Memilih Dunia Broadcast Sebagai Media Berdakwah

advertisement
Memilih Dunia Broadcast Sebagai Media Berdakwah
18-7-2007
Oleh : MUHAMMAD KODIM/SYIRAH
Berdakwah lewat duni broadcast memang paling efektif. Sebab sekali dakwah saja, jutaan
masyarakat Indonesia menyaksikannya. Namun, banyaknya da’i-da’i muda belakangan yang
bermunculan di layar televisi dipandang oleh sebagian kalangan hanya mengejar popularitas
semata. Karenanya, dakwah lewat broadcast ini pun dikatakan tak membumi. Hal inilah yang
menjadi topik utama dalam acara Kongkow Bareng Gus Dur yang digelar pada Sabtu pagi, 14
Juli 2007 di Kedai Tempo Utankayu Jakarta Timur kemarin.
Guntur Romli yang bertindak sebagai moderator beserta KH Wahid Maryanto yang akrab disapa pak
Acun yang senantiasa memulai acara Kongkow Bareng Gus Dur ini dengan membacakan satu petikan
bait dari kitab Al-Hikam masih tetap setia menemani Gus Dur. Untuk mengurai tema tersebut, acara ini
menghadirkan seorang da’i yang belakangan ini eksis di dunia broadcast. Dia adalah Zakki Mirza,
lulusan Al-Azhar, Kairo.
Acara ini disiarkan oleh radio Utankayu 89,2 FM dan dipancarluaskan oleh jaringan KBR 68H dari
Aceh sampai Papua ini semakin menarik. Acara ini juga ditayangkan di beberapa televisi lokal, yaitu
JTV (Jawa Timur), Kendari TV (Sulawesi Tenggara), Bengkulu TV (kalimantan Timur).
Lebih lengkapnya, berikut transkip episode awal Kongkow Bareng Gus Dur yang mengusung tema
“Peran Da’i Dalam Masyarakat”.
Guntur: Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Anda bersama kembali dengan acara
“Kongkow Bareng Gus Dur” dari KBR68H Jakarta bekerjasama dengan School for Broadcast Media
Jakarta dan disiarkan oleh radio-radio jaringan KBR68H di Nusantara dari Aceh sampai Papua dan
beberapa televisi di kawasan Indonesia. Saudara, saya Muhammad Guntur Romli akan menemani Anda
berbincang-bincang dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang saat ini sudah ada di Kedai
Tempo di Jakarta. Kita sapa dulu Gus Dur: Assalamu’alaikum Gus Dur.
Gus Dur: Wa’alaikumsalam.
Guntur: Apa kabar Gus?
Gus Dur: Baik-baik saja.
Guntur: Dalam minggu kemarin kemana saja Gus? Pingin dengar ceritanya Gus.
Gus Dur: Saya sudah lupa. Yang terkahir ingat saya, kemarin malam saya diutus, pagi kemarin saya
pulang ke Jakarta. Kemudian sorenya berangkat ke Cirebon. Sampai di rumah tadi jam empat.
Guntur: Jam empat subuh Gus?
Gus Dur. Subuh. Nah, nanti dari sini saya ke Jogja. Dari Jogja pulang nanti malam. Besok pagi ke adik
saya mantu, terus Jombang siangnya.
Guntur: Jadi aktivitas yang sangat panjang dan banyak sekali ya Gus. Dan kita doakan mudahmudahan Gus Dur tetap diberikan kesehatan sehingga bisa melakukan aktivitasnya semala ini.
Gus Dur: Amin. Amin.
Guntur: Ya. Seperti biasa saudara, kita akan mendengarkan petikan dari kitab Al-Hikam yang akan
dibacakan oleh Pak Wahid Mariyanto atau Pak Acun. Silahkan Pak Acun.
Acun: Bismillahirrahmanirrahim. Furuudhul faqot akhyatul mughyidin. Adanya orang-orang papah
merupakan hari-hari besar bagi orang-orang mutashowibin. Di sini kalau boleh kita artikan, al-faqot itu
orang-orang termarjinal. Mohon penjelasannya.
Gus Dur: Jadi orang-orang termarjinal itu adalah bukti adanya mereka itu bahwa memang orang-orang
harus berprihatin. Jadi jangan hidup ini kita enak-enakan, harus berprihatinlah. Lah itu.
Acun: Jadi intinya prihatin?
Gus Dur: Ya, prihatin.
Guntur: Ya. Terimakasih Gus Dur, terimakasih Pak Acun.
Saudara, pada kesempatan ini kita akan membicarakan tentang persoalan Da’i Dalam Masyarakat. Saat
ini bermunculan da’i-da’i muda dalam televisi-televisi kita. Atau pun juga ada beberapa kesan yang
disampaikan ada pengaruh da’i-da’i terhadap perkembangan wacana keagamaan dalam masyarakat dan
juga persoalan misalnya tentang fatwa-fatwa atau pendapat-pendapat keagamaan yang kadang-kadang
mengakibatkan intoleransi. Dan bagimanakah sebenarnya peran da’i tersebut dalam masyarakat?
Sudah bersama kita di sini ada Zakki Mirza, seorang da’i. Beliau adalah lulusan dari al-Azhar, Kairo.
Dan saat ini menjadi da’i yang aktif dalam masyarakat. Kita sapa dulu: Assalamu’alaikum mas Zakki.
Zakki: Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.
Guntur: Ya, pada kesempatan ini, kita akan berbincang, seperti yang saya katakan tadi, tentang Peran
Da’i Dalam Masyarakat. Saya ingin tahu, apa sebenarnya alasan mas Zakki untuk jadi seorang da’i?
Zakki: Ya. Artinya saya melihat dakwah dalam dunia broadcast ya. Dan cita-cita saya memang
bagimana saya mampu menembus dunia broadcast ini. Karena dunia broadcast adalah salah satu media
yang paling efektif untuk berdakwah.
Dan tentunya di zaman sekarang ini berkenaan dengan banyak da’i-da’i mudah yang bermunculan,
saya berfikir ini salah satu manufer yang sangat positif. Bagaimana di era terakhir ini anak-anak muda
identik dengan sesuatu yang hura-hura, glamor, dan lain sebagainya. Tapi di sisi lain masih banyak
anak-anak muda yang punya dedikasi tinggi untuk dakwah, terutama untuk masyarakat yang selama ini
menganggap dakwah Islam adalah satu hal yang dikotak-kotakan. Tapi teman-teman da’i muda ini coba
menyuguhkan Islam bahwa dakwah itu adalah sesuatu yang harus disampaikan, disuguhkan dengan
damai.
Berkenaan dengan nuansa politik, ekonomi, dan sebagainya, kita melihat akhirnya dakwah punya
kepentingan. Nah, teman-teman da’i muda saya coba ajak untuk kita berjuang bersama bagaimana kita
menyuguhkan Islam di depan masyarakat bahwa Islam itu rahmatan lil alamin. Sesuatu yang damai,
yang sama sekali tidak bisa ditunggangi oleh politik, ekonomi, dan lain sebagainya.
Guntur: Ya. Saya ingin bertanya kepada Gus Dur. Kita dulu mengenal da’i atau pun kiai-kiai yang
langsung terjun di masyarakat, atau dalam tingkat grass root menyapa masyarakat. Nah saya pinging
tahu komentar Gus Dur tentang kemunculan beberapa da’i yang melalui beberapa broadcast seperti
kata mas Zakki itu tadi lewat televisi maupun media yang lain Gus, gimana itu Gus?
Gus Dur: Sebenarnya dakwah kita itu terbagi dua. Di satu pihak adalah dakwah yang masih ribut
dengan soal-soal ibadah, ya eksistensiallah bahwa Islam itu rahmatan lil alamin dan segala macam itu.
Tapi ada lagi dakwah itu terkait dengan masalah-masalah dasar. Nah, bagaimana memakai atau
menggunakan masalah-masalah dasar itu untuk pengislaman sambil merubah masyarakat, masalah
kemiskinan, masalah kebodohan, kesehatan yang kurang, bahasanya begitulah. Nah ini juga perlu
disinggung yang begitu itu.
Karenanya dua macam inilah kita harus sanggup melihat da’i-da’i itu ya ada yang aktif sebelah sini, lah
sebelah sini. Ya enggak apa-apa, enggak usah saling menolak.
Guntur: Ya mas Zakki, ada masukan dari Gus Dur tentang tema-tema sosial terhadap beberapa pesan
keagamaan. Ada yang ingin ditambahkan mas Zakki?
Zakki: Bahwa da’i yang eksis di dunia broadcast itu identik dengan dakwah yang tidak bisa membumi,
tapi saya coba dengan teman-teman ini bagaimana teman-teman yang alumni salah satu stasiun televisi,
melalui audisi dakwah ya, kita ingin tidak hanya bergerak di bidang broadcast, turun ke masyarakat
bersama para yatim piatu, jompo, dan sebagainya, bahwa kita adalah sesuatu yang bisa dimiliki banyak
orang. Mungkin kurang lebih seperti itu.
Kan contoh dakwah yang nota benenya adalah ceramah di sini ya, banyak masyarakat yang akhirnya
terbentur tidak bisa mendengarkan ceramah hanya karena budget, contoh ya. Nanti saya juga minta
pendapat Gus Dur bagimana fenomena sekarang di masyarakat yang banyak komplain: wah kita tidak
bisa menghadirkan si X, misalnya, karena harus menyediakan uang sampai sekian juta. Nah ini kita
ingin melebur bahwa teman-teman da’i pun tidak menjadikan materi sebagi orientasi utama. Kurang
lebih seperti itu.
Guntur: Ya, gimana itu Gus, semacam da’i yang diungkapkan mas Zakki tadi itu?
Gus Dur: Ya, jadi kalau saya sih jelas sekali. Pertama kita harus menetapkan tujuan kita, mau buat
masyarakat apa? Menurut saya masyarakat yang bebas, yang berkeadilan, yang menginginkan
kemakmuran dan sebagainya. Nah, kayak begitu itu yang saya katakan masalah-masalaha dasar bangsa
kita. Itu penting sekali menuju kesana.
Contohnya, Soeharto itu mengajak pertumbuhan ekonomi habis-habisan, tapi dia lupa bahwa
pertumbuhan ekonomi itu harus disertai dengan pemerataan, baru adil. Nah, kalau Soeharto lupa itu,
akhirnya apa yang terjadi? Ya sekarang ini. Krisis yang sekarang. Orang melarat begitu banyak, karena
dulu tidak diperhatikan.
Bahkan kalau mau ekstim, saya sendiri berpandangan bahwa orientasi pembangunan kita ini ditentukan
oleh struktur masyarakat kita sendiri. Kenapa kita ngalah dulu. Itu yang namanya tahun 1945 kita
merdeka, itu dipimpin oleh para bangsawan; Soekarno, Hatta, As-Saad, Cipto Mangunkusumo.
Semuanya itu bangsawan. Lah akibatnya mereka lalai terhadap satu hal: pentingnya perlu ada kridit
murah dalam jumlah yang besar. Jadi akhirnya enggak ada kan? Lah itu sebabnya. Pengawasan
terhadap mereka juga dilupakan. Mereka keasikkan jadi pejabat.
Terus dari Orde Baru diganti menjadi orang-orang profesional. Tapi pikirannya juga pertumbuhan saja,
enggak ada yang mikir pemerataan. Lalu muncul sekarang, ketua-ketua Parpol, mereka diserahi.
Lah...akhirnya berebut tempat sendiri. Ya itulah situasinya. Moralitas enggak ada artinya bagi kita
sekarang. Nah, dakwah itu sebenarnya harus terkait dengan masalah..
Guntur: Sosial, isu-isu kemasyarakatan, itu ya Gus yang harus dikedepankan?
Gus Dur: Iya.
Guntur: Ya saudara, Anda yang ada di rumah silahkan menghubungi di nomor telepon yang sudah
kami sediakan atau mengirim pesan pendek pada nomor yang sudah kami sediakan. Dan nanti bung
Taufik yang ada di studio atas akan membuka line telepon dan membacakan beberapa pesan pendek.
Saya ke studio atas dulu, bung Taufik.
Ifan: Halo.. dengan Ifan ini Guntur.
Guntur: Oh ya, silahkan bung Ifan.
Ifan: Baik, ini ada beberapa SMS yang masuk ke kita Guntur bertanya ke Gus Dur ini. Ini dari Edi di
Magelang, dia bertanya peran da’i sekarang terlalu mencari popularitas. Bagaimana ini menurut Gus
Dur? Itu yang pertama. Dan yang kedua ini agak keluar konteks sebenarnya, tapi tampaknya dia
tertarik sekali untuk mendengar pernyataan Gus Dur: Gus, apakah penyerbuan tentara Pakistan ke
Masjid Merah bisa berdampak luas Gus?
Guntur: Bisa dikait-kaitkan itu.
Ifan: Bisa dikait-kaitkan.
Guntur: Masjid dan... ya, silahkan yang pertama itu Gus.
Gus Dur: yang pertama tadi apa?
Guntur: Da’i dan popularitas.
Gus Dur: Ya, da’i itu satu kelompok masyarakat yang mencoba untuk menyampaikan apa yang
dianggap terbaik dari satu agama kepada masyarakat, sehingga ditiru atau diambil oper oleh
masyarakat. Jadi sebenarnya enggak ada apa-apa tentang da’i itu. Ya Cuma begitu doang.
Lah yang kedua, itu penyerbuan masjid Laal itu menyebabkan kematian Rasyid. Itu orang hafal Qur’an
loh. Nah, itu tragis sekali itu. Ya itu karena sikap yang sama-sama konyol. Tapi ya terus terang saja
kalau saya ya, melihatnya dengan kacamata dari jauh, bisa salah bisa tidak salah, bahwa Musyarof itu
ingin menerapkan kayak Indonesia, agama itu ada tempat sendiri. Bukan pemerintah harus tunduk pada
ketentuan agama. Kalau begitu ya jadi negara agama dong. Jadi ya sayang sekali harus berakhir pada
penyerbuan itu.
Guntur: Tetapi kenapa ya Gus kok ada penggunaan yang disebut dengan kekuasaan agama lah.
Menggunakan seperti masjid kemudian media-media seperti dakwah dan sebagainya. Dan tujuan itu
sangat nampak ya Gus di dunia internasional misalnya terhadap Islam, terhadap citra masjid, madrasah,
pesantren itu Gus?
Gus Dur: Ya memang gitu. Mereka itu tidak membedakan anatara agama sebagai keyakinan di satu
pihak. Dan ada di pihak lain, agama sebagai institusi. Mereka terlalu memberatkan institusi, akhirnya
ya bikin enggak-enggak itu. Ya itu saja sebenarnya.
Guntur: Ya, mas Zakki tadi ada beberapa komentar mengenai popularitas itu mas Zakki, gimana itu
mas Zakki?
Zakki: Kalau saya berfikir, seperti yang saya katakan di awal, bahwa dunia broadcast adalah media
yang paling efektif untuk kita berdakwah. Bagaimana sekali kita berdakwah didengarkan oleh jutaan
masyarakat Indonesia.
Yang perlu ditekankan bahwa seorang da’i itu tidak hanya berkutat pada tatanan ceramah ya, tapi
bagaimana seorang da’i ini mampu menjadi sosok yang ideal, menguasai beberapa hal baik ekonomo,
politik, dan sebagainya. Sehingga ketika menyampaikan tausiyah atau pesan kepada masyarakat tidak
hanya berdasarkan semata-mata ayat yang ditafsirkan secara pribadi atau sepihak. Tapi bagaimana dia
mampu menyampaikan subtansi dari ayat tersebut. Dan tentunya ketika seorang penceramah ingin
menyampaikan subtansi dari ayat tersebut, dia harus mengetahui beberapa hal keilmuan. Jadi kurang
lebih wawasannya harus luas.
Guntur: Ya. Ada tanggapan dari yang ada di Kedai Tempo? Ya, saya persilahkan.
Penanya: Assalamu’alaikum.
Gus Dur, Guntur, Acun, Zakki: Wa’alaikumsalam.
Penanya: Gus Dur dan mas Zakki, ini ada pertanyaan minta tanggapannya semakin berkembangnya
majelis-majelis dzikir di masyarakat. Mungkin karena kejenuhan terhadap da’i-da’i yang ada. Mohon
tanggapannya.
Guntur: Majelis-majelis dzikir, gimana itu Gus?
Gus Dur: Lah ini ada lagi model baru sekarang, yaitu majelis dzikir. Itu memang dakwah. Tapi dakwah
yang dikaitkan dengan dzikir kepada Allah.
Lah di sini, namanya pandangan ya, bahwa dzikir itu penting. Nah, sekarang masyrakat kita lagi begitu,
gila pada dzikir. Tapi dzikir itu ya macam-macam kan? Umpamanya: laqot kaana lakum fi rosulillahi
uswatun hasanah, liman kaana yarjullaha wal yaumal akhir. Ini kata Qur’an loh ya. Nah ditambahi:
wadzakarallaha katsiiroh, dan dzikir kepada Allah banyak sekali. Di situ para ulama itu membagi,
wadzakarallaha, dzikir itu apa? Dzikir itu ingat Allah. Lah kalau ingat Allah itu ada yang sifatnya,
lafdhi/qouli gitu ya: lailaha illallah...lailaha illallah...lailaha illallah. Tapi ada ada yang sifatnya fi’li,
perbuatannya.
Lah, orang yang katakanlah umpamanya saat ini menebang pohon semaunya, lalu akalnya pada mati.
Akibatnya air enggak ada yang arus, terjadi banjir bandang. Lah itu namanya orang yang tidak berfikir
itu. Mulutnya doang yang berdzikir. Nanti kayak yang diceritakan oleh Dr. Muslim Abdurrahman
kepada saya, waktu ia buat disertasi di Blanakan, daerah apa itu? Daerah Subang apa Indramayu itu?
Acun: Subang.
Gus Dur: Subang ya. Dia cerita sama saya, haji-haji yang bikin masjid indah-indah itu memerintahkan
para petambak udang, itu masuk tambang udang, ngurusi udang itu dari jam 3 pagi. Lah mereka kan
jadi tidak shalat subuh kan. Gimana, mereka masuk surga enggak? Saya bilang: oh ya surganya udang.
Lalu bukan begitu saja. Itu haji-haji justeru yang membiayai dombret. Akhirnya juga membiayai rumah
pelacuran. Apa? Supaya orang-orang dagang ke situ untuk lelang ikan. Nah, itu. Dia dapat untung kan
dari lelang ikan itu. Susah haji-haji kita begitu.
Guntur: Ya, satu lagi silahkan. Bung Rori.
Rori: Terimakasih sebelumnya. Mau sedikit bertanya Gus, selama ini seorang da’i terjun ke dunia
politik, pastilah di masyarakat itu ada pandangan negatif terhadap da’i itu sendiri Gus. Lah, temanteman da’i TPI yang saat ini lagi merintis ini Gus, adakah saran-saran atau kiat-kiat dari Gus Dur
sendiri bagaimana teman-teman itu memosisiskan dakwah dalam dunia politik sendiri Gus?
Terimakasih.
Guntur: Iya Gus.
Gus Dur: Itu resikonya besar loh, memasuki dunia politik. Artinya, orang luar enggak tahu, da’inya ini
ngomong benar atau tidak. Kalau untuk kepentingan partainya kan celaka itu. Jadi karena itu faktor ini
harus diperhitungkan.
Yang kedua, apalagi metode yang gunakan itu kekerasan, seperti FPI itu ya. Jadi da’i FPI itu bagaimana
bisa menyerang atau menolak adanya anggapan bahwa Islam harus diperjuangkan dengan kekerasan.
Padahal fikih sudah jelas menyatakan bahwa orang itu tidak boleh menggunakan kekerasan. Hanya
boleh kekerasan kalau idzha uhgriju min dhiyarihim, kalau mereka diusir dari rumah mereka.
Itulah sebabnya saya dulu waktu dilengserkan itu saya minta Pak Ruhut Panjaitan: Pak Ruhut mintain
surat perintah dari lurah Gambir kepada saya untuk meninggalkan Istanah. Ya supaya saya tidak wajib
menggunakan kekrasan, wong enggak diusir kok. Itu perintahnya Lurah. Biar kayak apa, Lurah itu
pemerintah. Nah, jadi di sini penting sekali pengertian-pengertian kita benarkan itu. Makasih.
Guntur: Mas Zakki gimana?
Zakki: Kalau boleh saya tanggapi masalah dzikir tadi. Artinya kalau kita lihat fenomena yang sedang
marak, dzikir sekarang ya, itu memang hal yang positif. Tapi betapa banyak masyarakat yang
menganggap, menilai bahwa dzikir hanya bisa dilakukan di tempat-tempat ibadah: di masjid, di majelis
ta’lim.
Menurut saya pribadi, sesuatu apapun yang kita lakukan dan itu sesuai dengan hati nurani, ala
bidzikrillahi tadmainnul qulub, ketika hati merasa tenang melakukan apapun, saat itulah sebenarnya
kita sudah berdzikir. Dalam dunia kerja, dalam dunia aktivitas apapun. Artinya, dzikir ini bukan sesuatu
yang bisa dilakukan hanya di masjid atau tempat ibadah lain.
Apapun yang kita lakukan selama itu bagian dari ibadah, mencari rizki dan sebagainya, itu bagian dari
dzikir. Mungkin ini yang perlu kita fahami kepada masyarakat Indonesia secara luas, betapa dzikir
kemudian dipersempit tempat dan maknanya.
Gus Dur: Jadi begini ya, kalangan tasawuf selalu berpendapat, orang yang jualan di pasar itu
mutasawif terbesar. Jadi bukan orang yang khusuk di tempat tertentu bertasawuf. Kalau dia di pasar
bertasawuf dalam arti melaksanakan pekerjaan dengan sungguh-sungguh dan selalu ingat Tuhan. Ya itu
sudah tasawuf yang benar itu. Saya cocok itu, bukan tempat itu.
Guntur: Ya, di situ ya Gus. Dan juga ada fenomena Gus, misalnya ada beberapa kontes da’i cilik
sekarang. Tetapi isi dakwahnya itu terlalu menggurui. Itu gimana kalau seperti itu mas?
Zakki: Kalau yang saya lihat untuk ceramah anak kecil itu biasanya tergantung script. Jadi sebelum
tampil pun, enggak boleh ada huruf yang ketinggalan. Jangan kan kata, huruf pun satu meleset, lupa
semua. Artinya kalau kita lihat sisi positif, ini adalah pemberdayaan dunia dakwah dalam segmen anakanak kecil ya. Anak kecil sekarang identik dengan film-film kartun. Tapi betapa masih banyak anak
kecil secara kualitas dakwahnya juga mampu bagaimana ini kita arahkan.
Adapun sisi negatifnya mungkin banyak yang menilai, waduh yang nonton kan kebanyakan bapakbapak. Bapak-bapak kita digurui. Akhirnya tergantung sisi mana yang kita lihat. Ketika kita melihat sisi
positif, maka banyak hikmah yang bisa kita ambil. Tapi ketika kita melihat sisi negatif, biarkan itu jadi
sesuatu yang menjadi bagian dari proses pertumbuhan dakwah di Indonesia.
Guntur: Berarti memang tergantung scriptnya, siapa yang bikin ya?
Zakki: Iya, ya.
Guntur: Iya. Itu saja mas Zakki, Gus Dur, kita jedah dulu. Dan saudara, anda jangan kemana-mana
karena setelah ini kita akan membicarakan sebuah topik tentang terorisme. Ada bung...
Gus Dur: Enggak, enggak tadi ini ya, saya ingat antara dakwah dan politik itu majalah Amanah,
sekarang sudah mati. Dulu, wawancara dengan saya, bagaimana pendirian saya terhadap
assalamu’alaikum? Saya bilang kalau sebagai kritik ya silahkan saja diganti. Nah, tetapi sebagai
katagori agama ya kita tidak bisa ganti dong.
Shalat itu saja menurut definisinya, mazhab Syafi’i itu mengatakan, maa yubtada’u bi takbiratul ihram
wayuhtatamu bi salam, apa yang dimulai dengan takbiratul ihram, disudahi dengan salam. Nah ini
enggak dimuat yang kedua ini. Yang dimuat itu boleh diganti. Lah akibatnya orang menganggap saya
mau ganti semua. Bahkan lebih jauh lagi, Kiai Syukron Ma’mun itu sampai ngomong: Gus Dur itu
kalau shalat, kanan selamat pagi, kiri selamat sore. Lah itu kok ada kiai yang bohong.
Guntur: Kiai yang punya muatan politis ya Gus?
Gus Dur: Lah itu.
Guntur: Ya terimakasih, kita akan kembali setelah ada berikut ini.[]
Download