BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Escherichia coli Escherichia coli

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Escherichia coli
Escherichia
coli
merupakan
salah
satu
anggota
dari
famili
Enterobacteriaceae. Penemu bakteri ini adalah Theodor Escherich pada tahun
1885. Klasifikasi bakteri Escherichia coli secara garis besar berasal dari Filum
Proteobacteria, Kelas Gamma Proteobacteria, Ordo Enterobacteriales, Familia
Enterobacteriaceae, Genus Escherichia, Spesies Escherichia coli (Yulianti,
2012). Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk batang
pendek, memiliki panjang sekitar 2 μm, diameter 0,7 μm, lebar 0,4-0,7μm dan
bersifat anaerob fakultatif. E. coli membentuk koloni yang bundar, cembung, dan
halus dengan tepi yang nyata serta bersifat motil dengan flagella peritrikus dan
tidak berspora (Kusuma, 2010). E. coli adalah bakteri mesofilik dengan interval
suhu pertumbuhan pada 8OC-45OC dan suhu optimum pertumbuhannya adalah
37OC serta memiliki pH minimum 4,0, dan pH maksimum 9,0 (Agustina et al.,
2009). Escherichia coli berdasarkan pada serotipenya terdiri dari 3 macam yaitu :
O (somatik lipopolisakarida), H (flagellar) dan antigena K (kapsul) (Spickler,
2009). Selanjutnya antigen K dibagi lagi menjadi antigen L, A atau B berdasarkan
pada ciri fisiknya yang berbeda-beda (Melliawati, 2009).
Menurut Zinnah et al. (2007) dalam mengidentifikasi bakteri dapat
dipastikan bahwa bakteri tersebut adalah E. coli apabila pada media eosin
methylen blue agar (EMBA) terbentuk koloni yang khas yaitu berwarna hijau
metalik. Pada media sulphide undol motility (SIM) memberikan tanda bahwa
9
10
bakteri tersebut bersifat motil dan positif indol, dimana tanda positif indol dapat
diketahui dengan adanya cincin berwarna merah. Pada media MR-VP, dimana
pada uji MR (methyl red) didapatkan hasil positif ditandai dengan perubahan
warna media menjadi merah, sedangkan pada uji VP (voges proskauer)
didapatkan hasil negatif yaitu ditandai dengan tidak adanya perubahan warna pada
media.
Escherichia coli merupakan flora normal dalam saluran pencernaan hewan
berdarah panas maupun manusia. Escherichia coli yang termasuk dalam famili
Enterobacteriaceae dan genus Escherichia ini memiliki berbagai macam galur
yang memainkan peranan penting dalam penyakit gastrointestinal (diare). Galur
Escherichia coli yang patogen terdiri dari lima jenis, yaitu Enteropathogenic
Escherichia coli (EPEC) yang menyebabkan diare pada bayi baru lahir khususnya
di Negara-negara berkembang, Enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC)
merupakan etiologi umum dari traveller’s diarrhea, strain Enteroinvasif
Escherichia
coli
(EIEC)
yang
menyebabkan
penyakit
disentri,
strain
Enteroagregatif Escherichia coli (EAEC) dapat menyebabkan diare akut dan
kronik pada masyarakat di Negara berkembang, dan strain Enterohemorragic
Escherichia coli (EHEC) merupakan strain yang sangat patogen yang
menyebabkan penyakit hemolytic uremic syndrome (HUS), hemorragic colitis,
hemolitica anemia microangiopatic, dan trombositopenia. Diare oleh Escherichia
coli biasanya terbagi menjadi tiga jenis, yaitu enteritis akut, dysentry-like disease
(feses bercampur lendir dan darah), dan hemorragic colitis atau bloody diarrhea
(Noorhamdani et al., 2013; Anggraini et al., 20013).
11
2.1.1 Escherichia coli O157:H7
E. coli O157:H7 pertama kali diidentifikasi sebagai bakteri yang
kemungkinan patogen pada manusia pada tahun 1975 yang kemudian dikaitkan
dengan wabah penyakit pada tahun 1982 di California yaitu pada pasien diare
berdarah yang pertama kali diketahui akibat mengkonsumsi daging (daging sapi)
yang terkontaminasi bakteri E. coli O157:H7. E. coli ini menghasilkan
verocytotoxins, atau disebut juga sebagai shiga like toxin karena kesamaan mereka
dengan toksin yang diproduksi oleh Shigella dysenteriae. E. coli ini disebut
VTEC (Verocytotoxin-producing E. coli), STEC (shiga-toxin producing E. coli),
dan juga EHEC (Enterohemorrhagic E. coli) karena gejala yang dihasilkannya.
Serotipe bakteri VTEC mungkin termasuk strain yang berbeda, yaitu berbeda
dalam beberapa virulensi faktor atau karakteristik lainnya seperti motilitas dan
fermentasi sorbitol. VTEC dapat diurutkan kedalam 4 kelompok klonal menurut
faktor virulensinya yang berbeda-beda dan karakteristik lain yang dikodekan oleh
gen pada kromosom , plasmid , dan fag mereka. Banyak dari gen ini, termasuk
pengkodean shiga toksin, rupanya diperoleh dari organisme lain. Sementara
beberapa fungsi lainnya, seperti motilitas dan fermentasi sorbitol hilang selama
evolusi E. coli O157:H7 dari E. coli avirulent yang terdahulu. Namun telah
ditemukan pada isolat E. coli O157:H7 asal Eropa yang memfermentasi sorbitol
(Doyle et al., 2006). Shiga like toxin (SLT) atau shiga toksin yaitu Stx1 dan Stx2
adalah salah satu faktor virulen dari E. coli O157:H7 yang utama (Andriani,
2006). Sapi adalah reservoir penting dari Shiga Toksin Escherichia coli (STEC)
12
yang termasuk didalamnya yaitu serotipe E.coli O157:H7 sebagai bakteri
penghasil STEC. (Suardana et al., 2009).
Suatu bakteri dapat diidentifikasi sebagai E. coli O157:H7 apabila setelah
dilakukannya penanaman kuman Escherichia coli suspect pada Media SMAC
maka akan terlihat koloni yang tidak berwarna / jernih (colourless). Hal ini terjadi
karena bakteri tersebut tidak dapat memfermentasikan sorbitol. Sedangkan strain
yang bukan O157:H7 akan memberikan gambaran berawan warna merah jambu
tanpa zona. Setelah penanaman koloni pada media SMAC kemudian lakukan
pengujian serologis yaitu dengan latex aglutination test buatan Oxoid dimana
pengujian dilakukan bersamaan dengan kontrol positif dari bakteri tersebut.
Adanya bentukan presipitasi yang sesuai dengan kontrol positif yang tersedia
menandai bahwa bakteri tersebut positif E. coli O157:H7 (Sartika et al., 2005).
Serotipe E. coli O157:H7 dapat menimbulkan gangguan kesehatan seperti
hemorragic
colitis
(HC),
hemolytic
uremic
syndrome
(HUS)
dan
thrombocytopenia purpura (TPP). Empat dari Sembilan kasus hemolytic uremic
syndrome (HUS) yang pernah terjadi di Indonesia mengalami meninggal dunia
(Tambunan et al., 2001). E. coli O157:H7 terdapat dalam lumen saluran
pencernaan ternak sapi yang sehat. Proses pemotongan hewan yang kurang
higienis di rumah potong hewan (RPH) dapat menyebabkan terjadinya
kontaminasi bakteri pada daging. Sedangkan kontaminasi pada susu dapat terjadi
akibat dari ambing sapi perah yang terinfeksi oleh bakteri, atau kontaminasi dapat
juga terjadi melalui alat-alat pemerahan yang digunakan. Apabila daging dan susu
yang telah terkontaminasi oleh E. coli O157:H7 dalam proses pemasakan tidak
13
dilakukan secara sempurna dapat menyebabkan infeksi E. coli O157:H7 pada
manusia yang mengkonsumsinya. Manusia yang bertempat tinggal dekat dengan
peternakan juga dapat terinfeksi bakteri E. coli O157:H7 yang berada dalam
peternakan tersebut. Selain disebarkan oleh ternak sapi melalui daging dan
susunya yang telah terkontaminasi, bakteri E. coli O157:H7 juga dapat ditularkan
dari manusia yang telah terinfeksi ke manusia yang lainnya. Penyebaran bakteri E.
coli O157:H7 dari manusia ke manusia yang lain dapat terjadi secara peroral.
Pernah juga dilaporkan terjadi infeksi secara waterborne pada kolam renang yang
terkontaminasi. Telah dilaporkan di Ohio pada tahun 2001 mengenai kejadian
airborne infection yang berasal dari dinding dan debu sebuah bangunan dimana
manusia yang disekitar bangunan tersebut terinfeksi oleh bakteri E. coli O157:H7
(Andriani, 2006).
2.2 Antibiotika
Antibiotika adalah zat atau obat yang dihasilkan oleh suatu mikroba,
terutama fungi, yang berguna sebagai penghambat/pembasmi mikroba lain (jasad
renik/bakteri), khususnya mikroba yang merugikan bagi kesehatan manusia yaitu
mikroba penyebab infeksi pada manusia. Antibiotika sangat tidak efektif dalam
menangani infeksi akibat virus, jamur, atau nonbakteri lainnya, dan setiap
antibiotika sangat beragam keefektifannya dalam melawan berbagai jenis bakteri.
(Wirahmi et al., 2012). Antibiotika berasal dari beberapa sumber antara lain;
ganggang atau lumut (0,9%), Pseudomonales (1,2%), binatang (1,8%),
Eubacteriales terutama Bacilli (7,7%), tanaman tinggi (12,1%), jamur (18,1%),
dan Actinomycetales (58,2%). Antibiotika dapat digolongkan berdasarkan
14
spektrum aktivitas, tempat kerja, serta struktur kimianya. Berdasarkan spektrum
aktivitasnya antibiotik dibagi menjadi : (1) Antibiotika dengan spektrum luas; (2)
Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap bakteri Gram-positif; (3)
Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap terhadap bakteri Gramnegatif; (4) Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap Mycobacteriae
(antituberkulosis). Penggolongan antibiotika berdasarkan tempat kerjanya yaitu
antibiotika ada yang bekerja pada dinding sel, membran sel, asam nukleat, dan
ribosom (Siswandoyo dan Soekardjo, 2000). Selanjutnya berdasarkan mekanisme
kerjanya, antibiotika dibagi menjadi : (1) Antibiotika yang mempengaruhi dinding
sel; (2) Antibiotika yang mengganggu atau merusak membran sel; (3) Antibiotika
yang mengganggu fungsi DNA; (4) Antibiotika yang menghambat sintesis
protein; (5) Antibiotika yang mengganggu metabolisme sel mikroba. Antibiotika
tentu diharapkan mempunyai dampak yang positif terhadap penggunaannya, akan
tetapi penggunaan antibiotika secara tidak rasional akan menimbulkan dampak
negatif. Dimana dampak negatif dari penggunaan antibiotika tersebut antara lain
muncul dan berkembangnya bakteri yang resisten terhadap antibiotika, munculnya
penyakit akibat superinfeksi bakteri resisten, terjadinya toksisitas/efek samping
obat, sehingga perawatan penderita menjadi lebih lama, biaya pengobatan dapat
lebih mahal, dan akhirnya menurunkan kualitas pelayanan kesehatan (Wirahmi et
al., 2012).
15
2.2.1 Penisilin G
Penisilin merupakan antibiotika yang pertama kali ditemukan oleh
Alexander Fleming secara tidak sengaja pada tahun 1928. Penisilin tidak bersifat
toksik dan merupakan salah satu dari agen anti mikroba yang paling aktif (Sarah,
2002). Penisilin merupakan hasil dari kapang Penicillium chrysogenum dan P.
notatum. Namun dalam pengembangan lebih lanjut banyak menggunakan P.
chrysogenum, dan untuk menghasilkan penisilin V yang digunakan adalah
prekursor asam fenoksi asetan (Ahmad, 2006).
Penisilin merupakan campuran dari asam organik berstruktur komplek
yang diisolasi sebagai garam-garam natrium, kalium dan kalsium. Dimana
pensilin dihasilkan selama masa pertumbuhan dan metabolisme kapang
Penicillium notatum dan P. chrysogenum. Penisilin akan menjadi tidak aktif
apabila terkena pengaruh panas, sistein, NaOH, penicilinase (enzim yang terdapat
dalam sebagian besar bakteri yang dapat merusak penisilin) dan asam hidroklorat,
serta zat lain yang dapat merusak penisilin antara lain adalah logam-logam berat
seperti Cu, Ag, Fe, dan Zn. Penisilin G merupakan hasil dari produk biosintesa
dari α-aminoadipic acid, cysteine dan valine. Asam α-aminoadipic merupakan
hasil produksi dari biosintesa lysine. Dimana biosintesa ini dimediasi oleh
aktivitas 3 buah enzim antara lain ACV-synthetase (ACVS), isopenicillin-N
synthase (IPNS) dan acyl-CoA : isopenicillin-N acyltransferase (AT). Penisilin
dibagi menjadi tiga golongan utama yaitu; penisilin alami (penisilin G dan V),
penisilin biosintetik, dan penisilin semisintetik. Dalam menghasilkan penisilin G
dapat melalui 6 rute biosintesis yang berbeda-beda berdasarkan asal α-
16
aminoadipic acid dan cysteine serta bentuk transformasi dari α- ketobutyrate.
Dimana rute biosintesis penisilin dengan konversi yield yang maksimal secara
teoritis adalah rute dengan recycle α-aminoadipic acid, sedangkan cysteine yang
digunakan tersebut berasal dari serine. Penisilin memiliki mekanisme kerja
sebagai penghambat dalam pembentukan Mukopeptida yang diperlukan untuk
sintetis dinding sel mikroba yang dimana antibiotik ini menghasilkan efek
bakterisid (membunuh mikroba) pada mikroba sensitif yang sedang membelah
(Sarah, 2002).
2.2.2 Ampisilin
Ampisilin merupakan antibiotika golongan aminopenisilin berspektrum
luas dengan aktivitas yang kurang baik terhadap bakteri Gram-positif
dibandingkan dengan penisilin G. Antibiotika golongan ini adalah antibiotika
yang tahan asam namun tidak tahan terhadap enzime penisilinase. Antibiotika ini
mudah dirusak oleh beta-laktamase yang diproduksi oleh bakteri Gram-positif
maupun Gram-negatif (Ganiswarna et al., 1995). Ampisilin sering digunakan
dalam pengobatan terhadap infeksi saluran pernapasan, saluran pencernaan,
saluran perkencingan, gonorhu, gastroenteritis, meningitis, dan infeksi karena
Salmonela sp., seperti deman tipoid. Absorbsi antibiotika ini kurang baik dalam
saluran cerna (±30-40%), obat terikat oleh protein plasma ±20%. Kadar dalam
darah maksimalnya dicapai dalam waktu 5 menit setelah injeksi secara intravena,
1 jam setelah injeksi intramuskular, dan 2 jam setelah pemberian secara oral.
Dimana dosis peroaral yaitu : 250-500 mg 4 dd dengan waktu paruh 0,5-1 jam
(Siswandoyo dan Soekardjo, 2000).
17
2.2.3 Sulfametoksazol
Sulfametoksazol merupakan antibiotika derivat sulfiksazol dengan
absorbsi dan eksresi yang lebih lambat. Obat ini biasa digunakan pada penderita
dengan infeksi saluran kemih dan infeksi sistemik, dimana sulfametoksazol umum
digunakan dalam bentuk kombinasi tetap dengan trimetoprim (Ganiswarna et al.,
1995).
Absorbsi sulfametoksazol dalam saluran cerna cepat dan sempurna, dan
±70% terikat oleh protein plasma. 10-20% obat dalam darah terdapat dalam
bentuk terasetilasi. Kadar plasma paling tinggi dicapai dalam waktu 4 jam setelah
pemberian secara oral, dengan waktu paruh 10-12 jam (Siswandoyo dan
Soekardjo, 2000).
Sekitar 15-40% obat diekskresi dalam bentuk asetil yang lebih mudah
dieksresi. Hampir 70% dari antibiotika ini mengalami reabsorbsi di tubuli ginjal
dan pemberian alkali dapat memperbesar bersihan ginjal dengan mengurangi
reabsorbsi tubuli. Sering timbul krista luria dan komplikasi ginjal lainnya akibat
dari beberapa macam sulfa sukar larut dalam urin yang asam. Untuk mencegah
hal ini terjadi maka pasien yang mengkonsumsi obat ini dianjurkan untuk banyak
meminum air putih guna mempertahankan produksi urin dibawah 1200 ml/hari
atau diberikan sediaan alkalis seperti Na-bikarbonat untuk menaikkan pH urin.
Dosis permulaan oral pada orang dewasa 2-4 g yang dilanjutkan dengan
pemberian 2-4 g dalam 3-6 kali pemberian, dimana lamanya pemberian
tergantung dari keadaan penyakit. Untuk anak-anak berumur lebih dari 2 bulan
diberikan dosis awal setengah dosis per hari dan kemudian dilanjutkan dengan 60-
18
150 mg/kg berat badan (maksimal 6 g/hari) dalam 4-6 kali pemberian. Umumnya
sediaan terdapat dalam bentuk tablet 500 mg (Ganiswarna et al., 1995).
2.2.4 Streptomisin
Streptomisin merupakan senyawa bakterisida yang diisolasi dari
Streptomyces
griseus.
Streptomisin
terhidrolisis
menjadi
streptidin
dan
streptobiosamin dalam keadaan asam, yang merupakan kombinasi dari L-streptosa
dan N-metil-L-glukosamin. Streptomisin aktif terhadap sejumlah besar bakteri
Gram-positif dan Gram-negatif, digunakan untuk pengobatan beberapa infeksi
bakteri seperti bakteri endokarditis, brucellosis, dan plaque. Pemberian antibiotika
ini dalam jangka panjang dengan dosis besar dapat mengakibatkan kerusakan
saraf cranial ke 8 dan menyebabkan ketulian (Siswandoyo dan Soekardjo, 2000).
Mekanisme kerja dari streptomisin yaitu setelah diserap dari tempat
suntikan, hampir keseluruhan streptomisin berada dalam plasma, sedikit sekali
yang masuk kedalam eritrosit. Selanjutnya streptomisin menyebar keseluruh
cairan ekstrasel, kira-kira sepertiga dari streptomisin yang berada dalam plasma
akan terikat oleh protein plasma. Antibiotika ini dieksresi melalui filtrasi
glomerulus. Sediaan dari streptomisin dalam bentuk bubuk injeksi dalam vial 1
dan 5 gram. Dosis 20 mg/kg BB secara intamuskular, maksimal 1 gr/hari selama 2
sampai 3 minggu dengan frekuensi pemberian dikurangi menjadi 2-3 kali
seminggu (Ganiswarna et al., 1995).
19
2.3 Pemakaian Antibiotika pada Ternak di Kecamatan Kuta Selatan
Menurut hasil wawancara pada beberapa peternak sapi di Kecamatan Kuta
Selatan, antibiotika yang sering digunakan dalam mengatasi penyakit bakteri pada
ternak sapi di Kecamatan Kuta Selatan yaitu, antibiotika golongan penisilin
(ampisilin), golongan aminoglikosida (gentamisin), dan golongan makrolida
(eritromisin).
2.4 Pola Resistensi Bakteri
Resistensi bakteri adalah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan bakteri
itu sendiri oleh antibiotika. Dimana sifat ini merupakan suatu mekanisme alamiah
untuk bertahan hidup. Pola resistensi dan sensitivitas bakteri terhadap antibiotika
dibagi menjadi tiga pola yaitu : (1) Belum pernah terjadi resistensi yang bermakna
dan menimbulkan kesulitan di klinik; (2) Adanya pergeseran sifat dari peka
menjadi kurang peka tetapi belum sampai menimbulkan sifat resistensi; (3)
Munculnya sifat resistensi yang cukup tinggi sehingga menimbulkan masalah di
klinik (Ganiswarna et al., 1995).
Faktor yang menentukan sifat resistensi atau sensitivitas suatu mikroba
terhadap suatu jenis antibiotika terdapat pada elemennya yang bersifat genetik.
Didasarkan pada lokasi elemen untuk resistensi, yang dikenal sebagai resistensi
kromosom atau resistensi ekstrakromosom. Yang merupakan sifat genetik dan
dapat menyebabkan suatu mikroba sejak awal resisten terhadap suatu antibiotika
(resisten alamiah) (Azizah et al., 2002).
Resistensi bakteri dibagi dalam kelompok resistensi genetik, resistensi
nongenetik, dan resistensi silang, serta mekanisme peristiwa resistensi. Resistensi
20
genetik adalah berubahnya sifat bakteri dari yang semula sensitif menjadi resisten
akibat dari mutasi spotan sehingga gen bakteri tersebut berubah. Resistensi
nongenetik yaitu bakteri yang sedang dalam keadaan istirahat (inaktivitas
metabolik) sehingga bakteri tidak terpengaruh oleh antibiotika. Resistensi silang
adalah keadaan resistensi terhadap antibiotika tertentu yang juga menunjukkan
sifat resistensi terhadap antibiotika lainnya. Serta mekanisme resistensi bakteri
terhadap antibiotika dibagi menjadi 5 antara lain : (1) Perubahan tempat kerja obat
(target site) pada bakteri; (2) Bakteri tersebut menurunkan permeabilitas sehingga
antibiotika kesulitan masuk ke dalam sel; (3) Adanya inaktivasi antibiotika oleh
bakteri; (4) Bakteri membentuk jalan pintas untuk menghindari tahapan dari
bakteri yang dihambat oleh antibiotika; (5) Meningkatkan produksi dari enzim
yang dihambat oleh antibiotika (Ganiswarna et al., 1995).
Resistensi E. coli terhadap berbagai jenis antibiotika telah banyak
dilaporkan. E. coli dilaporkan telah banyak yang resisten terhadap golongan βlaktam, fosfomisin, dan golongan kuinolon (Noviana, 2004). Dari hasil penelitian
Noviana (2004), ditemukan antibiotika golongan β-laktam yang paling baik dalam
membunuh atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan E. coli inaktif
adalah seftriakson, sefotaksim, dan meropenem, sedangkan pada antibiotika
penisilin, ampisilin, dan streptomisin E. coli menunjukkan tanda resistensi.
Dilakukan tes sensitivitas terhadap 12 jenis antibiotika dan kombinasinya pada
901 koloni Esherichia coli O157:H7 yang diisolasi tahun pada 1997-2000
membuktikan bahwa sebanyak 6,6% koloni resisten terhadap lebih dari satu jenis
antibiotika. Ditemukan resistensi terbesar pada tetrasiklin (98%) diikuti dengan
21
streptomisin (66%) kemudian ampisilin (9%) dan sebanyak 68% koloni
merupakan multidrug resisten (Kuntaman et al., 2005).
Resistensi terhadap penisilin, tetrasiklin, kloramfenikol dan streptomisin
pada VTEC O157:H7 dari domba dan kambing terjadi apabila bakteri tersebut
memiliki gen verotoksin (VT1) dan (VT2), sedangkan pada babi ditemukan
resisten terhadap penisilin, streptomisin dan kloramfenikol (Azizah et al., 2002).
Dan pada penelitian yang dilakukan oleh Suwito dan Setyadji, (2011) terhadap
bakteri E. coli O157:H7 yang diisolasi dari Kabupaten Bogor dan Sukabumi
menggunakan antibiotika sulfametoksazol ditemukan sensitivitas bakteri terhadap
antibiotika tersebut pada Kabupaten Bogor, sedangkan pada Kabupaten Sukabumi
ditemukan
bakteri
tersebut
mengalami
resistensi
terhadap
antibiotika
sulfametoksazol. Resistensi dan sensitivitas mikroba yang berbeda-beda terhadap
beberapa jenis antibiotika dapat mengakibatkan angka morbiditas dan mortalitas
meningkat (Noorhamdani et al., 2013).
Resistensi bakteri terhadap antibiotika dapat muncul akibat dari
penggunaan yang tidak terkontrol dan tidak rasional seperti dosis obat yang
kurang tepat, pemilihan antibiotika yang tidak sesuai dengan bakteri yang
menginfeksi, serta waktu penggunaan yang tidak diperhatikan. Resistensi
antibiotika pada manusia dapat menimbulkan tidak efektifnya pemberian
antibiotika tersebut oleh dokter apabila terjadi infeksi. Oleh sebab itu, perlu
dilakukan uji kepekaan terhadap beberapa antibiotika sebagai salah satu aspek
yang dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat veteriner (Suwito dan Setyadji,
2011).
Download