II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SALAK PODOH Salak pondoh merupakan tanaman asli Indonesia yang banyak diusahakan petani di daerah pedalaman Indonesia. Buah salak adalah buah asli Indonesia yang memiliki pusat produksi di berbagai tempat di Indonesia, diantaranya Bali, Banjarnegara, Yogyakarta, Madura, Malang, Sulawesi dan Sumatera Utara (Ashari, 1995). Menurut Sabari (1983), pemberian nama jenis salak didasarkan atas beberapa cara, yaitu menurut nama daerah asal, misalnya salak bali (Bali), salak condet (Jakarta), salak gondanglegi (Malang) dan salak manonjaya (Tasikmalaya); menurut warna kulit buah, misalnya salak putih atau salak gading; menurut warna daging buah, misalnya salak pondoh; dan menurut rasa daging buah, misalnya salak madu atau salak kopyor. Namun, yang paling terkenal di masyarakat adalah nama salak menurut nama daerah asal yang juga disebut kultivar (Suter, 1988). Salak pondoh memiliki kandungan gizi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia dalam jumlah yang cukup banyak. Kandungan gizi yang ada di salak pondoh disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan Gizi Buah Salak Pondoh dalam 100 gram Kandungan Gizi Jumlah Energi (kalori) 77 Protein (g) 0.4 Karbohidrat (g) 20.9 Kalsium (mg) 28 Fosfor (mg) 18 Zat Besi (mg) 4.2 Vitamin B1 (mg) 0.04 Vitamin C (mg) 2 Air (g) 78 Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan DI Yogyakarta (1989) Buah salak pondoh adalah jenis salak yang paling unggul dibanding jenis lainnya. Keunggulan utama salak pondoh adalah memiliki rasa yang manis walaupun salak masih muda dan gurih tanpa rasa sepat (Nusmawarhaeni et al., 1989). Dengan adanya keunggulan salak pondoh tersebut, nilai ekonomis salak pondoh lebih tinggi dibanding jenis salak lainnya (Djuwanto, 1989). Rasio gula asam salak pondoh jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan varietas lain seperti salak condet, salak sleman dan salak bali. Rasio gula asam salak pondoh berkisar 72.81%, salak sleman 52.44%, salak bali 41.47% dan salak condet 38.87% (Sabari, 1983). Salak pondoh (Salacca edulis Reinw.) termasuk pada suku pinang-pinangan (palmae), famili Palmaceae. ordo Spadiceflorae dan genus Salacca. Jika dibandingkan dengan salak jenis lainnya, salak pondoh memiliki ukuran yang relatif lebih kecil, memiliki tekstur yang keras, kulit yang lebih hitam dan daging buah yang relatif lebih putih (Hasturi dan Ari, 1988). Bobot salak pondoh antara 30-100 gram dan memiliki biji yang kecil (Sabari, 1983). Ketebalan daging salak pondoh umumnya adalah antara 0,8 sampai 1,5 cm (Rukmana, 1999). 3 Daerah sentra produksi salak terbesar di Indonesia adalah di Provinsi Jawa Tengah, tepatnya di Kabupaten Banjarnegara. Pada tahun 2010, besarnya produksi salak di Kabupaten Banjarnegara mencapai 228.226.078 kg atau mencapai 70% dari produksi salak untuk Jawa Tengah (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2010 dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara, 2010). 2.2 SIFAT FISIOLOGIS SALAK PASCA PANEN Buah-buahan termasuk salak, tidak hanya melakukan respirasi untuk melangsungkan hidupnya saat masih berada di pohon, namun juga masih melakukan respirasi saat setelah buahbuahan dipetik (panen). Proses respirasi adalah suatu proses biologis dimana oksigen diserap oleh buah dan digunakan untuk proses pembakaran yang menghasilkan energi dan diikuti sisa pembakaran dalam bentuk karbondioksida (CO2) dan air (H2O) (Phan et al., 1986). Reaksi kimia untuk respirasi adalah sebagai berikut : C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6H2O Adanya aktivitas respirasi pada hasil-hasil pertanian akan menyebabkan hasil pertanian menjadi matang dan menjadi tua. Proses matangnya hasil pertanian merupakan perubahan dari warna, aroma dan tekstur berturut-turut menuju ke arah hasil pertanian yang dapat dimakan/dapat digunakan dan memberikan hasil sebaik-baiknya. Proses menjadi tua (senescence) merupakan proses secara normal menuju ke arah kerusakan sejak lewat masa optimal (Hadiwiyoto dan Soehardi, 1981). Selama proses pematangan, terjadi berbagai perubahan buah secara fisik. Perubahan secara fisik tersebut antara lain adalah perubahan warna, perubahan tekstur, susut bobot, layu dan keriput yang menyebabkan turunnya mutu buah (Santoso dan Purwoko, 1995). Menurut Suter (1988), laju respirasi salak berkisar 11,46-19,60 mg CO2/kg.jam. Laju respirasi tersebut, dekat dengan buah non klimakterik lain seperti anggur (12-16 mg CO2/kg.jam), jeruk (13-17 mg CO2/kg.jam), dan lemon (10 mg CO2/kg.jam). Menurut Kader (1992), jenis buah menurut tingkat laju respirasi setelah dipetik dibagi menjadi dua, yaitu buah klimakterik dan buah non klimakterik. Buah klimakterik dicirikan dengan adanya kenaikan produksi CO2 dan gas etilen yang besar pada saat penuaan. Sedangkan, buah non klimakterik ditunjukkan dengan tidak adanya perubahan dari CO2 dan produksi gas etilen yang signifikan saat penuaan. Tingkat kematangan buah sering ditunjukkan dengan rasio gula dan asam. Kandungan buah yang telah matang menunjukkan kenaikan gula sedangkan kadar asamnya menurun sehingga rasio gula/asam mengalami perubahan yang drastis. Hal ini berlaku pada buah klimaterik, sedangkan pada produk non klimaterik perubahan rasio gula/asam tidak menunjukkan keteraturan pola (Winarno dan Aman, 1981). Laju respirasi dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi laju respirasi diantaranya susunan kimia jaringan, tingkat perkembangan organ, ukuran produk, adanya pelapisan alami dan jenis jaringan. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi laju respirasi diantaranya suhu, penggunaan etilen, ketersediaan oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2), senyawa pengatur pertumbuhan dan adanya luka/pecah pada buah (Phan et al., 1986). Kandungan oksigen yang ada di ruang penyimpanan perlu diperhatikan karena semakin tinggi kadar oksigen maka laju respirasi semakin cepat. Konsentrasi karbondioksida (CO2) yang sesuai dapat memperpanjang masa simpan buah-buahan dan sayuran karena CO2 menimbulkan gangguan respirasi pada produk. Adanya kerusakan atau luka pada produk sebaiknya dihindari selama penyimpanan karena dapat memacu terjadinya respirasi sehingga umur simpan produk semakin pendek (Pantastico, 1986). 4 2.3 KEMASAN AKTIF Kemasan aktif merupakan salah satu alternatif dalam pengemasan komoditi pertanian guna memperpanjang umur simpan produk pertanian. Kemasan aktif adalah cara pengemasan suatu produk yang mudah rusak dimana komposisi udara dalam kemasan telah diubah, sehingga komposisi udara di dalam kemasan tidak lagi sama dengan kondisi atmosfer (Hintlian dan Hotchkiss, 1986). Komposisi udara yang diperhatikan pada kemasan aktif suatu produk adalah oksigen (O2), gas etilen (CH4) dan karbondioksida (CO2). Kadar CO2 dan O2 harus diperhatikan agar tidak berada di atas ataupun di bawah batas toleransi. Konsentrasi CO2 yang terlalu sedikit akan menyebabkan kerusakan fisiologis pada produk (Jobling, 2001). Pada dasarnya, CO2 dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis jamur yang akan menyebabkan kebusukan, namun jika CO2 terlalu banyak juga maka akan menyebabkan kerusakan dan kebusukan pada produk. Konsentrasi O2 yang terlalu sedikit di dalam kemasan akan menyebabkan terjadinya respirasi anaerobik dan akan menyebabkan terbentuknya aroma yang tidak diinginkan. Dan jika konsentrasi O2 terlalu banyakn maka akan mempercepat laju respirasi serta mempercepat kerusakan dan kebusukan produk. Salah satu cara untuk mengendalikan gas yang ada di dalam kemasan adalah dengan cara penambahan bahan penyerap yang sesuai. Meskipun cara ini membutuhkan tambahan biaya namun kondisi atmosfer di dalam kemasan dapat dikendalikan sehingga umur simpan produk menjadi lebih panjang. 2.4 PENYIMPANAN SUHU RENDAH Laju perubahan mutu pangan sangat dipengaruhi oleh suhu, termasuk pada produk segar seperti buah-buahan dan sayuran. Lingkungan yang ditunjang dengan suhu rendah menyebabkan aktivitas metabolisme pasca panen menjadi berkurang dan perubahan kimia yang terjadi akan berlangsung lambat . Selama masa penanganan, buah-buahan akan mengalami penurunan berat karena kehilangan air dan CO2 yang disebabkan oleh penguapan dan respirasi. Apabila buah-buahan didinginkan, maka proses respirasi yang menyebabkan kehilangan CO2 dapat dikurangi. Tetapi proses penguapan air justru dapat menjadi cepat terutama bila kelembaban relatif udara di bawah keadaan optimum (85%-90%) (Soedibyo, 1980). Djaafar dan Mudjisihono (1998) menyimpulkan bahwa untuk memperpanjang umur simpan buah salak pondoh diperlukan perlakuan suhu dingin (± 150C) selama proses penyimpanannya. Salah satu reaksi kimia yang dihambat dalam penyimpanan suhu rendah adalah perubahan komposisi kimia terutama senyawa pektin dalam daging buah. Senyawa pektin merupakan salah satu komponen dinding primer maupun lamela tengah pada dinding sel buah (Muchtadi, 1992). Dalam proses pematangan buah, zat pektin yang tidak larut (protopektin) berubah menjadi pektin yang larut air, sehingga pektin yang larut air bertambah dan protopektin tak larut akan berkurang. Keadaan ini menyebabkan ketegaran sel buah akan menjadi lunak. Dengan perlakuan suhu dingin reaksi perubahan protopektin menjadi pektin dapat diperlambat sehingga buah tidak cepat lunak. Lebih lanjut menurut Muchtadi (1992), menyatakan bahwa kandungan zat pektin didalam buah mempengaruhi kekerasan (tekstur). Jika buah dipanaskan atau disimpan pada suhu yang tinggi, maka zat pektin yang mempunyai sifat tidak larut dalam air sebagian akan terhidrolisis menjadi pektin, sehingga akibatnya tekstur buah tersebut menjadi lunak. 5 2.5 PERANAN ETILEN PADA BUAH Etilen adalah senyawa yang berbentuk gas pada suhu kamar yang dihasilkan dan dikeluarkan oleh tumbuhan itu sendiri untuk proses pertumbuhan dan pematangan hasil pertanian. Gas etilen (C2H4) adalah hormon yang dihasilkan oleh tumbuhan dan merupakan campuran paling sederhana yang mempengaruhi proses fisiologi pada tumbuhan. Proses fisiologi pada tumbuhan diantaranya susut bobot, perubahan warna kulit, perubahan kadar gula, kekerasan dan lain-lain (Winarno dan Aman, 1979). Etilen disebut juga sebagai hormon karena dapat memenuhi persyaratan sebagai hormon yang dihasilkan oleh tanaman, bersifat mobile dalam jaringan tanaman dan merupakan senyawa organik. Senyawa etilen tidak hanya berpengaruh terhadap proses pematangan, namun juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman (Winarno, 2002). Menurut Julianti dan Nurminah (2006), secara umum etilen merupakan bahan yang tidak diinginkan untuk penyimpanan produk segar, sehingga etilen harus disingkirkan dari lingkungan penyimpanan, hal ini dikarenakan : Dalam jumlah sedikit, etilen sudah dapat menurunkan mutu dan masa simpan produk Dapat meningkatkan laju respirasi sehingga mempercepat pelunakan jaringan dan kebusukan buah segar Mempercepat degradasi klorofil yang kemudian akan menyebabkan kerusakan-kerusakan pasca panen lainnya Trucker di dalam Saputro (2004) menyatakan bahwa gas etilen (C2H4) adalah jenis bahan yang digunakan untuk memicu kematangan dengan jumlah dan waktu yang berbeda-beda pada setiap buah-buahan. Dengan adanya gas etilen yang dihasilkan oleh salak selama penyimpanan menyebabkan kematangan salak terus meningkat sehingga umur simpan salak menjadi pendek. Keberadaan etilen dalam lingkungan sekitar produk hortikultura harus diikat atau diubah menjadi bentuk yang tidak aktif agar kerusakan produk dapat ditekan sekecil mungkin (Sjaifullah dan Dondy, 1991). Usaha mengurangi etilen akan menyebabkan pengurangan laju kematangan dan mempertahankan kesegaran serta memperpanjang umur simpan (Pantastico et.al, 1986). Pembentukan etilen juga dapat dirangsang oleh kerusakan-kerusakan mekanis dan infeksi seperti luka pada kulit buah, sehingga kerusakan mekanis pada buah dapat mempercepat pematangan buah (Winarno dan Aman 1979). Sehingga, kerusakan mekanis pada buah harus dapat diminimalisir sekecil mungkin. Laju produksi etilen berbanding terbalik dengan kematangan, semakin matang suatu buahbuahan maka laju produksi etilen semakin menurun. Etilen bersifat autokatalitik, yaitu etilen akan mempercepat respirasi dan sekaligus pembentukan etilen didorong oleh respirasi yang giat. Tetapi perbandingan respirasi dan produksi etilen tidak tetap, karena semakin matang buah maka produksi etilen semakin menurun (Pantastico 1986). Etilen memegang peranan penting dalam fisiologi pasca panen produk hortikultura. Etilen akan menguntungkan ketika meningkatkan kualitas buah dan sayuran melalui percepatan dan penyeragaman pematangan sebelum dipasarkan, namun etilen memberikan efek yang merugikan dengan meningkatkan laju senesence. Etilen dapat menghilangkan warna hijau pada buah mentah dan sayuran daun, mempercepat pematangan buah selama penanganan pasca panen dan penyimpanan, serta mempersingkat masa simpan dan mempengaruhi kualitas buah, bunga, dan sayur setelah panen (Santoso dan Purwoko, 1995). 2.6 BAHAN PENYERAP ETILEN DAN KARBONDIOKSIDA Untuk memperpanjang masa simpan dan menjaga penampilan dan kualitas buah dan sayuran, maka etilen harus dikeluarkan dari ruang penyimpanan atau kemasan yang tertutup rapat (Pantastico 6 1986). Cara yang paling umum dan efektif untuk mengurangi jumlah etilen yaitu dengan menggunakan bahan penyerap gas etilen. Terdapat beberapa bahan penyerap gas etilen yang digunakan untuk mengurangi jumlah gas etilen yang dihasilkan buah-buahan saat penyimpanan, diantaranya adalah karbon aktif, kalium permanganat (KMnO4), zeolit dan mineral-mineral lainnya. Bahan penyerap gas etilen yang digunakan dalam penelitian ini adalah zeolit dan karbon aktif. Kedua bahan penyerap tersebut dianggap cukup aman jika diletakkan di sekitar buah selama tidak terjadi kontak langsung antara buah dengan bahan penyerap. Pada umumnya bahan-bahan penyerap tersebut dimasukkan ke dalam kemasan bahan penyerap berupa sachet dan dimasukkan ke kemasan produk. Prinsip penyerapan gas etilen menurut Ahvenainen (2003) yakni ikatan rangkap etilen membuatnya menjadi komponen yang sangat reaktif sehingga dapat dengan mudah didegradasi. Etilen dapat diserap oleh beberapa substansi seperti karbon aktif, alluminosilikat kristal, silika gel, alumunium oksida, dan beberapa bahan keramin seperti cristobalite, batu Oya dan zeolit. Zeolit umumnya didefinisikan sebagai kristal alumina silika yang berstruktur tiga dimensi, yang terbentuk dari tetrahedral alumina dan silika dengan rongga-rongga di dalam yang berisi ion-ion logam, biasanya alkali atau alkali tanah dan molekul air yang dapat bergerak bebas. Zeolit jenis modernit, klinoptilotit, dan analsim adalah jenis zeolit alam yang lazim terdapat di Indonesia. Ketiga jenis zeolit alam tersebut sedang dipelajari karakteristik dan sifat-sifat penyerapannya didalam proses penundaan pemasakan buah-buahan. Struktur zeolit sejauh ini diketahui bermacam-macam, tetapi secara garis besar strukturnya terbentuk dari unit bangun primer, berupa tetrahedral yang kemudian menjadi unit bangun sekunder polihedral dan membentuk polihendra dan akhirnya unit struktur zeolit. Karena sifat unik dari zeolit, maka zeolit banyak digunakan untuk berbagai aplikasi di industri, diantaranya zeolit digunakan di industri minyak bumi sebagai cracking, di industri deterjen sebagai penukar ion, pelunak air sadah dan di industri pemurnian air, serta berbagai aplikasi lain (Sunarya, 2009). Struktur rangka utama zeolit ditempati oleh atom silikon atau aluminium dengan empat atom oksigen di setiap sudutnya. Ini merupakan sisi aktis zeolit yang menyebabkan zeolit memiliki kemapuan sebagai penukar ion, adsorben dan katalis. Rumus kimia zeolit adalah sebagai berikut : Mex/n [(AlO2)x(SiO2)y] zH2O Unit pembangun utama yang membangun struktur mineral zeolit adalah SiO2 dan Al2O3 yang membentuk tetrehidral, dimana setiap atom oksigen menempati/berada pada keempat sudutnya. Struktur yang terbetuk adalah jaringan tiga dimensi dengan setiap atom oksigen digunakan bersama oleh dua tetrahidral Struktur zeolit disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Unit Penyusun Zeolit Sumber : Sunarya, 2009 Atom oksigen yang terdapat dalam struktur zeolit terbagi antara dua tetrahedral, sehingga membentuk suatu rangka yang bersambung. Penggantian Si4+ dengan Al3+ dalam kerangka zeolit menyebabkan kerangka bermuatan negatif. 7 Karbon aktif merupakan senyawa karbon amorph, yang dapat dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon atau dari arang yang diperlakukan dengan cara khusus untuk mendapatkan permukaan yang lebih luas. Karbon aktif dapat mengadsorpsi gas dan senyawa-senyawa kimia tertentu atau sifat adsorpsinya selektif, tergantung pada besar atau volume pori-pori dan luas permukaan. Daya serap karbon aktif sangat besar, yaitu 25-1000% terhadap berat karbon aktif (Djatmiko, et.al., 1983). Terdapat dua jenis karbon aktif yang dapat dibedakan menurut fungsinya, yaitu karbon penyerap gas (gas adsorben carbon) dan karbon fasa cair (liquid-phase carbon). Karbon penyerap gas digunakan untuk menyerap gas. Pori-pori yang terdapat pada arang jenis ini adalah mikropori yang menyebabkan molekul gas akan mampu melewatinya, tapi molekul dari cairan tidak akan melewatinya. Karbon jenis ini dapat ditemui pada karbon tempurung kelapa. Karbon fasa cair digunakan untuk menyerap zat yang tidak diinginkan dari cairan atau larutan. Jenis pori-pori dari karbon ini adalah makropori yang memungkinkan molekul berukuran besar untuk masuk. Karbon jenis ini biasanya berasal dari batu bara dan selulosa (Setyaningsih, 1995). Terdapat dua macam bentuk dari karbon aktif, yaitu bentuk bubuk dan granular. Karbon aktif berbentuk bubuk digunakan untuk adsorbsi dalam larutan, misalnya untuk menghilangkan warna. Sedangkan karbon aktif berbentuk granular digunakan untuk adsorbsi gas dan uap. Karbon aktif dengan berbagai katalis logam juga secara efektif menyerap etilen. Karbon aktif telah banyak digunakan untuk menghilangkan etilen pada gudang penyimpanan buah-buahan dan sayur-sayuran dan juga diproduksi dalam kemasan sachet yang dimasukkan ke dalam kantongan pengemas atau kotak kayu pada penyimpanan hasil pertanian (Abeles et al., 2002). Karbon aktif, atau sering juga disebut dengan arang aktif, adalah suatu jenis karbon yang memiliki luas permukaan yang sangat besar. Hal ini dapat dicapai dengan mengaktifkan karbon tersebut. Aktivasi karbon bertujuan untuk memperluas permukaan arang dengan membuka pori-pori yang tertutup, sehingga memperbesar kapasitas penyerapan (Ketaren, 1986). Untuk hasil respirasi salak selama penyimpanan yang berupa air (H2O) dan karbondioksida (CO2) dapat diserap dengan beberapa macam bahan penyerap, diantaranya asam askorbat, kapur tohor (CaO), Ba(OH)2 dan serbuk besi. Bahan penyerap kapur tohor (CaO) adalah salah satu bahan penyerap air (H2O) dan karbondioksida (CO2) yang memiliki nilai ekonomis yang relatif lebih murah dibandingkan dengan bahan penyerap lainnya. Selain itu, Ba(OH)2 memiliki sifat yang reaktif terhadap produk. Kalsium ada kandungan utama yang terdapat pada kapur tohor. Kapur tohor (CaO) berasal dari batu kapur yang merupakan hasil dari proses kalsinasi, yaitu pemanasan pada suhu tinggi yakni lebih dari 9000C selama kurang lebih satu jam (Puslitbang Pemukiman, 1982). Kalsium dapat menghambat proses pematangan dan memperpanjang masa simpan buah tomat dengan menghambat produksi etilen tanpa mempengaruhi pH, padatan total terlarut maupun warna buah (Kerbel dan Njoroge, 1993). Dari hasil penelitian Djaafar dan Mudjisihono (1998) menyimpulkan bahwa perlakuan buah dengan pelapisan lilin dan bubuk kapur (CaO) pada bagian ujungnya belum dapat mengurangi persentase kerusakan dan susut bobot buah salak segar selama penyimpanan. 8