SKRIPSI KAJIAN SENYAWA ANTIMIKROBA

advertisement
SKRIPSI
KAJIAN SENYAWA ANTIMIKROBA
BAKTERI ASAM LAKTAT HOMOFERMENTATIF
ISOLAT ASI
Oleh:
SISKA SETIANINGSIH
F24051391
2010
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Siska Setianingsih. F24051391. Kajian Senyawa Antimikroba Bakteri Asam
Laktat Homofermentatif Isolat ASI. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Lilis Nuraida,
MSc.
RINGKASAN
Bakteri Asam Laktat (BAL) termasuk mikroorganisme yang aman jika
ditambahkan dalam pangan karena sifatnya tidak toksik dan tidak menghasilkan
toksin, maka disebut food grade microorganism atau dikenal sebagai
mikroorganisme yang Generally Recognized As Safe (GRAS) yaitu
mikroorganisme yang tidak beresiko terhadap kesehatan. Bakteri asam laktat telah
dikenal pemanfaatannya sejak lama yaitu sebagai biopreservatif dalam proses
fermentasi berbagai produk pangan. Hal ini dimungkinkan karena BAL dapat
menghasilkan produk metabolit yang bersifat antimikroba seperti asam organik,
hidrogen peroksida (H2O2), karbondioksida (CO2), diasetil, dan bakteriosin.
Bakteriosin yang dihasilkan BAL, mendapat perhatian utama karena
bermanfaat sebagai biopreservatif menggantikan bahan preservatif kimia.
Kekhawatiran akan efek negatif bahan kimia bagi kesehatan membuat
penggunaan pengawet semakin banyak beralih dari pengawet kimia ke pengawet
yang lebih alami. Bakteriosin yang telah diisolasi hingga saat ini diketahui
memiliki sifat sebagai protein, efek bakterisidal dengan spektrum penghambatan
yang relatif terpusat pada spesies penghasil (kedekatan filogenetik), dan
mempunyai reseptor spesifik pada sel sasaran. Oleh karena itu, tujuan penelitian
ini adalah untuk mengkaji senyawa antimikroba yang dihasilkan BAL dan
mengkaji potensinya sebagai penghasil bakteriosin.
BAL yang digunakan pada penelitian ini adalah Lactobacillus
homofermentatif (A3, A36, A38, R11), Streptococcus homofermentatif (A4),
Lactobacillus rhamnosus (R12, R14), Lactobacillus fermentum (R17),
Lactobacillus plantarum (B6) yang diisolasi dari air susu ibu (ASI). Pada
penelitian sebelumnya, isolat-isolat ini diketahui berpotensi sebagai kandidat
probiotik karena memiliki ketahanan terhadap asam dan garam empedu (bile salt).
Selain itu, isolat BAL tersebut juga memiliki aktivitas antimikroba terhadap
beberapa bakteri patogen seperti Bacillus cereus, Staphylococcus aureus,
Salmonella sp., dan Escherichia coli.
Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu (1) Pengujian aktivitas
antimikroba BAL terhadap bakteri patogen (2) Pengujian aktivitas antimikroba
sebagai seleksi untuk memperoleh isolat BAL yang berpotensi menghasilkan
bakteriosin dan terbagi lagi menjadi empat tahap yaitu (a) Pengaruh netralisasi
senyawa antimikroba terhadap bakteri uji sensitif dengan metode kontak, (b)
Penentuan waktu inkubasi berdasarkan kurva pertumbuhan, (c) Pengaruh waktu
inkubasi terhadap aktivitas antimikroba, (d) Konfirmasi pengujian bakteriosin
Pada tahap pertama yaitu pengujian aktivitas antimikroba BAL diperoleh
hasil keseluruhan isolat menunjukkan sifat antagonistik yang besar terhadap
Listeria monocytogenes dengan rata-rata penghambatan sebesar 10.6 mm.
Terdapat 12 isolat dengan penghambatan terhadap L. monocytogenes di atas 10
mm yaitu R11, R12, R13, R15, R18, R20, R30, R32, R36, A4, A38, dan A36
yang kemudian dilanjutkan ke tahap seleksi untuk memperoleh isolat yang
berpotensi menghasilkan bakteriosin yaitu melalui pengaruh netralisasi terhadap
supernatan. Pada tahap tersebut supernatan yang dinetralisasi dari 7 isolat yaitu
R12, R13, R15, R20, R32, A4, dan A38 mampu menahan kenaikan pertumbuhan
bakteri uji yaitu L. monocytogenes dengan nilai yang berbeda nyata dengan
kontrol berdasarkan pengujian statistik dengan ANOVA yang dilanjutkan dengan
uji Duncan. Hasil tersebut menunjukkan kemungkinan terdapatnya senyawa
antimikroba selain asam organik yang dapat menahan kenaikan pertumbuhan
bakteri uji.
Isolat-isolat tersebut kemudian diuji lebih lanjut untuk mengkonfirmasi
keberadaan bakteriosin. Waktu inkubasi yang digunakan untuk produksi
bakteriosin berdasarkan waktu yang diperlukan untuk mencapai awal fase
stasioner yang diperkirakan pada saat tersebut terjadi sintesis yang optimum dari
bakteriosin. Isolat R13 mencapai awal fase stasioner pada jam ke-11, isolat R12,
A4, dan A38 pada jam ke-13. Isolat R32 pada jam ke-15, Isolat R15 pada jam ke19 dan R20 pada jam ke-21.
Dengan menggunakan waktu inkubasi hingga awal fase stasioner,
dilakukan pengujian aktivitas antimikroba dari 7 isolat (R12, R13, R15, R20, R32,
A4, dan A38) terhadap bakteri uji L. monocytogenes, B. cereus, dan S. aureus
dengan metode difusi agar dan metode kontak. Hasil pengujian menunjukkan
tidak adanya zona penghambatan yang kemungkinan dikarenakan kecilnya
konsentrasi bakteriosin dalam 50 µl supernatan pada pengujian metode difusi
agar. Pengujian metode kontak dengan menggunakan 2 isolat (A4 dan A38) yang
memiliki daya penghambatan tertinggi pada tahap sebelumnya, tidak mampu
menahan pertumbuhan bakteri uji L. monocytogenes. Dengan demikian hingga
awal fase stasioner, sintesis bakteriosin belum maksimum sehingga aktivitas
penghambatannya lebih rendah dibanding supernatan yang dinetralisasi hasil
inkubasi 24 jam. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa setiap bakteri memiliki
waktu yang berbeda dalam mensintesis bakteriosin.
Konfirmasi keberadaan bakteriosin juga dilakukan dengan pengendapan
molekul protein bakteriosin dengan prinsip salting out menggunakan garam
ammonium sulfat dari supernatan isolat A4 dan A38. Pengujian hasil
pengendapan tersebut terhadap bakteri uji L. monocytogenes, B. cereus, dan S.
aureus menunjukkan tidak terdapatnya zona penghambatan. Diperolehnya hasil
tersebut kemungkinan disebabkan karena belum dilakukan optimasi kondisi yang
tepat bagi isolat untuk menghasilkan bakteriosin serta belum optimalnya ekstraksi
bakteriosin yang dilakukan.
KAJIAN SENYAWA ANTIMIKROBA
BAKTERI ASAM LAKTAT HOMOFERMENTATIF
ISOLAT ASI
SKRIPSI
Sebagai salah satu ayarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
SISKA SETIANINGSIH
F24051391
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi
:
Kajian Senyawa Antimikroba
Bakteri Asam Laktat Homofermentatif Isolat ASI
Nama Mahasiswa
:
Siska Setianingsih
Nomor Pokok
:
F24051391
Program Studi
:
Ilmu dan Teknologi Pangan
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. LILIS NURAIDA, MSc
NIP. 19621009 198703 2 002
SITI NURJANAH, STP., MSi.
NIP. 19760131 200501 2 002
Mengetahui,
Kepala Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Dr. Ir. DAHRUL SYAH, MSc
NIP. 19650814 199002 1 001
Tanggal Lulus : 27 Juli 2010
RIWAYAT PENULIS
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15
Februari 1988
dari pasangan Sammy Herman dan
Warnaning Sediyati. Penulis menghabiskan masa kanakkanaknya di TK Harapan Bahagia. Penulis melanjutkan
belajarnya di SDN Mekarjaya 15, kemudian di SLTPN 3
Depok, dan SMUN 1 Depok. Penulis melanjutkan
pendidikannya dan diterima menjadi mahasiswi IPB
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada
tahun 2005. Pada tahun 2006, penulis diterima menjadi
mahasiswi departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP).
Selama belajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, penulis
mengikuti berbagai kegiatan, organisasi kemahasiswaan, dan lembaga informal.
Diantaranya pernah menjadi panitia BAUR 2007 Departemen ITP, panitia Paskah
PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen) 2006. Penulis juga pernah mengikuti
PKM (Pekan Kreativitas Mahasiswa) yang didanai dengan judul “Pengembangan
Telogurt Sinbiotik sebagai Inovasi Pangan Fungsional Indigenous Kaya
Antosianin”. Penulis juga tecatat sebagai Asisten Praktikum Mikrobiologi Pangan
2009-2010. Selama kuliah, penulis merupakan penerima Beasiswa Women
International Club, PT. Blue Bird Group, dan PT Gudang Garam.
Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian,
penulis menyelesaikan skripsinya dengan judul “Kajian Senyawa Antimikroba
Bakteri Asam Homofermentatif Isolat ASI” di bawah bimbingan Dr. Ir. Lilis
Nuraida, MSc. dan Siti Nurjanah STP., MSi.
KATA PENGANTAR
Puji, hormat, dan syukur penulis persembahkan kepada Tuhan Yesus atas
segala berkat, kasih, serta tuntunanNya, khususnya dalam menyelesaikan
penelitian dan penulisan karya ilmiah ini sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas akhir ini untuk memenuhi segala persyaratan dalam memperoleh gelar
sarjana. Dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan karya tulis ini, penulis
banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak dan Ibu di rumah atas segala doa dan kerja keras yang tiada henti demi
keberhasilan studi penulis.
2. Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc dan dan Siti Nurjanah, STP, MSi. selaku
pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi, ilmu, dan dukungan
sepenuhnya kepada penulis.
3.
SEAFAST Center IPB atas segala dukungan dana dan fasilitas yang diberikan
selama penelitian oleh penulis.
4. Fitri dan Ike sebagai teman satu bimbingan, bantuan yang telah diberikan
sungguh sangat berarti bagi penulis.
5. Mbak April, Mbak Hana, Mbak Dhenok dan Mbak Sofah, Mbak Desty, Mas
Yeris yang telah memberi banyak sekali masukan, bantuan, dan ilmu kepada
penulis.
6. Pak Rojak, Mbak Ari, Bu Entin, Pak Abah, Pak Udin, Mbak Anik atas segala
bantuan yang diberikan sehingga penulis dapat dengan mudah dan lancar
dalam penelitian.
7. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah
memberikan ilmu dan mendukung kemajuan penulis.
8. Pak Muchtadin, Pak Misdi dan staf AJMP Fateta yang telah banyak membantu
penulis dalam mengurus administrasi selama di Fateta.
9. Pustakawan-pustakawan perpustakaan Fateta, PAU, dan LSI, terimakasih atas
segala bantuannya.
10. Seluruh teman-teman seperjuangan ITP’42, kenangan indah selama ini tak
akan pernah penulis lupakan.
11. Teman-teman Nikiters (Lena, Frahel, Mery, Leni, Dewi, Junide, Nita, Titin),
keceriaan yang selama ini diberikan telah memberi warna dalam hidup
penulis.
12. Serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terima
kasih atas bantuan sehingga karya tulis ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh sebab
itu masukan dan kritik yang membangun selalu penulis tunggu. Akhir kata,
penulis berharap semoga karya tulis akhir ini dapat bermanfaat dan memberikan
kontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, September 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
DAFTAR ISI....................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL............................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................
I. PENDAHULUAN ...........................................................................................
A. LATAR BELAKANG ................................................................................
B. TUJUAN .....................................................................................................
C. MANFAAT PENELITIAN.........................................................................
1
1
2
2
II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................
A. Bakteri Asam Laktat (BAL)........................................................................
1. Karakteristik BAL...................................................................................
2. Metabolisme BAL...................................................................................
3. Pertumbuhan BAL ..................................................................................
B. Senyawa Antimikroba Bakteri Asam Laktat...............................................
1. Asam Laktat............................................................................................
2. Asam Organik selain Asam Laktat .........................................................
3. Hidrogen peroksida.................................................................................
4. Karbon Dioksida.....................................................................................
5. Diasetil....................................................................................................
6. Bakteriosin ..............................................................................................
a. Klasifikasi Bakteriosin ........................................................................
b. Biosintesis Bakteriosin........................................................................
c. Mekanisme Kerja Bakteriosin.............................................................
C. Bakteri Patogen ...........................................................................................
3
3
4
5
8
8
10
11
12
12
13
13
14
17
17
18
III. METODOLOGI PENELITIAN....................................................................
A. Bahan dan Alat............................................................................................
B. Metode Penelitian........................................................................................
1. Pengujian Aktivitas Antimikroba BAL terhadap Bakteri Patogen........
2. Pengujian Aktivitas Antimikroba sebagai Seleksi untuk
Memperoleh Isolat BAL yang Berpotensi Menghasilkan
Bakteriosin.............................................................................................
a. Pengaruh Netralisasi Senyawa Antimikroba terhadap Bakteri
Uji Sensitif dengan metode Kontak ..................................................
b. Penentuan Waktu Inkubasi Berdasarkan Kurva Pertumbuhan .........
c. Pengaruh Waktu Inkubasi terhadap Aktivitas Antimikroba .............
d. Konfirmasi Pengujian Bakteriosin ....................................................
21
21
21
22
23
23
24
24
26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 28
A. Pengujian Aktivitas Antimikroba BAL terhadap Bakteri Patogen ............. 28
B. Pengujian Aktivitas Antimikroba sebagai Seleksi untuk Memperoleh
Isolat BAL yang Berpotensi Menghasilkan Bakteriosin ............................
1. Pengaruh Netralisasi Senyawa Antimikroba terhadap Listeria
monocytogenes dengan Metode Kontak...............................................
2. Penentuan Waktu Inkubasi Berdasarkan Kurva Pertumbuhan ..............
3. Pengaruh Waktu Inkubasi terhadap Aktivitas Antimikroba ..................
4. Konfirmasi Pengujian Bakteriosin .........................................................
32
32
38
44
47
V. KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................... 50
A. KESIMPULAN ........................................................................................... 50
B. SARAN ....................................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 52
LAMPIRAN........................................................................................................ 57
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Bakteriosin yang dihasilkan BAL dan karakteristiknya ......................... 15
Tabel 2. Waktu inkubasi berdasarkan kurva pertumbuhan tiap isolat BAL ....... 44
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Metabolisme homofermentatif ....................................................... 6
Gambar 2. Metabolisme heterofermentatif ...................................................... 7
Gambar 3. Struktur asam laktat ....................................................................... 10
Gambar 4. Struktur asam asetat ....................................................................... 11
Gambar 5. Aktivitas antimikroba 12 isolat ASI terhadap bakteri uji Gram
positif dan Gram negatif ................................................................ 29
Gambar 6. Aktivitas antimikroba isolat ASI terhadap bakteri Listeria
monocytogenes ............................................................................... 31
Gambar 7. Pengaruh supernatan bebas sel terhadap pertumbuhan bakteri
uji Listeria monocytogenes .............................................................. 33
Gambar 8. Nilai derajat keasaman (pH) supernatan tidak dinetralisasi dan
pengaruhnya terhadap jumlah bakteri uji L. monocytogenes ......... 35
Gambar 9. Kurva pertumbuhan isolat BAL R12 ........................................... 40
Gambar 10. Kurva pertumbuhan isolat BAL R13 ........................................... 41
Gambar 11. Kurva pertumbuhan isolat BAL R15 ........................................... 41
Gambar 12. Kurva pertumbuhan isolat BAL R20 ........................................... 42
Gambar 13. Kurva pertumbuhan isolat BAL R32 ........................................... 42
Gambar 14. Kurva pertumbuhan isolat BAL A4 ............................................. 43
Gambar 15. Kurva pertumbuhan isolat BAL A38 ........................................... 43
Gambar 16. Pengaruh supernatan netral hasil inkubasi BAL dengan
waktu berbeda terhadap pertumbuhan L. monocytogenes............ 46
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Gambar hasil pengamatan mikroskop beberapa isolat ASI ........ 58
Lampiran 2. Data ukuran zona hambat (mm) senyawa antimikroba beberapa
isolat ASI dengan metode difusi agar (Nuraida et al., 2007) ...... 60
Lampiran 3. Data aktivitas penghambatan (mm) senyawa antimikroba
BAL isolat ASI terhadap bakteri uji Gram positif....................... 61
Lampiran 4. Data aktivitas penghambatan (mm) senyawa antimikroba
BAL isolat ASI terhadap bakteri uji Gram negatif ..................... 62
Lampiran 5. Data jumlah bakteri L. monocytogenes (cfu/ml) dalam
media supernatan bebas sel (waktu inkubasi 24 jam)
dengan metode kontak ................................................................ 63
Lampiran 6. Data statistik uji Duncan pengaruh supernatan yang dinetralisasi
terhadap pertumbuhan bakteri uji Listeria monocytogenes ........ 65
Lampiran 7. Data Nilai Absorbansi (Optical Density 660 nm) Tiap Jam
dari Kurva Pertumbuhan BAL Isolat ASI................................... 66
Lampiran 8. Gambar hasil uji aktivitas antimikroba supernatan yang
dinetralisasi dari BAL yang diinkubasi hinggá akhir fase
logaritmik terhadap bakteri uji Listeria monocytogenes dan
Bacillus cereus ............................................................................ 68
Lampiran 9. Gambar hasil uji aktivitas antimikroba BAL terhadap S. aureus
69
Lampiran 10. Data Jumlah Bakteri Listeria monocytogenes dalam
supernatan yang dinetralisasi dari isolat BAL dengan waktu
inkubasi hingga akhir fase logaritmik......................................... 70
Lampiran 11.Data statistik uji Duncan pengaruh supernatan yang
dinetralisasi dari BAL dengan waktu inkubasi hingga akhir
fase logaritmik terhadap bakteri uji Listeria monocytogenes .... 71
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Bakteri Asam Laktat (BAL) telah lama dikenal peranannya dalam
proses fermentasi yang menghasilkan produk pangan dengan karakteristik dan
citarasa yang berbeda dibanding bahan pangan segar. Produk hasil fermentasi
menggunakan kultur BAL umumnya tidak mudah mengalami kerusakan
pangan dan memiliki umur simpan yang relatif lebih lama.
Sifat-sifat produk fermentasi tersebut sangat berkaitan erat dengan
hasil metabolit dari BAL yang diketahui bersifat antimikroba terutama
terhadap bakteri perusak pangan dan patogen. Terdapat beberapa senyawa
yang dihasilkan oleh BAL dan berfungsi sebagai antimikroba terutama adalah
asam organik, hidrogen peroksida, dan fraksi protein yang disebut bakteriosin
(Ouwehand dan Vesterland, 2004).
Worthington dan Roberts (1993) menyatakan bahwa bakteri asam
laktat sering ditemukan secara alamiah dalam bahan pangan dan diketahui
juga terdapat pada air susu ibu (ASI). Di dalam ASI terdapat banyak sekali zat
gizi seperti faktor bifidus, yaitu sejenis karbohidrat yang mengandung
nitrogen disebut N-acetylglucosamine yang dapat menunjang pertumbuhan
bakteri Lactobacillus bifidus.
Nuraida et al. (2007) berhasil melakukan isolasi terhadap bakteri asam
laktat yang terdapat dalam ASI. Isolat-isolat tersebut terdiri dari 60% isolat
Lactobacillus homofermentatif, 23% isolat Lactobacillus heterofermentatif,
8% isolat Bifidobacterium, 4% isolat Streptococcus, 4% isolat Leuconostoc,
dan 1% isolat Pediococcus. Dari isolat yang bersifat homofermentatif,
Nuraida et al. (2007) juga melakukan penyeleksian untuk mendapatkan isolat
yang berpotensi sebagai probiotik dan diperoleh 42 isolat yang memiliki
ketahanan terhadap asam lambung dan garam empedu serta mampu
menghambat pertumbuhan bakteri pathogen di antaranya Staphylococcus
aureus, Bacillus cereus, Eschericia coli, dan Salmonella typhimurium. Dalam
penelitian ini digunakan 21 isolat BAL ASI yang bersifat homofermentatif dan
1
termasuk dalam genus Lactobacillus dan Streptococcus untuk diteliti lebih
lanjut aktivitas antimikrobanya.
Kemampuan untuk menghambat bakteri patogen menggambarkan
aktivitas antimikroba yang dimiliki bakteri asam laktat isolat ASI. Oleh karena
itu kajian terhadap isolat ASI yang memiliki kemampuan menghasilkan
bakteriosin sebagai komponen penyusun senyawa antimikroba, sangat penting
mengingat besarnya potensi bakteriosin sebagai pengawet alami atau
biopreservatif. Adanya kekhawatiran akan efek negatif bahan kimia terhadap
kesehatan membuat penggunaan pengawet makanan banyak beralih dari
pengawet kimia ke pengawet yang lebih alami.
Bakteriosin dianggap sebagai biopreservatif karena dihasilkan oleh
mikroorganisme dan sifatnya sebagai protein, membuat bakteriosin aman bagi
manusia karena dapat diuraikan oleh enzim pencernaan. Beberapa jenis
bakteriosin telah berhasil diisolasi dari BAL dan diketahui aktivitas
penghambatannya. Salah satu diantaranya adalah nisin yang dihasilkan oleh
Lactococcus lactis dan telah diakui penggunaannya secara komersial sebagai
bahan tambahan pangan (food additive).
B. TUJUAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji aktivitas antimikroba
isolat BAL dan mendapatkan isolat BAL yang berpotensi menghasilkan
bakteriosin dari kultur isolat Lactobacillus homofermentatif (A3, A36, A38,
R11, R13, R15, R18, R19a-2, R19b, R20, R30, R31, R32, R36, B1, B17),
Streptococcus (A4), Lactobacillus rhamnosus (R12, R14), Lactobacillus
fermentum (R17), dan Lactobacillus plantarum (B6) yang diperoleh dari ASI.
C. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan isolat bakteri asam laktat
dengan aktivitas antimikroba yang tinggi terhadap bakteri patogen serta
berpotensi menghasilkan bakteriosin sebagai biopreservatif untuk pangan.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. BAKTERI ASAM LAKTAT (BAL)
Klasifikasi BAL ke dalam genus yang berbeda didasarkan pada
morfologi, jenis fermentasi gula, pertumbuhan pada suhu yang berbeda,
konfigurasi dari asam laktat yang dihasilkan, kemampuan untuk tumbuh pada
konsentrasi
garam
yang
tinggi.
Axelsson
dalam
Salminen
(2004)
menggolongkan BAL ke dalam 12 genus yaitu Aerococcus, Carnobacterium,
Enterococcus,
Lactobacillus,
Lactococcus,
Leuconostoc,
Oenococcus,
Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, Vagococcus, dan Weisella.
Sedangkan klasifikasi terbaru menggolongkan BAL ke dalam 17 genus yaitu
Lactobacillus, Lactococcus, Carnobacterium, Enterococcus, Lactosphaera,
Leuconostoc, Melissococcus, Oenococcus, Pediococcus, Streptococcus,
Tetragenococcus,
Vagococcus
dan
Weissella.
Genus
lainnya
yaitu
Aerococcus, Microbacterium, Propionibacterium dan Bifidobacterium (Carr et
al, 2002).
Bakteri asam laktat sering ditemukan secara alamiah dalam bahan
pangan dan diketahui juga terdapat pada air susu ibu (ASI). ASI adalah suatu
emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa, dan garam-garam anorganik yang
disekresikan oleh kelenjar mamae ibu dan berguna sebagai makanan bagi
bayinya (Siregar, 2004). ASI mengandung zat gizi berkualitas tinggi yang
berguna untuk pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan anak. Kandungan
zat gizi yang terdapat dalam ASI antara lain taurin, DHA, dan AA,
immunoglobulin A (IgA), laktoferin, lysosim, dan faktor bifidus di samping
juga zat gizi utama yaitu laktosa, lemak, oligosakarida, dan protein (Shin et
al., 2004).
Kolostrum merupakan ASI yang keluar sejak hari pertama ibu yang
melahirkan sampai hari ketujuh (bisa juga sampai hari ke 10). Di dalam
kolostrum inilah terdapat banyak sekali zat gizi yang sangat diperlukan oleh
bayi, salah satunya adalah faktor bifidus, yaitu sejenis karbohidrat yang
mengandung
nitrogen
dan
dapat
menunjang
pertumbuhan
bakteri
Lactobacillus bifidus (Worthington dan Roberts, 1993). Menurut Salminen et
3
al. (2004), ditemukan strain B. bifidum (yang kemudian dikenal sebagai L.
bifidus) di dalam ASI, khususnya karena keberadaan N-acetylglucosamine.
Di dalam ASI juga terdapat glikoprotein yang juga dapat
meningkatkan pertumbuhan BAL. Selain itu ASI juga mengandung laktoferin,
yaitu protein yang berikatan dengan zat besi. Dengan mengikat zat besi, maka
laktoferin dapat menunjang pertumbuhan BAL dan menghambat pertumbuhan
bakteri tertentu, seperti Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.
Penelitian oleh Nuraida et al. (2007) menyatakan bahwa isolat klinis
bakteri asam laktat yang diisolasi dari Air Susu Ibu (ASI), telah teridentifikasi
ciri fisioligis dan biokimianya sebagai Streptococcus heterofermentatif,
Lactobacillus heterofermentatif, dan Lactobacillus homofermentatif. Isolatisolat BAL tersebut terdiri dari 60% isolat Lactobacillus homofermentatif,
23% isolat Lactobacillus heterofermentatif, 8% isolat Bifidobacterium, 4%
isolat Streptococcus, 4% isolat Leuconostoc, dan 1% isolat Pediococcus.
1. Karakteristik Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat umumnya merupakan bakteri Gram positif,
tidak membentuk spora, katalase negatif, tidak memiliki sitokrom,
anaerobik fakultatif, memerlukan nutrisi yang cukup (fastidious), tahan
terhadap
asam
(acid-tolerant),
dan
memiliki
kemampuan
untuk
memfermentasi dengan asam laktat sebagai hasil utama selama proses
tersebut berlangsung (Fardiaz, 1992). Stamer (1980) menyatakan bahwa
BAL tidak motil atau sedikit motil, bersifat mikroaerofilik sampai anaerob,
bersifat kemoorganotropik dan kompleks, serta bersifat mesofilik atau
menyukai suhu 10-40oC. BAL sering dihubungkan dengan habitat yang
mengandung banyak nutrisi seperti berbagai produk pangan (susu, daging,
minuman, sayuran), namun beberapa diantaranya juga merupakan flora
normal pada mulut dan usus mamalia.
Seluruh spesies BAL diketahui merupakan bakteri Gram positif dan
ciri tersebut tidak berubah hingga saat ini dan merupakan karakteristik
utama dari BAL (Salminen et al, 2004). Struktur bakteri yang paling
penting adalah dinding sel. Winarno (1997) menyatakan bahwa bakteri
4
dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu Gram positif dan Gram
negatif didasarkan pada perbedaan struktur dinding sel. Bakteri Gram
positif memiliki dinding sel yang terdiri atas lapisan peptidoglikan yang
relatif tebal sedangkan Gram negatif memiliki lapisan luar berupa
lipopolisakarida yaitu lapisan peptidoglikan yang lebih tipis.
2. Metabolisme Bakteri Asam Laktat
BAL tidak memiliki mekanisme transpor elektron dan sitokrom
sehingga tidak dapat melakukan respirasi dan metabolismenya bergantung
pada fosforilasi substrat untuk menghasilkan energi (Salminen et al., 2004).
Menurut Fardiaz (1992), bakteri asam laktat secara umum dibagi menjadi
dua
kelompok,
homofermentatif
dan
heterofermentatif.
Kelompok
homofermentatif hanya menghasilkan asam laktat selama proses fermentasi
gula
sedangkan
heterofermentatif
dapat
membentuk
sejumlah
karbondioksida, etil alkohol, asam asetat, dan gliserol bersamaan dengan
sejumlah besar asam laktat.
Metabolisme
homofermentatif
menggunakan
jalur
Glikolisis
(Embden-Meyerhof-Parnas pathway) dan digunakan oleh seluruh BAL
kecuali Leuconostoc, Lactobacilli kelompok 3, Oenococci, dan Weisellas.
Jalur ini merupakan sistem
metabolisme yang dicirikan
dengan
pembentukkan fruktosa-1,6-diphospat (FDP) yang kemudian diubah FDP
aldolase menjadi dihidroksiaseton phospat (DHAP) dan gliseraldehid-3phospat (GAP). GAP kemudian diubah menjadi piruvat melalui sekuen
metabolik termasuk fosforilasi substrat. Pada kondisi normal yaitu
keberadaan gula dan oksigen yang terbatas, piruvat direduksi menjadi asam
laktat dan dihasilkan NADH dan ATP (Salminen et al., 2004). Metabolisme
homofermentatif dapat dilihat pada Gambar 1.
Metabolisme heterofermentatif (Gambar 2) dicirikan dengan tahap
oksidasi awal berupa 6-phosphoglukonat diikuti dengan dekarboksilasi
pentosa-5-phospat yang tersisa diubah oleh phospoketolase menjadi GAP
dan asetil phospat. GAP dimetabolisme pada jalur yang sama dengan jalur
glikolisis menghasilkan pembentukkan asam laktat. Saat tidak ada electron
5
acceptor tambahan yang tersedia, asetil phospat direduksi menjadi etanol
via acetyl coA dan asetaldehid. Pada metabolisme ini dihasilkan juga
produk akhir lain seperti CO2, etanol (Axellson dalam Salminen (2004)).
GLUKOSA
ATP
TP
Glukosa 6-P
Fruktosa 6-P
ATP
TP
Fruktosa 1.6-diP
Gliseraldehida-3-P
Dihidroksi-aseton-P
NADH
1,3-di P-gliserat
ATP
TP
3-P-gliserat
2-P-gliserat
Fosfoenolpiruvat
ATP
TP
Piruvat
NADH
LAKTAT
Gambar 1. Metabolisme homofermentatif (Axellson dalam Salminen (2004))
6
GLUKOSA
ATP
Glukosa 6-P
6-P-glukonat
ATP
TP
CO2
Ribullosa-5-P
ATP
TP
ASETAT
Xilosa-5-P
Acetyl-phosphate
Gliseraldehida-3-P
NADH
Acetyl-CoA
Asetaldehid
ETHANOL
1,3-di P-gliserat
ATP
TP
3-P-gliserat
2-P-gliserat
Fosfoenolpiruvat
ATP
TP
Piruvat
NADH
LAKTAT
Gambar 2. Metabolisme heterofermentatif (Axellson dalam Salminen (2004))
7
3. Pertumbuhan Bakteri Asam Laktat
Pertumbuhan adalah penambahan secara teratur semua komponen
sel suatu jasad. BAL seperti halnya jasad bersel tunggal lainnya mengalami
mengalami pertumbuhan berupa pembelahan atau perbanyakan sel yang
merupakan pertambahan jumlah individu (Pelczar dan Chan, 1986).
Beberapa syarat yang menunjang pertumbuhan bakteri antara lain : (1) ada
sel hidup, (2) ada sumber energi, (3) ada nutrisi dan faktor pertumbuhan,
(4) tidak ada inhibitor atau toksin, serta (5) kondisi fisiko-kimia yang
mendukung (Wibowo, 2010)
Pertumbuhan mikroba sangat berkaitan erat dengan senyawa
metabolit yang dihasilkannya. Secara umum pertumbuhan bakteri terbagi
menjadi empat tahap yaitu (1) fase lag (adaptasi), dimana sel mengalami
perubahan dalam komposisi kimiawi dan senyawa intraseluler bertambah
namun tidak terjadi pertambahan populasi, (2) fase logaritma dimana sel
membelah dengan laju konstan, (3) fase stasioner yaitu ketika jumlah sel
yang membelah sama dengan jumlah sel yang mati sehingga jumlah sel
tetap akibat penumpukan produk beracun dan/atau kehabisan nutrisi, dan
(4) fase kematian yaitu fase saat jumlah sel bakteri mulai menurun karena
nutrisi dalam media dan cadangan energi dalam sel mulai habis (Pelczar
dan Chan, 1988).
Metabolit primer yaitu senyawa yang dihasilkan pada fase lag dan
fase logaritma untuk memenuhi kebutuhan bakteri dalam membentuk
komponen intraseluler sedangkan metabolit sekunder adalah senyawa yang
disintesa oleh suatu organisme, tidak untuk memenuhi kebutuhan
primernya
seperti
tumbuh
dan
berkembang
melainkan
untuk
mempertahankan eksistensinya dalam berinteraksi dengan lingkungan
(Kusmiati dan Malik, 2002).
B. SENYAWA ANTIMIKROBA BAKTERI ASAM LAKTAT
Fermentasi oleh BAL tidak hanya untuk meningkatkan citarasa tetapi
juga untuk meningkatkan umur simpan dan mengurangi risiko kerusakan
pangan yang juga dapat berakibat pada penyakit yang dapat ditimbulkan dari
8
pangan yang tercemar tersebut. Pangan yang telah difermentasi tersebut
umumnya lebih awet dibanding bahan mentahnya. Dengan demikian sifat ini
dapat digolongkan ke dalam biopreservatif yaitu proses pengawetan yang
melibatkan organisme dalam hal ini bakteri asam laktat (BAL). Hal ini sangat
terkait dengan kemampuan bakteri yang terlibat dalam fermentasi tersebut
untuk menghasilkan metabolit yang memiliki sifat antimikroba (Buckle et al.,
1987).
Senyawa antimikroba merupakan senyawa biologis atau kimia yang
dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Menurut Fardiaz
(1992), senyawa antimikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri),
bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal (membunuh
kapang), fungistatik (menghambat pertumbuhan kapang), dan germisidal
(menghambat germinasi spora bakteri). Umumnya hampir semua senyawa
yang diproduksi oleh BAL mampu menghambat pertumbuhan BAL lainnya
dan beberapa di antaranya memiliki efek bakterisidal terhadap bakteri lain
yaitu bakteri pembusuk dan patogenik asal makanan seperti Staphylococcus
aureus, Listeria monocytogenes, dan Clostridium botulinum (Gorris dan
Bennik, 1994)
Bakteri asam laktat menghasilkan asam organik, hidrogen peroksida,
diasetil, dan bakteriosin sebagai inhibitor yang potensial dalam menghambat
organisme lain (Davidson dan Hoover dalam Salminen et al., 2004).
Mekanisme aktivitas penghambatan antimikroba menurut Davidson dan
Brannen (1993) dapat melalui beberapa faktor, antara lain: (1) mengganggu
komponen penyusun dinding sel, (2) bereaksi dengan membran sel sehingga
mengakibatkan peningkatan permeabilitas dan menyebabkan kehilangan
komponen penyusun sel, (3) menginaktifkan enzim esensial yang berakibat
pada terhambatnya sintesis protein dan destruksi atau kerusakan fungsi
material genetik.
1. Asam Laktat
Asam laktat adalah asam 2-hidroksi propanoat dan dikenal juga
sebagai asam susu atau lactic acid (Hart et al., 2003). Secara struktur, asam
9
laktat adalah asam karboksilat dengan satu gugus (hidroksil) yang
menempel pada gugus karboksil (Gambar 3). Dalam air,, asam ini terlarut
lemah dan melepas proton (H+), membentuk ion laktat. Asam laktat juga
larut dalam alkohol dan bersifat menyerap air (higroskopik). Asam laktat
umumnya berupa D, L- atau L-asam laktat. Asam laktat diproduksi
berdasarkan
dasarkan sintesis yang dimulai dari etanol membentuk rasemik D, L
asam laktat atau melalui homofermentasi ((Lactobacillus
Lactobacillus delbruckii, L.
bulgaricus, L. leichmannii)
leichmannii) karbohidrat yang biasanya membentuk L
L- tetapi
bisa juga D, L- asam laktat (pK = 3,
3,08).
Gambar 3. Struktur asam laktat
la
(Hart et al., 2003)
Asam akan menyebabkan penurunan pH di bawah kisaran pH
pertumbuhan bakteri dimana asam-asam
asam asam ini dalam bentuk tidak terdisosiasi
dapat berdifusi secara pesat ke dalam sel mikroorganisme. Menurut Ostling
dan Lindgren (1990) asam tidak
tidak terdisosiasi akan terurai menjadi anion dan
proton dimana proton (H+) akan masuk ke dalam sel akibatnya fungsi
metabolisme akan terganggu seperti terjadinya pengasaman sitoplasma,
penghambatan transfer substrat, dan sintesis makromolekul yang secara
keseluruhan
eluruhan akan menghambat pertumbuhan bakteri.
Asam-asam
asam organik dalam produk fermentasi
tasi merupakan hasil
hidrolisis asam lemak dan juga sebagai hasil aktivitas pertumbuhan bakteri.
Asam organik tersebut umumnya berupa asam organik lemah seperti asam
laktat,, asam asetat, dan asam propionat. Asam-asam
asam organik juga sering
digunakan
akan sebagai asidulan (bahan pengasam) yang dapat menurunkan pH
sehingga pertumbuhan mikroba berbahaya pada produk fermentasi akan
terhambat (Winarno, 1997). Selain itu, kuantitas dari aasam
sam organik juga
turut berkontribusi dalam pembentukkan aroma sebagian besar dari produk
fermentasi (Bevilacqua dan Califano, 1989).
1989)
10
2. Asam Organik selain Asam Laktat
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa asam laktat merupakan produk
utama dari metabolisme homofermentif dari isolat BAL yang digunakan
pada penelitian ini. Selain itu sebagai perbandingan akan dijelaskan juga
asam-asam
organik
lain
yang
dihasilkan
pada
metabolisme
heterofermentatif sebagai hasil samping dari asam laktat.
Asam asetat (Gambar 4) merupakan nama umum dari asam etanoat
dan dikenal juga dengan asam cuka sedangkan asam propionat merupakan
nama umum dari asam propanoat (Hart et al., 2003). Di antara asam
organik yang umum dihasilkan oleh BAL, asam asetat diketahui merupakan
inhibitor utama dengan spektrum penghambatan yang luas baik terhadap
bakteri, khamir, maupun kapang diikuti oleh asam propionat yang memiliki
spektrum penghambatan terhadap jenis kapang dan khamir tertentu.
Aktivitas antimikroba yang kuat dari asam-asam organik tersebut
dijelaskan dengan nilai pKa (derajat disosiasi) asam asetat dan asam
propionat yang lebih besar dibandingkan nilai pKa asam laktat. Nilai pKa
asam asetat dan asam propionat berturut-turut 4.87 dan 4.75 sedangkan
asam laktat 3.08. sebagai contoh pada pH 4, hanya 11 persen asam laktat
yang tidak terdisosiasi sedangkan 85 persen asam asetat dan 95 persen
asam proponat terdisodiasi. Asam laktat diketahui berperan sebagai agen
pereduksi pH sedangkan asam asetat dan asam propionat adalah agen
antimikroba yang sesungguhnya (Ouwehand dan Vesterlund dalam
Salminen, 2004).
Gambar 4. Struktur asam asetat (Hart et al., 2010)
3. Hidrogen Peroksida
Salminen et al., (2004) menyatakan keberadaan hidrogen peroksida
(H2O2) dalam BAL diawali dari kondisi aerob yang memungkinkan enzim11
enzim seperti oksidase yang mengandung flavoprotein, NADH oksidase,
dan superoksida dismutase untuk bekerja dan menghasilkan hidrogen
peroksida. Akumulasi dari hidrogen peroksida akan sulit dihilangkan
karena BAL tidak memiliki heme yang merupakan bahan dasar
pembentukan katalase. Meski begitu, BAL diketahui dapat menekan
akumulasi
zat
tersebut dikarenakan
memiliki
enzim
peroksidase,
flavoprotein, dan pseudokatalase yang dapat bertindak seperti katalase.
Efek
bakterisidal
dari
hidrogen
peroksida
dikarenakan
kemampuannya sebagai oxidizing agent terhadap sel bakteri. Bagian dari
dinding sel seperti gugus sulfidryl dan lipid membran sel dapat dengan
mudah teroksidasi (Salminen et al., 2004). Akibatnya proses metabolisme
seperti glikolisis terhambat dan kerja enzim seperti hexokinase dan aldehid3-phospat juga terganggu. Selain itu, hidrogen peroksida juga diketahui
dapat mengikat oksigen (oxygen scavenger) sehingga dapat membuat
lingkungan menjadi anaerob yang menghambat pertumbuhan bakteri
tertentu. Umumnya hidrogen peroksida bersifat bakteriostatik terhadap
bakteri Gram positif dan bersifat bakterisidal untuk bakteri Gram negatif.
4. Karbon Dioksida
Karbon dioksida (CO2) terbentuk terutama pada fermentasi BAL
heterofermentatif. Karbon dioksida memiliki dua sifat sebagai antimikroba
yaitu
membuat
lingkungan
menjadi
anaerob
dan
meningkatkan
permeabilitas lipid bilayer membran (Bottazi, 1983). Pada konsentrasi
rendah, CO2 dapat menstimulasi pertumbuhan beberapa organisme namun
pada konsentrasi yang tinggi, zat ini dapat menghambat pertumbuhan
(Ouwehand dan Vesterland dalam Salminen et al., 2004). Bakteri Gram
negatif diketahui lebih sensitif terhadap CO2 dibandingkan bakteri Gram
positif .
5. Diasetil
Diasetil (2,3-butanedion) dari proses fermentasi diidentifikasi
sebagai komponen flavour dan aroma. Umumnya diasetil dihasilkan oleh
12
BAL spesies Lactobacillus, Leuconostoc, Pediococcus, Streptococcus, dan
mungkin juga oleh spesies lain. Kadar diasetil akan meningkat dengan
keberadaan sitrat karena sitrat akan diubah menjadi diasetil melalui piruvat.
Menurut Davidson dan Brannen (1993), diasetil lebih efektif pada pH
kurang dari 7 dan sifat antimikrobanya berlawanan dengan keberadaan
glukosa, asetat, dan Tween 80. Diasetil juga diketahui lebih efektif untuk
membunuh bakteri Gram negatif, khamir, dan kapang dibandingkan bakteri
Gram positif.
6. Bakteriosin
Bakteriosin adalah molekul protein yang diproduksi oleh berbagai
spesies bakteri yang mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap bakteri lain
yang patogen. Bagian terpenting senyawa aktif ini merupakan protein atau
peptida sehingga uji sensitifitas terhadap enzim hidrolitik yang bersifat
proteolitik cukup penting. Uji tersebut sangat penting dalam identifikasi
susunan kimia suatu senyawa yang diduga bakteriosin. Sejumlah analisis
kimia menunjukkan bahwa komposisi bakteriosin dapat berupa protein
sederhana atau merupakan suatu molekul yang lebih komplek yang
bersenyawa dengan asam lemak dan gula (Klaenhammer, 1988).
Banyak bakteri dengan taksonomi yang berbeda dan berada di
berbagai habitat, menghasilkan antimikroba senyawa antimikroba yang
aktif menghambat bakteri lain. Baik bakteri Gram negatif maupun bakteri
Gram positif dapat menghasilkan bakteriosin. BAL diketahui sebagai salah
satu jenis bakteri penghasil bakteriosin. Sebagian besar bakteriosin Gram
positif merupakan senyawa aktif membran yang dapat meningkatkan
permeabilitas dari membran sitoplasma (Jack et al., 1995). Bakteriosin
Gram positif juga memiliki aktivitas bakterisidal dengan spektrum yang
lebih luas dibanding colicin (bakteriosin Gram negatif yang dihasilkan oleh
E. coli).
Sejumlah bakteriosin telah diisolasi dan dikarakterisasi dari BAL
dan beberapa di antaranya berpotensi sebagai bahan antimikroba karena
berpotensi sebagai pengawet dan memiliki efek antagonis melawan bakteri
13
patogen yang penting. Beberapa bakteriosin yang penting di antaranya
adalah nisin, diplococcin, acidophilin, bulgarican, helveticin, lactacin, dan
plantaricin (Nettles dan Barefoot, 1993).
Bakteriosin yang dihasilkan BAL dapat mengalami degradasi oleh
enzim proteolitik dalam pencernaan manusia dan tidak membahayakan bagi
kesehatan manusia. Selain itu bakteriosin juga memiliki kestabilan terhadap
pengaruh pH dan suhu. Bakteriosin tetap menunjukkan aktivitas yang stabil
pada kondisi asam atau basa sehingga sangat potensial dimanfaatkan oleh
industri yang dalam prosesnya melibatkan kondisi asam maupun basa.
Berdasarkan pengaruh suhu, bakteriosin tetap menunjukkan aktivitas yang
stabil setelah diberikan perlakuan pada suhu -20oC sampai 100oC sehingga
sangat baik jika digunakan dalam proses pengolahan pangan.
a. Klasifikasi Bakteriosin
Menurut Klaenhammer (1988), bakteriosin yang dihasilkan oleh
beberapa galur BAL mempunyai aktivitas hambat terhadap bakteri
pembusuk dan patogen makanan yang dapat meningkatkan keamanan
dan daya simpan pangan. Klaenhammer mengelompokkan bakteriosin
menjadi 4 yaitu: (1) Lantibiotik yaitu bakteriosin yang mengandung
cincin lantionin dalam molekulnya (<5 kDa) seperti nisin, Lacticin 481,
Lacticin S, (2) bakteriosin kecil (<10 kDa), relatif tahan panas, peptida
pada sisi aktifnya dan tidak mengadung lantionin, (3) bakteriosin
bermolekul protein besar (>30 kDa) dengan protein tidak tahan panas,
contohnya Helvetion J dan Brevicin 27, (4) bakteriosin yang
mengandung protein kompleks terdiri atas komplek karbohidrat
maupun lipid contohnya plantarisin S yang mengandung glikoprotein.
Jack et al (1995) menyatakan bahwa bakteriosin memiliki
beberapa kriteria sebagai berikut: (1) mempunyai spektrum aktivitas
yang relatif, terpusat di sekitar spesies penghasil (secara philogenik
dekat) namun ada juga yang memiliki spektrum yang luas, (2)senyawa
aktif terutama terdiri dari fraksi protein, (3) bersifat bakterisidal, (4)
14
mempunyai reseptor spesifik pada sel sasaran, dan (5) gen determinan
terdapat pada plasmid yang berperan pada produksi dan imunitas.
Tabel 1. Bakteriosin yang dihasilkan BAL dan karakteristiknya (Parada et al.,
2007)
Spesies Penghasil
Bakteriosin
Spektrum
Penghambatan
Karakteristik
Lactococcus lactis
Nisin
bakteri Gram positif
Lacticin 3147
Clostridium sp
Kelas I Lantibiotik, 3.5
kDa, 34 asam amino,
komersial
Listeria monocytogenes
Staphylococcus aureus
Streptococcus
dysgalactiae
Enterococcus faecalis
Propionibacterium acne
Streptococcus mutan
Lactococcus lactis
subsp cremoris
Lactococcin B
Lactobacillus
Kelas II Bakteriosin, ± 5
kDa, spektrumnya sempit
Lactobacillus
acidophilus
Acidocin CH5
bakteri Gram positif
kelas II bakteriosin,
membentuk aggregat
dengan berat molekul
yang besar
Lactobacillus
Lactacin F
Lactobacillus fermentum
Enterococcus faecalis
Lactobacillus delbrueckii
Lactobacillus helveticus
Lactacin B
Lactobacillus delbrueckii
Lactobacillus helveticus
Lactobacillus bulgaricus
Lactococcus lactis
Lactobacillus
amylovorus
Lactobin A
Lactobacillus casei
Lactocin 705
Lactobacillus acidophilus
Lactobacillus delbrueckii
Listeria monocytogenes
Lactobacillus plantarum
Kelas II bakteriosin, 6.3
kDa, 57 asam amino,
stabil terhadap panas
pada 121oC selama 15
menit
Kelas III bakteriosin, 6.3
kDa, stabil terhadap
panas, hanya dapat
dideteksi pada media
kultur dengan pH antara 5
-6
Kelas II bakteriosin, 4.8
ka, 50 asam amino,
spektrum penghambatan
sempit
kelas II bakteriosin
dengan dua komponen,
masing-masing 30 asam
amino, 3.4 kDa
15
Tabel 1. Bakteriosin yang dihasilkan BAL dan karakteristiknya (lanjutan)
Spesies Penghasil
Bakteriosin
Spektrum
Penghambatan
Karakteristik
Lactobacillus gelidum
Leucocin A
Lactobacillus
Kelas II bakteriosin, 3.9 kDa,
37 asam amino, stabil pada pH
rendah, bahkan setelah
pemanasan (100oC, 120 menit)
Enterococcus faecalis
Listeria monocytogenes
Leuconostoc
mesenteroides
Mesenterisin
Y105
Enterococcus faecalis
Listeria monocytogenes
Pediococcus
acidilactici
Pediococcus
pentosaceus
Kelas II bakteriosin, 3.9 kDa,
37 asam amino, stabil panas
(60oC selama 120 menit pada
pH 4.5)
Pediocin F
bakteri Gram positif
Kelas II bakteriosin, 4.5 kDa,
sensitif terhadap enzim
proteolitik, tahan panas dan
pelarut organik, aktif pada
kisaran pH yang luas
Pediocin PA-1
Listeria monocytogenes
Pediocin AcH
bakteri Gram positif
dan Gram negatif di
bawah kondisi stress
Kelas II bakteriosin, 4.6 kDa,
44 asam amino
Kelas II bakteriosin, 4.6 kDa,
44 asam amino, spektrum
penghambatan luas
Lactobacillus
Pediocin A
Lactococcus
Leuconostoc
Kelas II bakteriosin, 2.7 kDa,
sensitif terhadap enzim
proteolitik, tahan panas(100oC,
10 menit)
Pediococcus
Staphylococcus
Enterococcus
Listeria
Clostridium
Enterococcus faecium
Enterocin A
Listeria monocytogenes
Pediococcus
Lactobacillus sake
Lactocin S
Lactobacillus
Leuconostoc
Kelas II bakteriosin, 4.8 kDa,
47 asam amino, tahan panas
Kelas I bakteriosin, 3.7 kDa,
aktif pada ksaran pH 4.5 - 7.5
Pediococcus
Lactobacillus curvatus
Sakacin P
Listeria monocytogenes
Kelas II bakteriosin, 4.4 kDa,
tahan panas
Curvacin A
Listeria monocytogenes
Kelas II bakteriosin, 4.3 kDa
Enterococcus faecalis
Lactobacillus
helveticus
Helveticin J
Lactobacillus
bulgaricus
Lactococcus lactis
Kelas III bakteriosin, 37 kDa,
spektrum sempit, sensitif
terhadap enzim protelitik,
aktivitas tereduksi setelah
pemanasan 100oC, 30 menit
16
b. Biosintesis Bakteriosin
Davidson dan Branen (1993) mengemukakan bahwa sintesis
bakteriosin oleh sel galur produsen terjadi selama pertumbuhan fase
eksponensial. Pada fase tersebut, pertumbuhan bakteri asam laktat akan
mengalami
peningkatan
yang
berlangsung
secara
logaritma.
Meningkatnya jumlah bakteriosin yang dihasilkan juga akan meningkat
kemudian menurun setelah mencapai fase stasioner.
Dalam penelitiannya, Kusmiati dan Malik (2002) menyatakan
bahwa L mesenteroides memiliki fase stasioner yang berlangsung
sampai 22 jam inkubasi kemudian mengalami fase kematian dan
bakteriosin yang dihasilkan bakteri tersebut disintesa selama fase
pertumbuhan eksponensial. Rattanachaikunsopon dan Phumkhachorn
(2006) menyatakan bahwa bakterisiosin yang dihasilkan L. Plantarum
N014 dihasilkan selama fase logaritma dan mencapai kadar tertinggi
saat bakteri penghasil memasuki fase stasioner. Pertumbuhan yang
melewati fase stasioner akan menurunkan aktivitas bakteriosinnya.
Penurunan tersebut dapat disebabkan terbebasnya protease dari sel saat
sel memasuki fase kematian.
Menurut Griffin (1991), jenis dan jumlah sumber karbon sangat
mempengaruhi pertumbuhan bakteri yang secara tidak langsung
mempengaruhi sintesa metabolit sekunder seperti bakteriosin. Tamime
dan Robinson (1999) menyatakan bahwa jumlah glukosa 2% sebagai
sumber karbon pada media tumbuh Lactococcus lactis sudah cukup
untuk memproduksi bakteriosin. Dengan demikian sumber karbohidrat
yang berbeda akan menghasilkan bakteriosin yang berbeda pula
(Matsuaki et al., 1996).
Selain nutrisi, sintesis bakteriosin juga dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan hidupnya terutama suhu dan derajat keasaman (pH). Tiap
jenis mikroba memiliki suhu dan pH optimum yang berbeda. Menurut
Yang dan Ray (1994), pH juga berpengaruh terhadap ekspresi gen yang
mengkode sintesis bakteriosin dan aktivitas enzim yang diperlukan
untuk mengubah prebakteriosin menjadi bakteriosin aktif. Produksi
17
bakteriosin akan meningkat dengan meningkatnya pH sampai pH
optimum dan kemudian mengalami penurunan. Sementara faktor suhu
mempunyai dua pengaruh yaitu sebelum mencapai suhu optimum akan
meningkatkan produksi bakteriosin sedangkan di atas suhu optimum
justru akan membunuh bakteri asam laktat penghasil bakteriosin
(Klaenhammer, 1988). Berbagai genus bakteri Gram positif atau Gram
negatif telah dilaporkan menghasilkan bakteriosin seperti genus
Lactobacillus,
Micrococcus,
Staphylococcus,
Pseudomonas,
dan
Corynebacterium (Ray, 1996).
c. Mekanisme Kerja Bakteriosin
Aktivitas
penghambatan
bakteriosin
baik
yang
bersifat
bakterisidal, bakteriostatik, maupun bakteriolisis umumnya ditujukan
terhadap dinding dan membran sel dari mikroorganisme target.
Terhadap dinding sel, bakteriosin dapat menghambat biosintesis
peptidoglikan sebagai penyusun utama dinding sel. Bakteriosin juga
dapat mengganggu stabilitas membran sel dengan melakukan kontak
langsung. Engelke et al. (1992) menyatakan bahwa gangguan terhadap
integritas dinding dan membran sel tersebut dapat menyebabkan
terbentuknya lubang hingga sel mengalami kebocoran dan terjadi
kehilangan Proton Motive Force (PMF).
Kebocoran mengakibatkan terjadinya difusi keluar dan masuk
molekul-molekul seluler dan hilangnya PMF akan membawa pada
penurunan pH gradient seluler. Efeknya menyebabkan pertumbuhan sel
terhambat karena terhentinya biosintesis makromolekul seperti DNA,
RNA, dan protein. Oleh karena itu proses tersebut akan menghasilkan
kematian pada sel yang sensitif terhadap bakteriosin (Gonzales et al.,
1996).
C. BAKTERI PATOGEN
Bakteri patogen merupakan bakteri parasit yang dapat menimbulkan
berbagai penyakit baik pada manusia, hewan maupun tumbuhan. Beberapa
18
diantara bakteri patogen tersebut dapat berada dalam pangan dan menjadi
penyebab penyakit yang ditularkan melalui pangan atau foodborne disease
diantaranya Listeria monocytogenes, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus,
Escherichia coli, dan Salmonella sp (Blackburn dan McLure, 2003). Penyakit
yang disebabkan oleh bakteri patogen tersebut tersebut dapat berupa infeksi
yang diakibatkan tertelannya badan sel maupun intoksikasi apabila yang
tertelan adalah toksin yang dihasilkan bakteri dalam makanan (Fardiaz, 1992).
Listeria monocytogenes tersebar luas di alam dan terdapat secara alami
pada hampir seluruh bahan pangan mentah. Bakteri ini perlu mendapat
perhatian khusus terutama dalam industri pangan terutama setelah terjadi
Kejadian Luar Biasa dimana bakteri ini menyebabkan infeksi yang disebut
Listeriosis (Prescott et al., 2003). Galur Listeria tidak memiliki persyaratan
nutrisi yang khusus. Bakteri ini tumbuh cepat baik dalam nutrient agar, serum
agar maupun blood agar. Media agar yang mengandung triptosa dapat
meningkatkan kecepatan pertumbuhan listeria (Ralovich, 1984)
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif, anaerob
fakultatif, nonmotil, dan biasa terdapat pada membran pernapasan dan kulit
manusia (Prescott et al., 2003). Suhu optium pertumbuhan S. aureus adalah
35-37oC, suhu minimum 6.7oC dan suhu maksimum 45.5oC. bakteri ini dapat
tumbuh pada pH mendekati 9.8 dengan pH optimum sekitar 7.0-7.8.
Pertumbuhan pada pH mendekati 9.8 hanya mungkin bila substratnya
mempunyai komponen yang baik untuk pertumbuhannya (Ralovich, 1984).
S. aureus merupakan penyebab keracunan pangan akibat intoksikasi
karena menghasilkan enterotoksin yang tahan panas, di mana ketahanan
panasnya melebihi sel vegetatifnya. Toksin tersebut mampu melisiskan sel
darah merah dan mengkoagulasi plasma darah (Buchannan dan Gibbons,
1974). S. aureus sering mengkontaminasi makanan seperti daging dan produkproduk daging, ikan, susu dan produk-produk susu (Fardiaz, 1989).
Bacillus cereus yaitu bakteri berbentuk batang, Gram positif, aerob
fakultatif, pembentuk spora yang tidak memiliki kemampuan untuk
memfermentasi manitol, xylose, atau arabinosa namun dapat memfermentasi
glukosa secara anaerob. Bakteri ini juga mampu mereduksi nitrat menjadi
19
nitrit dan mampu menghasilkan enzim lesitin (Harmon, 1980). Bakteri ini
dalam pangan dapat menyebabkan baik infeksi maupun intoksikasi. Infeksi
terutama disebabkan karena spora B. cereus yang tahan panas kemudian
tertelan dan menghasilkan toksin dalam usus. Toksin juga dapat dihasilkan
dalam pangan terutama pada produk pangan karbohidrat seperti nasi dan pasta
(Blackburn dan McLure, 2003).
Salmonella spp. adalah bakteri anaerob fakultatif, Gram negatif,
berbentuk batang (0.7-1.5 x 2.0-5.0 µm), motil dengan alat gerak berupa
flagela, katalase positif, dan menggunakan sitrat sebagai sumber karbon
(Blackburn dan McLure, 2003). Penyakit tular makanan oleh Salmonella sp
umumnya dikarenakan infeksi. Bakteri ini dengan cepat memperbanyak diri
kemudian mengkolonisasi, menyebabkan peradangan dalam usus kecil
(gastroenteritis). Makanan yang sering terkontaminasi oleh Salmonella adalah
telur dan hasil olahannya, ikan dan hasil olahannya, daging ayam, daging sapi,
susu dan hasil olahannya. Pencegahan Salmonella sp., dapat dilakukan dengan
sanitasi yang baik terhadap alat-alat pengolahan, ruang pengolahan,
lingkungan, dan pekerja-pekerja. Makanan tidak boleh terlalu lama pada suhu
kamar dan penyimpanan harus pada suhu rendah (Buchanan dan Gibbons,
1974).
Escherichia
coli
termasuk
genus
Escherichia
dan
famili
Enterobacteriaceae. Bakteri Gram negatif ini berbentuk batang, berukuran
lebar 1.1-1.5 mikron dan panjang 2.0-6.0 mikron, terdapat dalam bentuk
berpasangan atau tunggal, bersifat motil dengan flagela peritrikat atau non
motil dan bersifat anaerob fakultatif (Buchanan dan Gibbons, 1974). Bakteri
ini merupakan flora normal pada saluran pencernaan tubuh, tetapi beberapa
strain dapat menyebabkan gastroenteritis pada manusia dan ternak, dapat juga
menyebabkan terjadinya infeksi pada saluran urin dan diare. Makanan yang
sering terkontaminasi E. coli adalah produk olahan susu, sayuran segar, dan
salad (Fardiaz, 1987).
20
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Kultur BAL yang digunakan adalah kultur BAL isolat ASI yaitu
Lactobacillus homofermentatif (A3, A36, A38, R11, R13, R15, R18, R19a-2,
R19b, R20, R30, R31, R32, R36, B1, B17), Streptococcus homofermentatif
(A4), Lactobacillus rhamnosus (R12, R14), Lactobacillus fermentum (R17),
dan Lactobacillus plantarum (B6). Kultur bakteri uji yang digunakan adalah
Bacillus cereus, Escherichia coli, Salmonella typhimurium, Staphylococcus
aureus, dan Listeria monocytogenes. Kultur–kultur tersebut diperoleh dari
SEAFAST Center IPB, Bogor. Bahan-bahan yang digunakan pada analisis
mikrobiologi adalah Nutrient Broth (NB) (Oxoid), Nutrient Agar (NA)
(Oxoid), de Mann Rogosa Sharp Broth (MRSB) (Oxoid), de Mann Rogosa
Sharp Agar (MRSA) (Oxoid), akuades steril, NaOH 1N, alkohol, ammonium
sulfat, dan buffer sitrat fosfat.
Alat-alat yang digunakan adalah sentrifus berpendingin, inkubator,
autoklaf, hot plate, neraca analitik, neraca digital, vortex, syringe, laminar
hood, refrigerator, membran filter 0.22 µm, pH meter, jangka sorong,
spektrofotometer (UV-2450, UV-VIS Spektrofotometer) mikropipet, jarum
ose, tip berbagai ukuran dan alat-alat laboratorium berbahan gelas
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu (1) Pengujian Aktivitas
Antimikroba Bakteri Asam Laktat terhadap Bakteri Patogen (2) Pengujian
Aktivitas Antimikroba sebagai Seleksi untuk Memperoleh Isolat Bakteri Asam
Laktat yang Berpotensi Menghasilkan Bakteriosin dan terbagi lagi menjadi
tiga tahap yaitu (a) Pengaruh Netralisasi Senyawa Antimikroba terhadap
Bakteri Uji Sensitif dengan Metode Kontak, (b) Penentuan Waktu Inkubasi
Berdasarkan Kurva Pertumbuhan, (c) Pengaruh Waktu Inkubasi terhadap
Aktivitas Antimikroba, (d) Konfirmasi Pengujian Bakteriosin
21
1. Pengujian Aktivitas Antimikroba Bakteri Asam Laktat terhadap
Bakteri Patogen
Pengujian aktivitas antimikroba BAL terhadap bakteri patogen
dilakukan dengan metode difusi agar atau sumur (Garriga et al., 1993).
Bakteri uji yang digunakan adalah bakteri Gram positif yaitu Listeria
monocytogenes, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, dan bakteri Gram
negatif yaitu Salmonella sp dan Escherichia coli. Kultur bakteri uji yang
telah disegarkan, diinokulasikan sebanyak 0.2 ml ke dalam media NA 100
ml sehingga diperoleh konsentrasi 0.2% yang telah siap dituang ke cawan
petri steril. Selanjutnya 20 ml media agar NA yang telah terisi kultur
bakteri uji (± 106 cfu/ml) dituangkan ke cawan dan dibiarkan menjadi
padat. Setelah memadat, dibuat sumur-sumur dengan diameter 6 mm
kemudian dimasukkan 30 µl kultur bakteri asam laktat yang telah
disegarkan dalam MRSB selama ± 24 jam dan diinkubasi pada suhu 37oC
selama 2 hari. Zona penghambatan adalah lebar areal bening yang
terbentuk di sekitar sumur yang diukur dengan satuan mm. Diameter zona
penghambatan (mm) diukur dengan jangka sorong sebanyak dua kali pada
posisi yang berbeda dan dirata-ratakan. Semakin besar diameter zona
bening yang terbentuk menunjukkan aktivitas penghambatan yang semakin
tinggi.
Isolat yang menunjukkan aktivitas penghambatan yang tinggi
terhadap bakteri uji dilanjutkan ke tahap selanjutnya.
Zona Penghambatan = Rata-rata Diameter areal bening – Diameter sumur
(Rata-rata a dan b)
( c = ± 6 mm)
a
Keterangan :
c
b
Areal bening
yang terbentuk
a, b, dan c dalam mm
22
2. Pengujian Aktivitas Antimikroba sebagai Seleksi untuk Memperoleh
Isolat
Bakteri
Asam
Laktat
yang
Berpotensi
Menghasilkan
Bakteriosin
a. Pengaruh Netralisasi Senyawa Antimikroba terhadap Bakteri Uji
Sensitif dengan Metode Kontak (Rahayu, 2000)
Disiapkan MRSB sebanyak 60 ml dalam erlenmeyer yang telah
disterilisasi. Setelah itu diinokulasikan sebanyak 3 ose dari kultur BAL
yang akan diuji dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.
Selanjutnya kultur yang diperoleh disentrifugasi pada 8000 rpm, 4oC
selama 15 menit sehingga menghasilkan supernatan. Kemudian
Supernatan dibagi menjadi 2 bagian, yang pertama supernatan disaring
dengan milipore 0.22 µm untuk menghasilkan supernatan bebas sel.
Kedua, supernatan dinetralkan pHnya hingga 6.5 dengan NaOH 1 N
untuk menghilangkan pengaruh asam organik yang dihasilkan BAL.
Sebelum dinetralkan, dilakukan pengukuran pH awal dari tiap
supernatan isolat BAL.
Selanjutnya, sebanyak 10 ml dari masing-masing supernatan
dimasukkan ke dalam tabung reaksi steril dan dilakukan duplo sehingga
diperoleh dua tabung supernatan bebas sel dan dua tabung supernatan
netral bebas sel. Kemudian ke dalam tiap tabung dimasukkan kultur
bakteri uji yang diketahui sensitif terhadap senyawa antimikroba pada
tahap 1. Bakteri uji tersebut berumur 24 jam dengan konsentrasi ± 105
sel per ml. Kemudian tabung diinkubasi selama 8 jam pada suhu 37oC.
Jumlah bakteri uji dalam tabung tersebut dihitung pada waktu kontak 0
dan 8 jam waktu inkubasi dengan menggunakan metode hitungan
cawan. Selanjutnya cawan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24-48
jam. Selanjutnya akan dilakukan perhitungan pertumbuhan relatif
dinyatakan sebagai Nt/N0 dimana Nt adalah log dari jumlah koloni
setelah kontak 8 jam dan N0 adalah log dari jumlah koloni pada waktu
kontak 0 jam. Perhitungan koloni didasarkan pada Standard Plate
Count atau SPC (Harrigan, 1998). Terakhir, nilai perubahan logaritma
bakteri uji dalam supernatan tiap isolat akan dibandingkan dengan
23
pertumbuhan bakteri uji sebagai kontrol, menggunakan pengujian
statistik menggunakan program SPSS yaitu ANOVA yang dilanjutkan
dengan uji Duncan.
Dalam metode ini, diperlukan kontrol untuk mengukur tingkat
pertumbuhan bakteri uji di dalam MRSB yang tidak ditumbuhkan BAL.
Isolat yang dianggap berpotensi menghasilkan bakteriosin adalah isolat
dengan supernatan netral yang mampu menekan pertumbuhan bakteri
uji.
Cara perhitungan koloni berdasarkan SPC dengan aturan bahwa
cawan yang dipilih dan dihitung adalah yang mengandung jumlah
koloni antara 25 - 250
N = jumlah koloni pada cawan
( n1 + 0.1 n2) x d
Keterangan :
n1 = jumlah cawan pada pengenceran pertama
n2 = jumlah cawan pada pengenceran kedua
d = pengenceran pada cawan pertama
b. Penentuan Waktu Inkubasi Berdasarkan Kurva Pertumbuhan
(Rattanachaikunsopon dan Phumkhachorn, 2006)
Tahap ini bertujuan untuk mengetahui fase-fase pertumbuhan
tiap isolat khususnya akhir fase logaritmik (eksponensial) dan awal fase
stasioner sebagai dasar penentuan lamanya waktu inkubasi kultur BAL.
Waktu Inkubasi berpengaruh terhadap jenis dan jumlah senyawa
antimikroba yang dihasilkan BAL. Isolat yang digunakan pada tahap ini
adalah isolat yang lolos seleksi dari tahap pengujian dengan metode
kontak.
Masing-masing bakteri ditumbuhkan pada 10 ml MRSB
kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Kultur uji ini
diinokulasikan sebanyak 2% dari media cair yaitu 3 ml ke dalam 150
ml MRSB
secara aseptik. Masing-masing suspensi bakteri dalam
24
erlenmeyer diamati pertumbuhan sel dan dilakukan pengukuran Optical
Density (OD) berdasarkan nilai Absorbansi setiap 1 jam hingga jam ke9 kemudian setiap 2 jam hingga jam ke-21. Pengukuran dilakukan
hingga diperoleh nilai OD konstan menggunakan spektrofotometer UVVIS pada panjang gelombang 660 nm. Pengenceran dilakukan jika OD
mendekati 1 atau lebih dari 1 untuk menghindari penyimpangan data
dikarenakan sampel yang terlalu pekat. Nilai Absorbansi (A) adalah
nilai absorbansi yang terukur pada alat sedangkan Optical Density (OD)
adalah Nilai Absorbansi (A) dikalikan dengan faktor pengenceran.
OD = A x FP
dimana
OD
: Optical Density
A
: Nilai Absorbansi
FP
: Faktor Pengenceran
c. Pengaruh Waktu Inkubasi terhadap Aktivitas Antimikroba
Tahap ini dilakukan dengan metode difusi agar dan metode
kontak menggunakan supernatan yang telah dinetralkan untuk
mengetahui keberadaan senyawa antimikroba selain asam organik. Pada
tahap ini kultur BAL yang telah diketahui kurva pertumbuhannya,
diinkubasi berdasarkan waktu yang diperlukan oleh tiap isolat untuk
mencapai fase yang berkaitan erat dengan sintesis senyawa antimikroba
dalam fase pertumbuhannya.
Pada metode difusi agar dalam tahap ini, diperlukan proses
pemisahan badan sel untuk pengujian supernatan bebas sel yang
mengandung senyawa antimikroba. Isolat Bal diremajakan dalam 10 ml
MRSB selama 24 jam kemudian diinokulasikan ke dalam 50 ml MRSB
dan diinkubasi sesuai dengan jangka waktu yang diperlukan kultur
tersebut untuk mencapai fase stasioner dari kurva pertumbuhannya.
Supernatan bebas sel diperoleh dengan cara mensentrifugasi kultur cair
dengan kecepatan 8000 rpm, 4oC selama 15 menit.
Selanjutnya supernatan yang diperoleh dinetralkan dan disaring
dengan milipore 0.22 µm. Filtrat yang dihasilkan kemudian diuji
25
aktivitasnya terhadap bakteri uji dengan metode difusi agar namun pada
tahap ini jumlah bakteri uji yang terkandung dalam sumur agar adalah
106 sel per ml dan supernatan yang dimasukkan ke dalam sumur
sebanyak 50 µl. Bakteri uji yang digunakan hanya gram positif yaitu
Listeria monocytogenes, Bacillus cereus, dan Staphylococcus aureus.
Zona bening (Zona penghambatan) yang terbentuk menunjukkan
adanya
penghambatan terhadap
pertumbuhan bakteri
uji
oleh
supernatan. Diameter zona penghambatan (mm) diukur dengan jangka
sorong sebanyak dua kali pada posisi yang berbeda dan dirata-ratakan
Pada tahap ini juga dilakukan metode kontak. Isolat BAL
diremajakan dalam 10 ml media cair selama 24 jam kemudian
diinokulasikan ke dalam 50 ml MRSB dan diinkubasi sesuai dengan
jangka waktu yang diperlukan kultur tersebut untuk mencapai fase
stasioner dari kurva pertumbuhannya. Supernatan bebas sel diperoleh
dengan cara mensentrifugasi kultur cair dengan kecepatan 8000 rpm,
4oC selama 15 menit (Kim et al., 2000). Selanjutnya supernatan yang
diperoleh dinetralkan dan disaring dengan milipore 0.22 µm. Filtrat
yang dihasilkan diuji aktivitasnya hanya terhadap bakteri uji L.
monocytogenes dengan metode kontak. Hasil metode kontak pada tahap
ini juga dianalisis dengan pengujian statistik ANOVA yang dilanjutkan
dengan uji Duncan menggunakan program SPSS untuk dibandingkan
dengan kontrol.
d. Konfirmasi Pengujian Bakteriosin
Tahap
ini
dilakukan untuk
mengkonfirmasi
keberadaan
bakteriosin dengan mengendapakan molekul protein yang terlarut
dalam
media
pertumbuhan
MRSB.
Kultur
yang
berpotensi
menghasilkan bakteriosin berdasarkan pengujian dengan metode
kontak, disegarkan selama 24 jam kemudian dipindahkan sebanyak 2%
ke dalam 60 ml MRSB dalam erlenmeyer dan diinkubasi kembali
selama waktu yang ditentukan berdasarkan awal fase stasionernya.
Kemudian disentrifugasi 8000 rpm selama 15 menit dan diambil
supernatannya sebanyak 50 ml. Supernatan bebas sel tersebut
26
dinetralisasi (NaOH 1 N) dan disterilisasi menggunakan membran 0.22
µm dan dilanjutkan ke tahap presipitasi dengan menambahkan
ammonium sulfat (51.6 g/100 ml supernatan) dan diaduk selama 2 jam
pada suhu 4oC.
Jika terdapat molekul protein bakteriosin maka protein tersebut
akan terpresipitasi (mengendap) selanjutnya dipisahkan dari larutan
dengan sentrifugasi pada 18.000 rpm selama 30 menit pada suhu 4oC.
Endapan yang dihasilkan selanjutnya dilarutkan dalam 18 ml buffer
sitrat fosfat (50 mM; pH 5.0). Kemudian larutan protein dalam buffer
diuji dengan metode difusi agar terhadap bakteri uji L. monocytogenes,
B.cereus, dan S. aureus.
27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENGUJIAN
AKTIVITAS
ANTIMIKROBA
BAKTERI
ASAM
LAKTAT TERHADAP BAKTERI PATOGEN
BAL merupakan mikroorganisme yang bersifat anaerob fakultatif
sehingga dapat melakukan metabolisme sumber energinya tanpa adanya
oksigen dan sebagai hasilnya bahan baku energi ini hanya sebagian yang
dipecah. BAL umumnya menghasilkan sejumlah besar asam laktat, asam
asetat, dan etanol serta sejumlah kecil asam organik volatil lainnya dari
fermentasi substrat energi karbohidrat (Buckle et al., 1987). Senyawa organik
inilah yang diketahui merupakan senyawa antimikroba yang penting.
Tahap pengujian aktivitas antimikroba BAL bertujuan untuk
menyeleksi isolat berdasarkan aktivitas senyawa antimikrobanya dan
pengaruhnya terhadap beberapa bakteri uji yang patogen. Seleksi awal ini
dilakukan dengan metode difusi agar dengan bakteri uji yang digunakan terdiri
dari bakteri Gram positif yaitu Listeria monocytogenes, Bacillus cereus, dan
Staphylococcus aureus dan bakteri Gram negatif yaitu Salmonella sp dan
Escherichia coli. Bakteri ini digunakan karena umumnya mengkontaminasi
makanan.
Keseluruhan isolat yang diuji pada tahap ini yaitu 21 isolat yang
berasal dari Air Susu Ibu (ASI) dan bersifat homofermentatif dengan asam
laktat sebagai produk utama hasil metabolismenya. Gambar hasil pengamatan
mikroskop beberapa isolat ASI dapat dilihat pada Lampiran 1. Sembilan isolat
di antaranya yaitu A3, A4, A36, A38, B1, B6, B17, R12, dan R14 telah
diujikan sebelumnya oleh Nuraida et al. (2007) terhadap bakteri uji B. cereus,
S. aureus, E. coli, dan Salmonella sp.
Menurut Lindgren dan Dobrogosz (1990), selain senyawa organik
utama seperti asam laktat dan asam asetat, BAL juga diketahui menghasilkan
senyawa lainnya yang juga bersifat antagonistik dan memilki spektrum
penghambatan yang cukup luas. Senyawa tersebut dihasilkan dalam jumlah
lebih sedikit, diantaranya asam format, asam lemak bebas, amonia, etanol,
hidrogen peroksida, diasetil, antibiotik, enzim yang bersifat bakteriolitik, dan
28
bakteriosin. Oleh karena itu melalui tahapan ini diharapkan, isolat dengan
penghambatan yang cukup besar terhadap bakteri uji, kemungkinan juga
menghasilkan senyawa antimikroba lain terutama bakteriosin.
Gambar 5 memperlihatkan aktivitas antimikroba 12 isolat ASI yaitu
R12, R13, R14, R31, R32, A3, A4, A36, A38, B1, B6, dan B17 terhadap
bakteri patogen Gram positif dan Gram negatif. Besarnya aktivitas
penghambatan dapat diketahui dari besarnya zona bening yang terbentuk.
Hasil pengujian tersebut jelas memperlihatkan bahwa aktivitas antimikroba
seluruh isolat menghambat lebih besar pertumbuhan bakteri uji Gram positif
dengan rata-rata penghambatan sebesar 6.2 mm dibanding dengan bakteri uji
Gram negatif dengan rata-rata penghambatan 3.6 mm. Penghambatan terbesar
terutama terhadap L. monocytogenes dengan rata-rata 10.7 mm, kemudian
terhadap S. aureus sebesar 4.2 mm, dan terhadap B. cereus sebesar 3.8 mm.
Sedangkan pada bakteri uji Gram negatif, penghambatan terhadap E. coli
sebesar 3.4 mm dan terhadap Salmonella sp sebesar 3.9 mm.
Zona Penghambatan (mm)
16.0
14.0
12.0
10.0
8.0
6.0
4.0
2.0
0.0
R12
R13
B.cereus
R14
R31
S.aureus
R32
A3
A4
A36
L.monocytogenes
A38
E.coli
B1
B6
B17
Salmonella
Gambar 5. Aktivitas antimikroba 12 isolat ASI terhadap bakteri uji Gram
positif dan Gram negatif
Pelczar dan Chan (1986) menyatakan penyebab rentannya sel bakteri
Gram positif karena adanya perbedaan pada senyawa penyusun struktur
dinding sel antara Gram positif dan Gram negatif. Dinding sel bakteri Gram
29
positif tersusun terutama oleh
lapisan peptidoglikan yang tebal dengan
kandungan asam amino yang bersifat polar dan asam teichoic. Dinding selnya
mengandung lipid yang lebih rendah (1-4%) dan hanya berlapis tunggal.
Sedangkan pada dinding sel bakteri Gram negatif mengandung lipid yang
lebih tinggi (11-22%) dan berlapis rangkap berupa lapisan lipopolisakarida
yang terdiri atas membran dan lapisan peptidoglikan yang tipis terletak pada
periplasma (di antara lapisan luar dan membran sitoplasmik).
Kedua faktor inilah yang menyebabkan bakteri Gram positif lebih
rentan terhadap masuknya senyawa antimikroba melalui dinding selnya
dibandingkan dengan bakteri Gram negatif. Asam organik sebagai komponen
utama senyawa antimikroba merupakan asam karboksilat yang tergolong polar
(Hart et al., 2003). Asam organik akan melakukan penetrasi yang lebih baik
pada dinding sel bakteri Gram positif yang tersusun oleh asam amino polar
dibanding dengan dinding sel bakteri Gram negatif yang bersifat nonpolar
dikarenakan tingginya ketebalan lapisan lipid.
Hasil penelitian Hartanti (2007) mengenai aktivitas antimikroba dari
isolat ASI juga menunjukkan bahwa dari 12 isolat yang diuji yaitu R12, R14,
R21, R22, R23, R24, R25, R26, R27, R28, R32, dan R34, seluruhnya
mempunyai aktivitas penghambatan yang kuat terhadap bakteri Gram positif.
Pada penelitian tersebut bakteri uji Gram positif yang digunakan adalah
Staphlococcus aureus dan Bacillus cereus dan penghambatan tertinggi terjadi
pada Bacillus cereus.
Pada pengujian ini, seluruh isolat BAL ASI yang digunakan dalam
penelitian ini memperlihatkan aktivitas penghambatan yang besar terhadap
bakteri Gram positif terutama L. monocytogenes. Gambar 6 memperlihatkan
besarnya aktivitas antimikroba 21 isolat BAL ASI terhadap L. monocytogenes.
Rata-rata penghambatan pada L. monocytogenes sebesar 10,7 mm maka
isolat dengan penghambatan sama dengan atau lebih dari 10 mm yaitu R11,
R12, R13, R15, R18, R20, R30, R32, R36, A4, A36, dan A38 akan
dilanjutkan ke tahap selanjutnya untuk menyeleksi lebih lanjut isolat yang
berpotensi
menghasilkan
bakteriosin.
Hasil
lengkap
dari
aktivitas
30
penghambatan seluruh isolat baik terhadap bakteri uji Gram positif dan bakteri
uji Gram negatif dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4.
Zona Penghambatan (mm)
16.0
14.0
13.5
11.1
10.5
12.0
13.9
13.3
10.0
12.0
11.9
9.7
9.2
9.2
8.2 8.3
8.0
13.914.1
13.1
13.8
13.2
8.8
9.1
8.4 7.9
6.0
4.0
2.0
penghambatan kurang
dari 10 mm
B6
B17
B1
A38
A36
A4
A3
R36
R32
R31
R30
R20
R19b
R19a-2
R18
R17
R15
R14
R13
R12
R11
0.0
penghambatan lebih
dari 10 mm
Gambar 6.. Aktivitas antimikroba isolat ASI terhadap bakteri L.monocytogenes
Pada tahap ini, aktivitas antimikroba yang ditunjukkan oleh BAL
memperlihatkan peranan asam organik sebagai komponen utamanya. Namun
pemilihan isolat berdasarkan semakin besarnya akti
aktivitas
vitas antimikroba terhadap
bakteri uji Gram positif, dapat memperbesar kemungkinan diperolehnya isolat
yang berpotensi untuk menghasilkan bakteriosin. Bakteriosin sebagai bagian
dari senyawa antimikroba yang dihasilkan BAL, memiliki sifat salah satunya
adalah
lah memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang
secara filogenetik dekat dengan bakteri penghasil bakteriosin (Jack et al.,
2005) sehingga sangat mungkin bahwa bakteriosin dari BAL yang merupakan
bakteri Gram positif akan lebih mudah menghambat
menghambat jenis bakteri Gram positif
lainnya. Selain itu bakteriosin yang dihasilkan bakteri Gram positif seperti
BAL, belum diketahui dapat menghambat bakteri Gram negatif tanpa
penambahan zat aktif yang dapat merusak membran terluar dari bakteri Gram
negatiff (Salminen et al., 2004). Oleh karena itu pada pengujian tahap
selanjutnya digunakan isolat yang menunjukkan penghambatan terbesar
terhadap bakteri Gram positif.
31
B. PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA SEBAGAI SELEKSI
UNTUK
MEMPEROLEH
ISOLAT
BAL
YANG
BERPOTENSI
MENGHASILKAN BAKTERIOSIN
1. Pengaruh
Netralisasi
Senyawa
Antimikroba
terhadap
Listeria
monocytogenes dengan Metode Kontak
Pada tahap ini, dilakukan pengujian kuantitatif menggunakan
metode kontak. Metode ini bertujuan untuk mengetahui perubahan jumlah
bakteri uji di dalam media yang mengandung senyawa antimikroba dari
BAL. perubahan tersebut dapat berupa pertumbuhan yang ditandai dengan
kenaikan jumlah bakteri uji atau kematian bakteri uji berupa penurunan
jumlahnya.
Kultur bakteri uji yang telah disegarkan akan mengalami kontak
langsung dengan senyawa antimikroba yang dihasilkan BAL. Oleh karena
itu kultur BAL berumur 24 jam harus terlebih dahulu disentrifugasi untuk
memisahkan sel sehingga diperoleh supernatan yang hanya mengandung
senyawa antimikroba. Supernatan yang diperoleh kemudian dibagi
menjadi dua bagian yaitu supernatan bebas sel yang dinetralisasi dengan
basa kuat sementara yang lain tidak dinetralisasi. Penetralan ini bertujuan
untuk menghilangkan pengaruh asam organik sebagai komponen utama
senyawa antimikroba dari BAL sehingga jika terjadi penghambatan oleh
supernatan bebas sel yang telah dinetralisasi maka terdapat kemungkinan
adanya senyawa antimikroba selain asam organik.
Ada tidaknya penghambatan oleh senyawa antimikroba akan
terlihat pada pertumbuhan bakteri uji dalam supernatan selama periode
kontak 8 jam. Melalui pengamatan selama 8 jam diharapkan, jika terdapat
senyawa penghambat dalam supernatan selain asam, maka laju
pertumbuhan dari bakteri uji akan menurun. Penurunan laju pertumbuhan
tersebut sangat berpengaruh terhadap jumlah bakteri uji sehingga
diharapkan keberadaan senyawa penghambat dapat dideteksi dengan
perbedaan jumlah bakteri uji pada laju pertumbuhan normal dan jumlah
bakteri uji pada saat adanya senyawa penghambat. Jumlah bakteri uji pada
32
jam ke-0 dan jam ke-8 dinyatakan dengan nilai logaritma dan besarnya
peningkatan atau penurunan jumlah bakteri uji juga dinyatakan dari
perbedaan logaritma selama selang waktu tersebut.
Berdasarkan data yang diperoleh pada tahap sebelumnya, pada
tahap ini akan dilakukan penentuan aktivitas antimikroba yang dipengaruhi
proses penetralan, terhadap L. monocytogenes. Berdasarkan penelitian Jaya
(2004), isolat BAL yang digunakannya yaitu galur M-16 menghasilkan
senyawa antimikroba berupa bakteriosin yang juga memiliki daya
penghambatan yang besar terhadap L. monocytogenes. Bakteri tersebut
bersifat patogen yang dapat mengkontaminasi pangan dan menjadi
perhatian utama pada industri pangan akibat kemampuannya menimbulkan
penyakit listeriosis pada manusia (Faber dan Peterkin, 1991). Oleh karena
itu, pengujian isolat penghasil bakteriosin terhadap L. monocytogenes
penting dilakukan untuk mengetahui aktivitas bakteriosin yang berpotensi
sebagai biopreservatif untuk pangan.
Isolat-isolat bakteri yang dilanjutkan hingga tahap ini adalah 12
isolat dengan penghambatan di atas 10 mm yaitu R11, R12, R13, R15, R18,
R20, R32, R36, R30, A4, A38, dan A36 (Gambar 7). Setelah waktu kontak
8 jam, pertumbuhan bakteri uji dalam tiap supernatan menunjukkan angka
2.0
1.2
0.6
1.0
Log Nt/N0
0.0
0.7
1.0
0.9
1.0
1.0
1.2
0.2
0.1
0.014
1.3
1.2
-1.0
-2.0
-3.0
-2.7
-1.8
-1.9
-2.2
-2.9
-4.0
-5.0
-6.0
-4.1 -4.2 -4.2
-5.0
Netralisasi
-3.5
-4.0
-4.6
Tidak dinetralisasi
Gambar 7. Pengaruh supernatan bebas sel terhadap pertumbuhan bakteri
uji Listeria monocytogenes
33
yang bervariasi. Namun jelas terlihat bahwa supernatan yang tidak
dinetralisasi mampu menurunkan jumlah awal bakteri uji sedangkan pada
supernatan netral terjadi sebaliknya yaitu tidak mampu menahan
pertumbuhan bakteri uji (Gambar 8). Keseluruhan supernatan yang tidak
dinetralisasi menurunkan jumlah awal bakteri uji, rata-rata sebanyak 3.4 log
dengan penurunan terbanyak pada supernatan R13 sebesar 5.0 log dan
paling sedikit pada supernatan R36 sebesar 1.8 log. Hasil selengkapnya dari
pengujian dengan metode kontak antara seluruh isolat BAL dengan bakteri
uji tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5.
Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa nilai pH dari masing-masing
supernatan tidak dinetralisasi tersebut berkisar antara 3.85 hingga 4.46.
Hasil tersebut menjelaskan keberadaan asam organik sebagai komponen
utama
senyawa
antimikroba.
Perubahan
pH
disebabkan
karena
terbentuknya asam-asam organik oleh isolat BAL dalam media (Djaafar et
al., 1996).
Menurut Davidson dan Brannen (1993), mekanisme penghambatan
bakteri oleh asam-asam organik berhubungan dengan keseimbangan asambasa, perubahan proton dan produksi energi oleh sel. Keseimbangan asam
basa pada sel mikroba ditunjukkan dengan pH yang mendekati normal.
Asam akan menyebabkan penurunan pH di bawah kisaran pH pertumbuhan
bakteri dimana asam-asam ini dalam bentuk tidak terdisosiasi dapat
berdifusi secara pesat ke dalam sel mikroorganisme. Menurut Haller et al.
(2001), hal tersebut dikarenakan pH yang rendah membuat asam organik
dapat larut dalam lipid (liposolluble) yang merupakan komponen penyusun
membran sel hingga mencapai sitoplasma sel.
Berdasarkan pengaruh supernatan yang tidak dinetralisasi terhadap
bakteri uji menunjukkan tidak adanya korelasi positif antara besarnya nilai
pH dengan besarnya aktivitas penghambatan (Gambar 8). Isolat dengan pH
supernatan yang tinggi belum tentu membunuh lebih banyak bakteri uji
dibanding dengan supernatan dengan pH yang lebih rendah. Seperti pada
Isolat A36 yang memiliki nilai pH supernatan paling rendah yaitu 3.85
34
namun memiliki kemampuan penghambatan yang lebih rendah dibanding
isolat R32 dengan nilai pH supernatan 4.25. Begitu juga dengan isolat yang
memiliki nilai pH supernatan yang relatif sama namun dengan aktivitas
penghambatan yang berbeda seperti pada isolat R36 dan R13 dimana
aktivitas penghambatan supernatan R13 lebih besar dibanding supernatan
R36.
pH supernatan
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
0.0
-0.5
Penurunan Log
-1.0
R36
-1.5
-2.0
R12
-2.5
R30
R11
A38
-3.0
-3.5
A36
-4.0
R20
-4.5
-5.0
A4
R15
R18
R32
R13
-5.5
Gambar 8. Nilai derajat keasaman (pH) supernatan tidak dinetralisasi dan
pengaruhnya terhadap jumlah bakteri uji L. monocytogenes
Menurut Ouwehand dan Vesterlund dalam Salminen (2004), asam
laktat sebagai senyawa utama asam organik BAL memiliki peranan selain
sebagai inhibitor yaitu sebagai agen pereduksi pH. Inhibitor utama adalah
komponen-komponen selain asam laktat dalam senyawa antimikroba yang
dihasilkan BAL. Komponen tersebut dapat berupa asam organik selain
asam laktat seperti asam asetat atau asam propionat ataupun juga
diharapkan terdapat bakteriosin yang meskipun terdapat dalam jumlah atau
konsentrasi yang kecil namun memiliki aktivitas penghambatan yang
tinggi terhadap mikroorganisme lain.
35
Berbeda
dengan
supernatan yang tidak
dinetralisasi,
pada
supernatan yang dinetralisasi dengan NaOH 1 N terjadi kenaikan
pertumbuhan bakteri uji pada semua media tersebut. Rata-rata kenaikan
pertumbuhan bakteri uji adalah 0.8 log dengan kenaikan terbanyak yaitu
pada supernatan R11 yaitu 1.2 log dan pada supernatan R13 kenaikan
hanya 0.014 log. Sebanyak 5 isolat yaitu R30, R32, A36, R36, R11, dan
R18 menyebabkan kenaikan sama atau lebih dari satu log sedangkan
sisanya sebanyak 6 isolat yaitu A38, A4, R13, R12, R15, dan R20 hanya
menyebabkan kenaikan kurang dari satu log. Hasil lengkap dari pengujian
supernatan dengan metode kontak ini dapat dilihat pada Lampiran 5.
Dalam pengujian ini, digunakan kontrol bakteri L. monocytogenes
yang ditumbuhkan dalam media MRSB steril tanpa pertumbuhan BAL.
Setelah 8 jam, terjadi kenaikan pertumbuhan sebesar 1.3 log. Pengujian
statistik melalui ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Duncan terhadap
nilai kenaikan log pertumbuhan bakteri uji dalam supernatan yang
dinetralisasi, diperoleh hasil bahwa sebanyak 7 isolat yaitu R12, R13, R15,
R20, R32, A4, dan A38 memiliki nilai lebih rendah dari kontrol dan
berbeda nyata dengan kontrol dalam taraf signifikansi 0.05 atau tingkat
kepercayaan 95%. Sedangkan nilai log pertumbuhan bakteri uji dalam
supernatan yang dinetralisasi dari 5 isolat yang tersisa yaitu R30, A36, R36,
R11, dan R18 tidak berbeda nyata dengan kontrol. Hasil uji statistik
tersebut dapat dilihat pada Lampiran 6. Peningkatan jumlah bakteri uji yang
lebih rendah dan berbeda nyata dengan kontrol mengindikasikan besarnya
kemungkinan bahwa pada supernatan yang dinetralisasi terdapat senyawa
antimikroba selain asam organik yang mampu menahan pertumbuhan
bakteri uji. Senyawa ini kemungkinan adalah hidrogen peroksida, diasetil,
dan bakteriosin.
Kemungkinan terdapatnya CO2 sangat kecil karena berdasarkan
penelitian Nuraida et al. (2007) isolat BAL yang digunakan bersifat
homofermentatif
yang
tidak
menghasilkan
CO2
dengan
hasil
metabolismenya 95 persen berupa asam organik terutama asam laktat.
Demikian juga dengan keberadaan diasetil yang dapat diabaikan karena
36
Ouwehand dan Vesterlund dalam Salminen et al. (2004) menyatakan
bahwa metabolisme heksosa dapat menekan pembentukan diasetil. Selain
itu diperlukan sitrat sebagai substrat untuk menghasilkan diasetil dan sitrat
tidak terkandung dalam media yang digunakan pada tahap ini.
Salminen et al. (2004) menyatakan keberadaan hidrogen peroksida
dalam BAL diawali dari kondisi aerob yang memungkinkan enzim-enzim
seperti oksidase yang mengandung flavoprotein, NADH oksidase, dan
superoksida dismutase untuk bekerja dan menghasilkan hidrogen peroksida.
Ouwehand dan Vesterlund (2004) menyatakan bahwa meskipun BAL tidak
memiliki katalase untuk menghilangkan hidrogen peroksida, BAL memiliki
enzim lain seperti peroksidase, flavoprotein, dan pseudokatalase yang dapat
mencegah akumulasi hidrogen peroksida. Selain itu menurut Ray dan
Daeschel (1992), hidrogen peroksida bersifat bakterisidal pada konsentrasi
20-22 µg/ml terhadap Staphylococcus aureus sedangkan produksinya pada
media pepton seperti media MRS cair hanya 8-9 µg/ml setelah diinkubasi
selama 2 hari pada suhu 30oC. Oleh karena itu, meskipun terdapat hidrogen
peroksida, jumlahnya terlalu sedikit untuk bersifat antagonis terhadap
bakteri uji sehingga keberadaan hidrogen peroksida dapat diabaikan.
Bakteriosin merupakan senyawa aktif membran yaitu dapat
berinteraksi dengan reseptor spesifik pada membran sel target. Bakteriosin
menyebabkan
ketidakstabilan
atau
depolarisasi
membran
hingga
terbentuknya lubang pada membran yang pada akhirnya akan membawa
pada kebocoran sel dan sel bakteri yang sensitif akan proses tersebut akan
mati (Engelke et al., 1992). Keberadaan bakteriosin juga dimungkinkan
karena bakteriosin tidak hanya bersifat bakterisidal atau membunuh secara
keseluruhan mikroorganisme lain namun dapat bersifat bakteriostatik
seperti yang dinyatakan oleh Magdalena (2009) bahwa bakteriosin yang
dihasilkan oleh Lactobacillus fermentum 2B2 yang diisolasi dari daging,
bersifat
bakteriostatik
yang
hanya
menghambat
pertumbuhan
mikroorganisme. Berdasarkan sifat bakteriostatik tersebut dapat diduga
bahwa bakteriosin tidak membunuh bakteri uji namun dapat menghambat
pertumbuhannya.
37
Berdasarkan hasil tersebut maka perlu pembuktian lebih lanjut akan
adanya senyawa antimikroba selain asam organik khususnya bakteriosin.
Ketujuh isolat yang mampu menahan kenaikan pertumbuhan bakteri uji dan
berdasarkan hasil statistik berbeda nyata dengan kontrol yaitu R12, R13,
R15, R20, R32, A4, dan A38 dilanjutkan ke tahap penentuan kurva
pertumbuhan untuk mengetahui waktu yang diperlukan bagi BAL untuk
mencapai fase akhir logaritmik yang sangat berkaitan dengan sintesis
senyawa antimikroba terutama bakteriosin.
2. Penentuan Waktu Inkubasi Berdasarkan Kurva Pertumbuhan
Sintesis bakteriosin oleh BAL bersifat growth associated atau
terkait dengan pertumbuhan BAL itu sendiri (Schnell et al., 1998). Oleh
karena itu melalui tahapan ini akan diperoleh kurva pertumbuhan masingmasing isolat BAL yang akan menunjukkan waktu yang diperlukan untuk
fase-fase pertumbuhannya terutama fase logaritmik dan fase stasioner yang
erat kaitannya dengan sintesis bakteriosin. Pertumbuhan bakteri asam laktat
akan mengalami peningkatan dengan meningkatnya waktu inkubasi.
Peningkatan ini berlangsung secara logaritma. Meningkatnya jumlah
biomassa akan menyebabkan jumlah bakteriosin yang dihasilkan juga akan
meningkat dan kemudian menurun setelah mencapai fase stasioner (Boe,
1996).
Rattanachaikunsopon dan Phumkhachorn (2006) menyatakan
bahwa bakterisiosin yang dihasilkan L. plantarum N014 dihasilkan selama
fase logaritma dan mencapai kadar tertinggi saat bakteri penghasil
memasuki fase stasioner. Pertumbuhan yang melewati fase stasioner akan
menurunkan aktivitas bakteriosinnya yang dapat disebabkan terbebasnya
protease dari sel saat sel memasuki fase kematian. Oleh karena itu sangat
penting untuk mengetahui interval fase dari pertumbuhan masing-masing
isolat untuk menghindari waktu inkubasi yang berlebihan hingga fase
stasioner terlewati.
Pada tahap ini, pengukuran massa sel dilakukan dengan metode
turbidimetri yaitu pengukuran berdasarkan kekeruhan kultur dengan
38
spektrofotometer pada panjang gelombang 660 nm. Cahaya yang mengenai
sel-sel mikroorganisme di dalam sampel suspensi akan dihamburkan
sedangkan cahaya yang diteruskan setelah melewati sampel akan mencatat
persen transmitan yang dapat diubah menjadi nilai absorbansi. Nilai
absorbansi akan berkorelasi postif dengan jumlah sel yang terdapat dalam
media (Hadioetomo, 1993). Jumlah sel bakteri kemudian dinyatakan dalam
nilai logaritma. Nilai absorbansi yang semakin tinggi menyatakan
pertumbuhan sel yang semakin meningkat atau bertambah banyak. Hal ini
diperlihatkan dengan semakin curamnya kurva dan dapat mengindikasikan
terjadinya fase logaritma. Fase stasioner dinyatakan dengan kurva yang
semakin mendatar dikarenakan nilai absorbansi yang stabil atau tetap.
Media yang digunakan adalah MRSB sebagai media pokok
pertumbuhan BAL. Menurut Kusmiati dan Malik (2002), media MRS
merupakan media yang mengandung nitrogen dan karbon sebagai sumber
nutrisi dan merupakan media terbaik bagi pertumbuhan dan produksi
bakteriosin dari Lactobacillus plantarum dan Leuconostoc mesenteroides.
Berdasarkan hasil pengukuran absorbansi sepanjang waktu inkubasi
BAL diketahui bahwa masing-masing isolat memiliki interval fase
pertumbuhan yang berbeda-beda. Fase awal dari kurva pertumbuhan yaitu
fase lag yang terdiri dari fase adaptasi dan fase pertumbuhan awal. Pada
fase tersebut pertumbuhan sel berjalan lambat atau bahkan tidak terjadi
pertambahan sel yang berarti dikarenakan sel harus terlebih dahulu
beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan mempersiapkan pertumbuhan
sel selanjutnya dengan menambah senyawa intraseluler komposisi kimiawi
dan memperbesar ukuran sel (Pelczar dan Chan, 1986). Fase awal tersebut
terjadi pada selang waktu dari jam ke-0 hingga jam ke-3 untuk isolat A4
(Gambar 14) dan A38 (Gambar 15) sedangkan pada isolat R12 (Gambar 9)
dan R32 (Gambar 13) terjadi hingga jam ke-4, R20 (Gambar 12) hingga
jam ke-5, R13 (Gambar 10) hingga jam ke-6, dan R15 (Gambar 11) hingga
jam ke-7.
Fase logaritma dimana pertumbuhan sel berjalan dengan cepat
terjadi setelah fase lag yaitu pada selang waktu hingga jam ke-13 untuk
39
R12, A4 dan A38. Pada R13 terjadi hingga jam ke-11 dan pada R32 terjadi
hingga jam ke-15. Sedangkan pada R15 dan R20 terjadi hingga jam ke-21.
Pada fase logaritma, sel mengalami aktivitas metabolik yang konstan
sehingga sel membelah dengan laju yang konstan dan jumlah sel menjadi
dua kali lipat (Pelczar dan Chan, 1986).
Hasil pengukuran kurva pertumbuhan dari isolat R12, R13, R15,
R20, A4, dan A38 dapat diketahui bahwa isolat R13 memasuki
fase
stasioner pada jam ke 11 (Gambar 10), isolat R12, A4, A38 memasuki fase
stasioner pada jam ke 13 (Gambar 9, 14 dan 15), isolat R32 pada jam ke-15
(Gambar 13), isolat R15 pada jam ke 19 (Gambar 11), dan isolat R20 pada
jam ke 21 (Gambar 12). Fase stasioner merupakan fase setelah fase
logaritmik dimana pada fase tersebut mulai terjadi penumpukan metabolit
beracun dan terjadi penurunan kadar nutrisi dalam media. Akibatnya
jumlah populasi sel menjadi konstan dikarenakan jumlah sel yang mati
sama dengan jumlah sel yang tetap membelah.
OD 660 nm
10
1
0.1
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Waktu Inkubasi (jam)
Gambar 9. Kurva pertumbuhan isolat R12
40
OD 660 nm
10
1
0.1
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Waktu Inkubasi (jam)
Gambar 10. Kurva pertumbuhan isolat R13
OD 660 nm
10
1
0.1
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Waktu Inkubasi (jam)
Gambar 11. Kurva pertumbuhan isolat R15
41
OD 660 nm
10
1
0.1
0.01
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Waktu Inkubasi (jam)
Gambar 12. Kurva pertumbuhan isolat R20
OD 660 nm
10
1
0.1
0.01
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Waktu Inkubasi (jam)
Gambar 13. Kurva pertumbuhan isolat R32
42
OD 660 nm
10
1
0.1
0.01
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Waktu Inkubasi (jam)
Gambar 14. Kurva pertumbuhan isolat A4
OD 660 nm
10
1
0.1
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Waktu Inkubasi (jam)
Gambar 15 . Kurva pertumbuhan isolat A38
43
Data lengkap pengukuran absorbansi dari kurva pertumbuhan tiap
isolat dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil pengukuran kemudian
dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu untuk mengetahui pengaruh waktu
inkubasi dimana tiap isolat akan diinkubasi selama waktu yang
diperlukannya untuk mencapai fase stasioner yang erat kaitannya dengan
sintesis bakteriosin.
3. Pengaruh Waktu Inkubasi terhadap Aktivitas Antimikroba
Setelah mengetahui berapa lama waktu inkubasi hingga mencapai
akhir fase logaritmik atau awal fase stasioner dari masing-masing isolat,
tahapan selanjutnya adalah untuk menguji apakah dengan waktu inkubasi
yang telah ditentukan (Tabel 2), berpengaruh terhadap kuantitas dan
kualitas senyawa antimikroba yang dihasilkan terutama bakteriosin. Hasil
positif diperoleh apabila supernatan yang dihasilkan dan kemudian
dinetralisasi, dapat menghambat bakteri uji melalui pengujian dengan
metode difusi agar.
Tabel 2. Waktu inkubasi berdasarkan kurva pertumbuhan tiap isolat BAL
Isolat BAL
Waktu Inkubasi Berdasarkan
Awal Fase Stasioner (jam)
R12
R13
R15
R20
R32
A4
A38
13
11
19
21
15
13
13
Kultur BAL yang telah disegarkan kemudian dipindahkan sebanyak
2% dari media MRS cair 50 ml dan diinkubasi sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan. Pada tahap ini selain L. monocytogenes, digunakan juga
bakteri uji lain yaitu B. cereus dan S. aureus. Hal ini mengingat bahwa
bakteriosin BAL bersifat menyerang sel lain yang memiliki kedekatan
filogenetik atau sesama Gram positif.
44
Berdasarkan pengamatan pada seluruh sumur dari tiap isolat, tidak
ditemukan zona penghambatan berupa areal bening sebagai aktivitas
antimikroba dari supernatan bebas sel yang telah dinetralisasi (Lampiran 8
dan 9). Hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa dalam supernatant dari
tiap isolat tersebut, senyawa antimikroba selain asam organik khususnya
bakteriosin tidak memiliki aktivitas yang optimum. Jumlah dan konsentrasi
yang terlalu rendah dapat berdampak pada aktivitas penghambatan yang
lemah terhadap bakteri uji (Permanasari, 2009).
Rendahnya konsentrasi bakteriosin yang terdapat pada 50 µl
supernatan
mungkin
menjadi
penyebab
tidak
terbentuknya
zona
penghambatan. Oleh karena itu untuk mengevaluasi kembali kemungkinan
terdapatnya bakteriosin perlu dilakukan uji kuantitatif dengan metode
kontak, berbeda dengan difusi agar yang bersifat kualitatif. Dengan semakin
banyak supernatan diharapkan akan semakin banyak senyawa bakteriosin
sehingga daya penghambatan terhadap bakteri uji juga semakin besar.
Pada uji kontak tahap ini hanya digunakan dua isolat yaitu A4 dan
A38. Supernatan kedua isolat ini pada uji kontak tahap pertama diketahui
mampu menahan pertumbuhan L. monocytogenes. Dalam media supernatan
netral A4 dan A38 hasil inkubasi 24 jam, bakteri uji tersebut hanya
mengalami kenaikan pertumbuhan berturut-turut sebesar 0.1 dan 0.2 log
(Gambar 6). Berdasarkan kurva pertumbuhannya, keduanya memerlukan
waktu sebanyak 13 jam untuk mencapai akhir fase logaritmik dan menuju
awal fase stasioner.
Hasil uji kontak tersebut (Gambar 16) menunjukkan bahwa
supernatan yang diperoleh dari inkubasi selama 13 jam, memiliki aktivitas
penghambatan yang lebih rendah dibandingkan supernatan hasil inkubasi 24
jam (Gambar 7). Supernatan 13 jam dari kedua isolat ini tidak mampu
menahan laju pertumbuhan bakteri uji yang mengalami kenaikan sebesar 1.4
log pada supernatan A4 dan kenaikan sebesar 1.2 log pada supernatan A38.
Data lengkap dapat dilihat pada Lampiran 10.
45
1.6
1.4
1.4
Log Nt/N0
1.3
1.2
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.2
0.1
0.0
A4
supernatan 13 jam
A38
Kontrol
supernatan 24 jam
Gambar 16. Pengaruh supernatan netral hasil inkubasi BAL dengan waktu
yang berbeda terhadap pertumbuhan L. monocytogenes
Melalui pengujian stastistik dengan ANOVA yang dilanjutkan
dengan uji Duncan (Lampiran 11) diperoleh hasil bahwa kenaikan
pertumbuhan bakteri uji pada supernatan netralisasi hasil inkubasi hingga
awal fase stasioner dari isolat A4 dan A38 tidak berbeda nyata dengan
kontrol atau dapat dianggap sama dengan kontrol pada taraf signifikansi
0.05 atau tingkat kepercayaan 95%. Hasil tersebut sangat berbeda dengan
uji statistik sebelumnya terhadap supernatan netralisasi dari inkubasi 24 jam
kedua isolat yang diketahui berbeda nyata dengan kontrol dimana
pertumbuhan bakteri uji lebih rendah dibanding kontrol. Hasil tersebut
menandakan bahwa jumlah atau konsentrasi senyawa antimikroba selain
asam organik khususnya bakteriosin hasil inkubasi 13 jam atau sesuai
dengan awal fase stasioner, tidak sebanyak pada supernatan yang
dinetralisasi hasil inkubasi 24 jam. Dengan demikian dapat dijelaskan
mengapa aktivitas penghambatannya lebih rendah dibandingkan dengan
hasil inkubasi 24 jam.
Penelitian Karthikeyan dan Santhosh (2009) menyatakan bahwa
bakteriosin yang dihasilkan dari isolat BAL yang diuji yaitu Lactobacillus
acidophilus, justru dihasilkan secara optimum yaitu memiliki aktivitas
tertinggi pada akhir fase stasioner yaitu selama 14 jam waktu inkubasi. Hal
46
tersebut menjelaskan mengapa supernatan yang dinetralisasi dari isolat yang
sama namun dengan waktu inkubasi berbeda menghasilkan aktivitas
penghambatan yang berbeda pula. Dalam kaitannya dengan sintesis
bakteriosin, dapat dikatakan bahwa periode sintesis bakteriosin berbedabeda, tidak selalu pada akhir fase logaritmik atau awal fase stasioner dan
sangat bergantung pada jenis dan karakteristik dari masing-masing bakteri.
4. Konfirmasi Pengujian Bakteriosin
Tahap konfirmasi ini bertujuan untuk mengekstraksi bakteriosin yang
berpotensi dihasilkan isolat BAL dalam media pertumbuhannya yaitu
MRSB. Bakteriosin yang merupakan protein akan diendapkan dengan
penambahan garam ammonium sulfat ke dalam media. Isolat BAL yang
digunakan adalah A4 dan A38 dimana supernatan hasil inkubasi 24 jam dan
dinetralisasi dari kedua isolat ini mampu menahan kenaikan pertumbuhan
bakteri uji.
Prinsip kerja garam ammonium sulfat mengendapkan protein yaitu
dengan mengurangi kelarutan protein dalam media cair. Kelarutan protein
bergantung pada kekuatan ion dalam larutan seperti media MRSB. Protein
dalam larutan sangat terhidrasi atau terikat kuat dengan molekul air. Namun
ketika garam seperti ammonium sulfat ditambahkan ke dalam larutan
protein, ion-ion garam akan mengikat dan menarik molekul air dari protein.
Maka semakin banyak garam yang ditambahkan akan semakin banyak
protein yang terpisah dari air dan lebih cenderung berikatan dengan
sesamanya dan mulai mengendap.
Pada tahap ini, untuk mengekstraksi bakteriosin digunakan media
yang lebih banyak dibanding tahap-tahap sebelumnya dengan asumsi
bahwa jumlah media pertumbuhan BAL berpengaruh juga terhadap jumlah
senyawa antimikroba yang dihasilkan. Selain itu, jika terbentuk endapan
yang diduga bakteriosin setelah penambahan ammonium sulfat, diperlukan
juga pengujiannya terhadap bakteri uji dengan metode difusi agar untuk
mengetahui aktivitas penghambatannya sebagai molekul bakteriosin.
47
Hasil ekstraksi menunjukkan bahwa setelah penambahan amonium
sulfat, terbentuk endapan dari media. Namun ketika hasil endapan tersebut
diuji aktivitas penghambatannya terhadap bakteri uji L. monocytogenes, B.
cereus, dan S. aureus, tidak terbentuk zona penghambatan. Melalui hasil
tersebut belum dapat dipastikan apakah isolat BAL yang diuji, tidak
menghasilkan bakteriosin dikarenakan terdapat kekurangan dalam metode
yang digunakan diantaranya tidak seragamnya jumlah media yang
digunakan untuk menumbuhkan isolat BAL. Pada saat pengukuran kurva
pertumbuhan digunakan 150 ml MRSB sedangkan pada saat proses
pengujian bakteriosin hanya digunakan 50 dan 60 ml MRSB. Selain itu,
larutan buffer fosfat yang digunakan untuk melarutkan endapan bakteriosin,
diperkirakan terlalu banyak sehingga konsentrasi bakteriosin dalam larutan
buffer dianggap terlalu rendah. Kedua hal tersebut menyebabkan rendahnya
aktivitas penghambatan molekul protein bakteriosin terhadap bakteri uji.
Tagg et al. (1976) menyatakan bahwa semua anggota dari Eubacteria
dan Archaea yang diambil dari ekosistem alamiahnya pasti menghasilkan
bakteriosin. Namun, jika tidak ditemukan bakteriosin disebabkan karena
penelitinya yang belum menemukan kondisi yang tepat yang menunjukkan
bacteriosinogenicity in vitro. Parada et al. (2007) juga menyatakan
perlunya tahapan optimasi terhadap suhu, pH, dan jenis nutrisi dalam media
untuk menstimulir produksi bakteriosin dari mikroba.
Menurut Guyonnet et al. (2000) metode ekstraksi bakteriosin
menggunakan ammonium sulfat dapat digunakan untuk mengendapkan
protein namun tidak memberikan tingkat pemurnian yang tinggi. Media
kultur BAL yang digunakan umumnya mengandung kompleksitas nutrisi
yang tinggi dan terdapat kemungkinan peptida-peptida di dalamnya
mempengaruhi hasil pemurnian dan menunjukkan kesalahan positif yaitu
terdapatnya endapan yaitu molekul protein selain bakteriosin yang tidak
memiliki aktivitas penghambatan. Mackay et al. (1997) menyatakan tingkat
kemurnian
bakteriosin
yang
lebih
baik
dapat
diperoleh
dengan
memfokuskan pada metode pemurnian berdasarkan prinsip isoelektrik yang
dikombinasikan dengan pemisahan kromatografi seperti cation exchange,
48
filtrasi
gel,
hydrophobic
interaction,
dan
reverse-phase
liquid
chromatograph.
49
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Isolat BAL yang digunakan pada penelitian ini memiliki aktivitas
penghambatan yang kuat terhadap bakteri uji Gram positif L. monocytogenes
dibanding dengan bakteri uji lainnya seperti Staphylococcus aureus, Bacillus
cereus, Escherichia coli, dan Salmonella sp. Keseluruhan isolat menunjukkan
sifat antagonistik yang relatif tinggi terhadap L. monocytogenes dengan ratarata penghambatan sebesar 10.7 mm. Terdapat 12 isolat dengan penghambatan
di atas 10 mm yaitu R11, R12, R13, R15, R18, R20, R31, R32, R36, R30, A4,
A38, dan A36.
Dari ke-12 isolat tersebut, diperoleh 7
isolat yang diperkirakan
berpotensi untuk menghasilkan bakteriosin yaitu R12, R13, R15, R20, R32,
A4, dan A38. Supernatan yang telah dinetralisasi dari ketujuh isolat tersebut
diketahui
mampu
menahan
kenaikan
pertumbuhan
bakteri
uji
L.
monocytogenes hingga lebih rendah dan berbeda nyata dengan kontrol
berdasarkan pengujian statistik.
Pengaruh waktu inkubasi sesuai dengan waktu yang diperlukan tiap
isolat untuk mencapai awal fase stasionernya, dilakukan untuk memaksimalkan
sintesis bakteriosin dari isolat yang berpotensi tersebut. Pengujian dengan
menggunakan 2 dari 7 isolat yang berpotensi tersebut yaitu isolat A4 dan A38
diperoleh hasil bahwa waktu inkubasi 24 jam menghasilkan aktivitas
penghambatan yang lebih baik dibandingkan waktu inkubasi 13 jam
berdasarkan fase stasionernya.
Penggunaan buffer fosfat yang terlalu banyak untuk melarutkan
molekul bakteriosin hasil pengendapan dengan ammonium sulfat menjadi salah
satu kekurangan dalam tahap konfirmasi pengujian bakteriosin. Hal tersebut
menyebabkan konsentrasi bakteriosin terlalu kecil sehingga aktivitas
penghambatannya terlalu rendah untuk dapat menghambat bakteri uji.
50
B. SARAN
Untuk lebih memahami tentang sintesis bakteriosin oleh bakteri asam
laktat, disarankan :
1. Perlunya penelitian terhadap kondisi seperti suhu, pH, waktu inkubasi dan
jenis media yang cocok guna menstimulasi BAL penghasil bakteriosin dan
mengoptimumkan protein bakteriosin yang dihasilkan.
2. Optimasi tersebut juga perlu dikombinasikan dengan metode yang tepat
untuk mengekstraksi bakteriosin dari media.
51
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Ammonium Sulphat. http; // www.wikipedia.org. [8 Maret 2010]
Axelsson, L. T. 1993. Lactic Acid Bacteria Classification and Physiology. Di
dalam: Salminen, S., Wright, A. V., editor. Lactic Acid Bacteria. New York.
Bevilacqua, AE & AN Califano. 1989. Determination of Organic Acid in Dairy
Product by High Performance Liquid Chromatography. J. Food Sci. 56 (4),
1076-1077.
Boe, Joe Young. 1996. Evaluation of Optimum Production for Bacteriocin from
Lactobacillus sp JB 42 Isolation from Kimchi. J Microbiol Biotech 6: 63-67
Bottazi, V. 1983. Other Fermented Dairy Product. In: Biotechnology: Food and
Feed Production with Microorganisme.Vol 5. Verlag Chemie, Florida.
Buchanan, R.E. dan Gibbons. 1974. Bergey’s Manual of Determinative
Bacteriology. 8th Edition. Woverly Inc, USA.
Buckle, K. A., Edwards, R. A., Fleet, G. H., dan Wooton, M. 1987. Ilmu Pangan.
UI Press., Jakarta
Blackburn, C. W. dan McLure, P. J. 2003. Foodborne Pathogen: Hazard, Risk
Analysis and Control. Woodhead Publishing Ltd., Abington
Carr, F.J.; Hill, D. dan Maida, N. 2002. The Lactic Acid Bacteria: A Literature
Survey. Crit. Rev. Microbiol., 28, 281-370.
Djaafar, T. F., Rahayu E. S., Wibowo, D dan Sudarmadji, S. 1996. Substansi
Antimikroba Bakteri Asam Laktat yang Diisolasi dari Makanan Hasil
Fermentasi Tradisional Indonesia. J.Pert Indo 6 (1), 15-21
Davidson, P. M. dan A. L. Branen. 1993. Antimicrobial in Food . 2ndEdition .
Resised and Expanded. Marcell Dekker Inc., New York.
Desmazeaud, M. 1996. Lactic Acid Bacteria in Food: Use and Safety. Cahiers
Agricultures. 5 (5), 331-342
Davidson, P. M., dan Hoover, D. G. 1993. Antimicrobial Components from Lactic
Acid Bacteria. Di dalam: Salminen, S., dan Wright, A. V (eds). Lactic Acid
Bacteria. Marcel Dekker Inc., New York.
Engelke, G., Gutowski-Eckel, Z., Kiesau, P., Siegers, K., Hammelmann, M.,
Entian, K. D. 1992. Biosynthesis of Antibiotic Nissin, Genomic
Organization and Membrane Localization of the Nis B. Protein. Appl
Environ Microbiol 55:476-511.
52
Faber, J. M. dan Peterkin, P. I. 1991. Listeria monocytogenes, a Food Borne
Pathogen. Appl Environ Microbiol 55: 476-511
Fardiaz, S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Mikrobiologi Pangan. PAU
Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Garriga, M., Hugas, M., Aymerich, T., Monfrot, J.M. 1993. Bacteriogenic
Activity of Lactobacilli from Fermented Sausage. J Appl Bacteriol
75:142-148.
Gonzales, B. E., Glaasker, Kunji E. R. S., Driessen , A. J. M., Suarez J. E.,
Onings, W. N. K. 1996. Bactericidal Mode of Action of Plantaricin S. Appl
Environ Microbiol 62: 2701-2709
Gorris, L. G. M. dan Bennik, M. H. J. 1994. Bacteriocin for Food Preservation.
Internationale Zectschriff for Iebenmittel Tecknik Marketing Verpakung und
Analytic.
Griffin, D. H. 1991. Fungal Physiology. A. Willey Interscience Publication, New
Interscience Publication, New York.
Hadioetomo, R. S. 1993. Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. PT. Gramedia
Pustaka Utama., Jakarta.
Haller, D., Colbus, H., Gänzle, M. G., Scherenbacher, P., Bode, C. and Hammes,
W. P. 2001. Metabolic and Functional Properties of Lactic Acid Bacteria in
the Gastro-intestinal Ecosystem: a Comparative in vitro Study between
Bacteria of Intestinal and Fermented Food Origin. System. Appl. Microbiol.,
24, 218-226.
Hartanti, A. W. 2007. Seleksi Bakteri Asam Laktat yang Berpotensi Sebagai
Probiotik dari Isolat Air Susu Ibu. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Harmon, S. M. 1980. Bacteriological Anlytical Manual 5th Edition. Washington
D.C. Assocaition of Official Analytical Chemist.
Harigan, W. F. 1998. Laboratory Methods in Food Microorganism. 3rd Ed.
Academic Press. San Diego.
Hart, H., Craine, L. E., dan Hart, D. J. 2003. Kimia Organik : Suatu Kuliah
Singkat. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Hurst, A. 1981. Nisin. Appl Microbial. 27;85-123.
53
Jack, R.W., Tagg, J. R., Ray, B. 1995. Bacteriocin of Gram Positive Bacteria.
Appl Environ microbial 59: 171-200.
Jaya, F. P. 2004. Pengaruh pH dan Suhu pada Produksi Bakteriosin dari Bakteri
Asam Laktat Galur M6-15. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.
Jimenez-Diaz, R, Ruiz-Barba, JL, Cathcart, DP, Holo, H, Nes, IF, Sletten, KH &
Warner, PJ, 1995, Purification and Partial Amino Acid Sequence of
Plantaricin S, a Bacteriocin Produced by Lactobacillus plantarum LPCO10,
the Activity of which Depends on the Complementary Action of Two
Peptides, Applied and Environmental Microbiology, vol 61, no 12, pp 44594463.
Klaenhammer T. R. 1988. Bacteriocin of Lactic Acid Bacteria. Biochemie. 70:
337-349.
Kusmiati dan Malik, Amarili. 2002. Aktivitas Bakteriosin dari Bakteri
Leuconostoc mesenteroides Pbac1 pada Berbagai Media. Makara Kesehatan
Vol 6 No 1
Lindgren, S.E dan Dobrogosz, W. J. 1990. Antagonistic Activities of Lactic Acid
Bacteria in Food and Feed Fermentation. FEMS Microbiol. Rev., 87, 14964.
Magdalena, Lamria. 2009. Produksi dan Karakterisasi Bakteriosin Asal
Lactobacillus fermentum 2B2 serta Aktivitas Antimikrobanya terhadap
Bakteri Patogen. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Matsuaki H, Endo, N, Sonomoto K, Ishizaki A. 1996. Lantibiotic Nisin Z
Fermentaire Product by Lactococcus lactis 10-1: Relationship Between
Product of Lantibiotic and Lactate Growth. Appl Microbial. Biotechnol. 45:
36-40
Nettles, O. G. dan Barefoot, B. F. 1993. Biocheme and Gene Characteristics of
Bacteriocin of Food Associated Lactic Acid bacteria. J. Food Prot. 56: 338356
Nuraida, L., Hartanti, A.W., Soetikno, S., dan Hana. 2007. Lactic Acid Bacteria
Profile of Human Breast Milk and Their Potency as Probiotics. Seafast
Center of Bogor Agricultural University.
Ostling, C. E. dan Lindgren, S. E .1990. Inhibition of Enterobacteria and Listeria
growth by lactic, acetic, and formic acid. J Appl Bacteriol. 73:18-24
Ouwehand, A. C. dan Vesterland, S. 2004. Antimicrobial Components from
Lactic Acid Bacteria. Di dalam: Salminen, S. dan Atte von Wright, editor.
54
Lactic Acid Bacteria: Microbiology and Functional Aspects. 3th edition.
Revised and Expanded. Marcel Dekker, Inc., New York.
Parada, J. L., Caron, C. R., Medeiros, A. B. P., Soccol, C. R. 2007. Bacteriocins
from Lactic Acid Bacteria: Purification, Properties and Use as
Biopreservatives. Brazillian Archives of Biology and Technology Vol. 50, n.
3 : pp. 521-542
Pelczar, M.J. dan Chan, E.C.S. 1986. Dasar-dasar Mikrobologi. UI Press, Jakarta.
Permanasari, R. 2008. Identifikasi dan Pengujian Minimum Inhibitory
Concentration (MIC) Substrat Antimikroba Bakteri Asam Laktat Isolat
Daging. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor
Prescott, L. M., Harley, J. P., Klein, D. A. 2003. Microbiology fifth edition. Mc
Graw Hill., New York.
Ralovich, H. 1984. Listeriosis Research: Present Situation and Perspective.
Budapest: Akademial Kiado.
Rahayu, W. P. 2000. Aktivitas Antimikroba Bumbu Masakan Tradisional Hasil
Olahan Industri terhadap Bakteri Patogen dan Perusak. Buletin Tekno dan
Industri Pangan XI no 2 : 42-48, ISSN 0216-2318
Ray, B. 1996. Fundamental Food Microbiology. Tokyo. CRC pres P. 8-29
Ray, B dan Daeschel, M. 1992. Food Biopreservative of Microbiol Origin. CRC.
Tokyo P: 1-201
Rattanachaikunsopon, P dan Phumkhachorn, P. 2006. Isolation and Preliminary
Characterization of a Bacteriocin Produced by Lactobacillus plantarum
N014 Isolated from Nham, a Traditional Thai Fermented Pork Journal of
Food Protection, Vol. 69, No. 8, 2006, Pages 1937–1943
Salminen, S., Wright, A.V., Ouwehand, A. 2004. Lactic Acid Bacteria:
Microbiology and Functional Aspects. 3th edition. Revised and Expanded.
Marcel Dekker, Inc., New York.
Schnell, N., Entian, K. D., Schneider, U., Gots, F., Zahner, H., Kellner, R., Jung,
G. 1998. Prepeptide Sequence of Epidermin, a Ribosomally Synthesized
Antibiotic with Fuor Sulphide-ring Nature London. 333:276-278.
Shin, H., Lee, J., Pestka, J. J., da Ustanel, Z. 2000. Viability of Bifidobacteria in
Commercial Dairy Products during Refrigerated Storage. J. Food Pro. 63:
327-331.
Siregar. 2004. Air Susu Ibu. http://www.foodsci.uoguelph.ca/asi.php. [27 April
2009]
55
Stamer, J. R. 1980. Lactic Acid Bacteria. Di dalam: Detoguido MP, Siplittstossler,
editor. Food Microbiology Public Health and Spoilage Aspect. Wesport
Connecticut: Avi Publisher.
Stevens, K. A., Sheldon, B. W., Klapes, N. A. dan Klaenhammer, T. R. 1991.
Nisin Treatment for Inactivation of Salmonella Species and other Gram
Negatif Bacteria. Appl. Environ. Microbiol., 57, 3613-3615.
Tagg, J. R., A. S. Dajani dan L. W. Wannaker. 1976. Bacteriocins of Gram
Positive Bacteria. Dalam: R. James, C. Lazdunski, and F. Pattus.
Bacteriocins, Microcins, and Lantibiotics. Springer-Verlag Berlin
Heidelberg, New York.
Tamime, A. Y. dan Robinson, R. K. 1989. Yogurt Science and Technology.
Pergamon Press, New York.
Todar,
K.
2004
Nutrition
and
Growth
of
http://textbookofbacteriology.net./nutgro.htm [8 Maret 2010].
Bacteria.
Wibowo, M. S. 2010. Pertumbuhan Mikroorganisme. School of Pharmacy.
Institut Teknik Bandung
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Worthington dan Roberts. 1993. Immunology. Pergamon Press, New York.
Yang, R., Ray, B. 1994. Factor Influencing Production of Bacteriocins by Lactic
Acid Bacteria. Food Microbiol 11:281-291.
56
LAMPIRAN
57
Lampiran 1. Gambar hasil pengamatan mikroskop beberapa isolat ASI
R30
R36
R15
R18
R31
R32
58
B17
R11
R20
A4
B1
B6
59
Lampiran 2. Data ukuran zona penghambatan (mm) senyawa antimikroba
beberapa isolat ASI dengan metode difusi agar (Nuraida et al., 2007)
Bakteri Indikator Gram (+)
Bakteri Indikator Gram (-)
ISOLAT
B. cereus
S. aureus
L.monocyt
E.coli
salmonella
A3
3.8
4.0
8.8
3.1
4.2
A4
2.1
2.8
13.1
4.2
3.8
A36
3.7
3.2
13.9
2.8
3.1
A38
3.6
3.0
14.1
3.5
3.4
B1
3.6
4.0
9.1
2.0
4.1
B6
4.3
4.1
8.4
4.5
3.5
B17
3.4
4.3
7.9
3.0
3.5
R12
3.5
6.0
10.5
3.5
6.0
R14
2.8
6.4
9.2
2.8
6.4
60
Lampiran 3. Data zona penghambatan (mm) senyawa antimikroba BAL isolat ASI terhadap bakteri uji Gram positif
No
Isolat
L. monocytogenes
1a
1b
2a
R12
11.5
11.4
8.9
R14
10.2
9.8
9.7
R32
12.4
14.1
12
R11
13
13.5
14.5
R13
11
15.5
12
R15
14
13
14.5
R17
9.75
9.7
8.5
R18
7
14.5
13.5
R19a-2
8.9
5.6
9.9
R19b
8.1
9.6
8.4
R20
11.5
15
12
R30
13.5
13
15
R31
10.5
3.8
13
R36
13.5
13.5
15
A3
5
11
8.5
A4
12
11.5
15
A36
13.5
11.5
13
A38
12.5
14.6
13
B1
3.5
14
9
B6
4.5
8
12
B17
6.6
7.5
9
Keterangan:
Tidak Dilakukan
2b
10.1
7.1
14.2
13
6
11.5
10.95
13
8.4
7.1
9
14
9.5
13
10.5
14
17.5
16.2
10
9
8.5
Ratarata
10.5
9.2
13.175
13.5
11.125
13.25
9.725
12
8.2
8.3
11.875
13.875
9.2
13.8
8.75
13.1
13.875
14.075
9.125
8.375
7.9
1a
6.4
6.1
3.1
2.5
3.2
3
3.85
4
3.5
3
3.7
3.5
1
5
Zona Penghambatan (mm)
B.cereus
Rata1b
2a
2b
rata
6
4.4
7
5.95
7
4.4
8
6.375
5
5.1
6
4.8
3.5
2
3
2.75
4
3.2
9.6
5
2.5
3.5
3
3
3.8
4.4
4.15
4.05
3
3
2.5
3.125
3.2
4.7
4.9
4.075
3.3
4.1
3.8
3.55
3
2.7
8.9
4.575
3.5
3.5
6
4.125
2.5
2
3.5
2.25
3.5
4.5
0
1.75
S.aureus
1a
6.6
2.5
3.2
3
3.85
4
3.5
3
3.7
3.5
1
5
1b
6.2
3.5
4
2.5
3.8
3
3.2
3.3
3
3.5
2.5
3.5
2a
5.9
2
3.2
3.5
4.4
3
4.7
4.1
2.7
3.5
2
4.5
2b
5.15
3
9.6
3
4.15
2.5
4.9
3.8
8.9
6
3.5
0
Ratarata
5.96
2.75
5
3
4.05
3.125
4.075
3.55
4.575
4.125
2.25
1.75
58
Lampiran 4. Data zona penghambatan (mm) senyawa antimikroba BAL isolat ASI terhadap
bakteri uji Gram negatif
Zona Penghambatan (mm)
No
Kultur
R11
R13
R15
R17
R16
R18
R19a-2
R19b
R20
R30
R31
R32
R36
E.coli
1a
4
2.9
4
3.6
0
5.5
2.8
3.5
2.75
4.5
3.4
1.9
3.5
1b
5
2.7
4.5
3.3
0
4.5
2.8
3.2
3.4
5
3.5
0
5
2a
1
7.15
3.5
8
0
3
2.85
6.6
5.4
1
6.6
4.65
4.5
Salmonella
2b
4
3.5
3.5
4.7
0
3.5
3.2
2.2
1.6
4
3.8
4.9
3.5
Ratarata
3.5
4.063
3.875
4.9
0
4.125
2.913
3.875
3.288
3.625
4.325
2.86
4.125
1a
1b
4
2a
2b
Ratarata
4.5
5.5
8.5
4.625
3
4.5
2.5
6.1
3.5
4.15
2.25
4.68
Keterangan :
Tidak Dilakukan
58
Lampiran 5. Data jumlah bakteri L. monocytogenes (cfu/ml) dalam media supernatan bebas
sel (waktu inkubasi 24 jam) dengan metode kontak
Jumlah L. monocytogenes
Supernatan Bebas Sel
Kontrol
Netral
R11
Tidak netral
Netral
R12
Tidak netral
Netral
R13
Tidak netral
Netral
R15
Tidak netral
Netral
R18
Tidak netral
Netral
R20
Tidak netral
Netral
R30
Tidak netral
Perubahan Jumlah
L. monocytogenes
jam ke-0 (N0)
jam ke-8 (Nt)
Log Nt/N0
1
2
9.2 x 104
1.3 x 105
1.9 x 106
2.2 x 106
1
1.4 x 105
2.4 x 106
1.315
1.228
1.234
2
1.0 x 105
1.8 x 106
1.255
1
7.1 x 104
1.5 x 102
-2.675
2
4.0 x 104
6.9 x 10
-2.763
1
1.1 x 105
3.3 x 105
0.477
2
9.5 x 104
4.5 x 105
0.675
1
6.4 x 104
4.6 x 102
-2.143
2
7.1 x 104
4.2 x 102
-2.228
1
8.2 x 104
9.4 x 104
0.059
2
1.4 x 105
1.3 x 105
-0.032
1
9.0 x 104
< 2.5 x 10 (1)
-4.954
2
1.0 x 105
< 2.5 x 10 (1)
-5.0
1
1.0 x 105
4.0 x 105
0.602
2
6.4 x 104
3.6 x 105
0.750
1
5.0 x 104
< 2.5 x 10 (1)
-4.699
2
1.4 x 105
< 2.5 x 102 (55)
-3.406
1
1.2 x 105
1.2 x 106
1
2
9.0 x 104
1.1 x 106
1.087
1
5.2 x 104
< 2.5 x 102 (15)
-3.540
2
8.2 x 104
< 2.5 x 10 (1)
-4.914
1
4.7 x 104
3.8 x 105
0.908
2
5.2 x 104
3.4 x 105
0.815
1
8.4 x 104
< 2.5 x 102 (20)
-3.623
2
1
2
1
2
7.5 x 104
1.5 x 105
6.8 x 105
2.2 x 105
1.3 x 105
< 2.5 x 10 (1)
1.1 x 106
1.1 x 106
2.3 x 103
2.2 x 103
-4.875
0.865
1.209
-1.981
-1.772
Rata-rata
1.272
1.245
-2.719
0.576
-2.186
0.014
-4.977
0.676
-4.052
1.044
-4.227
0.862
-4.249
1.037
-1.877
58
Lampiran 5. (Lanjutan)
Supernatan Bebas Sel
jam ke-0 (N0)
Netral
R32
Tidak netral
Netral
R36
Tidak netral
Netral
A4
Tidak netral
Netral
A36
Tidak netral
Netral
A38
Tidak netral
Perubahan Jumlah
L. monocytogenes
Jumlah L. monocytogenes
jam ke-8 (Nt)
Log Nt/N0
1
9.7 x 104
9.8 x 105
1.004
2
9.6 x 104
9.6 x 105
1
1
8.6 x 104
< 2.5 x 102 (10)
-3.934
2
2.1 x 105
< 2.5 x 102 (1)
-5.322
1
1.5 x 105
1.6 x 106
1.208
2
2.4 x 105
3.6 x 106
1.176
1
2.9 x 104
2.8 x 102
-2.015
2
6.9 x 104
1.6 x 103
-1.635
1
1.1 x 105
1.5 x 105
0.135
2
2.1 x 105
2.1 x 105
0
1
1.1 x 105
< 2.5 x 102 (5)
-4.342
2
1.1 x 105
2.3 x 102
-2.680
1
7.7 x 104
1.2 x 106
1.193
2
8.5 x 104
1.3 x 106
1.184
1
5.5 x 104
< 2.5 x 10 (15)
-3.564
2
6.6 x 104
< 2.5 x 102 (2)
-4.518
1
2.8 x 105
5.3 x 105
0.277
2
3.9 x 105
5.8 x 105
0.187
1
2.6 x 105
4.4 x 105
-2.772
2
5
5
-3.018
2.5 x 10
2.4 x 10
Rata-rata
1.002
-4.628
1.192
-1.825
0.068
-3.511
1.189
-4.041
0.232
-2.895
59
Lampiran 6. Data statistik ANOVA pengaruh supernatan yang dinetralisasi terhadap
pertumbuhan bakteri uji Listeria monocytogenes
ANOVA
Perubahan Log
Sum of
Squares
Between
Groups
Within Groups
Total
df
Mean Square
4.680
12
.390
.128
13
.010
4.808
25
F
Sig.
39.692
.000
Post Hoc Tests
Homogeneous Subsets
Perubahan_Log
Duncan
Isolat_BAL
Subset for alpha = 0.05
N
1
R13
2
.0295
A4
2
.0675
A38
2
.2320
R12
2
.5760
R15
2
.6760
R20
2
R32
2
1.0020
1.0020
R30
2
1.0370
1.0370
1.0370
R18
2
1.0435
1.0435
1.0435
R36
2
1.1020
1.1020
A36
2
1.1885
1.1885
R11
2
1.2445
Kontrol
2
1.2715
Sig.
2
3
.331
5
6
.6760
.8615
.073
4
.8615
.084
.113
.110
.053
Means for groups in homogenous subsets are displayed
Keterangan :
Nilai perubahan log yang berada pada kolom yang sama dengan kontrol maka dianggap tidak
berbeda nilainya dengan kontrol pada taraf signifikansi 0.05 (tingkat kepercayaan 95%)
60
Lampiran 7. Data Nilai Absorbansi dan Optical Density (660 nm) tiap jam dari kurva pertumbuhan BAL isolat ASI
0
No
Kultur
R12
R13
R15
R20
R32
A4
A38
A
0.10822
0.10503
0.10220
0.09921
0.95050
0.07629
0.13329
A
0.65213
0.30331
0.47858
0.43522
0.48215
0.84911
0.66104
Keterangan:
OD
A
FP
2
FP
OD
(A x FP)
A
FP
OD
(A x FP)
1
1
1
1
1
1
1
0.10822
0.10503
0.10220
0.09921
0.95050
0.07629
0.13329
0.12202
0.10461
0.12373
0.10901
0.12782
0.09972
0.15495
1
1
1
1
1
1
1
0.12202
0.10461
0.12373
0.10901
0.12782
0.09972
0.15495
4
No
Kultur
R12
R13
R15
R20
R32
A4
A38
1
A
0.16611
0.12929
0.18787
0.15492
0.19710
0.21008
0.21486
5
FP
1
1
1
1
1
1
1
3
OD
(A x FP)
0.16611
0.12929
0.18787
0.15492
0.19710
0.21008
0.21486
A
0.30939
0.17375
0.30544
0.26878
0.31077
0.46622
0.35991
6
FP
OD
(A x FP)
A
FP
OD
(A x FP)
1
1
1
1
1
1
1
0.65213
0.30331
0.47858
0.43522
0.48215
0.84911
0.66104
0.23517
0.11763
0.12547
0.10100
0.11833
0.27501
0.21379
5
5
5
5
5
5
5
1.17585
0.58815
0.62735
0.50500
0.59165
1.37505
1.06895
A
0.38919
0.20909
0.18677
0.16039
0.17752
0.36852
0.31244
FP
5
5
5
5
5
5
5
FP
OD
(A x FP)
1
1
1
1
1
1
1
0.30939
0.17375
0.30544
0.26878
0.31077
0.46622
0.35991
7
OD
(A x FP)
1.94595
1.04545
0.93385
0.80195
0.8876
1.8426
1.5622
A
0.5939
0.36787
0.23285
0.25191
0.26768
0.50035
0.44341
FP
OD
(A x FP)
5
5
5
5
5
5
5
2.9695
1.83935
1.16425
1.25955
1.3384
2.50175
2.21705
: Optical Density
: Nilai Absorbansi (Terbaca pada Alat)
: Faktor Pengenceran
58
Lampiran 7 (Lanjutan)
8
No
Kultur
R12
R13
R15
R20
R32
A4
A38
A
0.83160
0.60805
0.40790
0.38971
0.40892
0.62257
0.55927
FP
OD
(A x FP)
5
5
5
5
5
5
5
4.15800
3.04025
2.03950
1.94855
2.04460
3.11285
2.79635
A
0.94090
0.71494
0.49002
0.48453
0.48428
0.71140
0.60303
15
No
Kultur
R12
R13
R15
R20
R32
A4
A38
9
11
FP
OD
(A xFP)
5
5
5
5
5
5
5
4.70450
3.57470
2.45010
2.42265
2.42140
3.55700
3.01515
A
1.07324
0.92274
0.62479
0.61102
0.60146
0.76346
0.65842
17
FP
5
5
5
5
5
5
5
FP
OD
(A x FP)
A
FP
OD
(A x FP)
A
FP
0.57506
1.02449
0.80002
0.82326
0.88426
0.85275
0.82352
10
5
5
5
5
5
5
5.75060
5.12245
4.00010
4.11630
4.42130
4.26375
4.11760
0.57121
0.54169
0.88672
0.86882
0.80870
0.86897
0.83803
10
10
5
5
5
5
5
5.71210
5.41690
4.43360
4.34410
4.04350
4.34485
4.19015
0.61496
0.58238
1.01398
1.01163
0.93767
0.88426
0.83417
10
10
5
5
5
5
5
OD
A
FP
OD
(A x FP)
5.36620
4.61370
3.12395
3.05510
3.00730
3.81730
3.29210
A
0.64716
0.52341
0.77298
0.77733
0.75545
0.90375
0.79724
19
A
Keterangan:
13
FP
OD
(A x FP)
10
10
5
5
5
5
5
6.47160
5.23410
3.86490
3.88665
3.77725
4.51875
3.98620
21
OD
(A x FP)
6.14960
5.82380
5.06990
5.05815
4.68835
4.42130
4.17085
A
0.61984
0.60240
1.04805
0.54817
0.94438
0.83894
0.82162
FP
OD
(A x FP)
10
10
5
10
5
5
5
6.19840
6.02400
5.24025
5.48170
4.72190
4.19470
4.10810
: Optical Density
: Nilai Absorbansi (Terbaca pada Alat)
: Faktor Pengencer
59
Lampiran 8. Gambar hasil uji aktivitas antimikroba supernatan yang dinetralisasi dari BAL
yang diinkubasi hinggá awal fase stasioner terhadap bakteri uji Listeria
monocytogenes dan Bacillus cereus
Listeria monocytogenes
Bacillus cereus
58
Lampiran 9. Gambar hasil uji aktivitas antimikroba supernatan yang dinetralisasi dari BAL
yang
diinkubasi
hinggá
awal
fase
stasioner
terhadap
bakteri
uji
Staphylococcus aureus
59
Lampiran 10. Data jumlah bakteri Listeria monocytogenes dalam supernatan yang
dinetralisasi dari isolat BAL dengan waktu inkubasi hingga awal fase
stasioner
Supernatan Bebas Sel
netral
Jumlah L. monocytogenes
Perubahan Jumlah
L. monocytogenes
jam ke-0
(N0)
Jam ke-8
(Nt)
Log (Nt/N0)
A4
(inkubasi 13 jam)
1
9.9 x 104
1.9 x 106
1.459
2
1.3 x 105
> 2.5 x 106
1.284
A38
(inkubasi 13 jam)
1
1.1 x 105
2.0 x 106
1.260
2
1.7 x 105
> 2.5 x 106
1.167
Rata-rata
1.372
1.214
60
Lampiran 11. Data statistik ANOVA pengaruh supernatan yang dinetralisasi dari BAL
dengan waktu inkubasi hingga awal fase stasioner terhadap bakteri uji Listeria
monocytogenes
ANOVA
Perubahan_Log
Sum of
Squares
df
Mean Square
Between
Groups
.026
2
.013
Within Groups
.020
3
.007
Total
.045
5
F
1.950
Sig.
.287
Post Hoc Tests
Homogeneous Subsets
Perubahan_Log
Duncan
Isolat_BAL
N
Subset for alpha =
0.05
1
A38
2
1.2135
Kontrol
2
1.2720
A4
2
1.3715
Sig.
.146
Means for groups in homogeneous
subsets are displayed.
Keterangan :
Nilai perubahan log yang berada pada kolom yang sama dengan kontrol maka dianggap tidak
berbeda nilainya dengan kontrol pada taraf signifikansi 0.05 (tingkat kepercayaan 95%).
58
59
60
61
Download