ISSN 2086-1575 Vol. 4, No. 2, Nopember 2012 Jurusan Ekonomi Pembangunan FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI MALANG ISSN 2086-1575 Jurnal EKONOMI & STUDI PEMBANGUNAN Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan (JESP) terbit dua kali setahun memuat artikel hasil pemikiran filosofis, konseptual, teoritis, telaah kritis (critical review), dan penelitian di bidang ekonomi pembangunan (development economics) dan pembangunan ekonomi (economic development). Ketua Penyunting Dr. Imam Mukhlis, S.E., M.Si Wakil Ketua Penyunting Dr. Hadi Sumarsono, S.T., M.Si Penyunting Pelaksana Dr. Mit Witjaksono, MS.Ed Dr. Sugeng Hadi Utomo, M.S Dr. M. Nasikh, SE, M.P., M.Pd Grisvia Agustin, SE., M.Sc Pelaksana Administrasi Tutut Boedyo Wibowo, S.Kom, MT Januar Kustiandi, S.Pd.,M.Pd Januar Kustiandi, S.Pd Alamat Redaksi/TU Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang (FE UM) Jl. Semarang 5. Malang 65145. Gedung E3 Lantai 2 Tlp/Fax (0341) 585-911 E-mail: [email protected], [email protected], [email protected] Site: www.fe.um.ac.id Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan (JESP) dikelola oleh Jurusan Ekonomi Pembangunan. Diterbitkan oleh Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Malang (FE UM). Dekan: Prof. Dr. Budi Eko Soecipto, M.Ed. Pembantu Dekan I: Dr. Mit Witjaksono, MS.Ed. Pembantu Dekan II: Dr. Tuhardjo, SE., M.Si.Ak. Pembantu Dekan III: Drs. Djoko Dwi Kusumayanto, M.Si. Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan: Dr. Hari Wahyono, M.Pd. Naskah artikel yang disumbangkan kepada JESP harus mengikuti aturan dalam Petunjuk bagi Kontributor JESP yang dilampirkan pada setiap nomor penerbitan. Isi artikel beserta akibat yang ditimbulkan oleh artikel itu menjadi tanggungjawab penuh penulisnya (kontributor). JESP-Vol. 4, No. 2, 2012 ISSN 2086-1575 EDITORIAL __________________________________________________________________________________________ Pengantar Seperti pada pengantar edisi perdana, JESP (baca: jès pé) memuat karya tulis: 1. Artikel pemikiran filosofis, teoritis, konseptual, atau telaah kritis c( ritical reviews), yang selanjutnya diberi label kelompok:ARTIKEL. 2. Artikel hasil penelitian, yang selanjutnya diberi label kelompok:PENELITIAN. 3. Artikel tinjauan buku (book review), yang diberi label kelompok:TINJAUAN BUKU. Artikel dalam kelompok 1 memaparkan pemikiran konseptual, telaah kritis, atau analisis kontekstual tentang teori ekonomi, pemikiran, paradigma, atau filsafat ekonomi, dan aplikasinya dalam ekonomi pembangunan. Artikel dalam kelompok 2 memaparkan hasil kajian (penelitian) empiris tentang penerapan lapangan, atau simulasi lab (ekonomi eksperimental) terhadap isu, kasus, atau implementasi kebijakan ekonomi. Artikel dalam kelompok 3 menelaah isi, cakupan, manfaat, dan kritik buku yang dipandang penting dalam kajianekonomi dan studi pembangunan. Dalam edisi ini dapat dihasilkan 1 artikel konseptual, 9 hasil penelitian empiris dan 1 tinjauan buku. Kepada para penulis yang telah memberikan kontribusinya, dan rekan-rekan "Penyunting Pelaksana", "Pelaksana Administrasi", serta semua pihak yang telah membantu mewujudkan penerbitan jurnal ini, tak lupa kami mengucapkan terimakasih dan apresiasi yang tinggi. 171 JESP-Vol. 4, No. 2, 2012 ISSN 2086-1575 Tentang Nomor Ini Pada edisi nomor 2 tahun 2012 ini diwarnai dengan berbagai pemikiran dan kajian empiris tentang berbagai dimensi dalam pembangunan dalam konstelasi perekonomian regional, nasional dan global. Bagian pertama dalam jurnal ini diawali dengan hasil karya pemikiran teoretis dan konseptual. Dalam konteks perekonomian nasional di bidang Ekonomi Moneter, tulisan dari saudara Sasli R mengingatkan kembali akan pentingnya mereformulasikan kembali perekonomian nasional dalam perspektif syariah. Implementasi ekonomi moneter pada dasarnya telah banyak dikaji dalam literatur perekonomian syariah melalui berbagai kajian dan pendapat yang sudah ada. Bagian kedua dari jurnal edisi ini berisikan hasil kajian empiris tentang dinamika dan problematika pembangunan. Dalam kajian empiris ini banyak dikupas berbagai hasil penelitian. Dalam konteks internasional, tulisan dari saudara Timbul H.S memaparkan secara analisis tentang pepajakan di negara-negara ASEAN. Dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN, persentase penerimaan pajak terhadap PDB di Indonesia masih lebih kecil. Hal ini mengindikasikan masih adanya potensi penerimaan pajak yang dapat digali dalam perekonomian nasional. Dalam konteks perekonomian secara makro, tulisan dari Imam M mencermati kembali peran FDI dalam perekonomian nasional. Secara empiris walaupun aliaran di Indonesai berfluktuatif, namun masih tetap memberikan kontribusi riil terhadap PDB Indonesia.Tulisan Wasito R.J menganalisis sebuah dilema dalam perkembangan pasar tradisonal dan liberalisasi ritel modern. Menurutnya pasar tradisional memiliki sejarah penting dalam membangun bangsa, sehingga dibutuhkan usaha keras agar tetap eksis dalam meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Dalam paparan hasil penelitian yang lain, tulisan Asfi M menganalisis sebuah pola pembiayaan Agribisnis dan peran bank pada kontrak usaha tani jagung. Dengan pendekatan kualitatif dalam penelitiannya, tulisan ini berusaha untuk mencermati sebuah informasi kunci bahwa pola pembiayaan yang diberikan oleh pihak perbankan melalui perusahan kepada petani selama ini menimbulkan informasi yang tidak simetris. Sedangkan dalam konteks regional tulisan Abdul A, dkk mengananalisis potensi perekonomian daerah di Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Melalui analisisnya tersebut dihasilkan sebuah pemetaan terhadap potensi ekonomi daerah yang dapat dikembangkan secara sektoral di Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Bagian akhir dari tulisan ini adalah sebuah hasil resensi buku tentang ekonomi pegadaian syariah. Pada edisi ini, hasil resensi disampaikan oleh Subagyo tentang buku yang berjudul Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian Kontemporer). Buku tersebut merupakan hasil dari telaah kritis secara teoretis dan empiris tentang pegadaian syariah yang ditulis oleh Sasli Rais seorang praktisi dan akademisi yang banyak menggeluti bidang kebijakan pembangunan dan ekonomi syariah. Pada akhirnya semangat yang dibangun oleh tim JESP pada edisi 2 tahun 2012 ini semoga memberikan kontribusi pemikiran yang konstruktif dalam membangun masyarakat yang madani dan berkeadilan sosial. Malang, 31 Nopember 2012 Penyunting __________________________________________________________________________________________ 172 JESP-Vol. 4, No. 2, 2012 ISSN 2086-1575 DAFTAR ISI __________________________________________________________________________________________ EDITORIAL Pengantar 171 Tentang Nomor Ini 172 __________________________________________________________________________________________ ARTIKEL Ekonomi Moneter : Tinjauan Sejarah Ekonomi Islam Sasli Rais 175 _________________________________________________________________________________________ PENELITIAN Penerimaan Perpajakan di Negara Asean Timbul Hamonangan Simanjutak 181 Aliran Foreign Direct Investment dan Produk Domestik Bruto Di Indonesia Imam Mukhlis 191 Pengaruh Jumlah Uang Beredar ( JUB ), Tingkat Suku Bunga BI Rate, Dan nilai Tukar Rupiah Dollar – AS Terhadap Laju Inflasi di Indonesia ( Tahun 2007 – 2011 ) Y uniar Ardila & Sapir 201 Pengaruh Capital Adequancy Ratio ( CAR ), Return On Asset ( ROA ) dan Loan T o Deposit Ratio ( LDR ) Terhadap Harga Saham Bank Pemerintah di Indonesia Periode 2004-2011 Ferik Vidyatama & Mardhono 213 Dilema Ekonomi : Pasar TradisionalV ersus Liberalisasi Bisnis Ritel di Indonesia W asisto Raharjo Jati 223 Dampak Investasi Pemerintah Terhadap Investasi Swasta dan Kesejahteraan Masyarakat Setelah Pemekaran Daerah Kabupaten Kota di Provinsi Maluku Tri Wahyuningsih 243 Perencanaan Energi Daerah Provinsi Maluku Utara Agus Sugiyono 261 Analisis Faktor Eksternal dan Internal Terhadap Kinerja Usaha Mikro dan Kecil (UMK) di Kota Ternate Amran Husen 273 173 JESP-Vol. 4, No. 2, 2012 ISSN 2086-1575 Telaah Kritis Pola Pembiayaan Agribisnis Pada Kontak Usaha Tani (Studi Pada Kontrak Usaha Tani Jagung) Asfi Manzilati & Y enny Kornitasari 285 Analisis Sektor Unggulan dan Perkembangan Ekonomi Kabupaten Lamongan (Sebuah Pendekatan Sektoral Pembentuk PDRB) Abdul Azis, Arvidya Maulid Dana, Endro Pebi Trilaksono, Fajar Try Leksono & Wildan Mudhoffar 299 __________________________________________________________________________________________ TINJAUAN BUKU Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian Kontemporer) Subagyo 311 __________________________________________________________________________________________ 174 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Ekonomi Moneter : Tinjauan Sejarah Ekonomi Islam Sasli Rais Abstract Monetary economics in perpective of Islam is not far differ from conventional economics. Its basic differences are relating to norm and value which arrange economic behavior itself. Currency in Islam as a converting tool and price value in entire economic transaction. Therefore, piling up money isn’ t enabled in Islam. Change of money value solely determined by strength of balance price’ s goods and service. Banking as a place to convert different currency and should be careful of interest rate. Keyword: Monetary economics, Currency,Inflation, Bank PENDAHULUAN Dalam Sistem Ekonomi Konvensional (SEK),1 salah satu bidang yang dipelajari adalah ekonomi moneter, yang lebih identik dengan ilmu ekonomi uang dan bank. Hal ini dikarenakan uang dan bank merupakan variabel pokok yang harus dipelajari, sedangkan variabel yang lainnya hanya merupakan variable turunan dan alat kebijakan ekonomi moneter itu sendiri. Misalnya, inflasi, jumlah uang beredar, likuiditas perekonomian, kecepatan peredaran uang, pemberian kredit dan sumber dana perbankan, suku bunga, dan sebagainya.2 Sedangkan ekonomi moneter dalam Sistem Ekonomi Islam (SEI) tidak jauh berbeda masalah yang menjadi kajiannya. 1 Dalam kebanyakan literatur ekonomi Islam dan para pakar ekonomi Islam menggunakan istilah ekonomi konvensional versus ekonomi islam. Hal ini dikarenakan untuk memudahkan dalam mempelajari perbedaan dan persamaan konsep ekonominya. 2 Hg. Suseno Triyanto Widodo, Indikator Ekonomi : Dasar Perhitungan Perekonomian Indonesia (Yogyakarta : Kanisius, 1990), hal. 43 Namun ada hal mendasar yang tidak ada dalam ekonomi konvensional, terutama yang berhubungan dengan variabel ”nilai dan norma” yang berhubungan dengan prilaku ekonomi. Tulisan berikut ini, diprioritaskan pada hal-hal pokok dengan hanya membahas tiga (3) komponen yang sangat berpengaruh terhadap konsep ekonomi moneter dan ekonomi pada umumnya, yaitu sebagai berikut: A. "MATA UANG Perkembangan ekonomi memerlukan suatu alat tukar yang penggunaannya kekal sepanjang zaman. Alat tukar yang paling tahan itu ialah barang-barang dari logam, seperti : emas, perak, dan tembaga. Adanya perdagangan menimbulkan kebutuhan akan adanya mata uang. Misalnya, orang yang akan membeli makanan dengan kain, dari manakah dia mengetahui nilai yang sama untuk harga makanan itu, sedangkan dalam pergaulan menghendaki terjadinya jual beli antara barang yang berbeda, seperti kain dengan makanan, hewan dengan kain. Padahal barang-barang itu tidak sama harga atau __________________________________________ Alamat Korespondensi : Sasli Rais. Dosen STIE Pengembangan Bisnis dan Manajemen, Jakarta Email : [email protected] JESP V ol.4, No. 2, 2012 nilainya. Oleh karena itu, disinilah pentingnya alat tukar yang bernama ”mata uang” itu. Menurut Imam Al-Ghazali (450– 505 H / 1058–1111 M), sejarah membuktikan bahwa pada zaman sebelum Nabi Muhammad SA W, orang Arab sudah mengenal adanya mata uang, tetapi semuanya dari luar Arab. Mereka mengenal mata uang emas, yaitu Dinar dari Romawi dalam perdagangan mereka ke Utara (Syiria), dan mengenal mata uang perak, yaitu Dirham dari Persia dalam perdagangan mereka ke Selatan (Y aman). Barulah pada tahun ke-15 H/536 M, yaitu 4 tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammad SA W – Khalid bin Walid – pahlawan Islam terkenal itu membuat mata uang sendiri di Thabariyah, daerah Syiria. Dalam pembuatan mata uang pertama itu masih meniru mata uang Romawi. Ia melukisnya dengan gambar, salib, mahkota, dan tongkat kebesaran, sedangkan di sebelahnya ada tulisan dengan huruf Y unani BON.3 Sedangkan mata uang logam perak – Dirham Islam dibuat tahun 28 H/648 M di Thabaristan (Persia), di mana pada pinggiran mata uang itu ada huruf Arab dengan huruf Kaufah, yaitu Bismillahi Rabbi. Adapun mata uang Islam yang pertama kali dicetak oleh kantor percetakan negara Islam baru terjadi pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari dinasti Bani Umayyah (65-86 H/685705 M), sesudah merundingkannya dalam musyawarah dengan para ulama dan pemuka. Maksud pembuatan mata uang itu diketahui oleh Keizer Romawi yang menganggapnya telah merusak hubungan ekonomi antara Arab dan Romawi. Ia mengirimkan surat ancaman kepada Khalifah Abdul Malik agar menghentikan usahanya itu demi hubungan baik antara kedua negara. 3 Abdullah Zaky Al-Kaff, Ekonomi Dalam Perspektif Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hal. 195 176 Kalau diteruskan juga, tulisan atas nama mata uang harus ditambahkan katakata yang tiada sangkut pautnya dengan Islam atau kata-kata yang menghina Nabi SAW . Ancaman tersebut menyebabkan Abdul Malik menganggapnya sebagai kebulatan pendapat dari seluruh umat, termasuk oposisi di masa itu, yaitu partai Syi’ah. Oleh karena itu, ia mengundang pemimpin partai oposisi, Muhammad AlBaqir untuk datang ke ibu kota Damaskus untuk merundingkan soal yang penting itu. Undangan tersebut dipenuhi oleh pemimpin Syi’ah dan berakhir dengan persetujuan bulat atas maksud baik Khalifah Umayyah, demi kebangkitan perekonomian umat Islam. Dalam mata uang Dinar dan Dirham itu dilukis kalimah tauhid dan disebelahnya ditulis nama Nabi SAW , serta menyebut nama negeri, dan tahun mencetaknya. Mata uang Islam yang pertama ini diberi nama Dimaskiyah, sesuai dengan nama kota tempat mencetaknya, Damaskus. Khalifah mengirimkan mata uang itu ke seluruh negara, memerintahkan supaya seluruh mata uang Romawi dan Persi dibekukan, serta tidak boleh beredar lagi. Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa mata uang berfungsi sebagai alat tukar dan nilai harga dalam seluruh transaksi ekonomi, ditetapkan menurut mata uang sendiri.4 Oleh karena itu, AlGhazali mengecam orang yang menimbun uang. Orang demikian dikatakannya sebagai penjahat. Yang lebih buruk lagi adalah orang melebur dinar dan dirham menjadi perhiasan emas dan perak. Mereka ini dikatakannya sebagai orang yang tidak bersyukur kepada Sang Pencipta dan kedudukannya lebih rendah dari orang yang menimbun uang, karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran, sednagkan 4 Abdullah Zaky Al-Kaff, Ekonomi Dalam Perspektif Islam, (Bandung:Pustaka Setia, 2002), hal. 198 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 meleburnya berarti menarik dari peredaran selamannya. Peredaran uang palsu sangat dikecam Al-Ghazali karena kandungan emas/peraknya tidak sesuai dengan yang ditetapkan oleh pemerintah. Mencetak uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang itu dipergunakan dan akan merugikan siapa pun yang menerimanya dalam jangka waktu lama. Al-Ghazali memperbolehkan uang yang tidak terbuat dari emas/perak, seperti uang logam dan uang kertas yang saat ini banyak digunakan asalkan pemerintah menyatakannya sebagai alat bayar resmi dan demikian juga pendapat Ibnu Khaldun, hanya saja pemerintah wajib menjaga nilai uang yang dicetaknya karena masyarakat menerimanya tidak lagi berdasarkan berapa kandungan emas/perak didalamnya. Misalnya, pemerintah mengeluarkan uang nominal Rp 10.000 yang setara dengan ½ gram emas. Apabila kemudian pemerintah mengeluarkan uang nominal Rp 10.000 seri baru dan ditetapkan nilainya setara dengan ¼ gram emas, maka uang akan kehilangan makna sebagai standar nilai.5 Namun Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah melarang perdagangan mata uang Dinar dengan Dinar karena akan menghilangkan fungsi dari uang itu sendiri, di samping akan menimbulkan inflasi.6 Seperti pasar uang yang terjadi saat ini, di mana sebagian besar uang dipergunakan untuk memperdagangkan uang itu sendiri.7 Sedangkan menurut Ibnu Khaldun, mata uang berfungsi sebagai alat penukar dan pengukur harga sebagai nilai usaha, alat perhubungan, dan alat simpanan dalam bank-bank.8 5 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, Cetakan Pertama, (Jakarta:Gema Insani Press, 2001), hal. 56 6 Ibid, hal. 62 7 Ibid, hal.. 54 8 Abdullah Zaky Al-Kaff, Ekonomi Dalam Perspektif Islam, (Bandung:Pustaka Setia, 2002), hal. 211. B. INFLASI Menurut Ackley (1978) bahwa yang dimaksud dengan inflasi adalah suatu kenaikan harga yang terus-menerus dari barang-barang dan jasa-jasa secara umum –bukan satu macam barang saja dan sesaat. Sejarah menunjukkan bahwa salah satu negara yang ditandai dengan kenaikan harga secara cepat adalah Mesir di sekitar tahun 330 sebelum Masehi pada waktu pemerintah Alexander Agung menyerbu Persia dengan membawa emas (hasil rampasan tentunya) ke Mesir. Dan juga negara Jerman mengalam hyper inflation pada awal tahun 1920-an di mana laju inflasi mencapai beberapa ratus persen per tahunya. Negara Indonesia juga tidak luput dari penyakit hyper inflation di tahun 1960-an, di mana laju inflasi mencapai 650 persen. 9 Sedangkan dalam sejarah ekonomi Islam, banyaknya peredaran mata uang, terutama fluktuasi harga perak menyebabkan nilai mata uang Dinar dan Dirham selalu naik dari waktu ke waktu dan nilainya pun berbeda dari suatu daerah dengan daerah lain. Perbandingan antara dua mata uang logam itu adalah 10 pada zaman Nabi Muhammad SAW dan tetap stabil pada level itu selam periode keempat khalifah pertama (11-41 H/632-661 M). Namun, stabilitas ini tidak dapat berlangsung terus. Dua logam mulia itu menghadapi berbagai kondisi permintaan dan penawaran sehingga menimbulkan ketidakstabilan harga relatifnya. Umpamanya pada paro kedua periode Umayyah (41-132 H/661-750 M), perbandingan harga relatif sekitar 12, sementara pada periode Abbasiyah (132656 H/750-1258 M) mencapai 15 atau kurang. Rasio itu terus mengalami fluktuasi dan berkali-kali mengalami 9 Iswardono Sp, Uang dan Bank, (Yogyakarta : BPFE, 1981), Edisi 4, hal. 213. 177 JESP V ol.4, No. 2, 2012 kemerosotan sampai pada tingkat 20, 30, bahkan 50. Menurut Al-Maqrizi dan AlAsad (w. 854 H/1440 M), ketidakstabilan ini membuat mata uang dari logam buruk menendang dari sirkulasi mata uang logam baik.10 Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan Al-Maqrizi menghimbau agar negara menghindari dan tidak mencetak mata uang yang berlebihan dalam upayanya menutup defisit anggaran negara karena akan berakibat pada inflasi.11 Menurut Ibnu Khaldun, dalam keadaan nilai uang yang tidak berubah maka kenaikan maupun penurunan harga semata-mata ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Setiap barang akan mempunyai harga keseimbangannya. Apabila lebih banyak makanan dari yang diperlukan di satu kota, harga makanan menjadi murah dan apabila lebih sedikit makanan dari yang diperlukan maka harga makanan menjadi mahal sehingga inflasi sebagai kenaikan harga-harga semua atau sebagian besar jenis barang, tidak akan terjadi karena pasarr akan mencari harga keseimbangan tiap-tiap jenis barang. Harga satu barang dapat saja naik, kemudian karena tidak terjangkau harganya maka harga akan turun kembali. Ini yang terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab ketika terjadi paceklik. Umar saat itu mengimpor gandum dari Fustat (Kairo) ke Madinah dan selanjutnya harga gandum turun. C. BANK Bank didefinisikan sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. 10 M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam (Jakarta:Gema Insani Press,2001), Cetakan Pertama, hal. 177. 11 Ibid, hal. 143 178 Istilah bank berasal dari bahasa Italia, Banca, yang berarti meja yang dipergunakan oleh para penukar uang di pasar. Pada dasarnya bank merupakan tempat penitipan atau penyimpanan uang, pemberi atau penyalur kredit dan juga perantara di dalam lalu lintas 12 perekonomian. Praktek perbankan dalam Islam dikenal sejak zaman Abbasiyah, walaupun masih dilakukan secara perorangan. Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang sehingga diperlukan keahlian khusus untuk membedakan antara mata uang yang satu dengan yang lainnya. Ini terjadi sebagai akibat adanya perdagangan/pasar internasional, terutama kota yang terkenal adalah kota Isfahan (di Persia), yang dikunjungi oleh berbagai bangsa dari Timur dan Barat dan memperjualbelikan barang dagangan mereka. Nasher Khusru (w. 481 H/1088 M) mengatakan bahwa dalam pasar kota Isfaham, ada suatu stand khusus untuk perbankan, yang sekurangkurangnya diramaikan oleh 200 orang ahli bank dari berbagai bangsa. Dan menurut Ibnul Faqien bahwa pada umumnya para bankir itu datang dari Basrah (Irak), yang membuka pekerjaan perbankan, menampung para pedagang yang datang dari ujung Timur daerah Islam sampai ke ujung Barat, yaitu Ferghanah (di perbatasan Irak) sampai daerah Sous di Asia Kecil.13 Menurut Imam Al-Ghazali bahwa perbankan berfungsi sebagai tempat tukar penukaran mata uang yang berlainan dan perantara untuk pengiriman uang ke daerah-daerah lain. Namun memperingatkan supaya para bankir dan 12 T . Gilarso, Dunia Ekonomi Kita : Uang, Bank dan Koperasi (Yogyakarta : Kanisius, 1976), hal. 4. 13 Abdullah Zaky Al-Kaff, Ekonomi Dalam Perspektif Islam (Bandung:Pustaka Setia, 2002), hal. 199. JESP V ol. 4, No. 2, 2012 semua orang yang berhubungan dengan bank, berhati-hati terhadap dosa riba.14 diciptakan tersebut harus jauh dari nilainilai riba yang diharamkan. Imam Al-Ghazali menitik beratkan pandangannya terhadap institusi perbankan dari sudut transaksi perekonomian, baik antara pribadi dengan pribadi, lembaga dengan pribadi, lembaga bank dengan lembaga lainnya, negara dengan negara, serta lembaga bank dengan negara, yang semuanya itu lebih dekat hubungannya dengan dunia perdagangan (jual beli).15 Untuk lebih memahami lebih lanjut sejarah dari sistem ekonomi Islam dapat dibaca dan dipelajari buku-bukunya baik karangan ekonom dalam negeri maupun luar negeri yang sudah banyak beredar di Indonesia. D. PENUTUP Berdasarkan paparan di atas maka sudah jelaslah bahwasannya ekonomi moneter dalam sistem ekonomi Islam sudah dikaji, meskipun istilah “ekonomi moneter” sendiri berasal dari ekonom konvensional. Mata uang dalam Islam lebih sebagai alat tukar, nilai harga, nilai usaha, alat perhubungan, dan alat simpanan dalam bank-bank dalam seluruh transaksi ekonomi karenanya menimbun uang tidak dibolehkan dalam Islam karena uang harus selalu berputar dalam rangka keseimbangan ekonomi. Oleh karena itu, keadaan nilai uang yang tidak berubah maka kenaikan maupun penurunan harga semata-mata ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan sehingga setiap barang akan mempunyai harga keseimbangannya sendiri. Sedangkan, perbankan berfungsi sebagai tempat tukar penukaran mata uang yang berlainan dan perantara untuk pengiriman uang karenanya harus berhatihati terhadap riba dalam pelaksanannya. Karena bagaimana pun, transaksi-transaksi dalam dunia perbankan akan terus mengalami perkembangan dan inovasi bentuknya sehingga yang menjadi perhatian utama dalam system moneter Islam, bagaimana transaksi-transaksi yang 14 Ibid, hal. 202 15 Ibid, hal. 204 179 JESP V ol.4, No. 2, 2012 DAFTAR PUSTAKA Al-Kaff, Abdullah Zaky, Ekonomi Dalam Perspektif Islam (Bandung : Pustaka Setia, 2002). Chapra, M. Umer, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam Cetakan Pertama, (Jakarta : Gema Insani Press,2001). Gilarso, T, Dunia Ekonomi Kita : Uang, Bank dan Koperasi (Y ogyakarta : Kanisius, 1976). Karim, Adiwarman A., Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, Cetakan Pertama, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001). Iswardono Sp, Uang dan Bank, Edisi 4, (Y ogyakarta : BPFE, 1981). Muhammad, Kebijakan Moneter dan Fiskal dalam Ekonomi Islam, Edisi 1, Salemba Empat, Jakarta: 2002. Widodo, Hg. Suseno Triyanto, Indikator Ekonomi : Dasar Perhitungan Perekonomian Indonesia (Y ogyakarta : Kanisius, 1990 180 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Penerimaan Perpajakan di Negara Asean Timbul Hamonangan Simanjutak Abstract This paper aims to analysize the progress of tax revenue in Asean Countries; Indonesia, Malaysia, Thailand and Philiphine from 1990 until 2009. The methode of analysize is descriptive statistic. The result of analysized shows that tax revenue in Asean countries have similarly pattern. The external shocks give the contagion effect to economic progress among four Asean countries. Although, this research also find that tax ratio in Thailand has higher rate than in Malaysia, Philiphine and Indonesia. Therefore, each country in Asean may anticipate the external shocks by appropriate tax policy to achieve optimum tax revenue in Asean countries. Keywords : tax revenue, tax ratio, contagion effect, sunset policy Pajak adalah salah satu instrumen keuangan negara yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan suatu negara. Seiring dengan itu, pajak merupakan sebuah piranti yang sering digunakan dalam pelaksanaan kebijakan fiskal suatu negara. Dalam konteks ini, pengenaan pajak terkandung unsur kebijakan publik yang memiliki implikasi luas terhadap kesejahteraan masyarakat, dan karenanya, implementasi dari fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi memegang peran sangat menentukan. Sebagai sebuah intrumen kebijakan fiskal, pajak memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan pembangunan. Pengenaan pajak di suatu negara didasarkan pada berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini pajak merupakan pungutan yang merupakan hak preogratif pemerintah, pungutan tersebut didasarkan pada Undang-undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada subyek pajak untuk mana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan penggunaannya, Mangkoesoebroto (1998: 181). Sedangkan menurut Jones (2002:4) pajak didefinisikan sebagai : “….A tax can be defined simply as a payment to support the cost of government. A tax differ from a fine or penalty imposed by a government because a tax is not intended to deter or punish unacceptable behavior . On the other hand, taxes are compulsory; anyone subject to a tax is not free to choose whether or not to pay.” Dengan demikian pajak dimaksudkan sebagai transfer masyarakat untuk ongkos pembangunan bukan sebagai hukuman atau denda karena suatu hukuman.Sebaliknya pajak merupakan suatu kewajiban, bukan pilihan. Peran pemerintah dalam pemungutan pajak (tax effort) sangat menentukan untuk menjamin mengalirnya penerimaan negara yang meningkat dari waktu ke waktu. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara, maka penerimaan pajak juga diharapkan meningkat dari tahun ke tahun. Besar kecilnya kapasitas pajak ( tax capacity) mencerminkan kemampuan keuangan suatu negara dalam melaksanakan pembangunannya. Semakin besar porsi __________________________________________ Alamat Korespondensi : Timbul Hamonangan Simanjutak, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Maranatha Bandung Email : [email protected] JESP V ol. 4, No. 2, 2012 pajak dalam penerimaan negara, menunjukkan semakin besar kemandirian negara tersebut dalam pembiyaan pembangunannya. Sebaliknya semakin kecil porsi pajak dalam penerimaan negara, maka semakin tidak mandiri kemampuan negara dalam membiayai pembangunannya. Dalam kaitannya dengan pemanfaatan pajak, secara lebih khusus Connolly and Munro (1999: 158) menyadari benar bahwa pajak memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Oleh karena itu sangat disadari bahwa pencapaian dalam sasaran dan target pembangunan tidak dapat dicapai secara optimal apabila tidak didukung oleh penerimaan pajak. Pada posisi ini peran pajak sangatlah strategis dan menentukan di dalam mencapai keberhasilan dan kesinambungan pembangunan. Kawasan perekonomian Asean memiliki dinamika tersendiri dalam pengoptimalan penerimaan negara dari pajak. Sebagai kawasan yang memiliki lokasi strategis dalam lalu lintas perhubungan via laut secara internasional, Asean menjadi pilihan utama bagi negaranegara di berbagai dunia untuk bermitra dalam kegiatan ekonomi. Kepekaan negara-negara di luar Asean untuk bermitra dengan Asean didasarkan pada kondisi empiris, dimana Populasi negara-negara di Asean sangat besar (sekitar 500 juta). Jumlah populasi tersebut merupakan sebuah potensi pasar yang sangat besar menghadapi berbagai permintaan macam barang dan jasa. Sebagai konsekuensi, kekuatan ekonomi negara-negara Asean banyak ditopang dari permintaan domestik yangg terus berkembang seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk. Potensi populasi dan stabilitas perekonomian di kawasan Asean, menjadikan negara-negara Asean memiliki 182 peluang yang cukup besar dalam meningkatkan penerimaan pajaknya. Hal ini dapat terjadi karena stabilitas perekonomian, merupakan sebuah indikator dari berjalannya berbagai kegiatan ekonomi suatu negara. Kondisi ini akan berdampak pada perluasan dan peningkatan nilai tambah ekonomi yang dapat tercipta dalam pembangunan negaranegara Asean. Namun demikian, dalam kurun waktu tahun 1990-2009, dinamika perkembangan ekonomi Asean tidak luput dari adanya dampak external shocks yang terjadi di negara-negara di luar kawasan Asean. Kondisi ini tentunya juga berdampak pada stabilitas perekonomian masing-masing negara Asean. Sebagai antisipasi, tentunya masing-masing negara juga menyiapkan berbagai kebijakan dalam rangka memperkuat fundamental perekonomiannya, sehingga external shocks yang ada tidak berdampak serius pada pertumbuhan ekonomi dan juga penerimaan pajak dalam postur Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara masingmasing negara Asean. Oleh karena itu sangat penting untuk menganalisis secara deskriptif perkembangan penerimaan pajak negara-negara Asean dalam menghadapi konstelasi perekonomian global yang terjadi. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis secara deskriptif kuantitatif. Penelitian difokuskan pada 4 (empat) negara Asean, yakni ; Indonesia, Malaysia, Philipina dan Thailand dalam kurun waktu 1990-2009. Data penelitian ini merupakan data sekunder time series, yakni data tentang penerimaan pajak di masing-masing negara anggota Asean. Sumber data dalam penelitian ini adalah Asian Development Bank yang dapat diakses melalui situs, www.adb.go.id. Data yang dibutuhkan diperoleh dengan teknik JESP V ol. 4, No. 2, 2012 dokumentasi, yakni melakukan tabulasi, pencatatan, perekaman data dan pemaparan data. Hasil dan Pembahasan Perekonomian negara-negara Asean dalam kurun waktu 1990-2009 dihadapkan pada konstelasi perekonomian global yang berkembang cukup fluktuatif. Dalam kurun waktu tersebut negara-negara di luar kawasan Asean mengalami krisis ekonomi, seperti di USA, Uni Eropa dan Jepang. Krisis tersebut merupakan akumulasi dari berbagai ketidakstabilan yang ditimbulkan baik dari sisi keungan negara, keuangan perusahaan dan sektor perbankan. Krisis tersebut memiliki potensi untuk menimbulkan contagion effect ke negara-negara di kawasan Asean. Hal ini karena pada kenyataannya negaranegara Asean sudah menerapkan open economy dalam berbagai bentuk kegiatan ekonomi internasional, seperti aliran modal dan perdagangan barang dan jasa. Dalam hal ini investor asing dan kreditur yang memiliki modal tentunya menginginkan profit yang tinggi dalam bisnisnya. Pada sisi lain ekspor negara-negara berkembang mengalami tekanan ketika negara pembeli utama di luar negeri mengalami krisis. Oleh karena itu negara-negara berkembang berusaha sekuat mungkin untuk mengoptimalkan sumber keuangan dalam negerinya (Culpeper and Bhushan 2008). Namun demikian dalam kurun waktu 1990-2009 walaupun terjadi gejolak perekonomian eksternal, perekonomian negara-negara di kawasan Asean masih menunjukkan stabilitasnya. Kondisi stabilitas perekonomian inipun pada akhirnya berdampak pada sektor penerimaan negara dari pajak. Sebagaimana diketahui, pajak merupakan sumber penerimaan negara yang sangat vital dalam membangun negara. Kemandirian pembiayaan pembangunan akan ditentukan dari kapasitas pajak yang dapat dioptimalkan oleh negara-negara Asean. Secara agregate dengan jumlah penduduk yang cukup besar di kawasan Asean, menjadikan negara-negara di kawasan Asean memiliki potensi cukup besar dalam penerimaan dari sektor pajak. Perkembangan perekonomian di negara-negara Asean pasca krisis ekonomi tahun 1998 ditandai oleh adanya semangat menerapkan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dalam sistem pemerintahannya. Kondisi ini juga terjadi di Indonesia, dimana penerapan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal ini diterapkan dengan sebuah Undang-undang dan efektif berlaku pada tahun 2000. Dalam undang-undang tersebut mengisyaratkan adanya distribusi keuangan yang lebih merata ke pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunannya. Salah satu isu penting dalam pembangunan ekonomi di negara-negara Asean dewasa ini adalah penerimaan dari sektor pajak. Pajak dapat memberikan kontribusi besar dalam rangka membiayai pembangunan negara. Dalam hal ini masing-masing negara akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengintensifkan sumber-sumber penerimaan negara. Sebagai gambaran dari kondisi perkembangan penerimaan pajak di negara Asean dapat dipaparkan berikut ini. a. Indonesia Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di kawasan Asean, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi cukup besar dalam penerimaan pajaknya. Hal ini karena dengan semakin besarnya jumlah penduduk, maka kegiatan ekonomi yang tercipta juga akan semakin besar. Hal ini tentunya dapat meningkatkan rasio 183 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 perpajakan di Indonesia yang masih rendah dibandingkan dengan negara Asean lain seperti Malaysia dan Singapura. Guna mencapai kinerja perpajakan yang lebih besar lagi, berbagai kebijakan telah dilontarkan oleh pemerintah, seperti kebijakan Sunset Policy tahun 2008 (Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 66/PMK.03/2008). Kebijakan Sunset Policy ini adalah fasilitas yg diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menghilangkan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga. Dalam kebijakan sunset policy tersebut terdapat dua jenis pengampunan, yaitu; penghapusan sanksi administrasi dan terhindar resiko pemeriksaaan kepada WP yang baru mendaftarkan NPWP pada tahun 2008 dan penghapusan sanksi administrasi (bukan pengurangan sanksi) terhadap WP yang melakukan pembetulan SPT untuk tahun pajak 1998 s/d 2006 (sesuai daluarsa pajak). Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak dalam rangka pembiayaan pembangunan nasional. Adapun perkembangan penerimaan negara dari pajak dapat dilihat pada gambar berikut ini : Sumber:www.adb.org Gambar 1 Penerimaan Pajak Di Indonesia (Miliar Rp) Berdasarkan pada gambar di atas dapat dijelaskan bahwa penerimaan pajak Indonesia dalam kurun waktu 1990-2009 menunjukkan adanya trend kenaikan. Penerimaan pajak mulai tahun 2001 mulai menunjukkan kenaikannya menjadi sebesar Rp. 185.541 miliar dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Angka ini terus mengalami kenaikan hingga tahun 2008 184 penerimaan pajak meningkat menjadi sebesar Rp. 658.701 miliar. Sedangkan tahun 2009 penerimaan pajak mengalami penurunan menjadi sebesar Rp. 651.955 miliar. Berdasarkan pada tren angka penerimaan yang terus meningkat ini menunjukkan adanya potensi pajak yang cukup besar untuk dapat digali lagi dalam JESP V ol. 4, No. 2, 2012 rangka meningkatkan penerimaan negara. Hal ini tentunya dapat terjadi karena selain jumlah penduduk yang besar, kekuatan perekonomian Indonesia dewasa ini sangat ditopang oleh permintaan domestik. Dengan semakin membaiknya perekonomian nasional tentunya akan dapat mendorong masyarakat untuk terus melakukan kegiatan ekonominya. Dalam hal ini penerimaan pajak akan terus mengikuti kondisi perekonomian dan daya beli masyarakat dalam perekonomian nasional. b.Malaysia Malaysia merupakan sebuah negara dengan populasi pada tahun 2009 sekitar 28 jiwa. Struktur perekonomiannya memiliki kemiripan dengan Indonesia, yang banyak ditopang oleh sektor industri manufaktur dan pertanian dalam pembangunannya. Adapun penerimaan negara bersumber dari indirect taxes (dikumpulkan oleh Royal Customs and Excise Department), direct taxes (dikumpulkan oleh the Inland Revenue Board), dan non tax revenue. Indirect taxes revenue sejak tahun 1960 merupakan jenis pajak yang memberikan kontribusi terbesar pada penerimaan negara Malaysia.Indirect taxes revenue terdiri dari ; import duties, export duties, excise duties, sales tax dan service tax. Dalam kaitannya dengan kebijakan pajak di Malaysia, maka keputusan pemerintah Malaysia untuk merubah sistem indirect tax dari pajak penjualan dan jasa ke Good Service Tax (GST) merupakan isu perekonomian yang menarik (Taha dan Loganathan, 2008). Adapun sebagai gambaran dari penerimaan pajak di Malaysia dapat dilihat pada gambar berikut ini : Sumber:www.adb.org Gambar 2 Penerimaan Pajak Di Malaysia (Million Ringgit Malaysia) 185 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Berdasarkan pada gambar di atas menunjukkan bahwa penerimaan pajak di Malaysia menunjukkan peningkatan dalam kurun waktu 1990-2009. Penerimaan pajak pada tahun 1990 sebesar RM 21.244 Juta. Angka tersebut meningkat menjadi sebesar Rm 112.987 juta pada tahun 2008. Kemudian pada tahun 2009 penerimaan pajak di Malaysia turun menjadi RM 106.504 juta. Fluktuasi dalam kenaikan pajak pada tahun 2008 dan 2009 ini sebagai dampak terjadi krisis ekonomi yang melanda perekonomian di negaranegara maju. Perkembangan penerimaan pajak di Philipina ditandai oleh adanya reformasi perpajakan pada tahun 1997 (the government's Comprehensive Tax Reform Program (CTRP). Dalam CTRP tersebut termasuk didalamnya additional exemptions for VAT coverage, pengurangan corporate income tax (CIT) rate dari 35% to 32 %, dan menurunkan effective tax rates untuk tiga bentuk komoditi yakni : alcohol products, cigarettes, dan petroleum products dengan merubah dari ad valorem ke specific taxes (Ibon Fondation, 2010). Adapun sebagai gambaran dari penerimaan pajak di Philipina dapat dilihat pada tabel berikut ini : c.Philipina Sumber:www.adb.org Gambar 3 Penerimaan Pajak Di Philipina (Billion Peso) Berdasarkan pada gambar di atas menunjukkan bahwa penerimaan pajak di Philipina mengalami kenaikan selama kurun waktu 1990-2009. Pada tahun 1990 penerimaan pajak Philipina mencapai Peso 186 152 miliar, kemudian pada tahun 2008 meningkat menjadi sebesar Peso 1.049 miliar. Perkembangan penerimaan pajak di Philipina tahun 2009 mengalami penurunan menjadi sebesar Peso 982 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 miliar. Penurunan pajak pada tahun 2009 ini juga merupakan konsekuensi dari melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia, sehingga berdampak pada kegiatan ekonomi dalam negeri Philipina. d.Thailand Penerimaan negara di Thailand dapat bersumber dari indirect tax, direct tax dan non tax revenue. Adapun Sumbersumber penerimaan pajak di Thailand seperti ; income tax, value added tax, excise tax, dan import tax. Namun demikian seiring dengan pemberlakukan perjanjian perdagangan bebas seperti dalam kerangka WTO, AFTA dan FT As, maka jenis pajak import tax mengalami penurunan. Dalam kurun waktu 1998 hingga 2003 jenis pajak yang memberikan kontribusi besar dalam penerimaan pajak di Thailand adalah pajak pertambahan nilai (value added tax) sebesar 29% dan excise tax sebesar 24%. Sedangkan corporate income tax dan personal income tax masing-masing sebesar 19% dan 14% (Sujjapongse, 2005). Adapun perkembangan penerimaan pajak secara agregate di Thailand sebagai berikut ini : Sumber:www.adb.org Gambar 4 Penerimaan Pajak Di Thailand (Billion Baht) Berdasarkan pada gambar di atas dapat dijelaskan bahwa penerimaan pajak di Thailand mengalami fluktuasi pada periode tahun 1990-2009. Hal ini dapat dilihat dari kondisi pada tahun 1997 dan tahun 1998 dimana penerimaan pajaknya masing-masing sebesar Baht 754 Miliar dan menurun menjadi Baht 642 Miliar dan terus menunjukkan penurunan sampai tahun 1999. Kemudian pada tahun 2000 penerimaan pajak mulai menunjukkan adanya kenaikan menjadi sebesar Baht 615 Miliar. Pada tahun 2008 penerimaan pajak di Thailand mengalami puncaknya, yakni sebesar Baht 1.461 Milar. Perkembangan pada tahun 2009 penerimaan pajak 187 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Thailand turun menjadi sebesar Baht 1.321 Miliar. Penurunan ini sebagai dampak dari kondisi krisis yang terjadi di negara-negara maju yang mempengaruhi kinerja perekonomian negara Thailand. Dalam konteks pembentukan komunitas Asean dideklarasikan sebuah komitemen untuk membangun Asean economic community sebagai berikut ...“The AEC Blueprint will transform ASEAN into a single market and production base, a highly competitive economic region, a region of equitable economic development, and a region fully integrated into the global economy...". Dalam bidang perpajakan, maka setiap negara Asean akan mereformasi sistem perpajakannya sehingga menjadi lebih kompetetif diantara negara Asean lainnya. Thailand merupakan salah satu negara yang responsif terkait perpajakan di Asean, dimana corporate income tax diturunkan menjadi sebesar 23% pada tahun 2012 dan 20% pada tahun 2014 (www.kpmg.com). Kebijakan untuk mereformasi sistem perpajakan di negara-negara Asean merupakan sebuah implikasi dari keterbukaan perekonomian yang telah diterapkan di Asean.Kondisi ini tentunya dapat mempengaruhi kinerja pajak suatu negara manakala tidak dilakukan upaya konstruktif dan antisipatif. Dalam hal ini kinerja perpajakan dapat diukur dari besarnya rasio pajak terhadap PDB suatu negara. Adapun perkembangan rasio pajak terhadap PDB negara-negara Asean dapat dilihat pada gambar berikut ini : Sumber : data.worldbank.org/indicator Gambar 5 Persentase Pajak T erhadap PDB Negara-negara Asean (%) Dalam hal ini dibandingkan dengan negara Asean lainnya, Thailand memiliki rasio 188 pajak dengan PDB yang paling besar dalam kurun waktu 2003-2010 (rata-rata di JESP V ol. 4, No. 2, 2012 atas 15%). Berdasarkan pada gambar di atas menunjukkan adanya sebuah pola yang sama dalam fluktuasi besarnya angka rasio pajak dengan PDB di Thailand, Indonesia, Malaysia dan Philipina. Indonesia dibandingkan dengan keempat negara Asean di atas memiliki trend perkembangannya yang semakin menurun. Pada tahun 2003 rasio pajak dengan PDB mencapai 12,39% dan pada tahun 2010 turun menjadi sebesar 10,87%. Penutup Keterbukaan perekonomian yang diterapkan di negara-negara Asean memiliki konsekuensi pada potensi adanya dampak contagion effect dari negaranegara di luar kawasan Asean. Kondisi ini dapat mengakibatkan adanya penurunan dalam kegiatan ekonomi dan juga penerimaan pajak negara. Semakin terintegrasinya suatu perekonomian dengan perekonomian negara lain membutuhkan kebijakan antisipatif dalam rangka penguatan kapasitas fiskal suatu negara. Perkembangan penerimaan pajak di negara-negara Asean menunjukkan pola yang sama dalam fluktuasinya. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi pajak di kawasan Asean masih rentan dengan adanya dampak dari gejolak ekonomi eksternal. Oleh karena itu dalam implementasi AFTA dan AEC di Asean, setiap negara perlu melakukan sinergi kebijakan fiskal dalam rangka peningkatan penerimaan pajak dan konvergenitas pertumbuhan ekonomi negara-negara Asean. Dalam hal ini Indonesia sebagai negara dengan jumlah populasi penduduk terbesar di Asean memiliki peran penting dalam menginisiasi kebijakan perpajakan di kawasan Asean. 189 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Daftar Pustaka Bhushan, R. C. ,2008. Domestic Resource Mobilization: A Neglected factor in Development Strategy.Ottawa: The North‐South Institute Connolly, Sara and Alistair Munro, 1999. Economics of The Public Sector, New York: Prentice Hall Jones, Sally M. 2002. Principles of T axation, New York:Mc Graw Hill. Mangkoesoebroto, Guritno, 1998. Ekonomi Publik, Edisi Kedua,Y ogyakarta: BPFE-UGM Taha, Roshaiza dan Nanthakumar Loganathan, , 2008. Causality Between Tax Revenue and Government Spending In Malaysia, The International 190 Journal of Business and Finance Research V olume 2, Number 2 IBON Foundation, 2012. “Taxes and Development in the Philippines Towards enhancing domestic resource mobilization for development”, Research Paper, www.oecd.org diakses 25 Nopember Sujjapongse, Somchai, 2005.”Tax Policy and Reform in Asian Countries : Thailand Perspective”, Journal Asian Economics, diakses dari http://www.econ.hitu.ac.jp/~kokyo/sympojuly05/pape rs/july05-Thailand.pdf, tanggal 25 Nopember. www.adb.org data.worldbank.org/indicator www.kpmg.com JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Aliran Foreign Direct Investment dan Produk Domestik Bruto Di Indonesia Imam Mukhlis Abstract This research aims to analysize the relationship between Foreign Direct Investment (FDI) with Gross Domestic Product (GDP) in Indonesian economic for 2005 unti 2011. The methode of analysize is descriptive that recorded and verivicated the time series data ini Indonesian economy. The result suggest that both variables haven’ t same trend in Indonesian economy for 2005-2011. The GDP has increase more slowly, although FDI flow have fluctuated progress in Indonesia. The FDI flow depend on external condition and stabilization in host country. Based on this result, government must provide much insentive to foreign investor to invest in Indonesia. These insentive like provide infrastructure, tax holiday and reduce birocration in investment project by foreign investor . Keywords : Foreign Direct Investment, Gross Domestic Product, Capital Flow, External Shocks Kemajuan suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari peran investasi. Investasi secara teoretis dapat mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dalam perspektif ini investasi dianggap dapat mengisi kesenjangan antara kemampuan anggaran/dana dalam negeri dengan besarnya keperluan anggaran untuk pembiayaan kegiatan pembangunan. Dalam hal ini ini menurut pemikiran Harrod Domar, pertumbuhan ekonomi suatu negara akan dipengaruhi oleh modal dan tenaga kerja. Modal tersebut dapat berperan dalam pembentukan kapital yang dibutuhkan perekonomian untuk meningkatkan pertumbuahan ekonomi suatu negara. Namun demikian, tidak semua negara memiliki kemampuan dalam mendanai seluruh proyek pembangunannya dengan mengandalkan sumber daya ekonomi dalam negeri. Dalam hal ini negara berkembang akan terjebak pada situasi kelangkaan modal yang disebabkan karena masih rendahnya tingkat tabungan masyarakat. Rendahnya tabungan masyarakat ini disebabkan karena tingkat pendapatan masyarakat yang masih rendah pula, sehingga pendapatan yang dimilikinya hanya cukup untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya saja. Sebagai akibatnya akan menimbulkan terjadinya saving investment gap dalam perekonomian. Kondisi ini tentunya dapat menghambat upaya negara untuk mengejar ketertinggalan ekonomi dengan negara lain yang lebih maju. Kondisi perekonomian negara berkembang walaupun rendah dalam penyediaan modal dalam negeri, namun memiliki potensi ekonomi yang cukup besar. Potensi tersebut dapat beruwud sumber daya alam yang melimpah dan adanya pertumbuhan penduduk yang tinggi. Kedua potensi ekonomi tersebut dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi investor negara lain untuk menanamkan dananya di negra berkembang. Dalam hal ini peran perusahaan multinasional (MNCs) di negara-negara berkembang __________________________________________ Alamat Korespondensi : Imam Mukhlis. Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang Email : [email protected] JESP V ol.4, No. 2, 2012 termasuk di Indonesia sangat penting dan penuh dengan kepentingan ekonomi semata. Dalam konteks ini ketersediaan sumber daya alam (bahan baku) industri di negara maju dapat disediakan oleh perekonomian negara sedang berkembang. Dengan membangun pabriknya di Indonesia, maka perusahaan asing yang ada dapat menghemat biaya produksi output. Kondisi ini juga dipertajam oleh suatu fakta dimana, populasi yang besar berarti menunjukkan adanya ketersediaan pasar yang luas bagi komoditi yang dihasilkan oleh perusahaan MNCs. Kondisi perekonomian nasional dalam kurun waktu 2005 hingga 2011 ditandai oleh serangkaian fenomena. Berbagai fenomena ekonomi yang paling menarik adalah terjadinya krisis ekonomi di berbagai negara maju. Bahkan negara superpower seperti USA yang terkenal dengan kekuatan ekonominya, dapat saja terjebak pada jurang fiskal (fiscal clift) manakala USA tidak mampu mengelola perekonomiannya dengan baik. Negaranegara lain di Eropa juga banyak yang terjebak pada krisis ekonomi yang pada akhirnya juga berdampak pada ketahanan anggaran di masing-masing negara. Dalam kondisi lingkungan eksternal sedemikian rupa, maka mau tidak mau perekonomian nasional juga akan menghadapi tekanan yang cukup berat. Dalam hal ini melemahnya pasar luar negeri dan semakin terdepresiasinya mata uang US$ sebagai mata uang yang sering digunakan untuk bertransaksi secara internasional dapat berdampak pada ketidakstabilan dalam neraca pembayaran internasional Indonesia. Kondisi perekonomian internasional yang berfluktuatif berdampak signifikan terhadap aliran FDI di Indonesia. Aliran FDI di Indonesia dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk usaha yang dikelola oleh perusahaan MNCs. Perusahaan MNCs tersebut merupakan anak perusahaan yang didirikan di luar negara dengan pertimbangan tertentu, baik menyangkut ketersediaan bahan baku dan 192 jumlah penduduk di negara penerima FDI. Krisis ekonomi yang terjadi di luar negeri berdampak pada perilaku dan ekspektasi investor asing dalam menanamkan usahanya di Indonesia. Pada investor akan melakukan penghitungan ulang atas rencana bisnis dan anggarannya guna menyesuaikan dengan situasi baru yang berkembang dalam perekonomian. Dalam situasi seperti tersebut, perekonomian Indonesia masih menunjukkan kinerjanya dengan meningkatnya nilai PDB dari tahun 2005-2011. Kenaikan dalam PDB ini mencerminkan adanya kenaikan dalam kapasitas output yang dihasilkan oleg input produksi yang tersedia dalam perekonomian nasional. Berbagai input yang ada dapat digunakan melalui kombinasi sumber daya ekonomi sehingga memberikan kemanfaatan yang lebih luas dalam perekonomian. Dalam hal ini secara teoretis dapat dijelaskan bahwa aliran FDI dapat memberikan kontribusi yang semakin besar dalam menopang pertumbuhan ekonomi suatu negara. Berdasarkan pada pemaparan tersebut, maka artikel ini akan membahas mengenai aliran FDI dan PDB di Indonesia dalam kurun waktu 2005-2011. Perspektif Teoretis Investasi Pemikiran klasik tentang pentingnya investasi dapat diwujudkan dalam teori pertumbuhan ekonomi klasik yang dipaparkan oleh Sir Roy F. Harrod tahun 1939 and Evsey Domar tahun 1946 yang kemudian dikenal dengan Teori Harrod-Domar. Menurutnya manakala sebuah perekonomi memiliki kapasitas tabungan, maka tabungan tersebut dapat digunakan untuk pemupukan modal untuk pencapaian pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dalam hal ini dapat dimisalkan, tingkat tabungan (T) dipengaruhi oleh Produk Domestik Bruto (PDB), maka fungsi tabungannya dapat ditulikan sebagai ; S=f(PDB) dengan persamaan identitasnya sebesar S=sPDB, dimana s adalah marginal propensity to save. Dalam hal ini tingkat kebutuhan modal (M) yang JESP V ol. 4, No. 2, 2012 digunakan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dipengaruhi juga oleh PDB sehingga fungsi modal adalah sebagai berikut ; K=f(PDB) dengan persamaan identitasnya adalah ; K=σPDB, dimana σ adalah Capital Output Ratio (CAR). Dalam hal ini investasi merupakan komponen penting dalam permintaan output seiring dengan kenaikan dalam capital stock nya. Oleh karena itu menurut Harrod dan Domar, permintaan dalam modal akan memiliki keseimbangan baru, yakni sebesar ; ∆K=σ∆Y . Guna tercapainya kondisi equlibrium dalam perekonomina, maka permintaan output dan penawaran output harus sama. Dalam persamaan identitas, maka kondisi tersebut dapat dituliskan lagi menjadi ; I=∆K=σ∆Y dan I=S. Oleh karena itu persamaan keseimbangan baru yang terjadi karena adanya tabungan dan investasi tersebut, menjadi σ∆Y=sY . Untuk mencapai sebuah pertumbuhan ekonomi dalam perekonomian dapat dicapai dengan mengikuti persamaan identitas baru, yakni ; g = ∆Y/Y = sY/σ/Y = s/σ. Persamaan baru tersebut memiliki makna bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi (g) sama dengan rasio antara tingkat marginal propensity to consume (s) dengan capital output ration (σ). Persamaan pertumbuhan ekonomi versi Harrod dan Domar, dimana g=s/σ menginspirasikan bahwa pembentukan modal dalam negeri sangat penting guna meningkatkan kapasitas output dalam negeri untuk memenuhi output perekonomian yang senantiasa berkembang secara dinamis. Oleh karena itulah, Teori Harrod Domar ini juga dalam banyak literatur Teori Ekonomi sering disebut AK model (accumulation of capital model). Teori pertumbuhan klasik versi Harrrod dan Domar dalam menjelaskan pentingnya investasi dapat menginsipirasikan munculnya pemikiran lainnya. Dalam hal ini teori ekonomi neo klasik (neoclasical economic theory). Theori ini menekankan bahwa tabungan dan akumulasi modal secara bersama dengan variabel eksogen dalam bentuk technical progress sebagai sumber pertumbuhan ekonomi suatu negara. Selain itu pula variabel eksogen dalam model pertumbuhan ini juga menyangkut aspek tingkat pertumbuhan populasi. Kedua variabel eksogen tersebut diikuti dengan adanya fleksibilitas dalam pergerakan tabungan (liberty of saving rate). Apabila tingkat tabungan semakin besar, maka modal per pekerja juga akan semakin besar yang pada akhirnya dapat mendorong terjadinya kenaikan dalam pendapatan per kapita. Dalam hal ini pemikiran the neoclassical of economic growth dapat dinyatakan dalam pemikirannya oleh Robert Solow (1956) dan T.W . Swan (1956) yang kemudian dikenal denga Teori Solow-Swan. Teori ini mengekspresikan model pertumbuhan ekonomi sebagai fungsi produksi tenaga kerja dan modal, g=f(L,K). Fungsi pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dikembangkan lagi menjadi ΔY/Y = ΔA/A + ΔL/L + ΔK/K dimana g adalah pertumbuhan ekonomi, L adalah input tenaga kerja, K adalah modal, dan A adalah produktifitas dari modal dan tenaga kerja. Sedangkan ΔY/Y, ΔA/A, ΔL/L, and ΔK/K menunjukkan perubahan dalam variabel-variabel tersebut. Dalam pemikiran Solow dan Swan tersebut dijelaskan bahwa untuk dapat mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara, maka dibutuhkan adanya technological change. Hal ini penting karena menurut Solow dan Swan, dalam proses pencapaian pertumbuhan ekonomi dengan memanfaatkan sumber daya yang ada akan terjadi diminishing marginal product. Sehingga dengan adanya technological change tersebut sumber daya/input yang ada masih dapat tingkatkan kemanfaatannya dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi.Selain itu pula dalam teori Solow dan Swan tersebut, juga menjelaskan akan pentingnya produktifitas input dalam pencapain pertumbuhan ekonomi. 193 JESP V ol.4, No. 2, 2012 Sumber : http://www.jamesrmaclean.com/mw/index.php/Solow-Swan_Classical_Growth_Theory Gambar 1: Model Pertumbuhan Ekonomi Model Solow Perkembangan berikutnya dalam menjelaskan pentingnya investasi dalam pertumbuhan ekonomi adalah model pertumbuhan endogen (endogenous growth theory). Theori ini menjelaskan bahwa investasi dalam sumber daya manusia (human capital investment), innovation dan knowledge merupakan faktor-faktor penting yang dapat memberikan kontribusi dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Theori ini fokus dalam terbentuknya positive externalities and spillover effects dari adanya knowledge yang akan dapat mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi. Tokoh-tokoh ekonomi dalam pemikiran endegenous growth theory ini seperti ; Kenneth Arrow (1962), Hirofumi Uzawa (1965), Paul Romer (1986), Lucas (1988),dan Rebelo (1991). Model pertumbuhan endegon dalam perspektif AK model dapat dijelaskan dengan fungsi pertumbuhan ekonomi versi Arrow 194 (Arrow’ s Learning by Doing), yakni ; Yi =A(K)F(Ki,Li). Dalam hal ini Yi menunjukkan adanya productivity dari perusahaan i, Ki adalah stock of capital dari perusahaan i, Li adalah stock of labour dari perusahaan i, K menunjukkan aggregated stock of capital dan A adalah expertise aspect. Sedangkan pemikiran Lucas (Lucas Model) dalam pertumbuhan endogen dapat dirumuskan sebagai berikut ; Yi = A(Ki).(Hi).H. Dalam hal ini A adalah technical coefficient, Ki dan Hi adalah input dari modal fisik dan modal manusia (input of physical and human capital) yang digunakan oleh perusahaan dalam menghasilkan barang Yi. Sedangkan variabel H adalah sistem keuangan (the financial systems’ average level of human capital) untuk setiap efisiensi perusahaan. Adanya ketidakmampuan suatu negara dalam meningkatkan ketersediaan modal dalam negeri untuk pembiayaan JESP V ol. 4, No. 2, 2012 pembangunan ekonomi, maka banyak negara yang mengharapkan adanya aliran modal masuk (capital inflow). Aliran modal masuk ke suatu negara ini melibatkan adanya negara pemberi (host country) dan negara penerima (home country). Aliran modal masuk ini dapat dikagerikan dalam bentuk Penanaman Modal Asing/ Foregin Direct Investment (FDI). FDI ini menurut Casson (1982) dibangun atas dasar teori integrasi, yakni ; international capital market theory, theory of the firm, dan international trade theory. Ketiga teori tersebut berintegrasi dalam membentuk teori FDI yang dapat menjelaskan berbagai hal terkait dengan aliran modal asing masuk ke suatu negara. Dalam konteks perekonomian modern sekarang ini, aliran FDI dapat diwujudkan dalam bentuk penetrasi pasar oleh perusahaan multinasional (Multinational Corporatins/MNCs). Adanya aliran FDI melalui peran MNCs tersebut diharapkan dapat memberikan spillover effect dan multiplier effect terhadap perekonomian negara penerima FDI. Dalam hal ini pemikiran tentang FDI dimulai dari sebuah pemikiran bahwa bahwa modal ((i.e., a production factor) sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dalam perkembangannya terjadi pergerakan modal (flow of capital) antar negara. Dalam hal ini aliran FDI akan bergerak dari capital abundant countries (where its return was low) kepada capital scarce countries (where its return was high). Pemikiran ini secara eksplisit dipaprkan oleh Mundell (1957) dan MacDougall (1960). Metode Penelitian Desain penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan deskriptif. Pendekatan ini dapat dijabarkan ke dalam berbagai narasi dan pemaparan data yang berupa angka-angka ke dalam paparan analisis data. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah analisis dokumen, yakni teknik pengumpulan data sekunder yang dilakukan dengan melakukan verifikasi data, pencatatan, dan perekaman data dari sumber data yang relevan. V ariabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah FDI dan PDB di Indonesia dalam kurun waktu 2005-2011. Sedangkan sumber datanya meliputi Bank Indonesia dan W orldbank. Hasil dan Pembahasan Dinamika yang terjadi dalam perekonomian nasional pada kurun waktu 2005-2011menunjukkan adanya fluktuasi dalam pencapaian stabilitas perekonomian. Hal ini terjadi karena secara empiris perekonomian nasional dewasa ini telah terintergrasi dengan perekonomian luar negeri, baik secara regional di kawasan ASEAN maupun secara internasional. Sebagai akibatnya external shocks yang terjadi diluar negeri dalam bentuk krisis ekonomi dan keuangan di negara lain akan dapat berdampak pada terjadinya contagion effect terhadap perekonomian dalam negeri. Pengalaman krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 telah memberikan pelajaran bagi Indonesia dalam mengelola perekonomian yang terkena krisis ekonomi. Pada sisi lain juga dapat dilihat bahwa Inodnesia sangat berperan aktif dalam berbagai kerjasama ekonomi. Berbagai perjanjian kerjasama ekonomi di berbagai kawasan telah lama diikuti dan dilaksanakan oleh Indonesia. Berbagai bentuk kerjasama ekonomi tersebut seperti dalam organisasi W orld Trade Organization (WTO), Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), Asean Free Trade Area (AFTA), dan juga Asean Economic Community (AEC). Implikasi dari kolaborasi ekonomi secara internasional ini dapat berdampak pada penguatan kapasitas perekonomian dalam negeri dalam konstelasi perekonomian yang berkembang. Belum stabilnya perekonomian dunia yang ditandai oleh adanya krisis 195 JESP V ol.4, No. 2, 2012 ekonomi yang terjadi pada tahun 2008 di negara-negara maju lambat laun berdampak pada perekonomian Indonesia. Dampak ini dapat dilihat dari pelemahan pertumbuhan pada sisi agregat utamanya pada kegiatan ekspor Indonesia ke luar negeri. Melemahnya perekonomian negara-negara tujuan ekspor Indonesia secara signifikan berdampak pada kinerja perdagangan luar negeri Indonesia. Sebagai gambaran untuk nilai ekspor Indonesia pada Januari 2009 mencapai US$ 7,15 miliar, turun 17,70 persen dibanding Desember 2008. Sementara jika dibanding Januari 2008 juga mengalami penurunan sebesar 36,08 persen. Sedangkan nilai ekspor nonmigas pada Januari 2009 mencapai US$ 6,21 miliar, turun 16,67 persen dibandingkan dengan Desember 2008, atau turun 30,64 persen dibandingkan dengan Januari 2008 (BPS, 2010). Namun demikian perlambatan kinerja pada sektor perdagangan luar negeri tersebut dapat diatasi dengan kinerja sektor lainnya, sseperti sektor konsumsi dan sektor keuangan korporasi. Sektor konsumsi masih menjadi andalan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi 196 nasional dalam beberapa periode pembangunan. Hal ini dapat dipahami karena Indonesia merupakan negara dengan jumlah populasi besar seperti India dan China. Kekuatan dari aspek populasi ini dapat membentuk komponen permintaan konsumsi memiliki kontribusi besar dalam pembentukan Produk Domestik Bruro (PDB) Indonesia. Sebagai gambaran pada tahun 2009 kontribusi sektor konsumsi individu (private consumption) berdasarkan harga pasar (market price) di Indonesia sebesar 58,6%. Sedangkan pengeluaran konsumsi negara sebesar 9,6% (Asian Development Bank, 2010). Sektor keuangan korporasi juga menunjukkan nilai yang cukup besar, dimana pada tahun 2009 memberikan andil dalam membangun sektor keuangan dalam negeri dengan nilai portofolio investmentnya mencapai US$ 10.104 juta. Kondisi ini tentunya dapat berdampak pada penguatan kegiatan ekonomi yang pada akhirnya dapat meningkatkan PDB Indonesia. Sebagai gambaran dari perkembangan PDB Indonesia dalam kurun waktu 2005- 2011 dapat dilihat pada tabel berikut ini : JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Sumber : Asian Development Bank, 2010 Gambar 2: Perkembangan PDB di Indonesia (Miliar Rp) Dalam kurun waktu tahun 2005 hingga 2011 menunjukkan adanya kenaikan dalam nilai PDB. Pada tahun 2005 nilai PDB Indonesia mencapai US$ 1.750.815 juta, sedangkan pada tahun 2011 meningkat menjadi sebesar US$2.463.242 juta. Namun demikian kenaikan dalam nilai PDB ini menunjukkan adanya perlambatan dalam pencapaian outputnya dari tahun ke tahun. Sebagai gambaran pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,0% dan pada tahun 2009 turun menjadi sebesar 4,6%. Pencapaian output dalam bentu PDB di Indonesia juga tidak terlepas dari dinamika yang terjadi pada pergerakan modal (capital flow) ke Indonesia. Sebagaimana telah dipaparkan secara teoretis di atas, bahwa aliran FDI dapat memberikan multiplier effect dalam perekonomian penerima FDI. Adanya kesempatan kerja, penerimaan pajak usaha, dan ketersediaan barang konsumsi dalam negeri dapat memberikan andil yang cukup besar dalam pembentukan PDB di Indonesia. Dalam hal ini aliran modal dalam bentuk FDI ke Indonesia 197 JESP V ol.4, No. 2, 2012 Sumber : Worldbank, 2010 Gambar 3: Perkembangan FDI di Indonesia (Juta US$) Berdasarkan pada gambar di atas menunjukkan bahwa perkembangan FDI di Indonesia dalam kurun waktu 2005 hingga 2011 menunjukkan adanya fluktuasi. Hal ini dapat terjadi karena aaliran FDI merupakan representasi dari perilaku dan ekspektasi investor asing terhadap kondisi perekonomian baik secara global, kondisi perekonomian negara asal FDI dan kondisi perekonomian negara penerima FDI.Keputusan investor asing untuk melakukan investasi di luar negeri dalam bentuk FDI (Penanaman Modal Asing) di Indonesia tentunya didasari oleh kepentingan keuntungan yang maksimal. Situasi dan kondisi perekonomian Indonesia walaupun diterpa banyak gangguan karena kondisi eksternal yang tidak stabil, masih memberikan banyak harapan bagi investor asing untuk tetap berinvestasi di Indonesia. Dalam hal ini karena potensi pasar yang cukup besar dan penyediaan sarana prasarana fisik investasi sudah banyak dilakukan oleh Pemerintah, maka berbagai insentif tersebut dapat 198 dipandang sebagai sebuah daya tarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dalam hal ini wujud aliran FDI di Indonesia banyak dibawa oleh perusahaan multinasional (MNCs) baik dari USA, Eropa, Asia dan ASEAN. Perusahaanperusahaan dari berbagai negara tersebut banyak mengembangkan usahanya di Indonesia utamanya dalam kaitannya dengan kedekatannya dengan pasar produk di Indonesia. Namun demikian krisis luar negeri yang terjadi di negara-negara maju berdampak signifikan terhadap aliran FDI di Indonesia yang mengalami penurunan pada tahun 2009. Dibandingkan dengan tahun 2008 aliran FDI di Indonesia mencapai angka US$ 9.318 juta dan pada tahun 2009 turun menjadi sebesar US$ 4.877 juta. Adanya krisis di negara maju tersebut berdampak pada kemampuan investasi dari perusahaan atau individu di luar negeri dalam mengalokasikan dananya di Indonesia. Berdasarkan pada pemaparan tentang nilai PDB dan aliran FDI di JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Indonesia dalam kurun waktu 2005-2011 menunjukkan tidak adanya pola yang sama dalam trend perkembangannya. Nilai PDB Indonesia dalam kurun waktu tersebut memiliki kecenderungan yang meningkat dari waktu ke waktu walaupun mengalami kenaikan yang sedikit. Sedangkan aliran FDI di Indonesia mengalami fluktasi, khususnya mengalami perkembangan terendahnya pada tahun 2006 dan 2009. Dalam perspektif secara teoretis di atas dapat dijelaskan bahwa aliran FDI dapat memberikan mmberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Namun demikian juga patut dicermati bahwa aliran FDI tersebut dapat menyebar ke berbagai daerah di Indonesia dan pada berbagai sektor (industri, pertambangan, perkebunan, kehutanan, pertanian dan keuangan perbankan). Namun demikian walaupun pola perkembangannya memiliki perbedaan antara PDB dan FDI, aliran FDI di Indonesia masih diharapkan eksistensinya dalam rangka menciptakan multiplier dan spillover effect yang lebih luas lagi dalam perekonomian nasional. Penutup Berdasarkan pada hasil di atas dapat disimpulkan bahwa aliran FDI dan PDB di Indonesia tidak memiliki trend perkembangan yang sama dalam kurun waktu 2005-2011. Dengan kata lain nilai PDB di Indonesia dalam kurun waktu tersebut mengalami trend kenaikan. Hal ini terjadi karena komponen dalam pembentuk PDB di Indonesia memiliki kemampuan untuk saling mensubstitusikan perannya. Dalam hal ini komponen konsumsi dalam permintaan agregat di Indonesia memiliki kontribusi penting dalam pembentukan PDB yang meningkat dari waktu ke waktu. Jadi walaupun situasi perekonomian duni sedang berfluktuasi, namun kondisi tersebut tidak berdampak besar dalam pembentukan PDB di Indonesia. Sedangkan aliran FDI di Indonesia banyak dipengaruhi oleh kondisi perekonomian di berbagai kawasan dunia. Hal ini terjadi karena aliran FDI mencerminkan perilaku investor dalam memahami fenomena yang berkembang, sehingga keputusan investasinya diharapkan dapat memberikan keuntungan yang maksimal. Berdasarkan pada hasil penelitian ini maka sudah selayaknya pemerintah untuk mempertimbangkan perluasan berbagai insentif bagi investor asing yang ingin mendatangkan investasi langsungnya ke Indonesia. Insentif tersebut dapat diwujudkan baik dalam bentuk penyediaan sarana dan prasarana investasi yang kondusif maupun dalam bentuk insentif keringan pajak dan adiministrasi perizinan. Selain itu pula guna meningkatkan lairan FDI ke Indonesia, maka pemerintah perlu menjaga stabilitas perekonomi domestik dengan cara melibatkan pemerintah daerah dalam upaya mempermudah dan mempercepat koordinasi dalam penanganan berbagai hal terkait dengan aliran FDI di Indonesia. 199 JESP V ol.4, No. 2, 2012 Daftar Pustaka Arrow, Kenneth J., 1962"The Economic Implications of Learning by Doing," Ke~izewof Economzc Studzes, June, 29:155-73. Casson, M.,1982. Transaction Costs and the Theory of the MNE in A. M. Rugman (ed.) New Theories of the Multinational Enterprise, New Y ork, St. Martin’s Press. Domar, Evsey,1946, "Capital Expansion, Rate of Growth, and Employment". Econometrica 14 (2),April : 137–47. http://www.jstor.org/stable/19053 64. Harrod, Roy F.,1939. "An Essay in Dynamic Theory". The Economic Journal 49 (193), Maret : 14–33. http://www.jstor.org/stable/22251 81. Lucas, Robert E., Jr., 1988 “On the Mechanics of Development Planning,” Journal of Monetary Economics 22(1), July, 3–42. (Lucas’s Nobel address focused on a two-sector model with human capital MacDougall, G. D. A.,1960. “The benefits and costs of private investment from abroad: A theoretical 200 approach”, Economic Record, Special Issue, : 13-35. Mundell, R. A.,1957. “International trade and factor mobility”, American Economic Review, vol. 47, : 321335. Rebelo, Sergio, 1991 “Long-Run Policy Analysis and Long-Run Growth,” Journal of PoliticalEconomy 99(3), June, 500–521. (One of the most often cited AK models) Romer, Paul M., 1986 “Increasing Returns and Long-Run Growth,” Journal of Political Economy 94 (5), October, 1002−1037. Solow, Robert M.,1956. "A Contribution to the Theory of Economic Growth". Quarterly Journal of Economics (The MIT Press) 70 (1): 65–94, doi:10.2307/1884513. JSTOR 1884513. Swan, Trevor W .,November 1956. "Economic Growth and Capital Accumulation". Economic Record (John Wiley & Sons) 32 (2): 334– 361, doi:10.1111/j.1475-4932. Uzawa, Hirofumi, 1965."Optimum Technical Change in an Aggregative Model of EconomicGrowth," International Economic Review, January, 6: 1831. JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Pengaruh Jumlah Uang Beredar (JUB), Tingkat Suku Bunga BI Rate, Dan Nilai Tukar Rupiah Dollar-AS Terhadap Laju Inflasi Di Indonesia (Tahun 2007-2011) Y uniar Ardila Sapir Abstract This study aimed to determine the effect of the money supply, BI rate level, and the exchange rate of inflation in Indonesia. This type of research is quantitative research, documents used are the financial statements of the Bank Indonesia (BI) in the form of Economic and Financial Statistics Indonesia (SEKI). The next data used are secondary data (time series). The analysis technique used is multiple linear regression (multiple regression analysis model) or the least squares equation (Ordinary least Square). Based on the results of this study found that the money supply, and the BI rate affect the inflation rate in Indonesia, while exchange rate has no effect on the rate of inflation in Indonesia in the period under study. Based on the results of this study can be suggested for Bank Indonesia as the monetary authority should not raise interest rates in an effort to curb inflation in Indonesia because if interest rates increased instead it will increase inflation. Keywords : Inflation, Money supply, BI rate, Exchange rate, Multiple linear regression Inflasi merupakan permasalahan ekonomi yang tidak bisa diabaikan, karena inflasi dapat menimbulkan dampak yang sangat luas seperti terjadinya pengangguran, menurunnya ekspor dalam negeri, dan masih banyak dampak lainnya yang diakibatkan dengan adanya inflasi. Oleh karena itu inflasi sering menjadi target kebijakan pemerintah. Inflasi yang tinggi penting untuk diperhatikan mengingat dampaknya bisa menimbulkan ketidakstabilan pada perekonomian. Pada suatu negara kestabilan ekonomi merupakan salah satu kondisi yang harus terpenuhi dalam berlangsungnya pembangunan ekonomi. Kestabilan ekonomi tersebut dapat tercermin melalui terkendalinya laju inflasi atau terkendalinya perubahan tingkat harga barang-barang dan jasa di masyarakat. Untuk mengendalikan hal–hal tersebut maka dibutuhkan suatu kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakan moneter. Menurut Nopirin (1992:45) ”kebijakan moneter pada umumnya bertujuan untuk stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang”. Berkaitan dengan kebijakan moneter dan dalam rangka menciptakan kestabilan perekonomian, maka Bank sentral memiliki peran dalam memelihara sistem moneter agar bekerja secara efisien sehingga dapat menjamin tercapainya tingkat pertumbuhan uang beredar sesuai dengan yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tanpa mengakibatkan inflasi (Nopirin, 1992:37). Dengan demikian dinyatakan bahwa bank __________________________________________ Alamat Korespondensi : Y uniar Ardila. Mahasiwa Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang Email : [email protected] Sapir. Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang Email : [email protected] JESP V ol.4, No. 2, 2012 sentral merupakan pemegang otoritas moneter di Indonesia. Inflasi di Indonesia sering mengalami fluktuasi (naik atau turun), naiknya inflasi di Indonesia terjadi pada pertengahan tahun 1997. Pada tahun itu Indonesia mengalami krisis moneter dan mengakibatkan penurunan perekonomian. Krisis moneter yang melanda indonesia diawali dengan terdepresiasinya secara tajam nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (terutama dolar Amerika), hal itu mengakibatkan terjadinya kenaikan harga barang-barang impor. Karena kegagalan mengatasi krisis moneter dalam jangka waktu yang pendek, bahkan cenderung berlarut-larut, menyebabkan kenaikan tingkat harga terjadi secara umum. Akibatnya angka inflasi nasional melonjak cukup tajam tanpa diimbangi oleh peningkatan pendapatan masyarakat yang cenderung semakin merosot. Untuk mengatasi masalah tersebut maka Bank Indonesia sebagai pengendali kebijakan moneter pada tahun 2005 memutuskan untuk pertama kalinya BI rate ditetapkan sejak BI mengimplementasikan Inflation T argeting Framework (ITF). Dengan mempertimbangkan makro ekonomi dan inflasi kedepan. Pada tahun 2008 Indonesia mengalami krisis global dikarenakan Indonesia merupakan negara small open economy sehingga imbas dari krisis finansial global sangat mempengaruhi kondisi perekonomian dalam negeri. Salah satu dampak dari krisis finansial global adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi. Sekretariat Kementrian Negara RI (2009) menyatakan “pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan tumbuh mencapai 6,1% pada tahun 2008 atau sedikit lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar 6,3%”. Pada saat terjadi krisis global ekspor Indonesia mengalami penurunan. Inilah yang menyebabkan terjadinya defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Secara umum, nilai tukar rupiah relatif stabil sampai pertengahan September 202 2008. Hal ini terutama disebabkan oleh kinerja transaksi berjalan yang masih mencatat surplus serta penerapan kebijakan makroekonomi yang dilakukan secara hatihati. Sejak pertengahan September 2008, krisis global yang semakin dalam telah memberi efek depresiasi terhadap mata uang Indonesia. Sekretariat Kementrian Negara RI (2009) menyatakan “kurs rupiah melemah menjadi Rp 11.711,- per USD. Sehingga pada bulan November 2008 terjadi depresiasi yang cukup tajam, karena pada bulan sebelumnya Rupiah berada di posisi Rp 10.048,- per USD”. Pada Pemerintahan sekarang, sistem yang digunakan oleh Indonesia adalah sistem floating exchange rate atau sistem nilai tukar mengambang, tetapi dulu Indonesia juga menggunakan sistem fixed exchange rate. Dengan diberlakukannya sistem nilai tukar mengambang, maka nilai tukar rupiah menjadi bergantung pada supply dan demand di pasar. Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter yang mempunyai independensi dari pemerintah mempunyai kewajiban menjaga stabilitas moneter serta mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat meminimalisir dampak dari krisis global. “Kebijakan Bank Indonesia dalam sektor moneter adalah mengarahkan kebijakan pada penurunan tekanan inflasi yang didorong oleh tingginya permintaan agregat dan dampak lanjutan dari kenaikan harga BBM yang sempat mendorong inflasi mencapai 12,14 persen pada bulan September 2008. Untuk mengantisipasi berlanjutnya tekanan inflasi, BI menaikkan BI rate dari 8 persen secara bertahap menjadi 9,5 persen pada Oktober 2008. Dengan kebijakan moneter tersebut maka ekspektasi inflasi masyarakat tidak terakselerasi lebih lanjut “(Sekretariat Negara RI, 26 Mei 2009). Menurut pendapat sebagian para ahli ekonomi, biasanya, upah riil tidak bergantung pada berapa banyak uang yang dicetak pemerintah. Jika pemerintah menurunkan inflasi dengan memperlambat tingkat pertumbuhan uang, para pekerja JESP V ol. 4, No. 2, 2012 tidak akan melihat upah riil mereka naik dengan lebih cepat. Padahal ketika inflasi melambat, perusahaan akan sedikit menaikan harga produk mereka setiap tahun dan, akibatnya, akan memberi para pekerja kenaikan upah yang lebih kecil (Mankiw, 2003) Berdasarkan penelitian terdahulu disebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia adalah jumlah uang beredar (JUB), nilai tukar, pengeluaran pemerintah, PDB, dan tingkat suku bunga SBI. Sementara itu dalam penelitian ini hanya akan meneliti faktorfaktor jumlah uang beredar, tingkat suku bunga BI rate, dan nilai tukar rupiah sebagi faktor yang mempengaruhi inflasi. Berdasarkan kondisi diatas maka penelitian ini mengambil judul “Pengaruh Jumlah Uang Beredar (JUB), Tingkat Suku Bunga BI rate, dan Nilai Tukar Rupiah Dolar AS Terhadap Laju Inflasi di Indonesia (Tahun 2007–2011)“ TUJUAN Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui pengaruh jumlah uang beredar (JUB), tingkat suku bunga BI rate, dan nilai tukar rupiah dolar-AS terhadap laju inflasi di Indonesia pada periode tahun 2007– 2011. 2. Untuk mengetahui variabel yang paling dominan dalam mempengaruhi laju inflasi di Indonesia pada tahun 20072011. HIPOTESIS Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. • Hipotesis Pertama : Diduga ada pengaruh jumlah uang beredar (JUB) terhadap laju inflasi di Indonesia pada periode tahun 2007–2011. • Hipotesis Kedua : Diduga ada pengaruh tingkat suku bunga BI rate terhadap laju inflasi di Indonesia pada periode tahun 2007–2011. • • Hipotesis Ketiga : Diduga ada pengaruh nilai tukar rupiah-dollar AS terhadap laju inflasi di Indonesia pada periode tahun 2007–2011. Hipotesis Keempat : Diduga ada variabel yang paling dominan dalam mempengaruhi laju inflasi di Indonesia pada periode tahun 20072011. KERANGKA TEORITIS Inflasi Inflasi merupakan kecenderungan dari harga–harga untuk menaik secara terus menerus. Kenaikan dari satu atau dua jenis barang saja dan tidak menyeret harga barang lain tidak bisa disebut inflasi. Kenaikan harga–harga secara musiman misalnya menjelang lebaran, natal, dan tahun baru hanya sekali saja, serta tidak memiliki pengaruh lanjutan tidak bisa disebut inflasi (Latumaerissa, 2011:22). Jadi inflasi merupakan suatu gejala yang tidak diakibatkan karena kenaikan harga dari satu jenis barang saja melainkan berbagai jenis barang dan menyeret harga barang lain dan menaik secara terusmenerus. Adapun macam-macam inflasi menurut Latumaerissa (2011:23) adalah sebagai berikut. 1. Didasarkan atas parah tidaknya inflasi, inflasi terbagi atas inflasi ringan, inflasi sedang, inflasi berat, dan hiper inflasi. 2. Didasarkan pada sebab awal terjadinya inflasi yang terbagi atas demand pull inflation dan cost push inflation.. 3. Didasarkan pada asal inflasi yang dibedakan menjadi domestic inflation dan imported inflation. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tanggal 2 Mei 2012, faktor-faktor yang menentukan naik turunnya inflasi adalah sebagai berikut. 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran barang dan jasa, seperti tingkat produksi, distribusi dan stock. Produksi yang berlebih dan distribusi barang yang lancar seperti terjadi pada 203 JESP V ol.4, No. 2, 2012 musim panen raya akan menyebabkan kelebihan penawaran barang dipasar (excess supply) dan harga/inflasi akan turun, demikian pula sebaliknya. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan barang dan jasa yang berkaitan dengan daya beli masyarakat, perilaku, selera dan jumlah konsumen. Perilaku permintaan konsumen akan barang dan jasa juga dipengaruhi oleh faktor musim, hari-hari raya/lebaran dan tahun baru, 3. Kebijakan fiskal pemerintah, kebijakan moneter dan kondisi perekonomian secara keseluruhan yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan harga barang dan jasa. Dari faktor-faktor yang disebutkan diatas dapat disimpulkan bahwa yang mempengaruhi naik turunnya inflasi adalah penawaran barang dan jasa, permintaan barang dan jasa, kebijakan fiskal pemerintah dan kebijakan moneter. Jumlah Uang Beredar (JUB) Jumlah uang beredar adalah uang kartal yang beredar diluar Bank Indonesia, bank-bank umum serta kantor Bendahara Negara, dan saldo giro atau rekening koran yang bukan milik bank umum, pemerintah serta bukan penduduk. Jumlah uang kartal dan uang giral disebut dengan M1, sedangkan jumlah uang kartal, uang giral dan uang kuasi disebut dengan M2 (Nopirin, 1992:174). Bank sentral (Bank Indonesia) mengendalikan jumlah uang beredar secara tidak langsung dengan mengubah basis moneter maupun rasio deposito-cadangan. Menurut Mankiw (2003:479) ada tiga instrumen kebijakan moneter, ketiga instrumen tersebut adalah operasi pasar terbuka, pesyaratan cadangan, dan tingkat diskonto. 1. Operasi pasar terbuka, merupakan pembelian dan pengajuan obligasi pemerintah oleh bank sentral. Ketika bank sentral membeli obligasi dari 204 publik, jumlah uang beredar yang dibayarkan untuk obligasi itu akan meningkatkan basis moneter sekaligus meningkatkan jumlah uang beredar, dan sebaliknya. 2. Pesyaratan cadangan, adalah peraturan bank sentral yang menuntut bank untuk memiliki rasio depositocadangan minimum. Kenaikan dalam persyaratan cadangan akan meningkatkan rasio depositocadangan, menurunkan penganda uang dan jumlah uang beredar. 3. Tingkat diskonto, adalah tingkat bunga yang dikenakan bank sentral ketika memberikan pinjaman kepada bank. Tingkat Suku Bunga BI rate Menurut Siamat (2005:139) “BI rate adalah suku bunga dengan tenor satu bulan yang diumumkan oleh Bank Indonesia secara periodik untuk jangka waktu tertentu yang berfungsi sebagai sinyal (stance) kebijakan moneter”. BI rate digunakan sebagai acuan dalam operasi moneter untuk mengarahkan agar rata-rata tertimbang suku bunga SBI-1 bulan hasil lelang OPT berada disekitar BI rate. Selanjutnya suku bunga SBI-1 bulan tersebut diharapkan akan mempengaruhi suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB), suku bunga deposito dan kredit, serta suku bunga jangka waktu yang lebih panjang. Menurut situs Bank Indonesia (BI) ada 3 faktor yang menentukan BI rate. Ketiga faktor tersebut adalah perkembangan inflasi, perkembangan nilai tukar, dan perkembangan kondisi moneter. 1. Perkembangan Inflasi, Bank Indonesia pada umumnya akan menaikkan BI rate apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran yang telah ditetapkan, dan sebaliknya. 2. Perkembangan Nilai Tukar, Kenaikan BI rate, akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Hal tersebut mendorong investor asing JESP V ol. 4, No. 2, 2012 untuk menanamkan modal ke dalam instrument-instrumen keuangan di Indonesia, dan akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif. 3. Perkembangan kondisi moneter (jumlah uang beredar, likuiditas perbankan dsb), Jika jumlah uang beredar di masyarakat meningkat lebih banyak maka Bank Indonesia akan menaikan suku bunga BI rate untuk menekan jumlah uang beredar tersebut. Nilai T ukar Rupiah Mankiw (2003:123) mengatakan bahwa “kurs (exchange rate) antara dua negara adalah tingkat harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan”. Menurut Sukirno (2011:402) ada 5 faktor yang mempengaruhi nilai tukar, selanjutnya kelima faktor tersebut akan dijelaskan sebagai berikut. 1. Perubahan dalam citarasa masyarakat, Citarasa masyarakat mempengaruhi corak konsumsi mereka. Perbaikan kualitas barang-barang dalam negeri menyebabkan keinginan mengimpor berkurang dan dapat juga menaikan ekspor, dan sebaliknya. Perubahanperubahan ini akan mempengaruhi permintaan dan penawaran valuta asing. 2. Perubahan harga barang ekspor dan impor., Harga sesuatu barang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan apakah sesuatu barang akan diimpor atau diekspor. Dengan demikian perubahan harga barang-barang ekspor dan impor akan menyebabkan perubahan dan penawaran dalam permintaan keatas mata uang negara tersebut. 3. Kenaikan harga umum (inflasi)., Inflasi sangat besar pengaruhnya kepada kurs pertukaran valuta asing. Inflasi yang berlaku pada umumnya cenderung untuk menurunkan nilai sesuatu valuta asing. 4. Perubahan suku bunga dan tingkat pengembalian investasi., Suku bunga dan tingkat pengembalian investasi sangat penting peranannya dalam mempengaruhi aliran modal. Suku bunga dan tingkat pengembalian investasi yang rendah cenderung akan menyebabkan modal dalam negeri mengalir keluar negeri. 5. Pertumbuhan ekonomi., Efek yang akan diakibatkan oleh sesuatu kemajuan ekonomi kepada nilai mata uangnya tergantung pada corak pertumbuhan ekonomi yang berlaku. Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi laju inflasi di Indonesia pernah dilakukan oleh Lutfi dan Hidayat (2002), menunjukan bahwa jumlah uang beredar berpengaruh terhadap laju inflasi, sedangkan kurs dan pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh terhadap laju inflasi. Penelitian selanjutnya dilakukan juga oleh Sasana (2004) yang didapat hasil bahwa jumlah uang beredar dan nilai tukar mempunyai hubungan positif dan berpengaruh terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Pendapatan nasional dan tingkat suku bunga mempunyai hubungan negatif dan berpengaruh terhadap tingkat inflasi di Indonesia. METODE PENELITIAN Pemilihan teknik analisis data yang tepat dan sesuai dengan jenis data yang telah dikumpulkan akan mampu menjawab rumusan masalah dan hipotesis penelitian yang telah ditentukan. Untuk menguji hipotesis tentang bagaimana kekuatan variabel indipenden jumlah uang beredar (JUB), tingkat suku bunga BI rate, dan nilai tukar rupiah dolar AS terhadap laju inflasi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi linier berganda (multiple regression analysis model ) atau persamaan kuadarat terkecil 205 JESP V ol.4, No. 2, 2012 (Ordinary least Square) dengan model dasar sebagai berikut. Y=a+b1X1+b2X2+b3X3+e Dimana : Y = Laju Inflasi X1= Jumlah uang beredar (JUB) X2 = Suku Bunga BI rate X3 = Nilai Tukar Rupiah Dolar AS b = koefisien garis regresi a = bilangan konstanta e = error Adapun teknik untuk menganalisis yang akan dilakukan untuk melakukan regresi linier berganda pada penelitian ini diggunakan progam Statistical Package Social Sciences (SPSS) 16.0. Agar model tersebut memberikan hasil estimasi yang terbaik atau BLUE (Best Linier Unbiased Estimator) maka model harus memenuhi regresi linier klasik, yaitu tidak terjadi gejala multikolinieritas, autokorelasi, dan heterokedastisitas. Setelah model yang diajukan bersifat BLUE, maka untuk mencapai tujuan penelitian pertama perlu dilakukan ters statistic meliputi R-square, F-test dan T-test. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang telah diolah dan dikumpulkan serta dipublikasikan kepada masyarakat luas. Sumber data diperoleh dari website Bank Indonesia (BI) dalam bentuk Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia yaitu www.bi.go.id. HASIL PENELITIAN T abel 1 Model Analisis Regresi a Coefficients Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients Model B Std. Error Beta 1 (Constant) -2.568 .697 X1 5.80E-007 .000 .562 X2 .458 .056 1.187 X3 -2.5E-005 .000 -.050 t -3.685 4.076 8.236 -.565 Sig. .001 .000 .000 .574 Collinearity Statistics T olerance VIF .352 .322 .855 2.845 3.107 1.170 a. Dependent Variable: ln_y Berdasarkan Tabel 1 didapatkan bahwa model regresi yang terbentuk antara jumlah uang beredar (JUB), BI rate, nilai tukar rupiah dollar AS terhadap inflasi adalah sebagai berikut. ln_y = -2.568 + 0.562X1 + 1.187X2 0.050X3 Dimana: Y = Laju Inflasi X1= Jumlah Uang Beredar (JUB) X2 = Suku Bunga BI rate X3= Nilai Tukar Rupiah Dolar AS 206 Uji Hipotesis Simultan (Uji F) Pengujian secara simultan dilakukan untuk menunjukkan apakah variabel penjelas secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap laju inflasi (Y). Semua variabel tersebut diuji secara serentak dengan menggunakan uji F atau ANOV A. Dengan menggunakan bantuan software SPSS 16, didapatkan hasil uji hipotesis simultan dengan menggunakan uji F adalah sebagai berikut. JESP V ol. 4, No. 2, 2012 T abel 2 Uji Hipotesis Model Regresi Secara Simultan b ANOVA Sum of Model Squares 1 Regression 6.398 Residual 3.828 T otal 10.226 df Mean Square 3 2.133 56 .068 59 F 31.200 Sig. .000a a. Predictors: (Constant), X3, X1, X2 b. Dependent Variable: ln_y Dari tabel diatas maka diperoleh F hitung = 31.2, p-value = 0.000, F tabel = 2.7694, α = 0.05 Tabel 2 menunjukkan pengujian hipotesis model regresi secara simultan Uji Hipotesis Parsial (Uji t) menggunakan uji F. Jika nilai F hasil Pengujian model regresi secara parsial penghitungan pada tabel 2 dibandingkan digunakan untuk mengetahui apakah dengan Ftabel, maka Fhitung hasil masing-masing variabel jumlah uang penghitungan lebih daripada Ftabel (31.2 > beredar, suku bunga BI rate, dan kurs 2.7694). Selain itu, pada tabel 2 juga secara individu memiliki pengaruh yang didapatkan p-value sebesar 0.000. Jika psignifikan terhadap laju inflasi. Untuk value dibandingkan dengan α = 0.05 maka menguji pengaruh tersebut digunakan uji t, p-value kurang dari α = 0.05. Dari kedua p-value dengan α . V ariabel penjelas perbandingan tersebut dapat diambil pembentuk model regresi dikatakan keputusan H0 ditolak pada taraf α = 0.05. berpengaruh signifikan jika p-value<α = Sehingga dapat disimpulkan bahwa 0.05. Pengujian model regresi secara terdapat pengaruh secara simultan antara parsial adalah sebagai berikut. jumlah uang beredar, suku bunga BI rate, dan kurs terhadap laju inflasi. Tabel 3 Uji Parsial a Coefficients Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients Model B Std. Error Beta 1 (Constant) -2.568 .697 X1 5.80E-007 .000 .562 X2 .458 .056 1.187 X3 -2.5E-005 .000 -.050 t -3.685 4.076 8.236 -.565 Sig. .001 .000 .000 .574 Collinearity Statistics T olerance VIF .352 .322 .855 2.845 3.107 1.170 a. Dependent Variable: ln_y Interpretasi dari Tabel 3 adalah sebagai berikut. 1. Koefisien regresi untuk variabel jumlah uang beredar (X1) sebesar 0.562. Nilai probabilitas-t sebesar 0.000146. Berdasarkan perbandingan probabilitas t dengan alpha 5% didapatkan bahwa probabilitas t < 207 JESP V ol.4, No. 2, 2012 alpha 0.05 (0.00014 < 0.05) maka dapat diambil keputusan pengujian adalah Ho ditolak. Hal ini berarti jumlah uang beredar berpengaruh terhadap laju inflasi. Jadi setiap kenaikan jumlah uang beredar sebesar 1 milyar rupiah maka presentase kenaikan laju inflasi adalah sebesar 0.562 persen. 2. Koefisien regresi untuk variabel suku bunga BI rate sebesar 1.187. Nilai probabilitas-t sebesar 0.0000000000316. Berdasarkan perbandingan probabilitas t dengan alpha 5% didapatkan bahwa probabilitas t < alpha 0.05 (0.000 < 0.05) maka dapat diambil keputusan pengujian adalah Ho ditolak. Hal ini berarti suku bunga BI rate berpengaruh terhadap laju inflasi dengan tingkat kesalahan 5%. Jadi setiap kenaikan 1% suku bunga BI rate maka persentase kenaikan laju inflasi adalah sebesar 1.187 persen. 3. Koefisien regresi untuk variabel kurs dolar AS sebesar -0.050. Nilai t hitung sebesar 0.5648, dengan nilai probabilitas-t sebesar 0.574. Berdasarkan perbandingan probabilitas t dengan alpha 5% didapatkan bahwa probabilitas t (0.574 > 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa Ho diterima yang berarti bahwa tidak terdapat pengaruh antara kurs dollar AS dengan laju inflasi. Jadi setiap penurunan 1 ribu rupiah maka hal tersebut tidak berpengaruh terhadap persentase kenaikan laju inflasi. PEMBAHASAN Dari hasil penelitian didapatkan jumlah uang beredar (X1) mempunyai pengaruh signifikan yang positif terhadap inflasi, jadi jika jumlah uang beredar meningkat maka inflasi di Indonesia juga akan meningkat. Ini berarti terdapat korelasi positif antara pertumbuhan uang (JUB) dan inflasi, yang dapat dijadikan prediksi teori kuantitas, yaitu kenaikan tingkat pertumbuhan uang sebesar 1 persen akan 208 menyebabkan kenaikan 1 persen dalam tingkat inflasi. Pada tahun penelitian jumlah uang beredar mengalami peningkatan dari tahun ketahun meskipun kadang juga mengalami penurunan. Selanjutnya pada tahun 2010 bank Indonesia mencatat penggunaan uang kartal oleh masyarakat menunjukkan peningkatan. Hal tersebut tecermin dalam indikator pengedaran uang seperti jumlah uang beredar dan aliran uang kartal yang keluar dari BI ke perbankan dan masyarakat (net outflow). Berdasarkan data Bank Indonesia dinyatakan bahwa sepanjang tahun 2010 pertumbuhan jumlah uang beredar meningkat dari pertumbuhan rata-rata jumlah uang beredar tahun 2009. Hal tersebut sejalan dengan peningkatan inflasi dari tahun 2009 ke tahun 2010. Untuk mencegah meningkatnya inflasi, JUB yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia harus sesuai dengan kebutuhan (permintaan) agregat. Tingkat suku bunga BI rate juga mempunyai pengaruh yang signifikan positif terhadap laju inflasi di Indonesia. Pada saat tahun penelitian antara tahun 2007 sampai dengan 2011 di Indonesia terjadi krisis global yang terjadi pada tahun 2008. Dalam keadaan yang demikian Bank Indonesia menentukan kebijakan dengan menaikan suku bunga BI rate dan hal tersebut justru akan meningkatkan inflasi dari pada bulan sebelumnya padahal pada saat itu keaadaan inflasinya sudah tinggi, maka sebaiknya jika inflasi di Indonesia tinggi, suku bunga BI rate diturunkan untuk menurunkan inflasi. Dengan kebijakan pemerintah menurunkan suku bunga BI rate diharapkan dapat mengarahkan rata-rata suku bunga SBI-1 bulan hasil lelang OPT berada di sekitar BI rate dan selanjutnya dapat mendorong pihak perbankan untuk menurunkan tingkat suku bunga lainya seperti tingkat suku bunga kredit, deposito, serta suku bunga jangka waktu yang lebih panjang. Seiring dengan penurunan tingkat suku bunga kredit maka pengusaha akan tertarik meminjam uang kepada perbankan untuk JESP V ol. 4, No. 2, 2012 memperoleh dana. Dengan dana tersebut mereka dapat menambah alat produksinya sehingga hal itu bisa menurunkan harga barang hasil produksi di pasar selanjutnya akan menurunkan tingkat inflasi. Dengan demikian penyaluran kredit dan kegiatan investasi di sektor riil juga meningkat, untuk selanjutnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tetapi menurut Gubernur Bank Indonesia kenaikan BI rate menjadi 8,50 % pada tahun 2008 saat itu setelah mencermati perkembangan ekonomi global dan domestik akibat melambungnya harga minyak dunia dan harga komoditas pangan dipasaran internasioal, serta kebijakan pemerintah menaikan harga BBM 28,7 %. Sedangkan pada penelitian ini nilai tukar rupiah dolar-AS tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi di Indonesia pada periode tahun 2007-2011. Hal ini terjadi karena selama periode penelitian nilai tukar rupiah dolar-AS memiliki kecenderungan stabil. Stabilnya nilai tukar rupiah dolar-AS dikarenakan dipengaruhi oleh cadangan devisa Indonesia yang tinggi karena membaiknya kinerja investasi penanaman modal asing. Selain itu, juga dikontribusi oleh suku bunga acuan (BI rate) yang semakin 'favorable'. Kondisi nilai tukar rupiah sudah semakin membaik sejak tahun 2008. Disamping itu, kestabilan perekonomian nasional ikut dipengaruhi juga oleh prestasi Indonesia yang bisa mempertahankan neraca perdagangannya secara positif di tengah penurunan harga berbagai komoditas di pasar internasional. Sejalan dengan meningkatnya perekonomian domestik dan ketahanan sektor riil dalam menghadapi krisis keuangan global juga mendorong stabilitas nilai tukar rupiah. Stabilnya nilai tukar rupiah dolar-AS pada periode penelitian membuat pengaruhnya terhadap laju inflasi tidak signifikan. Karena ketika nilai tukar rupiah dolar-AS stabil maka akan mendorong pertumbuhan investasi dan produksi yang pada akhirnya akan menekan laju inflasi. Diantara tiga variabel yang diteliti didapatkan bahwa variabel yang paling dominan dalam mempengaruhi laju inflasi di Indonesia yaitu variabel suku bunga BI rate. Hal itu dikarenakan pada periode penelitian ketika Bank Sentral menentukan kebijakan menaikan suku bunga BI rate dari pada bulan sebelumnya maka teryata laju inflasi di Indonesia juga meningkat secara proporsional. Tujuan dari kebijakan moneter sendiri yaitu untuk stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga, dll. Berkaitan dengan kebijakan moneter dan dalam rangka menciptakan kestabilan perekonomian, maka Bank sentral memiliki peran dalam memelihara sistem moneter agar bekerja secara efisien sehingga dapat menjamin tercapainya tingkat pertumbuhan uang beredar sesuai dengan yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tanpa mengakibatkan inflasi. Otoritas moneter mengangap bahwa faktor-faktor seperti jumlah uang beredar, tingkat suku bunga BI rate, dan nilai tukar rupiah dolarAS sebagai faktor dominan penyebab utama inflasi di Indonesia. KESIMPULAN Secara keseluruhan dari penelitian ini didapatkan bahwa jumlah uang beredar berpengaruh positif terhadap laju inflasi di Indonesia. Ini berarti terdapat korelasi positif antara pertumbuhan uang (JUB) dan inflasi, jika jumlah uang beredar naik maka inflasi akan naik secara proporsional, dan dapat dijadikan prediksi teori kuantitas, yaitu kenaikan tingkat pertumbuhan uang sebesar 1 persen akan menyebabkan kenaikan 1 persen dalam tingkat inflasi. Tingkat suku bunga BI rate berpengaruh positif terhadap laju inflasi di Indonesia. Kebijakan pemerintah menurunkan suku bunga BI rate diharapkan dapat mengarahkan rata-rata suku bunga SBI-1 bulan hasil lelang OPT berada di sekitar BI rate dan selanjutnya dapat mendorong pihak perbankan untuk menurunkan tingkat suku bunga lainya seperti tingkat 209 JESP V ol.4, No. 2, 2012 suku bunga kredit, deposito, serta suku bunga jangka waktu yang lebih panjang. Seiring dengan penurunan tingkat suku bunga kredit maka pengusaha akan tertarik meminjam uang kepada perbankan untuk memperoleh dana. Dengan dana tersebut mereka dapat menambah alat produksinya sehingga hal itu bisa menurunkan harga barang hasil produksi di pasar selanjutnya akan menurunkan tingkat inflasi. Nilai tukar rupiah dolar-AS tidak berpengaruh terhadap laju inflasi di Indonesia. Hal ini terjadi karena selama periode penelitian nilai tukar rupiah dolar-AS memiliki kecenderungan stabil. Dari ketiga variabel yang diteliti didapatkan bahwa variabel yang paling dominan dalam mempengaruhi laju inflasi di Indonesia yaitu variabel suku bunga BI rate. 210 SARAN Kebijakan Bank Indonesia menentukan suku bunga BI rate yang tinggi akan mempengaruhi suku bunga SBI dan suku bunga lainya dalam PAUB dan akan berdampak pada tingginya biaya produksi karena investasi dan penyaluran kredit menurun dan masyarakat cenderung menabung. Tingginya biaya produksi akan mengakibatkan harga barang hasil produksi di masyarakat meningkat, sehingga pada akhirnya akan mendorong laju inflasi ketingkat yang lebih tinggi. Untuk itu Bank Indonesia sebagai otoritas moneter sebaiknya harus berhati-hati meningkatkan suku bunga BI rate dalam upaya menekan laju inflasi di Indonesia. Bank Indonesia dalam pencetakan uang baru juga sebaiknya lebih berhati-hati karena pada saat Bank Indonesia mencetak uang untuk meningkatkan kualitas uang yang beredar dimasyarakat hal tersebut juga akan meningkatkan laju inflasi jika percetakan tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan (permintaan) agregat. Bagi peneliti selanjutnya sebaiknya mengembangkan variabel lain selain kebijakan moneter sebagai variabel yang dapat mempengaruhi laju inflasi di Indonesia. Disamping itu peneliti selanjutnya disarankan untuk menggunakan metode analisis yang berbeda dari penelitian ini seperti ECM, PAM, atau alat analisis yang lain sehingga bisa mengembangkan penelitian ini. JESP V ol. 4, No. 2, 2012 DAFTAR RUJUKAN Adrianus, Fery & Amelia Nico. 2006. Analisa Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia Periode 1997:3-2005:2. Jurnal Ekonomi Pembangunan V ol.11 No.2, 173-186, (http://journal.uii.ac.id, diakses 6 september 2012) Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : PT Rineke Cipta. Aryawan, I Made Gitra. 2009. Pengaruh JUB dan PDB T erhadap Laju Inflasi di Indonesia T ahun 2002007. Majalah Ilmiah Untab V ol.6 No.1, 84-99, (http://isjd.pdii.lipi.go.id, diakses 8 september 2012) Badan Pusat Statstik. 2012. (online), (http://kepri.bps.go.id, diakses 24 september 2012) Bank Indonesia. 2012. (online), (http://www.bi.go.id, diakses 20 agustus 2012) Gujarati, Damonar N. 2006. Dasar-Dasar Ekonometrika. Edisi ke-3. Jakarta : Erlangga. Julita. 2005. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Laju Inflasi di Sumatera Utara. Skripsi tidak di terbitkan (online), (http://repository.usu.ac.id, diakses 22 agustus 2012). Kasmir. 2000. Manajemen Perbankan. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada. Latumaerissa, Julius R. 2011. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Salemba Empat. Lutfi, Muslich & Anom Hidayat. 2002. Analisis Faktor-Faktor Jumlah Uang Beredar , Kurs dan Pengeluaran Pemerintah Yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan, (online), (http://isjd.pdii.lipi.go.id, diakses 25 agustus 2012) Mankiw, N Gregory. 2003. Teori Makro Ekonomi. Edisi ke – 5. Terjemahan oleh Imam Nurmawan. 2003. Jakarta : Erlangga. Metrotv. Ekonomi. (online), (http://www.metrotvnews.com, diakses 8 september 2012) Mishkin, Frederic S.2008. Ekonomi Uang, Perbankan, dan Pasar Keuangan. Edisi ke-8. Terjermahan oleh Lana Soelistyaningsih & Beta Y ulianita. 2008. Jakrta : Salemba Empat. Nopirin. 1992. Ekonomi Moneter. Buku 1 Edisi ke-4. Yogyakarta : BPFE. Nopirin. 1987. Ekonomi Moneter. Buku 2 Edisi ke-1. Yogyakarta : BPFE. Pattipawae, Daniel. 2009. Analisa FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia Dalam Jangka Pendek. (online), (http://danielpattipawae.blogspot.com, diakses 8 september 2012) Pranowo, Bambang & Dwi Wulandari. 2009. Buku Ajar Ekonomi Moneter. Malang : Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang. Sasana, Hadi.2004. Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia dan Filipina. Jurnal Bisnis dan Ekonomi. V ol. 11, No.2, 207-270, (http://idtesis.multiply.com, diakses 6 september 2012). Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2012. Perekonomian Indonesia Tahun 2008 Tengah Krisis Keuangan Global. (online), (http://www.setneg.go.id, diakses 8 september 2012) Siamat, Dahlan. 2005. Manajemen Lembaga Keuangan. Buku Edisi ke-5. Jakarta : FE UI. 211 JESP V ol.4, No. 2, 2012 Sugiono. 2002. Statistika untuk Penelitian. Bandung : Penerbit CV Alfabeta. Sugiono. 2010. Metode Penelitian Bisnis. Bandung : Penerbit CV Alfabeta. Sukirno, Sadono. 2011. Makro Ekonomi, T eori Pengantar. Edisi 3. Jakarta : PT Raja Gravindo Persada. 212 Sumarsono, Hadi. 2009. Buku Ajar Mata Kuliah Ekonometrika. Malang : Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang. JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR), Return On Asset (ROA) Dan Loan To Deposit Ratio (LDR) Terhadap Harga Saham Bank Pemerintah Di Indonesia Periode 2004-2011 Ferik Vidyatama Mardhono Abstract This study aimed to determine the effect of the Capital Adequacy Ratio (CAR), Return on Assets (ROA), and Loan to Deposit Ratio (LDR) to the government bank stock prices in Indonesia from 2004 to 2011 period. This type of research is quantitative research, data collection techniques using technical documentation, documents used are the financial statements of the Bank Indonesia (BI) and list the stock price of the Dunia Investasi. Furthermore, the data used is panel data. Analytical techniques used in this study are panel data regression. The results of this study indicate that the Return on Assets (ROA) significant positive effect on the stock price if the ROA higher stock prices will also be higher . And Loan to Deposit Ratio (LDR) has a significant positive effect on stock prices is if the higher LDR (within healthy limits) then the share price will also be higher . While the Capital Adequacy Ratio (CAR) showed Ho is accepted which means that there is no significant effect between the CAR with the stock price. Keywords: Stock Price, Capital Adequacy Ratio (CAR), Return on Assets (ROA), Loan to Deposit Ratio (LDR Peranan bank dalam perekonomian sangat vital. Seperti dijelaskan dalam Pasal 1 UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan dapat dikelompokan menjadi dua jenis kegiatan, yaitu penghimpunan dana dan penyaluran dana. Para ekonom biasanya melihat bank sebagai perantara yang berfungsi menyalurkan dana dari investor individual untuk perusahaan dengan peluang produktivitas investasi. Investasi adalah bentuk pengelolaan dana guna memberikan keuntungan dengan cara menempatkan dana pada lokasi yang diperkirakan akan memberikan tambahan keuntungan. Investasi juga dikenal dengan istilah penanaman modal. Konsep penanaman modal ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk yang sering dikampanyekan oleh pemerintah dalam rangka menarik minat investor baik domestic maupun internasional. Menurut Halim (2005:4), untuk melakukan investasi dipasar modal diperlukan pengetahuan yang cukup, pengalaman serta naluri bisnis untuk menganalisis efek-efek mana yang akan dibeli, mana yang akan dijual dan mana yang tetap dimiliki. Sebagai investor harus rasional dalam menghadapi pasar jual beli saham. Selain itu, investor harus mempunyai ketajaman perkiraan masa depan perusahaan yang sahamnya akan dibeli atau dijual. Investasi pada pasar modal adalah investasi yang bersifat jangka pendek. Ini dilihat pada return yang diukur dengan capital gain. Bagi para spekulator yang __________________________________________ Alamat Korespondensi : Ferik Vidyatama, Mahasiswa Jur. Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang Email : [email protected] Mardhono, Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang Email: [email protected] JESP V ol. 4, No. 2, 2012 menyukai capital gain, maka pasar modal akan menjadi tempat yang menarik, sebab investor bisa membeli pada saat harga turun dan menjual kembali saat harga naik. Selisih yang dilihat secara abnormalreturn itulah yang akan dihitung keuntungannya. Laporan keuangan suatu perbankan merupakan gambaran yang menjelaskan tentang kondisi keuangan suatu bank tersebut. Disinilah bagian yang paling banyak dilihat oleh investor dalam rangka mengatahui kondisi suatu bank itu sehat atau tidak. Analisis yang dilakukan oleh investor dalam menempatkan dananya dalam bentuk saham ada beberapa metode. Didalam penelitian ini akan digunakan rasio keuangan. Rasio keuangan ini sangat penting gunanya untuk melakukan analisis terhadap kondisi keuangan perusahaan. Menurut Fahmi (2006:51), bagi investor jangka pendek dan menengah pada umumnya lebih banyak tertarik kepada kondisi keuangan jangka pendek dan kemampuan perusahaan untuk membayar dividen yang memadai. Rasio keuangan juga memungkinkan manager keuangan memperkirakan reaksi kreditur dan investor dalam memperkirakan bagaimana memperoleh kebutuhan dana. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini ingin mengetahui pergerakan harga saham Bank Pemerintah di Indonesia yang diukur dengan menggunakan rasio keuangan CAR, ROA, dan LDR selama periode delapan tahun terakhir yaitu periode 2004 sampai tahun 2011. Dan juga dengan menggunakan rasio–rasio tersebut maka akan dapat diketahui kelebihan dan kelemahan yang dimiliki masing-masing perusahaan perbankan milik pemerintah di Indonesia , sehingga akan menjadi suatu informasi yang sangat berharga bagi pihak–pihak yang berkepentingan. TUJUAN 1. Ingin mengetahui bagaimana pengaruh antara variabel CAR (Capital Adequacy Ratio) terhadap harga saham bank pemerintah di Indonesia periode 2004–2011 214 2. 3. 4. 5. Ingin mengetahui bagaimana pengaruh antara variabel ROA (Return On Asset) terhadap harga saham bank pemerintah di Indonesia periode 20042011 Ingin mengetahui bagaimana pengaruh antara variabel LDR (Loan to Deposit Ratio) terhadap harga saham bank pemerintah di Indonesia periode 2004 –2011 Ingin mengetahui bagaimana pengaruh antara variabel CAR, ROA dan LDR secara simultan terhadap harga saham bank pemerintah di Indonesia periode 2004-2011 Ingin mengetahui variabel manakah yang berpengaruh antara variabel CAR, ROA dan LDR terhadap harga saham bank pemerintah di Indonesia periode 2004-2011 HIPOTESIS H1 : Capital Adequacy Ratio (CAR) berpengaruh positif signifikan terhadap harga saham pada bank H2 : Return On Asset (ROA) berpengaruh positif signifikan terhadap harga saham pada bank H3 : Loan to Deposit Ratio (LDR) berpengaruh positif signifikan terhadap harga saham pada bank H4 : CAR, ROA dan LDR secara simultan berpengaruh signifikan terhadap harga saham pada bank H5 : Diantara variabel CAR, ROA dan LDR terdapat salah satu variabel yang paling berpengaruh terhadap harga saham pada bank KAJIAN TEORI Capital Adequacy Ratio (CAR) CAR adalah rasio yang memperlihatkan seberapa jauh seluruh aktiva bank yang mengandung resiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari dana modal sendiri bank, disamping memperoleh dana – dana dari sumber – sumber di luar bank, seperti dana masyarakat, pinjaman (utang) dan lain – JESP V ol. 4, No. 2, 2012 lain. Dengan kata lain, Capital Adequacy Ratio adalah rasio kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan resiko, misalnya kredit yang diberikan (Dendawijaya,2005:121). CAR = Modal Bank X 100% /Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (A TMR) Menurut Siamat (2005:287), ketentuan permodalan minimum bank disebut Capital Adequacy Ratio (CAR). Penggunaan modal bank dimaksudkan untuk memenuhi segala kebutuhan guna menunjang kegiatan operasi bank. Modal merupakan faktor penting dalam upaya mengembangkan usaha bank. Kewajiban penyediaan modal minimum atau Capital Adequancy Ratio tersebut pada dasanya suatu ukuran modal yang diharapkan dapat menjamin bahwa bank yang beroperasi secara internasional maupun nasional akan beroperasi secara baik atau prudent (Taswan,2006:79). Return On Asset (ROA) Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan. Semakin besar ROA suatu bank, semakin besar pula keuntungan yang dicapai bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dari segi penggunaan asset (Dendawijaya,2005:118). ROA = Laba sebelum pajak X 100% / Total aktiva Menurut Siamat (2005:290), rasio ini memberikan informasi seberapa efisien suatu bank dalam melakukan kegiatan usahanya, karena rasio ini mengindikasikan seberapa besar keuntungan yang dapat diperoleh rata – rata terhadap setiap rupiah asetnya. Sedangkan menurut Bank Indonesia, ROA merupakan perbandingan antara laba sebelum pajak dengan rata-rata total aset dalam suatu periode. Semakin besar ROA menunjukan kinerja perusahaan semakin baik, karena return semakin besar. Rasio ini sangat penting, mengingat keuntungan yang diperoleh dari penggunaan aset dapat mencerminkan tingkat efisiensi usaha suatu bank. Dalam kerangka penilaian kesehatan bank, BI akan memberikan skor maksimal 100 (sehat) apabila bank memiliki ROA > 1,5%. Loan to Deposit Ratio (LDR) LDR adalah rasio antara seluruh jumlah kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank. rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut. LDR = Jumlah Kredit Y ang Diberikan X 100% / Total DPK Loan to deposit ratio tersebut menyatakan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Tinggi rendahnya LDR akan mempengaruhi harga saham. Semakin tinggi rasio tersebut memberikan indikasi semakin rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena jumlah dana yang digunakan untuk membiayai kredit menjadi lebih besar. Jika likuiditasnya rendah maka hal tersebut akan berdampak pada hilangnya kepercayaan konsumen terhadap bank tersebut (Dendawijaya,2005:116). Bank Indonesia menetapkan ketentuan untuk menilai tingkat kesehatan bank, sebagai berikut. 1. Untuk rasio LDR sebesar 110% atau lebih diberi nilai kredit 0, artinya likuiditas bank tersebut dilinai tidak sehat. 2. Untuk rasio LDR dibawah 110% diberi nilai kredit 100, artinya likuiditas bank tersebut dinilai sehat. Harga Saham 215 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Menurut Halim (2005:12), Saham sebagai bukti kepemilikan perusahaan merupakan surat berharga atau efek yang diterbitkan oleh perusahaan yang terdaftar di bursa (go public). Fluktuasi harga saham ditentukan oleh kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba. Apabila laba yang diperoleh perusahaan tinggi, maka kemungkinan besar bahwa dividen yang dibayarkan juga relatif tinggi. Apabila dividen yang dibayarkan relatif tinggi, akan berpengaruh positif terhadap harga saham di bursa, dan investor akan tertarik untuk membelinya. Investasi di pasar modal, investor harus benar – benar menyadari bahwa di samping akan memperoleh keuntungan tetapi juga kemungkinan akan mengalami kerugian. Keuntungan atau kerugian tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan investor menganalisis keadaan harga saham dan kemungkinan naik turunnya harga di bursa. Bermain di pasar modal bukan jaminan untuk para investor mendapatkan capital gain (selisih harga beli saham dan harga jual saham), tetapi bisa saja investor akan mendapatkan capital loss (Siamat,2005:514). PENELITIAN TERDAHULU Penelitian dilakukan oleh Risky Christian Syauta & Indra Widjaja pada tahun 2009 yang berjudul Analisis Pengaruh Rasio ROA, LDR, NIM DAN NPL Terhadap Abnormal Return Saham Perbankan di Indonesia Pada Periode Sekitar Pengumuman Subprime Mortage. Hasil penelitian ini adalah variabel ROA dan NPL memiliki pengaruh terhadap return saham dikarenakan karena profitabilitas (ROA) perbankan yang mengalami gangguan yang diakibatkan oleh kasus subprime mortgage di US dan karena likuiditas perbankan yang mengalami gangguan yang diakibatkan oleh kasus subprime mortgage di US. V ariabel LDR dan NIM tidak memiliki pengaruh terhadap return saham karena tidak mempunyai pengaruh terhadap kasus subprime mortgage di US. 216 Penelitian dilakukan oleh Ratna Purwasih tahun 2009 yang berjudul Pengaruh Rasio CAMEL Terhadap Perubahan Harga Saham Perusahaan Perbankan yang Go Public di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2008. V ariabel bebasnya CAR, RORA, NPM, ROA , dan LDR. Diantara beberapa variabel yang digunakan peneliti hanya variabel RORA dan ROA saja yang berpengaruh positif signifikan terhadap harga saham. Dan variabel CAR, NPM dan LDR tidak berpengaruh positif signifikan terhadap harga saham. Penelitian dilakukan oleh Wijayanti pada tahun 2010 yang berjudul Analisis Kinerja Keuangan dan Harga Saham Perbankan di Bursa Efek Indonesia (BEI), V ariabel bebasnya adalah CAR, ROA, NIM, NPL, LDR, EPS, PER. V ariabel kinerja keuangan yang secara parsial mempunyai pengaruh signifikan adalah EPS dan PER terhadap harga saham. Penelitian dilakukan oleh Ina Rinati pada tahun 2009 yang berjudul Penagruh Net Profit Margin (NPM), Return On Asset (ROA) dan Return On Equity (ROE) Terhadap Harga Saham pada Perusahaan yang Tercantum dalam Indeks LQ45. Didapat kesimpulan bahwa hanya variabel ROA saja yang memiliki pengaruh terhadap harga saham, variabel NPM dan ROE tidak mempunyai pengaruh terhadap harga saham. Penelitian dilakukan oleh Ketut Alit Suardana pada tahun 2006 yang berjudul Pengaruh Rasio CAMEL Terhadap Return Saham. V ariabel bebasnya adalah CAR, RORA, BOPO, EPS, dan LDR. Secara parsial hanya rasio CAR(Capital Adequacy Ratio) yang berpengaruh positif terhadap return saham. Rasio yang lain, Return on Risked Assets /RORA, Operating Expense to Operating Income (OEOI)/BOPO, Earning Per Share/EPS, dan Loans to Deposits Ratio/LDR tidak berpengaruh terhadap return saham. Penelitian dilakukan oleh Kurnia Windias Praditasari pada tahun 2009 yang berjudul Analisis Pengaruh Tingkat JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Kesehatan Bank Terhadap Harga Saham pada Perusahaan Perbankan yang Go Public Periode 2004-2008. V ariabel bebasnya adalah CAR, KAP , BOPO,dan LDR. Diperoleh kesimpulan bahwa variabel CAR memiliki hubungan yang kuat signifikan dengan harga saham dan berpengaruh secara signifikan terhadap variabel harga saham secara parsial. V ariabel KAP memiliki hubungan yang kuat signifikan dengan harga saham dan berpengaruh secara signifikan terhadap variabel harga saham secara parsial. V ariabel BOPO memiliki hubungan yang kuat signifikan dengan harga saham dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel harga saham secara parsial. V ariabel LDR memiliki hubungan yang kuat signifikan dengan harga saham dan berpengaruh secara signifikan terhadap variabel harga saham secara parsial. METODE PENELITIAN Analisis Data Untuk menguji hipotesis tentang bagaimana kekuatan variabel indipenden Capital Adequancy Ratio (CAR), Return On Asset (ROA), Loan to Deposit Ratio (LDR) tarhadap harga saham pada bank pemerintah di Indonesia. Bank pemerintah yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BRI dan Bank BTN. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data panel. Data panel merupakan gabungan antara data cross-section dan data time series. Pada data panel, unit cross-section yang sama disurvei pada beberapa periode waktu. Jadi, data panel memiliki dimensi ruang dan waktu. Jika masing-masing unit cross-section memiliki jumlah pengamatan time series yang sama maka data panel tersebut dinamakan data panel seimbang (balanced panel data), sebaliknya jika jumlah pengamatan time series berbeda pada masing-masing unit maka disebut data panel tidak seimbang (unbalanced panel data) (Gujarati, 2004). Y = β0 + β1 X1 + β2X2 + β3X3 +. . . .+ e i Dalam model diatas dapat diketahui bahwa variabel dependen adalah harga saham, sedangkan variabel independennya adalah CAR, ROA dan LDR. Agar model tersebut memberikan hasil estimasi yang terbaik atau BLUE (Best Linier Unbiased Estimator) maka model harus memenuhi regresi linier klasik, yaitu tidak terjadi gejala multikolinieritas, autokorelasi, dan heterokedastisitas. Setelah model yang diajukan bersifat BLUE, maka untuk mencapai tujuan penelitian pertama perlu dilakukan uji asumsi klasik, uji F dan uji T. HASIL PENELITIAN Model Regresi Panel Terdapat 3 pendekatan dalam memilih model regresi panel yang tepat. Y aitu model Common Effect, Fixed Effect dan Random Effect. Model random effect tidak bisa digunakan jika banyaknya unitcrosssection lebih kecil dibanding banyaknya periode waktu sehingga pada penelitian ini, pendekatan model yang mungkin adalah common effect atau fixed effect. Untuk memilih model regresi panel dengan pendekatan mana yang digunakan maka dilakukan uji chow. Uji chow digunakan untuk mengetahui apakah model common effect ataukan fixed effect yang akan dipilih untuk pendugaan. Effects Test Statistic Prob. Cross-section F 27.158580 0.0000 Cross-section Chisquare 63.413138 0.0000 Nilai signifikansi dari uji F sebesar 0,0000 sehingga Ho ditolak yang artinya sekurang-kurangnya terdapat satu intersep pada unit cross-section yang tidak sama sehingga model yang cocok digunakan adalah model fixed effect. Pembentukan Model Variable Coefficient CAR -0.036281 Model panel data: 217 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 ROA LDR C 554.0238 99.15924 -5910.929 Maka model yang didapatkan adalah sebagai berikut. Uji Parsial Uji parsial digunakan untuk mengetahui apakah secara individu variabel independent mempengaruhi harga saham pada bank pemerintah. Uji parsial menggunakan statistic uji t. Hasil uji parsial adalah sebagai berikut. Variable Prob. CAR ROA LDR C 0.9504 0.0001 0.0000 0.0000 V ariabel yang berpengaruh signifikan adalah variabel ROA dan LDR. Sedangkan variabel CAR tidak terbukti signifikan dengan alpha 0.05. Hal ini karena p-value hasil uji parsial untuk variabel ROA dan LDR adalah kurang dari alpha 0.05, dan untuk variabel CAR yang dinyatakan tidak signifikan adalah lebih dari 0.05. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa rasio keuangan CAR tidak signifikan terhadap harga saham. Dalam hasil penelitian ini didapatkan bahwa nilai CAR dengan probabilitas lebih dari batas ketentuan nilai signifikan 0.05 yaitu 0.9504 dan koefisien menunjukan nilai yang negatif -0.036281. maka dapat disimpulkan bahwa H1 tidak dapat diterima. Penurunan CAR memperlihatkan rendahnya kemampuan bank dalam menutupi penurunan aktivanya akibat adanya kerugian-kerugian pada bank tersebut. Sebagai investor, mereka tidak akan melihat bagaimana bank menutup penurunan aktivanya yang disebabkan karena kerugian. Melainkan investor akan melihat faktor lain seperti laba bank atau penyaluran kredit bank karena investor 218 tidak tertarik dengan tinggi rendahnya CAR pada bank tersebut. Seperti contoh pada tahun 2004-2011 dengan CAR yang cenderung stabil justru harga saham naik. Meskipun pada tahun 2008 cenderung turun dikarenakan imbas dari krisis global. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa rasio keuangan ROA mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap harga saham. Dalam hasil penelitian ini didapatkan bahwa nilai ROA dengan probabilitas kurang dari batas ketentuan nilai signifikan 0.05 yaitu 0.0001 dan koefisien menunjukan nilai yang positif yaitu 554.0238 maka dapat diinterpresentasikan sebagai setiap penambahan satu satuan ROA maka harga saham akan naik sebesar 554.0238 satuan jika variabel lain dianggap bernilai konstan. Dan dapat disimpulkan bahwa H2 diterima. Berdasarkan deskripsi variabel penelitian, dapat dilihat bahwa dalam periode 2004-2011 nilai ROA pada bank pemerintah di Indonesia cenderung naik meskipun tidak signifikan. Hanya pada bank BRI nilai ROA cenderung menurun tetapi tidak banyak dan kemudian bisa naik kembali dan diikuti harga saham yang ikut naik. Investor dalam menanamkan dananya pada suatu bank selalu melihat laba yang diperoleh bank tersebut. Semakin banyak laba yang diperoleh, maka semakin banyak investor yang akan menempatkan dananya tersebut. Rasio ini selalu dilihat oleh para investor untuk melihat bagaimana bank dalam memperoleh laba. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa rasio keuangan LDR mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap harga saham. Dalam hasil penelitian ini didapatkan bahwa nilai LDR dengan probabilitas kurang dari batas ketentuan nilai signifikan 0.05 yaitu 0.0000 dan koefisien menunjukan nilai yang positif yaitu 99.15924 maka dapat diinterpresentasikan sebagai setiap penambahan satu satuan LDR maka harga saham akan naik sebesar 99.15924 satuan jika variabel lain dianggap bernilai JESP V ol. 4, No. 2, 2012 konstan. Dan dapat disimpulkan bahwa H3 diterima. Berdasarkan deskripsi variabel penelitian, dapat dilihat bahwa dalam periode 2004-2011 nilai LDR pada semua bank pemerintah di Indonesia cenderung stabil atau sehat dan diikuti harga saham yang ikut naik. Ini disebabkan dengan penyaluran kredit yang besar memungkinkan laba dari hasil kredit dapat menarik investor untuk menanamkan dananya pada suatu bank tersebut. Dan harga saham akan naik seiring dengan banyaknya investor pada bank tersebut. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa rasio keuangan CAR, ROA dan LDR secara bersama-sama atau simultan mempunyai pengaruh signifikan terhadap harga saham. Dalam hasil penelitian ini didapatkan bahwa nilai pvalue kurang dari alpha 0.05 yaitu sebesar 0.000000, yang berarti secara bersamasama atau simultan variabel rasio keuangan CAR, ROA dan LDR berpengaruh signifikan terhadap harga saham pada bank pemerintah di Indonesia dengan tingkat kesalahan < 0.05. Fungsi dari bank itu sendiri adalah menghimpun dana dan menyalurkan dana. Menghimpun dana dapat dilihat dari rasio CAR kemudian penyaluran dana dapat dilihat dari rasio LDR. Jika kedua rasio tersebut dan memperlihatkan hasil yang baik maka ROA dari bank tersebut akan tinggi atau dapat diindikasikan bahwa laba yang diterima bank tersebut akan meningkat. Dengan meningkatnya laba harga saham akan naik maka investor tidak akan ragu menempatkan dananya pada bank tersebut. Dengan ini maka rasio keuangan sangat penting digunakan oleh investor dalam menganalisis untuk bank atau perusahaan mana ia akan menempatkan dana dan membeli saham perusahaan atau bank tersebut. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap harga saham adalah rasio keuangan Return On Asset (ROA). Rasio ini sangat penting mengingat keuntungan yang diperoleh dari penggunaan aset dapat mencerminkan tingkat efiensi suatu bank. Sebagai investor, dalam menempatkan dananya pada suatu bank jelas mengharapkan sebuah keuntungan yang besar. Dan laba yang diperoleh dari penggunaan asetnya dapat dilihat dari rasio ROA ini. Dengan semakin besarnya laba yang diperoleh maka banyak investor yang akan menempatkan dananya pada bank tersebut. Ini yang akan membuat pergerakan harga saham naik sedikit demi sedikit dan deviden yang dibayarkan juga akan semakin tinggi. KESIMPULAN Capital Adequacy Ratio (CAR) tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap harga saham bank pemerintah di Indonesia periode 2004-2011. Dan H1 tidak diterima. Ini menandakan bahwa naik turunnya nilai CAR tidak mempengaruhi naik turunnya harga saham dikarenakan investor lebih melihat faktor selain CAR untuk memutuskan dimana dia akan menanamkan dana dan membeli saham pada bank tersebut. Dapat dilihat bahwa pada tahun 2004-2011 CAR bank pemerintah cederung stabil dan harga saham cenderung menguat. Return On Asset (ROA) mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap harga saham bank pemerintah di Indonesia periode 2004-2011. Dan H2 diterima. Ini menandakan bahwa kenaikan nilai ROA akan memicu kenaikan harga saham atau dengan kata lain semakin tinggi nilai ROA maka semakin tinggi pula nilai harga sahamnya. Hal ini disebabkan tingginya nilai ROA memperlihatkan laba yang diperoleh bank tinggi. Ini yang membuat banyak investor berebut untuk menginvestasikan danannya pada bank tersebut karena deviden yang dibayarkan juga akan semakin tinggi dan hal ini bisa menaikan harga saham bank tersebut. Loan to Deposit Ratio (LDR) mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap harga saham bank pemerintah di Indonesia periode 2004-2011. Dan H3 219 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 diterima. Ini menandakan bahwa semakin tinggi tingkat LDR (sampai batas ketentuan BI yaitu ≤ 110% dinilai sehat), maka diikuti dengan harga saham yang relatif tinggi pula. Dengan tingkat LDR tinggi yang bisa dikendalikan bank, maka laba dari penyaluran kredit yang tinggi akan menarik investor untuk menanamkan dana dan membeli saham bank tersebut. Capital Adequacy Ratio (CAR), Return On Asset (ROA) dan Loan to Deposit Ratio (LDR) secara bersama – sama atau simultan mempunyai pengaruh terhadap harga saham. Rasio keuangan sangat penting bagi investor dikarenakan untuk melihat keadaaan bank tersebut sehat atau tidak. Keputusan untuk menginvestasikan dana investor kepada bank tidak lepas dari rasio keuangan. Jika rasio keuangan bank baik maka akan mempengaruhi pergerakan harga saham yang semakin tinggi. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap harga saham adalah rasio keuangan Return On Asset (ROA). Rasio ini sangat penting mengingat keuntungan yang diperoleh dari penggunaan aset dapat mencerminkan tingkat efiensi suatu bank. Sebagai investor, dalam menempatkan dananya pada suatu bank jelas mengharapkan sebuah keuntungan yang besar. Dan laba yang diperoleh dari penggunaan asetnya dapat dilihat dari rasio ROA ini. Dengan semakin besarnya laba yang diperoleh maka banyak investor yang akan menempatkan dananya pada bank tersebut. Ini yang akan membuat pergerakan harga saham naik sedikit demi sedikit dan deviden yang dibayarkan juga akan semakin tinggi. SARAN Bagi pihak investor yang akan melihat harga saham pada perbankan diharapkan tidak hanya melihat dari ketiga rasio keuangan (CAR,ROA,LDR) saja,tetapi harus memperhatikan rasio keuangan lainnya juga. Hal ini dikarenakan rasio 220 keuangan (CAR,ROA, LDR) jika dilihat dari koefosien determinasinya (R2) hanya berpengaruh 60,44% dalam penentuan harga saham, sedangkan 39,56% lagi dipengaruhi oleh variabel lainnya yang tidak dimasukan dalam penelitian ini. Bagi pihak perbankan yang menginginkan harga sahamnya selalu naik dan tinggi seharusnya memperhatikan rasio keuangan ROA dan LDR. Ini disebabkan karena kedua rasio keuangan yang diteliti oleh peneliti mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap harga saham. Karena yang dilihat oleh investor adalah laba bank yang tinggi akan mempengaruhi pergerakan harga saham yang semakin tinggi pula. Bagi peneliti selanjutnya sebaiknya mengembangkan variabel-variabel lain selain rasio keuangan CAR, ROA dan LDR sebagai variabel yang dapat mempengaruhi harga saham pada perbankan di Indonesia. Disamping itu peneliti selanjutnya disarankan untuk menggunakan metode analisis yang berbeda atau alat anaisis yang lain sehingga dapat mengembangkan hasil dari penelitian ini. JESP V ol. 4, No. 2, 2012 DAFTAR RUJUKAN Abdullah, Faisal. 2003. Manajemen Perbankan (T eknik Analisis Kinerja Keuangan Bank). Cetakan pertama. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Erlangga Bank Indonesia. (online), (http://www.bi.go.id), diakses 18 September 2012 Bank Mandiri (online), (http://www.mandiri.co.id), diakses 5 Oktober 2012 Bank Negara Indonesia (online), (http://www.bni.co.id), diakses 1 Oktober 2012 Bank Rakyat Indonesia (online), (http://www.bri.co.id), diakses 3 Oktober 2012 Bank Tabungan Negara (online), (http://www.btn.co.id), diakses 7 Oktober 2012 Bungin, Burhan. 2005. Metodologi Penelitian kuantitatif (Komunikasi, Ekonomi, Dan kebijakan Publik Serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya). Edisi pertama. Jakarta : Prenada Media Dendawijaya, Lukman. 2005. Manajemen Perbankan. Edisi ke-2. Jakarta : Ghalia Indonesia Duniainvestasi.com (online), diakses 10 Oktober 2012 Fahmi, Irham. 2006. Analisis Investasi Dalam Perspektif Ekonomi Dan Politik. Bandung : PT Refika Aditama Greene, W . H. 2000. Econometric Analysis 4th edition. New Jersey. PrenticeHall Inc Upper Saddle River Gujarati, Damodar N & Dawn C Porter. 2012. Dasar – Dasar Ekonometrika. Edisi ke-5. Jakarta : Salemba Empat Gujarati, Damodar N. 1995. Ekonometrika Dasar. Jakarta : Erlangga Gujarati, Damodar N. 2004. Basic Econometrics 4th edition. New York. McGraw-Hill Halim, Abdul. 2005. Analisis Investasi. Edisi ke-2. Malang : Salemba Empat Hsiao, C. 2003. Analysis of Data Panel 2th edition. USA. Cambridge University Press Istanti, Rahmawati Duri. Pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR), Loan to Deposit Ratio (LDR), Non Permorming Loan (NPL), dan Return On Asset (ROA) Terhadap Harga Saham Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar di BEI. Skripsi tidak diterbitkan (online), (eprints.unisbank.ac.id/58/,diakses 20 november 2012) Praditasari ,KurniaWindias. 2009.Analisis Pengaruh Tingkat Kesehatan Bank Terhadap Harga Saham Pada Perusahaan Perbankan Yang Go Public Periode 2004-2008. Sripsi tidak diterbitkan (online), (www.gunadarma.ac.id/.../Artikel_ 20205713.pdf, diakses 29 agustus 2012) Purwasih, Ratna. 2009. Pengaruh Rasio CAMEL Terhadap Perubahan Harga Saham Perusahaan Perbankan Yang Go Public Di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2008. Skripsi tidak diterbitkan (online), (http://eprints.undip.ac.id/22957/, diakses 18 agustus 2012) Rinati, Ina. 2009. Pengaruh Net Profit Margin (NPM), Return On Asset (ROA) Dan Return On Equity (ROE) Terhadap Harga Saham Pada Perusahaan Yang Tercantum Dalam Indeks LQ45. Skripsi tidak diterbitkan (online), (http://library.gunadarma.ac.id/repo sitory/view/12518/pengaruh-netprofit-margin-npm-return-onassetsroa-dan-return-on-equity-roeterhadap-hargasaham-padaperusahaan-yang-tercantum- 221 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 dalamindeks-lq45.html, diakses 1 september 2012) Siamat, Dahlan. 2005. Manajemen Lembaga Keuangan Kebijakan Moneter Dan Perbankan. Edisi ke5. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Suardana, Ketut Alit. 2006. Pengaruh Rasio CAMEL T erhadap Return Saham. Skripsi tidak diterbitkan (online), (http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/o k alit suardana.doc, diakses 5 september 2012) Sukendar. G., dan Zainal, A. 2007. Faktorfaktor yang Mempengaruhi Permintaan Ekspor Sepatu Olah Raga dan Sepatu Kulit Indonesia (tahun 2000-2006). Depok. Kampus UI Sumarsono, Hadi. 2009. Buku Ajar Mata Kuliah Ekonometrika. Malang : Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang Syauta, Rizky Christian & Indra Widjaja. 2009. Analisis Pengaruh Rasio ROA, LDR, NIM, Dan NPL 222 Terhadap Abnormal Return Saham Perbankan Di Indonesia Pada Periode Sekitar Pengumuman Subprime Mortgage. Jurnal Aplikasi Keuangan Dan Akuntansi, (online), (http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/ Search.html?act=tampil&id=70090 &idc=72, diakses 25 agustus 2012) Taswan. 2006. Manajemen Perbankan Konsep, Teknik Dan Aplikasi. Yogjakarta: UPP STIM YKPN Yogyakarta Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Edisi Kelima: Sripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Laporan Penelitian. Malang : Universitas Negeri Malang Wijayanti. 2010. Analisis Kinerja Keuangan Dan Harga Saham Perbankan Di Bursa Efek Indonesia (BEI). Jurnal Ekonomi, (online), (http://jiae.ub.ac.id/index.php/jiae/a rticle/view/118, diakses 20 agustus 2012) JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Dilema Ekonomi : Pasar Tradisional versus Liberalisasi Bisnis Ritel di Indonesia Wasisto Raharjo Jati Abstract Traditional markets are not only meant as an economic entity, but also as social entities. Economic activity carried on in the traditional markets to ensure the socio-economic equity for all actors involved both formal and informal. Traditional markets can bring prosperity for all people. Economic globalization has changed the configuration of the world economy is beginning to support economic equality to economic growth through liberalization policies. Liberalization of the retail business in Indonesia is directly affecting the economy of consumption preferences. The presence of the massive modern retail making traditional market position becomes difficult because of the economic competition that is not affirmative. This paper will present the economic marginalization faced by traditional market since the liberalization of the retail business. Keywords : traditional market, modern retail, globalization,trading A. PENDAHULUAN “Y en Pasar Ilang Kumandhange” (jika pasar kehilangan gaungnya) merupakan ramalan Raja Kerajaan Kediri, Jayabaya terkait dengan pesan futurologinya mengenai semiotika zaman kalabendhu mengenai pudarnya corak berperilaku ekonomi yang berpihak pada kesejahteraan rakyat. Eksistensi hadirnya pasar tradisional merupakan institusi vital bagi rakyat untuk memenuhi kebutuhan seharihari. Pasar tradisional tidaklah dimaknai pranata ekonomi yang fungsi utamanya mendinamisasi transaksi perdagangan pembeli dan penjual dalam nuansa kehidupan yang statis. Lebih dari itu, pasar tradisional juga mengemban fungsi sebagai ruang kultural dimana proses akulturasi berlangsung antara berbagai ragam mata pencaharian ekonomi berlangsung dalam satu kesatuan. Dalam berbagai literatur sejarah, pasar tradisional merupakan salah satu pilar negara yang dikenal dengan konsep catur sagatra yang mengemban fungsi sentral menjalankan roda ekonomi negara. Sosiolog Belanda WF Wertheim mengartikan konsep catur sagatra tersebut dengan fakta historis peradaban ekonomi Jawa sebelum tahun 1600 (Wertheim, 1958 : 23). Kota-kota di Jawa terdiri atas beberapa zona: keraton, alun-alun dan pasar. Pasar terletak di dekat alun-alun, lalu pemukiman kaum bangsawan dan rakyat biasa. Semakin jauh jaraknya dari keraton, semakin rendah pula kelas sosial para pemukimnya. Adanya pasar yang berada di tengah-tengah komunitas rakyat dan komunitas bangsawan saat itu menandakan adanya peradaban yang dibangun. Pasar merupakan pertanda peradaban masyarakat saat itu. Berlangsungnya kegiatan berdagang dengan saling tukar-menukar komoditas antar berbagai lintas kultur pedagang menjadikan pasar sebagai dinamisator zaman bagi masyarakat. Hal itulah yang kemudian pasar senantiasa bergaung sebagai instrumen etik dan moral ekonomi maupun sosial budaya. Matinya pasar __________________________________________ Alamat Korespondensi : Wasisto Raharjo Jati, Gedung PAU UGM Lt.3 Sayap Timur, Jalan Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta 55281. Email : [email protected] JESP V ol. 4, No. 2, 2012 tradisional sama artinya dengan matinya peradaban bangsa karena otomatis hal itu akan merubah pola perilaku rakyat dalam bertransaksi ekonomi. Secara fisik dan faktual, pasar ilang kumandhange memang benar terjadi dalam konteks perekonomian Indonesia. Pasar tradisional kini terganti dengan bangunan mall dan pusat perbelanjaan modern lainnya. Pergeseran itu juga menandai perubahan dalam alur transaksi ekonomi yang semula berlangsung oleh keriuhan tawar-menawar antara penjual dan pedagang beralih ke arah pragmatis. Perubahan tersebut juga menuntut rakyat kini semakin efisien dan efektif dalam bertransaksi ekonomi karena komoditas yang dipajang dengan harga mahal hanya mencerminkan kepentingan ekonomi pemodal besar dan bukan untuk mensejahterakan semua kalangan rakyat. Oleh karena itulah, redupnya keramaian bertransaksi ekonomi di pasar tradisional merupakan indikator semakin tergerusnya perekonomian mikro yang mensejahterakan rakyat oleh kekuatan kapitalis-global. Berangkat dari pesan pasar ilang kumandhange tersebut, pasar tradisional kini kian tereduksi oleh hadirnya pusat perbelanjaan modern di Indonesia paska reformasi 1998 hingga kini. Persoalan eksistensi pasar tradisional pada era globalisasi sekarang ini memang menarik disoroti, terlebih peran yang diembannya sebagai bisnis ritel tradisional. Adanya liberalisasi bisnis ritel tidak terlepas dari Keppres No. 96/2000 mengenai bidang usaha terbuka dan tertutup bagi penanaman modal asing yang menggolongkan ritel sebagai bidang usaha terbuka bagi penanaman modal asing dan swasta nasional. Hal itulah, yang kemudian bisnis ritel kini mulai disesaki oleh berbagai aktor swasta nasional maupun swasta asing. Prospek keuntungan yang bisa diraih dari bisnis ritel di Indonesia memang sangat tinggi. Berdasarkan data dari Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo), pada 2011, omzet ritel modern tercatat Rp 224 42 triliun, kemudian meningkat lagi pada 2006 menjadi Rp50,8 triliun dan pada 2008 meningkat menjadi Rp 58,5 triliun. Hal tersebut berlanjut pada 2010 dimana bisnis ritel modern tumbuh 12% dan tahun 2012 ini diperkirakan ritel modern akan tumbuh 13%-15%. Kondisi itu tentunya sangat kontras dengan kondisi perekonomian yang dihadapi pasar tradisional. Menurut data yang dihimpun dari Kemendag tahun 2011 menyebutkan pasar tradisional mengalami pertumbuhan minus 8,1 % setiap tahunnya. Tingkat profitabilitas pasar tradisional juga mengalami penyusutan secara masif semenjak ritel mengalami liberalisasi pada tahun 2000. Tercatat bahwa profitabilitas pasar tradisional di kawasan Jabodetabek pada tahun 2001 mengalami penyusutan hingga 40 % dan pada 2011 lalu pasar tradisional mengalami penyusutan mencapai 60 %. Kondisi serupa juga berlaku di berbagai wilayah Indonesia lainnya yang rata-rata mencapai 70-80 % tiap tahunnya. Oleh karena itulah, sinyalemen bahwa perekonomian nasional tidak berpihak kepada rakyat memang benar adanya. Matinya pasar tradisional sebagai arena ekonomi mikro bagi rakyat oleh hadirnya ritel modern yang dikomandoi oleh swasta asing yang berkolaborasi dengan swasta nasional menandakan bahwa terjadi praktik neokolonialisme dalam konteks perekonomian di Indonesia. Maka pada tataran ini, kondisi eksternal ekonomi dunia juga turut berpengaruh kondisi pasar tradisional di Indonesia. Namun hal itu tidak cukup untuk menggarisbawahi persoalan yang terjadi di pasar tradisional. Negara juga menjadi aktor utama dalam menciptakan kondisi tersebut melalui berbagai macam produk regulasinya. Semenjak liberalisasi ritel diberlakukan pada tahun 1998, negara dianggap mulai abai dengan spirit ekonomi kerakyatan yang berbasiskan pada pemerataan ekonomi yang seimbang dengan hanya menerapkan strategi pertumbuhan berbasiskan modernitas dan JESP V ol. 4, No. 2, 2012 liberalisasi. Realita tersebut kian mempersempit ruang spasial-ekonomi pasar tradisional sebagai pranata ekonomi ritel yang melayani kebutuhan domestik rakyat. Pasar tradisional terjepit oleh kondisi perekonomian nasional yang tidak afirmatif. Menyikapi hal tersebut, ada baiknya bagi kita untuk melihat konteks pasar tradisional sebagai pilar ekonomi bangsa dan setting liberalisasi ritel di Indonesia yang mengakibatkan eksistensi pasar tradisional tersebut. Studi ini hendak mengkaji kebijakan ekonomi pembangunan mengenai dampak liberalisasi ekonomi dalam bisinis ritel sebagai penyebab menurunnya pasar tradisional di Indonesia. Persoalan tersebut memang urgen dan signifikan untuk ditindaklanjuti mengingat ketimpangan antara pasar tradisional dan ritel modern paska diterapkannya liberalisasi. Dalam kajian ini, menggunakan metode analisa kebijakan publik yang merangkum berbagai perspektif pemikiran dari tinjauan literatur terkait dengan tema dan mengumpulkan berbagai data empirik kontemporer analisa ekonomi yang relevan untuk menjadi bahan suplemen dalam kajian penelitian ini. B. METODE PENELITIAN Metode Penelitian yang digunakan dalam kajian ini menggunakan metode analysis of. Analysis of adalah metode yang digunakan untuk menganalisa dampak implementasi kebijakan publik dengan menggunakan berbagai sumber data sekunder sekunder berbasis tinjauan literatur, data empirik relevan, maupun hasil dokumentasi terkait yang kesemuanya tersebut dianalisa sehingga akan diperoleh produk pengetahuan analisa kebijakan mengenai dampak suatu kebijakan publik terhadap entitas tertentu (Santoso, 2011). Maka langkah pertama yang dilakukan dalam kajian ini ialah menganalisa tentang setting kebijakan mengenai ritel modern. Langkah kedua adalah melakukan kajian analisa mengenai liberalisasi ritel modern sebagai penyebab kemunduran bagi pasar tradisional dengan data yang relevan. Selanjutnya, akan diperoleh saran dan kesimpulan teoritis mengenai dampak liberalisasi ritel bagi keberlangsungan pasar tradisional. C. HASIL & PEMBAHASAN C.1. Konteks Nilai -Ekonomi Pasar Tradisional di Indonesia Sumitro Djojohadikusumo pernah berujar bahwa pasar tradisional merupakan sokoguru perekonomian nasional di Indonesia yang memberdayakan dan mensejahterakan rakyat secara keseluruhan (Djojohadikusumo, 1981 : 56). Esensi yang terkandung dalam transaksi ekonomi dalam pasar tradisional adalah “kerjasama” (cooperation) adalah pola terapan ekonomi yang terbaik untuk diterapkan di Indonesia. Dalam lalu lintas ekonomi yang terjadi pasar tradisional, semua aktor diberdayakan untuk menjadi bagian organ penting. Mulai dari berbagai macam profesi dilibatkan mulai dari buruh gendong, penjaja jasa pijat, tukang becak, jasa parkir, tengkulak, pedagang besar, maupun pedagang eceran. Artinya, dengan adanya pasar tradisional sendiri mampu memberikan lapangan perkerjaan bagi semua kalangan. Hal tersebut bisa dibuktikkan dengan temuan BPS tahun 2010 yang menyebutkan bahwa pasar tradisional memberikan pekerjaan bagi 30,6 juta orang Indonesia dibandingkan ritel modern yang hanya mempekerjakan 18,9 juta orang. Hal itulah yang kemudian menempatkan pasar tradisional sebagai peyumbang lapangan pekerjaan terbesar kedua di Indonesia setelah sektor pertanian yang mencapai 41,8 juta orang. Secara otomatis, pasar tradisional menggerakan berbagai potensi ekonomi kerakyatan agar memperoleh kue ekonomi yang merata bagi semua kalangan. Pasar tradisional yang kerap kali diidentikkan sebagai kekuatan ekonomi kerakyatan merupakan bentuk dwitunggal antara pasar tradisional dengan rakyat. Timbulnya pasar tradisional tidak lepas dari kebutuhan ekonomi masyarakat 225 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 setempat. Kelebihan produksi setelah kebutuhan sendiri terpenuhi memerlukan tempat pengaliran untuk dijual (Nastiti, 2003 : 23). Selain itu pemenuhan kebutuhan akan barang-barang, memerlukan tempat yang praktis untuk mendapatkan barang-barang baik dengan menukar atau membeli. Adanya kebutuhan-kebutuhan inilah yang mendorong munculnya tempat berdagang yang disebut pasar. Lahirnya pasar tradisional di Indonesia sendiri membawa dua modal utama yakni modal ekonomi dan modal sosial. Terkhususnya modal sosial yang terbangun dalam iklim perekonomian pasar tradisional adalah “kerjasama” (cooperation) dan “kepercayaan” (trust). Adanya dimensi “kerjasama” (cooperation) dalam konteks pasar tradisional di Indonesia sendiri mengajarkan bahwa kegiatan bertransaksi ekonomi tidaklah selalu memikirikan profitabilitas dan economic gains semata, namun juga membangun hubungan kekeluargaan dan persaudaraan terhadap sesama. Terkhususnya bagi orang Jawa, kegiatan ekonomi yang berorientasi hanya mengeruk untung dinilai hanya menciptakan konflik antar pedagang sehingga mengurangi tradisi guyub antar pedagang pasar tradisional. Oleh karena itulah, Akung (2011) menilai dalam transaksi ekonomi oleh para pedagang pasar tradisional di Jawa terbangun etika sosio-ekonomi yang bernama Tuna sathak bathi sanak’ (rugi laba dan materi, namun untung mendapat saudara). Petuah ini mengabarkan bahwa berdagang di pasar tradisional bukanlah sekadar profesi yang menghamba uang dan keuntungan semata. Demikian pula ‘Sesantisugih esem lan dhowo ususe’ (kaya senyum dan sabar), yang mengajarkan bahwa pembeli adalah raja. Adanya modal sosial dalam corak pasar tradisional inilah yang kemudian dibahasakan Clifford Geertz sebagai bentuk economic bazaar di Indonesia (Geertz, 1978 : 35). 226 Perdagangan di pasar tradisional memiliki ruh bernama persaudaraan, perlakuan itu memperlakukan konsumen/pembeli laiknya seorang saudara yang sedang berkunjung. Demikian pula harga barang, bisa sangat damai dan bersahabat bagi para pembeli. Adapun komoditas yang diperjualbelikan sendiri terdapat kejelasan informasi yang jelas. Intinya dalam konsep perdagangan di pasar tradisional sendiri urusan mencari profit seimbang dengan mencari kawan dan saudara. Maka konteks transaksi ekonomi di pasar tradisional sendiri tidak bisa disama-ratakan dengan prinsip ekonomi yang diperankan oleh mall dan swalayan ritel modern dengan perspektif dikotomis “keuntungan yang maksimal, kerugian yang minimal”. Bagi seorang pedagang pasar tradisional, uang bukanlah prioritas yang harus diutamakan dalam esensi berdagang. Lebih dari itu, pedagang pasar juga mencari kebutuhan sosial lainnya berupa penghargaan timbal-balik berlangsung dalam relasi ekonomi yang setara sehingga terbangun ikatan personal dan emosional. Demikian juga bagi kalangan konsumen pembeli, mereka tidak ingin diperlakukan sebagai objek pasif dalam kegiatan perdagangan. Pembeli juga diperlakukan secara aktif dalam transaksi penentuan harga sehingga tercapai “kepuasan yang seimbang” antara penjual dan pembeli. Pola perdagangan di pasar tradisional sendiri pada dasarnya hanya intermezzo saja, artinya memutar roda ekonominya sebatas kegiatan selingan untuk mengisi waktu (Nugroho, 2001 : 58). Oleh karena itulah, merupakan hal yang biasa bagi para pedagang yang biasa jualannya dengan cara diutangkan kepada tengkulak atau rentenir. Atau penjualnya terjerat utang oleh rentenir yang berkeliaran mencari mangsa di pasar itu. Para pedagang selalu dan sangat tergantung dalam hal penyediaan modal kepada “bank keliling”, yang konon bunga banknya lebih dari 20%. Cara berdagang seperti itu menjadi absurd dalam sistem ekonomi modern JESP V ol. 4, No. 2, 2012 yang lebih menghindari hutang dengan kredit bunga yang tinggi karena dikhawatirkan mengurangi modal faktor produksi. Namun demikian, hutang dengan bunga kredit tinggi tidaklah terlalu dikhawatirkan oleh para pedagang pasar tradisional akan merugikan dagangannya. Sebaliknya, tingkat bunga yang tinggi dalam bisnis peminjaman uang di pasar tradisional disebabkan karena bisnis ini hanya didasarkan pada kepercayaan terhadap nasabahnya. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa “bank keliling” tidak terlalu memkirkan barang-barang milik pedagang pasar untuk dijadikan jaminan atas uang yang dipinjamnya. Faktor lain adalah faktor resiko, yaitu ada kemungkinan bahwa peminjam tidak melunasi hutangnya Namun demikian terdapat kemudahan-kemudahan yang ditawarkan dari pelaku bisnis ini bagi para nasabahnya yaitu uang dapat tersedia dengan cepat, apabila transaksi yang dibutuhkan melebihi kapasitasnya, maka ia dapat mengalihkan bisnisnya kepada koleganya dan ia akan mendapatkan kompensasi atau uang jasa perantara. “Bank keliling” tidak pernah menanyakan untuk tujuan apa kredit yang diminta oleh nasabah, mereka juga tidak pernah untuk mencari informasi tentang peminjam. Ia menilai pedagang pasar sebaagi nasabahnya berdasarkan pengalaman pribadinya, dengan resiko bahwa ia ternyata memberikan penilaian yang salah. Angsuran pinjaan ini juga dapat disesuaikan dengan permintaan nasabahnya. Makanya sebagian orang berjualan seperti itu di pasar bukan sematamata mencari keuntungan Kepuasan yang seimbang tersebut merupakan pengejawantahan norma lokal yang berkembang di pasar tradisional ini misalnya adalah budaya “pekewuh”. Budaya “pekewuh”.ini merupakan nilai sosial yang terbentuk secara indigenous bukan sebagai hasil dari intervensi. Budaya ini mendorong pedagang untuk bersedia mengikuti kesepakatan bersama yangtelah dicapai, mencegah konflik yang terjadi agar tidak menjadi berkepanjangan, serta mendorong pedagang membayar retribusi sesuai dengan jadwalnya. Dalam kultur ekonomi masyarakat timur seperti halnya di Indonesia, berbelanja sambil bersosialisasi adalah lebih menjadi preferensi dari pada berbelanja secara individualis, maka berbelanja sambil tukar bicara adalah salah satu cara modus pemuas kebutuhan, atau sebagai salah satu bagian yang menyertai komoditi yang harus dipenuhi. Hal inilah yang kemudian membangun “kepercayaan” (trust) antara penjual dan pembeli. Geertz (1977) memandang adanya trust dalam kegiatan berdagang di pasar tradisional merupakan bentuk apresiasi terhadap sistem sosial yang dibangun berdasarkan relasi interaktif antara pembeli dan penjual. Hal itulah yang kemudian pasar tradisional menjadi uniksitas tersendiri dalam lingkup mainstream kajian ekonomi dan pembangunan dunia yang kini dikuasai agenda-agenda neoliberalisme yang mengarustamakan individualisme dan liberalisme dan modal ekonomi dalam perdagangan. Keberadaan pasar tradisional dalam perekonomian Indonesia adalah untuk mengurangi ketidaksetaraan informasi (asymmetric information), menekan biaya transaksi (transaction cost) yang terdapat dalam konteks perekonomian modern dengan meningkatkan kepercayaan (trust) dan kerjasama. Selain halnya menekankan dualitas modal ekonomi dan modal sosial pada pasar tradisional sebagai antitesis terhadap diskursi perekonomian global yang menekankan modal ekonomi (Leksono, 2009 : 121). Penelitian lain tentang pasar tradisional yang dilakukan oleh Jennifer Alexander (1987 : 24) dalam Trade, Traders, and Trading in Rural Java memahami eksistensi pasar tradisional dalam konteks perekonomian Indonesia dalam tiga pendekatan utama yakni (1) pasar sebagai sebuah aliran informasi yang terstruktur berdasarkan budaya; memuat cara-cara 227 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 yang digunakan oleh pedagang untuk menghidupi diri mereka (2) pendekatan aktivitas (dagang), pasar sebagai sistem tukar-menukar barang (3) pendekatan pelaku (pedagang), pasar sebagai sistem sosial yang melibatkan pelaku-pelaku yang dihubungkan oleh hubungan yang melembaga bersifat ekonomi dan sosial. Menariknya kekhasan yang dimiliki oleh pasar tradisional yang menggabungkan modal ekonomi maupun modal sosial secara seimbang berkulminasi pada pembentukan relasi perdagangan yang sirkuler. Adanya pola sirkuler dalam modus perdagangan pasar tradisional tersebut membedakan diri dengan pola pakem linearitas yang terdapat dalam lanskap perekonomian modern saat ini. Dimensi sirkuler juga menandai bahwa dalam bertransaksi ekonomi sendiri tidaklah selalu menunjukkan adanya hubungan yang hierarkis dimana kelas pemilik modal selalu berada di level atas sedangkan kelas buruh yang nontabene miskin modal berada di level bawah. Kapitalisme memang mengajarkan demikian adanya kontradiksi dalam perekonomian. Manusia merasa tidak dimanusiakan secara segi sosial dalam sistem kapitalisme tersebut karena senantiasa diharuskan bekerja untuk mencari profit dalam bekerja dan berproduksi menghasilkan adanya komoditas. Hal itulah, kapitalisme sendiri tidak sesuai diterapkan di Indonesia yang lebih menghindari adanya persaingan yang kompetitif dalam berusaha (Kartodirjo, 1988 : 45). Nuansa perekonomian Indonesia sendiri yang berlokus diri pada pembangunan “kerjasama” (cooperation) dan “kepercayaan” (trust) amatlah berbeda dengan “logika persaingan bebas “ (free fights liberalism) dengan perekonomian Barat. Hal itu pulalah yang membedakan pasar dari sudut pandang ekonomi Barat dan Indonesia. bagi Barat, pasar adalah merupakan sesuatu entitas ekonomi yang linearitas dalam mencapai angka pertumbuhan kumulatif sehingga pasar senantiasa dibiarkan secara bebas dan otonom dari kepentingan politis penguasa maupun kepentingan sosial kemasyarakatan. Sementara bagi pihak Indonesia khususnya Jawa, pasar merupakan arena ekonomi bebas yang terintegrasi dengan kepentingan penguasa pemerintahan dan masyarakat luas. Pasar juga diartikan sebagai entitas ekonomi yang membawa pada arus pemerataan perekonomian yang seimbang dan setara. Pasar tradisional di Indonesia pada dasarnya terbentuk atas lokalitas yang dibangun antara tatanan sosial maupun norma penguasa yang kemudian membentuk adanya jejaring ekonomi yang kuat baik jejaring yang bersifat bonding, bridging,dan linking sebagaimana yang tertera dalam gambar berikut (Gambar 1). Gambar 1 : Pola Sirkulasi Perdagangan dalam Pasar Tradisional Sumber : Kemen PU (2011 : 15) 228 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Terbentuknya jejaring dalam sirkulasi perdagangan di pasar tradisional mengindikasikan bahwa terbentuk tatanan sosial dan berbagai norma eksternal terimplementasi. Dari tatanan sosial ini kesepakan antar pihak akan terbentuk lebih mudah dan implikasinya adalah keberlanjutan perdagangan di pasar tradisional. Adapun norma eksternal yang dimaksudkan ialah adanya nilai filosofis seperti halnya “pasarku resik rejekiku apik” yang menekankan kepada untuk mendorong pedagang menjaga kenyamanan dan kebersihan pasar. Norma tersebut setidaknya sudah jamak dilakukan oleh semua pedagang pasar tradisional di seluruh Indonesia untuk menghapuskan stigma negatif tentang khalayak luas yang selama ini menyoroti pasar tradisional itu tempatnya becek, tidak karuan, dan tidak terawat. Norma yang kedua ialah “SEMAR” yang merupakan singkatan dari Senyum, Eling dengan Y ang Maha Kuasa, Manunggal diadakan paguyuban untuk persatuan, Arahan dari pengelola pasar, dan Ramah. Dari dua norma tersebut akan terbentuk kepercayaan antar pedagang maupun pedagang dengan pihak lain yang terkait. Tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap sesama pedagang terlihat pada saat seorang pedagang dapat melakukan jual beli dengan cara menjualkan komoditas dari pedagang lain dan pembayaran dilakukan saat komoditas telah terjual. Selain itu juga toleransi terhadap sesama pedagang sangat kuat. Pemandangan itulah yang menjadi uniksitas lainnya dalam perdagangan tradisional di Indonesia dimana terdapat spirit saling melindungi antar para pedagang. Hal tersebut kiranya cukup ganjil apabila dipertautkan dengan kondisi para pedagang dalam kehidupan perekonomian liberal yang saling sikutmenyikut dalam mencari laba yang sebesar-besarnya. Oleh karena itulah, trust maupun cooperation yang tinggi dalam ekonomi pasar tradisional menimbulkan berbagai idealisme menarik dalam perumusan mengenai desan kebijakan perekonomian Indonesia dalam era globalisasi sekarang ini. Setidaknya trust maupun cooperation tersebut perlu dijaga untuk merevitalisasi pasar tradisional sebagai kekuatan ekonomi terbesar Indonesia disamping industri manufaktur dan industri pertambangan dalam percaturan perekonomian global. Kita tentu bisa mengkomparasikan pasar tradisional sebagai penggerak kekuatan ekonomi mikro di Indonesia dengan cerita sukses mengenai kesuksesan berbagai lembaga mikro lainnya di penjuru dunia misalnya saja pengalaman Grameen Bank di Bangladesh, Credit Union di Eropa, gerakan LETS (Local Exchange Trading System) di Inggris dan Kanada, dan gerakan Zapatista di Meksiko maupun lembaga-lembaga keuangan mikro di Indonesia (dan masih banyak cerita sukses dari belahan dunia lainnya). Namun semua itu dinilai masih kurang mampu memprovokasi kesadaran negara akan keefektifan dari bangunan kekuatan lokal dengan membasiskan diri pada kekuataan pasar tradisional. Maka pada akhirnya, negara tidak berhasil menguatkan kekuatan ekonomi lokal untuk bersaing di pasaran global. Malahan negara kemudian iku-ikutan mulai mengakuisisi nilai-nilai modernitas untuk diterapkan kepada stuktur perekonomian Indonesia. Adanya transformasi besar-besaran pada akhir 1998 dengan meliberalisasikan semua sektor ekonomi termasuk ritel yang dijalankan oleh pasar tradisional. Hal inilah yang kemudian bertentangan dengan spirit ekonomi rakyat yang digagas oleh para founding fathers sebagai model pengembangan ekonomi di Indonesia. Mubyarto (2005 : 73) dalam A Development Manifesto mengartikan definisi ekonomi rakyat dalam kutipan berikut. “Ekonomi rakyat (people’ s economy) has indeed a long history in Indonesia and that the facts of its history should be recognized as playing a very important 229 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 role in the modern Indonesian economy. It makes a great deal of sense that the government should pay close attention to the role of ekonomi rakyat in further developing the Indonesian economy”. Sayangnya pendapat yang disampaikan oleh Mubyarto tersebut tentang penguatan ekonomi rakyat sebagai basis perekonomian modern kini kurang diapresiasi oleh para teknokrat ekonomi kita yang lebih mengarustamakan kapitalisasi di semua bidang ekonomi modern. Hal itulah, yang menjadikan ekonomi mikro seperti halnya pasar tradisional sendiri mengalami marjinalisasi ekonomi di negeri sendiri. Padahal esensi yang disampaikan konsepsi ekonomi rakyat dengan menyokong pasar tradisional sebagai model ekonomi modern Indonesia merupakan sesuatu entitas ekonomi yang berlanjut. Adapun kata tradisional pada pasar sendiri mengartikan diri sebagai “tradium” yang berarti berlanjut sejak masa lalu hingga masa sekarang ini. Dalam konteks tersebut, esensi tradisional bukanlah sesuatu yang harus kita singkirkan dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini. Malah justru itu menjadi ciri khas tersendiri basis dasar perekonomian mikro rakyat. Adanya liberalisasi perdagangan khususnya dalam bisnis ritel yang terjadi di Indonesia secara tidak langsung mendorong pasar tradisional sebagai unsur lokalitas ke dalam unsur globalitas ekonomi dunia. Hal itulah yang kemudian disebut sebagai bentuk konformitas ekonomi lokal di modern (Achidsti, 2011 : 110). Adapun pengertian konformitas ekonomi di sini bukan dimaksudkan diri sebagai bentuk penyesuaian diri kekuatan ekonomi lokal terhadap transformasi ekonomi yang berkembang dalam globalisasi. Namun justru, merupakan bentuk keterpaksaan diri untuk merangkul ekonomi global dalam tataran ekonomi nasional dan lokal. Dengan kata lain konformitas juga bisa dimaknai sebagai klausul terdesaknya pola-pola lama yang manual dengan tren perkembangan 230 teknologi dan komunikasi yang memaksa pola lama tersebut pudar demi alasan efektivitas dan efisiensi produksikonsumsi. Setting perekonomian Indonesia sejak era 1960-an memang menandai transisi dari perekonomian subsisten menuju perekonomian konsumtif. Robert Hefner (2006) melihatnya sebagai tumbuhnya kelas menengah dalam struktur kelas sosial kemasyarakatan. Kelas menengah ini hadir tidak terlepas dari banjir bonus pendapatan minyak yang diproduksi Permina pada pertengahan akhir 1960-an hingga menjelang 1980-an sehingga menciptakan adanya generasi richie noveau (orang kaya baru) di Indonesia. Generasi tersebut setidaknya menciptakan lanskap baru dalam perilaku konsumsi akan entitas ekonomi yang mendukung kebutuhan para kelas menengah tersebut. Oleh karena itulah, kemudian memunculkan adanya pertumbuhan ritel-modern dalam bentuk toserba (toko serba ada) maupun swalayan yang diperuntukkan bagi kelas menengah Indonesia tersebut. Maka dalam hal ini, pertumbuhan ritel modern erat kaitannya dengan pertumbuhan pendapatan perkapita penduduk maupun tingginya angka pertumbuhan ekonomi. C.2. Penetrasi Bisnis Ritel Asing di Indonesia Hadirnya ritel baik yang dijalankan oleh swasta asing maupun swasta nasional tidak terlepas dari konteks makro ekonomi Indonesia yang sedang mengalami pertumbuhan tinggi. Indonesia paska 1966 dianggap sebagai macan ekonomi baru yang sempat terpuruk. Fakta mencatat bahwa Indonesia mampu membalikkan angka inflasi 600 % berhasil dikendalikan 1,6 % pada tahun 1970-an dan menaikkan pendapatan perkapita hingga USD 1200 pada tahun yang sama. Kondisi tersebut menimbulkan gairah ekonomi yang besar bagi rakyat Indonesia dimana sebelumnya mengalami depresi ekonomi nasional. Maka dalam konteks inilah, transformasi dari ekonomi tradisional yang JESP V ol. 4, No. 2, 2012 keynesianistik menuju ekonomi modern berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Ritel modern merupakan indikator utama peralihan ekonomi tersebut. Ritel modern pertama yang dibangun di Indonesia ditandai dengan Toserba (Toko Serba Ada) Sarinah di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat pada pertengahan 1965-an. Sarinah merupakan department store pertama di Indonesia yang dibangun oleh pemerintah dimana dana pembangunannya diambil dana rampasan hasil perang dengan Jepang yang mencapai USD 11 juta. Selang satu dekade berikutnya, Hero muncul sebagai ambisi swasta nasional untuk mendirikan pionir pasar swalayan di Indonesia. Hal tersebut berlanjut pada rentang 1980-1990-an yang ditandai dengan munculnya Circle K sebagai aktor asing pertama yang masuk dalam bisnis ritel nasional pada tahun 1987 dan “Seven Eleven” sebagai yang kedua dalam bentuk convenience store. Konteks tahun 1990-an merupakan tonggak berdirinya berbagai macam ritel asing yang beriperasi di Indonesia seperti halnya Marks & Spencer, Y aohan, Makro, Carrefour, maupun JC. Pencey. Natawidjaja (2005) dalam ”Modern Market Growth and The Changing Map of The Retail Food Sector in Indonesia”menyebutkan peningkatan jumlah supermarket diawal tahun 1983, pada saat itu mayoritas terdapat di Jakarta, terjadi seiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Pola sebaran pasar modern masih terkonsentrasi di wilayah tertentu khususnya di kota-kota besar seperti Jabodetabek dan berbagai wilayah di pulau Jawa. Jika melihat pada pola pertumbuhan pasar modern, minimarket menjadi ritel modern yang melakukan ekspansi usaha terbesar, dimana sebagian besar minimarket berada di kawasan pemukiman. Minimarket mendapatkan tempat tersendiri di hati masyarakat karena kemudahan dalam berbelanja dan harga yang relatif lebih murah jika dibandingkan dengan pasar tradisional. Adapun masuknya berbagai macam ritel asing tersebut mulanya hanya memenuhi berbagai kebutuhan konsumtif segmen penduduk kelas menengah ke atas di daerah perkotaan. Maka bisa dikatakan, ritel modern ini hanya mengincar segmen kelas premium. Hal itu tampaknya belum menjadi ancaman yang berarti bagi eksistensi pasar tradisional yang pada umumnya hanya mencari segmen penduduk kelas menegah ke bawah. Posisi pasar tradisional relatif aman sampai pertengahan 1997-an dimana gelombang inflasi mulai menghantui dengan menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang menyentuh angka Rp 17.000,00 per 1 USD mengakibatkan masyarakat kembali berkiblat kepada pasar tradisional untuk memenuhi kebutuhan konsumsi seharihari. Kendati demikian, kondisi keberpihakan kembali kepada pasar tradisional tersebut tidak berlangsung begitu lama mengingat terjadinya krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 merupakan era keemasan dari ritel modern untuk berkembang di Indonesia. Hal itu dikarenakan salah satu poin pasal letter of intent yang ditandatangani oleh pihak IMF dan pemerintah Indonesia mensyaratkan adanya deregulasi negara dari arena ekonomi dan pemberian kebijakan ekonomi yang terbuka bagi pihak asing yang secara merta mengikutsertakan ritel merupakan bidang yang terbuka bagi swasta. C.3.Setting Regulasi Bisnis Ritel Nasional Sebelum membahas mengenai regulasi perniagaan mengenai ritel, terlebih dahulu kita harus mengetahui pendefinisian mengenai arti ritel. Ritel dalam Black’ s Laws Dictionary diartikan sebagai “to sell by small quantities in broken lots or parcels not in bulks to sell direct to consumers”. Artinya, ritel merupakan bentuk tindakan ekonomis dengan menjual komoditas eceran secara langsung kepada konsumen di lapangan. Dari definisi 231 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 tersebut saja, terdapat semangat penyeragaman bahwa menjual secara eceran disebut ritel tanpa kecuali. Hal itulah yang kemudian turut pula menghantarkan pasar tradisional sebagai bagian dari klasifikasi dari ritel. Pada Keputusan Presiden (Kepres) No. 118/2000 dan peraturan sejenis lainnya di tingkat nasional mengenai sektor ekonomi terbuka memang mengamanatkan pasar tradisional sebagai bagian dari industri ritel yang diharuskan bersaing dengan sektor swasta asing maupun swasta nasional dalam bentuk department store, supermarket, convenience store, maupun hypermarket. Tabel 1 : Kerangka Regulasi Bisnis Ritel di Tingkat Nasional dan Lokal / Daerah Tingkat Regulas Regulasi i Nasion Keputusan Presiden (Kepres) No. 118/2000 tentang al Perubahan dari Keputusan Presiden No. 96/2000 mengenai Sektor Usaha yang Terbuka dan Tertutup dengan Beberapa Syarat untuk Investasi Asing Langsung. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.107/MPP/Kep/2/1998 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pasar Modern. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.420/MPP/Kep/10/1997 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan Menteri Dalam Negeri No.57 dan 145/MPP/Kep/1997 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan. Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.12/MDAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba. Rancangan Peraturan Presiden tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Modern dan Toko Modern. Perda Provinsi No. 2/2002 tentang Pasar Swasta diDKI Jakarta; Keputusan Gubernur No. 44/2003 mengenai Petunjuk Pelaksanaan Pasar Swasta di Jakarta. Perda No. 23/2003 tentang Pengelolaan Pasar di Kota Depok; Keputusan Perda Kota Depok No. 49/2001 tentang Izin Gangguan. Perda No.5/2011 tentang pembatasan jumlah ritel modern di Kota Solo. Sumber : Suryadarma et al (2008 : 31) Lokal Regulasi mengenai pengaturan bisnis ritel di Indonesia tersebut menemui berbagai perdebatan baik di level 232 konstitutif maupun level administratif khususnya apabila kita cermati dua regulasi ritel paling atas di level nasional JESP V ol. 4, No. 2, 2012 yakni Keputusan Presiden maupun SK Menteri Perdagangan yang dinilai masih lemah secara hukum. regulasi pada tingkat nasional terkait perdagangan (Perpres No 112/2007 dan Permendag No 53/2008) tidak memiliki kecukupan material dan substansial dalam memberi arah dan model perlindungan dan pengembangan sistem nilai, modal sosial, dan pelaku pasar tradisional. Semangatnya justru lebih mengarah pada persaingan bebas (free fight liberalism). Isi kedua regulasi tersebut lebih mengakomodasi ketelanjuran tatanan perdagangan saat ini di mana telah terjadi dominasi peritel besar daripada memenuhi semangat dan imperasi konstitusional yang terdapat dalam PasalPasal Sosial-Ekonomi Undang-Undang Dasar 1945. Tabel 2 : Jenis Usaha Ritel yang berkembang di Indonesia sesuai regulasi Keppres dan SK Mendag Usaha Ritel Batasan Fisik Komoditas yang Tersedia Minimarket / Mempekerjakan 2-6 Makanan Kemasan Barang higienis Pokok orang “Convenience Luas lantai usaha Antara 2000-3000 item Store” produk 200m2 Supermarket Luas kantai usaha Makanan 350-8000 m3 Barang-barang rumah tangga Tiga mesin hitung Antara 10.000-18.000 item produk (70 % barang ritel dan 30 % fresh product) Hipermarket Berdiri Sendiri Makanan Luasnya diatas 8000 Barang Rumah Tangga m3 Elektronik Mesin hitung untuk Busana / Pakaian setiap 1000 m3 Antara 19.000-40.000 item produk (70 % barang ritel dan 30 % fresh product) Toko dengan Luasnya lebih dari Makanan sistem 500 m3 Barang Rumah Tangga pembayaran cash Konsumen menjadi and carry anggota (membership) Toko kecil Milik Keluarga Makanan tertentu dengan layanan Luasnya Kurang dari Barang Rumah Tangga penuh 200 m3 tertentu Pasar Tradisional Banyak Pedagang Bahan-bahan segar Lapak Kecil dengan Barang-barang produksi ukuran 2-10 m3 rumah Barang-barang pokok rumah tangga Sumber : Collett, Paul and Tyler Wallace (2006 : 12) Oleh karena itulah,menimbang lemahnya penerapan regulasi tersebut. Maka pemerintah saat ini tengah merumuskan rancangan peraturan presiden mengenai pasar modern (Rancangan Peraturan Presiden tentang Toko Modern 233 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 dan Pasar Modern). Namun demikian, rancangan tersebut tidak memuat sanksi pidana bagi pasar modern bila terjadi pelanggaran terhadap peraturan tersebut karena pemberlakuan sanksi dalam peraturan presiden dianggap melanggar perundang-undangan nasional. Dengan demikian, kedudukan peraturan presiden tidak akan jauh berbeda dengan SK menteri. Terlebih lagi, beberapa pasalnya tidak mudah untuk diimplementasikan. Salah satu contohnya adalah pasal 3, paragraf 4 yang menyebutkan bahwa hanya terdapat satu pasar modern dan/atau dua toko modern yang diizinkan untuk setiap satu juta orang. Realitanya yang terjadi di masyarakat justru ritel modern kini tidak lagi menghitung satuan kuantitas untuk mendirikan sebuah pusat perbelanjaan. Namun lebih didasari, pada aspek pertumbuhan ekonomi tengah berkembang. Hal itulah yang kemudian mengakibatkan keberadaan jumlah ritel modern menjadi tidak terkendali sehingga menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat antara sesama ritel maupun dengan pasar tradisional. Oleh karena itulah, pola persaingan tersebut pada akhirnya menciptakan konflik vertikal dengan pasar tradisional maupun konflik horizontal dengan sesama ritel modern. Diantara dua konflik tersebut, yang paling kentara unsur konformitasnya ialah konflik vertikal antara pasar tradisional dengan pasar modern yang secara jelas menggambarkan dua kutub ekonomi yang berbeda. Hal itulah yang kemudian membuat dalam bisnis ritel di Indonesia sendiri menghasilkan pemenang dan pecundang karena kalah dalam urusan modal. Pasar tradisional selama ini semenjak hadirnya ritel modern tersebut selalu saja ditempatkan pada posisi yang kalah sehingga mengakibatkan posisinya kian terjepit oleh keterbukaan pasar sekarang ini. Pemerintah sebenarnya berupaya mengakomodasi tentang perlindungan pasar tradisional dengan mengeluarkan 234 kebijakan ekonomi afirmatif. Setelah tertunda 2,5 tahun, Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, serta Toko Modern (biasa disebut Perpres Pasar Modern), akhirnya ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Y udhoyono pada 27 Desember 2007 lalu. Enam pokok masalah diatur dalam Perpres yaitu definisi, zonasi, kemitraan, perizinan, syarat perdagangan (trading term), kelembagaan pengawas, dan sanksi. Soal zonasi atau tata letak pasar tradisional dan pasar modern (hypermart), menurut Perpres, disusun oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Ini membuat pemerintah pusat terkesan ingin “cuci tangan”, mengingat tata letak justru merupakan persoalan krusial sebab tak pernah konsisten dipatuhi, yang lalu membenturkan keduanya. Konteks “cuci tangan” tersebut memang sangat rasional terlebih kini otonomi daerah diamanatkan terjadi di level kabupaten dan kota sebagaimana dalam UU No. 32 tahun 2004. Artinya pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh dalam mengatur penataan izin usaha ritel modern maupun pengaturan pasar tradisional Pengalihan kewenangan mengeluarkan Izin Usaha Pasar Modern (IUPM) ke Pemerintah Daerah, memungkinkan pasar tradisional selalu dikorbankan dengan berbagai alasan. Indikasinya, sebagian besar pasar modern tidak memiliki IUPM dari pemerintah pusat. Untuk masalah zonasi, Pemda diberi waktu tiga tahun untuk menyusun rencana umum tata ruang wilayah (RUTRW) yang mengacu kepada Undang-Undang Tata Ruang. Dalam berbagai model pengaturan ritel modern maupun pasar tradisional yang terjadi memang terdapat beragam kasus yang tidak selalu menempatkan pasar tradisional selalu berada di pihak yang kalah. Kasus perlindungan pasar tradisional di Kabupaten Bantul dan Kota Surakarta merupakan dua contoh wilayah yang secara nyata tegas membatasi JESP V ol. 4, No. 2, 2012 hadirnya ritel modern di wilayah mereka. Adapun dalam kasus di Kota Surakarta, Pemerintah kota sendiri memiliki regulasi tersendiri salah satunya melalui Perda No.5/2011 tentang pembatasan jumlah ritel modern dalam kota. Dalam regulasi daerah tersebut, pemerintah kota mengatur pendirian ritel modern sejauh 500-1000 meter dari pasar tradisional. Pemerintah menyadari bahwa pasar tradisional akan terjepit bilamana izin usaha ritel diberikan secara berkesinambungan. Pasar tradisional haruslah menjadi penyetor kebutuhan konsumsi sehari-hari bagi masyarakat Surakarta. Adanya regulasi tersebut, jumlah keberadaan ritel modern di Kota Surakarta hampir sebanding dengan jumlah pasar tradisionalnya dengan prosentase 43:40 dengan catatan ritel modern berada di wilayah pinggiran yang utamanya menjadi pemasok komoditas kaum komunter maupun perumahan kelas menengah atas yang umumnya bermukim di wilayah barat dan timur batas Kota Surakarta. Dalam kasus yang terjadi di Kabupaten Bantul, pemerintah setempat mengeluarkan kebijakan ekonomi kerakyatan dalam Peraturan Bupati No.112 Tahun 2007 mengenai pembatasan jarak antara pasar tradisional dengan ritel modern. Adanya jarak tersebut menegaskan pemerintah sendiri menginginkan supaya pasar tradisional sendiri tetaplah terlindungi dari serbuan ritel modern. Adapun jarak yang dimaksudkan meliputi Jarak Toko Modern dengan pasar tradisional minimal 1.500 meter, Jarak dengan toko modern lainnya 1.000 meter, Jarak dengan pasar tradisional minimal 2.500 meter. Jarak ritel modern jejaring nasional yang aturannya lebih ketat karena membayangkan dampak yang lebih besar dibanding ritel modern lokal. Ritel modern jejaring nasional juga semakin diperketat lewat pembatasan wilayah pendirian yang hanya boleh di 3 Kecamatan (Banguntapan, Kasihan dan Sewon). Kondisi ini disebabkan ketiga kecamatan itulah yang memiliki karakter perkotaan karena berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta. Dua model kebijakan ekonomi yang terjadi di kedua wilayah tersebut merupakan cerminan bagaimana pemerintah seharusnya bertindak dalam keterbukaan ekonomi sekarang ini dengan lebih menekankan pada kekuatan lokal. Namun apa yang terjadi di kedua wilayah tersebut merupakan contoh kecil “keberhasilan” pasar tradisional atas ritel modern. Kondisi tersebut kontras apabila dikondisikan dengan situasional ekonomi yang kini dan telah berlangsung dimana pasar tradisional kian termarjinalkan oleh ritel dalam lingkup skala nasional. C.4 Konformitas Pasar Tradisional versus Ritel Modern Ssebenarnya akar permasalahan ketimpangan bisnis ritel antara pasar tradisional dan ritel modern adalah kekuatan pasar dan permodalan di mana ritel asing sangat kuat dan tinggi dan juga strategi memenangkan psikologi konsumen yakni melalui cara mempermainkan harga komoditas konsumsi sehari-hari. Dua faktor tersebut merupakan isu krusial yang menempatkan pasar tradisional harus berada di bawah hierarki ekonomi ritel modern dengan segala keterbatasannya. Oleh karena itu, marilah kita mencoba menganalisa dua faktor utama sumber ketimpangan tersebut. Pertama, kekuatan pasar dan permodalan. Tidak dapat dipungkiri bahwa urusan modal merupakan hal paling mendasar untuk menganalisa ketimpangan pasar tradisional dan ritel modern. Pasar tradisional yang umumnya bermodal kecil dengan interval kapital antara Rp 500.000 – Rp 20.000.000 per pedagang tersebut sangatlah jauh dibandingkan dengan ritel modern yang umumnya mencapai kapitalisasi mencapai < Rp 1.000.000.000. Adanya perbedaan kapitalisasi dalam faktor produksi inilah yang kemudian ada relasi paradoks dalam realita bisnis ritel di Indonesia dalam melakukan ekspansi bisnis. Menurut survei AC Nielsen (2006), 235 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 jumlah pusat perdagangan, baik hypermarket, pusat kulakan, supermarket, minimarket, convenience store, maupun toko tradisional meningkat hampir 7,4% selama periode 2003-2005. Dari total 1.752.437 gerai pada tahun 2003 menjadi 1.881.492 gerai di tahun 2005. Perkembangan yang sangat tinggi ini menunjukkan bahwa pasar Indonesia memiliki potensi yang sangat menjanjikan bagi usaha ritel. Saat ini kota-kota besar seperti Surabaya, Bandung, Medan, Makasar, dan Semarang menjadi basis perkembangan supermarket. Surabaya menjadi basis perkembangan supermarket dengan persentase hampir 11,6% dari total supermarket di Indonesia. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Terry Roe (2005) yang berjudul ”The Rapid Expansion of Modern Retail”mengungkapkan ekspansi supermaket dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, tingkat urbanisasi, infrastruktur, dan kebijakan yang mengijinkan ekspansi supermarket di negara berkembang. Agresifitas supermarket dalam melakukan ekspansi usahanya dikhawatirkan akan memberikan efek buruk bagi kesejahteraan petani tradisional dan pedagang tradisional. Roe menyebut ekspansi ritel tersebut sebagai bentuk capital deepening dimasa transisi pertumbuhan ekonomi, dapat mendorong ekspansi supermarket tanpa mempermasalahkan skala ekonomi atau persaingan tidak sempurna, serta bagaimana ekspansi dapat terjadi walaupun kontribusi total pengeluaran rumah tangga 236 untuk pangan sedang menurun. Ancaman pasar modern terhadap pasar tradisional di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Data lain yang diperoleh dari Euromonitor (2004) hypermarket merupakan peritel dengan tingkat pertumbuhan paling tinggi (25%), koperasi (14.2%), minimarket / convenience stores (12.5%), independent grocers (8.5%), dan su-permarket (3.5%). Selain mengalami pertumbuhan dari sisi jumlah dan angka penjualan, peritel modern mengalami pertumbuhan pangsa pasar sebesar 2.4% pertahun terhadap pasar tradisional. Berdasarkan survey AC Nielsen (2006) menunjukkan bahwa pangsa pasar dari pasar modern meningkat sebesar 11.8% selama lima tahun terakhir. tiga tahun terakhir. Jika pangsa pasar dari pasar modern pada tahun 2001 adalah 24.8% maka pangsa pasar tersebut menjadi 32.4% tahun 2005. Hal ini berarti bahwa dalam periode 2001 – 2006, sebanyak 11.8% konsumen ritel Indonesia telah meninggalkan pasar tradisional dan beralih ke pasar modern. Keberadaan pasar modern di Indonesia akan berkembang dari tahun ke tahun. Perkembangan yang pesat ini bisa jadi akan terus menekan keberadaan pasar tradisional pada titik terendah dalam 20 tahun mendatang. Pasar modern yang notabene dimiliki oleh peritel asing dan konglomerat lokal akan menggantikan peran pasar tradisional yang mayoritas dimiliki oleh masyarakat kecil dan sebelumnya menguasai bisnis ritel di Indonesia. JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Gambar 2 : Diagram Batang Fluktuasi Pertumbuhan Pasar Tradisional dan Ritel Modern (dalam %) 70 60 50 40 Pasar Tradisional 30 Ritel Modern 20 10 0 2000 2002 2004 2006 2008 2010 Sumber : Laporan Perekonomian Indonesia 2011 Pertumbuhan tersebut berkorelasi dengan naiknya omzet para ritel modern tersebut. Pada tingkat nasional, saat ini 28 ritel modern utama menguasai 31% pangsa pasar ritel dengan total omset sekitar Rp. 70,5 trilyun. Ini artinya bahwa satu perusahaan rata-rata menikmati Rp. 2,5 Trilyun omset ritel/tahun atau Rp. 208,3 milyar/bulan. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Pandin (2011 : 28) menyebutkan omset ritel modern tersebut terkonsentrasi pada 10 ritel inti, yakni minimarket Indomaret dan Alfamart (83,8%), supermarket Hero, Carrefour, Superindo, Foodmart, Yogya, dan Ramayana (75%), dan hypermarket Carrefour (48,7%), Hypermart (22%), Giant (17,7%), Makro (9,5%), dan Indogrosir (1,9%). Adapun kondisi pasar tradisional ibarat mati segan hidup pun tak mau. Hal ini diakibatkan penetrasi ritel modern mulai merambah ke masyarakat menengah ke bawah yang notabene merupakan segmentasinya pasar tradisional. Kenyamanan berbelanja yang ditawarkan ritel modern membuat konsumen lebih memilih untuk berbelanja di ritel modern. Ritel tradisional dari waktu ke waktu tidak menunjukkan pertumbuhan yang positif, bahkan ditemukan bahwa pertumbuhan ritel tradisional terus menurun dengan persentase 8% per tahun. Adanya fakta bahwa pasar tradisional semakin menurun tersebut bisa dibuktikan dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh Rasidin (2011) bahwa pada sektor Industri Pengolahan untuk kategori Usaha Kecil dan Menengah 18,42% dan 9,09% yang terdapat di pasar menyatakan berdampak pada penurunan omzet penjualan. Pernyataan kehadiran pasar modern memiliki dampak pada penurunan omzet penjualan, lebih banyak terjadi pada sektor perdagangan baik pada Usaha Mikro, Kecil maupun Menengah dengan frekuensi 36,36%, 40% dan 41,67%. Bahkan survey penelitian independen yang dilakukan oleh tim penelitian independen Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM melihat ada penurunan omzet sejauh 50 % lebih dalam kasus yang terjadi pasar-pasar tradisional di Indonesia semenjak regulasi ritel diberlakukan pada tahun 2000. Lebih jelasnya lihat tabel berikut ini. 237 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Tabel 3 : Penurunan Omzet pedagang pasar tradisional 2007-2011 (dalam %) Omzet pedagang per minggu 4 tahun terakhir Kurang Rp 1 juta/minggu 18 % 9,1 % Rp 1 juta- Rp 2 juta 16 % 9,1% Rp 2 juta- Rp 5 juta 23 % 14,6% Rp 5 juta- Rp 10 juta 6% 11% Rp 10 juta- Rp 20 juta 14 % 20,4 % Di atas Rp 20 juta 4% 5,6% Sumber : Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM 2011 Adanya penurunan frekuensi yang begitu masif yang terjadi dalam penurunan omzet para pedagang di pasar tradisional tersebut merupakan bentuk dari multiplier effect (Hartati, 2006 : 23). Mengutip data Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) tahun 2006 mencapai 24.000 pasar, dimana di dalamnya terdapat 12,60 juta pedagang pasar yang tersebar baik dalam skala besar maupun skala kecil. Oleh karena itulah, jikalau penetrasi ritel modern kian menggerus eksistensi pasar tradisional. Taruhannya ialah 12,6 juta pedagang pasar, yang memiliki keterkaitan erat dengan para pemasok kecil yang sebagian besar merupakan petani atau pengrajin kecil, saat ini terancam keberadaannya. Tenggelamnya pasar tradisional pun akan menyebabkan pemerataan distribusi pendapatan akan semakin sulit dicapai karena tren perbelanjaan yang cenderung hanya mengarah ke pasar modern akan menyebabkan kemakmuran hanya akan memusat dikalangan para pemodal besar yang mendominasi industri pasar modern. Hal itulah yang kemudian dikatakan multiplier effect. Efek tersebut setidaknya bisa terlihat dari jaringan distribusi komoditas pasar tradisional yang harus diperhatikan karena hilangnya model distribusi tradisional memiliki arti hilangnya sejumlah lapangan pekerjaan bagi orang yang selama ini mengandalkan hidupnya dari usaha mendistribusikan barang sebagai bagian dari rantai distribusi. Konteks ketergantungan para petani, peternak, nelayan, peladang, maupun sektor agrikultur terhadap keberadaan pasar tradisional memang 238 sangatlah besar sebagai tempat penjualan hasil produksi agrikultural mereka. Sebagai contoh, petani memasok 42,6 % komoditas pasar tradisional meliputi sayuran segar, umbi-umbian, maupun kacang-kacangan, peternak memasok 10,8 – 15 % komoditas telur, daging, maupun produk olahan nabati lainnya, nelayan memasok ikan maupun produk bahari lainnya mencapai 7,4 % - 10 %, dan pengecer minyak 3,5 – 7 %. Tentu saja dengan memperhatikan jumlah yang tidak sedikit dalam besaran pasar ritel, maka nilai-nilai dari peran distributor ini juga sangatlah besar. Akan menjadi sebuah kehilangan ekonomi bagi bangsa ini, di tengah tuntutan efisiensi karena peran distributor menjadi hanya tinggal distributor besar. Pola tersebut tentunya sangatlah berbeda dengan kondisi peta distribusi yang terjadi di pasar tradisional dimana pola distribusi dilakukan secara tersentralisasi (Gambar 3) dibandingkan dengan pasar tradisional yang multi distributor. Adanya sentralisasi dalam penjualan komoditas yang dilakukan oleh ritel modern yang berasal dari pabrik tersebut tentu hanya akan menguntungkan distributor besar semata. Harus diakui bahwa model sentralisasi tersebut dipandang lebih efisien dan efektif dalam menjual produknya langsung kepada masyarakat. Namun demikian, sentralisasi tersebut juga bisa dimaknai sebagai bentuk strategi pemenangan harga. Ritel memang dapat berkuasa untuk menentukan harga jauh lebih murah dari harga pasaran untuk meraup konsumen sehingga labanya lebih banyak. Hal itu tentu berbeda dengan para JESP V ol. 4, No. 2, 2012 pedagang pasar tradisional yang tentu masih menganut harga yang ditentukan oleh pada distributor sehingga kecil kemungkinan para pedagang pasar memainkan harga pasar. Maka dalam taraf inilah, strategi penguasaan psikologi konsumen diberlakukan oleh ritel modern dalam menguasai pasaran konsumen. Kedua, strategi memenangkan psikologi konsumen. Tumbuhnya kelas menengah gelombang kedua di Indonesia paska krisis 1998 berkat adanya pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 6 % pada satu dekade terakhir secara langsung merubah pola perilaku konsumen di Indoensia. Saat ini persepsi masyarakat terhadap belanja telah mengalami perubahan. Sebelumnya peran berbelanja dilihat dari sudut pandang fungsionalitasnya. Namun saat ini belanja telah memberikan peran emosional. Berbelanja telah dianggap sebagai salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh fungsi rekreasi dan memperoleh privilege diri sebagai kelas tersendiri dalam struktur sosial kemasyarakatan. Artinya bahwa, berbelanja di tempat tertentu akan menentukan preferensi penilaian publik atas pribadi tersebut. Fenomena peralihan pola berbelanja dari fungsionalitas menuju arah tersebut merupakan bentuk dari perilaku impulse buying sebagai kecenderungan konsumen untuk membeli secara spontan, sesuai dengan suasana hati. Dengan kata lain, Impulse buying adalah bagian dari sebuah kondisi yang dinamakan “unplanned purchase” atau pembelian yang tidak direncanakan yang kurang lebih adalah pembelanjaan yang terjadi ternyata berbeda dengan perencanaan pembelanjaan seorang konsumen (Rock, 2003 : 59). Hal itulah yang kemudian menciptakan premis perilaku konsumen di Indonesia bahwa “people often buy product not for what they do, but for what they mean”. Artinya, konsumen membeli sebuah produk bukan semata-mata karena mengejar manfaat fungsionalnya, namun lebih dari itu juga mencari makna tertentu (seperti citra diri, gengsi, bahkan kepribadian). Kondisi situasional inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para pelaku ritel modern untuk memakai beragam cara meraup laba dengan mengaplikasikan berbagai strategi bisnis. Mereka melakukan berbagai strategi harga seperti strategi limit harga, strategi pemangsaan lewat pemangkasan harga (predatory pricing), dan diskriminasi harga antarwaktu (inter-temporal price discrimination). Misalnya memberikan diskon harga pada akhir minggu dan pada waktu tertentu. Sedangkan strategi nonharga antara lain dalam bentuk iklan, membuka gerai lebih lama, khususnya pada akhir minggu, bundling/tying (pembelian secara gabungan), dan parkir gratis. Hal itulah yang kemudian menjadikan para konsumen di Indonesia beralih berbelanja di ritel modern daripada di pasar tradisional. Adanya tampilan menarik kemasan komoditas yang menarik disertai kondisi yang nyaman membuat betah berlama-lama untuk berbelanja, apalagi dengan harga murah yang tentunya akan semakin meningkatkan nafsu komsumtif untuk berbelanja secara grosiran, bukan lagi dalam skala eceran. Adanya realita tersebut justru semakin menenggelamkan pasar tradisional sebagai entitas ekonomi yang mana secara gradual kehilangan konsumennya. Selama ini, pasar tradisional bisa hidup karena ada loyalitas para konsumennya yang 43,4 % merupakan ibu rumah tangga, 40 % nya adalah warung dan toko kecil, dan 17 % nya adalah sektor informal. Namun kini hampir 67,2 %nya konsumen pasar tradisional kini beralih menuju ritel modern yang dianggap lebih representatif dalam berbelanja. Meskipun hadirnya ritel modern dianggap sebagai menurunnya jumlah konsumen ke pasar tradisional. Ternyata terdapat berbagai faktor potensial lainnya yang turut mempengaruhi kondisi dilematis tersebut. Riset Majalah SWA pada tahun 2010 239 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 menyebutkan 7 faktor lainnya yang berandil besar sebagai penyebab kelesuan usaha di pasar tradisional antara lain 1) meningkatnya persaingan usaha dengan sesama pedagang pasar tradisional lainnya 2) meningkatnya persaingan usaha dengan supermarket 3) harga lebih tinggi 4) harga dari para pemasok lebih tinggi 5) kondisi pasar kian memburuk 6) semakin sulit mendapatkan ketersediaan barang 6) meningkatnya harga sewa kios 7) kredit usaha dari bank kian menipis. Kompleksitas yang dialami oleh pasar tradisional sekarang ini merupakan bentuk ketidakberpihakan kepada ekonomi lokal berbasis pasar tradisional. Maka pada akhirnya kue ekonomi Indonesia yang harusnya juga ikut dinikmati oleh rakyat kecil justru semakin dilahap kekuatan pemodal besar. Maka tepatlah pula, pesan futuristik yang disampaikan Jayabaya tentang “Y en Pasar Ilang Kumandhange” bahwa pasar di masa depan akan kehilangan gaung keramaian. Jangankan gaung ramai, pasar tradisional kini mulai surut dan menyepikan diri karena kalah bersaing dengan ritel modern. Pada akhirnya, rakyat pun menjadi korban marjinalisasi pasar tradisional karena mata pencahariannya dan pendapatannya juga menurun seiring dengan kondisi sepi di pasar tradisional. Oleh karena itulah, pasar tradisional butuh ruang afirmasi ekonomi di tengah menggejalanya liberalisasi ritel modern di Indonesia sebagai bentuk globalisasi ekonomi dewasa kini dalam berbagai produk kebijakan. Adapun kebijakan Perpres. No 112 Tahun 2007 maupun Permendag No. 53 Tahun 2008 yang mengatur ritel tradisional dan ritel modern dirasa masih belum cukup untuk melindungi pasar tradisional dari serbuan ritel. Dibutuhkan regulasi yang lebih tegas dan mengafirmasi pasar tradisional sebagai bentuk arena demokrasi ekonomi bagi rakyat Indonesia. 240 D. KESIMPULAN Modernisasi dalam bidang ekonomi memang menuntut adanya kapitalisasi yang besar dalam memenangkan persaingan bisnis yang begitu sengit dalam globalisasi sekarang ini. Hadirnya ritel modern sebagai entitas baru dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia merupakan contoh nyata dari adanya penetrasi aktor global ke dalam perekonomian lokal. Adanya persentuhan global dengan lokal dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi menimbulkan adanya pemenang maupun pecundang. Dalam hal ini, ritel selalu berada di atas pasar tradisional dalam peta persaingan bisnis ritel sekarang ini karena terdapat ketimpangan kapitalisasi yang begitu mencolok terjadi di sana. Akibatnya, pasar tradisional tergerus oleh dinamika perekonomian zaman. Matinya pasar tradisional dalam kancah perekonomian nasional merupakan indikasi berlakunya individualisme dalam bertransaksi ekonomi. Akibatnya kegiatan ekonomi diibaratkan sebagai kegiatan yang semu dan pasif karena hilangnya ruh modal sosial yang ada di dalamnya. Pasar tradisional tetap harus berdiri sebagai bentuk uniksitas kekuatan ekonomi lokal di Indonesia melalui regulasi yang afirmatif. Sehingga pasar tradisional dengan segala keriuhan transaksi ekonominya akan terus hidup dalam mengawal peradaban perekonomian bangsa. JESP V ol. 4, No. 2, 2012 DAFTAR PUSTAKA Achidsti, Sayfa. 2011. Tinjauan Historis: Konformitas Pasar Tradisional versus Konsep Global Pembangunan Dunia. JURNAL EKONOMI DAN PEMBANGUNAN INDONESIA. Th. 11, No. 2, hlm.110-139. Akung, A.M. 24 November, 2011. Menjaga Pasar Tradisional. Seputar Indonesia, hlm.4. Alexander, Jennifer. 1987.Trade, Traders, and Trading in Rural Java. Oxford : Oxford University Press. Aprindo. 2011. Survey Omzet Peningkatan Ritel Modern. Jakarta : Apindo BPS. 2011. Indonesia Dalam Angka. Jakarta : BPS Press. Collett, P . dan Wallace, T. 2006. Background Report: Impact of Supermarkets on Traditional Markets and Small Retailers in the Urban Centers. Mimeograf tidak diterbitkan Djojohadikusumo, Sumitro. 1981. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta : Y ayasan Obor Indonesia. Geertz, Clifford. 1977. Penjaja dan Raja. Jakarta : Gramedia. _____________.1978. The Bazaar Economy: Information and Searching Peasant Marketing. AMERICAN ECONOMIC REVIEW. Th. 68, hlm. 28-32. Hartati, W. 2006. Pergeseran Subsektor Perdagangan Eceran dari Tradisional ke Modern di Indonesia. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Hefner, R.W. 2006. Budaya Pasar (Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru). Jakarta : LP3S. Kemendag. 2011. Laporan Perekonomian Indonesia 2011. Jakarta : Kemendag Kartodirjo, Sartono. 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500- 1900. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Leksono. S. 2009. Runtuhnya Modal Sosial Pasar Tradisional. Malang : Penerbit Citra. Mubyarto. 2005. A Development Manifesto : The Resilience of Indonesian Ekonomi Rakyat During the Monetary Crisis. Jakarta : Penerbit Buku Kompas. Nastiti, T.S.2003. Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VIII-IX Masehi. Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya. Natawidjaja, Ronnie. 2005. Modern Market Growth and The Changing Map of The Retail Food Sector in Indonesia. Jakarta : The Pacific Food System Outlook. Nugroho, Heru. 2001 .Uang, Rentenir , dan Hutang Piutang di Jawa. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Negara, D.N. & Basu, S.D. 2003. Normative Moderators Of Impulse Buying Behaviour. JOURNAL OF BUSSINES, Th.5, No. 1, hlm.1-14. Pandin, L.M. (2011) . Potret Bisnis Ritel di Indonesia : Pasar Modern. ECONOMIC REVIEW, No. 215, hlm. 1-12. Pustek, UGM. (2011). Negara & Serbuan Waralaba Asing. (http://www.map.ugm.ac.id/index/n egara-dan-serbuan-waralabaasing.html, diakses 12 Mei 2012) Kemen PU. 2011. Kajian Modernisasi Pasar Tradisional Berbasis Modal Sosial. Jakarta : Kemen PU Roe. T, Agapi. S, & Shane.M. 2005. The Rapid Expansion of The Modern Retail Food Marketing in Emerging Market Economies: Implication to Foreign Trade and Structural Change in Agriculture. Rhode Island. Sindhunata. 27 September, 2011. Y en Pasar Ilang Kumandhange. Kompas, hlm.6. Sitepu, Ronald. (2011). Dampak Pasar Modern Terhadap Kinerja Industri 241 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Kecil. JURNAL VISI EKONOMI, Th. 10, No.1, hlm. 19-35. Sumardjan, Selo. 1986. Social Changes in Y ogyakarta. New Y ork : Cornell University Press. Suryadharma. 2007. Dampak Supermarket terhadap Kebijakan Pasar dan Pedagang Ritel Tradisional di 242 Daerah Perkotaan di Indonesia. Jakarta : Lembaga Penelitian SMERU. Wertheim, W .F. 1958. The Indonesian Town : Selected Studies in Indonesian. The Hague : W . V an Hoeve Ltd. JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Dampak Investasi Pemerintah Terhadap Investasi Swasta dan Kesejahteraan Masyarakat Setelah Pemekaran Daerah Kabupaten Kota di Provinsi Maluku Tri Wahyuningsih Abstract The objective of the study is to test and analyze: first, the influence of public investment toward private investment; second, the influence of public investment toward society welfare; third, the influence of private invsetment toward society welfare of districts and municipality in Maluku Province. The Analysis method used is this study is path analysis by using SPSS program package. The secondary data used are panel data, which is the combination of data from 2005 until 2008 and cross data including 7 districts and 1 municipality in Maluku Province. The study generates conclusions that: first, public investment significantly influences private investment and has positive relationship direction. Second, public investment has a significant influences toward society welfare. Third, private investment has a significant influence toward society welfare and has positive relationship direction. Than, the dominant variable which effect society welfare is public investment, while the smallest contibution effect toward welfare growth is private investment. Keywords : government investment, private investment, and society welfare. PENDAHULUAN Lahirnya undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 telah membuka peluang bagi daerah untuk memekarkan diri, menjadi daerah baru, kabupaten, kota ataupun menjadi provinsi baru. Salah satu provinsi di Indonesia yang mengalami pemekaran darah provinsi dan kabupten kota setelah otonomi daerah adalah provinsi Maluku. Pemekaran wilayah dianggap sebagai solusi alternatif supaya pembangunan dapat lebih merata di seluruh wilayah di Indonesia. Semakin dekat pemerintah dengan daerahnya, maka diyakini semakin baik juga penyediaan barang publik dapat dilakukan. Hal ini disebabkan oleh karena pemerintah daerah benar-benar mengetahui secara pasti karakteristik barang publik yang paling tepat sesuai dengan keadaan daerah masing-masing. Salah satu tujuan pemekaran daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Hal penting utama yang perlu dikaji adalah sejauh mana “input” yang diperoleh pemerintah daerah pemekaran dapat digunakan semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (BAPPENAS dan UNDP .2008:5). Berlakunya undangundang otonomi daerah telah memberikan peluang bagi daerah untuk menggali potensi lokal dan tingkat independensi pemerintah daerah di bidang keuangan semakin meningkat. Artinya pemerintah daerah memiliki keleluasaan dalam merencanakan dan menentukan arah pembangunan, menggali sumber-sumber penerimaan, menentukan prioritas serta kegiatannya. Litvack and Seddon dalam Prawirosetoto (2002) menyatakan bahwa desentralisasi fiskal adalah pendelegasian tanggung jawab dan pembagian kekuasaan dan kewenangan untuk pengambilan keputusan di bidang fiskal yang meliputi aspek penerimaan (tax assignment) maupun aspek pengeluaran (expenditure __________________________________________ Alamat Korespondensi : Tri Wahyuningsih, Prodi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi, Universitas Iqra buru (UNIQBU) - Maluku Email : [email protected] JESP V ol.4, No. 2, 2012 assignment) sehingga pemerintah daerah akan memperoleh transfer dari pusat dalam rangka keseimbangan fiskal. Dengan demikian maka pemerintah daerah yang telah diberi keleluasaan untuk mengatur pengeluarannya tersebut sudah sewajarnya apabila Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dialokasikan untuk kepentingan publik dalam bentuk investasi pemerintah. Oleh karenanya salah satu aspek yang perlu menjadi perhatian adalah pemanfaatan semaksimal mungkin keuangan daerah bagi pelayanan publik serta mendorong perekonomian daerah melalui belanja modal. Investasi pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tercermin melalui belanja modal yang dianggarkan setiap tahunnya. Adanya peningkatan penerimaan APBD kabupaten kota di provinsi Maluku disetiap tahun ternyata tidak dikuti dengan peningkatan dana yang dialokasikan untuk investasi. Hal ini tentunya akan berdampak terhadap penyediaan sarana fisik dan prasarana yang memadai bagi daerah kabupaten dan kota yang mengalami pemekaran. Keterbatasan infrastruktur secara langsung akan menyebabkan potensi ekonomi provinsi Maluku tak kunjung dapat didayagunakan secara optimal. Suatu iklim investasi (infrastruktur) yang baik maka akan semakin menarik daerah tersebut untuk dijadikan investasi bagi perusahaan-perusahaan swasta, dari para petani dan wirausahawan mikro sampai dengan perusahaan manufaktur lokal dan perusahaan multinasional. Perusahaan-perusahaan tersebut melakukan investasi pada gagasan-gagasan serta fasilitas-fasilitas baru yang memperkuat fondasi pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi (The World Bank.2004:2). Nilai investasi swasta dalam negeri maupun asing di provinsi Maluku pada umumnya tidak menunjukkan adanya kecenderungan nilai investasi yang meningkat setiap tahunnya, tetapi berfluktuasi. Padahal, salah satu cara untuk merangsang pertumbuhan ekonomi adalah investasi, 244 baik investasi dari luar negeri maupun investasi dalam negeri. Investasi swasta merupakan salah satu aspek yang perlu diberdayakan di daerah, karena salah satu inti dari otonomi daerah dan pemekaran wilayah adalah pemberdayaan daerah dimana merupakan suatu proses pembelajaran dan penguatan bagi daerah untuk mampu mengatur, mengurus dan mengelola kepentingan dan aspirasi masyarakatnya sendiri. Dalam konteks otonomi daerah yang saat ini tengah berlangsung, idealnya investasi swasta adalah sebagai salah satu pendorong pembangunan di Provinsi Maluku. Sudah saatnya Provinsi Maluku berkompetisi menarik sebanyak mungkin investasi swasta sebagai penggerak pembangunan daerah sehingga potensi daerah dapat dimanfaatkan secara optimal bagi masyarakat. Kehadiran investasi swasta sangat penting dalam menunjang pembangunan daerah dan penurunannya dapat berdampak serius. Hal ini disebabkan karena kalau invesatsi turun, maka kegiatan-kegiatan produksipun akan ikut turun. Jika kegiatan produksi turun, dengan sendirinya output pun merosot, dan apabila penurunan ini terjadi terus-menerus maka pada gilirannya laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan merosot. Berdasarkan data distribusi persentase pertumbuhan ekonomi menurut lapangan usaha di Provinsi Maluku, sektor pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan dan sektor jasa-jasa mengalami penurunan terus-menerus dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2008. Ini menunjukkan bahwa kedua sektor tersebut belum dikembangkan dengan baik dan optimal sehingga kontribusinya terhadap output dari tahun ke tahun semakin kecil. Padahal Maluku memiliki potensi sumber daya alam yang cukup berlimpah. Luas keseluruhan areal Provinsi Maluku, 90,85 % merupakan perairan laut atau nisbah antara laut dan daratan adalah 9:1, sehingga sangat berpeluang untuk pengembangan usaha perikanan tangkap, pengembangan potensi budidaya laut dan JESP V ol. 4, No. 2, 2012 pengembangan industri pengolahan ikan (Tim Peneliti Soegeng Sarjadi Syndicated. 2001:1005). Kenyataan ini menunjukkan bahwa mau tidak mau masyarakat provinsi Maluku harus meningkatkan pendayagunaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya sehingga keunggulan utama wilayah laut Maluku terletak pada besarnya peluang pemanfaatan dan pengembangan keanekaragaman hayati (perikanan) yang dikandungnya. Dengan demikian, sub sektor kelautan di Maluku juga merupakan salah satu potensi handalan sektor perikanan. Tentu semua ini tidak akan bermakna apa-apa jika tidak dikembangkan guna meningkatkan kontribusi sektor tersebut sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Keberhasilan pembangunan tidak hanya diukur dari tingkat pertumbuhan ekonomi (PDRB), tetapi juga dengan indikator pembangunan masyarakat yang lebih baik seperti tingkat harapan hidup yang lebih lama dan jangkauan pendidikan yang lebih luas. Oleh karena itu, pembangunan manusia yang diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah salah satu diantara indikator pembangunan yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan. IPM kabupaten kota di provinsi Maluku apabila dibandingkan dengan keseluruhan perkembangan rata-rata daerah lain di Indonesia, Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Maluku masih rendah. Rendahnya angka IPM ini akan sangat tidak menguntungkan bagi kelangsungan pembangunan berikutnya, karena sumber daya manusia merupakan sentral keberlangsungan pembangunan. Oleh sebab itu, merupakan langkah sangat strategis jika pada era otonomi daerah dan terbentuknya daerah-daerah otonom baru di provinsi Maluku, perhatian terhadap sumber daya manusia ditangani secara lebih awal dan dilakukan secara sungguhsungguh. Berdasarkan atas uraian tersebut, maka salah satu sumber penting bagi tercapainya pembangunan yang berkualitas setelah pemekaran daerah kabupaten kota di provinsi Maluku adalah adanya investasi, yang diawali dari investasi pemerintah yang kemudian akan berdampak terhadap masuknya investasi swasta dan diharapkan akan meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat. Keterkaitan atas hal-hal yang telah diuraikan itu, maka cukup menarik dan penting untuk melihat pengaruh investasi pemerintah terhadap investasi swasta dan pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat di provinsi Maluku khususnya setelah pemekaran daerah. Rumusan Masalah 1. Apakah investasi pemerintah berpengaruh terhadap investasi swasta? 2. Apakah investasi pemerintah berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat? 3. Apakah investasi swasta berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat? Tujuan Studi 1. Menguji dan Menganalisis pengaruh investasi pemerintah terhadap investasi swasta. 2. Menguji dan Menganalisis pengaruh investasi pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat. 3. Menguji dan Menganalisis pengaruh investasi swasta terhadap kesejahteraan masyarakat. TINJAUAN PUSTAKA Teori Pengeluaran Pemerintah 1. Model Pembangunan Tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Model yang dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahaptahap dalam proses pembangunan ekonomi. Pada tahap awal dari perkembangan ekonomi persentase 245 JESP V ol.4, No. 2, 2012 investasi pemerintah dari total investasi besar, sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana pendidikan kesehatan dan sebagainya (Mangkoesoebroto. 2001:170). Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin membesar dan investasi pemerintah terhadap GNP akan semakin kecil pada tingkat lebih lanjut. 2. Hukum Wagner Mengenai Perkembangan Aktifitas Pemerintah Wagner mengemukakan model teori tentang perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin membesar dalam persentase terhadap GNP yang didasarkan pada pengamatan di negaranegara Eropa USA dan Jepang pada abad ke-19. Peningkatan pengeluaran pemerintah tersebut disebabkan perang, meningkatnya fungsi perbankan, perkembangan demokrasi serta meningkatnya fungsi pembangunan, sehingga kurva perkembangan pengeluaran pemerintah berbentuk garis, di mana perkembangannya naik terus-menerus. 3. Teori Peacock dan Wiseman Berdasarkan hasil empiris penyelidikan Peacock dan Wiseman disertai dengan penekanan pola waktu, perkembangan penegeluaran pemerintah bukan bersifat continious growth, melainkan seperti tangga, karena Peacock dan Wiseman mempertimbangkan adanya gangguan sosial seperti perang, bencana alam dan lain-lain. T eori Investasi Teori-teori mengenai pembentukan modal (investasi) ini menerangkan strategi makro mengenai kebijakan investasi yang perlu dijalankan suatu negara yang ingin memulai dan mempercepat pembangunan 246 ekonominya. Jawaban atas persoalan ini, beberapa ahli ekonomi mengemukakan teori berikut: 1. Teori Dorongan Kuat (Big Push) Menurut teori ini, untuk menanggulangi hambatan pembangunan ekonomi di negara berkembang dan untuk mendorong ekonomi tersebut ke arah kemajuan diperlukan suatu “dorongan kuat” dari investasi atau program besar-besaran yang menyeluruh dalam bentuk suatu jumlah minimum investasi tertentu. Menurut Rosentein-Rodan, pembangunan industri secara serentak dan besar-besaran itu akan menciptakan tiga macam ekonomi eksternal, yaitu: pertama, yang diakibatkan oleh perluasan pasar; kedua, karena industri yang sama letaknya; dan ketiga, karena adanya industri lain dalam perekonomian tersebut (Kamaluddin.1998:83-84). 2. Teori Pembangunan (Balanced Growth) Seimbang Pembangunan seimbang dapat digunanakan dengan pengertian yang berlainan. Misalnya dalam hubungan dengan pembangunan daerah, adapula pembangunan seimbang diartikan sebagai pembangunan diberbagai sektor, dan juga berbagai aspek kehidupan sosial, politik dan kebudayaan. Dengan demkian, pembangunan seimbang itu dapatlah didefinisikan sebagai usaha pembangunan yang berusaha mengatur program penanaman modal secara sedekian rupa sehingga sepanjang proses pembangunan tidak akan timbul hambatan-hambatan yang bersumber dari penawaran maupun permintaan (Sukirno.2006:272). 3. Teori Pembangunan Tidak Seimbang (Unbalanced Growth) Menurut Hirschman dan Streeten, program pembangunan tidak seimbang adalah program pembangunan yang JESP V ol. 4, No. 2, 2012 lebih sesuai untuk mempercepat proses pembangunan di negara berkembang. Hal ini disebabkan karena pada hakikatnya gagasan untuk melaksanakan pembangunan tidak seimbang didasarkan kepada tiga pertimbangan. Pertama, secara historis, pembangunan ekonomi yang telah berlaku coraknya tidak seimbang; kedua, untuk mempertinggi efisiensi penggunaan sumber daya yang tersedia; dan ketiga, pembangunan tidak seimbang akan menciptakan gangguan-gangguan (bottlenecks) dalam proses pembangunan, yang akan menjadi pendorong bagi pembangunan selanjutnya. Hubungan Investasi Pemerintah dan Investasi Swasta Berbagai jenis investasi dalam suatu wilayah atau negara, bahkan regional dan global dalam kenyataannya saling membutuhkan dan bersinergi satu sama lain. Misalnya investasi swasta (private), membutuhkan investasi oleh negara dalam bentuk perangkat keras (hardware) berupa prasarana dan sarana yang mendorong tumbuhnya investasi, (seperti jalan, pelabuhan, sarana telekomunikasi, tenaga kerja yang handal, dan sebagainya) sehingga menimbulkan rasa aman, adanya kepastian hukum, yang semuanya akan membentuk iklim usaha yang menarik. Investasi dapat dilakukan oleh pemerintah sebagai penyelanggara negara, atapun investasi oleh swasta. Hubungan keduanya adalah saling melengkapi. Bila investasi oleh pemerintah meningkat, maka ini akan mendorong pengembangan investasi oleh swasta, dan sebaliknya. T eori Pertumbuhan Ekonomi Teori pertumbuhan ekonomi di dalam penelitian ini hanya dikutip beberapa teori yang langsung terkait dengan investasi. 1. Teori Pertumbuhan Smith Klasik: Adam Menurut A. Smith, dalam pembangunan ekonomi, modal memegang peranan yang penting. Akumulasi modal akan menentukan cepat atau lambatnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada suatu negara. Tabungan, akumulasi modal, dan investasi merupakan suatu mata rantai yang berkaitan erat satu sama lain. Jika investasi rendah, maka kemampuan menabung akan turun, sehingga akumulasi modal akan mengalami penurunan pula. Jika hal tersebut terjadi berarti laju investasi juga akan rendah dan akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. 2. Teori Pertumbuhan Neo Keynes : R.F. Harrod dan E.D. Domar Menurut Harrod-Domar (Suryana. 2000:66-67), perekonomian harus melakukan investasi baru (tambahan stok kapital) jika ingin tumbuh. Dalam hal ini, model Harrod-Domar mengasumsikan terdapat hubungan langsung antara investasi dengan output. Hubungan antara stok kapital dan output disebut Incremental Capital Output Ratio (ICOR) dengan rumus (Widodo.1990:28): I / PDB . 100% ICOR = ∆ PDB (%) Keterangan : ICOR adalah laju pertumbuhan ekonomi relatif akibat adanya investasi. I/PDB.100% adalah persentase investasi terhadap PDB ∆ PDB adalah laju pertumbuhan ekonomi (PDB) Konsep ICOR atau sering disebut koefisien modal menunjukkan hubungan antara besarnya tambahan investasi (modal) dengan tambahan nilai output. Konsep ini dapat didefinisikan sebagai suatu hubungan 247 JESP V ol.4, No. 2, 2012 antara investasi yang ditanamkan dan pendapatan tahunan yang dihasilkan dari investasi tersebut. 3. Teori Pertumbuhan Neoklasik: Robert M. Solow dan T.W. Swan Model Solow – Swan menggunakan unsur pertumbuhan penduduk, akumulasi kapital, kemajuan teknologi, dan besarnya output saling berinteraksi. Perbedaan utama dengan model Harrod-Domar adalah dimasukkannya unsur kemajuan teknologi dalam modelnya (Tarigan.2007:52). Teknologi ini terlihat dari peningkatan skill atau kemajuan teknik sehingga produktifitas per kapita meningkat. Model ini memprediksikan bahwa seluruh perekonomian berbasis pasar pada akhirnya akan mencapai tingkat pertumbuhan konstan yang sama jika mempunyai tingkat kemajuan teknologi dan pertumbuhan penduduk yang sama. 4. Teori Pertumbuhan Endogen: Paul Michael Romer Teori pertumbuhan endogen memiliki perspektif yang lebih luas dari pada teori pertumbuhan sebelumnya. Teori ini mencoba untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi proses pertumbuhan ekonomi yang berasal dari dalam (endogenous) sistem ekonomi itu sendiri yakni, kemajuan teknologi yang dianggap merupakan hasil dari keputusan para pelaku ekonomi dalam berinvestasi di bidang ilmu pengetahuan. Menurut Romer akumulasi modal tetap memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi, namun dengan definisi yang lebih luas yaitu dengan memasukkan unsur modal ilmu pengetahuan (knowledge capital) dan modal insani (human capital) ke dalam model. Hanya berkat ilmu pengetahuan orang dapat menciptakan metode baru dalam berproduksi sehingga diperoleh keuntungan-keuntungan ekonomis tertentu. 248 Teori Kesejahteraan Dalam teori ekonomi, konsep kesejahteraan masyarakat dikenal sebagai ekonomi kesejahteraan (welfare economics) yang pada hakikatnya menjelaskan tentang alokasi faktor-faktor produksi serta barang dan jasa dalam suatu perekonomian kepada semua warga masyarakat atau menjelaskan interaksi ekonomi yang ingin mencari kondisi bagi pemanfaatan sumber daya secara efisien. Mekanisme pasar diyakini mampu menjadi alat distribusi kesejahteraan melalui mekanisme pertukaran. Lewat pertukaran tersebut terjadi distribusi kekayaan dan atau pendapatan dengan pembayaran atau penggunaan faktor produksi dan atau pembelian barang dan jasa dengan asumsi proses tercapainya keseimbangan tersebut berlangsung dalam satu pasar yang terisolasi dari pasar lainnya atau perekonomian hanya tediri dari dua pelaku ekonomi (Rahardja. 1999: 325-326). Jadi, perekonomian telah berjalan efisien bila terjadi mekanisme pertukaran yang efisien (efficiency in exchange) dan produksi berjalan efisien (efficiency in production). Menurut Sukirno (2006:53), kesejahteraan mempunyai makna yang luas, tidak hanya dikaitkan dengan pendapatan dan konsumsi tetapi juga dengan aset. Artinya kesejahteraan tidak hanya berfokus pada konsumsi barang dan jasa, tetapi juga pada akses terhadap aset kekayaan dan sosial. Kesejahteraan masyarakat merupakan suatu hal yang bersifat subyektif. Artinya, tiap orang mempunyai pandangan hidup, tujuan hidup dan cara-cara hidup yang berbeda, dan dengan demikian memberikan nilai-nilai yang berbeda terhadap faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat. Indikator Kesejahteraan Pembangunan ekonomi adalah sebuah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi berskala besar, JESP V ol. 4, No. 2, 2012 yaitu sebuah negara. V ariabel kesejahteraan adalah sebuah variabel yang tidak mudah diukur karena ukuran kesejahteraan itu sendiri tidak sederhana, tetapi meliputi banyak hal atau multidimensional. Untuk mengatasi hal tersebut, para ahli ekonomi pembangunan kemudian menyusun berbagai indikator pembangunan dan mengalami perbaikan seiring dengan perkembangan ilmu ekonomi. Adanya perkembangan beberapa indikator kesejahteraan, ternyata konsep pembangunan itu sendiri merupakan konsep yang terus berkembang, baik dilihat dari keluasan isi dan maknanya. Hal ini sejalan dengan perkembangan peristiwa, keadaan yang dihadapi, serta tujuan yang ingin dicapai dalam hidup masyarakat sehingga persoalan tersebut sangat ditentukan oleh sistem nilai, pandangan hidup, dan cita-cita hidup masyarakat (Latief. 2002:04). Menurut Amartya Sen, hakikat dari pembangunan adalah kebebasan dan karena itu, pembangunan harus dapat membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan dan tekanan-tekanan pihak lain. Dari perspektif ini, pembangunan baru akan bermakna manakala terjadi peningkatan martabat manusia yang mampu membebaskannya dari belenggubelenggu kemiskinan dan keterbatasan akses. Inilah yang sesungguhnya menjadi inti dari pembangunan manusia. Dari sinilah kemudian masalah pembangunan yang berkembang adalah dengan semakin meningkatnya perhatian terhadap pembangunan manusia. Konsep pembangunan manusia (people centered development) muncul sebagai reaksi terhadap kegagalan model pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dalam mewujudkan kesejahteraan secara merata terwujud. Bersamaan dengan berkembangnya paradigma pembangunan berpusat pada manusia, maka ukuran kesejahteraan masyarakat sebagai capaian hasil pembangunanpun mengalami perubahan dan pergeseran. Pembangunan manusia memperkenalkan konsep yang lebih luas dan lebih komprehensif yang mencakup semua pilihan yang dimiliki oleh manusia di semua golongan masyarakat pada semua tahapan pembangunan. Sebagaimana dinyatakan di dalam Human Development Report (HDR) pertama tahun 1990, pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki manusia. Di antara berbagai pilihan tersebut, pilihan terpenting adalah berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak (UNDP ,BPS dan Bappenas. 2001:65). Salah satu ukuran yang dipakai untuk mengetahui status dan kemajuan pembangunan manusia yang dikembangkan oleh UNDP adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (Human Development Indeks atau HDI). Manfaat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kedudukan IPM dalam dalam pembangunan daerah di Indonesia diantaranya adalah IPM ditetapkan sebagai salah satu ukuran utama dicantumkan dalam pola dasar pembangunan daerah. Selain itu, pembangunan manusia menjadi perhatian pemerintah ditandai dengan diikutkannya IPM sebagai salah satu alokator Dana Alokasi Umum (DAU) untuk mengatasi kesenjangan keuangan daerah. Hubungan Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Bila dilihat dari sisi ekonomi (Noor.2009:xi), maka peningkatan kesejahteraan masyarakat tersebut, terdiri dari dua aspek yaitu: aspek pendapatan (income) dan aspek semakin banyaknya pilihan konsumsi (number of choises) yang tersedia bagi masyarakat. Melalui pengembangan investasi, dapat didorong terciptanya lapangan pekerjaan yang 249 JESP V ol.4, No. 2, 2012 menjadi sumber nafkah (pendapatan) dari masyarakat, serta diproduksi aneka ragam barang dan jasa yang menjadi pilihan konsumsi bagi masyarakat, di samping juga dapat dihasilkan kestabilan penawaran (suply) barang dan jasa di masyarakat yang akan membantu terbangunnya stabilitas harga (nilai tukar), baik untuk harga barang dan jasa domestik, maupun untuk nilai tukar uang domestik dengan uang asing. Dengan demikian, pengembangan ekonomi masyarakat melalui investasi diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat (pembangunan manusia) merupakan hubungan yang kuat. Pertumbuhan ekonomi menyediakan sumber-sumber yang memungkinkan terjadinya perkembangan secara berkelanjutan dalam pembangunan manusia. Thomas et al. (2000:XXXIII) menyatakan bahwa investasi yang dilakukan dalam modal fisik, manusia, dan alam, bersama-sama dengan banyak reformasi kebijakan, memberikan kontribusi terhadap kemajuan teknologi dan pertumbuhan produktivitas faktor total, sehingga mendorong pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat. Kerangka Konseptual Investasi Pemerintah (X) Investasi Swasta (Y1) Berdasarkan hubungan pengaruh antara variabel yang berlandaskan studi teoritik dan studi empirik maka disusun kerangka konseptual penelitian yang nampak pada Gambar 3.1. Gambar tersebut menunjukkan bahwa kerangka konseptual penelitian ini adalah untuk menguji dan menganalisis pengaruh investasi pemerintah terhadap investasi swasta dan pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat. Dalam pendekatan Path Analysis, pengaruh suatu variabel terhadap variabel yang lain dapat dibedakan menjadi dua pengaruh, yaitu: pengaruh langsung (direct effect) serta pengaruh tidak langsung (indirect effect). Hipotesis Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka berpikir dan kerangka konseptual, maka penelitian yang dilakukan pada Pemerintah Daerah 250 Kesejahteraan Masyarakat (Y2) Kabupaten Kota di Provinsi Maluku menghasilkan hipotesis sebagai berikut : 1. Investasi pemerintah berpengaruh signifikan terhadap investasi swasta. 2. Investasi pemerintah berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat. 3. Investasi swasta berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat. Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang sebagai penelitian verifikasi, yakni menguji jawaban terhadap masalah. Dikategorikan sebagai penelitian kausalitas, berupa explanatory survey dan experimental research atau singkatnya sebagai penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen bertujuan meramalkan dan menjelaskan hal-hal yang terjadi atau yang akan terjadi di antara variabel-variabel JESP V ol. 4, No. 2, 2012 tertentu melalui manipulasi atau pengontrolan variabel-variabel tersebut atau hubungan diantara variabel, agar ditemukan hubungan, pengaruh, atau perbedaan salah satu variabel, sehingga menjelaskan hubungan kausalitas antar variabel. Populasi, Sampel Pengambilan Sampel dan Teknik Unit analisis penelitian ini adalah Kabupaten/Kota yang berada di Provinsi Maluku, oleh sebab itu seluruh Kabupaten/Kota yang berada di Provinsi Maluku disebut sebagai populasi. Populasi dalam penelitian ini meliputi seluruh Kabupaten/Kota yang berada di Provinsi Maluku yang berjumlah 8 daerah terdiri dari: Kota Ambon, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Kabupaten Maluku Tenggara, Kabupaten Maluku Tengah, dan Kabupaten Buru, Kabupaten Seram Bagian Barat, Kabupaten Seram Bagian Timur dan Kabupaten Kepulauan Aru. Data pada penelitian ini berupa data sekunder yang diperoleh dari dokumentasi 5.1 Badan Pusat Statistik (BPS) pusat maupun BPS provinsi Maluku. Data diambil secara runtun waktu (time series) dan data silang (cross section) yang disebut sebagai data panel atau poling data. Data runtut waktu mulai tahun 2005 sampai dengan tahun 2008, sedangkan data silang meliputi seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku yang berjumlah 8 daerah. Penggabungkan (pooling) data dari delapan kabupaten dan kota selama 4 tahun tersebut sudah memenuhi syarat dalam menggunakan metode SPSS (Statistical Package for Sosial Science). Teknik Analisis Data Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah path analysis (analisis jalur atau lintasan). Tujuan path analysis adalah menerangkan akibat langsung dan tidak langsung seperangkat variabel, sebagai variabel penyebab, terhadap variabel lainnya yang merupakan variabel akibat (Muhidin.2007:221) ANALISIS HASIL STUDI Hasil Analisis Jalur (Uji Hipotesis dan Pengaruh Antar Variabel) Tabel 5.1 HASIL PENGUJIAN HIPOTESIS PADA SETIAP JALUR Pengaruh Antar Variabel Koefisien Jalur (β) ρ - V alue Investasi Pemerintah è Investasi Swasta 0,495 0,026 Signifikan Investasi Pemerintah è Kesejahteraan Masyarakat 0,747 0,000 Signifikan 0,075 0,004 Signifikan Investasi Swasta è Kesejahteraan Masyarakat Hasil Pengujian Sumber : Hasil Olahan Analisis Jalur Setelah diperoleh besaran-besaran koefisien jalur, langkah berikutnya adalah menjelaskan berapa besar pengaruh dari suatu variabel terhadap variabel lainnya (pengaruh langsung, pengaruh tidak langsung). 251 JESP V ol.4, No. 2, 2012 Tabel 5.2 KOEFISIEN JALUR PENGARUH LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG Pengaruh Kausal Pengaruh Variabel Langsung Investasi Pemerintah è Investasi Swasta 0,495 Investasi Pemerintah è Kesejahteraan Masyarakat 0,747 Investasi Swasta è Kesejahteraan masyarakat 0,075 Tidak Langsung Melalui Investasi Swasta (0,495) x (0,075) = 0,037 Sumber : Hasil olahan analisis jalur Pengaruh Pertama Langsung Substruktur Dalam persamaan substruktur pertama hanya terdapat satu variabel eksogen yakni investasi pemerintah (X) dan satu variabel endogen yakni Investasi Swasta (Y1), sehingga tidak ada hubungan tidak langsung. Y1 = ρy1x X (t-1) + ε1 Besarnya pengaruh dari investasi pemerintah terhadap perubahan-perubahan variabel investasi swasta seperti yang tertera adalah sebesar 0,495. Berdasarkan hasil perhitungan diatas dapat dikemukakan bahwa besarnya kontribusi investasi pemerintah (X) yang secara langsung mempengaruhi investasi swasta (Y1) adalah 0,4952 = 24,50%. Maknanya, variasi dari perubahan variabel investasi swasta sekitar 24,50% disebabkan karena perubahan-perubahan dari variabel investasi pemerintah. Sisanya sebesar 75,50% diakibatkan faktor-faktor lain yang tidak masuk dalam persamaan, tetapi ditampung pada variabel gangguan acak-e. 252 Pengaruh Langsung dan Langsung Substruktur Kedua Tidak Pada persamaan ini ada tiga variabel eksogen yang terdiri atas 1 variabel eksogen yakni investasi pemerintah (Xt-1), dan 2 variabel intervening endogen yaitu investasi swasta (Y1) dan kesejahteraan masyarakat (Y2). Y2 = ρy1x X (t-1) + ρy2 x X(t-1) + ρy1 x Y2 + ε2 a. Pengaruh Langsung Investasi Pemerintah Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Besarnya kontribusi investasi pemerintah (X) yang secara langsung mempengaruhi kesejahteraan masyarakat (Y3) adalah 0,7472 = 55,80%. Maknanya, kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh investasi pemerintah sebesar 55,80%. Sisanya sebesar 44,20% merupakan kontribusi dari varaibel lain di luar variabel investasi pemerintah yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. JESP V ol. 4, No. 2, 2012 b. Pengaruh Tidak Langsung Melalui Investasi Swasta Hasil perkalian investasi pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat melalui investasi swasta diperoleh nilai koefisien jalur 0,037 (3,7%). Angka tersebut lebih kecil dibandingkan dengan nilai koefisien pengaruh langsung investasi pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat sebesar 0,7472 (55,80%). Kesimpulannya, investasi pemerintah cenderung berpengaruh secara langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. Hal ini memberi petunjuk bahwa dengan meningkatnya investasi pemerintah akan dapat berdampak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengaruh Langsung Substruktur Ketiga Dalam persamaan substruktur ketiga hanya terdapat satu variabel eksogen yakni investasi Invetasi swasta (Y1) dan satu variabel endogen yakni Kesejahteraan Masyarakat (Y2), sehingga tidak ada hubungan tidak langsung. Y3 = ρy2 x Y1 + ε3 Besarnya kontribusi investasi swasta (Y1) yang secara langsung mempengaruhi kesejahteraan masyarakat (Y2) adalah 0,0752 = 0,56%. Maknanya, kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh investasi swasta sebesar 0,56%. Sisanya sebesar 99,44% merupakan kontribusi dari varaibel lain di luar variabel investasi swasta yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. PEMBAHASAN Pengaruh Investasi Pemerintah T erhadap Investasi Swasta Hasil estimasi pengaruh langsung investasi pemerintah terhadap investasi swasta menunjukkan pengaruh positif dan signifikan dengan nilai koefisien jalur sebesar 0,495 dan nilai probabilitas sebesar 0,026. Pengaruh positif menunjukkan hubungan yang searah antara investasi pemerintah dengan investasi swasta. Artinya, peningkatan investasi pemerintah akan berdampak pada peningkatan investasi swasta di provinsi Maluku, demikian juga sebaliknya. Dengan demikian, berdasarkan pengujian hipotesis yang menyatakan bahwa investasi pemerintah berpengaruh signifikan terhadap investasi swasta kabupaten kota di provinsi Maluku adalah terbukti dan didukung oleh fakta. Fakta hasil pengujian statistik ini, didukung oleh fakta empirik pembangunan infrastuktur yang terus mengalami peningkatan. Jika di tahun 2005 jalan provinsi yang diaspal 614,31 km, maka pada tahun 2008 telah bertambah menjadi 647,21 km. Begitu pula kondisi jalan yang dikategori baik meningkat dari 328,84 km di tahun 2005 menjadi 351,48 km di tahun 2008. Semakin membaik kondisi jalan raya dan ditunjang dengan 27 pelabuhan lokal yang tersebar di kabupaten dan kota di provinsi Maluku telah menambah armada angkutan kapal cepat dan kapal perintis di tahun 2008 masing-masing menjadi 8 dan 10 unit dari tahun 2005 yang masingmasing sebanyak 6 unit. Infrastruktur memiliki sifat eksternalitas positif yang tinggi. Artinya, pengadaan suatu infrastruktur akan sangat mempengaruhi secara positif (mendukung) perkembangan berbagai sektor ekonomi lainnya. Sebaliknya, keterbatasan infrastruktur jelas mengakibatkan pemanfaatan potensi dan sumber daya ekonomi menjadi tidak optimal, bahkan sulit berkembang hingga ke taraf yang diharapkan. Ketertinggalam infrastruktur pada gilirannya akan menyebabkan ketertinggalan kemakmuran dan kemajuan di berbagai bidang. Apalagi dengan otonomi daerah, memungkinkan provinsi maupun kabupaten/kota untuk lebih berperan dalam pembangunan infrastruktur. Temuan ini mempertegas sejumlah konseptual yang menjelaskan tentang hubungan antara investasi pemerintah 253 JESP V ol.4, No. 2, 2012 dengan investasi swasta. Menurut Aviliani (2009), infrastruktur merupakan salah satu sektor prioritas investasi di Indonesia. Infrastruktur menjadi bagian penting dalam perekonomian mengingat fungsinya sebagai pendukung dalam kegiatan termasuk untuk mendorong kegiatan investasi swasta. Buruknya kondisi infrastruktur akan menjadi kendala penting bagi investor karena menciptakan extra cost. Misalnya infrastruktur seperti jalan raya yang buruk akan menyebabkan aliran barang dan jasa terganggu, sehingga mendorong kenaikan cost of transportation. Implikasinya adalah cost of distribution yang semakin mahal dan kemudian dilimpahkan ke harga barang konsumen. Selanjutnya berkaitan dengan temuan dalam studi ini, secara teoritis Jhingan (2004:376-378) menyatakan dalam perekonomian negara berkembang, untuk memacu laju pembentukkan modal adalah merupakan peranan dari kebijakan fiskal. Menurutnya dalam rangka meningkatkan laju investasi, pemerintah pertama sekali harus menerapkan kebijaksanaan investasi berencana di sektor publik. Tindakan ini akan berdampak meningkatknya volume investasi di sektor swasta. Selain itu, kebijakan fiskal harus mendorong arus investasi ke jalur-jalur yang diinginkan masyarakat. Ini berkaitan dengan pola optimum investasi dan menjadi tanggungjawab dari pemerintah untuk mendorong investasi pada overhead sosial dan ekonomi. Investasi overhead sosial seperti di bidang transportasi dan perhubungan, sedangkan untuk overhead ekonomi seperti di bidang pendidikan dan kesehatan. Kedua kategori investasi ini menghasilkan ekonomi eksternal, memperluas pasar dan mengurangi biaya produksi. Pengaruh Investasi Pemerintah T erhadap Kesejahteraan Masyarakat Hasil estimasi pengaruh langsung investasi pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat menunjukkan 254 pengaruh positif dan signifikan dengan nilai koefisien jalur sebesar 0,747 dan nilai probabilitas sebesar 0,000. Pengaruh positif menunjukkan hubungan yang searah antara investasi pemerintah dengan kesejahteraan masyarakat. Artinya, peningkatan investasi pemerintah akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di provinsi Maluku, demikian juga sebaliknya. Dengan demikian, berdasarkan pengujian hipotesis yang menyatakan bahwa investasi pemerintah berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat kabupaten kota di provinsi Maluku adalah terbukti dan didukung oleh fakta. Temuan studi ini tidak bertentangan dengan fakta bahwa, peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di provinsi Maluku, diiringi sebelumnya oleh peningkatan nilai investasi pemerintah yang diantaranya ditujukan untuk pembangunan sarana kesehatan. Upaya peningkatan aspek kesehatan sangat penting di provinsi Maluku karena untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia harus di mulai dari aspek ini. Peningkatan derajat kesehatan tersebut harus di mulai dengan peningkatan sarana dan fasilitas kesehatan. Untuk melihat apakah sarana kesehatan cukup memadai digunakan perbandingan jumlah sarana kesehatan terhadap sejumlah tertentu penduduk (10.000). Sarana kesehatan pemerintah seperti Rumah Sakit, Puskesmas, Pukesmas pembantu dan juga tempat tidur di provinsi Maluku mengalami perkembangan dari tahun 2005 ke tahun 2008. Adanya perkembangan sarana kesehataan tersebut, maka rasio fasilitas kesehatan pemerintah per 10.000 penduduk pun ikut meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah sarana kesehatan yang tersedia sehingga makin banyak penduduk yang dapat dilayani. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa investasi pemerintah yang salah satunya ditujukan untuk pembangunan sarana kesehatan tersebut telah berdampak JESP V ol. 4, No. 2, 2012 terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat kabupaten kota provinsi Maluku yang tercermin dari peningkatan indikator kesehatan dalam IPM. Angka harapan hidup di tahun 2005 telah meningkat dari 66,60 tahun menjadi 69,20 tahun di tahun 2008. Mengingat angka harapan hidup di provinsi Maluku masih lebih rendah jika dibandingkan rerata daerah lain di Indonesia, maka hal lain yang perlu menjadi perhatian pemerintah daerah adalah membaiknya sarana kesehatan tersebut sebaiknya diikuti pula dengan peningkatan kualitas dan efektifitas pelayanan itu sendiri. Hal ini dilakukan agar supaya sarana pemerintah yang ada tersebut dapat secara optimal mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bukti adanya keterkaitan antara investasi pemerintah dalam hal perbaikan iklim investasi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah yang dilakukan oleh World Bank (The World Bank. 2004:52). Hasil laporan pembangunan Bank Dunia menunjukkan bahwa perbaikan iklim investasi di Cina dan India telah berhasil mengangkat 400 juta orang keluar dari kemiskinan. Peningkatan dalam pendapatan juga diimbangi dengan peningkatan dalam pencapaian keadaan kesehatan. Di Cina, tingkat harapan hidup naik sebesar empat tahun dari 66,8 tahun ke 70,7 tahun selama tahun 1980 sampai dengan tahun 2002, dan tingkat mortalitas bayi turun dari 49 ke 32 per 1.000 kelahiran hidup. Di India, tingkat harapan hidup naik dari 54 tahun menjadi 63 tahun, tingkat mortalitas bayi turun sebesar 40 %, dan jumlah kasus malnutrisi juga jauh berkurang. Hasil studi empiris tersebut menjelaskan bahwa memperbaiki iklim investasi membawa pengaruh yang lebih besar dari sekedar menciptakan pekerjaan dan memperbaiki taraf hidup. Perbaikan tersebut juga akan mendorong masyarakat untuk lebih banyak melakukan investasi pada pendidikan dan keterampilan mereka sendiri agar dapat memanfaatkan adanya pekerjaan yang lebih baik pada masa yang akan datang. Dengan demikian, peningkatan iklim investasi (infrasrtuktur) melengkapi upaya untuk meningkatkan sumber daya manusia. Mengingat dalam studi ini menghasilkan pengaruh investasi pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat adalah yang paling besar kontribusinya (55,80%), maka cara yang paling cepat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah dengan memperbesar peran investasi pemerintah. Pengaruh Investasi Swasta Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Hasil estimasi pengaruh langsung investasi swasta terhadap kesejahteraan masyarakat menunjukkan pengaruh positif dan signifikan dengan nilai koefisien jalur sebesar 0,075 dan nilai probablitas sebesar 0,004. Pengaruh positif menunjukkan hubungan yang searah antara investasi swasta dengan kesejahteraan masyarakat. Artinya, peningkatan investasi swasta akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di provinsi Maluku, demikian juga sebaliknya. Dengan demikian, berdasarkan pengujian hipotesis yang menyatakan bahwa investasi swasta berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat kabupaten kota di provinsi Maluku adalah terbukti dan didukung oleh fakta. Hasil pengujian statistik ini didukung oleh fakta bahwa walaupun di tahun 2008 terdapat 45 perusahaan yang terdiri atas investor dalam negeri maupun investor asing, tenaga kerja Indonesia maupun asing yang terserap mencapai 13.855 orang. Kondisi ini sangat berbeda jika dibandingkan jumlah industri kecil yang terdiri atas industri pangan, industri sandang, industri kimia bahan bangunan, industri logam elektronik dan industri kerajinan yang menacapai 2.300 unit usaha. Banyaknya jumlah industri kecil tersebut, ternyata hanya dapat menyerap tenaga kerja sebesar 10.463 orang (BPS.2009(f) : 346-348). Dengan besarnya jumlah tenaga kerja yang terserap melalui investasi 255 JESP V ol.4, No. 2, 2012 swasta dalam negeri maupun investasi asing tersebut akan dapat meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kabupaten/kota di provinsi Maluku. Hal ini disebabkan oleh karena peningkatan kesejahteraan masyarakat bila dilihat dari sisi ekonomi (aspek pendapatan), maka salah satu faktor penunjang utama adalah tersedianya lapangan pekerjaan sebagai sumber nafkah. Oleh karena itu, makin tinggi aktifitas ekonomi yang diawali dengan aktifitas investasi disuatu daerah, maka makin tinggi pula kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Fakta tersebut mendukung pendapat Arsyad (2005:109) bahwa, setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Pendapat tersebut juga mendukung pendapat Tambunan (2010:354) bahwa, keberhasilan desentralisasi akan sangat tergantung pada perkembangan dan pertumbuhan dunia usaha. Sektor swasta dengan mekanisme pasar adalah partner terbaik pemerintah dalam membangun ekonomi lokal dalam upaya meningkatkan output dan lapangan kerja. Kecilnya pengaruh langsung investasi swasta terhadap pertumbuhan ekonomi menyebabkan pula kontribusi investasi swasta terhadap kesejahteraan masyarakat yang kecil (0,56%). Terkait dengan hal tersebut, maka diperlukan pengembangan sektor swasta, menurut Tambunan (2010:50) peranan pemerintah yang paling tepat adalah: pertama, aktif mencari sumber pertumbuhan ekonomi baru dengan menciptakan lingkungan bisnis (iklim investasi) yang kondusif agar terjadi inisiatif enterprenuer untuk menghadapi dan melakukan investasi dalam ekonomi lokal. Peranan kedua yang strategis adalah menjaga keamanan dan pelaksanaan hukum yang terjamin. Dengan keamanan, kepastian hukum dan iklim usaha yang kondusif yang ditunjang dengan sarana dan prasarana yang memadai, maka diharapkan sektor swasta 256 secara dinamis dapat melakukan perluasan kegiatan usaha. Pengaruh Variabel Tidak Langsung Antar Berdasarkan hasil analisis, ternyata semua variabel berpengaruh secara langsung mempunyai nilai koefisien yang lebih besar dibanding dengan variabel yang berpengaruh secara tidak langsung. Pengaruh langsung investasi pemerintah terhadap kesejahteraan yang lebih besar pengaruhnya dari pada pengaruh investasi pemerintah terhadap kesejahteraan secara tidak langsung melalui investasi swasta. Hasil tersebut menunjukkan bahwa investasi pemerintah merupakan variabel yang dominan dalam mempengaruhi kesejahteraan masyarakat kabupaten kota di provinsi Maluku. Dengan demikian, maka variabel investasi pemerintah ini patut diprioritaskan dalam upaya meningkatkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. PENUTUP Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang diperoleh dari studi ini adalah sebagai berikut: 1. Investasi pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap investasi swasta kabupaten kota di provinsi Maluku dengan kontribusi pengaruh sebesar 24,50 %. Arah hubungan yang positif menunjukkan bahwa peningkatan investasi pemerintah akan menyebabkan peningkatan investasi swasta. 2. Investasi pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat kabupaten kota di provinsi Maluku dengan kontribusi pengaruh sebesar 55,80 %. Arah hubungan yang positif menunjukkan bahwa peningkatan investasi pemerintah akan JESP V ol. 4, No. 2, 2012 menyebabkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. tersebut. Sejumlah rekomendasi yang dapat diberikan adalah: 3. Investasi swasta berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat kabupaten kota di provinsi Maluku dengan kontribusi pengaruh sebesar 0,56 %. Arah hubungan yang positif menunjukkan bahwa peningkatan investasi swasta akan dapat menyebabkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. 1. 4. Secara simultan dapat disimpulkan banwa secara langsung, investasi pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap investasi swasta maupun terhadap kesejahteraan masyarakat. Kemudian secara langsung investasi investasi swasta berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat. Pengaruh investasi pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat secara tidak langsung melalui investasi swasta, positif dan signifikan. Kemudian, pengaruh secara langsung mempunyai kontribusi pengaruh yang lebih besar dibanding dengan pengaruh secara tidak langsung. Sedangkan, variabel yang paling besar pengaruh langsungnya terhadap kesejahteraan masyarakat adalah investasi pemerintah, sedangkan yang paling kecil pengaruhnya terhadap kesejahteraan adalah investasi swasta. Melihat dampak investasi pemerintah yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi maupun terhadap kesejahteraan masyarakat, maka pemerintah daerah diharapkan lebih meningkatkan porsi jumlah belanja modal/investasi pemerintah dalam bentuk infrastruktur atau prasarana dasar khususnya untuk sektor tradable. Hal ini dilakukan karena sektor tradable sangat memerlukan infrastruktur yang memadai untuk memperlancar dan mempercepat akselerasi pembangunan dan berputarnya roda perekonomian disektor tersebut. Infrastruktur berguna untuk memudahkan mobilitas faktor produksi, terutama penduduk; memperlancar barang/jasa; dan tentunya memperlancar perdagangan antar daerah. Dengan memberikan perhatian terhadap investasi pemerintah ini, diharapkan akan dapat meningkatkan investasi swasta dan akhirnya dapat berdampak positif terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi. 2. Pemerintah daerah kabupaten kota di provinsi Maluku tidak bisa lagi mengandalkan pertumbuhan ekonomi pada konsumsi. Salah satu faktor yang strategis adalah bagaimana memperkuat sektor swasta dan investasi dapat ditingkatkan ditiap daerah. Oleh sebab itu, disamping kondisi makro ekonomi yang stabil serta jaminan keamanan, diperlukan perbaikan iklim investasi yang kondusif yang mencakup perbaikan mekanisme peraturan perundangan, percepatan proses pendirian dan ijin usaha, perbaikan sistem informasi investasi secara on-line, serta melakukan promosi investasi melalui media cetak maupun elektronik. Apabila sektor swasta besar peranannya dan kegiatan ekonomi Saran Studi ini merupakan bagian dari evaluasi terhadap pelaksanaan desentralisasi. Apakah telah berjalan sesuai dengan rencana, sehingga kemudian dapat ditarik suatu pelajaran sebagai masukan pembenahan untuk memastikan tujuan kebijakan desentralisasi yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah telah tercapai. Dengan demikian, maka dalam perjalanan desentralisasi, pemerintah daerah terus menyesuaikan diri menemukan bentuk implementasi terbaik guna mewujudkan tujuan desentralisasi 257 JESP V ol.4, No. 2, 2012 meluas, maka pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja akan meningkat. 3. Investasi Pemerintah juga perlu lebih diarahkan untuk peningkatan investasi modal manusia (human capital) melalui peningkatan kualitas kesehatan dan pendidikan sebagai alat kebijakan penting dalam strategi pemerintah daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Karena dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia tersebut, akan dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja yang pada gilirannya akan mampu meningkatkan pendapatan. 4. Guna pengembangan keilmuan lebih lanjut, diperlukan studi empirik yang lebih mendalam yang terkait dengan tema studi ini. Oleh sebab itu untuk penelitian yang berikutnya, diharapkan dapat memperluas cakupan periode penelitian dan memperluas cakupan variabel seperti variabel investasi swasta dan kesejahteraan masyarakat. 258 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 DAFTAR PUSTAKA Arsyad Lincolin. 2005. Pengantar Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah, Edisi Kedua. Y ogyakarta. BPFE. ---------------------. 2010. Ekonomi Pembangunan, Edisi 5. Y ogyakarta: STIM YKPN A viliani. 2009. Mengurangi Problama Investasi di Indonesia. Jurnal DIPLOMASI. Jakarta. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kementrian Luar Negeri.Hal:37-57. Badan Pusat Statistik. 2006. Maluku Dalam Angka. Ambon. ---------------------------. 2007(a). Indeks Pembangunan Manusia T ahun 2005 2006. Jakarta. ----------------------------.2007(b). Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota T ahun 2005 - 2006. Jakarta. ----------------------------.2007(c). Analisa Penyusunan Kinerja Makro Ekonomi dan Sosial Jawa Timur. Surabaya. --------------------------.2007(d). Maluku Dalam Angka. Ambon. ----------------------------.2008(a). Indeks Pembangunan Manusia T ahun 2006 2007. Jakarta. ---------------------------.2008(b). Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota T ahun 2006 - 2007. Jakarta. --------------------------.2008(c). Maluku Dalam Angka. Ambon ----------------------------.2009(a). Produk Domestik Regional Bruto PropinsiPropinsi Di Indonesia Menurut Penggunaan T ahun 2004 - 2008. Jakarta. --------------------------.2009(b). Maluku Dalam Angka. Ambon. --------------------------.2005-2008. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia. Jakarta Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan United Nations Development Programme (UNDP). 2008. Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah. Bridge (Building and Reinventing Decentralised Governance). Jakarta. Kamaludin Rustian. 1998. Pengantar Ekonomi Pembangunan, Dilengkapi dengan Analisis Beberapa Aspek Pembangunan Ekonomi Nasional. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kelompok Kerja Badan Analisa Fiskal. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Fiskal. Jakarta: Badan Analisa Fiskal DEPKEU RI dan Japan International Cooperation Agency (JICA). KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah), USAID (United States Agency For International Development), dan The Asia Foundation. 2005. Laporan Penelitian Gambaran Iklim Usaha Di 20 Daerah Kabupaten/Kota Di Indonesia. Jakarta: KPPOD Press. Latief Dochak. 2002. Pembangunan Ekonomi Dan Kebijakan Ekonomi Global. Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Mangkoesoebroto Guritno. 2001. Ekonomi Publik. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Muhidin S.A, Maman Abdurahman.2007. Analisis Korelasi, Regresi, dan Jalur Dalam Penelitian (Dilengkapi Aplikasi Program SPSS). Bandung. Pustaka Setia. Noor Henry Faisal. 2009. Investasi, Pengelolaan Keuangan Bisnis dan Pengembangan Ekonomi Masyarakat. Jakarta: PT. Indeks. Prawirosetoto Y uwono. FX. 2004. Desentralisasi Fiskal di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Bisnis. Jakarta. V ol.XI. pp.15-29. Rahardja Pratama dan Mandala Manurung. 1999. Teori Ekonomi Mikro. Jakarta. Fakultas Ekonomi – Universitas Indonesia. 259 JESP V ol.4, No. 2, 2012 Republik Indonesia. Undang-Undang No.22 dan No.25 T ahun 1999 T entang Pemerintahan Daerah dan T entang Keuangan Antara Pusat dan Daerah. -------------------------. Undang-Undang No. 32 dan No. 33 T ahun 2004 T entang Pemerintahan Daerah dan T entang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. -------------------------. Undang-Undang Nomor 17 T ahun 2003 T entang Keuangan Negara. Sukirno Sadono. 2006(a). Ekonomi Pembangunan, Proses, Masalah, dan Dasar Kebijaksanaan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. ----------------------. 2006(b). Makro Ekonomi, teori Pengantar , Edisi Ketiga. Jakarta. Raja Grafindo Persada. Suryana. 2000. Ekonomi Pembangunan. Jakarta: Salemba Empat. Tambunan Mangara. 2010. Menggagas Perubahan Pendekatan Pembangunan; Menggerakkan Kekuatan Lokal dalam Globalisasi Ekonomi. Yogyakarta. Graha Ilmu. Tarigan Robinson. 2007. Ekonomi Regional; T eori dan Aplikasi. Jakarta. Bumi Aksara. 260 Tim Peneliti Centre for Political Studies Soegeng Sarjadi Syndicated. 2001. Potensi Masa Depan Republik Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. The World Bank. 2004. W orld Development Report: A Better Investment Climate for Everyone. Washington, DC. Oxford University Press. Thomas Vinod, Mansoor Dailami, Ashok Dhareshwar, Daniel Kaufmann, Nalin Kishor, Ramon Lopez, Yan Wang. 2000. The Quality of Growth. Washington D.C: The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank. UNDP , BPS dan BAPPENAS. 2001. Indonesia Human Development Report 2001. The Economics of Democracy: Financing Human Development in Indonesia. Published Jointly By BPS – Statistics Indonesia, Bappenas and UNDP Indonesia. Widodo Suseno Triyanto. 1990. Indikator Ekonomi, Dasar Perhitungan Perekonomian Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Perencanaan Energi Daerah Provinsi Maluku Utara Agus Sugiyono Abstract Regional energy planning of North Maluku Province has two scenarios for GDP growth for the period 2010 – 2030. GDP growth is assumed an average of 6.6% per year for BAU (business as usual) scenario and 9.1% for ALT (alternative) scenario. Population growth is assumed the same for both scenarios, i.e. 2.8% per year . Based on these assumptions, the final energy demand is projected to increase from 1.79 million BOE (barrel of oil equivalent) in 2010 to 4.18 million BOE in 2030 for the BAU scenario. For the ALT scenario, final energy demand is projected to increase to 5.36 million BOE in 2030. Energy supply is projected to increase from 2.03 million BOE in 2010 to 4.77 million BOE in 2030 for the BAU scenario, or increased an average of 4.4% per year. For ALT scenarios, energy supply is projected to increase to 6.15 million BOE in 2030, or increased an average of 5.7% per year . Although there has been diversification of energy program, but the most supply of energy is still oil fuel. Regarding that the oil fuel supply is coming from outside of the province, it needs to consider the use of alternative energy to substitute the oil fuel in the long term, both for power generation or for transport sectors. Keywords: energy demand-supply, regional energy planning Undang Undang No 30 Tahun 2007 tentang energi mengamatkan pemerintah pusat untuk menyusun Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan pemerintah daerah untuk menyusun Rencana Umum Energi Daerah (RUED). Pasal 17 menyebutkan bahwa pemerintah pusat berkewajiban untuk menyusun RUEN dengan mempertimbangkan RUED dan masukan masyarakat. Pasal 18 menyebutkan bahwa pemerintah daerah berkewajiban untuk menyusun RUED dengan mengacu pada RUEN dan menetapkan RUED melalui Peraturan Daerah. Sedangkan Pasal 19 menyebutkan bahwa masyarakat dapat memberi masukan dalam penyusunan RUEN maupun RUED. RUED merupakan dokumen kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota mengenai rencana pengelolaan energi tingkat daerah di wilayah masing-masing yang bersifat lintas sektor. Pemerintah daerah dalam menyelesaikan permasalahan energi tetap harus memperhatikan kebijakan utama yang dibuat oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak dapat berdiri sendiri dalam pengelolaan sumber daya energi yang berasal dari kekayaan alam seperti diamanatkan dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar. Sesuai amanat dari UU energi ini, peran pemerintah daerah sangat besar dalam membuat dan menyusun RUED, serta memberikan rekomendasi kebijakan dalam penyusunan RUEN. RUED diharapkan berisi rencana pengembangan energi yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah berdasarkan potensi dan sumber daya energi lokal yang dimiliki daerahnya. Selain itu diharapkan berisi pula perencanaan pendanaan dan kebijakan insentif fiskal dalam pengembangan sektor energi. Perencanaan energi daerah sudah dilakukan oleh beberapa pemerintah __________________________________________ Alamat Korespondensi : Agus Sugiyono, Bidang Perencanaan Energi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta Email : [email protected] JESP V ol. 4, No. 2, 2012 provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota dengan bantuan dari pemerintah pusat. Perencanaan energi tersebut diantaranya telah dilakukan pada tahun 2001-2002 oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerja sama Y ayasan Bina Usaha Lingkungan (YBUL) dan beberapa pemerintah daerah. Pada tahun 2004 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) melaksanakan program Carepi (Contributing to Poverty Alleviation through Regional Energy Planning in Indonesia) dan dilanjutkan tahun 2010 dalam program Casindo (Capacity Development and Strengthening for Energy Policy Formulation and Implementation of Sustainable Energy Project in Indonesia) bekerja sama dengan Pemerintah Belanda. Namun demikian masih banyak daerah yang belum melaksanakan perencanaan energinya, salah satu diantaranya adalah Provinsi Maluku Utara. Oleh karena itu, tahun 2012 ini Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Energi (PTPSE), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan perencanaan energi daerah Provinsi Maluku Utara yang mendapat dukungan data dari Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan BPS Provinsi Maluku Utara. Makalah ini merupakan bagian dari studi tersebut yang mendapat pendanaan dari Program Insentif Riset, Kementerian Negara Riset dan Teknologi tahun anggaran 2012. KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI MALUKU UTARA Provinsi Maluku Utara mempunyai luas wilayah mencapai 145,8 ribu km2 dengan Ibukota Provinsi di Sofifi. Secara administratif, provinsi ini terdiri atas 7 kabupaten dan 2 kota. Kabupaten dan kota tersebut adalah: Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Halmahera Tengah, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Timur, 262 Kabupaten Pulau Morotai, Kota Ternate, dan Kota Tidore Kepulauan. Kondisi Kependudukan Penduduk Provinsi Maluku Utara berdasarkan Sensus Penduduk pada tahun 2010 berjumlah 1.038.087 jiwa. Secara keseluruhan, jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari pada penduduk perempuan. Pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu 2000-2010 rata-rata sebesar 2,45% per tahun yang masih lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan penduduk secara nasional yaitu sebesar 1,48% per tahun. Pertumbuhan penduduk tertinggi adalah di Kabupaten Halmahera Utara yaitu sebesar 5,67% per tahun dan pertumbuhan terendah adalah di Kabupaten Kepulauan Sula sebesar 0,79% per tahun. PDRB Provinsi Maluku Utara Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Maluku Utara pada tahun 2010 tercatat sebesar 5.387 miliar Rupiah atas dasar harga berlaku atau sebesar 2.981 miliar Rupiah atas dasar harga konstan tahun 2000. Pertumbuhan PDRB dalam kurun waktu 2008-2010 rata-rata mencapai 6,49% per tahun. Pertumbuhan PDRB tertinggi adalah di Kabupaten Ternate yaitu sebesar 7,95% per tahun dan pertumbuhan terendah adalah di Kabupaten Halmahera Barat yaitu sebesar 4,99% per tahun. PDRB per kapita (atas dasar harga berlaku) pada tahun 2010 adalah sebesar 5,19 juta Rupiah per kapita. Indikator PDRB per kapita digunakan untuk mengukur tingkat kemakmuran penduduk di suatu daerah. PDRB per kapita di Provinsi Maluku Utara masih di bawah rata-rata Indonesia (27,03 juta Rupiah per kapita). Potensi Sumberdaya Energi Potensi sumberdaya energi di Provinsi Maluku Utara sangat terbatas dan mempunyai skala kecil, seperti tenaga air skala kecil, dan energi terbarukan lainnya (biomasa, tenaga surya, angin dan arus JESP V ol. 4, No. 2, 2012 laut) serta potensi energi yang masih dalam tahap ekplorasi seperti minyak dan gas bumi (migas) serta panas bumi. Ada lima blok potensi migas seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Potensi tersebut sudah dilelang menjadi Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) berdasarkan production sharing contract (PSC). Sumber: Diolah dari Petrominer (2012), Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (2011), dan Badan Geologi (2007) Gambar 1. Lokasi Potensi Migas di Provinsi Maluku Utara Potensi panas bumi di Provinsi Maluku Utara mencapai 329 MWe yang tersebar di seluruh wilayah, kecuali di Kepulauan Sula dan Pulau Morotai (Lihat Tabel 1). Cadangan mungkin dan terbukti belum tersedia datanya dan masih harus dilakukan eksplorasi lebih lanjut. 263 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 T abel 1. Potensi Panas Bumi Provinsi Maluku Utara No Nama Lapangan Kabupaten a Mamuya Halmahera Utara b Ibu Halmahera Barat c Akelamo Halmahera Utara d Jailolo Halmahera Barat e Keibesi Halmahera Barat f Akesahu Tidore g Indari Halmahera Selatan h Labuha Halmahera Selatan i Songa – Wayaua Halmahera Selatan Total Potensi = 329 MWe Sumber: Badan Geologi, 2007 Potensi ( MWe ) Sumber Daya (MWe) Cadangan (MWe) Spekulatif Hipotetis Terduga Mungkin Terbukti 7 25 25 42 25 15 25 25 140 125 7 197 Berdasarkan data hasil survei Dinas ESDM Provinsi Maluku Utara, potensi tenaga air diprakirakan sekitar 12,65 – 17,10 MW. Potensi hanya bisa dimanfaatkan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PL TMH) dengan kapasitas per unit pembangkit sekitar 500 kW hingga 2 MW . Energi baru terbarukan lainnya yang dapat dimanfaatkan adalah biomasa dari limbah hasil pertanian, tenaga surya, tenaga bayu dan tenaga arus laut. Potensi energi baru terbarukan lainnya masih tahap terindikasi dan perlu inventarisasi lebih lanjut. PRAKIRAAN PERMINT AAN PENYEDIAAN ENERGI Indonesia (MP3EI). Pengembangan dilakukan dengan pendekatan terobosan (breakthrough) dan bukan business as usual. MP3EI dimaksudkan untuk mendorong terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berimbang, berkeadilan dan berkelanjutan (Menko Perekonomian, 2011). Wilayah pelaksanaan MP3EI dibagi menjadi enam koridor dan Provinsi Maluku Utara termasuk ke dalan koridor 6. Tema pembangunan di koridor ini adalah sebagai pusat pengembangan pangan, perikanan, energi, dan pertambangan nasional. Untuk Provinsi Maluku Utara pembangunan budidaya perikanan mempunyai peluang yang sangat besar dan sudah dirintis dengan mengembangkan Mega Minapolitan Morotai. Asumsi pertumbuhan PDRB untuk skenario ALT adalah sebesar 9,1% per tahun. Sedangkan pertumbuhan penduduk sama dengan skenario BAU. DAN Dalam membuat perencanaan energi untuk jangka panjang diperlukan data dan asumsi sebagai acuan. Tahun dasar yang digunakan adalah tahun 2010 dan diproyeksikan hingga tahun 2030. Pemilihan tahun 2010 sebagai tahun dasar karena seluruh data terkait energi sudah dipublikasi secara lengkap. Dalam perencanaan ini dibuat dua buah skenario, yaitu: skenario dasar (business as usual/BAU) dan skenario alternatif (AL T). Skenario BAU mengasumsikan pertumbuhan PDRB dan penduduk tumbuh sesuai dengan perkembangan historis. Pertumbuhan PDRB dipertimbangkan untuk setiap kabupaten/kota dan untuk periode 2010 – 2030 pertumbuhan PDRB diprakirakan rata-rata sebesar 6,6% per tahun, sedangkan pertumbuhan penduduk sebesar 2,8% per tahun. Skenario ALT merupakan skenario yang mengoptimalkan pertumbuhan sesuai dengan Pengembangan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi 264 Konsumsi Energi Saat Ini Energi yang digunakan di Provinsi Maluku Utara terutama adalah bahan bakar JESP V ol. 4, No. 2, 2012 minyak (BBM), LPG dan listrik. Berdasarkan data Pertamina, penggunaan BBM meningkat dari 248 ribu kl pada tahun 2007 menjadi 263 ribu kl pada tahun 2010 atau meningkat rata-rata 1,9% per tahun. Pada tahun 2010 pangsa terbesar adalah penggunaan minyak solar dengan pangsa 52%, diikuti oleh premium (26%), minyak tanah (18%), dan avtur (4%). Konsumsi minyak bakar terus berkurang, pada tahun 2007 masih digunakan sebesar 600 kl dan tahun 2010 sudah tidak digunakan lagi. 2010: Total Konsumsi BBM 263 ribu kl Saat ini belum ada kewajiban untuk mengkonversikan minyak tanah ke LPG di sektor rumah tangga. Meskipun demikian penggunaan minyak tanah relatif tidak meningkat, sedangkan penggunaan LPG meningkat sangat pesat. Penggunaan LPG meningkat dari 57 ribu kg pada tahun 2007 menjadi 420 ribu kg pada tahun 2010, atau meningkat rata-rata sebesar 94,1% per tahun. Konsumsi BBM dan LPG di Provinsi Maluku Utara pada tahun 2010 ditunjukkan pada Gambar 2. 2010: T otal Konsumsi LPG 420 ribu kg M.Bakar 0% Avtur 4% M.Tanah 18% Premiun 26% M.Solar 52% Industri 27% Rumah Tangga 73% Sumber: Diolah dari Pertamina, 2012 Gambar 2. Konsumsi BBM dan LPG di Provinsi Maluku Utara (2010) Distribusi BBM untuk Provinsi Maluku Utara dilayani oleh Pertamina UPMS VIII Jayapura. Pertamina UPMS VIII melayani penyediaan dan distribusi BBM yang meliputi 4 provinsi, yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara. Ada beberapa kendala yang dihadapi dalam penyedian BBM di wilayah ini. Kendala tersebut, diantaranya adalah posisi geografis yang merupakan wilayah kepulauan dengan banyak daerah yang masih terpencil (remote area). Kondisi gografis yang merupakan wilayah kepulauan memerlukan sarana tanker yang handal dengan jumlah yang cukup sehingga penyediaan ke lokasi-lokasi depot dapat terpenuhi tepat waktu. Disamping itu kondisi cuaca yang sering terjadi gelombang laut yang besar juga merupakan kendala dalam distribusi BBM. 265 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Tahuna Tarakan Tobelo Manado Pontianak Samarinda Sintang P. Pisau Pkl. Bun Sumatera/ Impor Balikpapan Banjarmasin Depot BBM Poso Kolonedale Sampit Keterangan: Toli-toli Gorontalo Moutong Donggala Palopo Kotabaru Parepare Makasar Ternate Sorong Wayame Sanana Kolaka Kendari Biak Labuha Luwuk Banggai Ampana Namlea Masohi Ambon Manokwari Serui Fak-fak Bula Nabire Jayapura Raha Tual Bau-bau Instalasi Saumlaki Dobo Merauke Terminal Transit Sumber: Diolah dari Pertamina, 2012 Gambar 3. Sistem Distribusi BBM untuk Provinsi Maluku Utara dan Sekitarnya Pelanggan listrik PLN pada tahun 2010 mencapai 113,8 ribu pelanggan dengan daya tersambung sebesar 86,3 MV A dan listrik terjual mencapat 166,7 GWh. Pengguna listrik terbesar adalah Kota Ternate dengan pangsa penggunaan mencapai 49% dari total penggunaan listrik di Provinsi Maluku Utara. Berdasarkan sektornya, penggunaan listrik terbesar adalah sektor rumah tangga dengan pangsa mencapai 65% diikuti oleh sektor bisnis (17%), pemerintah (14%), sosial (3%) dan industri (1%). Dengan melihat komposisi penggunaan listrik ini maka terlihat bahwa proses industrialisasi di Maluku Utara belum berjalan. 266 Sistem kelistrikan di Provinsi Maluku Utara terdiri atas 7 sistem kelistrikan yang cukup besar yaitu sistem Ternate, Tobelo, Jailolo-Sofifi, Soa-Siu (Tidore), Bacan, Sanana dan Daruba (Lihat Gambar 4). Disamping itu terdapat 21 unit pusat pembangkit kecil tersebar. Beban puncak gabungan sistem kelistrikan saat ini sekitar 60 MW yang dipasok dengan menggunakan PLTD tersebar yang terhubung langsung ke sistem distribusi 20 kV . Sistem terbesar di Maluku Utara adalah sistem Ternate yang memiliki penyediaan pembangkit sekitar 35 MW yang terdiri dari pembangkit sendiri 14,8 MW dan mesin sewa 20,3 MW (PLN, 2011). JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Bere Bere Daruba 1,1 MW 3 Kedi Sofifi 2,01 MW Jailolo 1,90 MW 1 Ternate 17,2 MW 4 Soa-Siu 2,48 MW Tobelo 4,95MW Galela Ibu 7 2 Malifut Kao Sidangoli Lolobata Maba Subaim Payahe Weda Patani Maffa Kayoa Saketa 5 Bacaan 2,54 MW Madopolo Laiwui Jiko Bobong Dofa Mangoli Sanana 1,95 MW 6 Sumber: PLN (2011) Gambar 4. Sistem Kelistrikan Provinsi Maluku Utara PT PLN (Persero) disamping mengembangkan pembangkit listrik konvensional juga mengembangan pembangkit menggunakan energi terbarukan, salah satunya yaitu pembangkit listrik tenaga surya (PL TS) terpusat di Kabupaten Pulau Morotai. PL TS Morotai mempunyai kapasitas 600 kilo Watt peak (kWp) dan merupakan PL TS terbesar yang pernah dioperasikan PLN di seluruh Indonesia. Luas lahan untuk PLTS ini mencapai 3 Ha. Dengan pengoperasian PL TS ini mampu mengurangi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) rata-rata sebesar 800 liter per hari atau setara dengan penghematan senilai Rp. 2,5 miliar per tahun. Prakiraan Pertumbuhan Sosial Ekonomi Berdasarkan skenario dasar (BAU), PDRB Provinsi Maluku Utara atas dasar harga konstan tahun 2000 diprakirakan akan tumbuh dari sebesar 2,98 triliun Rupiah pada tahun 2010 menjadi 10,67 triliun Rupiah pada tahun 2030 atau meningkat rata-rata sebesar 6,6% per tahun. Sedangkan untuk skenario alternatif (AL T) pada tahun 2030 diprakirakan menjadi sebesar 16,96 triliun Rupiah, atau meningkat rata-rata sebesar 9,1% per tahun. Perbandingan antara skenario BAU dan ALT ditunjukkan pada Gambar 5. Sedangkan jumlah penduduk meningkat dari 1.038 ribu jiwa pada tahun 2010 menjadi 1.819 ribu jiwa pada tahun 2010 atau meningkat rata-rata sebesar 2,8% per tahun. 267 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Triliun Rupiah 18 16 Skenario ALT 14 Skenario BAU 12 10 8 6 4 2 2030 2029 2028 2027 2026 2025 2024 2023 2022 2021 2020 2019 2018 2017 2016 2015 2014 2013 2012 2011 2010 0 Gambar 5. Perbandingan Prakiraan Pertumbuhan PDRB meningkat dari 1,79 juta SBM (Setara Barel Minyak) pada tahun 2010 menjadi 4,18 juta SBM pada tahun 2030 atau meningkat rata-rata sebesar 4,3% per tahun. Pada skenario ALT permintaan energi diprakirakan akan meningkat menjadi 5,36 juta SBM pada tahun 2030 atau meningkat rata-rata sebesar 5,7% per tahun. 3.2. Prakiraan Permintaan Energi Peningkatan permintaan energi terutama dipengaruhi oleh pertumbuhan PDRB dan penduduk. Perbandingan prakiraan permintaan energi final untuk skenario BAU dan skenario ALT ditunjukkan pada Gambar 6. Pada skenario BAU permintaan energi diprakirakan akan 6.0 Skenario ALT Juta SBM 5.0 Skenario BAU 4.0 3.0 2.0 1.0 2030 2029 2028 2027 2026 2025 2024 2023 2022 2021 2020 2019 2018 2017 2016 2015 2014 2013 2012 2011 2010 0.0 Gambar 6. Perbandingan Prakiraan Permintaan Energi Final Prakiraan permintaan energi final per sektor untuk skenario BAU ditunjukkan pada Gambar 7. Pada gambar terlihat bahwa pada tahun 2010 sektor rumah tangga mempunyai pangsa terbesar pengguna energi yaitu sebesar 44% dari total permintaan energi provinsi. Pangsa 268 terbesar kedua adalah sektor transportasi dengan pangsa sebesar 32% diikuti oleh sektor industri (18%), sektor komersial (3%) dan yang paling kecil adalah sektor lainnya (2%). Pada tahun 2030 pangsa terbesar pengguna energi sudah bergesar ke sektor transportasi meskipun sektor JESP V ol. 4, No. 2, 2012 barang di masa depan diprakirakan akan terus meningkat. Sedangkan untuk skenario ALT, pangsa permintaan energi relatif tidak berubah hanya lebih besar total permintaan energinya. sektor rumah tangga juga masih dominan dalam pengkonsumsi energi. Sektor transportasi akan meningkat tajam permintaan energinya mengingat Provinsi Maluku Utara merupakan wilayah kepulauan dan mobilitas orang serta 4.5 4.0 Juta SBM 3.5 3.0 Lainnya 2.5 Komersial 2.0 Transportasi Rumah Tangga 1.5 Industri 1.0 0.5 2030 2029 2028 2027 2026 2025 2024 2023 2022 2021 2020 2019 2018 2017 2016 2015 2014 2013 2012 2011 2010 0.0 Gambar 7. Prakiraan Permintaan Energi Final per Sektor (Skenario BAU) 3.3. Prakiraan Penyediaan Energi Penyediaan energi dapat ditentukan berdasarkan permintaan energi dengan mempertimbangkan rugi-rugi selama transportasi maupun proses transformasi. Dengan mengasumsikan rugi-rugi transmisi dan distribusi listrik sebesar 10% dan efisiensi termal pembangkit listrik tenaga diesel (PL TD) sebesar 33% maka dapat ditentukan penyediaan energi untuk Provinsi Maluku Utara pada skenario dasar (BAU) seperti ditunjukkan pada Gambar 8. Penyediaan energi meningkat dari 2,03 juta SBM pada tahun 2010 menjadi 4,77 juta SBM pada tahun 2030 atau meningkat rata-rata sebesar 4,4% per tahun. Pada skenario BAU semua pembangkit diasumsikan menggunakan PL TD sehingga sebagian besar penyediaan energi berupa bahan bakar minyak (BBM). Sampai saat ini semua BBM dipasokan dari wilayah lain sehingga sistem transportasi BBM melalui laut memegang peranan penting dalam mendukung ketahanan energi Provinsi Maluku Utara. Minyak solar mendominasi penyediaan dengan pangsa 41% pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 51% pada tahun 2030. 269 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 5.0 4.5 4.0 Juta SBM 3.5 Kayu Bakar 3.0 LPG 2.5 Avtur 2.0 M. Solar 1.5 M. Tanah 1.0 Bensin 0.5 2030 2029 2028 2027 2026 2025 2024 2023 2022 2021 2020 2019 2018 2017 2016 2015 2014 2013 2012 201 1 2010 0.0 Gambar 8. Prakiraan Penyediaan Energi Provinsi Maluku Utara (Skenario BAU) Pada skenario alternatif (AL T) sudah ada diversifikasi bahan bakar untuk pembangkit listrik sesuai dengan rencana PLN seperti penggunaan energi surya, energi panas bumi, tenaga air skala kecil (PL TMH) dan batubara. Prakiraan penyediaan energi untuk skenario ALT ditunjukkan pada Gambar 9. Penyediaan energi meningkat dari 2,03 juta SBM pada tahun 2010 menjadi 6,15 juta SBM pada tahun 2030 atau meningkat rata-rata sebesar 5,7% per tahun. Meskipun sudah ada diversifikasi namun penyediaan energi yang terbesar masih dipenuhi dari minyak solar. Untuk jangka panjang perlu dipikirkan energi alternatif untuk mensubsitusi minyak solar ini tidak hanya untuk pembangkit listrik tetapi juga untuk sektor transportasi dan sektor lainnya. 6.5 6.0 5.5 Batubara 5.0 Surya Juta SBM 4.5 Panas Bumi 4.0 3.5 Air 3.0 Kayu Bakar 2.5 LPG 2.0 Avtur 1.5 M. Solar 1.0 M. Tanah 0.5 Bensin 2030 2029 2028 2027 2026 2025 2024 2023 2022 2021 2020 2019 2018 2017 2016 2015 2014 2013 2012 201 1 2010 0.0 Gambar 9. Prakiraan Penyediaan Energi Provinsi Maluku Utara (Skenario AL T) KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Peranan energi sangat penting untuk peningkatan kegiatan ekonomi baik di level nasional maupun level provinsi. Pengelolaan energi harus dilaksanakan 270 secara, berkesinambungan dan dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat. Untuk mengoptimalisasi pengelolaan energi tersebut diperlukan suatu perencanaan energi yang komprehensif. Perencanaan energi daerah Provinsi Maluku Utara mengasumsikan JESP V ol. 4, No. 2, 2012 pertumbuhan PDRB untuk periode 2010 2030 rata-rata sebesar 6,6% per tahun untuk skenario BAU dan 9,1% untuk skenario AL T. Pertumbuhan penduduk diasumsikan sama untuk kedua skenario yaitu sebesar 2,8% per tahun. Berdasarkan asumsi tersebut, permintaan energi final diprakirakan akan meningkat dari 1,79 juta SBM pada tahun 2010 menjadi 4,18 juta SBM pada tahun 2030 untuk skenario BAU. Sedangkan untuk skenario ALT permintaan energi final diprakirakan akan meningkat menjadi 5,36 juta SBM pada tahun 2030. Konsumsi energi final per sektor untuk tahun 2010 masih didominasi oleh sektor rumah tangga dengan pangsa sebesar 44% dari total permintaan energi. Pangsa terbesar kedua adalah sektor transportasi sebesar 32% diikuti oleh sektor industri (18%), sektor komersial (3%) dan sektor lainnya (2%). Pada tahun 2030 untuk skenario BAU pangsa terbesar pengguna energi sudah bergesar ke sektor transportasi. Sektor transportasi akan meningkat tajam permintaan energinya mengingat Provinsi Maluku Utara merupakan wilayah kepulauan dan mobilitas orang serta barang di masa depan diprakirakan akan terus meningkat. Prakiraan permintaan energi final per bahan bakar untuk skenario BAU didominasi oleh peningkatan permintaan minyak solar. Pangsa penggunaan minyak solar meningkat dari 28% pada tahun 2010 menjadi 38% pada tahun 2030. Hal ini terkait dengan perkembangan sektor transportasi yang sebagian besar menggunakan minyak solar. Penyediaan energi untuk skenario BAU meningkat dari 2,03 juta SBM pada tahun 2010 menjadi 4,77 juta SBM pada tahun 2030 atau meningkat rata-rata sebesar 4,4% per tahun. Penyediaan energi untuk skenario AL T meningkat menjadi 6,15 juta SBM pada tahun 2030 atau meningkat rata-rata sebesar 5,7% per tahun. Meskipun sudah ada diversifikasi namun penyediaan energi yang terbesar masih dipenuhi dari BBM. Mengingat BBM dipasok dari luar provinsi maka untuk jangka panjang perlu dipikirkan penggunaan energi alternatif untuk mensubsitusi BBM, baik untuk pembangkit maupun untuk sektor transportasi. Saran Dari pembahasan sebelumnya dapat diusulkan saran-saran dalam pengembangan sektor energi di Provinsi Maluku Utara. • Mendorong perguruan tinggi setempat untuk berperan dalam perencanaan, pengembangan dan pemanfaatan sumber energi alternatif seperti bahan bakar nabati (BBN), biogas, PLTMH dan PLTP . Pengembangan energi alternatif ini sangat diperlukan karena penyediaan BBM secara keseluruhan berasal dari luar provinsi. BBN dapat digunakan untuk mensubstitusi BBM di sektor transportasi, biogas untuk substitusi BBM di sektor rumah tangga serta PLTMH dan PLTP untuk mensubstitusi BBM untuk pembangkitan tenaga listrik. • Mendorong pemanfaatan BBN yang berasal dari bahan baku lokal secara maksimal sebagai substitusi BBM, khususnya minyak solar. Pemanfaatan BBN yang berasal dari bahan baku lokal diharapkan dapat menjadi multiplier effect bagi pertumbuhan perekonomian daerah. • Mendorong pelaksanaan perencanaan pembangunan yang terintegrasi dan lintas sektoral supaya dapat menjamin ketersediaan energi untuk jangka panjang. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Adhi Dharma Permana dan Prof. Ir. M. Sidik Boedoyo, M.Eng. yang telah mengorganisasi dan membantu dalam kegiatan Insentif Riset dari Kementerian Negara Riset dan Teknologi tahun anggaran 2012. 271 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 DAFTAR PUSTAKA Badan Geologi (2007) Survei dan Eksplorasi Panas Bumi di Seluruh Wilayah Indonesia, Bandung. BPS Provinsi Maluku Utara (2011) Provinsi Maluku Utara Dalam Angka 2011, Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (2011) Petroleum Bidding Round Y ear 2011, Jakarta. Menko Perekonomian (2011) Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, 272 Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta. Pertamina (2012) Data untuk Kuesionar BPPT, tidak dipublikasi, Jakarta. Petrominer (2012) Indonesia Petroleum W orks Area 2012, Jakarta. PLN (2011) Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN (Persero) 2011-2020, PT PLN (Persero), Jakarta. PLN Ternate (2012) Kondisi Ketenagalistrikan di Provinsi Maluku Utara, Bahan Presentasi untuk BPPT, PLN (Persero) Cabang Ternate, Ternate. JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Analisis Faktor Eksternal dan Internal Terhadap Kinerja Usaha Mikro dan Kecil (UMK) di Kota Ternate Amran Husen Abstract The purposes ofthe researchare: (1) toanalyze the external factors influence which consist of overnmental policy, socialeconomics and culture, andrelated institute role aspect to internal factors of Small and Micro Business; (2) toanalyze the external factors influence which consistof governmental policy, social economics andculture, and related institute role aspectto Small and Micro Business Performance; and(3) to analyze the internal factorsin fluencew hich consists of human resource, financial, technique production and operation, and marketor marketing aspectto Smalland Micro Business Performance. Research locatio nin Ternate. Total respondents are 147 which divided in two location with the same proportion; i.e. Ternateare147 respondent.; The Sample technique use ssimple random sampling. The data analyzed by descriptive analysis and Structural Equation Modeling (SEM). Dataprocessing performed bysoftware AMOS4.01, and SPSS for windows. There sults indicate that: (1)external factors which consist of governmental policy, social economics and culture, and related institute roleaspect havesignificantlyand positiveeffecttointernal factorsof smalland microbusinesswith contribution equal to 0,950(95%); (2)external factors which consist of governmental policy, social economics and culture,and related instituterole aspect have significantly and positive effectt osmall and micro business performance with contribution equal to 0,223 (22,3%); and (3) Internal factors which consists of human resource, financial, technique production and operation, and market ormarketing aspect have significantly and positive effect to small and micro business performance with contribution equal to 0,720(72,0%) Keywords : external factors, nternalfactors, smalland micro business performance PENDAHULUAN Fungsi dan peran Usaha Mikro dan Kecil (UMK) saat ini dirasakan begitu penting, karena sektor ini bukan saja sebagai sumber mata pencaharian orang banyak, tetapi juga menyediakan secara langsung lapangan kerja bagi mereka yang tingkat pengetahuan dan ketrampilannya rendah, sebagai kelompok usaha kecil, UKM selalu terjebak dalam problem keterbatasan modal, teknik produksi, pemasaran, manajemen, dan teknologi. Sebagai upaya untuk mengembangkan usaha kecil dalam rangka memperluas perannya di dalam perekonomian nasional, diperlukan serangkaian pembinaan secra terpadu dan berkelanjutan untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, terutama bersumber pada masalah keterbatasan pengetahuan, informasi dan permodalan (Hafsah, 2000:8). Kondisi dan faktat ersebut sejalan dengan hasil penelitian empiris yang dilakukanD emirbagetal., (2006) yang menyimpulkan bahwa keberhasilan usaha kecil dan menengah (small-medium enterprises) memiliki dampak langsung terhadap pembangunan ekonomi baik pada negara maju maupun negara berkembang. Usaha kecil dan menengah memiliki kemampuan untuk menciptakan lapangan kerja dengan biaya minimum, mereka adalah pelopor dalam dunia inovasi dan memiliki fleksibilitas tinggi yang memungkinkan usaha tersbut untuk memenuhi kebutuhan pelanggan __________________________________________ Alamat Korespondensi : Amran Husen, Fakultas Ekonomi Universitas Khairun Ternate, Ternate Selatan Email : amran. [email protected] JESP V ol.4, No. 2, 2012 (Brockdan Evans,1986; ACS dan Audretssch, 1990). Peran yang dimainkan oleh sektor ini diharapkan akan tetap berlanjut dengan cara pemerintah dan pihak terkait memiliki acuan yang jelas tentang faktorfaktor yang mempengaruhi peningkatan kinerja usaha tersebut. Kinerja sektor usaha mikro dan kecil (UMK) dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni faktor-faktor eksternal dan faktor-faktor internal. Faktor internal meliputi aspek SDM (pemilik, manajer, dan karyawan); aspek keuangan, aspek teknis produksi; dan spek pemasaran. Sedangkan Faktor eksternal terdiri dari kebijakan pemerintah, aspek sosial budaya dan ekonomi, serta peranan lembaga terkait seperti Pemerintah, PerguruanTinggi, Swasta, dan LSM. (McCommicket.al, 1997; Zang, 2001; Laceiva, 2004; Haris Maupa, 2004; dan Dinas Kop dan UKM Kota Ternate, 2009). Pengembangan Usaha Mikro dan Kecil merupakan bagian yang terintegrasi dalam program pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Kota Ternate. Kegiatan pengembangannya ditujukan sebagai salah satu pilar ekonomi kerakyatan yang dapat menjadi penggerak utama perekonomian daerah, lebih khusus lagi bagi terwujudnya program “Bahari Berkesan di Kota Ternate. Oleh karena itu, perhatian pemerintah Kota Ternate terhadap sektor inisangat besar. Hal ini dibuktikan dengan adanya strategi, program dan rencana aksi (actionplan)untuk membangunUsaha Mikro dan Kecil (UMK). Beberapa program yang telah dilakukan misalnya program pelatihan di Kota Ternate (Dinas Koperasi danUKM SulSel, 2006) Beberapa penelitian dan studi sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini dan dapat dijadikan acuan atau rujukan untuk dikembangkan dalam penelitian ini antara lain ialah: (1)McCommick et.al (1997) melakukan penelitian di Nairobi dengan menguji variabel modal awal, permintaan, umur, 274 tingkat pendidikan, etnik,tersedianya kredit, dan bauran produk. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Modal awal,tersedianya kredit,bauran produk dan permintaan serta umur, tingkat pendidikan,etnik dari wirausaha berhubungan dengan pertumbuhan perusahaan (dalam pertumbuhan tenaga kerja); (2)CrijnsdanOoghi (2000) mengungkapkan bahwa setiap tahap pertumbuhan perusahaan merupakan hasil dari dua lingkungan dimana perusahaan melakukan bisnisnya,yakni lingkungan internald an eksternal. Faktor eksternal penting yang mempengaruhi pertumbuhan perusahaan adalah: industri dan pasar, perusahaan pesaing, dan iklim ekonomi. Sedangkan faktor internal yang sangat penting (criticaldevelopment factors) untuk pertumbuhan perusahaan adalah: pengusaha kecil sebagai manajer, perusahaan sebagai organisasi, kepemilikan atau struktur kepemilikan. Penelitian Wisardja (2000) menunjukkan bahwa faktor lingkungan industri yang unsur-unsurnya adalah pelanggan, pemasok, pesaing dan teknologi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keberhasilan usaha industri ukiran kayu di Kabupaten Gianyar, Propinsi Bali; dan unsur pelanggan berpengaruh paling dominan terhadap keberhasilan usaha kayu tersebut. Zhang(2001) menyimpulkan bahwa dua prekondisi utama untukt umbuhnya usaha kecil,yakni kemampuan perusahaan untuk mempertahankan kelangsungan hidup jangka panjang,dan kemampuan manajer untuk mengatasi hambatan manajemen. Berkaitan dengan aspek lingkungan, Wilkinson (2002) menyatakan bahwa usaha kecil dan mikro akan tumbuh bilamana lingkungan aturan/kebijakan mendukung, lingkungan makro ekonomi dikelola dengan baik, stabil, dan dapat diprediksi; informasi yang dapat dipercaya dan mudah diakses,dan lingkungan sosial mendorong dan menghargai keberhasilan usaha tersebut. Studi yang dilakukan oleh Maupa (2004) menunjukkan: (1) JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Karakteristik individu manajer/pemilik, karakteristik perusahaan,lingkungan eksternal bisnis, dan dampak kebijakan ekonomidan sosial mempunyai pengaruh langsung, positif, dan signifikan terhadap strategi bisnis dan pertumbuhan usaha; (2) Karakterisitik perusahaan,dan dampak kebijakan sosial dan ekonomi mempunyai pengaruh langsung yang negatif terhadap strategi bisnis; dan (3) Strategi bisnis mempunyai pengaruh langsung, positif, dan signifikan terhadap pertumbuhan perusahaan. Berdasarkan beberapaliteratur yang telah disarikan dan studi empiris sebelumya, maka penelitian inidifokuskan pada menguji keterkaitan antara faktor-faktor eksternal dan internal dan pengaruhnya terhadap kinerja Usaha Mikro dan Kecil (UMK ) di Kota Ternate KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Pikir Berdasarkan telaah pustaka yang telah ipaparkan pada bagians ebelumnya, maka dibangunlah sebuah kerangka pikir yang akan diuji hubungannya melalui penelitian ini. Adapun mode lyang dikonstruksi sebagai kerangka pikir dalam penelitian ini disajikan pada Gambar1. AspekSDM AspekKeuangan FaktorFaktor Internal Aspek Teknis Produksi Dan Operasi Pertumbuhan Penjualan H3 Pertumbuhan Modal Aspek Pasar dan Pemasaran H1 AspekKebijakan Pemerintah di SektorUMK AspekSosial,budaya, Dan Ekonomi Kinerja UMK Pertumbuhan TenagaKerja Pertumbuhan Pasar H2 FaktorFaktor Eksternal Pertumbuhan Laba Aspek Peranan Lembaga Terkait Gambar1.ModelKerangkaPikirPenelitian Hipotesis Berdasarkan kajian literature dan skema kerangka pikir penelitian diatas, maka dirumuskan hipotesispenelitian sebagai berikut: H1: Faktor-faktor eksternal mempunyai pengaruh signifikan dan positif terhadap faktor-faktor internal Usaha Mikro Kecil (UMK). H2: Faktor-Faktor eksternal mempunyai pengaruh signifikan dan positif terhadap Kinerja Usaha Mikro Kecil 275 JESP V ol.4, No. 2, 2012 (UMK). H3: Faktor-faktor internal mempunyai pengaruh signifikan dan positif terhadap kinerja Usaha Mikro Kecil (UMK) METODEPENELITIAN Penelitian inidilakukan di KotaTernate. V ariabel yang akan diuji dalam penelitian ini terdiri atas variabel eksogen, dan variabel endogen. V ariabel eksogen yaitu faktor-faktor eksternal (X) yang dibentuk oleh beberapa subvariabel yakni Aspek kebijakan pemerintah (x1) dengan 4 indikator; Aspek sosial budaya, dan ekonomi (x2) dengan 4 indikator; Aspek peranan lembaga terkait (x3) dengan 4 indikator; V ariabel endogen 1 ( juga sebagai variable eksogen bagi endogen 2 ), yaitu faktor-faktor internal (Y) yang dibentuk oleh beberapa subvariabel yakni aspek sumber daya manusia (y1) dengan 4indikator; aspekkeuangan (y2) dengan 4 indikator; aspek teknis produksi dan operasional (y3) dengan 4indikator; dan aspek pasar dan pemasaran (y4) dengan 4 indikator. V ariabel endogen-2, yaitu variable kinerja usaha (Z) dengan 5 indikator yang membentuknya. Pengukuran variabel penelitian berdasarkan pada persepsi atau tanggapan responden terhadap seluruh indikator variabel yang telah dikonstuksi pada model (Sugiyono 2003). Jawaban responden terhadap setiap pernyataan diberi skoring menurut Skala Likert, yakni dengan skor 1 untuk nilai paling terendah dan skor 5 untuk nilai paling tinggi. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang tercatat pada Dinas Koperasi dan UKM dilokasi penelitian. Adapun jumlah UMK di Ternate 140 (Dinas Koperasi dan UKM Kota Ternate 2009). Dengan asumsi bahwa karakteristik populasi relative homogen, maka penarikan sampel penelitian menggunakan teknik acak sederhana (simple random sampling). Responden yang dijadikan sampel adalah pengusaha/pemilik usaha. Jumlah sampel yang dijadikan responden sebanyak 140 pengusaha dengan proporsi yang sama, yakni 140 responden di Kota Ternate. Pengujian validitas dilakukan dengan menggunakan pearson correlation, dimana suatu indicator/ item dinayatakan valid apabila nilair kritis>0,3. (Hairet.al, 1999). Pengujian reliabilitas menggunakan teknik alpha cronbach, dimana suatu konstruk atau variable dinyatakan handal apabila memiliki nilai alpha cronbach > 0,6. (Zeithaml, et al. 1998). Hasil pengujian validitas dan reliabilitas instrument disajikan pada Tabel 1, 2, 3, dan 4. Tabel1.HasilPengujianValiditasFaktor-FaktorEkternal No 1 2 276 Variabel/Indikator Aspek Kebijakan Pemerintah: a. Akses permodalan dan pembiayaan b. Kegiatan pembinaan melalui dinas/SKPD terkait c. Peraturan dan regulasi yang pro bisnis d. Penyiapan lokasi usaha dan penyediaan informasi Aspek Sosbud&Ekonomi a. Tingkat pendapatan masyarakat b. Trsediannya lapangan kerja Total Correlation Product Moment Keterangan Sebelum Sesudah 0,2730 0,5005 0,5122 0,4300 0,3670 0,6264 0,6184 0,5437 V alid V alid V alid V alid 0,4320 0,5570 0,4800 0,7156 0,6733 0,6461 V alid V alid V alid JESP V ol. 4, No. 2, 2012 c. Iklim usaha dan investasi d. Pertumbuhan ekonomi 3 Peran Lembaga Terkait a. Bantuan Permodalan dari Lembaga Terkait b. Bimbingan teknis/pelatihan c. Pendampingan d. Monitoring evaluasi 0,3230 0,6350 0,5570 0,4800 0,3230 0,4800 V alid 0,6552 0,6733 0,6461 0,4800 V alid V alid V alid V alid V alid T abel 2. Hasil Pengujian Validitas Faktor-FaktorInternal No 1 2 3 4 Variabel/Indikator Aspek sumberdaya manusia: a. Tingkat pendidikan formal b. Jiwa kepemimpinan c. Pengalaman/lama berusaha d. Motivasi dan ketrampilan Aspek Keuangan: a. Modal sendiri b. Modal pinjaman c. Tingkat keuntungan dan akumulasi modal d. Membedakan pengeluaran pribadi/keluarga Aspek teknis dan operasional: a. Ketersediaan bahan baku b. Kapasitas produksi c. Tersedia mesin/peralatan d. Teknologi moderen dan pengendalian kualitas Aspek pasar dan Pemasaran: a. Permintaan pasar b. Penetapan harga bersaing c. Kegiatan promosi d. Saluran distribusi dan wilayah pemasaran Total Correlation Product Moment Keterangan sebelum Sesudah 0,4421 0,4325 0,3217 0,4098 0,5348 0,4873 0,5692 0,5832 V alid V alid V alid V alid 0,4986 0,5096 0,3,872 0,32109 0,5238 0,6230 0,4980 0,4128 V alid V alid V alid V alid 0,3980 0,5092 0,4210 0,4321 0,3541 0,6897 0,6210 0,5321 V alid V alid V alid V alid 0,6432 0,7654 0,7609 0,5432 V alid V alid V alid V alid V alid 0,5350 0,5327 0,4469 0,6230 T abel 3. Hasil Pengujian Validitas Variabel Kinerja Usaha No 1 Variabel/Indikator a. b. c. d. Pertumbuhan penjualan meningkat Pertumbuhan modal meningkat Penambahan tenaga kerja setiap tahun Pertumbuhan pasar dan pemasaran semakin baik e. Pertumbuhan keutungan/laba semakin meningkat Total Correlation Product Moment Keterangan sebelum Sesudah 0,6437 0,5321 0,4328 0,3098 0,6709 0,5329 0,6432 0,4320 V alid V alid V alid V alid 277 JESP V ol.4, No. 2, 2012 T abel 4. Hasil Pengujian Reliabilitas Instrumen No Variabel/Indikator a. b. c. d. e. f. g. h. Aspek Sumber Daya Manusia Aspek Keuangan Aspek Teknis Produksi&Operasi Aspek Pasar&Pemasaran Kebijakan Pemerintah Dampak Sosial Budaya&Ekonomi Peranan Lembaga Terkait Kinerja Usaha Berdasarkan hasil pengujian pada tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa validitas dan reliabilitas instrumen yang digunakan baik sebelum maupun sesudah pengumpulan data dinayatakan valid dan reliabel. Hal ini dapat dilihat dari nilai total corelation semua indikator (r > 0,30); dan alpha cronbach setiap variabel > 0,60. Kemudian untuk menguji hipotesis penelitian, ada 2 (dua) model dan teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu : (1) Analisis deskriptif; dan (2) Structural Equation Modeling (SEM). Untuk menghindari human error, maka pengolahan data penelitian menggunakan bantuan software Amos versi 4.01, serta SPSS for windows. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Deskripsi Karakteristik Responden Responden penelitian ini dominan dengan jenis kelamin laki-laki, yakni sebesar 220 orang (74,7%) dan perempuan 70 orang (25,3%). Sebagian besar responden berasal dari daerah yang secara tradisional dipandang memiliki kultur berdagang yang kuat yaitu suku Tidore 156 orang (52%) dan suku makian 100 orang (33,3%). Sisanya berasal dari campuran suku buton, Palu, Manado, Dayak, dan Sunda. Tingkat pendidikan responden dominanberada pada tingkat SMA yakni sebesar 180 orang(60%), sisanya berada pada tingkat 278 Cronbach Keterangan Alpha (α) 0.6231 0.6976 0.5752 0.6348 0.5854 0.6876 0.5097 0.5321 Reliable Reliable Reliable Reliable Reliable Reliable Reliable Reliable Sarjana/S1sebanyak 40 orang (13,3%), SD dan SMP masingmasing28 orang (9,3%) dan Diploma sebanyak 24orang (8%).Kemudian dilihat dari segi usia, respondenpenelitian ini dominan berada dalam kategori usiaproduktif, yaitu 31-40 tahun (41,3%) dan 41-50 tahun(28%), sisanya berada pada usia 20-30 tahun (18,7%),usia 50-60 tahun (10,7%) dan di atas 60 tahun 1,3%).Selanjutnya diketahui pula bahwa umumnyaresponden telah cukup lama menggeluti usaha yangsekarang dikelolanya dengan kisaran pengalamanberusaha 5-10 tahun sebanyak 172 orang (57,3%) dan11-20 tahun 76 orang (25,3%), sedangkan sisanyaadalah responden yang telah menggeluti usaha dibawah 5 tahun (10,7%), 21-30 tahun (4%) dan 31-40tahun (2,7%). Deskripsi Karakterisitik Perusahaan Responden penelitian ini umumnya bergerak di bidang jasa perdagangan sebesar 130 orang (44%), dan usaha jasa sebesar 86 orang (29,3%). Sedangkan sisanya, sebagian kecil bergerak di bidang usaha makanan, minuman, meubel, konveksi, dan peternakan. Jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam perusahaan dominan berada pada kategori 2 orang yaitu sebanyak 130 responden (44%) dan 3 orang yaitu sebanyak 86 responden (29,3%). Sisanya yaitu 1 orang (12%), 4 orang (8%) dan 5 orang (6,7%). Kemudian dari segi perizinan formal, dari 200 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 responden usaha, yang mempunyai izin formal hanya 80 responden (40%), sedangkan yang belum memiliki izin formal adalah cukup dominan yaitu 120 responden (60%). Jenis perizinan yang harus dimiliki oleh usaha mikro dan kecil (UMK) misalnya adalah SIUPP , SITU, dan TDP (tanda daftar perusahaan). Deskripsi Karakteristik V ariabel Kinerja Usaha V ariabel kinerja Usaha Mikro dan Kecil secara umum menurut persepsi responden berada pada kategori yang cukup baik, baik dan sangat baik. Indikator yang paling tinggi nilainya berdasarkan ratarata (mean) adalah pertumbuhan penjualan dengan nilai sebesar 4,37. Sedangkan yang paling rendahadalah indikator pertumbuhan keuntungan/laba usaha (2,98). Pertumbuhan penjualan produk secara umum relatif baik, akan tetapi kondisi ini tidak secara langsung berdampak pada pertumbuhan laba/keuntungan saha. Hal ini disebabkan karenakegiatan pencatatan keuangan yang belum baik. Bahkan beberapa pengusaha tidak melakukan pencatatan keuangan dalam perusahaannya. Aspek Sumber Daya Manusia V ariabel aspek sumber daya manusia secara umum menurut persepsi responden berada pada kategori cukup baik, baik dan sangat baik. Indikator yang paling tinggi nilainya berdasarkan rata-rata (mean) adalah pengalaman/lama berusaha dengan nilai sebesar 4,46. Sedangkan yang paling rendah adalah indikator pendidikan formal (3,38). Pengalaman/lama berusaha pada bidang usaha sejenis merupakan kekuatan utama bagi pengusaha. Tingkat pendidikan yang relatif rendah bukan merupakan hambatan untuk memulai usaha, dan mengembangkannya lebih maju. Adanya motivasi yang tinggi, jiwa dan mental wirausaha yang sudah terbentuk secara alamiah merupakan modal utama untuk memajukan usaha. Aspek Keuangan V ariabel aspek keuangan secara umum menurut persepsi responden berada pada kategori cukup baik dan baik. Indikator yang paling tinggi nilainya berdasarkan rata-rata (mean) adalah penggunaan modal sendiri dengan nilai sebesar 4,11. Sedangkan yang paling rendah adalah indikator akumulasi keuntungan yang besar digunakan untuk menambah asset/harta perusahaan (3,22). Umumnya pengusaha mengawali usahanya dengan modal sendiri. Untuk meningkatkan kegiatan usahanya mereka lebih banyak menggunakan sumber dana keluarga. Aspek Teknis Produksi dan Operasional V ariabel aspek teknis produksi dan operasional secara umum menurut persepsi responden berada pada kategori cukup baik, baik dan sangat baik. Indikator yang paling tinggi nilainya berdasarkan nilai rata-rata (mean) adalah ketersediaan bahan baku dengan nilai sebesar 4,43. Sedangkan indikator yang paling rendah nilainya adalah penggunaan teknologi modern dan pengendalian kualitas (3,15). Bahan baku produksi selalu tersedia setiap saat, karena menggunakan bahan baku lokal. Karena penggunaan teknologi modern belum sepenuhnya dilakukan, produk yang dihasilkan masih dalam kapasitas terbatas, dan pengendalian kualitas belum sepenuhnya dilakukan. Demikian juga dengan program jaminan kualitas misalnya SNI, ISO 9000, dan sertifikat kualitas lainnya belum mewarnai produk-produk usaha mikro dan kecil. Aspek Pasar dan Pemasaran V ariabel aspek pasar dan pemasaran secara umum menurut persepsi responden berada pada kategori cukup baik dan baik. Indikator yang paling tinggi nilainya berdasarkan rata-rata (mean) adalah permintaan pasar atas produk dengan nilai sebesar 4,17. Sedangkan indikator yang paling rendah nilainya adalah kegiatan promosi yang intensif (3,13). Permintaan akan produk relatif baik di masyarakat, 279 JESP V ol.4, No. 2, 2012 dimana dengan kapasitas produksi yang kecil mengakibatkan wilayah pemasarannya juga masih sangat terbatas, yakni dominan pada wilayah lokal saja. Kegiatan promosi yang dilakukan oleh pengusaha frekuensinya sangat jarang, bahkan beberapa pengusaha tidak pernah mempromosikan produknya di masyarakat. Aspek Kebijakan Pemerintah V ariabel aspek kebijakan pemerintah secara umum menurut persepsi responden berada pada kategori cukup baik dan baik. Indikator yang paling tinggi nilainya berdasarkan rata-rata (mean) adalah akses permodalan dan pembiayaan dengan nilai sebesar 4,05. Sedangkan indikator yang paling rendah nilainya adalah penyiapan lokasi usaha dan informasi pasar (2,83). Berbagai upaya telah dilakukan olehpemerintah untuk menumbuhkan usaha tersebut. Salah satunya adalah bantuan akses permodalan pada lembaga pembiayaan. Penyiapan lokasi usaha yang terkosentrasi pada satu kawasan belum dianggap prioritas karena umumnya pengusaha usaha mikro kecil tempatnya berpindahpindah. Aspek Sosial budaya, dan ekonomi V ariabel aspek kebijakan pemerintah secara umum menurut persepsi responden berada pada kategori cukup baik dan baik. Indikator yang paling tinggi nilainya berdasarkan rata-rata (mean) adalah pertumbuhan ekonomi dengan nilai sebesar 3,98. Sedangkan indikator yang paling rendah nilainya adalah tingkat pendapatan masyarakat (2,78). Hasil ini mengindikasikan bahwa walaupun secara umum pertumbuhan ekonomi wilayah relatif baik dalam menstimuli pengembangan usaha mikro dan kecil, 280 akan tetapi keberadaan usaha tersebut tidak secara langsung dan signifikan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat setempat. Aspek Peranan Lembaga Terkait V ariabel aspek peranan lembaga terkait secara umum menurut persepsi responden berada pada kategori cukup baik dan baik. Indikator yang paling tinggi nilainya berdasarkan rata-rata (mean) adalahpendampingan dengan nilai sebesar 4,12. Sedangkan indikator yang paling rendah nilainya adalah bantuan permodalan (2,93). Hasil ini menggambarkan bahwa kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh lembaga terkait (PT, BUMN, dan lembaga pembiayaan) sudah relatif baik. Rendahnya bantuan permodalan yang diterima atau diakses oleh pengusaha sebagai indikasi bahwa prinsip kehati-hatian dalam memberikan bantuan modal juga diterapkan pada bisnis ini. Pengujian Hubungan Kausal Antara Faktor- Faktor Eksternal, FaktorFaktor Internal, dengan Kinerja Usaha Mikro dan Kecil Untuk menguji hipotesis dan menghasilkan suatu model yang baik (fit), digunakan analisis Structural Equation Modelling (SEM) yang pengoperasiannya dibantu dengan program AMOS 4.01. Dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Amos 4.01 diperoleh hasil perhitungan goodness-of-fit indices(GFI) atas model lengkap yang menggambarkan jalinan sinergis antar masing-masing variabel penelitian serta indikator yang telah valid menjadi pengukurnya masingmasing. Secara lebih lengkapnya disajikan pada Tabel 5. JESP V ol. 4, No. 2, 2012 T abel 5. Hasil Komputasi Kriteria Goodness-of- Fit Indices (GFI) Pengujian Hubungan Kausal Faktor-Faktor Eksternal, Faktor-Faktor Internal, dengan Kinerja Usaha Mikro dan Kecil Tahap Awal dan Akhir . No Kriteria Nilai Cut-off ≥ 0,05 ≥ 0,90 0,060 ≥ 0,94 ≥ 0,95 Chi-square GFI RMSEA TLI CFI Hasil Komputas Model Tahap Tahap awal akhir 0,000 0,182 0,830 0,914 ≤ 0,08 0,014 0,859 0,992 0,871 0,993 Keterangan Model Akhir Baik Baik Baik Baik Baik Sumber: Data primer diolah Hasil perbandingan antara hasil perhitungan pada tahap awal dan tahap akhir dengan menggunakan kriteria goodness of fit suatu model sebagaimana disajikan pada tabel di atas menunjukkan kesesuaian. Setelah model di atas dinyatakan valid atau diterima maka analisis selanjutnya adalah dengan melihat nilai loading factor serta probabilitas dari masing-masing variabel yang digunakan sebagaimana disajikan pada tabel berikut. T abel 6. Loading Factor, Critical Ratio, dan Probabilita Hubungan Kuasal antara Faktor-Faktor Eksternal, Faktor-Faktor Internal, dengan Kinerja Usaha Mikro dan Kecil No Kriteria Internal Fk Eksternal Fk Signifikan Kinerja Internal Fk Kinerja Eksternal Fk Signifikan Loding Factor 0,980 0,792 0,254 CR 5,951 3,660 2,675 P 0,000 0,000 0,045 Keterangan Signifikan Signifika Signifika Sumber: Data primer diolah Pada tabel diatas nampak bahwa dari berbagai hubungan kausal yang terjadi antar variabel, tampaknya semua memiliki hubungan kausal yang signifikan, karena memiliki nilai P (probabilitas)≤ 0,05 dan Critical Ratio (CR) ≥ 1,96. Beberapa variabel yang memiliki pengaruh yang signifikan dan positif (P ≤ 0,05), adalah : (1) Faktor-faktor ekskternal terhadap faktor-faktor internal (0,000); (2) Faktorfaktor eksternal terhadap kinerja usaha (0,045); dan (3) Faktor-faktor internal terhadap kinerja usaha (0,000). 281 JESP V ol.4, No. 2, 2012 Gambar 2. Hasil Pengujian Hubungan Kausal Faktor-Faktor Eksternal, Faktor-Faktor Internal, dengan Kinerja Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dengan menggunakan confirmatory factor analysis Faktor-faktor internal 0,530 Kinerja usaha 0,86 Faktor-faktor eksternal Berdasarkan nilai critical ratio dan probabilitas yang dihasilkan nampak bahwa faktor-faktor eksternal yang terdiri atas aspek kebijakan pemerintah, aspek sosial budaya dan ekonomi, dan aspek peranan lembaga terkait mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap faktor-faktor internal usaha mikro dan kecil. Hal ini dapat dilihat dari nilai C.R. yang jauh lebih besar daripada C.R. minimal yang disyaratkan sebesar 1,96 (5,951> 1,96) serta probablitas yang lebih kecil daripada α =0,05 (0,000 < 0,05). Nilai loading factor menunjukkan bahwa faktor-faktor eksternal yang terdiri atas aspek kebijakan pemerintah, aspek sosial budaya dan ekonomi, dan aspek peranan lembaga terkait mempunyai pengaruh yang kuat terhadap faktorfaktor internal usaha mikro dan kecil dengan kontribusi sebesar 0,980 atau 98%. Kemudian faktor-faktor eksternal yang terdiri atas aspek kebijakan pemerintah, aspek sosial budaya dan konomi, dan aspek peranan lembaga terkait mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja usaha mikro dan kecil. Hal ini dapat dilihat dari nilai C.R. yang jauh lebih besar daripada C.R. minimal yang disyaratkan sebesar 1,96 (2,675> 1,96) serta probablitas yang lebih kecil daripada α =0,05 (0,045 < 0,05). Nilai loading factor menunjukkan bahwa faktor-faktor eksternal yang terdiri atas aspek kebijakan pemerintah, aspek sosial 282 0,212 budaya dan ekonomi, dan aspek peranan lembaga terkait mempunyai pengaruh terhadap kinerja usaha mikro dan kecil (UMK) dengan kontribusi sebesar 0,254 atau 25,4%. Faktor-faktor internal yang terdiri atas aspek sumber daya manusia, aspek keuangan, aspek teknik produksi/operasional, dan aspek pasar dan pemasaran mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja usaha mikro dan kecil. Hal ini dapat dilihat dari nilai C.R. yang jauh lebih besar daripada C.R. minimal yang disyaratkan sebesar 1,96 (3,660> 1,96) serta probablitas yang lebih kecil daripada α =0,05 (0,000 < 0,05). Nilai loading factor menunjukkan bahwa faktor-faktor internal yang terdiri atas aspek sumber daya manusia, aspek keuangan, aspek teknik produksi/operasional, danaspek pasar dan pemasaran mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kinerja usaha mikro dan kecil engan kontribusi sebesar 0,792 atau 79,2%. Hasil penelitian ini konsisten dengan Mc Commick et.al (1997); Crijns dan Ooghi (2000); Wisardja 2000) yang menyatakan bahwa setiap tahap pertumbuhan perusahaan merupakan hasil dari dua lingkungan dimana perusahaan melakukan bisnisnya, yakni lingkungan internal dan eksternal. Berkaitan dengan aspek lingkungan, Wilkinson (2002) dan Maupa (2004) menyatakan bahwa usaha kecil dan mikro akan tumbuh bilamana JESP V ol. 4, No. 2, 2012 lingkungan aturan/kebijakan mendukung, lingkungan makro ekonomi dikelola dengan baik, stabil, dan dapat diprediksi; informasi yang dapat dipercaya dan mudah diakses, dan lingkungan sosial mendoron mudah diakses, dan menghargai keberhasilan usaha tersebut. keuangan, aspek teknik oduksi/operasional, dan aspek pasar dan pemasaran mempunyai pengaruh yang signifikan dan positif terhadap kinerja usaha mikro dan kecil dengan kontribusi sebesar 0,792 atau 79,2%. Saran KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis yang telah diuraikan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yang sebagai berikut: 1) Berdasarkan nilai rata-rata (mean) indikatorindikator yang memiliki nilai tertinggi pada keseluruhan variabel adalah sebagai berikut : pertumbuhan penjualan (4,37); lama berusaha/ pengalaman usaha (4,46); penggunaan modal sendiri (4,11); ketersediaan bahan baku (4,43); permintaan pasar (4,17); akses permodalan dan sumber pembiayaan (4,05); pertumbuhan ekonomi (3,98); dan pendampingan (4,12). Kemudian indikator-indikator variabel yang paling rendah nilainya dipresepsikan adalah: pertumbuhan keuntungan/laba usaha (2,98); pendidikan formal (3,38); penggunaan teknologi modern dan pengendalian kualitas (3,15); kegiatan promosi yang intensif (3,13); penyiapan lokasi usaha dan informasi pasar (2,83); tingkat pendapatan masyarakat (2,78); dan bantuan permodalan (2,93). 2) Faktor-faktor eksternal yang erdiri atas aspek kebijakan pemerintah, aspek sosial budaya dan ekonomi, dan aspek peranan lembaga terkait mempunyai pengaruh yang signifikan dan positif terhadap faktor-faktor internal usaha mikro dan kecil dengan kontribusi sebesar 0,980 atau 98%. Faktor-faktor eksternal mempunyai pengaruh yang signifikan dan positif terhadap kinerja usaha mikro dan kecil dengan kontribusi sebesar 0,254 atau 25,4%. 3) Faktor-faktor internal yang terdiri atas aspek sumber daya manusia, aspek Berdasarkan kajian sebelumnya, yang telah disarikan pada bagian kesimpulan, maka dapat dikemukakan beberapa saran baik untuk kepentingan praktis maupun untuk pengembangan penelitian selanjutnya sebagai berikut: 1) Pengusaha usaha mikro dan kecil (UMK) hendaknya tetap konsisten dalam meningkatkan pertumbuhan perusahaannya melalui peningkatan jumlah asset usaha, modal, tenaga kerja, laba/profit yang diperoleh maupun dalam penjualan produknya. 2) Pengusaha usaha mikro dan kecil (UMK) hendaknya memperhatikan dukungan latar belakang pendidikan formal, tingkat kesesuaian kemampuan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki untuk diterapkan pada perusahaan, pentingnya penerapan hasil pelatihan manajerial/ kursus keterampilan yang pernah diikuti, dan pengalaman berusaha sebagai faktor-faktor yang kritis dalam meningkatkan kinerja usahanya. 3) Pertumbuhan perusahaan/usaha mikro dan kecil (UMK) juga dapat ditingkatkan melalui kemampuan pengusaha dalam menterjemahkan kebijakan pemerintah dalam mendorong perkembangan usaha kecil, dampak sosial budaya dan ekonomi, serta pentingnya peranan lembaga terkait dalam pengembangan usahanya, serta kemampuannya dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan kebijakan pemerintah. 4) Peraturan-peraturan dan regulasi yang dibuat oleh pemerintah hendaknya diarahkan pada kebijakan yang pro 283 JESP V ol.4, No. 2, 2012 bisnis usaha mikro dan kecil (UMK).Fasilitasi dan mediasi yang dilakukan olehpemerintah dalam memberikan berbagaikemudahan pada pengusaha hendaknya lebihdifokuskan pada kemudahan akses sumber pembiayaan/permodalan; pelatihan teknis dan manajerial, kemudahan perizinan, ketersediaan sentra/lokasi usaha, dan informasi pasar. DAFTAR PUSTAKA Acs, Z. and Audretsch, D., 1990, The Economics ofSmall Firms: A European Challenge, KluwerAcademic Publishers, Norwall, MA. BPS Provinsi Maluku Utara, 2007/2008: Terante Selatan Dalam Angka. Brock, W . and Evans, D., 1986, The Economics ofSmall Business: Their Roles and Regulationsin US Economy, Holmes & Meier Publishers,Teaneck, NJ. Crijns,H. And Ooghi, 2000, Growth Paths of MediumSdized Entrepreneurial Companies. De VlerickSchool V oor Management, University ofGhent. Demirbag, M., Tatoglu, E., Tekinkus, M. and Zaim,S., 2006, “An analysis of the relationshipbetween TQM implementation and organizationalperformance: evidence from TurkishSMEs”, Journal of Manufacturing T echnologyManagement, V ol. 17 No. 6, pp. 829-47. Hair Jr., Yoseph F., Rolph E. Anderson, Ronald L.Papham, William Black, 1998, MultivariateData Analysis, 4st edition, Prentice-Hall, Inc.,New Jersey. Laporan Penelitian Dinas Koperasi dan UKMProvinsi Maluku Utara, 2008, PenyusunanPola Pembinaan Usaha Mikro (UM) Di Kota T ernate, Fak. Ekonomi Unkhair. 284 Laporan Tahunan Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Maluku Utara, 2009 Lesceviva, M. 2004. Rural Entrepreneurship SuccessDeterminant. Papers. Faculty of Economics,Latvian University of Agriculture, Eksjo,Latvian. Maupa, Haris. 2004. Faktor-Faktor yang MenentukanPertumbuhan Usaha Kecil di Maluku Utara. Skripsi Fak Ekonomi Unkhair. Tidak dipublikasikan. McCormick, D., M.N. Kinyanjui and G. Ongile.,1997, Growth and Barriers to Growth AmongNairobi,s Small and Medium Size GarmentProducers. W orld Dev., V ol.25, No.7, pp.10951110. Santoso, Singgih, 2002, SPSS Statistik Multivariate,Elex Media Komputindo, Jakarta. Sugiyono. 2003. Statistik Untuk Penelitian. CV .Alfabeta, Bandung. Undang-Undang No. 20 tahun 2008 tentang UsahaMikro, Kecil, dan Menengah, Jakarta. Wilkinson, B., 2002, Small, Micro, and MediumEnterprise Development: Expanding theOption for Debt and Equity Finance. FinancialSector Workshop, National Economic Developmentand Labour Council (NEDLAC),Johanesburg, South Africa, Iris, April 6. Wisardja, I Wayan. 2000. Analisis LingkunganIndustri Kerajinan Ukiran Kayu di KabupatenGianyar Propinsi Bali, Program PascasarjanaUniversitas Brawijaya, Malang. Zeithaml, V alery A., Leonard L. Berry, A. Parasuraman,1996. The Behavioral Consequences ofService Quality, Journal of Marketing, V ol 60(April) pp. 31-46 Zhang, Y . 2001. Learning Function and SmallBusiness Growth, Management AccountingJournal, MCB University Press, V ol 15 No.26, pp. 228-23 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Telaah Kritis Pola Pembiayaan Agribisnis Pada Kontak Usaha Tani (Studi Pada Kontrak Usaha Tani Jagung) Asfi Manzilati Yenny Kornitasari Abstract The aim of this study was to determine the pattern of Agribusiness financing and the role of the Bank in contract farming of corn. Using a qualitative method, the results of this study is that the scheme of financing provided by the banking to farmers cause asymmetric information. Financing provided by the bank (through company) known / considered by farmers as loans from the company. The scheme of financing raised a problem of inefficiencies and increased costs that will be incurred due to the long intermediation. Thus, banks should provide financing directly (without the company) with the appropriate schema, so that banking intermediation running. Companies in this process should be a personal guarantee that the needs are met with bank profitability remains insufficient prudential bank. Keywords: financing, agribusiness, Contract Farming LATAR BELAKANG Palawija bagi Indonesia merupakan komoditas strategis bagi pembangunan bidang pertanian.Pengembangan agribisnis palawija memiliki keterkaitan langsung dengan upaya pemantapan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan. Pengembangannya juga akan mendukung program diversifikasi pangan dan pertanian.Mengikutsertakan palawija dalam pola pertanaman diyakini mampu memantapkan tingkat, stabilisasi, dan kontinuitas pendapatan rumah tangga petani.Diversifikasi usaha tani dengan komoditas palawija juga dipercaya mampu menjamin keberlanjutan usaha tani padi di lahan sawah. Pengembangan produk palawija melalui skema agroindustri memiliki keterkaitan ke belakang yang relatif kuat, sehingga sangat strategis diposisikan sebagai instrumen peningkatan nilai tukar dan kesejahteraan petani (Damardjati, 2006:62). Terkait dengan pengembangan palawija, Rusastra et. al. (2006:23) menekankan perlunya mempertimbangkan dua aspek, yaitu permasalahan yang dihadapi petani dalam pengembangan usaha tani dan agribisnis palawija, serta upaya mengatasinya melalui pengembangan program kemitraan agroindustri berbasis palawija. Secara spesifik permasalahan yang dihadapi petani adalah: (a) ketergantungan petani terhadap pasar input yang sangat tinggi, dan tingkat harga ditentukan oleh produsen input dengan struktur pasar yang bersifat monopsonistik; (b) keterbatasan sumber permodalan dan aksesibilitas petani yang rendah karena terkendala tingkat suku bunga, ketersediaan agunan, dan prosedur administrasi yang berbelit; (c) dalam pasar output petani bersifat penerima harga dengan kecenderungan harga yang fluktuatif, sehingga tidak kondusif dalam mendorong peningkatan produksi dan pendapatan petani; (d) keterbatasan kemampuan sumber daya petani khususnya terkait dengan penangan pascapanen, pengolahan dan pamasaran hasil; (e) __________________________________________ Alamat Korespondensi : Asfi Manzilati, Yenny Kornitasari, Fakultas Ekonomi Unversitas Brawijaya Malang Email : [email protected] JESP V ol. 4, No. 2, 2012 kondisi dan potensi sumber daya alam yang semakin menurun sebagai akibat over intensifikasi, sehingga dibutuhkan biaya korbanan yang cukup tinggi dalam peningkatan produksi; dan (f) penurunan tingkat keunggulan komparatif dan kompetitif, sehingga petani dihadapkan kepada ancaman produk impor dengan tingkat harga yang lebih murah. Secara umum petani dihadapkan pada tekanan alam, tekanan ekonomi domestik dan global, tekanan kebijakan yang kurang kondusif, serta kondisi infrastruktur (fisik dan kelembagaan) yang kurang menggembirakan. Tekanan tersebut menjadi semakin berat dalam kondisi adanya tekanan sosial dalam bentuk citra petani dan pertanian yang bersifat konvensional, sehingga kurang diminati oleh generasi muda dengan latar belakang pendidikan yang lebih baik. Tanpa perubahan pendekatan yang mendasar dan komprehensif, dikhawatirkan akan semakin memperburuk kinerja pertanian, sehingga kian sulit untuk dibenahi kembali. Adapun beberapa permasalahan yang dihadapi oleh para petani tersebut diantaranya, Pertama, masalah pada tingkat bank penyalur. Masalah yang muncul pada tingkat ini adalah (i) adanya persyaratan tabungan sebesar 8% yang ditentukan bank pelaksana tertentu; (ii) pencairan yang tidak tepat waktu; (iii) penahanan kredit; (iv) intervensi TTA pada penyediaan saprodi; dan (v) uang lelah TTA dari kredit petani. Kedua, masalah pada tingkat Koperasi. Masalah yang muncul pada tingkat ini adalah: (1). Pemotongan kredit, (2). Otoritas ketua koperasi yang sangat kuat, (3). Keterlambatan aparat dalam penyelesaian KUT (Camat, KCD, Ketua dan PPL), (4). Penarikan uang terima kasih pasca pencairan. Ketiga, masalah pada tingkat Kelompok Tani. Masalah yang muncul pada tingkat ini adalah: (1). Petani belum paham tentang kredit (2). Petani tidak tahu akan haknya terhadap kredit, (3). Petani tidak mampu menolak saprodi yang tidak 286 sesuai, (4). Petani tidak mampu menolak pestisida, insektisida, dan zat pengatur tumbuh yang sudah dipaket, dan beberapa permasalahan laiinya. Terkait dengan permasalahan pembiyaan yang diberikan untuk para petani KUT seperti halnya berbagai bentuk pembiayaan lain yang dilakukan oleh bank pedesaan, cenderung dilaksanakan dengan program dan prosedur yang sama. Hasil penelitian Fruin (dalam Robinson, 2004:113) barangkali dapat dijadikan pelajaran. Ia menulis: “Jika seseorang mempelajari bisnis kredit dari bank kredit populer manapun, ia akan terkejut melihat banyaknya kesamaan. Hal ini disebabkan oleh begitu sedikitnya pinjaman yang tersedia: tidak lebih dari satu atau dua jenis”. Menurut data BI, kredit ke sektor pertanian hingga saat ini masih kecil, yakni hanya 2-3% dari seluruh total kredit perbankan nasional. Dari total kredit perbankan Rp 1.756 triliun, dana yang mengucur ke sektor pertanian per Desember 2010 hanya Rp 91 triliun. Padahal sebagian besar masyarakat Indonesia sangat bergantung pada sektor pertanian (Agroindonesia February 14th, 2011,diaksespada 23 Agustus 2011) Seharusnya lembaga pembiayaan harus menyelidiki, kabupaten demi kabupaten untuk menemukan jenis pertanian yang umum dilakukan di daerah tersebut. Untuk mendapatkan data-data bulanan mengenai penanaman dan panen dari setiap jenis tanaman, jenis tanaman perkebunan yang sedang dikembangkan, perdagangan atau ketenagakerjaan; maka seseorang harus memikirkan pertanian sebagai sebuah kesatuan yang integral. Lebih spesifik, seharusnya lembaga pembiayaan juga perlu untuk mengetahui bagaimana rotasi panen dilakukan di jenis pertanian tertentu, sebesar apa pertanian yang harus ada untuk mencukupi kebutuhan petani dan keluarganya, hasil panen jenis apa yang ditujukan untuk dijual, mana yang untuk dimakan, dana yang mana yang untuk keduanya, dan jika JESP V ol. 4, No. 2, 2012 untuk keduanya bagaimana pembagiannya, dan untuk mengetahui apakah dan sejauh mana usaha seperti itu memperoleh uang dari hasil hortikultura dan perkebunan, dan apakah industri rumah tangga atau pekerjaan berketrampilan rendah biasanya memberikan pendapatan tambahan, dan seterusnya. Namun, sekali lagi ada kecenderungan lembaga-lembaga pembiayaan itu memberikan pembiayaan dengan cara dan skim yang serupa tanpa melihat lebih cermat bagaimana sebenarnya yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan begitu, dalam realitasnya petani masih menghadapi masalah, yaitu kesulitan akan akses terhadap informasi pasar yang akurat di samping rendahnya harga produk pertanian. Usaha untuk menerobos kendala-kendala dan menghilangkan hambatan yang disebabkan oleh ketidaksempurnaan pasar serta mengurangi tingkat inefisensi tersebut tampaknya membutuhkan sistem kontrak usahatani yang dapat menjadi alternatif. KAJIAN TEORITIS Konsep dan Pola Pembiayaan di Bidang Pertanian Sebagai negara agraris, keberadaan sektor pertanian dan terutama pelakunya yaitu petani tidak dapat disangkal lagi menjadi agen ekonomi yang sangat penting. Sifat masyarakat pedesaan yang cenderung informal (terlebih lagi di masa lalu) mendorong tumbuhnya model pembiayaan perorangan yang juga bersifat informal. Kredit perorangan ada dua jenis yaitu yang memberikan pinjaman berwujud barang yang disebut sebagai mindring dan yang memberikan kredit berwujud uang yang disebut pelepas uang (rentenir, pen) (Wijaya, 1991; 204). Sementara itu, lembaga kredit pedesaan formal utama dan disponsori pemerintah adalah BRI yang mempunyai jaringan cukup luas. Namun demikian, keberadaan BRI ini kurang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat pedesaan. Beberapa persyaratan atau spesifikasi pemberian kreditnya hanya meliputi pinjaman untuk kebutuhan penanaman beberapa tanaman tertentu saja terutama padi, dan hanya diberikan kepada pemilik tanah atau mereka yang memiliki barang jaminan berupa barang bergerak dan barang tidak bergerak. Jangka waktunya pun tidak fleksibel dan sering kali tidak sesuai dengan siklus tanaman yang dibiayai pemasarannya. Jaraknya pun seringkali cukup jauh dengan kantor bank. Selain itu ada jarak psikologis antara masyarakat pedesaaan peminjam pada umumnya dengan para birokrat petugas bank yang bersikap cukup formal. Tambahan pula penilaian permohonan kredit didasarkan pada kriteria standar, yaitu modal, jaminan, karakter, serta kemampuan membayar atau mengembalikan pinjaman (Wijaya, 1991; 205). Anatomi Kontrak Usaha Tani dan Kegiatan Agribisnis Pada dasarnya hukum sebuah kontrak adalah pelaksanaan atas suatu janji atau seperangkat janji. Dengan kata lain, ketika seperangkat janji telah berada dalam status kontrak, seseorang yang dirugikan oleh pelanggaran kontrak dapat meminta pemerintah (pengadilan) untuk memaksa pihak yang melanggar untuk menetapi/mematuhi kontrak (Mallor at all, 2004:174). Sementara definisi kontrak usaha tani (contract farming) adalah beberapa bentuk contractual arrangement antara sekelompok petani skala kecil dan sebuah mitra agribisnis (perusahaan) (www.aec.msu.edu/com, 2008). Definisi yang lebih rinci diberikan olehGoel (2003:1), bahwa kontrak usaha tani adalah sebuah sistem produksi dan penyediaan produk pertanian/holtikultura dibawah kontrak berjangka antara produser/penjual dan pembeli. Esensi dari beberapa perjanjian adalah komitmen pihak produser/penjual untuk menyediakan barang pertanian dengan kualifikasi tertentu, pada waktu dan harga tertentu, dan jumlah yang persyaratkan yang diketahui dan 287 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 dikehendaki oleh pembeli. Kontrak usaha tani biasanya diikuti oleh beberapa elemen dasar seperti misalnya harga, kualitas dan kuantitas atau ukuran (minimum/maksimum) dan waktu yang telah disepakati sebelumnya. Terkait dengan kontrak tersebut, petani diharuskan untuk menanam tanaman pihak kontraktor di lahan mereka, dan kemudian memanen dan mengirimkan kepada pihak kontraktor sejumlah produksi yang didasarkan kepada hasil yang telah diperhitungkan dan ukuran yang ditetapkan. Penyerahan ini dilakukan (biasanya) pada harga yang telah ditentukan sebelumnya. Pihak kontraktor menyediakan bibit dan sarana produksi yang terpilih, termasuk saran akan caracara/teknik penanaman yang harus dilakukan. Dengan kata lain, pihak kontraktor menyediakan seluruh input untuk penanaman sementara petani menyediakan lahan dan tenaga kerja. Glover and Ghee (1992:3) menambahkan bahwa kontrak biasanya juga menyediakan beberapa keuntungan bagi petani antara lain terjaminnya pasar, akses terhadap layanan perusahaan dan kemudahan akses terhadap kredit. Bahkan dalam kasus di mana perusahaan tidak menyediakan sendiri pinjaman kepada petani, bank-bank biasanya menerima kontrak sebagai jaminan (collateral). Tentu saja pola dan alamiah sebuah kontrak tentu berbeda-beda terkait dengan beragamnya sifat alami dari komoditi yang ditanam, hubungan keagenan, petani, dan teknologi dan juga terkait dengan konteks kontrak itu dilakukan. Namun pada dasarnya, setiap hubungan transaksi mengandung tiga komponen ekonomi mendasar yaitu alokasi nilai (the allocation of value) atau distribusi keuntungan dari pertukaran, alokasi ketidakpastian (the allocation of uncertainty) dan risiko-risiko keuangan yang terkait, dan the allocatioan of property rights akan membatasi pengambilan keputusan dalam suatu hubungan (Sykuta dan Cook, 2001:2). 288 Permasalahan penting kemudian muncul yaitu bahwa tidak selalu sebuah kontrak tercipta dengan persyaratan yang lengkap ditambah lagi dengan kehadiran oportunisme, sehingga biaya transaksi selalu muncul (Williamson, 1998:31). Boemer dan Macher (2002:3) melihat setidaknya ada tiga hal pokok yang mendasari positifnya biaya transaksi. Pertama, keterbatasan kemampuan individu untuk membuat perencanaan ke depan dan meskipun mereka telah berusaha keras untuk menghadapi dunia disekitarnya yang kompleks dan tidak dapat diprediksi, mereka tidak cukup memiliki pengetahuan. Kedua, meskipun mungkin perencanaan yang sempurna dapat dilakukan, berat bagi pihak yang melakukan kontrak (parties) untuk menegosiasikan rencananya dengan bahasa yang dapat menjelaskan aksi dan keadaan dunia di mana parties hanya memiliki sedikit pengalaman. Ketiga, anggap saja parties tersebut dapat merencanakan dan menegosiasikan sebuah kontrak lengkap (fully contingent contract), tetap saja sering terjadi kesulitan bagi mereka untuk mengkomunikasikan rencananya kepada pihak ketiga (misalnya pengadilan) yang mungkin terkait dengan kontrak ini. Sementara Klein (1980:356) melihat mengapa sebuah kontrak menjadi tidak lengkap karena dua alasan yaitu: pertama, ketidakpastian yang berimplikasi kepada berbagai ketidakpastian dan itu bisa jadi membutuhkan biaya yang sangat mahal untuk mengetahui dan memilah dalam rangka menghadapi berbagai kemungkinan itu. Kedua, kinerja kontrak tertentu, katakanlah besarnya usaha yang dikerahkan oleh pekerja terhadap berbagai tugas, akan sulit untuk diukur. Jadi dua masalah yang muncul adalah ketidakpastian dan sulitnya pengukuran yang menimbulkan seberapa besar biaya transaksi muncul. Terkait dengan kontrak yang terjadi antara perusahaan agribisnis besar dengan petani tentu tidak mudah untuk JESP V ol. 4, No. 2, 2012 menciptakan kontrak yang lengkap karena adanya ketidak pastian dan perbedaan penguasaan atas informasi (karena adanya rasionalitas yang mengikat). Bounded rationality (rasionalitas yang mengikat) mungkin juga bertentangan dengan efisiensi operasi sebuah transaksi. Karena keterbatasan waktu dan jangkauan manajamen pengawasan, organisasi mungkin tidak dapat secara internal mengatur dengan efektif jumlah transaksi yang tidak terbatas. Di tambah lagi, bounded rationality membatasi kapasitas pasar dan kontrak yang sederhana untuk aset yang khusus, karena pihak-pihak yang terlibat tidak dapat meramalkan dan mengatur seluruh peristiwa/kejadian yang mungkin. Andri (2006:3) menjelaskan bahwa pada dasarnya bounded rationality menjelaskan perbedaan dalam halinformasi antara calon pembeli dan calon penjual.Misalnya, perusahaan agribisnis memilikiinformasi yang baik tentang pasar yang tidakdimiliki oleh petani kecil, dan petani kecil akanmendapatkan informasi yang merupakanpeluang yang dihasilkan dari kontrak yangmereka buat. Oportunisme akan terjadi ketikaada peluang-peluang untuk memperolehkeuntungan dari situasi yang mungkin merugikanpihak lainnya. Misalnya, petani kecil akanberpikiran bahwa perusahaan mitranya akanmenawarkan harga yang sangat rendah di pasar,atau perusahaan khawatir bahwa penjual (petanikecil) akan berkolusi yang bisa mengakibatkannaiknya harga. Kontrak secara tertulis yangmenyebutkan kewajiban masing-masing pihakdiharapkan bisa mengatasi permasalahantersebut. Kekhususan aset mencerminkan risiko yang berkaitan dengan proteksi ‘biayaterluang’ pada pabrik-pabrik pengolahan,sistem-sistem logistik atau pengembangan pasar,atau untuk petanipetani kecil merupakan biayaproteksi investasi pada permesinan danteknologi tertentu. Dengan demikian, keduabelah pihak akan berusaha untuk memproteksiinvestasi mereka melalui kontrak. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode yang digunakan adalah kualitatif. Penelitian kualitatif dipilih karena meneliti fenomena sesuatu lebih mendalam, dan lebih dapat memahami fenomena tersebut yang sampai sekarang belum banyak diketahui. Menurut Moleong (2006:6) Penelitian kualitatif itu sendiri bermaksud memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya: perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Pendekatan Penelitian Berdasarkan pada tujuan penelitian untuk mengetahui pola pembiayaan Agribisnis dan peran Bank pada kontrak usaha tani Jagung, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pandangan fenomenologis. Dalam pandangan fenomenologis, peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasisituasi tertentu. Dengan pendekatan ini diharapkan diperoleh gambaran apa adanya namun tetap dalam kerangka yang ada, dan yang sebenarnya mengenai kondisi dan fenomena pola pembiayaan pada kontrak usaha tani baik yang formal (terlihat) ataupun fenomena dibalik yang kasat mata tersebut. Selain itu, dengan pendekatan ini lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda, penyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan informan, lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. Situs Penelitian Wilayah yang menjadi area kerja sama PT. Pioneer di Jawa Timur tersebar 289 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 mulai dari wilayah Banyuwangi, Malang sampai Tuban. Sementara itu, lokasi yang dipilih untuk menjawab pertanyaan penelitian ini adalah Desa Papungan, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar. Berdasar penelitian pendahuluan, informasi dari perusahaan (PT) dan temuan empiris dari peneliti lain, wilayah ini memang merupakan wilayah yang lahan pertaniannya menjadi lokasi yang telah berulang-ulang dipilih oleh perusahaan untuk bekerja sama dengan petani dalam rangka penanaman jagung benih yang diproduksinya. Jenis Data Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer atau data yang langsung didapatkan dari sumber informasi tersebut, yang didapat dari wawancara dan dokumentasi yang dilakukan sendiri oleh peneliti dari sumber ataupun informan.Data-data mengenai pola pembiayaan (barang/uang) tersebut berupa data naratif, deskriptif, dalam kata-kata mereka yang diteliti, dokumen pribadi, dan catatan lapangan. Dengan ini diharapkan dapat ditemukan gambaran apa adanya secara holistik. Unit Analisis dan Penentuan informan Mendasarkan kepada argumentasi pada bab sebelumnya sekaligus memperhatikan penelitian pendahuluan yang telah dilakukan (kondisi riil di lapang), maka unit analisis pada penelitian ini adalah pola pembiayaan pada kontrak usaha tani. Pola pembiayaan tersebut dapat berupa kontrak secara formal ataupun implisit dengan kontrak formal yang disepakati. Untuk itu informan kunci pada penelitian ini adalah para pihak yang terlibat dalam kontrak, yaitu petani dan wakil perusahaan. Juga akan didukung oleh informan lain yang terkait misalnya aparat desa. T eknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terutama 290 adalah wawancara dan observasi. Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu Mulyana, 2002; 180). W awancara ini sangat penting untuk mengungkap realitas dari dua pihak yang melakukan kontrak yaitu petani dan pihak perusahaan. Oleh karena itu, wawancara yang dilakukan adalah wawancara tidak terstruktur agar bentuk pengetahuan yang diperoleh dan validitas analisisnya didasarkan pada pemahaman yang mendalam. Sementara itu, observasi merupakan suatu metode pengumpulan data dan informasi dengan jalan mengadakan pengamatan atas peristiwa dan gejala sosial dengan inderanya. Observasi ini sekaligus berfungsi untuk memastikan informasi yang diperoleh (triangulasi atas wawancara dan informasi lainnya). Teknik Analis Data Data yang berhasil dikumpulkan melalui survei, untuk selanjutnya ditentukan analisisnya. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yang masih berhubungan dengan subjek penelitian, yaitu baik itu dari hasil wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumentasi, dan lain-lain. Lalu diadakan reduksi data dengan jalan melakukan abstraksi. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya dalam satuan-satuan. Kemudian satuan-satuan itu dikategorisasikan pada langkah selanjutnya. Tahap akhir dari analisis data ini adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data. Dan pada prinsipnya proses analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara induksi yaitu lebih mengutamakan dan mementingkan proses daripada hasil. JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Pengecekan Keabsahan Data Untuk memastikan data yang diperoleh adalah valid artinya data yang kumpulkan memberikan informasi mengenai situasi yang sebenarnya dan memang relevan dan mengandung informasi penting, maka peneliti menggunakan triangulasi (menggunakan beberapa sumber informasi guna memverifikasi dan memperkuat data) baik dalam metode pengumpulan data yang berbeda (wawancara dan observasi) maupun menggunakan informan pendukung. PEMBAHASAN Proses T erbentuknya Kontrak antara Petani Jagung dengan PT. Pioner Terkait dengan kontrak kerja sama dengan petani, pada dasarnya pihak Pioneer melakukan perjanjian mulai dari penyediaan bibit, pengolahan, pemenuhan sumber dana dan pembelian atas hasil panen tanpa ada intervensi dari pihak manapun (pemerintah desa ataupun lembaga lainnya). Dalam kontrak usaha tani ini, perusahaan melakukan kerja sama secara langsung dengan petani (masingmasing). Berdasarkan uraian dari Mallor et all (2004:175), bahwa sebuah kontrak akan tercipta jika terpenuhinya persyaratan: negotiation, agreement (offer and acceptance), voluntary, consideration, capacity, dan legality. Jika terpenuhi seluruh persyaratan tersebut, maka terciptalah kontrak, yang kemudian diikuti dengan pernyataan tertulis dari pihak-pihak yang terlibat kontrak. Jika salah satu persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka kontrak tidak terjadi. Secara teoritis apa yang diuraikan Mallor tersebut secara implisit menunjukkan adanya “kesetaraan” dari pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Kerjasama dimulai dengan penyediaan bibit (gratis) oleh Pioneer kepada petani. Pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan dan semua proses teknis diawasi secara terus-menerus oleh pihak Pioneer. Kebutuhan pembiayaan pada proses itu (pemupukan, pemeliharaan, obat-obatan, tenaga kerja dan lainnya) disediakan oleh Pioneer, dalam arti Pioneer menyediakan kredit untuk tujuan itu dengan bunga tertentu. Pengembalian pokok dan bunga akan dikurangkan (diperhitungkan) dengan nilai panen (yang memang seluruhnya dibeli oleh Pioneer). Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa kontrak diawali dengan datangnya petugas perusahaan ke desa-desa (di wilayah yang dimaksud termasuk di Kabupaten Blitar) untuk mendapatkan lahan yang akan digunakan untuk penanaman jagung Pioneer. Ketika kelompok tani (baca : ketua) sudah mendapatkan kesepakatan dengan petani akan kepastian tersedianya lahan yang berkisar antara 20 sampai 50 ha, maka pihak perusahaan akan menyampaikan harga yang ditawarkan untuk kemudian pembicaraan dilanjutkan secara menyeluruh. Artinya, untuk melakukan proses negosiasi dengan seluruh anggota kelompok tani, harga harus ditentukan terlebih dulu (lihat Kontrak Tertulis Pasal 9 pada Lampiran). Kata negosiasi yang dimaksud tidak dapat sebenar-benarnya disebut proses negosiasi. Hal ini karena tawaran harga disampaikan terlebih dahulu kepada para petani, dan harga ini menjadi patokan apakah pembicaraan mengenai kerja sama dapat dilakukan atau tidak. Dalam hal ini harga bukan menjadi sesuatu yang dibicarakan pada saat negosiasi antara perusahaan dengan petani. Menurut Pak Mario, salah satu manajer perusahaan lulusan Fakultas Ekonomi di salah satu universitas negeri di Jawa Timur, harga adalah prasyarat atas kemungkinan pembicaraan tentang kerja sama. Langkah yang ditempuh perusahaan selanjutnya adalah mengundang seluruh petani pada suatu acara yang disebut dengan grower meeting. Pada pertemuan itu, lawyer (dari 291 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 perusahaan) membagikan draft kontrak tertulis yang berisi seluruh hak dan kewajiban masing-masing antara petani dengan perusahaan. Dalam kontrak tersebut petani sebagai agen dari perusahaan memiliki hak dan kewajiban. Di antara kewajiban petani menurut ketentuan perusahaan adalah : pertama, kewajiban teknis terkait dengan persiapan lahan, penanaman, pengairan, pemeliharaan tanaman, dan pemanenan. Kewajiban kedua adalah keharusan menyerahkan seluruh hasil produksi kepada perusahaan. Dan kewajiban yang ketiga, dan ini sangat ketat, adalah mematuhi seluruh ketentuan yang tertuang (baca: tertulis) dalam kontrak. Sementara hak yang “diberikan” kepada petani adalah pemberian benih secara gratis, pinjaman uang garapan (opsional), uang ganti karena jagung jantan (karena harus dibongkar) sebesar Rp. 400.000 per ha, jaminan pendapatan minimal, kepastian harga beli hasil produksi (ditentukan di awal) dan insentif untuk kelompok tani sebesar Rp. 400.000 per ha. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa proses negotiation, agreement (offer and acceptance), voluntary, consideration, capacity, dan legality hampir tidak terpenuhi pada kontrak usaha tani terjadi. Negosiasi yang terjadi cenderung berupa sosialisasi (petani menyebutnya sebagai penyuluhan) dan agreement, voluntary, consideration dianggap telah “cukup” dengan hadirnya petani pada pertemuan tersebut. Hal ini dikarenakan petani yang tidak sepakat dengan harga yang ditentukan tidak perlu hadir dalam pertemuan tersebut. Sementara persyaratan capacity, petani tentu menganggap perusahaan memilki kapasitas cukup (bahkan lebih) untuk menyepakati dan menjalankan kontrak ini. Sementara dari pihak petani, perusahaan merasa cukup dengan tersedianya lahan petani untuk penanaman jagung ini. Bagian akhir dari proses ini, yaitu legality dilalui dengan kontrak tertulis yang telah disiapkan oleh 292 lawyer perusahaan untuk ditandatangani oleh masing-masing petani dengan kordes sebagai wakil dari perusahaan. Sebuah kontrak yang tidak lengkap masih memungkinkan sebuah kerja sama (kontrak) tetap berlangsung. Menurut Gachter dan Falk (2000:18), terdapat empat cara untuk mengatasi inefisiensi yang timbul dari ketidaklengkapan kontrak, yaitu hubungan timbal-balik berdasarkan kerjasama sukarela, kontrak jangka panjang (interaksi yang diulang), kecenderungan bergabung dengan yang lain (social embeddedness), dan kontrak insentif. Temuan di lapangan menunjukkan dua hal yang memungkinkan kontrak usaha tani dengan perusahaan tetap berlangsung walaupun kelengkapan kontrak tidak terpenuhi. Dua hal tersebut adalah interaksi yang berulang dan kecenderungan bergabung dengan yang lain (social embeddedness). Interaksi yang berulang menggiring petani pada pemahaman bahwa proses kontrak yang ditawarkan perusahaan sebagai sesuatu yang memang semestinya terjadi. Dengan adanya pengalaman hasil panen yang lebih besar dibanding dengan menanam jagung lokal dan ditambah dengan terbatasnya pengetahuan mengenai bagaimana seharusnya sebuah kontrak tercipta, mendorong petani menerima tawaran kontrak begitu saja. Di samping itu, kecenderungan bergabung dengan yang lain (social embeddedness) juga terlihat pada proses terbentuknya kontrak usaha tani dengan perusahaan. Sebagai contoh pada saat perusahaan mendatangi beberapa petani untuk diajak bergabung dalam kontrak, petani yang sawahnya berada di sekitar area yang akan ditanami jagung hibrida (pembenihan), akan memikirkan alternatif untuk bergabung dengan petani lain yang terlibat kontrak. Paling tidak, hubungan sosial (baca: rasa tidak nyaman) akan membawa mereka pada keputusan untuk bergabung dengan yang lain dalam kontrak, di samping kadang-kadang JESP V ol. 4, No. 2, 2012 mereka bergabung karena keterpaksaan modal atau menghindar dari aturan isolasi. Pola Pembiayaan dan Peran Bank pada Kontrak Usaha T ani Keterlibatan petani terhadap kontrak yang sudah disepakati tidak hanya terkait dengan penanaman, pengaturan lahan, penyediaan bibit dan penjualan hasil panen yang telah disepakati dalam suatu kontrak antara petani dengan perusahaan, kontrak ini juga terkait dengan pembiyaan yang dilakukan oleh perusahan selama ini kepada petani. a. Pola Pembiayaan Agribisnis pada Kontrak Usaha T ani; Pembiayaan Sejak Awal oleh Perusahaan Pada saat awal, Pioner memberikan bibit gratis sesuai luas lahan yang disediakan oleh petani. Pada proses pemeliharaan, pemupukan, dan pemanenan seluruh tanggung jawab pekerjaan maupun pembiayaan menjadi tanggung jawab petani dengan pengawasan secara terusmenerus oleh pihak Pioner (yang diwakili korwil dan kordes). Pada proses ini, menurut informan Bapak Mario, pihak Pioneer menyediakan kredit (standby loan) yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan oleh petani, berapapun yang dibutuhkan dengan membayar bunga tertentu. Sementara total pinjaman maksimal yang tertulis dalam kontrak sebesar Rp. 3.500.000,-(lihat Pasal 6 Perjanjian Kerjasama Penanaman Jagung Pioneer Hibrida pada Lampiran). Oleh karena pada dasarnya kontrak usaha tani ini terjadi antara perusahaan dengan masing masing petani, maka seharusnya rekening (pinjaman tersebut) atas nama petani sendiri, namun di lapangan dengan mempertimbangkan kemudahan dan efisiensi waktu maka satu kelompok tani menggunakan rekening kordes atau ketua kelompok tani. Pada saat panen, seluruh hasil produksi langsung dibeli (diambil langsung) oleh Pioneer dalam kondisi basah dan tanpa dipipil (sekaligus janggelnya). Hasil yang diperoleh petani sekitar 15 juta untuk satu ha. Jika dibandingkan dengan jagung lokal, di mana petani memperoleh hasil sekitar 10 juta untuk setiap untuk jagung kering dan kondisi sudah dipipil, maka (menurut pihak perusahaan) kontrak ini sangat menguntungkan. Hal ini berbeda dengan usaha tani tradisional (tanpa kontrak), di mana biaya proses produksi biasanya mereka dapatkan dari penjualan hasil panen sebelumnya. Jika petani mengikuti kontrak, petani akan mendapatkan pinjaman dana yang biasa disebut sebagai uang garapan. Dengan adanya uang garapan ini, petani tidak perlu terburu-buru untuk menjual hasil panen mereka agar segera mendapat uang untuk biaya tanam selanjutnya. Petani menunggu waktu yang tepat sampai harga jual panennya bisa lebih baik. Karena pada saat panen, kecenderungannya harga lebih rendah. Kemudahan lain yang dirasakan petani selain pinjaman uang garapan adalah benih gratis. Benih gratis ini dibagi kepada petani sesuai dengan luas tanah yang petani miliki. Satu hal yang juga menjadi pertimbangan petani ikut dalam kontrak dengan perusahaan adalah adanya kepastian harga jual hasil produksi. Harga jual ini ditentukan pada awal perjanjian sebelum proses tanam dimulai. Adanya kebijakan ini menjadi hal menarik bagi petani. Petani tidak akan mengalami efek buruk fluktuasi harga akibat permainan tengkulak. Petani sudah punya kepastian berapa hasil dari kerja mereka selama hampir empat bulan. Secara ringkas, manfaat (dan kendala) yang dihadapi petani pada saat terlibat kontrak usaha tani dengan perusahaan, dapat ditunjukkan pada tabel 4.2 sebagai berikut. 293 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Tabel 4.1 Manfaat dan Kendala yang Dihadapi Petani pada saat Terlibat Kontrak dengan Perusahaan Manfaat Benih gratis Pinjaman modal selama proses tanam) • Informasi keberadaan pupuk • Pengetahuan pertanian baru Sumber: data lapang, diolah • • Akan tetapi, disisi lain bagi petani yang bergabung dalam pola pembiayaan pinjaman yang diberikan oleh perusahan kepada petani menyebabkan harga hasil dari panen yang ditentukan terlebih dahulu sebelum pembicaraan menyeluruh dilakukan adalah sesuatu yang di luar jangkauan mereka. Ketika harga disampaikan oleh petugas perusahaan, mereka hanya punya pilihan ikut atau tidak program kerja sama ini (take it or leave it). Sementara itu, dalam kontrak yang tertulis Pasal 9 Perjanjian Kerjasama Penanaman Jagung Pioneer Hibrida, istilah harga tidak dikenal. Hak petani karena menanam jagung benih Pioneer disebut sebagai Kompensasi. Pada saat panen, seluruh hasil produksi langsung dibeli (diambil langsung) oleh Pioneer dalam kondisi basah dan tanpa dipipil (sekaligus janggelnya). Hasil yang diperoleh petani sekitar 15 juta untuk satu ha. Jika dibandingkan dengan jagung lokal, di mana petani memperoleh hasil sekitar 10 juta untuk setiap untuk jagung kering dan kondisi sudah dipipil, maka (menurut pihak perusahaan) kontrak ini sangat menguntungkan. Satu hal lagi yang menjadi kelemahan petani pada proses kontrak ini adalah penimbangan hasil panen. Pada awalnya penimbangan dilakukan di sawah sesaat sebelum jagung dibawa truk pengangkut. Artinya, penimbangan ini dilakukan dihadapan kedua pihak yaitu petani dan wakil perusahaan (korwil atau kordes). Pada perjalanan waktu, penimbangan ini dianggap oleh perusahaan membawa risiko. Risiko tersebut adalah adanya perbedaan timbangan dari petani 294 • • • Kendala/Kelemahan Proses penanaman baru Pemeliharaan tanaman yang ketat Sulitnya penanganan tanaman pengganggu (yang menggunakan timbangan manual) dengan penimbangan yang dilakukan perusahaan (menggunakan timbangan digital). Ada kecenderungan penimbangan yang dilakukan petani menghasilkan timbangan yang lebih “berat”. Hal ini karena dianggap keakuratan timbangan konvensional/manual yang kurang “teliti”. Sementara menurut petani, penimbangan di sawah yang lebih berat dibanding dengan penimbangan yang dilakukan di perusahaan bukan disebabkan oleh keakuratan timbangan tetapi karena kecurangan oleh pegawai/ petugas perusahaan yang membuat catatan/administrasi berbeda dengan timbangan yang sebenarnya. Artinya, kadang-kadang pihak wakil perusahaan sendiri yang menyelundupkan jagung pada saat jagung berada pada proses pengangkutan. Keterbatasan penguasaan informasi yang dimiliki membuat petani menerima apapun hasil timbangan. Pencurian timbangan ini dapat berjalan karena jagung yang diselundupkan langsung diterima oleh penadah. Petani sendiri menanggung kerugian karena jagung yang dibayar adalah jagung yang sampai di pabrik/perusahaan (di mana penimbangan dilakukan di pabrik). Di samping penimbangan yang dilakukan di perusahaan dan tanpa sepengetahuan petani, satu pelanggaran yang dikeluhkan petani adalah keterlambatan pembayaran atas hasil panen yang diserahkan petani kepada perusahaan. Jika terjadi ketidaksesuaian/pelanggaran kontrak seperti ini, petani umumnya bersikap menunggu atau paling berani adalah melakukan tindakan “bertanya” JESP V ol. 4, No. 2, 2012 kepada kordes/petugas perusahaan. Menurut Pak Mario, sebenarnya perusahaan memberi kesempatan kepada petani untuk melakukan tindakan seperti protes dan tidak sekadar bertanya seperti ke perusahaan. Dalam hal ini perusahaan menyediakan tempat pengaduan yang dapat diakses oleh pihak-pihak yang terlibat kontrak tersebut ke kantor PT. Pioneer yang membawa wilayah penanaman di Jawa Timur yang ada di Malang sampai ke kantor pusat PT. Dupont (Jakarta) dan kantor Regional Asia. Tetapi, keterbatasan pengetahuan dan kecakapan hukum yang dimilki petani dan tentunya biaya yang mahal membuat petani (lagi-lagi) tidak mempunyai pilihan selain “menerima” atas berbagai ketidaknyamanan dan pelanggaran yang dirasakannya. Dengan kata lain, keputusan dan pilihan tindakan yang dilakukan oleh pihak perusahaan menggambarkan kapasitas aktor yang bertindak dengan penuh pertimbangan dan tujuan, sementara sikap dan tindakan yang dilakukan petani cenderung merupakan tindakan yang dilakukan sebagai respons mendorong dan menghambat yang terbentuk pada struktur, institusi dan kultur pada lingkungan di mana aktor berada. b. Peran Bank pada Pembiayaan Kontrak Usaha T ani; Keterlibatan secara Implisit Pada saat awal, Pioneer memberikan benih gratis sesuai luas lahan yang disediakan oleh petani. Pada proses pemeliharaan, pemupukan, dan pemanenan seluruh tanggung jawab pekerjaan maupun pembiayaan menjadi tanggung jawab petani dengan pengawasan secara terusmenerus oleh pihak Pioner (yang diwakili mandor dan asisten). Pada proses ini, pihak Pioner menyediakan kredit (standby loan) yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan oleh petani berapun yang dibutuhkan. Dalam proses peminjaman ini sebenarnya perusahaan melibatkan Bank BCA untuk memberikan kredit kepada petani dengan bunga 2% selama satu musim tanam (4 bulan). Sejauh ini yang diketahui petani terkait dengan kredit/pinjaman ini diberikan oleh perusahaan dan tanpa bunga. Seperti pernyataan Pak Muksim sebagai berikut: “ngene pak, ndhisik tau mrogram pioneer iki sik anu sik pertama, maune kuwi programe ngene kae biaya anu ndak bungai tapi hargane harga paket”. (Begini pak, dulu pernah ikut program Pioneer masih awal, tadinya program itu biaya (pinjaman, pen) tidak terkena bunga tetapi harganya harga paket.) Pertanyaannya kemudian, siapa yang membayar bunga dan dari dana mana bunga di bayarkan? Berdasarkan pernyataan dari pihak perusahaan, bunga itu dibayar (sekaligus pokok tentunya) dengan mengurangkannya dari hasil penjualan jagung yang diserahkan petani. Seperti diketahui, bahwa penimbangan dilakukan di perusahaan yang berarti petani tidak tahu pasti berapa kg hasil yang sebenarnya diperoleh. Informasi seperti ini tampaknya tidak secara eksplisit disampaikan perusahaan sehingga petani merasa pinjaman tersebut seperti pinjaman kebajikan (pinjaman yang tidak berbunga dan tidak ada keharusan peminjam untuk memberikan reward atas pinjaman tersebut). Pembiayaan pada kontrak usaha tani ini dipahami oleh petani sebagai pembiayaan oleh perusahaan, tanpa keterlibatan pihak lembaga keuangan manapun. Petani sama sekali tidak tahu dan tidak merasa bahwa bank memiliki keterlibatan pada kontrak ini. Realitas ini menunjukkan adanya informasi yang tidak simetris terkait peran perbankan kepada petani. Penguasaan informasi yang tidak lengkap tersebut sebagian disebabkan oleh ketidakmampuan petani untuk mengetahui secara tepat tentang keadaan atau sifat dari kemungkinan kemungkinan yang terjadi. Selain itu, informasi disebarkan secara asimetris sehingga pihak tertentu (baca: perusahaan) mengetahui lebih banyak dari 295 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 yang lain (baca: petani) dan dapat memanfaatkan keunggulan informasinya. Informasi yang tidak lengkap sebagian disebabkan tidak ada orang atau kelompok yang mengetahui secara tepat tentang keadaan atau sifat dari kemungkinan kemungkinan yang terjadi. Selain itu informasi disebarkan secara asimetris sehingga sebagian orang mengetahui lebih banyak dari yang lain dan dapat memanfaatkan keunggulan informasinya. Padahal untuk mendapatkan informasi perlu “biaya” yang besar dan bahkan juga tidak mungkin mendapatkan informasi yang akurat. Keterlibatan bank dalam hal ini tidak secara langsung berhubungan dengan petani, tetapi melalui perusahaan. Keterlibatan perusahaan pada proses pembiayaan ini tak pelak membuat jalur intermediasi menjadi bertambah panjang. Jika bank memberikan pembiayaan secara langsung kepada petani, maka proses intermediasi dapat lebih pendek. Bisa jadi bagi bank, pembiayaan secara langsung kepada petani merupakan peluang bisnis (baca: kredit) yang cukup memiliki prospek yang baik. Namun, persyaratan kredit pada umumnya yaitu 5C (Character, Capacity, Collateral, Capasity, and Condition of Economy) mungkin cukup sulit dipenuhi oleh petani. Atau dengan bahasa lain, kontrak usaha tani ini kurang “bankable” bagi bank. Dapat dipahami jika bank menerapkan konsep kehati-hatian (prudential banking) dalam operasional bisnisnya. Kontrak usaha tani ini, jika dicermati, tidak sepenuhnya tidak “bankable”. Keterlibatan langsung perusahaan level multinasional pada kontraknya dapat memenuhi kecukupan persyaratan kredit. Terlebih lagi kontrak ini dilakukan secara tertulis sehingga mencukupi kebutuhan akan kepastian hukum. Secara operasional, kontrak ini juga memeiliki kepastian hasil yang tinggi. Kewajiban petani menyerahkan seluruh hasil panen untuk kemudian dibeli oleh perusahaan dapat menjadi ”jaminan” atas kemungkinan 296 terjadi kemacetan kredit (non performing loan). Kepastian ini akan lebih tinggi karena harga untuk hasil panen ini telah ditentukan di awal kontrak. Bentuk yang dapat menjadi jembatan kebutuhan bank akan “keamanan” dana bank sekaligus profitabilitas yang memadai bagi bisnis bank adalah menempatkan perusahaan (dalam hal ini pihak Pioneer) sebagai personal guarantee atas kredit yang diberikan. Kredit diberikan secara langsung kepada petani (secara eksplisit) sehingga proses intermediasinya lebih pendek. Satu hal penting dengan kredit yang eksplisit ini adalah terbukanya informasi mengenai pembiayaan/kredit ini sehingga petani mengetahui hak dan kewajiban (sebenarnya) terkait dengan pembiayaan (yang dikiranya sebagai ‘bantuan’ dari perusahaan). KESIMPULAN Kesimpulan pertama, keberadaan kontrak usaha tani antara petani dengan perusahaan telah menggeser posisi petani sebagai prinsipal menjadi tidak lebih seperti seorang agen. Padahal dalam realitasnya petani memiliki beberapa aset penting seperti lahan, tenaga kerja dan sarana produksi lainnya yang mestinya menempatkannya menjadi seorang prinsipal juga. Persoalan ini dipicu oleh karena rendahnya daya tawar dan kapasitas petani sebagai aktor/pihak yang terlibat dalam kontrak. Sementara perusahaan menguasai teknologi pembenihan, informasi pasar dan memiliki kapasitas di bidang hukum yang jauh lebih besar. Kedua, terkait dengan pola pembiayaan yang diberikan oleh pihak perbankan melalui perusahan kepada petani selama ini menimbulkan informasi yang tidak simetris, dimana anggapan para petani bahwa perusahan yang memberikan kredit padahal ada pihak banklah yang memberikan kredit. Dengan pola pembiyaan yang seperti ini dimana ada pihak kedua yang melakukan proses penyaluran kredit kepada petani menimbulkan suatu permasalahan social JESP V ol. 4, No. 2, 2012 tersendiri yaitu akan menimbulkan inefisiensi dan menimbulkan banyak biaya yang akan dikeluarkan karena proses penyaluran kredit dalam fungsi intermediasi ini akan semakin panjang. REKOMENDASI Secara spesifik, perbankan dapat secara langsung memberikan bantuan pembiayaan tanpa harus melalui pihak kedua (perusahaan) dengan skema yang sesuai, sehingga fungsi intermediasi perbankan bisa berjalan. Perusahaan pada proses ini dapat menjadi personal guarantee sehingga kebutuhan profitabilitas bank terpenuhi dengan tetap tercukupinya prinsip kehati-hatian bank. DAFTAR PUSTAKA Andri, Kuntoro Boga. 2006. Melihat Potensi dari Sistem Usaha Tani Kontrak. Inovasi. V ol. 7/XVIII/Juni 2006. Agroindonesia February 14th, 2011,diaksespada 23 Agustus 2011 Boemer, Christopher S. and Jeffrey T. Macher. [email protected]. [email protected] pada tanggal 2 Mei 2007. Damardjati, Djoko S. 2006. Kebijakan dan Program Nasional Pengembangan Agribisnis Palawija.Prosiding Seminar Nasional.Bogor, 13 Juli 2006. Penyunting: I wayan Rusastra, Togar Alam Napitupulu, Made Oka A. Manikmas dan Firdaus Karim. CAPSA Monograph No. 49Economic and Social Commission for Asia and The Pacific. Glover, David and Lim- Teck Ghee. 1992. Contract Farming in Southeast Asia; Three Country Studies. Institut Pengajian Tinggi/Institute for Advanced Studies Universiti Malaya. University of Malaya Kuala Lumpur. Hal 3 Goel, Shri. A.K. 2003. Contract Farming V entures in India: A Few Successful Cases. SPICE. The Director General, National Institute of AgriculturalExtension Management (MANAGE). Series Editor: Dr. Vikram SinghV ol. 1 No. 4 : March 2003. Gunawan, Memed dan Effendi Pasandaran. 1989. Alokasi Masukan dalam Sistem Sakap. Prosiding Patanas Evolusi Kelembagaan Pedesaan di Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor Klein, Benjamin. 1980. Transaction Cost Determinants of “Unfair” Contractual Arrangement. The American Economic Review, V ol. 70, No. 2, Papers and Proceedings of the Ninety-Second Annual Meeting of the American Economic Association (May 1980). Mallor, Jane P , A. James Barnes, Thomas Bowers, Maichael J. Philips and Arlen W . Langvardt. 1998. Business Law and Regulatory Environment; Concept and Cases. Tenth Edition.Irwin McGrawHill.USA. (Mirza, 2000:34). Moleong, Lexi J. 2001. MetodePenelitianKualitatif. PT. RemajaRosdakarya. Bandung. Mulyana, Deddy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif; Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Remaja Rosdakarya. Bandung. Robinson, 2004:113) Rusastra et al. 2006. StrategiKebijakanPenelitian dan PengembanganPalawija.ProsidingS eminarNasional.Bogor, 13 Juli 2006. Penyunting: I wayan Rusastra, Togar Alam Napitupulu, Made Oka A. Manikmas dan Firdaus Karim. CAPSA Monograph No. 49Economic and 297 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Social Commission for Asia and The Pacific. Suryana, Achmad. 2006. StrategiKebijakanPenelitian dan PengembanganPalawija.ProsidingS eminarNasional.Bogor, 13 Juli 2006. Penyunting: I wayan Rusastra, Togar Alam Napitupulu, Made Oka A. Manikmas dan Firdaus Karim. CAPSA Monograph No. 49Economic and Social Commission for Asia and The Pacific. Sykuta, Michael and Michael L. Cook. 2001. A New Institutional Approach to Contract and Cooperatives. Working Paper No. 2001-04 September 2001. 298 Contracting and Organizations Research Institute. University of Missouri. Columbia. Wijaya, Faried. 1991. Perkreditan & Bank dan Lembaga-lembaga Keuangan Kita. BPFE. Yogyakarta. Williamson, Oliver E. 1998. Transaction Cost Economics: How It Works; Where It Is Headed. De Economist 146, No. 1, 1998. Kluwer Academic Publishers. www.aec.msu.edu. Contract Farming in Sub Saharan Africa: A Farnpan Project. FARNP AN ANNUAL POLICY DIALOGUE 4-7 OCT. Diakses pada tanggal 19 Februari 2008. JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Analisis Sektor Unggulan dan Perkembangan Ekonomi Kabupaten Lamongan (Sebuah Pendekatan Sektoral Pembentuk PDRB) Abdul Azis, Arvidya Maulid Dana, Endro Pebi Trilaksono, Fajar Try Leksono, Wildan Mudhoffar Abstract Economic growth is one measure that can be used to enhance the development of a region from a variety of economic sectors that are not directly describe the rate of economic change. Regional development must comply with the conditions of the potential and aspirations of the people who grow and develop. If the implementation of regional development priorities in accordance with the lack of potential that each region, the utilization of existing resources would be less than optimal. This study aims to analyze the economic potential and identify economic sectors in regency of Lamongan. The data used in this study is a secondary data during the years 2009-2011 come from BPS of East Java Province and BPS of Lamongan regency. Model analysis used the LQ analysis and Shift-Share. The results showed that the food crops and fisheries are the two sectors that have the highest competitiveness in comparison with other sectors and the addition of output obtained Lamongan district as a result of the industry in the district Lamongan grow faster than the same industry at the provincial level and relatively fast growth sectors also there when compared with other regions. Keywords: leading sector, economic growth, regional development, competitiveness PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya - sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999 : 108). Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang melibatkan pembentukan institusi baru, pembangunan industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, dan transformasi pengetahuan (Adisasmita 2005 dalam Manik, 2009 : 32). Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (value added) yang terjadi (Tarigan, 2005 : 46). Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Oleh karena itu, pembangunan ekonomi daerah merupakan bagian dari pembangunan daerah secara menyeluruh. Dalam upaya mencapai tujuan pembangunan ekonomi daerah, kebijakan utama yang perlu dilakukan adalah mengusahakan semaksimal mungkin agar prioritas pembangunan daerah sesuai dengan potensi pembangunan yang dimiliki oleh daerah.Hal ini terkait dengan potensi pembangunan yang dimiliki setiap daerah sangat bervariasi, maka setiap daerah harus menentukan kegiatan sektor ekonomi yang dominan (Syafrizal, 1999). _______________________________________ Alamat Korespondensi Abdul A., Arvidya M.D., Endro P.T., Fajar T.L., Wildan M., Mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan Fqkultas Ekonomi Universitas Negeri Malang Email : [email protected] JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Di era otonomi daerah sekarang ini, setiap pemerintah daerah memiliki kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat untuk meningkatkan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi. Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan seluasluasnya kepada daerah menyelenggarakan otonomi daerah.Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah daerah dalam pembangunan ekonomi dan pelaksanaan otonomi daerah mengacu pada UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya yang ada di daerah dan membentuk kerja sama atau kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut.Untuk mencapai tujuan diatas maka diperlukan perencanaan yang teliti dan evaluasi terhadap has il–hasil pembangunan yang telah dicapai. Salah satu indikator ekonomi makro yang digunakan untuk perencanaan dan evaluasi pembangunan ekonomi secara makro adalah statistik Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB adalah jumlah seluruh nilai tambah yang yang diciptakan oleh berbagai sector lapangan usaha yang melakukan kegiatan usahanya di suatu wilayah/region (dalam hal ini 300 kabupaten/kota), tanpa memperhatikan kepemilikan atas faktor produksi. Dengan demikian PDRB secara agregatif menunjukan kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan/ balas jasa kepada faktor-faktor produksi yang ikut berpartisipasi dalam proses produksi di daerah tersebut. Dengan kata lain PDRB menunjukan gambaran Production Originated. PDRB atas harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung pada satu tahun tertentu sebagai dasar.Dalam hal ini, perhitungan menggunakan tahun 2000.Kegunaan PDRB atas harga konstan untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau setiap sektor dari tahun ke tahun, sedangkan kegunaan PDRB atas harga berlaku untuk melihat besarnya struktur perekonomian dalam satu daerah atau wilayah. Pelaksanaan otonomi daerah dengan pemberdayaan potensi daerah akan bisa berjalan jika sektor basis (sektor ungulan) daerah dapat dioptimalkan. Sektor unggulan ini penting untuk diketahui guna menentukan skala prioritas dalam pembangunan.Sektor basis (Sektor unggulan) tersebut adalah sektor yang memiliki potensi yang lebih untuk berkembang dibandingkan dengan sektor lainnya. Sektor basis ini akan menjadi ciri khas di suatu daerah. Demikian pula dengan Kabupaten Lamongan dalam mendukung pertumbuhan ekonominya maka perlu mengidentifikasi sektor–sektor mana yang dapat diunggulkan dan dapat memberikan hasil yang cukup baik dan diharapkan sebagai solusi alternatif, sehingga dapat mendukung sektor–sektor lain yang belum berkembang.Sektor–sektor perekonomian tersebut diambil dari lapangan usaha utama.sehingga dapat mendukung pertumbuhan sektor lain yang belum berkembang Selama tahun terakhir (2011) kondisi perekonomian nasional cukup stabil, kurs rupiah dan suku Bungan bank cenderung menurun.Hal ini sangat menguntungkan JESP V ol. 4, No. 2, 2012 bagi perkembangan perekonomian kabupaten lamongan yakni ditandai dengan semakin meningkatnya nilai investasi dan tingkat pertumbuhan ekonominya yang cukup dinamis.Dari uraian latar belakang di atas, penulis terdorong untuk menganalisis dan mengkaji lebih lanjut mengenai sektor-sektor ekonomi di kabupaten Lamongan, provinsi Jawa Timur. Mengingat ruang lingkup pembangunan ekonomi daerah sangat luas maka penulis membatasi pembahasan masalah pada sektor-sektor ekonomi yang ada di kabupaten Lamongan dan data yang digunakan adalah data tahunan dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2011. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis dan mengetahui sektor-sektor ekonomi yang menjadi sektor unggulan dalam pembangunan daerah di kabupaten Lamongan dengan menggunakan analisis Location Quontient (LQ), dan untuk mengetahui pertumbuhan sektor-sektor ekonomi berdasarkan kondisi PDRB di kabupaten Lamongan menggunakan analisis Shift Share (SS). METODE Daerah Penelitian Penelitian ini secara khusus mengamati perekonomian daerah Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur selama tahun 2009-2011. Data yang digunakan Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini Nampak dalam Tabel 1. Tabel 1.1 Data yang digunakan No. Uraian Data Jenis Data 1 PDRB Kabupaten Lamongan Sekunder 2009-2011 2 PDRB Provinsi Jawa Timur Sekunder 2009-2011 T eknik Analisis 1. Analisis shift share (SS) Analisis Shift Share (SS) merupakan salah satu teknik yang sering digunakan dalam analisis pembangunan daerah.Analisis SS merupakan suatu teknik yang berguna untuk menganalisis perubahan dalam struktuk perekonomian daerah dibandingkan dengan perekonomian nasional suatu Negara. Berdasarkan perubahan struktur yang ada, selanjutnya akan dapat diketahui produktivitas perekonomian sutu daerah dibandingkan dengan perekonomian nasional (Blakely, 1994: 89) Dalam operasionalnya, analisis SS dapat digunakan untuk mengurangi (decompose) variable pertumbuhan ekonomi, yakni seperti tenaga kerja, nilai tambah (value added) dan pendapatan dalam negeri kotor (Product Domestic Bruto) ( Bendavid-V al, 1991: 69; Sumber Data BPS Kabupaten Lamongan BPS Provinsi Jawa Timur Blakeley, 1994:94) menjadi tiga komponen pengaruh (Bendavid-V al, 1991: 67). Ketiga komponen pengaruh tersebut meliputi; pengaruh bauran industry (industry mix), pengaruh pertumbuhan nasional (national growth effect) dan pengaruh keunggulan kompetetif (differential shift/regional share). Secara umum pengaruh analisis SS ini memiliki formula umum sebagai berikut: Dimana: =pengaruh total =pengaruh pertumbuhan nasional =bauran industri =pengaruh keunggulan kompotitif 2. Analisasis Location Quontient (LQ) Location Quontient (LQ) adalah analisis lain yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat spesialisasi relative 301 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 suatu daerah dalam kategori industry atau sector (Bendavid-V al, 1991:73). Selain itu, hasil analisis LQ merupakan suatu indicator sederhana yang menunjukan kekuatan atau besar kecilnya suatu sector dalam suatu daerah dibandingkan dengan peran suatu sector yang sama di daerah di daerah lain. Nilai LQ di suatu sector pembangunan daerah lebih besar lebih dari satu maka sector bersangkutan merupakan sector kuat, sehingga daerah tersebut secara potensial merupakan pengekspor produk dari sector tersebut ke daerah lainnya.Sebaliknua bila nilai LQ kurang dari satu maka daerah tersebut merupakan pengimpor produk tertentu (Azis, 1994: 233).Teknik LQ ini dapat diterapkan pada beberapa unit ukuran untuk mengetahui tingkat spesialisasi daerah, seperti kesempatan kerja, output, nilai tambah dan pendapatan. Dalam aplikasinya, LQ dapat digunakan untuk menganalisis potensi perekonomian dari sisi pendapatan domestic kotor (Product Domestic Bruto) dan dari sisi kesempatan kerja di suatu daerah. Sebagai contoh, dalam penggunaan teknik LQ pada unit ukuran pendapatan domestic kotor, rumus LQ sebagai berikut: Dimana: =output sector X pada suatu daerah =output sector X pada suatu Negara =Total output pada suatu daerah =total output pada suatu Negara Kriteria dari nilai LQ sebagai berikut: LQ >1 : berarti derah yang bersangkutan lebih spesialisasi pada suatu sector tertentu pada tingkat nasional LQ <1 : berarti daerah yang bersangkutan kurang spesialisasi pada suatu sector tertentu dari pada tingkat nasional LQ = 1 : tingkat spesialisasi suatu sector tertentu baik secara regional maupun secara nasional sama 302 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Shift Share (SS) Berdasarkan data disagregasi 9 sektor utama PDRB berdasarkan harga konstan 2000 di Kabupaten Lamongan selama tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 menggunakan teknik shift share dapat dijelaskan bahwa pertumbuhan kegiatan ekonomi di Kabupaten Lamongan selama tahun 2008-2011 di tentukan oleh tiga hal, yakni: 1. Pertumbuhan Provinsi Pertumbuhan provinsi mengukur perubahan output (PDRB) yang akan terjadi bila semua industry di daerah tumbuh pada tingkat yang sama dengan PDRB nya. Nilai positif pada komponen pertumbuhan provinsi mengandung arti bahwa subsektor-subsektor dalam perekonomian provinsi pertumbuhannya cepat dan memberi pengaruh positif kepada perekonomian kabupatan.Nilai negative pada komponen pertumbuhan provinsi mengandung arti bahwa subsektor-subsektor dalam perekonomian provinsi pertumbuhannya lambat dan memberikan pengaruh negative kepada perekonomian kabupatan.Berdasarkan pada perhitungan Shift Share menunjukkan bahwa semua subsektor memiliki nilai positif.Secara total, komponen pertumbuhan provinsi juga memiliki nilai positif, yakni sebesar Rp. 2.272.016 juta.Nilai positif pada komponen pertumbuhan provinsi mengandung arti bahwa subsektor-subsektor dalam perekonomian Jawa Timur pertumbuhannya cepat dan memberikan pengaruh positif kepada perekonomian Kabupaten Lamongan.Sedangkan nilai nol (0) pada komponen pertumbuhan provinsi menunjukan bahwa subsektor yang bersangkutan tidak memberikan pengaruh terhadap perekonomian daerah.Dalam hal ini, subsektor-subsektor yang bernilai nol (0) lebih disebabkan karena di Kabupaten Lamongan subsektor-subsektor tersebut tidak menghasilkan output. JESP V ol. 4, No. 2, 2012 2. Struktur Industri Struktur industry menghitung dari dampak komposisi industry daerah.Selain itu pula komponen ini juga menghitung perbedaan antara pertumbuhan kabupaten dengan menggunakan pertumbuhan provinsi sektoral dan pertumbuhan kabupaten dengan menggunakan pertumbuhan provinsi total.Daerah kabupaten dapat tumbuh lebih cepat atau lebih lambat dari provinsi.Perbedaan tingkat pertumbuhan ini disebabkan oleh komposisi sector yang berbeda.Nilai positif pada komponen ini menunjukan bahwa daerah kabupaten berkonsentrasi pada sector-sektor yang bertumbuhannya cepat secara regional (provinsi).Hal ini karena tingkat pertumbuhan kegiatan ekonomi di daerah di atas rata-rata pertumbuhan kegiatan ekonomi di tingkat provinsi secara total.Sedangkan nilai negative menunjukan bahwa daerah kabupaten berkonsentrasi pada sectorsektor yang pertumbuhannya lamabn secara regional (provinsi).Hal ini karena tingkat pertumbuhan kegitan ekonomi di daerah di bawah rata-rata pertumbuhan kegitan ekonomi di tingkat provinsi secara total.Berdasarkan perhitungan dengan teknik Shift Share menunjukkan bahwa terdapat subsektor-subsektor yang bernilai positif dan subsektor-subsektor yang bernilai negative. Subsektor-subsektor yang bernilai positif meliputi: a) Air bersih b) Kontruksi c) Perdagangan besar & eceran d) Hotel e) Restoran f) Angkutan rel g) Jasa penunjang angkutan h) Komunikasi i) Bank j) Lembaga keuangan bukan bank k) Sewa bangunan l) Jasa hiburan & rekreasi Subsektor-subsektor yang bernilai negatif meliputi: a) Tanaman bahan makanan b) Tanaman perkebunan c) Peternakan dan hasil-hasilnya d) Kehutanan e) Perikanan f) Penggalian g) Makanan, minuman dan tembakau h) Tekstil, barang kulit dan alas kaki i) Barang kayu dan hasil hutan lainnya j) Kertas dan barang cetakan k) Pupuk, kimia dan barang dari karet l) Semen dan barang galian bukan logam m) Barang lainnya n) Listrik o) Angkutan jalan raya p) Angkutan laut q) Jasa perusahaan 303 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 r) Pemerintahan umum s) Jasa social kemasyarakatan t) Jasa perorangan dan rumah tangga Subsektor-subsektor yang bernilai nol (0) meliputi: a) Minyak dan gas bumi b) Pertambangan tanpa migas c) Pengilangan minyak bumi d) Gas alam cair e) Logam dasar besi dan baja f) Alat angkat mesin dan peralatannya g) Gas h) Angkutan sungai danau dan penyebrangan i) Angkutan udara j) Jasa penunjang keuangan Secara total, komponen struktur industry memiliki nilai sebesar -Rp. 480.183 juta 3. Daya Saing Regional Komponen daya saing regional mengukur perbedaan tingkat pertumbuhan anatara industry di tingkat provinsi dengan industry di tingkat kabupaten. Komponen daya saing akan menghasilkan nilai yang merepresentasikan pertumbuhan industry di tingkat kabupaten lebih cepat atau lebih lamban dari pertumbuhan industry di tingkat provinsi. Nilai positif menunjukan bahwa industry di kabupaten tumbuh lebih cepat dari pada industry yang sama di tingkat provinsi. Selain itu pula nilai positif pada komponen ini juga mengandung arti bahwa komposisi kegiatan di daerah sudah baik untuk daerah (kabupaten) yang bersangkutan. Sedangkan nilai negative menunjukan bahwa industry daerah tumbuh lebih lamban dari industry yang sama pada tingkat provinsi. Selain itu pula nilai negative pada komponen ini juga mengandung arti bahwa komposisi kegiatan ekonomi di daerah belum cukup baik di daerah (kabupatan) yang bersangkutan. Subsektor-subsektor yang bernilai positif meliputi: a) Tanaman perkebunan b) Peternakan dan hasil-hasilnya c) Perikanan d) Penggalian e) Makanan, minuman dan tembakau f) Tekstil, barang kulit dan alas kaki g) Barang kayu dan hasil hutan lainnya h) Kertas dan barang cetakan i) Pupuk, kimia dan barang dari karet j) Semen dan barang galian bukan logam k) Listrik l) Perdagangan besar & eceran m) Hotel n) Angkutan jalan raya o) Angkutan laut p) Jasa penunjang angkutan q) Bank r) Lembaga keuangan bukan bank 304 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 s) t) u) v) w) x) Sewa bangunan Jasa perusahaan Pemerintahan umum Jasa social kemasyarakatan Jasa hiburan & komunikasi Jasa perorangan dan rumah tangga Subsektor-subsektor yang bernilai negative meliputi: a) Tanaman bahan makanan b) Kehutanan c) Barang lainnya d) Kontruksi e) Restoran f) Angkutan rel g) Komunikasi Subsektor-subsektor yang bernilai nol (0) meliputi: a) Minyak dan gas bumi b) Pertambangan tanpa migas c) Pengilangan minyak bumi d) Gas alam cair e) Logam dasar besi dan baja f) Alat angkat mesin dan peralatannya g) Gas h) Angkutan sungai, danau dan penyebrangan i) Angkutan udara j) Jasa penunjang keuangan Secara total, komponen daya saing regional memiliki nilai sebesar Rp. 685.924 juta Berdasarkan pada hasil perhitungan dengan menggunakan tenik Shift Share di atas dapat dijelaskan lebih jauh bahwa: a. Secara akumulatif, komponen total berpengaruh memberikan nilai shift share sebesar Rp. 2.477.756 juta. Nilai ini merepresentasikan nilai tambah bruto yang secara actual dapat tercipta di kabupaten Lamongan selama tahun 2008-2011 dalam interaksinya dengan perekonomian wilayah Jawa Timur. Nilai tambah ini dapat tercipta melalui komponen pertumbuhan provinsi, struktur indutri daerah dan persaingan daerah. b. Komponen pertumbuhan provinsi sebesar Rp. 2.272.016 juta merepresentasikan sejumlah output yang dihasilkan oleh kegiatan ekonomi di kabupaten Lamongan yang diakibatkan oleh kegiatan ekonomi provinsi Jawa Timur selama tahun 2009-2011. Hal ini menunjukan bahwa performance perekonomian kabupaten Lamongan secara rata-rata sudah sesuai dengan performance provinsi Jawa Timur. c. Komponen struktur industry secara total memiliki output sebesar -Rp. 480.183 juta. Hal ini mengandung arti bahwa output yang berkurang di kabupaten Lamongan sebagai akibat dari konsentrasinya pada sector-sektor yang pertumbuhannya lamban secara regional (provinsi). d. Komponen daya saing regional secara total memiliki output sebesar Rp. 685.924 juta. Hal ini mengandung arti bahwa penambahan output yang diperoleh kabupaten Lamongan sebagai akibat dari industry di 305 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 kabupaten Lamongan tumbuh lebih cepat dari pada industry yang sama di tingkat provinsi dan relative cepat juga pertumbuh sector-sektor yang ada bila dibandingkan dengan daerah yang lain, serta mengandung arti bahwa komposisi kegiatan ekonomi di daerah sudah baik untuk daerah Lamongan. Secara diagramatis pendekatan shift share terhadap perekonomian kabupaten Lamongan dibandingkan dengan perekonomian Provinsi Jawa Timur selama tahun 2009-2011 dapat dilihat pada bagan berikut: Output Aktua/Nilai T ambah Bruto Rp. 2.477.756 Juta Pertumbuhan Provinsi (+) Rp. 2.272.016 Juta Spillower Effect Perekonomian Jawa Timur Struktur Industri (-) Rp. 480.183 Juta Konsentrasi Sektor yang Pertumbuhannya Lamban Secara Provinsi Daya Saing Regional (+) Rp. 685.924 Juta Pertumbuhan Sektor Relatif Cepat dibanding Daerah Lain Gambar 1.1 Mekanisme Pencapaian Output Aktual Perekonomian Kabupaten Lamongan Pada gambar di atas dapat dijelaskan bahwa output baru yang tercipta di kabupaten Lamongan sebesar Rp. 306 2.447.756 juta. Output ini dapat tercipta melalui tiga komponen penting, yakni pertumbuhan provinsi (Rp. 2.272.016 juta), struktur industry (-Rp. 480.183 juta), dan daya saing regional (Rp. 685.924 juta). JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Analisis Location Quentient (LQ) Dalam konteks perekonomian kabupaten, maka nilai perekonomian LQ>1, menunjukan bahwa kabupataen tertentu relative lebih spesialis dari tingkat provinsi pada sector yang diamati.Nilai LQ<1 menunjukan bahwa kabupaten tertentu relative kurang spesialis dari tingkat provinsi pada sector yang diamati. Nilai LQ=1 menunjukan bahwa baik dari daerah kabupaten maupun provinsi tingkat spesialisasinya sama pada sector tertentu yang diamati. Berdasarkan perhitungan LQ dapat dijelaskan spesialisasi relative perekonomian kabupaten Lamongan selam tahun 2008-2011, yakni a) Subsektor yang memiliki nilai Location Quotient lebih dari satu selama 4 tahun pengamatan (tahun 2008, 2009, 2010, 2011) meliputi: a. Tanaman Bahan Pangan b. Perikanan c. Tekstil, Bahan Dari Kulit Dan Alas Kaki d. Barang Dari Kayu Dan Hasil Hutan Lainnya e. Listrik f. Sewa Bangunan g. Pemerintahan Umum h. Jasa Social Kemasyarakatan b) Subsektor yang memiliki nilai Location Quotient kurang dari satu selama 4 tahun pengamatan (tahun 2008, 2009, 2010, 2011) meliputi: a) Tanaman Perkebunan b) Peternakan c) Kehutanan d) Penggalian e) Makanan Minuman Dan Tembakau f) Kertas Dan Barang Cetakan g) Pupuk, Kimia Dan Barang Dari Karet h) Semen Dan Barang Galian Bukan Logam i) Barang Lainnya j) Air Bersih k) Kontruksi l) Perdagangan m) Hotel n) Restoran o) Angkutan Rel p) Angkutan Jalan Raya q) Angkutan Laut r) Jasa Penunjang Angkutan s) Komunikasi t) Bank u) Lembaga Keuangan Bukan Bank v) Jasa Perusahaan w) Jasa Hiburan Dan Kebudayaan x) Jasa Perorangan Dan RT c) Subsektor yang memiliki nilai Location Quotient sama dengan nol (0) selama 4 tahun pengamatan (tahun 2008, 2009, 2010, 2011) meliputi: a) Pertambangan Migas 307 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 b) c) d) e) f) g) Pertambangan Non Migas Logam Dasar Besi Dan Baja Alat Angkutan Mesin Dan Peralatannya Gas Kota Angkutan Penyebrangan Angkutan Udara d) Berdasarkan pada point a, b dan c di atas dapat disimpulkan bahwa: • Perekonomian kabupaten Lamongan memiliki keunggulan komparatif di subsektor tanaman bahan pangan, perikanan, tekstil, bahan dari kulit dan alas kaki, barang dari kayu dan hasil hutan lainnya, listrik, sewa bangunan, pemerintahan umum, jasa social kemasyarakatan. Dari subsektor tersebut subsektor subsektor tanaman bahan makanan dan subsektor perikanan memiliki keunggulan komparatif paling besar diantara subsektor-subsektor yang lain. • Selama 4 tahun pengamatan subsektor-subsektor yang memiliki keunggulan komparatif tersebut memiliki perekembangan yang cukup stabil. • Berdasarkan pada analisis model LQ di atas dapat disusun posisi relative keunggulan komparatif subsektor pereknomian kabupaten Lamongan selama tahun 2008-2011 308 dibandingkan dengan perekonomian provinsi Jawa Timur sebagai berikut: Keterangan: Kuadran 1: o Subsektor di kabupaten Lamongan yang memiliki spesialisasi relative dibandingkan dengan subsektor yang sama pada tingkat provinsi Jawa Timur o Subsektor yang memiliki keunggulan komparatif Kuadran 2: o Subsektor di kabupaten Lamongan yang tidak memiliki spesialisasi relative dan keunggulan komparatif dalam perekonomian di Jawa Timur Kuadran 3: o Subsektor yang belum memiliki kegiatan ekonomi di kabupaten Lamongan (nilai koefisien Location Quentient sebesar 0) Kuadran 4: o Subsektor yang memiliki tingkat spesialisasi realtif paling besar dibandingkan dengan subsektor lain dalam perekonomian kabupaten Lamongan JESP V ol. 4, No. 2, 2012 Tabel 2 Posisi Relatif Keunggulan Komparatif Subsektor Perekonomian KabupatenLamongan KUADRAN 1 § § § § § § § § tanaman bahan makanan perikanan tekstil, bahan dari kulit dan alas kaki barang dari kayu dan hasil hutan lainnya listrik sewa bangunan pemerintahan umum jasa social kemasyarakatan KUADRAN 2 § § § § § § § § § § § § § § § § § § § § § § § § KUADRAN 3 § § § § § § § pertambangan migas pertambangan non migas logam dasar besi dan baja alat angkutan mesin dan peralatannya gas kota angkutan penyebrangan angkutan udara tanaman perkebunan peternakan kehutanan penggalian makanan minuman dan tembakau kertas dan barang cetakan pupuk, kimia dan barang dari karet semen dan barang galian bukan logam barang lainnya air bersih kontruksi perdagangan hotel restoran angkutan rel angkutan jalan raya angkutan laut jasa penunjang angkutan komunikasi bank lembaga keuangan bukan bank jasa perusahaan jasa hiburan dan kebudayaan jasa perorangan dan RT KUADRAN 4 § § tanaman bahan makanan perikanan 309 JESP V ol. 4, No. 2, 2012 KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa: 1. Subsektor-subsektor perekekonomian Provinsi Jawa Timur dalam perkembangannya secara umum selama tahun 2009-2011 pertumbuhannya cepat dan memberikan pengaruh positif kepada perekonomian Kabupaten Lamongan. 2. Kegiatan ekonomi di Kabupaten Lamongan selama tahun 2009-2011 berkonsentrasi pada sector-sektor yang pertumbuhannya cepat secara regional (Provinsi Jawa Timur). Sektor-sektor tersebut seperti makanan, minuman dan tembakau, tekstil, barang kulit dan alas kaki, barang kayu dan hasil hutan lainnya serta kertas dan barang cetakan. 3. Kabupaten Lamongan memiliki potensi keunggulan komparatif di subsektor seperti tanaman bahan makanan dan perikanan. Berdasarkan pada temuan dalam penelitian ini, maka beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat diajukan adalah: 1. Identifikasi terhadap potensi perekonomian daerah secara sektoral perlu dilakukan guna meningkatkan kinerja perekonomian daerah. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pemetaan terhadap aspek mikro dan makro dalam perekonomian daerah. 310 2. Ekstensifikasi terhadap komoditi unggulan, sehingga terjadi difersifikasi dalam komoditi-komoditi yang mempunyai keunggulan komparatif. Hal ini dapat dilakukan dengan memperluas cakupan skala prioritas pembangunan sektoral, sehingga sector-sektor yang belum berkembang dapat ditingkatkan perannya dalam pembangunan daerah. DAFTAR RUJUKAN § Adisasmita, H.R. 2005. Dasar-dasar Ekonomi Wilayah. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta. § Arsyad, L. 1999. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: Bagian Penerbitan STIE YKPN. § Badan Pusat Statistik, 2011, PDRB Kabupaten Lamongan, BPS, Kabupaten Lamongan § Badan Pusat Statistik, 2006-2010, PDRB Kabupaten/Kota Se-Jawa Timur, BPS, Provinsi Jawa Timur § Bendavid-V al, A. 1999. Regional and Local Economic Analysis for Practioners. NY: Praeger Publiser. § Blakely, E. J. 1994. Planning Local Economic Development, Theory and Practice, 2nd edition. California: SAGE Publication. § Tarigan, Robinson. 2005. Ekonomi Regional. Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. Bumi Aksara. Jakarta. JESP Vol.4, No.2, 2012 Tinjauan Buku Judul : Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian Kontemporer) Penulis : Sasli Rais, SE., M.Si Penyunting : Dance Y . Flassy, SE., M.Si Halaman : 214 halaman. Penerbit : Penerbit Universitas Indonesia (UI Press) Tahun : 2005 ISBN : 979-456-301-3 Peresensi : Subagyo, SE., SH., MM Pegadaian Syariah merupakan lembaga keuangan syariah yang lahir setelah perbankan syariah. Tidak seperti kakak-nya, pegadaian syariah belum terlalu banyak diketahui masyarakat apalagi dimengerti dan dipahami. Buku Pegadaian Syariah yang ditulis oleh Sasli Rais ini menjadi salah satu media untuk memperoleh gambaran tentang pegadaian syariah, tidak hanya secara konsep dan sistem operasional tetapi melihat, memperbandingkan dan mengkritisi pegadaian syariah antara tataran konsep dan tataran realitas. Buku Pegadaian Syariah ini, merupakan mutasi dari sebuah karya akademik penulis di Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia dan bertransformasi (secara parsial). Sehingga struktur penulisan, pemilihan kata dan pembentukan kalimat memiliki “watak” dan “tabiat” yang sama dengan bentuk awalnya, yaitu sebuah T esis. Buku transformasi seperti ini memiliki kemanfaatkan bagi pembaca yang berminat untuk melakukan penelitian dengan topik kajian yang sama. Buku ini terbagi dalam 4 (bagian) yang terdiri atas; Pendahuluan,Teori, Hasil Kajian dan Rekomendasi. Pemilahan seperti ini memberikan pembaca pada sebuah ilustrasi pegadaian syariah dengan struktur pemahaman dalam bentuk “Piramida Terbalik”, yang mengajak pada sebuah fokus kaji dan amatan. Pembaca seperti diajak untuk melakukan pengamatan dengan pisau analisis (berupa teori) yang telah terpapar. Struktur piramida terbalik ini, membawa pembaca pada nuansa pembacaan novel untuk setia menunggu dan menemui klimaks dan ending “cerita”. Sasli Rais, pada awal bukunya (hal. 7) telah melakukan gugatan atas paradoksal yang terjadi antara “Fungsi Sosial –Konsumtif” dan “Fungsi Komersiil – Produktif” yang melekat pada konsep dan realitas pegadaian syariah. Pada jaman Nabi Muhammad, gadai memiliki sifat dan fungsi sosial konsumtif, tetapi dalam realitas pegadaian syariah di Indonesia, gadai memiliki kecenderungan bersifat dan berfungsi komersiil produktif. Paradoksal yang oleh Sasli Rais dipaparkan melalui kajian terhadap sistem operasional dan jenis pendapatan pegadaian syarih. (hal. 160). Nilai-nilai universal Teori Ekonomi Islam disajikan pula oleh Sasli Rais. (hal. 19). Pembahasan yang kaya dengan variasi rujukan memberikan pola pengayaan yang mampu membangun pemahaman utuh tentang Teori Ekonomi Islam, meskipun jabaran yang diberikan hanya eksplorasi Subagyo, Dosen Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang. E-mail : [email protected] JESP Vol. 4, No. 2, 2012 dengan kedalaman yang tidak terlampau dalam. Meskipun demikian, jabaran ini cukup dipakai sebagai bahan untuk mengkaji beberapa realitas yang akan terpapar di bagian belakang buku ini. Teori Gadai Syariah sendiri terpapar sepanjang 81 halaman, bagian terpanjang pada buku ini. Watak tesis tampak dalam eksplorasi yang beragam atas berbagai macam sumber rujukan yang variatif. Pembaca bisa menikmati sebuah resume yang menarik atas Teori Gadai Syariah. Paparan yang relatif cukup untuk memberikan ilustrasi utuh tentang Gadai Syariah. Meskipun ada beberapa bagian yang “berhenti secara mendadak” (hal. 68 tentang Katagori Marhun, hal. 71 tentang Pemanfaatan dan Pelunasan Marhun). Pola “berhenti secara mendadak” ini juga beberapa kali akan ditemui dalam bagian pembahasan. Tentunya Sasli Rais memiliki alasan rasional, mengapa dia harus “berhenti secara mendadak” ini. Salah satu kemungkinan adalah untuk mengejar fokus kaji dan amatan. Rasa tidak selalu ditentukan dengan bumbu yang teramat banyak !. Buku ini memberikan 12 (dua belas) tabel dan 15 (lima belas) gambar. Tabel dan gambar yang memberikan kemudahan bagi pembaca untuk memahami deskripsi dengan media yang berbeda. Keberadaan tabel dan gambar merupakan fasilitas yang disediakan oleh penulis untuk membaca secara cepat terkait maksud yang ingin diungkapkan oleh Sasli Rais. Hasil visualisasi deksripsi yang berupa pemadatan informasi yang bisa menghasilkan “extract file” yang kaya. Temuan dan kajian Sasli Rais tentang Pegadaian Syariah diawali dengan kalimat “… dalam analisis ini bukan untuk mencari praktik atau mekanisme operasional di Pegadaian Syariah dalam kaca mata perspektif ‘tidak dibolehkan (haram) maupun dibolehkan (mubah)’. Namun, lebih memperhatikan aspek manfaat positif atau maslahah mursalahnya… “ (hal. 159). Sebuah sudut 312 pengambilan jarak yang bagus bagi Sasli Rais untuk melakukan eksplorasi atas realitas dalam rangka mencegah pada “vonis akademik” !. Hasil bahasan yang menarik adalah adanya perbedaan antara realitas dan konsep Gadai Syariah mengenai Barang Jaminan (Marhun) (hal. 160) dan Pemafaatan Dana Pinjaman (Marhun Bih) (hal. 163). Dan salah satu temuan Sasli Rais lainnya adalah adanya perbadaan antara Paper Marketing yang disusun oleh Pegadaian Syariah tetapi tidak mencerminkan realitas operasional. (hal. 178). Paper Marketing yang seperti ini langsung ditukas oleh Sasli Rais dengan mengatakan “ …. Islam memerintahkan semua transaksi bisnis dilakukan dengan cara jujur dan terus terang, tidak memberikan koridor dan ruang penipuan, kebohongan …”. Membaca paparan tentang hasil kajian Sasli Rais pada bagian ketiga buku ini, tampaknya penulis lebih memilih untuk memberikan proporsi yang lebih besar bagi Teori. Sehingga hasil temuan dan pembahasan tidak terlalu dieksplorasi secara maksimal oleh Sasli Rais. Sesungguhnya menarik jika pembaca mendapatkan paparan yang lebih “boros” terkait dengan hasil kajian, sehingga akan tampak secara “kasat” antara teori dan realitas sesungguhnya. Pada bagian ini, Sasli Rais tampaknya memutuskan untuk “berhemat”. Sehingga pembaca akan merasakan bahwa klimaks cerita terasa kurang mengguras “emosi”. Pada akhir buku ini ditemukan bahwa Pegadaian Syariah masih belum mampu melakukan pengelolaan pegadaian sesuai dengan prinsip-prinsip syariah secara optimal. (hal. 199). Keadaan ini disebabkan oleh kurangnya peraturan perundang-undangan terkait dengan Gadai Syariah sehingga manajemen Pegadaian Syariah sering kali ragu-ragu dalam mengambil suatu kebijakan. Sebuah ending cerita yang memiliki nilai intrinsik yang menarik. Selamat Membaca !. JESP Vol. 4, No. 2, 2012 ISSN 2086-1575 INDEKS VOLUME 4 Tahun 2012 Nomor 1, Maret 2012 1. Kategori T ulisan/Judul Penulis/Peninjau Artikel: Tingkat Worker Turnover pada Multinational Marentyas Miftakhul Khoiroh Companies dan Kaitannya dengan Cultural Mahasiswa S-2 Prodi Ilmu Adjustment Halaman 5-12 Ekonomi PPS Universitas Indonesia 2. Sistem Ekonomi : Moral vs Insting Pemangsa Thomas Soseco 13-20 Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Malang 3. 4. 5. 6. Analisis Kritis Hutang dan Dampaknya Terha- Bambang Haryadi Fakultas Ekonomi Universitas dap Kinerja PDAM (Perspektif Ekonomi Trunojoyo Madura Politik Pada PDAM PERMAI) Suatu Pandangan Struktural Alternatif Usaha Abid Muhtarom Mahasiswa S-2 Prodi Ilmu Mikro dan UKM Dalam Perekonomian Ekonomi PPS Unair Surabaya Indonsia (Masa Krisis Ekonomi dan Pasca Krisis) Mahyarni Money Laundering (Pencucian Uang) dan Fakultas Ekonomi UIN Sultan Dampaknya Terhadap Perbankan dan Syarif Kasim Riau Negara Kita Penelitian: Pengaruh CAR, ROA, NPM dan LDR terha- Diana Elysabet Kurnia dap Pertumbuhan Laba Bank (Studi Kasus PT. Dewi & Imam Mukhlis Jurusan Ekonomi Pembangunan, Bank Mandiri, Tbk) 21-36 37-50 51-60 61-72 Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Malang 7. 8. 9. Analisis Persepsi Dan Aspirasi Nasabah Terhadap Kualitas Pelayanan BritAma (Studi Kasus Nasabah BritAma PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Cabang Martadinata Malang) Analisis Pengaruh Tingkat Suku Bunga Deposito Bank Konvensional Terhadap Deposito Mudharabah pada Bank Syariah Di Indonesia Analisis Pengaruh Suku Bunga SBI terhadap Nilai Emisi Obligasi baik dalam Jangka Pendek maupun Jangka Panjang di Pasar Modal Indonesia Periode T ahun 2007-2009 10. Pengembangan Sistem Kelistrikan Microgrid Dony S. Marbun & Mardhono 73-92 Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Malang Aprilia Tri Rahayu & Bambang Pranowo 93-104 Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Malang Wildha Ayuning Puspita & 105-112 Agung Haryono Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Malang Irawan Rahardjo 113-122 313 JESP Vol. 4, No. 2, 2012 ISSN 2086-1575 Baron T echnopark dalam Upaya Pengembangan Kawasan Wisata 11. Dampak Pengembangan Obyek Wisata Penataran Terhadap Pembangunan Ekonomi Lokal di Kabupaten Blitar Pusat Teknologi Konversi Energi BPPT, Jakarta 12. Analisis Dampak Bantuan Program Penanggulangan Kemiskinan Terhadap Kehidupan Masyarakat Miskin di Desa Pait Kecamatan Kasembon Kabupaten Malang Mega Puspita Ningsih & Prih Hardinto Dian Setia Yusmiady & Mit 123-132 Witjaksono Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Malang 133-140 Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Malang 13. Analisis Potensi Ekonomi Kabupaten Malang Erry Gugy & Sugeng Hadi Tahun 2005 - 2009 Utomo 141-152 Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Malang 14. Pengaruh Current Ratio, T otal Asset Turnover, dan Debt T o Asset Ratio Terhadap Rentabilitas Ekonomi Koperasi Wanita di Kota Malang Tahun 2010 Ratna Dwi Imawati, Yuli Soesetio & Fadia Zen 15. Identifikasi Kebutuhan Pengembangan Pendidikan Dasar Sekolah Swasta di Y ogyakarta (Studi Kasus: TK-SD-SMP Kanisius Daerah Istimewa Yogyakarta) Tinjauan Buku: 16. Dimensi Ekonomi Perpajakan dalam Pembangunan Ekonomi Indra Darmawan 153-162 Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Malang 163-168 FKIP Universitas Sanatha Dharma Yogyakarta Subagyo 169-170 Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Malang 314 JESP Vol. 4, No. 2, 2012 ISSN 2086-1575 Nomor 2, Nopember 2012 1. 2. Kategori T ulisan/Judul Artikel: Ekonomi Moneter : Tinjauan Sejarah Ekonomi Islam Penelitian: Penerimaan Perpajakan di Negara ASEAN Penulis/Peninjau Sasli Rais Halaman 175-180 STIE Pengembangan Bisnis dan Manajemen, Jakarta Timbul Hamonangan Simanjutak 181-190 Fakultas EKonomi Universitas Kristen Maranatha Bandung 3. 4. 5. 6. 7. 8. Aliran Foreign Direct Investment dan Produk Domestik Bruto di Indonesia. Imam Mukhlis Pengaruh Jumlah Uang Beredar ( JUB ), Tingkat Suku Bunga BI Rate, dan nilai Tukar Rupiah Dollar – AS Terhadap Laju Inflasi di Indonesia ( Tahun 2007 – 2011 ) Pengaruh Capital Adequancy Ratio ( CAR ), Return On Asset ( ROA ) dan Loan T o Deposit Ratio ( LDR ) Terhadap Harga Saham Bank Pemerintah di Indonesia Periode 2004-2011 Dilema Ekonomi : Pasar TradisionalV ersus Liberalisasi Bisnis Ritel di Indonesia Dampak Investasi Pemerintah Terhadap Investasi Swasta Dan Kesejahteraan Masyarakat Setelah Pemekaran Daerah Kabupaten Kota di Provinsi Maluku. Yuniar Ardila & Sapir Perencanaan Energi Daerah Privinsi Maluku Utara Agus Sugiyono 9. 191-200 Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Malang 201-212 Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Malang Ferik Vidyatama & Mardhono 213-222 Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Malang W asito Raharjo Jati 223-242 PAU UGM Yogyakarta Tri Wahyuningsih 243-260 Prodi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi, Universitas IQRA Buru (UNIQBU), Pulau Buru, Maluku 261-272 Bidang Perencanaan Energi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta Analisis Faktor Eksternal Dan Internal Terhadap Kinerja Usaha Mikro Dan Kecil ( UMK ) di Kota Ternate. 10. Telaah Kritis Pola Pembiayaan Agribisnis Pada Kontak Usaha Tani ( Studi Pada Kontrak Usaha Tani Jagung). Amran Husen 273-284 11. Analisis Sektor Unggulan dan Perkembangan Ekonomi Kabupaten Lamongan (Sebuah Pendekatan Sektoral Pembentuk PDRB) Abdul Azis, Arvidya Maulid 299-310 Dana, Endro Pebi Trilaksono, Fajar Try Leksono & Wildan Mudhoffar Fakultas Ekonomi Universitas Khairun ternate, Ternate Selatan Asfi Manzilati & Yenny Kornitasari 285-298 Fakultas Ekonomi UNIBRAW Malang Jurusan EKonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas 315 JESP Vol. 4, No. 2, 2012 ISSN 2086-1575 Negeri Malang Tinjauan Buku: 12. Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian Kontemporer) Subagyo 311-312 Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Malang 316 JESP Vol. 4, No. 2, 2012 ISSN 2086-1575 v Petunjuk bagi Kontributor Artikel JESP v 1. Artikel yang ditulis untuk JESP meliputi hasil pemikiran dan hasil penelitian yang berhubungan dengan ekonomi pembangunan (development economics) dan pembangunan ekonomi ( economic development). Naskah diketik dengan huruf Times New Roman, ukuran 12 pts (12 poin), dengan spasi ganda, dicetak pada kertas A4, marjin kiri 4, kanan 3, atas dan bawah 3, sepanjang maksimum 30 halaman, dan diserahkan dalam bentuk print-out sebanyak 3 eksemplar beserta soft-copy-nya. Berkas (file) dibuat dengan Microsoft Word. Pengiriman file lewat e-mail juga dapat dilakukan sebagai attachment e-mail ke alamat: [email protected], [email protected] 2. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan dibawah judul artikel. Jika penulis terdiri dari 4 orang atau lebih, yang dicantumkan di bawah judul artikel adalah nama penulis utama; nama penulis-penulis lainnya dicantumkan pada catatan kaki halaman pertama naskah. Dalam hal naskah ditulis oleh tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis dianjurkan mencantumkan alamat e-mail untuk memudahkan komunikasi. 3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris dengan format esai ( essay), disertai judul pada masingmasing bagian artikel, kecuali bagian pendahuluan yang disajikan tanpa judul bagian. Judul artikel dicetak dengan huruf besar-kecil di tengah-tengah, dengan huruf sebesar 16 poin. Peringkat judul bagian dinyatakan dengan jenis huruf yang berbeda (semua judul bagian dan sub-bagian dicetak tebal atau tebal dan miring), dan tidak menggunakan angka nomor pada judul bagian: PERINGKAT 1 (HURUF BESAR SEMUA, TEBAL, RATA TEPI KIRI) Peringkat 2 (Huruf Besar Kecil, Tebal, Rata Tepi Kiri) Peringkat 3 (Huruf Besar Kecil, Tebal-Miring, Rata Tepi Kiri) 4. Sistematika artikel hasil pemikiran adalah: judul, nama penulis (tanpa gelar akademik); Abstract (berbahasa Inggris, maksimum 250 kata); Keywords; pendahuluan (tanpa judul) yang berisi latar belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan; bahasan utama (dapat dibagi ke dalam beberapa sub-bagian), penutup atau kesimpulan; daftar rujukan. 5. Sistematika artikel hasil penelitian adalah; judul, nama penulis (tanpa gelar akademik); Abstract (berbahasa Inggris, maksimum 250 kata) yang berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian; Keywords; pendahuluan (tanpa judul) yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian; metode; hasil; pembahasan (atau hasil dan pembahasan diintegrasikan); kesimpulan dan saran; daftar rujukan. 6. Sumber rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan yang diutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis, disertasi) atau artikel-artikel penelitian dalam jurnal dan/atau majalah ilmiah. 7. Perujukan dan pengutipan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama, tahun). Pencantuman sumber pada kutipan langsung hendaknya disertai dengan keterangan tentang nomor halaman tempat asal kutipan. Contoh (Davis, 2003: 47). 8. Daftar rujukan disusun dengan tata cara seperti contoh berikut ini dan diurutkan secara alfabetis dan kronologis. Buku: Mubyarto. 2000. Membangun Sistem Ekonomi. Yogyakarta: BPFE. Buku Kumpulan Artikel: Saukah, A. & Waseso, MG. (Eds.). 2002. Menulis Artikel untuk Jurnal Ilmiah (Edisi ke-4, cetakan ke-1) . Malang: UM Press. Artikel dalam buku kumpulan artikel: Uphoff, N. (1999). Understanding Social Capital: Learning from the Analysis and Experience of Participation. Dalam P . Dasgupta & I. Serageldin (Eds.). Social Capital: A Multifaceted Perspective (hlm. 215-249). Washington, D.C: The World Bank. Artikel dalam jurnal atau majalah: Witjaksono, M. 2006. Simulasi Teori Permainan Cooperative 3-IPD: Contoh Kasus Pengelolaan Usaha Penambangan di Kecamatan Panggungrejo, Blitar. EKONOMI BISNIS. Th. 11, No. 1, hlm. 168-191. JESP-Vol. 4, No. 2, 2012 ISSN 2086-1575 Artikel dalam koran: Pitunov, B. 13 Desember, 2002. Sekolah Unggulan ataukah Sekolah Peunggulan? Majapahit Pos, hlm. 4 & 11. Tulisan/berita dalam koran (tanpa nama pengarang): KOMP AS-Cybermedia. "Industri Komponen Ngingas Meradang, Tapi Masih Mampu Bertahan". 02 April 2004. Kapanlagi.Com. "Lima UKM Logam Harus Bayar Royalti." Rabu, 17 September 2008. Dokumen Resmi: BSNP . 2006. Standar Isi Mata Pelajaran Ekonomi SMA/MA. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan. Buku terjemahan: Skousen, M. 2001. Sang Maestro "Teori-teori Ekonomi Modern": Sejarah Pemikiran Ekonomi. Terjemahan dari "The Making of Modern Economics - The Lives and Ideas of the Great Thinkers" oleh T.W.B. Santoso, 2005. Jakarta: Prenada. Pass, C. & Lowes, B. 1988. Kamus Lengkap Ekonomi, Edisi Kedua. Terjemahan dari "Dictionary of Economics, 2nd Ed." oleh T. Rumapea & P . Haloho, 1994. Jakarta: Erlangga. Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan penelitian: Witjaksono, M. 2008. Modal Sosial dalam Dinamika Perkembangan Sentra Industri Logam Waru Sidoarjo. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Makalah, Seminar, Lokakarya, Penataran: Waseso, M.G. 2001. Isi dan Format Jurnal Ilmiah. Makalah disajikan dalam Seminar Lokakarya Penulisan Artikel dan Pengelolaan Jurnal Ilmiah, Universitas Lambungmangkurat, Banjarmasin, 9- 11 Agustus. Internet (karya individual): Hitchcock, S., Carr, L. & Hall, W. 1996. A Survey of STM Online Journals. 1990- 1995: the Calm before the Storm, (online), (http://journal.ecs.soton.ac.uk/survey.htm, diakses 12 Juni 1996). Internet (artikel dalam jurnal online): Angresano, J. 2007. Orthodox Economic Education, Ideology and Commercial Interests: Relationships that Inhibit Poverty Alleviation. Post-Autistic Economics Review, Issue no. 44, 9 December 2007, pp. 37-58, (http://www.paecon.net/PAEReview/issue44/Angresano44.pdf, diakses 02 April 2009). Internet (bahan diskusi): Wilson, D. 20 November 1995. Summary of Citing Internet Sites. NETTRAIN Discussion List, (online), ([email protected]. buffalo.edu, diakses 22 November 1995). Internet (e-mail/blog pribadi): Naga, D.S. ([email protected]). 1 Oktober 1997. Artikel untuk JIP . E- mail kepada Ali Saukah ([email protected]). 9. Tata cara penyajian rujukan, tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Negeri Malang (Edisi terbaru), atau mencontoh langsung tata cara yang digunakan dalam artikel yang dimuat. Artikel berbahasa Indonesia menggunakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan (Depdikbud, 1987). Artikel Berbahasa Inggris menggunakan ragam baku, seperti yang disarankan dalam: Menulis artikel untuk Jurnal Ilmiah, Edisi Juli 2006 . Editor: A. Saukah & M.G. Waseso. Malang: Universitas Negeri Malang. 10. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari ( peer reviewers) yang ditunjuk oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi) naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari atau penyunting. 11. Pemeriksaan atau penyuntingan cetak-coba (pre-print) dikerjakan oleh penyunting dan/atau dengan melibatkan penulis. Artikel yang sudah dalam bentuk cetak-coba dapat dibatalkan pemuatannya oleh penyunting jika diketahui bermasalah. Penyunting tidak berkewajiban mengembalikan artikel yang tidak dimuat. 12. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan atau penggunaan software komputer untuk pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HaKI yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggung jawab penulis artikel tersebut. _______ jesp Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan Vol. 4, No. 2, Nopember 2012 Cover design: ©Van Mit 2011