitian, penelitian yang berhubungan dengan struktur porus dan batang pada
tulang trabekula, kategori ciri bentuk porus yang meliputi porositas, konektifitas,
dan orientasi, serta masalah yang berkaitan dengan mencari centorid pada ciri
orientasi pori.
Bab II. adalah tinjauan pustaka. Pustaka berupa artikel-artikel penelitian tentang
hasil pemeriksaan osteoporosis khususnya yang berkaitan dengan metode
ekstraksi ciri dan pengenalan pola. Dalam babi ni juga dipaparkan mengenai
kontribusi penelitian ini.
Bab III. adalah teori. Bab ini berisi penjelasan tentang osteoporosis, citra radigraf
periapikal dental, pengolahan citra digital, pohon keputusan, JST PB, K-Fold
Validation,
confusión
matrix,
dan
kurva
ROC
(Receiver
Operating
Characteristics).
Bab IV. adalah metodologi penelitian. Bab ini menggambarkan variabel-variabel
yang digunakan dalam penelitian, definisi operasional variabel, bahan, instrumen,
metode pengambilan data termasuk kriteria inklusi dan eksklusi pada data. Pada
bab ini juga membahas mengenai proses quality assurance (QA) yang dilakukan
pada radiograf periapikal serta model sistem pemeriksaan osteoprosis yang di
dalamnya mencakup penentuan ROI, segmentasi, ekstraksi ciri, pelatihan, dan
pengujian.
Bab V. adalah hasil penelitian. Pada bagian ini menjelaskan hasil-hasil penelitian
berdasarkan metodologi yang dibuat yang disajikan dalam bentuk gambar dan
grafik.
Bab VI. adalah pembahasan tentang análisis hasil penelitian menggunakan tabel,
confusión matrix, dan kurva ROC.
Bab VII. adalah penutup. Bagian ini menjelaskan tentang kesimpulan penelitian
yang diperoleh dan saran untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
Related documents
Download