penerapan penjalaran gelombang seismik gempa

advertisement
KARYA ILMIAH
PENERAPAN PENJALARAN GELOMBANG SEISMIK
GEMPA PADA PENELAAHAN STRUKTUR BAGIAN
DALAM BUMI
SUSILAWATI
NIP. : 132 283628
JURUSAN FISIKA
FAK. MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008
Susilawati : Penerapan Penjalaran Gelombang Seismik Gempa Pada Penelaahan Struktur Bagian Dalam Bumi, 2008
USU e-Repository © 2008
BAB I
PENDAHULUAN
A. GEMPA BUMI MEMBERI PETUNJUK
Setiap tahun terjadi gempa bumi di bagian-bagian dunia yang berbeda. Setiap gempa
bumi itu mengeluarkan energi dalam jumlah yang sangat besar. Energi ini mengalir dari
sumber gempa dalam bentuk gelombang yang melalui semua bagian bumi, termasuk
bagian yang paling dalam. Apabila gelombang muncul di permukaan, gerakannya dicatat
oleh suatu alat yang disebut seismograf. Alat ini diletakkan pada ribuan observatorium
(stasiun pencatat) yang tersebar di seluruh dunia. Catatan yang direkam oleh seismograf
disebut seismogram. Seismogram merupakan visualisasi gerakan-gerakan tanah akibat
gempa bumi yang dicatat oleh jarum seismograf.
Seismogram dapat dibandingkan dengan foto sinar-X dari tubuh manusia. Struktur
bagian dalam tubuh manusia mempengaruhi intensitas sinar-X, ketika sinar-sinar itu
lewat diantara sumbernya dan film fotografik. Untuk struktur bagian-dalam bumi akan
mempengaruhi gelombang gempa bumi yang mengalir diantara sumber gempa dan
seismograf. Dalam hal ini jauh lebih sukar untuk menafsirkan seismogram daripada foto
sinar-X. Foto sinar-X memperlihatkan suatu persamaan dengan tubuh manusia,
sedangkan seismogram hanya memperlihatkan pola rumit dari garis-garis yang
bergelombang. Untuk menafsirkan garis-garis ini, seorang ahli seismologi memerlukan
bantuan ilmu matematika dan fisika (Bullen, K.E. Ilmu Pengetahuan Populer).
Apabila semua gempa, mulai dari yang lemah sampai dengan yang kuat dimasukkan
dalam hitungan, maka terjadilah kira-kira sejuta gempa setiap tahun. Hal ini sangat
menarik untuk diungkap dan dikaji lebih jauh sehingga dapat dikembangkan maupun
dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang konstruktif. Penelahaan tentang gempa bumi
sekarang dikenal dengan nama Seismologi.
B PERKEMBANGAN SEISMOLOGI
Seismologi adalah ilmu yang mempelajari gempa bumi dan struktur dalam bumi
dengan menggunakan gelombang seismik yang dapat ditimbulkan dari gempa bumi atau
sumber lain (Gunawan, 1985).
2
Pada hakekatnya seismologi lahir sejak manusia tertarik untuk mengkaji fenomena
alam yang berupa gempa bumi. Dari rasa ketertarikan ini mereka berusaha untuk
mengungkap tentang mengapa, bagaimana, maupun untuk apa gempa bumi itu terjadi.
Seiring dengan bertambahnya tingkat peradaban ilmu, muncul kajian-kajian khusus
tentang gempa bumi, seperti mekanisme terjadinya gempa bumi, dampak yang timbul
akibat gempa bumi, perancangan alat perekam gempa bumi, deskripsi gempa bumi secara
teoritis melalui permodelan maupun pemanfaatan informasi yang diindikasikan oleh
gempa bumi. Seismologi telah berkembang tidak hanya mempelajari gempa bumi semata,
tetapi meliputi kajian tentang gelombang-gelombang yang dibangkitkan oleh gempa
bumi maupun gempa buatan dan juga kajian tentang parameter-parameter yang dapat
disimpulkan dari penjalaran gelombang-gelombang tersebut (Garland, 1979).
Berdasarkan posisi sumber gempa terhadap lokasi seismograf, secara umum gempa
bumi diklasifikasikan menjadi dua ketgori, yaitu :
1. gempa bumi dekat atau lokal. Gempa lokal adalah gempa dengan jarak
episenternya terhadap stasiun pencatat tidak melebihi dari beberapa ratus kilometer,
sehingga kelengkungan bumi dapat diabaikan (Gunawan, 1985). Gempa lokal
dimanfaatkan untuk menyelidiki struktur permukaan bumi, termasuk didalamnya adalah
gempa buatan yang dilakukan pada seismik eksplorasi.
2. Gempa bumi jauh atau teleseimik. Teleseismik adalah gempa dengan jarak
episenternya terhadap stasiun pencatat lebih dari 1000 kilometer (Sumner, 1970).
Kategori gempa inilah yang memegang peranan penting dalam penentuan struktur bagian
dalam bumi, seperti yang akan dibahas dalam penulisan ini.
C BEBERAPA ISTILAH DALAM SEISMOLOGI
Beberapa istilah yang secara umum sering digunakan dalam pembahasan seismologi,
diantaranya adalah :
1. Hiposenter.
Hiposenter adalah pusat gempa di dalam bumi, disebut juga fokus atau sumber
gempa.
2. Episenter.
Episenter adalah proyeksi hiposenter ke bidang permukaan bumi.
3
3. Origin time atau waktu asal.
Origin time adalah waktu saat terjadinya gempa di hiposenter
4. Travel time atau waktu tempuh.
Travel time adalah waktu yang dibutuhkan oleh gelombang gempa untuk menjalar
dari hiposenter ke stasiun pencatat. Travel time ditentukan dari waktu tiba (arrival
time) gelombang di seismograf yang dikurangi dengan origin time.
5. Seismometer, seismograf dan seismogram.
Seismometer adalah alat yang digunakan untuk merespon gerakan tanah akibat gempa
bumi. Seismograf adalah gabungan antara seismometer dengan peralatan perekan.
Seismogram adalah hasil rekaman seismograf.
4
BAB II
DESKRIPSI GELOMBANG SEISMIK
A. PEMBANGKITAN GELOMBANG SEISMIK
Gelombang seismik pada dasarnya merupakan gelombang elastik yang dijalarkan
melalui media bumi. Pembangkitan gelombang seismik dapat dilakukan dengan dua
metode, yaitu :
1. Metode aktif. Metode aktif biasanya digunakan pada seismik eksplorasi, yaitu
dengan peledakan dinamit, pemukulan dengan palu dan sebagainya.
2. Metode pasif. Metode pasif memanfaatkan gejala-gejala alam yang sudah ada,
seperti gempa bumi, baik yang diakibatkan oleh letusan gunung berapi maupun gempa
tektonik.
Pada saat terjadi gempa bumi, sejumlah besar energi dilepaskan dari sumber gempa
atau fokus. Energi ini akan dipancarkan ke segala arah melalui usikan (disturbance) yang
menjalar keseluruh bagian bumi karena adanya sifat elastisitas material bumi. Usikan
yang menjalar dalam medium elastik disebut gelombang elastik.
Informasi struktur bagian dalam bumi diperoleh dari pengamatan penjalaran
gelombang elastik yang dibangkitkan oleh gempa bumi (metode pasif). Gelombang ini
disebut gelombang seismik gempa atau secara umum lebih dikenal sebagai gelombang
seismik.
B. TEORI DASAR GELOMBANG SEISMIK
B.1. Pengertian umum.
Penjalaran gelombang seismik menembus struktur perlapisan bumi sangat
bergantung pada sifat elastisitas batu-batuan yang dilaluinya. Dasar teori untuk
menjelaskan kronologis mekanisme maupun sifat fisis gelombang didasarkan pada teori
deformasi dan elastisitas media yang dilalui gelombang seismik.
Pembahasan teori deformasi dan elastisitas media yang dilalui gelombang lebih
ditujukan untuk mencari hubungan antara parameter elastisitas (dalam hal ini adalah
konstanta-konstanta elastisitas) dengan parameter gelombang (dalam hal ini adalah
5
kecepatan gelombang). Pendekatan teori deformasi didasarkan pada model stress dan
strain.
Stress didefinisikan sebagai gaya per satuan luas, sedangkan strain didefinisikan
sebagai deformasi per satua volume. Berdasarkan hukum Hooke’s, untuk benda-benda
elastik sempurna, strain akan proporsional (sebanding) dengan stress. Dikarenakan
pendekatan deformasi media elastik adalah dilatasi kubik, maka untuk menjelaskan
model stress (tegangan) dan strain (regangan) didasarkan pada konsep tensor.
Pada dasarnya, teori dasar gelombang seismik adalah mencari bentuk solusi dari
persamman gerak yang didasarkan pada hubungan persamaan stress dan strain pada
medium elastik.
Untuk meninjau penjalaran gelombang seismik pada menia bumi, terdapat dua
asumsi dasar yang digunakan sebagai acuan dalam memandang bumi, yaitu :
1. Bumi dianggap sebagai media elastik sempurna yang terdiri dari berbagai lapisan.
2. Semua anggota lapisan bumi merupakan media homogen isotropis (Wahyu Triyoso,
1991).
B.2. Dasar Analisis Tensor Stress dan Tensor Strain
1. Tensor Stress. Pada Gambar 2.1 ditunjukkan satu gaya F yang mengenai suatu
komponen luas bidang Δ S. Dalam realisasi matematis, stress didefinisikan sebagai :
lim F/ Δ S.
ΔS → 0
Gambar 2.1 Analisa Strain (McQuillin, 1984)
6
Stress dalam arah normal terhadap
Δ S diberikan oleh tiga komponen stress.
Komponen yang berarah normal terhadap Δ S disebut komponen principle stress atau
tegangan normal, sedangkan komponen yang terletak pada bidang Δ S
disebut
komponen shearing stress atau tegangan geser (McQuillin, 1984).
Dengan mengubah orientasi
Δ S, akan didapatkan komponen-komponen stress
tersebut, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2. Gambar ini menunjukkan elemen volume
kecil didalam suatu benda yang dikenai stress.
Gambar 2.2 Komponen-komponen tensor stress. Normal stress diindikasikan jika
i = j, shearing stress diindikasikan jika i ≠ j.
Untuk menguraikan stress secara lengkap, dibutuhkan tiga komponen stress untuk
setiap permukaan. Oleh karena itu, hal ini akan menjadi mudah apabila digunakan konsep
tensor stress pij (i,j = 1,2,3), dan definisi matematis untuk stress selanjutnya dinotasikan
sebagai Pij (indeks i menyatakan arah normal terhadap permukaan dan indeks j
menyatakan arah komponen stress). Stress normal atau (tekanan) didindikasikan apabila
i = j, sedangkan stress geser (shear stress) diindikasikan apabila i ≠ j.
Berdasarkan Gambar 2.2, didapatkan komponen tensor stress yang bekerja pada
elemen kubus sebanyak 18 komponen. Karena elemen kubus yang dikenai tensor stress
7
dalam keadaan seimbang, maka stress yang bekerja haruslah setimbang dan tidak
menimbulkan adanya kopel, sehingga berlaku Pij = Pji. Dari 18 komponen selanjutnya
disubstraksi menjadi 9 komponen, yaitu :
⎡ P11
Pij = ⎢⎢ P21
⎢⎣ P31
P12
P22
P32
P13 ⎤
P23 ⎥⎥ ......................................................................
P33 ⎥⎦
2.1
Jadi tensor stress adalah simetris dan hanya terdapat 6 komponen stress yang saling bebas
(Wahyu Triyoso, 1991).
B.2.2 Tensor Strain. Apabila sebuah benda elastik mengalami stress maka bentuk
dan ukuran benda tersebut akan berubah (terjadi deformasi). Perubahan dihasilkan oleh
stress ini disebut strain atau regangan.
Untuk mengalami analisa strain, dalam Gambar 2.3 ditunjukkan pengaruh
pergerakan kecil (displacement) dari konfigurasi awal suatu titik dalam medium.
Gambar 2.3 Analisa Strain (McQuillin, 1984).
8
Jika u adalah dosplacement titik P yang berkoordinat asal (x1, x2, x3) dan (u + Δ u) adalah
displacement titik Q yang berkoordinat awal (x1 + Δ x1,x2 + Δ x2,x3 + Δ x3), maka dapat
diambil :
Δu j
lim
Δxi
=
∂u j
∂xi
;
i,j = 1,2,3
Δ xi → 0
Hal ini dapat dituliskan sebagai :
∂u j
∂xi
=
1 ⎛ ∂u j ∂u i ⎞ 1 ⎛ ∂u i ∂u j
⎜
⎟− ⎜
+
−
2 ⎜⎝ ∂xi ∂xi ⎟⎠ 2 ⎜⎝ ∂xi ∂xi
⎞
⎟⎟ = eij − ζ ij
⎠
Dengan eij berhubungan erat dengan deformasi murni yang dikenal sebagai tensor strain,
sedangkan ζ ij berhubungan erat dengan masalah rotasi sederhana dari benda tegar dan
dalam hal ini tidak menarik untuk dibahas karena tidak ada strain yang ditimbulkan. Arti
fisis eij ditunjukkan pada Gambar 2.4.
Dari uraian diatas diketahui e11 = ∂u1
∂x1
Komponen strain ini berkaitan dengan
perpanjangan dalam arah sumbu x1. Dengan cara yang sama akan diperoleh e22 dan e33,
masing-masing dalam arah sumbu x2 dan x3. Dalam notasi tensor, hal ini dapat dituliskan
⎡ e11
eij = ⎢⎢e21
⎢⎣e31
e12
e22
e32
e13 ⎤
e23 ⎥⎥ ....................................................................
e33 ⎥⎦
2.3
Normal strain (regangan normal) diindikasikan apabila i = j, sedangkan shearing strain
(regangan geser) diindikasikan apabila indeks i ≠ j.
9
Gambar 2.4 Komponen-komponen tensor strain, (a) komponen strain normal e11, (b)
komponen strain geser e12 (McQuillin, 1984)
B.3 Konsep Dasar Dilatasi Kubik
Apabila terdapat strain simultan e11, e22, e33 yang terjadi pada elemen kubus dengan
sisi mula-mula adalah Δ x1, Δ x2, Δ x3, maka elemen volum dapat dituliskan sebagai :
V = Δ x1 . Δ x2 . Δ x3
Perubahan elemen volume kubus akibat deformasi volume dapat dituliskan :
V + Δ V = ( Δ x1 + Δ u1). ( Δ x2 + Δ u2). ( Δ x3 + Δ u3).
Perubahan volumenya adalah
Δ V = Δ u1. Δ x2. Δ x3 + Δ u2. Δ x1. Δ x3 + Δ u3. Δ x1. Δ x2
10
Perbandingan antara Δ V dan V disebut dilatasi kubik, dan dinotasikan dengan θ .
θ=
ΔV Δu1 Δu 2 Δu 3
=
+
+
Δx1 Δx 2 Δx3
V
atau
θ = e11 + e22 + e33 .......................................
2.4
Dari Gambar 2.4b ditunjukkan bahwa e12 berhubungan dengan hasil deformasi R yang
bergerak ke R’ dan Q bergerak ke Q’. Selanjutnya dapat dituliskan :
e12 =
1 ⎛ ∂u1 ∂u 2
⎜
+
2 ⎜⎝ ∂x1 ∂x 2
⎞ 1
⎟⎟ = (α 1 + α 2 ) .
⎠ 2
Persamaan ini merupakan deformasi angular total. Jadi eij dengan i ≠ j, berhubungan
dengan shear murni atau perubahan bentuk dengan volume konstan.
B.4 Hukum Hooke’s dan Konstanta-Konstanta Elastisitas
Hukum Hooke’s merupakan hubungan antara stress (tegangan) yang dikerjakan
dengan strain yang dihasilkan, apabila strain yang dihasilkan cukup kecil. Hukum ini
menyatakan bahwa strain akan berbanding lurus dengan stress yang menghasilkannya.
Untuk medium homogen isotropis, hukum Hooke’s dapat dinyatakan dalam bentuk yang
sederhana, yaitu :
Pij = λθ + 2 μu ij ............................................................................
2.5a
Pij = μ eij ......................................................................................
2.5b
Besaran λ dan
μ disebut konstanta Lame’s, yang merupakan konvensi matematis
dalam teori elastisitas (Telford, W.M, et all, 1976). Dari persamaan 2.5b, jika dituliskan
eij = Pij/ μ , membuktikan bahwa untuk
μ
semakin besar, eij semakin kecil. Jadi
μ
merupakan ukuran untuk menahan regangan geser (shearing strain) dan sering disebut
sebagai modulus rigiditas atau modulus geser.
Di samping konstanta Lame’s, beberapa konstanta lain yang banyak digunakan
adalah :
1. Modulus Young (E), pada dasarnya mengukur perbandingan stress dan strain untuk
model tension atau kompressi sederhana (1 dimensi)
2. Modulus Bulk (k), pada dasarnya adalah mengukur perbandingan stress dan strain
apabila elemen media dikenakan tekanan hidrostatik sederhana.
3. Rasio Poisson’s ( σ ), pada dasarnya mengukur geometri perubahan bentuk.
11
Hubungan antara konstanta-konstanta tersebut dengan konstanta Lame’s dinyatakan
sebagai berikut :
μ (3λ + 2μ )
................................................................................................
(λ + μ )
E=
(3λ + 2μ )
k=
3
σ=
λ
3(λ + μ )
2.6a
................................................................................................
2.6b
..................................................................................................
2.6c
(Telford,W.M., et all, 1976).
B.5 Konsep Dasar Displacement Potensial
Jika suatu benda elastik ditekan, maka energi tekanan akan diteruskan sejajar
dengan arah gaya tekan. Transfer energi ke arah gaya tekan (arah maju) disebabkan oleh
dua hal :
1. Transfer energi ke arah gaya tekan yang murni akibat tekanan (normal stress), atau
lebih di kenal sebagai medan skalar.
2. Transfer energi ke arah gaya tekan yang diakibatkan efek shear dari gerakan partikel
media (shearing stress), atau lebih dikenal sebagai medan vektor.
Dari uraian di atas, maka medan gerakan transfer energi pada medium homogen isotropis
merupakan gabungan dari medan skalar yang berhubungan dengan gerakan dilatasi
(kompressi), dan medan vektor yang berkaitan dengan gerakan rotasi (shear).
Apabila medan gerak dinotasikan dalam vektor displacement Ui, maka dengan
metode Helmholtz, vektor displacement Ui dapat dituliskan dalam batasan sembarang
skalar φ dan sembarang vektor ψ , sebagai berikut :
Ui = ∇.φ − ∇xψ
Dalam hal ini, besaran φ disebut potensial displacement dilatasi, dan ψ di sebut
potensial displcement rotasi. Realisasi dari gerakan dilatasi adalah dilatasi kubik yang
dinyatakan dengan θ , sedangkan gerakan rotasi direalisasikan oleh deformasi shear yang
dinaotasikan dengan ξ . Hubungan matematis antara
μ,
ξ dengan vektor displacement
Ui dinyatakan sebagai berikut :
θ = ∇.u i .......................................................................................
2.7a
12
ξ = ∇xu i .....................................................................................
2.7b
(Grant and West, 1965).
B.6 Persamaan Gelombang
Untuk menurunkan persamaan gelombang, ditinjau elemen kubus dengan stressstress yang bekerja tidak dalam kesetimbangan, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5
Elemen kubus dalam pengaruh stress-stress yang tidak setimbang. Ditinjau
stress-stress pada permukaan kubus yang tegak lurus terhadap sumbu x2
(Bullen, 1963).
Misalkan di ambil stress yang bekerja pada permukaan yang tegak lurus terhadap
sumbu x2. Karena stress-stress ini saling berlawanan, maka stress netto yang bekerja pada
elemen volum kubus adalah :
∂P
∂P11
∂P
dx 2 ; 22 dx 2 ; 23 dx 2
∂x 2
∂x 2
∂x 2
Stress ini bekerja pada permukaan yang luasnya (dx1.dx3). Oleh karena itu didapatkan
gaya netto per satuan volume dalam sumbu x2, sebagai berikut :
13
∂P11
∂P22 ∂P23
;
;
∂x 2
∂x 2
∂x 2
Untuk ke-empat permukaan yang lain, persamaannya dapat diperoleh dengan cara yang
sama, sehingga gaya total per satuan volume dalam sumbu x2, adalah :
∂P12 ∂P22 ∂P32
+
+
∂x1
∂x 2
∂x3
Hukum ke-2 Newton tentang gerak, menyatakan bahwa resultan gaya akan sama
dengan massa dikalikan percepatannya, jadi diperoleh persamaan gerak sepanjang sumbu
x2 sebagai berikut :
∂ 2 u 2 ∂P12 ∂P22 ∂P32
ρ 2 =
+
+
∂x1
∂x 2
∂x3
∂t
Dengan ρ adalah densitas elemen kubus dan u2 adalah displacement dalam arah sumbu
x2. Persamaan ini merupakan persamaan yang menghubungkan displacement dan stress.
Dengan mensubstitusikan persamaan (2.5a) dan persamaan (2.5b) ke dalam persamaan
gerak ini, yaitu mengganti stress dengan strain menggunakan hukum Hooke’s, sehingga
didapatkan :
∂ 2u2
∂θ
ρ 2 = (λ + μ )
+ μ∇ 2 u 2
∂x 2
∂t
Dengan cara yang sama untuk pergerakan ke arah sumbu x1 dengan displacement u1 dan
pergerakan ke arah sumbu x3 dengan displacement u3, akan diperoleh bentuk persamaan
yang sebangun, sehingga secara umum dapat dituliskan sebagai
ρ
∂ 2ui
∂θ
= (λ + μ )
+ μ∇ 2 u i ; (i = 1,2,3) ...............................................
2
∂xi
∂t
(2.8)
Persamaan (2.8) merupakan bentuk umum persamaan gerak untuk media elastikndan
homogen isotropis.
Berdasarkan persamaan (2.7a), maka dengan mengoperasikan divergensi
persamaan (2.8), didapatkan bentuk persamaan gerak dilatasi (kompressi) untuk medan
skalar sebagai berikut :
∂ 2θ
ρ 2 = (λ + 2μ )∇ 2θ
∂t
...........................................................................
(2.9)
14
Bentuk persamaan gerakan rotasi untuk medan vektor, diperoleh berdasarkan persamaan
(2.7b), yaitu dengan mengoperasikan curl pada persamaan sehingga didapatkan bentuk
persamaan sebagai berikut :
ρ
∂ 2ξ
= μ∇ 2ξ
2
∂t
......................................................................................
(2.10)
B.7 Penyelesaian Gelombang Datar dan Kecepatan Gelombang
Secara umum, persamaan gelombang dalam media elastik homogen isotropis
telah diuraikan diatas dapat dituliskan dalam bentuk :
1 ∂ 2ψ
= ∇ 2ψ
v 2 ∂t 2
....................................................................................
Dengan v suatu konstanta dan
ψ
(2.11)
adalah suatu fungsi gelombang yang direalisasikan
sebagai usikan yang menjalar. Dalam hal ini, usikan ψ berupa perubahan volume
(dilatasi kubik) jika ψ = θ , dan akan berupa rotasi (deformasi angular) apabila ψ = ξ .
Untuk kasus yang sederhana, yaitu dengan
ψ
hanya merupakan fungsi dari x,
persamaan (2.11) dapat direduksi menjadi :
1 ∂ 2ψ ∂ 2ψ
=
∂x 2
v 2 ∂t 2
......................................................................................
(2.12)
Bila dipilih solusi persamaan gelombang tersebut sebagai fungsi ψ = f ( x − vt ) , yang
diketahui sebagai solusi D’Alemberts. Maka usikan yang dimaksud menjalar sepanjang
sumbu x positif, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.6.
Dari Gambar tersebut ditunjukkan pada waktu t0, bagian gelombang di x0
mencapai titik po, sehingga ψ o = f ( xo − vt o ) . Kemudian pada waktu (t o + Δt ) bagian
yang sama dari gelombang ini di
(xo + Δx ) mencapai
titik P1, sehingga ψ
adalah
ψ 1 = f [( xo + Δx ) − v(t o + Δt )] . Karena keduanya merupakan bagian yang sama dari
gelombang tersebut, maka haruslah ψ o = ψ 1 , sehingga :
(xo − vt o ) = [(xo + Δx ) − v(t o + Δt )] , maka besaran v dapat dinyatakan sebagai :
v = Δx
Δt
15
Jadi besaran v di sini merupakan kecepatan perambatan usikan atau dikatakan sebagai
kecepatan gelombang.
Gambar 2.6 Tinjauan sat dimensi penjalaran gelombang dalam arah sumbu x positif
(Telford, W.M., 1976).
Suatu fungsi ψ = f ( x − vt ) juga merupakan penyelesaian dari persamaan (2.12),
yang mengindikasikan perambatan gelombang dalam arah sumbu x negatif. Oleh karena
itu, penyelesaian umum dari persamaan (2.12) dapat dituliskan :
ψ = f (x − vt ) + g ( x + vt )
Persamaan ini menggambarkan perambatan gelombang sepanjang sumbu x dalam arah
yang berlawanan dengan kecepatan v. Karena besaran ψ ini tidak bergantung pada
sumbu y ataupun z, maka usikan yang terjadi haruslah sama di semua tempat di dalam
bidang yang tegak lurus terhadap sumbu x. Jenis gelombang ini disebut gelombang datar.
C. BERBAGAI TIPE GELOMBANG SEISMIK
Berdasarkan teori elstisitas dan deformasi elemen medium serta konsep displcement
potensial, maka pada media homogen isotropis, transfer energi dapat ditransmisikan
dalam dua tipe dengan kecepatan penjalaran yang berbeda pula, tergantung pada
konstanta-konstanta elastik media yang dilewatinya. Di samping itu, transfer energi dapat
terjadi baik melalui media perlapisan di dalam bumi maupun melalui media perlapisan di
permukaan bumi. Transfer ini yang terjadi melalui media perlapisan di dalam bumi
disebut gelombang badan (body wave), sedangkan yang terjadi di permukaan bumi di
sebut gelombang permukaan (surface wave).
16
C.1 Gelombang Badan
Gelombang badan adalah gelombang yang menjalar dalam media elastik dan arah
perambatannya ke seluruh bagian di dalam bumi. Berdasarkan gerak partikel pada media
dan arah penjalarannya, gelombang dapat dibedakan atas gelombang P dan gelombang S.
1.
Gelombang P (gelombang Primer).
Gelombang P disebut juga
gelombang kompressi, gelombang longitudinal, gelombang dilatasi, atau gelombang
irotasional. Gelombang ini menginduksi gerakan partikel media dalam arah paralel
terhadap arah penjalaran gelombang (Gambar 2.7a). Bentuk persamaan gelombang P
didasarkan pada bentuk persamaan dilatasi (persamaan 2.9), yaitu :
ρ
∂ 2θ
= (λ + 2μ )∇ 2θ
2
∂t
Dengan menganalogikan persamaan ini dengan bentuk persamaan umum gelombang
(persamaan 2.11), maka didapatkan persamaan kecepatan gelombang P sebagai berikut :
⎛ λ + 2μ ⎞
⎟⎟
V p = α = ⎜⎜
⎝ ρ ⎠
2.
0.5
..................................................................... (2.13)
Gelombang S (gelombang Sekunder).
Gelombang S disebut juga
gelombang shear, gelombang transversal atau gelombang rotasi. Gelombang ini
menyebabkan gerakan partikel media dalam arah tangensial terhadap arah perjalaran
gelombang (gambar 2.7b). Bentuk persamaan gelombang S didasarkan pada bentuk
persamaan gerak rotasi (persamaan 2.10), yaitu :
ρ
∂ 2ξ
= μ∇ 2ξ
∂t 2
Dengan menganalogikan persamaan ini dengan persamaan (2.12), maka diperoleh
persamaan kecepatan gelombang S sebagai berikut :
⎛μ⎞
Vs = β = ⎜⎜ ⎟⎟
⎝ρ⎠
0.5
.........................................................................................
(2.14)
Menurut Birkhauser, gelombang S dipisahkan menjadi 2, yaitu gelombang S horisontal
atau gelombang – SH dan gelombang S vertikal atau gelombang – SV, seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.8.
17
Gambar 2.7 Dua tipe gelombang badan, (a) gelombang P, (b) gelombang S
Gambar 2.8 Dua tipe gelombang S, (a) gelombang-SH, (b) gelombang-SV
18
C.2 Gelombang Permukaan
Gelombang permukaan merupakan gelombang yang kompleks dengan frekuensi
yang rendah dan ampltudo besar, yang menjalar akibat adanya efek free surface dimana
terdapat perbedaan sifat elastik. Gelombang ini dapat menjelaskan struktur mantel atas
dan permukaan kerak bumi (crust).
Sifat dan gerak partikel media pada permukaan ada yang mirip gelombang P atau
gelombang S. Didasarkan pada sifat gerakan partikel media elastik, terdapat dua tipe
gelombang permukaan, yaitu gelombang Rayleigh dan gelombang love.
1.
Gelombang Rayleigh.
Gelombang Rayleigh merupakan gelombang
permukaan yang gerakan partikel medianya merupakan kombinasi gerakan partikel yang
disebabkan oleh gelombang P dan gelombang S. Orbit gerakan partikelnya merupakan
gerakan elliptik dengan sumbu mayor ellips tegak lurus dengan permukaan dan arah
penjalarannya (gambar 2.9a). Kecepatan gelombang Rayleigh dirumuskan sebagai :
VR = 0.92 (VS)0.5 ......................................................................................... (2.15)
(Telford,W.M., 1976).
2.
Gelombang Love.
Gelombang love biasanya dinotasikan dengan
gelombang-L atau gelombang-Q. Gelombang ini merupakan gelombang permukaan yang
menjalar dalam bentuk gelombang transversal, yakni merupakan gelombang-SH yang
penjalarannya paralel dengan permukaan (gambar 2.9b). Kecepatan penjalaran gelombNg
Love bergantung panjang gelombangnya dan bervariasi sepanjang permukaan. Secara
umum, kecepatan gelombang love dinyatakan sebagai VR < VQ <VS ( Gunawan, 1985).
Pada umumnya, energi lebih banyak ditransfer dalam bentuk gelombang P,
sehingga pada rekaman gempa atau survey seismik, yang pertama kali dijumpai adalah
gelombang P. Di samping itu berdasarkan persamaan (2.13), (2.14) dan (2.15), dalam
medium yang sama, gelombang P akan dijalarkan dengan kecepatan yang paling besar
daripada tipe gelombang lainnya. Sedangkan dari persamaan (2.14) ditunjukkan bahwa
gelombang S tidak dapat menjalar pada media fluida, karena harga modulus rigiditas
pada fluida mendekati nol ( μ = 0).
19
D. MEKANISME PENJALARAN GELOMBANG
D.1 Prinsip fermat dan Konsep Berkas Seismik
Salah satu perinsip dasar yang menjelaskan mekanisme penjalaran gelombang
adalah prinsip Fermat. Prinsip ini menyatakan bahwa waktu jalar gelombang elastik
antara dua titik, misalkan titik A dan B, sama dengan waktu tempuh yang terukur
sepanjang lintasan minimum yang menghubungkan titik A dan B. Oleh karena itu, prinsip
Fermat di sebut juga prinsip waktu minimum.
Gambar 2.9 Dua tipe gelombang permukaan, (a) gelombang love, (b) gelombang
Rayleigh
20
Suatu bentuk pemodelan yang digunakan untuk menjelaskan peristiwa penjalaran
gelombang elastik yang memenuhi perinsip Fermat adalah model lintasan sinar atau
model raipat (raypath). Untuk penjalaran gelombang seismik, konsep raipat dikenal
dengan istilah konsep berkas seismik (seismic ray). Suatu berkas seismik digambarkan
sebagai sebuah garis yang menunjukkan arah perambatan energi gelombang seismik.
Garis ini tegak lurus terhadap muka gelombang (wave front), seperti ditunjukkan pada
gambar (2.10).
Model berkas seismik pada dasarnya merupakan pendekatan pertama untuk
memudahkan dalam meninjau penjalaran gelombang seismik. Dikarenakan pendekatan
berkas seismik lebih banyak didasarkan pada optika geometri, maka dalam meninjau
mekanisme penjalaran gelombang, seakan-akan kita diajak meninjau satu titik anggota
muka gelombang.
D.2 Hukum Snellius.
Hukum Snellius pada dasarnya menjelaskan perubahan arah berkas seismik
apabila gelombang seismik menjalar melalui lapisan-lapisan bumi dengan kuantitas
kecepatan yang berbeda-beda (terdapat bidang batas antar lapisa). Perubahan arah ini
akan direalisasikan dalam bentuk gelombang yang terpantul (gelombang refleksi) dan
gelombang yang terbias (gelombang refraksi).
Untuk lebih memperjelas pemahaman tentang hukum Snellius, dalam gambar
(2.10) ditunjukkan kasus pemantulan dan pembiasan gelombang-SV ketika melintasi
bidang batas antara media 1 dan media 2. Dari Gambar tersebut ditunjukkan bahwa,
ketika melintasi bidang batas, gelombang-SV akan terpantulkan sebagai gelombang
refleksi SV dan akan terbiaskan sebagai gelombang refraksi SV. Di samping itu juga
dibangkitkan gelombang refleksi P dan gelombang refraksi P. Hal ini merupakan
karakteristik dari gelombang SV apabila melewati bidang batas dengan kontras
elastisitas.
21
Gambar 2.10 Peristiwa pemantulan, pembiasan dan mode conversion yang terjadi pada
saat gelombang SV melewati bidang batas antara dua media (Stacey,
1977).
Berdasarkan gambar (2.10), hukum Snellius dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai
berikut :
Sini Sinrs Sinrp S inf s S inf p
=
=
=
=
Vs1
Vs 2
Vp1
Vs 2
Vp 2
............................................
(2.16)
Dengan Vs1, Vs2 masing-masing adalah kecepatan gelombang S pada media-1 dan
media-2, sedangkan Vp1, Vp2 masing-masing adalah kecepatan gelombang P pada media1 dan media-2.
Hal yang sama juga dapat diperoleh untuk jenis gelombang datang yang lain,
seperti gelombang P atau gelombang-SH. Untuk gelombang-SH yang terjadi hanya
gelombang refraksi SH dan gelombang refleksi SH (Stacey, 1977).
D.3 Perinsip Huygens dan Konsep Muka Gelombang
Prinsip ini sangat penting dalam memahami penjalaran gelombang, dan sering
digunkan untuk menggambarkan posisi muka gelombang. Dalam geometri seismik, muka
gelombang didefinisikan sebagai permukaan yang mempunyai travel time sama, atau
didefinisikan juga sebagai permukaan dimana gelombang mempunyai fase yang sama.
22
Perinsip Huygens menyatakan bahwa setiap titik pada muka gelombang dapat
dipandang sebagai sumber gelombang yang baru. Melalui titik-titik sumber gelombang
yang baru, posisi muka gelombang berikutnya dapat digambarkan atau ditentukan.
Untuk gelombang-gelombang yang dipantulkan atau dibiaskan pada bidang batas,
harus dibedakan antara muka gelombang refleksi dan muka gelombang refraksi. Gambar
(2.11) menunjukkan konstruksi Huygens utnuk gelombang seismik yang direfraksikan
pada bidang batas. Setiap titik pada bidang batas dapat dipandang sebagai sumber
gelombang baru yang mempunyai muka gelombang refraksi, dalam gambar ditunjukkan
muka gelombang refraksi pada saat to (garis putus-putus) dan pada saat t o + Δt (garis
solid). Pada gambar tersebut ditunjukkan juga bahwa arah berkas seismik selalu tegak
lurus terhadap muka gelombang.
D.4 Mode Conversion
Mode Conversion atau konversi tipe gelombang seismik merupakan prose dimana
sebagian energi gelombang P dikonversikan menjadi energi gelombang S, atau
sebaliknya. Salah satu contoh mode conversion, ditunjukkan pada gambar (2.10) di atas.
Peristiwa mode conversion secara jelas dapat dilihat pada penjalaran gelombang P ketika
melewati bidang batas.
Berdasarkan teori mekanika gelombang dan konsep deformasi, gelombang S
dapat dibedakan sifat polarisasi dan orbit gerakan partikel medianya menjadi gelombangSV dan gelombang-SH. Mode Conversion hanya terjadi untuk pasangan gelombang P
dan gelombang-SV. Sedangkan pada gelombang-SH tidak terjadi mode conversion
(Wahyu Triyoso, 1991).
Pembagian energi gelombang pada bidang batas merupakan fungsi dari sudut
datang gelombang pada bidang batas, bentuk persamaannya diberikan oleh Bullen, 1963
(Stacey, 1977).
23
Gambar 2.11 Konstruksi Huygens untuk gelombang seismik yang dibiaskan pada saat
melewati bidang batas antara dua media dengan kecepatan yang berbeda
(Stacey, 1977).
24
BAB III
PENJALARAN GELOMBANG BADAN DALAM BUMI
A. TINJAUAN UMUM
Pada bab terdahulu telah dibahas bahwa energi mekanik yang dibangkitkan oleh
gempa bumi, atau suatu ledakan yang besar, akan ditransmisikan ke seluruh bagian bumi
melalui penjalaran gelombang seismik, baik gelombang-gelombang badan maupun
gelombang-gelombang permukaan. Gelombang badan akan menjalar menembus bagian
dalam bumi, sedangkan gelombang permukaan akan menjalar dipermukaan bumi. Karena
karakteristik gelombang badan yang dapat menjalar menembus bagian dalam bumi, maka
tipe gelombang ini memegang peranan yang dominan pada proses pendugaan dan
penentuan struktur bagian dalam bumi. Kita menamakan gelombang-gelombang badan
sebagai gelombang P dan gelombang S untuk membedakannya dengan gelombang
permukaan.
Pada saat terjadi gempa bumi, gelombang-gelombang badan yang terbangkitkan
akan menjalar dari sumber gempa menembus bagian dalam bumi dan kemudian diterima
oleh stasiun perekam di permukaan bumi. Ilustrasi penjalaran gelombang badan di dalam
bumi ditunjukkan pada gambar 3.1. Gambar ini merupakan penampang lintang bumi
yang diasumsikan berbentuk lingkaran. Gelombang yang dibangkitkan oleh sumber
gempa di titik O akan diterima secara berurutan oleh seismograf pada stasiun perekam di
permukaan bumi yang berkedudukan di titik A,B,C.D, dan E. Dari waktu tiba energi
gelombang P pada titik-titik tersebut, dapat digambarkan muka gelombang yang
ditunjukkan oleh garis terputus dalam gambar 3.1a. Muka gelombang yang dihasilkan
berbentuk lingkaran-lingkaran konsentris, sehingga lintasan berkas seismiknya
merupakan garis lurus. Hal ini menunjukkan media penjalarannya bersifat homogen
isotropis, yang berarti kecepatan seismiknya adalah serba sama (uniform).
Dalam kenyataannya tidaklah demikian, dan biasanya akan dijumpai keadaan
seperti ditunjukkan pada Gambar 3.1b. Berdasarkan indikasi lintasan berkas sinar yang
berbentuk kurva naik pada titik A,B, dan C, dapat ditafsirkan bahwa kecepatan seismik
akan semakin besar dengan bertambahnya kedalaman. Pada titik D dan E Terjadi
pembelokan arah berkas seismik dan penurunan kecepatan seismik. Berdasarkan fakta ini
25
dapat diintepretasikan bahwa material bumi sebagai media penjalaran gelombanggelombang badan tidak homogen isotropis secara keseluruhan, akan tetapi merupakan
struktur perlapisan yang tersusun atas material dengan kecepatan seismik yang tidak
sama.
Gambar 3.1 Suatu diagram yang menunjukkan bagaimana struktur kecepatan bagian
dalam bumi dinyatakan oleh berkas seismik ( Sumner, 1970).
B. PENGGUNAAN NOTASE FASE PADA SEISMOGRAM
Berbagai tipe gelombang seismik yang dibangkitkan oleh gempa bumi akan
direkam oleh seismograf. Hasil rekamannnya berupa seismogram yang berupa pola garisgaris bergelombang sebagai visualisasi gerakan gerakan tanah yang tercatat oleh jarum
seismograf. Dalam tampilan seismogram, setiap energi gelombang yang terekam oleh
seismograf, didindikasikan terjadinya lonjakan pada pola garis tersebut, hal ini disebut
fase.
Pada pembacaan seismogram, fase-fase yang terekam diberi notasi tertentu untuk
mempermudah dalam melakukan identifikasi. Notasi fase ini bersesuaian dengan tipe
gelombang seismik yang terekam dan karakteristik perlakuan yang dialami gelombang
tersebut selama penjalarannya di dalam bagian-bagian bumi.
Beberapaketentuan pemberian notasi fase yang digunakan, dapat diklasifikasikan
menjadi dua kategori, yaitu :
1. Gelombang-gelombang yang menjalar di luar bagian inti. Beberapa notasi yang
digunakan adalah :
26
a. Notasi P dan S, mengindikasikan bagian dari gelombang P dan S yang menjalar
dari fokus menuju ke bawah dan kemudian dipantulkan ke atas.
b. Notasi p dan s, mengindikasikan bagian dari gelombang P dan S yang menjalar
dari fokus dan langsung ke permukaan.
c. Notasi group yang dinyatakan dengan huruf yang sama, seperti PP, pP, SS, sS,
mengindikasikan bagian dari gelombang P atau S yang telah mengalami
pemantulan pada bidang batas permukaan. Sedangkan notasi group yang
dinyatakan dengan huruf yang berbeda, seperti PS, SP, pS, sP, mengindikasikan
bagian gelombang P atau S yang telah mengalami mode conversion ketika
melewati bidang batas. Beberapa contoh penggunaan notasi fase pada kategori ini,
ditunjukkan pada gambar 3.2.
Gambar 3.2 Penggunaan notasi fase untuk gelombang-gelombang yang menjalar di luar
bagian inti bumi (Bullen, 1963).
2. Gelombang-gelombang yang menembus bagian inti bumi. Pada kategori ini ketentuan
pada kategori (1) tetap berlaku. Sedangkan notasi-notasi baru yang digunakan adalah
a. Notasi c, mengindikasikan bagian gelombang yang dipantulkan oleh bidang batas
antara mantel dan inti bumi.
b. Notasi K, mengindikasikan bagian gelombang yang menembus inti luar bumi
(tipe gelombang P).
27
c. Notasi i, mengindikasikan bagian gelombang yang dipantulkan oleh bidang batas
antara inti luar dan inti dalam.
d. Notasi I, mengindikasikan bagian gelombang yang menembus inti dalam (tipe
gelombang P), sedangkan untuk gelombang S yang muncul di inti dalam
diindikasikan dengan notasi J. Beberapa contoh penggunaan Fase untuk kategori
ini ditunjukkan pada gambar 3.3.
Gambar 3.3 Penggunaan notasi fase untuk gelombang-gelombang yang melewati bagian
inti bumi (Bullen, 1963).
Pada umumnya, bagian awal seismogram dari suatu gempa menampilkan eventevent gelombang P dengan indikasi amplitudo lebih kecil dan periode lebih pendek
daripada event-event yang akan muncul kemudian. Fase berikutnya adalah PP dan
kemudian PPP.
Setelah event gelombang P, fase berikutnya yang teramati adalah fase S, yaitu
gelombang S yang mempunyai kurva lintasan waktu terpendek. Karena kecepatan
gelombang ini kira-kira setengahnya kecepatan gelombang P, maka untuk mencapai
stasiun yang sama dibutuhkan waktu sekitar dua kali waktu tempuh gelombang P. Urutan
berikutnya adalah fase PS dan kemudian SS.
Event terakhir yang teramati adalah gelombang permukaan yang dijalarkan
dengan kecepatan relatif lambat sepanjang keliling lingkaran bumi. Gelombanggelombang ini mempunyai periode yang panjang dan amplitudo yang besar, sehingga
28
bersifat destruktif, karena dapat merobohkan bangunan-bangunan di permukaan. Bagian
ini berhubungan dengan bagian penting dari suatu seismogram (Dobrin, 1960). Fase
gelombang permukaan dinotasikan sebagai fase LQ untuk gelombang Love dan fase LR
untuk gelombang Rayleigh. Salah satu contoh tampilan seismogram dari suatu gempa
bumi, ditunjukkan pada gambar 3.4.
Gambar 3.4
Seismogram dari gempa bumi berskala 5.9 yang terjadi di pantai barat
Sumatera pada tanggal 21 Agustus 1967. Direkam di Charters Towers,
Queensland (stasiun CTA) pada jarak 6100 km, Δ = 54.90 (Stacey, 1977).
C. KURVA WAKTU TEMPUH DAN PENENTUAN EPISENTER
Ketika terjadi gempa bumi, gelombang-gelombang akan direkam oleh
seismogram pada kedudukan (koordinat) dan waktu (arrival time) yang sudah diketahui
sehingga waktu tempuh untuk setiap gelombang dapat ditentukan. Kurva yang
menyatakan hubungan antara waktu tempuh gelombang terhadap jarak (dari sumber ke
posisi seismograf) disebut kurva waktu tempuh. Kurva waktu tempuh di sebut juga kurva
T - Δ , dengan T menyatakan waktu tempuh dan Δ menyatakan jarak. Dalam pengertian
seismologi Δ disebut jarak arkual atau jarak angular. Jarak ini merupakan jarak yang
dinyatakan dalam sudut Δ , yaitu sudut yang dibentuk oleh jari-jari bumi di kedua titik
tersebut. Realisasi jarak angular antara dua titik dipermukaan tanah sesuai dengan garis
terpendek yang menghubungkan titik-titik tersebut dengan lekukan bumi yang
mengikutinya.
29
Kurva waktu tempuh yang pertama, dirancang oleh Wiechert dan Zoopritz pada
tahun 1907. Kurva ini dapat digunakan untuk menentukan episenter dengan keakuratan
yang dapat diterima. Perbaikan kurva waktu tempuh dilakukan oleh Jeffreys (1931)
dengan menggunakan metode least square. Dengan metode ini perbedaan waktu tiba
gelombang P dan gelombang S dari hasil pengamatan dan perhitungan dapat
diminimalkan. Kemudian pada tahun 1939, Jeffreys dan Gutenberg mencari distribusi
kecepatan dengan memakai inversi Herglotz-Wiechert dari data waktu tempuh
gelombang.
Tahun 1940 Jeffreys dan Bullen mengumpulkan data-data gempa dan
kemudian menghasilkan tabel waktu tempuh untuk skala global, yang kemudian terkenal
dengan nama tabel waktu tempuh Jeffreys-Bullen. Dari tabel ini kemudian dapat dibuat
kurva waktu tempuh Jeffreys-Bullen (gambar 3.5).
Perbaikan terhadap model kurva waktu tempuh Jeffreys-Bullen terus dilakukan.
Dimulai oleh penelitian yang dilakukan oleh Herin (1968), Anderson dan Hart (1976) dan
yang terakhir adalah Dziewonski dan Anderson (1981) dengan nama Prelimenary
Refference Earth Model (PREM). Hal ini bertujuan agar diperoleh mutu data dan
ketelitian baca yang semakin baik.
Informasi tentang bagian-dalam bumi didasarkan pada struktur kecepatan
penjalaran gelombang P dan gelombang S. Untuk menentukan kecepatan-kecepatan ini,
Kedudukan episenter (juga hiposenter) dan origin time serta waktu tempuh gelombanggelombang tersebut harus diketahui secara akurat.
30
Gambar 3.5 Kurva Waktu tempuh Jeffreys-Bullen (Stacey, 1977)
31
Gambar 3.6 Berkas seismik dengan waktu tempuh yang dipresentasikan pada gambar 3.5
(Stacey, 1977).
Banyak metode yang telah dilakukan oleh ahli seismologi untuk menentukan
episenter maupun hiposenter dan origin time suatu gempa bumi, antara lain adalah :
1. Metode Lingkaran. Metode ini merupakan metode yang paling sederhana dan
metode yang mula-mula dilakukan para ahli untuk menafsirkan episenter gempa.
Dimana kita mencari titik perpotongan lingkaran-lingkaran yang dibuat dengan
pusatnya ditiap-tiap stasiun dengan menggunakan data interval waktu tiba gelombang
P dan gelombang S. Dalam metode ini bumi dianggap sebagai media homogen.
2. Metode Hiperbola. Metode ini menggunakan data waktu tiba gelombang P dan
menganggap bumi sebagai media homogen horisontal. Dengan data interval waktu
tiba gelombang P pada tiap dua stasiun dapat dibuat kurva hiperbola. Sehingga titik
potong dari hiperbola-hiperbola tersebut yang diperkirakan merupakan episenter
gempa.
3. Metode Bola. Metode ini menggunakan data interval waktu tiba gelombang P dan S,
yang dikonversikan ke jarak sebagai jari-jari bola dengan pusatnya di tiap-tiap
stasiun. Titik potong dari bola-bola tersebut yang ditafsirkan sebagai hiposenter.
Metode ini masih menganggap bahwa bumi masih homogen, sehingga menganggap
semua gelombang yang datang adalah gelombang langsung.
32
4. Metode Tripartit.
Metode ini menggunakan tiga stasiun pencata, dengan data
interval waktu tiba gelombang P dan S. Metode ini akan mengalami kesulitan jika
ternyata yang datang adalah gelombang refraksi dan disinipun medium bumi
dianggap homogen.
5. Metode Geiger. Metode ini menggunakan data waktu tiba P ataupun gelombang S
yang pertama, dan di sini media bumi tidak lagi harus diandaikan homogen, tetapi
diandaikan terdiri dari perlapisan horisontal, sehingga metode ini memperhitungkan
akan adanya gelombang langsung maupun gelombang refraksi.
D. GEOMETRI BERKAS SEISMIK PADA PERMODELAN BUMI
D.1 Model Bumi Homogen Isotropis
Untuk kasus yang sederhana, yaitu apabila bumi diasumsikan sebagai media
homogen isotropis, sedemikian hingga sifat-sifat mekanisnya serba sama dalam semua
arah yang mengakibatkan lintasan berkas seismiknya berbentuk garis lurus (gambar 3.7).
Apabila diketahui kecepatan seismiknya adalah v dan jari-jari bumi adalah R, maka
waktu tempuh yang diperlukan untuk menjalar dari episenter ke stasiun perekam dengan
jarak angular Δ , adalah :
( R )sin(Δ 2 )
T =2v
....................................................................................
3.1
Gambar 3.7 Lintasan berkas seismik dari episenter ke stasiun perekam, jika diasumsikan
bumi homogen isotropis (Stacey, 1977).
Dari persamaan 3.1 diketahui bahwa waktu tempuh berkas seismik merupakan fungsi
jarak angular Δ (karena v dan R adalah konstan). Dalam kenyataannya pertambahan
waktu tempuh terhadap jarak angular Δ lebih kecil daripada yang diindikasikan oleh
33
persamaan tersebut (seperti ditunjukkan pada gambar 3.5). Hal ini mengindikasikan
adanya kebergantungan waktu tempuh terhadap faktor lain yang belum terakomodasikan
oleh permodelan bumi homogen isotropis.
D.2 Model Bumi Berlapis Konsentris
Fakta-fakta empiris membuktikan bahwa waktu tempuh gelombang-gelombang
badan tidak hanya dipengaruhi oleh jarak angular Δ saja. Didasarkan persamaan 3.1,
kemungkinan faktor lain yang berpengaruh adalah kecepatan gelombang v ( karena R
adalah konstan). Jadi, dapat dipastikan gelombang-gelombang badan akan dijalarkan
dengan kecepatan yang berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya di dalam bumi.
Pengamatan terhadap lapisan kerak bumi dan mantel atas menunjukkan bahwa
bagian-bagian tertentu pada lapisan-lapisan tersebut tersusun atas material yang bersifat
anisotropis dan kemungkinan menyebar di seluruh permukaan bumi. Walaupun demikian
untuk tinjauan struktur bumi secara keseluruhan sifat anisotropis dan ketidakhomogenan
lateral ini dapat diabaikan terhadap variasi perubahan sifat-sifat ke arah radial. Terdapat
tiga tipe variasi sifat-sifat penyusun material bumi yang telah dikenali, yaitu :
1. Perubahan densitas dan konstanta elastisitas secara gradual terhadap kedalaman yang
diakibatkan oleh efek tekanan dan temperatur pada material yang homogen secara
kimia.
2. Bidang batas yang tajam antara media yang berbeda secara fisik atau kimia.
3. Transisi kimi (fase) yang walaupun tidak tajam seperti sifat (2), tetapi menyebabkan
perubahan sifat-sifat yang lebih progressif daripada sifat (1).
Ketiga tipe sifat di atas menyebabkan terjadinya pembiasan gelombang seismik.
Sedangkan bidang batas yang tajam akan menyebabkan terjadinya pemantulan dan mode
conversion.
Kondisi ini memunculkan ide permodelan bumi berlapis konsentris. Bumi
diasumsikan tersusun atas lapisan selubung-selubung konsentris yang jumlahnya tak
berhingga dengan kecepatan seismik yang semakin besar secara perlahan terhadap
pertambahan kedalaman (pengurangan jari-jari). Setiap selubung merupakan lapisan yang
homogen isotropis.
34
D.3 Parameter Berkas Seismik, p
Dalam pembahasan ini digunakan konsep rumpun berkas (families of rays)
dimana setiap anggota dari rumpun berkas ini mempunyai titik-titik ujung pada
permukaan luar model bumi dan akan dibiaskan melalui permukaan diskontinuitas yang
ditemuinya.
Pada gambar 3.8 ditunjukkan model bumi berlapis konsentris yang tersusun atas
tiga lapisan selubung adalah v1, v2, dan v3. P1P2P3 merupakan bagian dari berkas seismik
yang melintasi struktur perlapisan dengan P1, P2, dan P3 masing-masing adalah titik-titik
pada bidang batas lapisan.
Gambar 3.8 Berkas teleseismik melintasi model bumi yang tersusun atas tiga lapisan
selubung konsentris (Stacey, 1977).
Dengan menerapkan hukum Snellius pada bidang batas A dan B, dari gambar tersebut
diperoleh :
sin i1 sin f 1
sin i2 sin f 2
=
dan
=
v1
v2
v2
v3
Dan dua bangun segitiga pada gambar tersebut (garis terputus) dapat ditentukan bahwa
q = r1 sin f1 = r2 sin i2, maka diperoleh persamaan
35
r1 sin i1 r1 sin f1 r2 sin i2 r2 sin f 2
=
=
=
v1
v2
v2
v3
Secara umum, untuk sejumlah bidang batas lapisan dengan kecepatan semakin besar ke
arah radial berlaku :
r sin i
= kons tan = p ...................................................................................
v
3.2
Dengan r adalah jari-jari suatu titik pada berkas seismik, i adalah sudut antara berkas
seismik dan jari-jari pada titik tersebut dan p disebut sebagai parameter berkas. Parameter
ini merupakan parameter berkas seismik yang berharga konstan sepanjang geometri
lintasannya. Setiap anggota berkas seismik mempunyai harga parameter p yang berbeda
dengan anggota berkas yang lain. Dengan menentukan parameter ini akan diperoleh
harga r
v
pada titik penetrasi berkas seismik yang terdalam, yakni jika sin i = 1.
D.4 Hubungan p, Δ , dan T
Ditinjau satu rumpun berkas dengan parameter p dan geometri lintasannya
membentuk sudut Δ di titik O. T adalah waktu tempuh sepanjang lintasan berkas ini
(gambar 3.9).
Gambar 3.9
Konstruksi geometri dua buah rumpun berkas telesismik yang berdekatan.
Konstruksi ini digunakan untuk menurunkan persamaan yang
menghubungkan p, Δ dan T (Stacey, 1977).
36
Misalkan rumpun berkas yang berdekatan mempunyai waktu tempuh T + dT,
jarak angular Δ + d Δ dan parameter berkasnya p + dp, berdasarkan gambar 3.9, dapat
ditentukan :
( )
( )
dT
NQ v0
2
=
sin i0 =
PQ r0 dΔ
2
Dengan v0 adalah kecepatan seismik di permukaan dan r0 adalah jari-jari pada berkas
sinar di permukaan.
Berdasarkan persamaan 3.2, dapat diperoleh :
P=
dT
dΔ
..................................................................................
3.3
Dengan kata lain, persamaan ini menyatakan bahwa parameter p merupakan gradien pada
kurva waktu tempuh (kurva T- Δ ), pada jarak angular Δ dari sumber. Jadi p merupakan
fungsi jarak angular Δ yang ditempuh oleh berkas seismik tersebut.
D.5 Permasalahan Invers
Suatu permasalahan untuk menentukan kecepatan v sebagai fungsi r yang
didasarkan pada pengamatan p sebagai fungsi Δ , dalam hal ini dikatakan sebagai
permasalahan invers. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, harus dicari bentuk lain
dari hubungan p, Δ dan T.
Bentuk hubungan yang digunakan untuk memecahkan masalah ini adalah
persamaan jarak angular Δ dalam bentuk integral. Persamaan ini diperoleh berdasarkan
gambar 3.10 yaitu dituliskan sebagai berikut :
0
Δ
= p ∫ r −1 η 2 − p 2
2
rmid
r
(
)
− 0.5
dr
.......................................................
3.4
Persamaan 3.4 dirumuskan oleh Herglotz dan Wiechert sehingga dikenal dengan
persamaan Herglotz-Wiechert. Persamaan ini merupakan persamaan integral yang akan
memberikan η sebagai fungsi dari r, karena p diketahui merupakan fungsi dari Δ . Dalam
hal ini η merupakan konvensi matematis untuk menyederhanakan persoalan, yaitu
( v ). Oleh karena itu dari persamaan 3.4 dapat ditentukan juga
didefinisikan sebagai η = r
37
kecepatan v sebagai fungsi dari r, seperti yang diharapkan. Proses ini dikenal sebagai
inversi Herglotz-Wiechert (Garland, 1979).
Solusi persamaan 3.4 diberikan oleh Jeffreys bekerjasama dengan G. Rasch,
dengan menggunakan penyederhanaan yang dibuat oleh E. Wiechert, L. Geiger. Bentuk
solusi ini dapat dituliskan sebagai berikut :
Δ1
∫ cosh
0
−1
⎛ p ⎞dΔ = π ln⎛ r0 ⎞
⎜ η ⎟
⎜ r ⎟
⎝ 1⎠
⎝ 1⎠
....................................................
3.5
Gambar 3.10 Konstruksi geometri berkas seismik yang digunakan untuk menurunkan
persamaan Herglotz-Wiechert (Stacey, 1977).
Persamaan 3.5 dapat dievaluasi secara numeris berdasarkan kurva p terhadap Δ yang
diberikan. Dalam persamaan η1 merupakan kemiringan kurva waktu tempuh pada Δ 1 .
Dengan menentukan harga-harga p pada titik-titik tengah dan mengevaluasi
cosh −1 = ⎛⎜ p ⎞⎟ maka suku sebelah kiri dapat diintegralkan secara numeris untuk setiap
⎝ η1 ⎠
harga Δ 1 yang diketahui. Selanjutnya harga r1, yaitu jari-jari pada titik tengah berkas
sinar yang muncul pada jarak Δ 1 , dapat ditentukan sehingga kecepatan pada titik tengah
ini, yang diberikan oleh v1 = r1
η1 dapat ditentukan juga.
Dengan mengevaluasi
persamaan ini untuk Δ 1 yang semakin banyak, akan diperoleh harga v1 yang bervariasi
pula, sehingga dapat dibuat distribusi kecepatan sebagai variasi terhadap kedalaman, baik
untuk gelombang P maupun gelombang S.
38
D.6 Distribusi Kecepatan (Kasus Khusus)
Berdasarkan pembahasan persamaan 3.5, akan diperoleh variasi kecepatan yang
kontinu dan semakin besar secara monoton terhadap kedalaman. Dalam hal ini p semakin
berkurang terhadap Δ dan p lebih besar dari η1 , sedemikian hingga karakteristik kurva
waktu tempuhnya (T- Δ ) adalah kontiniu dan berharga tunggal.
Namun demikian, dalam permodelan ini dimungkinkan terdapat kasus-kasus
tertentu yang mengakibatkan distribusi kecepatannya tidak sesuai seperti yang diuraikan
di atas. Kasus yang menarik diantaranya adalah efek triplikasi (triflication) dan efek
daerah bayangan (shadow zone).
D.6.1 Efek Triplikasi.
Efek ini terjadi apabila terdapat anomali perlapisan dengan kecepatan tinggi
(gradien kecepatannya besar), seperti ditunjukkan pada gambar 3.11. Berkas sinar yang
penetrasi terdalamnya berada pada lapisan ini akan mempunyai kurva lintasan yang lebih
lengkung sehingga dapat muncul pada jarak Δ yang lebih kecil daripada berkas sinar
yang penetrasi terdalamnya tidak pada lapisan ini (gambar 3.11a). Parameter p berkurang
secara monoton, namun pada selang Δ tertentu parameter ini tidak lagi berharga tunggal,
tetapi ada tiga nilai p untuk harga Δ yang sama. Dengan menafsirkan p sebagai
kemiringan kurva waktu tempuh, diperoleh gambar 3.11b, yang mengindikasikan
terjadinya triplikasi kurva waktu tempuh pada harga selang Δ tertentu.
Gambar 3.11 Efek triplikasi akibat anomali kecepatan yang tinggi (a) lintasan berkas
seismik (b) karakteristik kurva waktu tempuh yang dihasilkan (Stacey,
1977).
39
D.6.2 Efek Daerah Bayangan (Shadow Zone).
Efek ini terjadi apabila terdapat anomali perlapisan dengan kecepatan rendah (low
velocity zone). Kasus ini ditunjukkan pada gambar 3.12. Geometri berkas seismik kasus
ini memungkinkan terjadinya daerah bayangan (shadow zone), yaitu suatu daerah dalam
selang jarak Δ tertentu dimana tidak terdapat berkas seismik yang muncul dipermukaan
(3.12a). Untuk harga Δ yang kecil, karakteristik parameter p masih normal, tetapi pada
harga Δ yang besar karakteristik parameter berkas seismiknya memungkinkan untuk
terjadinya pemisahan lintasan yang tidak normal, sehingga terdapat daerah tertentu yang
tidak dapat mendeteksi berkas seismik ini. Efek shadow zone diindikasikan oleh
karakteristik kurva waktu tempuh yang terputus (gambar 3.12b).
Gambar 3.12 Efek daerah bayangan akibat anomali perlapisan dengan kecepatan rendah
(a) lintasan berkas seismik (b) karakteristik kurva waktu tempuh yang
dihasilkan (Stacey, 1977).
40
BAB IV
STRUKTUR BAGIAN DALAM BUMI BERDASARKAN
BUKTI-BUKTI SEISMOLOGI
A. STRUKTUR KECEPATAN DI DALAM BUMI
Berdasarkan data-data gempa bumi yang terbaca pada seismogram dapat
diperoleh data empiris yang menghubungkan antara harga-harga waktu tempuh T dan
jarak angular Δ . Data-data ini telah dianalisa oleh beberapa ahli seismologi dengan
tujuan untuk menentukan variasi kecepatan gelombang P dan gelombang S terhadap
kedalaman ke arah pusat bumi.
Dasar teoritis yang digunakan adalah persamaan Herglotz-Wiechert (persamaan
3.5). Persamaan ini dapat memperlihatkan gambaran pokok variasi kecepatan gelombang
P dan gelombang S, apabila terdapat data-data T dan Δ untuk rumpun berkas yang
bervariasi. Oleh karena itu variasi kecepatan terhadap kedalaman ke arah pusat bumi
dapat diketahui.
Penampang struktur kecepatan di dalam bumi berdasarkan hasil analisa yang
dilakukan oleh Dziewonski, dkk, ditunjukkan pada gambar 3.13. Sedangkan gambar 3.14
menunjukkan lintasan-lintasan berkas seismik gelombang P dan muka gelombang yang
dihasilkannya di dalam media bumi.
B. DISKONTINUITAS DI DALAM BUMI
Interpretasi terhadap struktur kecepatan gelombang P di dalam bumi
menunjukkan adanya diskontinuitas dan transisi keceptan di dalam bumi. Secara seismik
diskontinuitas ini didefinisikan sebagai perubahan kecepatan yang tajam.
B.1 Diskontinuitas Mohorovicic
A. Mohorovicic menemukan sesuatu yang penting pada tahun 1909, ketika
mendeteksi perbedaan tipe gelombang P dan S dari kajian seismogram gempa lokal
berjarak 100 yang terjadi dilembah Kulva Yugoslavia (8 Oktober 1909). Perbedaan ini
diindikasikan oleh adanya perubahan yang jelas pada kecepatan gelombang tersebut
setelah melewati beberapa puluh kilometer di bawah permukaan bumi. Gelombang P dan
gelombang S menjalar dengan kecepatan yang lebih besar dan lebih bervariasi
41
dibandingkan sebelum mencapai dataran ini. Dataran ini berhubungan dengan bidang
batas yang boleh dikatakan tajam, dan dikenal sebagai diskontinuitas Mohorovicic atau
diskontinuitas M.
Berdasarkan pengkajian lebih lanjut, ternyata diskontinuitas ini menyebar di
seluruh permukaan bumi dengan kedalaman yang bervariasi. Di daerah benua, biasanya
ditemui pada kedalaman 35 km. Kedalaman ini menjadi lebih besar jika di bawah daerah
pegunungan. Batas ini hanya terdapat sedalam 8 km di bawah dasar laut. Bagian bumi
yang berada di atas diskontinuitas ini disebut kerak bumi (crust), dan bagian bawah
disebut mantel atau selubung bumi. Pada Gambar 4.3 ditunjukkan penampang lintang
ideal yang memotong bumi pada puncak benua.
Gambar 4.1 Distribusi kecepatan gelombang P dan gelombang S di dalam bumi
berdasarkan data model bumi yang dibuat oleh Dziewonski, dkk (Stacey,
1977).
42
Gambar 4.2
Lintasan berkas seismik dan muka gelombang yang terjadi untuk
penjalaran gelombang P di dalam bumi (Stacey, 1977).
Gambar 4.3
Diskontinuitas Mohorovicic memisahkan bagian kerak bumi
dan
selubung bumi. Ditunjukkan pula beberapa bagian bumi dengan densitas
rata-rata material penyusunnya (Sumner, 1970).
B.2 Keberadaan Inti Bumi
Keberadaan inti bumi yang berbeda dengan bagian luarnya telah diusulkan oleh
Wiechert (1897). Bukti-bukti seismologi yang menunjukkan hal ini diberikan oleh
43
Oldham (1906). Gutenberg (1913) memperkirakan bidang batas inti dikenal sebagai garis
Gutenberg.
Bukti langsung keberadaan inti diindikasikan oleh terjadinya daerah bayangan
(shadow zone) pada jarak angular antara 1050 sampai dengan 1420. Pada daerah
bayangan ini tidak terdeteksi gelombang seismik dengan jelas. Sedangkan di dekat jarak
angular 1420, terdeteksi gelombang P dengan amplitudo yang kuat. Terjadinya daerah
bayangan ini berkaitan dengan terdapatnya permukaan diskontinuitas, sedemikian hingga
kecepatan gelombang P menurun tajam. Gelombang P yang terdeteksi pada jarak 1420
bersesuaian dengan fase PKP.
Perhitungan kedalaman yang lebih teliti dilakukan oleh Jeffreys dan
menghasilkan nilai kedalaman, (2898+47) km. Hal ini didasarkan pada pengamatan
Gutenberg dan Richter, Scrase, Stechschulte dan Tillotson terhadap waktu tempuh fase
ScS dan PcP (Bullen, 1963). Terdeteksinya fase ScS pada setiap rekaman gempa yang
tidak terlalu jauh dari epicenter, menunjukkan bahwa bidang batas ini sangat tajam, dan
didefinisikan sebagai diskontinuitas yang paling tajam diantara semua diskontinuitas
yang ada di dalam bumi.
Pada bagian mantel bawah, yaitu dikedalaman sekitar 1000 km sampai dengan
2900 km, variasi kecepatan gelombang P dan S mempunyai perubahan gradien yang
relatif smooth. Sebagian besar kajian waktu tempuh pada daerah ini memberikan hasil
yang sama. Dan gradien kecepatan turun secara noemal sampai kedalaman 2700 km,
tetapi tidak terdapat bukti-bukti yang menunjukkan gradien kecepatan harga nol sampai
pada kedalaman 2900 km.
B.4 Diskontinuitas Didalam Inti Bumi
Daerah bayangan pada jarak angular antara 1050 sampai 1420, yang merupakan
bukti kuat terdapatnya inti bumi, ternyata tidaklah sempurna, karena pada jangkauan
jarak tersebut masih dapat dideteksi gelombang P dengan amplitudo yang lemah. Namun
demikian, Lehmann (1936) mengusulkan bahwa gelombang P dengan amplitudo yang
lemah ini merupakan bukti yang cukup kuat untuk menyatakan terdapatnya bagian inti
dalam dengan kecepatan gelombang P yang lebih besar dari daerah disekelilingnya.
Hipotesa ini kemudian diperkuat oleh Gutenvberg dan Richter (1938), dengan mengamati
data yang semakin banyak. Kemudian Burke-Gaffney dan Bullen, dari pengamatan
44
rekaman seismik yang dihasilkan oleh ledakan nuklir (1954), dapat mendeteksi
gelombang-gelombang Lehmann (Gelombang P dengan amplitudo lemah) tersebut. Bukti
lain ditunjukkan oleh Caloy (1961) yang menemukan fase PkiKP pada jarak angular 200
yang bersesuaian dengan gelombang yang dipantulkan oleh bidang batas ini. Akhirnya
dapat dipastikan bahwa keberadaan inti dalam itu benar. Batas kedua bagian ini dikenal
sebagai garis Lehmann, yang diperkirakan berada pada kedalaman sekitar 4700 km.
Berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh dari pengamatan gempa di Pulau
Solomon (9 Januari 1932) dan gempa di laut Celebes (29 Juni 1934), menunjukkan
bahwa garis Lehmann ini sebenarnya merupakan daerah transisi dengan ketebalan sekitar
150 km (Bullen, 1963). Jadi, bagian inti bumi dapat dipisahkan menjadi inti luar, derah
transisi dan inti dalam. Secara seismik inti luar berkelakuan sebagai fluida cair, karena
tidak dijumpai gelombang S pada bagian ini, sedangkan inti dalam sebagai suatu padatan.
C. PEMISAHAN BAGIAN-BAGIAN BUMI
Dari pendeteksian dari diskontinuitas didalam bumi yang diperoleh berdasarkan
interpretasi terhadap struktur kecepatan di dalam bumi, Bumi dapat dipisahkan atas 3
bagian utama, yaitu kerak bumi, mantel atau selubung bumi dan inti bumi. Bagian-bagian
utama ini secara seismik dipisahkan dengan mendefinisikan diskontinuitas. Disamping
itu, bagian-bagian utama tersebut masih dipisahkan menjadi sub bagian-sub bagian
tertentu, yang melalui pengamatan lebih lanjut terhadap transisi kecepatan.
Pada tabel berikut ini ditunjukkan beberapa data yang menggambarkan perlapisan
bagian-bagian bumi tersebut (Sumner,1970).
D. REKONSTRUKSI MODEL BUMI
Berdasarkan bukti-bukti seismologi yang telah diuraikan di atas, maka dapat
dilakukan rekonstruksi terhadap model bumi, seperti ditunjukkan pada gamabar 4.5.
45
Gambar 4.5
Rekonstruksi model bumi, (a) lintasan-lintasan berkas seismik yang
menembus bagian dalam bumi (Garland,1984), (b) Bidang batas yang
memisahkan bagian-bagian bumi (Bullen, ilmu pengetahuan populer), (c)
Model penampang tiga dimensi yang menunjukkan bagian-bagian utama
bumi (Sumner,1970).
46
BAB V
PENUTUP
Bagi orang awam, gempa bumi merupakan kejadian alam biasa. Gempa akan
menjadi luar biasa, apabila mendatangkan kerusakan dipermukaan alam raya, bahkan
menjadi hal yang sangat menakutkan , manakala menelan ribuan nyawa manusia . Gempa
adalah suatu bencana.
Namun demikian, bagi seorang ahli geofisika, gempa bumi adalah suatu petunjuk
dan suatu cara untuk menelaah bumi. Ketika terjadi gempa, dibangkitkan energi mekanis
yang akan ditransmisikan ke seluruh bagian bumi melalui penjalaran gelombang seismik.
Gempa adalah suatu peristiwa memotret bagian-bagian dalam bumi.
Gelombang seismik merupakan gelombang elastik sehingga penjalarannya akan
dipengaruhi oleh sifat-sifat elastisitas media yang dilewatinya. Parameter penjalaran yang
secara
langsung
berhubungan
dengan
karakteristik
media
adalah
kecepatan
penjalarannya. Melalui perekaman terhadap gelombang-gelombang yang telah menembus
bagian bagian bumi ini, dapat digali informasi tantang media yang dilewatinya.
Gelombang P dan S merupakan tipe gelombang seismik yang dapat menjalar
menembus bagian dalam bumi. Gelombang ini berperan penting dalam usaha untuk
menelaah struktur bagian dalam bumi. Kecepatan gelombang ini bervariasi terhadap
kedalaman yang ditembusnya. Berdasarkan analisa terhadap variasi kecepatan ini, bumi
dapat dipisahkan menjadi tiga bagian utama yaitu, kerak bumi, mantel bumi dan inti
bumi. Bagian-bagian ini dipisahkan secara seismik dengan mendefinisikan diskontinuitas
yang diindikasikan dengan perubahan kecepatan yang sangat tajam. Selanjutnya dari
analisa kecepatan lebih lanjut, diketahui terdapatnya lapisan-lapisan transisi, yang
kemudian memisahkan mantel menjadi mantel atas dan mantel bawah, sedangkan inti
bumi menjadi inti dalam dan inti luar.
Penentuan permukaan diskontinuitas dan lapisan transisi dilakukan melalui cara
yang tidak langsung. Sebagaimana kajian geofisika pada umumnya, dalam hal mini
dihadapkan pada permasalahan invers. Bukti-bukti secara langsung tidak didapatkan, kita
hanya dapat mengamati gejala-gejala yang mungkin ditimbulkannya. Oleh karena itu
kesimpulan yang diambil masih memiliki tingkat ambiguitas tertentu.
47
DAFTAR PUSTAKA
Bullen,K.E., (1963), An Introduction to the Theory of Seismology, 3th, Cambridge,
University Press, Cambridge
Bullen,K.E., Ilmu Pengetahuan Populer, Bagian Ilmu Pengetahuan Bumi.
Coulomb,J., Caputo,M., (1971), Mantle and Core in Planetary Physics, Academic Press,
New York.
Dobrin,M.B., (1960), Introduction to Geophysics Prospecting, 6th, McGraw-Hill, New
York.
Garland,G.D., (1979), Introduction to Geophysics, 2th, W.B.Saunders Company, Toronto.
Grant,F.S., West,G.F., (1965), Interpretation Theory in Applied Geophysycs, McGrawHill, New York.
Gunawan, (1985), Penentuan Hyposenter dan Origin Time Gempa lokal Dengan Metode
Geiger, Thesis, UGM.
McQuillin,R., Bacon,M., Barcklay,W., (1984), An Introduction to Seismic Interpretation,
Graham& Trotman, London.
Sumner,J.S., (1970), Geophysics, Geologic Structure and Techtonics, 2th, Wm.C.Brown
Company Publisher, Dubuque.
Stacey,F.D., (1977), Phtsics of the Earth, 2th, John-Wiley & Son’s, New York.
Telford,W.M., (1976), Geldart,L.P., Sherrif,R.E., Keys,D.E.,Applied Geophysics,
Cambridge University Press.
Wahyu Triyoso, (1991), Konsep-Konsep Dasar Seismologi, ITB Bandung.
48
KARYA ILMIAH
1. Judul Tulisan
: Penerapan Penjalaran Gelombang Seismik Gempa Pada
Penelaahan Struktur Bagian Dalam Bumi.
2. Identitas Penulis
a. Nama
: Susilawati, S.Si., M.Si.
b. NIP.
: 132 283 628
c. Pangkat/Gol.
: Penata/IIIc
d. Jabatan
: Lektor
e. Jurusan / Fak.
: Fisika/MIPA
3. Bidang Ilmu
: Geofisika
Medan, Oktober 2008
Diketahui Oleh
Ketua Jurusan Fisika
Penulis
Dr. Marhaposan Situmorang
NIP. 130 810 771
Susilawati,S.Si.,M.Si.
NIP. 132 283 628
49
KATA PENGANTAR
Bismillahhirrahmannirrahim
Segala puji
dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, kekuatan, kesehatan, dan ketabahan sehingga penulisan dan
penyusunan karya ilmiah ini dapat diselesaikan, meskipun isi dan penyusunannya masih
jauh dari kesempurnaan.
Pada makalah ini dipaparkan dasar teori dari penjalaran gelombang seismik, dan
penerapannya pada penelaahan struktur bagian dalam bumi. Juga telah dilakukan analisa
terhadap rekaman seismogram sejumlah gempa bumi pada sejumlah stasiun perekam.
Untuk tujuan penelaahan bagian-bagian dalam bumi, digunakan tipe gelombang P dan
gelombang S. Intepretasi terhadap struktur kecepatan menunjukkan terdapatnya bidangbidang diskontinuitas yang diindikasikan oleh perubahan gradien kecepatan yang sangat
tajam. Didasarkan pada diskontinuitas yang ditemui, bumi dipisahkan menjadi tiga
bagian utama, yaitu kerak bumi, mantel (selubung bumi), dan inti bumi.
Penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis dan juga
bagi siapa saja yang menggunakannya.
Medan, Oktober 2008
Penulis,
Susilawati
50
DAFTAR ISI
Hal.
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI ......................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN ...............................................................................
A. GEMPA BUMI MEMBERI PETUNJUK .....................................
B. PERKEMBANGAN SEISMOLOGI .............................................
C. BEBERAPA ISTILAH DALAM SEISMOLOGI .........................
1
2
2
2
3
BAB II DESKRIPSI GELOMBANG SEISMIK .............................................
A. PEMBANGKITAN GELOMBANG SEISMIK ............................
B. TEORI DASAR GELOMBANG SEISMIK ..................................
C. BERBAGAI TIPE GELOMBANG SEISMIK ...............................
D. MEKANISME PENJALARAN GELOMBANG SEISMIK .........
5
5
5
16
20
BAB III PENJALARAN GELOMBANG BADAN DI DALAM BUMI ........
A. TINJAUAN UMUM ......................................................................
B. PENGGUNAAN NOTASE FASE PADA SEISMOGRAM ..........
C. KURVA WAKTU TEMPUH DAN PENENTUAN
EPISENTER ..................................................................................
D. GEOMETRI BERKAS SEISMIK PADA PERMODELAN
BUMI ............................................................................................
25
25
26
29
33
BAB IV STRUKTUR BAGIAN DALAM BUMI BERDASARKAN
BUKTI-BUKTI SEISMOLOGI ...........................................................
A. STRUKTUR KECEPATAN DI DALAM BUMI ...........................
B. DISKONTINUITAS DI DALAM BUMI .......................................
C. PEMISAHAN BAGIAN-BAGIAN BUMI .....................................
D. REKONSTRUKSI MODEL BUMI ................................................
41
41
41
45
45
BAB V PENUTUP ............................................................................................
45
DAFTAR PUSTAKA
1
51
Download