BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA

advertisement
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
A. TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian yang terkait dengan resiliensi sudah banyak di lakukan
oleh peneliti terdahulu diantaranya oleh Dipayanti, dan Chairani yang
berjudul Locus of Control dan resiliensi pada remaja yang orangtuanya
bercerai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara locus
of control dengan resilensi pada remaja yang orangtuanya bercerai. Ada 60
remaja yang dijadikan sebagai subjek penelitian, hasil dari penelitian ini
adalah terdapat hubungan antara locus of control dengan resiliensi pada
remaja yang orangtuanya bercerai9.
Malindi dan Theron yang berjudul The Hidden Resilience of Street
Youth. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (semi-terstruktur
dan fokus pada wawancara), mengeksplorasi ketahanan (resiliensi) yang
tersembunyi dari 20 pemuda jalanan di Free State dan Gauteng. Tujuannya
untuk menggambarkan anak jalanan yang memiliki pribadi yang tangguh,
tingkat religiusitas mereka, dan bagaimana mereka mengatasi tantangan
9
Stefani Dipayanti dan Lisya Chairani. “Locus of control dan Resiliensi pada Remaja
yang Orangtuanya Bercerai”. Jurnal Psikologi ( Riau: Fakultas Psikologi UIN Sutan Syarif Kasim
Riau, 2012), Volume 8 Nomor 1
8
dan permasalahan yang mereka alami dijalanan dan meningkatkan
ketahanan mereka10.
Penelitian terkait juga dilakukan oleh Lukman dan Sujarwo yang
berjudul Kehidupan Anak Jalanan di Rumah Singga Anak Mandiri
Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kehidupan
anak jalanan di Rumah Singgah Anak Mandiri Yogyakarta.
Hasil
penelitian menunjukan bahwa kehidupan anak jalanan di Rumah Singgah
Anak Mandiri Yogyakarta di lakukan dengan tiga bentuk 1) karakteristik
kehidupan Anak jalanan pada umumnya tidak berbeda dengan anak-anak
pada umumnya, mandi, cuci, kakus serta makan, hanya yang membedakan
antara anak jalanan dan anak normal adalah karakter fisik dan psikis, 2)
style yang diterapkan anak jalanan dalam kehidupan sehari-hari
berpenampilan lusuh dan rambut kemerahan, sedangkan gaya hidup yang
diterapkan antara lain: merokok, mewarnai rambut, mabuk-mabukan
namun setelah masuk rumah singgah kebiasan itu telah ditinggalkan oleh
anak, 3) interaksi dalam pendidikan anak jalanan, bentuk interaksi dalam
pendidikan yang di berikan anak jalanan oleh pihak rumah singgah antara
lain: a) program pelatihan berupa program life skill, b) program
pendampingan memberikan pengajaran atau pendampingan belajar kepada
10
Macalane J. Malindi dan Linda C. Theron. “The Hidden Resilience of Street Youth”.
South African Journal of Psychology. School of Education Sciences, (North-West University
(Vaal Triangle Campus), Vanderbijlpark, South Africa, 2010), vol. 40 no. 3 318-326
9
anak jalanan, c) program PKSA adalah serangkaian layanan khusus berupa
layanan pemenuhan kebutuhan dasar11.
Selain itu penelitian juga dilakukan oleh Marliyanti yang berjudul
resiliensi anak jalanan yang bersekolah. Tujuan dari penelitiannya adalah
untuk mengungkapkan faktor-faktor apa sajakah resiliensi pada anak
jalanan yang bersekolah.penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Hasil penelitian yang diperoleh ada faktor internal dan ekternal dimana
faktor internal terdiri dari empati dan peduli kepada orang lain, regulasi
diri yang baik untuk mengarahkan prestasi, mandiri, memiliki hubungan
yang positif dengan orang lain, percaya diri, kemampuan berkomunikasi,
kemampuan kognitif, memiliki harapan dan motivasi dalam hidup, serta
kemampuan beradaptasi. Sedangakan faktor ekternal pembentuk resiliensi
subjek yaitu adanya dorongan berprestasi dari orang tua, kasih sayang dan
hubungan yang akrab dengan keluarga, dukungan pihak lain seperti
sekolah ataupun orang yang peduli pada anak jalanan, serta adanya
dorongan untuk mandiri karena keadaan keluarga12.
Hal serupapun dilakukan oleh Lastiana
dengan judul Study
deskriptif mengenai resiliensi anak-anak jalanan di rumah singgah X
Bandung. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan tehnik
11
Lukman dan Sujarwo. Kehidupan Anak Jalanan di Rumah Singga Anak Mandiri
Yogyakarta. (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, 2012) Nomor
02.
12
Marliyanti (04810004). Resiliensi
(yogya...2009
Anak Jalanan yang Bersekolah. Skripsi
10
survey populasi sampel. Peneliti menggunakan kuosioner
untuk
memperoleh data13.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Dipayanti dan Chairani,
Malindi
dan Theron, Lukman dan Sujawo,
Marliyanti dan Lastiana. Penelitian ini fokus pada Resiliensi Anak Jalanan
di Rumah Singgah Anak Mandiri Yogyakarta.
B. KERANGKA TEORI
1. Rumah Singgah
a. Pengertian
Rumah singgah atau Halfway house adalah sebuah perumahan
yang memfasilitasi masyarakat (CRF) yang berfungsi sebagai tempat
untuk melatih dan memberdayakan sebelum kembali dalam kehidupan
masyarakat luas. Dinegara-negara maju para narapidana yang akan
segera dibebaskan akan ditugaskan atau di berdayakan dirumah
singgah sehingga sebelum mereka kembali ke masyarakat mereka telah
mendapat berbagai macam ketrampilan14.
Halfway house atau rumah singgah adalah tempat tinggal yang
terletak disuatu komunitas yang sering disebut sebagai "komunitas
pusat koreksi "(Community Corrections Centers), akan tetapi beberapa
tahun yang lalu Bureau of Prisons (BOP) mengubah namanya
komunitas tersebut dengan nama "residential reentry centers"
13
Terisa Lestiana. Study Deskriptif Mengenai Resiliensi Anak-anak Jalanan di Rumah
Singgah “X “Bandung. Skripsi (Bandung 2008.
14
John Howard. FACT SHEET:Just What Are “Halfway Houses”? (1of 2). The John
Howard how ard society of alberta. hal. 1. Diakses pada 07 September 2016.
11
(RRCs15). Departemen Sosial RI rumah singgah adalah suatu wahana
yang dipersiapkan sebagai perantara anak jalanan dengan pihak-pihak
yang akan membantu mereka16.
Salah satu cara penanggulangan anak jalanan adalah dengan
pembentukan rumah singgah. Secara umum rumah singgah memiliki
tujuan untuk membantu anak jalanan mengatasi permasalahanpermasalahan dan untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Rumah singgah
bertujuan untuk tempat istirahat dan sebagai tempat bertukar informasi
bagi anak jalanan, dibangun atau dialokasikan rumah singgah ini
bertujuan sebagai pusat kegiatan dan untuk menambah pengetahuan
dirinya di bidang sosial, ekonomi dan pendidikan serta mengasah
keterampilan anak17.
Departemen Sosial menjelaskan tentang
fungsi dan peran
rumah singgah bagi program pemberdayaan anak jalanan di antaranya:
1) Sebagai tempat pertemuan pekerja sosial dan anak jalanan
2) Pusat diagnosa dan rujukan yang berkaitan dengan keutuhan
dan permasalahan anak jalanan yang dihadapi.
3) Fasilitator atau menjadi perantara antara anak jalanan dengan
keluarganya, lembaga dan lainnya.
15
Families Against Mandatory Minimunm (Washington D.C., 2005), hal. 1
www.famm.org
16
Standar Pelayanan Sosial Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah, (Jakarta: Direktorat
Bina Pelayanan Sosial Anak. Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Departemen
Sosial RI, 2002). Hal 6.
17
Ibid., hal. 4
12
4) Perlindungan bagi anak jalanan dari kekerasan, pelecehan
seksual, penyalahgunaan oabat-obatan terlarang, ekonomi dan
lainnya.
5) Pusat informasi tentang anak jalanan, baik data keluarga,
pendidikan dan ketrampilan.
6) Kuarif dan rehabilitative adalah mengatasi permasalahan anak
jalanan dan menanamkan fungsi sosial pada anak.
7) Akses terhadap layanan
8) Resosialisasi atau mengenalkan kembali norma-norma sosial
dan kehidupan kepada anak jalanan.18
b. Tujuan Rumah Singgah
Tujuan umum Rumah Singgah adalah untuk membantu anak
jalanan mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif
untuk
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sedangkan tujuan khusus
adalah:
1) Membentuk kembali sikap dan perilaku yang sesuai dengan
nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
2) Mengupayakan
anak-anak
kembali
ke
rumah
jika
memungkinkan atau kepanti dan lembaga lainnya jika di
perlukan
18
Francisca Retno Wulandari. Skripsi Rumah Singgah Anak Jalanan Di Yogyakarta.
(Yogyakarta: Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya) hal 6-7
13
3) Memberikan
berbagai
pemenuhan kebutuhan
alternatif
anak
dan
pelayanan
untuk
menyiapkan masa
depannya sehingga menjadi warga masyarakat yang
produktif19.
Pemberdayaan anak jalanan yang melalui rumah singgah dilakukan
dengan beberapa program yaitu, Center based program atau penyediaan
tempat tinggal untuk jalanan yang bersifat tidak permanen. Street based
interventions ialah melakukan pendekatan dengan anak jalanan ditempat
mereka berada. Community based strategy yaitu cara yang digunakan
untuk memperhatian atau mengamati anak jalanan dari segi keluarga
maupun lingkungan20.
Selain program tersebut rumah singgah juga dapat bermanfaat
sebagai wadah dalam memperbaiki perekonomian keluarga dengan cara:
1) Melakukan pembinaan anak jalanan dan keluarga berupa
pelatihan ketrampilan yang dapat digunakan ketika didunia
kerja.
2) Membuat kelompok usaha sebagai cara mempromosikan atau
menjual hasil yang telah dipelajari dari ketrampilan yang
diajarkan. Memberikan pinjaman modal untuk melanjutkan
19
Ruben Betarushi Leksono. Skripsi Rumah Singgah Anak Jalanan Di Yogyakarta.
(Yogyakarta: Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2014), hal 27. Diakses pada 8
september 2016
20
Ibid., hal 7
14
usahanya. Pemberian modal diberikan dalam bentuk barang
sehingga mereka dapat menghasilkan sebuah produk
3) Pihak instanti, masyarakat dan Dinas sosial sebaiknya ikut
mengawasi kinerja meraka dan ikut memasarkan produk yang
dihasilakn oleh anak jalanan dan keluarganya21.
c. Tahapan Pelayanan
Sebelum memberikan pelayanan dan pembinaan anak
jalanan harus melalui beberapa tahap yang telah ditentukan oleh
pemerintah sebagai berikut:
1) Tahap Penjangkauan
Tahap penjangkuan merupakan tahap dimana para pekerja
sosial rumah singgah akan terjun kejalanan secara langsung untuk
menjangkau anak jalanan. Hal tersebut juga dilakukan agar dapat
langsung berinteraksi dan meciptakan keakraban dengan para anak
jalanan. Dalam melakukan penjangkuan rumah singgah akan
melakukannya sebanyak dua kali dalam seminggu.
2) Tahap Identifikasi
Tahap identifikasi dapat diartikan juga sebagai tahap
mencari permasalahan yang sedang dihadapi oleh sang anak.
Selain itu juga petugas rumah singgah akan melakukan penggalian
informasi terkait riwayat hidup dan keluarganya. Setelah
21
Francisca Retno Wulandari. Skripsi Rumah Singgah Anak Jalanan Di Yogyakarta.
(Yogyakarta: Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya), hal. 7
15
memperoleh informasi tersebut anak jalanan dimotivasi untuk ikut
tinggal dirumah singgah.
3) Tahap Resosialisasi
Tahap Resosialisasi meruapakan tahap kegiatan yang akan
diberikan oleh petugas rumah singgah kepada anak untuk
mengubah sikap dan perilaku agar sesuai dengan norma dan aturan
yang ada dimasyarakat. Untuk menarik minat anak-anak maka
bentuk kegiatan yang diadakan harus menarik seperti bimbingan
motivasi, bimbingan sikap mental dan spiritual.
4) Tahap Pemberdayaan
Tahap pemberdayaan dilakukan untuk melatih ketrampilan,
minat dan bakat yang dimiliki olah sang anak. Harapannya dengan
dibekali dengan ketrampilan tersebut anak dapat menggunakannya
untuk mencari nafkan tanpa harus kembali kejalanan lagi.
5) Tahap Terminasi
Tahap
terminasi
atau
tahap
akhir
dalam
proses
pendampingan dan bimbingan kepada anak. Terminasi juga berarti
menghentikan kegiatan proses pelayanan kepada anak. Selanjutnya
anak akan dirujuk kelembaga lain yang menyediakan jenis
pelayanan yang dibutuhkan oleh sang anak. Tahap pengakhiran ini
dilakukan jika anak binaan telah mencapai hal-hal sebagai berikut:
16
a) Anak telah aktif dalam bekerja dan telah menjadi lebih
produktif.
b) Anak kembali kepada orang tuanya.
c) Dirujuk ke Panti Sosial/asuhan atau lembaga pengganti.
d) Anak dapat kembali kesekolah.
e) Adanya peningkatan pendapatan dan hidup dari anak dan
keluarga telah sejahtera22.
2. Resiliensi
a. Pengertian
Menurut John Echol dan Hasan Shadili resiliensi berasal
dari bahasa inggris yaitu resilience yang berarti daya pegas, daya
kenyal, atau kegembiraan. Istilah resiliensi pertama kali di
cetuskan oleh Block dalam klohnen dengan nama ego-resillience
yang berarti kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes
saat mendapat tekanan internal maupun eksternal. Resiliensi
merupakan kontruk psikologi yang di cetuskan oleh para ahli
behavioral untuk mengetahui, mendefinisikan dan mengukur
kapasitas individu untuk tetap bertahan dan berkembang dalam
kondisi sulit23.
22
Muhammad Natsir Noor Effendy dkk. Evaluasi Penanganan Anak Jalanan Pada Rumah
Singgah Di Kota Semarang. (Semarang: Jurnal Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik, 2008),
hal 143-145
23
Raysa Handayani A. Skripsi Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan
Resiliensi pada Siswa Akselerasi (Malang: Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang, 2014), hal 1. Diakses pada 22 September 2016
17
Rolf dan Johnson mengatakan bahwa resiliensi memiliki
banyak definisi yang mencakup biologis, psikologis dan proses
lingkungan. Masten dan Coatsworth juga mengatakan bahwa
umumnya resiliensi ditandai dengan pencapaian hasil yang baik
meskipun kesulitan, yang berada di bawah tekanan ataupun
pemulihan dari trauma. Resiliensi (ketahanan) bukanlah bersifat
statis, tetapi dinamis proses yang dapat berubah dengan waktu dan
keadaan hal tersebut diungkapkan oleh
Cicchetti dan Toth
24
.
Menurut Grotberg resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk
menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah
dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup, karena
setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah
dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah
ataupun kesulitan25.
Menurut Garmezy Resiliensi juga berarti keterampilan,
kemampuan, pengetahuan, dan wawasan yang menumpuk dari
waktu ke waktu sebagai orang yang berjuang untuk mengatasi
kesulitan dan menghadapi tantangan. Ini adalah cara yang
24
Ariel kalil. Family resilience and good child outcomes, A Review of the Literature
(Centre for social research and evaluation Ministry of social Development, Te Menatu
Whakahiato Ora, 2003) hal.11.
25
Nuzulia Rahmati dan Meidriani Ayu Siregar. Gambaran Resiliensi Pada Pekerja Anak
yang Mengalami Abuse. (Medan: Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, 2012 Volume. 1
Nomor. 2), hal.2
18
berkelanjutan dan pengembangan energi dan keterampilan yang
dapat digunakan dalam perjuangan saat ini26.
Protective factors (faktor-faktor pencegah) dan risk factors
(faktor-faktor resiko) merupakan dua istilah yang tidak dapat
dipisahkan dari resiliensi. Rutter mendefinisikan faktor resiko
sebagai variabel yang mengarah langsung ke patologi atau
ketidakmampuan, meskipun ia juga menyarankan bahwa faktor
risiko mewakili proses yang mendasari dan mekanisme yang
mengarah kehasil yang negatif. Faktor pelindung atau pencegah
adalah faktor yang melindungi dan mencegah individu dari
masalah27.
Cowan et al menyarankan bahwa individu tangguh menarik
faktor pelindung untuk membatalkan dampak negatif dari risiko.
Werner
dalam
studi
longitudinal
pemuda
Hawaiian
disinggung"menyeimbangkan tindakan" antara kehadiran ganda
risiko dan perlindungan; Werner berpendapat resiliensi
kemampuan
individu
untuk
mengatasi
dan
adalah
mengelola
keseimbangan antara risiko dan tekanan hidup. Windle mengatakan
bahwa resiliensi timbul dari interaksi yang signifikan antara risiko
26
Adrian DuPlessis VanBreda. Resilience theory a literature review South African
Military Health Service, Military Psychological Institute, Social Work Research & Development,
(Pretoria, South Africa: 2001) hal.18
27
Ibid., hal. 12. Diakses pada 22 April 2016
19
dan faktor pelindung, hal tersebut merupakan kesuksesan dari hasil
adaptasi faktor protektif28.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi
Grotberg
mengatakan bahwa kualitas resiliensi setiap
orang berbeda, tergantung pada usia, taraf perkembangan,
intensitas seseorang dalam menghadapi masalah serta dukungan
sosial yang diperoleh dari lingkungan sekitar juga sangat
membantu29.
Menurut Grotberg
ada beberapa faktor dari resiliensi
diantaranya sebagai berikut:
1) I Have (dukungan eksternal)
Faktor I have merupakan sebuah pemaknaan yang
dilakukan oleh remaja terhadap dukungan yang diberikan atau
diperoleh dari lingkungannya. Anak-anak ataupun remaja
sangat membutuhkan dukungan dari luar (eksternal) untuk
mengembangkan
perasaan
saling
memiliki
dengan
lingkungannya seperti lingkungan keluarga dan sekolah.
Faktor i have memiliki beberapa kualitas dalam pembentukan
resiliensi seseorang diantaranya:
28
Ibid., hal. 13. Diakses pada 22 April 2016
29
Desmita. Psikologi Perkembangan. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), hal. 229
20
a) hubungan yang didasari dengan kepercayaan.
b) Peraturan rumah
c) Model-model peran
d) Dorongan untuk menjadi pribadi yang mandiri
e) Memiliki akses untuk layanan kesehatan, pendidikan,
keamanan dan kesejahteraan30
2) I am (kemampuan diri)
Faktor I am merupakan kemampuan dari individu
resilien yang berhubungan dengan perasaan, sikap dan
kepercayaan diri. Individu yang resilien akan bersikap baik
terhadap orang yang dianggap mencintai dan mengasihi
dirinya. Individu juga sangat peka terhadap apa yang terjadi
pada orang lain. Individu tidak akan membiarkan orang lain
merendahkan dirinya, karena tingkat kepercayaan dirinya dan
self esteem yang dimiliki sangat tinggi. Terdapat beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi i am diantaranya:
a) Disayang dan disukai banyak orang
b) Memiliki perasaan cinta, empati dan kepedulian
terhadap orang lain.
c) Merasa bangga dengan dirinya sendiri.
30
Desmita. Psikologi Perkembangan. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), hal. 229
21
d) Dapat bertanggung jawab dengan perilaku yang
dilakukan
dan
siap
untuk
menerima
konsekuensinya.
e) Memiliki tinggkat kepercayaan diri, optimis dalam
segala hal dan mempunyai harapan untuk masa
depan31.
3) I can (kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi)
Faktor I can merupakan kemampuan individu untuk
berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Individu
juga dapat menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi
dengan
sangat
mengungkapkan
baik.
Individu
yang
resilien
mampu
atau mengekspresikan perasaan mereka
melalui kata-kata atau dengan perilaku dengan sangat baik32.
Dalam kemampuan sosial juga terdapat Social Support
(dukungan sosial) Dukungan sosial sangat dibutuhkan bagi
individu terutama keluarga, lingkungan, dan teman sebaya.
Pada tahun 1976, Cobb mengidentifikasi tiga tingkat utama
dukungan sosial, yaitu: (1) Dukungan emosional, menyebabkan
individu
percaya bahwa dia dirawat dan dicintai;
(2)
dukungan harga diri, yang mengarah individu untuk percaya
bahwa dia dihormati
dan dihargai (3) dukungan jaringan,
menyebabkan individu untuk percaya dia milik jaringan
31
Desmita. Psikologi Perkembangan. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), hal.230
32
Ibid., hal. 2-4
22
komunikasi yang melibatkan kewajiban bersama dan saling
pengertian. (P. 160)33
Menurut Reivich dan Shatte, ada tujuh kemampuan
yang membentuk resiliensi, yaitu
1. Emotion regulation (pengendalian emosi)
Emotion
regulation
mengelola diri kita sendiri
adalah
kemampuan
untuk
baik emosi, perhatian maupun
perilaku (internal) agar tetap efektif meskipun sedang berada di
bawah tekanan. Individu yang tidak dapat mengontrol
emosinya akan mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan
dengan orang lain. Hal tersebut dikarenakan emosi yang
dirasakan oleh seseorang cenderung dapat mempengaruhi
orang lain. Menurut Reivich dan Shatte tidak semua emosi yang
dirasakan harus dikontrol karena mengekspresikan suatu emosi
dengan benar juga merupakan bagian dari resiliensi.
Reivich dan Shatte
juga mengatakan bahwa untuk
memudahkan individu dalam melakukan regulasi emosi dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu:
a. Tenang (calming)
Untuk mengurasi stress yang dialami, individu
diharapkan untuk dapat merubah pola pikir agar dapat
membuat individu lebih relaks dengan stress yang dialami.
33
Ibid., hal. 84
23
b. Fokus (focusing)
Memusatkan perhatian kepada permasalahan agar
dapat menemukan solusi yang tepat34.
2. Impulse control
Kemampuan
untuk
mengontrol
implus
yang
berhubungan dengan pengendalian emosi seperti keinginan,
dorongan serta tekanan.
3. Causal analysis
Kemampuan mengidentifikasi penyebab kesulitan dan
dapat menemukan solusi dari permasalahan yang sedang
dihadapi.
4. Self-efficacy
Keyakinan bahwa individu dapat memecahkan masalah
yang sedang dihadapi dengan percaya diri dan memiliki
kesempatan untuk lebih sukses.
5. Realistic optimism
Kemampuan untuk tetap berfikir positif
dan terus
merencanakan tentang masa depan yang realistis. Sikap optimis
yang dimilik oleh setiap individu menandakan bahwa individu
tersbeut percaya akan kemampuan yang dimilikinya.
34
Anita Dewi Fatmasari. Skripsi Hubungan Resiliensi Dengan Stres Kerja Anggota Polisi
Polres Sumenep. (Malang: Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2015), hal.
18-19
24
6. Empathy
kemampuan untuk membaca bahasa nonverbal dari
orang lain seperti ekspresi wajah, nada suara dan bahasa tubuh
sehingga individu dapat merasakan apa yang dirasakan oleh
orang lain.
7. Reaching out (kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan)
Menjangkau - kemampuan untuk meningkatkan aspekaspek positif dari kehidupan dan mengambil tantangan baru
dan kesempatan. Beberapa individu takut untuk meraih sesuatu
yang dinginkan karena terperangkap dengan masa lalunya35.
c. Fungsi Resiliensi
Reivich dan
Shatte
dalam sebuah penelitian telah
menyatakan bahwa manusia dapat menggunakan resiliensi untuk
hal-hal berikut ini:
1) Overcoming
Setiap manusia pasti memiliki permasalahan dalam
hidupnya. Permasalahan-permasalahan tersebut kadang dapat
memicu
timbulnya
stress.
Oleh
sebab
itu
manusia
membutuhkan resiliensi untuk menghindari dan menyelesaikan
permasalahn yang dihadapi dengan cara mengontrol diri
sendiri, berpikir positif dan produktif, terus merasa termotivasi,
35
Rachel Jackson & Chris Watkin. The resilience inventory: Seven essential skills for
overcoming life’s obstacles and determining happiness (Selection & Development Review, Vol. 20,
No. 6, December 2004), hal. 15. Diakses 20 September 2016
25
dan tetap bahagia walaupun di hadapkan dengan banyak
permasalahan.
2) Steering through
Setiap
individu
membutuhkan
resiliensi
untuk
menyelesaikan setiap permasalah yang menimbulkan tekanan.
Individu yang resiliensi akan menggunakan dirinya sendiri
dalam proses penyelesaian masalah yang dihadapi, tanpa
merasa terbebani dan terus bersikap negatif. Penelitian
menunjukan bahwa esensi dari steering through dalam stress
bersifat kronis adalah self-efficacy atau kenyakinan terhadap
diri sendiri bahwa dapat memecahkan permasalahan dan
menguasi lingkungan secara efektif36.
3) Bouncing back
seringkali
permasalahn
yang
dihadapi
dapat
menimbulkan traumatic tersendiri dalam diri individu yang
menyebabkan tingginya tingkat stress. Sehingga diperlukan
resiliensi untuk menghadapi dan mengendalikan diri sendiri.
Individu resiliensi dalam mengatasi traumatiknya dengan
menggunakan 3 cara yaitu, task-oriented coping style dimana
mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi
permasalahan tersebut,mereka percaya bahwa mereka mampu
36
Risdawati Purba.Skripsi Gambaran Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera
Utara Dalam Hal Penyalahgunaan Zat. (Medan: Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara,
2011), hal. 2-3
26
mengontrol diri mereka dan kehidupannya agar kembali
normal.
4)
Reaching out
Resiliensi selain dapat mengatasi pengalaman negative
seperti stress, dan traumatic, resiliensi juga berguna dalam
memperoleh pengalaman hidup yang lebih banyak dan bermakna
dan juga memperoleh pengalaman baru37.
3. Anak Jalanan
a. Pengertian
Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia, anak
jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya
untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari dijalanan baik untuk
mencari nafkah atau berkeliaran dijalan dan tempat-tempat umum
lainnya38.
Menurut Cosgrove anak jalanan adalah "setiap individu di
bawah usia mayoritas yang perilakunya didominasi bertentangan
dengan norma-norma masyarakat, dan yang utama dukungan untuk
37
Risdawati Purba.Skripsi Gambaran Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera
Utara Dalam Hal Penyalahgunaan Zat. (Medan: Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara,
2011), hal. 4
38
Tjutjup Purwoko. Analisis Faktor-Faktor Penyebab Keberadaan AnakJalanan Di Kota
Balikpapan. eJournal Sosiologi (Universitas Mulawarman Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
2003 Volume 1. Nomor 4), hal 16. Diakses Senin 03 Oktober 2016
27
kebutuhan nya / perkembangannya bukan keluarga atau keluarga
pengganti "39.
Menurut UNICEF ada 3 jenis anak jalanan diantaranya
1) Anak-anak yang tinggal dijalanan: anak-anak yang lari dari
keluarganya dan hidup sendiri
2) Anak-anak yang bekerja dijalanan: anak-anak yang
menghabiskan sebagian besar waktu mereka dijalan, tetapi
masih kembali ke rumah mereka.
3) Anak-anak dari keluarga jalan: anak-anak yang tinggal
dengan keluarga mereka dijalan40.
Rizzini mengatakan bahwa rata-rata usia anak-anak jalanan
9 dan 12 tahun, dan mereka tetap hidup di jalanan sampai mereka
mencapai usia 15 sampai 16. Ketika mereka menjadi lebih tua
mereka mulai mencari pekerjaan yang stabil dengan lebih baik
upah. Menurut studi Connolly usia anak jalanan Honduras, usia
berkisar dari satu sampai 22 tahun dengan rata-rata berusia sekitar
11 tahun. Anak-anak dari Jalan-jalan yang lebih tua rata-rata (mean
usia = 12,9 tahun) dibandingkan anak pasar (usia rata-rata = 10.3
tahun). Berdasarkan jenis kelamin anak laki-laki lebih banyak dari
anak perempuan41.
39
40
41
Ibid., hal. 2
Ibid., hal. 15
Ibid., hal. 31
28
Menurut Dinas Sosial DIY anak jalanan adalah seorang
anak yang berusia 5-18 tahun, sedangkan Menurut Irwanto dalam
Sutinah rasio anak jalanan laki-laki di Indonesia kurang lebih 7:3.
Hal ini juga didukung oleh Farid dalam Sutinah yang mengatakan
jumlah anak jalanan perempuan berkisar 10 persen dari seluruh
anak jalanan di Indonesia42.
Secara garis besar terdapat tiga permasalahan yang
dihadapi oleh anak jalanan diantaranya:
1) Masalah Sosial
Anak
jalanan
mempertahankan hidup
mengalami
sehat,
kesulitan
dalam
karena mereka tidak
memiliki tempat tinggal dan pakaian yang layak digunakan,
karena mereka jarang mengakses fasilitas bersih sehingga
mudah terkena penyakit. Anak jalanan juga mengalami
kesulitan dalam memperoleh makanan untuk bertahan
hidup. Mereka juga tidak dapat bersekolah.
Selain hal tersebuh anak jalanan juga mengalami
diskrimisadari lingkungan sekitar, kebanyakan masayarakat
berpikiran negarif terhadap anak jalanan karena dipandang
anak jalanan banyak menimbulkan masalah, tidak memiliki
moral dan memiliki emosi. Hal tersebut dikarenakan kurang
simpatiknya masyarakat kepada anak jalanan. Mengalami
42
Yuanda Pramuchita. Konsep Diri Anak Jalanan Kasus: Anak Jalanan di Kota Bogor,
Provinsi Jawa Barat. (Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2008). Diakses senin 3 Oktober 2016
29
kekerasan seperti cedera fisik, menjadi sindikat narkoba,
seks komersial dan sering dieksploitasi43.
2) Masalah fisik
Kebanyakan anak jalanan tidak dapat memenuhi
kehidupan mereka, hal tersebutlah yang menyebabkan anak
jalanan sering mengalami kekurang gizi, anemia dan
kekurangan vitamin. Anak jalanan sering mengalami cedera
yang disebabkan karena depresi dan melukai diri mereka
sendiri saat mabuk. Anak jalanan lebih rentan terkena
kekerasan seksual dan reproduksi adalah kaum perempuan.
Sehingga menyebabkan permasalahan yang lebih
kompliks lagi yaitu penyakit HIV/AIDS, kehamilan yang
tidak diinginkan dan meningkatnya jumlah aborsi. Secara
umum anak jalanan sering mengalami penyakit TBC,
penyakit kulit, sakit gigi dan lainnya44.
3) Masalah Psikologis
Banyak faktor yang mendorong anak-anak tersebut
untuk turun kejalanan, diantaranya karena bencana alam,
ekspolitasi, konflik dengan keluarga maupun kekurangan
ekonomi. Kehidupan anak jalanan tidak bersifat tetap hal
43
Working With Street Children, Modul 1 A Profil of Street Children. (Gevena,
Switseland: World Health Organizations Departement Of Mental Health and Substance
Dependence), hal 11-12. Diakses pada 29 September 2016
44
Ibid. Hal 13
30
tesebut karena mereka akan berpindah dari satu kota ke
kota lain. Perpindahan tersebut didasari beberapa hal
diantaranya karena adanya paksaa, disembunyikan dari
razia kepolisian, razia balai sosial, dan sindikat narkoba.
Hal tersebutlah yang membuat anak jalanan
mengalami kesulitan dalam mengambangkan diri dan
emosional dan sering merasa kesepian. Anak jalanan sering
mengalami masalah secara mental dan emosional. Mereka
tidak dapat berbagi dengan yang lainnya ketika memiliki
permasalahan. Oleh sebab itu mereka akan menuangkannya
dengan
melakukakan
hal-hal
yang
negatif
seperti
penggunaan narkoba, seks bebas dan kekerasan lainnya45.
b. Faktor Penyebab Keberadaan Anak Jalanan
Penyebab munculnya keberadaan anak jalanan merupakan
fenomena sosial, ekonomi, dan pendidikan dasar yang baik
memicu atau memperburuk masalah. Menurut laporan dari sebuah
bank dunia tahun 2002, penyebab unculnya anak jalanan terdiri
dari beberapa faktor diantaranya:
1) Rendahnya pendapatan keluarga, Untuk memenuhi kebutuhan
keluarga anak juga ikut terlibat dalam mencari pekerjaan, untuk
dapat membantu perekonominan keluarga.
45
Ibid. Hal 14
31
2) kondisi perumahan yang tidak memadai, tempat tinggal atau
rumah yang tidak layak pun dapat mendorong sebuah keluarga
dan anak-anak untuk turun ke jalan.
3) Abaikan dan penyalahgunaan, yang merupakan masalah umum
dengan salah satu atau kedua orang tua kecanduan obat-obatan
dan alkohol atau keluarga yang tidak memberikan cukup waktu
untuk interaksi antara anggota mereka.
4) Kegagalan di sekolah atau drop out.
5) Kehilangan orang tua akibat bencana alam pasir konflik
bersenjata, serta akibat epidemi dan penyakit, seperti AIDS dan
lain-lain, selain masalah pengungsi di berbagai belahan dunia46.
Departemen Sosial menyebutkan bahwa penyebab keberadaan
anak jalanan ada 3 macam, yakni faktor pada tingkat mikro (immediate
causes), faktor pada tingkat messo (underlying causes), dan faktor pada
tingkat makro (basic causes).
a) Tingkat Mikro (Immediate Causes)
Faktor pada tingkat mikro ini yaitu faktor yang berhubungan
dengan anak dan keluarganya. Departemen Sosial menjelaskan pula
bahwa pada tingkat mikro sebab yang bisa diidentifikasi dari anak dan
keluarga yang berkaitan tetapi juga berdiri sendiri, yakni: lari dari
keluarga.
46
Ibid., hal. 17
32
b) Tingkat Messo (Underlying Causes)
Faktor-faktor penyebab munculnya anak jalanan pada tingkat
messo ini yaitu faktor yang ada di masyarakat. Menurut Departemen
Sosial RI pada tingkat messo (masyarakat), sebab yang dapat
diidentifikasi meliputi:masyarakat miskin, anak-anak yang drop out
dari sekolah, masyarakat urbanisasi.
c) Tingkat Makro (Basic Causes)
Faktor-faktor penyebab munculnya anak jalanan pada tingkat
makro yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur makro.
Departemen Sosial RI menjelaskan bahwa pada tingkat makro
(struktur masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi adalah:
Ekonomi,penggusuran, kurang biaya pendidikan47.
c. Anak Jalanan Sebagai Gejala Patologi Sosial
a. Pengertian Patologi
Patologi berasal dari kata pathos yang berarti penyakit
ataupun penderitaan. Patologi sosial ialah ilmu yang mempelajari
tentang gelaja-gelaja sosial yang dianggap sakit. Menurut ahli
sosiologi patologi sosial merupakan semua jenis tingkah laku atau
perbuatan yang bertentang dengan norma yang ada dan menimbulkan
masalah bagi orang lain48. Masalah sosial merupakan produk yang
47
Ibid. Hal 26-37
48
Kartini kartono. Patologi Sosial 1 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014) hal. 1
33
tidak diharapkan dalam sistem sosio-kultural. Ketika sebuah
kelompok atau masayakarat dapat terorganisir dengan baik maka
memiliki beberapa kualitas diantaranya; adanya stabilitas, memiliki
interaksi yang baik dengan diri sendiri dan sosial49.
Masyarakat atau kelompok yang mengalami kesulitan dalam
berdaptasi dan adjustment
dapat menyebabkan terjadinya konflik
secara internal maupun eksternal. Masalah sosial ini muncul karena
beberapa faktor yaitu, faktor politik, religius, sosial- budaya dan
faktor ekonomi. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain
sehingga mampu mempengaruhi tingkah laku manusia, karena tidak
mampu menyesuaikan diri sehingga muncullah perilaku menyimpang
atau yang lebih dikenal dengan patologi sosial.50
b. Anak jalanan sebagai gejala patologis
Belakangan ini anak jalanan sudah menjadi bagian dari
masalah sosial dan juga gejala perilaku menyimpang. Hal tersebut
dikarenakan banyaknya permasalahan yang mereka timbulkan
sehingga berdampak bagi orang lain. Disamping anak jalanan masih
terdapat banyak perilaku menyimpang lainnya yaitu: pelaku
kriminalitas, koruptor, penyimpangan seksual, difabel, tunanetra,
49
Ibid. Hal 5
50
Ibid. Hal 7
34
waria, peminum dan penyalahgunaan narkoba, perjudian kenakalan
remaja, gelandangan, pengemis dan anak jalanan dan punk.
Bergabungnya
anak
jalanan
dalam
sebuah
perilaku
menyimpang ini dasari oleh dua faktor diantaranya:
1) Faktor Internal
a) Ketidakmampuan seseorang dalam menyesuaikan diri
dengan lingkungan dan perubahan yang terjadi.
b) Berbagai permasalahan yang dihadapi membuat individu
ingin berusaha mencari jalan keluarnya sendiri dengan
cara mencari kebebasan diluar rumah51.
c) Permasalahan lainnya ialah permasalahan ekonomi,
dimana kebutuhan keluarga semakin meningkat akan
tetapi orang tua tidak dapat memenuhinya. Hal tersebut
jugalah yang mendorong individu untuk mencari uang
untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarga.
51
Godfrid Hutapea. Analisis anak Jalanan Dalam Perspektif Patologi Sosial. (Sekolah
Tinggi Ilmu Kepolisian PTIK, 2015)
35
2) Faktor Eksternal
a) Faktor lain yang mendukung munculnya anak jalanan
ialah karena dorongan keluarga seperti orang tua atapun
kakak. Untuk memenuhi kebutuhan tak jarang dijumpai
banyak orang tua yang menerjunankan anaknya ke
jalanan untuk mencari uang.
b) Teman sepergaulan juga dapat memberikan pengaruh
dan dampak yang sangat besar untuk terjun kejalanan.
c) Ketika seorang anak tidak lagi memperoleh kasih
sayang dan perlindungan dari orang tua, maka anak
tersebut cenderung akan melarikan diri dari rumah. Hal
tersebutpun dapat dipicu jika sang anak sering
mengalami kekerasa dari keluarga maupun orang tua52.
52
Godfrid Hutapea. Analisis anak Jalanan Dalam Perspektif Patologi Sosial. (Sekolah
Tinggi Ilmu Kepolisian PTIK, 2015) dan Kartono. Patologi Sosial. Hal 19-24
Download