BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam masyarakat

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, upaya membangun demokrasi yang
berkeadilan dan berkesetaraan bukan masalah sederhana. Esensi demokrasi adalah membangun
sistem politik yang didasarkan pada kedaulatan rakyat. Demokrasi memberi kesempatan, akses
dan peluang yang sama bagi warga negara dan kelompok dalam masyarakat untuk terlibat dalam
proses politik. Demokrasi merupakan pilihan sistem politik yang menjadi kesepakatan bersama
sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih mulia yaitu kesejahteraan rakyat.
Di samping itu, demokrasi menjamin perlindungan hak asasi setiap warga negara dengan
tidak membedakan jenis kelamin, warna kulit, ras, golongan, kelas maupun agama melalui aturan
hukum yang berlaku. Negara yang demokratis memberikan perlindungan terhadap hak asasi
manusia (perempuan dan laki-laki) melalui konstitusi dan peraturan perundang-undangan, seperti
amanat UUD 1945 Pasal 28D ayat 1 yang berbunyi “setiap orang berhak atas perlakuan yang
sama di hadapan hukum”, ( Tim Puskapol. 2013 : 24-25). Hal ini bermakna bahwa demokrasi
juga merupakan konsep yang berikhtiar untuk menegakkan dan mewujudkan kedaulatan rakyat
secara keseluruhan, terimplisit kedaulatan dan hak perempuan sebagai bagian dari rakyat yang
seharusnya mendapatkan perlakuan adil gender.
Mendasari regulasi ini, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik,sebenarnya sudah
memulai kebijakan afirmasi di internal partai politik melalui Pasal 8 Ayat (2) e, yang berbunyi
“menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada
kepengurusan partai politik tingkat pusat”. Selanjutnya pada Pasal 15 Poin d berbunyi “surat
keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Partai Politik. Dalam peraturan KPU (PKPU) No. 7 Tahun 2013 juga mempertimbangkan adanya
30% keterwakilan perempuan dalam sttruktur partai hingga pada pencalegan (Hukum Pedia.
2014).
Tindakan afirmatif untuk peningkatan keterwakilan perempuan di ranah politik
(parlemen, partai politik) bukanlah bersifat jatah (reserved seat) melainkan harus memberikan
formula lahirnya perempuan yang kompeten dalam sistem politik. Akan tetapi kenyataannya
belum terwujud seperti yang diharapakan sesuai regulasi yang sudah ditetapkan. Hal ini dapat
dilihat dari proses rekrutmen kepengurusan internal partai. Indikasi selama ini bahwa proses
seleksi kandidat kerap mengesampingkan pertimbangan kapasitas, integritas, pengalaman, dan
penugasan yang dimiliki bakal calon. Kedekatan dengan pimpinan partai biasanya menjadi faktor
yang lebih menentukan. Persoalan tersebut diperparah dengan kondisi bahwa sebagian besar
AD/ART partai politik tidak membahas secara rinci ketentuan mengenai rekrutmen dan
kaderisasi. Pengaturan lebih lanjut tentang kaderisasi umumnya diatur dalam peraturan
organisasi atau surat edaran ketua umum. Gambaran besar yang mewarnai situasi partai politik
membuat perempuan semakin sulit dan cenderung kurang diperhitungkan dalam internal partai,
serta selalu tersisih dan tidak diperhitungkan aspirasinya, (Puskapol UI. 2012).
Implikasi regulasi UU No. 2 Tahun 2011 sebagai perubahan atas UU No. 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik, kenyataannya mencerminkan bahwa perempuan kurang memperoleh
banyak kesempatan dan dukungan dari partai-partai politik karena struktur kepemimpinannya
didominasi oleh kaum laki-laki serta kebijakan afirmasi untuk perempuan dalam kepengurusan
partai politik pun belum sepenuhnya terpenuhi. Hal ini disebabkan oleh : Pertama, tidak ada
sanksi bagi partai politik yang mengabaikan ketentuan 30% dalam kepengurusan partai. Kedua,
usulan menempatkan kuota 30% keterwakilan perempuan terhadap pengurus harian DPP yang
juga tidak terpenuhi, padahal afirmasi di internal partai juga penting bagi keterwakilan
perempuan di parlemen. Kondisi representasi perempuan di legislatif, baik jumlah maupun
kompetensinya, tidak bisa dilepaskan dari situasi internal partai politik, terutama persoalan
rekrutmen, kaderisasi, dan mekanisme pengambilan keputusan, (Puskapol UI. 2012).
Berangkat dari konteks regulasi seperti uraian di atas, kebijakan affirmatif actionuntuk
perempuan dalam kepengurusan partai-partai politik di Kota Kupang dapat diamati dari data
tabel beberapa partai politik berikut ini
Melihat lebih jauh lagi bahwa dari kedua partai politik ini PDIP dan Golkar dapat
dikatakan dalam kepengurusannya/komposisi personalia partai terdapat kader perempuan dalam
kepengurusan harian partai baik itu dari Ranting, PAC sampai DPC. Ini berarti perempuan secara
tidak langsung sudah terlibat dalam aktivitas partai politik. Akan tetapi jumlah prosentase
perempuan dalam struktur kepengurusan partai belum mencapai kuota 30% seperti yang
diharapkan dalam amanat Undang-undang. Dengan prosentasi kehadiran perempuan yang tidak
mencapai kuota 30% membuat perempuan masih sulit menembus jabatan strategis atau posisi
pengambilan keputusan utama.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa representasi perempuan dalam kepengurusan
partai politik belum menunjukkan kesetaraan gender bagi peluang perempuan menduduki jabatan
struktural dan strategis di partai politik baik pada PDIP maupun partai Golkar, karena dari data
tersebut terlihat bahwa laki-laki masih mendominasi posisi sentral termasuk posisi pengambilan
keputusan, serta keterlibatan perempuan dalam kepengurusan dan aktivitas di dalam partai
politik masih minim. Kondisi keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik seperti
uraian tabel di atas, penulis menduga bahwa ada kesenjangan dalam pola rekrutmen. Fakta
bahwa laki-laki masih mendominasi posisi sentral dalam struktur pengurus partai.
Kondisi ini kurang mengakomodir Pasal 29 (1a) UU No.2 Tahun 2011 tentang Partai
Politik yang berbunyi bahwa: “rekrutmen kepengurusan pada struktural partai, sekurangkurangnya mempertimbangkan adanya 30% keterwakilan perempuan”. Hal ini sejalan dengan
Peraturan KPU (PKPU) No. 7 Tahun 2013 yang intinya mempertimbangkan adanya 30%
keterwakilan perempuan dalam struktur partai hingga pada pencalegan,.
Kondisi keterwakilan perempuan dalam partai politik juga mempengaruhi tingkat
representasi mereka di parlemen. Catatan sudah tiga kali pemilu, 2004, 2009 dan 2014
menunjukkan adanya kepatuhan relatif partai politik dalam pencalonan 30% perempuan sebagai
anggota legislatif. Fakta keterwakilan perempuan dalam pemilihan legislatif DPR RI dapat
dilihat dalam perbandingan jumlah anggota DPR-RI perempuan dan laki-laki pada pemilihan
tingkat nasional : Tahun 2004
Perempuan 65 (11%) Laki-Laki 485 (89%), Tahun 2009
Perempuan 103 (18,04%) Laki-Laki 457 (82%) Akan tetapi pada pemilu 2014malah terjadi
penurunan keterwakilan perempuan di legislatif dari jumlah 560 anggota, hanya 97 orang
legislator perempuan (17.30%) (Sumber : Puskapol FISIP UI 2010, dan data terbaru KPU
Provinsi NTT Tahun 2014). Pada pemilihan legislatif DPRD tingkat lokal di daerah misalnya di
tingkat Provinsi NTT pada pemilihan tahun 20014 dari total 65 orang anggota DPRD hanya
terdapat 6 orang legislator perempuan. Contoh lain, pemilihan legislatif DPRD Kota Kupang
pada pemilihan 2009 dari total 30 anggota DPRD hanya terdapat 1 orang legislator perempuan.
Selanjutnya pada pemilu 2014 dari total 40 orang anggota DPRD hanya terdapar 5 orang
legislator perempuan. (Sumber Data: KPU Provinsi NTT dan KPU Kota Kupang Tahun 2014).
Catatan tersebut di atas mau mengungkapkan bahwa memang ada subordinasi dalam
dunia politik sehingga perempuan sulit untuk bersaing dengan laki-laki. Kondisi seperti ini
tentunya masih jauh dari harapan ketentuan regulasi yang ditetapkan tentang kuota 30%. Hal ini
bisa saja menjadi indikasi bahwa mesin partai yang bekerja belum maksimal, fungsi partai
kurang berjalan terutama fungsi rekrutmen yang kurang melibatkan perempuan, atau energi lakilaki yang lebih fokus pada dunia politk dibandingkan perempuan? Oleh karena itu penulis
membatasi permasalahan ini dengan fokus pada fungsi rekrutmen partai politik.
Berdasarkan pemikiran latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih
jauh tentang fungsi rekrutmen politik, khususnya pola rekrutmen di lingkungan partai-partai
politik di Kota Kupang,dengan judul “Rekrutmen Politik (Kajian Pola Rekrutmen
Perempuan Menjadi Kader Partai dan Menempati Jabatan Struktural di Partai Politik –
Studi Kasus di PDIP dan Golkar Kota Kupang Tahun 2014”.
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan gambaran masalah pada latar belakang, serta mengacu pada judul penelitian
ini, maka yang menjadi permasalahan pokok pada penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pola rekrutmen politik perempuan untuk menjadi kader partai politik?
2. Faktor-faktor apa yang menjadi kendala perempuanmenjadi anggota dan kader partai serta
memperoleh jabatan struktural di Partai Politik.?
C. Tujuan dan Kegunaan
1.
Penelitian ini bertujuan untuk :
a. Menggambarkanpola rekrutmen politik perempuan untuk menjadi kader partai politik.
b. Menganalisisfaktor-faktor yang menjadi kendala perempuan dalam memperoleh jabatan
struktural di Partai Politik.
2. Penelitian ini berguna untuk :
a. Menambah informasi bagi partai-partai politik di Kota Kupang, masyarakat dan kaum
perempuan mengenai pola rekrutmen perempuan untuk menjadi anggota partai.
b. Sebagai sumbangan informasi bagi peneliti selanjutnya.
c. Menambah pengetahuan dan wawasan penulis tentang faktor-faktor yang menjadi
kendala perempuan dalam memperoleh jabatan struktural di Partai Politik.
d. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP
UNWIRA Kupang.
Download