PRESENTASI KASUS Bronkiolitis

advertisement
PRESENTASI KASUS
Bronkiolitis
Oleh:
Rynaldo Partogi
0906639890
Narasumber:
Prof. Dr. dr. Bambang Supriyatno, Sp. A(K)
MODUL KESEHATAN ANAK DAN REMAJA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA 2014
BAB I
ILUSTRASI KASUS
Identitas Pasien
Nama
: An. R
Jenis Kelamin
: Perempuan
Usia
: 1 bulan 4 hari
Tempat/Tanggal lahir : Tangerang, 14 Februari 2014
Agama
: Islam
Warga negara, suku
: WNI, Sunda
Alamat
: Serdang Wetan, Legok, Kabupaten Tangerang
Nomer RM
: 13064684
Nama Orang Tua
: Tn. S dan Ny. R
Caretaker
: Ayah kandung
Kebangsaan
: Indonesia
Alloanamnesis
: Ayah dan Ibu kandung pasien
Tanggal masuk
: 27 Maret 2014 pukul 23:29WIB
Tanggal pemeriksaan : 1 April 2014 pukul 06.35 WIB
Keluhan Utama
Sesak sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami demam yang
muncul di sore hari. Demam naik mendadak, dengan suhu yang tidak diukur oleh orang
tua pasien, namun dirasakan tidak terlalu tinggi. Keluhan demam disertai dengan batuk
berdahak, pilek, dan muntah. Batuk berdahak berwarna putih dan kental, namun tidak
ada darah. Tidak ada mencret, Muntah dialami pasien sebanyak 3 kali dalam sehari,
berisi ASI yang diminum oleh pasien. Pasien kemudian dibawa ke bidan dan diberikan
obat. Orang tua pasien tidak mengingat nama obatnya, namun setelah minum obat
dirasakan keluhan tidak membaik, yaitu pasien tetap mengalami demam, batuk
berdahak, dan pilek.
1
Sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien masih mengalami demam
sehingga ibu pasien membawa pasien ke puskesmas. Pasien diberikan obat dari
puskesmas, namun ibu pasien tidak ingat nama obatnya. Obat yang diingat hanya
paracetamol. Demam turun setelah ibu pasien memberikan paracetamol. Keluhan batuk
berdahak, pilek, dan muntah masih ada. Batuk berdahak berwarna putih kental, tidak
ada darah. Muntah dialami pasien sebanyak 3 kali dalam sehari berisikan ASI yang
diminum oleh pasien. Pasien tampak gelisah, namun tidak minum seperti orang
kehausan.
Pasien kemudian mengalami sesak yang ditandai dengan napas yang cepat dan
disertai tarikan otot-otot di dada dan perut. Sesak tidak membaik atau memburuk
dengan perubahan posisi. Tidak ada biru pada pasien maupun pucat. Tidak ada bunyi
ngik-ngik maupun bunyi seperti orang mengorok. Pasien kemudian dibawa ke IGD
RSUD Tangerang dan dikatakan biru pada bibir pasien. Tidak ada riwayat kejang
maupun diare pada pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya. Tidak ada riwayat
batuk maupun pilek sebelumnya, tidak riwayat suara napas berbunyi ngik-ngik maupun
seperti mengorok. Tidak ada riwayat ruam kemerahan pada kulit.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki penyakit asma. Tidak ada anggota
keluarga pasien yang tinggal satu rumah yang memiliki keluhan sama dengan pasien.
Ibu pasien diketahui mengalami pilek sejak 1 minggu sebelum pasien masuk rumah
sakit, dan keluhan pilek berhenti 4 hari sebelum pasien masuk rumah sakit. Tidak ada
anggota keluarga kandung yang memiliki alergi terhadap makanan, obat-obatan,
maupun zat-zat tertentu.
Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Lingkungan Keluarga
Pasien merupakan anak kedua dari 2 bersaudara. Ayah kandung pasien bekerja
sebagai karyawan swasta, sedangkan ibu pasien adalah seorang ibu rumah tangga.
Pasien tinggal bersama ayah, ibu, dan kakak pasien. Ayah pasien sering merokok,
namun jarang merokok di dalam rumah. Kondisi lingkungan rumah pasien tidak terlalu
padat, ventilasi di rumah pasien kurang baik. Jaminan yang digunakan adalah BPJS.
2
Tidak ada tetangga maupun warga sekitar rumah pasien yang memiliki keluhan sama
dengan pasien.
Riwayat Kehamilan
Pasien merupakan anak kedua dari pernikahan pertama. Selama hamil, ibu
pasien tidak pernah mengalami batuk, pilek, maupun demam. Ibu pasien tidak memiliki
hipertensi maupun diabetes selama kehamilan. Tidak ada penyulit selama ibu pasien
hamil. Ibu pasien rutin kontrol ke bidan selama hamil dan sudah pernah USG. Ibu
pasien juga makan teratur dan minum vitamin dari bidan selama hamil.
Riwayat Kelahiran
Pasien lahir ditolong oleh dokter di RSUD Tangerang. Pasien lahir spontan,
kurang bulan (8 bulan), dengan berat lahir 2300 gram dan panjang badan serta lingkar
kepala yang tidak diingat oleh ibu pasien. Pasien langsung menangis, tidak tampak biru,
tidak pucat, tidak kuning, tidak kejang, nilai APGAR tidak diketahui. Tidak ada
penyulit saat kelahiran.
Riwayat Nutrisi
Pasien hingga saat ini masih minum ASI setiap 2 jam sekali. Tidak ada diare,
mual, maupun muntah.
Riwayat Tumbuh Kembang
Saat ini pasien masih belum bisa tengkurap maupun mengeluarkan kata atau
suku kata.
Riwayat Imunisasi
Pasien baru mendapatkan vaksinasi Hepatitis B saat pasien baru lahir, dan OPV
saat pasien pulang dari rumah sakit.
Pemeriksaan Fisik (1 April 2014)
Antropometrik
Berat badan= 3,2 kg
Panjang badan = 49 cm
LLA = 9,5 cm
Lingkar kepala = 37,5 cm
3
Status Nutrisi
BB/U = Z-score < -2 SD
PB/U = -2 < Z-score <0
BB/TB= Z-score 0
LLA/U = 0 < Z-scores <1
Kesimpulan: gizi cukup
Kesadaran
Kompos mentis
Keadaan umum
Tampak sakit sedang, bergerak aktif
Tekanan darah
84/50 mmHg
Denyut nadi
152x/ menit, kuat, teratur, isi cukup, equal
Laju napas
68x/ menit, reguler, dalam, abdominotorakal
Suhu
36,7°C di axilla
Kepala
Normosefal, tidak ada deformitas, rambut hitam, tidak mudah
dicabut, tersebar merata, ubun-ubun belum menutup dan tidak
cekung.
Mata
Mata tidak cekung, konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik,
pupil isokor, RCL positif/positif, RCTL positif/positif.
Hidung
Tidak ada deformitas, tidak ada napas cuping hidung, tidak ada
deviasi septum, tidak ada edema maupun hipertrofi konka.
Mulut
Mukosa lembab, belum ada gigi, tidak ada oral trust, tonsil T1/T1,
arcus faring simetris, uvula di tengah, dinding faring posterior tidak
hiperemis.
Telinga
Tidak ada deformitas, tidak ada nyeri tekan tragus maupun aurikula,
liang telnga lapang, tidak ada serumen, tidak ada sekret, membran
timpani intak, refleks cahaya membran timbani kanan di jam 5, kiri
di jam 7.
Leher
KGB tidak teraba membesar, JVP tidak dapat dinilai.
Paru
Inspeksi: tidak ada kelainan bentuk dada, pergerakan dada simetris
saat statis dan dinamis, terdapat retraksi m.interkostalis dan
subcostal.
Palpasi: fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi: sonor/sonor
Auskultasi: bronkovesikuler/beronkovesikuler, terdapat wheezing
4
saat ekspirasi pada 1/3 basal paru kanan dan kiri, terdapat rhonki
basah kasar di 2/3 basal paru kanan. Wheezing terdengar lebih
dominan dibandingkan rhonki.
Jantung
Inspeksi: iktus kordis tidak terlihat
Palpasi: iktus kordis teraba di sela iga IV linea midklavikula kiri,
tidak ada heaving, lifting, maupun thrilling
Perkusi: tidak dilakukan.
Auskultasi: BJ I dan II normal, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Abdomen
Inspeksi: datar, lemas, tidak terdapat venektasi
Palpasi: tidak terdapat nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi: timpani
Auskultasi: bising usus (+) normal, 5 kali per menit.
Punggung
Tidak terdapat gibbus, tidak terdapat deformitas lainnya
Genital
Tidak ada kelainan, tidak ada eritema pada daerah genital, orificium
uretra eksterna tidak hiperemis.
Anus
Tidak tampak hiperemis, tidak ada massa, tidak ada fissura
Extremitas
Tidak ada edema, tidak ada deformitas, akral hangat, CRT <2 detik.
Tidak terdapat wasting, clubbing finger, maupun baggy pants.
Kulit
Tidak ada kelainan, turgor kulit baik.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Jenis Pemeriksaan
28/03/2014
Nilai rujukan
Hematologi
Darah perifer lengkap
Hb
11,5 g/dl
11-16
Ht
33%
31-43
Leukosit
12.200/µl
5000-13.500
Trombosit
652.000/µl
150.000-450.000
7,413
7,35-7,45
Analisis gas darah
pH
5
pCO2
41,4
35-45
pO2
89,1
80-100
SaO2
96,9%
96-97
HCO3
25,5
22-26
BE
1,1
-2,5 – (+)2,5
Foto rontgen AP 28 Maret 2014

Intensitas cukup, simetris, inspirasi cukup.

Mediastinum tidak melebar.

Jantung: kesan jantung tidak membesar, batas jantung kiri jelas, batas jantung
kanan kurang jelas.

Paru: Tampak perselubungan hiller dan perihiler kanan, tampak peningkatan
corakan bronkovaskuler, tampak adanya bercak kosolidasi yang tersebar, tampak
6
adanya atelektasis lobus medius.

Diafragma: sinus kostofrenikus dan hemidiafragma kanan dan kiri baik.

Kesan: bronkiolitis dengan diagnosis banding pneumonia.
Diagnosis Banding

Bronchiolitis

Pneumonia
Rencana Tatalaksana
-
O2 nasal kanul 2 liter per menit.
-
IVFD N5 + KCl (10) 12 tetes per menit.
-
Pemasangan NGT
-
Cefotaxime 2 x 160 mg I.V
-
Dexamethasone 3 x 1mg I.V
-
Diet: ASI 6x30 ml per NGT
Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.
Dispnea
Sesak napas atau disebut juga dispnea, merupakan penderitaan mental berupa
rasa tidak nyaman yang dirasakan secara sadar dan subyektif saat bernapas yang
diakibatkan oleh pernapasan yang sulit dan berat sehingga terjadi ketidakmampuan
ventilasi untuk memenuhi kebutuhan udara.1,2 Dispnea diklasifikasikan menjadi
gangguan aliran dan volume, baik intra maupun ekstra toraks.1
Adanya sensasi respiratorik disebabkan oleh interaksi antara sistem saraf eferen
dan aferen di otak.3,4 Pada sistem saraf eferen (motorik), adanya gangguan pada pompa
ventilasi dapat menyebabkan peningkatan kerja dari sistem pernapasan sehingga terjadi
suatu sensasi terhadap adanya peningkatan usaha untuk bernapas.1,4,5
Gambar 1. Patofisiologi dipnea.
Sumber: Manning HL, Schwartzstein RM. Pathophysiology of dispnea. NEJM; 1995; 333(23): 1547-1552
Hal lain yang dapat menyebabkan dispnea adalah rasa kekurangan udara, yang
akan meningkatkan aktivitas pernapasan dan sensasi dari sesak di dada yang muncul
kemungkinan akibat stimulasi reseptor vagal – irritant.3,4 Meskipun informasi afferent
atau sensorik dari reseptor saluran pernapasan, paru – paru, dan dinding dada melalui
batang otak terlebih dahulu sebelum ke korteks sensorik, terdapat jalur bypass yang
8
dapat langsung menghubungkan saraf afferent dengan korteks sensorik tanpa melalui
batang otak.4
Penyebab dispnea dapat dibedakan berdasarkan waktu, yaitu akut dan kronik.
Dispnea akut disebabkan oleh asma, edema paru, pneumotoraks spontan, ARDS, efusi
pleura, perdarahan pada paru, trauma dinding dada dan struktur intratoraks, emboli
paru, dan pneumonia. Sedangkan dispnea yang kronik dapat disebabkan oleh anemia
berat, gangguan hipersensitivitas, gagal jantung kiri, PPOK, fibrosis interstitial, efusi
pleura, dan penyakit vaskular paru.1,3,4 Terdapat perbedaan sensasi respiratori
berdasarkan kondisi yang dialami oleh pasien. Perbedaan tersebut digambarkan pada
tabel 1.
Tabel 1. Sensasi pernapasan terkait kondisi – kondisi tertentu.
Sumber: Manning HL, Schwartzstein RM. Pathophysiology of dispnea. NEJM; 1995; 333(23): 1547-1552
Hal yang perlu ditanyakan pada kasus sesak, antara lain adanya hubungan sesak
napas dengan waktu, yaitu apakah lebih berat saat malam atau pagi hari, posisi tidur
pasien, dan aktivitas fisik. Selain itu perlu ditanyakan keluhan lain yang menyertai
sesak napas, seperti batuk, napas berbunyi, nyeri dada, biru di daerah bibir dan ujung
jari, riwayat muntah atau tersedak.1
II.
Infeksi saluran napas bawah pada anak
Infeksi pada saluran pernapasan akan menyebabkan obstruksi pada saluran-
saluran napas kecil dan nekrosis pada sel-sel yang melapisi saluran napas bawah,
9
sehingga menyebabkan “air trapping” dengan ekspirasi yang memanjang. Sumber
infeksi biasanya berasal dari anggota keluarga yang mengalami penyakit respirasi
minor. Wheezing muncul akibat adanya bronkospasm, inflamasi mukosa, dan edema.
Penampakan klinis pada anak berupa peningkatan usaha napas, peningkatan laju
respirasi, dan wheezing. Jika infeksi yang terjadi berat, dapat ditemukan adanya retraksi
interkostal dan tanda-tanda dari impending respiratory failure.6,7
Bayi dengan distress pernapasan biasanya dirawat. Terapi yang diberikan
bersifat suportif dan membutuhkan tambahan pemberian oksigen jika saturasi oksigen
berada di bawah 90%. Elevasi kepala memfasilitasi pergerakan napas dan menghindari
kompresi saluran pernapasan. Karena infeksi ini merupakan infeksi virus, antibiotic
tidak efektif dan hanya diberikan jika terdapati infeksi sekunder bakteri. Dehidrasi dapat
terjadi sebagai akibat dari insensible water loss karena laju pernapasan yang cepat dan
adanya kesulitan makan. Oleh karena itu diperlukan pemantauan dan pemberian hidrasi
yang adekuat.6
Jika anak mengalami distress pernapasan dan hidrasi yang adekuat tidak
tercapai, maka diperlukan pemberian cairan intravena. Proses penyembuhan biasanya
mulai pada 48 jam pertama sampai 72 jam dan berlangsung secara cepat dan penuh.
Cuci tangan yang adekuat diperlukan untuk mencegah infeksi nosokomial dari virus
syncytial pernapasan.6
Gangguan pernapasan pada bayi dan anak yang masih kecil seringkali terjadi
mendadak, dan mengalami perbaikan penuh dalam waktu yang cepat. Anak beresiko
mengalami obstruksi saluran napas dan gagal napas jika mengalami obstruksi atau
infeksi paru. Anak dengan epiglottitis beresiko mengalami obstruksi saluran napas.
Anak dengan bronkiolitis beresiko mengalami gagal napas akibat gangguan pertukaran
gas.6,7
III.
Bronkiolitis
2.1 Definisi
Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respiratorius bawah akut yang ditandai
dengan adanya inflamasi pada bronkiolus, yang terjadi pada anak dibawah 2 tahun.
Umumnya, penyebab infeksi yang paling sering adalah Respiratory Syncytial Virus
(RSV) yang menyerang saluran napas bawah. Secara klinis ditandai dengan episode
10
pertama wheezing pada bayi yang didahului dengan gejala IRA.6,7,9
2.2 Etiologi
Sekitar 95% dari kasus yang ada, secara serologis terbukti disebabkan oleh
invasi RSV. Terdapat penyebab lain seperti adenovirus, virus influenza, virus
parainfluenza-3, rhinovirus, dan mikoplasma. Meskipun demikian, belum ada bukti kuat
bahwa bronkiolitis disebabkan oleh bakteri.7,9
2.3 Epidemiologi
Bronkiolitis merupakan penyakit infeksi pernapasan tersering pada bayi.
Kejadian tersering terjadi pada usia 2 sampai 24 bulan, dengan puncak 2 sampai 8
bulan. 95% kasus di antaranya terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun, dengan 75%
di antaranya terjadi pada usia di bawah 1 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, bronkiolitis
lebih sering terjadi pada bayi laki-laki berusia 3 sampai 6 bulan yang tidak mendapatkan
ASI, dan hidup di lingkungan pada penduduk. Bronkiolitis lebih banyak terjadi pada
laki-laki, yaitu sekitar 1,25 sampai 1,6 kali lebih banyak dibandingkan anak perempuan.
Ditemukan juga bahwa 63% kasus bronkiolitis adalah laki-laki.7
Insidensi dari bronkiolitis meningkat seiring bertambahnya tahun di seluruh
dunia. Lama perawatan yang dibutuhkan berkisar selama 2 sampai 4 tahu, kecuali pada
bayi prematur dan yang memiliki penyakit jantung bawaan. Penyakit ini kan menjadi
lebih berat pada bayi-bayi muda. Hal ini ditunjukkan dengan lebih rendahnya saturasi
O2 pada bayi yang terpapar asap rokok pascanatal. Terdapat beberapa prediktor lain
untuk beratnya bronkiolitis atau yang akan menimbulkan komplikasi, yaitu masa gestasi
<34 minggu, usia <3 bulan, sianosis, saturasi oksigen <90%, laju pernapasan >70 kali
per menit, adanya rhonki, dan riwayat dysplasia bronkopulmoner.6
Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi pada negara-negara berkembang
dibandingkan dengan negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya status
gizi dan ekonomi, kurangnya tinjauan medis, serta kepadatan penduduk di negara
berkembang. Angka mortalitas di negara berkembang pada anak-anak yang dirawat
adalah 1-3%.6
2.4 Patofisiologi
Orang dewasa dan anak-anak yang berusia lebih tua memiliki toleransi terhadap
edema bronkial yang lebih baik dibandingkan pada bayi, dan tidak menunjukkan
11
manifestasi gambaran klinis bronkiolitis. Karena resistensi terhadap aliran udara pada
tabung berbanding terbalik terhadap pangkat empat dari radius, bengkak minor
sekalipun pada bayi dapat mengakibatkan perubahan yang cukup besar pada aliran
udara.7,9
Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus akan memicu respon inflamasi akut,
yang ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mukus, timbunan
debris selular/sel-sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti dengan infiltrasi limfoit
peribronkial dan edema submukosa. Karena tahanan aliran udara berbanding terbalik
dengan diameter penampang saluran respiratori, maka sedikit saja penebalan mukosa
akan memberikan hambatan aliran udara yang besar, terutama pada bayi yang memiliki
penampang saluran respiratori kecil. Resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase
inspirasi dan ekspirasi, tetapi karena radius saluran respiratori lebih kecil selama
ekspirasi, maka terjadi air trapping dan hiperinflasi. Atelektasis dapat terjadi pada saat
terjadi obstruksi total dan udara yang terjebak diabsorbsi.6,7
Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru. Penurunan
kerja
ventilasi
paru
akan
menyebabkan
ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi
(ventilation-perfusion mismatching), yang berikutnya akan menyebabkan terjadinya
hipoksemia dan kemudian terjadi hipoksia jaringan. Retensi karbondioksida
(hiperkapnea) tidak selalu terjadi, kecuali pada beberapa pasien. Semakin tinggi laju
respiratori, maka semakin rendah tekanan oksigen arteri. Kerja pernapasan (work of
breathing) akan meningkat selama end-expiratory lung volume meningkat dan
compliance paru menurun. Hiperkapnea baru terjadi jika respirasi mencapai 60 kali per
menit.6,7,8
Pemulihan sel epitel paru tampak setelah 3-4 hari, tetapi silia akan diganti
setelah dua minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh makrofag.6
2.5 Diagnosis
Penegakkan diagnosis bronchiolitis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan laboratorium. Dari ketiga komponen ini, perlu dipikirkan juga kemungkinan
diagnosis banding yang lain, seperti asma, bronkitis, gagal jantung kongestif, dan edema
paru yang memiliki gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang yang menyerupai
bronkiolitis pada anak. Penting untuk memperhatikan epidemiologi, rentang usia
terjadinya kasus, dan musim-musim tertentu dalam satu tahun.7,8,9
12
3.5.1
Anamnesis
Pada anak usia di bawah 2 tahun, dari anamnesis didapatkan adanya gejala
infeksi saluran napas atas ringan akibat virus, seperti pilek ringan disertai rinorea, batuk,
dan demam. Demam biasanya tidak ada, namun jika ada, biasanya berkisar antara
38,5oC sampai 39oC atau subfebris. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang
disertai dengan sesak napas yang makin hebat, yaitu bernapas dangkal dan cepat.
Kemudian dapat ditemukan wheezing, sianosis, merintih (grunting), napas berbunyi,
muntah setelah batuk, rewel, dan sulit makan karena terganggu oleh takinea yang
dialami oleh pasien.7,8,9
3.5.2
Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya dispnea dengan expiratory effort,
takipnea, takikardia, dan peningkatan suhu di atas 38,5oC. Usaha-usaha pernapasan
yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan napas cuping
hidung dan retraksi interkostal. Menangis dan makan dapat memperberat tanda ini.
Dapat ditemukan juga konjungtivitis ringan dan faringitis. Adanya obstruksi pada
saluran napas bawah akibat respon inflamasi akut akan menimbulkan gejala ekpirasi
memanjang hingga wheezing.7,8,9
Wheezing lebih dominan, namun tidak terdengarnya wheezing bukan berarti
tidak ada obstruksi. Wheezing dan crackles dapat atau tidak dapat muncul, bergantung
pada derajat obstruksi saluran napas. Pada bayi dengan obstruksi saluran napas berat,
wheezing berkurang seiring dengan berkurangnya aliran udara. Biasanya fase kritis dari
penyakit ini terjadi pada 48 sampai 72 jam. Jika obstruksi hebat, suara napas nyaris
tidak terdengar. Selain itu, dapat juga ditemukan rhonki pada auskultasi paru, yaitu
rhonki basah halus nyaring pada akhir atau awal ekspirasi. Sianosis sekitar hidung dan
mulut dapat terjadi, dan apabila gejala memberat, dapat terjadi apnea, terutama pada
bayi berusia <6 minggu.7,8,9
Tanda-tanda distress pernapasan dan impending respiratory failure pada bayi dan
anak yang masih kecil:6
1. peningkatan signifikan dari usaha bernapas, termasuk retraksi berat atau
grunting, penurunan gerakan dada.
13
2. Sianosis yang tidak membaik dengan pemberian oksigen.
3. HR ≥150 kali per menit.
4. bernapas sangat cepat, yaitu >60 kali per menit pada bayi baru lahir sampai usia
6 bulan; atau lebih dari 30 kali per menit pada anak usia 6 bulan sampai 2 tahun.
5. Depresi napas berat, yaitu ≤20 kali per menit.
6. Retraksi pada area supraklavikula, sternum, epigastrium, dan interkostal.
Retraksi lebih terlihat pada anak dibandingkan dewasa karena anak memiliki
dada yang lebih compliant?
7. Cemas dan agitasi yang ekstrim.
8. Penurunan kesadaran.
3.5.3
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah tidak khas karena jumlah leukosit biasanya normal, demikian
pula pada elektrolit. Analisis gas darah diperlukan untuk anak dengan sakit berat,
khususnya yang menggunakan ventilator mekanik. Pada analisis gas darah dapat
memberikan gambaran adanya hiperkarbia sebagai tanda air trapping, asidosis
metabolik atau respiratorik.7,9
Pada foto rontgen diperoleh gambaran hiperinflasi paru (emfisema) dengan
diameter anteroposterior membesar, dan infiltrat/bercak konsolidasi yang tersebar
(patchy infiltrate). Namun, gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada asma,
pneumonia viral atau atipikal, dan aspirasi. Gambaran lain yang dapat ditemukan adalah
gambaran normal, atelektasis, dan kolaps segmenta. Atelektasis terutama pada saat
konvalesens akibat sekret pekat bercampur sel-sel mati yang menyumbat, air trapping,
diafragma datar, dan peningkatan diameter antero-posterior.7,8,9
Untuk menemukan RSV dilakukan kultur virus, rapid antigen detection tests
(direct immunofluoresence assay dan enzyme-linked immunosorbent assays, ELISA)
atau Polymerase Chain Reaction (PCR), dan pengukuran titer antibodi pada fase akut
dan konvalesens.6,7
Beratnya penyakit ditentukan berdasarkan skala klinis. Skala klinis yang
digunakan ada beberapa macam, yaitu Respiratory Distress Assays Instrument (RDAI)
atau modifikasinya yang mengukur laju pernapasan/respiratory rate (RR), usaha napas,
beratnya wheezing, dan oksigenasi.6
14
Skala klinis yang digunakan Abdul-Ainine dan Luyr adalah:7
1. RR dihitung manual, baik dengan palpasi dan melihat gerakan dada, dilakukan
selama 1 menit penuh, dua kali penghitungan dan diambil rata-ratanya.
2. HR diambil dari pulse oksimeter yang dibaca lima kali selama pengamatan 1
menit, diambil rata-ratanya.
3. Saturasi O2 diambil dari pulse oksimeter yang dibaca lima kali selama
pengamatan 1 menit, diambil rata-ratanya.
4. Respiratory Clinical Status (RDAI) menurut Lowell dkk.
5. Status aktivitas bayi (empat tingkat, yaitu tidur, tenang, rewel, dan menangis).
Sedangkan Shuh, yang diadaptasi oleh Dopson, menilai skor sebagai berikut:7
1. Keadaan umum: diberi skor 0 (tidur) hingga 4(sangat rewel).
2. Penggunaan otot bantu napas: skor 0 (tidak ada retraksi) hingga 3 (retraksi
berat).
3. Wheezing: skor 0 (tidak ada) hingga 3 (wheezing hebat inspiratorik dan
ekspiratorik)
2.6 Tatalaksana
Tatalaksana bronkiolitis masih kontroversial. Sebagian besar tatalaksana
bronkiolitis bersifat suportif, yaitu pemberian oksigen, minimal handling pada bayi,
cairan intravena, kecukupan cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi
oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu, dan nutrisi. Setelah itu, baru digunakan
bronkodilator, anti-inflamasi seperti kortikosteroid, antiviral seperti ribavirin, dan
pencegahan dengan vaksin RSV, RSV immunoglobuline (polyclonal), atau humanized
RSV monoclonal antibody (Palivizumab).7,9,10,11
Berikut tatalaksana yang dapat diberikan pada pasien bronkiolitis:7,8,11
1. Oksigen 1-2 liter per menit dengan nasal kanul.
2. Cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dengan infus). Pada bayi >1bulan
diberikan infus dextrose 10%:NaCl 0,9% = 3:1 + KCl 10 mEq/500 ml cairan.
Sedangkan pada neonatus diberikan dextrose 10%:NaCl 0,9% = 4:1+KCl 10
mEq/500 ml. Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan, kenaikan suhu, dan
status hidrasi.
3. Koreksi asam-basa yang timbul.
15
4. Antibiotik dapat diberikan:7,12
-
Untuk community acquired
1. Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian.
2. Kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian.
-
Untuk
kasus
hospital
acquired
dapat
diberikan
sefotaksim
100
mg/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian.
-
Lama pemberian antibiotic 7-10 hari atau sampai 4-5 hari bebas demam.
5. Bronkodilator.7,11,13
Pemberian bronkodilator masih kontroversial. Beberapa literatur menunjukkan
bahwa terdapat perbaikan skor klinis pada janga pendek, naumn tidak terdapat
perbaikan pada oksigenasi atau angka perawatan di rumah sakit. Hingga saat ini
bronkodilator masih digunakan secara luas untuk bayi-bayi dengan bronkiolitis.
Pemberian bronkodilator ini didasari oleh pemikirian:
-
Kerja konstriktor β-adrenergik sebagai dekongestan mukosa, mebatasi
absorbsinya, dan mengatur aliran darah pulmoner, dengan sedikit efek pada
ventilation-perfusion matching.
-
Relaksasi otot bronkus karena efek β-adrenergik.
-
Kerja β-adrenergik menekan pelepasan mediator kimiawi.
-
Efek fisiologis antihistamin yang melawan efek histamine seperti edema.
-
Mengurangi sekresi kataral.
Pada pasien bronkiolitis dapat diberikan normal saline atau β-agonis untuk
memperbaiki bersihan mukosilier.
6. Kortikosteroid.
Kortikosteroid yang digunakan adalah prednisone, prednisolon, metilprednison,
hidrokortison, dan deksametasone. Sebenarnya, penggunaan kortikosteroid ini
masih perlu dipertimbangkan. Dari beberapa penelitian dan meta-analisis
diperoleh kesimpulan bahwa pemberian kortikotsteroid baik secara oral,
inhalasi, intramuscular, maupun intravena tidak berbeda secara signifikan
dengan kelompok yang tidak mendapatkan steroid. Pemberian steroid ini
diketahui memberikan hasil yang bermakna jika diberikan pada anak dengan
predisposisi asma. Namun, karena faktor predisposisi ini tidak dapat
diidentifikasi sebelumnya, maka diperlukan pertimbangan dalam pemberian
16
steroid pada bayi dengan bronkiolitis. Dosis deksametason yang digunakan
adalah 0,5 mg/kgBB dilanjutkan 0,5 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis.7,8,11
7. Ribavirin.
Ribavirin merupakan suatu purin nucleoside derivate guanosine sintetik yang
bekerja mempengaruhi pengeluaran mRNA virus yang mencegah sintesis
protein. Pemberian ribavirin pada awalnya diharuskan oleh AAP, namun direvisi
kembali sehingga menjadi “dapat dipertimbangkan”. Dari beberapa literatur
diperoleh keterangan bahwa penggunaan ribavirin tidak memberikan hasil yang
sangat signifikan. Beberapa penelitian menunjukkan adanya efek positif, namun
perbedaannya sangat kecil dibandingkan dengan kelompok yang tidak
mendapatkan ribavirin. Namun, telah dibuktikan bahwa pemberian ribavirin
sebelum 5 hari dari gejala awal dapat memperbaiki fungsi paru yang ditandai
dengan berkurangnya wheezing, penyakit saluran respiratori reaktif, dan
pneumonia.7
8. Terapi suportif.
-
Heliox7
Merupakan campuran dari helium dan oksigen. Heliox digunakan sejak tahun
1935 oleh Barach sebagai terapi untuk asma berat dan sumbatan saluran napas
atas. Namun, karena hasilnya yang controversial, heliox tidak digunakan secara
luas. Efek positif dari heliox ini adalah densitasnya yang lebih rendah daripada
campuran udara dan oksigen, sehingga mengurangi tekanan dorong yang
dibutuhkan pada aliran turbulen dan mempertahankan aliran laminar. Hal ini
akan mengurangi kerja respirasi dengan mengurangi tahanan aliran udara.
Pada bayi dengan bronkiolitis karena RSV derajat sedang-berat, heliox akan
memperbaiki status respirasi secara klinis, yang ditunjukkan dengan perbaikan
skor klinis serta berkurangnya takikardia dan takipnea. Respon yang baik ini
terlihat pada jam pertama dan berlangsung selama terapi heliox diberikan. Akan
tetapi, perawatan di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) tidak dapat diturunkan
meskipun pasien mendapatkan heliox.
-
Recombinant Human Deoxyribonuclease 1 (rhDNase 1)7
Patofisiologi dari bronkitis adalah inflamasi, edema, dan produksi mukus akan
menyebabkan mucous plug. Sebagian atau seluruh saluran napas dapat
17
tersumbat, kemudian udara dapat terperangkap sehingga dapat terjadi
hiperinflasi atau atelektasis. Oleh karena sel-sel inflamasi mengalami lisis, maka
terbentuk banyak DNA pada mucous plug. DNA akan menyebabkan
peningkatan viskositas dan meningkatkan daya lekat sekret. Oleh karena itu,
rhDNase dapat digunakan sebagai mukolitik yang efektif, dan hal ini sudah
dibuktikan pada fibrosis kistik. Nasr melakukan suatu randomized controlled
trial, yaitu nebulisasi rhDNase solusion 1 mg/,l pada 2,5 ml pelarut (terdiri dari
150 mM NaCl, 1,5mM CaCL dengan pH 6) satu kali per hari selama 5 hari
dibandingkan dengan plasebo. Kedua kelompok juga mendapatkan nebulisasi
albuterol. Keluaran yang dinilai adalah skor klinis dan skor radiologis dada.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor klinis dan saturasi oksigen tidak
berbeda bermakna, sedangkan skor gambaran radiologis dada berbeda secara
bermakna. Selain itu, dilaporkan juga bahwa lama perawatan menjadi lebih
pendek. Tidak dilaporkan adanya efek samping.
2.7 Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan 2 hal, yaitu pemberian immunoglobulin dan
vaksinasi. Pemberian immunoglobulin merupakan imunisasi pasif. Selain itu, yang
paling penting adalah menjaga higienitas umum, terutama menghindari kontak dengan
orang dewasa/anak yang menderita infeksi saluran pernapasan.7,9
2.8 Prognosis
Suatu studi kohort menunjukkan bahwa 23% bayi yang memiliki riwayat
bronkiolitis berkembang menjadi asma pada usia 3 tahun. Penelitian lain yang
dilakukan di Norwegia menunjukkan bahwa bayi yang dirawat dengan bronkiolitis
memiliki kecenderungan menderita asma dan penurunan fungsi paru pada usia 7 tahun
dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa adanya hiperreaktivitas
yang menetap selama beberapa tahun setelah menderita bronkiolitis pada bayi muda,
baik pada RSV positif maupun negatif.7,14
Sekitar 40-50% bayi yang dirawat dengan bronkiolitis karena RSV akan
menderita mengi di kemudian hari. Infeksi dari RSV berkaitan dengan respon sel T
berupa produksi sitokin oleh sel Th tipe 2, yang juga terjadi pada asma. Keadaan ini
18
ditandai dengan sitokin oleh sel T dan eosinofil, serta pelepasan mediator yang larut
(histamin, kini, dan leukotrien lain). Pada anak dengan bronkiolitis, mengi yang lebih
sering dan berat berhubungan dengan kadar antibodi IgE terhadap RSV dan virus
parainfluenza, menunjukkan antibodi yang dirangsang virus meningkatkan pelepasan
mediator inflamasi. RSV juga dapat mempengaruhi mengi dengan cara mengubah jalur
saraf yang menyebabkan responsifnya saluran respiratori.7,14
Jumlah eosinofil pada saat bronkiolitis lebih banyak pada bayi yang nantinya
akan menderita mengi pada usia 7 tahun, yaitu median 98 sel/mm3. Adanya eosinofil
meramalkan bahwa mengi akan berlanjut pada masa anak-anak. Hal ini dijelaskan oleh
adanya kelainan imunologis yand mendahului bronkiolitis atau yang dipicu oleh
bronkiolitis, dan bukan karena kerusakan struktural jalan napas yang disebabkan
bronkiolitis. Terdapat beberapa faktor-faktor lain yang diduga berpengaruh, seperti
riwayat keluarga dengan asma, jenis kelamin, dan paparan pasif asap rokok. Namun,
hanya eosinofilia yang memiliki hubungan bermakna.7,9
Tidak dapat dibuktikan bahwa bronkiolitis terjadi pada anak yang memiliki
kecenderungan asma. Tetapi, bila bayi yang terkena bronkiolitis dihubungkan dengan
asma, keberhasilan pengobatan dengan kortikosteroid mungkin dapat mengurangi
prevalensi asma pada anak dari kelompok pengobatan.7
2.9 Kriteria pulang
Kriteria pulang pada bronkiolitis adalah bila tidak diperlukan pemberian oksigen
selama 10 jam terakhir (ditandai dengan saturasi oksigen menetap di atas 93% atau
stabil selama 4 jam), retraksi dada minimal, mampu makan/minum, dan perbaikan tanda
klinis yang lain.7
19
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien bayi perempuan usia 29 hari datang dengan keluhan sesak sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit. Keluhan sesak diawali oleh adanya demam sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. Keluhan demam muncul mendadak di sore hari, dengan
suhu yang tidak diukur oleh orang tua pasien namun dirasakan tidak terlalu tinggi.
Keluhan demam disertai dengan adanya batuk berdahak, pilek, dan muntah. Batuk
berdahak putih kental namun tidak ada darah. Adanya keluhan demam, batuk berdahak,
dan pilek menandakan bahwa pasien mengalami infeksi saluran pernapasan. Demam
yang naik mendadak merupakan ciri dari infeksi virus. Hal ini semakin diperkuat
dengan adanya riwayat infeksi saluran napas pada ibu pasien, karena seringkali infeksi
saluran napas bawah pada bayi disebabkan oleh tertularnya bayi oleh anggota keluarga
yang tinggal satu rumah.
Pasien kemudian dibawa ke bidan, dan diberikan obat, namun dirasakan
keluhannya tidak membaik. Orang tua pasien tidak mengingat nama obat yang
diberikan, sehingga tidak diketahui riwayat pemberian obat pada pasien. Namun, tidak
adanya perbaikan gejala menandakan obat yang diberikan bukan obat simptomatik
maupun terapetik. Pasien kemudian dibawa ke puskesmas oleh ibunya dan diberikan
obat yang juga tidak diingat oleh ibu pasien. Salah satu obat yang diingat adalah
paracetamol. Keluhan demam turun dengan paracetamol, namun batuk berdahak putih
dan pilek masih dirasakan.
Kemudian keluhan ini diikuti dengan sesak yang ditandai dengan bernapas yang
cepat dan adanya tarikan otot-otot di dada dan perut. Dari keterangan ini disimpulkan
bahwa pasien mengalami takipnea, yaitu bernapas cepat dan dangkal, yang disertai
dengan otot-otot bantu napas. Keterangan ini kemudian akan dikonfirmasi pada
pemeriksaan fisik. Karena adanya takipnea dan sesak, pasien seringkali memuntahkan
ASI yang diminumnya, dan pasien menjadi sulit minum karena adanya keluhan ini.
Pasien kemudian menjadi gelisah dan menangis, sehingga keluhan sesak dirasakan
semakin memberat. Tidak adanya biru pada pasien dan tidak adanya riwayat mulut lepas
tiba-tiba saat menyusu menyingkirkan kemungkinan penyakit jantung bawaan. Tidak
20
adanya bunyi ngik-ngik maupun mengorok pada pasien belum tentu menyingkirkan
kemungkinan adanya obstruksi pada pasien karena pasien mengalami sesak. Saat
dibawa ke IGD, pasien mengalami biru pada bibir kemudian diberikan oksigen namun
dirasakan sesaknya tidak membaik. Dengan demikian perlu dipikirkan adanya
kemungkinan obstruksi saluran napas bawah yang menyebabkan O2 sulit masuk dan
CO2 menjadi terperangkap.
Adanya keluhan muntah sebanyak 3 kali dalam sehari berisi ASI dan pasien
menjadi gelisah menyebabkan munculnya kecurigaan akan adanya dehidrasi. Namun,
pasien tidak tampak rewel dan tidak minum seperti orang kehausan, sehingga
kemungkinan dehidrasi terjadi cukup kecil. Kemungkinan ini akan dikonfirmasi melalui
pemeriksaan fisik.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal, kecuali
frekuensi pernapasan pasien 68 kali per menit, dangkal, dan tampak adanya retraksi m.
intercostalis dan subcostae. Dengan demikian disimpulkan bahwa pasien mengalami
takipnea dan penggunaan otot bantu napas yang menandakan pasien sesak. Pada
auskultasi didapatkan suara napas bronkovesikuler pada kedua lapangan paru, dengan
adanya wheezing pada 1/3 basal kedua lapangan paru dan rhonki basah kasar pada 2/3
basal paru kanan. Wheezing terdengar lebih dominan daripada rhonki. Adanya
wheezing menandakan adanya obstruksi pada saluran napas bawah. Dengan demikian
dipikirkan kemungkinan pasien mengalami bronkiolitis, namun masih didiagnosis
banding dengan bronkopneumonia. Dari pemeriksaan perkusi tidak didapatkan
hipersonor pada paru, atau redup sehingga tidak dapat menyingkirkan salah satu di
antaranya. Namun, jika data ini ditambahkan dengan anamnesis dan klinis pasien, yaitu
usia di bawah 2 tahun, adanya infeksi saluran napas, dan adanya wheezing yang
dominan, maka diagnosis lebih cenderung ke arah bronkiolitis.
Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal, termasuk ubun-ubun dan mata tidak
cekung, bibir tidak kering, turgor kulit normal. Dengan demikian kecurigaan adanya
dehidrasi akibat muntah disingkirkan.
Dari pemeriksaan rontgen paru diperoleh gambaran perselubungan hiller dan
perihiler kanan, tampak peningkatan corakan bronkovaskuler, tampak adanya bercak
kosolidasi yang tersebar, tampak adanya atelektasis lobus medius. Berdasarkan
gambaran radiologis ini dapat dipikirkan kemungkinan bronkiolitis, namun gambaran
21
radiologi ini masih sulit dibedakan dengan pneumonia.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan trombositosis dan saturasi oksigen
yang sedikit rendah, namun hasil lain dalam batas normal. Mengingat pasien dilakukan
pemeriksaan analisis gas darah setelah pemberian oksigen, maka hasil analisa gas darah
sulit menentukan apakah pasien mengalami bronkiolitis atau pneumonia.
Rencana tatalaksana pada pasien ini adalah mengatasi sesak dan menjaga agar
oksigen dalam darah tercukupi. Karena sesak yang terjadi disebabkan oleh obstruksi
akibat inflamasi, maka diberikan kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi yang
terjadi sehingga edema pada saluran napas bawah berkurang dan aliran udara ke
alveolus dapat meningkat. Pilihan kortikosteroid pada pasien adalah deksametason
dengan dosis 0,5 mg/kgBB, sehingga dengan berat badan pasien sebesar 3,2 kg
seharusnya diberikan 1,6 mg. Namun, pada pasien ini diberikan sebanyak 3x1 mg
secara intravena. Kemungkinan pertimbangan pemberian deksametasone dengan dosis
3x1 mg ini adalah kondisi pasien yang bersifat gawat darurat, yaitu sesak dengan
adanya penggunaan otot-otot bantu napas dan sianosis pada mulut, sehingga pemberian
dosis ini diharapkan dapat mengurangi obstruksi saluran napas yang terjadi.
Pemberian deksametason bertujuan untuk mengurangi edema akibat inflamasi.
Setelah saluran napas ini kembali lagi terbuka, maka CO2 yang terperangkap dapat
keluar. Dengan demikian, diberikan juga O2 melalui nasal kanul sebanyak 2 liter per
menit. Adanya infeksi saluran pernapasan yang terjadi pada pasien menjadi indikasi
pemberian antibiotik,terutama pada pasien sulit dibedakan apakah pasien mengalami
bronkiolitis atau pneumonia. Dengan demikian diberikan sefotaksim 2x160 mg secara
intravena. Berdasarkan anamnesis, didapatkan keterangan bahwa kemungkinan sumber
penularan adalah ibu kandung pasien. Maka, seharusnya antibiotik yang diberikan
adalah antibiotik untuk community-acquired, yaitu ampisilin atau kloramfenikol.
Dengan berat bada pasien sebesar 3,2 kg, maka jumlah sefotaksim yang diberikan
adalah 320 mg per hari. Dosis ini kemudian dibagi dalam 2 kali pemberian sehingga
dalam 1 hari pasien diberikan 2x160 mg sefotaksim melalui intravena.
Status gizi pada pasien termasuk cukup gizi, sehingga tidak diperlukan terapi
nutrisi yang khusus. Berdasarkan kebutuhan kalori pasien per hari, yaitu 100-120 kalori
per kg berat badan per hari, maka kebutuhan kalori pada pasien ini dalam sehari sebesar
320-384 kalori. Karena pasien masih berusia 29 hari, maka asupan kalori yang
22
disarankan adalah ASI yaitu sebanyak 6x30 ml per NGT. Selain itu, pemberian cairan
maintenance yang diberikan pada pasien ini adalah N5 + KCl (10) dengan kecepatan 12
tetes per menit.
Setelah pemberian tatalaksana ini, perlu dilakukan edukasi terhadap orang tua
agar menjauhkan pasien dari anggota keluarga yang menderita infeksi saluran
pernapasan dan yang merokok. Kemudian disarankan juga agar ventilasi di rumah
ditambah dan dilakukan pembersihan secara rutin baik pada lingkungan rumah maupun
ventilasi, sehingga tidak menyimpan debu.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Basir D, Rahajoe NN, Setyanto DB, Setiawati L. Pendekatan diagnostik respiratorik
anak. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi
Anak. Edisi pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2012. h.51-70.
2. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 2006. h.558.
3. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo
J. Harrison’s principles of internal medicine. 17thed. New York: The McGraw – Hill
Companies, 2008. p.221-225.
4. Manning HL, Schwartzstein RM. Pathophysiology of dispnea. NEJM; 1995;
333(23): 1547-1552.
5. Lighezan DF, et al. Acute dispnea: from pathophysiology, evaluation to diagnosis.
TMJ; 2006; 56(2-3): 235-242.
6. Porth CM, Matfin G. Pathophysiology concepts of altered health states. Eight
edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2009. p.695-7
7. Zain MS. Bronkiolitis. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2012. h.333-47
8. Sastroasmoro S. Bronkiolitis. Dalam: Sastroasmoro S. Panduan pelayanan medis
departemen ilmu penyakit anak. Jakarta: RSCM, 2007. h.424-5
9. Watts KD, Goodman DM. Wheezing, bronchiolitis, and bronchitis. In: Kliegman
RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JW, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics.
19thed. Philadelphia: Elsevier, 2011. p.1456-9.
10. Leung AKC, Kellner JD, Davies HD. Respiratory synctial virus bronchiolitis.
Journal of National Medical Association; 2005; 97(12): 1708-12.
11. AAP. Diagnosis and management of bronchiolitis. Pediatrics; 2006; 118: 1774-88.
12. Mazumder M, Hossain MM, Kabir A. Management of bronchiolitis with or without
antibiotics-a randomized control trial. J Bangladesh Coll Phys Surg; 2009; 27: 63-9.
13. Zorc JJ, Hall CB. Bronchiolitis: recent evidence on diagnosis and management.
Pediatrics; 2010; 125:342-7
14. Singh AM, Moore PE, Gern JE, Lemanske RF, Hartert TV. Bronchiolitis to asthma:
a review and call for studies of gene-virus interactions in asthma causation. Am J
Respir Crit Care Med; 2007; 175: 108-16.
24
Download