Jakarta, 30 Maret 2015 Menguji Nyali Reformasi Jokowi Selama Maret ini, investor asing membukukan penjualan bersih sebesar $467 juta. Lihat tabel. Sementara pada periode yang sama, terlihat inflows menuju bursa saham di negara lain di luar Jepang. Bila bursa mengemban fungsi sebagai discounter masa depan, maka kita harus menanyakan penyebabnya. Apakah ini berarti terjadi penurunan kepercayaan kepada pemerintah Presiden Jokowi di dalam melaksanakan reformasi? Atau investor memilih sikap defensif dengan cenderung berinvestasi pada surat utang negara. Setelah sempat anjlok sekitar Rp12 trilyun dari posisi tertinggi, kepemilikan asing di dalam SUN berangsur-angsur meningkat. Yang jelas, mencermati volatilitas yield SUN, nampaknya sulit untuk memasarkannya kepada investor domestik. Selama dua pekan terakhir, saya menilai ada perubahan pesan yang disampaikan baik oleh otoritas moneter dan fiskal untuk kembali fokus pada macroeconomic stability. Bank Indonesia menunjukkan “tightning bias” dengan mempertahankan suku bunga. Media mengutip pernyataan Menkeu yang tidak terlalu mengejar target pertumbuhan ekonomi. Perubahan orientasi ini memicu pertentangan di dalam masyarakat mengingat Indonesia telah menggelar stabilisasi sejak tahun 2013. Stabilisasi yang terlalu lama tanpa reformasi berisiko memicu resesi. Kebijakan moneter dan fiskal yang ketat akan kehilangan kredibilitas. Pemerintah Jokowi jelas menghadapi ujian berat, mulai dari formulasi, koordinasi dan implementasi hingga sosialisasi kebijakan reformasi. Sebab setiap kebijakan selalu memicu konflik kepentingan antar pihak dan lintas generasi. Pilihan untuk kembali fokus kepada stabilisasi sendiri berlawanan dengan target pertumbuhan 7% yang kerap diasosiasikan dengan keinginan Presiden. Masyarakat menantikan ketegasan Presiden di dalam menegakkan keadilan dan kepastian hukum termasuk dalam kasus Kapolri dan hukuman mati pengedar narkoba. Ada yang berpendapat, kemenangan Agung Laksono memimpin Golkar akan memperkuat koalisi dengan PDI-P yang malah lebih menekan Presiden Jokowi. Dalam bidang ekonomi, pembatasan subsidi BBM telah menyebakan harga berfluktuasi seperti tahun 2002. Akhir pekan lalu pemerintah untuk kedua kalinya pada bulan ini menaikkan harga premium dan solar. Kali ini harga keduanya dinaikkan sebesar Rp500 sehingga masing-masing menjadi Rp 7.400 dan Rp6.900 per liter untuk kawasan Jamali. Menurut Pertamina, harga BBM masih dibawah harga keekonomian alias masih disubsidi pemerintah. Walau untuk kepentingan disiplin anggaran, kenaikan harga BBM jelas mengurangi daya beli masyarakat. Apalagi di lain sisi pemerintah selama tahun berjalan lebih getol menyerap likuiditas melalui penerbitan SUN lebih banyak (front loading). Namun di lain sisi percepatan pengeluaran pemerintah masih terbatas. Dana yang diperoleh pemerintah melalui pemungutan pajak dan penerbitan SUN masih menumpuk di BI. Likuiditas perbankan jadi berkurang yang berisiko memicu kenaikan suku bunga yang memperlemah perekonomian. Jelas ini masalah koordinasi. Saya pernah mendengar, mantan Menkeu Sri Mulyani pernah melakukan terobosan dengan mengalihkan dana pemerintah itu pada bank komersial untuk menambah likuiditas. Masyarakat dan investor sangat menunggu percepatan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur dasar agar Indonesia dapat turut mengkapitalir penguatan ekonomi Amerika Serikat dan dollarnya. Semula saya mendengar proses tender telah dipercepat untuk selesai bulan ini. Namun akhir-akhir ini saya dengar proses tender molor hingga bulan April. Saya juga pernah mendengar keluhan foreign direct investor (FDI) atas pengendalian neraca berjalan. Derasnya FDI memang diikuti oleh peningkatan impor barang baku dan modal yang belum dapat disediakan di Indonesia, Hal ini turut memperburuk deficit neraca berjalan yang sudah paling banyak dipicu oleh lonjakan impor bahan bakar. Penerapan kebijakan moneter dan fiskal ketat untuk meredam deficit telah menurunkan daya beli masyarakat dan keuntungan FDI. Menurut investor asing tersebut pemerintah Indonesia tidak perlu terlalu kuatir dengan defisit. Semestinya pemerintah konsisten memacu pertumbuhan ekonomi guna menaikkan daya beli masyarakt yang pada gilirannya akan meningkatan kepercayaan investor asing untuk semakin berinvestasi di Indonesia. Arus masuk ini akan memperkuat rupiah. Sebaliknya perlambatan ekonomi justru memicu risiko menurunkan penerimaan pajak pemerintah. Presiden Jokowi juga menghadapi tantangan dalam reformasi membenahi struktur pasar. Ambil contoh beras yang harganya meningkat ketika mendekati panen raya. Ada yang berpendapat bahwa Presiden tengah diuji oleh pihak dirugikan oleh keputusan pemerintah tidak mengimpor beras untuk meredakan kenaikan harga pada medio Januari dan Februari lalu. Peningkatan peran Bulog untuk stabilisasi harga menjadi sangat penting. Namun dalam pelaksanaan Bulog harus diawasi dengan ketat termasuk oleh KPK. Seperti halnya dengan pembatasan subsidi, saya sendiri mendukung upaya mengendalikan harga dengan meningkatkan pasokan dari dalam negeri. Keputusan mengimpor jelas menyenangkankan konsumen. Namun impor memicu fenomena ‘spending without production that does not create income’ yang malah berakhir dengan tumpukan utang. Hal ini sudah terjadi yang harus berani kita akhiri. Presiden Jokowi baru pulang dari lawatan perjalanan ke Jepang dan Tiongkok serta menghadiri pemakaman mendiang Lee Kuan Yew sebagai Bapak Pembangunan Singapura. Semoga Beliau memiliki solusi dan khabar baik memacu arus masuk FDI. Semoga juga Pak Jokowi dapat menteladani kecermelangan dan ketegasan Almarhum Lee Kuan Yew yang berhasil memajukan Singapura. Salam Budi Hikmat Chief Economist and Director for Investor Relation