PELUANG PEMANFAATAN UBI JALAR SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL DAN MENDUKUNG DIVERSIFIKASI PANGAN Shannora Yuliasari dan Hamdan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu ABSTRAK Perubahan gaya hidup masyarakat yang mengarah kembali pada alam menyebabkan timbulnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan tubuhnya dengan penggunaan produk pangan fungsional. Bahan pangan yang saat ini banyak diminati konsumen tidak hanya memiliki komposisi gizi yang baik serta penampakan dan cita rasa yang menarik, tetapi juga mempunyai fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh. Perubahan pola pikir masyarakat ini menjadi momentum yang tepat untuk melakukan diversifikasi pangan. Karena zat gizi dan komponen bioaktif yang terkandung dalam ubi jalar, serta produksi ubi jalar yang cukup melimpah, maka ubi jalar berpotensi dikembangkan menjadi pangan fungsional seiring mendukung program diversifikasi pangan. Akan tetapi jika proses pengolahan dilakukan tanpa pengendalian dan perlindungan, zat gizi dan komponen bioaktif di dalam ubi jalar menjadi hilang percuma. Makalah ini bertujuan untuk memaparkan beberapa hasil penelitian mengenai kandungan gizi ubi jalar, dan pengaruh beberapa teknologi pengolahan terhadap kandungan gizi ubi jalar. Kata kunci : ubi jalar, pangan fungsional, diversikasi, komponen bioaktif. PENDAHULUAN Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pangan sehat maka tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga mulai bergeser. Bahan pangan yang saat ini banyak diminati konsumen tidak hanya memiliki komposisi gizi yang baik serta penampakan dan cita rasa yang menarik, tetapi juga mempunyai fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh. Perubahan pola pikir masyarakat ini menjadi momentum yang tepat untuk melakukan diversifikasi pangan pada menu harian. Pangan yang beragam menjadi penting mengingat tidak ada satu jenis pangan yang dapat menyediakan gizi yang lengkap bagi seseorang. Konsumsi pangan yang beragam meningkatkan kelengkapan asupan zat gizi karena kekurangan zat gizi dari satu jenis pangan akan dilengkapi dari pangan lainnya (Khomsan 2006). Aneka umbi seperti ubi jalar memiliki potensi yang baik untuk diolah dan dikembangkan menjadi anekaragam produk olahan. Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang dapat tumbuh dan berkembang di seluruh Indonesia. Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat non beras tertinggi keempat setelah padi, jagung, dan ubi kayu serta mampu meningkatkan ketersediaan pangan dan diversifikasi pangan di masyarakat. Sebagai sumber pangan, tanaman ini mengandung energi, β-karoten, vitamin C, niacin, riboflavin, thiamin, dan mineral. Oleh karena itu, komoditas ini memiliki peran penting, baik dalam penyediaan bahan pangan, bahan baku industri pangan maupun pakan ternak, serta bahan baku untuk pangan fungsional (Ambarsari 2009). Dari aspek budidaya, komoditas ubi jalar memiliki beberapa kelebihan, antara lain (1) tanaman ubi jalar berumur pendek, jangka waktu penanaman sampai panen membutuhkan waktu sekitar 4-5 bulan, (2) jumlah produksi per hektar relatif tinggi (15-30 ton/ha), (3) tanaman ubi jalar tidak mengenal musim, dapat ditanam pada musim kemarau atau hujan, (4) biaya produksi relatif rendah, serta (5) tingkat resiko kegagalan panen relatif kecil. Dengan pergiliran tanaman dan waktu tanam yang terencana, waktu panen ubi jalar dapat diatur sesuai kebutuhan sehingga kontinuitas komoditas ini dapat terjaga (Heriyanto et al., 2001). Di Indonesia, 89% produksi ubi jalar digunakan sebagai bahan pangan dengan tingkat konsumsi 7,9 kg/kapita/tahun, sedangkan sisanya dimanfaatkan untuk bahan baku industri, terutama saus, dan pakan ternak (Balitkabi 2008). Namun, pengembangan ubi jalar di Indonesia masih bersifat fluktuatif, sebagaiman tercermin dari data luas panen dan produksi ubi jalar yang naik turun. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan luas panen ubi jalar di Indonesia pada tahun 2008-2012 berturutturut adalah 174.600; 183.900; 181.100; 178.100; dan 179.300, dengan produksi masing-masing 1.881.800; 2.057.900; 2.051.000; 2.196.000; dan 2.297.800 ton (BPS, 2012). Provinsi Bengkulu merupakan salah satu daerah penghasil ubi jalar walaupun bukan merupakan daerah sentra ubi jalar. Luas panen dan produksi ubi jalar di Provinsi Bengkulu pada tahun 2008 sebesar 3.217 ha dan 30.682 ton, pada tahun 2009 menurun menjadi 2.197 ha dan 20.930, meningkat lagi pada tahun 2010 menjadi 2.900 ha dan 27.840 ton, kemudian menurun lagi pada tahun 2011 menjadi 2.734 ha dan 26.445 ton, dan pada tahun 2012 luas panen meningkat lagi menjadi 3.203 ha dengan produksi 30.980 ha (BPS Provinsi Bengkulu, 2012). Karena zat gizi dan komponen bioaktif yang terkandung dalam ubi jalar, serta produksi ubi jalar yang cukup melimpah, maka ubi jalar berpotensi dikembangkan menjadi pangan fungsional seiring mendukung program diversifikasi pangan. Makalah ini bertujuan untuk memaparkan beberapa hasil penelitian mengenai kandungan gizi ubi jalar, dan pengaruh beberapa teknologi pengolahan terhadap kandungan gizi ubi jalar. Konsep Pangan Fungsional Adanya perubahan gaya hidup masyarakat yang mengarah kembali pada alam menyebabkan timbulnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan tubuhnya dengan penggunaan produk pangan fungsional. Konsep pangan fungsional ini menjadi popular di banyak negara dunia khususnya beberapa Negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa termasuk sebagian masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan konsep pangan fungsional menawarkan konsumen untuk menata kesehatan tubuhnya sendiri merupakan daya tarik yang sangat diminati. Pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan (BPOM-RI, 2005). Pangan fungsional bukan berupa obat atau suplemen makanan sehingga bukan berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk yang berasal dari senyawa alami. Pangan fungsional dapat dikonsumsi bebas seperti makanan dan minuman pada umumnya, tanpa adanya batasan dosis tertentu. Tidak seperti obat yang digunakan untuk mengobati suatu penyakit, pangan fungsional lebih ditujukan untuk penurunan risiko, perlambatan atau pencegahan penyakit tertentu. Yang paling utama adalah mencegah penyakit degeneratif dan meningkatkan daya tahan tubuh khususnya pada proses pemulihan pasca sakit. Pangan fungsional bisa mengandung serat makanan, asam lemak, vitamin atau mineral tertentu, produk pangan yang ditambahkan dengan komponen bioaktif seperti komponen fitokimia atau komponen antioksidan lainnya atau mengandung probiotik. Dilihat dari ada tidaknya proses pengolahan, maka pangan fungsional bisa dalam bentuk segar atau dalam bentuk pangan olahan. Pada pangan olahan, karakteristik sebagai pangan fngsional bisa muncul karena adanya komponen aktif di dalam bahan baku, terbentuknya komponen aktif karena proses pengolahan dan atau adanya penambahan komponen aktif ke dalam produk (Syamsir 2012). Saat ini penggunaan pangan fungsional untuk kesehatan telah berkembang pesat, salah satu faktor pendukungnya adalah keinginan banyak orang untuk meningkatkan kesehatan dengan cara yang alami. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai efek samping yang merugikan dari konsumsi obat-obatan kimiawi yang telah banyak terbukti, sehingga timbul keinginan untuk menggunakan bahan-bahan dari alam untuk meningkatkan kesehatan. Banyak komponen bioaktif pangan saat ini diketahui mempunyai efek positif terhadap kesehatan. oleh karena itu penggunaan pangan yang diketahui mengandung senyawa bioaktif merupakan hal yang sangat bermanfaat. Pangan yang kita konsumsi sehari-hari pada kenyataannya mengandung ribuan senyawa bioaktif, banyak diantaranya yang memiliki cukup potensi untuk meningkatkan kesehatan. Kekurangan zat gizi dan peningkatan pemaparan senyawa xenobiotik dari makanan atau lingkungan yang terpolusi mengakibatkan manusia rentan terhadap penderitaan akibat stress oksidatif. Stres oksidatif dapat menyebabkan penyakit degeneratif, seperti kanker dan aterosklerosis serta terganggunya sistem imun tubuh (Zakaria, 1996). Stres oksidatif juga akan dapat merusak protein, lemak dan DNA yang dapat menyebabkan penyakit degeneratif seperti sakit hati dan kanker. Pada kondisi stress oksidatif aktivitas molekul radikal bebas atau spesies oksigeneaktif (SOR) dapat menyebabkan kerusakan seluler atau genetis. Jika radikal tidak diinaktivasi maka reaksi kimianya dapat merusak makromolekul termasuk lipoprotein berdensitas rendah (LDL). Kadar radikal bebas di dalam tubuh dapat meningkat melalui beberapa proses, antara lain aktivitas fisik yang meningkat sehingga metabolisme juga meningkat, sinar ultraviolet dari matahari, radiasi, dan toksin. Padahal kehidupan dengan aktivitas fisik berat dan pengaruh lingkungan yang menyebabkan terbentuknya radikal bebas sulit dihindari. Antioksidan diketahui dapat mencegah dan menangkal terbentuknya radikal bebas (Jawi et al. 2008). Kandungan Gizi Ubi Jalar Komoditas ini mengandung air 59-69%, abu 0,68-1.69%(bk), protein 3,71-6,74%(bk), lemak 0,26-1,42%(bk) dan karbohidrat 91,42-93,45%(bk). Komposisi tersebut menunjukkan bahwa ubi jalar merupakan sumber karbohidrat atau energi yang sangat potensial dikembangkan untuk penganekaragaman konsumsi pangan. Menurut Suprapti, L. (2003), ubi jalar memiliki rasa manis yang khas. Rasa manis akan muncul jika ubi jalar disimpan selama beberapa hari sebelum diolah. Rasa manis muncul karena terjadi perubahan karbohidrat menjadi glukosa selama penyimpanan. Perubahan tersebut ada yang terjadi sebesar 10% dari total karbohidrat dan ada pula yang mencapai 25%. Selain sebagai sumber karbohidrat, ubi jalar juga merupakan sumber vitamin dan mineral. Diharapkan dengan mengonsumsi ubi jalar sebagai makanan tambahan dapat meningkatkan asupan vitamin A dan C yang pada beras sangat rendah kadarnya. Ubi jalar mengandung vitamin A dalam bentuk pro-vitamin A sampai mencapai 7000 IU/100g. Mineral Ca pada ubi jalar cukup tinggi yakni sekitar 30 mg/100g bahan (Astawan dan Widowati 2005). Selain mengandung zat-zat gizi yang sangat diperlukan oleh tubuh, ubi jalar juga mengadung zat anti gizi yakni tripsin inhibitor, dengan jumlah 0,26 – 43,6 IU/100g ubi jalar segar. Tripsin inhibitor tersebut akan menutup gugus aktif enzim tripsin sehingga aktivitas enzim tersebut terhambat dan tidak dapat melakukan fungsinya sebagai pemecah protein. Namun demikian, aktivitas tripsin inhibitor tersebut dapat dihilangkan dengan pengolahan sederhana yakni dengan cara pengukusan, perebusan dan pemasakan. Namun terdapat juga senyawa lain yang tidak menguntungkan pada ubi jalar adalah senyawa-senyawa penyebab flatulensi. Flatulens disebabkan oleh beberapa jenis gula oligosakarida seperti stakiosa, rafinosa dan verbaskosa. Komponen gas yang dominan yang keluar adalah gas karbondioksida dan gas hidrogen sulfida. Dalam jumlah kecil juga dihasilkan gas metana, nitrogen dan oksigen. Oligosakarida penyebab flatulens ini tidak dapat dicerna oleh bakteri karena tidak adanya enzim galaktosidase, tetapi dapat difermentasi oleh bakteri pada usus besar (kolon). Oligosakarida menjadi sumber subrat yang baik bagi pertumbuhan bakteri baik (bakteri asam laktat) dalam kolon. Ubi jalar, khususnya ubi jalar ungu mempunyai kandungan antosianin tinggi. Suprapta (2004) melaporkan ubi jalar ungu mengandung antosianin yang cukup tinggi, yaitu 110-210 mg/100g. Senyawa antosianin berfungsi sebagai antioksidan dan penangkap radikal bebas, sehingga berperan dalam mencegah terjadinya penuaan, kanker, dan penyakit degenerative seperti arteriosklerosis. Selain itu, antosianin juga memiliki kemampuan sebagai antimutagenik dan antikarsinogenik terhadap mutagen dan karsinogen yang terdapat pada bahan pangan dan produk olahannya, mencegah gangguan fungsi hati, antihipertensi, dan menurunkan kadar gula darah (antihiperglisemik) (Jusuf et al., 2008). Pengaruh Beberapa Teknologi Pengolahan terhadap Kandungan Gizi Ubi Jalar Pengolahan ubi jalar menjadi tepung adalah salah satu usaha untuk mendapatkan produk setengah jadi dari komoditas ini sehingga mampu memperbanyak aplikasi dan daya simpan komoditas ini pada masa-masa berikutnya. Beberapa hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa tepung ubi jalar yang dihasilkan memiliki kadar protein rata-rata mencapai 3.18% (dengan kisaran antara 2,11-4,46%) (Ambarsari et al., 2009). Selain jenis/varietas ubi jalar itu sendiri, kandungan protein pada tepung ubi jalar juga dipengaruhi oleh proses pengupasan pada saat produksi. Menurut Woolfe (1992), kandungan protein tertinggi pada ubi jalar terletak pada lapisan terluar daging umbi, yang berdekatan dengan kulit luar. Adanya proses pengupasan yang berlebihan menyebabkan bagian daging ubi jalar yang kaya protein menjadi ikut terbuang. Kandungan karbohidrat rata-rata pada tepung yang dihasilkan dari beberapa jenis ubi jalar di Indonesia adalah 83.8% % (Ambarsari et al. 2009). Menurut Winarno (2002), kadar karbohidrat memiliki peranan penting dalam menentukan karakteristik suatu bahan makanan, baik rasa, warna, tekstur, dan lain sebagainya. Andarwulan (2008) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan penurunan daya cerna pati (karbohidrat) yaitu penggunaan suhu yang terlampau tinggi pada saat proses pengolahan, interaksi antara pati dengan komponen non pati, dan jumlah pati tahan cerna (resistant starch) yang terdapat dalam pati. Komponen bioaktif ubi jalar yang sangat rentan terhadap kondisi lingkungan adalah beta karoten. Beta karoten yang sensitif terutama terhadap oksigen dan cahaya. Adanya ikatan rangkap pada struktur kimia beta karoten, menyebabkan bahan ini menjadi sangat sensitif terhadap reaksi oksidasi ketika terkena panas, udara (O2), cahaya, dan logam selama proses produksi maupun aplikasinya. Kandungan beta karoten yang sudah menyusut selama proses pengolahan tepung ini akan semakin menyusut pada proses aplikasinya (misalnya untuk pembuatan roti atau mie kering). Kondisi ini terjadi jika proses pengolahan dilakukan tanpa pengendalian dan perlindungan, sehingga pada akhirnya kandungan beta karoten yang seharusnya bermanfaat tinggi menjadi hilang percuma. Hasil penelitian Erawati (2006) menyatakan titik-titik kendali selama proses produksi berdasarkan faktorfaktor penyebab kerusakan struktur trans beta karoten adalah pada tahap blanching, pengeringan dan penepungan. Pengaruh proses blanching menyebabkan penurunan kadar trans beta karoten sebesar 20,47% untuk tepung ubi jalar klon BB dan 15,03% untuk tepung ubi jalar varietas sewu. Pengaruh pengeringan dengan suhu yang sama (500 oC) terhadap kadar beta karoten diperkirakan mengalami kehilangan kadar beta karoten berdasarkan nilai C kromamater sebesar 38,38% dari bahan mentahnya jika pengeringan dilakukan selama selama 4 jam, dan sebesar 40,5% jika pengeringan dilakukan selama 24 jam. Dengan pengendalian proses produksi diperoleh tepung ubi jalar oranye dengan kadar trans beta karoten pada kisaran 103,94 hingga 207,39 ppm lebih besar daripada kadar trans beta karoten pada tepung ubi jalar kuning yang dijual di pasaran yaitu sebesar 0,78 ppm. Jing et al (2010) juga telah melakukan peneltian pengaruh proses pengeringan terhadap komponen bioaktif ubi jalar. Perlakuan proses pengeringan yang diberikan meliputi pengeringan konvensional (oven), microwave, dan pengeringan beku vakum (vacuum-freeze dried). Pengeringan dengan oven konvensional dan microwave menurunkan kandungan beta karoten ubi jalar menjadi 28,5 mg/100g (bk), sedangkan pengeringan beku vakum dapat mempertahankan kadar beta karoten ubi jalar relatif hampir sama dengan kadar karoten pada ubi jalar segar, yaitu 39,1 mg/100g (bk). Proses pengeringan juga menyebabkan penurunan asam askorbat dalam ubi jalar sebesar 16,4-41,8%. Pengeringan dengan microwave menghasilkan penurunan kadar asam askorbat yang paling rendah (22,75 mg/100g, bk). Hal ini disebabkan karena suhu yang digunakan pada proses pengeringan dengan microwave adalah 95-105 oC, sedangkan pada pengeringan konvensional hanya 65 oC dan pengeringan beku -20 oC. Kadar senyawa fenolik pada ubi jalar yang dikeringkan dengan microwave justru paling tinggi dibandingkan dengan ubi jalar yang dikeringkan dengan metode lain. Tingginya kandungan senyawa fenolik ini dapat dihubungkan dengan pelepasan senyawa fenolik yang terikat dalam struktur sel ubi jalar selama perlakuan pemanasan. Selain kandungan gizi yang cukup lengkap, ubi jalar juga mengandung zat antigizi yaitu antitripsin, antikimotripsin dan rafinosa. Antitripsin dan antikimotripsin mampu menghambat aktivitas proteolitik enzim tripsin dan kimotripsin (Djuanda 2003). Namun kerja zat antigizi ini tidak akan aktif setelah bahan menjadi matang akibat pengolahan/pemanasan. KESIMPULAN Karena zat gizi dan komponen bioaktif yang terkandung dalam ubi jalar, serta produksi ubi jalar yang cukup melimpah, maka ubi jalar berpotensi dikembangkan menjadi pangan fungsional seiring mendukung program diversifikasi pangan. Akan tetapi jika proses pengolahan dilakukan tanpa pengendalian dan perlindungan, zat gizi dan komponen bioaktif di dalam ubi jalar menjadi hilang percuma. Adanya proses pengupasan yang berlebihan menyebabkan bagian daging ubi jalar yang kaya protein menjadi ikut terbuang. Komponen bioaktif ubi jalar yang sangat rentan terhadap kondisi lingkungan adalah beta karoten. DAFTAR PUSTAKA Ambarsari, I., Sarjana dan Choliq A. 2009. Rekomendasi Dalam Penetapan Standar Mutu Tepung Ubi Jalar. Jurnal Standarisasi Vol 11 (3), 212-219. Andarwulan, N. 2008. Nilai Kalori Pangan Sumber Karbohidrat. Food Review Indonesia. http://www.foodreview.biz/preview.php?view&id=55622 BPOM-RI. 2005. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Jakarta. BPS. 2012. Statistik Indonesia 2012. Badan Pusat Statistik Indonesia. Jakarta. BPS Provinsi Bengkulu. 2012. Bengkulu Dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu. Bengkulu. Djuanda, V. 2003. Optimasi Formulasi Cookies Ubi Jalar Berdasarkan Kajian Preferensi Konsumen [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian., IPB . Bogor. Erawati, C.M. 2006. Kendali Stabilitas Beta Karoten Selama Proses Produksi Tepung Ubi Jalar [Tesis}. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor. Erliana Ginting, Sri Satya Antarlina, Joko Susilo Utomo dan Ratnaningsi. 2006. Teknologi Pascapanen Ubi Jalar Mendukung Diversifikasi Pangan dan Pengembangan Agroindustri. Buletin Palawija No. 11. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Jawi I.M., Suprapta, DN, Subawa AAN. 2008. Ubi Jalar Ungu Menurunkan Kadar MDA Dalam Darah dan Hati Mencit Setelah Aktivitas Fisik Maksimal. Jurnal Veteriner Vol 9 (2). Puslitbangnak. Bogor. Hal; 65-72. Jing, Y., Jin-Feng, C., Yu-Ying, Z., Lin-Chun, M. 2010. Effects of Drying Processes on the Antioxidant Properties in Sweet Potatoes. Agricultural Sciences in China 9(10): 1522-1529. Jusuf M, Rahayuningsih A, Ginting E. 2008. Ubi jalar ungu. Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesia Vol 30. No. 4 13-14. Khomsan A. 2006. Beras dan Diversifikasi Pangan. Kompas. http://kompas.com/kompascetak/0612/21/opini/3190395.htm, 21 Desember 2006 [diakses 5 Desember 2012] Suprapta DN, Antara M, Arya N, Sudana M, Duniaji AS, Sudarma M. 2004. Kajian aspek pembibitan, budidaya, dan pemanfaatan umbi-umbian sebagai sumber pangan alternatif. Laporan Hasil Penelitian. Kerjasama BAPEDA Propinsi Bali dengan Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Suprapti, L. 2003. Tepung Ubi Jalar : Pembuatan dan Pemanfaatannya. Kanisius.Yogyakarta. Syamsir E. 2012. Pangan fungsional dari pangan tradisional. http://ilmupangan.blogspot.com/2012/02/pangan-fungsional-dari-pangan.html Winarino, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Woolfe, J.A. 1992. Sweet Potato: An Untapped Food Resource. Cambridge University Press, Australia.