Document

advertisement
PEMBAHASAN
II.1 EPIDEMIOLOGI
Di dunia kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga pada tingkat insiden dan mortalitas. Pada
tahun 2002 terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker kolorektal dengan tingkat mortalitas lebih
dari 50%. 9,5 persen pria penderita kanker terkena kanker kolorektal, sedangkan pada wanita
angkanya mencapai 9,3 persen dari total jumlah penderita kanker.
Angka insiden tertinggi terdapat pada Eropa, Amerika, Australia dan Selandia baru; sedangkan
angka insiden terendah terdapat pada India, Amerika Selatan dan Arab Israel. Di Eropa, penyakit
ini menempati urutan kedua sebagai kanker yang paling sering terjadi pada pria dan wanita pada
tingkat insidensi dan mortalitas. Pada tahun 2004 di eropa terdapat 2.886.800 insiden kanker
yang terdiagnosa dan 1.711.000 kematian karena kanker. Insiden kanker yang paling sering
adalah kanker paru-paru (13,3%), diikuti oleh kanker kolorektal (13,2%) dan kanker payudara
(13%). Kanker paru-paru juga merupakan kanker yang tersering menyebabkan kematian
(341.800) diikuti oleh kanker kolorektal (203.700), kanker lambung (137.900) dan kanker
payudara (129.900). Dengan estimasi 2,9 juta kasus baru (54% muncul pada pria, 46% pada
wanita) dan 1,7 juta kematian (56% pada pria, 44% pada wanita) tiap tahunnya. Di Amerika
kanker kolorektal merupakan penyebab kematian tersering setelah kanker paru paru dan
menduduki peringkat ketiga pada kanker yang terdapat pria dan wanita dengan lebih dari
130.000 kasus baru tiap tahun dan menyebabkan kematian 55.000 orang tiap tahun. Dari data
berdasarkan 19 tahun follow up pada insiden kanker kolorektal di Swedia pada tahun 1960 pada
53.377 kasus yang diketemukan (28.003 pria dan 25.374 wanita), Didapatkan suatu hubungan
yaitu 1) terdapat perbedaan insiden pada pria dan wanita yang berusia lanjut, yang meningkat
seiring dengan usia; 2) meningkatnya insiden kanker kolorektal seiring dengan kepadatan
penduduk; 3) rendahnya insiden pada pria yang belum pernah menikah dibandingkan dengan
pria lainnya.
Perkiraan insiden kanker di Indonesia adalah 100 per 100.000 penduduk. Namun, hanya 3,2%
dari kasus kanker yang baru mencari perawatan di Rumah Sakit. Program yang dilaksanakan
1
oleh proyek pengawasan kanker terpadu yang berbasis komunitas di Sidoarjo menunjukkan
kenaikan 10-20% dari kasus kanker yang menerima perawatan dari Rumah Sakit. Dewasa ini
kanker kolorektal telah menjadi salah satu dari kanker yang banyak terjadi di Indonesia, data
yang dikumpulkan dari 13 pusat kanker menunjukkan bahwa kanker kolorektal merupakan salah
satu dari lima kanker yang paling sering terdapat pada pria maupun wanita.
Gambar 2.3 Insiden Kanker di Indonesia
Dari berbagai laporan, di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus kanker kolorektal, meskipun
belum ada data yang pasti, namun data di Departemen Kesehatan didapati angka 1,8 per 100 ribu
penduduk. Sejak tahun 1994-2003, terdapat 372 keganasan kolorektal yang datang berobat ke RS
Kanker Dharmais (RSKD). Berdasarkan data rekam medik hanya didapatkan 247 penderita
dengan catatan lengkap, terdiri dari 203 (54,57%) pria dan 169 (43,45%) wanita berusia antara
20-71 tahun.
II.2 PATOFISIOLOGI
2
Umumnya tumor kolorektal adalah adenokarsinoma yang berkembang dari polyp adenoma.
Insidensi tumor dari kolon kanan meningkat, meskipun umumnya masih terjadi di rektum dan
kolon sigmoid. Pertumbuhan tumor secara tipikal tidak terdeteksi, menimbulkan beberapa gejala.
Pada saat timbul gejala, penyakit mungkin sudah menyebar kedalam lapisan lebih dalam dari
jaringan usus dan oragan-organ yang berdekatan. Kanker kolorektal menyebar dengan perluasan
langsung ke sekeliling permukaan usus, submukosa, dan dinding luar usus. Struktur yang
berdekatan, seperti hepar, kurvatura mayor lambung, duodenum, usus halus, pankreas, limpa,
saluran genitourinary, dan dinding abdominal juga dapat dikenai oleh perluasan. Metastasis ke
kelenjar getah bening regional sering berasal dari penyebaran tumor. Tanda ini tidak selalu
terjadi, bisa saja kelenjar yang jauh sudah dikenai namun kelenjar regional masih normal (Way,
1994). Sel-sel kaner dari tumor primer dapat juga menyebar melalui sistem limpatik atau sistem
sirkulasi ke area sekunder seperti hepar, paru-paru, otak, tulang, dan ginjal. “Penyemaian” dari
tumor ke area lain dari rongga peritoneal dapat terjadi bila tumor meluas melalui serosa atau
selama
pemotongan
pembedahan.
Awalnya sebagai nodul, kanker usus sering tanpa gejala hingga tahap lanjut. Karena pola
pertumbuhan lamban, 5 sampai 15 tahun sebelum muncul gejala (Way, 1994).
Kanker kolon dan rectum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel usus)
dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan
normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer
dan menyebar ke dalam tubuh yang lain (paling sering ke hati).
II.3 FAKTOR PREDISPOSISI
II.3.1 Polip
Kepentingan utama dari polip bahwa telah diketahui potensial untuk menjadi kanker kolorektal.
Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai
dari hiperplasia sel mukosa, adenoma formation, perkembangan dari displasia menuju
transformasi maligna dan invasif kanker. Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi gen, dan
3
kromosomal deletion memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan dan
peningkatan displasia dan invasif karsinoma.
Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel yaitu proto-onkogen,
gen penekan tumor (Tumor Suppresor Gene = TSG), dan gen gatekeeper. Proto-onkogen
menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan pembelahan sel. TSG menghambat pertumbuhan
sel atau menginduksi apoptosis (kematian sel yang terprogram). Kelompok gen ini dikenal
sebagai anti-onkogen, karena berfungsi melakukan kontrol negatif (penekanan) pada
pertumbuhan sel. Gen p53 merupakan salah satu dari TSG yang menyandi protein dengan berat
molekul 53 kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi kerusakan DNA, menginduksi reparasi
DNA. Gen gatekeeper berfungsi mempertahankan integritas genomik dengan mendeteksi
kesalahan pada genom dan memperbaikinya. Mutasi pada gen-gen ini karena berbagai faktor
membuka peluang terbentuknya kanker.
Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan kebutuhan melalui siklus sel
normal yang dikendalikan secara terpadu oleh fungsi proto-onkogen, TSG, dan gen gatekeeper
secara seimbang. Jika terjadi ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah satu tidak
berfungsi dengan baik karena mutasi, maka keadaan ini akan menyebabkan penyimpangan siklus
sel. Pertumbuhan sel tidak normal pada proses terbentuknya kanker dapat terjadi melalui tiga
mekanisme, yaitu perpendekan waktu siklus sel, sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel
dalam satuan waktu, penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan proses apoptosis, dan
masuknya kembali populasi sel yang tidak aktif berproliferasi ke dalam siklus proliferasi.
Gabungan mutasi dari ketiga kelompok gen ini akan menyebabkan kelainan siklus sel, yang
sering terjadi adalah mutasi gen yang berperan dalam mekanisme kontrol sehingga tidak
berfungsi baik, akibatnya sel akan berkembang tanpa kontrol (yang sering terjadi pada manusia
adalah mutasi gen p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel yang tidak diperlukan, tanpa
kendali dan karsinogenesis dimulai.
Secara histologi polip diklasifikasikan sebagai neoplastik dan non neoplastik. Non neoplastik
polip tidak berpotensi maligna, yang termasuk polip non neoplastik yaitu polip hiperplastik,
mukous retention polip, hamartoma (juvenile polip), limfoid aggregate dan inflamatory polip.
4
Gambar : Adenoma Carcinoma Sequences
Neoplastik polip atau adenomatous polip berpotensial berdegenerasi maligna; dan berdasarkan
WHO diklasifikasikan sebagai tubular adenoma, tubulovillous adenoma dan villous adenoma.
Tujuh puluh persen dari polip berupa adenomatous, dimana 75%-85% tubular adenoma, 10%25% tubulovillous adenoma dan villous adenoma dibawah 5%.2
Gambar : Adenomatous Polip
Displasia dapat dikategorikan menjadi low atau high grade. Enam persen dari adenomatous polip
berupa high grade displasia dan 5% didalamnya berupa invasif karsinoma pada saat terdiagnosa.
Potensi malignansi dari adenoma berkorelasi dengan besarnya polip, tingkat displasia, dan umur.
Polip yang diameternya lebih besar dari 1 cm, berdisplasia berat dan secara histologi tergolong
sebagai villous adenoma dihubungkan dengan risiko tinggi untuk menjadi kanker kolorektal.
5
Polip yang berukuran kecil (<1 cm) tidak berhubungan dengan meningkatnya timbulnya kanker
kolorektal. Insiden dari kanker meningkat dari 2,5-4 fold jika polip lebih besar dari 1 cm, dan 5-7
fold pada pasien yang mempunyai multipel polip. Dari penelitian didapatkan bahwa polip yang
lebih besar dari 1 cm jika tidak ditangani menunjukkan risiko menjadi kanker sebesar 2,5% pada
5 tahun, 8% pada 10 tahun dan 24% pada 20 tahun. Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi
malignansi tergantung beratnya derajat displasia. Tiga koma lima tahun untuk displasia sedang
dan 11,5 tahun untuk atypia ringan.
Gambar: Polip Neoplastik. (A) tubular adenoma, (B) villous adenoma, (C) tubulovillous
adenoma, (D) karsinoma pada tangkai tubular adenoma, (E) karsinoma invasif yang muncul dari
sebuah villous adenoma.
II.3.2 Idiopathic Inflammatory Bowel Disease
II.3.2.1 Ulseratif Kolitis
Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon sekitar 1% dari pasien
yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko perkembangan kanker pada pasien ini
berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan keterlibatan dan
6
keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan
18% pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk seseorang dengan risiko tinggi
dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan mengunakan kolonoskopi untuk menentukan
kebutuhan akan total proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8
tahun. Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi sebelum
terbentuknya invasif kanker. Sebuah studi prospektif menyimpulkan bahwa kolektomi yang
dilakukan dengan segera sangat esensial untuk semua pasien yang didiagnosa dengan displasia
yang berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling penting dari analisa mendemonstrasikan
bahwa diagnosis displasia tidak menyingkirkan adanya invasif kanker. Diagnosis dari displasia
mempunyai masalah tersendiri pada pengumpulan sampling spesimen dan variasi perbedaan
pendapat antara para ahli patologi anatomi.
II.3.2.2 Penyakit Crohn’s
Pasien yang menderita penyakit crohn’s mempunyai risiko tinggi untuk menderita kanker
kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif kolitis.
Gambar: Ulseratif Colitis
7
Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit crohn’s sekitar 20%. Pasien dengan
striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari adenokarsinoma pada tempat yang terjadi
fibrosis. Adenokarsinoma meningkat pada tempat strikturoplasty menjadikan sebuah biopsy dari
dinding intestinal harus dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty. Telah dilaporkan juga
bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik pasien dengan
crohn’s disease.
Gambar: Penyakit Crohn’s
II.3.3 Faktor Genetik
II.3.3.1 Riwayat Keluarga
Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan riwayat kanker kolorektal
pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat yang mempunyai kanker kolorektal
mempunyai kemungkinan untuk menderita kanker kolorektal dua kali lebih tinggi bila
dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker kolorektal pada
keluarganya.
8
II.3.3.2 Herediter Kanker Kolorektal
Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal menuju mukosa kolon
yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan adenokarsinoma yang besar
berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling penting dalam menegakkan diagnosa dari
sindrom kanker herediter yaitu riwayat kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada
adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada ¾ dari seluruh
kanker kolon, dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma
yang besar. Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama dari sindrom ini
menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini, dimana mempunyai
predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu familial
adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary non polyposis colorectal cancer (HNPCC).
II.3.3.2.1 FAP
Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang berlokasi pada kromosom 5q21.
Adanya defek pada APC tumor supresor gen dapat menggiring kepada kemungkinan
pembentukan kanker kolorektal pada umur 40 sampai 50 tahun. Pada FAP yang telah
berlangsung cukup lama, didapatkan polip yang sangat banyak untuk dapat dilakukannya
kolonoskopi polipektomi yang aman dan adekuat; ketika hal ini terjadi, direkomendasikan untuk
melakukan prophylactic subtotal colectomy diikuti dengan endoskopi pada bagian yang tersisa.
Idealnya prophylactic colectomy harus ditunda kecuali terdapat terlalu banyak polip yang dapat
ditangani dengan aman. Prosedur pembedahan elektif harus sedapat mungkin dihindari ketika
memungkinkan. Screening untuk polip harus dimulai pada saat usia muda. Pasien dengan FAP
yang diberi 400 mg celecoxib, dua kali sehari selama enam bulan mengurangi rata rata jumlah
polip sebesar 28%. Tumor lain yang mungkin muncul pada sindrom FAP adalah karsinoma
papillary thyroid, sarcoma, hepatoblastomas, pancreatic carcinomas, dan medulloblastomas otak.
Varian dari FAP termasuk gardner’s syndrom dan turcot’s syndrom.
II.3.3.2.2 HNPCC
Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynch’s sindrom I dan II.2 Generasi multipel
yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul pada umur
9
Gambar: Familial Adenomatous Poliposis
yang muda (±45 tahun), dengan predominan lokasi kanker pada kolon kanan. Abnormalitas
genetik ini terdapat pada mekanisme mismatch repair yang bertanggung jawab pada defek eksisi
dari abnormal repeating sequences dari DNA, yang dikenal sebagai mikrosatellite (mikrosatellite
instability). Retensi dari squences ini mengakibatkan ekspresi dari phenotype mutator, yang
dikarakteristikkan oleh frekuensi DNA replikasi error (RER+ phenotype), dimana predisposisi
tersebut mengakibatkan seseorang memiliki multitude dari malignansi primer. Pasien dengan
HNPCC mungkin juga memiliki adenoma sebaceous, carcinoma sebaceous, dan multipel
keratocanthoma, Termasuk kanker dari endometrium, ovarium, kandung kemih, ureter, lambung
dan traktus biliaris. Jika dibandingkan dengan sporadic kanker kolorektal, tumor pada HNPCC
seringkali poorly differentiated, dengan gambaran mucoid dan signet-cell, reaksi yang mirip
crohn’s (nodul lymphoid, germinal centers, yang berlokasi pada perifer inflitrasi kanker
kolorektal), kehadiran infiltrasi lymphocytes diantara tumor. Karsinogenesis yang terakselerasi
muncul pada HNPCC, pada keadaan ini adenoma kolon yang berukuran kecil dapat menjadi
karsinoma dalam 2-3 tahun, bila dibandingkan dengan proses pada rata-rata kanker kolorektal
yang membutuhkan waktu 8-10 tahun. Ketika kriteria amsterdam digunakan untuk menentukan
proporsi dari kanker kolorektal yang dikarenakan HNPCC, estimasi keakurasiannya sekitar
1-6%.
10
Spesifik mutasi gen pada kromosom 2 dan 3, dikenal sebagai hMSH2, hMLH1, hPMS1 dan
hPMS2, telah dihubungkan dengan HNPCC. Sembilan puluh persen dari seluruh mutasi gen
yang teridentifikasi adalah MLH1 dan MSH2. Pasien dengan RER+ phenotype kemungkinan
tidak mempunyai germ line abnormal dan mungkin mempunyai abnormal metilasi dari DNA
yang didapat sebagai sumber dari ketidakhadiran ekspresi dari gen tersebut. Metilasi abnormal
lebih sering pada orang yang lebih tua. Tes germ line untuk menentukan apakah RER+
phenotype merupakan keturunan atau didapat sangat penting sebagai bagian dari genetik
konseling. Imunohistochemical stains dapat digunakan untuk menentukan apakah tumor
bermanifestasi pada microsatellite instability dan kemudian pasien yang tidak mempunyai
ekspresi gen harus menjalani germ line testing untuk adanya konseling yang tepat pada anggota
keluarga.
Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita kanker kolorektal pada
umur yang sangat muda, dan screening harus dimulai pada umur 20 tahun atau lebih dini 5 tahun
dari umur anggota keluarga yang pertama kali terdiagnosa kanker kolorektal yang berhubungan
HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan HNPCC yang didiagnosa menderita kanker kolorektal
pada umur 44 tahun, dibandingkan dengan pasien kontrol yang menderita kanker kolorektal pada
umur 68 tahun. Prognosis dari pasien HNPCC terlihat lebih baik daripada pasien dengan
sporadic kanker kolon. Dari penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan HNPCC kurang
mendapat manfaat dari adjuvant kemoterapi berdasarkan kombinasi fluorourasil daripada pasien
tanpa kelainan ini.
II.3.4 Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat berkemungkinan
besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian, meskipun terdapat juga
penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat dan kanker kolorektal. Ada
dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal.
Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk asosiasi antara resistensi
insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya adalah menkonsumsi diet yang
berenergi tinggi mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti dengan peningkatan
level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah
11
pada sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga memperlihatkan interaksi oksigen
reaktif. Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat meningkatkan pembentukan kanker
kolorektal. Hipotesis kedua adalah identifikasi berkelanjutan dari agen yang secara signifikan
menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari pengamatan tersebut dapat
disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan lokal epitel disebabkan
kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah akibat terpapar toksin yang tak dapat dikenali dan
adanya respon inflamasi fokal, karakteristik ini didapat dari bukti teraktifasinya enzim COX-2
dan stres oksidatif dengan lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan
mutagenesis dapat meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan aberrant crypt foci. Proses ini
dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan lumen kolon; (b) agen
anti-inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme tersebut, misalnya resistensi insulin yang
berperan melalui tubuh dan kegagalan pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat
menjelaskan hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal.
II.3.5 Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga kali untuk memiliki
adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar. Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun
berhubungan dengan risiko dua setengah kali untuk menderita adenoma yang berukuran besar.
Diperkirakan 5000-7000 kematian karena kanker kolorektal di Amerika dihubungkan dengan
pemakaian rokok. Pemakaian alkohol juga menunjukkan hubungan dengan meningkatnya risiko
kanker kolorektal.
Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas, obesitas dan asupan
energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap hewan, pembatasan asupan energi
telah menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi antara obesitas dan aktifitas fisik
menunjukkan penekanan pada aktifitas prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan risiko
kanker kolorektal. The Nurses Health Study telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan
antara aktifitas fisik dengan terjadinya adenoma, yang dapat diartikan bahwa penurunan aktifitas
fisik akan meningkatkan risiko terjadinya adenoma.
12
II.3.6 Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut (≥ 65 thn) pria dan wanita adalah 61% dan
56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali (2158 per 100.000 orang per tahun)
dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila
dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 thn). Sekitar setengah dari kanker
yang terdiagnosa pada pria yang berusia lanjut adalah kanker prostat (451 per 100.000), kanker
paru-paru (118 per 100.000) dan kanker kolon (176 per 100.000). Sekitar 48% kanker yang
terdiagnosa pada wanita yang berusia lanjut adalah kanker payudara (248 per 100.000), kanker
kolon (133 per 100.000), kanker paru paru (118 per 100.000) dan kanker lambung (75 per
100.000).
Usia merupakan faktor paling relevan yang mempengaruhi risiko kanker kolorektal pada
sebagian besar populasi. Risiko dari kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan usia,
13
terutama pada pria dan wanita berusia 50 tahun atau lebih, dan hanya 3% dari kanker kolorektal
muncul pada orang dengan usia dibawah 40 tahun. Lima puluh lima persen kanker terdapat pada
usia ≥ 65 tahun, angka insiden 19 per 100.000 populasi yang berumur kurang dari 65 tahun, dan
337 per 100.000 pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun.
Di Amerika seseorang mempunyai risiko untuk terkena kanker kolorektal sebesar 5%.
Sedangkan kelompok terbesar dengan peningkatan risiko kanker kolorektal adalah pada usia
diatas 40 tahun. Seseorang dengan usia dibawah empat puluh tahun hanya memiliki
kemungkinan menderita kanker kolorektal kurang dari 10%. Dari tahun 2000-2003, rata-rata usia
saat terdiagnosa menderita kanker kolorektal pada usia 71 tahun. Insidensi berdasarkan usia
dibawah 20 tahun sebesar 0,0%, 20-34 tahun sebesar 0,9%, 35-44 tahun sebesar 3,5%, 45-54
tahun sebesar 10,9%, 55-64 tahun sebesar 17,6%, 65-74 tahun sebesar 25,9%, 75-84 tahun
sebesar 28,8%, dan > 85 sebesar 12,3%.
Pada kebanyakan kasus kanker terdapat variasi geografik pada insiden yang ditemukan pada usia
lanjut yang mencerminkan perbedaan sosial ekonomi, terutama antara Negara berkembang dan
Negara maju. Bila di Negara maju angka kejadian penyakit ini meningkat tajam setelah
seseorang berusia 50 tahun dan hanya 3 persen di bawah 40 tahun, di Indonesia berdasarkan data
Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI, 1996-1999)
menunjukkan persentase yang lebih tinggi yakni 35,25%.
Proporsi dari orang yang berusia lanjut telah meningkat di berbagai Negara beberapa dekade
terakhir, dan akan terus meningkat lebih jauh beberapa tahun mendatang. Tingkat harapan hidup
di Indonesia pada saat kelahiran diperkirakan adalah 67,86 tahun untuk pria dan wanita.
Peningkatan usia harapan hidup yang ada beserta populasi Indonesia yang menduduki peringkat
4 dunia akan menjadikan Indonesia pada tahun 1990-2025 akan mempunyai jumlah usia lanjut
paling tinggi di dunia. Meningkatnya jumlah orang yang berusia lebih tua akan menambahkan
beban ganda pada penyakit, dengan umumnya penyakit yang menular di satu sisi, dan
meningkatnya prevalansi penyakit yang tidak menular di sisi lainnya. Kanker pada usia lanjut di
masa-masa yang akan datang merupakan masalah yang perlu ditangani dengan serius
dikarenakan perubahan populasi penduduk dengan kelompok usia lanjut yang semakin banyak.
14
Oleh karena itu sangat perlunya penggalakan penelitian mengenai pencegahan kanker dan
perencanaan terapi pada orang yang berusia lanjut.
II.4 MANIFESTASI KLINIK
II.4.1 Histologi
Histologi merupakan suatu faktor penting dalam hal etiologi, penanganan dan prognosis dari
kanker. Secara mikroskopis kanker kolorektal mempunyai derajat differensiasi yang berbedabeda, tidak hanya dari tumor yang satu dengan tumor yang lain tetapi juga dari area ke area pada
tumor yang sama, mereka cenderung mempunyai morfologi yang heterogen.
Pada penelitian mengenai gambaran histologi kanker kolorektal dari tahun 1998-2001 di
Amerika Serikat yang melibatkan 522.630 kasus kanker kolorektal. Didapatkan gambaran
histopatologis dari kanker kolorektal sebesar 96% berupa adenocarcinoma, 2% karsinoma
lainnya (termasuk karsinoid tumor), 0,4% epidermoid carcinoma, dan 0,08% berupa sarcoma.
Proporsi dari epidermoid carcinoma, mucinous carcinoma dan carcinoid tumor banyak
diketemukan pada wanita. Secara keseluruhan, didapatkan suatu pola hubungan antara tipe
histopatologis, derajat differensiasi dan stadium dari kanker kolorektal. Adenocarcinoma sering
15
ditemukan dengan derajat differensiasi sedang dan belum bermetastase pada saat terdiagnosa,
signet ring cell carcinoma banyak ditemukan dengan derajat differensiasi buruk dan telah
bermetastase jauh pada saat terdiagnosa, lain pula pada carcinoid tumor dan sarcoma yang sering
dengan derajat differensiasi buruk dan belum bermetastase pada saat terdiagnosa, sedangkan
small cell carcinoma tidak memiliki derajat differensiasi dan sering sudah bermetastase jauh
pada saat terdiagnosa.
Dari 201 kasus kanker kolorektal periode 1994-2003 di RS Kanker Dharmais (RSKD)
didapatkan bahwa tipe histopatologis yang paling sering dijumpai adalah adenocarcinoma
[diferensiasi baik 48 (23,88%), sedang 78 (38,80%), buruk 45 (22,39%)], dan yang jarang adalah
musinosum 19 (9,45%) dan signet ring cell carcinoma 11 (5,47%). Jika dari hasil penelitian di
RSKD didapatkan bahwa frekuensi terbanyak adalah adenocarcinoma dengan derajat
differensiasi sedang (38,80%), maka lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Soeripto
et al di Jogjakarta pada tahun 2001 yang mendapati frekuensi derajat differensiasi kanker
kolorektal banyak didominasi oleh derajat differensiasi baik. Perbedaan pola demografik dan
klinis yang berhubungan dengan tipe histopatologis akan sangat membantu untuk studi
epidemiologi, laboratorium dan klinis di masa yang akan datang. Berbagai varian gambaran
histopatologi kanker kolorektal berdasarkan klasifikasi World Health Organization diperlihatkan
pada table.
II.4.2 Lokasi Kanker
16
Dua pertiga dari kanker kolorektal muncul pada kolon kiri dan sepertiga muncul pada kolon
kanan. Sebagian besar terdapat di rektum (51,6%), diikuti oleh kolon sigmoid (18,8%), kolon
descendens (8,6%), kolon transversum (8,06%), kolon ascendens (7,8%), dan multifokal
(0,28%). Data dari kanker statistik di Amerika Serikat terlihat bahwa sekitar 60% dari kanker
kolorektal ditemukan pada rektum, hal ini juga terlihat di China yaitu sekitar 80% dari kanker
kolorektal ditemukan di rektum, dengan > 60% kanker kolorektal hanya terdapat pada rektum.
Pada penelitian selama 14 tahun (1982-1995) di Australia yang melibatkan 9673 kasus kanker
kolorektal, didapatkan suatu pola hubungan antara lokasi kanker dengan jenis kelamin, yaitu
kanker yang terdapat pada rektum frekuensinya lebih banyak terdapat pada pria dibandingkan
wanita (4:1). Pola seperti ini juga didapatkan di Indonesia, data yang dikumpulkan dari 13 pusat
kanker menunjukkan bahwa kanker yang terdapat pada rektum frekuensinya lebih banyak
terdapat pada pria dibandingkan wanita, dengan perbandingan sebesar 2:1.
Gambar: Letak Kanker Kolorektal.
17
II.4.3 Gejala
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan suplai darah yang
diterima. Arteri mesenterika superior memperdarahi belahan bagian kanan (caecum, kolon
ascendens dan duapertiga proksimal kolon transversum), dan arteri mesenterika inferior yang
memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon descendens dan sigmoid,
dan bagian proksimal rektum). Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak
spesifik. Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal berhubungan dengan besar dan lokasi
dari tumor. Tumor yang berada pada kolon kanan, dimana isi kolon berupa cairan, cenderung
tetap tersamar hingga lanjut sekali. Sedikit kecenderungan menyebabkan obstruksi karena lumen
usus lebih besar dan feses masih encer. Gejala klinis sering berupa rasa penuh, nyeri abdomen,
perdarahan dan symptomatic anemia (menyebabkan kelemahan, pusing dan penurunan berat
badan). Tumor yang berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan pola defekasi
sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan, mengecilnya ukuran feses, dan konstipasi
karena lesi kolon kiri yang cenderung melingkar mengakibatkan obstruksi.
II.4.3.1 Gejala Subakut
Tumor yang berada di kolon kanan seringkali tidak menyebabkan perubahan pada pola buang air
besar (meskipun besar). Tumor yang memproduksi mukus dapat menyebabkan diare. Pasien
mungkin memperhatikan perubahan warna feses menjadi gelap, tetapi tumor seringkali
menyebabkan perdarahan samar yang tidak disadari oleh pasien. Kehilangan darah dalam jangka
waktu yang lama dapat menyebabkan anemia defisiensi besi. Ketika seorang wanita post
menopouse atau seorang pria dewasa mengalami anemia defisiensi besi, maka kemungkinan
kanker kolon harus dipikirkan dan pemeriksaan yang tepat harus dilakukan. Karena perdarahan
yang disebabkan oleh tumor biasanya bersifat intermitten, hasil negatif dari tes occult blood tidak
dapat menyingkirkan kemungkinan adanya kanker kolon. Sakit perut bagian bawah biasanya
berhubungan dengan tumor yang berada pada kolon kiri, yang mereda setelah buang air besar.
Pasien ini biasanya menyadari adanya perubahan pada pola buang air besar serta adanya darah
yang berwarna merah keluar bersamaan dengan buang air besar. Gejala lain yang jarang adalah
penurunan berat badan dan demam. Meskipun kemungkinannya kecil tetapi kanker kolon dapat
menjadi tempat utama intususepsi, sehingga jika ditemukan orang dewasa yang mempunyai
18
gejala obstruksi total atau parsial dengan intususepsi, kolonoskopi dan double kontras barium
enema harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan kanker kolon.
II.4.3.2 Gejala akut
Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika ditemukan pasien
usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar penyebabnya adalah kanker.
Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan kanker kolon, tetapi hal ini adalah sebuah
keadaan darurat yang membutuhkan penegakan diagnosis secara cepat dan penanganan bedah.
Pasien dengan total obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau buang air besar, kram
perut dan perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak mendapat terapi maka akan terjadi
iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan menyebabkan peritonitis dan sepsis.
Perforasi juga dapat terjadi pada tumor primer, dan hal ini dapat disalah artikan sebagai akut
divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi pada vesika urinaria atau vagina dan dapat
menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria. Metastasis ke hepar dapat menyebabkan
pruritus dan jaundice, dan yang sangat disayangkan hal ini biasanya merupakan gejala pertama
kali yang muncul dari kanker kolon.
II.4.4 Metastase
Metastase ke kelenjar limfa regional ditemukan pada 40-70% kasus pada saat direseksi. Invasi ke
pembuluh darah vena ditemukan pada lebih 60% kasus. Metastase sering ke hepar, cavum
peritoneum, paru-paru, diikuti kelenjar adrenal, ovarium dan tulang. Metastase ke otak sangat
jarang, dikarenakan jalur limfatik dan vena dari rektum menuju vena cava inferior, maka
metastase kanker rektum lebih sering muncul pertama kali di paru-paru. Berbeda dengan kolon
dimana jalur limfatik dan vena menuju vena porta, maka metastase kanker kolon pertama kali
paling sering di hepar.
19
Gambar: Kanker Kolorektal
Gambar: Iskemik kronis kolon
II.5 DIAGNOSA
Diagnosa
karsinoma
kolorektal
ditegakkan
berdasarkan
anamnesis,pemeriksaan
fisik
pemeriksaan abdomen dan rectal, prosedur diagnostik paling pentng untuk kanker kolon adalah
pengujian darah samar, enema barium, proktosigmoidoskopi,dan kolonoskopi. Pemeriksaan ini
sebaiknya dilakukan setiap tiga tahun untuk usia 40 tahun keatas. Sebanyak 60% kasus dari
kanker kolorektal dapat diidentifikasi dengan sigmoideskopi dengan biopsi atau apusan sitologi.
II.5.1 PEMERIKSAAN FISIK
Digital Rectal Examination
Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan anterior; serta spina
iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah. Metastasis intraperitoneal dapat
teraba pada bagian anterior rektum dimana sesuai dengan posisi anatomis kantong douglas
sebagai akibat infiltrasi sel neoplastik. Meskipun 10 cm merupakan batas eksplorasi jari yang
mungkin dilakukan, namun telah lama diketahui bahwa 50% dari kanker kolon dapat dijangkau
20
oleh jari, sehingga Rectal examination merupakan cara yang baik untuk mendiagnosa kanker
kolon yang tidak dapat begitu saja diabaikan.
”rectal toucher” untuk menilai :
Tonus sfingter ani
: kuat atau lemah.
Ampula rektum
: kolaps, kembung atau terisi feses
Mukosa
: kasar,berbenjol benjol, kaku
Tumor
: teraba atau tidak, lokasi, lumen yang dapat ditembus jari, mudah
berdarah atau tidak, batas atas dan jaringan sekitarnya, jarak dari garis anorektal sampai tumor.
II.5.2 PEMERIKSAAN PENUNJANG
II.5.2.1 Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika terdapat sebuah
obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya biopsi maka sikat sitologi akan sangat
berguna.
II.5.2.2 Carcinoembrionik Antigen (CEA) Screening
CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang masuk ke dalam
peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor status kanker
kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar. CEA terlalu insensitif
dan nonspesifik untuk bisa digunakan sebagai screening kanker kolorektal. Meningkatnya nilai
CEA serum, bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter. Tingginya nilai CEA
berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium lanjut dari penyakit dan kehadiran metastase
ke organ dalam. Meskipun konsentrasi CEA serum merupakan faktor prognostik independen.
Nilai CEA serum baru dapat dikatakan bermakna pada monitoring berkelanjutan setelah
pembedahan.
Meskipun keterbatasan spesifitas dan sensifitas dari tes CEA, namun tes ini sering diusulkan
untuk mengenali adanya rekurensi dini. Tes CEA sebelum operasi sangat berguna sebagai faktor
prognosa dan apakah tumor primer berhubungan dengan meningkatnya nilai CEA. Peningkatan
21
nilai CEA preoperatif berguna untuk identifikasi awal dari metatase karena sel tumor yang
bermetastase sering mengakibatkan naiknya nilai CEA.
II.5.2.3 Tes Occult Blood
Phenol yang tidak berwarna di dalam guaic gum akan dirubah menjadi berwarna biru oleh
oksidasi. Reaksi ini menandakan adanya peroksidase katalis, oksidase menjadi sempurna dengan
adanya katalis, contohnya hemoglobin. Tetapi sayangnya terdapat berbagai katalis di dalam diet.
Seperti contohnya daging merah, oleh karena itu diperlukan perhatian khusus untuk menghindari
hal ini. Tes ini akan mendeteksi 20 mg hb/gr feses. Tes imunofluorosensi dari occult blood
mengubah hb menjadi porphirin berfluorosensi, yang akan mendeteksi 5-10 mg hb/gr feses,
Hasil false negatif dari tes ini sangat tinggi. Terdapat berbagai masalah yang perlu dicermati
dalam menggunakan tes occult blood untuk screening, karena semua sumber perdarahan akan
menghasilkan hasil positif. Kanker mungkin hanya akan berdarah secara intermitten atau tidak
berdarah sama sekali, dan akan menghasilkan tes yang false negatif. Proses pengolahan,
manipulasi diet, aspirin, jumlah tes, interval tes adalah faktor yang akan mempengaruhi
keakuratan dari tes occult blood tersebut. Efek langsung dari tes occult blood dalam menurunkan
mortalitas dari berbagai sebab masih belum jelas dan efikasi dari tes ini sebagai screening kanker
kolorektal masih memerlukan evaluasi lebih lanjut.
II.5.2.4 Barium Enema
Tehnik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras barium enema, yang
sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang berukuran >1 cm. Tehnik ini jika
digunakan bersama-sama fleksibel sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat biaya sebagai
alternatif pengganti kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi kolonoskopi, atau
digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai riwayat polip atau
kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan menggunakan barium enema sangat rendah,
yaitu sebesar 0,02 %. Jika terdapat kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air harus
digunakan daripada barium enema. Barium peritonitis merupakan komplikasi yang sangat serius
yang dapat mengakibatkan berbagai infeksi dan peritoneal fibrosis. Tetapi sayangnya sebuah
22
kontras larut air tidak dapat menunjukkan detail yang penting untuk menunjukkan lesi kecil pada
mukosa kolon.
II.5.2.5 Endoskopi
Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3% dari pasien
mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk mempunyai polip premaligna.
23
II.5.2.6 Proktosigmoidoskopi
Pemeriksaan ini dapat menjangkau 20-25 cm dari linea dentata, tapi akut angulasi dari
rektosigmoid junction akan dapat menghalangi masuknya instrumen. Pemeriksaan ini dapat
mendeteksi 20-25% dari kanker kolon. Rigid proctosigmoidoskopi aman dan efektif untuk
digunakan sebagai evaluasi seseorang dengan risiko rendah dibawah usia 40 tahun jika
digunakan bersama sama dengan occult blood test.
II.5.2.7 Flexible Sigmoidoskopi
Flexible sigmoidoscopi dapat menjangkau 60 cm kedalam lumen kolon dan dapat mencapai
bagian proksimal dari kolon kiri. Lima puluh persen dari kanker kolon dapat terdeteksi dengan
menggunakan alat ini. Flexible sigmoidoscopi tidak dianjurkan digunakan untuk indikasi
terapeutik polipektomi, kauterisasi dan semacamnya; kecuali pada keadaan khusus, seperti pada
ileorektal anastomosis. Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada umur 50 tahun
merupakan metode yang direkomendasikan untuk screening seseorang yang asimptomatik yang
berada pada tingkatan risiko menengah untuk menderita kanker kolon. Sebuah polip
adenomatous yang ditemukan pada flexible sigmoidoscopi merupakan indikasi untuk
dilakukannya kolonoskopi, karena meskipun kecil (<10 mm), adenoma yang berada di distal
kolon biasanya berhubungan dengan neoplasma yang letaknya proksimal pada 6-10% pasien.
II.5.2.8 Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon dan rectum
(gambar 2.13). Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm. Kolonoskopi
merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1
cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium
enema yang keakuratannya hanya sebesar 67%.2 Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan
untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur. Kolonoskopi
merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama (perdarahan, komplikasi
anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan
24
cara yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel disease,
non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik,
striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi terapi daripada
diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi terapeutik,
sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostik.
II.5.2.9 Imaging Tehnik
MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik imaging yang digunakan
untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi tehnik ini bukan
merupakan screening tes.
II.5.2.9.1 CT scan
CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon pre operatif. CT scan
bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa dan organ lainnya
di pelvis. CT scan sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai CEA
yang meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai 55%. CT scan
memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya dalam menentukan
stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat mengidentifikasi invasi tumor ke
dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan mendeteksi pembesaran kelanjar getah bening
>1 cm pada 75% pasien.19 Penggunaan CT dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat
mengidentifikasi metastase pada hepar dan daerah intraperitoneal.
25
II.5.2.9.2 MRI
MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering digunakan pada
klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CT scan. Karena sensifitasnya yang
lebih tinggi daripada CT scan, MRI dipergunakan untuk mengidentifikasikan metastasis ke
hepar.
II.5.2.9.3 Endoskopi UltraSound (EUS)
EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalaman invasi tumor, terlebih
untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar 95%, 70% untuk CT dan 60% untuk digital
rektal examination. Pada kanker rektal, kombinasi pemakaian EUS untuk melihat adanya tumor
dan digital rektal examination untuk menilai mobilitas tumor seharusnya dapat meningkatkan
ketepatan rencana dalam terapi pembedahan dan menentukan pasien yang telah mendapatkan
keuntungan dari preoperatif kemoradiasi. Transrektal biopsi dari kelenjar limfa perirektal bisa
dilakukan di bawah bimbingan EUS.
26
II.6 PENATALAKSANAAN
II.6.1 Pembedahan
Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima sebagai penanganan kuratif
untuk kanker kolorektal. Pembedahan kuratif harus mengeksisi dengan batas yang luas dan
maksimal regional lymphadenektomi sementara mempertahankan fungsi dari kolon sebisanya.
Untuk lesi diatas rektum, reseksi tumor dengan minimum margin 5 cm bebas tumor. Pendekatan
laparaskopik kolektomi telah dihubungkan dan dibandingkan dengan tehnik bedah terbuka pada
beberapa randomized trial. Subtotal kolektomi dengan ileoproktostomi dapat digunakan pada
pasien kolon kanker yang potensial kurabel dan dengan adenoma yang tersebar pada kolon atau
pada pasien dengan riwayat keluarga menderita kanker kolorektal. Eksisi tumor yang berada
pada kolon kanan harus mengikutsertakan cabang dari arteri media kolika sebagaimana juga
seluruh arteri ileokolika dan arteri kolika kanan. Eksisi tumor pada hepatik flexure atau splenic
flexure harus mengikutsertakan seluruh arteri media kolika. Permanen kolostomi pada penderita
kanker yang berada pada rektal bagian bawah dan tengah harus dihindari dengan adanya tehnik
pembedahan terbaru secara stapling. Tumor yang menyebabkan obstruksi pada kolon kanan
biasanya ditangani dengan reseksi primer dan anastomosis. Tumor yang menyebabkan obstruksi
pada kolon kiri dapat ditangani dengan dekompresi. Tumor yang menyebabkan perforasi
membutuhkan eksisi dari tumor primer dan proksimal kolostomi, diikuti dengan reanastomosis
dan closure dari kolostomi.
II.6.2 Terapi Radiasi
Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan x-ray berenergi tinggi untuk
membunuh sel kanker. Terdapat dua cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan eksternal radiasi
dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi diberikan tergantung pada tipe dan stadium dari
kanker.
Eksternal radiasi (external beam therapy) merupakan penanganan dimana radiasi tingkat tinggi
secara tepat diarahkan pada sel kanker. Sejak radiasi digunakan untuk membunuh sel kanker,
maka dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi jaringan yang sehat disekitarnya. Terapi
radiasi tidak menyakitkan dan pemberian radiasi hanya berlangsung beberapa menit.
27
Internal radiasi (brachytherapy, implant radiation) menggunakan radiasi yang diberikan ke dalam
tubuh sedekat mungkin pada sel kanker. Substansi yang menghasilkan radiasi disebut
radioisotop, bisa dimasukkan dengan cara oral, parenteral atau implant langsung pada tumor.
Internal radiasi memberikan tingkat radiasi yang lebih tinggi dengan waktu yang relatif singkat
bila dibandingkan dengan eksternal radiasi, dan beberapa penanganan internal radiasi secara
sementara menetap didalam tubuh.
II.6.3 Adjuvant Kemoterapi
Kanker kolon telah banyak resisten pada hampir sebagian besar agen kemoterapi. Bagaimanapun
juga kemoterapi yang diikuti dengan ekstirpasi dari tumor secara teoritis seharusnya dapat
menambah efektifitas dari agen kemoterapi. Kemoterapi sangat efektif digunakan ketika
kehadiran tumor sangat sedikit dan fraksi dari sel maligna yang berada pada fase pertumbuhan
banyak. Obat kemoterapi bisa dipakai sebagai single agen atau dengan kombinasi, contoh : 5fluorouracil (5FU), 5FU + levamisole, 5FU + leucovorin. Pemakaian secara kombinasi dari obat
kemoterapi tersebut berhubungan dengan peningkatan survival ketika diberikan post operatif
kepada pasien tanpa penyakit penyerta. Terapi 5FU + levamisole menurunkan rekurensi dari
kanker hingga 39%, menurunkan kematian akibat kanker hingga 32%.
II.6.3.1 Adjuvant Kemoterapi untuk Kanker Kolorektal Stadium II
Pemakaian adjuvant kemoterapi untuk penderita kanker kolorektal stadium II masih
kontroversial. Peneliti dari National Surgical Adjuvant Breast Project (NSABP) menyarankan
penggunaan adjuvant terapi karena dapat menghasilkan keuntungan yang meskipun kecil pada
pasien stadium II kanker kolorektal pada beberapa penelitiannya. Sebaliknya sebuah metaanalysis yang mengikutkan sekitar 1000 pasien menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna
pada 5-years survival rate sebesar 2%, antara yang diberi perlakuan dan yang tidak untuk semua
pasien stage II.
II.6.3.2 Adjuvant Kemoterapi untuk Kanker Kolorektal Stadium III
Penggunaan 5-FU + levamisole atau 5-FU + leucovorin telah menurunkan insiden rekurensi
sebesar 41% pada sejumlah prospektif randomized trial. Terapi selama satu tahun dengan
28
menggunakan 5-FU + levamisole meningkatkan 5-year survival rate dari 50% menjadi 62% dan
menurunkan kematian sebesar 33%. Pada kebanyakan penelitian telah menunjukkan bahwa 6
bulan terapi dengan menggunakan 5-FU + leucovorin telah terbukti efektif dan sebagai
konsekuensinya, standar regimen terapi untuk stage III kanker kolorektal adalah 5-FU +
leucovorin.
II.6.3.3 Adjuvant Kemoterapi Kanker Kolorektal Stadium Lanjut
Sekitar delapan puluh lima persen pasien yang terdiagnosa kanker kolorektal dapat dilakukan
pembedahan. Pasien dengan kanker yang tidak dapat dilakukan penanganan kuratif, dapat
dilakukan penanganan pembedahan palliatif untuk mencegah obstruksi, perforasi, dan
perdarahan. Bagaimanapun juga pembedahan dapat tidak dilakukan jika tidak menunjukkan
gejala adanya metastase. Penggunaan stent kolon dan ablasi laser dari tumor intraluminal cukup
memadai untuk kebutuhan pembedahan walaupun pada kasus asymptomatik.
Radiasi terapi dapat digunakan sebagai tindakan primer sebagai modalitas penanganan untuk
tumor yang kecil dan bersifat mobile atau dengan kombinasi bersama sama kemoterapi setelah
reseksi dari tumor. Radiasi terapi pada dosis palliatif meredakan nyeri, obstruksi, perdarahan dan
tenesmus pada 80% kasus. Penggunaan hepatic arterial infusion dengan 5-FU terlihat
meningkatkan tingkat respon, tetapi penggunaan ini dapat mengakibatkan berbagai masalah
termasuk berpindahnya kateter, sklerosis biliaris dan gastrik ulserasi. Regimen standar yang
sering digunakan adalah kombinasi 5-FU dengan leucovorin, capecitabine (oral 5-FU prodrug),
floxuridine (FUDR), irinotecan (cpt-11) dan oxaliplatin.
II.6.4 Penanganan Jangka Panjang
Terdapat beberapa kontroversi tentang frekuensi pemeriksaan follow up untuk rekurensi tumor
pada pasien yang telah ditangani dengan kanker kolon. Beberapa tenaga kesehatan telah
menggunakan pendekatan nihilistic (karena prognosis sangat jelek jika terdeteksi adanya
rekurensi dari kanker). Sekitar 70% rekurensi dari kanker terdeteksi dalam jangka waktu 2 tahun,
dan 90% terdeteksi dalam waktu 4 tahun. Pasien yang telah ditangani dari kanker kolon
mempunyai insiden yang tinggi dari metachronous kanker kolon. Deteksi dini dan
penatalaksanaan yang tepat pada pasien ini dapat meningkatkan prognosa. Evaluasi follow up
29
termasuk pemeriksaan fisik, sigmoidoskopi, kolonoskopi, tes fungsi hati, CEA, foto polos
thorax, barium enema, liver scan, MRI, dan CT scan. Tingginya nilai CEA preoperatif biasanya
akan kembali normal antara 6 minggu setelah pembedahan.
1. Evaluasi klinik
Selama 5 tahun setelah tindakan pembedahan, target utama follow up adalah untuk mendeteksi
tumor primer baru. Beberapa pasien kanker kolorektal membentuk satu atau beberapa tempat
metastasis di hepar, paru-paru, atau tempat anastomosis dimana tumor primer telah diangkat.
2. Rontgen
Foto rontgen terlihat sama baiknya bila dibandingkan dengan CT scan dalam mendeteksi
rekurensi.
3. Kolonoskopi
Pasien yang mempunyai lesi obstruksi pada kolonnya harus melakukan kolonoskopi 3 sampai 6
bulan setelah pembedahan, untuk meyakinkan tidak adanya neoplasma yang tertinggal di kolon.
Tujuan dilakukannya endoskopi adalah untuk mendeteksi adanya metachronous tumor, suture
line rekurensi atau kolorektal adenoma. Jika obstruksi tidak ada maka kolonoskopi dilakukan
pada satu sampai tiga tahun setelah pembedahan, jika negatif maka endoskopi dilakukan lagi
dengan interval 2-3 tahun.
4. CEA
Meningkatnya nilai CEA menandakan diperlukannya pemeriksaaan lebih jauh untuk
mengidentifikasi tempat rekurensi, dan biasanya sangat membantu dalam mengidentifikasi
metastasis ke hepar. Jika dicurigai adanya metastasis ke pelvis, maka MRI lebih membantu
diagnosa daripada CT scan.
30
II.7 STADIUM DAN PROGNOSIS
II.7.1 Stadium
Jika metastasis tidak ada, stadium pasti dari kanker kolorektal hanya dapat dipastikan setelah
pembedahan dan analisis histopatologi. Tidak seperti tumor yang lain, ukuran dari tumor primer
kecil sekali pengaruhnya pada prognosis kanker kolorektal. Faktor yang menentukan tingkat
prognosis adalah kedalaman penetrasi tumor ke dinding usus, keterlibatan kelenjar limfa regional
Gambar 2.14 Endoscopy Ultrasound
dan ada tidaknya metastasis. Berbagai sistem staging telah dibuat pada beberapa dekade terakhir,
tetapi sistem pengklasifikasian yang diajukan oleh dukes pada tahun 1982 terus dipakai secara
luas karena kemudahannya. Tetapi sistem ini tidak memperlihatkan informasi penting untuk
informasi prognosis, seperti invasi vaskuler, diferensiasi histology dan DNA dari sel tumor.
Bagaimanapun juga kemudahan yang ditawarkan oleh sistem klasifikasi ini dan korelasi
konsisten dengan prognosis, menjamin bahwa sistem ini akan terus digunakan selama beberapa
waktu. 5-years survival rate mencerminkan prognosa dari staging penyakit. Pada dukes stage A
>90% pasien selamat dalam 5 tahun. Pada dukes stage B terjadi penurunan prognosis menjadi
60-80%. Jika terdapat keterlibatan kelenjar limfa regional (dukes stage C) maka prognosanya
adalah 20-50%, dan jika terdapat metastasis (dukes stage D) maka prognosanya hanya <5%.
31
Direkomendasikan menggunakan staging system TNM dengan dukes system yang telah
dimodifikasi oleh Astler Coller.
II.7.2 Prognosis
Stage merupakan faktor prognosis yang paling penting, 5-years survival rate ditunjukkan pada
tabel 2.4. Grade histologi secara signifikan mempengaruhi tingkat survival disamping stadium.
Pasien dengan well differentiated karsinoma (grade 1 dan 2) mempunyai 5-year survival yang
lebih baik dibandingkan dengan poor differentiated karsinoma (grade 3 dan 4).
Lokasi kanker terlihat sebagai faktor prognostik yang independen. Pada stage yang sama pasien
dengan tumor yang berada di rektum mempunyai prognosa yang lebih buruk bila dibandingkan
dengan tumor yang berada di kolon.
Tabel 2.4. MAC : Modified Astler Coller
Dan tumor yang berada pada kolon transversal dan kolon descendens mempunyai prognosa yang
lebih buruk bila dibandingkan dengan tumor yang berada pada kolon ascendens dan kolon
rektosigmoid. Pasien yang menderita obstruksi atau perforasi mempunyai prognosa lebih buruk
bila dibandingkan dengan pasien yang tanpa keadaan ini. Prognosa pasien yang kehilangan
allelic pada kromosom 18q secara signifikan lebih buruk daripada pasien yang tidak kehilangan
allelic pada kromosom 18q. Survival pasien dengan stage II(B) yang tidak kehilangan allelic
pada kromosom 18q sama dengan pasien stage I(A), tetapi jika terdapat kehilangan allelic pada
32
kromosom 18q maka tingkat survival sama dengan pasien stage III(C). Pemeriksaan pada
kromosom 18q ini telah terbukti sangat membantu dalam menyeleksi pasien stage II(B) untuk
adjuvant terapi atau pasien stage III(C) dengan prognosa yang lebih baik untuk menghindarkan
efek toksisitas dan pengeluaran biaya adjuvant terapi.
II.8 PENCEGAHAN
II.8.1 Endoskopi
Sigmoidoskopi atau kolonoskopi dapat mengidentifikasi dan mengangkat polip dan menurunkan
insiden dari pada kanker kolorektal pada pasien yang menjalani kolonoskopi polipektomi.
Bagaimanapun juga belum ada penelitian prospektif randomized clinical trial yang menunjukan
bahwa sigmoidoskopi efektif untuk mencegah kematian akibat kanker kolorektal, meskipun
penelitian trial untuk tes ini sedang dalam proses. Adanya polip pada rektosigmoid dihubungkan
dengan polip yang berada diluar jangkauan sigmoidoskopi, sehingga pemeriksaan kolonoskopi
harus dilakukan.
II.8.2 Diet
Peningkatan dari diet serat menurunkan insiden dari kanker pada pasien yang mempunyai diet
tinggi lemak. Diet rendah lemak telah dijabarkan mempunyai efek proteksi yang lebih baik
daripada diet tanpa lemak. The National Research Council telah merekomendasikan pola diet
pada tahun 1982. Rekomendasi ini diantaranya : (a) menurunkan lemak total dari 40 ke 30% dari
total kalori, (b) meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung serat, (c) membatasi
makanan yang diasinkan, diawetkan dan diasapkan, (d) membatasi makanan yang mengandung
bahan pengawet, (e) mengurangi konsumsi alkohol.
II.8.3 Non Steroid Anti Inflammation Drug
Penelitian pada pasien familial poliposis dengan menggunakan NSAID sulindac dosis 150 mg
secara signifikan menurunkan rata-rata jumlah dan diameter dari polip bila dibandingkan dengan
pasien yang diberi plasebo. Ukuran dan jumlah dari polip bagaimanapun juga tetap meningkat
tiga bulan setelah perlakuan dihentikan. Data lebih jauh menunjukkan bahwa aspirin mengurangi
33
formasi, ukuran dan jumlah dari polip; dan menurunkan insiden dari kanker kolorektal, baik pada
kanker kolorektal familial maupun non familial. Efek protektif ini terlihat membutuhkan
pemakaian aspirin yang berkelanjutan setidaknya 325 mg perhari selama 1 tahun.2
II.8.4 Hormon Replacement Therapy (HRT)
Penelitian oleh the Nurses Health Study yang melibatkan partisipan sebanyak 59.002 orang
wanita postmenopouse menunjukkan hubungan antara pemakaian HRT dengan kanker kolorektal
dan adenoma. Pemakaian HRT menunjukkan penurunan risiko untuk menderita kanker
kolorektal sebesar 40%, dan efek protektif dari HRT menghilang antara 5 tahun setelah
pemakaian HRT dihentikan.
34
Download