1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu wilayah yang berada di tropika basah
(Subowo, 2010). Menurut William dan Joseph (1976), masalah utama dalam
pertanian di kawasan tropika basah antara lain rendahnya kandungan hara tanah,
ketersediaan bahan organik tanah, dan kemampuan tanah menahan air.
Ketersediaan unsur hara dalam tanah merupakan faktor pendukung utama untuk
pertumbuhan tanaman (Subowo, 2010). Pengembangan pertanian pada lahan
tersebut memerlukan pengolahan tanah yang intensif agar faktor pendukung
pertumbuhan tanaman tetap tinggi. Pemupukan merupakan salah satu bagian
usaha intensifikasi pertanian yang bertujuan untuk menambah persediaan unsur
hara yang dibutuhkan tanaman (Martanto, 2001).
PT. Petrokimia Gresik merupakan salah satu pabrik yang memproduksi
pupuk di Indonesia. Perusahaan ini berstatus BUMN (Badan Usaha Milik Negara)
dalam lingkup Departemen industri dan perdagangan. PT. Petrokimia Gresik
memproduksi beberapa jenis pupuk, antara lain : Super Phospat, NPK Phonska,
Urea, dan Zwalverzuur Ammonium (ZA). Pada tahun 2005 jumlah pupuk yang
diproduksi PT. Petrokimia Gresik mencapai 4.430.000 Ton pertahun, dan pupuk
ZA yang dihasilkan mencapai 250.000 Ton pertahun (Anonimb, 2012).
Proses produksi pupuk ZA PT. Petrokimia Gresik menghasilkan produk
samping yang berupa senyawa campuran yang komponen utamanya adalah
1
2
senyawa kapur (CaCO3). Produk samping tersebut dihasilkan dalam jumlah besar
dan belum seluruhnya dimanfaatkan secara optimal. Sehingga produk samping
yang belum dimanfaatkan dan terus terproduksi tersebut akan terakumulasi dalam
jumlah besar dan dikhawatirkan akan mencemari lingkungan sekitar.
Berdasarkan hal tersebut, uji ketoksikan produk samping kapur pembuatan
pupuk ZA PT. Petrokimia Gresik perlu dilakukan untuk mengetahui efek toksik
yang ditimbulkan dari produk samping tersebut. Salah satu uji toksisitas yang
perlu dilakukan yaitu uji ketoksikan subkronis. Hasil uji ketoksikan subkronis
produk samping tersebut diharapkan dapat memberikan beberapa informasi yang
dapat berguna bagi PT. Petrokimia Gresik dalam melakukan pengolahan produk
samping tersebut dengan lebih baik.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan yang dapat
dirumuskan dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah pengaruh pemberian produk
samping kapur dari pembuatan pupuk ZA PT. Petrokimia Gresik secara berulang
selama 90 hari pada tikus jantan dan betina galur Sprague-Dawley (SD) terhadap :
1. Gejala-gejala klinis, wujud, dan spektrum efek toksik yang ditimbulkan?
2. Perubahan berat badan, asupan makanan, dan asupan minuman?
3. Parameter biokimia darah (glukosa darah, kolesterol total, urea darah, kreatinin
total, albumin, protein total, bilirubin, SGPT, dan SGOT) paska perlakuan (hari
ke-90)?
3
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui gejala-gejala klinis,
wujud, dan spektrum efek toksik yang ditimbulkan akibat pemberian produk
samping kapur dari pembuatan pupuk ZA PT. Petrokimia Gresik secara berulang
selama 90 hari. Selain itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh
pemberian produk samping kapur tersebut terhadap asupan makanan, asupan
minuman, dan parameter kimia darah (glukosa, bilirubin, albumin, urea, kreatinin,
total protein, total kolesterol, SGPT, dan SGOT).
D. Manfaat Penelitian
Hasil uji toksisitas subkronis produk samping kapur dari pembuatan pupuk
ZA PT. Petrokimia Gresik diharapkan dapat memberikan beberapa informasi yang
dapat berguna dalam pengolahan produk samping tersebut dengan lebih baik.
Sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal tanpa membahayakan kesehatan
lingkungan.
E. Tinjauan Pustaka
1. Toksikologi
a. Definisi dan ruang lingkup toksikologi
Toksikologi merupakan ilmu yang mempelajari aksi berbahaya
suatu zat kimia terhadap sistem biologis tertentu (Loomis, 1978). Lu
(1995) mendefinisikan toksikologi secara sederhana dan ringkas sebagai
ilmu yang mempelajari tentang hakikat dan mekanisme efek toksik
4
berbagai bahan terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya.
Sedangkan menurut Hodgson dan Levi (1997), toksikologi merupakan
ilmu yang berkaitan dengan racun. Racun sendiri merupakan suatu zat
kimia yang apabila dipaparkan baik secara disengaja ataupun tidak
disengaja dapat menimbulkan efek yang berbahaya bagi makhluk hidup.
Dalam ilmu kedokteran, toksikologi diartikan sebagai ilmu antar
bidang yang meliputi biologi, kimia, biokimia, dan sistem biologi. Karena
luasnya cakupan toksikologi, maka ruang lingkup toksikologi dibagi
menjadi tiga kajian pokok, yakni toksikologi lingkungan, toksikologi
ekonomi, dan toksikologi hukum (Donatus, 2001).
Toksikologi lingkungan mengkaji pemejanan yang tidak disengaja
zat kimia yang berupa pencemar lingkungan, makanan, minuman, atau air
terhadap jaringan biologis (lebih khusus terhadap manusia). Toksikologi
ekonomi menguraikan tentang pengaruh berbahaya zat kimia terhadap
jaringan biologis yang dipejankan secara sengaja dengan maksud untuk
mencapai pengaruh atau efek khas, contohnya obat, makanan, dan
pestisida. Toksikologi kehakiman menangani aspek hukum dan aspek
medis atas pengaruh berbahaya zat kimia yang dipejankan baik secara
sengaja maupun tidak sengaja pada manusia (Gallo, 1996; Loomis, 1978;
Polkis, 1996).
Ruang lingkup toksikologi diatas dibedakan bukan berdasarkan zat
beracun akan tetapi berdasarkan sifat pemejanan terhadap diri makhluk
hidup dan cakupan pokok kajiannya. Lingkup toksikologi lain yang masih
5
berkembang yaitu toksikologi klinik yang mengkaji penatalaksanaan
keracunan zat beracun (Donatus, 2001).
b. Asas umum toksikologi
Menurut Donatus (2001), dalam mempelajari toksikologi perlu
memahami empat asas utama toksikologi jika dilihat dari alur peristiwa
timbulnya efek toksik, yaitu kondisi pemejanan dan kondisi makhluk
hidup, mekanisme aksi, wujud dan sifat efek toksik.
Kondisi pemejanan mencakup semua faktor yang menentukan
keberadaan zat toksik pada tempat aksi dalam suatu jaringan biologis.
Yang termasuk kondisi pemejanan meliputi jenis pemejanan (akut dan
kronis), jalur pemejanan (intra vena, subkutan, inhalasi, intra peritoneal,
intra muskular, oral, dermal), lama dan kekerapan pemejanan, saat
pemejanan, serta takaran pemejanan (Donatus, 2001).
Kondisi makhluk hidup mencakup kondisi fisiologi dan patologi
makhluk hidup yang mempengaruhi ketersediaan zat toksik di tempat aksi
dan keefektifan antar aksi. Yang termasuk kondisi patologi antara lain :
penyakit saluran cerna, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan lain-lain.
Sedangkan yang termasuk kondisi fisiologi antara lain : umur, berat badan,
jenis kelamin, waktu pengosongan lambung, suhu tubuh, status gizi,
kecepatan aliran darah, dan lain-lain (Donatus, 2001).
Mekanisme aksi berbahaya zat beracun dibedakan menjadi dua,
yaitu mekanisme luka intrasel (langsung) dan mekanisme luka ekstrasel
(tidak langsung). Mekanisme luka intrasel meliputi membran, protein, dan
6
pasokan energi. Sedangkan mekanisme aksi ekstrasel meliputi pasokan
oksigen, pasokan zat hara, cairan, mekanisme pengaturan, sistem syaraf,
dan sistem imun (Donatus, 2001).
Wujud efek toksik suatu zat beracun dapat berupa perubahan
fungsional, biokimia, dan struktural (Donatus, 2001).
Sifat efek toksik dari suatu zat beracun dibedakan menjadi dua
yaitu efek toksik yang dapat terbalikan dan efek toksik yang tidak
terbalikan (Donatus, 2001).
Spektrum efek toksik dapat dibedakan dua, yaitu efek lokal dan
efek sistemik. Efek lokal diakibatkan oleh suatu senyawa kaustik misalnya
pada saluran percernaan, bahan korosif pada kulit dan iritasi gas atau uap
pada saluran nafas. Efek lokal seperti ini memperlihatkan terjadinya
kerusakan umum pada sel-sel hidup. Efek sistemik terjadi hanya setelah
zat beracun diabsorbsi dan tersebar ke bagian lain dalam tubuh. Umumnya
zat toksik hanya berpengaruh pada satu atau beberapa organ saja. Organ
seperti ini dinamakan organ sasaran (Lu, 1995).
c. Uji Toksikologi
Uji toksikologi mencakup serangkaian pengaruh pemejanan zat
toksik pada berbagai tingkat dosis dengan waktu pemberian bervariasi,
serta menunjukkan organ sasaran, sistem yang terpengaruh, atau toksisitas
khusus yang muncul. Oleh karena itu, uji toksikologi suatu obat yang
dilakukan pada hewan uji merupakan sumber data utama dalam evaluasi
toksikologi (Lu, 1995).
7
Menurut Loomis (1978), uji toksikologi dibedakan menjadi dua,
yakni uji ketoksikan khas dan uji ketoksikan tak khas. Yang dimaksud
dengan uji ketoksikan khas yaitu uji toksikologi yang dimaksudkan untuk
mengevaluasi secara rinci efek yang khas suatu senyawa pada berbagai
jenis hewan uji. Uji ketoksikan khas meliputi uji kekarsinogenikan,
kemutagenikan, keteratogenikan, reproduksi, kulit dan mata, dan lain-lain.
Sedangkan Uji ketoksikan tak khas merupakan uji toksikologi yang
dimaksudkan untuk mengevaluasi secara keseluruhan atau spektrum efek
berbahaya suatu senyawa pada berbagai jenis hewan uji. Uji ketoksikan
tak khas meliputi :
1) Uji ketoksikan akut, yaitu uji ketoksikan yang dimaksudkan untuk
mengetahui nilai LD 50 dan dosis maksimal yang masih dapat
ditoleransi oleh hewan uji, dimana hasilnya akan diekstrapolasi pada
manusia. Pengamatan dilakukan selama 24 jam, kecuali pada kasus
tertentu selama 7-14 hari (Auletta, 2002; Loomis, 1978).
2) Uji ketoksikan subkronis atau disebut juga subakut adalah uji
ketoksikan suatu senyawa yang dipejankan dengan dosis berulang pada
hewan uji tertentu. Umumnya dilakukan dengan menggunakan tiga
dosis, selama kurang dari tiga bulan dan menggunakan 2 spesies yang
berbeda (Donatus, 2001).
3) Uji ketoksikan kronis, pada dasarnya hampir sama dengan uji
ketoksikan subkronis. Perbedaan terletak pada lamanya pemberian yaitu
8
selama lebih dari tiga bulan atau sebagian besar masa hidup hewan uji
(Donatus,2001).
2. Uji Ketoksikan Subkronis
Uji toksisitas subkronis merupakan uji ketoksikan suatu senyawa
yang dipejankan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu selama
kurang dari tiga bulan. Uji ini ditujukan untuk mengevaluasi spektrum
efek toksik sediaan uji serta untuk mengetahui apakah spektrum efek
toksik tersebut berkaitan dengan takaran dosis (Donatus, 2001).
Dalam uji ketoksikan subkronis dilakukan beberapa pengamatan
dan pemeriksaan, antara lain : perubahan bobot badan hewan uji yang
diukur paling tidak 7 hari sekali, purata asupan makanan dan minuman
masing-masing hewan atau kelompok hewan setiap minggu, gejala-gejala
klinis yang diamati setiap hari, pemeriksaan hematologi dan kimia darah
yang dilakukan paling tidak 2 kali pada awal dan akhir pemejanan,
pemeriksaan urin yang dilakukan paling tidak sekali, dan pemerikasaan
histopatologi organ yang dilakukan di akhir penelitian (Auletta, 2002;
Loomis, 1978).
Hasil uji ketoksikan subkronis akan memberikan informasi utama
tentang efek berbahaya sediaan uji dan organ sasaran yang dipengaruhinya
serta perkembangan efek toksik yang lambat berkaitan dengan takaran
yang tidak teramati pada uji ketoksikan akut (Donatus, 2001).
9
3. Guideline OECD 408
OECD
(Organisation
for
Economic
Co-Operation
and
Development) merupakan lembaga yang menyediakan sebuah forum yang
bekerja sama untuk berbagi pengalaman dan mencari solusi untuk
masalah-masalah umum. Masalah-masalah umum tersebut mencakup halhal yang mendorong perubahan ekonomi, sosial dan lingkungan. OECD
juga mengamati perkembangan produktivitas dan arus perdagangan global
dan investasi. Organisasi ini menganalisis dan membandingkan data untuk
memprediksi tren masa depan. Selain itu, OECD berperan penting dalam
menetapkan standar internasional tentang berbagai hal, seperti pertanian,
pajak ataupun keamanan bahan kimia (Anonimc, 2013).
OECD sudah banyak menghasilkan guideline untuk berbagai
penelitian, salah satunya yaitu OECD Guideline for the Testing of
Chemicals. Guideline ini merupakan acuan standar dalam pengujian
keamanan dari berbagai bahan kimia yang ada di dunia. Pada penelitian ini
digunakan OECD 408 Repeated Dose 90-days Oral Toxicity Study in
Rodents. Guideline ini telah direvisi berulang kali dan Updated Version
Guidelines untuk Guideline OECD 408 adalah yang direvisi pada 21
September 1998. Prinsip uji ini yaitu pemejanan bahan kimia pada hewan
uji secara oral setiap hari dengan dosis bertingkat selama 90 hari, satu
tingkatan dosis untuk satu kelompok hewan uji. Selama penelitian
dilakukan pengamatan gejala-gejala klinik yang terjadi pada hewan uji.
Selain itu juga dilakukan pengamatan tambahan selama 14 hari (setelah
10
hari ke-90) tanpa pemejanan sediaan uji yang dimaksudkan untuk melihat
adanya kemungkinan terjadinya gejala keracunan, resistensi ataupun
penyembuhan yang tertunda. Hewan yang mati atau dikorbankan selama
tes ini dinekropsi. Pada akhir penelitian, seluruh hewan uji yang masih
hidup dikorbankan dan dilakukan nekropsi (Anonima, 1998).
4. Produk Samping Kapur Pembuatan Pupuk ZA PT. Petrokimia Gresik
Dalam Peraturan Pemerintahan R.I. Nomor 18 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, B3 yaitu “Semua
bahan/senyawa baik padat, cair, ataupun gas yang mempunyai potensi
merusak terhadap kesehatan manusia serta lingkungan akibat sifat-sifat
yang dimiliki senyawa tersebut”. Limbah B3 berdampak fatal terhadap
lingkungan sekitar. Oleh karena itu, sebelum dibuang ke lingkungan,
limbah B3 harus diolah terlebih dahulu (Wijanto, 2005).
Pada proses produksi pupuk ammonium sulfat (ZA), PT.
Petrokimia Gresik menghasilkan produk samping kapur kurang lebih
250.000 ton/tahun. Produk samping tersebut berbentuk serbuk (200 mesh),
berwarna putih kecoklatan dan putih pada kadar air rendah. Produk
samping pembuatan pupuk ZA PT. Petrokimia Gresik memiliki pH 7,67,7; Bulk density 1,2 Ton/m3; dan sedikit kelarutan dalam air. Kandungan
utamanya adalah kalsium karbonat (CaCO3) yaitu 86,7%, dan kandungan
lainnya adalah kalsium sulfat dihidrat (CaSO4.2H2O) 4,7%; ammonium
karbonat (NH4CO3) 0,05%; innert solid (SiO2) 6,3%; dan sedikit sisa
11
pupuk ZA ((NH4)2SO4) 2,3%. Kandungan tersebut dihitung berdasarkan
bobot kering sebesar 75% dan air (H2O) 25% (Anonimb, 2012).
Saat ini telat banyak dilakukan pengujian tentang produk samping
pembuatan pupuk ZA PT. Petrokimia Gresik. Produk samping tersebut
telah memenuhi baku Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP).
Selain itu, juga telah dilakukan analisis logam berat terhadap produk
tersebut sesuai batasan SK Mentan nomor 02/2006 yang dilakukan oleh
laboratorium Corelab dan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL).
Berdasarkan PP 18/1999 jo. 85/1999, produk ini tidak termasuk limbah B3
(non hazardous waste), akan tetapi karena jumlahnya begitu banyak,
produk ini dikategorikan sebagai limbah B3. Pengujian yang belum
dilakukan terhadap produk samping tersebut yaitu uji toksisitas subkronis
dan kronis (Anonimb, 2012).
Sebelum dilakukan pengujian tentang sifat dari produk samping ini,
masyarakat banyak memanfaatkan bahan tersebut untuk tanah urug. Akan
tetapi setelah dilakukan banyak pengujian dan dikategorikan sebagai
limbah B3, pemanfaatan produk samping tersebut kemudian dihentikan.
Saat ini, produk samping kapur tersebut telah dimanfaatkan sebagai kapur
pertanian (100.000 ton/tahun), Petroklasipalm (10.000 ton/tahun), dan
kalsinasi (60.000 ton/tahun). Berdasarkan data tersebut, produk samping
yang masih tersisa adalah sebanyak 80.000 ton/tahun yang masih disimpan
dan dikelola dalam gudang terbuka. Sisa produk samping tersebut telah
dikelola dengan baik dengan penataan secara terasering, pengaturan air
12
hujan,
penghijauan,
sumur
pantau,
dan
lain-lain.
Selain
itu,
pemanfaatannya juga masih ditingkatkan. PT. Petrokimia Gresik
berencana untuk memanfaatkan produk samping kapur ini sebagai bahan
timbunan reklamasi pantai dan material konstruksi untuk kepentingan
pengembangan pabrik (Anonimb, 2012).
5. Parameter Kimia Darah
Analisis parameter kimia darah merupakan analisis yang penting
dalam toksikologi. Analisis ini dapat digunakan untuk menetapkan,
mendeteksi dan mengkarakterisasi efek toksik yang ditimbulkan oleh
senyawa toksik dilihat dari abnormalitas biokimiawi (Street, 1970). Selain
itu, analisis ini juga berperan penting dalam evaluasi organ target spesifik
dari senyawa toksik dan memberikan informasi yang penting untuk
memahami proses terjadinya penyakit (Gad, 2007).
Pada keadaan kondisi fisiologis yang normal, konsentrasi kimia
darah pada manusia dan hewan percobaan berada pada kisaran dengan
batas yang sempit. Konsentrasi komponen kimia dalam tubuh secara
normal diatur dan dipengaruhi oleh kecepatan sintesis tubuh, kecepatan
pemasukan dan pengeluaran dari sirkulasi, serta cairan tubuh. Akan tetapi
pada kondisi dimana regulasi homeostasis terganggu, baik karena
kekurangan nutrisi maupun karena sakit yang disebabkan oleh zat kimia
yang dapat meracuni organ, dapat menyebabkan perubahan biosintesis
kimia darah yang nantinya akan menyebabkan perubahan konsentrasi
kimia darah dalam sirkulasi. Oleh karena itu, pengamatan perubahan
13
konsentrasi kimia darah dapat memberikan gambaran patogenesis dari
organ yang menjadi target spesifik senyawa, selain itu juga memberikan
informasi tentang perkembangan atau perbaikan jaringan yang terluka
(Grasso, 2002).
a. Glukosa
Glukosa merupakan suatu senyawa monosakarida dan salah satu
karbohidrat terpenting yang digunakan sebagai sumber tenaga utama
dalam tubuh. Glukosa merupakan prekursor untuk sintesis semua
karbohidrat lain di dalam tubuh seperti glikogen, ribose dan
deoksiribose dalam asam nukleat, galaktosa dalam laktosa susu, dan
proteoglikan dalam glikoprotein (Murray, 2003).
Glukosa merupakan bahan bakar bagi sebagian besar fungsi sel,
sehingga prioritas utama dalam homeostasis adalah penyediaan glukosa.
Oleh karena itu, dengan pengukuran kadar glukosa darah dapat
memberikan informasi apakah homeostasis tubuh berjalan normal atau
tidak. Jika kadar glukosa darah tidak berada pada kisaran normal berarti
proses homeostasis terganggu (Widmann, 1989).
Metabolisme glukosa bergantung dari kebutuhan tubuh terhadap
glukosa. Apabila asupan melibihi kebutuhan, maka kebutuhan glukosa
akan diubah menjadi lemak dan disimpan di jaringan adiposa atau
diubah menjadi glikogen dan disimpan dihati atau otot. Sedangkan
apabila kebutuhan glukosa melebihi asupan, maka akan dilakukan
sintesis glukosa endogen yang berasal dari pemecahan simpanan
14
glukosa dan sumber non-glukosa, meliputi asam amino, laktat, dan
gliserol (Burtis dkk., 2008).
Tiga proses fisiologis dasar dalam homeostasis glukosa yaitu
sekresi insulin, pengambilan glukosa ke jaringan dan produksi glukosa
hepatik.
Kadar
glukosa
yang
normal
menunjukkan
adanya
keseimbangan dari pemasukan glukosa (absorpsi melalui usus),
pemanfaatan oleh jaringan (glikolisis, jalur pentosa fosfat, sintesis
glikogen) dan produksi glukosa secara endogen (glukoneogenesis dan
glikogenolisis) (Meyer dkk., 2002).
Abnormalitas
kadar
glukosa
baik
hipoglikemia
atau
hiperglikemia akan memberikan pengaruh buruk terhadap homeostasis
organ dan jaringan-jaringan yang lain. Hiperglikemia paling banyak
disebabkan oleh penyakit diabetes, yaitu adanya kerusakan sel-sel β
pankreas atau berkurangnya sensitivitas insulin (Kawahito dkk., 2009).
Hipoglikemia mempunyai penyebab yang luas seperti adanya penyakit
liver, ginjal, gastrointestinal dan kelenjar endokrin, selain itu juga dapat
disebabkan karena asupan yang kurang (Field, 1989).
b. Kolesterol total
Kolesterol adalah alkohol steroid yang memiliki 27 atom karbon
yang tersusun dalam sistem steran tetrasiklik (Burtis dkk., 2008).
Kolesterol merupakan senyawa lipid amfipatik yang merupakan
komponen esensial pembentuk membran sel serta lapisan eksterna
lipoprotein plasma. Sebagian besar kolesterol disimpan dalam bentuk
15
ester kolesteril. Kolesterol merupakan prekursor utama asam empedu,
dan hormon steroid (Murray, 2003).
Kolesterol dibutuhkan dalam sintesis asam empedu yang
berperan penting untuk absorbsi lemak, beberapa hormon seperti
testosteron, esterogen, dihidroepiandrosteron, progesteron, dan kortisol
(Hume & Boyd, 1978). Bersama dengan paparan sinar matahari,
kolesterol juga diperlukan dalam pembentukan vitamin D (Bouillon
dkk., 1995). Kolesterol merupakan elemen penting membran sel yang
memberikan dukungan struktural. Selain itu, kolesterol berfungsi
sebagai antioksidan (Albert dkk., 1994; Girao dkk,. 1999). Hal ini
sangat penting dalam penghantaran sistem saraf terutama pada tingkat
sinaps (Barres & Smith, 2001).
Sumber kolesterol berasal dari asupan makanan dan sintesis
endogenus. Hampir 90% sintesis kolesterol endogenus berada di hati
dan usus (Burtis dkk., 2008). Kolesterol yang diserap dari asupan
makanan merupakan penentu utama kadar kolesterol dalam darah
(Gylling & Mietinnen, 1995).
Hati merupakan tempat utama pemeliharaan homeostasis
kolesterol dengan beberapa mekanisme, seperti biosintesis melalui
aktivitas 3-hidroksi-3-metilglutaril koenzim A reduktase, penyerapan
melalui low density lipoprotein receptor (LDLR), pelepasan lipoprotein
dalam darah, penyimpanan melalui esterifikasi dan degradasi, serta
konversi menjadi asam empedu (Weber dkk., 2004).
16
Hiperkolesterolemia
adalah
gangguan
metabolisme
yang
ditandai dengan tingginya low density lipoprotein (LDL) dan kolesterol
darah. Kondisi ini merupakan faktor resiko paling penting dalam
perkembangan
arterosklerosis
yang
menyebabkan
penyakit
kardiovaskuler (Rerkasem dkk., 2008). Faktor makanan seperti
konsumsi terus-menerus lemak jenuh dan kolesterol dalam jumlah besar
mempengaruhi
secara
langsung
terjadinya
hiperkolesterol
dan
kerentanan terhadap arterosklerosis (Asashina dkk., 2005).
Menurut Weatherby dan Fergusson (2002), penurunan kadar
kolesterol lebih mengarah pada gangguan sistem syaraf dan sintesis
hormonal yang rendah. Kadar kolesterol total yang rendah juga dapat
terjadi pada kondisi gangguan hati/kelenjar empedu, malnutrisi, diet
tinggi sayur-sayuran, Thyroid hyperfunction, Adrenal hyperfunction.
c. Urea darah
Pada manusia, beberapa asam amino yang berasal dari diet
makanan yang tidak digunakan untuk sistesis protein akan teroksidasi
menghasilkan urea dan karbon dioksida sebagai sumber energi
alternatif (Sakami & Harrington, 1963).
Seperti halnya dengan kreatinin serum, kadar urea darah
berbanding terbalik dengan laju filtrasi glomerolus (Dossetor, 1966).
Tetapi pada kondisi tertentu, kadar urea darah yang tinggi tidak dapat
menggambarkan fungsi ginjal yang sebenarnya (Levey, 1990).
17
Tingkat produksi urea tidak konstan. Hal ini bisa meningkat
pada seseorang yang mengkonsumsi diet protein yang cukup tinggi dan
kondisi yang ditandai dengan kerusakan jaringan (misalnya pendarahan,
trauma,
terapi
glukokortikoid.
Antibiotik
tertentu
juga
dapat
mengganggu sintesis protein, begitu juga katabolisme protein, sehingga
dapat meningkatkan kadar urea darah. Di sisi lain, diet rendah protein
dan penyakit hati dapat menurunkan kadar urea darah tanpa
mempengaruhi laju filtrasi glomerolus atau fungsi ginjal (Papadakis &
Arieff, 1987).
Penyakit hati mungkin terkait dengan nilai yang mendekati
normal dari urea darah (karena produksi urea menurun) dan serum
nitrogen (karena pengecilan otot), meskipun penurunan signifikan yang
berhubungan dengan fungsi ginjal dimanifestasikan dengan penurunan
laju filtrasi glomerolus (Sherman dkk., 2003).
d. Kreatinin serum
Kreatinin merupakan senyawa nitrogen non protein yang
merupakan siklik anhidrat dari keratin yang diproduksi sebagai hasil
akhir penguraian fosfokreatin (Burtis dkk., 2008).
Kreatinin serum merupakan indikator yang paling umum
digunakan untuk mengetahui fungsi ginjal, akan tetapi terdapat
beberapa gangguan analitis dan masalah standarisasi yang signifikan
(Lawson dkk., 2002; Perrone dkk., 1992). Serum kreatinin dapat
dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, etnis, asupan protein, dan kurus.
18
Pada individu yang memiliki massa otot rendah kadar kreatinin serum
mungkin tetap berada pada kisaran normal meskipun ditandai dengan
gangguan ginjal (Shemesh dkk., 1985; Goldberg & Finkelstein, 1987).
Sebaliknya, secara teoritis, pada individu yang memiliki massa otot
tinggi mungkin akan terjadi kenaikan kadar kreatinin serum meskipun
fungsi ginjalnya normal (Baxmann dkk., 2008).
Menurut Lee (2009), kadar kreatinin serum tidak selalu
menggambarkan fungsi ginjal yang sebenarnya. Kadar kreatinin serum
yang normal belum tentu fungsi ginjal normal. Kadar kreatinin yang
rendah bisa terjadi karena massa otot yang rendah tetapi jarang terjadi,
sintesis
kreatin
yang
rendah
di
hati,
atau
pada
keadaan
hiperbilirubinemia. Secara teoritis, adanya gangguan fungsi ginjal yang
menyebabkan turunnya laju filtrasi glomerolus akan meningkatkan
kadar kreatinin serum.
e. Albumin
Albumin merupakan protein plasma dengan jumlah dan
kelarutan dalam air paling besar. Albumin adalah protein yang pertama
kali hilang ketika jaringan mengalami kerusakan. Albumin memiliki
peranan penting regulasi tekanan osmosis koloidal dalam darah. Gugus
reaktif yang banyak pada albumin menyebabkan albumin dapat
berikatan secara reversible dengan berbagai anion dan kation. Oleh
karena itu albumin berperan penting dalam transportasi molekul seperti
asam lemak bebas, asam empedu, bilirubin, porphyrin, ketosteroid,
19
berbagai obat, dan trace elements seperti kalsium, tembaga, dan seng
(Feldman dkk., 2000).
Albumin disintesis di hepar dan dikatabolisme oleh berbagai
jaringan. Mekanisme pengaturan sintesis albumin belum diketahui
secara pasti, namun sering disebutkan bahwa pengaturan tersebut
berdasarkan perubahan tekanan osmotik koloidal. Karena adanya
pertukaran albumin yang konstan antara intravaskular dan ektravaskular,
maka kemungkinan sintesis albumin dipengaruhi oleh konsentrasi
albumin di dalam ruang intestisial hepar (Feldman dkk., 2000).
Perubahan konsentrasi albumin dalam darah dibedakan menjadi
2, yaitu hipoalbuminemia dan hiperalbuminemia. Hipoalbuminemia
dapat disebabkan oleh penurunan sintesis karena insufisiensi hepar,
sehingga pengukuran albumin plasma dapat untuk mengevaluasi
kronisitas
dan
keparahan
dari
penyakit
hepar.
Sedangkan
hiperalbuminemia biasanya merupakan hasil dari hemoconcentration
karena tidak terjadi peningkatan konsentrasi albumin dalam serum,
misalnya pada keadaan dehidrasi (Feldman, 2000).
f. Protein total
Protein dalam tubuh melakukan begitu banyak fungsi (Murray,
2003). Protein terdapat di dalam sel maupun dr luar sel. Protein-protein
ekstrasel yang paling banyak di dalam darah adalah albumin, globulin,
dan fibrinogen. Fibrinogen hanya terdapat dalam plasma. Serum dan
20
plasma susunan proteinnya sama kecuali fibrinogen dan beberapa faktor
koagulasi (Widmann, 1989).
Menurut Weatherby dan Fergusson (2002), Protein total serum
terdiri dari albumin dan globulin total. Kondisi yang mempengaruhi
pembacaan albumin dan globulin akan berdampak pada nilai protein
total. Nilai protein total yang normal belum tentu kadar albumin dan
globulin total juga normal. Misalnya pada keadaan dimana kadar
albumin rendah dan kadar globulin total tinggi, atau sebaliknya akan
menghasilkan nilai protein total yang normal.
Penyerapan protein dipengaruhi oleh gangguan fungsi lambung,
pankreas, dan usus halus. Oleh karena itu, protein total dapat
menggambarkan defisiensi nutrisi dan masalah fungsi pencernaan.
Penurunan nilai protein total dapat mengindikasikan malnutrisi,
gangguan fungsi pencernaan karena HCl yang tinggi, atau gangguan
fungsi hati. Malnutrisi lebih mengarah pada penurunan protein total
yang disebabkan oleh kurang tersedia asam amino essensial (Weatherby
& Fergusson, 2002).
Karena nilai protein total terdiri dari nilai albumin dan nilai
globulin total, maka kenaikan nilai protein total juga harus seiring
dengan kenaikan salah satu atau kedua nilai tersebut. Kenaikan nilai
protein total dapat terjadi pada kondisi dehidrasi, gangguan fungsi
hati/kelenjar empedu, adrenal hypofunction, dan asam amino yang
tinggi (Weatherby & Fergusson, 2002).
21
g. Bilirubin
Bilirubin merupakan hasil dari perombakan heme pada
hemoglobin dan dilepaskan selama pemecahan eritrosit yang sudah tua.
Sekitar 20% produksi harian bilirubin berasal dari hemoprotein seperti
isoenzim sitokrom P450, mioglobin, dan lain-lain. Bilirubin terbentuk
di dalam makrofag monosit dari limpa dan sumsum tulang belakang,
juga sel kupffer hati, dan dirilis dalam plasma. Bilirubin digunakan
sebagai marker dalam diagnosa penyakit hati dan gangguan darah (Berk
dkk., 1969). Keadaan dimana kadar bilirubin dalam plasma tinggi
disebut hiperbilirubinemia (Fevery, 2008).
h. Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT)
SGPT yang disebut juga Alanine transaminase (ALT)
merupakan enzim transaminase yang terdapat pada serum dan jaringan
tubuh. Secara klinis SGPT digunakan dalam evalusi diagnosis cedera
hati untuk menentukan tingkat kesehatan hati (Wang, 2012). SGPT
sebagian besar berada di sitosol sel-sel hati. Sel hati yang mengalami
nekrosis akan menyebabkan SGPT yang ada di dalam sitosol keluar
karena rusaknya membran sel. Sehingga kadar SGPT di dalam plasma
menjadi tinggi (Zakim & Boyer, 1982).
SGPT merupakan enzim golongan aminotransferase, yakni
enzim-enzim yang mengkatalisis pemindahan gugus asam amino antara
asam amino dan asam α-keto secara reversibel. SGPT menjadi
penyelenggara reaksi serupa antara alanin dan asam α-ketoglutarat
22
menjadi piruvat dan L-glutamat. Hanya sel-sel hati yang memiliki
aktivitas SGPT tinggi, meskipun ginjal, jantung, dan otot bergaris juga
mengandung SGPT dalam jumlah kecil (Widmann, 1989).
i. Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT)
SGOT yang disebut juga Aspartate transaminase (AST)
merupakan
enzim
transaminase
yang
berfungsi
mengkatalisis
perpindahan gugus amino aspartat ke asam α-ketoglutarat membentuk
oksaloasetat dan glutamat (Burtis dkk., 2008).
SGOT berada di mitokondria dan sitosol sel-sel hati. Membran
sel yang pecah atau rusak akan menyebabkan keluarnya SGOT yang
ada di dalam sel. Hal ini terjadi apabila sel hati mengalami kerusakan
atau nekrosis. Keluarnya SGOT tersebut akan menyebabkan SGOT
berada di dalam plasma dengan konsentrasi tinggi. SGOT kurang
spesifik dibandingkan SGPT, karena SGOT tidak hanya berada di hati
(mitokondria dan sitosol) melainkan juga ada di jantung, ginjal, otak,
dan tulang (Zakim & Boyer, 1982).
Enzim
ini
termasuk
dalam
golongan
enzim
golongan
aminotransferase, yakni enzim-enzim yang mengkatalisis pemindahan
gugus asam amino secara reversibel antara asam amino dan asam αketo. SGOT menjadi penyelenggara reaksi antara asam aspartat dan
asam α-ketoglutamat menjadi oksaloasetat dan L-glutamat (Widmann,
1989).
23
B. Keterangan Empirik
Penelitian ini bersifat eksperimental eksploratif untuk mengetahui
gambaran toksisitas pemberian jangka panjang produk samping kapur dari
pembuatan pupuk ZA PT. Petrokimia Gresik selama 90 hari pada tikus jantan dan
betina galur SD, ditinjau dari parameter kimia darah, perubahan berat badan,
asupan makanan dan minuman, dan kekerabatan antara dosis pemberian dengan
wujud efek toksik, jika sediaan tersebut dipejankan berulang sekali sehari secara
oral selama 90 hari.
Download