BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Escherichia coli Escherichia coli merupakan salah satu anggota dari famili Enterobacteriaceae. Penemu bakteri ini adalah Theodor Escherich pada tahun 1885. Klasifikasi bakteri Escherichia coli secara garis besar berasal dari Filum Proteobacteria, Kelas Gamma Proteobacteria, Ordo Enterobacteriales, Familia Enterobacteriaceae, Genus Escherichia, Spesies Escherichia coli (Yulianti, 2012). Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk batang pendek, memiliki panjang sekitar 2 μm, diameter 0,7 μm, lebar 0,4-0,7μm dan bersifat anaerob fakultatif. E. coli membentuk koloni yang bundar, cembung, dan halus dengan tepi yang nyata serta bersifat motil dengan flagella peritrikus dan tidak berspora (Kusuma, 2010). E. coli adalah bakteri mesofilik dengan interval suhu pertumbuhan pada 8OC-45OC dan suhu optimum pertumbuhannya adalah 37OC serta memiliki pH minimum 4,0, dan pH maksimum 9,0 (Agustina et al., 2009). Escherichia coli berdasarkan pada serotipenya terdiri dari 3 macam yaitu : O (somatik lipopolisakarida), H (flagellar) dan antigena K (kapsul) (Spickler, 2009). Selanjutnya antigen K dibagi lagi menjadi antigen L, A atau B berdasarkan pada ciri fisiknya yang berbeda-beda (Melliawati, 2009). Menurut Zinnah et al. (2007) dalam mengidentifikasi bakteri dapat dipastikan bahwa bakteri tersebut adalah E. coli apabila pada media eosin methylen blue agar (EMBA) terbentuk koloni yang khas yaitu berwarna hijau metalik. Pada media sulphide undol motility (SIM) memberikan tanda bahwa 9 10 bakteri tersebut bersifat motil dan positif indol, dimana tanda positif indol dapat diketahui dengan adanya cincin berwarna merah. Pada media MR-VP, dimana pada uji MR (methyl red) didapatkan hasil positif ditandai dengan perubahan warna media menjadi merah, sedangkan pada uji VP (voges proskauer) didapatkan hasil negatif yaitu ditandai dengan tidak adanya perubahan warna pada media. Escherichia coli merupakan flora normal dalam saluran pencernaan hewan berdarah panas maupun manusia. Escherichia coli yang termasuk dalam famili Enterobacteriaceae dan genus Escherichia ini memiliki berbagai macam galur yang memainkan peranan penting dalam penyakit gastrointestinal (diare). Galur Escherichia coli yang patogen terdiri dari lima jenis, yaitu Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) yang menyebabkan diare pada bayi baru lahir khususnya di Negara-negara berkembang, Enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC) merupakan etiologi umum dari traveller’s diarrhea, strain Enteroinvasif Escherichia coli (EIEC) yang menyebabkan penyakit disentri, strain Enteroagregatif Escherichia coli (EAEC) dapat menyebabkan diare akut dan kronik pada masyarakat di Negara berkembang, dan strain Enterohemorragic Escherichia coli (EHEC) merupakan strain yang sangat patogen yang menyebabkan penyakit hemolytic uremic syndrome (HUS), hemorragic colitis, hemolitica anemia microangiopatic, dan trombositopenia. Diare oleh Escherichia coli biasanya terbagi menjadi tiga jenis, yaitu enteritis akut, dysentry-like disease (feses bercampur lendir dan darah), dan hemorragic colitis atau bloody diarrhea (Noorhamdani et al., 2013; Anggraini et al., 20013). 11 2.1.1 Escherichia coli O157:H7 E. coli O157:H7 pertama kali diidentifikasi sebagai bakteri yang kemungkinan patogen pada manusia pada tahun 1975 yang kemudian dikaitkan dengan wabah penyakit pada tahun 1982 di California yaitu pada pasien diare berdarah yang pertama kali diketahui akibat mengkonsumsi daging (daging sapi) yang terkontaminasi bakteri E. coli O157:H7. E. coli ini menghasilkan verocytotoxins, atau disebut juga sebagai shiga like toxin karena kesamaan mereka dengan toksin yang diproduksi oleh Shigella dysenteriae. E. coli ini disebut VTEC (Verocytotoxin-producing E. coli), STEC (shiga-toxin producing E. coli), dan juga EHEC (Enterohemorrhagic E. coli) karena gejala yang dihasilkannya. Serotipe bakteri VTEC mungkin termasuk strain yang berbeda, yaitu berbeda dalam beberapa virulensi faktor atau karakteristik lainnya seperti motilitas dan fermentasi sorbitol. VTEC dapat diurutkan kedalam 4 kelompok klonal menurut faktor virulensinya yang berbeda-beda dan karakteristik lain yang dikodekan oleh gen pada kromosom , plasmid , dan fag mereka. Banyak dari gen ini, termasuk pengkodean shiga toksin, rupanya diperoleh dari organisme lain. Sementara beberapa fungsi lainnya, seperti motilitas dan fermentasi sorbitol hilang selama evolusi E. coli O157:H7 dari E. coli avirulent yang terdahulu. Namun telah ditemukan pada isolat E. coli O157:H7 asal Eropa yang memfermentasi sorbitol (Doyle et al., 2006). Shiga like toxin (SLT) atau shiga toksin yaitu Stx1 dan Stx2 adalah salah satu faktor virulen dari E. coli O157:H7 yang utama (Andriani, 2006). Sapi adalah reservoir penting dari Shiga Toksin Escherichia coli (STEC) 12 yang termasuk didalamnya yaitu serotipe E.coli O157:H7 sebagai bakteri penghasil STEC. (Suardana et al., 2009). Suatu bakteri dapat diidentifikasi sebagai E. coli O157:H7 apabila setelah dilakukannya penanaman kuman Escherichia coli suspect pada Media SMAC maka akan terlihat koloni yang tidak berwarna / jernih (colourless). Hal ini terjadi karena bakteri tersebut tidak dapat memfermentasikan sorbitol. Sedangkan strain yang bukan O157:H7 akan memberikan gambaran berawan warna merah jambu tanpa zona. Setelah penanaman koloni pada media SMAC kemudian lakukan pengujian serologis yaitu dengan latex aglutination test buatan Oxoid dimana pengujian dilakukan bersamaan dengan kontrol positif dari bakteri tersebut. Adanya bentukan presipitasi yang sesuai dengan kontrol positif yang tersedia menandai bahwa bakteri tersebut positif E. coli O157:H7 (Sartika et al., 2005). Serotipe E. coli O157:H7 dapat menimbulkan gangguan kesehatan seperti hemorragic colitis (HC), hemolytic uremic syndrome (HUS) dan thrombocytopenia purpura (TPP). Empat dari Sembilan kasus hemolytic uremic syndrome (HUS) yang pernah terjadi di Indonesia mengalami meninggal dunia (Tambunan et al., 2001). E. coli O157:H7 terdapat dalam lumen saluran pencernaan ternak sapi yang sehat. Proses pemotongan hewan yang kurang higienis di rumah potong hewan (RPH) dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi bakteri pada daging. Sedangkan kontaminasi pada susu dapat terjadi akibat dari ambing sapi perah yang terinfeksi oleh bakteri, atau kontaminasi dapat juga terjadi melalui alat-alat pemerahan yang digunakan. Apabila daging dan susu yang telah terkontaminasi oleh E. coli O157:H7 dalam proses pemasakan tidak 13 dilakukan secara sempurna dapat menyebabkan infeksi E. coli O157:H7 pada manusia yang mengkonsumsinya. Manusia yang bertempat tinggal dekat dengan peternakan juga dapat terinfeksi bakteri E. coli O157:H7 yang berada dalam peternakan tersebut. Selain disebarkan oleh ternak sapi melalui daging dan susunya yang telah terkontaminasi, bakteri E. coli O157:H7 juga dapat ditularkan dari manusia yang telah terinfeksi ke manusia yang lainnya. Penyebaran bakteri E. coli O157:H7 dari manusia ke manusia yang lain dapat terjadi secara peroral. Pernah juga dilaporkan terjadi infeksi secara waterborne pada kolam renang yang terkontaminasi. Telah dilaporkan di Ohio pada tahun 2001 mengenai kejadian airborne infection yang berasal dari dinding dan debu sebuah bangunan dimana manusia yang disekitar bangunan tersebut terinfeksi oleh bakteri E. coli O157:H7 (Andriani, 2006). 2.2 Antibiotika Antibiotika adalah zat atau obat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang berguna sebagai penghambat/pembasmi mikroba lain (jasad renik/bakteri), khususnya mikroba yang merugikan bagi kesehatan manusia yaitu mikroba penyebab infeksi pada manusia. Antibiotika sangat tidak efektif dalam menangani infeksi akibat virus, jamur, atau nonbakteri lainnya, dan setiap antibiotika sangat beragam keefektifannya dalam melawan berbagai jenis bakteri. (Wirahmi et al., 2012). Antibiotika berasal dari beberapa sumber antara lain; ganggang atau lumut (0,9%), Pseudomonales (1,2%), binatang (1,8%), Eubacteriales terutama Bacilli (7,7%), tanaman tinggi (12,1%), jamur (18,1%), dan Actinomycetales (58,2%). Antibiotika dapat digolongkan berdasarkan 14 spektrum aktivitas, tempat kerja, serta struktur kimianya. Berdasarkan spektrum aktivitasnya antibiotik dibagi menjadi : (1) Antibiotika dengan spektrum luas; (2) Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap bakteri Gram-positif; (3) Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap terhadap bakteri Gramnegatif; (4) Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap Mycobacteriae (antituberkulosis). Penggolongan antibiotika berdasarkan tempat kerjanya yaitu antibiotika ada yang bekerja pada dinding sel, membran sel, asam nukleat, dan ribosom (Siswandoyo dan Soekardjo, 2000). Selanjutnya berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotika dibagi menjadi : (1) Antibiotika yang mempengaruhi dinding sel; (2) Antibiotika yang mengganggu atau merusak membran sel; (3) Antibiotika yang mengganggu fungsi DNA; (4) Antibiotika yang menghambat sintesis protein; (5) Antibiotika yang mengganggu metabolisme sel mikroba. Antibiotika tentu diharapkan mempunyai dampak yang positif terhadap penggunaannya, akan tetapi penggunaan antibiotika secara tidak rasional akan menimbulkan dampak negatif. Dimana dampak negatif dari penggunaan antibiotika tersebut antara lain muncul dan berkembangnya bakteri yang resisten terhadap antibiotika, munculnya penyakit akibat superinfeksi bakteri resisten, terjadinya toksisitas/efek samping obat, sehingga perawatan penderita menjadi lebih lama, biaya pengobatan dapat lebih mahal, dan akhirnya menurunkan kualitas pelayanan kesehatan (Wirahmi et al., 2012). 15 2.2.1 Penisilin G Penisilin merupakan antibiotika yang pertama kali ditemukan oleh Alexander Fleming secara tidak sengaja pada tahun 1928. Penisilin tidak bersifat toksik dan merupakan salah satu dari agen anti mikroba yang paling aktif (Sarah, 2002). Penisilin merupakan hasil dari kapang Penicillium chrysogenum dan P. notatum. Namun dalam pengembangan lebih lanjut banyak menggunakan P. chrysogenum, dan untuk menghasilkan penisilin V yang digunakan adalah prekursor asam fenoksi asetan (Ahmad, 2006). Penisilin merupakan campuran dari asam organik berstruktur komplek yang diisolasi sebagai garam-garam natrium, kalium dan kalsium. Dimana pensilin dihasilkan selama masa pertumbuhan dan metabolisme kapang Penicillium notatum dan P. chrysogenum. Penisilin akan menjadi tidak aktif apabila terkena pengaruh panas, sistein, NaOH, penicilinase (enzim yang terdapat dalam sebagian besar bakteri yang dapat merusak penisilin) dan asam hidroklorat, serta zat lain yang dapat merusak penisilin antara lain adalah logam-logam berat seperti Cu, Ag, Fe, dan Zn. Penisilin G merupakan hasil dari produk biosintesa dari α-aminoadipic acid, cysteine dan valine. Asam α-aminoadipic merupakan hasil produksi dari biosintesa lysine. Dimana biosintesa ini dimediasi oleh aktivitas 3 buah enzim antara lain ACV-synthetase (ACVS), isopenicillin-N synthase (IPNS) dan acyl-CoA : isopenicillin-N acyltransferase (AT). Penisilin dibagi menjadi tiga golongan utama yaitu; penisilin alami (penisilin G dan V), penisilin biosintetik, dan penisilin semisintetik. Dalam menghasilkan penisilin G dapat melalui 6 rute biosintesis yang berbeda-beda berdasarkan asal α- 16 aminoadipic acid dan cysteine serta bentuk transformasi dari α- ketobutyrate. Dimana rute biosintesis penisilin dengan konversi yield yang maksimal secara teoritis adalah rute dengan recycle α-aminoadipic acid, sedangkan cysteine yang digunakan tersebut berasal dari serine. Penisilin memiliki mekanisme kerja sebagai penghambat dalam pembentukan Mukopeptida yang diperlukan untuk sintetis dinding sel mikroba yang dimana antibiotik ini menghasilkan efek bakterisid (membunuh mikroba) pada mikroba sensitif yang sedang membelah (Sarah, 2002). 2.2.2 Ampisilin Ampisilin merupakan antibiotika golongan aminopenisilin berspektrum luas dengan aktivitas yang kurang baik terhadap bakteri Gram-positif dibandingkan dengan penisilin G. Antibiotika golongan ini adalah antibiotika yang tahan asam namun tidak tahan terhadap enzime penisilinase. Antibiotika ini mudah dirusak oleh beta-laktamase yang diproduksi oleh bakteri Gram-positif maupun Gram-negatif (Ganiswarna et al., 1995). Ampisilin sering digunakan dalam pengobatan terhadap infeksi saluran pernapasan, saluran pencernaan, saluran perkencingan, gonorhu, gastroenteritis, meningitis, dan infeksi karena Salmonela sp., seperti deman tipoid. Absorbsi antibiotika ini kurang baik dalam saluran cerna (±30-40%), obat terikat oleh protein plasma ±20%. Kadar dalam darah maksimalnya dicapai dalam waktu 5 menit setelah injeksi secara intravena, 1 jam setelah injeksi intramuskular, dan 2 jam setelah pemberian secara oral. Dimana dosis peroaral yaitu : 250-500 mg 4 dd dengan waktu paruh 0,5-1 jam (Siswandoyo dan Soekardjo, 2000). 17 2.2.3 Sulfametoksazol Sulfametoksazol merupakan antibiotika derivat sulfiksazol dengan absorbsi dan eksresi yang lebih lambat. Obat ini biasa digunakan pada penderita dengan infeksi saluran kemih dan infeksi sistemik, dimana sulfametoksazol umum digunakan dalam bentuk kombinasi tetap dengan trimetoprim (Ganiswarna et al., 1995). Absorbsi sulfametoksazol dalam saluran cerna cepat dan sempurna, dan ±70% terikat oleh protein plasma. 10-20% obat dalam darah terdapat dalam bentuk terasetilasi. Kadar plasma paling tinggi dicapai dalam waktu 4 jam setelah pemberian secara oral, dengan waktu paruh 10-12 jam (Siswandoyo dan Soekardjo, 2000). Sekitar 15-40% obat diekskresi dalam bentuk asetil yang lebih mudah dieksresi. Hampir 70% dari antibiotika ini mengalami reabsorbsi di tubuli ginjal dan pemberian alkali dapat memperbesar bersihan ginjal dengan mengurangi reabsorbsi tubuli. Sering timbul krista luria dan komplikasi ginjal lainnya akibat dari beberapa macam sulfa sukar larut dalam urin yang asam. Untuk mencegah hal ini terjadi maka pasien yang mengkonsumsi obat ini dianjurkan untuk banyak meminum air putih guna mempertahankan produksi urin dibawah 1200 ml/hari atau diberikan sediaan alkalis seperti Na-bikarbonat untuk menaikkan pH urin. Dosis permulaan oral pada orang dewasa 2-4 g yang dilanjutkan dengan pemberian 2-4 g dalam 3-6 kali pemberian, dimana lamanya pemberian tergantung dari keadaan penyakit. Untuk anak-anak berumur lebih dari 2 bulan diberikan dosis awal setengah dosis per hari dan kemudian dilanjutkan dengan 60- 18 150 mg/kg berat badan (maksimal 6 g/hari) dalam 4-6 kali pemberian. Umumnya sediaan terdapat dalam bentuk tablet 500 mg (Ganiswarna et al., 1995). 2.2.4 Streptomisin Streptomisin merupakan senyawa bakterisida yang diisolasi dari Streptomyces griseus. Streptomisin terhidrolisis menjadi streptidin dan streptobiosamin dalam keadaan asam, yang merupakan kombinasi dari L-streptosa dan N-metil-L-glukosamin. Streptomisin aktif terhadap sejumlah besar bakteri Gram-positif dan Gram-negatif, digunakan untuk pengobatan beberapa infeksi bakteri seperti bakteri endokarditis, brucellosis, dan plaque. Pemberian antibiotika ini dalam jangka panjang dengan dosis besar dapat mengakibatkan kerusakan saraf cranial ke 8 dan menyebabkan ketulian (Siswandoyo dan Soekardjo, 2000). Mekanisme kerja dari streptomisin yaitu setelah diserap dari tempat suntikan, hampir keseluruhan streptomisin berada dalam plasma, sedikit sekali yang masuk kedalam eritrosit. Selanjutnya streptomisin menyebar keseluruh cairan ekstrasel, kira-kira sepertiga dari streptomisin yang berada dalam plasma akan terikat oleh protein plasma. Antibiotika ini dieksresi melalui filtrasi glomerulus. Sediaan dari streptomisin dalam bentuk bubuk injeksi dalam vial 1 dan 5 gram. Dosis 20 mg/kg BB secara intamuskular, maksimal 1 gr/hari selama 2 sampai 3 minggu dengan frekuensi pemberian dikurangi menjadi 2-3 kali seminggu (Ganiswarna et al., 1995). 19 2.3 Pemakaian Antibiotika pada Ternak di Kecamatan Kuta Selatan Menurut hasil wawancara pada beberapa peternak sapi di Kecamatan Kuta Selatan, antibiotika yang sering digunakan dalam mengatasi penyakit bakteri pada ternak sapi di Kecamatan Kuta Selatan yaitu, antibiotika golongan penisilin (ampisilin), golongan aminoglikosida (gentamisin), dan golongan makrolida (eritromisin). 2.4 Pola Resistensi Bakteri Resistensi bakteri adalah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan bakteri itu sendiri oleh antibiotika. Dimana sifat ini merupakan suatu mekanisme alamiah untuk bertahan hidup. Pola resistensi dan sensitivitas bakteri terhadap antibiotika dibagi menjadi tiga pola yaitu : (1) Belum pernah terjadi resistensi yang bermakna dan menimbulkan kesulitan di klinik; (2) Adanya pergeseran sifat dari peka menjadi kurang peka tetapi belum sampai menimbulkan sifat resistensi; (3) Munculnya sifat resistensi yang cukup tinggi sehingga menimbulkan masalah di klinik (Ganiswarna et al., 1995). Faktor yang menentukan sifat resistensi atau sensitivitas suatu mikroba terhadap suatu jenis antibiotika terdapat pada elemennya yang bersifat genetik. Didasarkan pada lokasi elemen untuk resistensi, yang dikenal sebagai resistensi kromosom atau resistensi ekstrakromosom. Yang merupakan sifat genetik dan dapat menyebabkan suatu mikroba sejak awal resisten terhadap suatu antibiotika (resisten alamiah) (Azizah et al., 2002). Resistensi bakteri dibagi dalam kelompok resistensi genetik, resistensi nongenetik, dan resistensi silang, serta mekanisme peristiwa resistensi. Resistensi 20 genetik adalah berubahnya sifat bakteri dari yang semula sensitif menjadi resisten akibat dari mutasi spotan sehingga gen bakteri tersebut berubah. Resistensi nongenetik yaitu bakteri yang sedang dalam keadaan istirahat (inaktivitas metabolik) sehingga bakteri tidak terpengaruh oleh antibiotika. Resistensi silang adalah keadaan resistensi terhadap antibiotika tertentu yang juga menunjukkan sifat resistensi terhadap antibiotika lainnya. Serta mekanisme resistensi bakteri terhadap antibiotika dibagi menjadi 5 antara lain : (1) Perubahan tempat kerja obat (target site) pada bakteri; (2) Bakteri tersebut menurunkan permeabilitas sehingga antibiotika kesulitan masuk ke dalam sel; (3) Adanya inaktivasi antibiotika oleh bakteri; (4) Bakteri membentuk jalan pintas untuk menghindari tahapan dari bakteri yang dihambat oleh antibiotika; (5) Meningkatkan produksi dari enzim yang dihambat oleh antibiotika (Ganiswarna et al., 1995). Resistensi E. coli terhadap berbagai jenis antibiotika telah banyak dilaporkan. E. coli dilaporkan telah banyak yang resisten terhadap golongan βlaktam, fosfomisin, dan golongan kuinolon (Noviana, 2004). Dari hasil penelitian Noviana (2004), ditemukan antibiotika golongan β-laktam yang paling baik dalam membunuh atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan E. coli inaktif adalah seftriakson, sefotaksim, dan meropenem, sedangkan pada antibiotika penisilin, ampisilin, dan streptomisin E. coli menunjukkan tanda resistensi. Dilakukan tes sensitivitas terhadap 12 jenis antibiotika dan kombinasinya pada 901 koloni Esherichia coli O157:H7 yang diisolasi tahun pada 1997-2000 membuktikan bahwa sebanyak 6,6% koloni resisten terhadap lebih dari satu jenis antibiotika. Ditemukan resistensi terbesar pada tetrasiklin (98%) diikuti dengan 21 streptomisin (66%) kemudian ampisilin (9%) dan sebanyak 68% koloni merupakan multidrug resisten (Kuntaman et al., 2005). Resistensi terhadap penisilin, tetrasiklin, kloramfenikol dan streptomisin pada VTEC O157:H7 dari domba dan kambing terjadi apabila bakteri tersebut memiliki gen verotoksin (VT1) dan (VT2), sedangkan pada babi ditemukan resisten terhadap penisilin, streptomisin dan kloramfenikol (Azizah et al., 2002). Dan pada penelitian yang dilakukan oleh Suwito dan Setyadji, (2011) terhadap bakteri E. coli O157:H7 yang diisolasi dari Kabupaten Bogor dan Sukabumi menggunakan antibiotika sulfametoksazol ditemukan sensitivitas bakteri terhadap antibiotika tersebut pada Kabupaten Bogor, sedangkan pada Kabupaten Sukabumi ditemukan bakteri tersebut mengalami resistensi terhadap antibiotika sulfametoksazol. Resistensi dan sensitivitas mikroba yang berbeda-beda terhadap beberapa jenis antibiotika dapat mengakibatkan angka morbiditas dan mortalitas meningkat (Noorhamdani et al., 2013). Resistensi bakteri terhadap antibiotika dapat muncul akibat dari penggunaan yang tidak terkontrol dan tidak rasional seperti dosis obat yang kurang tepat, pemilihan antibiotika yang tidak sesuai dengan bakteri yang menginfeksi, serta waktu penggunaan yang tidak diperhatikan. Resistensi antibiotika pada manusia dapat menimbulkan tidak efektifnya pemberian antibiotika tersebut oleh dokter apabila terjadi infeksi. Oleh sebab itu, perlu dilakukan uji kepekaan terhadap beberapa antibiotika sebagai salah satu aspek yang dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat veteriner (Suwito dan Setyadji, 2011).