Jakarta, 11 Januari 2010

advertisement
Jakarta, 30 Maret 2015
Menguji Nyali Reformasi Jokowi
Selama Maret ini, investor asing
membukukan penjualan bersih
sebesar $467 juta. Lihat tabel.
Sementara pada periode yang sama,
terlihat inflows menuju bursa saham
di negara lain di luar Jepang.
Bila bursa mengemban fungsi
sebagai discounter masa depan,
maka kita harus menanyakan
penyebabnya. Apakah ini berarti terjadi penurunan kepercayaan kepada pemerintah Presiden Jokowi di dalam
melaksanakan reformasi?
Atau investor memilih sikap
defensif
dengan
cenderung
berinvestasi pada surat utang
negara. Setelah sempat anjlok
sekitar Rp12 trilyun dari posisi
tertinggi, kepemilikan asing di
dalam SUN berangsur-angsur
meningkat.
Yang jelas, mencermati volatilitas
yield SUN, nampaknya sulit untuk
memasarkannya kepada investor
domestik.
Selama dua pekan terakhir, saya menilai ada perubahan pesan yang disampaikan baik oleh otoritas moneter
dan fiskal untuk kembali fokus pada macroeconomic stability. Bank Indonesia menunjukkan “tightning bias”
dengan mempertahankan suku bunga. Media mengutip pernyataan Menkeu yang tidak terlalu mengejar target
pertumbuhan ekonomi.
Perubahan orientasi ini memicu pertentangan di dalam masyarakat mengingat Indonesia telah menggelar
stabilisasi sejak tahun 2013. Stabilisasi yang terlalu lama tanpa reformasi berisiko memicu resesi. Kebijakan
moneter dan fiskal yang ketat akan kehilangan kredibilitas.
Pemerintah Jokowi jelas menghadapi ujian berat, mulai dari formulasi, koordinasi dan implementasi hingga
sosialisasi kebijakan reformasi. Sebab setiap kebijakan selalu memicu konflik kepentingan antar pihak dan
lintas generasi. Pilihan untuk kembali fokus kepada stabilisasi sendiri berlawanan dengan target pertumbuhan
7% yang kerap diasosiasikan dengan keinginan Presiden.
Masyarakat menantikan ketegasan Presiden di dalam menegakkan keadilan dan kepastian hukum termasuk
dalam kasus Kapolri dan hukuman mati pengedar narkoba. Ada yang berpendapat, kemenangan Agung
Laksono memimpin Golkar akan memperkuat koalisi dengan PDI-P yang malah lebih menekan Presiden Jokowi.
Dalam bidang ekonomi, pembatasan subsidi BBM telah menyebakan harga berfluktuasi seperti tahun 2002.
Akhir pekan lalu pemerintah untuk kedua kalinya pada bulan ini menaikkan harga premium dan solar. Kali ini
harga keduanya dinaikkan sebesar Rp500 sehingga masing-masing menjadi Rp 7.400 dan Rp6.900 per liter
untuk kawasan Jamali. Menurut Pertamina, harga BBM masih dibawah harga keekonomian alias masih
disubsidi pemerintah.
Walau untuk kepentingan disiplin anggaran, kenaikan harga BBM jelas mengurangi daya beli masyarakat.
Apalagi di lain sisi pemerintah selama tahun berjalan lebih getol menyerap likuiditas melalui penerbitan SUN
lebih banyak (front loading). Namun di lain sisi percepatan pengeluaran pemerintah masih terbatas. Dana yang
diperoleh pemerintah melalui pemungutan pajak dan penerbitan SUN masih menumpuk di BI. Likuiditas
perbankan jadi berkurang yang berisiko memicu kenaikan suku bunga yang memperlemah perekonomian.
Jelas ini masalah koordinasi. Saya pernah mendengar, mantan Menkeu Sri Mulyani pernah melakukan
terobosan dengan mengalihkan dana pemerintah itu pada bank komersial untuk menambah likuiditas.
Masyarakat dan investor sangat menunggu percepatan pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur dasar
agar Indonesia dapat turut mengkapitalir penguatan ekonomi Amerika Serikat dan dollarnya. Semula saya
mendengar proses tender telah dipercepat untuk selesai bulan ini. Namun akhir-akhir ini saya dengar proses
tender molor hingga bulan April.
Saya juga pernah mendengar keluhan foreign direct investor (FDI) atas pengendalian neraca berjalan. Derasnya
FDI memang diikuti oleh peningkatan impor barang baku dan modal yang belum dapat disediakan di Indonesia,
Hal ini turut memperburuk deficit neraca berjalan yang sudah paling banyak dipicu oleh lonjakan impor bahan
bakar. Penerapan kebijakan moneter dan fiskal ketat untuk meredam deficit telah menurunkan daya beli
masyarakat dan keuntungan FDI. Menurut investor asing tersebut pemerintah Indonesia tidak perlu terlalu
kuatir dengan defisit. Semestinya pemerintah konsisten memacu pertumbuhan ekonomi guna menaikkan daya
beli masyarakt yang pada gilirannya akan meningkatan kepercayaan investor asing untuk semakin berinvestasi
di Indonesia. Arus masuk ini akan memperkuat rupiah. Sebaliknya perlambatan ekonomi justru memicu risiko
menurunkan penerimaan pajak pemerintah.
Presiden Jokowi juga menghadapi tantangan dalam reformasi membenahi struktur pasar. Ambil contoh beras
yang harganya meningkat ketika mendekati panen raya. Ada yang berpendapat bahwa Presiden tengah diuji
oleh pihak dirugikan oleh keputusan pemerintah tidak mengimpor beras untuk meredakan kenaikan harga
pada medio Januari dan Februari lalu. Peningkatan peran Bulog untuk stabilisasi harga menjadi sangat penting.
Namun dalam pelaksanaan Bulog harus diawasi dengan ketat termasuk oleh KPK.
Seperti halnya dengan pembatasan subsidi, saya sendiri mendukung upaya mengendalikan harga dengan
meningkatkan pasokan dari dalam negeri. Keputusan mengimpor jelas menyenangkankan konsumen. Namun
impor memicu fenomena ‘spending without production that does not create income’ yang malah berakhir
dengan tumpukan utang. Hal ini sudah terjadi yang harus berani kita akhiri.
Presiden Jokowi baru pulang dari lawatan perjalanan ke Jepang dan Tiongkok serta menghadiri pemakaman
mendiang Lee Kuan Yew sebagai Bapak Pembangunan Singapura. Semoga Beliau memiliki solusi dan khabar
baik memacu arus masuk FDI. Semoga juga Pak Jokowi dapat menteladani kecermelangan dan ketegasan
Almarhum Lee Kuan Yew yang berhasil memajukan Singapura.
Salam
Budi Hikmat
Chief Economist and Director for Investor Relation
Download