BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Fraktur Femur Tulang femur merupakan tulang terpanjang dan terbesar dari tubuh. Tulang femur diliputi otot yang kuat dengan vaskularisasi yang banyak. Dari letaknya femur membentuk bagian sendi panggul (acetabulum) dan sendi lutut (Moore dan Agur, 2002). Patah tulang femur sering disebabkan oleh trauma yang cukup kuat sehingga akan menimbulkan cedera yang cukup berat. Pemeriksaan neurologi sangat penting karena cedera dapat mengenai nervus sciatica/femoralis dan arteri femoralis. Waddle Triad, yang terdiri dari fraktur femur, cedera intraabdomen atau intratorakal dan cedera kepala, dikenal dalam praktek klinis sehari-hari sebagai akibat kecelakaan dengan kecepatan tinggi (Rewers dkk, 2005). Oleh karena itu, pasien dengan fraktur femur sering datang dalam keadaan tidak sadar. Fraktur femur dapat dikenali meskipun fragmen tulang tidak menonjol keluar. Ekstremitas cedera terlihat lebih pendek dibandingkan yang normal, disertai dengan nyeri yang hebat dan ketidakmampuan menggerakkan ekstremitas (AAOS, 2008). Pada fraktur femur tertutup, perdarahan dapat terjadi 1-1,5 liter, dan juga terjadi kerusakan jaringan lunak yang masif. Jumlah ini adalah hampir 20-30% volume tubuh. Bila perdarahan tersebut berlanjut, pasien akan jatuh ke dalam keadaan syok hemorhagik (Peitzman,2008). Tanda-tanda klasik syok seperti ekstremitas yang dingin, takikardia, denyut nadi perifer menghilang, dan hipotensi terlihat akibat 2 kehilangan darah sebanyak lebih dari 30%. Fraktur femur terbuka terkait dengan 10% insiden cedera vaskular yang mengancam ekstremitas. Setiap tanda terjadinya iskemi pada bagian distal dari extremitas, memerlukan suatu evaluasi yang baik untuk menentukan tindakan eksplorasi vaskuler segera. Pada fraktur femur, baik tertutup maupun terbuka yang tanpa syok jika tidak mendapatkan penanganan yang baik bisa mengakibatkan komplikasi berupa SIRS jika perdarahan yang terjadi tidak mendapatkan pemeriksaan dan penanganan yang baik, oleh karena itu, fraktur femur yang digolongkan sebagai major fracture harus mendapat perhatian serius. 2.2. Hipoperfusi Hipoperfusi jaringan adalah keadaan ketidakmampuan untuk menjaga metabolisme aerob normal. Secara sederhana dapat digambarkan sebagai ketidakseimbangan antara supply (kebutuhan) dan demand (keperluan) oksigen sel (Peitzman, 2008). Beberapa studi menunjukkan bahwa infeksi merupakan penyebab meningkatnya morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan trauma berat yang mampu bertahan 48 jam (fase lanjut) (Claridge et al, 2000). Beberapa studi menyebutkan bahwa hipoperfusi tersembunyi yang persisten merupakan faktor risiko infeksi pada pasien dengan trauma berat. Keadaan hipoperfusi akan menyebabkan hipoksia jaringan. Menurunnya oksigen ke jaringan menyebabkan terjadinya perubahan metabolisme aerob menjadi anaerob. Hasil metabolisme anaerob adalah asam laktat, sehingga pengukuran laktat serum dapat dijadikan sebagai tanda terjadinya hipoperfusi jaringan. Hipoperfusi 3 yang persisten dapat menyebabkan kerusakan hemodinamik, disfungsi end-organ (MODS), kematian sel dan kematian pasien tentunya apabila tidak tertangani secara cepat dan baik. Keadaan hipoperfusi ini paling sering terjadi pada syok hemorhagik. Resusitasi pada pasien dengan risiko pembedahan secara tradisional dilakukan dengan panduan normalisasi tanda vital, seperti tekanan darah, output urin, dan denyut jantung. Hanya pada kondisi hemodinamik tidak stabil monitor invasif diperlukan. Namun kenyataannya, beberapa studi menemukan bahwa terdapat kondisi yang disebut dengan hipoperfusi tersembunyi, yang mungkin sulit terlihat dari pengamatan tanda vital saja. Keadaan ini apabila tidak dikenali dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien yang akan mengalami pembedahan. Pada pasien fraktur femur dengan hipoperfusi tersembunyi yang dilakukan fiksasi interna awal, ditemukan terjadinya peningkatan risiko komplikasi pasca bedah hampir dua kali lipat (Crowl et al, 2005). Melihat dari keadaan ini, diperlukan suatu pemeriksaaan tambahan untuk menilai status pasien pasca resusitasi. Beberapa penelitian menyatakan pemeriksaan serum laktat dapat menunjukan terjadinya hipoperfusi tersembunyi pada pasien dengan kondisi kritis setelah trauma berat (Meregalli et al, 2004). 2.3. Inflamasi Inflamasi adalah sistem reaksi pertahanan dari jaringan vaskuler terhadap ancaman patogen dari sumber yang berbeda. Tujuan dari reaksi inflamasi adalah untuk mengeliminasi penyebab, mengeliminasi jaringan yang rusak, menginisiasi 4 regenerasi dan mempertahankan metabolisme serta fungsi organ terhadap status keseimbangan dinamik (Lin, 2008). Inflamasi dapat bersifat lokal dan sistemik. Inflamasi sistemik masih merupakan tantangan dalam menangani pasien dengan trauma. Meskipun berfungsi untuk mempertahankan fungsi dari jaringan, peningkatan inflamasi sistemik ini berlebihan dan berlangsung lama bisa menimbulkan suatu keadaan yang disebut dengan Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) yang diikuti oleh Multiple Organ Dysfunction (MOD) dan Multiple Organ Failure (MOF) bahkan sampai berakhir dengan kematian (Lin, 2008). Systemic Inflammatory Response SyndromeS bersifat nonspesifik dan dapat disebabkan oleh iskemia, inflamasi, trauma, infeksi atau kombinasi. SIRS tidak selalu berkaitan dengan infeksi. SIRS merupakan suatu reaksi inflamasi sistemik yang terbentuk dari 3 tahapan proses (Lin dkk, 2008). Tahap I : mengikuti trauma, sitokin lokal diproduksi dengan tujuan untuk memulai respon inflamasi, sehingga memulai perbaikan luka dan sistem retikuloendotelial. Tahap II : Sedikit kuantitas sitokin lokal dilepaskan menuju sirkulasi untuk meningkatkan respon lokal. Hal ini menyebabkan stimulasi growth factors dan pengambilan makrofag dan platelet. Respon fase akut khas dikendalikan oleh penurunan mediator inflamasi dan pelepasan endogen antagonis. Tujuannya adalah homeostasis. Tahap III : Jika homeostasis tidak mampu dicapai, reaksi sistemik yang signifikan akan terjadi (Lin dkk., 2008). Sitokin dilepaskan untuk tujuan menghancurkan bukan lagi untuk mempertahankan. Akibatnya, cascade humoral dan aktivasi sistem retikuloendotel dan hilangnya integritas sirkulasi. Hal inilah yang berujung pada disfungsi end- organ. 5 Open Reduction dan Internal Fixation adalah jenis operasi yang sering dilakukan pada fraktur femur. Banyak perdebatan terjadi mengenai kapan waktu yang tepat dilakukan fiksasi interna pada pasien multitrauma. Masalah yang muncul apakah tindakan tersebut dilakukan segera atau dilakukan tertunda. Bone dkk, 1994 menemukan bahwa fiksasi interna yang dilakukan segera pada pasien multitrauma dengan ISS >18 menurunkan mortalitas dua kali lipat (Crowl dkk, 2000). Penanganan stabilisasi fraktur femur yang tertunda akan menyebabkan peningkatan risiko Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), emboli lemak, dan pneumonia sehingga menyebabkan lama perawatan rumah sakit dan biaya total perawatan meningkat. Studi yang lebih baru menunjukkan bahwa stabilisasi segera dalam 24 jam pada fraktur batang femur dengan trauma multipel (ISS > 18) adalah esensial (Bone dkk, 1989, Crowl dkk, 2000). Melihat beberapa penelitian ini, maka banyak institusi yang melakukan pembedahan fraktur femur segera tanpa koreksi yang cukup terhadap kejadian asidosis yang terjadi. Meskipun target tekanan darah dapat dicapai sebelum pembedahan, hipoperfusi end-organ masih dapat terus terjadi. Fiksasi interna yang dilakukan awal, dengan adanya hipoperfusi tersembunyi, akan menyebabkan peningkatan risiko SIRS dan komplikasi pasca operasi (Crowl dkk, 2000). Setelah SIRS terjadi karena pengaruh proses inflamasi akut, maka hal ini akan berlanjut terus menjadi Sepsis dan MODS. SIRS menyebabkan kerusakan jaringan, inflamasi dan mengakibatkan tubuh berada pada lingkaran setan proses hiperinflamasi. Bagaimanapun juga mediator inflamasi yang penting seperti IL-1, IL6 dan TNF alfa di targetkan pada Compensatory Antiinflamation Response Syndrome 6 (CARS) dalam upaya mengendalikan perkembangan berkelanjutan dari SIRS (Lu J et al 2010). Pada trauma beberapa hormon diaktifkan dan akan mengalami peningkatan seperti adrenalin, noradrenalin kortisol dan glukagon. Aksis simpatico-adrenal merupakan sistem utama tubuh untuk bereaksi terhadap cedera. Perubahan ini disebabkan oleh dampak adrenergic dan katekolamin, dimana katekolamin meningkat setelah terjadinya trauma.Terjadinya systemic inflammatory respons setelah trauma ditandai oleh peningkatan aktivitas sistem kardiovaskuler, metabolisme konsumsi oksigen, katabolisme protein dan hiperglikemia (Riahi, 2006). 2.4. Sel-sel yang terlibat dalam reaksi inflamasi Makrofag, neutrofil, dan sel-sel endotel merupakan bagian penting dari respon inflamasi. Sel mast juga penting dalam mengawali aktivasi inflamasi dengan melepaskan zat-zat pre-formed proinflamasi seperti histamin. Aktivasi sel endotel mengakibatkan peningkatan ekspresi adhesi molekul pada permukaannya. Dua di antaranya adalah Endothelial Leucocyte Adhesion Molecule (ELAM) 1 yang mengikat monosit terhadap PMNs, dan intercellular adhesion molecule (ICAM) 1 yang mengikat PMN terhadap limfosit.Secara bersamaan lekosit menghasilkan pelengkap molekul adhesi pada permukaan mereka, disebut integrin dan termasuk CD11 serta CD18. Leukosit kemudian tertarik oleh chemokines dan bergerak 7 sepanjang endothelium, dan akhirnya bermigrasi menuju tempat inflamasi. (Worth SJ et al. 1999) Gambar 2.1 Interaksi antara komponen seluler dan humoral dalam proses inflamasi (Wort SJ et al, 1999) 2.5. Peningkatan Laktat setelah terjadinya cedera 2.5.1. Metabolisme Laktat Asam laktat merupakan zat perantara metabolik yang tidak toksik dan dapat diproduksi oleh semua sel. Banyaknya asam laktat yang terdapat di berbagai jaringan dan organ bervariasi tergantung pada keadaan hemodinamik maupun metabolic seseorang. Asam laktat darah juga telah lama dikenal sebagai indikator beratnya 8 penyakit dan sebagai prediktor prognosis (Pamela J et al, 2004). Laktat merupakan produk tambahan dari glikolisis. Pada proses glikolisis, melalui proses anaerob yang berlangsung di sitosol, 2 molekul ATP (Adenosine 5 triphosphate) diproduksi bersamaan dengan piruvat setiap satu molekul glukosa terhidrolisis. Ada 2 hal yang dapat terjadi pada piruvat yang terbentuk. Bila kemungkinan besar terjadi proses reduksi dan oksidasi jaringan dan tersedia oksigen yang memadai maka piruvat tersebut akan turut serta pada siklus kreb di mitokondria untuk kemudian di metabolisme lebih lanjut dan menghasilkan lebih banyak ATP. Dalam keadaan hipoksia, piruvat tidak dapat memasuki siklus krebs.Tetapi bila proses reduksi dan oksidasi tersebut tidak terjadi maka piruvat akan dikonversi menjadi laktat (gambar 3). Konversi piruvat menjadi laktat merupakan suatu proses yang reversible yang dikatalisis oleh enzim laktat dehidrogenase (LDH) yang terletak di sitosol. Kofaktor nicotinamide adenine dinucleotide (NADH/NAD+) akan saling berikatan atau bertukar dengan ion H + yang dilepaskan. (Stacpoole PW et al 1988, O’Brien et al. 2007) 9 Gambar 2.2 Metabolisme Laktat (Pamela et al.2000) Menurut Bakker J et al, 1991 Laktat yang dikonversi kembali menjadi piruvat akan memasuki siklus kreb di mitokondria untuk di metabolisme lebih lanjut atau digunakan dalam proses glukoneogenesis. Piruvat digunakan di jaringan aerob melalui 2 proses oksidatif. Proses oksidatif yang pertama adalah konversi piruvat menjadi Acetyl-CoA oleh enzim Piruvat Dehidrogenase (PDH). Thiamin merupakan kofaktor dari PDHb sehingga bila terjadi defisiensi thiamin dapat menimbulkan permasalahan pada metabolisme laktat. Proses oksidatif yang kedua adalah piruvat tersebut digunakan pada proses glukoneogenesis. Hal ini terjadi karena peningkatan produksi piruvat dan menurunkan klirens laktat. 10 Pada keadaan tersebut oksidasi glukosa oleh sel otot tidak dapat berlangsung sempurna, tapi bahkan dalam keadaan demikianpun sejumlah energi kecil tetap dapat dikeluarkan ke sel melalui proses awal glikolisis karena reaksi kimia pada pemecahan glukosa menjadi asam piruvat tidak memerlukan oksigen. Dalam keadaan darurat seperti ini, sel akan tergantung sepenuhnya pada reaksi pembentukan asam laktat untuk memperoleh NAD + yang harus dibentuk melalui reaksi lain yaitu dengan meminjam electron dari NADH melalui perubahan piruvat menjadi asam laktat (Servasius Epi, 2012). Jadi pada keadaan anaerob, proses pembentukan energi melalui metabolisme piruvat terhambat, oksidasi anaerob pada siklus asam sitrat terblokade dan piruvat akhirnya menjadi asam laktat. Perubahan NADH menjadi NAD + selama konversi piruvat menjadi asam laktat tadi menyebabkan proses glikolisis dapat berlangsung tanpa harus melalui oksidasi NADH oleh oksigen. Pada keadaan diatas jika kemudian oksigen perlahan kembali normal setelah otot diistirahatkan, NADH dan H+ serta asam piruvat ekstra yang telah dibentuk dengan cepat dioksidasi sehingga konsentrasi zat tersebut berkurang. Sebagai akibatnya reaksi kimia untuk pembentukkan asam laktat berbalik, asam laktat kini diubah kembali menjadi glukosa melalui proses glukoneogenesis di hati. (Gambar 4) (Servasius Epi 2012.Mustafa I 2002). 11 Gambar 2.3 Jalur laktat saat hipoksia.(Servasius Epi, 2012) 2.5.2 Hiperglikemia dan peningkatan laktat Glukosa darah berasal dari karbohidrat bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari, Disamping itu juga diproses melalui proses glukoneogenesis dan glikogenolisis. Karbohidrat di dalam makanan yang dicerna secara aktif mengandung residu glukosa, galaktosa dan fruktosa yang akan dilepas di intestinum, Zat ini lalu diangkat ke hati lewat vena porta. Galaktosa dan fruktosa segera dikonversi menjadi glukosa di hati. Untuk mempertahankan kadar glukosa dalam batas normal, tubuh mempunyai mekanisme glukoregulasi yang mengatur keserasian, yakni autoregulasi, regulasi hormonal, regulasi neural (Aritonang S, 2007). 12 Hormon-hormon yang berperan dalam glukoregulasi 1. Insulin, dikeluarkan oleh sel Beta pancreas yang berfungsi untuk menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan ambilan glukosa jaringan 2. Glukagon, dikeluarkan oleh sel beta pankreas. Hormon ini meningkatkan glikogenolisis dengan mengaktifkan enzim fosforilase. Hormon ini juga meningkatkan glukoneogenesis dari asam amino dan laktat dengan menghasilkan cAMP. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah. 3. Glukokortikoid disekresikan oleh korteks adrenal. Hormon ini meningkatkan glukoneogenesis. Hal ini terjadi karena peningkatan katabolisme di jaringan, peningkatan ambilan asam amino oleh hati, dan peningkatan enzim transaminase serta enzim lainnya yang berhubungan dengan glukoneogenesis. 4. Epinefrin, disekresikan oleh medulla adrenal. Hormon ini menyebabkan glikogenolisis di hati serta otot karena stimulasi enzim fosforilasi dengan menghasilkan syclic AMP (cAMP) 5. Growth Hormon, disekresikan oleh kelenjar hipofisis anterior. Hormon ini menurunkan ambilan glukosa di jaringan tertentu. Sebagian efek ini tidak langsung, karena hormone ini memobilisasi asam lemak bebas dari jaringan adipose dan asam lemak itu menghambat penggunaan glukosa. Bila terjadi glukokortikoid hipoglikemia, dan growth sekresi hormone hormone, counterregulatory hormone akan meningkat. yang glukagon, juga dikenal epinefrin, sebagai 13 Dalam keadaan trauma, tubuh berusaha untuk mempertahankan kadar glukosa darah. Terdapat mekanisme kontrol dalam mempertahankan kadar glukosa darah dari berbagai stress baik fisik maupun psikis, misalnya pada trauma tumpul abdomen. Hiperglikemia reaktif dapat terjadi sebagai reaksi non spesifik terhadap terjadinya stress akibat kerusakan jaringan. Reaksi ini adalah fenomena yang tidak berdiri sendiri dan merupakan salah satu perubahan biokimia multiple yang berhubungan dengan trauma abdomen. Keadaan ini dapat pula dijumpai pada keadaan luka bakar, stroke, posedur operasi dan infark miokard akut. Dalam keadaan stress ada 2 komponen utama sebagai respons adaptasi terhadap stress yaitu: 1. Sistem saraf autonom simpatis 2. Sistem Corticotropin – releasing hormone ( CRH ) Pusat sistem simpatis terletak di batang otak. Aktivasi site ini akan menyebabkan terjadinya pelepasan katekolamin (epinefrin) yang mempunyai efek sangat kuat terhadap reaksi glikogenolisis dan glukoneogenesis dalam hati, sehingga akan meningkatkan pelepasan glukosa oleh hati masuk ke dalam sirkulasi, selain itu juga menghambat pemakaian glukosa di jaringan perifer. Juga akan menghambat sekresi insulin oleh sel beta pancreas. Norepinefrin mempunyai efek lemah terhadap glukogenolisis dalam hati, tetapi dapat merangsang glikoneogenesis karena mempunyai efek lipolisis yang kemudian memberikan asupan gliserol bagi hati. Laktat merupakan prekursor yang penting bagi glukosa dalam hati dan merupakan 14 refleksi peningkatan glikogenolisis di jaringan perifer dan kemungkinan down regulation dari piruvat dehidrogenase. Laktat akan berfungsi sebagai substrat alternative bagi proses glukoneogenesis dalam keadaan stress katabolic (Aritonang S. 2007) Sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF) mengubah metabolisme glukosa dengan mempengaruhi fungsi sel-sel pancreas sehingga mengakibatkan terjadinya intoleransi glukosa. Gambar 2.4 Peningkatan laktat dan glukosa saat iskemia (Terry S. 2009) 15 Dalam kondisi fisiologis, laktat diproduksi oleh otot (25%), kulit (25%), otak (20%), usus (10%) dan sel darah merah (20%) yang tidak memiliki mitokondria.Laktat terutama dimetabolisme di hati dan ginjal (Trevor D.1999). Kadar laktat dapat di ukur di plasma, serum, atau darah lengkap. Nilai kadar laktat yang paling ideal adalah yang berasal dari darah arteri. Nilai normal kadar laktat tidak sama bila diambil dari darah kapiler, darah vena dan darah arteri (tabel 2) (Arieff AL. 1995). Namun dalam penelitian yang terbaru, tidak didapatkan perbedaan kadar laktat yang signifikan diantara ketiga sumber pengambilan sampel darah tersebut (Blomkalns, 2007). Pengambilan sampel darah harus diperiksa secepat mungkin, tidak boleh lebih dari 4 jam setelah pengambilan. (Cheung et al 2000). Kadar laktat darah juga dapat dipengaruhi oleh cairan infus yang digunakan dan tempat pengambilan sampel darah. Pengambilan sampel darah tidak boleh pada tempat yang dipasang infus, khususnya cairan RL karena dapat menyebabkan kadar laktat yang tinggi pada sampel darah yang diambil. (Hatherill et al 2000). Saat ini laktat darah dengan mudah diukur secara langsung dan praktis menggunakan alat analitik otomatis seperti Accusport, Accutrend,Accu-Check, Lactate Scout dan EDGE Lactate Analyzer Apex Bio. Perkembangan pembuatan elektroda spesifik dapat mengukur laktat darah secara akurat dengan volume darah <0, 2 ml dalam waktu 10 detik -2 menit (Des Hughes.2004). 16 2.6 Laktat dan SIRS Infeksi berat diukur secara makrovaskular dengan mengukur parameter hemodinamik global seperti tekanan darah. Trzeciak mengungkapkan bahwa sebelum terjadi gangguan makro vaskular telah terjadi proses lain yang tersembunyi yaitu, gangguan mikro sirkulasi seperti hipoksia jaringan yang luas, kerusakan sel endotel, aktivasi kaskade koagulasi dan microciculatory dan mithochondrial distress syndrome. Faktor-faktor tersebut merupakan hal penting dalam menentukan potensi kearah sepsis, namun keadaan ini tidak terdeteksi secara klinis sehingga keadaan pasien seolah-olah stabil. Proses fagositosis oleh neutorfil yang kurang atau tidak efektif pada kondisi neutropenia memungkinkan bertahannya bakteri yang tidak dapat dicerna sehingga timbul proses inflamasi yang selanjutnya dapat menimbulkan gangguan mikrosirkulasi (Trzeciak S et al. 2005). Parameter yang dapat dipergunakan untuk menilai terjadinya gangguan mikrosirklasi antara lain adalah peningkatan kadar laktat darah. Kadar laktat darah dapat digunakan secara cepat dan dapat memberikan gambaran hipoperfusi atau hipoksia jaringan. Kadar laktat darah > 2 mmol/L disebut hiperlaktatemia menunjukkan adanya inadekuasi perfusi jaringan (Trzeciak S et al. 2005). Infeksi dengan kadar laktat darah > 4 mmol/L akan meningkatkan resiko kematian hingga 60,9% sampai 89%. Kadar laktat darah normal saat istirahat 0,5-1,5 mmol/L baik pada pengukuran darah arteri maupun vena, dalam bentuk whole blood 17 maupun plasma. Kadar laktat darah dapat segera menunjukkan terjadinya gangguan mikrosirkulasi akibat hipoksia jaringan. (Trzeciak S et al. 2005) Sepsis merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang sering ditemukan pada pasien sakit berat. Pada neonatus dengan sepsis dan syok akan terjadi insufisiensi cardiovaskuler yang selanjutnya akan menimbulkan hipoksia jaringan. Pada insufisiensi cardiovascular tersebut terjadi pre load, disfungsi vasoregulator, 2.7 Faktor yang mempengaruhi terjadinya peningkatan kadar laktat Secara umum peningkatan laktat darah dapat disebabkan oleh dua hal, yang pertama disebabkan terjadinya peningkatan produksi laktat oleh tubuh, dan yang kedua, disebabkan adanya gangguan clearance dari laktat tersebut ( Phypers B, Pierce JM, 2006). Peningkatan produksi laktat dpt terjadi pada perdarahan yang disebabkan oleh trauma, contohnya terjadi pada fraktur femur tertutup, karena fraktur femur tertutup dapat menyebabkan terjadinya perdarahan sebanyak 1 liter – 1,5 liter. Jumlah perdarahan tersebut dapat menyebabkan terjadinya hipoperfusi jaringan yang akan menyebabkan terjadinya peningkatan kadar laktat dalam darah. Sedangkan terjadinya peningkatan kadar laktat yang disebabkan karena gangguan clearance dari laktat tersebut dapat terjadi pada pasien dengan gangguan sistemik, contohnya pasien dengan gangguan paru dan liver. Pada pasien dengan gagal hati fulminan akan terjadi peningkatan produksi laktat oleh paru. Peningkatan produksi laktat tersebut 18 menyebabkan terjadinya hiperlaktatemia sistemik dan asidosis laktat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Walsh dkk, didapatkan bahwa peningkatan laktat oleh paru pada pasien gagal hati tidak ada hubungannya dengan kondisi paru. Peningkatan produksi laktat oleh paru mungkin disebabkan karena proses glikolisis yang berlebihan sebagai respon terhadap stress sehingga tidak diperlukan adanya suatu cedera paru akut/penyakit di paru untuk memicu produksi laktat pada pasien gagal hati (Walsh TS et al, 1999). Pada pasien paska operasi jantung dapat ditemukan peningkatan kadar laktat. Hal ini berhubungan dengan hipoksia jaringan akibat sirkulasi yang terhenti pada saat dilakukan bypass. Penyebab dari peningkatan kadar laktat pada pasien pasca operasi jantung sama dengan pasien gagal hati yaitu akibat peningkatan produksi laktat oleh paru karena hipoksi jaringan pasca operasi (Suistomaa et al. 2000). Menurut, Cohen dan Wood, faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan laktat adalah: 1. Penyakit gangguan fungsi hati 2. Defisiensi thiamin 3. Diabetes Mellitus 4. Keganasan 5. Kelainan Jantung 6. Alkohol 7. Obat obatan seperti ; Salisilat, Asetaminofen, Sianida terbutalin 19