perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Minyak Atsiri Jahe Gajah (Zingiber officinale var. Roscoe) Minyak atsiri jahe gajah diperoleh melalui destilasi Stahl yang merupakan salah satu metode destilasi yang paling sering digunakan untuk mendapatkan minyak atsiri dari bahan tanaman. Minyak atsiri yang dihasilkan dari proses ini tidak mudah menguap karena tidak berhubungan langsung dengan udara luar. Volume minyak atsiri yang dihasilkan dapat langsung diketahui karena alat penampung destilat dilengkapi dengan skala. Pada prinsipnya, destilasi Stahl akan memisahkan campuran senyawa berdasarkan perbedaan titik didih. Suhu tinggi dan pergerakan air yang disebabkan oleh kenaikan suhu dalam labu alas bulat akan mempercepat proses difusi minyak atsiri. Minyak atsiri jahe berwarna kuning kecoklatan (Gambar 4). Komponen penyusun utamanya adalah golongan terpenoid yang memberikan aroma spesifik pada jahe (Kusumaningati, 2009). Nursal (2006), mengungkapkan bahwa senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam jahe seperti minyak atsiri diduga merupakan golongan senyawa bioaktif yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Destilasi dari 450 gram potongan rimpang jahe gajah yang diproses selama ± 6 jam berupa minyak atsiri sebanyak 2,6 mL. Berdasarkan data tersebut, rendemen minyak atsiri yang dihasilkan sebesar 0,58% (vol/berat basah). commit to user 26 perpustakaan.uns.ac.id 27 digilib.uns.ac.id Gambar 4. Minyak atsiri jahe gajah (Zingiber officinale var. Roscoe) B. Kurva Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus epidermidis Pertumbuhan bakteri diamati dengan mengukur OD (optical density) bakteri dalam media pertumbuhan tiap 2 jam sekali sampai nilai OD konstan (fase stasioner). Nilai OD ini sebanding dengan massa sel yang terdapat dalam media. Jika massa sel bakteri dalam media semakin banyak, maka nilai ODnya juga semakin besar. Nilai OD yang diperoleh selanjutnya dimasukkan ke dalam persamaan regresi yang didapatkan pada kurva standar (Lampiran 1; Lampiran 2) untuk mengetahui jumlah sel bakteri pada kurva pertumbuhan. Kurva pertumbuhan menggambarkan fase pertumbuhan S. epidermidis yang meliputi fase adaptasi, fase logaritmik, fase stasioner dan fase kematian (Gambar 5). commit to user Gambar 5. Kurva Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus epidermidis 28 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Berdasarkan kurva tersebut, fase adaptasi terjadi pada waktu inkubasi 0-8 jam yang ditandai dengan pertumbuhan sel S. epidermidis yang lamban karena masih beradaptasi dengan media pertumbuhannya. Mulai jam ke-8, bakteri mengalami fase logaritmik yang dapat diketahui dari peningkatan jumlah sel S. epidermidis secara pesat dan terus berlanjut hingga jam ke-14 yang ditandai dengan naiknya grafik kurva pertumbuhan karena bakteri mengalami pembelahan secara terus-menerus. Peningkatan jumlah sel bakteri dipengaruhi beberapa faktor seperti: air, suplai nutrisi, suhu/temperatur, kelembaban, pH, ketersediaan oksigen, tekanan osmosis, faktor kimia seperti logam berat, senyawa klor, fenol, sulfonamida, alkohol, detergen, aldehid, zat pewarna, dan yodium serta pengaruh mikroorganisme di sekitarnya (Suharni, 2008). Fase stasioner mulai terjadi pada jam ke-16. Pada fase ini, penambahan jumlah sel sebanding dengan kematian sel dan kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya persediaan nutrien dalam media, produksi sel serta penumpukan produk samping yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, sehingga gambaran grafik pada fase ini akan mendatar dan cenderung mulai menurun. Kepadatan bakteri yang dapat menimbulkan jerawat berkisar antara 106-108 sel bakteri/mL. Berdasarkan kurva pertumbuhan tersebut, bakteri yang digunakan untuk uji aktivitas antibakteri dipanen pada jam inkubasi ke-14 dengan OD 1,9 serta kepadatan bakteri sekitar 106 cfu/ml (Lampiran 3). Hal ini dikarenakan pada waktu tersebut, bakteri memasuki fase logaritmik yang merupakan fase pertumbuhan cepat bakteri. commit to user 29 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id C. Uji Penghambatan Bakteri dengan Metode Difusi Cakram Aktivitas antibakteri dengan metode difusi cakram diketahui dengan melihat ada tidaknya zona hambat atau daerah hambatan yang terbentuk di sekeliling kertas cakram. Semakin besar diameter zona hambat yang terbentuk, maka aktivitas antibakterinya juga semakin besar. Penghambatan pertumbuhan bakteri oleh minyak atsiri jahe gajah dengan konsentrasi 100% dan klindamisin 0,5% sebagai kontrol positif, terlihat sebagai wilayah jernih di sekitar pertumbuhan bakteri (Gambar 6). Untuk CMC 0,1%; DMSO dan media NB steril yang diteteskan pada kertas cakram sebagai kontrol negatif tidak menunjukkan adanya aktivitas penghambatan bakteri. a b d c e Gambar 6. Zona penghambatan minyak atsiri jahe gajah konsentrasi 100% (a), klindamisin 0,5% (b), CMC 0,1% (c), DMSO (d), dan media NB yang diteteskan pada kertascommit cakramtosteril user (e) perpustakaan.uns.ac.id 30 digilib.uns.ac.id Minyak atsiri jahe gajah dapat dikatakan hanya bersifat bakteriostatik karena terbentuk zona hambatan irradikal yang berarti terdapat penghambatan pertumbuhan bakteri namun tidak membunuh bakteri secara keseluruhan. Pertumbuhan dan perbanyakan bakteri akan kembali meningkat jika pemberian senyawa dihentikan atau habis. Hal ini dapat dilihat pada daerah di sekitar zona hambat dengan masih terdapatnya pertumbuhan bakteri yang terpulas tipis jika dibandingkan dengan daerah yang tidak dipengaruhi oleh bahan antibakteri (Berghe, 1991). Menurut Bower (1992), pembentukan zona bening merupakan salah satu indikator untuk menentukan adanya aktivitas proteolitik dari suatu organisme bakteri. Menurut Piddock (1990), aktivitas antibakteri digolongkan menjadi 4 yaitu aktivitas kuat jika diameter penghambatan lebih dari 30 mm, aktivitas sedang jika diameter penghambatan 20-30 mm, aktivitas lemah jika diameter penghambatan 15-20 mm serta tidak efektif (resisten) jika diameter penghambatan kurang dari 15 mm. Berdasarkan diameter zona hambat yang terbentuk, minyak atsiri jahe gajah mempunyai aktivitas antibakteri yang kuat terhadap S. epidermidis. Hal ini didasarkan pada besarnya diameter zona hambat yaitu 42 mm (Tabel 1). Klindamisin 0,5% sebagai kontrol positif mempunyai aktivitas antibakteri sedang dengan diameter zona hambat 25 mm (Tabel 1). Klindamisin merupakan antibiotik yang sering dikonsumsi oleh penderita jerawat ringan sampai berat. Mekanisme penghambatan bakteri dengan antibiotik ini adalah melalui pembentukan ikatan reversible dengan subunit commit to user 31 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id ribosom 50S, menghambat pemanjangan peptida serta menginaktivasi enzim peptidil transferase dengan mengganggu pembentukan kompleks asam aminoasil-tRNA yang akan menghambat sintesis protein bakteri (Ganiswara, 1995). Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa minyak atsiri jahe gajah mempunyai kemampuan penghambatan bakteri yang lebih kuat dibandingkan antibiotik klindamisin 0,5%. Tabel 1. Diameter Zona Hambat Bahan Antibakteri terhadap S. epidermidis Perlakuan Diameter Zona Hambat (mm) Media NB steril 0 CMC 0,1% 0 DMSO 0 Minyak Atsiri 100% 42 Klindamisin 0,5% 25 Untuk kontrol negatif digunakan CMC 0,1% sebagai pelarut antibiotik, DMSO sebagai pelarut minyak atsiri serta media NB steril yang diteteskan pada kertas cakram dan semuanya tidak memberikan aktivitas penghambatan terhadap bakteri dengan diameter zona hambat sebesar 0 mm. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga kontrol negatif tersebut tidak berpengaruh terhadap aktivitas penghambatan bakteri yang dilakukan oleh minyak atsiri maupun klindamisin sebagai bahan antibakteri. CMC merupakan turunan selulosa yang mempunyai gugus hidroksil. Gugus ini akan saling berikatan membentuk ikatan hidrogen antar dan intramolekul yang akan menjadi lapisan commit to user 32 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id tipis dengan serat-serat yang saling menguatkan (Yudi, 2006). Sedangkan DMSO sendiri merupakan senyawa organosulfur yang tidak berwarna dan dapat melarutkan baik senyawa polar maupun non polar serta larut dalam air dan berbagai pelarut organik (BPOM RI, 2010). Madigan et al. (1997) menyebutkan bahwa senyawa antibakteri yang berdifusi ke dalam medium agar melalui kertas cakram dapat menghambat pembentukan dinding sel yang menyebabkan sel hanya dibatasi oleh membran yang tipis dan dapat lisis. Penghambatan juga dapat terjadi pada proses sintesis protein. Sintesis protein merupakan proses pembentukan rantai polipeptida oleh asam amino melalui ikatan peptida (Prindle, 1993). Proses ini terdiri atas beberapa tahap yaitu inisiasi, penggabungan komplek protein asam amino, pembentukan ikatan peptida, translokasi serta terminasi. Penghambatan sintesis protein diawali dengan reaksi antara komponen bioaktif pada suatu bahan antibakteri dengan subunit ribosom 50S pada tahap inisiasi (tahap awal sintesis protein) yang menyebabkan kesalahan dalam penerjemahan kodon. Hal ini mengakibatkan sintesis protein dilanjutkan oleh pasangan kodon dan anti kodon yang tidak tepat yang menyebabkan gangguan pada pembentukan molekul protein (Nychas, 1995; Davidson and Branen, 1993). Penghambatan juga terjadi pada enzim yang bekerja dalam sel. Penghambatan ini umumnya bersifat irreversible yaitu terjadi perubahan yang menyebabkan enzim menjadi tidak aktif. Dengan terhambat atau terhentinya aktivitas enzim, mekanisme kerja enzim dapat terganggu dan mempengaruhi pertumbuhan sel bakteri (Siswandono, 1995). commit to user perpustakaan.uns.ac.id 33 digilib.uns.ac.id Pada dasarnya, minyak atsiri mempunyai kelarutan yang rendah di dalam air. Hal ini menyebabkan minyak atsiri tidak mampu mencapai tingkatan yang cukup untuk bersifat toksik pada membran sel meskipun afinitasnya cukup tinggi. Meskipun demikian, Kubo et al. (2003) mengungkapkan bahwa molekul hidrofobik penyusun minyak atsiri dapat mengubah permeabilitas membran dan menyebabkan kerusakan pada membran yang berakibat pada kematian sel. Molekul minyak atsiri juga dapat mengganggu kerja enzim yang terikat pada membran sel. Komponen terpenoid dalam minyak atsiri dilaporkan dapat merusak sitoplasma dan mempengaruhi integritasnya. Reaksi antara komponen membran fosfolipid dengan minyak atsiri mengakibatkan perubahan komposisi asam lemak dan fosfolipid membran yang diikuti dengan pembengkakan sel. Pembengkakan ini akan menyebabkan kerusakan pada membran sitoplasma yang diikuti dengan kebocoran sel dan mengakibatkan keluarnya materi intraseluler yang merupakan unsur pokok penyusun sel (Kim et al., 1995). Komponen utama penyusun minyak atsiri adalah golongan terpenoid. Mekanisme terpenoid sebagai antibakteri adalah bereaksi dengan protein porin (protein transmembran) dengan membentuk ikatan polimer yang kuat dan mengakibatkan rusaknya protein porin. Protein porin berperan dalam transportasi nutrisi seperti gula dan asam amino dari membran luar ke membran dalam sel bakteri, sehingga rusaknya protein porin akan mengurangi permeabilitas dinding sel bakteri yang mengakibatkan sel bakteri kekurangan nutrisi dan berakibat pada penghambatan pertumbuhan bakteri atau kematian commit to user perpustakaan.uns.ac.id 34 digilib.uns.ac.id sel bakteri (Cowan, 1999). S. epidermidis yang tergolong bakteri gram positif tidak memiliki lapisan lipopolisakarida yang melindungi membran selnya yang menyebabkan minyak atsiri akan lebih mudah merusak protein porin dan menyebabkan sel lisis (More, 2007). Knolboch et al., (1986), mengungkapkan bahwa aktivitas antibakteri dari senyawa terpenoid berturut-turut adalah fenol, aldehid dan hidroksil. Senyawa fenol masuk ke dalam sel bakteri melewati dinding sel dan membran sitoplasma. Di dalam sel bakteri, senyawa fenol akan menyebabkan penggumpalan (koagulasi) protein penyusun protoplasma yang akan menyebabkan metabolisme menjadi inaktif dan menghambat pertumbuhan bakteri (Dwidjoseputro, 1994). Pada kadar rendah, terbentuk kompleks protein fenol dengan ikatan yang lemah dan segera terurai. Proses ini diikuti dengan penetrasi fenol ke dalam sel dan menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein. Pada kadar tinggi, fenol dapat menyebabkan koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis (Juliantina et al., 2008). Corn and Stumpf (1976) dalam Pudjiarti (2000), menyatakan bahwa fenol merupakan suatu alkohol yang bersifat asam lemah. Kondisi yang asam pada senyawa tersebut menyebabkan fenol dapat bekerja menghambat pertumbuhan bakteri. Sebagai asam lemah, senyawa fenolik dapat terionisasi melepaskan ion H+ dan meninggalkan gugus sisanya yang bermuatan negatif. Kondisi yang bermuatan negatif ini akan ditolak oleh dinding sel bakteri S. epidermidis yang secara alami juga bermuatan negatif. Ion H+ akan menyerang molekul fosfolipid pada dinding sel bakteri yang menyebabkan kebocoran pada sitoplasma akibat sitoplasma tidak dapat mempertahankan commit to user perpustakaan.uns.ac.id 35 digilib.uns.ac.id bentuk aslinya sehingga, pertumbuhan bakteri akan terhambat dan akhirnya mati. Gugus hidroksil dapat menghambat pertumbuhan bakteri melalui pembentukan ikatan hidrogen dengan sisi aktif enzim yang menyebabkan enzim menjadi tidak aktif (deaktivasi enzim) (Corner, 1995). Siswandono (1995) juga mengungkapkan bahwa minyak atsiri jahe mempunyai zat aktif utama yang memiliki aktivitas antibakteri yaitu linalool, geraniol dan sitral. Linalool merupakan golongan alkohol tersier yang menghambat pertumbuhan mikroba adalah dengan cara mendenaturasi protein. Sedangkan geraniol merupakan golongan alkohol primer dan sitral merupakan golongan aldehid yang menghambat pertumbuhan mikroba dengan cara menginaktivasi beberapa enzim melalui alkilasi gugus nukleofil dan denaturasi protein. Menurut Robinson (1995), terjadinya denaturasi protein menyebabkan sel bakteri tidak dapat melakukan fungsi normalnya sehingga secara tidak langsung akan menghambat pertumbuhan bakteri dan bahkan dapat mematikan sel bakteri. Jika dibandingkan dengan ekstrak tanaman lain, hasil penelitian Hamdiyati et al. (2008) menyebutkan bahwa ekstrak etanol daun patikan kebo mempunyai aktivitas antibakteri lemah terhadap S. epidermidis dengan diameter zona hambat 18,4 mm untuk konsentrasi 300 mg/ml. Berdasarkan penelitian Ouibrahim et al. (2013), minyak atsiri rosemary dinyatakan tidak efektif (resisten) terhadap bakteri S. epidermidis karena mempunyai daya hambat kecil yaitu 12,9 mm pada konsentrasi 100%. Rahminiwati et al. (2010) menyebutkan bahwa dalam penelitiannya, minyak atsiri jahe gajah commit to user 36 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id mempunyai kemampuan menghambat bakteri gram negatif yaitu M. gallisepticum dengan aktivitas sedang yang ditunjukkan melalui daya hambat yang terbentuk yaitu 27,75 mm pada konsentrasi 50%. Berdasarkan hal tersebut, minyak atsiri jahe gajah dapat dikatakan mempunyai aktivitas antibakteri yang kuat terhadap S. epidermidis. D. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) Aktivitas penghambatan bakteri oleh minyak atsiri jahe gajah diujikan lebih lanjut untuk menentukan nilai MIC terhadap S. epidermidis. Pengujian MIC dilakukan untuk membuktikan bahwa minyak atsiri jahe mempunyai kemampuan bakteriostatik seperti yang terlihat pada hasil pengujian difusi cakram. Dalam penelitian ini, MIC dinyatakan sebagai konsentrasi terendah bahan antibakteri yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan ditandai dengan tidak adanya kekeruhan pada tabung setelah diinkubasi selama 24 jam (Cosentino et al., 1999). Untuk mengetahui nilai kekeruhan dari masingmasing konsentrasi minyak atsiri jahe gajah, dilakukan pengukuran menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 570 nm sebelum dan sesudah diinkubasi. Nilai MIC ditentukan dengan metode dilusi cair. Metode dilusi cair didasarkan pada prinsip pengenceran (Jawetz et al., 2005) yang dilakukan hingga diperoleh seri pengenceran dan pada masing-masing larutan uji ditambah suspensi bakteri (Sylvia, 2008). Hal ini memungkinkan terjadinya interaksi yang homogen antara larutan uji dengan suspensi bakteri sehingga commit to user perpustakaan.uns.ac.id 37 digilib.uns.ac.id penghambatan terhadap bakteri bisa lebih sensitif. Selain itu, penggunaan media dan bahan uji pada metode ini lebih hemat dan tidak terpengaruh oleh tebal-tipisnya media. Pengujian dengan metode ini juga memberikan keuntungan dengan memberikan hasil kuantitatif yang menunjukkan jumlah bahan antibakteri yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Nilai MIC berlawanan dengan sensitivitas mikroba yang diuji. Semakin rendah nilai MIC suatu bahan antibakteri, maka sensitivitas dari bakteri tersebut akan semakin besar (Jawetz, 1996). Hasil uji MIC menunjukkan bahwa minyak atsiri jahe gajah memiliki aktivitas bakteriostatik yang ditandai dengan penurunan OD setelah masa inkubasi 24 jam (Tabel 2). Konsentrasi terendah suatu bahan antibakteri yang menunjukkan selisih nilai OD sebelum dan sesudah diinkubasi (ΔOD) negatif dapat dinyatakan sebagai nilai MIC (Sutikno, 2011). Nilai ΔOD negatif menunjukkan bahwa terdapat penurunan jumlah sel bakteri yang merupakan bentuk penghambatan pertumbuhan bakteri oleh minyak atsiri jahe gajah, sedangkan nilai ΔOD positif menunjukkan bahwa suatu bahan antibakteri memiliki aktivitas penghambatan yang kecil pada konsentrasi tersebut karena masih terdapat peningkatan jumlah sel bakteri dengan nilai OD yang terus meningkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin kecil konsentrasi bahan antibakteri yang diujikan, maka semakin rendah kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Aktivitas penghambatan bakteri juga harus dibandingkan dengan hasil pengamatan kekeruhan secara visual (Lampiran 4). Jika media uji tidak commit to user 38 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id menunjukkan adanya kekeruhan setelah inkubasi, maka minyak atsiri jahe gajah dapat dikatakan bersifat bakteriostatik. Tabung dengan konsentrasi minyak atsiri jahe gajah 0,46%, 0,23%, 0,12%, 0,06% dan 0,03% menunjukkan adanya gejala kekeruhan setelah inkubasi. Namun demikian, pemberian minyak atsiri jahe gajah pada konsentrasi 0,46%, 0,23%, 0,12% dan 0,06% masih menunjukkan adanya aktivitas penghambatan yang diketahui dari nilai OD yang masih berada di bawah kontrol bakteri, sedangkan pada konsentrasi 0,03% nilai OD yang diperoleh sudah berada di atas kontrol bakteri. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian minyak atsiri pada kadar terendah dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri dalam media. Darkuni (1997) mengungkapkan bahwa kemampuan daya hambat suatu bahan antimikroba tergantung pada konsentrasi bahan antimikroba tersebut. Hal inilah yang menyebabkan adanya bakteri yang tetap aktif secara metabolik dalam lingkungan yang mengandung bahan antimikroba. Aktivitas bakteriostatik teramati pada tabung dengan konsentrasi minyak atsiri jahe gajah 3,7%, 1,85% dan 0,92%. commit to user 39 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tabel 2. Penurunan nilai absorbansi media dengan pemberian minyak atsiri jahe gajah pada kultur S. epidermidis ΔOD Visualisasi Keterangan Media NB steril -0,0002 Jernih - Suspensi S. epidermidis 1,3078 Keruh - 0,3514 Agak keruh Penghambatan Perlakuan Kontrol negatif Kontrol positif Klindamisin 0,5% kecil Pemberian ekstrak (%) 3,7 -0,0933 Jernih Bakteriostatik* 1,85 -0,0562 Jernih Bakteriostatik* 0,92 -0,0125 Jernih Bakteriostatik* 0,46 0,0451 Agak keruh Penghambatan kecil 0,23 0,1544 Agak keruh Penghambatan kecil 0,12 0,8033 Agak keruh Penghambatan kecil 0,06 1,0709 Agak keruh Penghambatan kecil 0,03 2,2226 Sangat keruh Tidak menghambat * ΔOD negatif menunjukkan aktivitas bakteriostatik suatu bahan antibakteri Berdasarkan tabel tersebut, minyak atsiri jahe gajah dengan konsentrasi 0,92% dapat dijadikan nilai MIC yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri S. epidermidis. Minyak atsiri jahe gajah pada konsentrasi 0,92% juga commit to bakteri user S. epidermidis yang lebih kuat mempunyai kemampuan penghambatan 40 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id jika dibandingkan dengan klindamisin 0,5% yang biasa dikonsumsi untuk menekan pertumbuhan bakteri penyebab jerawat. Jika dibandingkan dengan ekstrak tanaman lain, minyak atsiri daun kemangi mempunyai nilai MIC sebesar 1% terhadap bakteri S. epidermidis (Ouibrahim et al., 2013). Minyak atsiri jahe gajah organik juga mempunyai aktivitas bakteriostatik terhadap bakteri gram negatif yaitu Shigella flexneri dengan nilai MIC sebesar 0,002% (Barman and Dhruva, 2013). Hal tersebut menunjukkan bahwa minyak atsiri jahe gajah dapat dikatakan mempunyai aktivitas bakteriostatik kuat terhadap S. epidermidis dengan nilai MIC sebesar 0,92%. Berdasarkan nilai MIC yang diperoleh, minyak atsiri jahe gajah berpotensi untuk dikembangkan sebagai obat jerawat alternatif. Sifat bakteriostatik yang dimiliki oleh minyak atsiri jahe gajah juga harus dipertimbangkan karena dapat menyebabkan resistensi jika digunakan secara berlebihan. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui senyawa aktif yang terkandung dalam rimpang jahe gajah yang mempunyai aktivitas bakteriostatik dan bakteriosidal. commit to user