70 BAB III PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARISAN PADA MASYARAKAT MINANGKABAU DI TAPAKTUAN A. Unsur-Unsur Kewarisan Hukum waris menduduki tempat amat penting dalam Hukum Islam, Ayat AlQur’an mengatur hukum waris dengan jelas terperinci. Hal ini dapat dimengerti sebab masalah warisan pasti di alami oleh semua orang. Kecuali itu, hukum waris langsung menyangkut harta benda yang apabila tidak diberikan ketentuan pasti, akan menimbulkan sengketa di antara ahli waris. 116 Kewarisan Islam sebagai bagian dari Syariat Islam tidak dapat dipisahkan dengan aspek-aspek lain dari ajaran Islam. Karena itu penyusunan kaidah-kaidah harus didasarkan pada sumber yang sama seperti halnya aspek-aspek yang lain dari ajaran Islam tersebut. Sumber-sumber Islam itu adalah Al-Qur’an, Sunnah Rasul dan Ijtihad. Ketiga sumber ini pula yang menjadi sumber kewarisan Islam. 117 Di daerah Tapaktuan, hukum adat yang digunakan seiring dan sejalan dengan Hukum Islam, sehingga hukum adat pada daerah ini didasarkan pada ketentuan dan aturan-aturan sebagaimana yang berlaku dalam Hukum Islam, khususnya dalam hukum waris. Sehingga setiap masalah adat yang terjadi penyelesaian yang digunakan di dasarkan pada aturan Hukum Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. 116 Hasballah Thaib. Op. Cit, Hal. 2 Abdul Ghoful Anshori, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia Eksistensi Dan Adaptabilitas, Ekonisia, Yogyakarta, 2002, Hal. 6 117 70 Universitas Sumatera Utara 71 Terjadinya pewarisan dalam hukum kewarisan Islam harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : a. Pewaris Istilah pewaris dalam hukum adat waris, dipakai untuk menunjukkan orang yang meneruskan harta peninggalan ketika hidupnya kepada waris atau kepada orang yang setelah wafat meninggalkan harta peninggalan yang diteruskan atau dibagikan kepada waris. Tegasnya pewaris adalah empunya harta peninggalan atau empunya harta warisan.118 Pasal 171 (b) Kompilasi Hukum Islam (untuk selanjutnya disingkat KHI) disebutkan bahwa pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Dalam literatur fikih, pewaris disebut dengan al-muwarits ialah seseorang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup. Berdasarkan prinsip bahwa peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris berlaku sesudah matinya si pewaris, maka kata “pewaris” itu sebenarnya tepat untuk pengertian seseorang yang telah mati.119 b. Ahli waris Penerima warisan dalam hukum adat terdiri dari ahli waris dan bukan ahli waris tetapi mendapatkan warisan, sedangkan dalam Hukum Islam penerima 118 Hilman Hadikususma, (Buku II), Op. Cit, Hal. 13 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2004, Hal. 204 (selanjutnya disebut buku III) 119 Universitas Sumatera Utara 72 wrisan hanyalah ahli waris saja. Dalam istilah adat penerima warisan disebut dengan istilah para waris. Para waris adalah semua orang yang menerima penerusan atau pembagian warisan baik ia sebagai ahli waris yaitu orang yang berhak mewaris dan bukan ahli waris tetapi mendapat warisan.120 Pada umumnya susunan para waris dalam hukum adat terdiri : 1. Anak kandung 2. Anak tiri dan anak angkat 3. Waris balu (janda atau duda) 4. Waris lainnya misalnya kakek-nenek, ayah-ibu, saudara, dan cucu. Istilah waris dalam hukum adat waris dipakai untuk menunjukkan orang yang mendapat harta warisan, yang terdiri dari ahli waris yaitu mereka yang berhak menerima warisan dan bukan ahli waris tetapi kewarisan juga dari harta warisan. Jadi, waris yang ahli waris ialah orang yang berhak mewarisi, sedangkan yang bukan ahli waris adalah orang yang kewarisan. 121 Masalah harta pusaka sering menjadi sumber sengketa dalam keluarga. Terutama untuk menentukan siapa-siapa yang berhak dan yang tidak berhak mendapat warisan yang pada gilirannya bisa menimbulkan keretakan keluarga. 122 Menurut ketentuan Hukum Islam, seseorang berkedudukan sebagai seorang ahli waris adalah didasarkan pada adanya hubungan pertalian darah 120 Hilman Hadikusuma, Op.Cit, Hal. 67 Hilman Hadikususma, (Buku II), Op. Cit, Hal. 13 122 Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan (Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid Dan Kompilasi Hukum Islam), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, Hal. 52 121 Universitas Sumatera Utara 73 (nasab), adanya pertalian perkawinan, adanya wala, yaitu memerdekakan budak.123 Hubungan nasab membentuk hubungan kekerabatan yang jauh dan yang dekat. Kerabat yang dekat menghalangi kerabat yang jauh. Al-Tabatabai membagi tiga tingkatan nasab, sebagai berikut : 1. Kerabat yang paling dekat dengan pewaris adalah Ayah, Ibu, anak lakilaki dan anak perempuan. 2. Saudara laki-laki dan saudara perempuan serta kakek nenek yang mempunyai hak nasab karena adanya ayah dan ibu pewaris. 3. Tingkatan kerabat yang ketiga adalah paman dan bibi. Hubungan nasab mereka dengan pewaris berpangkal pada kakek dan nenek, ayah dan ibu.124 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa yang termasuk kerabat nasab dalam Al-Qur’an adalah : 1. Apabila suami meninggal dunia, maka kerabatnya adalah anaknya, ibunya, ayahnya dan saudara-saudaranya. 2. Apabila istri meninggal dunia, maka kerabatnya adalah anaknya, ibunya, ayahnya dan saudara-saudaranya. 3. Apabila kerabat dekat dari suami atau istri tidak ada, maka barulah berlaku kerabat berikutnya, yaitu kakek, nenek, cucu, paman dan keponakan. Berlakunya hubungan kewarisan antara suami dengan istri didasarkan pada dua ketentuan. Pertama, antara keduanya telah berlaku akad nikah yang sah, artinya akad nikah tersebut telah dilakukan sesuai dengan rukun dan syarat pernikahan serta bebas dari halangan pernikahan. Kedua, di antara 123 A. Rahmat Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, Hal. 8 124 Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, Hal. 67 Universitas Sumatera Utara 74 suami istri tersebut masih berlangsung ikatan perkawinan pada saat salah satu pihak meninggal dunia.125 Kemudian, adanya hubungan memerdekakan budak (wala) ialah seseorang dapat menjadi ahli waris karena ia telah memerdekakan budak, sehingga orang yang memerdekakan akan menjadi ahli waris dari orang yang telah di merdekakan tersebut, apabila orang yang dimerdekakan tersebut meninggal dunia. Pasal 171 (c) KHI merumuskan bahwa ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Kemudian dalam pasal 174 KHI disebutkan kelompokkelompok ahli waris terdiri dari: 1. Hubungan darah - Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. - Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan nenek. 2. Hubungan perkawinan Terdiri dari: duda atau janda. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya anak, ayah, ibu, duda atau janda. c. Harta warisan Warisan Adalah sesuatu yang ditinggal oleh orang yang meninggal dunia, baik berupa benda bergerak maupun benda tak bergerak.126 Harta warisan 125 126 Amir Syarifuddin, (Buku I), Op. Cit, Hal. 39 Amir Syarifuddin, (Buku III), Op.Cit, Hal. 211 Universitas Sumatera Utara 75 menurut Hukum Islam adalah semua harta yang ditinggalkan pewaris karena meninggal dunia, yang telah bersih dari kewajiban-kewajiban keagamaan dan keduniawian yang dapat dibagi-bagikan kepada para ahli waris laki-laki dan perempuan sebagaimana yang telah ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist.127 Pasal 171 (e) KHI memberikan penjelasan tentang pengertian harta warisan yaitu harta bawaan di tambah bagian dari harta bersama, setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat. Yang termasuk kedalam harta warisan (tirkah) adalah: 1. Harta yang berada dalam milik seseorang waktu hidupnya. 2. Segala hak yang bernilai harta dan dapat dinilai dengan harta 3. Harta yang didapatkan setelah wafatnya seseorang sebagai denda atas tindakan penganiayaan terhadap dirinya. 4. Harta yang didapatkan setelah wafatnya seseorang sebagai hasil dari suatu sebab yang menurut sifatnya akan mendatangkan laba, yang dilakukannya dimasa ia hidup.128 Warisan dalam prinsip Hukum Islam adalah ketetapan hukum. Yang mewariskan tidak dapat menghalangi ahli waris dari haknya atas harta warisan, dan ahli waris berhak atas harta warisan tanpa perlu kepada pernyataan menerima dengan sukarela atau atas keputusan hakim. Namun, tidak berarti ahli waris dibebani melunasi hutang mayit (pewaris). 129 sehingga 127 Hilman Hadikusuma, (Buku I), Op. Cit, Hal. 49 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah, Kencana, Jakarta, 2004, Hal. 240 129 Hasballah Thaib, Op.Cit, Hal. 8-9 128 Universitas Sumatera Utara 76 harta warisan tersebut harus dibersihkan terlebih dahulu dari kewajibankewajiban mengenai si pewaris. Dengan demikian, harta warisan dalam Islam dapat dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Harta warisan itu adalah harta yang benar-benar hak milik pewaris, baik yang berwujud benda maupun yang tidak berwujud benda, yang telah bersih dari kewajiban keagamaan dan keduniawian yang dapat dibagibagikan kepada para ahli waris. 2. Agar harta warisan itu bersih dan dapat dibagi-bagikan, maka harta itu sudah dikurangi dengan: a. Semua biaya yang belum atau sudah dikeluarkan untuk keperluan pengobatan ketika pewaris sakit sampai meninggal dunia. b. Semua biaya untuk mengurus dan menyelesaikan pemakaman jenazah pewaris, seperti biaya memandikan, menggalikan kuburan, dan sebagainya. c. Semua kewajiban agama yang belum dipenuhi pewaris seperti pembayaran zakat atau nazar yang pernah dinyatakan. d. Semua kewajiban duniawi pewaris yang belum dipenuhi seperti hutang-hutang yang belum dilunasi, dan lain sebagainya. e. Harta yang telah diwasiatkan pewaris ketika hidupnya kepada seseorang yang jumlahnya tidak melebihi 1/3 bagian dari harta warisan yang ditinggalkan.130 Terhadap unsur-unsur kewarisan yang terdapat dalam Hukum Islam, dalam kewarisan adat masyarakat Minangkabau juga harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : a. Pewaris Masyarakat dengan susunan kekerabatan yang masih mempertahankan garis keturunan matrilineal sebagaimana yang berlaku di Minangkabau, pada umumnya yang berkedudukan sebagai pewaris adalah pihak wanita (ibu) yang 130 Hilman Hadi kusuma, (Buku 2), Op. Cit. Hal. 49 Universitas Sumatera Utara 77 didampingi oleh mamak kepala waris. Dengan demikian, ayah (suami) dan pihak ayah termasuk saudara-saudara pria dan wanitanya pada dasarnya bukan pewaris. Pewaris menurut ketentuan hukum waris adat adalah orang yang mempunyai harta peninggalan selagi ia masih hidup atau sudah wafat, dimana harta peninggalan itu akan diteruskan penguasaannya atau pemilikannya, baik dalam keadaan terbagi-bagi maupun tidak terbagi-bagi.131 b. Ahli waris Ahli waris adalah seluruh anggota kaum yang merupakan kemenakan dari pewaris. Dasar dari pewarisan dan siapa yang menjadi ahli waris dinyatakan dalam pepatah adat sebagai berikut : Birik-birik turun ke semak Tiba disemak berilah makan Harta ninik turun kemamak Dari mamak turun ke kemenakan.132 Dari pepatah adat tersebut jelas bahwa yang dimaksud dengan ahli waris ialah mamak terhadap harta ninik dan kemenakan terhadap harta mamak. Asas kewarisan kolektif tersebut diatas menjelaskan bahwa ahli waris bukan orang perorang, maka pengertian ninik, mamak dan kemenakan itu harus dipahami sebagai kelompok orang atau generasi. 131 132 Hilman Hadikusuma, (Buku I), Op. Cit, Hal. 9 Amir Syarifuddin, (Buku I), Op. Cit, Hal. 238 Universitas Sumatera Utara 78 Kemenakan yang akan menjadi ahli waris juga dibedakan tingkatannya berdasarkan tingkatan yang ada didalam masyarakat Minangkabau. Yaitu waris satampuak, waris sajangka, waris saheto dan waris sadepo. Yang merupakan waris satampuak adalah kemenakan kandung, yaitu anak dari saudara perempuannya. Waris sajangka adalah kemenakan “dunsanak ibu”, yaitu anak dari saudara perempuan yang ibunya bersaudara dengan ibunya si pewaris (mamak). Waris saheto adalah kemenakan “dunsanak nenek”, yaitu anak dari saudara perempuan dari nenek yang sama. Waris sadepo adalah kemenakan “dunsanak moyang”, yaitu kemenakan dari keturunan yang sama.133 Menurut adat Minangkabau pemegang harta pusaka adalah perempuan karena di tangannya terpusat kerabat matrilineal, namun bila diperhatikan kekuasaan yang dipegang oleh perempuan tersebut ternyata bahwa pada umumnya kekuasaannya itu mempunyai hubungan yang rapat dengan peranannya dalam kelangsungan keturunan dan tidak akan menempatkannya pada pusat kekuasaan. Jadi sesungguhnya kedudukan wanita yang dominan di dalam rumah tangga sama sekali tidak memojokkan kaum lelaki.134 c. Harta warisan Di Minangkabau secara garis besar harta dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu : 133 Ibid, Hal. 236 B. Nurdin Yakub, Hukum Kekerabatan Minangkabau, Pustaka Indonesia, Bukit Tinggi, 1995, hal 51, 134 Universitas Sumatera Utara 79 1. Harta pusako tinggi, didalamnya juga termasuk harta sako/gelar pusaka atau disebut juga kata pusaka. 2. Harta pusako randah, yang meliputi harta pencaharian dan harta saurang.135 Harta pusako tinggi adalah harta milik seluruh anggota keluarga, milik bersama kaum yang diperoleh secara turun temurun melalui pihak perempuan. Harta ini berupa rumah, sawah, ladang, kolam, dan hutan serta lain-lainnya. Anggota kaum memiliki hak pakai, dan biasanya pengelolaan di atur oleh datuk kepala kaum atau mamak kepala waris.136 Konskuensi dari sistem pewarisan pusako tinggi, setiap warisan akan jatuh pada anak perempuan, anak laki- laki tidak mempunyai hak memiliki, hanya mempunyai hak mengusahakan. Sedangkan anak perempuan memiliki hak memiliki sampai diwariskan pula kepada anaknya yang perempuan. Seorang laki-laki hanya boleh mengambil sebagian dari hasil harta warisan sesuai dengan usahanya dan sama sekali tidak dapat diwariskan kepada anaknya. Kalau ia meninggal, maka harta itu akan kembali kepada ibunya atau kepada adik perempuan dan kemenakannya.137 Harta pusako (pusaka) tinggi adalah harta yang bukan milik perorangan, dan bukan milik siapa-siapa secara pasti, tetapi yang memiliki harta tersebut 135 Tasyrif Aliumar Dan Faisal Hamdan, Hukum Adat Dan Lembaga-Lembaga Hukum Adat Di Sumatera Barat, Proyek Kerja Sama Badan Pembinaan Hukum Nasional-Fakultas Hukum Universitas Andalas, 1978, Hal. 214 136 Amir Sjarifoedin Tj. A, Op. Cit, Hal. 189 137 Ibid Universitas Sumatera Utara 80 ialah nenek moyang, yang mula-mula memperoleh harta itu secara “memancang melatah”. Harta itu ditujukan untuk dana bersama bagi anak cucunya, dalam bentuk yang tidak terbagi-bagi. Setiap anggota didalam kaum dapat memanfaatkannya, tetapi tidak dapat memilikinya.138 Adapun ciri-ciri dari harta pusako tinggi ini adalah sebagai berikut: a. Tidak dapat diketahui secara pasti asal-usulnya. b. Harta tersebut dimiliki bersama oleh kaum dan digunakan untuk kepentingan bersama. c. Tidak dapat berpindah tangan keluar kaum yang memilikinya, kecuali apabila dilakukan bersama-sama.139 Harta pusako randah adalah segala harta hasil pencaharian dari bapak bersama ibu (orang tua kita) selama ikatan perkawinan, ditambah dengan pemberian mamak kepada kemenakannya, dari hasil pencaharian mamak itu sendiri. Selanjutnya saudara perempuan itu mewariskan pula kepada anak perempuannya, begitu seterusnya. Akibatnya pusako rendah pada mulanya dalam 2 atau 3 generasi berikutnya menjadi harta pusako tinggi pula. 140 Antara pusako tinggi dengan harta pusako randah terdapat perbedaan, diantaranya, pusako tinggi merupakan warisan turun menurun yang dimiliki suatu kaum yang diberikan dari satu generasi kepada generasi berikutnya, dan dilarang untuk diperjualbelikan. Sedangkan harta pusako randah merupakan warisan yang diberikan seseorang pada generasi pertamanya.141 138 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta, PT. Midas Surya Grafindo, 1982, Hal 269-270, (Selanjutnya Disebut Buku IV) 139 Mochtar Naim, Op. Cit, Hal. 85 140 Amir Sjarifoedin Tj. A, Op. Cit, Hal. 96 141 Ibid, Hal. 195 Universitas Sumatera Utara 81 Pusako randah meliputi pula harta pencaharian dan harta suarang. Yang dimaksud harta pencaharian yaitu harta yang diperoleh dengan tembilang emas, maksudnya harta pencaharian suami istri yang diperoleh mereka selama dalam status perkawinan, atau disebut juga harta gonogini. Dan harta suarang adalah merupakan harta pembawaan dari suami atau istri, dan merupakan harta tepatan. Sebab harta ini milik surang atau milik pribadi, maka harta itu dapat diberikannya kepada orang lain, tanpa terikat kepada suami atau istrinya.142 Hukum kewarisan juga memiliki sifat dan prinsip dalam mengatur hal kewarisan. Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan dengan sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah : 1. Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli waris, sedangkan menurut sistem hukum barat dan Hukum Islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang. 2. Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie (bagian mutlak), sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam. 3. Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.143 B. Bagian Para Ahli Waris Terpenuhinya unsur-unsur kewarisan seperti yang tersebut diatas, belum cukup menjadi alasan adanya hak waris bagi ahli waris, seorang ahli waris bisa saja 142 Ibid, Hal. 195-196 Ayu, Sistem Hukum Waris, di akses pada tanggal 27-Maret-2016,pukul 16.45, http://websiteayu.com/artikel/sistem-hukum-waris-adat2 143 Universitas Sumatera Utara 82 tidak dapat mewarisi, kecuali jika tidak terdapat salah satu dari tiga macam penghalang sebagai berikut : a. Berbeda agama antar pewaris dan ahli waris. Alasan penghalang ini adalah Hadist Nabi yang mengajarkan bahwa orang muslim tidak berhak waris atas harta orang kafir dan sebaliknya orang kafir tidak berhak waris atas harta orang muslim. b. Membunuh. Hadis Nabi mengajarkan bahwa pembunuh tidak berhak waris atas harta peninggalan orang yang dibunuh. Yang dimaksud dengan membunuh adalah membunuh dengan sengaja yang mengandung unsur pidana, bukan karena membela diri dan sebagainya. c. Menjadi budak orang lain. Budak tidak berhak memiliki sesuatu. Oleh karenanya ia tidak berhak waris.144 Pasal 173 (b) KHI menambahkan bahwa memfitnah merupakan penghalang seseorang untuk dapat menjadi ahli waris. Ahli waris dalam Hukum Islam dapat digolongkan menjadi beberapa golongan ditinjau dari : a. Jenis kelaminnya, ahli waris dibagi menjadi dua golongan, yaitu ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan. b. Haknya atas harta warisan, ahli waris dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu : dzawil furudh’, ‘ashabah, dan dzawil arhaam.145 Dilihat berdasarkan golongan ahli waris yang diberikan haknya atas harta warisan, telah dibagi tiga golongan ahli waris seperti yang telah disebutkan diatas dengan bagian masing-masing. Ahli waris Dzawil furudh’ ialah ahli waris yang mempunyai bagian tertentu sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an atau Sunnah Rasul. Bagiannya ialah : 2/3, 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8. 146 144 Hasballah Thaib, Op.Cit, Hal. 27-28 Ibid, Hal. 29 146 Ibid, Hal. 31 145 Universitas Sumatera Utara 83 Yang mendapatkan 2/3 bagian adalah: 1. Dua anak kandung perempuan atau lebih, jika tidak terdapat bersama mereka saudara laki-laki yang menjadi ashabah. 2. Dua cucu atau lebih dari anak laki-laki, dengan ketentuan jika tidak adanya anak kandung dari mayit seperti anak laki-laki atau anak perempuan, tidak terdapat dua anak perempuan kandung, dan tidak terdapat bersama mereka seorang saudara laki-laki yang menjadi ashabah. 3. Dua saudara perempuan seayah seibu atau lebih, jika tidak ada anak lakilaki atau perempuan, atau ayah atau kakek, tidak adanya seorang saudara laki-laki yang menjadi ashabah, tidak ada anak perempuan atau anak-anak perempuan dari anak laki-laki. 4. Dua saudara perempuan seayah atau lebih, jika tidak adanya anak laki-laki atau ayah atau kakek, tidak adanya saudara laki-laki yang menjadi ashabah.147 Yang mendapatkan 1/2 bagian adalah : 1. Suami, jika tidak ada cabang pewaris lainnya seperti anak atau anak dari anak laki-laki. 2. Anak perempuan, jika tidak mempunyai nu’ashshib (ashabah) dan ia hanya seorang saja. 3. Anak perempuan dari anak laki-laki, jika tidak ada saudara laki-laki yang menjadi mu’ashshib (ashabah), ia hanya seorang saja, tidak ada putri atau putra kandung. 4. Saudara perempuan seayah seibu, jika tidak ada seorang saudara laki-laki yang menjadi ashabah, hanya ada seorang saja, mayit tidak mempunyai pokok atau cabang. 5. Saudara perempuan seayah, jika tidak terdapat seorang saudara laki-laki yang menjadi ashabah, hanya ada seorang saja, tidak terdapat pokok maupun cabang dari mayit, tidak terdapat saudara perempuan seayah seibu.148 Yang mendapatkan 1/3 bagian adalah: 1. Ibu jika mayit tidak punya anak maupun anak dari anak laki-laki, dan mayit tidak mempunyai dua orang saudara laki-laki maupun perempuan atau lebih. 147 Muchamad Ali Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam, Gema Insani Pers, Jakarta, 1995, Hal. 44-46 148 Ibid, Hal. 41 Universitas Sumatera Utara 84 2. Saudara laki-laki dan perempuan seibu jika tidak ada pokok dan cabang, dan jumlah mereka ada dua orang atau lebih baik mereka laki-laki ataupun perempuan.149 Yang mendapatkan 1/4 bagian adalah : 1. Suami jika istri mempunyai anak atau anak dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah. 2. Istri jika suami tidak mempunyai anak atau anak dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah.150 Yang mendapatkan 1/6 bagian adalah : 1. Ayah jika mayit mempunyai anak, baik laki-laki atau perempuan 2. Kakek yang sahih, jika mayit mempunyai anak atau anak dari anak lakilaki (cucu) dengan syarat tidak ada ayah 3. Ibu jika mayit mempunyai anak atau anak dari anak laki-lai, mayit mempunyai sejumlah saudara (dua orang atau lebih) laki-laki atau perempuan. 4. Anak perempuan dari anak laki-laki jika mayit mempunyai seorang anak perempuan saja. 5. Saudara perempuan seayah jika mayit mempunyai seorang saudara perempuan seibu 6. Saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu jika sendirian saja 7. Nenek yang sahih jika tidak terdapat ibu.151 Yang mendapatkan 1/8 bagian adalah: 1. Istri (atau beberapa istri) jika mayit mempunyai anak atau anak dari anak laki-laki baik anak itu dari istri tersebut atau lainnya.152 Ashabah adalah ahli waris yang bagiannya tidak disebutkan secara tegas dalam Al-Qur’an dan Hadist. Sehingga mereka adalah yang berhak atas semua 149 Ibid, Hal. 46-47 Hasballah Thaib, Op. Cit, Hal. 31 151 Ibid, Hal. 32 152 Muchamad Ali Ash-Shabuni, Op. Cit, Hal. 44 150 Universitas Sumatera Utara 85 peninggalan bila tidak didapatkan seorangpun diantara ashabul furudh.153 Ashabah dibagi atas : 1. Ashabah Nashabiyah Yaitu ashabah karena adanya hubungan nasab, artinya seseorang menjadi ashabah karena adanya hubungan darah dengan pewaris. Ashabah Nashabiyah ini terbagi atas : a. Ashabah bi nafsih : semua orang laki-laki yang nasabnya dengan si mayit tidak diselingi oleh perempuan. Ashabah bi nafsih ini terdiri atas empat golongan, yaitu Bunnuwah (keanakan), Ubuwwah (keayahan), Ukhuwwah (kesaudaraan), ‘Umumah (kepamanan). b. Ashabah bi ghairih: perempuan yang bagiannya separuh dalam keadaan sendirian, dan dua per tiga bila bersama dengan seorang saudara perempuannya atau lebih. Ashabah bi ghairuh ini terdiri atas : seorang anak perempuan atau anak-anak perempuan, seorang anak perempuan atau anak-anak perempuan dari anak laki-laki, seorang saudara perempuan atau saudara-saudara perempuan sekandung, seorang saudara perempuan atau saudara-saudara perempuan seayah. c. Ashabah ma’a ghairih : setiap perempuan yang memerlukan perempuan lain untuk menjadi ashabah. Ashabah ma’a ghairih ini terdiri atas saudara perempuan sekandung atau saudara-saudara perempuan sekandung bersama dengan anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki, dan saudara perempuan seayah atau saudara-saudara perempuan seayah bersama dengan anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki.154 2. Ashabah sababiyah Yaitu ashabah karena sebab, ia menjadi ashabah karena telah memerdekakan budak. Bila orang yang memerdekakan itu tidak ada, maka warisan itu dibagi ashabahnya yang laki-laki.155 153 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, P.T Al-Ma’rif, Bandung, Tahun 1979, Hal 259 Ibid, Hal. 260-261 155 Ibid, Hal.263 154 Universitas Sumatera Utara 86 Dzawil Arham mempunyai hak waris, tetapi adanya perbedaan dalam cara pembagian harta warisan kepada mereka. Ada dua mazhab yang dikemukakan mengenai hal ini, yaitu : 1. Mazhab Ahlirrahim : berpendapat bahwa dzawil arham yang ada baik yang dekat atau jauh hubungannya dengan mayit (pewaris) tanpa dibedakan yang laki-laki dan perempuan semuanya berhak atas warisan dan berbagi sama sebab mereka mempunyai hubungan kerabat dengan mayit (pewaris). Misalnya apabila ahli waris terdiri dari cucu perempuan (dari anak perempuan), kemenakan perempuan (anak saudara-saudara perempuan kandung/seayah), bibi (saudara ayah), bibi (saudara ibu), dan kemenakan lakilaki (anak saudara laki-laki seibu), semuanya berhak atas warisan dan berbagi sama rata. Mazhab ini sangat lemah dan tidak banyak penganutnya. 2. Mahzab Ahlittanzail : berpendapat bahwa dzawil arham harus diberikan kedudukan seperti ahli waris dzawil furudl atau ‘ashabah yang menurunkannya. Misalnya apabila ahli waris terdiri dari cucu perempuan (dari anak perempuan), kemenakan laki-laki kandung (anak saudara perempuan kandung), dan kemenakan perempuan seayah ( anak saudara laki-laki seayah) dipandang seakan-akan ahli waris terdiri dari anak perempuan, saudara perempuan kandung, dan saudara laki-laki seayah. Dengan demikian, cucu perempuan (dari anak perempuan) mendapat 1/2, kemenakan laki-laki kandung (anak saudara perempuan kandung) mendapat 1/2 sebagai waris ashabah ma’al ghairi, dan kemenakan perempuan seayah (anak saudara lakilaki seayah) tertutup.156 Sehingga setiap ahli waris baik laki-laki maupun perempuan mendapatkan hak dalam hal pewarisan. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 7, yang artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan” 156 Hasballah Thaib, Op. Cit, Hal. 63-64 Universitas Sumatera Utara 87 Besarnya bagian harta peninggalan sipewaris yang akan diberikan kepada ahli warisnya baik laki-laki maupun perempuan kemudian ditetapkan oleh Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 11, yang artinya : “Allah mensyaratkan bagimu (tentang pembagian pusaka) untuk anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan” Sehingga jelaslah dalam hal Pembagian warisan menurut adat Aceh mengikuti kepada apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT (Hukum Islam). yang kemudian menjadi pegangan masyarakat Aceh dalam hal pelaksanaan hukum adatnya, khususnya dalam hal pembagian waris. Masyarakat Minangkabau mengartikan ahli waris ialah orang yang berhak meneruskan peranan dalam pengurusan harta pusaka. Pengertian ini dilihat pada asas kolektif yang menjadi dasar yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau, dimana kepemilikan dan pengolahan harta tersebut hanya sebatas hak pakai, yang tidak dapat dimilki secara pribadi oleh ahli waris. Menurut adat Minangkabau, semua anggota kaum mempunyai hak didalam harta pusaka kaum. Maksudnya berhak disini, dalam arti menikmati atau memanfaatkan, dan bukan memiliki atau menjadikan hak milik pribadi anggota kaum, karena harta pusaka itu adalah hak bersama dalam kaum. Walaupun siapa saja yang memegang kekuasaan atas hak sako dan pusako tidak dapat berindak atau Universitas Sumatera Utara 88 berbuat terhadap hak itu atas nama pribadi, tetapi perbuatan dan tindakan itu harus sesuai dan selalu untuk kepentingan dan atas nama kaum yang mewarisi harta itu. 157 Maksud mewarisi disini ialah menggantikan dan meneruskan segala hak dan kepunyaan yang diperoleh, dikembangkan dan ditinggalkan oleh seseorang terdahulu yang mewarisi harta ini. Waris ialah keturunan orang yang patut menerima warisan, keturunan ini asli yaitu keturunan garis ibu. Menurut hukum adat asli, yang dapat dianggap melaksanakan adalah saudara laki-laki yang tertua dari ibu, dan biasanya menjadi mamak kepala waris dalam perut.158 Hubungan mamak kemenakan telah menjadi ciri khas dari hukum kewarisan adat Minangkabau. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa harta adalah milik kaum dan dipergunakan hanya untuk kepentingaan kaum. Lapisan kekerabatan yang terdekat adalah kerabat “bertali darah”. Hubungan antara pewaris dengan ahli waris disebabkan oleh kesamaan keturunan yang ditelusuri keatas melalui garis perempuan. Lapisan kedua adalah kerabat “bertali adat”, orang-orang yang antara satu dengan yang lainnya tidak diketahui bertalian darah, tapi secara adat keduanya mempunyai hubungan kerabat karena sukunya sama, hanya saja berbeda nagari. Lapisan selanjutnya adalah kerabat “bertali budi”, dimana hubungan antara keduanya tidak diikat oleh hubungan darah dan kesamaan suku, tapi karena berbuat jasa. Lapisan terakhir disebut kerabat “bertali emas”, hal ini terjadi 157 158 Amir Sjarifoedin Tj. A, Op. Cit, Hal. 147 Mukhtar Naim, Op. Cit, Hal. 154 Universitas Sumatera Utara 89 pada orang-orang yang tidak sedarah dan juga tidak sesuku, tetapi datang menyandar kepada suatu suku/kaum untuk ikut mengusahakan harta pusakanya. Adanya pelapisan kekerabatan tersebut, menimbulkan adanya kelompok keutamaan dalam hukum waris. Lapisan yang lebih atas lebih berhak atas warisan dibanding dengan lapisan yang lebih rendah. Selama masih ada yang lebih tinggi, maka yang dibawahnya tidak mempunyai hak atas warisan. Lapisan kerabat bertali darah juga dibagi atas penggolongan ahli waris yang mendapatkan warisan berdasarkan dari segi jaraknya dengan pewaris. Adapun pembagiannya ialah jarak setampok (selebar tapak tangan) yaitu ahli waris yang merupakan kemenakan kandung dari mamak yaitu anak-anak dari perempuan yang seibu dengan mamak. Jarak sejengkal ialah kemenakan “dunsanak ibu” yaitu anakanak dari perempuan yang ibu dari perempuan itu dengan ibu dari mamak adalah seibu. Jarak sehasta ialah kemenakan “dunsanak nenek” yaitu anak-anak dari perempuan yang nenek dari perempuan itu dengan nenek dari mamak adalah seibu. Jarak sedepa ialah kemenakan “dunsanak moyang” yaitu anak-anak dari seorang perempuan yang nenek dari perempuan itu dengan nenek dari mamak adalah senenek. Universitas Sumatera Utara 90 Perhatikan diagram berikut :159 NN IN.1 N.1 I.1 M IN.2 N.2 I.2 N.3 I.3 I.4 Sp.1 Sp.2 Sp.3 Sp.4 K.1 K.2 K.3 K.4 Keterangan : = Perempuan NN = Nenek dari Nenek IN = Ibu dari Nenek N = Nenek I = Ibu = Laki-laki M = Mamak Sp = Saudara Perempuan K = Kemenakan Hal inilah yang dikatakan asas keutamaan yang artinya penerimaan harta pusaka atau penerimaan peranan untuk mengurus harta pusako, ada tingkatantingkatan hak yang menyebabkan suatu pihak lebih berhak dibanding yang lainnya, dan selama yang lebih berhak itu masih ada, maka yang lain belum akan menerimanya.160 159 160 Amir Syarifuddin, (Buku I), Op. Cit, Hal. 237 Amir Sjarifoedin Tj. A, Op. Cit, Hal. 205 Universitas Sumatera Utara 91 Pada harta pusako tinggi, Besarnya bagian yang di dapat oleh ahli waris adalah seluruh harta pusaka yang ditinggalkan oleh pewaris sebelumnya, yang mana harta itu hanya berhak untuk di usahakan dan dikelola oleh ahli waris semasa ahli waris itu hidup, tanpa berhak memilikinya untuk diri sendiri/pribadi. Pada pusako randah besarnya bagian ditentukan sesuai dengan ketentuan yang di atur oleh AlQur’an.161 Tidak ditetapkan bagian atau dipecahnya harta pusako tinggi merupakan cara masyarakat Minangkabau untuk bersama-sama mengawasi dan menjaga harta kaum agar penggunaannya tidak disalahgunakan dan harta pusaka tetap utuh sebagaimana yang ditinggalkan oleh pewaris sebelumnya, yang mana hal ini diyakini dapat semakin menumbuhkan rasa kebersamaan dan kekeluargaan dalam sebuah kaum.162 C. Prosedur Pelaksanaan Pembagian Warisan Pada Masyarakat Minangkabau Di Tapaktuan Penerusan dan peralihan harta kekayaan dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia.163 Dalam hukum adat pada umumnya, proses pewarisan dapat berlangsung sebelum si pewaris meninggal, yaitu hibah dan wasiat. Berbeda lagi dengan halnya harta yang berpindah tangan dengan cara warisan. Disebut harta warisan jika perpindahan harta tersebut terjadi setelah pemilik harta 161 Wawancara Dengan Bapak Muhammad Ali, Masyarakat Minangkabau di Tapaktuan, Dan Juga Merupakan Seorang Datuk Dari Kemenakannya Yang Berada Di Minangkabau, tanggal 12Maret-2016 di Tapaktuan 162 Wawancara Dengan Ibu Musnar, Masyarakat Minangkabau di Tapaktuan, tanggal 20Maret-2016 di Tapaktuan 163 Anton Budiarto, Materi Hukum Waris Adat, Di Akses Tanggal 23-Maret-2016, Http://Antonbudiarto.Wordpress.Com/2010/10/22/Materi-Hukum-Waris-Adat Universitas Sumatera Utara 92 meninggal, dan cara membagi harta peninggalannya harus dilakukan menurut petunjuk-petunjuk yang ditentukan.164 1. Hibah Penghibahan adalah suau persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali. Hibah ini dilakukan sewaktu anak-anaknya sudah menikah dan dipisahkan dengan membuat rumah, memberi pekarangan untuk pertanian, dan lain-lain. Mengenai hibah menurut hukum adat waris yang berlaku di daerah Minangkabau, maka harta pencaharian seorang suami, tidak akan diwarisi oleh anak-anaknya sendiri, melainkan oleh saudara-saudaranya sekandung beserta keturunannya saudara-saudara sekandung. Ketentuan adat ini mungkin sekali kini, mengingat akan kenyataan adanya perkembangan-perkembangan yang sangat menguntungkan bagi hubungan kekeluargaan somah (suami, istri dan anak) di dalam masyarakat Minangkabau, sudah berubah. Dimana perubahan keadaan ini belum terjadi, maka dalam kenyataannya seorang suami yang mempunyai harta pencaharian yang lumayan, mengadakan koreksi sendiri terhadap hukum adat warisannya, yakni dengan jalan sebelum 164 J. Soenik Nurlaili, Prosedur Pembagian Harta Warisan, Di Akses Pada Tanggal 26-Maret2016, Http://Jsoeniknurlail.Blogspot.Co.Id/2013/11/Prosedurpembagian-Harta-Warisan.Html?M=1 Universitas Sumatera Utara 93 meninggal sudah menghibahkan barang-barang dari harta pencahariannya kepada anak-anaknya.165 2. Wasiat Wasiat adalah suatu pembuatan penetapan kehendak terakhir atau pesan terakhir oleh si pewaris tentang harta warisan sebelum ia meninggal dunia. Pesan terakhir berisi pembagian atau menentukan bagian-bagian tertentu dari hartanya untuk ahli waris. Proses pembagian harta benda dilakukan setelah si pewaris meninggal dunia, dan pada pembagiannya wajib dihadiri oleh para ahli waris dan keluarga kerabat terdekat.166 Menurut soepomo, wasiat mempunyai dua corak, yaitu sebagai berikut: a. Mereka yang memperoleh barang-barang harta itu adalah ahli waris, yaitu istri dan anak-anak. Oleh sebab itu, pewarisan atau hibah wasiat hanya merupakan pemindahan harta benda didalam ahli waris. b. Orang tua yang mewariskan itu, meskipun terikat oleh peraturan, bahwa segala anak harus mendapat bagian yang layak, demikian hingga tidak diperbolehkan meleyapkan hak waris suatu anak adalah bebas didalam menetapkan barang-barang manakah yang akan dibagikan kepada anak A dan barang mana yang akan dibagikan kepada anak B atau kepada istri.167 Selain itu, dengan hibah wasiat peninggal warisan menyatakan secara mengikat sifat-sifat barang-barang yang akan menjadi harta warisan, seperti : barang pusaka, barang yang disewa, barang yang dipegang dengan hak gadai dan lain sebagainya.168 Harta yang di dapat oleh seseorang yang terjadi setelah 165 Soerojo Wignjodipoero, Op.Cit, Hal. 172-174 Djamanat Samosir, Hukum Adat, Eksistensi Dalam Dinamika Perkembangan Hukum Indonesia, Bandung, CV Nuansa Aulia, 2013, Hal. 330-333 167 Soepomo, Op. Cit, Hal. 73 168 Ibid 166 Universitas Sumatera Utara 94 adanya peristiwa meninggal dunia, merupakan salah satu cara pemindahan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris. Menurut Dominikus Rato, ada beberapa cara pelaksanaan pembagian warisan, yaitu Harta warisan dibagi sama dengan pengertian bahwa setiap ahli waris memperoleh bagiannya masingmasing.169 Sebelum harta peninggalan menjadi hak ahli waris, lebih dahulu harus diperhatikan berbagai hak yang menyangkut harta peninggalan itu sebab pewaris pada waktu hidupnya mungkin mempunyai hutang yang belum terbayar, meninggalkan suatu pesan (wasiat) yang menyangkut harta peninggalan dan lain sebagainya. Hak yang berhubungan dengan harta peninggalan itu secara tertib adalah sebagai berikut : a. Penyelenggaraan jenazah Biaya penyelenggaraan jenazah sejak dimandikan sampai dimakamkan dapat di ambil dari harta peninggalan, dengan ketentuan tidak berlebih-lebihan dan dalam batas yang dibenarkan Islam. b. Hutang mayit (pewaris) Setelah diambil untuk biaya penyelenggaraan jenazah, harta peninggalan diambil lagi untuk melunasi hutang mayit (pewaris). Apabila jumlah hutang ternyata lebih besar dari pada jumlah harta peninggalan, pembayarannya dicukupkan dengan harta peninggalan yang ada. c. Hak orang yang menerima wasiat Wasiat mencerminkan keinginan terakhir seseorang menyangkut harta yang akan ditinggalkan keinginan terakhir mayit (pewaris) harus didahulukan dari pada hak ahli waris.170 169 170 Dhamanat Samosir, Op. Cit, Hal. 337 Hasballah Thaib, Op. Cit, Hal. 19 Universitas Sumatera Utara 95 Kewajiban terhadap pengurusan jenazah sudah pasti terdapat pada seluruh masyarakat adat, dan begitu juga yang telah di ajarkan oleh Hukum Islam. Terhadap masyarakat Minangkabau yang telah melakukan pewarisan dengan menggunakan adat waris Aceh, prosedur yang dapat dilakukan ialah sebagaimana yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan Hadist, hal ini disebabkan hukum adat Aceh sepenuhnya mengikuti ketentuan yang telah terdapat dalam Al-Qur’an, khususnya dalam hal kewarisan. Adapun prosedur pelaksanaannya ialah : a. Mengeluarkan hak-hak yang berkaitan dengan harta peninggalan. b. Memanggil Imum Mesjid atau Teungku Imum untuk melakukan pembagian warisan (ada juga yang membagi berdasarkan keluarga saja) c. Menentukan siapa saja ahli waris yang ditinggalkan d. Menentukan besarnya bagian masing-masing ahli waris. e. Melaksanakan pembagian warisan.171 Pada umumnya hukum adat tidak menentukan kapan waktu harta warisan itu akan dibagi atau kapan sebaiknya di adakan pembagian, begitu juga siapa yang menjadi pembagi warisan tidak ada ketentuannya. Disamping itu sepanjang pembagian warisan itu berjalan dengan baik, campur tangan dan kesaksian tua-tua adat atau pemuka adat tidak diperlukan. Mengenai waktu pelaksanaan pembagian warisan, sebaiknya jika memungkinkan pembagian harta warisan dilakukan secepatnya, agar para ahli waris dapat mempergunakan dan mengusahakan warisan yang diberikan kepadanya sesuai 171 Wawancara Dengan Bapak Indra, Imum Mesjid Tapaktuan, tanggal 28-Februari-2016 di Tapaktuan Universitas Sumatera Utara 96 dengan hak bagiannya, dan juga untuk mengantisipasi adanya sengketa dikemudian hari. 172 Adanya alasan tertentu yang dapat menyebabkan tertundanya pembagian warisan tersebut, juga tidak menjadi masalah, asalkan adanya alasan yang menguatkan penundaan pembagian warisan dan adanya kesepakatan serta persetujuan dari semua ahli waris. Sehingga semua ahli waris menyetujui penundaan pembagian warisan tersebut.173 Tahapan yang dilakukan dalam pembagian waris ini, sudah sesuai dengan apa yang ada dan di atur dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini dapat menghindari kesalahpamahan dan sengketa antar ahli waris yang bisa saja terjadi dikemudian hari. Yang mana ahli waris sudah tahu dan mengerti mengenai bagian-bagiannya masingmasing, karena sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an. Pembagian waris yang diserahkan kepada Imum Mesjid biasanya dilakukan karena masyarakat mempercayai bahwa Imum Mesjid sudah sangat mengetahui mengenai hal kewarisan ini, sehingga masyarakat adat tidak ingin adanya kesalahan dalam pembagian yang dapat menimbulkan masalah. Pembagian waris ini tidak selalu diserahkan kepada Imum Mesjid, ada juga masyarakat yang membagi warisannya secara musyawarah dengan anggota keluarga sendiri, dengan mana bagian yang digunakan juga mengikuti ketentuan yang berlaku. 172 173 Ibid Ibid Universitas Sumatera Utara 97 Bagi masyarakat Minangkabau perantauan yang masih membagi warisan pusako tinggi, pembagian dilakukan di Minangkabau dimana harta pusaka itu berada. Hal ini dilakukan sesuai dengan adat yang ada di Minangkabau. Universitas Sumatera Utara 98 BAB IV HAMBATAN YANG TERJADI DALAM PELAKSANAAN HUKUM WARIS ADAT MINANGKABAU DI TAPAKTUAN A. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Perkembangan Hukum Adat Membahas perkembangan hukum waris adat, sudah pasti memiliki dasar dalam hal terjadinya perkembangan. Adapun faktor yang mempengaruhi perkembangan yang terjadi dalam hukum kewarisan adat adalah: a. Faktor magi dan animisme Alam pikiran mystis-magis serta pandangan hidup animisme-magis sesungguhnya di alami oleh tiap bangsa di dunia ini. Di Indonesia, faktor magi dan animisme ini pengaruhnya ternyata begitu besar, sehingga tidak dapat hilang atau belum dapat hilang didesak oleh agama. Hal ini terlihat dalam wujud upacara-upacara adat yang bersumber pada kepercayaan dan kekuasaan-kekuasaan serta kekuatan-kekuatan gaib. b. Faktor Agama Hukum kewarisan adat yang dipengaruhi oleh faktor agama, dapat dilihat bahwa pengaruh terbesarnya nyata sekali terlihat dalam hukum perkawinan. c. Faktor kekuasaan yang lebih tinggi Kekuasaan yang lebih tinggi dari pada persekutuan hukum adat adalah kekuasaan-kekuasaan yang meliputi daerah-daerah yang lebih luas dari pada wilayah suatu persekutuan hukum, seperti misalnya kekuasaan Raja-Raja, Kepala Kuria, Nagari, dan lain sebagainya. d. Hubungan dengan orang-orang atau kekuasaan asing. Faktor ini sangat besar pengaruhnya. Bukankah justru faktor kekuasaan asing itulah yang menyebabkan hukum adat terdesak dari beberapa bidang kehidupan hukum. Hukum adat yang semulanya sudah meliputi segala bidang kehidupan hukum, oleh kekuasaan orang asing, yaitu penjajahan.174 Hal yang demikianlah yang merupakan faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum waris adat, dimana hukum adat masih meliputi kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang pernah terjadi dimasa lampau. 174 Soerojo Wignjodipoero, Op.Cit, Hal. 31-34 98 Universitas Sumatera Utara 99 B. Hambatan Yang Terjadi Dalam Pelaksanaan Hukum Waris Adat Minang Di Kecamatan Tapaktuan Dalam setiap hal yang dilakukan, pastinya harus melewati sebuah proses sehingga dapat mencapai sebuah hasil. Proses yang dilakukan dapat bermacammacam sesuai dengan hasil akhir yang di inginkan oleh masing-masing manusia, namun tidak semua proses dapat berjalan dengan baik atau lancar. Begitu juga dengan proses pelaksaan hukum waris, khususnya terhadap pelaksanaan hukum waris adat Minangkabau di daerah Tapaktuan, mengalami hambatan-hambatan yang menyebabkan adanya perkembangan dalam hukum waris adat yang digunakan. Adapun hambatan-hambatannya : 1. Pengaruh Keyakinan Beragama Agama adalah kepercayaan yang di anut oleh setiap orang yang didalamnya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan. Masyarakat pada kecamatan Tapaktuan yang mayoritas adalah beragama Islam, serta masyarakat Minangkabau yang berada di Tapaktuan adalah keseluruhan penduduknya beragama Islam, menyebabkan pengaruh dari budaya Islam sangat kuat dan mempercepat adanya perkembangan nilai-nilai dalam hal kewarisan, yang lebih menekankan adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Persamaan hak yang diberikan kepada anak laki-laki dan perempuan bukan terhadap besarnya bagian warisan, melainkan terhadap hak untuk mendapatkan warisan. besarnya bagian warisan yang diberikan kepada anak Universitas Sumatera Utara 100 laki-laki dianggap sudah tepat, karena anak laki-laki akan mengurus keperluan rumah tangga ibu dan saudara perempuannya dengan harta warisan yang di dapat, sedangkan anak perempuan harta warisan yang di dapat ialah untuk dirinya pribadi, jadi jika dilihat besar bagian yang di dapat akan menjadi sama antara anak laki-laki dan anak perempuan. Hal ini lah yang menjadi salah satu penyebab hukum waris adat Minangkabau tidak digunakan oleh masyarakat Minangkabau yang berada di Tapaktuan. Memahami hukum waris islam bagi masyarakat hukumnya adalah fardhu kifayah, sedangkan melaksanakan hukum waris Islam adalah hukumnya wajib bagi setiap orang yang beragama Islam. Namun pada kenyataannya masih terdapat masyarakat Minangkabau di kecamatan Tapaktuan yang belum menggunakan hukum waris secara fara’idh. Perkembangan hukum adat terjadi, salah satunya disebabkan adanya hukum atau peraturan-peraturan agama. Pada awal masuknya Islam ke Indonesia, nilai-nilai hukum agama Islam dihadapkan dengan nilai-nilai hukum adat yang berlaku, yang dipelihara dan ditaati sebagai sistem hukum yang mengatur masyarakat tersebut. Sebagai contoh, hukum kewarisan sudah ada dalam hukum adat sebelum Islam memperkenalkannya. Sehingga pada akhirnya, proses penerimaan hukum kewarisan Islam sebagai sistem hukum berjalan bersama dengan sistem hukum kewarisan adat. Di satu pihak hukum kewarisan Islam menggantikan posisi hukum kewarisan adat yang tidak Islamiyah dan di pihak lain hukum kewarisan adat yang tidak bertentangan Universitas Sumatera Utara 101 dengan hukum kewarisan Islam mengisi kekosongan hukum kewarisan sesuai budaya hukum yang berlaku d lingkungan adat masyarakat.175 Dan lambat laun, hukum kewarisan adat dalam hal tertentu digeser posisinya oleh hukum kewarisan Islam. Dengan demikian, hukum kewarisan Islam menjadi hukum kewarisan adat dan dalam lain hal yang tidak diatur oleh hukum kewarisan Islam atau tidak bertentangan dengan hukum kewarisan Islam, maka hukum kewarisan adat itu tetap berlaku. 2. Faktor Perkawinan Perkawinan adalah salah satu peristiwa penting yang terjadi didalam kehidupan masyarakat. Perkawinan bukan saja menyangkut mengenai mempelai wanita dan mempelai pria, namun menyangkut seluruh anggota keluarga dan kerabat. Hal ini lah yang dikatakan bahwa perkawinan merupakan peristiwa yang sangat berarti bagi kedua belah pihak keluarga. Menurut hukum adat, perkawinan bukan merupakan urusan pribadi dari orang yang malakukan perkawinan, tetapi juga menjadi urusan keluarga, suku, dan masyarakat. Perkawinan berarti pemisahan diri anak dari orang tuanya dan untuk selanjutnya meneruskan garis hidup orang tuanya. Bagi suku, perkawinan merupakan suatu usaha yang menyebabkan terus berlangsungnya suku itu dengan tertib.176 175 Zainuddin Ali, Op. Cit, Hal. 226 Minda, Hukum Perkawinan Adat, di akses pada tanggal 24-Maret-2016, pukul 20.03, http://mindafantastic.blogspot.co.id/2011/12/hukum-perkawinan-adat.html?m=1 176 Universitas Sumatera Utara 102 Sebagai masyarakat matrilineal, perkawinan di Minangkabau dilaksanakan secara eksogami, yaitu seseorang diharuskan kawin dengan anggota suku atau klan lain. Hal ini dimaksudkan untuk mempertahankan keturunan berdasarkan garis ibu. 177 Menetapnya masyarakat Minangkabau di kecamatan Tapaktuan menyebabkan terjadinya pencampuran kebudayaan dan pergaulan yang semakin luas di antara sesama masyarakat. Pergaulan yang terjadi di antara masyarakat tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa diantara kedua masyarakat adat tersebut dapat memiliki rasa kekaguman yang akan berlanjut ke jenjang perkawinan. Perkawinan yang dilakukan oleh kedua masyarakat ini dapat menyebabkan adanya perkembangan terhadap masing-masing hukum adat dari kedua belah pihak. Baik dari hal upacara perkawinan, sampai pada urusan kewarisan.178 Upacara adat perkawinan pada masyarakat Tapaktuan juga sudah mengambil atau menggunakan beberapa tatacara dalam upacara adat dari Minangkabau, sehingga terjadi pencampuran dari kedua belah pihak dalam hal mengenai perkawinan. Pada sistem kewarisan, masyarakat Minangkabau juga sudah banyak yang memilih mengikuti pola pembagian hukum waris adat yang digunakan oleh pasangannya yang merupakan 177 Amir Sjarifoedin Tj. A, Op. Cit, Hal. 137 Wawancara Dengan Ibu Ely, Masyarakat Minangkabau di Tapaktuan, tanggal 20-Maret2016 di Tapaktuan 178 Universitas Sumatera Utara 103 masyarakat Aceh. Sehingga pencampuran adat ini dapat terjadi akibat adanya perkawinan. 179 3. Tidak Adanya Sanksi Dalam Pelaksanaannya Sukanto menyatakan bahwa hukum adat sebagai kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, sehingga memiliki akibat hukum.180 Setiap perbuatan yang dilakukan berbeda dari ketentuan adat yang sudah mengaturnya merupakan suatu pelanggaran hukum. Setiap pelanggaran yang dilakukan, sudah pasti memiliki sanksi yang akan diberikan. Penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran hukum adat umumnya tidak dilakukan secara semena-mena, tetapi sudah disyaratkan dengan ketentuan sanksi yang diberikan sesuai dengan tingkat kesalahalan yang telah diperbuat. Dalam banyak hal, istilah sanksi untuk pelanggaran adat tidak lah sama dengan pengertian sanksi secara umumnya. Upaya pemulihan atas keseimbangan karena terjadinya pelanggaran hukum adat dapat saja dilakukan oleh seluruh perangkat desa secara gotong royong.181 Masyarakat Minangkabau yang sudah tinggal dan menetap di Tapaktuan dan sudah menggunakan hukum adat Aceh dalam kesehariannya, tidak di anggap sebagai sebuah pelanggaran, sehingga tidak adanya sanksi yang 179 Wawancara Dengan Bapak Atiak, Keuchik Pasar dan merupakan orang yang di tuakan oleh Masyarakat Minangkabau di Tapaktuan, tanggal 17-Maret-2016 di Tapaktuan 180 Soerojo Wignjodipoero, Op.Cit. Hal. 14 181 Pelaksanaan Sanksi Hukum Adat Dalam Perspektif HAM, Di Akses Pada Tanggal 24Maret-2016,Http://Fakultashukum-Universitaspanjisakti.Com/Informasi-Akademis/Artikel-Hukum/29Pelaksanaan-Sanksi-Hukum-Adat-Dalam-Perspektif-Ham.Html?Start=1 Universitas Sumatera Utara 104 diberikan bagi masyarakat Minang perantauan yang sudah meninggalkan hukum adatnya khususnya dalam hal kewarisan. Selain karena sudah seharusnya masyarakat Minang perantauan menggunakan hukum adat dimana tempat perantauannya, penyebab lain seperti jauhnya kampung halaman serta tidak adanya ketua adat Minangkabau di kecamatan Tapaktuan, juga menjadi penyebab tidak adanya pengawasan terhadap masyarakat Minang perantauan dalam hal pelaksanaan-pelaksanaan hukum adatnya.182 182 Wawancara dengan Bapak Orisinil. Masyarakat Minangkabau di Tapaktuan, tanggal 18Maret-2016 di Tapaktuan Universitas Sumatera Utara 105 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Dalam perkembangan pelaksanaan pembagian warisan pada masyarakat Minangkabau yang ada di kecamatan Tapaktuan, sebagian besar masyarakat Minang perantauan pada saat ini dalam pembagian warisannya telah menggunakan hukum adat Aceh. Yang mana ahli warisnya dapat ditarik dari kedua belah pihak yaitu melalui garis bapak dan ibu, sehingga kedudukan lakilaki dan perempuan tidak dibedakan dalam hal kewarisan. Meskipun sebagian besar masyarakat Minang perantauan telah menggunakan hukum adat Aceh, namun dari hasil penelitian menunjukkan bahwa masih adanya 13,3% masyarakat Minang perantauan atau sebanyak 4 keluarga yang masih menggunakan sistem kewarisan Minangkabau, namun hal itu merupakan angka yang sangat kecil. 2. Pelaksanaan hukum waris pada masyarakat Minang perantauan di kecamatan Tapaktuan, dilakukan sama dengan apa yang diberlakukan kepada masyarakat Aceh dan sudah tentu mengikuti Hukum Islam (fara’idh), tidak terdapat pembedaan didalam pelaksanaannya. Adapun prosedur pelaksanaannya sebagai berikut : a) Mengeluarkan hak-hak yang berkaitan dengan harta peninggalan. b) Memanggil Imum Mesjid atau Teungku Imum untuk melakukan pembagian warisan (ada juga yang membagi berdasarkan keluarga saja), c) menentukan siapa saja ahli waris yang ditinggalkan, d) menentukan besarnya bagian masing-masing ahli waris, e) melaksanakan pembagian warisan. Bagi masyarakat Minang 105 Universitas Sumatera Utara 106 perantauan yang masih menggunakan pembagian warisan secara pusako tinggi, pembagian dilaksanakan di Minangkabau sesuai dengan adat yang berlaku di Minangkabau. 3. Dari kenyataan yang terjadi, berkembangnya hukum waris adat Minangkabau ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yang mana hal tersebut merupakan hambatan yang menyebabkan tidak dapat berjalannya hukum waris adat Minangkabau di Kecamatan Tapaktuan, sehingga terjadinya perkembangan dalam pelaksanaan hukum waris adat Minangkabau yang digunakan. Adapun hambatannya ialah : a) Pengaruh keyakinan beragama, b) faktor perkawinan, c) tidak adanya sanksi dalam pelaksanaannya. B. Saran 1. Diharapkan kepada masyarakat adat Minangkabau yang sudah tinggal dan menetap di kecamatan Tapaktuan dan masih menggunakan hukum adat Minangkabau dalam pembagian warisannya, ada baiknya menggunakan hukum adat Aceh dalam pembagian warisannya, bukan dalam hal ini hukum kewarisan Minangkabau tidak tepat, melainkan mengacu pada pepatah adat yang menyatakan Dimana bumi dipijak, disitu langik di junjung, yang bermakna menghargai kultur dan budaya setempat tanpa harus kehilangan kultur budaya sendiri. Sehingga adat yang ada di tempat tinggal (perantauan) lah yang menjadi dasar dalam hal pembagian warisan, sehingga terhadap harta pusaka yang ada di daerah asal Minangkabau, dapat diberikan kepada ahli waris lain yang tinggal Universitas Sumatera Utara 107 dan menetap di Minangkabau, hal ini akan berdampak pada pengawasan dan pengeloaannya, yang akan dilaksanakan dan dilihat langsung oleh ahli waris yang ada di Minangkabau. 2. Adanya penyampaian mengenai pembagian warisan berdasarkan hukum fara’idh secara lebih terperinci, mengingat Pembagian waris secara adat Aceh yang sangat didasarkan pada Hukum Islam. Sehingga diharapkan seluruh masyarakat adat, baik masyarakat adat Aceh maupun adat Minangkabau dapat lebih mengerti dan memahami secara pasti besarnya bagian yang dapat diperoleh dari harta warisan untuk masing-masing ahli waris yang ditinggalkan serta lebih mengetahui prosedur pelaksanaan dalam hal pembagian warisan. Dan hendaknya dapat diterapkan secara baik oleh seluruh masyarakat, sehingga diharapkan tidak terjadinya sengketa dikemudian hari. 3. Hambatan yang terdapat dalam pelaksanaan hukum kewarisan Minangkabau diperantauan yang menyebabkan terjadinya perkembangan terhadap hukum kewarisan yang digunakan di anggap adalah sebuah hal yang wajar, mengingat hukum adat memiliki sifat yang dinamis, yang dapat berubah-ubah. Sehingga diharapkan kepada masyarakat Minangkabau yang ada di Kecamatan Tapaktuan tidak menjadikan hambatan tersebut sebagai hal yang kurang baik. Melainkan menjadikannya sebuah pembelajaran akan beranekaragamnya kebudayaan dan suku yang ada di Indonesia. Digunakannya hukum adat Aceh dalam hal pembagian warisan pada masyarakat Minangkabau, merupakan suatu pilihan masyarakat Minangkabau yang sudah memahami bahwa harta pusako tinggi Universitas Sumatera Utara 108 tersebut tidak dapat dikelola oleh ahli waris yang berada diperantauan, dan didorong oleh rasa kekeluargaan yang sudah tercipta sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Begitu juga dalam hal yang lainnya, banyak hal yang juga diterapkan oleh masyarakat adat Aceh yang di ambil dan di terapkan yang berasal dari adat Minangkabau, misalnya tatacara upacara perkawinan. Universitas Sumatera Utara