1 I. PENDAHULUAN Latar Belakang Selain gandum, padi (Oryza sativa) adalah tanaman komersial yang sangat penting karena lebih dari 40% kebutuhan pangan dunia ditopang oleh tanaman tersebut (Makino, 2011). Sebagian besar warga negara Indonesia mengkonsumsi padi sebagai makanan pokoknya dan Indonesia adalah konsumen beras terbesar di Asia. Proyeksi konsumsi beras pada tahun 2010 sebesar 49.3 juta ton (Hariadi, 2011). Tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia yang besar tidak diimbangi oleh produksi yang cukup. Oleh karena itu, hampir setiap tahun Indonesia mengalami defisit stok beras sehingga terpaksa melakukan impor (Muttaqin dan Martianto, 2009). Perubahan iklim adalah suatu kondisi yang ditandai dengan perubahan pola iklim dunia yang menimbulkan fenomena cuaca yang lebih berfluktuasi. Variabel iklim yang sering menjadi indikasi perubahan iklim adalah curah hujan dan suhu udara (Susandi et al., 2008). IPCC (2007) menyebutkan bahwa peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer pada tahun 1970 hingga tahun 2005 menyebabkan kenaikan suhu udara pada tahun 2100 sebesar 1.80C hingga 2.90C. Perubahan iklim dapat memengaruhi sektor-sektor kehidupan di bumi, termasuk sektor pertanian. Hasil penelitian beberapa ahli terkait dampak perubahan iklim pada sektor pertanian adalah penurunan produksi tanaman terutama tanaman pangan. Penurunan produksi akibat perubahan iklim ini disebabkan oleh penurunan produktivitas tanaman dan luas panen (Perdinan, et al., 2008; Surmaini et al., 2011). Dalam hal ini suhu udara akan memengaruhi fase perkembangan tanaman sehingga memengaruhi umur tanaman. Akibatnya, biomassa serta hasil panen menjadi berkurang (Matthews dan Wassman, 2003). Sistem produksi padi nasional dinilai rentan terhadap kemungkinan perubahan iklim. Pada beberapa daerah di Indonesia telah dilakukan simulasi yang memprediksi produksi padi akan mengalami penurunan sekitar 20-30 persen pada tahun 2030 (Amien et al., 1996). 1.1 1.2 Tujuan Memprediksi respon produksi padi pada sawah irigasi dan tadah hujan di Indonesia terhadap kenaikan suhu udara. II. TINJAUAN PUSTAKA Sawah irigasi dan Tadah Hujan Ritung dan Hidayat (2007) menjelaskan bahwa sawah dibagi menjadi beberapa jenis yaitu sawah irigasi, sawah tadah hujan dan sawah pasang surut. Kemudian, sawah irigasi dibagi menjadi tiga jenis yaitu sawah irigasi teknis, sawah irigasi teknis sederhana, dan sawah irigasi sederhana. Wihardjaka dan Abdurachman (2007) mendefinisikan sawah tadah hujan adalah lahan sawah yang memiliki sumber pengairan berasal dari curah hujan yang memiliki ketersedian tidak menentu. Sawah tadah hujan tersebut memiliki produktivitas yang lebih rendah dari sawah irigasi. Hal ini disebabkan ketersediaan air yang tak menentu dan tingkat ketersedian hara yang rendah. Sedangkan pada sawah irigasi yang memiliki irigasi tetap akan memiliki produktivitas tinggi karena pengaruh ketersediaan air yang selalu cukup. Defisit air adalah perbandingan kehilangan air aktual dengan kehilangan air potensial. Defisit air ini dapat memengaruhi produktivitas tanaman. (Prasertsak dan Fukai, 1997). Defisit air setelah fase antesis dapat menurunkan jumlah dan berat biji terutama pada lahan kering yag mengandalkan air hujan sebagai pengairan (Wu et al., 2011). 2.1 2.2 Kenaikan Suhu dan Dampaknya di Sektor Pertanian Salinger et al. (2000) mendefinisikan perubahan iklim sebagai fenomena variabel iklim yang berubah dalam jangka waktu yang panjang. Perubahan iklim tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti perubahan emisi baik alami atau karena manusia dan perubahan tutupan permukaan. Dijelaskan pula bahwa isu utama perubahan iklim adalah kenaikan suhu dan curah hujan ekstrim. Hal tersebut dibuktikan oleh Susandi (2004) yang menjelaskan bahwa pengamatan suhu secara global dari tahun 1906 sampai 2005 menunjukkan kenaikan rata-rata suhu permukaan sampai 0.740C. Suhu rata-rata tersebut secara global diproyeksikan akan terus meningkat sekitar 1.8-4.00C. (Susandi et al., 2008) IPPC (2000) telah menyusun beberapa skenario terkait perubahan iklim yang disebut Special Report on Emission