BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai makhluk sosial

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai makhluk sosial manusia memerlukan orang lain dan
membutuhkan kelompok atau masyarakat untuk saling berinteraksi. Hal
ini merupakan suatu hakekat bahwa sebagian besar pribadi manusia terbentuk
dari hasil interaksi sosial dengan sesama dalam kelompok dan masyarakat.
Untuk dapat berinteraksi seseorang harus melakukan komunikasi dengan
orang lain. Komunikasi adalah suatu proses pengiriman berita kepada orang
lain. Dengan terjalinnya komunikasi, seseorang dapat membina suatu
hubungan dengan seseorang yang lain. Namun, untuk dapat membina suatu
hubungan dengan baik, proses komunikasi harus memiliki umpan balik dari
orang yang menerima informasi (Sarwono, 2009).
Proses komunikasi yang melibatkan adanya umpan balik dari orang
lain secara langsung, baik secara verbal dan nonverbal disebut dengan
komunikasi interpersonal (Mulyana, 2005). Komunikasi interpersonal akan
berjalan dengan baik jika seseorang yang menerima informasi dapat mengerti
benar apa yang dimaksudkan oleh pengirim informasi. Jika tidak, maka akan
terjadi miscomunication serta kegagalan dalam membina suatu hubungan
dengan orang lain. Komunikasi sangat menjadi penentu saat membina suatu
hubungan karena komunikasi menjadi acuan seseorang untuk berinteraksi
dengan orang lain (Sarwono, 2009).
Dalam berkomunikasi, terdapat peranan penting yang memberikan
pengaruh terhadap anak sebelum mengenal dunia sosial, yaitu keluarga.
Keluarga memiliki peranan penting dalam komunikasi karena keluarga yang
menciptakan prosedur komunikasi anak. Dalam keluarga juga, anak untuk
pertama kalinya mengenal tentang bagaimana cara berkomunikasi, yang
nantinya prosedur-prosedur tersebut kemudian diterapkan dalam membina
suatu hubungan dengan orang lain. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa
keluarga merupakan penghubung seseorang dengan dunia sosial yang lebih
besar nantinya. Berdasarkan asumsi-asumsi diatas kemudian Arnold (2008)
menyimpulkan bahwa keluarga merupakan penghasil komunikasi dan
komunikasi dihasilkan dari keluarga.
Prosedur komunikasi yang diajarkan oleh keluarga bukan hanya
berpengaruh ketika seseorang masih anak-anak, tetapi juga hingga remaja.
Asumsi ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Samter, 2003
(dalam Arnold, 2008) yang menyatakan bahwa komunikasi interpersonal yang
dilakukan
oleh
keluarga
(khususnya
orangtua)
dapat
memengaruhi
perkembangan remaja dalam membina suatu hubungan nantinya.
Komunikasi interpesonal yang tidak efektif dalam keluarga
mengakibatkan konflik dalam suatu keluarga. Hal ini dikarenakan adanya
persepsi yang berbeda pada saat berinteraksi dengan lawan bicara, yang
mengakibatkan masing-masing pihak memiliki pandangan yang berbeda
sehingga menghasilkan respon yang berbeda pula (Sinclair & Monk, 2004
dalam Arnold, 2008). Menurut Sillars, Canary & Tafoya, 2004 (dalam Arnold,
2008) mengatakan bahwa konflik dapat terjadi pada hubungan manapun
dengan intensitas dan jangka waktu yang bervariasi pula. Konflik juga
memiliki dampak yang bervariasi pada partisipannya serta anggota-anggota
lain yang terlibat dalam hubungan tersebut. Dalam hal ini, tidak ada
pengecualian khusus bagi hubungan dalam keluarga.
Sikap orangtua dalam mengasuh anak-anaknya sering kali
memunculkan pemberontakan pada remaja yang disebabkan karena sosioemosional pada masa remaja tidaklah stabil. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Sartaj, B., & Aslam, N. (2010) menunjukkan bahwa orangtua di Asia
pada umumnya menerapkan pola asuh otoriter yang dimana pola asuh otoriter
mengakibatkan munculnya persepsi yang negatif. Dalam penelitiannya, Sartaj,
B., & Aslam, N. (2010) menambahkan bahwa remaja yang orangtuanya
menerapkan pola otoriter memiliki hubungan negatif dengan rumah, kesehatan
dan penyesuaian emosional.
Berdasarkan hasil penelitian Rutger (2006) menunjukkan bahwa
pada tahap remaja awal mereka cenderung berbohong kepada orangtuanya
yang disebabkan karena adanya kontrol dari orangtua. Akibatnya remaja awal
cenderung berbohong memiliki permasalahan dalam perilaku terutama emosi
remaja awal.
Menurut Santrock (2008), remaja awal cenderung dengan mudah
merasa dirinya sangatlah malang dan disisi lain merasa dirinya yang paling
bahagia. Kecenderungan inilah yang membuat para remaja sering mengalami
konflik dalam kehidupannya termasuk dalam keluarga. Menurut Arnold
(2008), terdapat beberapa faktor yang dapat memunculkan konflik khususnya
dalam keluarga, salah satunya adalah pola asuh orangtua. Dalam penelitian
Wilson & Morgan (2004), mengungkapkan hal yang sama, bahwa variasi
dalam pola asuh orangtua dapat menyebabkan dampak yang berbeda pada
anak dan pada hubungan orangtua-anak (dalam Arnold, 2008). Pada penelitian
lain yang dilakukan oleh Sorkhabi (2010) juga menunjukan bahwa pola asuh
orangtua dapat memicu munculnya konflik khususnya dalam keluarga.
Pola asuh merupakan sikap orangtua dalam berinteraksi dengan
anak-anaknya. Sikap orangtua ini meliputi cara orangtua memberikan aturanaturan, hadiah maupun hukuman, cara orangtua menunjukkan otoritasnya, dan
cara orangtua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya. Pola
asuh dibagi menjadi 4 bagian yakni, otoriter, demokratis, permesif dan
neglectful. Yang masing-masing menggambarkan bagaimana orangtua dalam
mengasuh putra-putri mereka (dalam Santrock, 2007).
Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa pola asuh otoriter
akan menyebabkan perilaku agresif meningkat. Dalam penelitian Fortuna
(2008), menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh otoriter
dengan perilaku agresif pada remaja. Hal ini disebabkan karena pemaksaan
dan kontrol yang mengekang menyebabkan anak gagal untuk berinsiatif dan
memiliki komunikasi yang rendah. Dalam penelitiannya, Marini & Andriani
(2005) juga mengemukakan hal sama seperti yang dikemukakan dalam
penelitian Fortuna (2008).
Keluarga merupakan sistem sosialisasi bagi anak, dimana ia
mengalami pola disiplin dan tingkah laku afektif. Walaupun seorang anak
telah mencapai masa remaja dimana keluarga tidak lagi merupakan pengaruh
tunggal bagi perkembangan mereka, keluarga tetap merupakan dukungan yang
sangat diperlukan bagi perkembangan kepribadian remaja tersebut. Dengan
demikian peran orangtua sangat dibutuhkan, terutama karena bertanggung
jawab menciptakan sistem sosialisasi yang baik dan sehat bagi perkembangan
moral remaja. Remaja sedang tumbuh dan berkembang, karena itu mereka
memerlukan kehadiran orang dewasa yang mampu memahami dan
memperlakukannya secara bijaksana (Santrock, 2008).
Berdasarkan fenomena-fenomena yang terjadi diatas dapat
disimpulkan bahwa komunikasi interpersonal yang tidak efektif dapat
memunculkan konflik dalam keluarga. Konflik dalam keluarga juga
disebabkan karena pola asuh orangtua. Hal tersebut diperkuat dalam penelitian
Wilson & Morgan (2004) yang menunjukkan akibat dari pola asuh orangtua
disebabkan karena konflik. Dari pemikiran ini, kemudian penulis tertarik ingin
melihat hubungan antara persepsi remaja awal tentang pola asuh otoriter
orangtua dengan komunikasi dalam keluarga.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara persepsi remaja awal tentang pola
asuh otoriter orangtua dengan komunikasi interpersonal dalam keluarga?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui apakah ada hubungan persepsi remaja awal
tentang pola asuh otoriter orangtua dengan komunikasi interpersonal dalam
keluarga.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat praktis :
•
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan
informasi
komunikasi
tentang
hubungan
interpersonal
pola
antar
asuh
keluarga,
orangtua
sehingga
dengan
dapat
membangun komunikasi interpersonal yang efektif dalam keluarga.
•
Orangtua dapat menimalisir penerapan pola asuh otoriter demi
membangun komunikasi interpersonal dalam keluarga.
Manfaat teoritis :
Dapat memperkarya ilmu pengetahuan khususnya dalam ranah
bidang ilmu psikologi pendidikan dan perkembangan.
Download