BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pepaya Pepaya (Carica papaya L.) merupakan jenis buah tropis yang buahnya manis dan dagingnya berwarna kuning kemerahan. Buah pepaya mengandung banyak vitamin terutama vitamin A, vitamin B 9 , vitamin C, dan vitamin E. Selain vitamin, pepaya juga mengandung mineral seperti fosfor, magnesium, zat besi, dan kalsium. Tanaman pepaya merupakan herba menahun dan tingginya mencapai 8 meter. Batang tak berkayu, bulat, berongga, bergetah dan terdapat bekas pangkal daun. Dapat hidup pada ketinggian tempat 1-1.000 meter dari permukaan laut dan pada suhu 220C-260C. Pada umumnya semua bagian dari tanaman baik akar, batang, daun, biji dan buah dapat dimanfaatkan. Batang tanaman berbentuk bulat lurus, di bagian tengahnya berongga, dan tidak berkayu. Daun pepaya bertulang menjari dengan warna permukaan atas hijau-tua, sedangkan warna permukaan bagian bawah hijau-muda. Taksonomi tanaman pepaya adalah sebagai berikut: Kerajaan : Plantae Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Bangsa : Caricales Suku : Caricaceae Marga : Carica Jenis : Carica papaya L. Universitas Sumatera Utara Dari segi daging buahnya pepaya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu pepaya semangka dan pepaya burung. Varietas yang termasuk ke dalam jenis pepaya semangka antara lain pepaya jingo, semangka, Cibinong, Bangkok dan hortus gold sedangkan yang termasuk ke dalam jenis pepaya burung ini diantaranya pepaya ijo dan solo. Pepaya varietas Bangkok antara lain mempunyai bentuk buah bulat agak panjang, daging buah berwarna orange kemerah-merahan, dan citarasanya manis, buah matang panen pertama dapat dipetik pada umur 8-10 bulan, dan dapat berbuah selama 2-5 tahun secara rutin (Rukmana, 2008). 2.1.1. Kandungan Kimia Tanaman Pepaya (Carica papaya L.) Buah pepaya sangat populer karena banyak mengandung vitamin A dan vitamin C serta rasanya manis. Bagian dari buah pepaya yang dapat dimakan adalah sebesar 75% dari seluruh buah pepaya. Tanaman pepaya mengandung bahan kimia yang bermanfaat baik itu pada organ daun, buah, getah, maupun biji. Kandungan kimia dari tanaman pepaya (Carica papaya L) dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1. Kandungan Kimia Tanaman Papaya (Carica papaya L.) No 1. Organ Daun Kandungan Kimia Enzim papain, alkaloid karpaina, pseudo-karpaina, glikosid, karposid dan saponin, sakarosa, dekstrosa, dan levulosa. Alkaloid karpaina mempunyai efek seperti digitalis 2. Buah β-karotena, pektin, d-galaktosa, l-arabinosa, papain, papayotimin papain, serta fitokinase 3. Biji Glukosida kakirin dan karpain. Glukosida kakirin berkhasiat sebagai obat cacing, peluruh haid, serta peluruh kentut (karminatif) 4. Getah Papain, kemokapain, lisosim, lipase, glutamin, dan Siklotransferase Universitas Sumatera Utara Sumber : Boshra and Tajul, 2013. 2.1.2. Sifat Obat dan Farmakologi Tanaman Pepaya (Carica papaya L.) Berbagai tindakan farmakologis dan penggunaan obat berbagai bagian pepaya telah dilaporkan dengan ekstrak kasar dan fraksi yang berbeda dari ekstrak kasar berbagai bagian pepaya. Mereka telah digunakan sebagai obat tradisional untuk pengobatan berbagai penyakit. Berbagai pemanfaatan di bidang medis terhadap tanaman pepaya dapat dilihat pada tabel 2.2. Tabel 2.2. Fungsi Obat Tanaman Pepaya (Carica papaya L.) Bagian Getah Kegunaan Menyembuhkan diare , nyeri luka bakar dan penggunaan topikal , perdarahan wasir , obat perut , batuk rejan Buah Masak Pencahar , diuretik , buah kering mengurangi pembesaran limpa dan hati , menggunakan snakebit untuk membuang racun , aktivitas anti implantasi dan aktivitas antibakteri Biji Karminatif , pengobatan kurap dan pasoriasis , antikesuburan Jus Biji Perdarahan tumpukan dan pembesaran hati Akar Aborsi , diuretik , memeriksa perdarahan yang tidak teratur dari rahim , tumpukan , aktivitas antijamur Daun Daun muda sebagai sayuran , keluhan kemih & Gonore (infus), antibakteri Bunga Obat penurun panas Uap Kulit Penyakit kuning, aktivitas anti - hemolitik , aktivitas anti – jamur Sumber : Boshra and Tajul, 2013. Universitas Sumatera Utara 2.1.3. Pemanfaatan Biji dan Daun Pepaya (Carica papaya L.) Biji hitam pepaya dapat dimakan dan memiliki rasa pedas yang tajam. Biji pepaya tersebut dapat digiling dan dicampur dengan makanan khususnya makanan yang kaya protein. Hal tersebut adalah cara termudah untuk menambahkan enzim ekstra untuk diet serta kesehatan pencernaan. Biji pepaya memiliki nilai obat lebih kuat daripada dagingnya. Biji pepaya dapat melindungi ginjal dari racun yang disebabkan gagal ginjal. Obat untuk tifus dan anti – cacing serta anti – amuba (Peter, et al, 2014). Secara tradisional, biji pepaya dapat dimanfaatkan sebagai obat cacing gelang, gangguan pencernaan, diare dan penyakit kulit. Kandungan biji dalam buah pepaya kira-kira 14, 3 % dari keseluruhan buah pepaya. Kandungannya berupa asam lemak tak jenuh yang tinggi, yaitu asam oleat dan palmitat. Selain mengandung asam-asam lemak, biji pepaya diketahui mengandung senyawa kimia lain seperti golongan fenol, alkaloid, terpenoid, dan saponin. Telah diteliti oleh Dian Rina Puspitaningtyas (2012) mengenai uji aktivitas antibakteri ektrak etanol biji buah pepaya (Carica papaya L.) terhadap bakteri pada plak gigi secara in vitro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak biji buah pepaya yang dihasilkan mempunyai daya hambat terhadap bakteri penyebab plak gigi yaitu Staphylococcus sp., Streptococcus sp., dan Bacillus sp. (Puspitaningtyas, 2012). Daun pepaya efektif dalam membunuh larva nyamuk Aedes aegypti. Walaupun dalam dosis yang rendah, enzim papain dalam daun pepaya yang masuk ke dalam tubuh larva nyamuk akan menimbulkan reaksi kimia dalam proses metabolisme tubuh yang dapat menyebabkan terhambatnya hormon pertumbuhan. Bahkan akibat dari ketidakmampuan larva untuk tumbuh akibatnya dapat menyebabkan kematian pada larva. Universitas Sumatera Utara Daun pepaya dilaporkan memiliki aktivitas anti-tumor dengan menginduksi apoptosis pada sel tumor, serta aktivitas anti bakteri dan antioksidan. Daun pepaya juga dapat dipergunakan untuk mengobati penyakit malaria, penambah nafsu makan, jerawat, menambah air susu, dan untuk mengobati sakit gigi ( A’yun dan Laily, 2015). 2.2. Metabolit Sekunder Tumbuhan secara alamiah menghasilkan baragam jenis senyawa. Senyawa-senyawa tersebut dapat dibagi menjadi tiga, yaitu metabolit primer, polimer dan matabolit sekunder. Metabolit primer adalah senyawa-senyawa yang terdapat pada semua sel dan memegang peranan sentral dalam metabolisme dan reproduksi sel-sel tersebut. Contoh metabolit primer antara lain karbohidrat, asam nukleat, asam amino, dan gula. Metabolit sekunder adalah senyawa yang secara khusus terdapat pada jenis atau spesies tertentu saja. Metabolit sekunder merupakan hasil metabolisme yang dikeluarkan tanaman (Hanson, 2011). Senyawa metabolit sekunder banyak sekali jumlahnya. Untuk memudahkan, perlu dibuat klasifikasi. Berdasarkan sifat strukturnya, Hanson (2011) membagi metabolit sekunder ke dalam 6 golongan, yaitu : 1) Poliketida dan asam lemak, 2) Terpenoid dan steroid, 3) Fenilpropanoid, 4) Alkaloid, 5) Asam amino khusus dan peptida, dan 6) Karbohidrat khusus. Senyawa kimia sebagai hasil metabolit sekunder telah banyak digunakan sebagai zat warna, racun, aroma makanan, obat-obatan dan sebagainya. Senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang umumnya mempunyai Universitas Sumatera Utara kemampuan bioaktifitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan tersebut dari gangguan hama penyakit untuk tumbuhan itu sendiri atau lingkungannya (Lenny, 2006). 2.2.1. Flavonoid Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, dan biru, dan sebagian zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan. Flavonoid berperan sebagai antioksidan dengan cara mendonasikan atom hidrogennya. Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin benzene (C6) terikat pada suatu rantai propan (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6 yang dapat dilihat pada gambar 2.1. Gambar 2.1 Kerangka C6-C3-C6 Flavonoid Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa phenolik. Flavonoid merupakan senyawa polar karena memiliki sejumlah gugus hidroksil yang tidak tersubstitusi. Pelarut polar seperti etanol, metanol, etilasetat, atau campuran dari pelarut tersebut dapat digunakan untuk mengekstrak flavonoid dari jaringan tumbuhan. Flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan hijau, seperti pada: akar, daun, kulit kayu, benang sari, bunga, buah dan biji buah (Nugrahaningtyas dkk, 2005). Universitas Sumatera Utara 2.2.2. Alkaloid Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan di alam. Hampir seluruh alkaloid berasal dari tumbuh-tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan tingkat tinggi. Senyawa ini terdiri atas karbon, hidrogen, dan nitrogen, sebagian besar diantaranya mengandung oksigen. Sesuai dengan namanya yang mirip dengan alkali (bersifat basa) dikarenakan adanya sepasang elektron bebas yang dimiliki oleh nitrogen sehingga dapat mendonorkan sepasang elektronnya. Hampir semua alkaloida yang ditemukan di alam mempunyai keaktifan biologis tertentu, ada yang sangat beracun tetapi ada pula yang sangat berguna dalam pengobatan. Alkaloida dapat ditemukan dalam berbagai bagian tumbuhan seperti biji, daun, ranting dan kulit batang. Beberapa pendapat mengenai kemungkinan perannya dalam tumbuhan sebagai berikut : 1. Alkaloid berfungsi sebagai hasil buangan nitrogen seperti urea. 2. Beberapa alkaloid mungkin bertindak sebagai tandon penyimpanan nitrogen meskipun banyak alkaloid ditimbun dan tidak mengalami metabolisme lebih lanjut meskipun sangat kekurangan nitrogen. 3. Pada beberapa kasus, alkaloid dapat melindungi tumbuhan dari serangan parasit atau pemangsa tumbuhan. 4. Alkaloid dapat berlaku sebagai pengatur tumbuh, karena dari segi struktur, beberapa alkaloid menyerupai pengatur tumbuh. Beberapa alkaloid merangsang perkecambahan yang lainnya menghambat (Widodo, 2007). Universitas Sumatera Utara 2.2.3. Terpenoid Terpenoid merupakan derivat dehidrogenasi dan oksigenasi dari senyawa terpen. Terpen merupakan satu senyawa hidrokarbon yang banyak dihasilkan oleh tumbuhan dan juga sebagian kelompok hewan. Semua senyawa terpenoid berasal dari molekul isoprene CH2==C(CH3)-CH==CH2 dan kerangka karbonnya dibangun oleh penyambungan dua atau lebih satuan C5 ini. Terpenoid merupakan komponen-komponen tumbuhan yang mempunyai bau dan dapat diisolasi dari bahan nabati dengan penyulingan sebagai minyak atsiri (Lenny, 2006). Secara umum, sifat fisika dari terpenoid yaitu dalam keadaan segar merupakan cairan tidak berwarna, tetapi jika teroksidasi warna akan berubah menjadi gelap, mempunyai bau yang khas, indeks bias tinggi, kebanyakan optik aktif, kerapatan lebih kecil dari air, serta larut dalam pelarut organik yaitu eter dan alcohol. Sedangkan sifat kimia terpenoid yaitu senyawa tidak jenuh (rantai terbuka ataupun siklik) dan isoprenoid kebanyakan bentuknya khiral dan terjadi dalam dua bentuk enantiomer. Berdasarkan mekanisme biosintesa senyawa terpenoid, maka senyawa tersebut dapat dikelompokkan seperti table 2.3 berikut : Tabel 2.3 Pengelompokan Senyawa Terpenoid Jenis Senyawa Jumlah Atom Karbon Sumber Monoterpenoid 10 Minyak Atsiri Seskuiterpenoid 15 Minyak Atsiri Diterpenoid 20 Resin Pinus Triterpenoid 30 Damar Tetraterpenoid 40 Zat Warna Karoten Politerpenoid ≥40 Karet Alam Sumber : Lenny, 2006 Universitas Sumatera Utara 2.3. Bakteri Bakteri adalah mikroorganisme yang bersel satu, berkembang biak dengan cara membelah diri, serta demikian kecilnya sehingga hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Bakteri pada umumnya mempunyai ukuran sel 0,5-1,0 μm kali 2,0-5,0 μm, dan terdiri dari tiga bentuk dasar yaitu bentuk bulat atau kokus, bentuk batang atau Bacillus, bentuk spiral. (Dwijoseputro, 1978). Bakteri pada umumnya berkembang biak dengan membelah diri (binary fission). Pada waktu akan membelah sel bakteri membesar 2 kali semula kemudian membelah menjadi 2. Masing-masing sel bakteri yang baru menerima sitoplasma dan bahan genetic dalam jumlah yang sama. Dalam lingkungan yang ideal bakteri membelah dengan sangat cepat. Jika bakteri bereproduksi setiap 20 menit, maka akan terbentuk suatu koloni bakteri yang terdiri atas lebih dari 2 juta bakteri selama 7 jam, jika makanannya masih cukup. Ada beberapa bakteri yang berkembang biak secara konjugasi. Konjugasi terjadi antara bakteri yang sama jenisnya, jika satu bakteri mempunyai plasmid yang lainnya tidak (Pratiwi, 2008). Terdapat 4 fase pertumbuhan bakteri, yaitu: 1. Fase Lambat (lag phase), yaitu fase yang terjadi antara beberapa jam tergantung pada umur dari sel inokulum, spesies, dan lingkungannya. Waktu pada fase lag ini dibutuhkan untuk penyesuaian diri terhadap kondisi pertumbuhan lingkungan yang baru. 2. Fase Cepat (Log phase), yaitu setelah beradaptasi terhadap kondisi baru, sel – sel ini akan tumbuh dan membelah diri secara eksponensial sampai jumlah maksimum yang dapat dicapai sesuai kondisi lingkungan. Universitas Sumatera Utara 3. Fase Tetap (Stationary phase), populasi bakteri jarang dapat tetap tumbuh secara eksponensial dengan kecepatan tinggi untuk jangka waktu yang lama. Setelah 48 jam, pertumbuhan eksponensial bakteri dengan waktu pembelahan 20 menit akan menghasilkan sebesar 2,2 x 1031 bakteri. Pertumbuhan populasi mikroorganisme biasanya dibatasi oleh habisnya nutrisi yang tersedia, akibatnya kecepatan pertumbuhan menurun dan pertumbuhan akhirnya terhenti, fase ini dikatakan sebagai fase tetap (stationary phase). 4. Fase Kematian (death phase), yaitu sel-sel pada fase tetap, akhirnya akan mati bila tidak di pindahkan ke media segar yang lain. Sebagaimana pertumbuhan, kematian sel juga secara eksponensial dan karenannya dalam bentuk logaritmis, fase menurun atau kematian ini merupakan penurunan secara garis lurus yang digambarkan oleh jumlah sel-sel yang hidup terhadap waktu. Kecepatan kematian berbeda-beda tergantung dari lingkungan dan spesies mikroorganisme. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri menurut Gamar dan Sherrington (1994) ada dua. Faktor intrinsik yaitu sifat-sifat dari bahan itu sendiri dan Faktor ekstrinsik yaitu kondisi lingkungan dari penanganan dan penyimpanan bahan pangan. Faktor intrinsik yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri yaitu : 1. Waktu Laju perbanyakan bakteri bervariasi menurut spesies dan kondisi pertumbuhannya. Pada kondisi optimal hampir semua bakteri memperbanyak diri dengan pembelahan biner sekali setiap 20 menit. Universitas Sumatera Utara 2. Makanan Semua mikroorganisme memerlukan nutrient yang akan menyediakan energi yang biasanya diperoleh dari substansi mengandung karbon, nitrogen untuk sintesa protein, dan vitamin serta yang berkaitan denagn factor pertumbuhan. 3. Kelembaban Mikroorganisme, seperti halnya semua organisme memerlukan air untuk mempertahankan hidupnya. Banyaknya air dalam pangan yang tersedia untuk digunakan dapat di diskripsikan dengan istilah aktivitas air (Aw). 4. Suhu Mikroorganisme dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan suhu pertumbuhan yang diperlukannya: a) Psikrofil (organisme yang suka dingin) dapat tumbuh baik pada suhu dibawah 20oC, kisaran suhu optimal adalah 10oC - 20oC. b) Mesofil (organisme yang suka pada suhu sedang) memiliki suhu pertumbuhan optimal antara 20oC sampai 45oC. c) Termofil (organisme yang suka pada suhu tinggi) dapat tumbuh baik pada suhu diatas 45oC, kisaran pertumbuhan optimalnya adalah 50oC sampai 60oC. Universitas Sumatera Utara 5. Oksigen Tersedianya oksigen dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme, bakteri diklasifikasikan menjadi tiga kelompok menurut keperluan oksigennya : a) Aerob Obligat (hanya dapat tumbuh jika terdapat oksigen yang banyak). b) Aerob Fakultatif (tumbuh dengan baik jika oksigen cukup, tetapi juga dapat tumbuh sacara anaerob). c) Anaerob Fakultatif (tumbuh dengan baik jika tidak ada oksigen, tetapi juga dapat tumbuh secara aerob). 6. pH Daging dan pangan hasil laut lebih mudah mengalami kerusakan oleh bakteri, karena pH pangan tersebut mendekati 7,0. Bakteri yang terdapat di permukaan ikan ( lapisan lender) adalah dari jenis Pseudomonas, Acinobacter, Moraxella, Alcaligenes, Micrococcus, Flavobacterium, Corynebacterium, Serratia, Vibrio, Bacillus, Clostridium Acromabacter dan Eschericia. merupakan Bakteri bakteri Pseudomonas Psikrofil yang dan paling menyebabkan kebusukan ikan. Adapun faktor Ekstrinsik yaitu kondisi lingkungan dari penanganan dan penyimpanan bahan pangan. Kondisi pangan produk bahan pangan akan juga mempengaruhi spesies mikroorganisme yang mungkin berkembang dan menyebabkan kerusakan. Bahan pangan yang disimpan pada suhu lemari es akan dirusak oleh spesies dari kelompok Psikrotofik (Gamar dan Sherrington, 1994). Universitas Sumatera Utara 2.3.1. Propionibacterium acnes Propionibacterium acnes termasuk dalam bakteri yang berhubungan dengan kulit manusia bersama dengan Propionibacterium avidum, Propionibacterium granulosum, Propionibacterium innocuum, dan Propionibacterium propionicum. Propionibacterium acnes termasuk dalam kelompok bakteri Corynebacteria. Propionibacterium acnes merupakan difteroid anaerob yang biasanya menetap pada kulit normal. Bakteri ini ikut serta dalam patogenesis akne dengan menghasilkan lipase, yang memecahkan asam lemak bebas dari lipid kulit. Asam lemak ini dapat menimbulkan radang jaringan dan ikut menyebabkan akne. Propionibacterium acne terkadang menyebabkan infeksi katub jantung prostetik (Jawetz et al., 1996). Bentuk bakteri Propionibacterium acne dapat dilihat pada gambar 2.2 di bawah ini. Gambar 2.2. Propionibacterium acnes Universitas Sumatera Utara Klasifikasi dari Propionibacterium acnes adalah : Kingdom : Bacteria Phylum : Actinobacteria Class : Actinobacteridae Order : Actinomycetales Family : Propionibacteriaceae Genus : Propionibacterium Spesies : Propionibacterium acnes (Damayanti, 2014). Propionibacterium acnes termasuk bakteri yang tumbuh relatif lambat. Propionibacterium acne merupakan tipikal bakteri anaerob gram positif yang toleran terhadap udara. Bakteri ini terutama hidup pada asam lemak dalam kelenjar sebasea atau sebum disekresikan oleh folikel. Bakteri ini dapat menghasilkan asam propionat. Ketika pori tersumbat oleh sekresi , bakteri anaerobik mulai lebih berkembang dan mengeluarkan bahan kimia yang memecah dinding pori-pori dan menyebabkan jerawat lesi (Amrita, et al., 2012). Kulit merupakan habitat utama dari Propionibacterium acnes, namun dapat juga diisolasi dari rongga mulut, saluran pernafasan bagian atas, saluran telinga aksternal, usus besar, uretra, dan vagina. Propionibacterium acnes memiliki lebar 0,5-0,8 μm dan panjang 3-4 μm, bakteri ini berbentuk batang dengan ujung meruncing atau kokoid (bulat) (Cristina, 2006). 2.3.2. Jerawat (Acne vulgaris) Acne vulgaris adalah peradangan kronis gangguan dari unit pilosebaceous yang biasa terjadi di usia remaja. Acne vulgaris mempengaruhi lebih dari 80 % dari remaja; berlangsung di luar usia 25 tahun pada 3 % pria dan 12 % wanita. Jerawat adalah gangguan polimorfik yang terjadi pada wajah (99 %), punggung (60 %) dan dada (15 %) (Amrita et al, 2012). Bakteri yang dapat memicu tumbuhnya jerawat diantaranya adalah P. acnes dan S. epidermidis. Universitas Sumatera Utara Banyak antibiotik yang diresepkan untuk pengobatan jerawat yang disebabkan infeksi Propionibacterium acnes, namun di tahun 1979 untuk pertama kalinya ditemukan resistensi antibiotika topikal terhadap bakteri Propionibacterium acnes yaitu eritromisin dan klindamisin (Humprey, 2012). Pada tahun 2007 resistensi antibiotik terhadap Propionibacterium acnes semakin meningkat, mulai dari eritromisin, klindamisin, ontrimoksazol, dan tetrasiklin. Acne memiliki gambaran klinis beragam, mulai dari komedo, papul, pustul, hingga nodus dan jaringan parut, sehingga disebut dermatosis polimorfik dan memiliki peranan poligenetik. Pola penurunannya tidak mengikuti hukum Mendel, tetapi bila kedua orangtua pernah menderita acne berat pada masa remajanya, anak-anak akan memiliki kecenderungan serupa pada masa pubertas. Meskipun tidak mengancam jiwa, acne memengaruhi kualitas hidup dan memberi dampak sosioekonomi pada penderitanya (Cunliffe and Gollnick, 2001). Pola pembentukan jerawat pada kulit terlihat pada gambar 2.3 berikut. Gambar 2.3. Pembentukan Jerawat Pada Kulit Universitas Sumatera Utara Ada tiga penyebab terjadinya jerawat menurut Mitsui (1997), yaitu : 1. Sekresi kelenjar sebaseus yang hiperaktif. Pada kulit bagian dermis terdapat kelenjar sebaseus yang memproduksi lipid. Lipid yang dihasilkan disalurkan ke permukaan kulit lewat pembuluh sebaseus dan bermuara pada pori kulit. Kelenjar sebaseus yang hiperaktif dapat menyebabkan produksi lipid berlebihan sehingga kadar lipid pada kulit tinggi, pada akhirnya kulit akan berminyak. Jika produksi lipid tersebut tidak diimbangi dengan pengeluaran yang setimpal maka akan terjadi penimbunan dan menyebabkan pori tersumbat. Sebum yang mempat akan memicu terjadinya inflamasi dan terbentuk jerawat. Aktivitas kelenjar sebaseus tersebut dipengaruhi oleh hormon testeron, sehingga pada usia pubertas yaitu 10-16 tahun akan timbul jerawat pada wajah, punggung dan dada. Sedangkan pada wanita maka aktivitas kelenjar sebaseus dipengaruhi oleh hormon luiteinizing yang meningkat ketika mengalami menstruasi. 2. Hiperkeratosis pada infundibulum rambut. Hiperkeratosis mudah terjadi pada infundibulum folikel rambut, yang akan menyebabkan sel tanduk menebal dan menyumbat folikel rambut, serta membentuk komedo. Jika folikel rambut pori tersumbat, maka sebutm tidak dapat keluar secara normal, akibatnya merangsang pertumbuhan bakteri jerawat yang menyebabkan peradangan. Selain itu, adanya pengaruh dari sinar UV dapat menyebabkan jerawat semakin parah, karena sinar matahari merangsang keratinisasi. Jerawat dapat disebabkan pula karena wajah yang kotor sehingga pori-pori tersumbat. Universitas Sumatera Utara 3. Efek dari bakteri. Kelebihan sekresi dan hiperkeratosis pada infundibulum rambut menyebabkan terakumulasinya sebum. Sebum yang banyak tersebut memicu timbulnya bakteri. Enzim lipase yang dihasilkan oleh bakteri akan menguraikan trigliserida pada sebum menjadi asam lemak bebas, yang akan menyebabkan peradangan pada akhirnya terbentuk jerawat (Mitsui, 1997). Akne paling banyak terjadi di wajah, tetapi dapat terjadi pada punggung, dada, dan bahu. Di badan, akne cenderung terkonsentrasi dekat garis tengah tubuh. Penyakit ini ditandai oleh lesi yang bervariasi, meskipun satu jenis lesi biasanya lebih mendominasi. Lesi noninflamasi, yaitu komedo, dapat berupa komedo terbuka (blackhead comedones) yang terjadi akibat oksidasi melanin, atau komedo tertutup (whitehead comedones). Lesi inflamasi berupa papul, pustul, hingga nodus dan kista. Scar atau jaringan parut dapat menjadi komplikasi akne noninflamasi maupun akne inflamasi. Tipe lesi tersebut terlihat pada gambar 2.4. Gambar 2.4. Berbagai Tipe Lesi Akne Universitas Sumatera Utara Derajat acne berdasarkan tipe dan jumlah lesi dapat digolongkan menjadi ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.4. Tabel 2.4. Klasifikasi Derajat Akne Berdasarkan Jumlah dan Tipe Lesi Derajat Komedo Papul/ Nodul, Pustul Kista, Inflamasi Jaringan Parut Sinus Ringan < 10 < 10 - - - Sedang < 20 > 10-50 - + ± Berat > 20-50 > 50-100 ≤5 ++ ++ Sangat > 50 > 100 >5 +++ +++ Berat (-) tidak ada, (+) bisa ditemukan, (+) ada, (++) cukup banyak, (+++) banyak sekali Sumber : Cunliffe and Gollnick, 2001. 2.3.3. Aktivitas Antibakteri Antibakteri adalah senyawa yang digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan bakteri yang bersifat merugikan. Pengendalian pertumbuhan mikroorganisme bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit dan infeksi, membasmi mikroorganisme pada inang yang terinfeksi, dan mencegah pembusukan serta perusakan bahan oleh mikroorganisme. Inaktivasi bakteri merupakan hasil interaksi suatu senyawa antibakteri dengan bagiann tertetntu dari sel bakteri, interaksi senyawa antibakteri tersebut dapat menyebabkan sejumlah perubahan ataupun kerusakan sel bakteri yang akan mempengaruhi metabolisme sel dan pada tingkat kerusakan yang parah dapat menimbulkan kematian pada sel bakteri. Kerusakan ini dapat menyebabkan rusaknya permeabilitas membrann dan menimbulkan kebocoran komponen Universitas Sumatera Utara intraseluler yaitu natrium glutamat, natrium hidrogen fosfat, nukleotida, kalium, dan fosfat organik. Kebocoran sel dapat diamati dengan mengukur derajat kerusakan dinding dan membran sel. Derajat kerusakan sel diukur dari jumlah ion Ca2+ yang terdapat pada dinding sel, sedangkan derajat kerusakan membran sel diukur dari jumlah ion K+ yang terdapat pada plasma sel maupun dari bahan-bahan yang dilepaskan oleh sel yang dapat diserap pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. Komponen isi sel yang bocor keluar sel yang dapat diukur pada panjang gelombang 260 nm adalah DNA diantaranya purin, pirimidin, dan ribonukleotida. Sedangkan pada panjang gelombang 280nm dapat mengukur tirosin dan triptofan. Kerusakan dinding sel dengan interaksi senyawa antibakteri juga dapat diamati dengan SEM (Burth and Reinders, 2003). Di bidang farmasi, bahan antibakteri dikenal dengan nama antibiotik, yaitu suatu substansi kimia yang dihasilkan oleh mikroba dan dapat menghambat pertumbuhan mikroba lain. Senyawa antibakteri dapat bekerja secara bakteriostatik, bakteriosidal, dan bakteriolitik (Pelczar dan Chan, 1988). Berdasarkan sifat toksisitas selektifnya, senyawa antimikrobia mempunyai 3 macam efek terhadap pertumbuhan mikrobia yaitu: 1. Bakteriostatik memberikan efek dengan cara menghambat pertumbuhan tetapi tidak membunuh. Senyawa bakterostatik seringkali menghambat sintesis protein atau mengikat ribosom. 2. Bakteriosidal memberikan efek dengan cara membunuh sel tetapi tidak terjadi lisis sel atau pecah sel. Universitas Sumatera Utara 3. Bakteriolitik menyebabkan sel menjadi lisis atau pecah sel sehingga jumlah sel berkurang atau terjadi kekeruhan setelah penambahan antimikrobia. 2.3.4. Metode Uji Antibakteri Tingkat aktifitas suatu senyawa antimikroba dapat dilakukan dengan beberapa metoda yaitu : 1. Metode Difusi 1. Metode Disc Diffusion (tes Kirby & Bauer) Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media Agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada mengindikasikan media Agar adanya tersebut. hambatan Area jernih pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media Agar. Hal ini dapat terlihat pada gambar 2.5. Gambar 2.5. Metode Disc Diffusion (Uji Kirby & Bauer) Efektivitas aktivitas antibakteri didasarkan pada pembentukan zona hambat yang ditunjukkan pada tabel 2.5. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.5. Klasifikasi Hambatan Pertumbuhan Bakteri Diameter Respon Hambatan Pertumbuhan Zona Terang ≥ 20 mm Sangat Kuat 10-20 mm Kuat 5-10 mm Sedang ≤ 5 mm Lemah Sumber : Audies, 2015. 2. E-test Metode E-test digunakan untuk mengestimasi MIC (minimum inhibitor concentration) atau KHM (kadar hambat minimum), yaitu konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pada metode ini digunakan strip plastik yang mengandung agen antimikroba dari kadar terendah hingga tertinggi dan diletakkan pada permukaan media agar yang telah ditanami mikroorganisme. Pengamatan yang dilakukan pada area jernih yang ditimbulkannya menunjukkan kadar agen antimikroba yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media Agar. 3. Ditch-plate Technique Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba yang diletakkan pada parit yang dibuat dengan cara memotong media Agar dalam cawan Petri pada bagian tengah secara membujur dan mikroba uji (maksimum 6 macam) digoreskan ke arah parit yang berisi agen antimikroba. Universitas Sumatera Utara 4. Cup-plate Technique Metode ini serupa dengan disc diffusion, dimana dibuat sumur pada media Agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi agen antimikroba yang akan diuji. 5. Gradient-plate Technique Pada metode ini konsentrasi agen antimikroba pada media Agar secara teoritis bervariasi dari 0 hingga maksimal. Media Agar dicairkan dan larutan uji ditambahkan. Campuran kemudian dituang ke dalam cawan Petri dan diletakkan dalam posisi miring. Nutrisi kedua selanjutnya dituang dari atas. Plate diinkubasi selama 24 jam untuk memungkinkan agen antimikroba berdifusi dan permukaan media mengering. Mikroba uji (maksimal 6 macam) digoreskan pada arah mulai dari konsentrasi tinggi ke rendah. 2. Metode Dilusi 1. Metode Dilusi Cair (Broth Dilution Test) Metode ini mengukur MIC (minimun inhibitory concentration) atau kadar hambat minimum (KHM) dan MBC (minimun bactericidal concentration) atau kadar bunuh minimum (KBM). Cara yang dilakukan adalah membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat Universitas Sumatera Utara jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba, dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai KBM. Metode ini dapat terlihat pada gambar 2.6. Gambar 2.6. Metode Dilusi Cair 2. Metode Dilusi Padat (Solid Dilution Test) Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji (Pratiwi, 2008). Universitas Sumatera Utara 2.4. Spektrofotometer UV-VIS Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer ialah menghasilkan sinar dari spektrum dan panjang gelombang tertentu, sedangkan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi spektrofotometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang (Khopkar, 1990). Spektrofotometer UV-Vis (Ultra Violet-Visible) adalah salah satu dari sekian banyak instrumen yang biasa digunakan dalam menganalisa suatu senyawa kimia. Spektrofotometer umum digunakan karena kemampuannya dalam menganalisa begitu banyak senyawa kimia serta kepraktisannya dalam hal preparasi sampel apabila dibandingkan dengan beberapa metode analisa yang lainnya. Pengukuran menggunakan alat spektrofotometri UV-Vis ini didasarkan pada hubungan antara berkas radiasi elektromagnetik yang ditransmisikan (diteruskan) atau yang diabsorpsi dengan tebalnya cuplikan dan konsentrasi dari komponen penyerap. Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer UV-Visible seperti yang terlihat pada gambar 2.7 adalah sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara Gambar 2.7. Komponen Spektrofotometer UV-Visible 1. Sumber tenaga radiasi Sumber tenaga radiasi terdiri dari benda yang tereksitasi hingga ke tingkat energi yang lebih tinggi oleh sumber listrik berenergi tinggi atau oleh pemanasan listrik. Benda atau materi yang kembali ke tingkat energi rendah atau ke tingkat dasarnya, melepaskan foton dengan energienergi yang karakteristik yang sesuai dengan delta E, yaitu perbedaan energi antara tingkat tereksitasi dan dasar rendah. 2. Monokromator Dalam spektrometer, radiasi yang polikromatik harus diubah menjadi radiasi monokromatik. Ada dua jenis alat yang digunakan untuk mengurai radiasi polikromatik menjadi monokromatik yaitu penyaring dan monokromator. Monokromator merupakan serangkaian alat optik menguraikan radiasi polikromatik menjadi jalur-jalur yang efektif atau panjang gelombang-gelombang tunggalnya dan memisahkan gelombang-gelombang tersebut menjadi jalur-jalur yang sempit. Universitas Sumatera Utara 3. Tempat cuplikan Cuplikan yang akan dipelajari di daerah ultraviolet atau terlihat yang biasanya berupa gas atau larutan ditempatkan dalam sel atau kuvet. Untuk daerah ultraviolet biasanya digunakan Quartz atau sel silica yang dilebur, sedangkan untuk daerah terlihat digunakan gelas biasa. 4. Detektor Setiap detektor menyerap tenaga foton yang mengenainya dan mengubah tenaga tersebut untuk dapat diukur secara kuantitatif seperti sebagai arus listrik atau perubahan-perubahan panas. Kebanyakan detektor menghasilkan sinyal listrik yang dapat menghasilkan sinyal yang secara kuantitatif berkaitan dengan tenaga cahaya yang mengenainya (Sastrohamidjojo, 1985). 2.5. Spektrofotometer Serapan Atom Spektrofotometri Serapan Atom (AAS) adalah suatu metode analisis yang didasarkan pada proses penyerapan energi radiasi oleh atom-atom yang berada pada tingkat energi dasar (ground state). Penyerapan tersebut menyebabkan tereksitasinya elektron dalam kulit atom ke tingkat energi yang lebih tinggi. Keadaan ini bersifat labil, elektron akan kembali ke tingkat energi dasar sambil mengeluarkan energi yang berbentuk radiasi. Dalam AAS, atom bebas berinteraksi dengan berbagai bentuk energi seperti energi panas, energi elektromagnetik, energi kimia dan energi listrik. Interaksi ini menimbulkan proses-proses dalam atom bebas yang menghasilkan absorpsi dan emisi (pancaran) radiasi dan panas. Radiasi yang dipancarkan bersifat khas karena mempunyai panjang gelombang yang karakteristik untuk setiap atom bebas (Basset, 1994). Universitas Sumatera Utara Spektrrofotometer serapan atom (AAS) merupakan teknik analisis kuantitatif dari unsur-unsur yang pemakaiannya sangat luas, diberbagai bidang karena prosedurnya selektif, spesifik, biaya analisa relatif murah, sensitif tinggi (ppm-ppb), dapat dengan mudah membuat matriks yang sesuai dengan standar, waktu analisa sangat cepat dan mudah dilakukan. Analisis AAS pada umumnya digunakan untuk analisa unsur. AAS dapat digunakan untuk mengukur logam sebanyak 61 logam. Sember cahaya pada AAS adalah sumber cahaya dari lampu katoda yang berasal dari elemen yang sedang diukur kemudian dilewatkan ke dalam nyala api yang berisi sampel yang telah terakomisasi, kemudian radiasi tersebut diteruskan ke detektor melalui monokromator. Chopper digunakan untuk membedakan radiasi yang berasal dari nyala api. Detektor akan menolak arah searah arus ( DC ) dari emisi nyala dan hanya mnegukur arus bolak-balik dari sumber radiasi atau sampel. Atom dari suatu unsur pada keadaan dasar akan dikenai radiasi maka atom tersebut akan menyerap energi dan mengakibatkan elektron pada kulit terluar naik ke tingkat energi yang lebih tingi atau tereksitasi. Atom-atom dari sampel akan menyerpa sebagian sinar yang dipancarkan oleh sumber cahaya. Penyerapan energi cahaya terjadi pada panjang gelombang tertentu sesuai dengan energi yang dibutuhkan oleh atom tersebut (Basset, 1994). Komponen-komponen pokok dari alat spektroskopi serapan atom seperti yang terlihat pada gambar 2.8 adalah : 1. Sumber cahaya Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga. Lampu ini terdiri dari atas tabung kaca tertutup yang mengandung suatu katoda dan anoda. Universitas Sumatera Utara 2. Recorder Sistem pencatat yang digunakan pada instrument SSA berfungsi untuk mengubah sinyal yang diterima melalui bentuk digital. 3. Monokromator Monokromator terletak diantara nayala dan detektor. Monokromator memisahkan, mengisolasi, dan mengontrol intensitas dari radiasi energi yang mencapai detektor. 4. Tempat sampel Dalam analisis, sampel yang akan dianalisis harus diuraikan menjadi atom-atom yang masih dalam keadaan atas. Ada beberapa macam alat yang dapat digunakan untuk mengubah suatu sampel menjadi uap atomatom yaitu: a. Nyala (Flame) Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berubah padatan atau cairan menjadi bentuk uap atomnya, dan juga berfungsi untuk atomisasi. b. Tanpa Nyala (Flameless) Pengatoman dapat dilakukan dalam tungku dari garfit, kemudian tabung tersebut dipanaskan dengan system elektris dengan cara melewatkan arus listrik grafit. 5. Detektor Detektor pada SSA berfungsi mengubah intensitas radiasi yang akan datang menjadi arus listrik. pada SSA yang umum dipakai sebagai Universitas Sumatera Utara detektor adalah tabung penggandaan foton (PPMT=Photo Multiplier Tube). Gambar 2.8 Komponen Spektroskopi Serapan Atom (AAS) Universitas Sumatera Utara