Ketika yang Benar, Belum Tentu Baik USD | 04 August 2015 | 15:16 WIB Sabtu tanggal 1 Agustus 2015, Pusat Studi Ignasian Universitas Sanata Dharma (PSI USD) menggelar sarasehan yang berjudul “Intelektualitas Berhati Nurani” di ruang Koendjono, Kampus II USD Mrican. Acara yang dimulai pukul 08.30 – 12.30 WIB ini mencoba untuk menggali lebih dalam spiritualitas Ignasian dengan memadukan realitas konkret yang terjadi saat ini. Sebagaimana diungkapkan oleh Rm. Alb. Buddy Haryadi, SJ di dalam sambutannya bahwa di era modern ini kita tidak bisa mendikte mana yang baik dan mana yang tidak, maka penting kita berpikir apa yang baik dan apa yang benar. Lalu pertanyaannya apa itu kebenaran dan apa itu kebaikan? Rektor USD, Drs. Johannes Eka Priyatma, M.Sc, Ph.D mengungkapkan di dalam sambutannya bahwa kebenaran adalah sesuatu yang dapat dibuktikan atau memiliki derajat kebenaran atau dapat diukur. Tetapi lama kelamaan kebenaran semakin tidak jelas, apalagi kebenaran ini semakin demokratis dan bersifat kompromi. Setiap orang dapat mengklaim kebenarannya sendiri. Mengatakan baik dan benar akhirnya ditentukan oleh kepentingan dan kebutuhan. Bagaimana menghadapi polemik ketegangan yang benar-benar baik atau sebaiknya benar? Dalam acara ini, PSI USD mengundang tiga pembicara yang mengantar kita pada jawaban yang tepat sesuai dengan spiritualitas Ignasian. Tiga pembicara itu adalah Prof. Dr. Ant. Sudiarja, SJ, dosen STF Driyarkara Jakarta; Rm. Y. Alis Windu Prasetya, SJ, M.Hum, Kepala Sekolah SMA Seminari Mertoyudan; dan Drs. Tarsisius Sarkim, M.Ed, Ph.D, dosen USD. Dengan dimoderatori oleh Dr. Tjipto Susana, dosen Psikologi USD, pembicaraan diarahkan untuk mencari kebenaran dan kebaikan dalam kehidupan dalam menentukan arah hidup kita. Acara ini tidak hanya dihadiri oleh keluarga USD saja, tetapi juga dihadiri oleh berbagai kelompok pendampingan, awam, Yesuit, para praktisi pendidikan dsb. Sebagai pembicara pertama, Rm. Y. Alis Windu Prasetya, SJ, M.Hum melatih kita tentang latihan rohani Ignasian, bagaimana mengenal dan memahami lebih dalam sarana dan tujuan. Apakah sarana yang kita gunakan itu telah menjadi tujuan dari proses hidup kita, atau justru sebaliknya ? “Dengan kita menyadari dan 1/2 mampu membedakan mana sarana dan tujuan, kita mampu memilah dan memilih mana yang menjadi nilai kebaikan dan mana yang menjadi nilai kebenaran.” demikian ungkap Romo Alis. Berdasarkan asas dan dasar latihan rohani 23 spiritualitas ignasian, sarana adalah usaha yang membantu untuk menumbuhkan atau menghasilkan pengalaman-pengalaman dalam hidup. Sedangkan tujuan adalah mampu memahami pengalaman diri sendiri tentang Allah yaitu menerima anugerah perkembangan dan menerima keterbatasan dan sedapat mungkin mampu mengatasinya. Dari sinilah tercipta kemampuan kritis atau proses nalar dimana kita mampu mengenali diri lebih dalam, berpikir kritis dan menentukan kebenaran. Maka spiritualitas bukan hal yang mengawang-awang tetapi konkret mampu mendapat sampai ke realitas kita (contemplative in action ). Kita menggunakan sarana dan tujuan dengan lepas bebas. Dengan kesadaran kita membuat refleksi kognitif selaras dengan refleksi batin. Hal ini semakin diteguhkan oleh Drs. Tarsisius Sarkim, M.Ed, Ph.D, bahwa spiritualitas Ignasian menjadi roh bagi USD dalam proses pendidikan menghasilkan kualitas lulusan. Spiritualitas Ignasian menjadi ukuran keberhasilan di dalam proses pendidikan. Lalu apa ukuran keberhasilan pendidikan? Mengacu semangat keteladanan St. Ignatius Loyola bahwa dalam pendidikan bukan pertama-tama penguasaan materi dan ilmu pengetahuan bagi peserta didik, tetapi pembentukan karakter personal yang dirasa lebih penting di dalam pendampingan pendidikan. Maka spiritualitas Ignasian sebagai pedagogi di dalam pendidikan menjadi the act of teaching. Proses pembelajaran memuat lima hal yaitu memahami dan menyadari konteks-pengalaman-refleksi-aksi-evaluasi. “Konteks menjadi hal yang pertama dan kiranya ini menjadi kelemahan di dalam proses pendidikan, maksudnya dengan memperhatikan konteks, proses interaksi itu dimulai dari hati dan bukan nalar. Di sinilah kita memperhatikan orang ini berasal dari mana atau punya background atau tahu situasi dan kondisi, sehingga komunikasi terjadi untuk memahami dan menyadari.” demikian ungkap Bapak Sarkim. Maka belajar bukan sekedar mendengarkan tetapi apa yang kamu dapatkan dalam pelajaran yang kamu pelajari yang juga dipahami. Dosen yang baik dinilai berhasil apabila mampu menuntun atau mengarahkan peserta didik ke arah yang benar untuk melakukan mana yang benar dan baik, bukan sekedar menginspirasi peserta didik saja. Sebagai pembicara ketiga, Prof. Dr. Antonius Sudiarja, SJ mengungkapkan bahwa akhir-akhir ini kita menggunakan alasan kebenaran untuk kekerasan. Kebenaran itu berkaitan dengan logika dimana mengikuti aturan, logis; sedangkan kebaikan itu menyangkut tindakan. Menurut Aristoteles, bila orang mengetahui kebenaran maka dengan sendirinya dia akan terdorong untuk juga melakukan yang baik. Menghadapi dunia yang mana kebaikan dan kebenaran mudah direlativir, lalu apa perannya spiritualitas Ignasian dalam menjawab kecemasan tersebut ? Spiritualitas Ignasian adalah hal kerohanian dan bukan etika dan moral. Maka spiritualitas Ignasian memuat latihan rohani dimana terdapat setiap cara untuk memelihara dan merawat hidup rohani. “Melalui Yesus yang berinkarnasi itu, kita menjawab tantangan dunia yang semakin panas melalui latihan rohani Ignasius. Latihan rohani mengajak kita untuk ikut terlibat dan menggerakkan dunia untuk mengubah dunia dari dalam.” demikian ungkap Romo Sudiarja yang akrab dipanggil Romo Dipo. Selanjutnya, beliau mengungkapkan kaitan yang benar dan yang baik dengan wiweka. Apa itu wiweka? Wiweka adalah bahasa Sansekerta, melakukan pemeriksaan batin, mengetahui mana yang menjadi kehendak Tuhan. Wiweka adalah proses meneliti batin mana yang menjadi kehendak Allah dan mana yang bukan. Wiweka tidak bertentangan dengan hati nurani, tetapi berbeda dengan hati nurani. “Kalau kita menggunakan hati nurani, kita hanya memahami pengertian arti moral yang baik dan tidak, sedangkan bila kita berwiweka, kita memeriksa batin apa yang menjadi kehendak Allah.” demikian ungkap Romo Sudiarja. Yang baik itu bisa bermacam-macam, maka kita harus mencari kehendak Allah. Memang kehendak Allah tidak mudah dipahami dan digambarkan, maka dengan berwiweka kita terus belajar dalam arti praktis, berlatih rohani terus menerus agar semakin peka dengan sapaan Tuhan. Salah satu cara dengan berwiweka adalah latihan rohani St. Ignasius Loyola. Di situ kita dilatih untuk lepas bebas, tidak punya kelekatan. Dengan latihan rohani, kita tidak hanya berguru dengan diri sendiri tetapi menimba pemahaman rohani dengan orang lain. (FXAP) 2/2