Zingiber offic

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Minyak Atsiri Jahe Gajah (Zingiber officinale var. Roscoe)
Minyak atsiri jahe gajah diperoleh melalui destilasi Stahl yang
merupakan salah satu metode destilasi yang paling sering digunakan untuk
mendapatkan minyak atsiri dari bahan tanaman. Minyak atsiri yang dihasilkan
dari proses ini tidak mudah menguap karena tidak berhubungan langsung
dengan udara luar. Volume minyak atsiri yang dihasilkan dapat langsung
diketahui karena alat penampung destilat dilengkapi dengan skala. Pada
prinsipnya, destilasi Stahl akan memisahkan campuran senyawa berdasarkan
perbedaan titik didih. Suhu tinggi dan pergerakan air yang disebabkan oleh
kenaikan suhu dalam labu alas bulat akan mempercepat proses difusi minyak
atsiri.
Minyak atsiri jahe berwarna kuning kecoklatan (Gambar 4). Komponen
penyusun utamanya adalah golongan terpenoid yang memberikan aroma
spesifik pada jahe (Kusumaningati, 2009). Nursal (2006), mengungkapkan
bahwa senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam jahe seperti
minyak atsiri diduga merupakan golongan senyawa bioaktif yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri.
Destilasi dari 450 gram potongan rimpang jahe gajah yang diproses
selama ± 6 jam berupa minyak atsiri sebanyak 2,6 mL. Berdasarkan data
tersebut, rendemen minyak atsiri yang dihasilkan sebesar 0,58% (vol/berat
basah).
commit to user
26
perpustakaan.uns.ac.id
27
digilib.uns.ac.id
Gambar 4. Minyak atsiri jahe gajah (Zingiber officinale var. Roscoe)
B. Kurva Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus epidermidis
Pertumbuhan bakteri diamati dengan mengukur OD (optical density)
bakteri dalam media pertumbuhan tiap 2 jam sekali sampai nilai OD konstan
(fase stasioner). Nilai OD ini sebanding dengan massa sel yang terdapat dalam
media. Jika massa sel bakteri dalam media semakin banyak, maka nilai ODnya juga semakin besar. Nilai OD yang diperoleh selanjutnya dimasukkan ke
dalam persamaan regresi yang didapatkan pada kurva standar (Lampiran 1;
Lampiran 2) untuk mengetahui jumlah sel bakteri pada kurva pertumbuhan.
Kurva pertumbuhan menggambarkan fase pertumbuhan S. epidermidis yang
meliputi fase adaptasi, fase logaritmik, fase stasioner dan fase kematian
(Gambar 5).
commit
to user
Gambar 5. Kurva Pertumbuhan
Bakteri
Staphylococcus epidermidis
28
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan kurva tersebut, fase adaptasi terjadi pada waktu inkubasi
0-8 jam yang ditandai dengan pertumbuhan sel S. epidermidis yang lamban
karena masih beradaptasi dengan media pertumbuhannya. Mulai jam ke-8,
bakteri mengalami fase logaritmik yang dapat diketahui dari peningkatan
jumlah sel S. epidermidis secara pesat dan terus berlanjut hingga jam ke-14
yang ditandai dengan naiknya grafik kurva pertumbuhan karena bakteri
mengalami pembelahan secara terus-menerus. Peningkatan jumlah sel bakteri
dipengaruhi beberapa faktor seperti: air, suplai nutrisi, suhu/temperatur,
kelembaban, pH, ketersediaan oksigen, tekanan osmosis, faktor kimia seperti
logam berat, senyawa klor, fenol, sulfonamida, alkohol, detergen, aldehid, zat
pewarna, dan yodium serta pengaruh mikroorganisme di sekitarnya (Suharni,
2008). Fase stasioner mulai terjadi pada jam ke-16. Pada fase ini, penambahan
jumlah sel sebanding dengan kematian sel dan kemungkinan disebabkan oleh
berkurangnya persediaan nutrien dalam media, produksi sel serta penumpukan
produk samping yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, sehingga
gambaran grafik pada fase ini akan mendatar dan cenderung mulai menurun.
Kepadatan bakteri yang dapat menimbulkan jerawat berkisar antara
106-108 sel bakteri/mL. Berdasarkan kurva pertumbuhan tersebut, bakteri yang
digunakan untuk uji aktivitas antibakteri dipanen pada jam inkubasi ke-14
dengan OD 1,9 serta kepadatan bakteri sekitar 106 cfu/ml (Lampiran 3). Hal
ini dikarenakan pada waktu tersebut, bakteri memasuki fase logaritmik yang
merupakan fase pertumbuhan cepat bakteri.
commit to user
29
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Uji Penghambatan Bakteri dengan Metode Difusi Cakram
Aktivitas antibakteri dengan metode difusi cakram diketahui dengan
melihat ada tidaknya zona hambat atau daerah hambatan yang terbentuk di
sekeliling kertas cakram. Semakin besar diameter zona hambat yang
terbentuk, maka aktivitas antibakterinya juga semakin besar. Penghambatan
pertumbuhan bakteri oleh minyak atsiri jahe gajah dengan konsentrasi 100%
dan klindamisin 0,5% sebagai kontrol positif, terlihat sebagai wilayah jernih di
sekitar pertumbuhan bakteri (Gambar 6). Untuk CMC 0,1%; DMSO dan
media NB steril yang diteteskan pada kertas cakram sebagai kontrol negatif
tidak menunjukkan adanya aktivitas penghambatan bakteri.
a
b
d
c
e
Gambar 6. Zona penghambatan minyak atsiri jahe gajah konsentrasi 100% (a),
klindamisin 0,5% (b), CMC 0,1% (c), DMSO (d), dan media NB yang
diteteskan pada kertascommit
cakramtosteril
user (e)
perpustakaan.uns.ac.id
30
digilib.uns.ac.id
Minyak atsiri jahe gajah dapat dikatakan hanya bersifat bakteriostatik
karena terbentuk zona hambatan irradikal yang berarti terdapat penghambatan
pertumbuhan bakteri namun tidak membunuh bakteri secara keseluruhan.
Pertumbuhan dan perbanyakan bakteri akan kembali meningkat jika
pemberian senyawa dihentikan atau habis. Hal ini dapat dilihat pada daerah di
sekitar zona hambat dengan masih terdapatnya pertumbuhan bakteri yang
terpulas tipis jika dibandingkan dengan daerah yang tidak dipengaruhi oleh
bahan antibakteri (Berghe, 1991). Menurut Bower (1992), pembentukan zona
bening merupakan salah satu indikator untuk menentukan adanya aktivitas
proteolitik dari suatu organisme bakteri.
Menurut Piddock (1990), aktivitas antibakteri digolongkan menjadi 4
yaitu aktivitas kuat jika diameter penghambatan lebih dari 30 mm, aktivitas
sedang jika diameter penghambatan 20-30 mm, aktivitas lemah jika diameter
penghambatan 15-20 mm serta tidak efektif (resisten) jika diameter
penghambatan kurang dari 15 mm. Berdasarkan diameter zona hambat yang
terbentuk, minyak atsiri jahe gajah mempunyai aktivitas antibakteri yang kuat
terhadap S. epidermidis. Hal ini didasarkan pada besarnya diameter zona
hambat yaitu 42 mm (Tabel 1).
Klindamisin 0,5% sebagai kontrol positif mempunyai aktivitas
antibakteri sedang dengan diameter zona hambat 25 mm (Tabel 1).
Klindamisin merupakan antibiotik yang sering dikonsumsi oleh penderita
jerawat ringan sampai berat. Mekanisme penghambatan bakteri dengan
antibiotik ini adalah melalui pembentukan ikatan reversible dengan subunit
commit to user
31
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ribosom 50S, menghambat pemanjangan peptida serta menginaktivasi enzim
peptidil transferase dengan mengganggu pembentukan kompleks asam aminoasil-tRNA yang akan menghambat sintesis protein bakteri (Ganiswara, 1995).
Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa minyak atsiri jahe gajah
mempunyai kemampuan penghambatan bakteri yang lebih kuat dibandingkan
antibiotik klindamisin 0,5%.
Tabel 1. Diameter Zona Hambat Bahan Antibakteri terhadap S. epidermidis
Perlakuan
Diameter Zona Hambat (mm)
Media NB steril
0
CMC 0,1%
0
DMSO
0
Minyak Atsiri 100%
42
Klindamisin 0,5%
25
Untuk kontrol negatif digunakan CMC 0,1% sebagai pelarut antibiotik,
DMSO sebagai pelarut minyak atsiri serta media NB steril yang diteteskan
pada kertas cakram dan semuanya tidak memberikan aktivitas penghambatan
terhadap bakteri dengan diameter zona hambat sebesar 0 mm. Hal ini
menunjukkan bahwa ketiga kontrol negatif tersebut tidak berpengaruh
terhadap aktivitas penghambatan bakteri yang dilakukan oleh minyak atsiri
maupun klindamisin sebagai bahan antibakteri. CMC merupakan turunan
selulosa yang mempunyai gugus hidroksil. Gugus ini akan saling berikatan
membentuk ikatan hidrogen antar dan intramolekul yang akan menjadi lapisan
commit to user
32
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tipis dengan serat-serat yang saling menguatkan (Yudi, 2006). Sedangkan
DMSO sendiri merupakan senyawa organosulfur yang tidak berwarna dan
dapat melarutkan baik senyawa polar maupun non polar serta larut dalam air
dan berbagai pelarut organik (BPOM RI, 2010).
Madigan et al. (1997) menyebutkan bahwa senyawa antibakteri yang
berdifusi ke dalam medium agar melalui kertas cakram dapat menghambat
pembentukan dinding sel yang menyebabkan sel hanya dibatasi oleh membran
yang tipis dan dapat lisis. Penghambatan juga dapat terjadi pada proses
sintesis protein. Sintesis protein merupakan proses pembentukan rantai
polipeptida oleh asam amino melalui ikatan peptida (Prindle, 1993). Proses ini
terdiri atas beberapa tahap yaitu inisiasi, penggabungan komplek protein asam
amino,
pembentukan
ikatan
peptida,
translokasi
serta
terminasi.
Penghambatan sintesis protein diawali dengan reaksi antara komponen
bioaktif pada suatu bahan antibakteri dengan subunit ribosom 50S pada tahap
inisiasi (tahap awal sintesis protein) yang menyebabkan kesalahan dalam
penerjemahan kodon. Hal ini mengakibatkan sintesis protein dilanjutkan oleh
pasangan kodon dan anti kodon yang tidak tepat yang menyebabkan gangguan
pada pembentukan molekul protein (Nychas, 1995; Davidson and Branen,
1993). Penghambatan juga terjadi pada enzim yang bekerja dalam sel.
Penghambatan ini umumnya bersifat irreversible yaitu terjadi perubahan yang
menyebabkan enzim menjadi tidak aktif. Dengan terhambat atau terhentinya
aktivitas enzim, mekanisme kerja enzim dapat terganggu dan mempengaruhi
pertumbuhan sel bakteri (Siswandono, 1995).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
33
digilib.uns.ac.id
Pada dasarnya, minyak atsiri mempunyai kelarutan yang rendah di
dalam air. Hal ini menyebabkan minyak atsiri tidak mampu mencapai
tingkatan yang cukup untuk bersifat toksik pada membran sel meskipun
afinitasnya cukup tinggi. Meskipun demikian, Kubo et al. (2003)
mengungkapkan bahwa molekul hidrofobik penyusun minyak atsiri dapat
mengubah permeabilitas membran dan menyebabkan kerusakan pada
membran yang berakibat pada kematian sel. Molekul minyak atsiri juga dapat
mengganggu kerja enzim yang terikat pada membran sel. Komponen
terpenoid dalam minyak atsiri dilaporkan dapat merusak sitoplasma dan
mempengaruhi integritasnya. Reaksi antara komponen membran fosfolipid
dengan minyak atsiri mengakibatkan perubahan komposisi asam lemak dan
fosfolipid membran yang diikuti dengan pembengkakan sel. Pembengkakan
ini akan menyebabkan kerusakan pada membran sitoplasma yang diikuti
dengan kebocoran sel dan mengakibatkan keluarnya materi intraseluler yang
merupakan unsur pokok penyusun sel (Kim et al., 1995).
Komponen utama penyusun minyak atsiri adalah golongan terpenoid.
Mekanisme terpenoid sebagai antibakteri adalah bereaksi dengan protein porin
(protein transmembran) dengan membentuk ikatan polimer yang kuat dan
mengakibatkan rusaknya protein porin. Protein porin berperan dalam
transportasi nutrisi seperti gula dan asam amino dari membran luar ke
membran dalam sel bakteri, sehingga rusaknya protein porin akan mengurangi
permeabilitas dinding sel bakteri yang mengakibatkan sel bakteri kekurangan
nutrisi dan berakibat pada penghambatan pertumbuhan bakteri atau kematian
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
34
digilib.uns.ac.id
sel bakteri (Cowan, 1999). S. epidermidis yang tergolong bakteri gram positif
tidak memiliki lapisan lipopolisakarida yang melindungi membran selnya
yang menyebabkan minyak atsiri akan lebih mudah merusak protein porin dan
menyebabkan sel lisis (More, 2007). Knolboch et al., (1986), mengungkapkan
bahwa aktivitas antibakteri dari senyawa terpenoid berturut-turut adalah fenol,
aldehid dan hidroksil. Senyawa fenol masuk ke dalam sel bakteri melewati
dinding sel dan membran sitoplasma. Di dalam sel bakteri, senyawa fenol
akan menyebabkan penggumpalan (koagulasi) protein penyusun protoplasma
yang akan menyebabkan metabolisme menjadi inaktif dan menghambat
pertumbuhan bakteri (Dwidjoseputro, 1994). Pada kadar rendah, terbentuk
kompleks protein fenol dengan ikatan yang lemah dan segera terurai. Proses
ini diikuti dengan penetrasi fenol ke dalam sel dan menyebabkan presipitasi
serta denaturasi protein. Pada kadar tinggi, fenol dapat menyebabkan
koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis (Juliantina et al., 2008).
Corn and Stumpf (1976) dalam Pudjiarti (2000), menyatakan bahwa fenol
merupakan suatu alkohol yang bersifat asam lemah. Kondisi yang asam pada
senyawa tersebut menyebabkan fenol dapat bekerja menghambat pertumbuhan
bakteri. Sebagai asam lemah, senyawa fenolik dapat terionisasi melepaskan
ion H+ dan meninggalkan gugus sisanya yang bermuatan negatif. Kondisi
yang bermuatan negatif ini akan ditolak oleh dinding sel bakteri S.
epidermidis yang secara alami juga bermuatan negatif. Ion H+ akan
menyerang molekul fosfolipid pada dinding sel bakteri yang menyebabkan
kebocoran pada sitoplasma akibat sitoplasma tidak dapat mempertahankan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
35
digilib.uns.ac.id
bentuk aslinya sehingga, pertumbuhan bakteri akan terhambat dan akhirnya
mati. Gugus hidroksil dapat menghambat pertumbuhan bakteri melalui
pembentukan ikatan hidrogen dengan sisi aktif enzim yang menyebabkan
enzim menjadi tidak aktif (deaktivasi enzim) (Corner, 1995).
Siswandono (1995) juga mengungkapkan bahwa minyak atsiri jahe
mempunyai zat aktif utama yang memiliki aktivitas antibakteri yaitu linalool,
geraniol dan sitral. Linalool merupakan golongan alkohol tersier yang
menghambat pertumbuhan mikroba adalah dengan cara mendenaturasi
protein. Sedangkan geraniol merupakan golongan alkohol primer dan sitral
merupakan golongan aldehid yang menghambat pertumbuhan mikroba dengan
cara menginaktivasi beberapa enzim melalui alkilasi gugus nukleofil dan
denaturasi protein. Menurut Robinson (1995), terjadinya denaturasi protein
menyebabkan sel bakteri tidak dapat melakukan fungsi normalnya sehingga
secara tidak langsung akan menghambat pertumbuhan bakteri dan bahkan
dapat mematikan sel bakteri.
Jika dibandingkan dengan ekstrak tanaman lain, hasil penelitian
Hamdiyati et al. (2008) menyebutkan bahwa ekstrak etanol daun patikan kebo
mempunyai aktivitas antibakteri lemah terhadap S. epidermidis dengan
diameter zona hambat 18,4 mm untuk konsentrasi 300 mg/ml. Berdasarkan
penelitian Ouibrahim et al. (2013), minyak atsiri rosemary dinyatakan tidak
efektif (resisten) terhadap bakteri S. epidermidis karena mempunyai daya
hambat kecil yaitu 12,9 mm pada konsentrasi 100%. Rahminiwati et al. (2010)
menyebutkan bahwa dalam penelitiannya, minyak atsiri jahe gajah
commit to user
36
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mempunyai kemampuan menghambat bakteri gram negatif yaitu M.
gallisepticum dengan aktivitas sedang yang ditunjukkan melalui daya hambat
yang terbentuk yaitu 27,75 mm pada konsentrasi 50%. Berdasarkan hal
tersebut, minyak atsiri jahe gajah dapat dikatakan mempunyai aktivitas
antibakteri yang kuat terhadap S. epidermidis.
D. Minimum Inhibitory Concentration (MIC)
Aktivitas penghambatan bakteri oleh minyak atsiri jahe gajah diujikan
lebih lanjut untuk menentukan nilai MIC terhadap S. epidermidis. Pengujian
MIC dilakukan untuk membuktikan bahwa minyak atsiri jahe mempunyai
kemampuan bakteriostatik seperti yang terlihat pada hasil pengujian difusi
cakram. Dalam penelitian ini, MIC dinyatakan sebagai konsentrasi terendah
bahan antibakteri yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan ditandai
dengan tidak adanya kekeruhan pada tabung setelah diinkubasi selama 24 jam
(Cosentino et al., 1999). Untuk mengetahui nilai kekeruhan dari masingmasing konsentrasi minyak atsiri jahe gajah, dilakukan pengukuran
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 570 nm sebelum dan
sesudah diinkubasi.
Nilai MIC ditentukan dengan metode dilusi cair. Metode dilusi cair
didasarkan pada prinsip pengenceran (Jawetz et al., 2005) yang dilakukan
hingga diperoleh seri pengenceran dan pada masing-masing larutan uji
ditambah suspensi bakteri (Sylvia, 2008). Hal ini memungkinkan terjadinya
interaksi yang homogen antara larutan uji dengan suspensi bakteri sehingga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
37
digilib.uns.ac.id
penghambatan terhadap bakteri bisa lebih sensitif. Selain itu, penggunaan
media dan bahan uji pada metode ini lebih hemat dan tidak terpengaruh oleh
tebal-tipisnya media. Pengujian dengan metode ini juga memberikan
keuntungan dengan memberikan hasil kuantitatif yang menunjukkan jumlah
bahan antibakteri yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri.
Nilai MIC berlawanan dengan sensitivitas mikroba yang diuji. Semakin
rendah nilai MIC suatu bahan antibakteri, maka sensitivitas dari bakteri
tersebut akan semakin besar (Jawetz, 1996). Hasil uji MIC menunjukkan
bahwa minyak atsiri jahe gajah memiliki aktivitas bakteriostatik yang ditandai
dengan penurunan OD setelah masa inkubasi 24 jam (Tabel 2). Konsentrasi
terendah suatu bahan antibakteri yang menunjukkan selisih nilai OD sebelum
dan sesudah diinkubasi (ΔOD) negatif dapat dinyatakan sebagai nilai MIC
(Sutikno, 2011). Nilai ΔOD negatif menunjukkan bahwa terdapat penurunan
jumlah sel bakteri yang merupakan bentuk penghambatan pertumbuhan
bakteri oleh minyak atsiri jahe gajah, sedangkan nilai ΔOD positif
menunjukkan bahwa suatu bahan antibakteri memiliki aktivitas penghambatan
yang kecil pada konsentrasi tersebut karena masih terdapat peningkatan
jumlah sel bakteri dengan nilai OD yang terus meningkat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa semakin kecil konsentrasi bahan antibakteri yang
diujikan, maka semakin rendah kemampuannya dalam menghambat
pertumbuhan bakteri.
Aktivitas penghambatan bakteri juga harus dibandingkan dengan hasil
pengamatan kekeruhan secara visual (Lampiran 4). Jika media uji tidak
commit to user
38
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menunjukkan adanya kekeruhan setelah inkubasi, maka minyak atsiri jahe
gajah dapat dikatakan bersifat bakteriostatik. Tabung dengan konsentrasi
minyak atsiri jahe gajah 0,46%, 0,23%, 0,12%, 0,06% dan 0,03%
menunjukkan adanya gejala kekeruhan setelah inkubasi. Namun demikian,
pemberian minyak atsiri jahe gajah pada konsentrasi 0,46%, 0,23%, 0,12%
dan 0,06% masih menunjukkan adanya aktivitas penghambatan yang
diketahui dari nilai OD yang masih berada di bawah kontrol bakteri,
sedangkan pada konsentrasi 0,03% nilai OD yang diperoleh sudah berada di
atas kontrol bakteri. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian minyak atsiri
pada kadar terendah dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri dalam media.
Darkuni (1997) mengungkapkan bahwa kemampuan daya hambat suatu bahan
antimikroba tergantung pada konsentrasi bahan antimikroba tersebut. Hal
inilah yang menyebabkan adanya bakteri yang tetap aktif secara metabolik
dalam
lingkungan
yang
mengandung
bahan
antimikroba.
Aktivitas
bakteriostatik teramati pada tabung dengan konsentrasi minyak atsiri jahe
gajah 3,7%, 1,85% dan 0,92%.
commit to user
39
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 2. Penurunan nilai absorbansi media dengan pemberian minyak atsiri jahe
gajah pada kultur S. epidermidis
ΔOD
Visualisasi
Keterangan
Media NB steril
-0,0002
Jernih
-
Suspensi S. epidermidis
1,3078
Keruh
-
0,3514
Agak keruh
Penghambatan
Perlakuan
Kontrol negatif
Kontrol positif
Klindamisin 0,5%
kecil
Pemberian ekstrak (%)
3,7
-0,0933
Jernih
Bakteriostatik*
1,85
-0,0562
Jernih
Bakteriostatik*
0,92
-0,0125
Jernih
Bakteriostatik*
0,46
0,0451
Agak keruh
Penghambatan
kecil
0,23
0,1544
Agak keruh
Penghambatan
kecil
0,12
0,8033
Agak keruh
Penghambatan
kecil
0,06
1,0709
Agak keruh
Penghambatan
kecil
0,03
2,2226
Sangat keruh
Tidak
menghambat
*
ΔOD negatif menunjukkan aktivitas bakteriostatik suatu bahan antibakteri
Berdasarkan tabel tersebut, minyak atsiri jahe gajah dengan konsentrasi
0,92% dapat dijadikan nilai MIC yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri S. epidermidis. Minyak atsiri jahe gajah pada konsentrasi 0,92% juga
commit to bakteri
user S. epidermidis yang lebih kuat
mempunyai kemampuan penghambatan
40
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
jika dibandingkan dengan klindamisin 0,5% yang biasa dikonsumsi untuk
menekan pertumbuhan bakteri penyebab jerawat.
Jika dibandingkan dengan ekstrak tanaman lain, minyak atsiri daun
kemangi mempunyai nilai MIC sebesar 1% terhadap bakteri S. epidermidis
(Ouibrahim et al., 2013). Minyak atsiri jahe gajah organik juga mempunyai
aktivitas bakteriostatik terhadap bakteri gram negatif yaitu Shigella flexneri
dengan nilai MIC sebesar 0,002% (Barman and Dhruva, 2013). Hal tersebut
menunjukkan bahwa minyak atsiri jahe gajah dapat dikatakan mempunyai
aktivitas bakteriostatik kuat terhadap S. epidermidis dengan nilai MIC sebesar
0,92%.
Berdasarkan nilai MIC yang diperoleh, minyak atsiri jahe gajah
berpotensi untuk dikembangkan sebagai obat jerawat alternatif. Sifat
bakteriostatik yang dimiliki oleh minyak atsiri jahe gajah juga harus
dipertimbangkan karena dapat menyebabkan resistensi jika digunakan secara
berlebihan. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui senyawa
aktif yang terkandung dalam rimpang jahe gajah yang mempunyai aktivitas
bakteriostatik dan bakteriosidal.
commit to user
Download