Jurusan Ekonomi Pembangunan

advertisement
ISSN 2086-1575
Vol. 4, No. 2, Nopember 2012
Jurusan Ekonomi Pembangunan
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
ISSN 2086-1575
Jurnal EKONOMI & STUDI PEMBANGUNAN
Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan (JESP) terbit dua kali setahun
memuat artikel hasil pemikiran filosofis, konseptual, teoritis, telaah kritis
(critical review), dan penelitian di bidang ekonomi pembangunan (development
economics) dan pembangunan ekonomi (economic development).
Ketua Penyunting
Dr. Imam Mukhlis, S.E., M.Si
Wakil Ketua Penyunting
Dr. Hadi Sumarsono, S.T., M.Si
Penyunting Pelaksana
Dr. Mit Witjaksono, MS.Ed
Dr. Sugeng Hadi Utomo, M.S
Dr. M. Nasikh, SE, M.P., M.Pd
Grisvia Agustin, SE., M.Sc
Pelaksana Administrasi
Tutut Boedyo Wibowo, S.Kom, MT
Januar Kustiandi, S.Pd.,M.Pd
Januar Kustiandi, S.Pd
Alamat Redaksi/TU
Jurusan Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang (FE UM)
Jl. Semarang 5. Malang 65145. Gedung E3 Lantai 2
Tlp/Fax (0341) 585-911
E-mail: [email protected], [email protected], [email protected]
Site: www.fe.um.ac.id
Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan (JESP) dikelola oleh Jurusan Ekonomi Pembangunan.
Diterbitkan oleh Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Malang (FE UM).
Dekan: Prof. Dr. Budi Eko Soecipto, M.Ed.
Pembantu Dekan I: Dr. Mit Witjaksono, MS.Ed.
Pembantu Dekan II: Dr. Tuhardjo, SE., M.Si.Ak.
Pembantu Dekan III: Drs. Djoko Dwi Kusumayanto, M.Si.
Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan: Dr. Hari Wahyono, M.Pd.
Naskah artikel yang disumbangkan kepada JESP harus mengikuti aturan dalam Petunjuk
bagi Kontributor JESP yang dilampirkan pada setiap nomor penerbitan.
Isi artikel beserta akibat yang ditimbulkan oleh artikel itu menjadi tanggungjawab penuh
penulisnya (kontributor).
JESP-Vol. 4, No. 2, 2012
ISSN 2086-1575
EDITORIAL
__________________________________________________________________________________________
Pengantar
Seperti pada pengantar edisi perdana, JESP (baca: jès pé) memuat karya tulis:
1. Artikel pemikiran filosofis, teoritis, konseptual, atau telaah kritis c( ritical reviews),
yang selanjutnya diberi label kelompok:ARTIKEL.
2. Artikel hasil penelitian, yang selanjutnya diberi label kelompok:PENELITIAN.
3. Artikel tinjauan buku (book review), yang diberi label kelompok:TINJAUAN BUKU.
Artikel dalam kelompok 1 memaparkan pemikiran konseptual, telaah kritis, atau analisis
kontekstual tentang teori ekonomi, pemikiran, paradigma, atau filsafat ekonomi, dan aplikasinya dalam ekonomi pembangunan.
Artikel dalam kelompok 2 memaparkan hasil kajian (penelitian) empiris tentang
penerapan lapangan, atau simulasi lab (ekonomi eksperimental) terhadap isu, kasus, atau
implementasi kebijakan ekonomi.
Artikel dalam kelompok 3 menelaah isi, cakupan, manfaat, dan kritik buku yang
dipandang penting dalam kajianekonomi dan studi pembangunan.
Dalam edisi ini dapat dihasilkan 1 artikel konseptual, 9 hasil penelitian empiris dan 1
tinjauan buku.
Kepada para penulis yang telah memberikan kontribusinya, dan rekan-rekan "Penyunting
Pelaksana", "Pelaksana Administrasi", serta semua pihak yang telah membantu mewujudkan
penerbitan jurnal ini, tak lupa kami mengucapkan terimakasih dan apresiasi yang tinggi.
171
JESP-Vol. 4, No. 2, 2012
ISSN 2086-1575
Tentang Nomor Ini
Pada edisi nomor 2 tahun 2012 ini diwarnai dengan berbagai pemikiran dan kajian
empiris tentang berbagai dimensi dalam pembangunan dalam konstelasi perekonomian
regional, nasional dan global. Bagian pertama dalam jurnal ini diawali dengan hasil karya
pemikiran teoretis dan konseptual. Dalam konteks perekonomian nasional di bidang Ekonomi
Moneter, tulisan dari saudara Sasli R mengingatkan kembali akan pentingnya
mereformulasikan kembali perekonomian nasional dalam perspektif syariah. Implementasi
ekonomi moneter pada dasarnya telah banyak dikaji dalam literatur perekonomian syariah
melalui berbagai kajian dan pendapat yang sudah ada.
Bagian kedua dari jurnal edisi ini berisikan hasil kajian empiris tentang dinamika dan
problematika pembangunan. Dalam kajian empiris ini banyak dikupas berbagai hasil
penelitian. Dalam konteks internasional, tulisan dari saudara Timbul H.S memaparkan secara
analisis tentang pepajakan di negara-negara ASEAN. Dibandingkan dengan negara-negara di
ASEAN, persentase penerimaan pajak terhadap PDB di Indonesia masih lebih kecil. Hal ini
mengindikasikan masih adanya potensi penerimaan pajak yang dapat digali dalam
perekonomian nasional. Dalam konteks perekonomian secara makro, tulisan dari Imam M
mencermati kembali peran FDI dalam perekonomian nasional. Secara empiris walaupun
aliaran di Indonesai berfluktuatif, namun masih tetap memberikan kontribusi riil terhadap
PDB Indonesia.Tulisan Wasito R.J menganalisis sebuah dilema dalam perkembangan pasar
tradisonal dan liberalisasi ritel modern. Menurutnya pasar tradisional memiliki sejarah penting
dalam membangun bangsa, sehingga dibutuhkan usaha keras agar tetap eksis dalam
meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat.
Dalam paparan hasil penelitian yang lain, tulisan Asfi M menganalisis sebuah pola pembiayaan Agribisnis dan peran bank pada kontrak usaha tani jagung. Dengan pendekatan
kualitatif dalam penelitiannya, tulisan ini berusaha untuk mencermati sebuah informasi kunci
bahwa pola pembiayaan yang diberikan oleh pihak perbankan melalui perusahan kepada
petani selama ini menimbulkan informasi yang tidak simetris. Sedangkan dalam konteks
regional tulisan Abdul A, dkk mengananalisis potensi perekonomian daerah di Kabupaten
Lamongan Jawa Timur. Melalui analisisnya tersebut dihasilkan sebuah pemetaan terhadap
potensi ekonomi daerah yang dapat dikembangkan secara sektoral di Kabupaten Lamongan
Jawa Timur.
Bagian akhir dari tulisan ini adalah sebuah hasil resensi buku tentang ekonomi
pegadaian syariah. Pada edisi ini, hasil resensi disampaikan oleh Subagyo tentang buku yang
berjudul Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian Kontemporer). Buku tersebut merupakan hasil dari telaah kritis secara teoretis dan empiris tentang
pegadaian syariah yang ditulis oleh Sasli Rais seorang praktisi dan akademisi yang banyak
menggeluti bidang kebijakan pembangunan dan ekonomi syariah.
Pada akhirnya semangat yang dibangun oleh tim JESP pada edisi 2 tahun 2012 ini
semoga memberikan kontribusi pemikiran yang konstruktif dalam membangun masyarakat
yang madani dan berkeadilan sosial.
Malang, 31 Nopember 2012
Penyunting
__________________________________________________________________________________________
172
JESP-Vol. 4, No. 2, 2012
ISSN 2086-1575
DAFTAR ISI
__________________________________________________________________________________________
EDITORIAL
Pengantar
171
Tentang Nomor Ini
172
__________________________________________________________________________________________
ARTIKEL
Ekonomi Moneter : Tinjauan Sejarah Ekonomi Islam
Sasli Rais
175
_________________________________________________________________________________________
PENELITIAN
Penerimaan Perpajakan di Negara Asean
Timbul Hamonangan Simanjutak
181
Aliran Foreign Direct Investment dan Produk Domestik Bruto Di Indonesia
Imam Mukhlis
191
Pengaruh Jumlah Uang Beredar ( JUB ), Tingkat Suku Bunga BI Rate, Dan nilai Tukar
Rupiah Dollar – AS Terhadap Laju Inflasi di Indonesia ( Tahun 2007 – 2011 )
Y uniar Ardila & Sapir
201
Pengaruh Capital Adequancy Ratio ( CAR ), Return On Asset ( ROA )
dan Loan T o Deposit Ratio ( LDR ) Terhadap Harga Saham Bank Pemerintah
di Indonesia Periode 2004-2011
Ferik Vidyatama & Mardhono
213
Dilema Ekonomi : Pasar TradisionalV ersus Liberalisasi Bisnis Ritel di Indonesia
W asisto Raharjo Jati
223
Dampak Investasi Pemerintah Terhadap Investasi Swasta dan Kesejahteraan
Masyarakat Setelah Pemekaran Daerah Kabupaten Kota di Provinsi Maluku
Tri Wahyuningsih
243
Perencanaan Energi Daerah Provinsi Maluku Utara
Agus Sugiyono
261
Analisis Faktor Eksternal dan Internal Terhadap Kinerja Usaha
Mikro dan Kecil (UMK) di Kota Ternate
Amran Husen
273
173
JESP-Vol. 4, No. 2, 2012
ISSN 2086-1575
Telaah Kritis Pola Pembiayaan Agribisnis Pada Kontak Usaha Tani
(Studi Pada Kontrak Usaha Tani Jagung)
Asfi Manzilati & Y enny Kornitasari
285
Analisis Sektor Unggulan dan Perkembangan Ekonomi Kabupaten Lamongan
(Sebuah Pendekatan Sektoral Pembentuk PDRB)
Abdul Azis, Arvidya Maulid Dana, Endro Pebi Trilaksono,
Fajar Try Leksono & Wildan Mudhoffar
299
__________________________________________________________________________________________
TINJAUAN BUKU
Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian Kontemporer)
Subagyo
311
__________________________________________________________________________________________
174
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Ekonomi Moneter : Tinjauan Sejarah Ekonomi Islam
Sasli Rais
Abstract
Monetary economics in perpective of Islam is not far differ from conventional
economics. Its basic differences are relating to norm and value which arrange
economic behavior itself. Currency in Islam as a converting tool and price value in
entire economic transaction. Therefore, piling up money isn’ t enabled in Islam.
Change of money value solely determined by strength of balance price’ s goods and
service. Banking as a place to convert different currency and should be careful of
interest rate.
Keyword: Monetary economics, Currency,Inflation, Bank
PENDAHULUAN
Dalam
Sistem
Ekonomi
Konvensional (SEK),1 salah satu bidang
yang dipelajari adalah ekonomi moneter,
yang lebih identik dengan ilmu ekonomi
uang dan bank. Hal ini dikarenakan uang
dan bank merupakan variabel pokok yang
harus dipelajari, sedangkan variabel yang
lainnya hanya merupakan variable turunan
dan alat kebijakan ekonomi moneter itu
sendiri. Misalnya, inflasi, jumlah uang
beredar,
likuiditas
perekonomian,
kecepatan peredaran uang, pemberian
kredit dan sumber dana perbankan, suku
bunga, dan sebagainya.2
Sedangkan ekonomi moneter dalam
Sistem Ekonomi Islam (SEI) tidak jauh
berbeda masalah yang menjadi kajiannya.
1 Dalam kebanyakan literatur ekonomi
Islam dan para pakar ekonomi Islam
menggunakan
istilah
ekonomi
konvensional versus ekonomi islam. Hal
ini dikarenakan untuk memudahkan
dalam mempelajari perbedaan dan
persamaan konsep ekonominya.
2 Hg. Suseno Triyanto Widodo, Indikator
Ekonomi
:
Dasar
Perhitungan
Perekonomian Indonesia (Yogyakarta :
Kanisius, 1990), hal. 43
Namun ada hal mendasar yang tidak ada
dalam ekonomi konvensional, terutama
yang berhubungan dengan variabel ”nilai
dan norma” yang berhubungan dengan
prilaku ekonomi.
Tulisan berikut ini, diprioritaskan
pada hal-hal pokok dengan hanya
membahas tiga (3) komponen yang sangat
berpengaruh terhadap konsep ekonomi
moneter dan ekonomi pada umumnya,
yaitu sebagai berikut:
A.
"MATA UANG
Perkembangan
ekonomi
memerlukan suatu alat tukar yang
penggunaannya kekal sepanjang zaman.
Alat tukar yang paling tahan itu ialah
barang-barang dari logam, seperti : emas,
perak, dan tembaga.
Adanya perdagangan menimbulkan
kebutuhan akan adanya mata uang.
Misalnya, orang yang akan membeli
makanan dengan kain, dari manakah dia
mengetahui nilai yang sama untuk harga
makanan itu, sedangkan dalam pergaulan
menghendaki terjadinya jual beli antara
barang yang berbeda, seperti kain dengan
makanan, hewan dengan kain. Padahal
barang-barang itu tidak sama harga atau
__________________________________________
Alamat Korespondensi :
Sasli Rais. Dosen STIE Pengembangan Bisnis dan Manajemen, Jakarta
Email : [email protected]
JESP V ol.4, No. 2, 2012
nilainya. Oleh karena itu, disinilah
pentingnya alat tukar yang bernama ”mata
uang” itu.
Menurut Imam Al-Ghazali (450–
505 H / 1058–1111 M), sejarah
membuktikan bahwa pada zaman sebelum
Nabi Muhammad SA W, orang Arab sudah
mengenal adanya mata uang, tetapi
semuanya dari luar Arab. Mereka
mengenal mata uang emas, yaitu Dinar
dari Romawi dalam perdagangan mereka
ke Utara (Syiria), dan mengenal mata uang
perak, yaitu Dirham dari Persia dalam
perdagangan mereka ke Selatan (Y aman).
Barulah pada tahun ke-15 H/536 M, yaitu
4 tahun sesudah wafatnya Nabi
Muhammad SA W – Khalid bin Walid –
pahlawan Islam terkenal itu membuat mata
uang sendiri di Thabariyah, daerah Syiria.
Dalam pembuatan mata uang pertama itu
masih meniru mata uang Romawi. Ia
melukisnya
dengan gambar, salib,
mahkota,
dan
tongkat
kebesaran,
sedangkan di sebelahnya ada tulisan
dengan huruf Y unani BON.3 Sedangkan
mata uang logam perak – Dirham Islam
dibuat tahun 28 H/648 M di Thabaristan
(Persia), di mana pada pinggiran mata
uang itu ada huruf Arab dengan huruf
Kaufah, yaitu Bismillahi Rabbi.
Adapun mata uang Islam yang
pertama kali dicetak oleh kantor
percetakan negara Islam baru terjadi pada
masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan
dari dinasti Bani Umayyah (65-86 H/685705 M), sesudah merundingkannya dalam
musyawarah dengan para ulama dan
pemuka. Maksud pembuatan mata uang itu
diketahui oleh Keizer Romawi yang
menganggapnya telah merusak hubungan
ekonomi antara Arab dan Romawi. Ia
mengirimkan surat ancaman kepada
Khalifah Abdul Malik agar menghentikan
usahanya itu demi hubungan baik antara
kedua negara.
3 Abdullah Zaky Al-Kaff, Ekonomi Dalam
Perspektif Islam
(Bandung: Pustaka
Setia, 2002), hal. 195
176
Kalau diteruskan juga, tulisan atas
nama mata uang harus ditambahkan katakata yang tiada sangkut pautnya dengan
Islam atau kata-kata yang menghina Nabi
SAW . Ancaman tersebut menyebabkan
Abdul Malik menganggapnya sebagai
kebulatan pendapat dari seluruh umat,
termasuk oposisi di masa itu, yaitu partai
Syi’ah. Oleh karena itu, ia mengundang
pemimpin partai oposisi, Muhammad AlBaqir untuk datang ke ibu kota Damaskus
untuk merundingkan soal yang penting itu.
Undangan
tersebut
dipenuhi
oleh
pemimpin Syi’ah dan berakhir dengan
persetujuan bulat atas maksud baik
Khalifah Umayyah, demi kebangkitan
perekonomian umat Islam. Dalam mata
uang Dinar dan Dirham itu dilukis kalimah
tauhid dan disebelahnya ditulis nama Nabi
SAW , serta menyebut nama negeri, dan
tahun mencetaknya.
Mata uang Islam yang pertama ini
diberi nama Dimaskiyah, sesuai dengan
nama
kota
tempat
mencetaknya,
Damaskus. Khalifah mengirimkan mata
uang itu ke seluruh negara, memerintahkan
supaya seluruh mata uang Romawi dan
Persi dibekukan, serta tidak boleh beredar
lagi.
Imam Al-Ghazali menyatakan
bahwa mata uang berfungsi sebagai alat
tukar dan nilai harga dalam seluruh
transaksi ekonomi, ditetapkan menurut
mata uang sendiri.4 Oleh karena itu, AlGhazali mengecam orang yang menimbun
uang. Orang demikian dikatakannya
sebagai penjahat. Yang lebih buruk lagi
adalah orang melebur dinar dan dirham
menjadi perhiasan emas dan perak. Mereka
ini dikatakannya sebagai orang yang tidak
bersyukur kepada Sang Pencipta dan
kedudukannya lebih rendah dari orang
yang menimbun uang, karena menimbun
uang berarti menarik uang secara
sementara dari peredaran, sednagkan
4 Abdullah Zaky Al-Kaff, Ekonomi Dalam
Perspektif Islam, (Bandung:Pustaka Setia,
2002), hal. 198
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
meleburnya berarti menarik dari peredaran
selamannya. Peredaran uang palsu sangat
dikecam Al-Ghazali karena kandungan
emas/peraknya tidak sesuai dengan yang
ditetapkan oleh pemerintah. Mencetak
uang palsu dosanya akan terus berulang
setiap kali uang itu dipergunakan dan akan
merugikan siapa pun yang menerimanya
dalam jangka waktu lama. Al-Ghazali
memperbolehkan uang yang tidak terbuat
dari emas/perak, seperti uang logam dan
uang kertas yang saat ini banyak
digunakan
asalkan
pemerintah
menyatakannya sebagai alat bayar resmi
dan demikian juga pendapat Ibnu Khaldun,
hanya saja pemerintah wajib menjaga nilai
uang yang dicetaknya karena masyarakat
menerimanya tidak lagi berdasarkan
berapa kandungan emas/perak didalamnya.
Misalnya, pemerintah mengeluarkan uang
nominal Rp 10.000 yang setara dengan ½
gram emas. Apabila kemudian pemerintah
mengeluarkan uang nominal Rp 10.000
seri baru dan ditetapkan nilainya setara
dengan ¼ gram emas, maka uang akan
kehilangan makna sebagai standar nilai.5
Namun Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah
melarang perdagangan mata uang Dinar
dengan Dinar karena akan menghilangkan
fungsi dari uang itu sendiri, di samping
akan menimbulkan inflasi.6 Seperti pasar
uang yang terjadi saat ini, di mana
sebagian besar uang dipergunakan untuk
memperdagangkan uang itu sendiri.7
Sedangkan
menurut
Ibnu
Khaldun, mata uang berfungsi sebagai alat
penukar dan pengukur harga sebagai nilai
usaha, alat perhubungan, dan alat
simpanan dalam bank-bank.8
5 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam:
Suatu Kajian Kontemporer, Cetakan
Pertama, (Jakarta:Gema Insani Press,
2001), hal. 56
6 Ibid, hal. 62
7 Ibid, hal.. 54
8 Abdullah Zaky Al-Kaff, Ekonomi Dalam
Perspektif Islam, (Bandung:Pustaka Setia,
2002), hal. 211.
B.
INFLASI
Menurut Ackley (1978) bahwa
yang dimaksud dengan inflasi adalah suatu
kenaikan harga yang terus-menerus dari
barang-barang dan jasa-jasa secara umum
–bukan satu macam barang saja dan sesaat.
Sejarah menunjukkan bahwa salah
satu negara yang ditandai dengan kenaikan
harga secara cepat adalah Mesir di sekitar
tahun 330 sebelum Masehi pada waktu
pemerintah Alexander Agung menyerbu
Persia dengan membawa emas (hasil
rampasan tentunya) ke Mesir. Dan juga
negara Jerman mengalam hyper inflation
pada awal tahun 1920-an di mana laju
inflasi mencapai beberapa ratus persen per
tahunya. Negara Indonesia juga tidak luput
dari penyakit hyper inflation di tahun
1960-an, di mana laju inflasi mencapai 650
persen. 9
Sedangkan dalam sejarah ekonomi
Islam, banyaknya peredaran mata uang,
terutama
fluktuasi
harga
perak
menyebabkan nilai mata uang Dinar dan
Dirham selalu naik dari waktu ke waktu
dan nilainya pun berbeda dari suatu daerah
dengan daerah lain. Perbandingan antara
dua mata uang logam itu adalah 10 pada
zaman Nabi Muhammad SAW dan tetap
stabil pada level itu selam periode keempat
khalifah pertama (11-41 H/632-661 M).
Namun, stabilitas ini tidak dapat
berlangsung terus. Dua logam mulia itu
menghadapi berbagai kondisi permintaan
dan penawaran sehingga menimbulkan
ketidakstabilan
harga
relatifnya.
Umpamanya pada paro kedua periode
Umayyah
(41-132
H/661-750
M),
perbandingan harga relatif sekitar 12,
sementara pada periode Abbasiyah (132656 H/750-1258 M) mencapai 15 atau
kurang. Rasio itu terus mengalami
fluktuasi dan berkali-kali mengalami
9
Iswardono Sp, Uang dan Bank,
(Yogyakarta : BPFE, 1981), Edisi 4, hal.
213.
177
JESP V ol.4, No. 2, 2012
kemerosotan sampai pada tingkat 20, 30,
bahkan 50. Menurut Al-Maqrizi dan AlAsad (w. 854 H/1440 M), ketidakstabilan
ini membuat mata uang dari logam buruk
menendang dari sirkulasi mata uang logam
baik.10 Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah
(1263-1328) dan Al-Maqrizi menghimbau
agar negara menghindari dan tidak
mencetak mata uang yang berlebihan
dalam upayanya menutup defisit anggaran
negara karena akan berakibat pada
inflasi.11
Menurut Ibnu Khaldun, dalam
keadaan nilai uang yang tidak berubah
maka kenaikan maupun penurunan harga
semata-mata ditentukan oleh kekuatan
penawaran dan permintaan. Setiap barang
akan mempunyai harga keseimbangannya.
Apabila lebih banyak makanan dari yang
diperlukan di satu kota, harga makanan
menjadi murah dan apabila lebih sedikit
makanan dari yang diperlukan maka harga
makanan menjadi mahal sehingga inflasi
sebagai kenaikan harga-harga semua atau
sebagian besar jenis barang, tidak akan
terjadi karena pasarr akan mencari harga
keseimbangan tiap-tiap jenis barang. Harga
satu barang dapat saja naik, kemudian
karena tidak terjangkau harganya maka
harga akan turun kembali. Ini yang terjadi
pada masa Khalifah Umar bin Khattab
ketika terjadi paceklik. Umar saat itu
mengimpor gandum dari Fustat (Kairo) ke
Madinah dan selanjutnya harga gandum
turun.
C.
BANK
Bank didefinisikan sebagai lembaga
keuangan
yang
usaha
pokoknya
memberikan kredit dan jasa dalam lalu
lintas pembayaran dan peredaran uang.
10 M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu
Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam
(Jakarta:Gema
Insani
Press,2001),
Cetakan Pertama, hal. 177.
11 Ibid, hal. 143
178
Istilah bank berasal dari bahasa Italia,
Banca,
yang
berarti
meja
yang
dipergunakan oleh para penukar uang di
pasar. Pada dasarnya bank merupakan
tempat penitipan atau penyimpanan uang,
pemberi atau penyalur kredit dan juga
perantara
di
dalam
lalu
lintas
12
perekonomian.
Praktek perbankan dalam Islam
dikenal sejak zaman Abbasiyah, walaupun
masih dilakukan secara perorangan.
Perbankan mulai berkembang pesat ketika
beredar banyak jenis mata uang sehingga
diperlukan
keahlian
khusus
untuk
membedakan antara mata uang yang satu
dengan yang lainnya. Ini terjadi sebagai
akibat
adanya
perdagangan/pasar
internasional, terutama kota yang terkenal
adalah kota Isfahan (di Persia), yang
dikunjungi oleh berbagai bangsa dari
Timur dan Barat dan memperjualbelikan
barang dagangan mereka. Nasher Khusru
(w. 481 H/1088 M) mengatakan bahwa
dalam pasar kota Isfaham, ada suatu stand
khusus untuk perbankan, yang sekurangkurangnya diramaikan oleh 200 orang ahli
bank dari berbagai bangsa. Dan menurut
Ibnul Faqien bahwa pada umumnya para
bankir itu datang dari Basrah (Irak), yang
membuka
pekerjaan
perbankan,
menampung para pedagang yang datang
dari ujung Timur daerah Islam sampai ke
ujung Barat, yaitu Ferghanah (di
perbatasan Irak) sampai daerah Sous di
Asia Kecil.13
Menurut Imam Al-Ghazali bahwa
perbankan berfungsi sebagai tempat tukar
penukaran mata uang yang berlainan dan
perantara untuk pengiriman uang ke
daerah-daerah
lain.
Namun
memperingatkan supaya para bankir dan
12 T . Gilarso, Dunia Ekonomi Kita : Uang,
Bank dan Koperasi (Yogyakarta :
Kanisius, 1976), hal. 4.
13 Abdullah Zaky Al-Kaff, Ekonomi Dalam
Perspektif Islam (Bandung:Pustaka Setia,
2002), hal. 199.
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
semua orang yang berhubungan dengan
bank, berhati-hati terhadap dosa riba.14
diciptakan tersebut harus jauh dari nilainilai riba yang diharamkan.
Imam
Al-Ghazali
menitik
beratkan pandangannya terhadap institusi
perbankan
dari
sudut
transaksi
perekonomian, baik antara pribadi dengan
pribadi, lembaga dengan pribadi, lembaga
bank dengan lembaga lainnya, negara
dengan negara, serta lembaga bank dengan
negara, yang semuanya itu lebih dekat
hubungannya dengan dunia perdagangan
(jual beli).15
Untuk lebih memahami lebih lanjut
sejarah dari sistem ekonomi Islam dapat
dibaca dan dipelajari buku-bukunya baik
karangan ekonom dalam negeri maupun
luar negeri yang sudah banyak beredar di
Indonesia.
D.
PENUTUP
Berdasarkan paparan di atas maka
sudah jelaslah bahwasannya ekonomi
moneter dalam sistem ekonomi Islam
sudah dikaji, meskipun istilah “ekonomi
moneter” sendiri berasal dari ekonom
konvensional. Mata uang dalam Islam
lebih sebagai alat tukar, nilai harga, nilai
usaha, alat perhubungan, dan alat
simpanan dalam bank-bank dalam seluruh
transaksi ekonomi karenanya menimbun
uang tidak dibolehkan dalam Islam karena
uang harus selalu berputar dalam rangka
keseimbangan ekonomi. Oleh karena itu,
keadaan nilai uang yang tidak berubah
maka kenaikan maupun penurunan harga
semata-mata ditentukan oleh kekuatan
penawaran dan permintaan sehingga setiap
barang
akan
mempunyai
harga
keseimbangannya sendiri.
Sedangkan, perbankan berfungsi
sebagai tempat tukar penukaran mata uang
yang berlainan dan perantara untuk
pengiriman uang karenanya harus berhatihati terhadap riba dalam pelaksanannya.
Karena bagaimana pun, transaksi-transaksi
dalam dunia perbankan akan terus
mengalami perkembangan dan inovasi
bentuknya
sehingga
yang
menjadi
perhatian utama dalam system moneter
Islam, bagaimana transaksi-transaksi yang
14 Ibid, hal. 202
15 Ibid, hal. 204
179
JESP V ol.4, No. 2, 2012
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kaff, Abdullah Zaky, Ekonomi Dalam
Perspektif Islam (Bandung : Pustaka
Setia, 2002).
Chapra, M. Umer, Masa Depan Ilmu
Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam
Cetakan Pertama, (Jakarta : Gema
Insani Press,2001).
Gilarso, T, Dunia Ekonomi Kita : Uang,
Bank dan Koperasi (Y ogyakarta :
Kanisius, 1976).
Karim, Adiwarman A., Ekonomi Islam:
Suatu Kajian Kontemporer, Cetakan
Pertama, (Jakarta : Gema Insani Press,
2001).
Iswardono Sp, Uang dan Bank, Edisi 4,
(Y ogyakarta : BPFE, 1981).
Muhammad, Kebijakan Moneter dan
Fiskal dalam Ekonomi Islam, Edisi 1,
Salemba Empat, Jakarta: 2002.
Widodo, Hg. Suseno Triyanto, Indikator
Ekonomi
:
Dasar
Perhitungan
Perekonomian Indonesia (Y ogyakarta :
Kanisius, 1990
180
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Penerimaan Perpajakan di Negara Asean
Timbul Hamonangan Simanjutak
Abstract
This paper aims to analysize the progress of tax revenue in Asean Countries;
Indonesia, Malaysia, Thailand and Philiphine from 1990 until 2009. The methode of
analysize is descriptive statistic. The result of analysized shows that tax revenue in
Asean countries have similarly pattern. The external shocks give the contagion effect
to economic progress among four Asean countries. Although, this research also find
that tax ratio in Thailand has higher rate than in Malaysia, Philiphine and Indonesia.
Therefore, each country in Asean may anticipate the external shocks by appropriate
tax policy to achieve optimum tax revenue in Asean countries.
Keywords : tax revenue, tax ratio, contagion effect, sunset policy
Pajak adalah salah satu instrumen
keuangan negara yang dapat digunakan
untuk membiayai pembangunan suatu
negara. Seiring dengan itu, pajak
merupakan sebuah piranti yang sering
digunakan dalam pelaksanaan kebijakan
fiskal suatu negara. Dalam konteks ini,
pengenaan pajak terkandung unsur
kebijakan publik yang memiliki implikasi
luas terhadap kesejahteraan masyarakat,
dan karenanya, implementasi dari fungsi
alokasi,
distribusi
dan
stabilisasi
memegang peran sangat menentukan.
Sebagai sebuah intrumen kebijakan fiskal,
pajak memiliki peran penting dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi dan
keberlanjutan pembangunan.
Pengenaan pajak di suatu negara
didasarkan pada berbagai peraturan
perundang-undangan. Dalam hal ini pajak
merupakan pungutan yang merupakan hak
preogratif pemerintah, pungutan tersebut
didasarkan
pada
Undang-undang,
pemungutannya dapat dipaksakan kepada
subyek pajak untuk mana tidak ada balas
jasa yang langsung dapat ditunjukkan
penggunaannya, Mangkoesoebroto (1998:
181). Sedangkan menurut Jones (2002:4)
pajak didefinisikan sebagai : “….A tax can
be defined simply as a payment to support
the cost of government. A tax differ from a
fine or penalty imposed by a government
because a tax is not intended to deter or
punish unacceptable behavior . On the
other hand, taxes are compulsory; anyone
subject to a tax is not free to choose
whether or not to pay.” Dengan demikian
pajak dimaksudkan sebagai transfer
masyarakat untuk ongkos pembangunan
bukan sebagai hukuman atau denda karena
suatu hukuman.Sebaliknya pajak
merupakan suatu kewajiban, bukan pilihan.
Peran
pemerintah
dalam
pemungutan pajak (tax effort) sangat
menentukan untuk menjamin mengalirnya
penerimaan negara yang meningkat dari
waktu ke waktu. Seiring dengan
pertumbuhan ekonomi suatu negara, maka
penerimaan pajak juga diharapkan
meningkat dari tahun ke tahun. Besar
kecilnya kapasitas pajak ( tax capacity)
mencerminkan kemampuan keuangan
suatu
negara
dalam
melaksanakan
pembangunannya. Semakin besar porsi
__________________________________________
Alamat Korespondensi :
Timbul Hamonangan Simanjutak, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Maranatha Bandung
Email : [email protected]
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
pajak
dalam
penerimaan
negara,
menunjukkan semakin besar kemandirian
negara
tersebut
dalam
pembiyaan
pembangunannya. Sebaliknya semakin
kecil porsi pajak dalam penerimaan negara,
maka semakin tidak mandiri kemampuan
negara
dalam
membiayai
pembangunannya.
Dalam
kaitannya
dengan
pemanfaatan pajak, secara lebih khusus
Connolly and Munro (1999: 158)
menyadari benar bahwa pajak memiliki
peran penting dalam pembangunan
ekonomi suatu negara. Oleh karena itu
sangat disadari bahwa pencapaian dalam
sasaran dan target pembangunan tidak
dapat dicapai secara optimal apabila tidak
didukung oleh penerimaan pajak. Pada
posisi ini peran pajak sangatlah strategis
dan menentukan di dalam mencapai
keberhasilan
dan
kesinambungan
pembangunan.
Kawasan perekonomian Asean
memiliki dinamika tersendiri dalam
pengoptimalan penerimaan negara dari
pajak. Sebagai kawasan yang memiliki
lokasi strategis dalam lalu lintas
perhubungan via laut secara internasional,
Asean menjadi pilihan utama bagi negaranegara di berbagai dunia untuk bermitra
dalam kegiatan ekonomi. Kepekaan
negara-negara di luar Asean untuk bermitra
dengan Asean didasarkan pada kondisi
empiris, dimana Populasi negara-negara di
Asean sangat besar (sekitar 500 juta).
Jumlah populasi tersebut merupakan
sebuah potensi pasar yang sangat besar
menghadapi berbagai permintaan macam
barang dan jasa. Sebagai konsekuensi,
kekuatan ekonomi negara-negara Asean
banyak ditopang dari permintaan domestik
yangg terus berkembang seiring dengan
semakin bertambahnya jumlah penduduk.
Potensi populasi dan stabilitas
perekonomian
di
kawasan
Asean,
menjadikan negara-negara Asean memiliki
182
peluang yang cukup besar dalam
meningkatkan penerimaan pajaknya. Hal
ini dapat terjadi karena stabilitas
perekonomian,
merupakan
sebuah
indikator dari berjalannya berbagai
kegiatan ekonomi suatu negara. Kondisi ini
akan berdampak pada perluasan dan
peningkatan nilai tambah ekonomi yang
dapat tercipta dalam pembangunan negaranegara Asean. Namun demikian, dalam
kurun waktu tahun 1990-2009, dinamika
perkembangan ekonomi Asean tidak luput
dari adanya dampak external shocks yang
terjadi di negara-negara di luar kawasan
Asean. Kondisi ini tentunya juga
berdampak pada stabilitas perekonomian
masing-masing negara Asean. Sebagai
antisipasi, tentunya masing-masing negara
juga menyiapkan berbagai kebijakan dalam
rangka
memperkuat
fundamental
perekonomiannya,
sehingga external
shocks yang ada tidak berdampak serius
pada pertumbuhan ekonomi dan juga
penerimaan pajak dalam postur Anggaran
Belanja dan Pendapatan Negara masingmasing negara Asean. Oleh karena itu
sangat penting untuk menganalisis secara
deskriptif perkembangan penerimaan pajak
negara-negara Asean dalam menghadapi
konstelasi perekonomian global yang
terjadi.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan analisis secara deskriptif
kuantitatif. Penelitian difokuskan pada 4
(empat) negara Asean, yakni ; Indonesia,
Malaysia, Philipina dan Thailand dalam
kurun waktu 1990-2009. Data penelitian
ini merupakan data sekunder time series,
yakni data tentang penerimaan pajak di
masing-masing negara anggota Asean.
Sumber data dalam penelitian ini adalah
Asian Development Bank yang dapat
diakses melalui situs, www.adb.go.id. Data
yang dibutuhkan diperoleh dengan teknik
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
dokumentasi, yakni melakukan tabulasi,
pencatatan, perekaman data dan pemaparan
data.
Hasil dan Pembahasan
Perekonomian
negara-negara
Asean dalam kurun waktu 1990-2009
dihadapkan pada konstelasi perekonomian
global yang berkembang cukup fluktuatif.
Dalam kurun waktu tersebut negara-negara
di luar kawasan Asean mengalami krisis
ekonomi, seperti di USA, Uni Eropa dan
Jepang. Krisis tersebut merupakan
akumulasi dari berbagai ketidakstabilan
yang ditimbulkan baik dari sisi keungan
negara, keuangan perusahaan dan sektor
perbankan. Krisis tersebut memiliki
potensi untuk menimbulkan contagion
effect ke negara-negara di kawasan Asean.
Hal ini karena pada kenyataannya negaranegara Asean sudah menerapkan open
economy dalam berbagai bentuk kegiatan
ekonomi internasional, seperti aliran modal
dan perdagangan barang dan jasa. Dalam
hal ini investor asing dan kreditur yang
memiliki modal tentunya menginginkan
profit yang tinggi dalam bisnisnya. Pada
sisi lain ekspor negara-negara berkembang
mengalami tekanan ketika negara pembeli
utama di luar negeri mengalami krisis.
Oleh karena itu negara-negara berkembang
berusaha
sekuat
mungkin
untuk
mengoptimalkan sumber keuangan dalam
negerinya (Culpeper and Bhushan 2008).
Namun demikian dalam kurun
waktu 1990-2009 walaupun terjadi gejolak
perekonomian eksternal, perekonomian
negara-negara di kawasan Asean masih
menunjukkan
stabilitasnya.
Kondisi
stabilitas perekonomian inipun pada
akhirnya
berdampak
pada
sektor
penerimaan
negara
dari
pajak.
Sebagaimana diketahui, pajak merupakan
sumber penerimaan negara yang sangat
vital
dalam
membangun
negara.
Kemandirian pembiayaan pembangunan
akan ditentukan dari kapasitas pajak yang
dapat dioptimalkan oleh negara-negara
Asean. Secara agregate dengan jumlah
penduduk yang cukup besar di kawasan
Asean, menjadikan negara-negara di
kawasan Asean memiliki potensi cukup
besar dalam penerimaan dari sektor pajak.
Perkembangan perekonomian di
negara-negara Asean pasca krisis ekonomi
tahun 1998 ditandai oleh adanya semangat
menerapkan
otonomi
daerah
dan
desentralisasi
fiskal
dalam
sistem
pemerintahannya. Kondisi ini juga terjadi
di Indonesia, dimana penerapan otonomi
daerah dan desentralisasi fiskal ini
diterapkan dengan sebuah Undang-undang
dan efektif berlaku pada tahun 2000.
Dalam
undang-undang
tersebut
mengisyaratkan
adanya
distribusi
keuangan yang lebih merata ke pemerintah
daerah
dalam
pelaksanaan
pembangunannya.
Salah satu isu penting dalam
pembangunan ekonomi di negara-negara
Asean dewasa ini adalah penerimaan dari
sektor pajak. Pajak dapat memberikan
kontribusi besar dalam rangka membiayai
pembangunan negara. Dalam hal ini
masing-masing negara akan berusaha
semaksimal
mungkin
untuk
mengintensifkan
sumber-sumber
penerimaan negara. Sebagai gambaran dari
kondisi perkembangan penerimaan pajak
di negara Asean dapat dipaparkan berikut
ini.
a. Indonesia
Sebagai negara dengan jumlah
penduduk terbesar di kawasan Asean,
Indonesia merupakan salah satu negara
yang memiliki potensi cukup besar dalam
penerimaan pajaknya. Hal ini karena
dengan
semakin
besarnya
jumlah
penduduk, maka kegiatan ekonomi yang
tercipta juga akan semakin besar. Hal ini
tentunya dapat meningkatkan rasio
183
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
perpajakan di Indonesia yang masih rendah
dibandingkan dengan negara Asean lain
seperti Malaysia dan Singapura. Guna
mencapai kinerja perpajakan yang lebih
besar lagi, berbagai kebijakan telah
dilontarkan oleh pemerintah, seperti
kebijakan Sunset Policy tahun 2008
(Peraturan Menteri Keuangan Nomor :
66/PMK.03/2008). Kebijakan Sunset Policy
ini adalah fasilitas yg diberikan oleh
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk
menghilangkan
sanksi
administrasi
perpajakan berupa bunga. Dalam kebijakan
sunset policy tersebut terdapat dua jenis
pengampunan, yaitu; penghapusan sanksi
administrasi
dan
terhindar
resiko
pemeriksaaan kepada WP yang baru
mendaftarkan NPWP pada tahun 2008 dan
penghapusan sanksi administrasi (bukan
pengurangan sanksi) terhadap WP yang
melakukan pembetulan SPT untuk tahun
pajak 1998 s/d 2006 (sesuai daluarsa
pajak). Kebijakan tersebut dimaksudkan
untuk meningkatkan penerimaan negara
dari pajak dalam rangka pembiayaan
pembangunan nasional.
Adapun perkembangan penerimaan
negara dari pajak dapat dilihat pada
gambar berikut ini :
Sumber:www.adb.org
Gambar 1
Penerimaan Pajak Di Indonesia (Miliar Rp)
Berdasarkan pada gambar di atas
dapat dijelaskan bahwa penerimaan pajak
Indonesia dalam kurun waktu 1990-2009
menunjukkan adanya trend kenaikan.
Penerimaan pajak mulai tahun 2001 mulai
menunjukkan kenaikannya menjadi sebesar
Rp. 185.541 miliar dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Angka ini terus
mengalami kenaikan hingga tahun 2008
184
penerimaan pajak meningkat menjadi
sebesar Rp. 658.701 miliar. Sedangkan
tahun 2009 penerimaan pajak mengalami
penurunan menjadi sebesar Rp. 651.955
miliar.
Berdasarkan pada tren angka
penerimaan yang terus meningkat ini
menunjukkan adanya potensi pajak yang
cukup besar untuk dapat digali lagi dalam
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
rangka meningkatkan penerimaan negara.
Hal ini tentunya dapat terjadi karena selain
jumlah penduduk yang besar, kekuatan
perekonomian Indonesia dewasa ini sangat
ditopang oleh permintaan domestik.
Dengan
semakin
membaiknya
perekonomian nasional tentunya akan
dapat mendorong masyarakat untuk terus
melakukan kegiatan ekonominya. Dalam
hal ini penerimaan pajak akan terus
mengikuti kondisi perekonomian dan daya
beli masyarakat dalam perekonomian
nasional.
b.Malaysia
Malaysia merupakan sebuah negara
dengan populasi pada tahun 2009 sekitar
28 jiwa. Struktur perekonomiannya
memiliki kemiripan dengan Indonesia,
yang banyak ditopang oleh sektor industri
manufaktur
dan
pertanian
dalam
pembangunannya. Adapun penerimaan
negara bersumber dari indirect taxes
(dikumpulkan oleh Royal Customs and
Excise
Department),
direct
taxes
(dikumpulkan oleh the Inland Revenue
Board), dan non tax revenue. Indirect taxes
revenue sejak tahun 1960 merupakan jenis
pajak yang memberikan kontribusi terbesar
pada penerimaan negara Malaysia.Indirect
taxes revenue terdiri dari ; import duties,
export duties, excise duties, sales tax dan
service tax. Dalam kaitannya dengan
kebijakan pajak di Malaysia, maka
keputusan pemerintah Malaysia untuk
merubah sistem indirect tax dari pajak
penjualan dan jasa ke Good Service Tax
(GST) merupakan isu perekonomian yang
menarik (Taha dan Loganathan, 2008).
Adapun sebagai gambaran dari penerimaan
pajak di Malaysia dapat dilihat pada
gambar berikut ini :
Sumber:www.adb.org
Gambar 2
Penerimaan Pajak Di Malaysia (Million Ringgit Malaysia)
185
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Berdasarkan pada gambar di atas
menunjukkan bahwa penerimaan pajak di
Malaysia menunjukkan peningkatan dalam
kurun waktu 1990-2009. Penerimaan pajak
pada tahun 1990 sebesar RM 21.244 Juta.
Angka tersebut meningkat menjadi sebesar
Rm 112.987 juta pada tahun 2008.
Kemudian pada tahun 2009 penerimaan
pajak di Malaysia turun menjadi RM
106.504 juta. Fluktuasi dalam kenaikan
pajak pada tahun 2008 dan 2009 ini
sebagai dampak terjadi krisis ekonomi
yang melanda perekonomian di negaranegara maju.
Perkembangan penerimaan pajak di
Philipina ditandai oleh adanya reformasi
perpajakan pada tahun 1997 (the
government's Comprehensive Tax Reform
Program (CTRP). Dalam CTRP tersebut
termasuk
didalamnya
additional
exemptions
for
VAT
coverage,
pengurangan corporate income tax (CIT)
rate dari 35% to 32 %, dan menurunkan
effective tax rates untuk tiga bentuk
komoditi yakni : alcohol products,
cigarettes, dan petroleum products dengan
merubah dari ad valorem ke specific taxes
(Ibon Fondation, 2010). Adapun sebagai
gambaran dari penerimaan pajak di
Philipina dapat dilihat pada tabel berikut
ini :
c.Philipina
Sumber:www.adb.org
Gambar 3
Penerimaan Pajak Di Philipina (Billion Peso)
Berdasarkan pada gambar di atas
menunjukkan bahwa penerimaan pajak di
Philipina mengalami kenaikan selama
kurun waktu 1990-2009. Pada tahun 1990
penerimaan pajak Philipina mencapai Peso
186
152 miliar, kemudian pada tahun 2008
meningkat menjadi sebesar Peso 1.049
miliar. Perkembangan penerimaan pajak di
Philipina
tahun
2009
mengalami
penurunan menjadi sebesar Peso 982
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
miliar. Penurunan pajak pada tahun 2009
ini juga merupakan konsekuensi dari
melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia,
sehingga berdampak pada kegiatan
ekonomi dalam negeri Philipina.
d.Thailand
Penerimaan negara di Thailand
dapat bersumber dari indirect tax, direct
tax dan non tax revenue. Adapun Sumbersumber penerimaan pajak di Thailand
seperti ; income tax, value added tax,
excise tax, dan import tax. Namun
demikian seiring dengan pemberlakukan
perjanjian perdagangan bebas seperti
dalam kerangka WTO, AFTA dan FT As,
maka jenis pajak import tax mengalami
penurunan. Dalam kurun waktu 1998
hingga 2003 jenis pajak yang memberikan
kontribusi besar dalam penerimaan pajak
di Thailand adalah pajak pertambahan nilai
(value added tax) sebesar 29% dan excise
tax sebesar 24%. Sedangkan corporate
income tax dan personal income tax
masing-masing sebesar 19% dan 14%
(Sujjapongse,
2005).
Adapun
perkembangan penerimaan pajak secara
agregate di Thailand sebagai berikut ini :
Sumber:www.adb.org
Gambar 4
Penerimaan Pajak Di Thailand (Billion Baht)
Berdasarkan pada gambar di atas
dapat dijelaskan bahwa penerimaan pajak
di Thailand mengalami fluktuasi pada
periode tahun 1990-2009. Hal ini dapat
dilihat dari kondisi pada tahun 1997 dan
tahun 1998 dimana penerimaan pajaknya
masing-masing sebesar Baht 754 Miliar
dan menurun menjadi Baht 642 Miliar dan
terus menunjukkan penurunan sampai
tahun 1999. Kemudian pada tahun 2000
penerimaan pajak mulai menunjukkan
adanya kenaikan menjadi sebesar Baht 615
Miliar. Pada tahun 2008 penerimaan pajak
di Thailand mengalami puncaknya, yakni
sebesar Baht 1.461 Milar. Perkembangan
pada tahun 2009 penerimaan pajak
187
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Thailand turun menjadi sebesar Baht 1.321
Miliar. Penurunan ini sebagai dampak dari
kondisi krisis yang terjadi di negara-negara
maju
yang
mempengaruhi
kinerja
perekonomian negara Thailand.
Dalam
konteks
pembentukan
komunitas Asean dideklarasikan sebuah
komitemen untuk membangun Asean
economic community sebagai berikut
...“The AEC Blueprint will transform
ASEAN into a single market and
production base, a highly competitive
economic region, a region of equitable
economic development, and a region fully
integrated into the global economy...".
Dalam bidang perpajakan, maka setiap
negara Asean akan mereformasi sistem
perpajakannya sehingga menjadi lebih
kompetetif diantara negara Asean lainnya.
Thailand merupakan salah satu negara
yang responsif terkait perpajakan di Asean,
dimana corporate income tax diturunkan
menjadi sebesar 23% pada tahun 2012 dan
20% pada tahun 2014 (www.kpmg.com).
Kebijakan untuk mereformasi
sistem perpajakan di negara-negara Asean
merupakan
sebuah
implikasi
dari
keterbukaan perekonomian yang telah
diterapkan di Asean.Kondisi ini tentunya
dapat mempengaruhi kinerja pajak suatu
negara manakala tidak dilakukan upaya
konstruktif dan antisipatif. Dalam hal ini
kinerja perpajakan dapat diukur dari
besarnya rasio pajak terhadap PDB suatu
negara. Adapun perkembangan rasio pajak
terhadap PDB negara-negara Asean dapat
dilihat pada gambar berikut ini :
Sumber : data.worldbank.org/indicator
Gambar 5
Persentase Pajak T erhadap PDB Negara-negara Asean (%)
Dalam hal ini dibandingkan dengan negara
Asean lainnya, Thailand memiliki rasio
188
pajak dengan PDB yang paling besar
dalam kurun waktu 2003-2010 (rata-rata di
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
atas 15%). Berdasarkan pada gambar di
atas menunjukkan adanya sebuah pola
yang sama dalam fluktuasi besarnya angka
rasio pajak dengan PDB di Thailand,
Indonesia, Malaysia dan Philipina.
Indonesia dibandingkan dengan keempat
negara Asean di atas memiliki trend
perkembangannya yang semakin menurun.
Pada tahun 2003 rasio pajak dengan PDB
mencapai 12,39% dan pada tahun 2010
turun menjadi sebesar 10,87%.
Penutup
Keterbukaan perekonomian yang
diterapkan di negara-negara Asean
memiliki konsekuensi pada potensi adanya
dampak contagion effect dari negaranegara di luar kawasan Asean. Kondisi ini
dapat mengakibatkan adanya penurunan
dalam kegiatan ekonomi dan juga
penerimaan pajak negara. Semakin
terintegrasinya suatu perekonomian dengan
perekonomian negara lain membutuhkan
kebijakan antisipatif dalam rangka
penguatan kapasitas fiskal suatu negara.
Perkembangan penerimaan pajak di
negara-negara Asean menunjukkan pola
yang sama dalam fluktuasinya. Hal ini
mengindikasikan bahwa potensi pajak di
kawasan Asean masih rentan dengan
adanya dampak dari gejolak ekonomi
eksternal. Oleh karena itu dalam
implementasi AFTA dan AEC di Asean,
setiap negara perlu melakukan sinergi
kebijakan fiskal dalam rangka peningkatan
penerimaan pajak dan konvergenitas
pertumbuhan ekonomi
negara-negara
Asean. Dalam hal ini Indonesia sebagai
negara dengan jumlah populasi penduduk
terbesar di Asean memiliki peran penting
dalam menginisiasi kebijakan perpajakan
di kawasan Asean.
189
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Daftar Pustaka
Bhushan, R. C. ,2008. Domestic Resource
Mobilization: A Neglected factor
in Development Strategy.Ottawa:
The North‐South Institute
Connolly, Sara and Alistair Munro, 1999.
Economics of The Public Sector,
New York: Prentice Hall
Jones, Sally M. 2002. Principles of
T axation, New York:Mc Graw
Hill.
Mangkoesoebroto,
Guritno,
1998.
Ekonomi
Publik,
Edisi
Kedua,Y ogyakarta: BPFE-UGM
Taha,
Roshaiza
dan
Nanthakumar
Loganathan, , 2008. Causality
Between Tax Revenue and
Government
Spending
In
Malaysia,
The
International
190
Journal of Business and Finance
Research V olume 2, Number 2
IBON Foundation, 2012. “Taxes and
Development in the Philippines
Towards enhancing domestic
resource
mobilization
for
development”, Research Paper,
www.oecd.org
diakses
25
Nopember
Sujjapongse, Somchai, 2005.”Tax Policy
and Reform in Asian Countries :
Thailand Perspective”, Journal
Asian Economics, diakses dari
http://www.econ.hitu.ac.jp/~kokyo/sympojuly05/pape
rs/july05-Thailand.pdf, tanggal 25
Nopember.
www.adb.org
data.worldbank.org/indicator
www.kpmg.com
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Aliran Foreign Direct Investment dan Produk Domestik
Bruto Di Indonesia
Imam Mukhlis
Abstract
This research aims to analysize the relationship between Foreign Direct
Investment (FDI) with Gross Domestic Product (GDP) in Indonesian economic
for 2005 unti 2011. The methode of analysize is descriptive that recorded and
verivicated the time series data ini Indonesian economy. The result suggest that
both variables haven’ t same trend in Indonesian economy for 2005-2011. The
GDP has increase more slowly, although FDI flow have fluctuated progress in
Indonesia. The FDI flow depend on external condition and stabilization in host
country. Based on this result, government must provide much insentive to foreign
investor to invest in Indonesia. These insentive like provide infrastructure, tax
holiday and reduce birocration in investment project by foreign investor .
Keywords : Foreign Direct Investment, Gross Domestic Product, Capital Flow,
External Shocks
Kemajuan suatu bangsa tidak dapat
dilepaskan dari peran investasi. Investasi
secara teoretis dapat mendorong terjadinya
pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Dalam perspektif ini investasi dianggap
dapat
mengisi
kesenjangan
antara
kemampuan anggaran/dana dalam negeri
dengan besarnya keperluan anggaran untuk
pembiayaan
kegiatan
pembangunan.
Dalam hal ini ini menurut pemikiran
Harrod Domar, pertumbuhan ekonomi
suatu negara akan dipengaruhi oleh modal
dan tenaga kerja. Modal tersebut dapat
berperan dalam pembentukan kapital yang
dibutuhkan
perekonomian
untuk
meningkatkan pertumbuahan ekonomi
suatu negara.
Namun demikian, tidak semua
negara memiliki kemampuan dalam
mendanai seluruh proyek pembangunannya
dengan mengandalkan sumber daya
ekonomi dalam negeri. Dalam hal ini
negara berkembang akan terjebak pada
situasi kelangkaan modal yang disebabkan
karena masih rendahnya tingkat tabungan
masyarakat.
Rendahnya
tabungan
masyarakat ini disebabkan karena tingkat
pendapatan masyarakat yang masih rendah
pula,
sehingga
pendapatan
yang
dimilikinya hanya cukup untuk pemenuhan
kebutuhan
hidupnya
saja. Sebagai
akibatnya akan menimbulkan terjadinya
saving
investment
gap
dalam
perekonomian. Kondisi ini tentunya dapat
menghambat upaya negara untuk mengejar
ketertinggalan ekonomi dengan negara lain
yang lebih maju.
Kondisi perekonomian negara
berkembang walaupun rendah dalam
penyediaan modal dalam negeri, namun
memiliki potensi ekonomi yang cukup
besar. Potensi tersebut dapat beruwud
sumber daya alam yang melimpah dan
adanya pertumbuhan penduduk yang
tinggi. Kedua potensi ekonomi tersebut
dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi
investor negara lain untuk menanamkan
dananya di negra berkembang. Dalam hal
ini peran perusahaan multinasional
(MNCs) di negara-negara berkembang
__________________________________________
Alamat Korespondensi :
Imam Mukhlis. Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang
Email : [email protected]
JESP V ol.4, No. 2, 2012
termasuk di Indonesia sangat penting dan
penuh dengan kepentingan ekonomi
semata. Dalam konteks ini ketersediaan
sumber daya alam (bahan baku) industri di
negara maju dapat disediakan oleh
perekonomian negara sedang berkembang.
Dengan
membangun
pabriknya
di
Indonesia, maka perusahaan asing yang
ada dapat menghemat biaya produksi
output. Kondisi ini juga dipertajam oleh
suatu fakta dimana, populasi yang besar
berarti menunjukkan adanya ketersediaan
pasar yang luas bagi komoditi yang
dihasilkan oleh perusahaan MNCs.
Kondisi perekonomian nasional
dalam kurun waktu 2005 hingga 2011
ditandai oleh serangkaian fenomena.
Berbagai fenomena ekonomi yang paling
menarik adalah terjadinya krisis ekonomi
di berbagai negara maju. Bahkan negara
superpower seperti USA yang terkenal
dengan kekuatan ekonominya, dapat saja
terjebak pada jurang fiskal (fiscal clift)
manakala USA tidak mampu mengelola
perekonomiannya dengan baik. Negaranegara lain di Eropa juga banyak yang
terjebak pada krisis ekonomi yang pada
akhirnya juga berdampak pada ketahanan
anggaran di masing-masing negara. Dalam
kondisi lingkungan eksternal sedemikian
rupa, maka mau tidak mau perekonomian
nasional juga akan menghadapi tekanan
yang cukup berat. Dalam hal ini
melemahnya pasar luar negeri dan semakin
terdepresiasinya mata uang US$ sebagai
mata uang yang sering digunakan untuk
bertransaksi secara internasional dapat
berdampak pada ketidakstabilan dalam
neraca
pembayaran
internasional
Indonesia.
Kondisi
perekonomian
internasional yang berfluktuatif berdampak
signifikan terhadap aliran FDI di
Indonesia. Aliran FDI di Indonesia dapat
diwujudkan dalam berbagai bentuk usaha
yang dikelola oleh perusahaan MNCs.
Perusahaan MNCs tersebut merupakan
anak perusahaan yang didirikan di luar
negara dengan pertimbangan tertentu, baik
menyangkut ketersediaan bahan baku dan
192
jumlah penduduk di negara penerima FDI.
Krisis ekonomi yang terjadi di luar negeri
berdampak pada perilaku dan ekspektasi
investor asing dalam menanamkan
usahanya di Indonesia. Pada investor akan
melakukan penghitungan ulang atas
rencana bisnis dan anggarannya guna
menyesuaikan dengan situasi baru yang
berkembang dalam perekonomian. Dalam
situasi seperti tersebut, perekonomian
Indonesia masih menunjukkan kinerjanya
dengan meningkatnya nilai PDB dari tahun
2005-2011. Kenaikan dalam PDB ini
mencerminkan adanya kenaikan dalam
kapasitas output yang dihasilkan oleg input
produksi
yang
tersedia
dalam
perekonomian nasional. Berbagai input
yang ada dapat digunakan melalui
kombinasi sumber daya ekonomi sehingga
memberikan kemanfaatan yang lebih luas
dalam perekonomian. Dalam hal ini secara
teoretis dapat dijelaskan bahwa aliran FDI
dapat memberikan kontribusi yang
semakin
besar
dalam
menopang
pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Berdasarkan pada pemaparan tersebut,
maka artikel ini akan membahas mengenai
aliran FDI dan PDB di Indonesia dalam
kurun waktu 2005-2011.
Perspektif Teoretis Investasi
Pemikiran
klasik
tentang
pentingnya investasi dapat diwujudkan
dalam teori pertumbuhan ekonomi klasik
yang dipaparkan oleh Sir Roy F. Harrod
tahun 1939 and Evsey Domar tahun 1946
yang kemudian dikenal dengan Teori
Harrod-Domar. Menurutnya manakala
sebuah perekonomi memiliki kapasitas
tabungan, maka tabungan tersebut dapat
digunakan untuk pemupukan modal untuk
pencapaian pertumbuhan ekonomi suatu
negara. Dalam hal ini dapat dimisalkan,
tingkat tabungan (T) dipengaruhi oleh
Produk Domestik Bruto (PDB), maka
fungsi tabungannya dapat ditulikan sebagai
; S=f(PDB) dengan persamaan identitasnya
sebesar S=sPDB, dimana s adalah
marginal propensity to save. Dalam hal ini
tingkat kebutuhan modal (M) yang
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
digunakan untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi dipengaruhi juga oleh PDB
sehingga fungsi modal adalah sebagai
berikut ; K=f(PDB) dengan persamaan
identitasnya adalah ; K=σPDB, dimana σ
adalah Capital Output Ratio (CAR).
Dalam hal ini investasi merupakan
komponen penting dalam permintaan
output seiring dengan kenaikan dalam
capital stock nya. Oleh karena itu menurut
Harrod dan Domar, permintaan dalam
modal akan memiliki keseimbangan baru,
yakni sebesar ; ∆K=σ∆Y . Guna
tercapainya kondisi equlibrium dalam
perekonomina, maka permintaan output
dan penawaran output harus sama. Dalam
persamaan identitas, maka kondisi tersebut
dapat dituliskan lagi menjadi ; I=∆K=σ∆Y
dan I=S. Oleh karena itu persamaan
keseimbangan baru yang terjadi karena
adanya tabungan dan investasi tersebut,
menjadi σ∆Y=sY . Untuk mencapai sebuah
pertumbuhan
ekonomi
dalam
perekonomian dapat dicapai dengan
mengikuti persamaan identitas baru, yakni
; g = ∆Y/Y = sY/σ/Y = s/σ. Persamaan
baru tersebut memiliki makna bahwa
tingkat pertumbuhan ekonomi (g) sama
dengan rasio antara tingkat marginal
propensity to consume (s) dengan capital
output ration (σ). Persamaan pertumbuhan
ekonomi versi Harrod dan Domar, dimana
g=s/σ
menginspirasikan
bahwa
pembentukan modal dalam negeri sangat
penting guna meningkatkan kapasitas
output dalam negeri untuk memenuhi
output perekonomian yang senantiasa
berkembang secara dinamis. Oleh karena
itulah, Teori Harrod Domar ini juga dalam
banyak literatur Teori Ekonomi sering
disebut AK model (accumulation of capital
model).
Teori pertumbuhan klasik versi
Harrrod dan Domar dalam menjelaskan
pentingnya
investasi
dapat
menginsipirasikan munculnya pemikiran
lainnya. Dalam hal ini teori ekonomi neo
klasik (neoclasical economic theory).
Theori ini menekankan bahwa tabungan
dan akumulasi modal secara bersama
dengan variabel eksogen dalam bentuk
technical progress sebagai sumber
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Selain
itu pula variabel eksogen dalam model
pertumbuhan ini juga menyangkut aspek
tingkat pertumbuhan populasi. Kedua
variabel eksogen tersebut diikuti dengan
adanya fleksibilitas dalam pergerakan
tabungan (liberty of saving rate). Apabila
tingkat tabungan semakin besar, maka
modal per pekerja juga akan semakin besar
yang pada akhirnya dapat mendorong
terjadinya kenaikan dalam pendapatan per
kapita. Dalam hal ini pemikiran the
neoclassical of economic growth dapat
dinyatakan dalam pemikirannya oleh
Robert Solow (1956) dan T.W . Swan
(1956) yang kemudian dikenal denga Teori
Solow-Swan. Teori ini mengekspresikan
model pertumbuhan
ekonomi sebagai
fungsi produksi tenaga kerja dan modal,
g=f(L,K). Fungsi pertumbuhan ekonomi
tersebut dapat dikembangkan lagi menjadi
ΔY/Y = ΔA/A + ΔL/L + ΔK/K dimana g
adalah pertumbuhan ekonomi, L adalah
input tenaga kerja, K adalah modal, dan A
adalah produktifitas dari modal dan tenaga
kerja. Sedangkan ΔY/Y, ΔA/A, ΔL/L, and
ΔK/K menunjukkan perubahan dalam
variabel-variabel tersebut.
Dalam pemikiran Solow dan Swan
tersebut dijelaskan bahwa untuk dapat
mempertahankan tingkat pertumbuhan
ekonomi suatu negara, maka dibutuhkan
adanya technological change. Hal ini
penting karena menurut Solow dan Swan,
dalam proses pencapaian pertumbuhan
ekonomi dengan memanfaatkan sumber
daya yang ada akan terjadi diminishing
marginal product. Sehingga dengan
adanya technological change tersebut
sumber daya/input yang ada masih dapat
tingkatkan
kemanfaatannya
dalam
pencapaian pertumbuhan ekonomi.Selain
itu pula dalam teori Solow dan Swan
tersebut,
juga
menjelaskan
akan
pentingnya produktifitas input dalam
pencapain
pertumbuhan
ekonomi.
193
JESP V ol.4, No. 2, 2012
Sumber : http://www.jamesrmaclean.com/mw/index.php/Solow-Swan_Classical_Growth_Theory
Gambar 1:
Model Pertumbuhan Ekonomi Model Solow
Perkembangan berikutnya dalam
menjelaskan pentingnya investasi dalam
pertumbuhan ekonomi adalah model
pertumbuhan endogen (endogenous growth
theory). Theori ini menjelaskan bahwa
investasi dalam sumber daya manusia
(human capital investment), innovation dan
knowledge
merupakan
faktor-faktor
penting yang dapat memberikan kontribusi
dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Theori ini fokus dalam terbentuknya
positive externalities and spillover effects
dari adanya knowledge yang akan dapat
mendorong peningkatan pertumbuhan
ekonomi. Tokoh-tokoh ekonomi dalam
pemikiran endegenous growth theory ini
seperti ; Kenneth Arrow (1962), Hirofumi
Uzawa (1965), Paul Romer (1986), Lucas
(1988),dan
Rebelo
(1991).
Model
pertumbuhan endegon dalam perspektif
AK model dapat dijelaskan dengan fungsi
pertumbuhan ekonomi versi Arrow
194
(Arrow’ s Learning by Doing), yakni ; Yi
=A(K)F(Ki,Li). Dalam hal ini Yi
menunjukkan adanya productivity dari
perusahaan i, Ki adalah stock of capital
dari perusahaan i, Li adalah stock of labour
dari perusahaan i, K menunjukkan
aggregated stock of capital dan A adalah
expertise aspect. Sedangkan pemikiran
Lucas (Lucas Model) dalam pertumbuhan
endogen dapat dirumuskan sebagai berikut
; Yi = A(Ki).(Hi).H. Dalam hal ini A
adalah technical coefficient, Ki dan Hi
adalah input dari modal fisik dan modal
manusia (input of physical and human
capital) yang digunakan oleh perusahaan
dalam menghasilkan barang Yi. Sedangkan
variabel H adalah sistem keuangan (the
financial systems’ average level of human
capital) untuk setiap efisiensi perusahaan.
Adanya ketidakmampuan suatu
negara dalam meningkatkan ketersediaan
modal dalam negeri untuk pembiayaan
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
pembangunan ekonomi, maka banyak
negara yang mengharapkan adanya aliran
modal masuk (capital inflow). Aliran
modal masuk ke suatu negara ini
melibatkan adanya negara pemberi (host
country) dan negara penerima (home
country). Aliran modal masuk ini dapat
dikagerikan dalam bentuk Penanaman
Modal Asing/ Foregin Direct Investment
(FDI). FDI ini menurut Casson (1982)
dibangun atas dasar teori integrasi, yakni ;
international capital market theory, theory
of the firm, dan international trade theory.
Ketiga teori tersebut berintegrasi dalam
membentuk teori FDI yang dapat
menjelaskan berbagai hal terkait dengan
aliran modal asing masuk ke suatu negara.
Dalam konteks perekonomian modern
sekarang ini, aliran FDI dapat diwujudkan
dalam bentuk penetrasi pasar oleh
perusahaan multinasional (Multinational
Corporatins/MNCs). Adanya aliran FDI
melalui peran MNCs tersebut diharapkan
dapat memberikan spillover effect dan
multiplier effect terhadap perekonomian
negara penerima FDI.
Dalam hal ini pemikiran tentang
FDI dimulai dari sebuah pemikiran bahwa
bahwa modal ((i.e., a production factor)
sangat penting dalam pertumbuhan
ekonomi
suatu
negara.
Dalam
perkembangannya
terjadi
pergerakan
modal (flow of capital) antar negara.
Dalam hal ini aliran FDI akan bergerak
dari capital abundant countries (where its
return was low) kepada capital scarce
countries (where its return was high).
Pemikiran ini secara eksplisit dipaprkan
oleh Mundell (1957) dan MacDougall
(1960).
Metode Penelitian
Desain penelitian ini adalah
penelitian kuantitatif dengan pendekatan
deskriptif. Pendekatan ini dapat dijabarkan
ke dalam berbagai narasi dan pemaparan
data yang berupa angka-angka ke dalam
paparan analisis data. Teknik pengumpulan
data yang dilakukan adalah analisis
dokumen, yakni teknik pengumpulan data
sekunder
yang
dilakukan
dengan
melakukan verifikasi data, pencatatan, dan
perekaman data dari sumber data yang
relevan. V ariabel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah FDI dan PDB di
Indonesia dalam kurun waktu 2005-2011.
Sedangkan sumber datanya meliputi Bank
Indonesia dan W orldbank.
Hasil dan Pembahasan
Dinamika yang terjadi dalam
perekonomian nasional pada kurun waktu
2005-2011menunjukkan adanya fluktuasi
dalam pencapaian stabilitas perekonomian.
Hal ini terjadi karena secara empiris
perekonomian nasional dewasa ini telah
terintergrasi dengan perekonomian luar
negeri, baik secara regional di kawasan
ASEAN maupun secara internasional.
Sebagai akibatnya external shocks yang
terjadi diluar negeri dalam bentuk krisis
ekonomi dan keuangan di negara lain akan
dapat
berdampak
pada
terjadinya
contagion effect terhadap perekonomian
dalam negeri. Pengalaman krisis ekonomi
yang terjadi pada tahun 1997 telah
memberikan pelajaran bagi Indonesia
dalam mengelola perekonomian yang
terkena krisis ekonomi.
Pada sisi lain juga dapat dilihat
bahwa Inodnesia sangat berperan aktif
dalam berbagai kerjasama ekonomi.
Berbagai perjanjian kerjasama ekonomi di
berbagai kawasan telah lama diikuti dan
dilaksanakan oleh Indonesia. Berbagai
bentuk kerjasama ekonomi tersebut seperti
dalam
organisasi
W orld
Trade
Organization (WTO), Asia Pacific
Economic Cooperation (APEC), Asean
Free Trade Area (AFTA), dan juga Asean
Economic Community (AEC). Implikasi
dari
kolaborasi
ekonomi
secara
internasional ini dapat berdampak pada
penguatan kapasitas perekonomian dalam
negeri dalam konstelasi perekonomian
yang berkembang.
Belum stabilnya perekonomian
dunia yang ditandai oleh adanya krisis
195
JESP V ol.4, No. 2, 2012
ekonomi yang terjadi pada tahun 2008 di
negara-negara
maju
lambat
laun
berdampak pada perekonomian Indonesia.
Dampak ini dapat dilihat dari pelemahan
pertumbuhan pada sisi agregat utamanya
pada kegiatan ekspor Indonesia ke luar
negeri.
Melemahnya
perekonomian
negara-negara tujuan ekspor Indonesia
secara signifikan berdampak pada kinerja
perdagangan luar negeri Indonesia.
Sebagai gambaran untuk nilai ekspor
Indonesia pada Januari 2009 mencapai
US$ 7,15 miliar, turun 17,70 persen
dibanding Desember 2008. Sementara jika
dibanding Januari 2008 juga mengalami
penurunan
sebesar
36,08
persen.
Sedangkan nilai ekspor nonmigas pada
Januari 2009 mencapai US$ 6,21 miliar,
turun 16,67 persen dibandingkan dengan
Desember 2008, atau turun 30,64 persen
dibandingkan dengan Januari 2008 (BPS,
2010).
Namun demikian perlambatan
kinerja pada sektor perdagangan luar
negeri tersebut dapat diatasi dengan kinerja
sektor lainnya, sseperti sektor konsumsi
dan sektor keuangan korporasi. Sektor
konsumsi masih menjadi andalan dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi
196
nasional
dalam
beberapa
periode
pembangunan. Hal ini dapat dipahami
karena Indonesia merupakan negara
dengan jumlah populasi besar seperti India
dan China. Kekuatan dari aspek populasi
ini
dapat
membentuk
komponen
permintaan konsumsi memiliki kontribusi
besar
dalam
pembentukan
Produk
Domestik Bruro (PDB) Indonesia. Sebagai
gambaran pada tahun 2009 kontribusi
sektor
konsumsi
individu
(private
consumption) berdasarkan harga pasar
(market price) di Indonesia sebesar 58,6%.
Sedangkan pengeluaran konsumsi negara
sebesar 9,6% (Asian Development Bank,
2010). Sektor keuangan korporasi juga
menunjukkan nilai yang cukup besar,
dimana pada tahun 2009 memberikan andil
dalam membangun sektor keuangan dalam
negeri dengan nilai portofolio investmentnya mencapai US$ 10.104 juta. Kondisi ini
tentunya dapat berdampak pada penguatan
kegiatan ekonomi yang pada akhirnya
dapat meningkatkan PDB Indonesia.
Sebagai
gambaran
dari
perkembangan PDB Indonesia dalam
kurun waktu 2005- 2011 dapat dilihat pada
tabel berikut ini :
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Sumber : Asian Development Bank, 2010
Gambar 2:
Perkembangan PDB di Indonesia (Miliar Rp)
Dalam kurun waktu tahun 2005 hingga
2011 menunjukkan adanya kenaikan dalam
nilai PDB. Pada tahun 2005 nilai PDB
Indonesia mencapai US$ 1.750.815 juta,
sedangkan pada tahun 2011 meningkat
menjadi sebesar US$2.463.242 juta.
Namun demikian kenaikan dalam nilai
PDB ini menunjukkan adanya perlambatan
dalam pencapaian outputnya dari tahun ke
tahun. Sebagai gambaran pada tahun 2008
pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar
6,0% dan pada tahun 2009 turun menjadi
sebesar 4,6%.
Pencapaian output dalam bentu
PDB di Indonesia juga tidak terlepas dari
dinamika yang terjadi pada pergerakan
modal (capital flow) ke Indonesia.
Sebagaimana telah dipaparkan secara
teoretis di atas, bahwa aliran FDI dapat
memberikan multiplier effect dalam
perekonomian penerima FDI. Adanya
kesempatan kerja, penerimaan pajak usaha,
dan ketersediaan barang konsumsi dalam
negeri dapat memberikan andil yang cukup
besar dalam pembentukan PDB di
Indonesia. Dalam hal ini aliran modal
dalam bentuk FDI ke Indonesia
197
JESP V ol.4, No. 2, 2012
Sumber : Worldbank, 2010
Gambar 3:
Perkembangan FDI di Indonesia (Juta US$)
Berdasarkan pada gambar di atas
menunjukkan bahwa perkembangan FDI di
Indonesia dalam kurun waktu 2005 hingga
2011 menunjukkan adanya fluktuasi. Hal
ini dapat terjadi karena aaliran FDI
merupakan representasi dari perilaku dan
ekspektasi investor asing terhadap kondisi
perekonomian baik secara global, kondisi
perekonomian negara asal FDI dan kondisi
perekonomian
negara
penerima
FDI.Keputusan investor asing untuk
melakukan investasi di luar negeri dalam
bentuk FDI (Penanaman Modal Asing) di
Indonesia
tentunya
didasari
oleh
kepentingan keuntungan yang maksimal.
Situasi
dan
kondisi
perekonomian
Indonesia walaupun diterpa banyak
gangguan karena kondisi eksternal yang
tidak stabil, masih memberikan banyak
harapan bagi investor asing untuk tetap
berinvestasi di Indonesia. Dalam hal ini
karena potensi pasar yang cukup besar dan
penyediaan sarana prasarana fisik investasi
sudah banyak dilakukan oleh Pemerintah,
maka berbagai insentif tersebut dapat
198
dipandang sebagai sebuah daya tarik untuk
menanamkan modalnya di Indonesia.
Dalam hal ini wujud aliran FDI di
Indonesia banyak dibawa oleh perusahaan
multinasional (MNCs) baik dari USA,
Eropa, Asia dan ASEAN. Perusahaanperusahaan dari berbagai negara tersebut
banyak mengembangkan usahanya di
Indonesia utamanya dalam kaitannya
dengan kedekatannya dengan pasar produk
di Indonesia. Namun demikian krisis luar
negeri yang terjadi di negara-negara maju
berdampak signifikan terhadap aliran FDI
di Indonesia yang mengalami penurunan
pada tahun 2009. Dibandingkan dengan
tahun 2008
aliran FDI di Indonesia
mencapai angka US$ 9.318 juta dan pada
tahun 2009 turun menjadi sebesar US$
4.877 juta. Adanya krisis di negara maju
tersebut berdampak pada kemampuan
investasi dari perusahaan atau individu di
luar negeri dalam mengalokasikan dananya
di Indonesia.
Berdasarkan
pada
pemaparan
tentang nilai PDB dan aliran FDI di
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Indonesia dalam kurun waktu 2005-2011
menunjukkan tidak adanya pola yang sama
dalam trend perkembangannya. Nilai PDB
Indonesia dalam kurun waktu tersebut
memiliki kecenderungan yang meningkat
dari waktu ke waktu walaupun mengalami
kenaikan yang sedikit. Sedangkan aliran
FDI di Indonesia mengalami fluktasi,
khususnya mengalami perkembangan
terendahnya pada tahun 2006 dan 2009.
Dalam perspektif secara teoretis di atas
dapat dijelaskan bahwa aliran FDI dapat
memberikan
mmberikan
kontribusi
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
suatu negara. Namun demikian juga patut
dicermati bahwa aliran FDI tersebut dapat
menyebar ke berbagai daerah di Indonesia
dan pada berbagai sektor (industri,
pertambangan, perkebunan, kehutanan,
pertanian dan keuangan perbankan).
Namun
demikian
walaupun
pola
perkembangannya memiliki perbedaan
antara PDB dan FDI, aliran FDI di
Indonesia masih diharapkan eksistensinya
dalam rangka menciptakan multiplier dan
spillover effect yang lebih luas lagi dalam
perekonomian nasional.
Penutup
Berdasarkan pada hasil di atas
dapat disimpulkan bahwa aliran FDI dan
PDB di Indonesia tidak memiliki trend
perkembangan yang sama dalam kurun
waktu 2005-2011. Dengan kata lain nilai
PDB di Indonesia dalam kurun waktu
tersebut mengalami trend kenaikan. Hal ini
terjadi karena komponen dalam pembentuk
PDB di Indonesia memiliki kemampuan
untuk saling mensubstitusikan perannya.
Dalam hal ini komponen konsumsi dalam
permintaan agregat di Indonesia memiliki
kontribusi penting dalam pembentukan
PDB yang meningkat dari waktu ke waktu.
Jadi walaupun situasi perekonomian duni
sedang berfluktuasi, namun kondisi
tersebut tidak berdampak besar dalam
pembentukan
PDB
di
Indonesia.
Sedangkan aliran FDI di Indonesia banyak
dipengaruhi oleh kondisi perekonomian di
berbagai kawasan dunia. Hal ini terjadi
karena aliran FDI mencerminkan perilaku
investor dalam memahami fenomena yang
berkembang,
sehingga
keputusan
investasinya diharapkan dapat memberikan
keuntungan yang maksimal.
Berdasarkan pada hasil penelitian
ini maka sudah selayaknya pemerintah
untuk
mempertimbangkan
perluasan
berbagai insentif bagi investor asing yang
ingin mendatangkan investasi langsungnya
ke Indonesia. Insentif tersebut dapat
diwujudkan baik dalam bentuk penyediaan
sarana dan prasarana investasi yang
kondusif maupun dalam bentuk insentif
keringan pajak dan adiministrasi perizinan.
Selain itu pula guna meningkatkan lairan
FDI ke Indonesia, maka pemerintah perlu
menjaga stabilitas perekonomi domestik
dengan cara melibatkan pemerintah daerah
dalam
upaya
mempermudah
dan
mempercepat
koordinasi
dalam
penanganan berbagai hal terkait dengan
aliran FDI di Indonesia.
199
JESP V ol.4, No. 2, 2012
Daftar Pustaka
Arrow, Kenneth J., 1962"The Economic
Implications of Learning by
Doing," Ke~izewof Economzc
Studzes, June, 29:155-73.
Casson, M.,1982. Transaction Costs and
the Theory of the MNE in A. M.
Rugman (ed.) New Theories of
the Multinational Enterprise, New
Y ork, St. Martin’s Press.
Domar, Evsey,1946, "Capital Expansion,
Rate
of
Growth,
and
Employment". Econometrica 14
(2),April
:
137–47.
http://www.jstor.org/stable/19053
64. Harrod, Roy F.,1939. "An
Essay in Dynamic Theory". The
Economic Journal 49 (193),
Maret
:
14–33.
http://www.jstor.org/stable/22251
81.
Lucas, Robert E., Jr., 1988 “On the
Mechanics
of
Development
Planning,” Journal of Monetary
Economics 22(1), July, 3–42.
(Lucas’s Nobel address focused
on a two-sector model with
human capital
MacDougall, G. D. A.,1960. “The benefits
and costs of private investment
from abroad: A theoretical
200
approach”, Economic Record,
Special Issue, : 13-35.
Mundell, R. A.,1957. “International trade
and factor mobility”, American
Economic Review, vol. 47, : 321335.
Rebelo, Sergio, 1991 “Long-Run Policy
Analysis and Long-Run Growth,”
Journal of PoliticalEconomy
99(3), June, 500–521. (One of the
most often cited AK models)
Romer, Paul M., 1986 “Increasing Returns
and Long-Run Growth,” Journal
of Political Economy 94 (5),
October, 1002−1037.
Solow, Robert M.,1956. "A Contribution
to the Theory of Economic
Growth". Quarterly Journal of
Economics (The MIT Press) 70
(1): 65–94, doi:10.2307/1884513.
JSTOR 1884513.
Swan, Trevor W .,November 1956.
"Economic Growth and Capital
Accumulation". Economic Record
(John Wiley & Sons) 32 (2): 334–
361, doi:10.1111/j.1475-4932.
Uzawa,
Hirofumi,
1965."Optimum
Technical
Change
in
an
Aggregative
Model
of
EconomicGrowth," International
Economic Review, January, 6: 1831.
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Pengaruh Jumlah Uang Beredar (JUB), Tingkat Suku Bunga BI
Rate, Dan Nilai Tukar Rupiah Dollar-AS
Terhadap Laju Inflasi Di Indonesia
(Tahun 2007-2011)
Y uniar Ardila
Sapir
Abstract
This study aimed to determine the effect of the money supply, BI rate level, and the exchange
rate of inflation in Indonesia. This type of research is quantitative research, documents used
are the financial statements of the Bank Indonesia (BI) in the form of Economic and
Financial Statistics Indonesia (SEKI). The next data used are secondary data (time series).
The analysis technique used is multiple linear regression (multiple regression analysis
model) or the least squares equation (Ordinary least Square). Based on the results of this
study found that the money supply, and the BI rate affect the inflation rate in Indonesia,
while exchange rate has no effect on the rate of inflation in Indonesia in the period under
study. Based on the results of this study can be suggested for Bank Indonesia as the
monetary authority should not raise interest rates in an effort to curb inflation in Indonesia
because if interest rates increased instead it will increase inflation.
Keywords : Inflation, Money supply, BI rate, Exchange rate, Multiple linear regression
Inflasi
merupakan
permasalahan
ekonomi yang tidak bisa diabaikan, karena
inflasi dapat menimbulkan dampak yang
sangat
luas
seperti
terjadinya
pengangguran, menurunnya ekspor dalam
negeri, dan masih banyak dampak lainnya
yang diakibatkan dengan adanya inflasi.
Oleh karena itu inflasi sering menjadi
target kebijakan pemerintah. Inflasi yang
tinggi
penting
untuk
diperhatikan
mengingat dampaknya bisa menimbulkan
ketidakstabilan pada perekonomian. Pada
suatu
negara
kestabilan
ekonomi
merupakan salah satu kondisi yang harus
terpenuhi
dalam
berlangsungnya
pembangunan
ekonomi.
Kestabilan
ekonomi tersebut dapat tercermin melalui
terkendalinya
laju
inflasi
atau
terkendalinya perubahan tingkat harga
barang-barang dan jasa di masyarakat.
Untuk mengendalikan hal–hal tersebut
maka dibutuhkan suatu kebijakan yang
dilakukan oleh pemerintah melalui
kebijakan moneter. Menurut Nopirin
(1992:45) ”kebijakan moneter pada
umumnya bertujuan untuk stabilisasi
ekonomi yang dapat diukur dengan
kesempatan kerja, kestabilan harga serta
neraca pembayaran internasional yang
seimbang”.
Berkaitan dengan kebijakan moneter
dan dalam rangka menciptakan kestabilan
perekonomian,
maka Bank sentral
memiliki peran dalam memelihara sistem
moneter agar bekerja secara efisien
sehingga dapat menjamin tercapainya
tingkat pertumbuhan uang beredar sesuai
dengan yang diperlukan untuk mencapai
pertumbuhan
ekonomi
tanpa
mengakibatkan inflasi (Nopirin, 1992:37).
Dengan demikian dinyatakan bahwa bank
__________________________________________
Alamat Korespondensi :
Y uniar Ardila. Mahasiwa Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang
Email : [email protected]
Sapir. Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang
Email : [email protected]
JESP V ol.4, No. 2, 2012
sentral merupakan pemegang otoritas
moneter di Indonesia.
Inflasi di Indonesia sering mengalami
fluktuasi (naik atau turun), naiknya inflasi
di Indonesia terjadi pada pertengahan
tahun 1997. Pada tahun itu Indonesia
mengalami
krisis
moneter
dan
mengakibatkan penurunan perekonomian.
Krisis moneter yang melanda indonesia
diawali dengan terdepresiasinya secara
tajam nilai tukar rupiah terhadap mata
uang asing (terutama dolar Amerika), hal
itu mengakibatkan terjadinya kenaikan
harga barang-barang impor. Karena
kegagalan mengatasi krisis moneter dalam
jangka waktu yang pendek, bahkan
cenderung berlarut-larut, menyebabkan
kenaikan tingkat harga terjadi secara
umum. Akibatnya angka inflasi nasional
melonjak cukup tajam tanpa diimbangi
oleh peningkatan pendapatan masyarakat
yang cenderung semakin merosot. Untuk
mengatasi masalah tersebut maka Bank
Indonesia sebagai pengendali kebijakan
moneter pada tahun 2005 memutuskan
untuk pertama kalinya BI rate ditetapkan
sejak BI mengimplementasikan Inflation
T argeting Framework (ITF). Dengan
mempertimbangkan makro ekonomi dan
inflasi kedepan.
Pada tahun 2008 Indonesia mengalami
krisis global dikarenakan Indonesia
merupakan negara small open economy
sehingga imbas dari krisis finansial global
sangat
mempengaruhi
kondisi
perekonomian dalam negeri. Salah satu
dampak dari krisis finansial global adalah
perlambatan
pertumbuhan
ekonomi.
Sekretariat Kementrian Negara RI (2009)
menyatakan
“pertumbuhan
ekonomi
Indonesia secara keseluruhan tumbuh
mencapai 6,1% pada tahun 2008 atau
sedikit lebih rendah dibandingkan dengan
tahun 2007 sebesar 6,3%”.
Pada saat terjadi krisis global ekspor
Indonesia mengalami penurunan. Inilah
yang menyebabkan terjadinya defisit
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI).
Secara umum, nilai tukar rupiah relatif
stabil sampai pertengahan September
202
2008. Hal ini terutama disebabkan oleh
kinerja transaksi berjalan yang masih
mencatat surplus serta penerapan kebijakan
makroekonomi yang dilakukan secara hatihati. Sejak pertengahan September 2008,
krisis global yang semakin dalam telah
memberi efek depresiasi terhadap mata
uang Indonesia. Sekretariat Kementrian
Negara RI (2009) menyatakan “kurs rupiah
melemah menjadi Rp 11.711,- per USD.
Sehingga pada bulan November 2008
terjadi
depresiasi yang cukup tajam,
karena pada bulan sebelumnya Rupiah
berada di posisi Rp 10.048,- per USD”.
Pada Pemerintahan sekarang, sistem
yang digunakan oleh Indonesia adalah
sistem floating exchange rate atau sistem
nilai tukar mengambang, tetapi dulu
Indonesia juga menggunakan sistem fixed
exchange rate. Dengan diberlakukannya
sistem nilai tukar mengambang, maka nilai
tukar rupiah menjadi bergantung pada
supply dan demand di pasar.
Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas
moneter yang mempunyai independensi
dari pemerintah mempunyai kewajiban
menjaga
stabilitas
moneter
serta
mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang
dapat meminimalisir dampak dari krisis
global. “Kebijakan Bank Indonesia dalam
sektor moneter adalah
mengarahkan
kebijakan pada penurunan tekanan inflasi
yang didorong oleh tingginya permintaan
agregat dan dampak lanjutan dari kenaikan
harga BBM yang sempat mendorong
inflasi mencapai 12,14 persen pada bulan
September 2008. Untuk mengantisipasi
berlanjutnya tekanan inflasi, BI menaikkan
BI rate dari 8 persen secara bertahap
menjadi 9,5 persen pada Oktober 2008.
Dengan kebijakan moneter tersebut maka
ekspektasi inflasi masyarakat tidak
terakselerasi lebih lanjut “(Sekretariat
Negara RI, 26 Mei 2009).
Menurut pendapat sebagian para ahli
ekonomi, biasanya, upah riil tidak
bergantung pada berapa banyak uang yang
dicetak pemerintah. Jika pemerintah
menurunkan inflasi dengan memperlambat
tingkat pertumbuhan uang, para pekerja
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
tidak akan melihat upah riil mereka naik
dengan lebih cepat. Padahal ketika inflasi
melambat, perusahaan akan sedikit
menaikan harga produk mereka setiap
tahun dan, akibatnya, akan memberi para
pekerja kenaikan upah yang lebih kecil
(Mankiw, 2003)
Berdasarkan
penelitian
terdahulu
disebutkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi inflasi di Indonesia adalah
jumlah uang beredar (JUB), nilai tukar,
pengeluaran pemerintah, PDB, dan tingkat
suku bunga SBI. Sementara itu dalam
penelitian ini hanya akan meneliti faktorfaktor jumlah uang beredar, tingkat suku
bunga BI rate, dan nilai tukar rupiah sebagi
faktor yang mempengaruhi inflasi.
Berdasarkan kondisi diatas maka penelitian
ini mengambil judul “Pengaruh Jumlah
Uang Beredar (JUB), Tingkat Suku Bunga
BI rate, dan Nilai Tukar Rupiah Dolar AS
Terhadap Laju Inflasi di Indonesia (Tahun
2007–2011)“
TUJUAN
Adapun tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui pengaruh jumlah
uang beredar (JUB), tingkat suku
bunga BI rate, dan nilai tukar rupiah
dolar-AS terhadap laju inflasi di
Indonesia pada periode tahun 2007–
2011.
2. Untuk mengetahui variabel yang paling
dominan dalam mempengaruhi laju
inflasi di Indonesia pada tahun 20072011.
HIPOTESIS
Adapun hipotesis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
• Hipotesis Pertama : Diduga ada
pengaruh jumlah uang beredar (JUB)
terhadap laju inflasi di Indonesia pada
periode tahun 2007–2011.
• Hipotesis
Kedua : Diduga ada
pengaruh tingkat suku bunga BI rate
terhadap laju inflasi di Indonesia pada
periode tahun 2007–2011.
•
•
Hipotesis Ketiga : Diduga ada
pengaruh nilai tukar rupiah-dollar AS
terhadap laju inflasi di Indonesia pada
periode tahun 2007–2011.
Hipotesis Keempat : Diduga ada
variabel yang paling dominan dalam
mempengaruhi
laju
inflasi
di
Indonesia pada periode tahun 20072011.
KERANGKA TEORITIS
Inflasi
Inflasi merupakan kecenderungan dari
harga–harga untuk menaik secara terus
menerus. Kenaikan dari satu atau dua jenis
barang saja dan tidak menyeret harga
barang lain tidak bisa disebut inflasi.
Kenaikan harga–harga secara musiman
misalnya menjelang lebaran, natal, dan
tahun baru hanya sekali saja, serta tidak
memiliki pengaruh lanjutan tidak bisa
disebut inflasi (Latumaerissa, 2011:22).
Jadi inflasi merupakan suatu gejala yang
tidak diakibatkan karena kenaikan harga
dari satu jenis barang saja melainkan
berbagai jenis barang dan menyeret harga
barang lain dan menaik secara terusmenerus.
Adapun macam-macam inflasi menurut
Latumaerissa (2011:23) adalah sebagai
berikut.
1. Didasarkan atas parah tidaknya inflasi,
inflasi terbagi atas inflasi ringan,
inflasi sedang, inflasi berat, dan hiper
inflasi.
2. Didasarkan pada sebab awal terjadinya
inflasi yang terbagi atas demand pull
inflation dan cost push inflation..
3. Didasarkan pada asal inflasi yang
dibedakan menjadi domestic inflation
dan imported inflation.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS)
pada tanggal 2 Mei 2012, faktor-faktor
yang menentukan naik turunnya inflasi
adalah sebagai berikut.
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi
penawaran barang dan jasa, seperti
tingkat produksi, distribusi dan stock.
Produksi yang berlebih dan distribusi
barang yang lancar seperti terjadi pada
203
JESP V ol.4, No. 2, 2012
musim panen raya akan menyebabkan
kelebihan penawaran barang dipasar
(excess supply) dan harga/inflasi akan
turun, demikian pula sebaliknya.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan barang dan jasa yang
berkaitan dengan daya beli
masyarakat, perilaku, selera dan
jumlah
konsumen.
Perilaku
permintaan konsumen akan barang
dan jasa juga dipengaruhi oleh
faktor
musim,
hari-hari
raya/lebaran dan tahun baru,
3. Kebijakan
fiskal
pemerintah,
kebijakan moneter dan kondisi
perekonomian secara keseluruhan
yang berkaitan langsung maupun
tidak langsung dengan harga
barang dan jasa.
Dari faktor-faktor yang disebutkan
diatas dapat disimpulkan bahwa yang
mempengaruhi naik turunnya inflasi adalah
penawaran barang dan jasa, permintaan
barang dan jasa, kebijakan fiskal
pemerintah dan kebijakan moneter.
Jumlah Uang Beredar (JUB)
Jumlah uang beredar adalah uang
kartal yang beredar diluar Bank Indonesia,
bank-bank umum serta kantor Bendahara
Negara, dan saldo giro atau rekening koran
yang bukan milik bank umum, pemerintah
serta bukan penduduk. Jumlah uang kartal
dan uang giral disebut dengan M1,
sedangkan jumlah uang kartal, uang giral
dan uang kuasi disebut dengan M2
(Nopirin, 1992:174).
Bank sentral (Bank Indonesia)
mengendalikan jumlah uang beredar secara
tidak langsung dengan mengubah basis
moneter maupun rasio deposito-cadangan.
Menurut Mankiw (2003:479) ada tiga
instrumen kebijakan moneter, ketiga
instrumen tersebut adalah operasi pasar
terbuka, pesyaratan cadangan, dan tingkat
diskonto.
1. Operasi pasar terbuka, merupakan
pembelian dan pengajuan obligasi
pemerintah oleh bank sentral. Ketika
bank sentral membeli obligasi dari
204
publik, jumlah uang beredar yang
dibayarkan untuk obligasi itu akan
meningkatkan basis moneter sekaligus
meningkatkan jumlah uang beredar,
dan sebaliknya.
2. Pesyaratan cadangan, adalah peraturan
bank sentral yang menuntut bank
untuk memiliki rasio depositocadangan minimum. Kenaikan dalam
persyaratan
cadangan
akan
meningkatkan
rasio
depositocadangan, menurunkan penganda uang
dan jumlah uang beredar.
3. Tingkat diskonto, adalah tingkat
bunga yang dikenakan bank sentral
ketika memberikan pinjaman kepada
bank.
Tingkat Suku Bunga BI rate
Menurut Siamat (2005:139) “BI rate
adalah suku bunga dengan tenor satu bulan
yang diumumkan oleh Bank Indonesia
secara periodik untuk jangka waktu
tertentu yang berfungsi sebagai sinyal
(stance) kebijakan moneter”.
BI rate digunakan sebagai acuan dalam
operasi moneter untuk mengarahkan agar
rata-rata tertimbang suku bunga SBI-1
bulan hasil lelang OPT berada disekitar BI
rate. Selanjutnya suku bunga SBI-1 bulan
tersebut diharapkan akan mempengaruhi
suku bunga Pasar Uang Antar Bank
(PUAB), suku bunga deposito dan kredit,
serta suku bunga jangka waktu yang lebih
panjang.
Menurut situs Bank Indonesia (BI) ada
3 faktor yang menentukan BI rate. Ketiga
faktor tersebut adalah perkembangan
inflasi, perkembangan nilai tukar, dan
perkembangan kondisi moneter.
1. Perkembangan Inflasi, Bank Indonesia
pada umumnya akan menaikkan BI
rate apabila inflasi ke depan
diperkirakan melampaui sasaran yang
telah ditetapkan, dan sebaliknya.
2. Perkembangan Nilai Tukar, Kenaikan
BI rate, akan mendorong kenaikan
selisih antara suku bunga di Indonesia
dengan suku bunga luar negeri. Hal
tersebut mendorong investor asing
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
untuk menanamkan modal ke dalam
instrument-instrumen keuangan di
Indonesia, dan akan mendorong
apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi
Rupiah mengakibatkan harga barang
impor lebih murah dan barang ekspor
kita di luar negeri menjadi lebih mahal
atau kurang kompetitif.
3. Perkembangan
kondisi
moneter
(jumlah uang beredar, likuiditas
perbankan dsb), Jika jumlah uang
beredar di masyarakat meningkat lebih
banyak maka Bank Indonesia akan
menaikan suku bunga BI rate untuk
menekan jumlah uang beredar
tersebut.
Nilai T ukar Rupiah
Mankiw
(2003:123)
mengatakan
bahwa “kurs (exchange rate) antara dua
negara adalah tingkat harga yang
disepakati penduduk kedua negara untuk
saling melakukan perdagangan”.
Menurut Sukirno (2011:402) ada 5
faktor yang mempengaruhi nilai tukar,
selanjutnya kelima faktor tersebut akan
dijelaskan sebagai berikut.
1. Perubahan dalam citarasa masyarakat,
Citarasa masyarakat mempengaruhi
corak konsumsi mereka. Perbaikan
kualitas barang-barang dalam negeri
menyebabkan keinginan mengimpor
berkurang dan dapat juga menaikan
ekspor, dan sebaliknya. Perubahanperubahan ini akan mempengaruhi
permintaan dan penawaran valuta
asing.
2. Perubahan harga barang ekspor dan
impor., Harga
sesuatu
barang
merupakan salah satu faktor penting
yang menentukan apakah sesuatu
barang akan diimpor atau diekspor.
Dengan demikian perubahan harga
barang-barang ekspor dan impor akan
menyebabkan
perubahan
dan
penawaran dalam permintaan keatas
mata uang negara tersebut.
3. Kenaikan harga umum (inflasi).,
Inflasi sangat besar pengaruhnya
kepada kurs pertukaran valuta asing.
Inflasi yang berlaku pada umumnya
cenderung untuk menurunkan nilai
sesuatu valuta asing.
4. Perubahan suku bunga dan tingkat
pengembalian investasi., Suku bunga
dan tingkat pengembalian investasi
sangat penting peranannya dalam
mempengaruhi aliran modal. Suku
bunga dan tingkat pengembalian
investasi yang rendah cenderung akan
menyebabkan modal dalam negeri
mengalir keluar negeri.
5. Pertumbuhan ekonomi., Efek yang
akan diakibatkan oleh sesuatu
kemajuan ekonomi kepada nilai mata
uangnya tergantung pada corak
pertumbuhan ekonomi yang berlaku.
Penelitian Sebelumnya
Penelitian mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi laju inflasi di Indonesia
pernah dilakukan oleh Lutfi dan Hidayat
(2002), menunjukan bahwa jumlah uang
beredar berpengaruh terhadap laju inflasi,
sedangkan
kurs
dan
pengeluaran
pemerintah tidak berpengaruh terhadap
laju
inflasi.
Penelitian
selanjutnya
dilakukan juga oleh Sasana (2004) yang
didapat hasil bahwa jumlah uang beredar
dan nilai tukar mempunyai hubungan
positif dan berpengaruh terhadap tingkat
inflasi di Indonesia. Pendapatan nasional
dan tingkat suku bunga mempunyai
hubungan negatif dan berpengaruh
terhadap tingkat inflasi di Indonesia.
METODE PENELITIAN
Pemilihan teknik analisis data yang
tepat dan sesuai dengan jenis data yang
telah dikumpulkan akan mampu menjawab
rumusan masalah dan hipotesis penelitian
yang telah ditentukan. Untuk menguji
hipotesis tentang bagaimana kekuatan
variabel indipenden jumlah uang beredar
(JUB), tingkat suku bunga BI rate, dan
nilai tukar rupiah dolar AS terhadap laju
inflasi di Indonesia. Penelitian ini
menggunakan teknik analisis regresi linier
berganda (multiple regression analysis
model ) atau persamaan kuadarat terkecil
205
JESP V ol.4, No. 2, 2012
(Ordinary least Square) dengan model
dasar sebagai berikut.
Y=a+b1X1+b2X2+b3X3+e
Dimana :
Y = Laju Inflasi
X1= Jumlah uang beredar (JUB)
X2 = Suku Bunga BI rate
X3 = Nilai Tukar Rupiah Dolar AS
b = koefisien garis regresi
a = bilangan konstanta
e = error
Adapun teknik untuk menganalisis
yang akan dilakukan untuk melakukan
regresi linier berganda pada penelitian ini
diggunakan progam Statistical Package
Social Sciences (SPSS) 16.0. Agar model
tersebut memberikan hasil estimasi yang
terbaik atau BLUE (Best Linier Unbiased
Estimator) maka model harus memenuhi
regresi linier klasik, yaitu tidak terjadi
gejala multikolinieritas, autokorelasi, dan
heterokedastisitas. Setelah model yang
diajukan bersifat BLUE, maka untuk
mencapai tujuan penelitian pertama perlu
dilakukan ters statistic meliputi R-square,
F-test dan T-test.
Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder yang
telah diolah dan dikumpulkan serta
dipublikasikan kepada masyarakat luas.
Sumber data diperoleh dari website Bank
Indonesia (BI) dalam bentuk Statistik
Ekonomi Keuangan Indonesia yaitu
www.bi.go.id.
HASIL PENELITIAN
T abel 1 Model Analisis Regresi
a
Coefficients
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
Model
B
Std. Error
Beta
1
(Constant) -2.568
.697
X1
5.80E-007
.000
.562
X2
.458
.056
1.187
X3
-2.5E-005
.000
-.050
t
-3.685
4.076
8.236
-.565
Sig.
.001
.000
.000
.574
Collinearity Statistics
T olerance
VIF
.352
.322
.855
2.845
3.107
1.170
a. Dependent Variable: ln_y
Berdasarkan Tabel 1 didapatkan bahwa
model regresi yang terbentuk antara
jumlah uang beredar (JUB), BI rate, nilai
tukar rupiah dollar AS terhadap inflasi
adalah sebagai berikut.
ln_y
= -2.568 + 0.562X1 + 1.187X2 0.050X3
Dimana:
Y = Laju Inflasi
X1= Jumlah Uang Beredar (JUB)
X2 = Suku Bunga BI rate
X3= Nilai Tukar Rupiah Dolar AS
206
Uji Hipotesis Simultan (Uji F)
Pengujian secara simultan dilakukan
untuk menunjukkan apakah variabel
penjelas secara bersama-sama berpengaruh
signifikan terhadap laju inflasi (Y). Semua
variabel tersebut diuji secara serentak
dengan menggunakan uji F atau ANOV A.
Dengan menggunakan bantuan software
SPSS 16, didapatkan hasil uji hipotesis
simultan dengan menggunakan uji F
adalah sebagai berikut.
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
T abel 2 Uji Hipotesis Model Regresi Secara Simultan
b
ANOVA
Sum of
Model
Squares
1
Regression
6.398
Residual
3.828
T otal
10.226
df
Mean Square
3
2.133
56
.068
59
F
31.200
Sig.
.000a
a. Predictors: (Constant), X3, X1, X2
b. Dependent Variable: ln_y
Dari tabel diatas maka diperoleh F hitung = 31.2, p-value = 0.000, F tabel = 2.7694, α = 0.05
Tabel 2 menunjukkan pengujian hipotesis
model
regresi
secara
simultan
Uji Hipotesis Parsial (Uji t)
menggunakan uji F. Jika nilai F hasil
Pengujian model regresi secara parsial
penghitungan pada tabel 2 dibandingkan
digunakan untuk mengetahui apakah
dengan
Ftabel,
maka
Fhitung
hasil
masing-masing variabel jumlah uang
penghitungan lebih daripada Ftabel (31.2 >
beredar, suku bunga BI rate, dan kurs
2.7694). Selain itu, pada tabel 2 juga
secara individu memiliki pengaruh yang
didapatkan p-value sebesar 0.000. Jika psignifikan terhadap laju inflasi. Untuk
value dibandingkan dengan α = 0.05 maka
menguji pengaruh tersebut digunakan uji t,
p-value kurang dari α = 0.05. Dari kedua
p-value dengan α . V ariabel penjelas
perbandingan tersebut dapat diambil
pembentuk model regresi dikatakan
keputusan H0 ditolak pada taraf α = 0.05.
berpengaruh signifikan jika p-value<α =
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
0.05. Pengujian model regresi secara
terdapat pengaruh secara simultan antara
parsial adalah sebagai berikut.
jumlah uang beredar, suku bunga BI rate,
dan kurs terhadap laju inflasi.
Tabel 3 Uji Parsial
a
Coefficients
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
Model
B
Std. Error
Beta
1
(Constant) -2.568
.697
X1
5.80E-007
.000
.562
X2
.458
.056
1.187
X3
-2.5E-005
.000
-.050
t
-3.685
4.076
8.236
-.565
Sig.
.001
.000
.000
.574
Collinearity Statistics
T olerance
VIF
.352
.322
.855
2.845
3.107
1.170
a. Dependent Variable: ln_y
Interpretasi dari Tabel 3 adalah sebagai
berikut.
1. Koefisien regresi untuk variabel
jumlah uang beredar (X1) sebesar
0.562. Nilai probabilitas-t sebesar
0.000146. Berdasarkan perbandingan
probabilitas t dengan alpha 5%
didapatkan bahwa probabilitas t <
207
JESP V ol.4, No. 2, 2012
alpha 0.05 (0.00014 < 0.05) maka
dapat diambil keputusan pengujian
adalah Ho ditolak. Hal ini berarti
jumlah uang beredar berpengaruh
terhadap laju inflasi. Jadi setiap
kenaikan jumlah uang beredar sebesar
1 milyar rupiah maka presentase
kenaikan laju inflasi adalah sebesar
0.562 persen.
2. Koefisien regresi untuk variabel suku
bunga BI rate sebesar 1.187. Nilai
probabilitas-t
sebesar
0.0000000000316.
Berdasarkan
perbandingan probabilitas t dengan
alpha
5%
didapatkan
bahwa
probabilitas t < alpha 0.05 (0.000 <
0.05) maka dapat diambil keputusan
pengujian adalah Ho ditolak. Hal ini
berarti
suku
bunga
BI
rate
berpengaruh terhadap laju inflasi
dengan tingkat kesalahan 5%. Jadi
setiap kenaikan 1% suku bunga BI rate
maka persentase kenaikan laju inflasi
adalah sebesar 1.187 persen.
3. Koefisien regresi untuk variabel kurs
dolar AS sebesar -0.050. Nilai t hitung
sebesar
0.5648,
dengan
nilai
probabilitas-t
sebesar
0.574.
Berdasarkan
perbandingan
probabilitas t dengan alpha 5%
didapatkan bahwa probabilitas t (0.574
> 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa
Ho diterima yang berarti bahwa tidak
terdapat pengaruh antara kurs dollar
AS dengan laju inflasi. Jadi setiap
penurunan 1 ribu rupiah maka hal
tersebut tidak berpengaruh terhadap
persentase kenaikan laju inflasi.
PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian didapatkan jumlah
uang beredar (X1) mempunyai pengaruh
signifikan yang positif terhadap inflasi,
jadi jika jumlah uang beredar meningkat
maka inflasi di Indonesia juga akan
meningkat. Ini berarti terdapat korelasi
positif antara pertumbuhan uang (JUB) dan
inflasi, yang dapat dijadikan prediksi teori
kuantitas,
yaitu
kenaikan
tingkat
pertumbuhan uang sebesar 1 persen akan
208
menyebabkan kenaikan 1 persen dalam
tingkat inflasi.
Pada tahun penelitian jumlah uang
beredar mengalami peningkatan dari tahun
ketahun meskipun kadang juga mengalami
penurunan. Selanjutnya pada tahun 2010
bank Indonesia mencatat penggunaan uang
kartal oleh masyarakat menunjukkan
peningkatan. Hal tersebut tecermin dalam
indikator pengedaran uang seperti jumlah
uang beredar dan aliran uang kartal yang
keluar dari BI ke perbankan dan
masyarakat (net outflow). Berdasarkan data
Bank Indonesia
dinyatakan bahwa
sepanjang tahun 2010 pertumbuhan jumlah
uang beredar meningkat dari pertumbuhan
rata-rata jumlah uang beredar tahun 2009.
Hal tersebut sejalan dengan peningkatan
inflasi dari tahun 2009 ke tahun 2010.
Untuk mencegah meningkatnya inflasi,
JUB yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia harus sesuai dengan kebutuhan
(permintaan) agregat.
Tingkat suku bunga BI rate juga
mempunyai pengaruh yang signifikan
positif terhadap laju inflasi di Indonesia.
Pada saat tahun penelitian antara tahun
2007 sampai dengan 2011 di Indonesia
terjadi krisis global yang terjadi pada tahun
2008. Dalam keadaan yang demikian Bank
Indonesia menentukan kebijakan dengan
menaikan suku bunga BI rate dan hal
tersebut justru akan meningkatkan inflasi
dari pada bulan sebelumnya padahal pada
saat itu keaadaan inflasinya sudah tinggi,
maka sebaiknya jika inflasi di Indonesia
tinggi, suku bunga BI rate diturunkan
untuk menurunkan inflasi.
Dengan
kebijakan pemerintah menurunkan suku
bunga BI rate diharapkan dapat
mengarahkan rata-rata suku bunga SBI-1
bulan hasil lelang OPT berada di sekitar BI
rate dan selanjutnya dapat mendorong
pihak perbankan untuk menurunkan
tingkat suku bunga lainya seperti tingkat
suku bunga kredit, deposito, serta suku
bunga jangka waktu yang lebih panjang.
Seiring dengan penurunan tingkat suku
bunga kredit maka pengusaha akan tertarik
meminjam uang kepada perbankan untuk
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
memperoleh dana. Dengan dana tersebut
mereka dapat menambah alat produksinya
sehingga hal itu bisa menurunkan harga
barang hasil produksi di pasar selanjutnya
akan menurunkan tingkat inflasi.
Dengan demikian penyaluran kredit
dan kegiatan investasi di sektor riil juga
meningkat, untuk selanjutnya dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Tetapi menurut Gubernur Bank Indonesia
kenaikan BI rate menjadi 8,50 % pada
tahun 2008 saat itu setelah mencermati
perkembangan ekonomi global dan
domestik akibat melambungnya harga
minyak dunia dan harga komoditas pangan
dipasaran internasioal, serta kebijakan
pemerintah menaikan harga BBM 28,7 %.
Sedangkan pada penelitian ini nilai
tukar rupiah dolar-AS tidak berpengaruh
signifikan terhadap inflasi di Indonesia
pada periode tahun 2007-2011. Hal ini
terjadi karena selama periode penelitian
nilai tukar rupiah dolar-AS memiliki
kecenderungan stabil. Stabilnya nilai tukar
rupiah dolar-AS dikarenakan dipengaruhi
oleh cadangan devisa Indonesia yang
tinggi karena
membaiknya kinerja
investasi penanaman modal asing. Selain
itu, juga dikontribusi oleh suku bunga
acuan (BI rate) yang semakin 'favorable'.
Kondisi nilai tukar rupiah sudah semakin
membaik sejak tahun 2008. Disamping itu,
kestabilan perekonomian nasional ikut
dipengaruhi juga oleh prestasi Indonesia
yang bisa mempertahankan neraca
perdagangannya secara positif di tengah
penurunan harga berbagai komoditas di
pasar internasional. Sejalan dengan
meningkatnya perekonomian domestik
dan ketahanan sektor riil dalam
menghadapi krisis keuangan global juga
mendorong stabilitas nilai tukar rupiah.
Stabilnya nilai tukar rupiah dolar-AS
pada
periode
penelitian
membuat
pengaruhnya terhadap laju inflasi tidak
signifikan. Karena ketika nilai tukar rupiah
dolar-AS stabil maka akan mendorong
pertumbuhan investasi dan produksi yang
pada akhirnya akan menekan laju inflasi.
Diantara tiga variabel yang diteliti
didapatkan bahwa variabel yang paling
dominan dalam mempengaruhi laju inflasi
di Indonesia yaitu variabel suku bunga BI
rate. Hal itu dikarenakan pada periode
penelitian ketika Bank Sentral menentukan
kebijakan menaikan suku bunga BI rate
dari pada bulan sebelumnya maka teryata
laju inflasi di Indonesia juga meningkat
secara proporsional.
Tujuan dari kebijakan moneter sendiri
yaitu untuk stabilisasi ekonomi yang dapat
diukur
dengan
kesempatan
kerja,
kestabilan harga, dll. Berkaitan dengan
kebijakan moneter dan dalam rangka
menciptakan kestabilan perekonomian,
maka Bank sentral memiliki peran dalam
memelihara sistem moneter agar bekerja
secara efisien sehingga dapat menjamin
tercapainya tingkat pertumbuhan uang
beredar sesuai dengan yang diperlukan
untuk mencapai pertumbuhan ekonomi
tanpa mengakibatkan inflasi. Otoritas
moneter mengangap bahwa faktor-faktor
seperti jumlah uang beredar, tingkat suku
bunga BI rate, dan nilai tukar rupiah dolarAS sebagai faktor dominan penyebab
utama inflasi di Indonesia.
KESIMPULAN
Secara keseluruhan dari penelitian ini
didapatkan bahwa jumlah uang beredar
berpengaruh positif terhadap laju inflasi di
Indonesia. Ini berarti terdapat korelasi
positif antara pertumbuhan uang (JUB) dan
inflasi, jika jumlah uang beredar naik maka
inflasi akan naik secara proporsional, dan
dapat dijadikan prediksi teori kuantitas,
yaitu kenaikan tingkat pertumbuhan uang
sebesar 1 persen akan menyebabkan
kenaikan 1 persen dalam tingkat inflasi.
Tingkat suku bunga BI rate berpengaruh
positif terhadap laju inflasi di Indonesia.
Kebijakan pemerintah menurunkan suku
bunga BI rate diharapkan dapat
mengarahkan rata-rata suku bunga SBI-1
bulan hasil lelang OPT berada di sekitar BI
rate dan selanjutnya dapat mendorong
pihak perbankan untuk menurunkan
tingkat suku bunga lainya seperti tingkat
209
JESP V ol.4, No. 2, 2012
suku bunga kredit, deposito, serta suku
bunga jangka waktu yang lebih panjang.
Seiring dengan penurunan tingkat suku
bunga kredit maka pengusaha akan tertarik
meminjam uang kepada perbankan untuk
memperoleh dana. Dengan dana tersebut
mereka dapat menambah alat produksinya
sehingga hal itu bisa menurunkan harga
barang hasil produksi di pasar selanjutnya
akan menurunkan tingkat inflasi. Nilai
tukar rupiah dolar-AS tidak berpengaruh
terhadap laju inflasi di Indonesia. Hal ini
terjadi karena selama periode penelitian
nilai tukar rupiah dolar-AS memiliki
kecenderungan stabil.
Dari ketiga variabel yang diteliti
didapatkan bahwa variabel yang paling
dominan dalam mempengaruhi laju inflasi
di Indonesia yaitu variabel suku bunga BI
rate.
210
SARAN
Kebijakan Bank Indonesia menentukan
suku bunga BI rate yang tinggi akan
mempengaruhi suku bunga SBI dan suku
bunga lainya dalam PAUB dan akan
berdampak pada tingginya biaya produksi
karena investasi dan penyaluran kredit
menurun dan masyarakat cenderung
menabung. Tingginya biaya produksi akan
mengakibatkan
harga barang hasil
produksi di masyarakat meningkat,
sehingga pada akhirnya akan mendorong
laju inflasi ketingkat yang lebih tinggi.
Untuk itu Bank Indonesia sebagai otoritas
moneter sebaiknya harus berhati-hati
meningkatkan suku bunga BI rate dalam
upaya menekan laju inflasi di Indonesia.
Bank Indonesia dalam pencetakan uang
baru juga sebaiknya lebih berhati-hati
karena pada saat Bank Indonesia mencetak
uang untuk meningkatkan kualitas uang
yang beredar dimasyarakat hal tersebut
juga akan meningkatkan laju inflasi jika
percetakan tersebut tidak sesuai dengan
kebutuhan (permintaan) agregat.
Bagi peneliti selanjutnya sebaiknya
mengembangkan variabel lain selain
kebijakan moneter sebagai variabel yang
dapat mempengaruhi laju inflasi di
Indonesia.
Disamping
itu
peneliti
selanjutnya
disarankan
untuk
menggunakan metode analisis yang
berbeda dari penelitian ini seperti ECM,
PAM, atau alat analisis yang lain sehingga
bisa mengembangkan penelitian ini.
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
DAFTAR RUJUKAN
Adrianus, Fery & Amelia Nico. 2006.
Analisa
Faktor-Faktor
Yang
Mempengaruhi Inflasi di Indonesia
Periode 1997:3-2005:2. Jurnal
Ekonomi Pembangunan V ol.11
No.2,
173-186,
(http://journal.uii.ac.id, diakses 6
september 2012)
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur
Penelitian
Suatu
Pendekatan
Praktek. Jakarta : PT Rineke Cipta.
Aryawan, I Made Gitra. 2009. Pengaruh
JUB dan PDB T erhadap Laju
Inflasi di Indonesia T ahun 2002007. Majalah Ilmiah Untab V ol.6
No.1,
84-99,
(http://isjd.pdii.lipi.go.id, diakses 8
september 2012)
Badan Pusat Statstik. 2012. (online),
(http://kepri.bps.go.id, diakses 24
september 2012)
Bank
Indonesia.
2012.
(online),
(http://www.bi.go.id, diakses 20
agustus 2012)
Gujarati, Damonar N. 2006. Dasar-Dasar
Ekonometrika. Edisi ke-3. Jakarta :
Erlangga.
Julita. 2005. Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Laju Inflasi di
Sumatera Utara. Skripsi tidak di
terbitkan
(online),
(http://repository.usu.ac.id, diakses
22 agustus 2012).
Kasmir. 2000. Manajemen Perbankan.
Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Latumaerissa, Julius R. 2011. Bank dan
Lembaga Keuangan Lain. Jakarta:
Salemba Empat.
Lutfi, Muslich & Anom Hidayat. 2002.
Analisis Faktor-Faktor Jumlah
Uang
Beredar ,
Kurs
dan
Pengeluaran Pemerintah Yang
Mempengaruhi Inflasi di Indonesia.
Jurnal Ekonomi
Pembangunan,
(online), (http://isjd.pdii.lipi.go.id,
diakses 25 agustus 2012)
Mankiw, N Gregory. 2003. Teori Makro
Ekonomi. Edisi ke – 5. Terjemahan
oleh Imam Nurmawan. 2003.
Jakarta : Erlangga.
Metrotv.
Ekonomi.
(online),
(http://www.metrotvnews.com,
diakses 8 september 2012)
Mishkin, Frederic S.2008. Ekonomi Uang,
Perbankan, dan Pasar Keuangan.
Edisi ke-8. Terjermahan oleh Lana
Soelistyaningsih & Beta Y ulianita.
2008. Jakrta : Salemba Empat.
Nopirin. 1992. Ekonomi Moneter. Buku 1
Edisi ke-4. Yogyakarta : BPFE.
Nopirin. 1987. Ekonomi Moneter. Buku 2
Edisi ke-1. Yogyakarta : BPFE.
Pattipawae, Daniel. 2009. Analisa FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Inflasi
di Indonesia Dalam Jangka
Pendek. (online), (http://danielpattipawae.blogspot.com, diakses 8
september 2012)
Pranowo, Bambang & Dwi Wulandari.
2009. Buku Ajar Ekonomi Moneter.
Malang : Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Malang.
Sasana, Hadi.2004. Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Inflasi
di Indonesia dan Filipina. Jurnal
Bisnis dan Ekonomi. V ol. 11, No.2,
207-270,
(http://idtesis.multiply.com, diakses
6 september 2012).
Sekretariat Negara Republik Indonesia.
2012. Perekonomian Indonesia
Tahun 2008 Tengah Krisis
Keuangan
Global.
(online),
(http://www.setneg.go.id, diakses 8
september 2012)
Siamat, Dahlan. 2005. Manajemen
Lembaga Keuangan. Buku Edisi
ke-5. Jakarta : FE UI.
211
JESP V ol.4, No. 2, 2012
Sugiono. 2002. Statistika untuk Penelitian.
Bandung : Penerbit CV Alfabeta.
Sugiono. 2010. Metode Penelitian Bisnis.
Bandung : Penerbit CV Alfabeta.
Sukirno, Sadono. 2011. Makro Ekonomi,
T eori Pengantar. Edisi 3. Jakarta :
PT Raja Gravindo Persada.
212
Sumarsono, Hadi. 2009. Buku Ajar Mata
Kuliah Ekonometrika. Malang :
Fakultas Ekonomi Universitas
Negeri Malang.
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR), Return On Asset (ROA)
Dan Loan To Deposit Ratio (LDR) Terhadap Harga Saham Bank
Pemerintah Di Indonesia Periode 2004-2011
Ferik Vidyatama
Mardhono
Abstract
This study aimed to determine the effect of the Capital Adequacy Ratio (CAR), Return on
Assets (ROA), and Loan to Deposit Ratio (LDR) to the government bank stock prices in
Indonesia from 2004 to 2011 period. This type of research is quantitative research, data
collection techniques using technical documentation, documents used are the financial
statements of the Bank Indonesia (BI) and list the stock price of the Dunia Investasi.
Furthermore, the data used is panel data. Analytical techniques used in this study are panel
data regression. The results of this study indicate that the Return on Assets (ROA) significant
positive effect on the stock price if the ROA higher stock prices will also be higher . And Loan
to Deposit Ratio (LDR) has a significant positive effect on stock prices is if the higher LDR
(within healthy limits) then the share price will also be higher . While the Capital Adequacy
Ratio (CAR) showed Ho is accepted which means that there is no significant effect between
the CAR with the stock price.
Keywords: Stock Price, Capital Adequacy Ratio (CAR), Return on Assets (ROA), Loan to
Deposit Ratio (LDR
Peranan bank dalam perekonomian
sangat vital. Seperti dijelaskan dalam Pasal
1 UU No. 10 Tahun 1998 tentang
perbankan dapat dikelompokan menjadi
dua jenis kegiatan, yaitu penghimpunan
dana dan penyaluran dana. Para ekonom
biasanya melihat bank sebagai perantara
yang berfungsi menyalurkan dana dari
investor individual untuk perusahaan
dengan peluang produktivitas investasi.
Investasi adalah bentuk pengelolaan
dana guna memberikan keuntungan dengan
cara menempatkan dana pada lokasi yang
diperkirakan akan memberikan tambahan
keuntungan. Investasi juga dikenal dengan
istilah
penanaman
modal.
Konsep
penanaman
modal
ini
sebenarnya
merupakan salah satu bentuk yang sering
dikampanyekan oleh pemerintah dalam
rangka menarik minat investor baik
domestic maupun internasional. Menurut
Halim (2005:4), untuk melakukan investasi
dipasar modal diperlukan pengetahuan
yang cukup, pengalaman serta naluri bisnis
untuk menganalisis efek-efek mana yang
akan dibeli, mana yang akan dijual dan
mana yang tetap dimiliki. Sebagai investor
harus rasional dalam menghadapi pasar
jual beli saham. Selain itu, investor harus
mempunyai ketajaman perkiraan masa
depan perusahaan yang sahamnya akan
dibeli atau dijual.
Investasi pada pasar modal adalah
investasi yang bersifat jangka pendek. Ini
dilihat pada return yang diukur dengan
capital gain. Bagi para spekulator yang
__________________________________________
Alamat Korespondensi :
Ferik Vidyatama, Mahasiswa Jur. Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang
Email : [email protected]
Mardhono, Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Universitas Negeri Malang
Email: [email protected]
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
menyukai capital gain, maka pasar modal
akan menjadi tempat yang menarik, sebab
investor bisa membeli pada saat harga
turun dan menjual kembali saat harga naik.
Selisih yang dilihat secara abnormalreturn
itulah yang akan dihitung keuntungannya.
Laporan keuangan suatu perbankan
merupakan gambaran yang menjelaskan
tentang kondisi keuangan suatu bank
tersebut. Disinilah bagian yang paling
banyak dilihat oleh investor dalam rangka
mengatahui kondisi suatu bank itu sehat
atau tidak. Analisis yang dilakukan oleh
investor dalam menempatkan dananya
dalam bentuk saham ada beberapa metode.
Didalam penelitian ini akan digunakan
rasio keuangan. Rasio keuangan ini sangat
penting gunanya untuk melakukan analisis
terhadap kondisi keuangan perusahaan.
Menurut Fahmi (2006:51), bagi investor
jangka pendek dan menengah pada
umumnya lebih banyak tertarik kepada
kondisi keuangan jangka pendek dan
kemampuan perusahaan untuk membayar
dividen yang memadai. Rasio keuangan
juga memungkinkan manager keuangan
memperkirakan reaksi kreditur dan
investor dalam memperkirakan bagaimana
memperoleh kebutuhan dana.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian
ini ingin mengetahui pergerakan harga
saham Bank Pemerintah di Indonesia yang
diukur dengan menggunakan rasio
keuangan CAR, ROA, dan LDR selama
periode delapan tahun terakhir yaitu
periode 2004 sampai tahun 2011. Dan juga
dengan menggunakan rasio–rasio tersebut
maka akan dapat diketahui kelebihan dan
kelemahan yang dimiliki masing-masing
perusahaan perbankan milik pemerintah di
Indonesia , sehingga akan menjadi suatu
informasi yang sangat berharga bagi
pihak–pihak yang berkepentingan.
TUJUAN
1. Ingin mengetahui bagaimana pengaruh
antara
variabel
CAR
(Capital
Adequacy Ratio) terhadap harga
saham bank pemerintah di Indonesia
periode 2004–2011
214
2.
3.
4.
5.
Ingin mengetahui bagaimana pengaruh
antara variabel ROA (Return On
Asset) terhadap harga saham bank
pemerintah di Indonesia periode 20042011
Ingin mengetahui bagaimana pengaruh
antara variabel LDR (Loan to Deposit
Ratio) terhadap harga saham bank
pemerintah di Indonesia periode 2004
–2011
Ingin mengetahui bagaimana pengaruh
antara variabel CAR, ROA dan LDR
secara simultan terhadap harga saham
bank pemerintah di Indonesia periode
2004-2011
Ingin mengetahui variabel manakah
yang berpengaruh antara variabel
CAR, ROA dan LDR terhadap harga
saham bank pemerintah di Indonesia
periode 2004-2011
HIPOTESIS
H1 : Capital Adequacy Ratio (CAR)
berpengaruh
positif
signifikan
terhadap harga saham pada bank
H2 : Return On Asset (ROA) berpengaruh
positif signifikan terhadap harga
saham pada bank
H3 : Loan to Deposit Ratio (LDR)
berpengaruh
positif
signifikan
terhadap harga saham pada bank
H4 : CAR, ROA dan LDR secara simultan
berpengaruh signifikan terhadap harga
saham pada bank
H5 : Diantara variabel CAR, ROA dan
LDR terdapat salah satu variabel yang
paling berpengaruh terhadap harga
saham pada bank
KAJIAN TEORI
Capital Adequacy Ratio (CAR)
CAR
adalah
rasio
yang
memperlihatkan seberapa jauh seluruh
aktiva bank yang mengandung resiko
(kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan
pada bank lain) ikut dibiayai dari dana
modal
sendiri
bank,
disamping
memperoleh dana – dana dari sumber –
sumber di luar bank, seperti dana
masyarakat, pinjaman (utang) dan lain –
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
lain. Dengan kata lain, Capital Adequacy
Ratio adalah rasio kinerja bank untuk
mengukur kecukupan modal yang dimiliki
bank untuk menunjang aktiva yang
mengandung atau menghasilkan resiko,
misalnya
kredit
yang
diberikan
(Dendawijaya,2005:121).
CAR = Modal Bank X 100% /Aktiva
Tertimbang Menurut Resiko
(A TMR)
Menurut Siamat (2005:287), ketentuan
permodalan minimum bank disebut
Capital
Adequacy
Ratio
(CAR).
Penggunaan modal bank dimaksudkan
untuk memenuhi segala kebutuhan guna
menunjang kegiatan operasi bank. Modal
merupakan faktor penting dalam upaya
mengembangkan usaha bank. Kewajiban
penyediaan modal minimum atau Capital
Adequancy Ratio tersebut pada dasanya
suatu ukuran modal yang diharapkan dapat
menjamin bahwa bank yang beroperasi
secara internasional maupun nasional akan
beroperasi secara baik atau prudent
(Taswan,2006:79).
Return On Asset (ROA)
Rasio ini digunakan untuk mengukur
kemampuan manajemen bank dalam
memperoleh keuntungan (laba) secara
keseluruhan. Semakin besar ROA suatu
bank, semakin besar pula keuntungan yang
dicapai bank tersebut dan semakin baik
pula posisi bank tersebut dari segi
penggunaan
asset
(Dendawijaya,2005:118).
ROA = Laba sebelum pajak X 100%
/ Total aktiva
Menurut Siamat (2005:290), rasio ini
memberikan informasi seberapa efisien
suatu bank dalam melakukan kegiatan
usahanya,
karena
rasio
ini
mengindikasikan
seberapa
besar
keuntungan yang dapat diperoleh rata –
rata terhadap setiap rupiah asetnya.
Sedangkan menurut Bank Indonesia, ROA
merupakan perbandingan antara laba
sebelum pajak dengan rata-rata total aset
dalam suatu periode. Semakin besar ROA
menunjukan kinerja perusahaan semakin
baik, karena return semakin besar. Rasio
ini sangat penting, mengingat keuntungan
yang diperoleh dari penggunaan aset dapat
mencerminkan tingkat efisiensi usaha
suatu bank. Dalam kerangka penilaian
kesehatan bank, BI akan memberikan skor
maksimal 100 (sehat) apabila bank
memiliki ROA > 1,5%.
Loan to Deposit Ratio (LDR)
LDR adalah rasio antara seluruh
jumlah kredit yang diberikan bank dengan
dana yang diterima oleh bank. rasio ini
dapat dirumuskan sebagai berikut.
LDR = Jumlah Kredit Y ang
Diberikan X 100% / Total DPK
Loan to deposit ratio tersebut
menyatakan seberapa jauh kemampuan
bank dalam membayar kembali penarikan
dana yang dilakukan deposan dengan
mengandalkan kredit yang diberikan
sebagai sumber likuiditasnya. Tinggi
rendahnya LDR akan mempengaruhi harga
saham. Semakin tinggi rasio tersebut
memberikan indikasi semakin rendahnya
kemampuan
likuiditas
bank
yang
bersangkutan. Hal ini disebabkan karena
jumlah dana yang digunakan untuk
membiayai kredit menjadi lebih besar. Jika
likuiditasnya rendah maka hal tersebut
akan
berdampak
pada
hilangnya
kepercayaan konsumen terhadap bank
tersebut (Dendawijaya,2005:116).
Bank Indonesia menetapkan ketentuan
untuk menilai tingkat kesehatan bank,
sebagai berikut.
1. Untuk rasio LDR sebesar 110% atau
lebih diberi nilai kredit 0, artinya
likuiditas bank tersebut dilinai tidak
sehat.
2. Untuk rasio LDR dibawah 110%
diberi nilai kredit 100, artinya
likuiditas bank tersebut dinilai sehat.
Harga Saham
215
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Menurut Halim (2005:12), Saham
sebagai bukti kepemilikan perusahaan
merupakan surat berharga atau efek yang
diterbitkan oleh perusahaan yang terdaftar
di bursa (go public). Fluktuasi harga saham
ditentukan oleh kemampuan perusahaan
dalam memperoleh laba. Apabila laba yang
diperoleh perusahaan tinggi, maka
kemungkinan besar bahwa dividen yang
dibayarkan juga relatif tinggi. Apabila
dividen yang dibayarkan relatif tinggi,
akan berpengaruh positif terhadap harga
saham di bursa, dan investor akan tertarik
untuk membelinya. Investasi di pasar
modal, investor harus benar – benar
menyadari bahwa di samping akan
memperoleh keuntungan tetapi juga
kemungkinan akan mengalami kerugian.
Keuntungan atau kerugian tersebut sangat
dipengaruhi oleh kemampuan investor
menganalisis keadaan harga saham dan
kemungkinan naik turunnya harga di bursa.
Bermain di pasar modal bukan jaminan
untuk para investor mendapatkan capital
gain (selisih harga beli saham dan harga
jual saham), tetapi bisa saja investor akan
mendapatkan
capital
loss
(Siamat,2005:514).
PENELITIAN TERDAHULU
Penelitian dilakukan oleh Risky
Christian Syauta & Indra Widjaja pada
tahun 2009 yang berjudul Analisis
Pengaruh Rasio ROA, LDR, NIM DAN
NPL Terhadap Abnormal Return Saham
Perbankan di Indonesia Pada Periode
Sekitar Pengumuman Subprime Mortage.
Hasil penelitian ini adalah variabel ROA
dan NPL memiliki pengaruh terhadap
return
saham
dikarenakan karena
profitabilitas (ROA) perbankan yang
mengalami gangguan yang diakibatkan
oleh kasus subprime mortgage di US dan
karena
likuiditas
perbankan
yang
mengalami gangguan yang diakibatkan
oleh kasus subprime mortgage di US.
V ariabel LDR dan NIM tidak memiliki
pengaruh terhadap return saham karena
tidak mempunyai pengaruh terhadap kasus
subprime mortgage di US.
216
Penelitian dilakukan oleh Ratna
Purwasih tahun 2009 yang berjudul
Pengaruh Rasio CAMEL Terhadap
Perubahan Harga Saham Perusahaan
Perbankan yang Go Public di Bursa Efek
Indonesia (BEI) Tahun 2006-2008.
V ariabel bebasnya CAR, RORA, NPM,
ROA , dan LDR. Diantara beberapa
variabel yang digunakan peneliti hanya
variabel RORA dan ROA saja yang
berpengaruh positif signifikan terhadap
harga saham. Dan variabel CAR, NPM dan
LDR tidak berpengaruh positif signifikan
terhadap harga saham.
Penelitian dilakukan oleh Wijayanti
pada tahun 2010 yang berjudul Analisis
Kinerja Keuangan dan Harga Saham
Perbankan di Bursa Efek Indonesia (BEI),
V ariabel bebasnya adalah CAR, ROA,
NIM, NPL, LDR, EPS, PER. V ariabel
kinerja keuangan yang secara parsial
mempunyai pengaruh signifikan adalah
EPS dan PER terhadap harga saham.
Penelitian dilakukan oleh Ina Rinati
pada tahun 2009 yang berjudul Penagruh
Net Profit Margin (NPM), Return On Asset
(ROA) dan Return On Equity (ROE)
Terhadap Harga Saham pada Perusahaan
yang Tercantum dalam Indeks LQ45.
Didapat kesimpulan bahwa hanya variabel
ROA saja yang memiliki pengaruh
terhadap harga saham, variabel NPM dan
ROE tidak mempunyai pengaruh terhadap
harga saham.
Penelitian dilakukan oleh Ketut Alit
Suardana pada tahun 2006 yang berjudul
Pengaruh Rasio CAMEL Terhadap Return
Saham. V ariabel bebasnya adalah CAR,
RORA, BOPO, EPS, dan LDR. Secara
parsial hanya rasio CAR(Capital Adequacy
Ratio) yang berpengaruh positif terhadap
return saham. Rasio yang lain, Return on
Risked Assets /RORA, Operating Expense
to Operating Income (OEOI)/BOPO,
Earning Per Share/EPS, dan Loans to
Deposits Ratio/LDR tidak berpengaruh
terhadap return saham.
Penelitian dilakukan oleh Kurnia
Windias Praditasari pada tahun 2009 yang
berjudul Analisis Pengaruh Tingkat
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Kesehatan Bank Terhadap Harga Saham
pada Perusahaan Perbankan yang Go Public Periode 2004-2008. V ariabel
bebasnya adalah CAR, KAP , BOPO,dan
LDR. Diperoleh kesimpulan bahwa
variabel CAR memiliki hubungan yang
kuat signifikan dengan harga saham dan
berpengaruh secara signifikan terhadap
variabel harga saham secara parsial.
V ariabel KAP memiliki hubungan yang
kuat signifikan dengan harga saham dan
berpengaruh secara signifikan terhadap
variabel harga saham secara parsial.
V ariabel BOPO memiliki hubungan yang
kuat signifikan dengan harga saham dan
tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap variabel harga saham secara
parsial. V ariabel LDR memiliki hubungan
yang kuat signifikan dengan harga saham
dan berpengaruh secara signifikan terhadap
variabel harga saham secara parsial.
METODE PENELITIAN
Analisis Data
Untuk menguji hipotesis tentang
bagaimana kekuatan variabel indipenden
Capital Adequancy Ratio (CAR), Return
On Asset (ROA), Loan to Deposit Ratio
(LDR) tarhadap harga saham pada bank
pemerintah di Indonesia. Bank pemerintah
yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Bank Mandiri, Bank BNI, Bank
BRI dan Bank BTN. Penelitian ini
menggunakan teknik analisis data panel.
Data panel merupakan gabungan antara
data cross-section dan data time series.
Pada data panel, unit cross-section yang
sama disurvei pada beberapa periode
waktu. Jadi, data panel memiliki dimensi
ruang dan waktu. Jika masing-masing unit
cross-section memiliki jumlah pengamatan
time series yang sama maka data panel
tersebut dinamakan data panel seimbang
(balanced panel data), sebaliknya jika
jumlah pengamatan time series berbeda
pada masing-masing unit maka disebut
data panel tidak seimbang (unbalanced
panel data) (Gujarati, 2004).
Y = β0 + β1 X1 + β2X2 + β3X3 +. . . .+ e i
Dalam model diatas dapat diketahui
bahwa variabel dependen adalah harga
saham, sedangkan variabel independennya
adalah CAR, ROA dan LDR. Agar model
tersebut memberikan hasil estimasi yang
terbaik atau BLUE (Best Linier Unbiased
Estimator) maka model harus memenuhi
regresi linier klasik, yaitu tidak terjadi
gejala multikolinieritas, autokorelasi, dan
heterokedastisitas. Setelah model yang
diajukan bersifat BLUE, maka untuk
mencapai tujuan penelitian pertama perlu
dilakukan uji asumsi klasik, uji F dan uji T.
HASIL PENELITIAN
Model Regresi Panel
Terdapat 3 pendekatan dalam memilih
model regresi panel yang tepat. Y aitu
model Common Effect, Fixed Effect dan
Random Effect. Model random effect tidak
bisa digunakan jika banyaknya unitcrosssection lebih kecil dibanding banyaknya
periode waktu sehingga pada penelitian ini,
pendekatan model yang mungkin adalah
common effect atau fixed effect. Untuk
memilih model regresi panel dengan
pendekatan mana yang digunakan maka
dilakukan uji chow. Uji chow digunakan
untuk mengetahui apakah model common
effect ataukan fixed effect yang akan
dipilih untuk pendugaan.
Effects Test
Statistic
Prob.
Cross-section F
27.158580 0.0000
Cross-section
Chisquare
63.413138 0.0000
Nilai signifikansi dari uji F sebesar
0,0000 sehingga Ho ditolak yang artinya
sekurang-kurangnya terdapat satu intersep
pada unit cross-section yang tidak sama
sehingga model yang cocok digunakan
adalah model fixed effect.
Pembentukan Model
Variable
Coefficient
CAR
-0.036281
Model panel data:
217
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
ROA
LDR
C
554.0238
99.15924
-5910.929
Maka model yang didapatkan adalah
sebagai berikut.
Uji Parsial
Uji
parsial
digunakan
untuk
mengetahui apakah secara individu
variabel independent mempengaruhi harga
saham pada bank pemerintah. Uji parsial
menggunakan statistic uji t. Hasil uji
parsial adalah sebagai berikut.
Variable
Prob.
CAR
ROA
LDR
C
0.9504
0.0001
0.0000
0.0000
V ariabel yang berpengaruh signifikan
adalah variabel ROA dan LDR. Sedangkan
variabel CAR tidak terbukti signifikan
dengan alpha 0.05. Hal ini karena p-value
hasil uji parsial untuk variabel ROA dan
LDR adalah kurang dari alpha 0.05, dan
untuk variabel CAR yang dinyatakan tidak
signifikan adalah lebih dari 0.05.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa rasio keuangan CAR
tidak signifikan terhadap harga saham.
Dalam hasil penelitian ini didapatkan
bahwa nilai CAR dengan probabilitas lebih
dari batas ketentuan nilai signifikan 0.05
yaitu 0.9504 dan koefisien menunjukan
nilai yang negatif -0.036281. maka dapat
disimpulkan bahwa H1 tidak dapat
diterima. Penurunan CAR memperlihatkan
rendahnya kemampuan bank dalam
menutupi penurunan aktivanya akibat
adanya kerugian-kerugian pada bank
tersebut. Sebagai investor, mereka tidak
akan melihat bagaimana bank menutup
penurunan aktivanya yang disebabkan
karena kerugian. Melainkan investor akan
melihat faktor lain seperti laba bank atau
penyaluran kredit bank karena investor
218
tidak tertarik dengan tinggi rendahnya
CAR pada bank tersebut. Seperti contoh
pada tahun 2004-2011 dengan CAR yang
cenderung stabil justru harga saham naik.
Meskipun pada tahun 2008 cenderung
turun dikarenakan imbas dari krisis global.
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa rasio keuangan ROA
mempunyai pengaruh positif signifikan
terhadap harga saham. Dalam hasil
penelitian ini didapatkan bahwa nilai ROA
dengan probabilitas kurang dari batas
ketentuan nilai signifikan 0.05 yaitu
0.0001 dan koefisien menunjukan nilai
yang positif yaitu 554.0238 maka dapat
diinterpresentasikan
sebagai
setiap
penambahan satu satuan ROA maka harga
saham akan naik sebesar 554.0238 satuan
jika variabel lain dianggap bernilai
konstan. Dan dapat disimpulkan bahwa H2
diterima. Berdasarkan deskripsi variabel
penelitian, dapat dilihat bahwa dalam
periode 2004-2011 nilai ROA pada bank
pemerintah di Indonesia cenderung naik
meskipun tidak signifikan. Hanya pada
bank BRI nilai ROA cenderung menurun
tetapi tidak banyak dan kemudian bisa naik
kembali dan diikuti harga saham yang ikut
naik. Investor dalam menanamkan dananya
pada suatu bank selalu melihat laba yang
diperoleh bank tersebut. Semakin banyak
laba yang diperoleh, maka semakin banyak
investor yang akan menempatkan dananya
tersebut. Rasio ini selalu dilihat oleh para
investor untuk melihat bagaimana bank
dalam memperoleh laba.
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa rasio keuangan LDR
mempunyai pengaruh positif signifikan
terhadap harga saham. Dalam hasil
penelitian ini didapatkan bahwa nilai LDR
dengan probabilitas kurang dari batas
ketentuan nilai signifikan 0.05 yaitu
0.0000 dan koefisien menunjukan nilai
yang positif yaitu 99.15924 maka dapat
diinterpresentasikan
sebagai
setiap
penambahan satu satuan LDR maka harga
saham akan naik sebesar 99.15924 satuan
jika variabel lain dianggap bernilai
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
konstan. Dan dapat disimpulkan bahwa H3
diterima. Berdasarkan deskripsi variabel
penelitian, dapat dilihat bahwa dalam
periode 2004-2011 nilai LDR pada semua
bank pemerintah di Indonesia cenderung
stabil atau sehat dan diikuti harga saham
yang ikut naik. Ini disebabkan dengan
penyaluran
kredit
yang
besar
memungkinkan laba dari hasil kredit dapat
menarik investor untuk menanamkan
dananya pada suatu bank tersebut. Dan
harga saham akan naik seiring dengan
banyaknya investor pada bank tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa rasio keuangan CAR,
ROA dan LDR secara bersama-sama atau
simultan mempunyai pengaruh signifikan
terhadap harga saham. Dalam hasil
penelitian ini didapatkan bahwa nilai pvalue kurang dari alpha 0.05 yaitu sebesar
0.000000, yang berarti secara bersamasama atau simultan variabel rasio
keuangan CAR, ROA dan LDR
berpengaruh signifikan terhadap harga
saham pada bank pemerintah di Indonesia
dengan tingkat kesalahan < 0.05. Fungsi
dari bank itu sendiri adalah menghimpun
dana dan menyalurkan dana. Menghimpun
dana dapat dilihat dari rasio CAR
kemudian penyaluran dana dapat dilihat
dari rasio LDR. Jika kedua rasio tersebut
dan memperlihatkan hasil yang baik maka
ROA dari bank tersebut akan tinggi atau
dapat diindikasikan bahwa laba yang
diterima bank tersebut akan meningkat.
Dengan meningkatnya laba harga saham
akan naik maka investor tidak akan ragu
menempatkan dananya pada bank tersebut.
Dengan ini maka rasio keuangan sangat
penting digunakan oleh investor dalam
menganalisis untuk bank atau perusahaan
mana ia akan menempatkan dana dan
membeli saham perusahaan atau bank
tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa variabel yang paling
berpengaruh terhadap harga saham adalah
rasio keuangan Return On Asset (ROA).
Rasio ini sangat penting mengingat
keuntungan
yang
diperoleh
dari
penggunaan aset dapat mencerminkan
tingkat efiensi suatu bank. Sebagai
investor, dalam menempatkan dananya
pada suatu bank jelas mengharapkan
sebuah keuntungan yang besar. Dan laba
yang diperoleh dari penggunaan asetnya
dapat dilihat dari rasio ROA ini. Dengan
semakin besarnya laba yang diperoleh
maka banyak investor yang akan
menempatkan dananya pada bank tersebut.
Ini yang akan membuat pergerakan harga
saham naik sedikit demi sedikit dan
deviden yang dibayarkan juga akan
semakin tinggi.
KESIMPULAN
Capital Adequacy Ratio (CAR) tidak
memiliki pengaruh signifikan terhadap
harga saham bank pemerintah di Indonesia
periode 2004-2011. Dan H1 tidak diterima.
Ini menandakan bahwa naik turunnya nilai
CAR tidak mempengaruhi naik turunnya
harga saham dikarenakan investor lebih
melihat faktor selain CAR untuk
memutuskan
dimana
dia
akan
menanamkan dana dan membeli saham
pada bank tersebut. Dapat dilihat bahwa
pada tahun 2004-2011 CAR bank
pemerintah cederung stabil dan harga
saham cenderung menguat.
Return On Asset (ROA) mempunyai
pengaruh positif signifikan terhadap harga
saham bank pemerintah di Indonesia
periode 2004-2011. Dan H2 diterima. Ini
menandakan bahwa kenaikan nilai ROA
akan memicu kenaikan harga saham atau
dengan kata lain semakin tinggi nilai ROA
maka semakin tinggi pula nilai harga
sahamnya. Hal ini disebabkan tingginya
nilai ROA memperlihatkan laba yang
diperoleh bank tinggi. Ini yang membuat
banyak
investor
berebut
untuk
menginvestasikan danannya pada bank
tersebut karena deviden yang dibayarkan
juga akan semakin tinggi dan hal ini bisa
menaikan harga saham bank tersebut.
Loan to Deposit Ratio (LDR)
mempunyai pengaruh positif signifikan
terhadap harga saham bank pemerintah di
Indonesia periode 2004-2011. Dan H3
219
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
diterima. Ini menandakan bahwa semakin
tinggi tingkat LDR (sampai batas
ketentuan BI yaitu ≤ 110% dinilai sehat),
maka diikuti dengan harga saham yang
relatif tinggi pula. Dengan tingkat LDR
tinggi yang bisa dikendalikan bank, maka
laba dari penyaluran kredit yang tinggi
akan menarik investor untuk menanamkan
dana dan membeli saham bank tersebut.
Capital Adequacy Ratio (CAR),
Return On Asset (ROA) dan Loan to
Deposit Ratio (LDR) secara bersama –
sama atau simultan mempunyai pengaruh
terhadap harga saham. Rasio keuangan
sangat penting bagi investor dikarenakan
untuk melihat keadaaan bank tersebut
sehat atau tidak. Keputusan untuk
menginvestasikan dana investor kepada
bank tidak lepas dari rasio keuangan. Jika
rasio keuangan bank baik maka akan
mempengaruhi pergerakan harga saham
yang semakin tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa variabel yang paling
berpengaruh terhadap harga saham adalah
rasio keuangan Return On Asset (ROA).
Rasio ini sangat penting mengingat
keuntungan
yang
diperoleh
dari
penggunaan aset dapat mencerminkan
tingkat efiensi suatu bank. Sebagai
investor, dalam menempatkan dananya
pada suatu bank jelas mengharapkan
sebuah keuntungan yang besar. Dan laba
yang diperoleh dari penggunaan asetnya
dapat dilihat dari rasio ROA ini. Dengan
semakin besarnya laba yang diperoleh
maka banyak investor yang akan
menempatkan dananya pada bank tersebut.
Ini yang akan membuat pergerakan harga
saham naik sedikit demi sedikit dan
deviden yang dibayarkan juga akan
semakin tinggi.
SARAN
Bagi pihak investor yang akan melihat
harga saham pada perbankan diharapkan
tidak hanya melihat dari ketiga rasio
keuangan (CAR,ROA,LDR) saja,tetapi
harus memperhatikan rasio keuangan
lainnya juga. Hal ini dikarenakan rasio
220
keuangan (CAR,ROA, LDR) jika dilihat
dari koefosien determinasinya (R2) hanya
berpengaruh 60,44% dalam penentuan
harga saham, sedangkan 39,56% lagi
dipengaruhi oleh variabel lainnya yang
tidak dimasukan dalam penelitian ini.
Bagi
pihak
perbankan
yang
menginginkan harga sahamnya selalu naik
dan tinggi seharusnya memperhatikan rasio
keuangan ROA dan LDR. Ini disebabkan
karena kedua rasio keuangan yang diteliti
oleh peneliti mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap harga saham. Karena
yang dilihat oleh investor adalah laba bank
yang
tinggi
akan
mempengaruhi
pergerakan harga saham yang semakin
tinggi pula.
Bagi peneliti selanjutnya sebaiknya
mengembangkan variabel-variabel lain
selain rasio keuangan CAR, ROA dan
LDR
sebagai variabel yang dapat
mempengaruhi
harga
saham
pada
perbankan di Indonesia. Disamping itu
peneliti selanjutnya disarankan untuk
menggunakan metode analisis yang
berbeda atau alat anaisis yang lain
sehingga dapat mengembangkan hasil dari
penelitian ini.
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, Faisal. 2003. Manajemen
Perbankan (T eknik Analisis Kinerja
Keuangan Bank). Cetakan pertama.
Malang : Universitas
Muhammadiyah Malang
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek. Jakarta : Erlangga
Bank Indonesia. (online),
(http://www.bi.go.id), diakses 18
September 2012
Bank Mandiri (online),
(http://www.mandiri.co.id), diakses
5 Oktober 2012
Bank Negara Indonesia (online),
(http://www.bni.co.id), diakses 1
Oktober 2012
Bank Rakyat Indonesia (online),
(http://www.bri.co.id), diakses 3
Oktober 2012
Bank Tabungan Negara (online),
(http://www.btn.co.id), diakses 7
Oktober 2012
Bungin, Burhan. 2005. Metodologi
Penelitian kuantitatif (Komunikasi,
Ekonomi, Dan kebijakan Publik
Serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya).
Edisi pertama. Jakarta : Prenada
Media
Dendawijaya, Lukman. 2005. Manajemen
Perbankan. Edisi ke-2. Jakarta :
Ghalia Indonesia
Duniainvestasi.com (online), diakses 10
Oktober 2012
Fahmi, Irham. 2006. Analisis Investasi
Dalam Perspektif Ekonomi Dan
Politik. Bandung : PT Refika
Aditama
Greene, W . H. 2000. Econometric Analysis
4th edition. New Jersey. PrenticeHall Inc Upper Saddle River
Gujarati, Damodar N & Dawn C Porter.
2012. Dasar – Dasar
Ekonometrika. Edisi ke-5. Jakarta :
Salemba Empat
Gujarati, Damodar N. 1995. Ekonometrika
Dasar. Jakarta : Erlangga
Gujarati, Damodar N. 2004. Basic
Econometrics 4th edition. New
York. McGraw-Hill
Halim, Abdul. 2005. Analisis Investasi.
Edisi ke-2. Malang : Salemba Empat
Hsiao, C. 2003. Analysis of Data Panel
2th edition. USA. Cambridge
University Press
Istanti, Rahmawati Duri. Pengaruh Capital
Adequacy Ratio (CAR), Loan to
Deposit Ratio (LDR), Non
Permorming Loan (NPL), dan
Return On Asset (ROA) Terhadap
Harga Saham Pada Perusahaan
Perbankan Yang Terdaftar di BEI.
Skripsi tidak diterbitkan (online),
(eprints.unisbank.ac.id/58/,diakses
20 november 2012)
Praditasari ,KurniaWindias. 2009.Analisis
Pengaruh Tingkat Kesehatan Bank
Terhadap Harga Saham Pada
Perusahaan Perbankan Yang Go
Public Periode 2004-2008. Sripsi
tidak diterbitkan (online),
(www.gunadarma.ac.id/.../Artikel_
20205713.pdf, diakses 29 agustus
2012)
Purwasih, Ratna. 2009. Pengaruh Rasio
CAMEL Terhadap Perubahan
Harga Saham Perusahaan
Perbankan Yang Go Public Di
Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun
2006-2008. Skripsi tidak
diterbitkan (online),
(http://eprints.undip.ac.id/22957/,
diakses 18 agustus 2012)
Rinati, Ina. 2009. Pengaruh Net Profit
Margin (NPM), Return On Asset
(ROA) Dan Return On Equity
(ROE) Terhadap Harga Saham
Pada Perusahaan Yang Tercantum
Dalam Indeks LQ45. Skripsi tidak
diterbitkan (online),
(http://library.gunadarma.ac.id/repo
sitory/view/12518/pengaruh-netprofit-margin-npm-return-onassetsroa-dan-return-on-equity-roeterhadap-hargasaham-padaperusahaan-yang-tercantum-
221
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
dalamindeks-lq45.html, diakses 1
september 2012)
Siamat, Dahlan. 2005. Manajemen
Lembaga Keuangan Kebijakan
Moneter Dan Perbankan. Edisi ke5. Jakarta : Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia
Suardana, Ketut Alit. 2006. Pengaruh
Rasio CAMEL T erhadap Return
Saham. Skripsi tidak diterbitkan
(online),
(http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/o
k alit suardana.doc, diakses 5
september 2012)
Sukendar. G., dan Zainal, A. 2007. Faktorfaktor yang Mempengaruhi
Permintaan Ekspor Sepatu Olah
Raga dan Sepatu Kulit Indonesia
(tahun 2000-2006). Depok.
Kampus UI
Sumarsono, Hadi. 2009. Buku Ajar Mata
Kuliah Ekonometrika. Malang :
Fakultas Ekonomi Universitas
Negeri Malang
Syauta, Rizky Christian & Indra Widjaja.
2009. Analisis Pengaruh Rasio
ROA, LDR, NIM, Dan NPL
222
Terhadap Abnormal Return Saham
Perbankan Di Indonesia Pada
Periode Sekitar Pengumuman
Subprime Mortgage. Jurnal
Aplikasi Keuangan Dan Akuntansi,
(online),
(http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/
Search.html?act=tampil&id=70090
&idc=72, diakses 25 agustus 2012)
Taswan. 2006. Manajemen Perbankan
Konsep, Teknik Dan Aplikasi.
Yogjakarta: UPP STIM YKPN
Yogyakarta
Universitas Negeri Malang. 2010.
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah,
Edisi Kelima: Sripsi, Tesis,
Disertasi, Artikel, Makalah,
Laporan Penelitian. Malang :
Universitas Negeri Malang
Wijayanti. 2010. Analisis Kinerja
Keuangan Dan Harga Saham
Perbankan Di Bursa Efek
Indonesia (BEI). Jurnal Ekonomi,
(online),
(http://jiae.ub.ac.id/index.php/jiae/a
rticle/view/118, diakses 20 agustus
2012)
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Dilema Ekonomi : Pasar Tradisional versus
Liberalisasi Bisnis Ritel di Indonesia
Wasisto Raharjo Jati
Abstract
Traditional markets are not only meant as an economic entity, but also as social
entities. Economic activity carried on in the traditional markets to ensure the
socio-economic equity for all actors involved both formal and informal.
Traditional markets can bring prosperity for all people. Economic globalization
has changed the configuration of the world economy is beginning to support
economic equality to economic growth through liberalization policies.
Liberalization of the retail business in Indonesia is directly affecting the economy
of consumption preferences. The presence of the massive modern retail making
traditional market position becomes difficult because of the economic competition
that is not affirmative. This paper will present the economic marginalization faced
by traditional market since the liberalization of the retail business.
Keywords : traditional market, modern retail, globalization,trading
A. PENDAHULUAN
“Y en Pasar Ilang Kumandhange” (jika
pasar kehilangan gaungnya) merupakan
ramalan Raja Kerajaan Kediri, Jayabaya
terkait dengan pesan futurologinya
mengenai semiotika zaman kalabendhu
mengenai pudarnya corak berperilaku
ekonomi yang berpihak pada kesejahteraan
rakyat.
Eksistensi
hadirnya
pasar
tradisional merupakan institusi vital bagi
rakyat untuk memenuhi kebutuhan seharihari. Pasar tradisional tidaklah dimaknai
pranata ekonomi yang fungsi utamanya
mendinamisasi transaksi perdagangan
pembeli dan penjual dalam nuansa
kehidupan yang statis. Lebih dari itu, pasar
tradisional juga mengemban fungsi sebagai
ruang kultural dimana proses akulturasi
berlangsung antara berbagai ragam mata
pencaharian ekonomi berlangsung dalam
satu kesatuan.
Dalam berbagai literatur sejarah, pasar
tradisional merupakan salah satu pilar
negara yang dikenal dengan konsep catur
sagatra yang mengemban fungsi sentral
menjalankan roda ekonomi negara.
Sosiolog
Belanda
WF
Wertheim
mengartikan konsep catur sagatra tersebut
dengan fakta historis peradaban ekonomi
Jawa sebelum tahun 1600 (Wertheim, 1958
: 23). Kota-kota di Jawa terdiri atas
beberapa zona: keraton, alun-alun dan
pasar. Pasar terletak di dekat alun-alun,
lalu pemukiman kaum bangsawan dan
rakyat biasa. Semakin jauh jaraknya dari
keraton, semakin rendah pula kelas sosial
para pemukimnya. Adanya pasar yang
berada di tengah-tengah komunitas rakyat
dan komunitas bangsawan saat itu
menandakan adanya peradaban yang
dibangun. Pasar merupakan pertanda
peradaban
masyarakat
saat
itu.
Berlangsungnya
kegiatan
berdagang
dengan saling tukar-menukar komoditas
antar berbagai lintas kultur pedagang
menjadikan pasar sebagai dinamisator
zaman bagi masyarakat. Hal itulah yang
kemudian pasar senantiasa bergaung
sebagai instrumen etik dan moral ekonomi
maupun sosial budaya. Matinya pasar
__________________________________________
Alamat Korespondensi :
Wasisto Raharjo Jati, Gedung PAU UGM Lt.3 Sayap Timur, Jalan Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta 55281.
Email : [email protected]
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
tradisional sama artinya dengan matinya
peradaban bangsa karena otomatis hal itu
akan merubah pola perilaku rakyat dalam
bertransaksi ekonomi.
Secara fisik dan faktual, pasar ilang
kumandhange memang benar terjadi dalam
konteks perekonomian Indonesia. Pasar
tradisional kini terganti dengan bangunan
mall dan pusat perbelanjaan modern
lainnya. Pergeseran itu juga menandai
perubahan dalam alur transaksi ekonomi
yang semula berlangsung oleh keriuhan
tawar-menawar antara penjual dan
pedagang beralih ke arah pragmatis.
Perubahan tersebut juga menuntut rakyat
kini semakin efisien dan efektif dalam
bertransaksi ekonomi karena komoditas
yang dipajang dengan harga mahal hanya
mencerminkan
kepentingan
ekonomi
pemodal besar dan bukan untuk
mensejahterakan semua kalangan rakyat.
Oleh karena itulah, redupnya keramaian
bertransaksi ekonomi di pasar tradisional
merupakan indikator semakin tergerusnya
perekonomian
mikro
yang
mensejahterakan rakyat oleh kekuatan
kapitalis-global.
Berangkat dari pesan pasar ilang
kumandhange tersebut, pasar tradisional
kini kian tereduksi oleh hadirnya pusat
perbelanjaan modern di Indonesia paska
reformasi 1998 hingga kini. Persoalan
eksistensi pasar tradisional pada era
globalisasi sekarang ini memang menarik
disoroti, terlebih peran yang diembannya
sebagai bisnis ritel tradisional. Adanya
liberalisasi bisnis ritel tidak terlepas dari
Keppres No. 96/2000 mengenai bidang
usaha terbuka dan tertutup bagi penanaman
modal asing yang menggolongkan ritel
sebagai bidang usaha terbuka bagi
penanaman modal asing dan swasta
nasional. Hal itulah, yang kemudian bisnis
ritel kini mulai disesaki oleh berbagai aktor
swasta nasional maupun swasta asing.
Prospek keuntungan yang bisa diraih dari
bisnis ritel di Indonesia memang sangat
tinggi. Berdasarkan data dari Asosiasi
Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo),
pada 2011, omzet ritel modern tercatat Rp
224
42 triliun, kemudian meningkat lagi pada
2006 menjadi Rp50,8 triliun dan pada
2008 meningkat menjadi Rp 58,5 triliun.
Hal tersebut berlanjut pada 2010 dimana
bisnis ritel modern tumbuh 12% dan tahun
2012 ini diperkirakan ritel modern akan
tumbuh 13%-15%. Kondisi itu tentunya
sangat
kontras
dengan
kondisi
perekonomian yang dihadapi pasar
tradisional. Menurut data yang dihimpun
dari Kemendag tahun 2011 menyebutkan
pasar tradisional mengalami pertumbuhan
minus 8,1 % setiap tahunnya. Tingkat
profitabilitas pasar tradisional juga
mengalami penyusutan secara masif
semenjak ritel mengalami liberalisasi pada
tahun 2000. Tercatat bahwa profitabilitas
pasar tradisional di kawasan Jabodetabek
pada tahun 2001 mengalami penyusutan
hingga 40 % dan pada 2011 lalu pasar
tradisional
mengalami
penyusutan
mencapai 60 %. Kondisi serupa juga
berlaku di berbagai wilayah Indonesia
lainnya yang rata-rata mencapai 70-80 %
tiap tahunnya. Oleh karena itulah,
sinyalemen bahwa perekonomian nasional
tidak berpihak kepada rakyat memang
benar adanya. Matinya pasar tradisional
sebagai arena ekonomi mikro bagi rakyat
oleh hadirnya ritel modern yang
dikomandoi oleh swasta asing yang
berkolaborasi dengan swasta nasional
menandakan bahwa terjadi praktik
neokolonialisme
dalam
konteks
perekonomian di Indonesia.
Maka pada tataran ini, kondisi eksternal
ekonomi dunia juga turut berpengaruh
kondisi pasar tradisional di Indonesia.
Namun hal itu tidak cukup untuk
menggarisbawahi persoalan yang terjadi di
pasar tradisional. Negara juga menjadi
aktor utama dalam menciptakan kondisi
tersebut melalui berbagai macam produk
regulasinya. Semenjak liberalisasi ritel
diberlakukan pada tahun 1998, negara
dianggap mulai abai dengan spirit ekonomi
kerakyatan
yang berbasiskan pada
pemerataan ekonomi yang seimbang
dengan hanya menerapkan strategi
pertumbuhan berbasiskan modernitas dan
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
liberalisasi.
Realita tersebut
kian
mempersempit ruang spasial-ekonomi
pasar tradisional sebagai pranata ekonomi
ritel yang melayani kebutuhan domestik
rakyat. Pasar tradisional terjepit oleh
kondisi perekonomian nasional yang tidak
afirmatif. Menyikapi hal tersebut, ada
baiknya bagi kita untuk melihat konteks
pasar tradisional sebagai pilar ekonomi
bangsa dan setting liberalisasi ritel di
Indonesia yang mengakibatkan eksistensi
pasar tradisional tersebut.
Studi ini hendak mengkaji kebijakan
ekonomi pembangunan mengenai dampak
liberalisasi ekonomi dalam bisinis ritel
sebagai penyebab menurunnya pasar
tradisional di Indonesia. Persoalan tersebut
memang urgen dan signifikan untuk
ditindaklanjuti mengingat ketimpangan
antara pasar tradisional dan ritel modern
paska diterapkannya liberalisasi. Dalam
kajian ini, menggunakan metode analisa
kebijakan publik yang merangkum
berbagai perspektif pemikiran dari tinjauan
literatur terkait dengan tema dan
mengumpulkan berbagai data empirik
kontemporer analisa ekonomi yang relevan
untuk menjadi bahan suplemen dalam
kajian penelitian ini.
B. METODE PENELITIAN
Metode Penelitian yang digunakan
dalam kajian ini menggunakan metode
analysis of. Analysis of adalah metode
yang digunakan untuk menganalisa
dampak implementasi kebijakan publik
dengan menggunakan berbagai sumber
data sekunder sekunder berbasis tinjauan
literatur, data empirik relevan, maupun
hasil
dokumentasi
terkait
yang
kesemuanya tersebut dianalisa sehingga
akan diperoleh produk pengetahuan analisa
kebijakan mengenai dampak suatu
kebijakan publik terhadap entitas tertentu
(Santoso, 2011). Maka langkah pertama
yang dilakukan dalam kajian ini ialah
menganalisa tentang setting kebijakan
mengenai ritel modern. Langkah kedua
adalah melakukan kajian analisa mengenai
liberalisasi ritel modern sebagai penyebab
kemunduran bagi pasar tradisional dengan
data yang relevan. Selanjutnya, akan
diperoleh saran dan kesimpulan teoritis
mengenai dampak liberalisasi ritel bagi
keberlangsungan pasar tradisional.
C. HASIL & PEMBAHASAN
C.1. Konteks Nilai -Ekonomi Pasar
Tradisional di Indonesia
Sumitro
Djojohadikusumo pernah
berujar bahwa pasar tradisional merupakan
sokoguru perekonomian nasional di
Indonesia yang memberdayakan dan
mensejahterakan rakyat secara keseluruhan
(Djojohadikusumo, 1981 : 56). Esensi
yang terkandung dalam transaksi ekonomi
dalam pasar tradisional adalah “kerjasama”
(cooperation) adalah pola terapan ekonomi
yang terbaik untuk diterapkan di Indonesia.
Dalam lalu lintas ekonomi yang terjadi
pasar
tradisional,
semua
aktor
diberdayakan untuk menjadi bagian organ
penting. Mulai dari berbagai macam
profesi dilibatkan mulai dari buruh
gendong, penjaja jasa pijat, tukang becak,
jasa parkir, tengkulak, pedagang besar,
maupun pedagang eceran. Artinya, dengan
adanya pasar tradisional sendiri mampu
memberikan lapangan perkerjaan bagi
semua kalangan. Hal tersebut bisa
dibuktikkan dengan temuan BPS tahun
2010 yang menyebutkan bahwa pasar
tradisional memberikan pekerjaan bagi
30,6 juta orang Indonesia dibandingkan
ritel modern yang hanya mempekerjakan
18,9 juta orang. Hal itulah yang kemudian
menempatkan pasar tradisional sebagai
peyumbang lapangan pekerjaan terbesar
kedua di Indonesia setelah sektor pertanian
yang mencapai 41,8 juta orang. Secara
otomatis, pasar tradisional menggerakan
berbagai potensi ekonomi kerakyatan agar
memperoleh kue ekonomi yang merata
bagi semua kalangan.
Pasar tradisional yang kerap kali
diidentikkan sebagai kekuatan ekonomi
kerakyatan merupakan bentuk dwitunggal
antara pasar tradisional dengan rakyat.
Timbulnya pasar tradisional tidak lepas
dari kebutuhan ekonomi masyarakat
225
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
setempat. Kelebihan produksi setelah
kebutuhan sendiri terpenuhi memerlukan
tempat pengaliran untuk dijual (Nastiti,
2003 : 23). Selain itu pemenuhan
kebutuhan
akan
barang-barang,
memerlukan tempat yang praktis untuk
mendapatkan barang-barang baik dengan
menukar
atau
membeli.
Adanya
kebutuhan-kebutuhan
inilah
yang
mendorong munculnya tempat berdagang
yang disebut pasar. Lahirnya pasar
tradisional di Indonesia sendiri membawa
dua modal utama yakni modal ekonomi
dan modal sosial. Terkhususnya modal
sosial yang terbangun dalam iklim
perekonomian pasar tradisional adalah
“kerjasama”
(cooperation)
dan
“kepercayaan” (trust).
Adanya
dimensi
“kerjasama”
(cooperation) dalam konteks pasar
tradisional
di
Indonesia
sendiri
mengajarkan bahwa kegiatan bertransaksi
ekonomi tidaklah selalu memikirikan
profitabilitas dan economic gains semata,
namun juga membangun hubungan
kekeluargaan dan persaudaraan terhadap
sesama. Terkhususnya bagi orang Jawa,
kegiatan ekonomi yang berorientasi hanya
mengeruk
untung
dinilai
hanya
menciptakan konflik antar pedagang
sehingga mengurangi tradisi guyub antar
pedagang pasar tradisional. Oleh karena
itulah, Akung (2011) menilai dalam
transaksi ekonomi oleh para pedagang
pasar tradisional di Jawa terbangun etika
sosio-ekonomi yang bernama Tuna sathak
bathi sanak’ (rugi laba dan materi, namun
untung mendapat saudara). Petuah ini
mengabarkan bahwa berdagang di pasar
tradisional bukanlah sekadar profesi yang
menghamba uang dan keuntungan semata.
Demikian pula ‘Sesantisugih esem lan
dhowo ususe’ (kaya senyum dan sabar),
yang mengajarkan bahwa pembeli adalah
raja. Adanya modal sosial dalam corak
pasar tradisional inilah yang kemudian
dibahasakan Clifford Geertz sebagai
bentuk economic bazaar di Indonesia
(Geertz, 1978 : 35).
226
Perdagangan di pasar tradisional
memiliki ruh bernama persaudaraan,
perlakuan
itu
memperlakukan
konsumen/pembeli
laiknya
seorang
saudara
yang
sedang
berkunjung.
Demikian pula harga barang, bisa sangat
damai dan bersahabat bagi para pembeli.
Adapun komoditas yang diperjualbelikan
sendiri terdapat kejelasan informasi yang
jelas. Intinya dalam konsep perdagangan di
pasar tradisional sendiri urusan mencari
profit seimbang dengan mencari kawan
dan saudara. Maka konteks transaksi
ekonomi di pasar tradisional sendiri tidak
bisa disama-ratakan dengan prinsip
ekonomi yang diperankan oleh mall dan
swalayan ritel modern dengan perspektif
dikotomis “keuntungan yang maksimal,
kerugian yang minimal”. Bagi seorang
pedagang pasar tradisional, uang bukanlah
prioritas yang harus diutamakan dalam
esensi berdagang. Lebih dari itu, pedagang
pasar juga mencari kebutuhan sosial
lainnya berupa penghargaan timbal-balik
berlangsung dalam relasi ekonomi yang
setara sehingga terbangun ikatan personal
dan emosional. Demikian juga bagi
kalangan konsumen pembeli, mereka tidak
ingin diperlakukan sebagai objek pasif
dalam kegiatan perdagangan. Pembeli juga
diperlakukan secara aktif dalam transaksi
penentuan harga sehingga tercapai
“kepuasan yang seimbang” antara penjual
dan pembeli.
Pola perdagangan di pasar tradisional
sendiri pada dasarnya hanya intermezzo
saja, artinya memutar roda ekonominya
sebatas kegiatan selingan untuk mengisi
waktu (Nugroho, 2001 : 58). Oleh karena
itulah, merupakan hal yang biasa bagi para
pedagang yang biasa jualannya dengan
cara diutangkan kepada tengkulak atau
rentenir. Atau penjualnya terjerat utang
oleh rentenir yang berkeliaran mencari
mangsa di pasar itu. Para pedagang selalu
dan sangat tergantung dalam hal
penyediaan modal kepada “bank keliling”,
yang konon bunga banknya lebih dari
20%. Cara berdagang seperti itu menjadi
absurd dalam sistem ekonomi modern
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
yang lebih menghindari hutang dengan
kredit bunga yang tinggi karena
dikhawatirkan mengurangi modal faktor
produksi. Namun demikian, hutang dengan
bunga kredit tinggi tidaklah terlalu
dikhawatirkan oleh para pedagang pasar
tradisional akan merugikan dagangannya.
Sebaliknya, tingkat bunga yang tinggi
dalam bisnis peminjaman uang di pasar
tradisional disebabkan karena bisnis ini
hanya didasarkan pada kepercayaan
terhadap nasabahnya. Hal ini dapat dilihat
dari kenyataan bahwa “bank keliling” tidak
terlalu memkirkan barang-barang milik
pedagang pasar untuk dijadikan jaminan
atas uang yang dipinjamnya.
Faktor lain adalah faktor resiko, yaitu
ada kemungkinan bahwa peminjam tidak
melunasi hutangnya Namun demikian
terdapat kemudahan-kemudahan yang
ditawarkan dari pelaku bisnis ini bagi para
nasabahnya yaitu uang dapat tersedia
dengan cepat, apabila transaksi yang
dibutuhkan melebihi kapasitasnya, maka ia
dapat mengalihkan bisnisnya kepada
koleganya dan ia akan mendapatkan
kompensasi atau uang jasa perantara.
“Bank keliling” tidak pernah menanyakan
untuk tujuan apa kredit yang diminta oleh
nasabah, mereka juga tidak pernah untuk
mencari informasi tentang peminjam. Ia
menilai
pedagang
pasar
sebaagi
nasabahnya
berdasarkan
pengalaman
pribadinya, dengan resiko bahwa ia
ternyata memberikan penilaian yang salah.
Angsuran pinjaan ini juga dapat
disesuaikan
dengan
permintaan
nasabahnya. Makanya sebagian orang
berjualan seperti itu di pasar bukan sematamata mencari keuntungan
Kepuasan yang seimbang tersebut
merupakan pengejawantahan norma lokal
yang berkembang di pasar tradisional ini
misalnya adalah budaya “pekewuh”.
Budaya “pekewuh”.ini merupakan nilai
sosial yang terbentuk secara indigenous
bukan sebagai hasil dari intervensi. Budaya
ini mendorong pedagang untuk bersedia
mengikuti kesepakatan bersama yangtelah
dicapai, mencegah konflik yang terjadi
agar tidak menjadi berkepanjangan, serta
mendorong pedagang membayar retribusi
sesuai dengan jadwalnya.
Dalam kultur ekonomi masyarakat
timur seperti halnya di Indonesia,
berbelanja sambil bersosialisasi adalah
lebih menjadi preferensi dari pada
berbelanja secara individualis, maka
berbelanja sambil tukar bicara adalah salah
satu cara modus pemuas kebutuhan, atau
sebagai salah satu bagian yang menyertai
komoditi yang harus dipenuhi. Hal inilah
yang
kemudian
membangun
“kepercayaan” (trust) antara penjual dan
pembeli.
Geertz (1977) memandang
adanya trust dalam kegiatan berdagang di
pasar tradisional merupakan bentuk
apresiasi terhadap sistem sosial yang
dibangun berdasarkan relasi interaktif
antara pembeli dan penjual.
Hal itulah yang kemudian pasar
tradisional menjadi uniksitas tersendiri
dalam lingkup mainstream kajian ekonomi
dan pembangunan dunia yang kini dikuasai
agenda-agenda
neoliberalisme
yang
mengarustamakan individualisme dan
liberalisme dan modal ekonomi dalam
perdagangan. Keberadaan pasar tradisional
dalam perekonomian Indonesia adalah
untuk
mengurangi
ketidaksetaraan
informasi
(asymmetric
information),
menekan biaya transaksi (transaction cost)
yang
terdapat
dalam
konteks
perekonomian
modern
dengan
meningkatkan kepercayaan (trust) dan
kerjasama. Selain halnya menekankan
dualitas modal ekonomi dan modal sosial
pada pasar tradisional sebagai antitesis
terhadap diskursi perekonomian global
yang menekankan modal ekonomi
(Leksono, 2009 : 121).
Penelitian lain tentang pasar tradisional
yang dilakukan oleh Jennifer Alexander
(1987 : 24) dalam Trade, Traders, and
Trading in Rural Java memahami
eksistensi pasar tradisional dalam konteks
perekonomian Indonesia dalam tiga
pendekatan utama yakni (1) pasar sebagai
sebuah aliran informasi yang terstruktur
berdasarkan budaya; memuat cara-cara
227
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
yang digunakan oleh pedagang untuk
menghidupi diri mereka (2) pendekatan
aktivitas (dagang), pasar sebagai sistem
tukar-menukar barang (3) pendekatan
pelaku (pedagang), pasar sebagai sistem
sosial yang melibatkan pelaku-pelaku yang
dihubungkan
oleh
hubungan
yang
melembaga bersifat ekonomi dan sosial.
Menariknya kekhasan yang dimiliki oleh
pasar tradisional yang menggabungkan
modal ekonomi maupun modal sosial
secara seimbang berkulminasi pada
pembentukan relasi perdagangan yang
sirkuler. Adanya pola sirkuler dalam
modus perdagangan pasar tradisional
tersebut membedakan diri dengan pola
pakem linearitas yang terdapat dalam
lanskap perekonomian modern saat ini.
Dimensi sirkuler juga menandai bahwa
dalam bertransaksi ekonomi sendiri
tidaklah selalu menunjukkan adanya
hubungan yang hierarkis dimana kelas
pemilik modal selalu berada di level atas
sedangkan kelas buruh yang nontabene
miskin modal berada di level bawah.
Kapitalisme
memang
mengajarkan
demikian adanya kontradiksi dalam
perekonomian. Manusia merasa tidak
dimanusiakan secara segi sosial dalam
sistem kapitalisme tersebut karena
senantiasa diharuskan bekerja untuk
mencari profit dalam bekerja dan
berproduksi
menghasilkan
adanya
komoditas. Hal itulah, kapitalisme sendiri
tidak sesuai diterapkan di Indonesia yang
lebih menghindari adanya persaingan yang
kompetitif dalam berusaha (Kartodirjo,
1988 : 45).
Nuansa perekonomian Indonesia sendiri
yang berlokus diri pada pembangunan
“kerjasama”
(cooperation)
dan
“kepercayaan” (trust) amatlah berbeda
dengan “logika persaingan bebas “ (free
fights liberalism) dengan perekonomian
Barat. Hal itu pulalah yang membedakan
pasar dari sudut pandang ekonomi Barat
dan Indonesia. bagi Barat, pasar adalah
merupakan sesuatu entitas ekonomi yang
linearitas
dalam
mencapai
angka
pertumbuhan kumulatif sehingga pasar
senantiasa dibiarkan secara bebas dan
otonom dari kepentingan politis penguasa
maupun
kepentingan
sosial
kemasyarakatan. Sementara bagi pihak
Indonesia
khususnya
Jawa,
pasar
merupakan arena ekonomi bebas yang
terintegrasi dengan kepentingan penguasa
pemerintahan dan masyarakat luas. Pasar
juga diartikan sebagai entitas ekonomi
yang membawa pada arus pemerataan
perekonomian yang seimbang dan setara.
Pasar tradisional di Indonesia pada
dasarnya terbentuk atas lokalitas yang
dibangun antara tatanan sosial maupun
norma
penguasa
yang
kemudian
membentuk adanya jejaring ekonomi yang
kuat baik jejaring yang bersifat bonding,
bridging,dan linking sebagaimana yang
tertera dalam gambar berikut (Gambar 1).
Gambar 1 : Pola Sirkulasi Perdagangan dalam Pasar Tradisional
Sumber : Kemen PU (2011 : 15)
228
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Terbentuknya jejaring dalam sirkulasi
perdagangan
di
pasar
tradisional
mengindikasikan bahwa terbentuk tatanan
sosial dan berbagai norma eksternal
terimplementasi. Dari tatanan sosial ini
kesepakan antar pihak akan terbentuk lebih
mudah
dan
implikasinya
adalah
keberlanjutan perdagangan di pasar
tradisional. Adapun norma eksternal yang
dimaksudkan ialah adanya nilai filosofis
seperti halnya “pasarku resik rejekiku
apik” yang menekankan kepada untuk
mendorong
pedagang
menjaga
kenyamanan dan kebersihan pasar. Norma
tersebut setidaknya sudah jamak dilakukan
oleh semua pedagang pasar tradisional di
seluruh Indonesia untuk menghapuskan
stigma negatif tentang khalayak luas yang
selama ini menyoroti pasar tradisional itu
tempatnya becek, tidak karuan, dan tidak
terawat. Norma yang kedua ialah
“SEMAR” yang merupakan singkatan dari
Senyum, Eling dengan Y ang Maha Kuasa,
Manunggal diadakan paguyuban untuk
persatuan, Arahan dari pengelola pasar,
dan Ramah.
Dari dua norma tersebut akan terbentuk
kepercayaan antar pedagang maupun
pedagang dengan pihak lain yang terkait.
Tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap
sesama pedagang terlihat pada saat seorang
pedagang dapat melakukan jual beli
dengan cara menjualkan komoditas dari
pedagang lain dan pembayaran dilakukan
saat komoditas telah terjual. Selain itu juga
toleransi terhadap sesama pedagang sangat
kuat. Pemandangan itulah yang menjadi
uniksitas lainnya dalam perdagangan
tradisional di Indonesia dimana terdapat
spirit saling melindungi antar para
pedagang. Hal tersebut kiranya cukup
ganjil apabila dipertautkan dengan kondisi
para
pedagang
dalam
kehidupan
perekonomian liberal yang saling sikutmenyikut dalam mencari laba yang
sebesar-besarnya.
Oleh karena itulah, trust
maupun
cooperation yang tinggi dalam ekonomi
pasar tradisional menimbulkan berbagai
idealisme menarik dalam perumusan
mengenai desan kebijakan perekonomian
Indonesia dalam era globalisasi sekarang
ini. Setidaknya trust maupun cooperation
tersebut perlu dijaga untuk merevitalisasi
pasar tradisional
sebagai kekuatan
ekonomi terbesar Indonesia disamping
industri
manufaktur
dan
industri
pertambangan
dalam
percaturan
perekonomian global. Kita tentu bisa
mengkomparasikan
pasar
tradisional
sebagai penggerak kekuatan ekonomi
mikro di Indonesia dengan cerita sukses
mengenai kesuksesan berbagai lembaga
mikro lainnya di penjuru dunia misalnya
saja pengalaman Grameen Bank di
Bangladesh, Credit Union di Eropa,
gerakan LETS (Local Exchange Trading
System) di Inggris dan Kanada, dan
gerakan Zapatista di Meksiko maupun
lembaga-lembaga keuangan mikro di
Indonesia (dan masih banyak cerita sukses
dari belahan dunia lainnya). Namun semua
itu dinilai masih kurang mampu
memprovokasi kesadaran negara akan
keefektifan dari bangunan kekuatan lokal
dengan membasiskan diri pada kekuataan
pasar tradisional.
Maka pada akhirnya, negara tidak
berhasil menguatkan kekuatan ekonomi
lokal untuk bersaing di pasaran global.
Malahan negara kemudian iku-ikutan
mulai mengakuisisi nilai-nilai modernitas
untuk
diterapkan
kepada
stuktur
perekonomian
Indonesia.
Adanya
transformasi besar-besaran pada akhir
1998 dengan meliberalisasikan semua
sektor ekonomi termasuk ritel yang
dijalankan oleh pasar tradisional. Hal
inilah yang kemudian bertentangan dengan
spirit ekonomi rakyat yang digagas oleh
para founding fathers sebagai model
pengembangan ekonomi di Indonesia.
Mubyarto (2005 : 73) dalam A
Development
Manifesto
mengartikan
definisi ekonomi rakyat dalam kutipan
berikut.
“Ekonomi rakyat (people’ s economy)
has indeed a long history in Indonesia and
that the facts of its history should be
recognized as playing a very important
229
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
role in the modern Indonesian economy. It
makes a great deal of sense that the
government should pay close attention to
the role of ekonomi rakyat in further
developing the Indonesian economy”.
Sayangnya pendapat yang disampaikan
oleh Mubyarto tersebut tentang penguatan
ekonomi
rakyat
sebagai
basis
perekonomian modern kini kurang
diapresiasi oleh para teknokrat ekonomi
kita
yang
lebih
mengarustamakan
kapitalisasi di semua bidang ekonomi
modern. Hal itulah, yang menjadikan
ekonomi mikro seperti halnya pasar
tradisional sendiri mengalami marjinalisasi
ekonomi di negeri sendiri. Padahal esensi
yang disampaikan konsepsi ekonomi
rakyat
dengan
menyokong
pasar
tradisional sebagai model ekonomi modern
Indonesia merupakan sesuatu entitas
ekonomi yang berlanjut. Adapun kata
tradisional pada pasar sendiri mengartikan
diri sebagai “tradium” yang berarti
berlanjut sejak masa lalu hingga masa
sekarang ini. Dalam konteks tersebut,
esensi tradisional bukanlah sesuatu yang
harus kita singkirkan dalam era globalisasi
ekonomi sekarang ini. Malah justru itu
menjadi ciri khas tersendiri basis dasar
perekonomian mikro rakyat.
Adanya
liberalisasi
perdagangan
khususnya dalam bisnis ritel yang terjadi di
Indonesia
secara
tidak
langsung
mendorong pasar tradisional sebagai unsur
lokalitas ke dalam unsur globalitas
ekonomi dunia. Hal itulah yang kemudian
disebut sebagai bentuk konformitas
ekonomi lokal di modern (Achidsti, 2011 :
110). Adapun pengertian konformitas
ekonomi di sini bukan dimaksudkan diri
sebagai bentuk penyesuaian diri kekuatan
ekonomi lokal terhadap transformasi
ekonomi
yang
berkembang
dalam
globalisasi. Namun justru, merupakan
bentuk keterpaksaan diri untuk merangkul
ekonomi global dalam tataran ekonomi
nasional dan lokal. Dengan kata lain
konformitas juga bisa dimaknai sebagai
klausul terdesaknya pola-pola lama yang
manual dengan tren perkembangan
230
teknologi dan komunikasi yang memaksa
pola lama tersebut pudar demi alasan
efektivitas
dan
efisiensi
produksikonsumsi.
Setting perekonomian Indonesia sejak
era 1960-an memang menandai transisi
dari perekonomian subsisten menuju
perekonomian konsumtif. Robert Hefner
(2006) melihatnya sebagai tumbuhnya
kelas menengah dalam struktur kelas sosial
kemasyarakatan. Kelas menengah ini hadir
tidak terlepas dari banjir bonus pendapatan
minyak yang diproduksi Permina pada
pertengahan akhir 1960-an
hingga
menjelang 1980-an sehingga menciptakan
adanya generasi richie noveau (orang kaya
baru) di Indonesia. Generasi tersebut
setidaknya menciptakan lanskap baru
dalam perilaku konsumsi akan entitas
ekonomi yang mendukung kebutuhan para
kelas menengah tersebut. Oleh karena
itulah, kemudian memunculkan adanya
pertumbuhan ritel-modern dalam bentuk
toserba (toko serba ada) maupun swalayan
yang diperuntukkan bagi kelas menengah
Indonesia tersebut. Maka dalam hal ini,
pertumbuhan ritel modern erat kaitannya
dengan pertumbuhan pendapatan perkapita
penduduk maupun tingginya angka
pertumbuhan ekonomi.
C.2. Penetrasi Bisnis Ritel Asing di
Indonesia
Hadirnya ritel baik yang dijalankan oleh
swasta asing maupun swasta nasional tidak
terlepas dari konteks makro ekonomi
Indonesia yang sedang mengalami
pertumbuhan tinggi. Indonesia paska 1966
dianggap sebagai macan ekonomi baru
yang sempat terpuruk. Fakta mencatat
bahwa Indonesia mampu membalikkan
angka inflasi 600 % berhasil dikendalikan
1,6 % pada tahun 1970-an dan menaikkan
pendapatan perkapita hingga USD 1200
pada tahun yang sama. Kondisi tersebut
menimbulkan gairah ekonomi yang besar
bagi rakyat Indonesia dimana sebelumnya
mengalami depresi ekonomi nasional.
Maka dalam konteks inilah, transformasi
dari
ekonomi
tradisional
yang
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
keynesianistik menuju ekonomi modern
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.
Ritel modern merupakan indikator utama
peralihan ekonomi tersebut.
Ritel modern pertama yang dibangun di
Indonesia ditandai dengan Toserba (Toko
Serba Ada) Sarinah di kawasan Thamrin,
Jakarta Pusat pada pertengahan 1965-an.
Sarinah merupakan department store
pertama di Indonesia yang dibangun oleh
pemerintah dimana dana pembangunannya
diambil dana rampasan hasil perang
dengan Jepang yang mencapai USD 11
juta. Selang satu dekade berikutnya, Hero
muncul sebagai ambisi swasta nasional
untuk mendirikan pionir pasar swalayan di
Indonesia. Hal tersebut berlanjut pada
rentang 1980-1990-an yang ditandai
dengan munculnya Circle K sebagai aktor
asing pertama yang masuk dalam bisnis
ritel nasional pada tahun 1987 dan “Seven
Eleven” sebagai yang kedua dalam bentuk
convenience store. Konteks tahun 1990-an
merupakan tonggak berdirinya berbagai
macam ritel asing yang beriperasi di
Indonesia seperti halnya Marks & Spencer,
Y aohan, Makro, Carrefour, maupun JC.
Pencey. Natawidjaja (2005) dalam
”Modern Market Growth and The
Changing Map of The Retail Food Sector
in Indonesia”menyebutkan peningkatan
jumlah supermarket diawal tahun 1983,
pada saat itu mayoritas terdapat di Jakarta,
terjadi seiring dengan peningkatan
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per
kapita. Pola sebaran pasar modern masih
terkonsentrasi
di
wilayah
tertentu
khususnya di kota-kota besar seperti
Jabodetabek dan berbagai wilayah di pulau
Jawa. Jika melihat pada pola pertumbuhan
pasar modern, minimarket menjadi ritel
modern yang melakukan ekspansi usaha
terbesar,
dimana
sebagian
besar
minimarket
berada
di
kawasan
pemukiman. Minimarket mendapatkan
tempat tersendiri di hati masyarakat karena
kemudahan dalam berbelanja dan harga
yang relatif lebih murah jika dibandingkan
dengan pasar tradisional.
Adapun masuknya berbagai macam ritel
asing tersebut mulanya hanya memenuhi
berbagai kebutuhan konsumtif segmen
penduduk kelas menengah ke atas di
daerah perkotaan. Maka bisa dikatakan,
ritel modern ini hanya mengincar segmen
kelas premium. Hal itu tampaknya belum
menjadi ancaman yang berarti bagi
eksistensi pasar tradisional yang pada
umumnya
hanya
mencari
segmen
penduduk kelas menegah ke bawah. Posisi
pasar tradisional relatif aman sampai
pertengahan 1997-an dimana gelombang
inflasi
mulai
menghantui
dengan
menurunnya nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika Serikat yang menyentuh
angka Rp 17.000,00 per 1 USD
mengakibatkan
masyarakat
kembali
berkiblat kepada pasar tradisional untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi seharihari.
Kendati demikian, kondisi
keberpihakan kembali kepada pasar
tradisional tersebut tidak berlangsung
begitu lama mengingat terjadinya krisis
moneter yang terjadi pada tahun 1998
merupakan era keemasan dari ritel modern
untuk berkembang di Indonesia. Hal itu
dikarenakan salah satu poin pasal letter of
intent yang ditandatangani oleh pihak IMF
dan pemerintah Indonesia mensyaratkan
adanya deregulasi negara dari arena
ekonomi dan pemberian kebijakan
ekonomi yang terbuka bagi pihak asing
yang secara merta mengikutsertakan ritel
merupakan bidang yang terbuka bagi
swasta.
C.3.Setting Regulasi Bisnis Ritel
Nasional
Sebelum membahas mengenai regulasi
perniagaan mengenai ritel, terlebih dahulu
kita harus mengetahui pendefinisian
mengenai arti ritel. Ritel dalam Black’ s
Laws Dictionary diartikan sebagai “to sell
by small quantities in broken lots or
parcels not in bulks to sell direct to
consumers”. Artinya, ritel merupakan
bentuk tindakan ekonomis dengan menjual
komoditas eceran secara langsung kepada
konsumen di lapangan. Dari definisi
231
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
tersebut
saja,
terdapat
semangat
penyeragaman bahwa menjual secara
eceran disebut ritel tanpa kecuali. Hal
itulah yang kemudian turut pula
menghantarkan pasar tradisional sebagai
bagian dari klasifikasi dari ritel. Pada
Keputusan
Presiden
(Kepres)
No.
118/2000 dan peraturan sejenis lainnya di
tingkat nasional mengenai sektor ekonomi
terbuka memang mengamanatkan pasar
tradisional sebagai bagian dari industri ritel
yang diharuskan bersaing dengan sektor
swasta asing maupun swasta nasional
dalam
bentuk
department
store,
supermarket, convenience store, maupun
hypermarket.
Tabel 1 : Kerangka Regulasi Bisnis Ritel di Tingkat Nasional dan Lokal / Daerah
Tingkat
Regulas
Regulasi
i
Nasion  Keputusan Presiden (Kepres) No. 118/2000 tentang
al
Perubahan dari Keputusan Presiden No. 96/2000
mengenai Sektor Usaha yang Terbuka dan Tertutup
dengan Beberapa Syarat untuk Investasi Asing Langsung.
 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
No.107/MPP/Kep/2/1998 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pemberian Izin Usaha Pasar Modern.
 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
No.420/MPP/Kep/10/1997 tentang Pedoman Penataan
dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan.
 Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Perindustrian
dan Perdagangan dan Menteri Dalam Negeri No.57 dan
145/MPP/Kep/1997 tentang Penataan dan Pembinaan
Pasar dan Pertokoan.
 Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
No.12/MDAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha
Waralaba.
 Rancangan Peraturan Presiden tentang Penataan dan
Pembinaan Pasar Modern dan Toko Modern.
 Perda Provinsi No. 2/2002 tentang Pasar Swasta diDKI
Jakarta; Keputusan Gubernur No. 44/2003 mengenai
Petunjuk Pelaksanaan Pasar Swasta di Jakarta.
 Perda No. 23/2003 tentang Pengelolaan Pasar di Kota
Depok; Keputusan Perda Kota Depok No. 49/2001
tentang Izin Gangguan.
 Perda No.5/2011 tentang pembatasan jumlah ritel modern
di Kota Solo.
Sumber : Suryadarma et al (2008 : 31)
Lokal
Regulasi mengenai pengaturan bisnis
ritel di Indonesia tersebut menemui
berbagai perdebatan baik di level
232
konstitutif maupun level administratif
khususnya apabila kita cermati dua
regulasi ritel paling atas di level nasional
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
yakni Keputusan Presiden maupun SK
Menteri Perdagangan yang dinilai masih
lemah secara hukum. regulasi pada tingkat
nasional terkait perdagangan (Perpres No
112/2007 dan Permendag No 53/2008)
tidak memiliki kecukupan material dan
substansial dalam memberi arah dan model
perlindungan dan pengembangan sistem
nilai, modal sosial, dan pelaku pasar
tradisional. Semangatnya justru lebih
mengarah pada persaingan bebas (free
fight liberalism). Isi kedua regulasi
tersebut
lebih
mengakomodasi
ketelanjuran tatanan perdagangan saat ini
di mana telah terjadi dominasi peritel besar
daripada memenuhi semangat dan imperasi
konstitusional yang terdapat dalam PasalPasal Sosial-Ekonomi Undang-Undang
Dasar 1945.
Tabel 2 : Jenis Usaha Ritel yang berkembang di Indonesia sesuai regulasi Keppres dan
SK Mendag
Usaha Ritel
Batasan Fisik
Komoditas yang Tersedia
Minimarket
/ Mempekerjakan 2-6 Makanan Kemasan
Barang higienis Pokok
orang
“Convenience
Luas lantai usaha Antara 2000-3000 item
Store”
produk
200m2
Supermarket
Luas kantai usaha Makanan
350-8000 m3
Barang-barang rumah tangga
Tiga mesin hitung
Antara 10.000-18.000 item
produk (70 % barang ritel
dan 30 % fresh product)
Hipermarket
Berdiri Sendiri
Makanan
Luasnya diatas 8000 Barang Rumah Tangga
m3
Elektronik
Mesin hitung untuk Busana / Pakaian
setiap 1000 m3
Antara 19.000-40.000 item
produk (70 % barang ritel
dan 30 % fresh product)
Toko
dengan Luasnya lebih dari Makanan
sistem
500 m3
Barang Rumah Tangga
pembayaran cash Konsumen menjadi
and carry
anggota
(membership)
Toko
kecil Milik Keluarga
Makanan tertentu
dengan layanan Luasnya Kurang dari Barang Rumah Tangga
penuh
200 m3
tertentu
Pasar Tradisional Banyak Pedagang
Bahan-bahan segar
Lapak Kecil dengan Barang-barang
produksi
ukuran 2-10 m3
rumah
Barang-barang pokok rumah
tangga
Sumber : Collett, Paul and Tyler Wallace (2006 : 12)
Oleh
karena
itulah,menimbang
lemahnya penerapan regulasi tersebut.
Maka pemerintah saat ini tengah
merumuskan rancangan peraturan presiden
mengenai pasar modern (Rancangan
Peraturan Presiden tentang Toko Modern
233
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
dan Pasar Modern). Namun demikian,
rancangan tersebut tidak memuat sanksi
pidana bagi pasar modern bila terjadi
pelanggaran terhadap peraturan tersebut
karena pemberlakuan sanksi dalam
peraturan presiden dianggap melanggar
perundang-undangan nasional. Dengan
demikian, kedudukan peraturan presiden
tidak akan jauh berbeda dengan SK
menteri. Terlebih lagi, beberapa pasalnya
tidak mudah untuk diimplementasikan.
Salah satu contohnya adalah pasal 3,
paragraf 4 yang menyebutkan bahwa
hanya terdapat satu pasar modern dan/atau
dua toko modern yang diizinkan untuk
setiap satu juta orang.
Realitanya yang terjadi di masyarakat
justru ritel modern kini tidak lagi
menghitung satuan kuantitas untuk
mendirikan sebuah pusat perbelanjaan.
Namun lebih didasari, pada aspek
pertumbuhan ekonomi tengah berkembang.
Hal itulah yang kemudian mengakibatkan
keberadaan jumlah ritel modern menjadi
tidak terkendali sehingga menciptakan
persaingan usaha yang tidak sehat antara
sesama ritel maupun dengan pasar
tradisional. Oleh karena itulah, pola
persaingan tersebut pada akhirnya
menciptakan konflik vertikal dengan pasar
tradisional maupun konflik horizontal
dengan sesama ritel modern. Diantara dua
konflik tersebut, yang paling kentara unsur
konformitasnya ialah konflik vertikal
antara pasar tradisional dengan pasar
modern yang secara jelas menggambarkan
dua kutub ekonomi yang berbeda. Hal
itulah yang kemudian membuat dalam
bisnis
ritel di
Indonesia
sendiri
menghasilkan pemenang dan pecundang
karena kalah dalam urusan modal. Pasar
tradisional selama ini semenjak hadirnya
ritel modern tersebut selalu saja
ditempatkan pada posisi yang kalah
sehingga mengakibatkan posisinya kian
terjepit oleh keterbukaan pasar sekarang
ini.
Pemerintah
sebenarnya
berupaya
mengakomodasi tentang perlindungan
pasar tradisional dengan mengeluarkan
234
kebijakan ekonomi afirmatif. Setelah
tertunda 2,5 tahun, Peraturan Presiden
(Perpres) No 112 Tahun 2007 tentang
Penataan
dan
Pembinaan
Pasar
Tradisional, Pusat Perbelanjaan, serta Toko
Modern (biasa disebut Perpres Pasar
Modern), akhirnya ditandatangani oleh
Presiden Susilo Bambang Y udhoyono pada
27 Desember 2007 lalu. Enam pokok
masalah diatur dalam Perpres yaitu
definisi, zonasi, kemitraan, perizinan,
syarat perdagangan (trading term),
kelembagaan pengawas, dan sanksi. Soal
zonasi atau tata letak pasar tradisional dan
pasar modern (hypermart), menurut
Perpres, disusun oleh Pemerintah Daerah
(Pemda). Ini membuat pemerintah pusat
terkesan ingin “cuci tangan”, mengingat
tata letak justru merupakan persoalan
krusial sebab tak pernah konsisten
dipatuhi, yang lalu membenturkan
keduanya. Konteks “cuci tangan” tersebut
memang sangat rasional terlebih kini
otonomi daerah diamanatkan terjadi di
level kabupaten dan kota sebagaimana
dalam UU No. 32 tahun 2004. Artinya
pemerintah daerah memiliki kewenangan
penuh dalam mengatur penataan izin usaha
ritel modern maupun pengaturan pasar
tradisional
Pengalihan
kewenangan
mengeluarkan Izin Usaha Pasar Modern
(IUPM)
ke
Pemerintah
Daerah,
memungkinkan pasar tradisional selalu
dikorbankan dengan berbagai alasan.
Indikasinya, sebagian besar pasar modern
tidak memiliki IUPM dari pemerintah
pusat. Untuk masalah zonasi, Pemda diberi
waktu tiga tahun untuk menyusun rencana
umum tata ruang wilayah (RUTRW) yang
mengacu kepada Undang-Undang Tata
Ruang.
Dalam berbagai model pengaturan ritel
modern maupun pasar tradisional yang
terjadi memang terdapat beragam kasus
yang tidak selalu menempatkan pasar
tradisional selalu berada di pihak yang
kalah.
Kasus
perlindungan
pasar
tradisional di Kabupaten Bantul dan Kota
Surakarta merupakan dua contoh wilayah
yang secara nyata tegas membatasi
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
hadirnya ritel modern di wilayah mereka.
Adapun dalam kasus di Kota Surakarta,
Pemerintah kota sendiri memiliki regulasi
tersendiri salah satunya melalui Perda
No.5/2011 tentang pembatasan jumlah ritel
modern dalam kota. Dalam regulasi daerah
tersebut, pemerintah kota mengatur
pendirian ritel modern sejauh 500-1000
meter dari pasar tradisional. Pemerintah
menyadari bahwa pasar tradisional akan
terjepit bilamana izin usaha ritel diberikan
secara
berkesinambungan.
Pasar
tradisional haruslah menjadi penyetor
kebutuhan konsumsi sehari-hari bagi
masyarakat Surakarta. Adanya regulasi
tersebut, jumlah keberadaan ritel modern
di Kota Surakarta hampir sebanding
dengan jumlah pasar tradisionalnya dengan
prosentase 43:40 dengan catatan ritel
modern berada di wilayah pinggiran yang
utamanya menjadi pemasok komoditas
kaum komunter maupun perumahan kelas
menengah atas yang umumnya bermukim
di wilayah barat dan timur batas Kota
Surakarta.
Dalam kasus yang terjadi di Kabupaten
Bantul, pemerintah setempat mengeluarkan
kebijakan ekonomi kerakyatan dalam
Peraturan Bupati No.112 Tahun 2007
mengenai pembatasan jarak antara pasar
tradisional dengan ritel modern. Adanya
jarak tersebut menegaskan pemerintah
sendiri menginginkan supaya pasar
tradisional sendiri tetaplah terlindungi dari
serbuan ritel modern. Adapun jarak yang
dimaksudkan meliputi Jarak Toko Modern
dengan pasar tradisional minimal 1.500
meter, Jarak dengan toko modern lainnya
1.000 meter, Jarak dengan pasar tradisional
minimal 2.500 meter. Jarak ritel modern
jejaring nasional yang aturannya lebih
ketat karena membayangkan dampak yang
lebih besar dibanding ritel modern lokal.
Ritel modern jejaring nasional juga
semakin diperketat lewat pembatasan
wilayah pendirian yang hanya boleh di 3
Kecamatan (Banguntapan, Kasihan dan
Sewon). Kondisi ini disebabkan ketiga
kecamatan itulah yang memiliki karakter
perkotaan karena berbatasan langsung
dengan Kota Yogyakarta.
Dua model kebijakan ekonomi yang
terjadi di kedua wilayah tersebut
merupakan
cerminan
bagaimana
pemerintah seharusnya bertindak dalam
keterbukaan ekonomi sekarang ini dengan
lebih menekankan pada kekuatan lokal.
Namun apa yang terjadi di kedua wilayah
tersebut
merupakan
contoh
kecil
“keberhasilan” pasar tradisional atas ritel
modern. Kondisi tersebut kontras apabila
dikondisikan dengan situasional ekonomi
yang kini dan telah berlangsung dimana
pasar tradisional kian termarjinalkan oleh
ritel dalam lingkup skala nasional.
C.4 Konformitas Pasar Tradisional
versus Ritel Modern
Ssebenarnya
akar
permasalahan
ketimpangan bisnis ritel antara pasar
tradisional dan ritel modern adalah
kekuatan pasar dan permodalan di mana
ritel asing sangat kuat dan tinggi dan juga
strategi memenangkan psikologi konsumen
yakni melalui cara mempermainkan harga
komoditas konsumsi sehari-hari. Dua
faktor tersebut merupakan isu krusial yang
menempatkan pasar tradisional harus
berada di bawah hierarki ekonomi ritel
modern dengan segala keterbatasannya.
Oleh karena itu, marilah kita mencoba
menganalisa dua faktor utama sumber
ketimpangan tersebut.
Pertama,
kekuatan
pasar
dan
permodalan. Tidak dapat dipungkiri bahwa
urusan modal merupakan hal paling
mendasar untuk menganalisa ketimpangan
pasar tradisional dan ritel modern. Pasar
tradisional yang umumnya bermodal kecil
dengan interval kapital antara Rp 500.000
– Rp 20.000.000 per pedagang tersebut
sangatlah jauh dibandingkan dengan ritel
modern
yang
umumnya
mencapai
kapitalisasi mencapai < Rp 1.000.000.000.
Adanya perbedaan kapitalisasi dalam
faktor produksi inilah yang kemudian ada
relasi paradoks dalam realita bisnis ritel di
Indonesia dalam melakukan ekspansi
bisnis. Menurut survei AC Nielsen (2006),
235
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
jumlah
pusat
perdagangan,
baik
hypermarket, pusat kulakan, supermarket,
minimarket, convenience store, maupun
toko tradisional meningkat hampir 7,4%
selama periode 2003-2005. Dari total
1.752.437 gerai pada tahun 2003 menjadi
1.881.492
gerai
di
tahun
2005.
Perkembangan yang sangat tinggi ini
menunjukkan bahwa pasar Indonesia
memiliki potensi yang sangat menjanjikan
bagi usaha ritel. Saat ini kota-kota besar
seperti Surabaya, Bandung, Medan,
Makasar, dan Semarang menjadi basis
perkembangan supermarket. Surabaya
menjadi basis perkembangan supermarket
dengan persentase hampir 11,6% dari total
supermarket di Indonesia. Adapun
penelitian yang dilakukan oleh Terry Roe
(2005) yang berjudul ”The Rapid
Expansion
of
Modern
Retail”mengungkapkan
ekspansi
supermaket dipengaruhi oleh tingkat
pendapatan,
tingkat
urbanisasi,
infrastruktur,
dan
kebijakan
yang
mengijinkan ekspansi supermarket di
negara
berkembang.
Agresifitas
supermarket dalam melakukan ekspansi
usahanya dikhawatirkan akan memberikan
efek buruk bagi kesejahteraan petani
tradisional dan pedagang tradisional. Roe
menyebut ekspansi ritel tersebut sebagai
bentuk capital deepening dimasa transisi
pertumbuhan ekonomi, dapat mendorong
ekspansi
supermarket
tanpa
mempermasalahkan skala ekonomi atau
persaingan
tidak
sempurna,
serta
bagaimana ekspansi dapat terjadi walaupun
kontribusi total pengeluaran rumah tangga
236
untuk pangan sedang menurun. Ancaman
pasar modern terhadap pasar tradisional di
Indonesia mengalami perkembangan yang
sangat pesat. Data lain yang diperoleh dari
Euromonitor
(2004)
hypermarket
merupakan
peritel
dengan
tingkat
pertumbuhan paling tinggi (25%), koperasi
(14.2%), minimarket / convenience stores
(12.5%), independent grocers (8.5%), dan
su-permarket (3.5%). Selain mengalami
pertumbuhan dari sisi jumlah dan angka
penjualan, peritel modern mengalami
pertumbuhan pangsa pasar sebesar 2.4%
pertahun terhadap pasar tradisional.
Berdasarkan survey AC Nielsen (2006)
menunjukkan bahwa pangsa pasar dari
pasar modern meningkat sebesar 11.8%
selama lima tahun terakhir. tiga tahun
terakhir. Jika pangsa pasar dari pasar
modern pada tahun 2001 adalah 24.8%
maka pangsa pasar tersebut menjadi 32.4%
tahun 2005. Hal ini berarti bahwa dalam
periode 2001 – 2006, sebanyak 11.8%
konsumen
ritel
Indonesia
telah
meninggalkan pasar tradisional dan beralih
ke pasar modern. Keberadaan pasar
modern di Indonesia akan berkembang dari
tahun ke tahun. Perkembangan yang pesat
ini bisa jadi akan terus menekan
keberadaan pasar tradisional pada titik
terendah dalam 20 tahun mendatang. Pasar
modern yang notabene dimiliki oleh peritel
asing dan konglomerat lokal akan
menggantikan peran pasar tradisional yang
mayoritas dimiliki oleh masyarakat kecil
dan sebelumnya menguasai bisnis ritel di
Indonesia.
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Gambar 2 : Diagram Batang Fluktuasi Pertumbuhan Pasar Tradisional
dan Ritel Modern (dalam %)
70
60
50
40
Pasar Tradisional
30
Ritel Modern
20
10
0
2000
2002
2004
2006
2008
2010
Sumber : Laporan Perekonomian Indonesia 2011
Pertumbuhan
tersebut
berkorelasi
dengan naiknya omzet para ritel modern
tersebut. Pada tingkat nasional, saat ini 28
ritel modern utama menguasai 31% pangsa
pasar ritel dengan total omset sekitar Rp.
70,5 trilyun. Ini artinya bahwa satu
perusahaan rata-rata menikmati Rp. 2,5
Trilyun omset ritel/tahun atau Rp. 208,3
milyar/bulan. Adapun penelitian yang
dilakukan oleh Pandin (2011 : 28)
menyebutkan omset ritel modern tersebut
terkonsentrasi pada 10 ritel inti, yakni
minimarket Indomaret dan Alfamart
(83,8%), supermarket Hero, Carrefour,
Superindo,
Foodmart,
Yogya, dan
Ramayana (75%), dan hypermarket
Carrefour (48,7%), Hypermart (22%),
Giant (17,7%), Makro (9,5%), dan
Indogrosir (1,9%).
Adapun kondisi pasar tradisional ibarat
mati segan hidup pun tak mau. Hal ini
diakibatkan penetrasi ritel modern mulai
merambah ke masyarakat menengah ke
bawah
yang
notabene
merupakan
segmentasinya
pasar
tradisional.
Kenyamanan berbelanja yang ditawarkan
ritel modern membuat konsumen lebih
memilih untuk berbelanja di ritel modern.
Ritel tradisional dari waktu ke waktu tidak
menunjukkan pertumbuhan yang positif,
bahkan ditemukan bahwa pertumbuhan
ritel tradisional terus menurun dengan
persentase 8% per tahun. Adanya fakta
bahwa pasar tradisional semakin menurun
tersebut bisa dibuktikan dengan temuan
penelitian yang dilakukan oleh Rasidin
(2011) bahwa pada sektor Industri
Pengolahan untuk kategori Usaha Kecil
dan Menengah 18,42% dan 9,09% yang
terdapat di pasar menyatakan berdampak
pada
penurunan
omzet
penjualan.
Pernyataan kehadiran pasar modern
memiliki dampak pada penurunan omzet
penjualan, lebih banyak terjadi pada sektor
perdagangan baik pada Usaha Mikro, Kecil
maupun Menengah dengan frekuensi
36,36%, 40% dan 41,67%. Bahkan survey
penelitian independen yang dilakukan oleh
tim penelitian independen Pusat Studi
Ekonomi Kerakyatan UGM melihat ada
penurunan omzet sejauh 50 % lebih dalam
kasus yang terjadi pasar-pasar tradisional
di Indonesia semenjak regulasi ritel
diberlakukan pada tahun 2000. Lebih
jelasnya lihat tabel berikut ini.
237
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Tabel 3 : Penurunan Omzet pedagang pasar tradisional 2007-2011 (dalam %)
Omzet pedagang
per minggu 4 tahun terakhir
Kurang Rp 1 juta/minggu
18 %
9,1 %
Rp 1 juta- Rp 2 juta
16 %
9,1%
Rp 2 juta- Rp 5 juta
23 %
14,6%
Rp 5 juta- Rp 10 juta
6%
11%
Rp 10 juta- Rp 20 juta
14 %
20,4 %
Di atas Rp 20 juta
4%
5,6%
Sumber : Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM 2011
Adanya penurunan frekuensi yang
begitu masif yang terjadi dalam penurunan
omzet para pedagang di pasar tradisional
tersebut merupakan bentuk dari multiplier
effect (Hartati, 2006 : 23). Mengutip data
Asosiasi
Pedagang
Pasar
Seluruh
Indonesia (APPSI) tahun 2006 mencapai
24.000 pasar, dimana di dalamnya terdapat
12,60 juta pedagang pasar yang tersebar
baik dalam skala besar maupun skala kecil.
Oleh karena itulah, jikalau penetrasi ritel
modern kian menggerus eksistensi pasar
tradisional. Taruhannya ialah 12,6 juta
pedagang pasar, yang memiliki keterkaitan
erat dengan para pemasok kecil yang
sebagian besar merupakan petani atau
pengrajin kecil, saat ini terancam
keberadaannya.
Tenggelamnya
pasar
tradisional pun akan menyebabkan
pemerataan distribusi pendapatan akan
semakin sulit dicapai karena tren
perbelanjaan yang cenderung hanya
mengarah ke pasar modern akan
menyebabkan kemakmuran hanya akan
memusat dikalangan para pemodal besar
yang mendominasi industri pasar modern.
Hal itulah yang kemudian dikatakan
multiplier effect. Efek tersebut setidaknya
bisa terlihat dari jaringan distribusi
komoditas pasar tradisional yang harus
diperhatikan karena hilangnya model
distribusi
tradisional
memiliki
arti
hilangnya sejumlah lapangan pekerjaan
bagi orang yang selama ini mengandalkan
hidupnya dari usaha mendistribusikan
barang sebagai bagian dari rantai
distribusi. Konteks ketergantungan para
petani, peternak, nelayan, peladang,
maupun sektor agrikultur terhadap
keberadaan pasar tradisional memang
238
sangatlah besar sebagai tempat penjualan
hasil produksi agrikultural mereka.
Sebagai contoh, petani memasok 42,6 %
komoditas pasar tradisional meliputi
sayuran segar, umbi-umbian, maupun
kacang-kacangan, peternak memasok 10,8
– 15 % komoditas telur, daging, maupun
produk olahan nabati lainnya, nelayan
memasok ikan maupun produk bahari
lainnya mencapai 7,4 % - 10 %, dan
pengecer minyak 3,5 – 7 %.
Tentu saja dengan memperhatikan
jumlah yang tidak sedikit dalam besaran
pasar ritel, maka nilai-nilai dari peran
distributor ini juga sangatlah besar. Akan
menjadi sebuah kehilangan ekonomi bagi
bangsa ini, di tengah tuntutan efisiensi
karena peran distributor menjadi hanya
tinggal distributor besar. Pola tersebut
tentunya sangatlah berbeda dengan kondisi
peta distribusi yang terjadi di pasar
tradisional
dimana
pola
distribusi
dilakukan secara tersentralisasi (Gambar 3)
dibandingkan dengan pasar tradisional
yang multi distributor.
Adanya sentralisasi dalam penjualan
komoditas yang dilakukan oleh ritel
modern yang berasal dari pabrik tersebut
tentu
hanya
akan
menguntungkan
distributor besar semata. Harus diakui
bahwa
model
sentralisasi
tersebut
dipandang lebih efisien dan efektif dalam
menjual produknya langsung kepada
masyarakat. Namun demikian, sentralisasi
tersebut juga bisa dimaknai sebagai bentuk
strategi pemenangan harga. Ritel memang
dapat berkuasa untuk menentukan harga
jauh lebih murah dari harga pasaran untuk
meraup konsumen sehingga labanya lebih
banyak. Hal itu tentu berbeda dengan para
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
pedagang pasar tradisional yang tentu
masih menganut harga yang ditentukan
oleh pada distributor sehingga kecil
kemungkinan para pedagang pasar
memainkan harga pasar. Maka dalam taraf
inilah, strategi penguasaan psikologi
konsumen diberlakukan oleh ritel modern
dalam menguasai pasaran konsumen.
Kedua,
strategi
memenangkan
psikologi konsumen. Tumbuhnya kelas
menengah gelombang kedua di Indonesia
paska krisis 1998 berkat adanya
pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai
6 % pada satu dekade terakhir secara
langsung merubah pola perilaku konsumen
di Indoensia. Saat ini persepsi masyarakat
terhadap
belanja
telah
mengalami
perubahan. Sebelumnya peran berbelanja
dilihat
dari
sudut
pandang
fungsionalitasnya. Namun saat ini belanja
telah memberikan peran emosional.
Berbelanja telah dianggap sebagai salah
satu cara yang dapat dilakukan untuk
memperoleh
fungsi
rekreasi
dan
memperoleh privilege diri sebagai kelas
tersendiri
dalam
struktur
sosial
kemasyarakatan.
Artinya
bahwa,
berbelanja di tempat tertentu akan
menentukan preferensi penilaian publik
atas pribadi tersebut. Fenomena peralihan
pola berbelanja dari fungsionalitas menuju
arah tersebut merupakan bentuk dari
perilaku
impulse
buying
sebagai
kecenderungan konsumen untuk membeli
secara spontan, sesuai dengan suasana hati.
Dengan kata lain, Impulse buying adalah
bagian dari sebuah kondisi yang
dinamakan “unplanned purchase” atau
pembelian yang tidak direncanakan yang
kurang lebih adalah pembelanjaan yang
terjadi
ternyata
berbeda
dengan
perencanaan
pembelanjaan
seorang
konsumen (Rock, 2003 : 59).
Hal itulah yang kemudian menciptakan
premis perilaku konsumen di Indonesia
bahwa “people often buy product not for
what they do, but for what they mean”.
Artinya, konsumen membeli sebuah
produk bukan semata-mata karena
mengejar manfaat fungsionalnya, namun
lebih dari itu juga mencari makna tertentu
(seperti citra diri, gengsi, bahkan
kepribadian). Kondisi situasional inilah
yang kemudian dimanfaatkan oleh para
pelaku ritel modern untuk memakai
beragam cara meraup laba dengan
mengaplikasikan berbagai strategi bisnis.
Mereka melakukan berbagai strategi harga
seperti strategi limit harga, strategi
pemangsaan lewat pemangkasan harga
(predatory pricing), dan diskriminasi harga
antarwaktu
(inter-temporal
price
discrimination). Misalnya memberikan
diskon harga pada akhir minggu dan pada
waktu tertentu. Sedangkan strategi
nonharga antara lain dalam bentuk iklan,
membuka gerai lebih lama, khususnya
pada akhir minggu, bundling/tying
(pembelian secara gabungan), dan parkir
gratis.
Hal itulah yang kemudian menjadikan
para konsumen di Indonesia beralih
berbelanja di ritel modern daripada di
pasar tradisional. Adanya tampilan
menarik kemasan komoditas yang menarik
disertai kondisi yang nyaman membuat
betah berlama-lama untuk berbelanja,
apalagi dengan harga murah yang tentunya
akan semakin meningkatkan nafsu
komsumtif untuk berbelanja secara
grosiran, bukan lagi dalam skala eceran.
Adanya realita tersebut justru semakin
menenggelamkan pasar tradisional sebagai
entitas ekonomi yang mana secara gradual
kehilangan konsumennya. Selama ini,
pasar tradisional bisa hidup karena ada
loyalitas para konsumennya yang 43,4 %
merupakan ibu rumah tangga, 40 % nya
adalah warung dan toko kecil, dan 17 %
nya adalah sektor informal.
Namun kini hampir 67,2 %nya
konsumen pasar tradisional kini beralih
menuju ritel modern yang dianggap lebih
representatif dalam berbelanja. Meskipun
hadirnya ritel modern dianggap sebagai
menurunnya jumlah konsumen ke pasar
tradisional. Ternyata terdapat berbagai
faktor potensial lainnya yang turut
mempengaruhi kondisi dilematis tersebut.
Riset Majalah SWA pada tahun 2010
239
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
menyebutkan 7 faktor lainnya yang
berandil besar sebagai penyebab kelesuan
usaha di pasar tradisional antara lain 1)
meningkatnya persaingan usaha dengan
sesama pedagang pasar tradisional lainnya
2) meningkatnya persaingan usaha dengan
supermarket 3) harga lebih tinggi 4) harga
dari para pemasok lebih tinggi 5) kondisi
pasar kian memburuk 6) semakin sulit
mendapatkan ketersediaan barang 6)
meningkatnya harga sewa kios 7) kredit
usaha dari bank kian menipis.
Kompleksitas yang dialami oleh pasar
tradisional sekarang ini merupakan bentuk
ketidakberpihakan kepada ekonomi lokal
berbasis pasar tradisional. Maka pada
akhirnya kue ekonomi Indonesia yang
harusnya juga ikut dinikmati oleh rakyat
kecil justru semakin dilahap kekuatan
pemodal besar. Maka tepatlah pula, pesan
futuristik yang disampaikan Jayabaya
tentang “Y en Pasar Ilang Kumandhange”
bahwa pasar di masa depan akan
kehilangan gaung keramaian. Jangankan
gaung ramai, pasar tradisional kini mulai
surut dan menyepikan diri karena kalah
bersaing dengan ritel modern. Pada
akhirnya, rakyat pun menjadi korban
marjinalisasi pasar tradisional karena mata
pencahariannya dan pendapatannya juga
menurun seiring dengan kondisi sepi di
pasar tradisional.
Oleh karena itulah, pasar tradisional
butuh ruang afirmasi ekonomi di tengah
menggejalanya liberalisasi ritel modern di
Indonesia sebagai bentuk globalisasi
ekonomi dewasa kini dalam berbagai
produk kebijakan. Adapun kebijakan
Perpres. No 112 Tahun 2007 maupun
Permendag No. 53 Tahun 2008 yang
mengatur ritel tradisional dan ritel modern
dirasa masih belum cukup untuk
melindungi pasar tradisional dari serbuan
ritel. Dibutuhkan regulasi yang lebih tegas
dan mengafirmasi pasar tradisional sebagai
bentuk arena demokrasi ekonomi bagi
rakyat Indonesia.
240
D. KESIMPULAN
Modernisasi dalam bidang ekonomi
memang menuntut adanya kapitalisasi
yang
besar
dalam
memenangkan
persaingan bisnis yang begitu sengit dalam
globalisasi sekarang ini. Hadirnya ritel
modern sebagai entitas baru dalam
pemenuhan
kebutuhan
konsumsi
masyarakat Indonesia merupakan contoh
nyata dari adanya penetrasi aktor global ke
dalam perekonomian lokal. Adanya
persentuhan global dengan lokal dalam
pemenuhan
kebutuhan
konsumsi
menimbulkan adanya pemenang maupun
pecundang. Dalam hal ini, ritel selalu
berada di atas pasar tradisional dalam peta
persaingan bisnis ritel sekarang ini karena
terdapat ketimpangan kapitalisasi yang
begitu mencolok terjadi di sana.
Akibatnya, pasar tradisional tergerus oleh
dinamika perekonomian zaman.
Matinya pasar tradisional dalam kancah
perekonomian
nasional
merupakan
indikasi berlakunya individualisme dalam
bertransaksi ekonomi. Akibatnya kegiatan
ekonomi diibaratkan sebagai kegiatan yang
semu dan pasif karena hilangnya ruh
modal sosial yang ada di dalamnya. Pasar
tradisional tetap harus berdiri sebagai
bentuk uniksitas kekuatan ekonomi lokal
di Indonesia melalui regulasi yang
afirmatif. Sehingga pasar tradisional
dengan
segala
keriuhan
transaksi
ekonominya akan terus hidup dalam
mengawal
peradaban
perekonomian
bangsa.
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
DAFTAR PUSTAKA
Achidsti, Sayfa. 2011. Tinjauan Historis:
Konformitas Pasar Tradisional
versus
Konsep
Global
Pembangunan Dunia. JURNAL
EKONOMI
DAN
PEMBANGUNAN INDONESIA.
Th. 11, No. 2, hlm.110-139.
Akung, A.M. 24 November, 2011.
Menjaga Pasar Tradisional. Seputar
Indonesia, hlm.4.
Alexander, Jennifer. 1987.Trade, Traders,
and Trading in Rural Java. Oxford
: Oxford University Press.
Aprindo. 2011. Survey Omzet Peningkatan
Ritel Modern. Jakarta : Apindo
BPS. 2011. Indonesia Dalam Angka.
Jakarta : BPS Press.
Collett, P . dan Wallace, T. 2006.
Background Report: Impact of
Supermarkets
on
Traditional
Markets and Small Retailers in the
Urban Centers. Mimeograf tidak
diterbitkan
Djojohadikusumo,
Sumitro.
1981.
Perkembangan
Pemikiran
Ekonomi. Jakarta : Y ayasan Obor
Indonesia.
Geertz, Clifford. 1977. Penjaja dan Raja.
Jakarta : Gramedia.
_____________.1978.
The
Bazaar
Economy:
Information
and
Searching Peasant Marketing.
AMERICAN
ECONOMIC
REVIEW. Th. 68, hlm. 28-32.
Hartati, W. 2006. Pergeseran Subsektor
Perdagangan
Eceran
dari
Tradisional
ke
Modern
di
Indonesia. Bogor : Fakultas
Ekonomi dan Manajemen IPB.
Hefner, R.W. 2006. Budaya Pasar
(Masyarakat dan Moralitas dalam
Kapitalisme Asia Baru). Jakarta :
LP3S.
Kemendag. 2011. Laporan Perekonomian
Indonesia
2011.
Jakarta
:
Kemendag
Kartodirjo, Sartono. 1988. Pengantar
Sejarah Indonesia Baru: 1500-
1900. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
Leksono. S. 2009. Runtuhnya Modal Sosial
Pasar Tradisional. Malang :
Penerbit Citra.
Mubyarto. 2005. A Development Manifesto
: The Resilience of Indonesian
Ekonomi Rakyat During the
Monetary Crisis. Jakarta : Penerbit
Buku Kompas.
Nastiti, T.S.2003. Pasar di Jawa Masa
Mataram Kuna Abad VIII-IX
Masehi. Jakarta : PT. Dunia
Pustaka Jaya.
Natawidjaja, Ronnie. 2005. Modern
Market Growth and The Changing
Map of The Retail Food Sector in
Indonesia. Jakarta : The Pacific
Food System Outlook.
Nugroho, Heru. 2001 .Uang, Rentenir , dan
Hutang
Piutang
di
Jawa.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Negara, D.N. & Basu, S.D. 2003.
Normative Moderators Of Impulse
Buying Behaviour. JOURNAL OF
BUSSINES, Th.5, No. 1, hlm.1-14.
Pandin, L.M. (2011) . Potret Bisnis Ritel di
Indonesia
:
Pasar
Modern.
ECONOMIC REVIEW, No. 215,
hlm. 1-12.
Pustek, UGM. (2011). Negara & Serbuan
Waralaba
Asing.
(http://www.map.ugm.ac.id/index/n
egara-dan-serbuan-waralabaasing.html, diakses 12 Mei 2012)
Kemen PU. 2011. Kajian Modernisasi
Pasar Tradisional Berbasis Modal
Sosial. Jakarta : Kemen PU
Roe. T, Agapi. S, & Shane.M. 2005. The
Rapid Expansion of The Modern
Retail Food Marketing in Emerging
Market Economies: Implication to
Foreign Trade and Structural
Change in Agriculture. Rhode
Island.
Sindhunata. 27 September, 2011. Y en
Pasar
Ilang
Kumandhange.
Kompas, hlm.6.
Sitepu, Ronald. (2011). Dampak Pasar
Modern Terhadap Kinerja Industri
241
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Kecil. JURNAL VISI EKONOMI,
Th. 10, No.1, hlm. 19-35.
Sumardjan, Selo. 1986. Social Changes in
Y ogyakarta. New Y ork : Cornell
University Press.
Suryadharma. 2007. Dampak Supermarket
terhadap Kebijakan Pasar dan
Pedagang Ritel Tradisional di
242
Daerah Perkotaan di Indonesia.
Jakarta : Lembaga Penelitian
SMERU.
Wertheim, W .F. 1958. The Indonesian
Town : Selected Studies in
Indonesian. The Hague : W . V an
Hoeve
Ltd.
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Dampak Investasi Pemerintah Terhadap Investasi Swasta dan
Kesejahteraan Masyarakat Setelah Pemekaran Daerah
Kabupaten Kota di Provinsi Maluku
Tri Wahyuningsih
Abstract
The objective of the study is to test and analyze: first, the influence of public investment toward private
investment; second, the influence of public investment toward society welfare; third, the influence of
private invsetment toward society welfare of districts and municipality in Maluku Province.
The Analysis method used is this study is path analysis by using SPSS program package. The
secondary data used are panel data, which is the combination of data from 2005 until 2008 and cross
data including 7 districts and 1 municipality in Maluku Province.
The study generates conclusions that: first, public investment significantly influences private
investment and has positive relationship direction. Second, public investment has a significant
influences toward society welfare. Third, private investment has a significant influence toward society
welfare and has positive relationship direction. Than, the dominant variable which effect society
welfare is public investment, while the smallest contibution effect toward welfare growth is private
investment.
Keywords : government investment, private investment, and society welfare.
PENDAHULUAN
Lahirnya undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 telah membuka peluang bagi
daerah untuk memekarkan diri, menjadi
daerah baru, kabupaten, kota ataupun
menjadi provinsi baru. Salah satu provinsi
di Indonesia yang mengalami pemekaran
darah provinsi dan kabupten kota setelah
otonomi daerah adalah provinsi Maluku.
Pemekaran wilayah dianggap sebagai
solusi alternatif supaya pembangunan
dapat lebih merata di seluruh wilayah di
Indonesia. Semakin dekat pemerintah
dengan daerahnya, maka diyakini semakin
baik juga penyediaan barang publik dapat
dilakukan. Hal ini disebabkan oleh karena
pemerintah daerah benar-benar mengetahui
secara pasti karakteristik barang publik
yang paling tepat sesuai dengan keadaan
daerah masing-masing.
Salah satu tujuan pemekaran daerah
adalah untuk meningkatkan pelayanan
publik guna mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat. Hal penting
utama yang perlu dikaji adalah sejauh
mana “input” yang diperoleh pemerintah
daerah pemekaran dapat digunakan
semaksimal mungkin untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat (BAPPENAS
dan UNDP .2008:5). Berlakunya undangundang otonomi daerah telah memberikan
peluang bagi daerah untuk menggali
potensi lokal dan tingkat independensi
pemerintah daerah di bidang keuangan
semakin meningkat. Artinya pemerintah
daerah memiliki keleluasaan dalam
merencanakan dan menentukan arah
pembangunan, menggali sumber-sumber
penerimaan, menentukan prioritas serta
kegiatannya. Litvack and Seddon dalam
Prawirosetoto (2002) menyatakan bahwa
desentralisasi fiskal adalah pendelegasian
tanggung jawab dan pembagian kekuasaan
dan kewenangan untuk pengambilan
keputusan di bidang fiskal yang meliputi
aspek penerimaan (tax assignment)
maupun aspek pengeluaran (expenditure
__________________________________________
Alamat Korespondensi :
Tri Wahyuningsih, Prodi Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi, Universitas Iqra buru (UNIQBU) - Maluku
Email : [email protected]
JESP V ol.4, No. 2, 2012
assignment) sehingga pemerintah daerah
akan memperoleh transfer dari pusat dalam
rangka keseimbangan fiskal. Dengan
demikian maka pemerintah daerah yang
telah diberi keleluasaan untuk mengatur
pengeluarannya tersebut sudah sewajarnya
apabila Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah dialokasikan untuk kepentingan
publik dalam bentuk investasi pemerintah.
Oleh karenanya salah satu aspek yang
perlu
menjadi
perhatian
adalah
pemanfaatan
semaksimal
mungkin
keuangan daerah bagi pelayanan publik
serta mendorong perekonomian daerah
melalui belanja modal.
Investasi pemerintah daerah dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) tercermin melalui belanja modal
yang dianggarkan setiap tahunnya. Adanya
peningkatan penerimaan APBD kabupaten
kota di provinsi Maluku disetiap tahun
ternyata tidak dikuti dengan peningkatan
dana yang dialokasikan untuk investasi.
Hal ini tentunya akan berdampak terhadap
penyediaan sarana fisik dan prasarana yang
memadai bagi daerah kabupaten dan kota
yang mengalami pemekaran. Keterbatasan
infrastruktur secara langsung akan
menyebabkan potensi ekonomi provinsi
Maluku tak kunjung dapat didayagunakan
secara optimal.
Suatu iklim investasi (infrastruktur)
yang baik maka akan semakin menarik
daerah tersebut untuk dijadikan investasi
bagi perusahaan-perusahaan swasta, dari
para petani dan wirausahawan mikro
sampai dengan perusahaan manufaktur
lokal dan perusahaan multinasional.
Perusahaan-perusahaan tersebut melakukan
investasi pada gagasan-gagasan serta
fasilitas-fasilitas baru yang memperkuat
fondasi pertumbuhan dan kesejahteraan
ekonomi (The World Bank.2004:2). Nilai
investasi swasta dalam negeri maupun
asing di provinsi Maluku pada umumnya
tidak menunjukkan adanya kecenderungan
nilai investasi yang meningkat setiap
tahunnya, tetapi berfluktuasi. Padahal,
salah satu cara untuk merangsang
pertumbuhan ekonomi adalah investasi,
244
baik investasi dari luar negeri maupun
investasi dalam negeri. Investasi swasta
merupakan salah satu aspek yang perlu
diberdayakan di daerah, karena salah satu
inti dari otonomi daerah dan pemekaran
wilayah adalah pemberdayaan daerah
dimana
merupakan
suatu
proses
pembelajaran dan penguatan bagi daerah
untuk mampu mengatur, mengurus dan
mengelola kepentingan dan aspirasi
masyarakatnya sendiri.
Dalam konteks otonomi daerah
yang saat ini tengah berlangsung, idealnya
investasi swasta adalah sebagai salah satu
pendorong pembangunan di Provinsi
Maluku. Sudah saatnya Provinsi Maluku
berkompetisi menarik sebanyak mungkin
investasi swasta sebagai penggerak
pembangunan daerah sehingga potensi
daerah dapat dimanfaatkan secara optimal
bagi masyarakat. Kehadiran investasi
swasta sangat penting dalam menunjang
pembangunan daerah dan penurunannya
dapat berdampak serius. Hal ini disebabkan
karena kalau invesatsi turun, maka
kegiatan-kegiatan produksipun akan ikut
turun. Jika kegiatan produksi turun, dengan
sendirinya output pun merosot, dan apabila
penurunan ini terjadi terus-menerus maka
pada gilirannya laju pertumbuhan ekonomi
secara keseluruhan akan merosot.
Berdasarkan
data
distribusi
persentase pertumbuhan ekonomi menurut
lapangan usaha di Provinsi Maluku, sektor
pertanian,
peternakan,
kehutanan,
perikanan dan sektor jasa-jasa mengalami
penurunan terus-menerus dari tahun 2005
sampai
dengan tahun
2008.
Ini
menunjukkan bahwa kedua sektor tersebut
belum dikembangkan dengan baik dan
optimal sehingga kontribusinya terhadap
output dari tahun ke tahun semakin kecil.
Padahal Maluku memiliki potensi sumber
daya alam yang cukup berlimpah.
Luas keseluruhan areal Provinsi
Maluku, 90,85 % merupakan perairan laut
atau nisbah antara laut dan daratan adalah
9:1, sehingga sangat berpeluang untuk
pengembangan usaha perikanan tangkap,
pengembangan potensi budidaya laut dan
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
pengembangan industri pengolahan ikan
(Tim Peneliti Soegeng Sarjadi Syndicated.
2001:1005). Kenyataan ini menunjukkan
bahwa mau tidak mau masyarakat provinsi
Maluku
harus
meningkatkan
pendayagunaan dan pemanfaatan sumber
daya alam yang terkandung di dalamnya
sehingga keunggulan utama wilayah laut
Maluku terletak pada besarnya peluang
pemanfaatan
dan
pengembangan
keanekaragaman hayati (perikanan) yang
dikandungnya. Dengan demikian, sub
sektor kelautan di Maluku juga merupakan
salah satu potensi handalan sektor
perikanan. Tentu semua ini tidak akan
bermakna apa-apa jika tidak dikembangkan
guna meningkatkan kontribusi sektor
tersebut sehingga dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi.
Keberhasilan pembangunan tidak
hanya diukur dari tingkat pertumbuhan
ekonomi (PDRB), tetapi juga dengan
indikator pembangunan masyarakat yang
lebih baik seperti tingkat harapan hidup
yang lebih lama dan jangkauan pendidikan
yang lebih luas. Oleh karena itu,
pembangunan manusia yang diukur dengan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
adalah salah satu diantara indikator
pembangunan yang dapat digunakan untuk
mengukur keberhasilan pembangunan.
IPM kabupaten kota di provinsi Maluku
apabila dibandingkan dengan keseluruhan
perkembangan rata-rata daerah lain di
Indonesia, Indeks Pembangunan Manusia
Provinsi Maluku masih rendah. Rendahnya
angka IPM ini akan sangat tidak
menguntungkan
bagi
kelangsungan
pembangunan berikutnya, karena sumber
daya
manusia
merupakan
sentral
keberlangsungan pembangunan. Oleh
sebab itu, merupakan langkah sangat
strategis jika pada era otonomi daerah dan
terbentuknya daerah-daerah otonom baru
di provinsi Maluku, perhatian terhadap
sumber daya manusia ditangani secara
lebih awal dan dilakukan secara sungguhsungguh.
Berdasarkan atas uraian tersebut,
maka salah satu sumber penting bagi
tercapainya pembangunan yang berkualitas
setelah pemekaran daerah kabupaten kota
di provinsi Maluku adalah adanya
investasi, yang diawali dari investasi
pemerintah
yang
kemudian
akan
berdampak terhadap masuknya investasi
swasta dan diharapkan akan meningkatkan
tingkat pertumbuhan ekonomi serta
kesejahteraan masyarakat. Keterkaitan atas
hal-hal yang telah diuraikan itu, maka
cukup menarik dan penting untuk melihat
pengaruh investasi pemerintah terhadap
investasi swasta dan pertumbuhan ekonomi
serta kesejahteraan masyarakat di provinsi
Maluku khususnya setelah pemekaran
daerah.
Rumusan Masalah
1. Apakah
investasi
pemerintah
berpengaruh terhadap investasi swasta?
2. Apakah
investasi
pemerintah
berpengaruh terhadap kesejahteraan
masyarakat?
3. Apakah investasi swasta berpengaruh
terhadap kesejahteraan masyarakat?
Tujuan Studi
1. Menguji dan Menganalisis pengaruh
investasi pemerintah terhadap investasi
swasta.
2. Menguji dan Menganalisis pengaruh
investasi
pemerintah
terhadap
kesejahteraan masyarakat.
3. Menguji dan Menganalisis pengaruh
investasi swasta terhadap kesejahteraan
masyarakat.
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Pengeluaran Pemerintah
1. Model Pembangunan Tentang
Perkembangan Pengeluaran
Pemerintah
Model yang dikembangkan oleh
Rostow
dan
Musgrave
ini
menghubungkan
perkembangan
pengeluaran pemerintah dengan tahaptahap dalam proses pembangunan
ekonomi. Pada tahap awal dari
perkembangan ekonomi persentase
245
JESP V ol.4, No. 2, 2012
investasi pemerintah dari total investasi
besar, sebab pada tahap ini pemerintah
harus
menyediakan
prasarana
pendidikan kesehatan dan sebagainya
(Mangkoesoebroto. 2001:170). Pada
tahap
menengah
pembangunan
ekonomi, investasi tetap diperlukan
untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi agar dapat tinggal landas,
namun pada tahap ini peranan investasi
swasta sudah semakin membesar dan
investasi pemerintah terhadap GNP
akan semakin kecil pada tingkat lebih
lanjut.
2. Hukum Wagner Mengenai
Perkembangan Aktifitas Pemerintah
Wagner mengemukakan model teori
tentang perkembangan pengeluaran
pemerintah yang semakin membesar
dalam persentase terhadap GNP yang
didasarkan pada pengamatan di negaranegara Eropa USA dan Jepang pada
abad ke-19. Peningkatan pengeluaran
pemerintah tersebut disebabkan perang,
meningkatnya
fungsi
perbankan,
perkembangan
demokrasi
serta
meningkatnya fungsi pembangunan,
sehingga
kurva
perkembangan
pengeluaran pemerintah berbentuk
garis, di mana perkembangannya naik
terus-menerus.
3. Teori Peacock dan Wiseman
Berdasarkan hasil empiris penyelidikan
Peacock dan Wiseman disertai dengan
penekanan pola waktu, perkembangan
penegeluaran pemerintah bukan bersifat
continious growth, melainkan seperti
tangga, karena Peacock dan Wiseman
mempertimbangkan adanya gangguan
sosial seperti perang, bencana alam dan
lain-lain.
T eori Investasi
Teori-teori mengenai pembentukan
modal (investasi) ini menerangkan strategi
makro mengenai kebijakan investasi yang
perlu dijalankan suatu negara yang ingin
memulai dan mempercepat pembangunan
246
ekonominya. Jawaban atas persoalan ini,
beberapa ahli ekonomi mengemukakan
teori berikut:
1. Teori Dorongan Kuat (Big Push)
Menurut
teori
ini,
untuk
menanggulangi
hambatan
pembangunan ekonomi di negara
berkembang dan untuk mendorong
ekonomi tersebut ke arah kemajuan
diperlukan suatu “dorongan kuat” dari
investasi atau program besar-besaran
yang menyeluruh dalam bentuk suatu
jumlah minimum investasi tertentu.
Menurut
Rosentein-Rodan,
pembangunan industri secara serentak
dan
besar-besaran
itu
akan
menciptakan tiga macam ekonomi
eksternal, yaitu: pertama, yang
diakibatkan oleh perluasan pasar;
kedua, karena industri yang sama
letaknya; dan ketiga, karena adanya
industri lain dalam perekonomian
tersebut (Kamaluddin.1998:83-84).
2. Teori
Pembangunan
(Balanced Growth)
Seimbang
Pembangunan
seimbang
dapat
digunanakan dengan pengertian yang
berlainan. Misalnya dalam hubungan
dengan pembangunan daerah, adapula
pembangunan seimbang diartikan
sebagai
pembangunan diberbagai
sektor, dan juga berbagai aspek
kehidupan
sosial,
politik
dan
kebudayaan.
Dengan
demkian,
pembangunan seimbang itu dapatlah
didefinisikan
sebagai
usaha
pembangunan yang berusaha mengatur
program penanaman modal secara
sedekian rupa sehingga sepanjang
proses pembangunan tidak akan timbul
hambatan-hambatan yang bersumber
dari penawaran maupun permintaan
(Sukirno.2006:272).
3. Teori Pembangunan Tidak Seimbang
(Unbalanced Growth)
Menurut Hirschman dan Streeten,
program pembangunan tidak seimbang
adalah program pembangunan yang
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
lebih sesuai untuk mempercepat
proses pembangunan di negara
berkembang. Hal ini disebabkan
karena pada hakikatnya gagasan untuk
melaksanakan pembangunan tidak
seimbang didasarkan kepada tiga
pertimbangan.
Pertama,
secara
historis, pembangunan ekonomi yang
telah
berlaku
coraknya
tidak
seimbang; kedua, untuk mempertinggi
efisiensi penggunaan sumber daya
yang
tersedia;
dan
ketiga,
pembangunan tidak seimbang akan
menciptakan
gangguan-gangguan
(bottlenecks)
dalam
proses
pembangunan, yang akan menjadi
pendorong
bagi
pembangunan
selanjutnya.
Hubungan Investasi Pemerintah dan
Investasi Swasta
Berbagai jenis investasi dalam
suatu wilayah atau negara, bahkan regional
dan global dalam kenyataannya saling
membutuhkan dan bersinergi satu sama
lain. Misalnya investasi swasta (private),
membutuhkan investasi oleh negara dalam
bentuk perangkat keras (hardware) berupa
prasarana dan sarana yang mendorong
tumbuhnya investasi, (seperti jalan,
pelabuhan, sarana telekomunikasi, tenaga
kerja yang handal, dan sebagainya)
sehingga menimbulkan rasa aman, adanya
kepastian hukum, yang semuanya akan
membentuk iklim usaha yang menarik.
Investasi dapat dilakukan oleh pemerintah
sebagai penyelanggara negara, atapun
investasi oleh swasta. Hubungan keduanya
adalah saling melengkapi. Bila investasi
oleh pemerintah meningkat, maka ini akan
mendorong pengembangan investasi oleh
swasta, dan sebaliknya.
T eori Pertumbuhan Ekonomi
Teori pertumbuhan ekonomi di
dalam penelitian ini hanya dikutip
beberapa teori yang langsung terkait
dengan investasi.
1. Teori Pertumbuhan
Smith
Klasik:
Adam
Menurut
A.
Smith,
dalam
pembangunan
ekonomi,
modal
memegang peranan yang penting.
Akumulasi modal akan menentukan
cepat atau lambatnya pertumbuhan
ekonomi yang terjadi pada suatu
negara. Tabungan, akumulasi modal,
dan investasi merupakan suatu mata
rantai yang berkaitan erat satu sama
lain. Jika investasi rendah, maka
kemampuan menabung akan turun,
sehingga akumulasi modal akan
mengalami penurunan pula. Jika hal
tersebut terjadi berarti laju investasi
juga akan rendah dan akan menurunkan
pertumbuhan ekonomi.
2. Teori Pertumbuhan Neo Keynes : R.F.
Harrod dan E.D. Domar
Menurut Harrod-Domar
(Suryana.
2000:66-67), perekonomian harus
melakukan investasi baru (tambahan
stok kapital) jika ingin tumbuh. Dalam
hal
ini,
model
Harrod-Domar
mengasumsikan terdapat hubungan
langsung antara investasi dengan
output. Hubungan antara stok kapital
dan output disebut Incremental
Capital Output Ratio (ICOR) dengan
rumus (Widodo.1990:28):
I / PDB . 100%
ICOR =
∆ PDB (%)
Keterangan :
ICOR adalah laju pertumbuhan
ekonomi relatif akibat adanya investasi.
I/PDB.100%
adalah
persentase
investasi terhadap PDB
∆ PDB adalah laju pertumbuhan
ekonomi (PDB)
Konsep ICOR atau sering disebut
koefisien
modal
menunjukkan
hubungan antara besarnya tambahan
investasi (modal) dengan tambahan
nilai output. Konsep ini dapat
didefinisikan sebagai suatu hubungan
247
JESP V ol.4, No. 2, 2012
antara investasi yang ditanamkan dan
pendapatan tahunan yang dihasilkan
dari investasi tersebut.
3. Teori Pertumbuhan Neoklasik: Robert
M. Solow dan T.W. Swan
Model Solow – Swan menggunakan
unsur
pertumbuhan
penduduk,
akumulasi kapital, kemajuan teknologi,
dan besarnya output saling berinteraksi.
Perbedaan utama dengan model
Harrod-Domar adalah dimasukkannya
unsur kemajuan teknologi dalam
modelnya
(Tarigan.2007:52).
Teknologi ini terlihat dari peningkatan
skill atau kemajuan teknik sehingga
produktifitas per kapita meningkat.
Model ini memprediksikan bahwa
seluruh perekonomian berbasis pasar
pada akhirnya akan mencapai tingkat
pertumbuhan konstan yang sama jika
mempunyai tingkat kemajuan teknologi
dan pertumbuhan penduduk yang sama.
4. Teori Pertumbuhan Endogen: Paul
Michael Romer
Teori pertumbuhan endogen memiliki
perspektif yang lebih luas dari pada
teori pertumbuhan sebelumnya. Teori
ini mencoba untuk mengidentifikasi
dan menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi proses pertumbuhan
ekonomi yang berasal dari dalam
(endogenous) sistem ekonomi itu
sendiri yakni, kemajuan teknologi
yang dianggap merupakan hasil dari
keputusan para pelaku ekonomi dalam
berinvestasi
di
bidang
ilmu
pengetahuan.
Menurut
Romer
akumulasi modal tetap memegang
peranan penting dalam pertumbuhan
ekonomi, namun dengan definisi yang
lebih luas yaitu dengan memasukkan
unsur modal ilmu pengetahuan
(knowledge capital) dan modal insani
(human capital) ke dalam model.
Hanya berkat ilmu pengetahuan orang
dapat menciptakan metode baru dalam
berproduksi
sehingga
diperoleh
keuntungan-keuntungan
ekonomis
tertentu.
248
Teori Kesejahteraan
Dalam teori ekonomi, konsep
kesejahteraan masyarakat dikenal sebagai
ekonomi
kesejahteraan
(welfare
economics)
yang
pada
hakikatnya
menjelaskan tentang alokasi faktor-faktor
produksi serta barang dan jasa dalam suatu
perekonomian kepada semua warga
masyarakat atau menjelaskan interaksi
ekonomi yang ingin mencari kondisi bagi
pemanfaatan sumber daya secara efisien.
Mekanisme pasar diyakini mampu menjadi
alat distribusi kesejahteraan melalui
mekanisme pertukaran. Lewat pertukaran
tersebut terjadi distribusi kekayaan dan
atau pendapatan dengan pembayaran atau
penggunaan faktor produksi dan atau
pembelian barang dan jasa dengan asumsi
proses tercapainya keseimbangan tersebut
berlangsung dalam satu pasar yang
terisolasi dari pasar lainnya atau
perekonomian hanya tediri dari dua pelaku
ekonomi (Rahardja. 1999: 325-326). Jadi,
perekonomian telah berjalan efisien bila
terjadi mekanisme pertukaran yang efisien
(efficiency in exchange) dan produksi
berjalan efisien (efficiency in production).
Menurut
Sukirno
(2006:53),
kesejahteraan mempunyai makna yang
luas, tidak hanya dikaitkan dengan
pendapatan dan konsumsi tetapi juga
dengan aset. Artinya kesejahteraan tidak
hanya berfokus pada konsumsi barang dan
jasa, tetapi juga pada akses terhadap aset
kekayaan dan sosial. Kesejahteraan
masyarakat merupakan suatu hal yang
bersifat subyektif. Artinya, tiap orang
mempunyai pandangan hidup, tujuan hidup
dan cara-cara hidup yang berbeda, dan
dengan demikian memberikan nilai-nilai
yang berbeda terhadap faktor-faktor yang
menentukan
tingkat
kesejahteraan
masyarakat.
Indikator Kesejahteraan
Pembangunan ekonomi adalah
sebuah upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan ekonomi berskala besar,
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
yaitu
sebuah
negara.
V ariabel
kesejahteraan adalah sebuah variabel yang
tidak mudah diukur karena ukuran
kesejahteraan itu sendiri tidak sederhana,
tetapi
meliputi
banyak
hal
atau
multidimensional. Untuk mengatasi hal
tersebut, para ahli ekonomi pembangunan
kemudian menyusun berbagai indikator
pembangunan dan mengalami perbaikan
seiring dengan perkembangan ilmu
ekonomi.
Adanya perkembangan beberapa
indikator kesejahteraan, ternyata konsep
pembangunan itu sendiri merupakan
konsep yang terus berkembang, baik dilihat
dari keluasan isi dan maknanya. Hal ini
sejalan dengan perkembangan peristiwa,
keadaan yang dihadapi, serta tujuan yang
ingin dicapai dalam hidup masyarakat
sehingga persoalan tersebut sangat
ditentukan oleh sistem nilai, pandangan
hidup, dan cita-cita hidup masyarakat
(Latief. 2002:04).
Menurut Amartya Sen, hakikat dari
pembangunan adalah kebebasan dan
karena itu, pembangunan harus dapat
membebaskan manusia dari belenggu
kemiskinan dan tekanan-tekanan pihak
lain. Dari perspektif ini, pembangunan
baru akan bermakna manakala terjadi
peningkatan martabat manusia yang
mampu membebaskannya dari belenggubelenggu kemiskinan dan keterbatasan
akses. Inilah yang sesungguhnya menjadi
inti dari pembangunan manusia.
Dari sinilah kemudian masalah
pembangunan yang berkembang adalah
dengan semakin meningkatnya perhatian
terhadap pembangunan manusia. Konsep
pembangunan manusia (people centered
development) muncul sebagai reaksi
terhadap kegagalan model pembangunan
yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi
dalam mewujudkan kesejahteraan secara
merata terwujud. Bersamaan dengan
berkembangnya paradigma pembangunan
berpusat pada manusia, maka ukuran
kesejahteraan masyarakat sebagai capaian
hasil
pembangunanpun
mengalami
perubahan dan pergeseran.
Pembangunan
manusia
memperkenalkan konsep yang lebih luas
dan lebih komprehensif yang mencakup
semua pilihan yang dimiliki oleh manusia
di semua golongan masyarakat pada semua
tahapan
pembangunan.
Sebagaimana
dinyatakan di dalam Human Development
Report (HDR) pertama tahun 1990,
pembangunan manusia adalah suatu proses
untuk memperbanyak pilihan-pilihan yang
dimiliki manusia. Di antara berbagai
pilihan tersebut, pilihan terpenting adalah
berumur panjang dan sehat, untuk berilmu
pengetahuan dan untuk mempunyai akses
terhadap sumber daya yang dibutuhkan
agar dapat hidup secara layak (UNDP ,BPS
dan Bappenas. 2001:65). Salah satu ukuran
yang dipakai untuk mengetahui status dan
kemajuan pembangunan manusia yang
dikembangkan oleh UNDP adalah Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) (Human
Development Indeks atau HDI).
Manfaat Indeks Pembangunan Manusia
(IPM)
Kedudukan IPM dalam dalam
pembangunan daerah di
Indonesia
diantaranya adalah IPM ditetapkan sebagai
salah satu ukuran utama dicantumkan
dalam pola dasar pembangunan daerah.
Selain itu, pembangunan manusia menjadi
perhatian pemerintah ditandai dengan
diikutkannya IPM sebagai salah satu
alokator Dana Alokasi Umum (DAU)
untuk mengatasi kesenjangan keuangan
daerah.
Hubungan Investasi dan Pertumbuhan
Ekonomi
Terhadap Kesejahteraan
Masyarakat
Bila dilihat dari sisi ekonomi
(Noor.2009:xi),
maka
peningkatan
kesejahteraan masyarakat tersebut, terdiri
dari dua aspek yaitu: aspek pendapatan
(income) dan aspek semakin banyaknya
pilihan konsumsi (number of choises) yang
tersedia
bagi
masyarakat.
Melalui
pengembangan investasi, dapat didorong
terciptanya lapangan pekerjaan yang
249
JESP V ol.4, No. 2, 2012
menjadi sumber nafkah (pendapatan) dari
masyarakat, serta diproduksi aneka ragam
barang dan jasa yang menjadi pilihan
konsumsi bagi masyarakat, di samping
juga dapat dihasilkan kestabilan penawaran
(suply) barang dan jasa di masyarakat yang
akan membantu terbangunnya stabilitas
harga (nilai tukar), baik untuk harga barang
dan jasa domestik, maupun untuk nilai
tukar uang domestik dengan uang asing.
Dengan demikian, pengembangan ekonomi
masyarakat melalui investasi diharapkan
dapat
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat.
Hubungan antara pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat
(pembangunan
manusia)
merupakan
hubungan yang kuat. Pertumbuhan
ekonomi menyediakan sumber-sumber
yang
memungkinkan
terjadinya
perkembangan secara berkelanjutan dalam
pembangunan manusia.
Thomas et
al. (2000:XXXIII) menyatakan bahwa
investasi yang dilakukan dalam modal
fisik, manusia, dan alam, bersama-sama
dengan banyak reformasi kebijakan,
memberikan kontribusi terhadap kemajuan
teknologi dan pertumbuhan produktivitas
faktor
total,
sehingga
mendorong
pertumbuhan
dan
kesejahteraan
masyarakat.
Kerangka Konseptual
Investasi
Pemerintah (X)
Investasi
Swasta (Y1)
Berdasarkan hubungan pengaruh
antara variabel yang berlandaskan studi
teoritik dan studi empirik maka disusun
kerangka konseptual penelitian yang
nampak pada Gambar 3.1. Gambar tersebut
menunjukkan bahwa kerangka konseptual
penelitian ini adalah untuk menguji dan
menganalisis
pengaruh
investasi
pemerintah terhadap investasi swasta dan
pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan
masyarakat. Dalam pendekatan Path
Analysis, pengaruh suatu variabel terhadap
variabel yang lain dapat dibedakan menjadi
dua pengaruh, yaitu: pengaruh langsung
(direct effect) serta pengaruh tidak
langsung (indirect effect).
Hipotesis
Berdasarkan
latar
belakang,
rumusan masalah, tujuan penelitian,
kerangka
berpikir
dan
kerangka
konseptual,
maka
penelitian
yang
dilakukan pada Pemerintah Daerah
250
Kesejahteraan
Masyarakat
(Y2)
Kabupaten Kota di Provinsi Maluku
menghasilkan hipotesis sebagai berikut :
1. Investasi pemerintah berpengaruh
signifikan terhadap investasi swasta.
2. Investasi pemerintah berpengaruh
signifikan terhadap
kesejahteraan
masyarakat.
3. Investasi
swasta
berpengaruh
signifikan terhadap
kesejahteraan
masyarakat.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini dirancang sebagai
penelitian verifikasi, yakni menguji
jawaban terhadap masalah. Dikategorikan
sebagai penelitian kausalitas, berupa
explanatory survey dan experimental
research
atau
singkatnya
sebagai
penelitian
eksperimen.
Penelitian
eksperimen bertujuan meramalkan dan
menjelaskan hal-hal yang terjadi atau yang
akan terjadi di antara variabel-variabel
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
tertentu
melalui
manipulasi
atau
pengontrolan variabel-variabel tersebut
atau hubungan diantara variabel, agar
ditemukan hubungan, pengaruh, atau
perbedaan salah satu variabel, sehingga
menjelaskan hubungan kausalitas antar
variabel.
Populasi,
Sampel
Pengambilan Sampel
dan
Teknik
Unit analisis penelitian ini adalah
Kabupaten/Kota yang berada di Provinsi
Maluku,
oleh
sebab
itu
seluruh
Kabupaten/Kota yang berada di Provinsi
Maluku disebut sebagai populasi. Populasi
dalam penelitian ini meliputi seluruh
Kabupaten/Kota yang berada di Provinsi
Maluku yang berjumlah 8 daerah terdiri
dari: Kota Ambon, Kabupaten Maluku
Tenggara Barat, Kabupaten Maluku
Tenggara, Kabupaten Maluku Tengah, dan
Kabupaten Buru, Kabupaten Seram Bagian
Barat, Kabupaten Seram Bagian Timur dan
Kabupaten Kepulauan Aru.
Data pada penelitian ini berupa data
sekunder yang diperoleh dari dokumentasi
5.1
Badan Pusat Statistik (BPS) pusat maupun
BPS provinsi Maluku. Data diambil secara
runtun waktu (time series) dan data silang
(cross section) yang disebut sebagai data
panel atau poling data. Data runtut waktu
mulai tahun 2005 sampai dengan tahun
2008, sedangkan data silang meliputi
seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi
Maluku yang berjumlah 8 daerah.
Penggabungkan (pooling) data dari
delapan kabupaten dan kota selama 4 tahun
tersebut sudah memenuhi syarat dalam
menggunakan metode SPSS (Statistical
Package for Sosial Science).
Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah path analysis
(analisis jalur atau lintasan). Tujuan path
analysis adalah menerangkan akibat
langsung dan tidak langsung seperangkat
variabel, sebagai variabel penyebab,
terhadap variabel lainnya yang merupakan
variabel
akibat
(Muhidin.2007:221)
ANALISIS HASIL STUDI
Hasil Analisis Jalur (Uji Hipotesis dan Pengaruh Antar Variabel)
Tabel 5.1
HASIL PENGUJIAN HIPOTESIS PADA SETIAP JALUR
Pengaruh Antar Variabel
Koefisien
Jalur (β)
ρ - V alue
Investasi Pemerintah è Investasi Swasta
0,495
0,026
Signifikan
Investasi Pemerintah è Kesejahteraan Masyarakat
0,747
0,000
Signifikan
0,075
0,004
Signifikan
Investasi Swasta
è Kesejahteraan Masyarakat
Hasil
Pengujian
Sumber : Hasil Olahan Analisis Jalur
Setelah diperoleh besaran-besaran koefisien jalur, langkah berikutnya adalah menjelaskan
berapa besar pengaruh dari suatu variabel terhadap variabel lainnya (pengaruh langsung,
pengaruh tidak langsung).
251
JESP V ol.4, No. 2, 2012
Tabel 5.2
KOEFISIEN JALUR PENGARUH LANGSUNG
DAN TIDAK LANGSUNG
Pengaruh Kausal
Pengaruh Variabel
Langsung
Investasi Pemerintah è Investasi Swasta
0,495
Investasi Pemerintah è Kesejahteraan Masyarakat
0,747
Investasi Swasta è Kesejahteraan masyarakat
0,075
Tidak Langsung Melalui
Investasi Swasta
(0,495) x (0,075) = 0,037
Sumber : Hasil olahan analisis jalur
Pengaruh
Pertama
Langsung
Substruktur
Dalam
persamaan
substruktur
pertama hanya terdapat satu variabel
eksogen yakni investasi pemerintah (X)
dan satu variabel endogen yakni Investasi
Swasta (Y1), sehingga tidak ada hubungan
tidak langsung.
Y1 = ρy1x X (t-1) + ε1
Besarnya pengaruh dari investasi
pemerintah terhadap perubahan-perubahan
variabel investasi swasta seperti yang
tertera adalah sebesar 0,495. Berdasarkan
hasil
perhitungan
diatas
dapat
dikemukakan bahwa besarnya kontribusi
investasi pemerintah (X) yang secara
langsung mempengaruhi investasi swasta
(Y1) adalah 0,4952 = 24,50%. Maknanya,
variasi dari perubahan variabel investasi
swasta sekitar 24,50% disebabkan karena
perubahan-perubahan
dari
variabel
investasi pemerintah. Sisanya sebesar
75,50% diakibatkan faktor-faktor lain yang
tidak masuk dalam persamaan, tetapi
ditampung pada variabel gangguan acak-e.
252
Pengaruh
Langsung
dan
Langsung Substruktur Kedua
Tidak
Pada persamaan ini ada tiga
variabel eksogen yang terdiri atas 1
variabel
eksogen
yakni
investasi
pemerintah (Xt-1), dan 2 variabel
intervening endogen yaitu investasi swasta
(Y1) dan kesejahteraan masyarakat (Y2).
Y2 = ρy1x X (t-1) + ρy2 x X(t-1) + ρy1 x Y2 + ε2
a. Pengaruh
Langsung
Investasi
Pemerintah Terhadap Kesejahteraan
Masyarakat
Besarnya
kontribusi
investasi
pemerintah (X) yang secara langsung
mempengaruhi
kesejahteraan
masyarakat (Y3) adalah 0,7472 =
55,80%.
Maknanya, kesejahteraan
masyarakat ditentukan oleh investasi
pemerintah sebesar 55,80%. Sisanya
sebesar 44,20% merupakan kontribusi
dari varaibel lain di luar variabel
investasi
pemerintah
yang
mempengaruhi
kesejahteraan
masyarakat.
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
b. Pengaruh Tidak Langsung Melalui
Investasi Swasta
Hasil perkalian investasi pemerintah
terhadap kesejahteraan masyarakat
melalui investasi swasta diperoleh nilai
koefisien jalur 0,037 (3,7%). Angka
tersebut lebih kecil dibandingkan
dengan nilai koefisien pengaruh
langsung investasi pemerintah terhadap
kesejahteraan
masyarakat
sebesar
0,7472
(55,80%).
Kesimpulannya,
investasi
pemerintah
cenderung
berpengaruh secara langsung terhadap
kesejahteraan masyarakat. Hal ini
memberi petunjuk bahwa dengan
meningkatnya investasi pemerintah
akan dapat berdampak langsung
terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Pengaruh Langsung Substruktur Ketiga
Dalam
persamaan
substruktur
ketiga hanya terdapat satu variabel eksogen
yakni investasi Invetasi swasta (Y1) dan
satu variabel endogen yakni Kesejahteraan
Masyarakat (Y2), sehingga tidak ada
hubungan tidak langsung.
Y3
=
ρy2 x Y1 + ε3
Besarnya kontribusi investasi swasta (Y1)
yang secara langsung mempengaruhi
kesejahteraan masyarakat (Y2) adalah
0,0752 = 0,56%. Maknanya, kesejahteraan
masyarakat ditentukan oleh investasi
swasta sebesar 0,56%. Sisanya sebesar
99,44% merupakan kontribusi dari varaibel
lain di luar variabel investasi swasta yang
mempengaruhi kesejahteraan masyarakat.
PEMBAHASAN
Pengaruh
Investasi
Pemerintah
T erhadap Investasi Swasta
Hasil estimasi pengaruh langsung
investasi pemerintah terhadap investasi
swasta menunjukkan pengaruh positif dan
signifikan dengan nilai koefisien jalur
sebesar 0,495 dan nilai probabilitas sebesar
0,026. Pengaruh positif menunjukkan
hubungan yang searah antara investasi
pemerintah dengan investasi swasta.
Artinya, peningkatan investasi pemerintah
akan berdampak pada peningkatan
investasi swasta di provinsi Maluku,
demikian juga sebaliknya. Dengan
demikian, berdasarkan pengujian hipotesis
yang
menyatakan
bahwa
investasi
pemerintah
berpengaruh
signifikan
terhadap investasi swasta kabupaten kota
di provinsi Maluku adalah terbukti dan
didukung oleh fakta.
Fakta hasil pengujian statistik ini,
didukung oleh fakta empirik pembangunan
infrastuktur yang terus mengalami
peningkatan. Jika di tahun 2005 jalan
provinsi yang diaspal 614,31 km, maka
pada tahun 2008 telah bertambah menjadi
647,21 km. Begitu pula kondisi jalan yang
dikategori baik meningkat dari 328,84 km
di tahun 2005 menjadi 351,48 km di tahun
2008. Semakin membaik kondisi jalan raya
dan ditunjang dengan 27 pelabuhan lokal
yang tersebar di kabupaten dan kota di
provinsi Maluku telah menambah armada
angkutan kapal cepat dan kapal perintis di
tahun 2008 masing-masing menjadi 8 dan
10 unit dari tahun 2005 yang masingmasing sebanyak 6 unit.
Infrastruktur
memiliki
sifat
eksternalitas positif yang tinggi. Artinya,
pengadaan suatu infrastruktur akan sangat
mempengaruhi secara positif (mendukung)
perkembangan berbagai sektor ekonomi
lainnya.
Sebaliknya,
keterbatasan
infrastruktur
jelas
mengakibatkan
pemanfaatan potensi dan sumber daya
ekonomi menjadi tidak optimal, bahkan
sulit berkembang hingga ke taraf yang
diharapkan. Ketertinggalam infrastruktur
pada gilirannya akan menyebabkan
ketertinggalan kemakmuran dan kemajuan
di berbagai bidang. Apalagi dengan
otonomi daerah, memungkinkan provinsi
maupun kabupaten/kota untuk lebih
berperan
dalam
pembangunan
infrastruktur.
Temuan ini mempertegas sejumlah
konseptual yang menjelaskan tentang
hubungan antara investasi pemerintah
253
JESP V ol.4, No. 2, 2012
dengan investasi swasta. Menurut Aviliani
(2009), infrastruktur merupakan salah satu
sektor prioritas investasi di Indonesia.
Infrastruktur menjadi bagian penting dalam
perekonomian
mengingat
fungsinya
sebagai pendukung dalam kegiatan
termasuk untuk mendorong kegiatan
investasi swasta. Buruknya kondisi
infrastruktur akan menjadi kendala penting
bagi investor karena menciptakan extra
cost. Misalnya infrastruktur seperti jalan
raya yang buruk akan menyebabkan aliran
barang dan jasa terganggu, sehingga
mendorong
kenaikan
cost
of
transportation. Implikasinya adalah cost of
distribution yang semakin mahal dan
kemudian dilimpahkan ke harga barang
konsumen.
Selanjutnya
berkaitan
dengan
temuan dalam studi ini, secara teoritis
Jhingan (2004:376-378) menyatakan dalam
perekonomian negara berkembang, untuk
memacu laju pembentukkan modal adalah
merupakan peranan dari kebijakan fiskal.
Menurutnya dalam rangka meningkatkan
laju investasi, pemerintah pertama sekali
harus menerapkan kebijaksanaan investasi
berencana di sektor publik. Tindakan ini
akan berdampak meningkatknya volume
investasi di sektor swasta. Selain itu,
kebijakan fiskal harus mendorong arus
investasi ke jalur-jalur yang diinginkan
masyarakat. Ini berkaitan dengan pola
optimum
investasi
dan
menjadi
tanggungjawab dari pemerintah untuk
mendorong investasi pada overhead sosial
dan ekonomi. Investasi overhead sosial
seperti di bidang transportasi dan
perhubungan, sedangkan untuk overhead
ekonomi seperti di bidang pendidikan dan
kesehatan. Kedua kategori investasi ini
menghasilkan
ekonomi
eksternal,
memperluas pasar dan mengurangi biaya
produksi.
Pengaruh
Investasi
Pemerintah
T erhadap Kesejahteraan Masyarakat
Hasil estimasi pengaruh langsung
investasi
pemerintah
terhadap
kesejahteraan masyarakat menunjukkan
254
pengaruh positif dan signifikan dengan
nilai koefisien jalur sebesar 0,747 dan nilai
probabilitas sebesar 0,000. Pengaruh
positif menunjukkan hubungan yang searah
antara investasi pemerintah dengan
kesejahteraan
masyarakat.
Artinya,
peningkatan investasi pemerintah akan
berdampak pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat di provinsi Maluku, demikian
juga sebaliknya. Dengan demikian,
berdasarkan pengujian hipotesis yang
menyatakan bahwa investasi pemerintah
berpengaruh
signifikan
terhadap
kesejahteraan masyarakat kabupaten kota
di provinsi Maluku adalah terbukti dan
didukung oleh fakta.
Temuan studi ini tidak bertentangan
dengan fakta bahwa, peningkatan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) di provinsi
Maluku,
diiringi
sebelumnya
oleh
peningkatan nilai investasi pemerintah
yang
diantaranya
ditujukan
untuk
pembangunan sarana kesehatan. Upaya
peningkatan aspek kesehatan sangat
penting di provinsi Maluku karena untuk
meningkatkan kualitas sumber daya
manusia harus di mulai dari aspek ini.
Peningkatan derajat kesehatan tersebut
harus di mulai dengan peningkatan sarana
dan fasilitas kesehatan. Untuk melihat
apakah sarana kesehatan cukup memadai
digunakan perbandingan jumlah sarana
kesehatan terhadap sejumlah tertentu
penduduk (10.000).
Sarana
kesehatan
pemerintah
seperti
Rumah
Sakit,
Puskesmas,
Pukesmas pembantu dan juga tempat tidur
di
provinsi
Maluku
mengalami
perkembangan dari tahun 2005 ke tahun
2008. Adanya perkembangan sarana
kesehataan tersebut, maka rasio fasilitas
kesehatan pemerintah per 10.000 penduduk
pun ikut meningkat. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin banyak jumlah sarana
kesehatan yang tersedia sehingga makin
banyak penduduk yang dapat dilayani.
Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa
investasi pemerintah yang salah satunya
ditujukan untuk pembangunan sarana
kesehatan tersebut telah berdampak
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat
kabupaten kota provinsi Maluku yang
tercermin dari peningkatan indikator
kesehatan dalam IPM. Angka harapan
hidup di tahun 2005 telah meningkat dari
66,60 tahun menjadi 69,20 tahun di tahun
2008. Mengingat angka harapan hidup di
provinsi Maluku masih lebih rendah jika
dibandingkan rerata daerah lain di
Indonesia, maka hal lain yang perlu
menjadi perhatian pemerintah daerah
adalah membaiknya sarana kesehatan
tersebut sebaiknya diikuti pula dengan
peningkatan kualitas dan efektifitas
pelayanan itu sendiri. Hal ini dilakukan
agar supaya sarana pemerintah yang ada
tersebut dapat secara optimal mendorong
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Bukti adanya keterkaitan antara
investasi pemerintah dalam hal perbaikan
iklim investasi dengan peningkatan
kesejahteraan masyarakat adalah yang
dilakukan oleh World Bank (The World
Bank.
2004:52).
Hasil
laporan
pembangunan Bank Dunia menunjukkan
bahwa perbaikan iklim investasi di Cina
dan India telah berhasil mengangkat 400
juta orang keluar dari kemiskinan.
Peningkatan dalam pendapatan juga
diimbangi dengan peningkatan dalam
pencapaian keadaan kesehatan. Di Cina,
tingkat harapan hidup naik sebesar empat
tahun dari 66,8 tahun ke 70,7 tahun selama
tahun 1980 sampai dengan tahun 2002, dan
tingkat mortalitas bayi turun dari 49 ke 32
per 1.000 kelahiran hidup. Di India, tingkat
harapan hidup naik dari 54 tahun menjadi
63 tahun, tingkat mortalitas bayi turun
sebesar 40 %, dan jumlah kasus malnutrisi
juga jauh berkurang.
Hasil studi empiris tersebut
menjelaskan bahwa memperbaiki iklim
investasi membawa pengaruh yang lebih
besar dari sekedar menciptakan pekerjaan
dan memperbaiki taraf hidup. Perbaikan
tersebut juga akan mendorong masyarakat
untuk lebih banyak melakukan investasi
pada pendidikan dan keterampilan mereka
sendiri agar dapat memanfaatkan adanya
pekerjaan yang lebih baik pada masa yang
akan
datang.
Dengan
demikian,
peningkatan iklim investasi (infrasrtuktur)
melengkapi upaya untuk meningkatkan
sumber daya manusia. Mengingat dalam
studi ini menghasilkan pengaruh investasi
pemerintah
terhadap
kesejahteraan
masyarakat adalah yang paling besar
kontribusinya (55,80%), maka cara yang
paling
cepat
untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat adalah dengan
memperbesar peran investasi pemerintah.
Pengaruh Investasi Swasta Terhadap
Kesejahteraan Masyarakat
Hasil estimasi pengaruh langsung
investasi swasta terhadap kesejahteraan
masyarakat menunjukkan pengaruh positif
dan signifikan dengan nilai koefisien jalur
sebesar 0,075 dan nilai probablitas sebesar
0,004. Pengaruh positif menunjukkan
hubungan yang searah antara investasi
swasta dengan kesejahteraan masyarakat.
Artinya, peningkatan investasi swasta akan
berdampak pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat di provinsi Maluku, demikian
juga sebaliknya. Dengan demikian,
berdasarkan pengujian hipotesis yang
menyatakan bahwa investasi swasta
berpengaruh
signifikan
terhadap
kesejahteraan masyarakat kabupaten kota
di provinsi Maluku adalah terbukti dan
didukung oleh fakta.
Hasil pengujian statistik ini
didukung oleh fakta bahwa walaupun di
tahun 2008 terdapat 45 perusahaan yang
terdiri atas investor dalam negeri maupun
investor asing, tenaga kerja Indonesia
maupun asing yang terserap mencapai
13.855 orang. Kondisi ini sangat berbeda
jika dibandingkan jumlah industri kecil
yang terdiri atas industri pangan, industri
sandang, industri kimia bahan bangunan,
industri logam elektronik dan industri
kerajinan yang menacapai 2.300 unit
usaha. Banyaknya jumlah industri kecil
tersebut, ternyata hanya dapat menyerap
tenaga kerja sebesar 10.463 orang
(BPS.2009(f) : 346-348).
Dengan besarnya jumlah tenaga
kerja yang terserap melalui investasi
255
JESP V ol.4, No. 2, 2012
swasta dalam negeri maupun investasi
asing tersebut akan dapat meningkatkan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
kabupaten/kota di provinsi Maluku. Hal ini
disebabkan oleh karena peningkatan
kesejahteraan masyarakat bila dilihat dari
sisi ekonomi (aspek pendapatan), maka
salah satu faktor penunjang utama adalah
tersedianya lapangan pekerjaan sebagai
sumber nafkah. Oleh karena itu, makin
tinggi aktifitas ekonomi yang diawali
dengan aktifitas investasi disuatu daerah,
maka makin tinggi pula kesejahteraan
masyarakat di daerah tersebut.
Fakta
tersebut
mendukung
pendapat Arsyad (2005:109) bahwa, setiap
upaya pembangunan ekonomi daerah
mempunyai
tujuan
utama
untuk
meningkatkan jumlah dan jenis peluang
kerja untuk masyarakat daerah. Pendapat
tersebut juga mendukung pendapat
Tambunan (2010:354) bahwa, keberhasilan
desentralisasi akan sangat tergantung pada
perkembangan dan pertumbuhan dunia
usaha. Sektor swasta dengan mekanisme
pasar adalah partner terbaik pemerintah
dalam membangun ekonomi lokal dalam
upaya meningkatkan output dan lapangan
kerja.
Kecilnya
pengaruh
langsung
investasi swasta terhadap pertumbuhan
ekonomi menyebabkan pula kontribusi
investasi swasta terhadap kesejahteraan
masyarakat yang kecil (0,56%). Terkait
dengan hal tersebut, maka diperlukan
pengembangan sektor swasta, menurut
Tambunan (2010:50) peranan pemerintah
yang paling tepat adalah: pertama, aktif
mencari sumber pertumbuhan ekonomi
baru dengan menciptakan lingkungan
bisnis (iklim investasi) yang kondusif agar
terjadi inisiatif enterprenuer untuk
menghadapi dan melakukan investasi
dalam ekonomi lokal. Peranan kedua yang
strategis adalah menjaga keamanan dan
pelaksanaan hukum yang terjamin. Dengan
keamanan, kepastian hukum dan iklim
usaha yang kondusif yang ditunjang
dengan sarana dan prasarana yang
memadai, maka diharapkan sektor swasta
256
secara dinamis dapat melakukan perluasan
kegiatan usaha.
Pengaruh
Variabel
Tidak
Langsung
Antar
Berdasarkan hasil analisis, ternyata semua
variabel berpengaruh secara langsung
mempunyai nilai koefisien yang lebih besar
dibanding
dengan
variabel
yang
berpengaruh secara tidak langsung.
Pengaruh langsung investasi pemerintah
terhadap kesejahteraan yang lebih besar
pengaruhnya dari pada pengaruh investasi
pemerintah terhadap kesejahteraan secara
tidak langsung melalui investasi swasta.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa
investasi pemerintah merupakan variabel
yang dominan dalam mempengaruhi
kesejahteraan masyarakat kabupaten kota
di provinsi Maluku. Dengan demikian,
maka variabel investasi pemerintah ini
patut
diprioritaskan
dalam
upaya
meningkatkan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
PENUTUP
Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang diperoleh
dari studi ini adalah sebagai berikut:
1.
Investasi pemerintah berpengaruh
positif dan signifikan terhadap
investasi swasta kabupaten kota di
provinsi Maluku dengan kontribusi
pengaruh sebesar 24,50 %. Arah
hubungan yang positif menunjukkan
bahwa
peningkatan
investasi
pemerintah
akan
menyebabkan
peningkatan investasi swasta.
2.
Investasi pemerintah berpengaruh
positif dan signifikan terhadap
kesejahteraan masyarakat kabupaten
kota di provinsi Maluku dengan
kontribusi pengaruh sebesar 55,80 %.
Arah
hubungan
yang
positif
menunjukkan bahwa peningkatan
investasi
pemerintah
akan
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
menyebabkan
peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
tersebut. Sejumlah rekomendasi yang dapat
diberikan adalah:
3.
Investasi swasta berpengaruh positif
dan signifikan terhadap kesejahteraan
masyarakat kabupaten kota di provinsi
Maluku dengan kontribusi pengaruh
sebesar 0,56 %. Arah hubungan yang
positif
menunjukkan
bahwa
peningkatan investasi swasta akan
dapat
menyebabkan
peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
1.
4.
Secara simultan dapat disimpulkan
banwa secara langsung, investasi
pemerintah berpengaruh positif dan
signifikan terhadap investasi swasta
maupun
terhadap
kesejahteraan
masyarakat.
Kemudian
secara
langsung investasi investasi swasta
berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kesejahteraan masyarakat.
Pengaruh
investasi
pemerintah
terhadap kesejahteraan masyarakat
secara tidak langsung melalui investasi
swasta,
positif
dan
signifikan.
Kemudian, pengaruh secara langsung
mempunyai kontribusi pengaruh yang
lebih
besar
dibanding
dengan
pengaruh secara tidak langsung.
Sedangkan, variabel yang paling besar
pengaruh
langsungnya
terhadap
kesejahteraan
masyarakat
adalah
investasi pemerintah, sedangkan yang
paling kecil pengaruhnya terhadap
kesejahteraan adalah investasi swasta.
Melihat dampak investasi pemerintah
yang besar terhadap pertumbuhan
ekonomi
maupun
terhadap
kesejahteraan
masyarakat,
maka
pemerintah daerah diharapkan lebih
meningkatkan porsi jumlah belanja
modal/investasi pemerintah dalam
bentuk infrastruktur atau prasarana
dasar khususnya untuk sektor tradable.
Hal ini dilakukan karena sektor
tradable
sangat
memerlukan
infrastruktur yang memadai untuk
memperlancar
dan
mempercepat
akselerasi
pembangunan
dan
berputarnya
roda
perekonomian
disektor tersebut. Infrastruktur berguna
untuk memudahkan mobilitas faktor
produksi,
terutama
penduduk;
memperlancar
barang/jasa;
dan
tentunya memperlancar perdagangan
antar daerah. Dengan memberikan
perhatian
terhadap
investasi
pemerintah ini, diharapkan akan dapat
meningkatkan investasi swasta dan
akhirnya dapat berdampak positif
terhadap peningkatan pertumbuhan
ekonomi.
2.
Pemerintah daerah kabupaten kota di
provinsi Maluku tidak bisa lagi
mengandalkan pertumbuhan ekonomi
pada konsumsi. Salah satu faktor yang
strategis
adalah
bagaimana
memperkuat sektor swasta dan
investasi dapat ditingkatkan ditiap
daerah. Oleh sebab itu, disamping
kondisi makro ekonomi yang stabil
serta jaminan keamanan, diperlukan
perbaikan iklim investasi yang
kondusif yang mencakup perbaikan
mekanisme peraturan perundangan,
percepatan proses pendirian dan ijin
usaha, perbaikan sistem informasi
investasi
secara on-line,
serta
melakukan promosi investasi melalui
media cetak maupun elektronik.
Apabila
sektor
swasta
besar
peranannya dan kegiatan ekonomi
Saran
Studi ini merupakan bagian dari
evaluasi
terhadap
pelaksanaan
desentralisasi. Apakah telah berjalan sesuai
dengan rencana, sehingga kemudian dapat
ditarik suatu pelajaran sebagai masukan
pembenahan untuk memastikan tujuan
kebijakan desentralisasi yaitu peningkatan
kesejahteraan masyarakat daerah telah
tercapai. Dengan demikian, maka dalam
perjalanan
desentralisasi,
pemerintah
daerah
terus
menyesuaikan
diri
menemukan bentuk implementasi terbaik
guna mewujudkan tujuan desentralisasi
257
JESP V ol.4, No. 2, 2012
meluas, maka pertumbuhan ekonomi,
penciptaan lapangan kerja akan
meningkat.
3.
Investasi Pemerintah juga perlu lebih
diarahkan untuk peningkatan investasi
modal manusia (human capital)
melalui peningkatan kualitas kesehatan
dan pendidikan sebagai alat kebijakan
penting dalam strategi pemerintah
daerah
untuk
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi
dan
kesejahteraan masyarakat. Karena
dengan peningkatan kualitas sumber
daya manusia tersebut, akan dapat
meningkatkan produktivitas tenaga
kerja yang pada gilirannya akan
mampu meningkatkan pendapatan.
4.
Guna pengembangan keilmuan lebih
lanjut, diperlukan studi empirik yang
lebih mendalam yang terkait dengan
tema studi ini. Oleh sebab itu untuk
penelitian yang berikutnya, diharapkan
dapat memperluas cakupan periode
penelitian dan memperluas cakupan
variabel seperti variabel investasi
swasta dan kesejahteraan masyarakat.
258
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad Lincolin. 2005. Pengantar
Perencanaan Pembangunan Ekonomi
Daerah, Edisi Kedua. Y ogyakarta.
BPFE.
---------------------.
2010.
Ekonomi
Pembangunan, Edisi 5. Y ogyakarta:
STIM YKPN
A viliani. 2009. Mengurangi Problama
Investasi
di
Indonesia. Jurnal
DIPLOMASI.
Jakarta.
Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Kementrian
Luar Negeri.Hal:37-57.
Badan Pusat Statistik. 2006. Maluku
Dalam Angka. Ambon.
---------------------------. 2007(a). Indeks
Pembangunan Manusia T ahun 2005 2006. Jakarta.
----------------------------.2007(b). Statistik
Keuangan
Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota T ahun 2005 - 2006.
Jakarta.
----------------------------.2007(c).
Analisa
Penyusunan Kinerja Makro Ekonomi
dan Sosial Jawa Timur. Surabaya.
--------------------------.2007(d).
Maluku
Dalam Angka. Ambon.
----------------------------.2008(a).
Indeks
Pembangunan Manusia T ahun 2006 2007. Jakarta.
---------------------------.2008(b).
Statistik
Keuangan
Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota T ahun 2006 - 2007.
Jakarta.
--------------------------.2008(c).
Maluku
Dalam Angka. Ambon
----------------------------.2009(a).
Produk
Domestik Regional Bruto PropinsiPropinsi Di Indonesia Menurut
Penggunaan T ahun 2004 - 2008.
Jakarta.
--------------------------.2009(b).
Maluku
Dalam Angka. Ambon.
--------------------------.2005-2008. Keadaan
Angkatan Kerja di Indonesia. Jakarta
Badan Perencanaan dan Pembangunan
Nasional (BAPPENAS) dan United
Nations Development Programme
(UNDP). 2008. Studi Evaluasi
Dampak Pemekaran Daerah. Bridge
(Building
and
Reinventing
Decentralised Governance). Jakarta.
Kamaludin Rustian. 1998. Pengantar
Ekonomi Pembangunan, Dilengkapi
dengan Analisis Beberapa Aspek
Pembangunan Ekonomi Nasional.
Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.
Kelompok Kerja Badan Analisa Fiskal.
2002. Bunga Rampai Kebijakan
Fiskal. Jakarta: Badan Analisa Fiskal
DEPKEU RI dan Japan International
Cooperation Agency (JICA).
KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan
Otonomi Daerah), USAID (United
States Agency For International
Development),
dan
The
Asia
Foundation. 2005. Laporan Penelitian
Gambaran Iklim Usaha Di 20 Daerah
Kabupaten/Kota Di Indonesia. Jakarta:
KPPOD Press.
Latief Dochak. 2002. Pembangunan
Ekonomi Dan Kebijakan Ekonomi
Global.
Surakarta.
Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Mangkoesoebroto Guritno. 2001. Ekonomi
Publik.
Yogyakarta:
BPFE
Yogyakarta.
Muhidin S.A, Maman Abdurahman.2007.
Analisis Korelasi, Regresi, dan Jalur
Dalam Penelitian (Dilengkapi Aplikasi
Program SPSS). Bandung. Pustaka
Setia.
Noor Henry Faisal. 2009. Investasi,
Pengelolaan Keuangan Bisnis dan
Pengembangan Ekonomi Masyarakat.
Jakarta: PT. Indeks.
Prawirosetoto Y uwono. FX. 2004.
Desentralisasi Fiskal di Indonesia.
Jurnal Ekonomi dan Bisnis. Jakarta.
V ol.XI. pp.15-29.
Rahardja Pratama dan Mandala Manurung.
1999. Teori Ekonomi Mikro. Jakarta.
Fakultas Ekonomi – Universitas
Indonesia.
259
JESP V ol.4, No. 2, 2012
Republik Indonesia. Undang-Undang
No.22 dan No.25 T ahun 1999 T entang
Pemerintahan Daerah dan T entang
Keuangan Antara Pusat dan Daerah.
-------------------------. Undang-Undang No.
32 dan No. 33 T ahun 2004 T entang
Pemerintahan Daerah dan T entang
Perimbangan
Keuangan
Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah.
-------------------------.
Undang-Undang
Nomor 17 T ahun 2003 T entang
Keuangan Negara.
Sukirno Sadono. 2006(a). Ekonomi
Pembangunan, Proses, Masalah, dan
Dasar
Kebijaksanaan.
Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
----------------------.
2006(b).
Makro
Ekonomi, teori Pengantar , Edisi
Ketiga. Jakarta. Raja Grafindo
Persada.
Suryana. 2000. Ekonomi Pembangunan.
Jakarta: Salemba Empat.
Tambunan Mangara. 2010. Menggagas
Perubahan
Pendekatan
Pembangunan;
Menggerakkan
Kekuatan Lokal dalam Globalisasi
Ekonomi. Yogyakarta. Graha Ilmu.
Tarigan Robinson. 2007. Ekonomi
Regional; T eori dan Aplikasi. Jakarta.
Bumi Aksara.
260
Tim Peneliti Centre for Political Studies
Soegeng Sarjadi Syndicated. 2001.
Potensi Masa Depan Republik
Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
The
World
Bank.
2004. W orld
Development Report: A Better
Investment Climate for Everyone.
Washington, DC. Oxford University
Press.
Thomas Vinod, Mansoor Dailami, Ashok
Dhareshwar, Daniel Kaufmann, Nalin
Kishor, Ramon Lopez, Yan Wang.
2000. The Quality of Growth.
Washington D.C: The International
Bank
for
Reconstruction
and
Development/The World Bank.
UNDP , BPS dan BAPPENAS. 2001.
Indonesia
Human
Development
Report 2001. The Economics of
Democracy:
Financing
Human
Development in Indonesia. Published
Jointly By BPS – Statistics Indonesia,
Bappenas and UNDP Indonesia.
Widodo Suseno Triyanto. 1990. Indikator
Ekonomi,
Dasar
Perhitungan
Perekonomian Indonesia. Yogyakarta:
Kanisius.
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Perencanaan Energi Daerah Provinsi Maluku Utara
Agus Sugiyono
Abstract
Regional energy planning of North Maluku Province has two scenarios for GDP growth
for the period 2010 – 2030. GDP growth is assumed an average of 6.6% per year for
BAU (business as usual) scenario and 9.1% for ALT (alternative) scenario. Population
growth is assumed the same for both scenarios, i.e. 2.8% per year . Based on these
assumptions, the final energy demand is projected to increase from 1.79 million BOE
(barrel of oil equivalent) in 2010 to 4.18 million BOE in 2030 for the BAU scenario. For
the ALT scenario, final energy demand is projected to increase to 5.36 million BOE in
2030. Energy supply is projected to increase from 2.03 million BOE in 2010 to 4.77
million BOE in 2030 for the BAU scenario, or increased an average of 4.4% per year.
For ALT scenarios, energy supply is projected to increase to 6.15 million BOE in 2030,
or increased an average of 5.7% per year . Although there has been diversification of
energy program, but the most supply of energy is still oil fuel. Regarding that the oil fuel
supply is coming from outside of the province, it needs to consider the use of alternative
energy to substitute the oil fuel in the long term, both for power generation or for
transport sectors.
Keywords: energy demand-supply, regional energy planning
Undang Undang No 30 Tahun 2007
tentang energi mengamatkan pemerintah
pusat untuk menyusun Rencana Umum
Energi Nasional (RUEN) dan pemerintah
daerah untuk menyusun Rencana Umum
Energi Daerah (RUED). Pasal 17
menyebutkan bahwa pemerintah pusat
berkewajiban untuk menyusun RUEN
dengan mempertimbangkan RUED dan
masukan
masyarakat.
Pasal
18
menyebutkan bahwa pemerintah daerah
berkewajiban untuk menyusun RUED
dengan mengacu pada RUEN dan
menetapkan RUED melalui Peraturan
Daerah. Sedangkan Pasal 19 menyebutkan
bahwa
masyarakat
dapat memberi
masukan dalam penyusunan RUEN
maupun RUED.
RUED
merupakan
dokumen
kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi,
Kabupaten/Kota
mengenai
rencana
pengelolaan energi tingkat daerah di
wilayah masing-masing yang bersifat lintas
sektor.
Pemerintah
daerah
dalam
menyelesaikan permasalahan energi tetap
harus memperhatikan kebijakan utama
yang dibuat oleh pemerintah pusat.
Pemerintah daerah tidak dapat berdiri
sendiri dalam pengelolaan sumber daya
energi yang berasal dari kekayaan alam
seperti diamanatkan dalam Pasal 33
Undang Undang Dasar. Sesuai amanat dari
UU energi ini, peran pemerintah daerah
sangat besar dalam membuat dan
menyusun RUED, serta memberikan
rekomendasi kebijakan dalam penyusunan
RUEN. RUED diharapkan berisi rencana
pengembangan energi yang akan dilakukan
oleh pemerintah daerah berdasarkan
potensi dan sumber daya energi lokal yang
dimiliki daerahnya. Selain itu diharapkan
berisi pula perencanaan pendanaan dan
kebijakan
insentif
fiskal
dalam
pengembangan sektor energi.
Perencanaan energi daerah sudah
dilakukan oleh beberapa pemerintah
__________________________________________
Alamat Korespondensi :
Agus Sugiyono, Bidang Perencanaan Energi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta
Email : [email protected]
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
provinsi
maupun
pemerintah
kabupaten/kota dengan bantuan dari
pemerintah pusat. Perencanaan energi
tersebut diantaranya telah dilakukan pada
tahun 2001-2002 oleh Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerja
sama Y ayasan Bina Usaha Lingkungan
(YBUL) dan beberapa pemerintah daerah.
Pada tahun 2004 Kementerian Energi dan
Sumber
Daya
Mineral
(KESDM)
melaksanakan
program
Carepi
(Contributing to Poverty Alleviation
through Regional Energy Planning in
Indonesia) dan dilanjutkan tahun 2010
dalam program Casindo (Capacity
Development and Strengthening for
Energy
Policy
Formulation
and
Implementation of Sustainable Energy
Project in Indonesia) bekerja sama dengan
Pemerintah Belanda. Namun demikian
masih banyak daerah yang belum
melaksanakan perencanaan energinya,
salah satu diantaranya adalah Provinsi
Maluku Utara. Oleh karena itu, tahun 2012
ini Pusat Teknologi Pengembangan
Sumber Daya Energi (PTPSE), Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT) melakukan perencanaan energi
daerah Provinsi Maluku Utara yang
mendapat dukungan data dari Pemerintah
Provinsi Maluku Utara dan BPS Provinsi
Maluku Utara. Makalah ini merupakan
bagian dari studi tersebut yang mendapat
pendanaan dari Program Insentif Riset,
Kementerian Negara Riset dan Teknologi
tahun anggaran 2012.
KONDISI
SOSIAL
EKONOMI
PROVINSI MALUKU UTARA
Provinsi Maluku Utara mempunyai
luas wilayah mencapai 145,8 ribu km2
dengan Ibukota Provinsi di Sofifi. Secara
administratif, provinsi ini terdiri atas 7
kabupaten dan 2 kota. Kabupaten dan kota
tersebut adalah: Kabupaten Halmahera
Barat, Kabupaten Halmahera Tengah,
Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten
Halmahera Selatan, Kabupaten Halmahera
Utara, Kabupaten Halmahera Timur,
262
Kabupaten Pulau Morotai, Kota Ternate,
dan Kota Tidore Kepulauan.
Kondisi Kependudukan
Penduduk Provinsi Maluku Utara
berdasarkan Sensus Penduduk pada tahun
2010 berjumlah 1.038.087 jiwa. Secara
keseluruhan, jumlah penduduk laki-laki
lebih banyak dari pada penduduk
perempuan. Pertumbuhan penduduk dalam
kurun waktu 2000-2010 rata-rata sebesar
2,45% per tahun yang masih lebih tinggi
dari rata-rata pertumbuhan penduduk
secara nasional yaitu sebesar 1,48% per
tahun. Pertumbuhan penduduk tertinggi
adalah di Kabupaten Halmahera Utara
yaitu sebesar 5,67% per tahun dan
pertumbuhan
terendah
adalah
di
Kabupaten Kepulauan Sula sebesar 0,79%
per tahun.
PDRB Provinsi Maluku Utara
Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) Provinsi Maluku Utara pada tahun
2010 tercatat sebesar 5.387 miliar Rupiah
atas dasar harga berlaku atau sebesar 2.981
miliar Rupiah atas dasar harga konstan
tahun 2000. Pertumbuhan PDRB dalam
kurun waktu 2008-2010 rata-rata mencapai
6,49% per tahun. Pertumbuhan PDRB
tertinggi adalah di Kabupaten Ternate
yaitu sebesar 7,95% per tahun dan
pertumbuhan
terendah
adalah
di
Kabupaten Halmahera Barat yaitu sebesar
4,99% per tahun. PDRB per kapita (atas
dasar harga berlaku) pada tahun 2010
adalah sebesar 5,19 juta Rupiah per kapita.
Indikator PDRB per kapita digunakan
untuk mengukur tingkat kemakmuran
penduduk di suatu daerah. PDRB per
kapita di Provinsi Maluku Utara masih di
bawah rata-rata Indonesia (27,03 juta
Rupiah per kapita).
Potensi Sumberdaya Energi
Potensi sumberdaya energi di
Provinsi Maluku Utara sangat terbatas dan
mempunyai skala kecil, seperti tenaga air
skala kecil, dan energi terbarukan lainnya
(biomasa, tenaga surya, angin dan arus
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
laut) serta potensi energi yang masih dalam
tahap ekplorasi seperti minyak dan gas
bumi (migas) serta panas bumi. Ada lima
blok potensi migas seperti ditunjukkan
pada Gambar 1. Potensi tersebut sudah
dilelang
menjadi
Wilayah
Kerja
Pertambangan
(WKP)
berdasarkan
production sharing contract (PSC).
Sumber: Diolah dari Petrominer (2012), Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (2011), dan
Badan Geologi (2007)
Gambar 1. Lokasi Potensi Migas di Provinsi Maluku Utara
Potensi panas bumi di Provinsi Maluku
Utara mencapai 329 MWe yang tersebar di
seluruh wilayah, kecuali di Kepulauan Sula
dan Pulau Morotai (Lihat Tabel 1).
Cadangan mungkin dan terbukti belum
tersedia datanya dan masih harus
dilakukan eksplorasi lebih lanjut.
263
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
T abel 1. Potensi Panas Bumi Provinsi Maluku Utara
No
Nama Lapangan
Kabupaten
a
Mamuya
Halmahera Utara
b
Ibu
Halmahera Barat
c
Akelamo
Halmahera Utara
d
Jailolo
Halmahera Barat
e
Keibesi
Halmahera Barat
f
Akesahu
Tidore
g
Indari
Halmahera Selatan
h
Labuha
Halmahera Selatan
i
Songa – Wayaua Halmahera Selatan
Total Potensi = 329 MWe
Sumber: Badan Geologi, 2007
Potensi ( MWe )
Sumber Daya (MWe)
Cadangan (MWe)
Spekulatif
Hipotetis
Terduga Mungkin
Terbukti
7
25
25
42
25
15
25
25
140
125
7
197
Berdasarkan data hasil survei Dinas ESDM
Provinsi Maluku Utara, potensi tenaga air
diprakirakan sekitar 12,65 – 17,10 MW.
Potensi hanya bisa dimanfaatkan sebagai
Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro
(PL TMH) dengan kapasitas per unit
pembangkit sekitar 500 kW hingga 2 MW .
Energi baru terbarukan lainnya yang dapat
dimanfaatkan adalah biomasa dari limbah
hasil pertanian, tenaga surya, tenaga bayu
dan tenaga arus laut. Potensi energi baru
terbarukan lainnya masih tahap terindikasi
dan perlu inventarisasi lebih lanjut.
PRAKIRAAN PERMINT AAN
PENYEDIAAN ENERGI
Indonesia
(MP3EI).
Pengembangan
dilakukan dengan pendekatan terobosan
(breakthrough) dan bukan business as
usual. MP3EI dimaksudkan untuk
mendorong terwujudnya pertumbuhan
ekonomi
yang
tinggi,
berimbang,
berkeadilan dan berkelanjutan (Menko
Perekonomian,
2011).
Wilayah
pelaksanaan MP3EI dibagi menjadi enam
koridor dan Provinsi Maluku Utara
termasuk ke dalan koridor 6. Tema
pembangunan di koridor ini adalah sebagai
pusat pengembangan pangan, perikanan,
energi, dan pertambangan nasional. Untuk
Provinsi Maluku Utara pembangunan
budidaya perikanan mempunyai peluang
yang sangat besar dan sudah dirintis
dengan
mengembangkan
Mega
Minapolitan
Morotai.
Asumsi
pertumbuhan PDRB untuk skenario ALT
adalah sebesar 9,1% per tahun. Sedangkan
pertumbuhan penduduk sama dengan
skenario BAU.
DAN
Dalam membuat perencanaan energi
untuk jangka panjang diperlukan data dan
asumsi sebagai acuan. Tahun dasar yang
digunakan adalah tahun 2010 dan
diproyeksikan hingga
tahun
2030.
Pemilihan tahun 2010 sebagai tahun dasar
karena seluruh data terkait energi sudah
dipublikasi secara lengkap. Dalam
perencanaan ini dibuat dua buah skenario,
yaitu: skenario dasar (business as
usual/BAU) dan skenario alternatif (AL T).
Skenario BAU mengasumsikan
pertumbuhan PDRB dan penduduk tumbuh
sesuai dengan perkembangan historis.
Pertumbuhan PDRB dipertimbangkan
untuk setiap kabupaten/kota dan untuk
periode 2010 – 2030 pertumbuhan PDRB
diprakirakan rata-rata sebesar 6,6% per
tahun, sedangkan pertumbuhan penduduk
sebesar 2,8% per tahun. Skenario ALT
merupakan skenario yang mengoptimalkan
pertumbuhan
sesuai
dengan
Pengembangan Masterplan Percepatan dan
Perluasan
Pembangunan
Ekonomi
264
Konsumsi Energi Saat Ini
Energi yang digunakan di Provinsi
Maluku Utara terutama adalah bahan bakar
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
minyak (BBM), LPG dan listrik.
Berdasarkan data Pertamina, penggunaan
BBM meningkat dari 248 ribu kl pada
tahun 2007 menjadi 263 ribu kl pada tahun
2010 atau meningkat rata-rata 1,9% per
tahun. Pada tahun 2010 pangsa terbesar
adalah penggunaan minyak solar dengan
pangsa 52%, diikuti oleh premium (26%),
minyak tanah (18%), dan avtur (4%).
Konsumsi minyak bakar terus berkurang,
pada tahun 2007 masih digunakan sebesar
600 kl dan tahun 2010 sudah tidak
digunakan lagi.
2010: Total Konsumsi BBM 263 ribu kl
Saat ini belum ada kewajiban untuk
mengkonversikan minyak tanah ke LPG di
sektor rumah tangga. Meskipun demikian
penggunaan minyak tanah relatif tidak
meningkat, sedangkan penggunaan LPG
meningkat sangat pesat. Penggunaan LPG
meningkat dari 57 ribu kg pada tahun 2007
menjadi 420 ribu kg pada tahun 2010, atau
meningkat rata-rata sebesar 94,1% per
tahun. Konsumsi BBM dan LPG di
Provinsi Maluku Utara pada tahun 2010
ditunjukkan pada Gambar 2.
2010: T otal Konsumsi LPG 420 ribu kg
M.Bakar
0%
Avtur
4%
M.Tanah
18%
Premiun
26%
M.Solar
52%
Industri
27%
Rumah
Tangga
73%
Sumber: Diolah dari Pertamina, 2012
Gambar 2. Konsumsi BBM dan LPG di Provinsi Maluku Utara (2010)
Distribusi BBM untuk Provinsi Maluku
Utara dilayani oleh Pertamina UPMS VIII
Jayapura. Pertamina UPMS VIII melayani
penyediaan dan distribusi BBM yang
meliputi 4 provinsi, yaitu Provinsi Papua,
Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara.
Ada beberapa kendala yang dihadapi
dalam penyedian BBM di wilayah ini.
Kendala tersebut, diantaranya adalah posisi
geografis yang merupakan wilayah
kepulauan dengan banyak daerah yang
masih terpencil (remote area). Kondisi
gografis
yang merupakan wilayah
kepulauan memerlukan sarana tanker yang
handal dengan jumlah yang cukup
sehingga penyediaan ke lokasi-lokasi depot
dapat terpenuhi tepat waktu. Disamping itu
kondisi cuaca yang sering terjadi
gelombang laut yang besar juga
merupakan kendala dalam distribusi BBM.
265
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Tahuna
Tarakan
Tobelo
Manado
Pontianak
Samarinda
Sintang
P. Pisau
Pkl. Bun
Sumatera/
Impor
Balikpapan
Banjarmasin
Depot BBM
Poso
Kolonedale
Sampit
Keterangan:
Toli-toli
Gorontalo
Moutong
Donggala
Palopo
Kotabaru
Parepare
Makasar
Ternate
Sorong
Wayame
Sanana
Kolaka
Kendari
Biak
Labuha
Luwuk
Banggai
Ampana
Namlea
Masohi
Ambon
Manokwari
Serui
Fak-fak
Bula
Nabire
Jayapura
Raha
Tual
Bau-bau
Instalasi
Saumlaki
Dobo
Merauke
Terminal Transit
Sumber: Diolah dari Pertamina, 2012
Gambar 3. Sistem Distribusi BBM untuk Provinsi Maluku Utara dan Sekitarnya
Pelanggan listrik PLN pada tahun 2010
mencapai 113,8 ribu pelanggan dengan
daya tersambung sebesar 86,3 MV A dan
listrik terjual mencapat 166,7 GWh.
Pengguna listrik terbesar adalah Kota
Ternate dengan pangsa penggunaan
mencapai 49% dari total penggunaan
listrik di Provinsi Maluku Utara.
Berdasarkan sektornya, penggunaan listrik
terbesar adalah sektor rumah tangga
dengan pangsa mencapai 65% diikuti oleh
sektor bisnis (17%), pemerintah (14%),
sosial (3%) dan industri (1%). Dengan
melihat komposisi penggunaan listrik ini
maka terlihat bahwa proses industrialisasi
di Maluku Utara belum berjalan.
266
Sistem kelistrikan di Provinsi
Maluku Utara terdiri atas 7 sistem
kelistrikan yang cukup besar yaitu sistem
Ternate, Tobelo, Jailolo-Sofifi, Soa-Siu
(Tidore), Bacan, Sanana dan Daruba (Lihat
Gambar 4). Disamping itu terdapat 21 unit
pusat pembangkit kecil tersebar. Beban
puncak gabungan sistem kelistrikan saat
ini sekitar 60 MW yang dipasok dengan
menggunakan PLTD tersebar yang
terhubung langsung ke sistem distribusi 20
kV . Sistem terbesar di Maluku Utara
adalah sistem Ternate yang memiliki
penyediaan pembangkit sekitar 35 MW
yang terdiri dari pembangkit sendiri 14,8
MW dan mesin sewa 20,3 MW (PLN,
2011).
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Bere Bere
Daruba
1,1 MW
3
Kedi
Sofifi
2,01 MW
Jailolo
1,90 MW
1
Ternate
17,2 MW
4
Soa-Siu
2,48 MW
Tobelo
4,95MW
Galela
Ibu
7
2
Malifut
Kao
Sidangoli
Lolobata
Maba
Subaim
Payahe
Weda
Patani
Maffa
Kayoa
Saketa
5
Bacaan
2,54 MW
Madopolo
Laiwui
Jiko
Bobong
Dofa
Mangoli
Sanana
1,95 MW
6
Sumber: PLN (2011)
Gambar 4. Sistem Kelistrikan Provinsi Maluku Utara
PT
PLN
(Persero)
disamping
mengembangkan
pembangkit
listrik
konvensional
juga
mengembangan
pembangkit
menggunakan
energi
terbarukan, salah satunya yaitu pembangkit
listrik tenaga surya (PL TS) terpusat di
Kabupaten Pulau Morotai. PL TS Morotai
mempunyai kapasitas 600 kilo Watt peak
(kWp) dan merupakan PL TS terbesar yang
pernah dioperasikan PLN di seluruh
Indonesia. Luas lahan untuk PLTS ini
mencapai 3 Ha. Dengan pengoperasian
PL TS ini mampu mengurangi konsumsi
bahan bakar minyak (BBM) rata-rata
sebesar 800 liter per hari atau setara
dengan penghematan senilai Rp. 2,5 miliar
per tahun.
Prakiraan
Pertumbuhan
Sosial
Ekonomi
Berdasarkan skenario dasar (BAU),
PDRB Provinsi Maluku Utara atas dasar
harga konstan tahun 2000 diprakirakan
akan tumbuh dari sebesar 2,98 triliun
Rupiah pada tahun 2010 menjadi 10,67
triliun Rupiah pada tahun 2030 atau
meningkat rata-rata sebesar 6,6% per tahun.
Sedangkan untuk skenario alternatif (AL T)
pada tahun 2030 diprakirakan menjadi
sebesar 16,96 triliun Rupiah, atau
meningkat rata-rata sebesar 9,1% per tahun.
Perbandingan antara skenario BAU dan
ALT ditunjukkan pada Gambar 5.
Sedangkan jumlah penduduk meningkat
dari 1.038 ribu jiwa pada tahun 2010
menjadi 1.819 ribu jiwa pada tahun 2010
atau meningkat rata-rata sebesar 2,8% per
tahun.
267
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Triliun Rupiah
18
16
Skenario ALT
14
Skenario BAU
12
10
8
6
4
2
2030
2029
2028
2027
2026
2025
2024
2023
2022
2021
2020
2019
2018
2017
2016
2015
2014
2013
2012
2011
2010
0
Gambar 5. Perbandingan Prakiraan Pertumbuhan PDRB
meningkat dari 1,79 juta SBM (Setara
Barel Minyak) pada tahun 2010 menjadi
4,18 juta SBM pada tahun 2030 atau
meningkat rata-rata sebesar 4,3% per tahun.
Pada skenario ALT permintaan energi
diprakirakan akan meningkat menjadi 5,36
juta SBM pada tahun 2030 atau meningkat
rata-rata sebesar 5,7% per tahun.
3.2. Prakiraan Permintaan Energi
Peningkatan permintaan energi
terutama dipengaruhi oleh pertumbuhan
PDRB dan penduduk. Perbandingan
prakiraan permintaan energi final untuk
skenario BAU dan skenario ALT
ditunjukkan pada Gambar 6. Pada skenario
BAU permintaan energi diprakirakan akan
6.0
Skenario ALT
Juta SBM
5.0
Skenario BAU
4.0
3.0
2.0
1.0
2030
2029
2028
2027
2026
2025
2024
2023
2022
2021
2020
2019
2018
2017
2016
2015
2014
2013
2012
2011
2010
0.0
Gambar 6. Perbandingan Prakiraan Permintaan Energi Final
Prakiraan permintaan energi final per
sektor untuk skenario BAU ditunjukkan
pada Gambar 7. Pada gambar terlihat
bahwa pada tahun 2010 sektor rumah
tangga mempunyai pangsa terbesar
pengguna energi yaitu sebesar 44% dari
total permintaan energi provinsi. Pangsa
268
terbesar kedua adalah sektor transportasi
dengan pangsa sebesar 32% diikuti oleh
sektor industri (18%), sektor komersial
(3%) dan yang paling kecil adalah sektor
lainnya (2%). Pada tahun 2030 pangsa
terbesar pengguna energi sudah bergesar
ke sektor transportasi meskipun sektor
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
barang di masa depan diprakirakan akan
terus meningkat. Sedangkan untuk
skenario ALT, pangsa permintaan energi
relatif tidak berubah hanya lebih besar total
permintaan energinya.
sektor rumah tangga juga masih dominan
dalam pengkonsumsi energi. Sektor
transportasi akan meningkat tajam
permintaan energinya mengingat Provinsi
Maluku Utara merupakan wilayah
kepulauan dan mobilitas orang serta
4.5
4.0
Juta SBM
3.5
3.0
Lainnya
2.5
Komersial
2.0
Transportasi
Rumah Tangga
1.5
Industri
1.0
0.5
2030
2029
2028
2027
2026
2025
2024
2023
2022
2021
2020
2019
2018
2017
2016
2015
2014
2013
2012
2011
2010
0.0
Gambar 7. Prakiraan Permintaan Energi Final per Sektor (Skenario BAU)
3.3. Prakiraan Penyediaan Energi
Penyediaan energi dapat ditentukan
berdasarkan permintaan energi dengan
mempertimbangkan
rugi-rugi
selama
transportasi maupun proses transformasi.
Dengan
mengasumsikan
rugi-rugi
transmisi dan distribusi listrik sebesar 10%
dan efisiensi termal pembangkit listrik
tenaga diesel (PL TD) sebesar 33% maka
dapat ditentukan penyediaan energi untuk
Provinsi Maluku Utara pada skenario dasar
(BAU) seperti ditunjukkan pada Gambar 8.
Penyediaan energi meningkat dari 2,03 juta
SBM pada tahun 2010 menjadi 4,77 juta
SBM pada tahun 2030 atau meningkat
rata-rata sebesar 4,4% per tahun. Pada
skenario
BAU
semua
pembangkit
diasumsikan
menggunakan
PL TD
sehingga sebagian besar penyediaan energi
berupa bahan bakar minyak (BBM).
Sampai saat ini semua BBM dipasokan
dari wilayah lain sehingga sistem
transportasi BBM melalui laut memegang
peranan penting dalam mendukung
ketahanan energi Provinsi Maluku Utara.
Minyak solar mendominasi penyediaan
dengan pangsa 41% pada tahun 2010 dan
meningkat menjadi 51% pada tahun 2030.
269
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
5.0
4.5
4.0
Juta SBM
3.5
Kayu Bakar
3.0
LPG
2.5
Avtur
2.0
M. Solar
1.5
M. Tanah
1.0
Bensin
0.5
2030
2029
2028
2027
2026
2025
2024
2023
2022
2021
2020
2019
2018
2017
2016
2015
2014
2013
2012
201 1
2010
0.0
Gambar 8. Prakiraan Penyediaan Energi Provinsi Maluku Utara
(Skenario BAU)
Pada skenario alternatif (AL T) sudah ada
diversifikasi
bahan
bakar
untuk
pembangkit listrik sesuai dengan rencana
PLN seperti penggunaan energi surya,
energi panas bumi, tenaga air skala kecil
(PL TMH) dan batubara. Prakiraan
penyediaan energi untuk skenario ALT
ditunjukkan pada Gambar 9. Penyediaan
energi meningkat dari 2,03 juta SBM pada
tahun 2010 menjadi 6,15 juta SBM pada
tahun 2030 atau meningkat rata-rata
sebesar 5,7% per tahun. Meskipun sudah
ada diversifikasi namun penyediaan energi
yang terbesar masih dipenuhi dari minyak
solar. Untuk jangka panjang perlu
dipikirkan
energi
alternatif
untuk
mensubsitusi minyak solar ini tidak hanya
untuk pembangkit listrik tetapi juga untuk
sektor transportasi dan sektor lainnya.
6.5
6.0
5.5
Batubara
5.0
Surya
Juta SBM
4.5
Panas Bumi
4.0
3.5
Air
3.0
Kayu Bakar
2.5
LPG
2.0
Avtur
1.5
M. Solar
1.0
M. Tanah
0.5
Bensin
2030
2029
2028
2027
2026
2025
2024
2023
2022
2021
2020
2019
2018
2017
2016
2015
2014
2013
2012
201 1
2010
0.0
Gambar 9. Prakiraan Penyediaan Energi Provinsi Maluku Utara
(Skenario AL T)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Peranan energi sangat penting untuk
peningkatan kegiatan ekonomi baik di
level nasional maupun level provinsi.
Pengelolaan energi harus dilaksanakan
270
secara, berkesinambungan dan dapat
bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
Untuk
mengoptimalisasi
pengelolaan
energi
tersebut
diperlukan
suatu
perencanaan energi yang komprehensif.
Perencanaan energi daerah Provinsi
Maluku
Utara
mengasumsikan
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
pertumbuhan PDRB untuk periode 2010 2030 rata-rata sebesar 6,6% per tahun
untuk skenario BAU dan 9,1% untuk
skenario AL T. Pertumbuhan penduduk
diasumsikan sama untuk kedua skenario
yaitu sebesar 2,8% per tahun. Berdasarkan
asumsi tersebut, permintaan energi final
diprakirakan akan meningkat dari 1,79 juta
SBM pada tahun 2010 menjadi 4,18 juta
SBM pada tahun 2030 untuk skenario
BAU. Sedangkan untuk skenario ALT
permintaan energi final diprakirakan akan
meningkat menjadi 5,36 juta SBM pada
tahun 2030.
Konsumsi energi final per sektor
untuk tahun 2010 masih didominasi oleh
sektor rumah tangga dengan pangsa
sebesar 44% dari total permintaan energi.
Pangsa terbesar kedua adalah sektor
transportasi sebesar 32% diikuti oleh
sektor industri (18%), sektor komersial
(3%) dan sektor lainnya (2%). Pada tahun
2030 untuk skenario BAU pangsa terbesar
pengguna energi sudah bergesar ke sektor
transportasi. Sektor transportasi akan
meningkat tajam permintaan energinya
mengingat
Provinsi
Maluku
Utara
merupakan wilayah kepulauan dan
mobilitas orang serta barang di masa depan
diprakirakan akan terus meningkat.
Prakiraan permintaan energi final per
bahan bakar untuk skenario BAU
didominasi oleh peningkatan permintaan
minyak solar. Pangsa penggunaan minyak
solar meningkat dari 28% pada tahun 2010
menjadi 38% pada tahun 2030. Hal ini
terkait dengan perkembangan sektor
transportasi
yang
sebagian
besar
menggunakan minyak solar.
Penyediaan energi untuk skenario
BAU meningkat dari 2,03 juta SBM pada
tahun 2010 menjadi 4,77 juta SBM pada
tahun 2030 atau meningkat rata-rata
sebesar 4,4% per tahun. Penyediaan energi
untuk skenario AL T meningkat menjadi
6,15 juta SBM pada tahun 2030 atau
meningkat rata-rata sebesar 5,7% per tahun.
Meskipun sudah ada diversifikasi namun
penyediaan energi yang terbesar masih
dipenuhi dari BBM. Mengingat BBM
dipasok dari luar provinsi maka untuk
jangka
panjang
perlu
dipikirkan
penggunaan energi alternatif untuk
mensubsitusi
BBM,
baik
untuk
pembangkit maupun
untuk
sektor
transportasi.
Saran
Dari pembahasan sebelumnya dapat
diusulkan
saran-saran
dalam
pengembangan sektor energi di Provinsi
Maluku Utara.
•
Mendorong perguruan tinggi setempat
untuk berperan dalam perencanaan,
pengembangan
dan
pemanfaatan
sumber energi alternatif seperti bahan
bakar nabati (BBN), biogas, PLTMH
dan PLTP . Pengembangan energi
alternatif ini sangat diperlukan karena
penyediaan BBM secara keseluruhan
berasal dari luar provinsi. BBN dapat
digunakan untuk mensubstitusi BBM
di sektor transportasi, biogas untuk
substitusi BBM di sektor rumah
tangga serta PLTMH dan PLTP untuk
mensubstitusi
BBM
untuk
pembangkitan tenaga listrik.
•
Mendorong pemanfaatan BBN yang
berasal dari bahan baku lokal secara
maksimal sebagai substitusi BBM,
khususnya minyak solar. Pemanfaatan
BBN yang berasal dari bahan baku
lokal diharapkan dapat menjadi
multiplier effect bagi pertumbuhan
perekonomian daerah.
•
Mendorong pelaksanaan perencanaan
pembangunan yang terintegrasi dan
lintas sektoral supaya dapat menjamin
ketersediaan energi untuk jangka
panjang.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Dr. Adhi Dharma Permana dan
Prof. Ir. M. Sidik Boedoyo, M.Eng. yang
telah mengorganisasi dan membantu dalam
kegiatan Insentif Riset dari Kementerian
Negara Riset dan Teknologi tahun
anggaran 2012.
271
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
DAFTAR PUSTAKA
Badan Geologi (2007) Survei dan
Eksplorasi Panas Bumi di Seluruh
Wilayah Indonesia, Bandung.
BPS Provinsi Maluku Utara (2011)
Provinsi Maluku Utara Dalam Angka
2011, Badan Pusat Statistik Provinsi
Maluku Utara.
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi
(2011) Petroleum Bidding Round Y ear
2011, Jakarta.
Menko Perekonomian (2011) Masterplan
Percepatan
dan
Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia,
272
Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian, Jakarta.
Pertamina (2012) Data untuk Kuesionar
BPPT, tidak dipublikasi, Jakarta.
Petrominer (2012) Indonesia Petroleum
W orks Area 2012, Jakarta.
PLN (2011) Rencana Usaha Penyediaan
Tenaga Listrik PT PLN (Persero)
2011-2020, PT PLN (Persero), Jakarta.
PLN
Ternate
(2012)
Kondisi
Ketenagalistrikan di Provinsi Maluku
Utara, Bahan Presentasi untuk BPPT,
PLN (Persero) Cabang Ternate,
Ternate.
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Analisis Faktor Eksternal dan Internal Terhadap Kinerja
Usaha Mikro dan Kecil (UMK) di Kota Ternate
Amran Husen
Abstract
The purposes ofthe researchare: (1) toanalyze the external factors influence which consist
of overnmental policy, socialeconomics and culture, andrelated institute role aspect to
internal factors of Small and Micro Business; (2) toanalyze the external factors influence
which consistof governmental policy, social economics andculture, and related institute
role aspectto Small and Micro Business Performance; and(3) to analyze the internal
factorsin fluencew hich consists of human resource, financial, technique production and
operation, and marketor marketing aspectto Smalland Micro Business Performance.
Research locatio nin Ternate. Total respondents are 147 which divided in two location
with the same proportion; i.e. Ternateare147 respondent.; The Sample technique use
ssimple random sampling. The data analyzed by descriptive analysis and Structural
Equation Modeling (SEM). Dataprocessing performed bysoftware AMOS4.01, and SPSS
for windows. There sults indicate that: (1)external factors which consist of governmental
policy, social economics and culture, and related institute roleaspect
havesignificantlyand positiveeffecttointernal factorsof smalland microbusinesswith
contribution equal to 0,950(95%); (2)external factors which consist of governmental
policy, social economics and culture,and related instituterole aspect have significantly
and positive effectt osmall and micro business performance with contribution equal to
0,223 (22,3%); and (3) Internal factors which consists of human resource, financial,
technique production and operation, and market ormarketing aspect have significantly
and positive effect to small and micro business performance with contribution equal to
0,720(72,0%)
Keywords : external factors, nternalfactors, smalland micro business performance
PENDAHULUAN
Fungsi dan peran Usaha Mikro dan
Kecil (UMK) saat ini dirasakan begitu
penting, karena sektor ini bukan saja
sebagai sumber mata pencaharian orang
banyak, tetapi juga menyediakan secara
langsung lapangan kerja bagi mereka yang
tingkat pengetahuan dan ketrampilannya
rendah, sebagai kelompok usaha kecil,
UKM selalu terjebak dalam problem
keterbatasan modal, teknik produksi,
pemasaran, manajemen, dan teknologi.
Sebagai upaya untuk mengembangkan
usaha kecil dalam rangka memperluas
perannya di dalam perekonomian nasional,
diperlukan serangkaian pembinaan secra
terpadu dan berkelanjutan untuk mengatasi
berbagai masalah tersebut, terutama
bersumber pada masalah keterbatasan
pengetahuan, informasi dan permodalan
(Hafsah, 2000:8).
Kondisi dan faktat ersebut sejalan
dengan hasil penelitian empiris yang
dilakukanD emirbagetal., (2006) yang
menyimpulkan bahwa keberhasilan usaha
kecil dan menengah (small-medium
enterprises) memiliki dampak langsung
terhadap pembangunan ekonomi baik pada
negara
maju
maupun
negara
berkembang. Usaha kecil dan menengah
memiliki kemampuan untuk menciptakan
lapangan kerja dengan biaya minimum,
mereka adalah pelopor dalam dunia
inovasi dan memiliki fleksibilitas tinggi
yang memungkinkan usaha tersbut untuk
memenuhi
kebutuhan
pelanggan
__________________________________________
Alamat Korespondensi :
Amran Husen, Fakultas Ekonomi Universitas Khairun Ternate, Ternate Selatan
Email : amran. [email protected]
JESP V ol.4, No. 2, 2012
(Brockdan
Evans,1986; ACS dan
Audretssch, 1990).
Peran yang dimainkan oleh sektor
ini diharapkan akan tetap berlanjut dengan
cara pemerintah dan pihak terkait
memiliki acuan yang jelas tentang faktorfaktor yang mempengaruhi peningkatan
kinerja usaha tersebut. Kinerja sektor
usaha mikro dan
kecil (UMK)
dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni
faktor-faktor eksternal dan faktor-faktor
internal. Faktor internal meliputi aspek
SDM (pemilik, manajer, dan karyawan);
aspek keuangan, aspek teknis produksi;
dan spek pemasaran. Sedangkan Faktor
eksternal
terdiri
dari
kebijakan
pemerintah, aspek sosial budaya dan
ekonomi, serta peranan lembaga terkait
seperti Pemerintah, PerguruanTinggi,
Swasta, dan LSM. (McCommicket.al,
1997; Zang, 2001; Laceiva, 2004; Haris
Maupa, 2004; dan Dinas Kop dan UKM
Kota Ternate, 2009).
Pengembangan Usaha Mikro dan
Kecil merupakan bagian yang terintegrasi
dalam program
pengembangan Usaha
Kecil dan Menengah (UKM) di Kota
Ternate.
Kegiatan
pengembangannya
ditujukan sebagai salah satu pilar ekonomi
kerakyatan yang dapat menjadi penggerak
utama perekonomian daerah, lebih khusus
lagi bagi terwujudnya program “Bahari
Berkesan di Kota Ternate. Oleh karena itu,
perhatian
pemerintah Kota Ternate
terhadap sektor inisangat besar. Hal ini
dibuktikan dengan adanya strategi, program
dan rencana aksi (actionplan)untuk
membangunUsaha Mikro dan Kecil
(UMK). Beberapa program yang telah
dilakukan misalnya program pelatihan di
Kota Ternate (Dinas Koperasi danUKM
SulSel, 2006)
Beberapa penelitian dan studi
sebelumnya
yang
berkaitan dengan
penelitian ini dan dapat dijadikan acuan
atau rujukan untuk dikembangkan dalam
penelitian ini antara lain ialah:
(1)McCommick et.al (1997) melakukan
penelitian di Nairobi dengan menguji
variabel modal awal, permintaan, umur,
274
tingkat pendidikan, etnik,tersedianya
kredit, dan bauran produk. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa Modal
awal,tersedianya kredit,bauran produk dan
permintaan
serta
umur,
tingkat
pendidikan,etnik
dari
wirausaha
berhubungan
dengan
pertumbuhan
perusahaan (dalam pertumbuhan tenaga
kerja);
(2)CrijnsdanOoghi
(2000)
mengungkapkan bahwa setiap tahap
pertumbuhan perusahaan merupakan hasil
dari dua lingkungan dimana perusahaan
melakukan bisnisnya,yakni lingkungan
internald an eksternal. Faktor eksternal
penting yang mempengaruhi pertumbuhan
perusahaan adalah: industri dan pasar,
perusahaan pesaing, dan iklim ekonomi.
Sedangkan faktor internal yang sangat
penting (criticaldevelopment factors)
untuk pertumbuhan perusahaan adalah:
pengusaha kecil sebagai manajer,
perusahaan
sebagai
organisasi,
kepemilikan atau struktur kepemilikan.
Penelitian
Wisardja
(2000)
menunjukkan bahwa faktor lingkungan
industri yang unsur-unsurnya
adalah
pelanggan,
pemasok, pesaing dan
teknologi memiliki
pengaruh
yang
signifikan terhadap keberhasilan usaha
industri ukiran kayu di Kabupaten
Gianyar, Propinsi Bali; dan unsur
pelanggan berpengaruh paling dominan
terhadap keberhasilan usaha kayu tersebut.
Zhang(2001) menyimpulkan bahwa dua
prekondisi utama untukt umbuhnya usaha
kecil,yakni kemampuan perusahaan untuk
mempertahankan
kelangsungan hidup
jangka panjang,dan kemampuan manajer
untuk mengatasi hambatan manajemen.
Berkaitan
dengan
aspek
lingkungan, Wilkinson (2002) menyatakan
bahwa usaha kecil dan mikro akan tumbuh
bilamana lingkungan aturan/kebijakan
mendukung, lingkungan makro ekonomi
dikelola dengan baik, stabil, dan dapat
diprediksi; informasi yang dapat dipercaya
dan mudah diakses,dan lingkungan sosial
mendorong dan menghargai keberhasilan
usaha tersebut. Studi yang dilakukan oleh
Maupa
(2004)
menunjukkan:
(1)
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Karakteristik individu manajer/pemilik,
karakteristik
perusahaan,lingkungan
eksternal bisnis, dan dampak kebijakan
ekonomidan sosial mempunyai pengaruh
langsung, positif, dan signifikan terhadap
strategi bisnis dan pertumbuhan usaha; (2)
Karakterisitik perusahaan,dan dampak
kebijakan sosial dan ekonomi mempunyai
pengaruh langsung yang negatif terhadap
strategi bisnis; dan (3) Strategi bisnis
mempunyai pengaruh langsung, positif,
dan signifikan terhadap pertumbuhan
perusahaan. Berdasarkan beberapaliteratur
yang telah disarikan dan studi empiris
sebelumya,
maka
penelitian
inidifokuskan pada menguji keterkaitan
antara faktor-faktor eksternal dan
internal dan pengaruhnya terhadap
kinerja Usaha Mikro dan Kecil (UMK )
di Kota Ternate
KERANGKA PIKIR DAN
HIPOTESIS
Kerangka Pikir
Berdasarkan telaah pustaka yang telah
ipaparkan pada bagians ebelumnya, maka
dibangunlah sebuah kerangka pikir yang
akan diuji hubungannya melalui penelitian
ini. Adapun mode lyang dikonstruksi
sebagai kerangka pikir dalam penelitian
ini disajikan pada Gambar1.
AspekSDM
AspekKeuangan
FaktorFaktor
Internal
Aspek Teknis Produksi
Dan Operasi
Pertumbuhan
Penjualan
H3
Pertumbuhan
Modal
Aspek Pasar dan
Pemasaran
H1
AspekKebijakan
Pemerintah di SektorUMK
AspekSosial,budaya,
Dan Ekonomi
Kinerja
UMK
Pertumbuhan
TenagaKerja
Pertumbuhan
Pasar
H2
FaktorFaktor
Eksternal
Pertumbuhan
Laba
Aspek Peranan
Lembaga Terkait
Gambar1.ModelKerangkaPikirPenelitian
Hipotesis
Berdasarkan
kajian literature dan
skema kerangka pikir penelitian diatas,
maka dirumuskan hipotesispenelitian
sebagai berikut:
H1: Faktor-faktor eksternal mempunyai
pengaruh signifikan dan positif
terhadap faktor-faktor internal Usaha
Mikro Kecil (UMK).
H2: Faktor-Faktor eksternal mempunyai
pengaruh signifikan dan positif
terhadap Kinerja Usaha Mikro Kecil
275
JESP V ol.4, No. 2, 2012
(UMK).
H3: Faktor-faktor internal mempunyai
pengaruh signifikan dan positif
terhadap kinerja Usaha Mikro Kecil
(UMK)
METODEPENELITIAN
Penelitian
inidilakukan
di
KotaTernate. V ariabel yang akan diuji
dalam penelitian ini terdiri atas variabel
eksogen, dan variabel endogen. V ariabel
eksogen yaitu faktor-faktor eksternal (X)
yang dibentuk oleh beberapa subvariabel
yakni Aspek kebijakan pemerintah (x1)
dengan 4 indikator; Aspek sosial budaya,
dan ekonomi (x2) dengan 4 indikator;
Aspek peranan lembaga terkait (x3) dengan
4 indikator; V ariabel endogen 1 ( juga
sebagai variable eksogen bagi endogen 2 ),
yaitu faktor-faktor internal
(Y) yang
dibentuk oleh beberapa subvariabel yakni
aspek sumber daya manusia (y1) dengan
4indikator; aspekkeuangan (y2) dengan 4
indikator; aspek teknis produksi dan
operasional (y3) dengan 4indikator; dan
aspek pasar dan pemasaran (y4) dengan 4
indikator. V ariabel endogen-2, yaitu
variable kinerja usaha (Z) dengan 5
indikator yang membentuknya. Pengukuran
variabel penelitian berdasarkan pada
persepsi atau tanggapan responden terhadap
seluruh indikator variabel yang telah
dikonstuksi pada model (Sugiyono 2003).
Jawaban
responden terhadap setiap
pernyataan diberi skoring menurut Skala
Likert, yakni dengan skor 1 untuk nilai
paling terendah dan skor 5 untuk nilai
paling tinggi.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh Usaha Mikro dan Kecil (UMK)
yang tercatat pada Dinas Koperasi dan
UKM dilokasi penelitian. Adapun jumlah
UMK di Ternate 140 (Dinas Koperasi dan
UKM Kota Ternate 2009). Dengan asumsi
bahwa karakteristik populasi relative
homogen,
maka
penarikan
sampel
penelitian menggunakan teknik acak
sederhana (simple random sampling).
Responden yang dijadikan sampel adalah
pengusaha/pemilik usaha. Jumlah sampel
yang dijadikan responden sebanyak 140
pengusaha dengan proporsi yang sama,
yakni 140 responden di Kota Ternate.
Pengujian
validitas dilakukan
dengan menggunakan pearson correlation,
dimana suatu indicator/ item dinayatakan
valid apabila nilair kritis>0,3. (Hairet.al,
1999).
Pengujian
reliabilitas
menggunakan teknik alpha cronbach,
dimana suatu konstruk atau variable
dinyatakan handal apabila memiliki nilai
alpha cronbach > 0,6. (Zeithaml, et al.
1998). Hasil pengujian validitas dan
reliabilitas instrument disajikan pada Tabel
1, 2, 3, dan 4.
Tabel1.HasilPengujianValiditasFaktor-FaktorEkternal
No
1
2
276
Variabel/Indikator
Aspek Kebijakan Pemerintah:
a. Akses permodalan dan pembiayaan
b. Kegiatan pembinaan melalui dinas/SKPD
terkait
c. Peraturan dan regulasi yang pro bisnis
d. Penyiapan lokasi usaha dan penyediaan
informasi
Aspek Sosbud&Ekonomi
a. Tingkat pendapatan masyarakat
b. Trsediannya lapangan kerja
Total Correlation
Product Moment Keterangan
Sebelum Sesudah
0,2730
0,5005
0,5122
0,4300
0,3670
0,6264
0,6184
0,5437
V alid
V alid
V alid
V alid
0,4320
0,5570
0,4800
0,7156
0,6733
0,6461
V alid
V alid
V alid
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
c. Iklim usaha dan investasi
d. Pertumbuhan ekonomi
3
Peran Lembaga Terkait
a. Bantuan Permodalan dari Lembaga Terkait
b. Bimbingan teknis/pelatihan
c. Pendampingan
d. Monitoring evaluasi
0,3230
0,6350
0,5570
0,4800
0,3230
0,4800
V alid
0,6552
0,6733
0,6461
0,4800
V alid
V alid
V alid
V alid
V alid
T abel 2. Hasil Pengujian Validitas Faktor-FaktorInternal
No
1
2
3
4
Variabel/Indikator
Aspek sumberdaya manusia:
a. Tingkat pendidikan formal
b. Jiwa kepemimpinan
c. Pengalaman/lama berusaha
d. Motivasi dan ketrampilan
Aspek Keuangan:
a. Modal sendiri
b. Modal pinjaman
c. Tingkat keuntungan dan akumulasi modal
d. Membedakan pengeluaran
pribadi/keluarga
Aspek teknis dan operasional:
a. Ketersediaan bahan baku
b. Kapasitas produksi
c. Tersedia mesin/peralatan
d. Teknologi moderen dan pengendalian
kualitas
Aspek pasar dan Pemasaran:
a. Permintaan pasar
b. Penetapan harga bersaing
c. Kegiatan promosi
d. Saluran distribusi dan wilayah pemasaran
Total Correlation
Product Moment Keterangan
sebelum Sesudah
0,4421
0,4325
0,3217
0,4098
0,5348
0,4873
0,5692
0,5832
V alid
V alid
V alid
V alid
0,4986
0,5096
0,3,872
0,32109
0,5238
0,6230
0,4980
0,4128
V alid
V alid
V alid
V alid
0,3980
0,5092
0,4210
0,4321
0,3541
0,6897
0,6210
0,5321
V alid
V alid
V alid
V alid
0,6432
0,7654
0,7609
0,5432
V alid
V alid
V alid
V alid
V alid
0,5350
0,5327
0,4469
0,6230
T abel 3. Hasil Pengujian Validitas Variabel Kinerja Usaha
No
1
Variabel/Indikator
a.
b.
c.
d.
Pertumbuhan penjualan meningkat
Pertumbuhan modal meningkat
Penambahan tenaga kerja setiap tahun
Pertumbuhan pasar dan pemasaran
semakin baik
e. Pertumbuhan keutungan/laba semakin
meningkat
Total Correlation
Product Moment Keterangan
sebelum Sesudah
0,6437
0,5321
0,4328
0,3098
0,6709
0,5329
0,6432
0,4320
V alid
V alid
V alid
V alid
277
JESP V ol.4, No. 2, 2012
T abel 4. Hasil Pengujian Reliabilitas Instrumen
No
Variabel/Indikator
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Aspek Sumber Daya Manusia
Aspek Keuangan
Aspek Teknis Produksi&Operasi
Aspek Pasar&Pemasaran
Kebijakan Pemerintah
Dampak Sosial Budaya&Ekonomi
Peranan Lembaga Terkait
Kinerja Usaha
Berdasarkan hasil pengujian pada
tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa
validitas dan reliabilitas instrumen yang
digunakan baik sebelum maupun sesudah
pengumpulan data dinayatakan valid dan
reliabel. Hal ini dapat dilihat dari nilai total
corelation semua indikator (r > 0,30); dan
alpha cronbach setiap variabel > 0,60.
Kemudian untuk menguji hipotesis
penelitian, ada 2 (dua) model dan teknik
analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu : (1) Analisis
deskriptif; dan (2) Structural Equation
Modeling (SEM). Untuk menghindari
human error, maka pengolahan data
penelitian menggunakan bantuan software
Amos versi 4.01, serta SPSS for windows.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Deskripsi Karakteristik Responden
Responden penelitian ini dominan
dengan jenis kelamin laki-laki, yakni
sebesar 220 orang (74,7%) dan perempuan
70 orang (25,3%). Sebagian besar
responden berasal dari daerah yang secara
tradisional dipandang memiliki kultur
berdagang yang kuat yaitu suku Tidore
156 orang (52%) dan suku makian 100
orang (33,3%). Sisanya berasal dari
campuran suku buton, Palu, Manado,
Dayak, dan Sunda. Tingkat pendidikan
responden dominanberada pada tingkat
SMA yakni sebesar 180 orang(60%),
sisanya
berada
pada
tingkat
278
Cronbach
Keterangan
Alpha (α)
0.6231
0.6976
0.5752
0.6348
0.5854
0.6876
0.5097
0.5321
Reliable
Reliable
Reliable
Reliable
Reliable
Reliable
Reliable
Reliable
Sarjana/S1sebanyak 40 orang (13,3%), SD
dan SMP masingmasing28 orang (9,3%)
dan
Diploma
sebanyak
24orang
(8%).Kemudian dilihat dari segi usia,
respondenpenelitian ini dominan berada
dalam kategori usiaproduktif, yaitu 31-40
tahun (41,3%) dan 41-50 tahun(28%),
sisanya berada pada usia 20-30 tahun
(18,7%),usia 50-60 tahun (10,7%) dan di
atas 60 tahun 1,3%).Selanjutnya diketahui
pula bahwa umumnyaresponden telah
cukup
lama
menggeluti
usaha
yangsekarang dikelolanya dengan kisaran
pengalamanberusaha 5-10 tahun sebanyak
172 orang (57,3%) dan11-20 tahun 76
orang (25,3%), sedangkan sisanyaadalah
responden yang telah menggeluti usaha
dibawah 5 tahun (10,7%), 21-30 tahun
(4%) dan 31-40tahun (2,7%).
Deskripsi Karakterisitik Perusahaan
Responden penelitian ini umumnya
bergerak di bidang jasa perdagangan
sebesar 130 orang (44%), dan usaha jasa
sebesar 86 orang (29,3%). Sedangkan
sisanya, sebagian kecil bergerak di bidang
usaha makanan, minuman, meubel,
konveksi, dan peternakan. Jumlah tenaga
kerja yang digunakan dalam perusahaan
dominan berada pada kategori 2 orang
yaitu sebanyak 130 responden (44%) dan 3
orang yaitu sebanyak 86 responden
(29,3%). Sisanya yaitu 1 orang (12%), 4
orang (8%) dan 5 orang (6,7%). Kemudian
dari segi perizinan formal, dari 200
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
responden usaha, yang mempunyai izin
formal hanya 80 responden (40%),
sedangkan yang belum memiliki izin
formal adalah cukup dominan yaitu 120
responden (60%). Jenis perizinan yang
harus dimiliki oleh usaha mikro dan kecil
(UMK) misalnya adalah SIUPP , SITU, dan
TDP (tanda daftar perusahaan).
Deskripsi Karakteristik V ariabel
Kinerja Usaha V ariabel kinerja Usaha
Mikro dan Kecil secara umum menurut
persepsi responden berada pada kategori
yang cukup baik, baik dan sangat baik.
Indikator yang paling tinggi nilainya
berdasarkan ratarata (mean) adalah
pertumbuhan penjualan dengan nilai
sebesar 4,37. Sedangkan yang paling
rendahadalah
indikator
pertumbuhan
keuntungan/laba
usaha
(2,98).
Pertumbuhan penjualan produk secara
umum relatif baik, akan tetapi kondisi ini
tidak secara langsung berdampak pada
pertumbuhan laba/keuntungan saha. Hal
ini disebabkan karenakegiatan pencatatan
keuangan yang belum baik. Bahkan
beberapa
pengusaha tidak melakukan
pencatatan
keuangan
dalam
perusahaannya.
Aspek Sumber Daya Manusia
V ariabel aspek sumber daya manusia
secara umum menurut persepsi responden
berada pada kategori cukup baik, baik dan
sangat baik. Indikator yang paling tinggi
nilainya berdasarkan rata-rata (mean)
adalah pengalaman/lama berusaha dengan
nilai sebesar 4,46. Sedangkan yang paling
rendah adalah indikator pendidikan formal
(3,38). Pengalaman/lama berusaha pada
bidang usaha sejenis merupakan kekuatan
utama bagi pengusaha. Tingkat pendidikan
yang relatif rendah bukan merupakan
hambatan untuk memulai usaha, dan
mengembangkannya lebih maju. Adanya
motivasi yang tinggi, jiwa dan mental
wirausaha yang sudah terbentuk secara
alamiah merupakan modal utama untuk
memajukan usaha.
Aspek Keuangan
V ariabel aspek keuangan secara umum
menurut persepsi responden berada pada
kategori cukup baik dan baik. Indikator
yang paling tinggi nilainya berdasarkan
rata-rata (mean) adalah penggunaan modal
sendiri dengan nilai sebesar 4,11.
Sedangkan yang paling rendah adalah
indikator akumulasi keuntungan yang
besar digunakan untuk menambah
asset/harta perusahaan (3,22). Umumnya
pengusaha mengawali usahanya dengan
modal sendiri. Untuk meningkatkan
kegiatan usahanya mereka lebih banyak
menggunakan sumber dana keluarga.
Aspek Teknis Produksi dan Operasional
V ariabel aspek teknis produksi dan
operasional secara umum menurut persepsi
responden berada pada kategori cukup
baik, baik dan sangat baik. Indikator yang
paling tinggi nilainya berdasarkan nilai
rata-rata (mean) adalah ketersediaan bahan
baku dengan nilai sebesar 4,43. Sedangkan
indikator yang paling rendah nilainya
adalah penggunaan teknologi modern dan
pengendalian kualitas (3,15). Bahan baku
produksi selalu tersedia setiap saat, karena
menggunakan bahan baku lokal. Karena
penggunaan teknologi modern belum
sepenuhnya dilakukan, produk yang
dihasilkan masih dalam kapasitas terbatas,
dan
pengendalian
kualitas
belum
sepenuhnya dilakukan. Demikian juga
dengan program jaminan kualitas misalnya
SNI, ISO 9000, dan sertifikat kualitas
lainnya belum mewarnai produk-produk
usaha mikro dan kecil.
Aspek Pasar dan Pemasaran
V ariabel aspek pasar dan pemasaran secara
umum menurut persepsi responden berada
pada kategori cukup baik dan baik.
Indikator yang paling tinggi nilainya
berdasarkan rata-rata (mean) adalah
permintaan pasar atas produk dengan nilai
sebesar 4,17. Sedangkan indikator yang
paling rendah nilainya adalah kegiatan
promosi yang intensif (3,13). Permintaan
akan produk relatif baik di masyarakat,
279
JESP V ol.4, No. 2, 2012
dimana dengan kapasitas produksi yang
kecil
mengakibatkan
wilayah
pemasarannya juga masih sangat terbatas,
yakni dominan pada wilayah lokal saja.
Kegiatan promosi yang dilakukan oleh
pengusaha frekuensinya sangat jarang,
bahkan beberapa pengusaha tidak pernah
mempromosikan produknya di masyarakat.
Aspek Kebijakan Pemerintah
V ariabel aspek kebijakan pemerintah
secara umum menurut persepsi responden
berada pada kategori cukup baik dan baik.
Indikator yang paling tinggi nilainya
berdasarkan rata-rata (mean) adalah akses
permodalan dan pembiayaan dengan nilai
sebesar 4,05. Sedangkan indikator yang
paling rendah nilainya adalah penyiapan
lokasi usaha dan informasi pasar (2,83).
Berbagai
upaya
telah
dilakukan
olehpemerintah untuk menumbuhkan
usaha tersebut. Salah satunya adalah
bantuan akses permodalan pada lembaga
pembiayaan. Penyiapan lokasi usaha yang
terkosentrasi pada satu kawasan belum
dianggap
prioritas karena umumnya pengusaha
usaha mikro kecil tempatnya berpindahpindah.
Aspek Sosial budaya, dan ekonomi
V ariabel aspek kebijakan pemerintah
secara umum menurut persepsi responden
berada pada kategori cukup baik dan baik.
Indikator yang paling tinggi nilainya
berdasarkan rata-rata (mean) adalah
pertumbuhan ekonomi dengan nilai
sebesar 3,98. Sedangkan indikator yang
paling rendah nilainya adalah tingkat
pendapatan masyarakat (2,78). Hasil ini
mengindikasikan bahwa walaupun secara
umum pertumbuhan ekonomi wilayah
relatif
baik
dalam
menstimuli
pengembangan usaha mikro dan kecil,
280
akan tetapi keberadaan usaha tersebut tidak
secara langsung dan signifikan dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat
setempat.
Aspek Peranan Lembaga Terkait
V ariabel aspek peranan lembaga terkait
secara umum menurut persepsi responden
berada pada kategori cukup baik dan baik.
Indikator yang paling tinggi nilainya
berdasarkan
rata-rata
(mean)
adalahpendampingan dengan nilai sebesar
4,12. Sedangkan indikator yang paling
rendah
nilainya
adalah
bantuan
permodalan
(2,93).
Hasil
ini
menggambarkan
bahwa
kegiatan
pendampingan yang dilakukan oleh
lembaga terkait (PT, BUMN, dan lembaga
pembiayaan) sudah relatif baik. Rendahnya
bantuan permodalan yang diterima atau
diakses oleh pengusaha sebagai indikasi
bahwa prinsip kehati-hatian dalam
memberikan
bantuan
modal
juga
diterapkan pada bisnis ini.
Pengujian Hubungan Kausal Antara
Faktor- Faktor Eksternal, FaktorFaktor Internal, dengan
Kinerja Usaha Mikro dan Kecil
Untuk menguji hipotesis dan
menghasilkan suatu model yang baik (fit),
digunakan analisis Structural Equation
Modelling (SEM) yang pengoperasiannya
dibantu dengan program AMOS 4.01.
Dengan menggunakan bantuan perangkat
lunak Amos 4.01 diperoleh hasil
perhitungan goodness-of-fit indices(GFI)
atas model lengkap yang menggambarkan
jalinan sinergis antar masing-masing
variabel penelitian serta indikator yang
telah valid menjadi pengukurnya masingmasing. Secara lebih lengkapnya disajikan
pada Tabel 5.
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
T abel 5. Hasil Komputasi Kriteria Goodness-of- Fit Indices (GFI) Pengujian Hubungan
Kausal Faktor-Faktor Eksternal, Faktor-Faktor Internal, dengan Kinerja
Usaha Mikro dan Kecil Tahap Awal dan Akhir .
No
Kriteria
Nilai
Cut-off
≥ 0,05
≥ 0,90
0,060
≥ 0,94
≥ 0,95
Chi-square
GFI
RMSEA
TLI
CFI
Hasil
Komputas Model
Tahap
Tahap
awal
akhir
0,000
0,182
0,830
0,914
≤ 0,08
0,014
0,859
0,992
0,871
0,993
Keterangan
Model
Akhir
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Sumber: Data primer diolah
Hasil perbandingan antara hasil
perhitungan pada tahap awal dan tahap
akhir dengan menggunakan kriteria
goodness of fit suatu model sebagaimana
disajikan pada tabel di atas menunjukkan
kesesuaian. Setelah model di atas
dinyatakan valid atau diterima maka
analisis selanjutnya adalah dengan melihat
nilai loading factor serta probabilitas dari
masing-masing variabel yang digunakan
sebagaimana disajikan pada tabel berikut.
T abel 6. Loading Factor, Critical Ratio, dan Probabilita Hubungan Kuasal antara
Faktor-Faktor Eksternal, Faktor-Faktor Internal, dengan Kinerja Usaha
Mikro dan Kecil
No
Kriteria
Internal Fk Eksternal Fk Signifikan
Kinerja Internal Fk
Kinerja Eksternal Fk Signifikan
Loding
Factor
0,980
0,792
0,254
CR
5,951
3,660
2,675
P
0,000
0,000
0,045
Keterangan
Signifikan
Signifika
Signifika
Sumber: Data primer diolah
Pada tabel diatas nampak bahwa
dari berbagai hubungan kausal yang terjadi
antar variabel, tampaknya semua memiliki
hubungan kausal yang signifikan, karena
memiliki nilai P (probabilitas)≤ 0,05 dan
Critical Ratio (CR) ≥ 1,96. Beberapa
variabel yang memiliki pengaruh yang
signifikan dan positif (P ≤ 0,05), adalah :
(1) Faktor-faktor ekskternal terhadap
faktor-faktor
internal
(0,000);
(2)
Faktorfaktor eksternal terhadap kinerja
usaha (0,045); dan (3) Faktor-faktor
internal terhadap kinerja usaha (0,000).
281
JESP V ol.4, No. 2, 2012
Gambar 2. Hasil Pengujian Hubungan Kausal Faktor-Faktor Eksternal, Faktor-Faktor
Internal, dengan Kinerja Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dengan
menggunakan confirmatory factor analysis
Faktor-faktor
internal
0,530
Kinerja
usaha
0,86
Faktor-faktor
eksternal
Berdasarkan nilai critical ratio dan
probabilitas yang dihasilkan nampak
bahwa faktor-faktor eksternal yang terdiri
atas aspek kebijakan pemerintah, aspek
sosial budaya dan ekonomi, dan aspek
peranan lembaga terkait mempunyai
pengaruh yang positif dan signifikan
terhadap faktor-faktor internal usaha mikro
dan kecil. Hal ini dapat dilihat dari nilai
C.R. yang jauh lebih besar daripada C.R.
minimal yang disyaratkan sebesar 1,96
(5,951> 1,96) serta probablitas yang lebih
kecil daripada α =0,05 (0,000 < 0,05).
Nilai loading factor menunjukkan bahwa
faktor-faktor eksternal yang terdiri atas
aspek kebijakan pemerintah, aspek sosial
budaya dan ekonomi, dan aspek peranan
lembaga terkait mempunyai pengaruh yang
kuat terhadap faktorfaktor internal usaha
mikro dan kecil dengan kontribusi sebesar
0,980 atau 98%.
Kemudian faktor-faktor eksternal
yang terdiri atas aspek kebijakan
pemerintah, aspek sosial budaya dan
konomi, dan aspek peranan lembaga terkait
mempunyai pengaruh yang positif dan
signifikan terhadap kinerja usaha mikro
dan kecil. Hal ini dapat dilihat dari nilai
C.R. yang jauh lebih besar daripada C.R.
minimal yang disyaratkan sebesar 1,96
(2,675> 1,96) serta probablitas yang lebih
kecil daripada α =0,05 (0,045 < 0,05).
Nilai loading factor menunjukkan bahwa
faktor-faktor eksternal yang terdiri atas
aspek kebijakan pemerintah, aspek sosial
282
0,212
budaya dan ekonomi, dan aspek peranan
lembaga terkait mempunyai pengaruh
terhadap kinerja usaha mikro dan kecil
(UMK) dengan kontribusi sebesar 0,254
atau 25,4%. Faktor-faktor internal yang
terdiri atas aspek sumber daya manusia,
aspek
keuangan,
aspek
teknik
produksi/operasional, dan aspek pasar dan
pemasaran mempunyai pengaruh yang
positif dan signifikan terhadap kinerja
usaha mikro dan kecil. Hal ini dapat dilihat
dari nilai C.R. yang jauh lebih besar
daripada C.R. minimal yang disyaratkan
sebesar 1,96 (3,660> 1,96) serta
probablitas yang lebih kecil daripada α
=0,05 (0,000 < 0,05). Nilai loading factor
menunjukkan bahwa faktor-faktor internal
yang terdiri atas aspek sumber daya
manusia, aspek keuangan, aspek teknik
produksi/operasional, danaspek pasar dan
pemasaran mempunyai pengaruh yang kuat
terhadap kinerja usaha mikro dan kecil
engan kontribusi sebesar 0,792 atau
79,2%.
Hasil penelitian ini konsisten
dengan Mc Commick et.al (1997); Crijns
dan Ooghi (2000); Wisardja 2000) yang
menyatakan
bahwa
setiap
tahap
pertumbuhan perusahaan merupakan hasil
dari dua lingkungan dimana perusahaan
melakukan bisnisnya, yakni lingkungan
internal dan eksternal. Berkaitan dengan
aspek lingkungan, Wilkinson (2002) dan
Maupa (2004) menyatakan bahwa usaha
kecil dan mikro akan tumbuh bilamana
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
lingkungan aturan/kebijakan mendukung,
lingkungan makro ekonomi dikelola
dengan baik, stabil, dan dapat diprediksi;
informasi yang dapat dipercaya dan mudah
diakses, dan lingkungan sosial mendoron
mudah
diakses,
dan
menghargai
keberhasilan usaha tersebut.
keuangan,
aspek
teknik
oduksi/operasional, dan aspek pasar
dan pemasaran mempunyai pengaruh
yang signifikan dan positif terhadap
kinerja usaha mikro dan kecil dengan
kontribusi sebesar 0,792 atau 79,2%.
Saran
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang
telah diuraikan, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan yang sebagai berikut:
1) Berdasarkan nilai rata-rata (mean)
indikatorindikator yang memiliki nilai
tertinggi pada keseluruhan variabel
adalah sebagai berikut : pertumbuhan
penjualan (4,37); lama berusaha/
pengalaman usaha (4,46); penggunaan
modal sendiri (4,11); ketersediaan
bahan baku (4,43); permintaan pasar
(4,17); akses permodalan dan sumber
pembiayaan (4,05); pertumbuhan
ekonomi (3,98); dan pendampingan
(4,12). Kemudian indikator-indikator
variabel yang paling rendah nilainya
dipresepsikan adalah: pertumbuhan
keuntungan/laba
usaha
(2,98);
pendidikan formal (3,38); penggunaan
teknologi modern dan pengendalian
kualitas (3,15); kegiatan promosi yang
intensif (3,13); penyiapan lokasi usaha
dan informasi pasar (2,83); tingkat
pendapatan masyarakat (2,78); dan
bantuan permodalan (2,93).
2) Faktor-faktor eksternal yang erdiri
atas aspek kebijakan pemerintah,
aspek sosial budaya dan ekonomi, dan
aspek peranan lembaga terkait
mempunyai pengaruh yang signifikan
dan positif terhadap faktor-faktor
internal usaha mikro dan kecil dengan
kontribusi sebesar 0,980 atau 98%.
Faktor-faktor eksternal mempunyai
pengaruh yang signifikan dan positif
terhadap kinerja usaha mikro dan kecil
dengan kontribusi sebesar 0,254 atau
25,4%.
3) Faktor-faktor internal yang terdiri atas
aspek sumber daya manusia, aspek
Berdasarkan kajian sebelumnya,
yang telah disarikan pada bagian
kesimpulan, maka dapat dikemukakan
beberapa saran baik untuk kepentingan
praktis maupun untuk pengembangan
penelitian selanjutnya sebagai berikut:
1) Pengusaha usaha mikro dan kecil
(UMK) hendaknya tetap konsisten
dalam meningkatkan pertumbuhan
perusahaannya melalui peningkatan
jumlah asset usaha, modal, tenaga
kerja, laba/profit yang diperoleh
maupun dalam penjualan produknya.
2) Pengusaha usaha mikro dan kecil
(UMK) hendaknya memperhatikan
dukungan latar belakang pendidikan
formal,
tingkat
kesesuaian
kemampuan
pengetahuan
dan
keterampilan yang dimiliki untuk
diterapkan
pada
perusahaan,
pentingnya penerapan hasil pelatihan
manajerial/ kursus keterampilan yang
pernah diikuti, dan pengalaman
berusaha sebagai faktor-faktor yang
kritis dalam meningkatkan kinerja
usahanya.
3) Pertumbuhan perusahaan/usaha mikro
dan kecil (UMK) juga dapat
ditingkatkan melalui kemampuan
pengusaha dalam menterjemahkan
kebijakan
pemerintah
dalam
mendorong perkembangan usaha
kecil, dampak sosial budaya dan
ekonomi, serta pentingnya peranan
lembaga terkait dalam pengembangan
usahanya, serta kemampuannya dalam
menyesuaikan
diri
terhadap
perubahan-perubahan
kebijakan
pemerintah.
4) Peraturan-peraturan dan regulasi yang
dibuat oleh pemerintah hendaknya
diarahkan pada kebijakan yang pro
283
JESP V ol.4, No. 2, 2012
bisnis usaha mikro dan kecil
(UMK).Fasilitasi dan mediasi yang
dilakukan olehpemerintah dalam
memberikan berbagaikemudahan pada
pengusaha hendaknya lebihdifokuskan
pada kemudahan
akses sumber
pembiayaan/permodalan;
pelatihan
teknis dan manajerial, kemudahan
perizinan, ketersediaan sentra/lokasi
usaha, dan informasi pasar.
DAFTAR PUSTAKA
Acs, Z. and Audretsch, D., 1990, The
Economics
ofSmall
Firms:
A
European
Challenge,
KluwerAcademic Publishers, Norwall,
MA.
BPS Provinsi Maluku Utara, 2007/2008:
Terante Selatan Dalam Angka.
Brock, W . and Evans, D., 1986, The
Economics ofSmall Business: Their
Roles and Regulationsin US Economy,
Holmes & Meier Publishers,Teaneck,
NJ.
Crijns,H. And Ooghi, 2000, Growth Paths
of MediumSdized Entrepreneurial
Companies. De VlerickSchool V oor
Management, University ofGhent.
Demirbag, M., Tatoglu, E., Tekinkus, M.
and Zaim,S., 2006, “An analysis of the
relationshipbetween
TQM
implementation
and
organizationalperformance: evidence
from TurkishSMEs”, Journal of
Manufacturing
T echnologyManagement, V ol. 17 No.
6, pp. 829-47.
Hair Jr., Yoseph F., Rolph E. Anderson,
Ronald L.Papham, William Black,
1998, MultivariateData Analysis, 4st
edition,
Prentice-Hall,
Inc.,New
Jersey.
Laporan Penelitian Dinas Koperasi dan
UKMProvinsi Maluku Utara, 2008,
PenyusunanPola Pembinaan Usaha
Mikro (UM) Di Kota T ernate, Fak.
Ekonomi Unkhair.
284
Laporan Tahunan Dinas Koperasi dan
UKM Provinsi Maluku Utara, 2009
Lesceviva,
M.
2004.
Rural
Entrepreneurship
SuccessDeterminant. Papers. Faculty
of Economics,Latvian University of
Agriculture, Eksjo,Latvian.
Maupa, Haris. 2004. Faktor-Faktor yang
MenentukanPertumbuhan Usaha Kecil
di Maluku Utara. Skripsi Fak
Ekonomi
Unkhair.
Tidak
dipublikasikan.
McCormick, D., M.N. Kinyanjui and G.
Ongile.,1997, Growth and Barriers to
Growth AmongNairobi,s Small and
Medium Size GarmentProducers.
W orld Dev., V ol.25, No.7, pp.10951110.
Santoso, Singgih, 2002, SPSS Statistik
Multivariate,Elex Media Komputindo,
Jakarta.
Sugiyono. 2003. Statistik Untuk Penelitian.
CV .Alfabeta, Bandung.
Undang-Undang No. 20 tahun 2008
tentang UsahaMikro, Kecil, dan
Menengah, Jakarta.
Wilkinson, B., 2002, Small, Micro, and
MediumEnterprise
Development:
Expanding theOption for Debt and
Equity
Finance.
FinancialSector
Workshop,
National
Economic
Developmentand Labour Council
(NEDLAC),Johanesburg,
South
Africa, Iris, April 6.
Wisardja, I Wayan. 2000. Analisis
LingkunganIndustri Kerajinan Ukiran
Kayu di KabupatenGianyar Propinsi
Bali, Program PascasarjanaUniversitas
Brawijaya, Malang.
Zeithaml, V alery A., Leonard L. Berry, A.
Parasuraman,1996. The Behavioral
Consequences ofService Quality,
Journal of Marketing, V ol 60(April)
pp. 31-46
Zhang, Y . 2001. Learning Function and
SmallBusiness Growth, Management
AccountingJournal, MCB University
Press, V ol 15 No.26, pp. 228-23
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Telaah Kritis Pola Pembiayaan Agribisnis
Pada Kontak Usaha Tani
(Studi Pada Kontrak Usaha Tani Jagung)
Asfi Manzilati
Yenny Kornitasari
Abstract
The aim of this study was to determine the pattern of Agribusiness financing and the
role of the Bank in contract farming of corn. Using a qualitative method, the results of
this study is that the scheme of financing provided by the banking to farmers cause
asymmetric information. Financing provided by the bank (through company) known /
considered by farmers as loans from the company. The scheme of financing raised a
problem of inefficiencies and increased costs that will be incurred due to the long
intermediation. Thus, banks should provide financing directly (without the company)
with the appropriate schema, so that banking intermediation running. Companies in
this process should be a personal guarantee that the needs are met with bank
profitability remains insufficient prudential bank.
Keywords: financing, agribusiness, Contract Farming
LATAR BELAKANG
Palawija bagi Indonesia merupakan
komoditas strategis bagi pembangunan
bidang pertanian.Pengembangan agribisnis
palawija memiliki keterkaitan langsung
dengan upaya pemantapan ketahanan
pangan dan pengentasan kemiskinan.
Pengembangannya juga akan mendukung
program
diversifikasi
pangan
dan
pertanian.Mengikutsertakan
palawija
dalam pola pertanaman diyakini mampu
memantapkan tingkat, stabilisasi, dan
kontinuitas pendapatan rumah tangga
petani.Diversifikasi usaha tani dengan
komoditas palawija juga dipercaya mampu
menjamin keberlanjutan usaha tani padi di
lahan sawah. Pengembangan produk
palawija melalui skema agroindustri
memiliki keterkaitan ke belakang yang
relatif kuat, sehingga sangat strategis
diposisikan sebagai instrumen peningkatan
nilai tukar dan kesejahteraan petani
(Damardjati, 2006:62).
Terkait dengan pengembangan
palawija, Rusastra et. al. (2006:23)
menekankan perlunya mempertimbangkan
dua aspek, yaitu permasalahan yang
dihadapi petani dalam pengembangan
usaha tani dan agribisnis palawija, serta
upaya
mengatasinya
melalui
pengembangan
program
kemitraan
agroindustri berbasis palawija. Secara
spesifik permasalahan yang dihadapi
petani adalah: (a) ketergantungan petani
terhadap pasar input yang sangat tinggi,
dan tingkat harga ditentukan oleh produsen
input dengan struktur pasar yang bersifat
monopsonistik; (b) keterbatasan sumber
permodalan dan aksesibilitas petani yang
rendah karena terkendala tingkat suku
bunga, ketersediaan agunan, dan prosedur
administrasi yang berbelit; (c) dalam pasar
output petani bersifat penerima harga
dengan kecenderungan harga yang
fluktuatif, sehingga tidak kondusif dalam
mendorong peningkatan produksi dan
pendapatan petani; (d) keterbatasan
kemampuan sumber daya petani khususnya
terkait dengan penangan pascapanen,
pengolahan dan pamasaran hasil; (e)
__________________________________________
Alamat Korespondensi :
Asfi Manzilati, Yenny Kornitasari, Fakultas Ekonomi Unversitas Brawijaya Malang
Email : [email protected]
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
kondisi dan potensi sumber daya alam
yang semakin menurun sebagai akibat over
intensifikasi, sehingga dibutuhkan biaya
korbanan yang cukup tinggi dalam
peningkatan produksi; dan (f) penurunan
tingkat keunggulan komparatif dan
kompetitif, sehingga petani dihadapkan
kepada ancaman produk impor dengan
tingkat harga yang lebih murah. Secara
umum petani dihadapkan pada tekanan
alam, tekanan ekonomi domestik dan
global, tekanan kebijakan yang kurang
kondusif, serta kondisi infrastruktur (fisik
dan
kelembagaan)
yang
kurang
menggembirakan.
Tekanan
tersebut
menjadi semakin berat dalam kondisi
adanya tekanan sosial dalam bentuk citra
petani dan pertanian yang bersifat
konvensional, sehingga kurang diminati
oleh generasi muda dengan latar belakang
pendidikan yang lebih baik. Tanpa
perubahan pendekatan yang mendasar dan
komprehensif,
dikhawatirkan
akan
semakin memperburuk kinerja pertanian,
sehingga kian sulit untuk dibenahi
kembali.
Adapun beberapa permasalahan
yang dihadapi oleh para petani tersebut
diantaranya, Pertama, masalah pada
tingkat bank penyalur. Masalah yang
muncul pada tingkat ini adalah (i) adanya
persyaratan tabungan sebesar 8% yang
ditentukan bank pelaksana tertentu; (ii)
pencairan yang tidak tepat waktu; (iii)
penahanan kredit; (iv) intervensi TTA pada
penyediaan saprodi; dan (v) uang lelah
TTA dari kredit petani. Kedua, masalah
pada tingkat Koperasi. Masalah yang
muncul pada tingkat ini adalah: (1).
Pemotongan kredit, (2). Otoritas ketua
koperasi
yang
sangat
kuat,
(3).
Keterlambatan aparat dalam penyelesaian
KUT (Camat, KCD, Ketua dan PPL), (4).
Penarikan uang terima kasih pasca
pencairan. Ketiga, masalah pada tingkat
Kelompok Tani. Masalah yang muncul
pada tingkat ini adalah: (1). Petani belum
paham tentang kredit (2). Petani tidak tahu
akan haknya terhadap kredit, (3). Petani
tidak mampu menolak saprodi yang tidak
286
sesuai, (4). Petani tidak mampu menolak
pestisida, insektisida, dan zat pengatur
tumbuh yang sudah dipaket, dan beberapa
permasalahan laiinya. Terkait dengan
permasalahan pembiyaan yang diberikan
untuk para petani KUT seperti halnya
berbagai bentuk pembiayaan lain yang
dilakukan oleh bank pedesaan, cenderung
dilaksanakan dengan program dan
prosedur yang sama. Hasil penelitian Fruin
(dalam Robinson, 2004:113) barangkali
dapat dijadikan pelajaran. Ia menulis:
“Jika seseorang mempelajari bisnis
kredit dari bank kredit populer
manapun, ia akan terkejut melihat
banyaknya
kesamaan.
Hal
ini
disebabkan oleh begitu sedikitnya
pinjaman yang tersedia: tidak lebih dari
satu atau dua jenis”.
Menurut data BI, kredit ke sektor
pertanian hingga saat ini masih kecil, yakni
hanya 2-3% dari seluruh total kredit
perbankan nasional. Dari total kredit
perbankan Rp 1.756 triliun, dana yang
mengucur ke sektor pertanian per
Desember 2010 hanya Rp 91 triliun.
Padahal sebagian besar masyarakat
Indonesia sangat bergantung pada sektor
pertanian (Agroindonesia February 14th,
2011,diaksespada 23 Agustus 2011)
Seharusnya lembaga pembiayaan
harus menyelidiki, kabupaten demi
kabupaten untuk menemukan jenis
pertanian yang umum dilakukan di daerah
tersebut. Untuk mendapatkan data-data
bulanan mengenai penanaman dan panen
dari setiap jenis tanaman, jenis tanaman
perkebunan yang sedang dikembangkan,
perdagangan atau ketenagakerjaan; maka
seseorang harus memikirkan pertanian
sebagai sebuah kesatuan yang integral.
Lebih spesifik, seharusnya lembaga
pembiayaan juga perlu untuk mengetahui
bagaimana rotasi panen dilakukan di jenis
pertanian tertentu, sebesar apa pertanian
yang harus ada untuk mencukupi
kebutuhan petani dan keluarganya, hasil
panen jenis apa yang ditujukan untuk
dijual, mana yang untuk dimakan, dana
yang mana yang untuk keduanya, dan jika
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
untuk keduanya bagaimana pembagiannya,
dan untuk mengetahui apakah dan sejauh
mana usaha seperti itu memperoleh uang
dari hasil hortikultura dan perkebunan, dan
apakah industri rumah tangga atau
pekerjaan berketrampilan rendah biasanya
memberikan pendapatan tambahan, dan
seterusnya.
Namun, sekali lagi ada kecenderungan
lembaga-lembaga
pembiayaan
itu
memberikan pembiayaan dengan cara dan
skim yang serupa tanpa melihat lebih
cermat bagaimana sebenarnya yang
dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan
begitu, dalam realitasnya petani masih
menghadapi masalah, yaitu kesulitan akan
akses terhadap informasi pasar yang akurat
di samping rendahnya harga produk
pertanian. Usaha untuk menerobos
kendala-kendala
dan
menghilangkan
hambatan
yang
disebabkan
oleh
ketidaksempurnaan pasar serta mengurangi
tingkat inefisensi tersebut tampaknya
membutuhkan sistem kontrak usahatani
yang dapat menjadi alternatif.
KAJIAN TEORITIS
Konsep dan Pola Pembiayaan di Bidang
Pertanian
Sebagai negara agraris, keberadaan
sektor pertanian dan terutama pelakunya
yaitu petani tidak dapat disangkal lagi
menjadi agen ekonomi yang sangat
penting. Sifat masyarakat pedesaan yang
cenderung informal (terlebih lagi di masa
lalu) mendorong tumbuhnya model
pembiayaan perorangan yang juga bersifat
informal. Kredit perorangan ada dua jenis
yaitu
yang
memberikan
pinjaman
berwujud barang yang disebut sebagai
mindring dan yang memberikan kredit
berwujud uang yang disebut pelepas uang
(rentenir, pen) (Wijaya, 1991; 204).
Sementara itu, lembaga kredit
pedesaan formal utama dan disponsori
pemerintah adalah BRI yang mempunyai
jaringan cukup luas. Namun demikian,
keberadaan BRI ini kurang bisa memenuhi
kebutuhan masyarakat pedesaan. Beberapa
persyaratan atau spesifikasi pemberian
kreditnya hanya meliputi pinjaman untuk
kebutuhan penanaman beberapa tanaman
tertentu saja terutama padi, dan hanya
diberikan kepada pemilik tanah atau
mereka yang memiliki barang jaminan
berupa barang bergerak dan barang tidak
bergerak. Jangka waktunya pun tidak
fleksibel dan sering kali tidak sesuai
dengan siklus tanaman yang dibiayai
pemasarannya. Jaraknya pun seringkali
cukup jauh dengan kantor bank. Selain itu
ada jarak psikologis antara masyarakat
pedesaaan peminjam pada umumnya
dengan para birokrat petugas bank yang
bersikap cukup formal. Tambahan pula
penilaian permohonan kredit didasarkan
pada kriteria standar, yaitu modal, jaminan,
karakter, serta kemampuan membayar atau
mengembalikan pinjaman (Wijaya, 1991;
205).
Anatomi Kontrak Usaha Tani dan
Kegiatan Agribisnis
Pada dasarnya hukum sebuah
kontrak adalah pelaksanaan atas suatu janji
atau seperangkat janji. Dengan kata lain,
ketika seperangkat janji telah berada dalam
status kontrak, seseorang yang dirugikan
oleh pelanggaran kontrak dapat meminta
pemerintah (pengadilan) untuk memaksa
pihak
yang
melanggar
untuk
menetapi/mematuhi kontrak (Mallor at all,
2004:174). Sementara definisi kontrak
usaha tani (contract farming) adalah
beberapa bentuk contractual arrangement
antara sekelompok petani skala kecil dan
sebuah mitra agribisnis (perusahaan)
(www.aec.msu.edu/com, 2008). Definisi
yang lebih rinci diberikan olehGoel
(2003:1), bahwa kontrak usaha tani adalah
sebuah sistem produksi dan penyediaan
produk pertanian/holtikultura dibawah
kontrak berjangka antara produser/penjual
dan pembeli.
Esensi dari beberapa perjanjian
adalah komitmen pihak produser/penjual
untuk menyediakan barang pertanian
dengan kualifikasi tertentu, pada waktu
dan harga tertentu, dan jumlah yang
persyaratkan
yang
diketahui
dan
287
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
dikehendaki oleh pembeli. Kontrak usaha
tani biasanya diikuti oleh beberapa elemen
dasar seperti misalnya harga, kualitas dan
kuantitas
atau
ukuran
(minimum/maksimum) dan waktu yang
telah disepakati sebelumnya.
Terkait dengan kontrak tersebut,
petani diharuskan untuk menanam tanaman
pihak kontraktor di lahan mereka, dan
kemudian memanen dan mengirimkan
kepada pihak kontraktor sejumlah produksi
yang didasarkan kepada hasil yang telah
diperhitungkan
dan
ukuran
yang
ditetapkan. Penyerahan ini dilakukan
(biasanya) pada harga yang telah
ditentukan sebelumnya. Pihak kontraktor
menyediakan bibit dan sarana produksi
yang terpilih, termasuk saran akan caracara/teknik penanaman yang harus
dilakukan. Dengan kata lain, pihak
kontraktor menyediakan seluruh input
untuk penanaman sementara petani
menyediakan lahan dan tenaga kerja.
Glover
and
Ghee
(1992:3)
menambahkan bahwa kontrak biasanya
juga menyediakan beberapa keuntungan
bagi petani antara lain terjaminnya pasar,
akses terhadap layanan perusahaan dan
kemudahan akses terhadap kredit. Bahkan
dalam kasus di mana perusahaan tidak
menyediakan sendiri pinjaman kepada
petani, bank-bank biasanya menerima
kontrak sebagai jaminan (collateral).
Tentu saja pola dan alamiah sebuah
kontrak tentu berbeda-beda terkait dengan
beragamnya sifat alami dari komoditi yang
ditanam, hubungan keagenan, petani, dan
teknologi dan juga terkait dengan konteks
kontrak itu dilakukan.
Namun pada dasarnya, setiap
hubungan transaksi mengandung tiga
komponen ekonomi mendasar yaitu alokasi
nilai (the allocation of value) atau
distribusi keuntungan dari pertukaran,
alokasi ketidakpastian (the allocation of
uncertainty) dan risiko-risiko keuangan
yang terkait, dan the allocatioan of
property
rights
akan
membatasi
pengambilan keputusan dalam suatu
hubungan (Sykuta dan Cook, 2001:2).
288
Permasalahan penting kemudian
muncul yaitu bahwa tidak selalu sebuah
kontrak tercipta dengan persyaratan yang
lengkap ditambah lagi dengan kehadiran
oportunisme, sehingga biaya transaksi
selalu muncul (Williamson, 1998:31).
Boemer dan Macher (2002:3) melihat
setidaknya ada tiga hal pokok yang
mendasari positifnya biaya transaksi.
Pertama,
keterbatasan
kemampuan
individu untuk membuat perencanaan ke
depan dan meskipun mereka telah
berusaha keras untuk menghadapi dunia
disekitarnya yang kompleks dan tidak
dapat diprediksi, mereka tidak cukup
memiliki pengetahuan.
Kedua,
meskipun
mungkin
perencanaan yang sempurna dapat
dilakukan, berat bagi pihak yang
melakukan kontrak (parties) untuk
menegosiasikan rencananya dengan bahasa
yang dapat menjelaskan aksi dan keadaan
dunia di mana parties hanya memiliki
sedikit pengalaman. Ketiga, anggap saja
parties tersebut dapat merencanakan dan
menegosiasikan sebuah kontrak lengkap
(fully contingent contract), tetap saja
sering terjadi kesulitan bagi mereka untuk
mengkomunikasikan rencananya kepada
pihak ketiga (misalnya pengadilan) yang
mungkin terkait dengan kontrak ini.
Sementara
Klein
(1980:356)
melihat mengapa sebuah kontrak menjadi
tidak lengkap karena dua alasan yaitu:
pertama, ketidakpastian yang berimplikasi
kepada berbagai ketidakpastian dan itu
bisa jadi membutuhkan biaya yang sangat
mahal untuk mengetahui dan memilah
dalam rangka menghadapi berbagai
kemungkinan itu. Kedua, kinerja kontrak
tertentu, katakanlah besarnya usaha yang
dikerahkan oleh pekerja terhadap berbagai
tugas, akan sulit untuk diukur. Jadi dua
masalah
yang
muncul
adalah
ketidakpastian dan sulitnya pengukuran
yang menimbulkan seberapa besar biaya
transaksi muncul.
Terkait dengan kontrak yang terjadi
antara perusahaan agribisnis besar dengan
petani tentu tidak
mudah untuk
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
menciptakan kontrak yang lengkap karena
adanya ketidak pastian dan perbedaan
penguasaan atas informasi (karena adanya
rasionalitas yang mengikat). Bounded
rationality (rasionalitas yang mengikat)
mungkin juga bertentangan dengan
efisiensi operasi sebuah transaksi. Karena
keterbatasan waktu dan jangkauan
manajamen
pengawasan,
organisasi
mungkin tidak dapat secara internal
mengatur dengan efektif jumlah transaksi
yang tidak terbatas. Di tambah lagi,
bounded rationality membatasi kapasitas
pasar dan kontrak yang sederhana untuk
aset yang khusus, karena pihak-pihak yang
terlibat tidak dapat meramalkan dan
mengatur seluruh peristiwa/kejadian yang
mungkin.
Andri (2006:3) menjelaskan bahwa
pada dasarnya bounded rationality
menjelaskan perbedaan dalam halinformasi
antara calon pembeli dan calon
penjual.Misalnya, perusahaan agribisnis
memilikiinformasi yang baik tentang pasar
yang tidakdimiliki oleh petani kecil, dan
petani kecil akanmendapatkan informasi
yang merupakanpeluang yang dihasilkan
dari
kontrak
yangmereka
buat.
Oportunisme akan terjadi ketikaada
peluang-peluang
untuk
memperolehkeuntungan dari situasi yang
mungkin
merugikanpihak
lainnya.
Misalnya, petani kecil akanberpikiran
bahwa
perusahaan
mitranya
akanmenawarkan harga yang sangat
rendah di pasar,atau perusahaan khawatir
bahwa penjual (petanikecil) akan berkolusi
yang bisa mengakibatkannaiknya harga.
Kontrak secara tertulis yangmenyebutkan
kewajiban masing-masing pihakdiharapkan
bisa mengatasi permasalahantersebut.
Kekhususan aset mencerminkan risiko
yang
berkaitan
dengan
proteksi
‘biayaterluang’
pada
pabrik-pabrik
pengolahan,sistem-sistem logistik atau
pengembangan pasar,atau untuk petanipetani kecil merupakan biayaproteksi
investasi pada permesinan danteknologi
tertentu. Dengan demikian, keduabelah
pihak
akan
berusaha
untuk
memproteksiinvestasi mereka melalui
kontrak.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
yang
digunakan
adalah
kualitatif.
Penelitian kualitatif dipilih karena meneliti
fenomena sesuatu lebih mendalam, dan
lebih dapat memahami fenomena tersebut
yang sampai sekarang belum banyak
diketahui. Menurut Moleong (2006:6)
Penelitian kualitatif itu sendiri bermaksud
memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subjek penelitian, misalnya:
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan
lain-lain secara holistik, dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa, pada suatu konteks khusus yang
alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode alamiah.
Pendekatan Penelitian
Berdasarkan pada tujuan penelitian
untuk mengetahui pola pembiayaan
Agribisnis dan peran Bank pada kontrak
usaha tani Jagung, penelitian ini
menggunakan
pendekatan
kualitatif
dengan pandangan fenomenologis. Dalam
pandangan
fenomenologis,
peneliti
berusaha memahami arti peristiwa dan
kaitan-kaitannya terhadap orang-orang
yang berada dalam situasisituasi tertentu.
Dengan pendekatan ini diharapkan
diperoleh gambaran apa adanya namun
tetap dalam kerangka yang ada, dan yang
sebenarnya
mengenai
kondisi
dan
fenomena pola pembiayaan pada kontrak
usaha tani baik yang formal (terlihat)
ataupun fenomena dibalik yang kasat mata
tersebut. Selain itu, dengan pendekatan ini
lebih mudah apabila berhadapan dengan
kenyataan ganda, penyajikan secara
langsung hakikat hubungan antara peneliti
dan informan, lebih peka dan lebih dapat
menyesuaikan diri
dengan
banyak
penajaman pengaruh bersama terhadap
pola-pola nilai yang dihadapi.
Situs Penelitian
Wilayah yang menjadi area kerja
sama PT. Pioneer di Jawa Timur tersebar
289
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
mulai dari wilayah Banyuwangi, Malang
sampai Tuban. Sementara itu, lokasi yang
dipilih untuk menjawab pertanyaan
penelitian ini adalah Desa Papungan,
Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar.
Berdasar
penelitian
pendahuluan,
informasi dari perusahaan (PT) dan temuan
empiris dari peneliti lain, wilayah ini
memang merupakan wilayah yang lahan
pertaniannya menjadi lokasi yang telah
berulang-ulang dipilih oleh perusahaan
untuk bekerja sama dengan petani dalam
rangka penanaman jagung benih yang
diproduksinya.
Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan
adalah data primer atau data yang langsung
didapatkan dari sumber informasi tersebut,
yang didapat dari wawancara dan
dokumentasi yang dilakukan sendiri oleh
peneliti
dari
sumber
ataupun
informan.Data-data
mengenai
pola
pembiayaan (barang/uang) tersebut berupa
data naratif, deskriptif, dalam kata-kata
mereka yang diteliti, dokumen pribadi, dan
catatan lapangan. Dengan ini diharapkan
dapat ditemukan gambaran apa adanya
secara holistik.
Unit Analisis dan Penentuan informan
Mendasarkan kepada argumentasi
pada
bab
sebelumnya
sekaligus
memperhatikan penelitian pendahuluan
yang telah dilakukan (kondisi riil di
lapang), maka unit analisis pada penelitian
ini adalah pola pembiayaan pada kontrak
usaha tani. Pola pembiayaan tersebut dapat
berupa kontrak secara formal ataupun
implisit dengan kontrak formal yang
disepakati. Untuk itu informan kunci pada
penelitian ini adalah para pihak yang
terlibat dalam kontrak, yaitu petani dan
wakil perusahaan. Juga akan didukung
oleh informan lain yang terkait misalnya
aparat desa.
T eknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini terutama
290
adalah
wawancara
dan
observasi.
Wawancara adalah bentuk komunikasi
antara dua orang, melibatkan seseorang
yang ingin memperoleh informasi dari
seseorang lainnya dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan
tertentu Mulyana, 2002; 180). W awancara
ini sangat penting untuk mengungkap
realitas dari dua pihak yang melakukan
kontrak yaitu petani dan pihak perusahaan.
Oleh karena itu, wawancara yang
dilakukan adalah wawancara tidak
terstruktur agar bentuk pengetahuan yang
diperoleh dan validitas analisisnya
didasarkan pada pemahaman yang
mendalam.
Sementara
itu,
observasi
merupakan suatu metode pengumpulan
data dan informasi dengan jalan
mengadakan pengamatan atas peristiwa
dan gejala sosial dengan inderanya.
Observasi ini sekaligus berfungsi untuk
memastikan informasi yang diperoleh
(triangulasi atas wawancara dan informasi
lainnya).
Teknik Analis Data
Data yang berhasil dikumpulkan
melalui
survei,
untuk
selanjutnya
ditentukan analisisnya. Proses analisis data
dimulai dengan menelaah seluruh data
yang tersedia dari berbagai sumber yang
masih berhubungan dengan subjek
penelitian, yaitu baik itu dari hasil
wawancara, pengamatan yang sudah
dituliskan dalam catatan lapangan,
dokumentasi, dan lain-lain. Lalu diadakan
reduksi data dengan jalan melakukan
abstraksi. Langkah selanjutnya adalah
menyusunnya
dalam
satuan-satuan.
Kemudian
satuan-satuan
itu
dikategorisasikan
pada
langkah
selanjutnya. Tahap akhir dari analisis data
ini adalah mengadakan pemeriksaan
keabsahan data. Dan pada prinsipnya
proses analisis data dalam penelitian ini
dilakukan secara induksi yaitu lebih
mengutamakan dan mementingkan proses
daripada hasil.
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Pengecekan Keabsahan Data
Untuk memastikan data yang
diperoleh adalah valid artinya data yang
kumpulkan
memberikan
informasi
mengenai situasi yang sebenarnya dan
memang relevan dan mengandung
informasi
penting,
maka
peneliti
menggunakan triangulasi (menggunakan
beberapa
sumber
informasi
guna
memverifikasi dan memperkuat data) baik
dalam metode pengumpulan data yang
berbeda (wawancara dan observasi)
maupun
menggunakan
informan
pendukung.
PEMBAHASAN
Proses T erbentuknya Kontrak antara
Petani Jagung dengan PT. Pioner
Terkait dengan kontrak kerja sama
dengan petani, pada dasarnya pihak
Pioneer melakukan perjanjian mulai dari
penyediaan bibit, pengolahan, pemenuhan
sumber dana dan pembelian atas hasil
panen tanpa ada intervensi dari pihak
manapun (pemerintah desa ataupun
lembaga lainnya). Dalam kontrak usaha
tani ini, perusahaan melakukan kerja sama
secara langsung dengan petani (masingmasing). Berdasarkan uraian dari Mallor et
all (2004:175), bahwa sebuah kontrak akan
tercipta jika terpenuhinya persyaratan:
negotiation,
agreement
(offer
and
acceptance), voluntary, consideration,
capacity, dan legality. Jika terpenuhi
seluruh persyaratan tersebut, maka
terciptalah kontrak, yang kemudian diikuti
dengan pernyataan tertulis dari pihak-pihak
yang terlibat kontrak. Jika salah satu
persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka
kontrak tidak terjadi. Secara teoritis apa
yang diuraikan Mallor tersebut secara
implisit menunjukkan adanya “kesetaraan”
dari pihak-pihak yang terlibat dalam
kontrak.
Kerjasama
dimulai
dengan
penyediaan bibit (gratis) oleh Pioneer
kepada
petani.
Pengolahan
tanah,
penanaman, pemeliharaan dan semua
proses teknis diawasi secara terus-menerus
oleh
pihak
Pioneer.
Kebutuhan
pembiayaan pada proses itu (pemupukan,
pemeliharaan, obat-obatan, tenaga kerja
dan lainnya) disediakan oleh Pioneer,
dalam arti Pioneer menyediakan kredit
untuk tujuan itu dengan bunga tertentu.
Pengembalian pokok dan bunga akan
dikurangkan (diperhitungkan) dengan nilai
panen (yang memang seluruhnya dibeli
oleh Pioneer).
Seperti telah diuraikan sebelumnya
bahwa kontrak diawali dengan datangnya
petugas perusahaan ke desa-desa (di
wilayah yang dimaksud termasuk di
Kabupaten Blitar) untuk mendapatkan
lahan yang akan digunakan untuk
penanaman jagung Pioneer. Ketika
kelompok tani (baca : ketua) sudah
mendapatkan kesepakatan dengan petani
akan kepastian tersedianya lahan yang
berkisar antara 20 sampai 50 ha, maka
pihak perusahaan akan menyampaikan
harga yang ditawarkan untuk kemudian
pembicaraan
dilanjutkan
secara
menyeluruh. Artinya, untuk melakukan
proses negosiasi dengan seluruh anggota
kelompok tani, harga harus ditentukan
terlebih dulu (lihat Kontrak Tertulis Pasal
9 pada Lampiran). Kata negosiasi yang
dimaksud tidak dapat sebenar-benarnya
disebut proses negosiasi.
Hal ini karena tawaran harga
disampaikan terlebih dahulu kepada para
petani, dan harga ini menjadi patokan
apakah pembicaraan mengenai kerja sama
dapat dilakukan atau tidak. Dalam hal ini
harga bukan menjadi sesuatu yang
dibicarakan pada saat negosiasi antara
perusahaan dengan petani. Menurut Pak
Mario, salah satu manajer perusahaan
lulusan Fakultas Ekonomi di salah satu
universitas negeri di Jawa Timur, harga
adalah prasyarat atas kemungkinan
pembicaraan tentang kerja sama.
Langkah
yang
ditempuh
perusahaan
selanjutnya
adalah
mengundang seluruh petani pada suatu
acara yang disebut dengan grower meeting.
Pada pertemuan itu, lawyer (dari
291
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
perusahaan) membagikan draft kontrak
tertulis yang berisi seluruh hak dan
kewajiban masing-masing antara petani
dengan perusahaan.
Dalam kontrak tersebut petani
sebagai agen dari perusahaan memiliki hak
dan kewajiban. Di antara kewajiban petani
menurut ketentuan perusahaan adalah :
pertama, kewajiban teknis terkait dengan
persiapan lahan, penanaman, pengairan,
pemeliharaan tanaman, dan pemanenan.
Kewajiban kedua adalah keharusan
menyerahkan seluruh hasil produksi
kepada perusahaan. Dan kewajiban yang
ketiga, dan ini sangat ketat, adalah
mematuhi seluruh ketentuan yang tertuang
(baca: tertulis) dalam kontrak.
Sementara hak yang “diberikan”
kepada petani adalah pemberian benih
secara gratis, pinjaman uang garapan
(opsional), uang ganti karena jagung jantan
(karena harus dibongkar) sebesar Rp.
400.000 per ha, jaminan pendapatan
minimal, kepastian harga beli hasil
produksi (ditentukan di awal) dan insentif
untuk kelompok tani sebesar Rp. 400.000
per ha.
Secara ringkas dapat dikatakan
bahwa proses negotiation, agreement
(offer and acceptance), voluntary,
consideration, capacity, dan legality
hampir tidak terpenuhi pada kontrak usaha
tani terjadi. Negosiasi yang terjadi
cenderung berupa sosialisasi (petani
menyebutnya sebagai penyuluhan) dan
agreement,
voluntary,
consideration
dianggap telah “cukup” dengan hadirnya
petani pada pertemuan tersebut. Hal ini
dikarenakan petani yang tidak sepakat
dengan harga yang ditentukan tidak perlu
hadir dalam pertemuan tersebut. Sementara
persyaratan
capacity,
petani
tentu
menganggap perusahaan memilki kapasitas
cukup (bahkan lebih) untuk menyepakati
dan menjalankan kontrak ini. Sementara
dari pihak petani, perusahaan merasa
cukup dengan tersedianya lahan petani
untuk penanaman jagung ini. Bagian akhir
dari proses ini, yaitu legality dilalui dengan
kontrak tertulis yang telah disiapkan oleh
292
lawyer perusahaan untuk ditandatangani
oleh masing-masing petani dengan kordes
sebagai wakil dari perusahaan.
Sebuah kontrak yang tidak lengkap
masih memungkinkan sebuah kerja sama
(kontrak) tetap berlangsung. Menurut
Gachter dan Falk (2000:18), terdapat
empat cara untuk mengatasi inefisiensi
yang timbul dari ketidaklengkapan
kontrak, yaitu hubungan timbal-balik
berdasarkan kerjasama sukarela, kontrak
jangka panjang (interaksi yang diulang),
kecenderungan bergabung dengan yang
lain (social embeddedness), dan kontrak
insentif. Temuan di lapangan menunjukkan
dua hal yang memungkinkan kontrak
usaha tani dengan perusahaan tetap
berlangsung
walaupun
kelengkapan
kontrak tidak terpenuhi. Dua hal tersebut
adalah interaksi yang berulang dan
kecenderungan bergabung dengan yang
lain (social embeddedness).
Interaksi yang berulang menggiring
petani pada pemahaman bahwa proses
kontrak yang ditawarkan perusahaan
sebagai sesuatu yang memang semestinya
terjadi. Dengan adanya pengalaman hasil
panen yang lebih besar dibanding dengan
menanam jagung lokal dan ditambah
dengan terbatasnya pengetahuan mengenai
bagaimana seharusnya sebuah kontrak
tercipta, mendorong petani menerima
tawaran kontrak begitu saja.
Di samping itu, kecenderungan
bergabung dengan yang lain (social
embeddedness) juga terlihat pada proses
terbentuknya kontrak usaha tani dengan
perusahaan. Sebagai contoh pada saat
perusahaan mendatangi beberapa petani
untuk diajak bergabung dalam kontrak,
petani yang sawahnya berada di sekitar
area yang akan ditanami jagung hibrida
(pembenihan), akan memikirkan alternatif
untuk bergabung dengan petani lain yang
terlibat kontrak. Paling tidak, hubungan
sosial (baca: rasa tidak nyaman) akan
membawa mereka pada keputusan untuk
bergabung dengan yang lain dalam
kontrak, di samping kadang-kadang
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
mereka bergabung karena keterpaksaan
modal atau menghindar dari aturan isolasi.
Pola Pembiayaan dan Peran Bank pada
Kontrak Usaha T ani
Keterlibatan
petani
terhadap
kontrak yang sudah disepakati tidak hanya
terkait dengan penanaman, pengaturan
lahan, penyediaan bibit dan penjualan hasil
panen yang telah disepakati dalam suatu
kontrak antara petani dengan perusahaan,
kontrak ini juga terkait dengan pembiyaan
yang dilakukan oleh perusahan selama ini
kepada petani.
a. Pola Pembiayaan Agribisnis pada
Kontrak Usaha T ani; Pembiayaan
Sejak Awal oleh Perusahaan
Pada saat awal, Pioner memberikan
bibit gratis sesuai luas lahan yang
disediakan oleh petani. Pada proses
pemeliharaan, pemupukan, dan pemanenan
seluruh tanggung jawab pekerjaan maupun
pembiayaan menjadi tanggung jawab
petani dengan pengawasan secara terusmenerus oleh pihak Pioner (yang diwakili
korwil dan kordes). Pada proses ini,
menurut informan Bapak Mario, pihak
Pioneer menyediakan kredit (standby loan)
yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan
oleh petani, berapapun yang dibutuhkan
dengan
membayar
bunga
tertentu.
Sementara total pinjaman maksimal yang
tertulis dalam kontrak sebesar Rp.
3.500.000,-(lihat Pasal 6 Perjanjian
Kerjasama Penanaman Jagung Pioneer
Hibrida pada Lampiran). Oleh karena pada
dasarnya kontrak usaha tani ini terjadi
antara perusahaan dengan masing masing
petani,
maka
seharusnya
rekening
(pinjaman tersebut) atas nama petani
sendiri, namun di lapangan dengan
mempertimbangkan
kemudahan
dan
efisiensi waktu maka satu kelompok tani
menggunakan rekening kordes atau ketua
kelompok tani.
Pada saat panen, seluruh hasil produksi
langsung dibeli (diambil langsung) oleh
Pioneer dalam kondisi basah dan tanpa
dipipil (sekaligus janggelnya). Hasil yang
diperoleh petani sekitar 15 juta untuk satu
ha. Jika dibandingkan dengan jagung lokal,
di mana petani memperoleh hasil sekitar
10 juta untuk setiap untuk jagung kering
dan kondisi sudah dipipil, maka (menurut
pihak perusahaan) kontrak ini sangat
menguntungkan.
Hal ini berbeda dengan usaha tani
tradisional (tanpa kontrak), di mana biaya
proses produksi biasanya mereka dapatkan
dari penjualan hasil panen sebelumnya.
Jika petani mengikuti kontrak, petani akan
mendapatkan pinjaman dana yang biasa
disebut sebagai uang garapan. Dengan
adanya uang garapan ini, petani tidak perlu
terburu-buru untuk menjual hasil panen
mereka agar segera mendapat uang untuk
biaya tanam selanjutnya. Petani menunggu
waktu yang tepat sampai harga jual
panennya bisa lebih baik. Karena pada saat
panen, kecenderungannya harga lebih
rendah.
Kemudahan lain yang dirasakan petani
selain pinjaman uang garapan adalah benih
gratis. Benih gratis ini dibagi kepada petani
sesuai dengan luas tanah yang petani
miliki. Satu hal yang juga menjadi
pertimbangan petani ikut dalam kontrak
dengan
perusahaan
adalah
adanya
kepastian harga jual hasil produksi. Harga
jual ini ditentukan pada awal perjanjian
sebelum proses tanam dimulai. Adanya
kebijakan ini menjadi hal menarik bagi
petani. Petani tidak akan mengalami efek
buruk fluktuasi harga akibat permainan
tengkulak. Petani sudah punya kepastian
berapa hasil dari kerja mereka selama
hampir empat bulan. Secara ringkas,
manfaat (dan kendala) yang dihadapi petani
pada saat terlibat kontrak usaha tani dengan
perusahaan, dapat ditunjukkan pada tabel
4.2
sebagai
berikut.
293
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Tabel 4.1
Manfaat dan Kendala yang Dihadapi Petani pada saat Terlibat Kontrak dengan Perusahaan
Manfaat
Benih gratis
Pinjaman modal selama proses
tanam)
• Informasi keberadaan pupuk
• Pengetahuan pertanian baru
Sumber: data lapang, diolah
•
•
Akan tetapi, disisi lain bagi petani yang
bergabung dalam pola pembiayaan
pinjaman yang diberikan oleh perusahan
kepada petani menyebabkan harga hasil
dari panen yang ditentukan terlebih dahulu
sebelum
pembicaraan
menyeluruh
dilakukan adalah sesuatu yang di luar
jangkauan mereka.
Ketika harga
disampaikan oleh petugas perusahaan,
mereka hanya punya pilihan ikut atau tidak
program kerja sama ini (take it or leave it).
Sementara itu, dalam kontrak yang tertulis
Pasal 9 Perjanjian Kerjasama Penanaman
Jagung Pioneer Hibrida, istilah harga tidak
dikenal. Hak petani karena menanam
jagung benih Pioneer disebut sebagai
Kompensasi.
Pada saat panen, seluruh hasil produksi
langsung dibeli (diambil langsung) oleh
Pioneer dalam kondisi basah dan tanpa
dipipil (sekaligus janggelnya). Hasil yang
diperoleh petani sekitar 15 juta untuk satu
ha. Jika dibandingkan dengan jagung lokal,
di mana petani memperoleh hasil sekitar
10 juta untuk setiap untuk jagung kering
dan kondisi sudah dipipil, maka (menurut
pihak perusahaan) kontrak ini sangat
menguntungkan.
Satu hal lagi yang menjadi
kelemahan petani pada proses kontrak ini
adalah penimbangan hasil panen. Pada
awalnya penimbangan dilakukan di sawah
sesaat sebelum jagung dibawa truk
pengangkut. Artinya, penimbangan ini
dilakukan dihadapan kedua pihak yaitu
petani dan wakil perusahaan (korwil atau
kordes).
Pada
perjalanan
waktu,
penimbangan ini dianggap oleh perusahaan
membawa risiko. Risiko tersebut adalah
adanya perbedaan timbangan dari petani
294
•
•
•
Kendala/Kelemahan
Proses penanaman baru
Pemeliharaan tanaman yang ketat
Sulitnya penanganan tanaman
pengganggu
(yang menggunakan timbangan manual)
dengan penimbangan yang dilakukan
perusahaan (menggunakan timbangan
digital). Ada kecenderungan penimbangan
yang dilakukan petani menghasilkan
timbangan yang lebih “berat”. Hal ini
karena dianggap keakuratan timbangan
konvensional/manual yang kurang “teliti”.
Sementara
menurut
petani,
penimbangan di sawah yang lebih berat
dibanding dengan penimbangan yang
dilakukan di perusahaan bukan disebabkan
oleh keakuratan timbangan tetapi karena
kecurangan oleh pegawai/ petugas
perusahaan
yang
membuat
catatan/administrasi
berbeda
dengan
timbangan yang sebenarnya. Artinya,
kadang-kadang pihak wakil perusahaan
sendiri yang menyelundupkan jagung pada
saat
jagung
berada
pada proses
pengangkutan. Keterbatasan penguasaan
informasi yang dimiliki membuat petani
menerima apapun hasil timbangan.
Pencurian timbangan ini dapat berjalan
karena jagung yang diselundupkan
langsung diterima oleh penadah. Petani
sendiri menanggung kerugian karena
jagung yang dibayar adalah jagung yang
sampai di pabrik/perusahaan (di mana
penimbangan dilakukan di pabrik).
Di samping penimbangan yang
dilakukan di perusahaan dan tanpa
sepengetahuan petani, satu pelanggaran
yang
dikeluhkan
petani
adalah
keterlambatan pembayaran atas hasil panen
yang diserahkan petani kepada perusahaan.
Jika terjadi ketidaksesuaian/pelanggaran
kontrak seperti ini, petani umumnya
bersikap menunggu atau paling berani
adalah melakukan tindakan “bertanya”
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
kepada
kordes/petugas
perusahaan.
Menurut
Pak
Mario,
sebenarnya
perusahaan memberi kesempatan kepada
petani untuk melakukan tindakan seperti
protes dan tidak sekadar bertanya seperti
ke perusahaan. Dalam hal ini perusahaan
menyediakan tempat pengaduan yang
dapat diakses oleh pihak-pihak yang
terlibat kontrak tersebut ke kantor PT.
Pioneer
yang
membawa
wilayah
penanaman di Jawa Timur yang ada di
Malang sampai ke kantor pusat PT.
Dupont (Jakarta) dan kantor Regional
Asia. Tetapi, keterbatasan pengetahuan dan
kecakapan hukum yang dimilki petani dan
tentunya biaya yang mahal membuat
petani (lagi-lagi) tidak mempunyai pilihan
selain
“menerima”
atas
berbagai
ketidaknyamanan dan pelanggaran yang
dirasakannya. Dengan kata lain, keputusan
dan pilihan tindakan yang dilakukan oleh
pihak
perusahaan
menggambarkan
kapasitas aktor yang bertindak dengan
penuh pertimbangan dan tujuan, sementara
sikap dan tindakan yang dilakukan petani
cenderung merupakan tindakan yang
dilakukan sebagai respons mendorong dan
menghambat yang terbentuk pada struktur,
institusi dan kultur pada lingkungan di
mana aktor berada.
b. Peran
Bank pada Pembiayaan
Kontrak Usaha T ani; Keterlibatan
secara Implisit
Pada saat awal, Pioneer memberikan
benih gratis sesuai luas lahan yang
disediakan oleh petani. Pada proses
pemeliharaan, pemupukan, dan pemanenan
seluruh tanggung jawab pekerjaan maupun
pembiayaan menjadi tanggung jawab
petani dengan pengawasan secara terusmenerus oleh pihak Pioner (yang diwakili
mandor dan asisten). Pada proses ini,
pihak Pioner menyediakan kredit (standby
loan)
yang
sewaktu-waktu
dapat
dimanfaatkan oleh petani berapun yang
dibutuhkan.
Dalam
proses
peminjaman
ini
sebenarnya perusahaan melibatkan Bank
BCA untuk memberikan kredit kepada
petani dengan bunga 2% selama satu
musim tanam (4 bulan). Sejauh ini yang
diketahui
petani
terkait
dengan
kredit/pinjaman
ini
diberikan oleh
perusahaan dan tanpa bunga. Seperti
pernyataan Pak Muksim sebagai berikut:
“ngene pak, ndhisik tau mrogram
pioneer iki sik anu sik pertama, maune
kuwi programe ngene kae biaya anu
ndak bungai tapi hargane harga
paket”. (Begini pak, dulu pernah ikut
program Pioneer masih awal, tadinya
program itu biaya (pinjaman, pen)
tidak terkena bunga tetapi harganya
harga paket.)
Pertanyaannya kemudian, siapa yang
membayar bunga dan dari dana mana
bunga
di
bayarkan?
Berdasarkan
pernyataan dari pihak perusahaan, bunga
itu dibayar (sekaligus pokok tentunya)
dengan mengurangkannya dari hasil
penjualan jagung yang diserahkan petani.
Seperti diketahui, bahwa penimbangan
dilakukan di perusahaan yang berarti
petani tidak tahu pasti berapa kg hasil yang
sebenarnya diperoleh. Informasi seperti ini
tampaknya
tidak
secara
eksplisit
disampaikan perusahaan sehingga petani
merasa pinjaman tersebut seperti pinjaman
kebajikan (pinjaman yang tidak berbunga
dan tidak ada keharusan peminjam untuk
memberikan reward atas pinjaman
tersebut).
Pembiayaan pada kontrak usaha tani
ini dipahami oleh petani sebagai
pembiayaan oleh perusahaan, tanpa
keterlibatan pihak lembaga keuangan
manapun. Petani sama sekali tidak tahu
dan tidak merasa bahwa bank memiliki
keterlibatan pada kontrak ini. Realitas ini
menunjukkan adanya informasi yang tidak
simetris terkait peran perbankan kepada
petani. Penguasaan informasi yang tidak
lengkap tersebut sebagian disebabkan oleh
ketidakmampuan petani untuk mengetahui
secara tepat tentang keadaan atau sifat dari
kemungkinan kemungkinan yang terjadi.
Selain itu, informasi disebarkan secara
asimetris sehingga pihak tertentu (baca:
perusahaan) mengetahui lebih banyak dari
295
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
yang lain (baca: petani) dan dapat
memanfaatkan keunggulan informasinya.
Informasi yang tidak lengkap sebagian
disebabkan tidak ada orang atau kelompok
yang mengetahui secara tepat tentang
keadaan atau sifat dari kemungkinan
kemungkinan yang terjadi. Selain itu
informasi disebarkan secara asimetris
sehingga sebagian orang mengetahui lebih
banyak dari yang lain dan dapat
memanfaatkan keunggulan informasinya.
Padahal untuk mendapatkan informasi
perlu “biaya” yang besar dan bahkan juga
tidak mungkin mendapatkan informasi
yang akurat.
Keterlibatan bank dalam hal ini tidak
secara langsung berhubungan dengan
petani,
tetapi
melalui
perusahaan.
Keterlibatan perusahaan pada proses
pembiayaan ini tak pelak membuat jalur
intermediasi menjadi bertambah panjang.
Jika bank memberikan pembiayaan secara
langsung kepada petani, maka proses
intermediasi dapat lebih pendek. Bisa jadi
bagi bank, pembiayaan secara langsung
kepada petani merupakan peluang bisnis
(baca: kredit) yang cukup memiliki
prospek yang baik. Namun, persyaratan
kredit pada umumnya yaitu 5C (Character,
Capacity, Collateral, Capasity, and
Condition of Economy) mungkin cukup
sulit dipenuhi oleh petani. Atau dengan
bahasa lain, kontrak usaha tani ini kurang
“bankable” bagi bank. Dapat dipahami jika
bank menerapkan konsep kehati-hatian
(prudential banking) dalam operasional
bisnisnya.
Kontrak usaha tani ini, jika dicermati,
tidak sepenuhnya tidak “bankable”.
Keterlibatan langsung perusahaan level
multinasional pada kontraknya dapat
memenuhi kecukupan persyaratan kredit.
Terlebih lagi kontrak ini dilakukan secara
tertulis sehingga mencukupi kebutuhan
akan kepastian hukum. Secara operasional,
kontrak ini juga memeiliki kepastian hasil
yang
tinggi.
Kewajiban
petani
menyerahkan seluruh hasil panen untuk
kemudian dibeli oleh perusahaan dapat
menjadi ”jaminan” atas kemungkinan
296
terjadi kemacetan kredit (non performing
loan). Kepastian ini akan lebih tinggi
karena harga untuk hasil panen ini telah
ditentukan di awal kontrak.
Bentuk yang dapat menjadi jembatan
kebutuhan bank akan “keamanan” dana
bank sekaligus profitabilitas yang memadai
bagi bisnis bank adalah menempatkan
perusahaan (dalam hal ini pihak Pioneer)
sebagai personal guarantee atas kredit
yang diberikan. Kredit diberikan secara
langsung kepada petani (secara eksplisit)
sehingga proses intermediasinya lebih
pendek. Satu hal penting dengan kredit
yang eksplisit ini adalah terbukanya
informasi mengenai pembiayaan/kredit ini
sehingga petani mengetahui hak dan
kewajiban (sebenarnya) terkait dengan
pembiayaan (yang dikiranya sebagai
‘bantuan’ dari perusahaan).
KESIMPULAN
Kesimpulan pertama, keberadaan
kontrak usaha tani antara petani dengan
perusahaan telah menggeser posisi petani
sebagai prinsipal menjadi tidak lebih
seperti seorang agen. Padahal dalam
realitasnya petani memiliki beberapa aset
penting seperti lahan, tenaga kerja dan
sarana produksi lainnya yang mestinya
menempatkannya
menjadi
seorang
prinsipal juga. Persoalan ini dipicu oleh
karena rendahnya daya tawar dan kapasitas
petani sebagai aktor/pihak yang terlibat
dalam kontrak. Sementara perusahaan
menguasai
teknologi
pembenihan,
informasi pasar dan memiliki kapasitas di
bidang hukum yang jauh lebih besar.
Kedua, terkait dengan pola
pembiayaan yang diberikan oleh pihak
perbankan melalui perusahan kepada
petani selama ini menimbulkan informasi
yang tidak simetris, dimana anggapan para
petani bahwa perusahan yang memberikan
kredit padahal ada pihak banklah yang
memberikan
kredit.
Dengan
pola
pembiyaan yang seperti ini dimana ada
pihak kedua yang melakukan proses
penyaluran
kredit
kepada
petani
menimbulkan suatu permasalahan social
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
tersendiri yaitu akan menimbulkan
inefisiensi dan menimbulkan banyak biaya
yang akan dikeluarkan karena proses
penyaluran
kredit
dalam
fungsi
intermediasi ini akan semakin panjang.
REKOMENDASI
Secara spesifik, perbankan dapat
secara langsung memberikan bantuan
pembiayaan tanpa harus melalui pihak
kedua (perusahaan) dengan skema yang
sesuai, sehingga fungsi intermediasi
perbankan bisa berjalan. Perusahaan pada
proses ini dapat menjadi personal
guarantee
sehingga
kebutuhan
profitabilitas bank terpenuhi dengan tetap
tercukupinya prinsip kehati-hatian bank.
DAFTAR PUSTAKA
Andri, Kuntoro Boga. 2006. Melihat
Potensi dari Sistem Usaha Tani
Kontrak. Inovasi. V ol. 7/XVIII/Juni
2006.
Agroindonesia
February
14th,
2011,diaksespada 23 Agustus 2011
Boemer, Christopher S. and Jeffrey T.
Macher.
[email protected].
[email protected]
pada tanggal 2 Mei 2007.
Damardjati, Djoko S. 2006. Kebijakan dan
Program Nasional Pengembangan
Agribisnis
Palawija.Prosiding
Seminar Nasional.Bogor, 13 Juli
2006. Penyunting: I wayan
Rusastra, Togar Alam Napitupulu,
Made Oka A. Manikmas dan
Firdaus
Karim.
CAPSA
Monograph No. 49Economic and
Social Commission for Asia and
The Pacific.
Glover, David and Lim- Teck Ghee. 1992.
Contract Farming in Southeast
Asia; Three Country Studies.
Institut Pengajian Tinggi/Institute
for Advanced Studies Universiti
Malaya. University of Malaya
Kuala Lumpur. Hal 3
Goel, Shri. A.K. 2003. Contract Farming
V entures in India: A Few
Successful Cases. SPICE. The
Director General, National Institute
of
AgriculturalExtension
Management (MANAGE). Series
Editor: Dr. Vikram SinghV ol. 1
No. 4 : March 2003.
Gunawan, Memed dan Effendi Pasandaran.
1989. Alokasi Masukan dalam
Sistem Sakap. Prosiding Patanas
Evolusi Kelembagaan Pedesaan di
Tengah Perkembangan Teknologi
Pertanian. Pusat Penelitian Agro
Ekonomi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor
Klein, Benjamin. 1980. Transaction Cost
Determinants
of
“Unfair”
Contractual Arrangement. The
American Economic Review, V ol.
70, No. 2, Papers and Proceedings
of the Ninety-Second Annual
Meeting of the American Economic
Association (May 1980).
Mallor, Jane P , A. James Barnes, Thomas
Bowers, Maichael J. Philips and
Arlen W . Langvardt. 1998.
Business Law and Regulatory
Environment; Concept and Cases.
Tenth Edition.Irwin McGrawHill.USA. (Mirza, 2000:34).
Moleong,
Lexi
J.
2001.
MetodePenelitianKualitatif.
PT.
RemajaRosdakarya. Bandung.
Mulyana, Deddy. 2002. Metodologi
Penelitian Kualitatif; Paradigma
Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu
Sosial
Lainnya.
Remaja
Rosdakarya. Bandung.
Robinson, 2004:113)
Rusastra
et
al.
2006.
StrategiKebijakanPenelitian
dan
PengembanganPalawija.ProsidingS
eminarNasional.Bogor, 13 Juli
2006. Penyunting: I wayan
Rusastra, Togar Alam Napitupulu,
Made Oka A. Manikmas dan
Firdaus
Karim.
CAPSA
Monograph No. 49Economic and
297
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Social Commission for Asia and
The Pacific.
Suryana,
Achmad.
2006.
StrategiKebijakanPenelitian
dan
PengembanganPalawija.ProsidingS
eminarNasional.Bogor, 13 Juli
2006. Penyunting: I wayan
Rusastra, Togar Alam Napitupulu,
Made Oka A. Manikmas dan
Firdaus
Karim.
CAPSA
Monograph No. 49Economic and
Social Commission for Asia and
The Pacific.
Sykuta, Michael and Michael L. Cook.
2001.
A
New
Institutional
Approach
to
Contract
and
Cooperatives. Working Paper No.
2001-04
September
2001.
298
Contracting and Organizations
Research Institute. University of
Missouri. Columbia.
Wijaya, Faried. 1991. Perkreditan & Bank
dan Lembaga-lembaga Keuangan
Kita. BPFE. Yogyakarta.
Williamson, Oliver E. 1998. Transaction
Cost Economics: How It Works;
Where It Is Headed. De Economist
146, No. 1, 1998. Kluwer
Academic Publishers.
www.aec.msu.edu. Contract Farming in
Sub Saharan Africa: A Farnpan
Project. FARNP AN ANNUAL
POLICY DIALOGUE 4-7 OCT.
Diakses pada tanggal 19 Februari
2008.
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Analisis Sektor Unggulan dan Perkembangan Ekonomi
Kabupaten Lamongan
(Sebuah Pendekatan Sektoral Pembentuk PDRB)
Abdul Azis, Arvidya Maulid Dana, Endro Pebi Trilaksono,
Fajar Try Leksono, Wildan Mudhoffar
Abstract
Economic growth is one measure that can be used to enhance the development of a region from a
variety of economic sectors that are not directly describe the rate of economic change. Regional
development must comply with the conditions of the potential and aspirations of the people who grow
and develop. If the implementation of regional development priorities in accordance with the lack of
potential that each region, the utilization of existing resources would be less than optimal. This study
aims to analyze the economic potential and identify economic sectors in regency of Lamongan. The
data used in this study is a secondary data during the years 2009-2011 come from BPS of East Java
Province and BPS of Lamongan regency. Model analysis used the LQ analysis and Shift-Share. The
results showed that the food crops and fisheries are the two sectors that have the highest
competitiveness in comparison with other sectors and the addition of output obtained Lamongan
district as a result of the industry in the district Lamongan grow faster than the same industry at the
provincial level and relatively fast growth sectors also there when compared with other regions.
Keywords: leading sector, economic growth, regional development, competitiveness
PENDAHULUAN
Pembangunan ekonomi daerah adalah
suatu proses dimana pemerintah daerah
dan masyarakatnya mengelola sumber
daya - sumber daya yang ada dan
membentuk suatu pola kemitraan antara
pemerintah daerah dan sektor swasta untuk
menciptakan lapangan kerja baru dan
merangsang
perkembangan
kegiatan
ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam
wilayah tersebut (Arsyad, 1999 : 108).
Pembangunan
ekonomi
daerah
berorientasi pada proses. Suatu proses
yang melibatkan pembentukan institusi
baru, pembangunan industri alternatif,
perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada
untuk menghasilkan produk yang lebih
baik, identifikasi pasar-pasar baru, dan
transformasi pengetahuan (Adisasmita
2005 dalam Manik, 2009 : 32).
Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah
pertambahan
pendapatan
masyarakat
secara keseluruhan yang terjadi di wilayah
tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai
tambah (value added) yang terjadi
(Tarigan, 2005 : 46).
Pembangunan daerah sebagai bagian
integral dari pembangunan nasional yang
dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi
daerah dan pengaturan sumber daya
nasional yang memberikan kesempatan
bagi peningkatan demokrasi dan kinerja
daerah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.Oleh karena itu, pembangunan
ekonomi daerah merupakan bagian dari
pembangunan daerah secara menyeluruh.
Dalam
upaya
mencapai
tujuan
pembangunan ekonomi daerah, kebijakan
utama yang perlu dilakukan adalah
mengusahakan semaksimal mungkin agar
prioritas pembangunan daerah sesuai
dengan potensi pembangunan yang
dimiliki oleh daerah.Hal ini terkait dengan
potensi pembangunan yang dimiliki setiap
daerah sangat bervariasi, maka setiap
daerah harus menentukan kegiatan sektor
ekonomi yang dominan (Syafrizal, 1999).
_______________________________________
Alamat Korespondensi
Abdul A., Arvidya M.D., Endro P.T., Fajar T.L., Wildan M., Mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan
Fqkultas Ekonomi Universitas Negeri Malang
Email : [email protected]
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Di era otonomi daerah sekarang ini,
setiap pemerintah daerah memiliki
kewenangan daerah otonomi untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi yang
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan
masyarakat
melalui
peningkatan, pelayanan, pemberdayaan,
dan peran serta masyarakat untuk
meningkatkan daya saing daerah dengan
memperhatikan
prinsip
demokrasi.
Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan daerah perlu ditingkatkan
dengan lebih memperhatikan aspek-aspek
potensi dan keanekaragaman daerah,
peluang dan tantangan persaingan global
dengan memberikan kewenangan seluasluasnya kepada daerah menyelenggarakan
otonomi daerah.Berkaitan dengan hal
tersebut, pemerintah daerah dalam
pembangunan ekonomi dan pelaksanaan
otonomi daerah mengacu pada UU No. 22
Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999
yang kemudian diganti dengan UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pembangunan ekonomi daerah adalah
suatu proses dimana pemerintah daerah
dan masyarakatnya mengelola sumberdaya
yang ada di daerah dan membentuk kerja
sama atau kemitraan antara pemerintah
daerah dengan sektor swasta untuk
menciptakan suatu lapangan kerja baru dan
merangsang
perkembangan
kegiatan
ekonomi dalam wilayah tersebut.Untuk
mencapai tujuan diatas maka diperlukan
perencanaan yang teliti dan evaluasi
terhadap has il–hasil pembangunan yang
telah dicapai. Salah satu indikator ekonomi
makro yang digunakan untuk perencanaan
dan evaluasi pembangunan ekonomi secara
makro adalah statistik Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB).
PDRB adalah jumlah seluruh nilai
tambah yang yang diciptakan oleh
berbagai sector lapangan usaha yang
melakukan kegiatan usahanya di suatu
wilayah/region
(dalam
hal
ini
300
kabupaten/kota), tanpa memperhatikan
kepemilikan atas faktor produksi. Dengan
demikian
PDRB
secara
agregatif
menunjukan kemampuan suatu daerah
dalam menghasilkan pendapatan/ balas
jasa kepada faktor-faktor produksi yang
ikut berpartisipasi dalam proses produksi
di daerah tersebut. Dengan kata lain PDRB
menunjukan
gambaran
Production
Originated. PDRB atas harga konstan
menunjukkan nilai tambah barang dan jasa
yang dihitung pada satu tahun tertentu
sebagai dasar.Dalam hal ini, perhitungan
menggunakan
tahun
2000.Kegunaan
PDRB atas harga konstan untuk
menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi
secara keseluruhan atau setiap sektor dari
tahun ke tahun, sedangkan kegunaan
PDRB atas harga berlaku untuk melihat
besarnya struktur perekonomian dalam
satu daerah atau wilayah.
Pelaksanaan otonomi daerah dengan
pemberdayaan potensi daerah akan bisa
berjalan jika sektor basis (sektor ungulan)
daerah dapat dioptimalkan. Sektor
unggulan ini penting untuk diketahui guna
menentukan
skala
prioritas
dalam
pembangunan.Sektor
basis
(Sektor
unggulan) tersebut adalah sektor yang
memiliki potensi yang lebih untuk
berkembang dibandingkan dengan sektor
lainnya. Sektor basis ini akan menjadi ciri
khas di suatu daerah.
Demikian pula dengan Kabupaten
Lamongan
dalam
mendukung
pertumbuhan ekonominya maka perlu
mengidentifikasi sektor–sektor mana yang
dapat diunggulkan dan dapat memberikan
hasil yang cukup baik dan diharapkan
sebagai solusi alternatif, sehingga dapat
mendukung sektor–sektor lain yang belum
berkembang.Sektor–sektor perekonomian
tersebut diambil dari lapangan usaha
utama.sehingga
dapat
mendukung
pertumbuhan sektor lain yang belum
berkembang
Selama tahun terakhir (2011) kondisi
perekonomian nasional cukup stabil, kurs
rupiah dan suku Bungan bank cenderung
menurun.Hal ini sangat menguntungkan
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
bagi
perkembangan
perekonomian
kabupaten lamongan yakni ditandai dengan
semakin meningkatnya nilai investasi dan
tingkat pertumbuhan ekonominya yang
cukup dinamis.Dari uraian latar belakang
di atas, penulis terdorong untuk
menganalisis dan mengkaji lebih lanjut
mengenai sektor-sektor ekonomi di
kabupaten Lamongan, provinsi Jawa
Timur.
Mengingat
ruang
lingkup
pembangunan ekonomi daerah sangat luas
maka penulis membatasi pembahasan
masalah pada sektor-sektor ekonomi yang
ada di kabupaten Lamongan dan data yang
digunakan adalah data tahunan dari tahun
2009 sampai dengan tahun 2011.
Tujuan
penelitian
ini
untuk
menganalisis dan mengetahui sektor-sektor
ekonomi yang menjadi sektor unggulan
dalam pembangunan daerah di kabupaten
Lamongan dengan menggunakan analisis
Location Quontient (LQ), dan untuk
mengetahui pertumbuhan sektor-sektor
ekonomi berdasarkan kondisi PDRB di
kabupaten
Lamongan
menggunakan
analisis Shift Share (SS).
METODE
Daerah Penelitian
Penelitian ini secara khusus mengamati
perekonomian
daerah
Kabupaten
Lamongan Provinsi Jawa Timur selama
tahun 2009-2011.
Data yang digunakan
Jenis dan sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini Nampak
dalam Tabel 1.
Tabel 1.1
Data yang digunakan
No.
Uraian Data
Jenis Data
1
PDRB Kabupaten Lamongan Sekunder
2009-2011
2
PDRB Provinsi Jawa Timur Sekunder
2009-2011
T eknik Analisis
1. Analisis shift share (SS)
Analisis Shift Share (SS) merupakan
salah satu teknik yang sering digunakan
dalam
analisis
pembangunan
daerah.Analisis SS merupakan suatu teknik
yang
berguna
untuk
menganalisis
perubahan dalam struktuk perekonomian
daerah
dibandingkan
dengan
perekonomian nasional suatu Negara.
Berdasarkan perubahan struktur yang ada,
selanjutnya
akan
dapat
diketahui
produktivitas perekonomian sutu daerah
dibandingkan
dengan
perekonomian
nasional (Blakely, 1994: 89)
Dalam operasionalnya, analisis SS
dapat digunakan untuk mengurangi
(decompose)
variable
pertumbuhan
ekonomi, yakni seperti tenaga kerja, nilai
tambah (value added) dan pendapatan
dalam negeri kotor (Product Domestic
Bruto) ( Bendavid-V al, 1991: 69;
Sumber Data
BPS
Kabupaten
Lamongan
BPS Provinsi Jawa Timur
Blakeley, 1994:94) menjadi tiga komponen
pengaruh (Bendavid-V al, 1991: 67).
Ketiga komponen pengaruh tersebut
meliputi; pengaruh bauran industry
(industry mix), pengaruh pertumbuhan
nasional (national growth effect) dan
pengaruh
keunggulan
kompetetif
(differential shift/regional share). Secara
umum pengaruh analisis SS ini memiliki
formula umum sebagai berikut:
Dimana:
=pengaruh total
=pengaruh pertumbuhan nasional
=bauran industri
=pengaruh keunggulan kompotitif
2. Analisasis Location Quontient (LQ)
Location Quontient (LQ) adalah
analisis lain yang dapat digunakan untuk
mengukur tingkat spesialisasi relative
301
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
suatu daerah dalam kategori industry atau
sector (Bendavid-V al, 1991:73). Selain itu,
hasil analisis LQ merupakan suatu
indicator sederhana yang menunjukan
kekuatan atau besar kecilnya suatu sector
dalam suatu daerah dibandingkan dengan
peran suatu sector yang sama di daerah di
daerah lain. Nilai LQ di suatu sector
pembangunan daerah lebih besar lebih dari
satu maka sector bersangkutan merupakan
sector kuat, sehingga daerah tersebut
secara potensial merupakan pengekspor
produk dari sector tersebut ke daerah
lainnya.Sebaliknua bila nilai LQ kurang
dari satu maka daerah tersebut merupakan
pengimpor produk tertentu (Azis, 1994:
233).Teknik LQ ini dapat diterapkan pada
beberapa unit ukuran untuk mengetahui
tingkat
spesialisasi
daerah,
seperti
kesempatan kerja, output, nilai tambah dan
pendapatan.
Dalam
aplikasinya,
LQ
dapat
digunakan untuk menganalisis potensi
perekonomian dari sisi pendapatan
domestic kotor (Product Domestic Bruto)
dan dari sisi kesempatan kerja di suatu
daerah. Sebagai contoh, dalam penggunaan
teknik LQ pada unit ukuran pendapatan
domestic kotor, rumus LQ sebagai berikut:
Dimana:
=output sector X pada suatu daerah
=output sector X pada suatu Negara
=Total output pada suatu daerah
=total output pada suatu Negara
Kriteria dari nilai LQ sebagai berikut:
LQ >1 : berarti derah yang bersangkutan
lebih spesialisasi pada suatu sector tertentu
pada tingkat nasional
LQ <1 : berarti daerah yang bersangkutan
kurang spesialisasi pada suatu sector
tertentu dari pada tingkat nasional
LQ = 1 : tingkat spesialisasi suatu sector
tertentu baik secara regional maupun
secara nasional sama
302
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Shift Share (SS)
Berdasarkan data disagregasi 9 sektor
utama PDRB berdasarkan harga konstan
2000 di Kabupaten Lamongan selama
tahun 2008 sampai dengan tahun 2011
menggunakan teknik shift share dapat
dijelaskan bahwa pertumbuhan kegiatan
ekonomi di Kabupaten Lamongan selama
tahun 2008-2011 di tentukan oleh tiga hal,
yakni:
1. Pertumbuhan Provinsi
Pertumbuhan
provinsi
mengukur
perubahan output (PDRB) yang akan
terjadi bila semua industry di daerah
tumbuh pada tingkat yang sama dengan
PDRB nya. Nilai positif pada komponen
pertumbuhan provinsi mengandung arti
bahwa
subsektor-subsektor
dalam
perekonomian provinsi pertumbuhannya
cepat dan memberi pengaruh positif
kepada perekonomian kabupatan.Nilai
negative pada komponen pertumbuhan
provinsi
mengandung
arti
bahwa
subsektor-subsektor dalam perekonomian
provinsi pertumbuhannya lambat dan
memberikan pengaruh negative kepada
perekonomian
kabupatan.Berdasarkan
pada perhitungan Shift Share menunjukkan
bahwa semua subsektor memiliki nilai
positif.Secara
total,
komponen
pertumbuhan provinsi juga memiliki nilai
positif, yakni sebesar Rp. 2.272.016
juta.Nilai
positif
pada
komponen
pertumbuhan provinsi mengandung arti
bahwa
subsektor-subsektor
dalam
perekonomian
Jawa
Timur
pertumbuhannya cepat dan memberikan
pengaruh positif kepada perekonomian
Kabupaten Lamongan.Sedangkan nilai nol
(0) pada komponen pertumbuhan provinsi
menunjukan bahwa subsektor yang
bersangkutan tidak memberikan pengaruh
terhadap perekonomian daerah.Dalam hal
ini, subsektor-subsektor yang bernilai nol
(0) lebih disebabkan karena di Kabupaten
Lamongan subsektor-subsektor tersebut
tidak menghasilkan output.
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
2. Struktur Industri
Struktur industry menghitung dari
dampak komposisi industry daerah.Selain
itu pula komponen ini juga menghitung
perbedaan antara pertumbuhan kabupaten
dengan
menggunakan
pertumbuhan
provinsi sektoral dan pertumbuhan
kabupaten
dengan
menggunakan
pertumbuhan
provinsi
total.Daerah
kabupaten dapat tumbuh lebih cepat atau
lebih lambat dari provinsi.Perbedaan
tingkat pertumbuhan ini disebabkan oleh
komposisi sector yang berbeda.Nilai
positif pada komponen ini menunjukan
bahwa daerah kabupaten berkonsentrasi
pada sector-sektor yang bertumbuhannya
cepat secara regional (provinsi).Hal ini
karena tingkat pertumbuhan kegiatan
ekonomi di daerah di atas rata-rata
pertumbuhan kegiatan ekonomi di tingkat
provinsi secara total.Sedangkan nilai
negative menunjukan bahwa daerah
kabupaten berkonsentrasi pada sectorsektor yang pertumbuhannya lamabn
secara regional (provinsi).Hal ini karena
tingkat pertumbuhan kegitan ekonomi di
daerah di bawah rata-rata pertumbuhan
kegitan ekonomi di tingkat provinsi secara
total.Berdasarkan perhitungan dengan
teknik Shift Share menunjukkan bahwa
terdapat subsektor-subsektor yang bernilai
positif dan subsektor-subsektor yang
bernilai negative.
Subsektor-subsektor yang bernilai positif meliputi:
a) Air bersih
b) Kontruksi
c) Perdagangan besar & eceran
d) Hotel
e) Restoran
f) Angkutan rel
g) Jasa penunjang angkutan
h) Komunikasi
i) Bank
j) Lembaga keuangan bukan bank
k) Sewa bangunan
l) Jasa hiburan & rekreasi
Subsektor-subsektor yang bernilai negatif meliputi:
a) Tanaman bahan makanan
b) Tanaman perkebunan
c) Peternakan dan hasil-hasilnya
d) Kehutanan
e) Perikanan
f) Penggalian
g) Makanan, minuman dan tembakau
h) Tekstil, barang kulit dan alas kaki
i) Barang kayu dan hasil hutan lainnya
j) Kertas dan barang cetakan
k) Pupuk, kimia dan barang dari karet
l) Semen dan barang galian bukan logam
m) Barang lainnya
n) Listrik
o) Angkutan jalan raya
p) Angkutan laut
q) Jasa perusahaan
303
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
r) Pemerintahan umum
s) Jasa social kemasyarakatan
t) Jasa perorangan dan rumah tangga
Subsektor-subsektor yang bernilai nol (0) meliputi:
a) Minyak dan gas bumi
b) Pertambangan tanpa migas
c) Pengilangan minyak bumi
d) Gas alam cair
e) Logam dasar besi dan baja
f) Alat angkat mesin dan peralatannya
g) Gas
h) Angkutan sungai danau dan penyebrangan
i) Angkutan udara
j) Jasa penunjang keuangan
Secara total, komponen struktur industry memiliki nilai sebesar -Rp. 480.183 juta
3. Daya Saing Regional
Komponen daya saing regional
mengukur perbedaan tingkat pertumbuhan
anatara industry di tingkat provinsi dengan
industry di tingkat kabupaten. Komponen
daya saing akan menghasilkan nilai yang
merepresentasikan pertumbuhan industry
di tingkat kabupaten lebih cepat atau lebih
lamban dari pertumbuhan industry di
tingkat provinsi. Nilai positif menunjukan
bahwa industry di kabupaten tumbuh lebih
cepat dari pada industry yang sama di
tingkat provinsi. Selain itu pula nilai
positif pada komponen
ini
juga
mengandung arti bahwa komposisi
kegiatan di daerah sudah baik untuk daerah
(kabupaten)
yang
bersangkutan.
Sedangkan nilai negative menunjukan
bahwa industry daerah tumbuh lebih
lamban dari industry yang sama pada
tingkat provinsi. Selain itu pula nilai
negative pada komponen ini juga
mengandung arti bahwa komposisi
kegiatan ekonomi di daerah belum cukup
baik di daerah (kabupatan) yang
bersangkutan.
Subsektor-subsektor yang bernilai positif meliputi:
a) Tanaman perkebunan
b) Peternakan dan hasil-hasilnya
c) Perikanan
d) Penggalian
e) Makanan, minuman dan tembakau
f) Tekstil, barang kulit dan alas kaki
g) Barang kayu dan hasil hutan lainnya
h) Kertas dan barang cetakan
i) Pupuk, kimia dan barang dari karet
j) Semen dan barang galian bukan logam
k) Listrik
l) Perdagangan besar & eceran
m) Hotel
n) Angkutan jalan raya
o) Angkutan laut
p) Jasa penunjang angkutan
q) Bank
r) Lembaga keuangan bukan bank
304
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
s)
t)
u)
v)
w)
x)
Sewa bangunan
Jasa perusahaan
Pemerintahan umum
Jasa social kemasyarakatan
Jasa hiburan & komunikasi
Jasa perorangan dan rumah tangga
Subsektor-subsektor yang bernilai negative meliputi:
a) Tanaman bahan makanan
b) Kehutanan
c) Barang lainnya
d) Kontruksi
e) Restoran
f) Angkutan rel
g) Komunikasi
Subsektor-subsektor yang bernilai nol (0) meliputi:
a) Minyak dan gas bumi
b) Pertambangan tanpa migas
c) Pengilangan minyak bumi
d) Gas alam cair
e) Logam dasar besi dan baja
f) Alat angkat mesin dan peralatannya
g) Gas
h) Angkutan sungai, danau dan penyebrangan
i) Angkutan udara
j) Jasa penunjang keuangan
Secara total, komponen daya saing
regional memiliki nilai sebesar Rp.
685.924 juta
Berdasarkan pada hasil perhitungan
dengan menggunakan tenik Shift Share di
atas dapat dijelaskan lebih jauh bahwa:
a. Secara akumulatif, komponen total
berpengaruh memberikan nilai shift
share sebesar Rp. 2.477.756 juta. Nilai
ini merepresentasikan nilai tambah
bruto yang secara actual dapat tercipta
di kabupaten Lamongan selama tahun
2008-2011 dalam interaksinya dengan
perekonomian wilayah Jawa Timur.
Nilai tambah ini dapat tercipta melalui
komponen pertumbuhan provinsi,
struktur indutri daerah dan persaingan
daerah.
b. Komponen pertumbuhan provinsi
sebesar
Rp.
2.272.016
juta
merepresentasikan sejumlah output
yang dihasilkan oleh kegiatan ekonomi
di
kabupaten
Lamongan
yang
diakibatkan oleh kegiatan ekonomi
provinsi Jawa Timur selama tahun
2009-2011. Hal ini menunjukan bahwa
performance perekonomian kabupaten
Lamongan secara rata-rata sudah sesuai
dengan performance provinsi Jawa
Timur.
c. Komponen struktur industry secara
total memiliki output sebesar -Rp.
480.183 juta. Hal ini mengandung arti
bahwa output yang berkurang di
kabupaten Lamongan sebagai akibat
dari konsentrasinya pada sector-sektor
yang pertumbuhannya lamban secara
regional (provinsi).
d. Komponen daya saing regional secara
total memiliki output sebesar Rp.
685.924 juta. Hal ini mengandung arti
bahwa penambahan output yang
diperoleh
kabupaten
Lamongan
sebagai akibat dari industry di
305
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
kabupaten Lamongan tumbuh lebih
cepat dari pada industry yang sama di
tingkat provinsi dan relative cepat juga
pertumbuh sector-sektor yang ada bila
dibandingkan dengan daerah yang lain,
serta
mengandung
arti
bahwa
komposisi kegiatan ekonomi di daerah
sudah baik untuk daerah Lamongan.
Secara diagramatis pendekatan shift share
terhadap
perekonomian
kabupaten
Lamongan
dibandingkan
dengan
perekonomian Provinsi Jawa Timur selama
tahun 2009-2011 dapat dilihat pada bagan
berikut:
Output
Aktua/Nilai
T ambah Bruto
Rp. 2.477.756
Juta
Pertumbuhan
Provinsi (+)
Rp. 2.272.016
Juta
Spillower Effect
Perekonomian
Jawa Timur
Struktur
Industri (-)
Rp. 480.183
Juta
Konsentrasi
Sektor yang
Pertumbuhannya
Lamban Secara
Provinsi
Daya Saing
Regional (+)
Rp. 685.924
Juta
Pertumbuhan
Sektor Relatif
Cepat dibanding
Daerah Lain
Gambar 1.1
Mekanisme Pencapaian Output Aktual
Perekonomian Kabupaten Lamongan
Pada gambar di atas dapat dijelaskan
bahwa output baru yang tercipta di
kabupaten
Lamongan
sebesar
Rp.
306
2.447.756 juta. Output ini dapat tercipta
melalui tiga komponen penting, yakni
pertumbuhan provinsi (Rp. 2.272.016 juta),
struktur industry (-Rp. 480.183 juta), dan
daya saing regional (Rp. 685.924 juta).
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Analisis Location Quentient (LQ)
Dalam
konteks
perekonomian
kabupaten, maka nilai perekonomian
LQ>1, menunjukan bahwa kabupataen
tertentu relative lebih spesialis dari tingkat
provinsi pada sector yang diamati.Nilai
LQ<1 menunjukan bahwa kabupaten
tertentu relative kurang spesialis dari
tingkat provinsi pada sector yang diamati.
Nilai LQ=1 menunjukan bahwa baik dari
daerah kabupaten maupun provinsi tingkat
spesialisasinya sama pada sector tertentu
yang diamati. Berdasarkan perhitungan LQ
dapat dijelaskan spesialisasi relative
perekonomian kabupaten Lamongan selam
tahun 2008-2011, yakni
a) Subsektor yang memiliki nilai Location Quotient lebih dari satu selama 4 tahun
pengamatan (tahun 2008, 2009, 2010, 2011) meliputi:
a. Tanaman Bahan Pangan
b. Perikanan
c. Tekstil, Bahan Dari Kulit Dan Alas Kaki
d. Barang Dari Kayu Dan Hasil Hutan Lainnya
e. Listrik
f. Sewa Bangunan
g. Pemerintahan Umum
h. Jasa Social Kemasyarakatan
b) Subsektor yang memiliki nilai Location Quotient kurang dari satu selama 4 tahun
pengamatan (tahun 2008, 2009, 2010, 2011) meliputi:
a) Tanaman Perkebunan
b) Peternakan
c) Kehutanan
d) Penggalian
e) Makanan Minuman Dan Tembakau
f) Kertas Dan Barang Cetakan
g) Pupuk, Kimia Dan Barang Dari Karet
h) Semen Dan Barang Galian Bukan Logam
i) Barang Lainnya
j) Air Bersih
k) Kontruksi
l) Perdagangan
m) Hotel
n) Restoran
o) Angkutan Rel
p) Angkutan Jalan Raya
q) Angkutan Laut
r) Jasa Penunjang Angkutan
s) Komunikasi
t) Bank
u) Lembaga Keuangan Bukan Bank
v) Jasa Perusahaan
w) Jasa Hiburan Dan Kebudayaan
x) Jasa Perorangan Dan RT
c) Subsektor yang memiliki nilai Location Quotient sama dengan nol (0) selama 4 tahun
pengamatan (tahun 2008, 2009, 2010, 2011) meliputi:
a) Pertambangan Migas
307
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
b)
c)
d)
e)
f)
g)
Pertambangan Non Migas
Logam Dasar Besi Dan Baja
Alat Angkutan Mesin Dan Peralatannya
Gas Kota
Angkutan Penyebrangan
Angkutan Udara
d) Berdasarkan pada point a, b dan c di
atas dapat disimpulkan bahwa:
• Perekonomian
kabupaten
Lamongan memiliki keunggulan
komparatif di subsektor tanaman
bahan pangan, perikanan, tekstil,
bahan dari kulit dan alas kaki,
barang dari kayu dan hasil hutan
lainnya, listrik, sewa bangunan,
pemerintahan umum, jasa social
kemasyarakatan. Dari subsektor
tersebut
subsektor
subsektor
tanaman bahan makanan dan
subsektor perikanan
memiliki
keunggulan komparatif paling
besar diantara subsektor-subsektor
yang lain.
• Selama 4 tahun pengamatan
subsektor-subsektor yang memiliki
keunggulan komparatif tersebut
memiliki perekembangan yang
cukup stabil.
• Berdasarkan pada analisis model
LQ di atas dapat disusun posisi
relative keunggulan komparatif
subsektor pereknomian kabupaten
Lamongan selama tahun 2008-2011
308
dibandingkan
dengan
perekonomian provinsi Jawa Timur
sebagai berikut:
Keterangan:
Kuadran 1:
o Subsektor di kabupaten Lamongan
yang memiliki spesialisasi relative
dibandingkan dengan subsektor yang
sama pada tingkat provinsi Jawa Timur
o Subsektor yang memiliki keunggulan
komparatif
Kuadran 2:
o Subsektor di kabupaten Lamongan
yang tidak memiliki spesialisasi
relative dan keunggulan komparatif
dalam perekonomian di Jawa Timur
Kuadran 3:
o Subsektor yang belum memiliki
kegiatan ekonomi di kabupaten
Lamongan (nilai koefisien Location
Quentient sebesar 0)
Kuadran 4:
o Subsektor yang memiliki tingkat
spesialisasi realtif paling besar
dibandingkan dengan subsektor lain
dalam
perekonomian
kabupaten
Lamongan
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
Tabel 2
Posisi Relatif Keunggulan Komparatif Subsektor Perekonomian KabupatenLamongan
KUADRAN 1
§
§
§
§
§
§
§
§
tanaman bahan makanan
perikanan
tekstil, bahan dari kulit dan alas
kaki
barang dari kayu dan hasil hutan
lainnya
listrik
sewa bangunan
pemerintahan umum
jasa social kemasyarakatan
KUADRAN 2
§
§
§
§
§
§
§
§
§
§
§
§
§
§
§
§
§
§
§
§
§
§
§
§
KUADRAN 3
§
§
§
§
§
§
§
pertambangan migas
pertambangan non migas
logam dasar besi dan baja
alat angkutan mesin dan
peralatannya
gas kota
angkutan penyebrangan
angkutan udara
tanaman perkebunan
peternakan
kehutanan
penggalian
makanan minuman dan tembakau
kertas dan barang cetakan
pupuk, kimia dan barang dari karet
semen dan barang galian bukan
logam
barang lainnya
air bersih
kontruksi
perdagangan
hotel
restoran
angkutan rel
angkutan jalan raya
angkutan laut
jasa penunjang angkutan
komunikasi
bank
lembaga keuangan bukan bank
jasa perusahaan
jasa hiburan dan kebudayaan
jasa perorangan dan RT
KUADRAN 4
§
§
tanaman bahan makanan
perikanan
309
JESP V ol. 4, No. 2, 2012
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab
sebelumnya dapat disimpulkan bahwa:
1. Subsektor-subsektor perekekonomian
Provinsi
Jawa
Timur
dalam
perkembangannya
secara
umum
selama
tahun
2009-2011
pertumbuhannya
cepat
dan
memberikan pengaruh positif kepada
perekonomian Kabupaten Lamongan.
2. Kegiatan ekonomi di Kabupaten
Lamongan selama tahun 2009-2011
berkonsentrasi pada sector-sektor yang
pertumbuhannya cepat secara regional
(Provinsi Jawa Timur). Sektor-sektor
tersebut seperti makanan, minuman
dan tembakau, tekstil, barang kulit dan
alas kaki, barang kayu dan hasil hutan
lainnya serta kertas dan barang
cetakan.
3. Kabupaten Lamongan memiliki potensi
keunggulan komparatif di subsektor
seperti tanaman bahan makanan dan
perikanan.
Berdasarkan pada temuan dalam penelitian
ini, maka beberapa rekomendasi kebijakan
yang dapat diajukan adalah:
1. Identifikasi
terhadap
potensi
perekonomian daerah secara sektoral
perlu dilakukan guna meningkatkan
kinerja perekonomian daerah. Hal ini
dapat dilakukan dengan melakukan
pemetaan terhadap aspek mikro dan
makro dalam perekonomian daerah.
310
2. Ekstensifikasi
terhadap
komoditi
unggulan, sehingga terjadi difersifikasi
dalam
komoditi-komoditi
yang
mempunyai keunggulan komparatif.
Hal ini dapat dilakukan dengan
memperluas cakupan skala prioritas
pembangunan
sektoral,
sehingga
sector-sektor yang belum berkembang
dapat ditingkatkan perannya dalam
pembangunan daerah.
DAFTAR RUJUKAN
§ Adisasmita, H.R. 2005. Dasar-dasar
Ekonomi Wilayah. Penerbit Graha
Ilmu, Yogyakarta.
§ Arsyad,
L.
1999.
Ekonomi
Pembangunan. Yogyakarta: Bagian
Penerbitan STIE YKPN.
§ Badan Pusat Statistik, 2011, PDRB
Kabupaten
Lamongan,
BPS,
Kabupaten Lamongan
§ Badan Pusat Statistik, 2006-2010,
PDRB
Kabupaten/Kota
Se-Jawa
Timur, BPS, Provinsi Jawa Timur
§ Bendavid-V al, A. 1999. Regional and
Local
Economic
Analysis
for
Practioners. NY: Praeger Publiser.
§ Blakely, E. J. 1994. Planning Local
Economic Development, Theory and
Practice, 2nd edition. California: SAGE
Publication.
§ Tarigan, Robinson. 2005. Ekonomi
Regional. Teori dan Aplikasi. Edisi
Revisi. Bumi Aksara. Jakarta.
JESP Vol.4, No.2, 2012
Tinjauan Buku
Judul
: Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem
Operasional (Suatu Kajian Kontemporer)
Penulis
: Sasli Rais, SE., M.Si
Penyunting
: Dance Y . Flassy, SE., M.Si
Halaman
: 214 halaman.
Penerbit
: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press)
Tahun
: 2005
ISBN
: 979-456-301-3
Peresensi
: Subagyo, SE., SH., MM
Pegadaian Syariah merupakan
lembaga keuangan syariah yang lahir
setelah perbankan syariah. Tidak seperti
kakak-nya, pegadaian syariah belum terlalu
banyak diketahui masyarakat apalagi
dimengerti dan dipahami. Buku Pegadaian
Syariah yang ditulis oleh Sasli Rais ini
menjadi salah satu media untuk
memperoleh gambaran tentang pegadaian
syariah, tidak hanya secara konsep dan
sistem
operasional
tetapi
melihat,
memperbandingkan
dan
mengkritisi
pegadaian syariah antara tataran konsep
dan tataran realitas.
Buku Pegadaian Syariah ini,
merupakan mutasi dari sebuah karya
akademik penulis di Program Pasca
Sarjana Universitas Indonesia
dan
bertransformasi (secara parsial). Sehingga
struktur penulisan, pemilihan kata dan
pembentukan kalimat memiliki “watak”
dan “tabiat” yang sama dengan bentuk
awalnya, yaitu sebuah T esis. Buku
transformasi
seperti
ini
memiliki
kemanfaatkan bagi pembaca yang berminat
untuk melakukan penelitian dengan topik
kajian yang sama.
Buku ini terbagi dalam 4 (bagian)
yang terdiri atas; Pendahuluan,Teori, Hasil
Kajian dan Rekomendasi. Pemilahan
seperti ini memberikan pembaca pada
sebuah ilustrasi pegadaian syariah dengan
struktur pemahaman dalam bentuk
“Piramida Terbalik”, yang mengajak pada
sebuah fokus kaji dan amatan. Pembaca
seperti
diajak
untuk
melakukan
pengamatan dengan pisau analisis (berupa
teori) yang telah terpapar. Struktur
piramida terbalik ini, membawa pembaca
pada nuansa pembacaan novel untuk setia
menunggu dan menemui klimaks dan
ending “cerita”.
Sasli Rais, pada awal bukunya (hal.
7) telah melakukan gugatan atas
paradoksal yang terjadi antara “Fungsi
Sosial –Konsumtif” dan “Fungsi Komersiil
– Produktif” yang melekat pada konsep
dan realitas pegadaian syariah. Pada jaman
Nabi Muhammad, gadai memiliki sifat dan
fungsi sosial konsumtif, tetapi dalam
realitas pegadaian syariah di Indonesia,
gadai memiliki kecenderungan bersifat dan
berfungsi komersiil produktif. Paradoksal
yang oleh Sasli Rais dipaparkan melalui
kajian terhadap sistem operasional dan
jenis pendapatan pegadaian syarih. (hal.
160).
Nilai-nilai universal Teori Ekonomi
Islam disajikan pula oleh Sasli Rais. (hal.
19). Pembahasan yang kaya dengan variasi
rujukan memberikan pola pengayaan yang
mampu membangun pemahaman utuh
tentang Teori Ekonomi Islam, meskipun
jabaran yang diberikan hanya eksplorasi
Subagyo, Dosen Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang.
E-mail : [email protected]
JESP Vol. 4, No. 2, 2012
dengan kedalaman yang tidak terlampau
dalam. Meskipun demikian, jabaran ini
cukup dipakai sebagai bahan untuk
mengkaji beberapa realitas yang akan
terpapar di bagian belakang buku ini.
Teori Gadai Syariah sendiri
terpapar sepanjang 81 halaman, bagian
terpanjang pada buku ini. Watak tesis
tampak dalam eksplorasi yang beragam
atas berbagai macam sumber rujukan yang
variatif. Pembaca bisa menikmati sebuah
resume yang menarik atas Teori Gadai
Syariah. Paparan yang relatif cukup untuk
memberikan ilustrasi utuh tentang Gadai
Syariah. Meskipun ada beberapa bagian
yang “berhenti secara mendadak” (hal. 68
tentang Katagori Marhun, hal. 71 tentang
Pemanfaatan dan Pelunasan Marhun). Pola
“berhenti secara mendadak” ini juga
beberapa kali akan ditemui dalam bagian
pembahasan. Tentunya Sasli Rais memiliki
alasan rasional, mengapa dia harus
“berhenti secara mendadak” ini. Salah satu
kemungkinan adalah untuk mengejar fokus
kaji dan amatan. Rasa tidak selalu
ditentukan dengan bumbu yang teramat
banyak !.
Buku ini memberikan 12 (dua
belas) tabel dan 15 (lima belas) gambar.
Tabel dan gambar yang memberikan
kemudahan
bagi
pembaca
untuk
memahami deskripsi dengan media yang
berbeda. Keberadaan tabel dan gambar
merupakan fasilitas yang disediakan oleh
penulis untuk membaca secara cepat
terkait maksud yang ingin diungkapkan
oleh Sasli Rais. Hasil visualisasi deksripsi
yang berupa pemadatan informasi yang
bisa menghasilkan “extract file” yang
kaya.
Temuan dan kajian Sasli Rais
tentang Pegadaian Syariah diawali dengan
kalimat “… dalam analisis ini bukan untuk
mencari
praktik
atau
mekanisme
operasional di Pegadaian Syariah dalam
kaca mata perspektif ‘tidak dibolehkan
(haram) maupun dibolehkan (mubah)’.
Namun, lebih memperhatikan aspek
manfaat positif atau maslahah mursalahnya… “ (hal. 159). Sebuah sudut
312
pengambilan jarak yang bagus bagi Sasli
Rais untuk melakukan eksplorasi atas
realitas dalam rangka mencegah pada
“vonis akademik” !. Hasil bahasan yang
menarik adalah adanya perbedaan antara
realitas dan konsep Gadai Syariah
mengenai Barang Jaminan (Marhun) (hal.
160) dan Pemafaatan Dana Pinjaman
(Marhun Bih) (hal. 163). Dan salah satu
temuan Sasli Rais lainnya adalah adanya
perbadaan antara Paper Marketing yang
disusun oleh Pegadaian Syariah tetapi
tidak mencerminkan realitas operasional.
(hal. 178). Paper Marketing yang seperti
ini langsung ditukas oleh Sasli Rais dengan
mengatakan “ …. Islam memerintahkan
semua transaksi bisnis dilakukan dengan
cara jujur dan terus terang, tidak
memberikan koridor dan ruang penipuan,
kebohongan …”.
Membaca paparan tentang hasil
kajian Sasli Rais pada bagian ketiga buku
ini, tampaknya penulis lebih memilih
untuk memberikan proporsi yang lebih
besar bagi Teori. Sehingga hasil temuan
dan pembahasan tidak terlalu dieksplorasi
secara maksimal oleh Sasli Rais.
Sesungguhnya menarik jika pembaca
mendapatkan paparan yang lebih “boros”
terkait dengan hasil kajian, sehingga akan
tampak secara “kasat” antara teori dan
realitas sesungguhnya. Pada bagian ini,
Sasli Rais tampaknya memutuskan untuk
“berhemat”. Sehingga pembaca akan
merasakan bahwa klimaks cerita terasa
kurang mengguras “emosi”.
Pada akhir buku ini ditemukan
bahwa Pegadaian Syariah masih belum
mampu melakukan pengelolaan pegadaian
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah
secara optimal. (hal. 199). Keadaan ini
disebabkan oleh kurangnya peraturan
perundang-undangan terkait dengan Gadai
Syariah sehingga manajemen Pegadaian
Syariah sering kali ragu-ragu dalam
mengambil suatu kebijakan. Sebuah
ending cerita yang memiliki nilai intrinsik
yang menarik. Selamat Membaca !.
JESP Vol. 4, No. 2, 2012
ISSN 2086-1575
INDEKS VOLUME 4
Tahun 2012
Nomor 1, Maret 2012
1.
Kategori T ulisan/Judul
Penulis/Peninjau
Artikel:
Tingkat Worker Turnover pada Multinational Marentyas Miftakhul
Khoiroh
Companies dan Kaitannya dengan Cultural
Mahasiswa S-2 Prodi Ilmu
Adjustment
Halaman
5-12
Ekonomi PPS Universitas Indonesia
2.
Sistem Ekonomi : Moral vs Insting Pemangsa Thomas Soseco
13-20
Jurusan Ekonomi Pembangunan,
Fakultas Ekonomi. Universitas
Negeri Malang
3.
4.
5.
6.
Analisis Kritis Hutang dan Dampaknya Terha- Bambang Haryadi
Fakultas Ekonomi Universitas
dap Kinerja PDAM (Perspektif Ekonomi
Trunojoyo Madura
Politik Pada PDAM PERMAI)
Suatu Pandangan Struktural Alternatif Usaha Abid Muhtarom
Mahasiswa S-2 Prodi Ilmu
Mikro dan UKM Dalam Perekonomian
Ekonomi PPS Unair Surabaya
Indonsia (Masa Krisis Ekonomi dan Pasca
Krisis)
Mahyarni
Money Laundering (Pencucian Uang) dan
Fakultas Ekonomi UIN Sultan
Dampaknya Terhadap Perbankan dan
Syarif Kasim Riau
Negara Kita
Penelitian:
Pengaruh CAR, ROA, NPM dan LDR terha- Diana Elysabet Kurnia
dap Pertumbuhan Laba Bank (Studi Kasus PT. Dewi & Imam Mukhlis
Jurusan Ekonomi Pembangunan,
Bank Mandiri, Tbk)
21-36
37-50
51-60
61-72
Fakultas Ekonomi. Universitas
Negeri Malang
7.
8.
9.
Analisis Persepsi Dan Aspirasi Nasabah Terhadap Kualitas Pelayanan BritAma
(Studi Kasus Nasabah BritAma PT Bank
Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.
Cabang Martadinata Malang)
Analisis Pengaruh Tingkat Suku Bunga
Deposito Bank Konvensional Terhadap
Deposito Mudharabah pada Bank Syariah
Di Indonesia
Analisis Pengaruh Suku Bunga SBI
terhadap Nilai Emisi Obligasi baik
dalam Jangka Pendek maupun Jangka
Panjang di Pasar Modal Indonesia
Periode T ahun 2007-2009
10. Pengembangan Sistem Kelistrikan Microgrid
Dony S. Marbun &
Mardhono
73-92
Jurusan Ekonomi Pembangunan,
Fakultas Ekonomi. Universitas
Negeri Malang
Aprilia Tri Rahayu &
Bambang Pranowo
93-104
Jurusan Ekonomi Pembangunan,
Fakultas Ekonomi. Universitas
Negeri Malang
Wildha Ayuning Puspita & 105-112
Agung Haryono
Jurusan Ekonomi Pembangunan,
Fakultas Ekonomi. Universitas
Negeri Malang
Irawan Rahardjo
113-122
313
JESP Vol. 4, No. 2, 2012
ISSN 2086-1575
Baron T echnopark dalam
Upaya Pengembangan Kawasan Wisata
11. Dampak Pengembangan Obyek Wisata
Penataran Terhadap Pembangunan Ekonomi
Lokal di Kabupaten Blitar
Pusat Teknologi Konversi Energi
BPPT, Jakarta
12. Analisis Dampak Bantuan Program
Penanggulangan Kemiskinan Terhadap
Kehidupan Masyarakat Miskin di Desa Pait
Kecamatan Kasembon Kabupaten Malang
Mega Puspita Ningsih &
Prih Hardinto
Dian Setia Yusmiady & Mit 123-132
Witjaksono
Jurusan Ekonomi Pembangunan,
Fakultas Ekonomi. Universitas
Negeri Malang
133-140
Jurusan Ekonomi Pembangunan,
Fakultas Ekonomi. Universitas
Negeri Malang
13. Analisis Potensi Ekonomi Kabupaten Malang Erry Gugy & Sugeng Hadi
Tahun 2005 - 2009
Utomo
141-152
Jurusan Ekonomi Pembangunan,
Fakultas Ekonomi. Universitas
Negeri Malang
14. Pengaruh Current Ratio, T otal Asset Turnover,
dan Debt T o Asset Ratio Terhadap Rentabilitas
Ekonomi Koperasi Wanita di Kota Malang
Tahun 2010
Ratna Dwi Imawati, Yuli
Soesetio & Fadia Zen
15. Identifikasi Kebutuhan Pengembangan
Pendidikan Dasar Sekolah Swasta di
Y ogyakarta (Studi Kasus: TK-SD-SMP
Kanisius Daerah Istimewa Yogyakarta)
Tinjauan Buku:
16. Dimensi Ekonomi Perpajakan dalam
Pembangunan Ekonomi
Indra Darmawan
153-162
Jurusan Ekonomi Pembangunan,
Fakultas Ekonomi. Universitas
Negeri Malang
163-168
FKIP Universitas Sanatha Dharma Yogyakarta
Subagyo
169-170
Jurusan Ekonomi Pembangunan,
Fakultas Ekonomi. Universitas
Negeri Malang
314
JESP Vol. 4, No. 2, 2012
ISSN 2086-1575
Nomor 2, Nopember 2012
1.
2.
Kategori T ulisan/Judul
Artikel:
Ekonomi Moneter : Tinjauan Sejarah
Ekonomi Islam
Penelitian:
Penerimaan Perpajakan di Negara ASEAN
Penulis/Peninjau
Sasli Rais
Halaman
175-180
STIE Pengembangan Bisnis dan
Manajemen, Jakarta
Timbul Hamonangan
Simanjutak
181-190
Fakultas EKonomi Universitas
Kristen Maranatha Bandung
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Aliran Foreign Direct Investment dan
Produk Domestik Bruto di Indonesia.
Imam Mukhlis
Pengaruh Jumlah Uang Beredar ( JUB ),
Tingkat Suku Bunga BI Rate, dan nilai Tukar
Rupiah Dollar – AS Terhadap Laju Inflasi
di Indonesia ( Tahun 2007 – 2011 )
Pengaruh Capital Adequancy Ratio ( CAR ),
Return On Asset ( ROA ) dan
Loan T o Deposit Ratio ( LDR ) Terhadap
Harga Saham Bank Pemerintah di Indonesia
Periode 2004-2011
Dilema Ekonomi : Pasar TradisionalV ersus
Liberalisasi Bisnis Ritel di Indonesia
Dampak Investasi Pemerintah Terhadap
Investasi Swasta Dan Kesejahteraan
Masyarakat Setelah Pemekaran Daerah
Kabupaten Kota di Provinsi Maluku.
Yuniar Ardila & Sapir
Perencanaan Energi Daerah Privinsi Maluku
Utara
Agus Sugiyono
9.
191-200
Jurusan Ekonomi Pembangunan,
Fakultas Ekonomi. Universitas
Negeri Malang
201-212
Jurusan Ekonomi Pembangunan,
Fakultas Ekonomi. Universitas
Negeri Malang
Ferik Vidyatama &
Mardhono
213-222
Jurusan Ekonomi Pembangunan,
Fakultas Ekonomi. Universitas
Negeri Malang
W asito Raharjo Jati
223-242
PAU UGM Yogyakarta
Tri Wahyuningsih
243-260
Prodi Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi, Universitas
IQRA Buru (UNIQBU), Pulau
Buru, Maluku
261-272
Bidang Perencanaan Energi,
Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi, Jakarta
Analisis Faktor Eksternal Dan Internal
Terhadap Kinerja Usaha Mikro Dan Kecil
( UMK ) di Kota Ternate.
10. Telaah Kritis Pola Pembiayaan Agribisnis
Pada Kontak Usaha Tani
( Studi Pada Kontrak Usaha Tani Jagung).
Amran Husen
273-284
11. Analisis Sektor Unggulan dan Perkembangan
Ekonomi Kabupaten Lamongan
(Sebuah Pendekatan Sektoral Pembentuk
PDRB)
Abdul Azis, Arvidya Maulid 299-310
Dana, Endro Pebi Trilaksono, Fajar Try Leksono &
Wildan Mudhoffar
Fakultas Ekonomi Universitas
Khairun ternate, Ternate Selatan
Asfi Manzilati & Yenny
Kornitasari
285-298
Fakultas Ekonomi UNIBRAW
Malang
Jurusan EKonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi Universitas
315
JESP Vol. 4, No. 2, 2012
ISSN 2086-1575
Negeri Malang
Tinjauan Buku:
12. Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem
Operasional (Suatu Kajian Kontemporer)
Subagyo
311-312
Jurusan Ekonomi Pembangunan,
Fakultas Ekonomi. Universitas
Negeri Malang
316
JESP Vol. 4, No. 2, 2012
ISSN 2086-1575
v
Petunjuk bagi Kontributor Artikel JESP
v
1.
Artikel yang ditulis untuk JESP meliputi hasil pemikiran dan hasil penelitian yang berhubungan dengan
ekonomi pembangunan (development economics) dan pembangunan ekonomi ( economic development).
Naskah diketik dengan huruf Times New Roman, ukuran 12 pts (12 poin), dengan spasi ganda, dicetak pada
kertas A4, marjin kiri 4, kanan 3, atas dan bawah 3, sepanjang maksimum 30 halaman, dan diserahkan
dalam bentuk print-out sebanyak 3 eksemplar beserta soft-copy-nya. Berkas (file) dibuat dengan Microsoft
Word. Pengiriman file lewat e-mail juga dapat dilakukan sebagai attachment e-mail ke alamat:
[email protected], [email protected]
2.
Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan dibawah judul artikel. Jika
penulis terdiri dari 4 orang atau lebih, yang dicantumkan di bawah judul artikel adalah nama penulis utama;
nama penulis-penulis lainnya dicantumkan pada catatan kaki halaman pertama naskah. Dalam hal naskah
ditulis oleh tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya
tercantum pada urutan pertama. Penulis dianjurkan mencantumkan alamat e-mail untuk memudahkan
komunikasi.
3.
Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris dengan format esai ( essay), disertai judul pada masingmasing bagian artikel, kecuali bagian pendahuluan yang disajikan tanpa judul bagian. Judul artikel dicetak
dengan huruf besar-kecil di tengah-tengah, dengan huruf sebesar 16 poin. Peringkat judul bagian
dinyatakan dengan jenis huruf yang berbeda (semua judul bagian dan sub-bagian dicetak tebal atau tebal
dan miring), dan tidak menggunakan angka nomor pada judul bagian:
PERINGKAT 1 (HURUF BESAR SEMUA, TEBAL, RATA TEPI KIRI)
Peringkat 2 (Huruf Besar Kecil, Tebal, Rata Tepi Kiri)
Peringkat 3 (Huruf Besar Kecil, Tebal-Miring, Rata Tepi Kiri)
4.
Sistematika artikel hasil pemikiran adalah: judul, nama penulis (tanpa gelar akademik); Abstract
(berbahasa Inggris, maksimum 250 kata); Keywords; pendahuluan (tanpa judul) yang berisi latar belakang
dan tujuan atau ruang lingkup tulisan; bahasan utama (dapat dibagi ke dalam beberapa sub-bagian),
penutup atau kesimpulan; daftar rujukan.
5.
Sistematika artikel hasil penelitian adalah; judul, nama penulis (tanpa gelar akademik); Abstract
(berbahasa Inggris, maksimum 250 kata) yang berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian; Keywords;
pendahuluan (tanpa judul) yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian;
metode; hasil; pembahasan (atau hasil dan pembahasan diintegrasikan); kesimpulan dan saran; daftar
rujukan.
6.
Sumber rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan yang
diutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis, disertasi) atau
artikel-artikel penelitian dalam jurnal dan/atau majalah ilmiah.
7.
Perujukan dan pengutipan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama, tahun). Pencantuman sumber
pada kutipan langsung hendaknya disertai dengan keterangan tentang nomor halaman tempat asal kutipan.
Contoh (Davis, 2003: 47).
8.
Daftar rujukan disusun dengan tata cara seperti contoh berikut ini dan diurutkan secara alfabetis dan
kronologis.
Buku:
Mubyarto. 2000. Membangun Sistem Ekonomi. Yogyakarta: BPFE.
Buku Kumpulan Artikel:
Saukah, A. & Waseso, MG. (Eds.). 2002. Menulis Artikel untuk Jurnal Ilmiah (Edisi ke-4, cetakan ke-1) .
Malang: UM Press.
Artikel dalam buku kumpulan artikel:
Uphoff, N. (1999). Understanding Social Capital: Learning from the Analysis and Experience of
Participation. Dalam P . Dasgupta & I. Serageldin (Eds.). Social Capital: A Multifaceted Perspective (hlm.
215-249). Washington, D.C: The World Bank.
Artikel dalam jurnal atau majalah:
Witjaksono, M. 2006. Simulasi Teori Permainan Cooperative 3-IPD: Contoh Kasus Pengelolaan Usaha
Penambangan di Kecamatan Panggungrejo, Blitar. EKONOMI BISNIS. Th. 11, No. 1, hlm. 168-191.
JESP-Vol. 4, No. 2, 2012
ISSN 2086-1575
Artikel dalam koran:
Pitunov, B. 13 Desember, 2002. Sekolah Unggulan ataukah Sekolah Peunggulan? Majapahit Pos, hlm. 4 &
11.
Tulisan/berita dalam koran (tanpa nama pengarang):
KOMP AS-Cybermedia. "Industri Komponen Ngingas Meradang, Tapi Masih Mampu Bertahan". 02 April
2004.
Kapanlagi.Com. "Lima UKM Logam Harus Bayar Royalti." Rabu, 17 September 2008.
Dokumen Resmi:
BSNP . 2006. Standar Isi Mata Pelajaran Ekonomi SMA/MA. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan.
Buku terjemahan:
Skousen, M. 2001. Sang Maestro "Teori-teori Ekonomi Modern": Sejarah Pemikiran Ekonomi.
Terjemahan dari "The Making of Modern Economics - The Lives and Ideas of the Great Thinkers" oleh
T.W.B. Santoso, 2005. Jakarta: Prenada.
Pass, C. & Lowes, B. 1988. Kamus Lengkap Ekonomi, Edisi Kedua. Terjemahan dari "Dictionary of
Economics, 2nd Ed." oleh T. Rumapea & P . Haloho, 1994. Jakarta: Erlangga.
Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan penelitian:
Witjaksono, M. 2008. Modal Sosial dalam Dinamika Perkembangan Sentra Industri Logam Waru
Sidoarjo. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.
Makalah, Seminar, Lokakarya, Penataran:
Waseso, M.G. 2001. Isi dan Format Jurnal Ilmiah. Makalah disajikan dalam Seminar Lokakarya Penulisan
Artikel dan Pengelolaan Jurnal Ilmiah, Universitas Lambungmangkurat, Banjarmasin, 9- 11 Agustus.
Internet (karya individual):
Hitchcock, S., Carr, L. & Hall, W. 1996. A Survey of STM Online Journals. 1990- 1995: the Calm before
the Storm, (online), (http://journal.ecs.soton.ac.uk/survey.htm, diakses 12 Juni 1996).
Internet (artikel dalam jurnal online):
Angresano, J. 2007. Orthodox Economic Education, Ideology and Commercial Interests: Relationships that
Inhibit Poverty Alleviation. Post-Autistic Economics Review, Issue no. 44, 9 December 2007, pp. 37-58,
(http://www.paecon.net/PAEReview/issue44/Angresano44.pdf, diakses 02 April 2009).
Internet (bahan diskusi):
Wilson, D. 20 November 1995. Summary of Citing Internet Sites. NETTRAIN Discussion List, (online),
([email protected]. buffalo.edu, diakses 22 November 1995).
Internet (e-mail/blog pribadi):
Naga, D.S. ([email protected]). 1 Oktober 1997. Artikel untuk JIP . E- mail kepada Ali Saukah
([email protected]).
9.
Tata cara penyajian rujukan, tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam Pedoman Penulisan Karya
Ilmiah Universitas Negeri Malang (Edisi terbaru), atau mencontoh langsung tata cara yang digunakan
dalam artikel yang dimuat. Artikel berbahasa Indonesia menggunakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang disempurnakan (Depdikbud, 1987). Artikel Berbahasa Inggris menggunakan ragam baku,
seperti yang disarankan dalam: Menulis artikel untuk Jurnal Ilmiah, Edisi Juli 2006 . Editor: A. Saukah &
M.G. Waseso. Malang: Universitas Negeri Malang.
10.
Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari ( peer reviewers) yang ditunjuk oleh penyunting
menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi)
naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari atau penyunting.
11. Pemeriksaan atau penyuntingan cetak-coba (pre-print) dikerjakan oleh penyunting dan/atau dengan
melibatkan penulis. Artikel yang sudah dalam bentuk cetak-coba dapat dibatalkan pemuatannya oleh
penyunting jika diketahui bermasalah. Penyunting tidak berkewajiban mengembalikan artikel yang tidak
dimuat.
12.
Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan atau penggunaan software komputer untuk
pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HaKI yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut
konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggung jawab penulis artikel tersebut.
_______
jesp
Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan
Vol. 4, No. 2, Nopember 2012
Cover design: ©Van Mit 2011
Download