7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian yang terkait dengan resiliensi sudah banyak di lakukan oleh peneliti terdahulu diantaranya oleh Dipayanti, dan Chairani yang berjudul Locus of Control dan resiliensi pada remaja yang orangtuanya bercerai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara locus of control dengan resilensi pada remaja yang orangtuanya bercerai. Ada 60 remaja yang dijadikan sebagai subjek penelitian, hasil dari penelitian ini adalah terdapat hubungan antara locus of control dengan resiliensi pada remaja yang orangtuanya bercerai9. Malindi dan Theron yang berjudul The Hidden Resilience of Street Youth. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (semi-terstruktur dan fokus pada wawancara), mengeksplorasi ketahanan (resiliensi) yang tersembunyi dari 20 pemuda jalanan di Free State dan Gauteng. Tujuannya untuk menggambarkan anak jalanan yang memiliki pribadi yang tangguh, tingkat religiusitas mereka, dan bagaimana mereka mengatasi tantangan 9 Stefani Dipayanti dan Lisya Chairani. “Locus of control dan Resiliensi pada Remaja yang Orangtuanya Bercerai”. Jurnal Psikologi ( Riau: Fakultas Psikologi UIN Sutan Syarif Kasim Riau, 2012), Volume 8 Nomor 1 8 dan permasalahan yang mereka alami dijalanan dan meningkatkan ketahanan mereka10. Penelitian terkait juga dilakukan oleh Lukman dan Sujarwo yang berjudul Kehidupan Anak Jalanan di Rumah Singga Anak Mandiri Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kehidupan anak jalanan di Rumah Singgah Anak Mandiri Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukan bahwa kehidupan anak jalanan di Rumah Singgah Anak Mandiri Yogyakarta di lakukan dengan tiga bentuk 1) karakteristik kehidupan Anak jalanan pada umumnya tidak berbeda dengan anak-anak pada umumnya, mandi, cuci, kakus serta makan, hanya yang membedakan antara anak jalanan dan anak normal adalah karakter fisik dan psikis, 2) style yang diterapkan anak jalanan dalam kehidupan sehari-hari berpenampilan lusuh dan rambut kemerahan, sedangkan gaya hidup yang diterapkan antara lain: merokok, mewarnai rambut, mabuk-mabukan namun setelah masuk rumah singgah kebiasan itu telah ditinggalkan oleh anak, 3) interaksi dalam pendidikan anak jalanan, bentuk interaksi dalam pendidikan yang di berikan anak jalanan oleh pihak rumah singgah antara lain: a) program pelatihan berupa program life skill, b) program pendampingan memberikan pengajaran atau pendampingan belajar kepada 10 Macalane J. Malindi dan Linda C. Theron. “The Hidden Resilience of Street Youth”. South African Journal of Psychology. School of Education Sciences, (North-West University (Vaal Triangle Campus), Vanderbijlpark, South Africa, 2010), vol. 40 no. 3 318-326 9 anak jalanan, c) program PKSA adalah serangkaian layanan khusus berupa layanan pemenuhan kebutuhan dasar11. Selain itu penelitian juga dilakukan oleh Marliyanti yang berjudul resiliensi anak jalanan yang bersekolah. Tujuan dari penelitiannya adalah untuk mengungkapkan faktor-faktor apa sajakah resiliensi pada anak jalanan yang bersekolah.penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian yang diperoleh ada faktor internal dan ekternal dimana faktor internal terdiri dari empati dan peduli kepada orang lain, regulasi diri yang baik untuk mengarahkan prestasi, mandiri, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, percaya diri, kemampuan berkomunikasi, kemampuan kognitif, memiliki harapan dan motivasi dalam hidup, serta kemampuan beradaptasi. Sedangakan faktor ekternal pembentuk resiliensi subjek yaitu adanya dorongan berprestasi dari orang tua, kasih sayang dan hubungan yang akrab dengan keluarga, dukungan pihak lain seperti sekolah ataupun orang yang peduli pada anak jalanan, serta adanya dorongan untuk mandiri karena keadaan keluarga12. Hal serupapun dilakukan oleh Lastiana dengan judul Study deskriptif mengenai resiliensi anak-anak jalanan di rumah singgah X Bandung. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan tehnik 11 Lukman dan Sujarwo. Kehidupan Anak Jalanan di Rumah Singga Anak Mandiri Yogyakarta. (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, 2012) Nomor 02. 12 Marliyanti (04810004). Resiliensi (yogya...2009 Anak Jalanan yang Bersekolah. Skripsi 10 survey populasi sampel. Peneliti menggunakan kuosioner untuk memperoleh data13. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Dipayanti dan Chairani, Malindi dan Theron, Lukman dan Sujawo, Marliyanti dan Lastiana. Penelitian ini fokus pada Resiliensi Anak Jalanan di Rumah Singgah Anak Mandiri Yogyakarta. B. KERANGKA TEORI 1. Rumah Singgah a. Pengertian Rumah singgah atau Halfway house adalah sebuah perumahan yang memfasilitasi masyarakat (CRF) yang berfungsi sebagai tempat untuk melatih dan memberdayakan sebelum kembali dalam kehidupan masyarakat luas. Dinegara-negara maju para narapidana yang akan segera dibebaskan akan ditugaskan atau di berdayakan dirumah singgah sehingga sebelum mereka kembali ke masyarakat mereka telah mendapat berbagai macam ketrampilan14. Halfway house atau rumah singgah adalah tempat tinggal yang terletak disuatu komunitas yang sering disebut sebagai "komunitas pusat koreksi "(Community Corrections Centers), akan tetapi beberapa tahun yang lalu Bureau of Prisons (BOP) mengubah namanya komunitas tersebut dengan nama "residential reentry centers" 13 Terisa Lestiana. Study Deskriptif Mengenai Resiliensi Anak-anak Jalanan di Rumah Singgah “X “Bandung. Skripsi (Bandung 2008. 14 John Howard. FACT SHEET:Just What Are “Halfway Houses”? (1of 2). The John Howard how ard society of alberta. hal. 1. Diakses pada 07 September 2016. 11 (RRCs15). Departemen Sosial RI rumah singgah adalah suatu wahana yang dipersiapkan sebagai perantara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka16. Salah satu cara penanggulangan anak jalanan adalah dengan pembentukan rumah singgah. Secara umum rumah singgah memiliki tujuan untuk membantu anak jalanan mengatasi permasalahanpermasalahan dan untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Rumah singgah bertujuan untuk tempat istirahat dan sebagai tempat bertukar informasi bagi anak jalanan, dibangun atau dialokasikan rumah singgah ini bertujuan sebagai pusat kegiatan dan untuk menambah pengetahuan dirinya di bidang sosial, ekonomi dan pendidikan serta mengasah keterampilan anak17. Departemen Sosial menjelaskan tentang fungsi dan peran rumah singgah bagi program pemberdayaan anak jalanan di antaranya: 1) Sebagai tempat pertemuan pekerja sosial dan anak jalanan 2) Pusat diagnosa dan rujukan yang berkaitan dengan keutuhan dan permasalahan anak jalanan yang dihadapi. 3) Fasilitator atau menjadi perantara antara anak jalanan dengan keluarganya, lembaga dan lainnya. 15 Families Against Mandatory Minimunm (Washington D.C., 2005), hal. 1 www.famm.org 16 Standar Pelayanan Sosial Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah, (Jakarta: Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak. Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Departemen Sosial RI, 2002). Hal 6. 17 Ibid., hal. 4 12 4) Perlindungan bagi anak jalanan dari kekerasan, pelecehan seksual, penyalahgunaan oabat-obatan terlarang, ekonomi dan lainnya. 5) Pusat informasi tentang anak jalanan, baik data keluarga, pendidikan dan ketrampilan. 6) Kuarif dan rehabilitative adalah mengatasi permasalahan anak jalanan dan menanamkan fungsi sosial pada anak. 7) Akses terhadap layanan 8) Resosialisasi atau mengenalkan kembali norma-norma sosial dan kehidupan kepada anak jalanan.18 b. Tujuan Rumah Singgah Tujuan umum Rumah Singgah adalah untuk membantu anak jalanan mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sedangkan tujuan khusus adalah: 1) Membentuk kembali sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. 2) Mengupayakan anak-anak kembali ke rumah jika memungkinkan atau kepanti dan lembaga lainnya jika di perlukan 18 Francisca Retno Wulandari. Skripsi Rumah Singgah Anak Jalanan Di Yogyakarta. (Yogyakarta: Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya) hal 6-7 13 3) Memberikan berbagai pemenuhan kebutuhan alternatif anak dan pelayanan untuk menyiapkan masa depannya sehingga menjadi warga masyarakat yang produktif19. Pemberdayaan anak jalanan yang melalui rumah singgah dilakukan dengan beberapa program yaitu, Center based program atau penyediaan tempat tinggal untuk jalanan yang bersifat tidak permanen. Street based interventions ialah melakukan pendekatan dengan anak jalanan ditempat mereka berada. Community based strategy yaitu cara yang digunakan untuk memperhatian atau mengamati anak jalanan dari segi keluarga maupun lingkungan20. Selain program tersebut rumah singgah juga dapat bermanfaat sebagai wadah dalam memperbaiki perekonomian keluarga dengan cara: 1) Melakukan pembinaan anak jalanan dan keluarga berupa pelatihan ketrampilan yang dapat digunakan ketika didunia kerja. 2) Membuat kelompok usaha sebagai cara mempromosikan atau menjual hasil yang telah dipelajari dari ketrampilan yang diajarkan. Memberikan pinjaman modal untuk melanjutkan 19 Ruben Betarushi Leksono. Skripsi Rumah Singgah Anak Jalanan Di Yogyakarta. (Yogyakarta: Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2014), hal 27. Diakses pada 8 september 2016 20 Ibid., hal 7 14 usahanya. Pemberian modal diberikan dalam bentuk barang sehingga mereka dapat menghasilkan sebuah produk 3) Pihak instanti, masyarakat dan Dinas sosial sebaiknya ikut mengawasi kinerja meraka dan ikut memasarkan produk yang dihasilakn oleh anak jalanan dan keluarganya21. c. Tahapan Pelayanan Sebelum memberikan pelayanan dan pembinaan anak jalanan harus melalui beberapa tahap yang telah ditentukan oleh pemerintah sebagai berikut: 1) Tahap Penjangkauan Tahap penjangkuan merupakan tahap dimana para pekerja sosial rumah singgah akan terjun kejalanan secara langsung untuk menjangkau anak jalanan. Hal tersebut juga dilakukan agar dapat langsung berinteraksi dan meciptakan keakraban dengan para anak jalanan. Dalam melakukan penjangkuan rumah singgah akan melakukannya sebanyak dua kali dalam seminggu. 2) Tahap Identifikasi Tahap identifikasi dapat diartikan juga sebagai tahap mencari permasalahan yang sedang dihadapi oleh sang anak. Selain itu juga petugas rumah singgah akan melakukan penggalian informasi terkait riwayat hidup dan keluarganya. Setelah 21 Francisca Retno Wulandari. Skripsi Rumah Singgah Anak Jalanan Di Yogyakarta. (Yogyakarta: Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya), hal. 7 15 memperoleh informasi tersebut anak jalanan dimotivasi untuk ikut tinggal dirumah singgah. 3) Tahap Resosialisasi Tahap Resosialisasi meruapakan tahap kegiatan yang akan diberikan oleh petugas rumah singgah kepada anak untuk mengubah sikap dan perilaku agar sesuai dengan norma dan aturan yang ada dimasyarakat. Untuk menarik minat anak-anak maka bentuk kegiatan yang diadakan harus menarik seperti bimbingan motivasi, bimbingan sikap mental dan spiritual. 4) Tahap Pemberdayaan Tahap pemberdayaan dilakukan untuk melatih ketrampilan, minat dan bakat yang dimiliki olah sang anak. Harapannya dengan dibekali dengan ketrampilan tersebut anak dapat menggunakannya untuk mencari nafkan tanpa harus kembali kejalanan lagi. 5) Tahap Terminasi Tahap terminasi atau tahap akhir dalam proses pendampingan dan bimbingan kepada anak. Terminasi juga berarti menghentikan kegiatan proses pelayanan kepada anak. Selanjutnya anak akan dirujuk kelembaga lain yang menyediakan jenis pelayanan yang dibutuhkan oleh sang anak. Tahap pengakhiran ini dilakukan jika anak binaan telah mencapai hal-hal sebagai berikut: 16 a) Anak telah aktif dalam bekerja dan telah menjadi lebih produktif. b) Anak kembali kepada orang tuanya. c) Dirujuk ke Panti Sosial/asuhan atau lembaga pengganti. d) Anak dapat kembali kesekolah. e) Adanya peningkatan pendapatan dan hidup dari anak dan keluarga telah sejahtera22. 2. Resiliensi a. Pengertian Menurut John Echol dan Hasan Shadili resiliensi berasal dari bahasa inggris yaitu resilience yang berarti daya pegas, daya kenyal, atau kegembiraan. Istilah resiliensi pertama kali di cetuskan oleh Block dalam klohnen dengan nama ego-resillience yang berarti kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat mendapat tekanan internal maupun eksternal. Resiliensi merupakan kontruk psikologi yang di cetuskan oleh para ahli behavioral untuk mengetahui, mendefinisikan dan mengukur kapasitas individu untuk tetap bertahan dan berkembang dalam kondisi sulit23. 22 Muhammad Natsir Noor Effendy dkk. Evaluasi Penanganan Anak Jalanan Pada Rumah Singgah Di Kota Semarang. (Semarang: Jurnal Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik, 2008), hal 143-145 23 Raysa Handayani A. Skripsi Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Resiliensi pada Siswa Akselerasi (Malang: Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2014), hal 1. Diakses pada 22 September 2016 17 Rolf dan Johnson mengatakan bahwa resiliensi memiliki banyak definisi yang mencakup biologis, psikologis dan proses lingkungan. Masten dan Coatsworth juga mengatakan bahwa umumnya resiliensi ditandai dengan pencapaian hasil yang baik meskipun kesulitan, yang berada di bawah tekanan ataupun pemulihan dari trauma. Resiliensi (ketahanan) bukanlah bersifat statis, tetapi dinamis proses yang dapat berubah dengan waktu dan keadaan hal tersebut diungkapkan oleh Cicchetti dan Toth 24 . Menurut Grotberg resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup, karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan25. Menurut Garmezy Resiliensi juga berarti keterampilan, kemampuan, pengetahuan, dan wawasan yang menumpuk dari waktu ke waktu sebagai orang yang berjuang untuk mengatasi kesulitan dan menghadapi tantangan. Ini adalah cara yang 24 Ariel kalil. Family resilience and good child outcomes, A Review of the Literature (Centre for social research and evaluation Ministry of social Development, Te Menatu Whakahiato Ora, 2003) hal.11. 25 Nuzulia Rahmati dan Meidriani Ayu Siregar. Gambaran Resiliensi Pada Pekerja Anak yang Mengalami Abuse. (Medan: Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, 2012 Volume. 1 Nomor. 2), hal.2 18 berkelanjutan dan pengembangan energi dan keterampilan yang dapat digunakan dalam perjuangan saat ini26. Protective factors (faktor-faktor pencegah) dan risk factors (faktor-faktor resiko) merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan dari resiliensi. Rutter mendefinisikan faktor resiko sebagai variabel yang mengarah langsung ke patologi atau ketidakmampuan, meskipun ia juga menyarankan bahwa faktor risiko mewakili proses yang mendasari dan mekanisme yang mengarah kehasil yang negatif. Faktor pelindung atau pencegah adalah faktor yang melindungi dan mencegah individu dari masalah27. Cowan et al menyarankan bahwa individu tangguh menarik faktor pelindung untuk membatalkan dampak negatif dari risiko. Werner dalam studi longitudinal pemuda Hawaiian disinggung"menyeimbangkan tindakan" antara kehadiran ganda risiko dan perlindungan; Werner berpendapat resiliensi kemampuan individu untuk mengatasi dan adalah mengelola keseimbangan antara risiko dan tekanan hidup. Windle mengatakan bahwa resiliensi timbul dari interaksi yang signifikan antara risiko 26 Adrian DuPlessis VanBreda. Resilience theory a literature review South African Military Health Service, Military Psychological Institute, Social Work Research & Development, (Pretoria, South Africa: 2001) hal.18 27 Ibid., hal. 12. Diakses pada 22 April 2016 19 dan faktor pelindung, hal tersebut merupakan kesuksesan dari hasil adaptasi faktor protektif28. b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Grotberg mengatakan bahwa kualitas resiliensi setiap orang berbeda, tergantung pada usia, taraf perkembangan, intensitas seseorang dalam menghadapi masalah serta dukungan sosial yang diperoleh dari lingkungan sekitar juga sangat membantu29. Menurut Grotberg ada beberapa faktor dari resiliensi diantaranya sebagai berikut: 1) I Have (dukungan eksternal) Faktor I have merupakan sebuah pemaknaan yang dilakukan oleh remaja terhadap dukungan yang diberikan atau diperoleh dari lingkungannya. Anak-anak ataupun remaja sangat membutuhkan dukungan dari luar (eksternal) untuk mengembangkan perasaan saling memiliki dengan lingkungannya seperti lingkungan keluarga dan sekolah. Faktor i have memiliki beberapa kualitas dalam pembentukan resiliensi seseorang diantaranya: 28 Ibid., hal. 13. Diakses pada 22 April 2016 29 Desmita. Psikologi Perkembangan. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), hal. 229 20 a) hubungan yang didasari dengan kepercayaan. b) Peraturan rumah c) Model-model peran d) Dorongan untuk menjadi pribadi yang mandiri e) Memiliki akses untuk layanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan kesejahteraan30 2) I am (kemampuan diri) Faktor I am merupakan kemampuan dari individu resilien yang berhubungan dengan perasaan, sikap dan kepercayaan diri. Individu yang resilien akan bersikap baik terhadap orang yang dianggap mencintai dan mengasihi dirinya. Individu juga sangat peka terhadap apa yang terjadi pada orang lain. Individu tidak akan membiarkan orang lain merendahkan dirinya, karena tingkat kepercayaan dirinya dan self esteem yang dimiliki sangat tinggi. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi i am diantaranya: a) Disayang dan disukai banyak orang b) Memiliki perasaan cinta, empati dan kepedulian terhadap orang lain. c) Merasa bangga dengan dirinya sendiri. 30 Desmita. Psikologi Perkembangan. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), hal. 229 21 d) Dapat bertanggung jawab dengan perilaku yang dilakukan dan siap untuk menerima konsekuensinya. e) Memiliki tinggkat kepercayaan diri, optimis dalam segala hal dan mempunyai harapan untuk masa depan31. 3) I can (kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi) Faktor I can merupakan kemampuan individu untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Individu juga dapat menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi dengan sangat mengungkapkan baik. Individu yang resilien mampu atau mengekspresikan perasaan mereka melalui kata-kata atau dengan perilaku dengan sangat baik32. Dalam kemampuan sosial juga terdapat Social Support (dukungan sosial) Dukungan sosial sangat dibutuhkan bagi individu terutama keluarga, lingkungan, dan teman sebaya. Pada tahun 1976, Cobb mengidentifikasi tiga tingkat utama dukungan sosial, yaitu: (1) Dukungan emosional, menyebabkan individu percaya bahwa dia dirawat dan dicintai; (2) dukungan harga diri, yang mengarah individu untuk percaya bahwa dia dihormati dan dihargai (3) dukungan jaringan, menyebabkan individu untuk percaya dia milik jaringan 31 Desmita. Psikologi Perkembangan. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), hal.230 32 Ibid., hal. 2-4 22 komunikasi yang melibatkan kewajiban bersama dan saling pengertian. (P. 160)33 Menurut Reivich dan Shatte, ada tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu 1. Emotion regulation (pengendalian emosi) Emotion regulation mengelola diri kita sendiri adalah kemampuan untuk baik emosi, perhatian maupun perilaku (internal) agar tetap efektif meskipun sedang berada di bawah tekanan. Individu yang tidak dapat mengontrol emosinya akan mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Hal tersebut dikarenakan emosi yang dirasakan oleh seseorang cenderung dapat mempengaruhi orang lain. Menurut Reivich dan Shatte tidak semua emosi yang dirasakan harus dikontrol karena mengekspresikan suatu emosi dengan benar juga merupakan bagian dari resiliensi. Reivich dan Shatte juga mengatakan bahwa untuk memudahkan individu dalam melakukan regulasi emosi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: a. Tenang (calming) Untuk mengurasi stress yang dialami, individu diharapkan untuk dapat merubah pola pikir agar dapat membuat individu lebih relaks dengan stress yang dialami. 33 Ibid., hal. 84 23 b. Fokus (focusing) Memusatkan perhatian kepada permasalahan agar dapat menemukan solusi yang tepat34. 2. Impulse control Kemampuan untuk mengontrol implus yang berhubungan dengan pengendalian emosi seperti keinginan, dorongan serta tekanan. 3. Causal analysis Kemampuan mengidentifikasi penyebab kesulitan dan dapat menemukan solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi. 4. Self-efficacy Keyakinan bahwa individu dapat memecahkan masalah yang sedang dihadapi dengan percaya diri dan memiliki kesempatan untuk lebih sukses. 5. Realistic optimism Kemampuan untuk tetap berfikir positif dan terus merencanakan tentang masa depan yang realistis. Sikap optimis yang dimilik oleh setiap individu menandakan bahwa individu tersbeut percaya akan kemampuan yang dimilikinya. 34 Anita Dewi Fatmasari. Skripsi Hubungan Resiliensi Dengan Stres Kerja Anggota Polisi Polres Sumenep. (Malang: Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2015), hal. 18-19 24 6. Empathy kemampuan untuk membaca bahasa nonverbal dari orang lain seperti ekspresi wajah, nada suara dan bahasa tubuh sehingga individu dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. 7. Reaching out (kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan) Menjangkau - kemampuan untuk meningkatkan aspekaspek positif dari kehidupan dan mengambil tantangan baru dan kesempatan. Beberapa individu takut untuk meraih sesuatu yang dinginkan karena terperangkap dengan masa lalunya35. c. Fungsi Resiliensi Reivich dan Shatte dalam sebuah penelitian telah menyatakan bahwa manusia dapat menggunakan resiliensi untuk hal-hal berikut ini: 1) Overcoming Setiap manusia pasti memiliki permasalahan dalam hidupnya. Permasalahan-permasalahan tersebut kadang dapat memicu timbulnya stress. Oleh sebab itu manusia membutuhkan resiliensi untuk menghindari dan menyelesaikan permasalahn yang dihadapi dengan cara mengontrol diri sendiri, berpikir positif dan produktif, terus merasa termotivasi, 35 Rachel Jackson & Chris Watkin. The resilience inventory: Seven essential skills for overcoming life’s obstacles and determining happiness (Selection & Development Review, Vol. 20, No. 6, December 2004), hal. 15. Diakses 20 September 2016 25 dan tetap bahagia walaupun di hadapkan dengan banyak permasalahan. 2) Steering through Setiap individu membutuhkan resiliensi untuk menyelesaikan setiap permasalah yang menimbulkan tekanan. Individu yang resiliensi akan menggunakan dirinya sendiri dalam proses penyelesaian masalah yang dihadapi, tanpa merasa terbebani dan terus bersikap negatif. Penelitian menunjukan bahwa esensi dari steering through dalam stress bersifat kronis adalah self-efficacy atau kenyakinan terhadap diri sendiri bahwa dapat memecahkan permasalahan dan menguasi lingkungan secara efektif36. 3) Bouncing back seringkali permasalahn yang dihadapi dapat menimbulkan traumatic tersendiri dalam diri individu yang menyebabkan tingginya tingkat stress. Sehingga diperlukan resiliensi untuk menghadapi dan mengendalikan diri sendiri. Individu resiliensi dalam mengatasi traumatiknya dengan menggunakan 3 cara yaitu, task-oriented coping style dimana mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan tersebut,mereka percaya bahwa mereka mampu 36 Risdawati Purba.Skripsi Gambaran Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara Dalam Hal Penyalahgunaan Zat. (Medan: Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, 2011), hal. 2-3 26 mengontrol diri mereka dan kehidupannya agar kembali normal. 4) Reaching out Resiliensi selain dapat mengatasi pengalaman negative seperti stress, dan traumatic, resiliensi juga berguna dalam memperoleh pengalaman hidup yang lebih banyak dan bermakna dan juga memperoleh pengalaman baru37. 3. Anak Jalanan a. Pengertian Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia, anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari dijalanan baik untuk mencari nafkah atau berkeliaran dijalan dan tempat-tempat umum lainnya38. Menurut Cosgrove anak jalanan adalah "setiap individu di bawah usia mayoritas yang perilakunya didominasi bertentangan dengan norma-norma masyarakat, dan yang utama dukungan untuk 37 Risdawati Purba.Skripsi Gambaran Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara Dalam Hal Penyalahgunaan Zat. (Medan: Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, 2011), hal. 4 38 Tjutjup Purwoko. Analisis Faktor-Faktor Penyebab Keberadaan AnakJalanan Di Kota Balikpapan. eJournal Sosiologi (Universitas Mulawarman Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2003 Volume 1. Nomor 4), hal 16. Diakses Senin 03 Oktober 2016 27 kebutuhan nya / perkembangannya bukan keluarga atau keluarga pengganti "39. Menurut UNICEF ada 3 jenis anak jalanan diantaranya 1) Anak-anak yang tinggal dijalanan: anak-anak yang lari dari keluarganya dan hidup sendiri 2) Anak-anak yang bekerja dijalanan: anak-anak yang menghabiskan sebagian besar waktu mereka dijalan, tetapi masih kembali ke rumah mereka. 3) Anak-anak dari keluarga jalan: anak-anak yang tinggal dengan keluarga mereka dijalan40. Rizzini mengatakan bahwa rata-rata usia anak-anak jalanan 9 dan 12 tahun, dan mereka tetap hidup di jalanan sampai mereka mencapai usia 15 sampai 16. Ketika mereka menjadi lebih tua mereka mulai mencari pekerjaan yang stabil dengan lebih baik upah. Menurut studi Connolly usia anak jalanan Honduras, usia berkisar dari satu sampai 22 tahun dengan rata-rata berusia sekitar 11 tahun. Anak-anak dari Jalan-jalan yang lebih tua rata-rata (mean usia = 12,9 tahun) dibandingkan anak pasar (usia rata-rata = 10.3 tahun). Berdasarkan jenis kelamin anak laki-laki lebih banyak dari anak perempuan41. 39 40 41 Ibid., hal. 2 Ibid., hal. 15 Ibid., hal. 31 28 Menurut Dinas Sosial DIY anak jalanan adalah seorang anak yang berusia 5-18 tahun, sedangkan Menurut Irwanto dalam Sutinah rasio anak jalanan laki-laki di Indonesia kurang lebih 7:3. Hal ini juga didukung oleh Farid dalam Sutinah yang mengatakan jumlah anak jalanan perempuan berkisar 10 persen dari seluruh anak jalanan di Indonesia42. Secara garis besar terdapat tiga permasalahan yang dihadapi oleh anak jalanan diantaranya: 1) Masalah Sosial Anak jalanan mempertahankan hidup mengalami sehat, kesulitan dalam karena mereka tidak memiliki tempat tinggal dan pakaian yang layak digunakan, karena mereka jarang mengakses fasilitas bersih sehingga mudah terkena penyakit. Anak jalanan juga mengalami kesulitan dalam memperoleh makanan untuk bertahan hidup. Mereka juga tidak dapat bersekolah. Selain hal tersebuh anak jalanan juga mengalami diskrimisadari lingkungan sekitar, kebanyakan masayarakat berpikiran negarif terhadap anak jalanan karena dipandang anak jalanan banyak menimbulkan masalah, tidak memiliki moral dan memiliki emosi. Hal tersebut dikarenakan kurang simpatiknya masyarakat kepada anak jalanan. Mengalami 42 Yuanda Pramuchita. Konsep Diri Anak Jalanan Kasus: Anak Jalanan di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. (Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2008). Diakses senin 3 Oktober 2016 29 kekerasan seperti cedera fisik, menjadi sindikat narkoba, seks komersial dan sering dieksploitasi43. 2) Masalah fisik Kebanyakan anak jalanan tidak dapat memenuhi kehidupan mereka, hal tersebutlah yang menyebabkan anak jalanan sering mengalami kekurang gizi, anemia dan kekurangan vitamin. Anak jalanan sering mengalami cedera yang disebabkan karena depresi dan melukai diri mereka sendiri saat mabuk. Anak jalanan lebih rentan terkena kekerasan seksual dan reproduksi adalah kaum perempuan. Sehingga menyebabkan permasalahan yang lebih kompliks lagi yaitu penyakit HIV/AIDS, kehamilan yang tidak diinginkan dan meningkatnya jumlah aborsi. Secara umum anak jalanan sering mengalami penyakit TBC, penyakit kulit, sakit gigi dan lainnya44. 3) Masalah Psikologis Banyak faktor yang mendorong anak-anak tersebut untuk turun kejalanan, diantaranya karena bencana alam, ekspolitasi, konflik dengan keluarga maupun kekurangan ekonomi. Kehidupan anak jalanan tidak bersifat tetap hal 43 Working With Street Children, Modul 1 A Profil of Street Children. (Gevena, Switseland: World Health Organizations Departement Of Mental Health and Substance Dependence), hal 11-12. Diakses pada 29 September 2016 44 Ibid. Hal 13 30 tesebut karena mereka akan berpindah dari satu kota ke kota lain. Perpindahan tersebut didasari beberapa hal diantaranya karena adanya paksaa, disembunyikan dari razia kepolisian, razia balai sosial, dan sindikat narkoba. Hal tersebutlah yang membuat anak jalanan mengalami kesulitan dalam mengambangkan diri dan emosional dan sering merasa kesepian. Anak jalanan sering mengalami masalah secara mental dan emosional. Mereka tidak dapat berbagi dengan yang lainnya ketika memiliki permasalahan. Oleh sebab itu mereka akan menuangkannya dengan melakukakan hal-hal yang negatif seperti penggunaan narkoba, seks bebas dan kekerasan lainnya45. b. Faktor Penyebab Keberadaan Anak Jalanan Penyebab munculnya keberadaan anak jalanan merupakan fenomena sosial, ekonomi, dan pendidikan dasar yang baik memicu atau memperburuk masalah. Menurut laporan dari sebuah bank dunia tahun 2002, penyebab unculnya anak jalanan terdiri dari beberapa faktor diantaranya: 1) Rendahnya pendapatan keluarga, Untuk memenuhi kebutuhan keluarga anak juga ikut terlibat dalam mencari pekerjaan, untuk dapat membantu perekonominan keluarga. 45 Ibid. Hal 14 31 2) kondisi perumahan yang tidak memadai, tempat tinggal atau rumah yang tidak layak pun dapat mendorong sebuah keluarga dan anak-anak untuk turun ke jalan. 3) Abaikan dan penyalahgunaan, yang merupakan masalah umum dengan salah satu atau kedua orang tua kecanduan obat-obatan dan alkohol atau keluarga yang tidak memberikan cukup waktu untuk interaksi antara anggota mereka. 4) Kegagalan di sekolah atau drop out. 5) Kehilangan orang tua akibat bencana alam pasir konflik bersenjata, serta akibat epidemi dan penyakit, seperti AIDS dan lain-lain, selain masalah pengungsi di berbagai belahan dunia46. Departemen Sosial menyebutkan bahwa penyebab keberadaan anak jalanan ada 3 macam, yakni faktor pada tingkat mikro (immediate causes), faktor pada tingkat messo (underlying causes), dan faktor pada tingkat makro (basic causes). a) Tingkat Mikro (Immediate Causes) Faktor pada tingkat mikro ini yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya. Departemen Sosial menjelaskan pula bahwa pada tingkat mikro sebab yang bisa diidentifikasi dari anak dan keluarga yang berkaitan tetapi juga berdiri sendiri, yakni: lari dari keluarga. 46 Ibid., hal. 17 32 b) Tingkat Messo (Underlying Causes) Faktor-faktor penyebab munculnya anak jalanan pada tingkat messo ini yaitu faktor yang ada di masyarakat. Menurut Departemen Sosial RI pada tingkat messo (masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi meliputi:masyarakat miskin, anak-anak yang drop out dari sekolah, masyarakat urbanisasi. c) Tingkat Makro (Basic Causes) Faktor-faktor penyebab munculnya anak jalanan pada tingkat makro yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur makro. Departemen Sosial RI menjelaskan bahwa pada tingkat makro (struktur masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi adalah: Ekonomi,penggusuran, kurang biaya pendidikan47. c. Anak Jalanan Sebagai Gejala Patologi Sosial a. Pengertian Patologi Patologi berasal dari kata pathos yang berarti penyakit ataupun penderitaan. Patologi sosial ialah ilmu yang mempelajari tentang gelaja-gelaja sosial yang dianggap sakit. Menurut ahli sosiologi patologi sosial merupakan semua jenis tingkah laku atau perbuatan yang bertentang dengan norma yang ada dan menimbulkan masalah bagi orang lain48. Masalah sosial merupakan produk yang 47 Ibid. Hal 26-37 48 Kartini kartono. Patologi Sosial 1 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014) hal. 1 33 tidak diharapkan dalam sistem sosio-kultural. Ketika sebuah kelompok atau masayakarat dapat terorganisir dengan baik maka memiliki beberapa kualitas diantaranya; adanya stabilitas, memiliki interaksi yang baik dengan diri sendiri dan sosial49. Masyarakat atau kelompok yang mengalami kesulitan dalam berdaptasi dan adjustment dapat menyebabkan terjadinya konflik secara internal maupun eksternal. Masalah sosial ini muncul karena beberapa faktor yaitu, faktor politik, religius, sosial- budaya dan faktor ekonomi. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain sehingga mampu mempengaruhi tingkah laku manusia, karena tidak mampu menyesuaikan diri sehingga muncullah perilaku menyimpang atau yang lebih dikenal dengan patologi sosial.50 b. Anak jalanan sebagai gejala patologis Belakangan ini anak jalanan sudah menjadi bagian dari masalah sosial dan juga gejala perilaku menyimpang. Hal tersebut dikarenakan banyaknya permasalahan yang mereka timbulkan sehingga berdampak bagi orang lain. Disamping anak jalanan masih terdapat banyak perilaku menyimpang lainnya yaitu: pelaku kriminalitas, koruptor, penyimpangan seksual, difabel, tunanetra, 49 Ibid. Hal 5 50 Ibid. Hal 7 34 waria, peminum dan penyalahgunaan narkoba, perjudian kenakalan remaja, gelandangan, pengemis dan anak jalanan dan punk. Bergabungnya anak jalanan dalam sebuah perilaku menyimpang ini dasari oleh dua faktor diantaranya: 1) Faktor Internal a) Ketidakmampuan seseorang dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dan perubahan yang terjadi. b) Berbagai permasalahan yang dihadapi membuat individu ingin berusaha mencari jalan keluarnya sendiri dengan cara mencari kebebasan diluar rumah51. c) Permasalahan lainnya ialah permasalahan ekonomi, dimana kebutuhan keluarga semakin meningkat akan tetapi orang tua tidak dapat memenuhinya. Hal tersebut jugalah yang mendorong individu untuk mencari uang untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarga. 51 Godfrid Hutapea. Analisis anak Jalanan Dalam Perspektif Patologi Sosial. (Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian PTIK, 2015) 35 2) Faktor Eksternal a) Faktor lain yang mendukung munculnya anak jalanan ialah karena dorongan keluarga seperti orang tua atapun kakak. Untuk memenuhi kebutuhan tak jarang dijumpai banyak orang tua yang menerjunankan anaknya ke jalanan untuk mencari uang. b) Teman sepergaulan juga dapat memberikan pengaruh dan dampak yang sangat besar untuk terjun kejalanan. c) Ketika seorang anak tidak lagi memperoleh kasih sayang dan perlindungan dari orang tua, maka anak tersebut cenderung akan melarikan diri dari rumah. Hal tersebutpun dapat dipicu jika sang anak sering mengalami kekerasa dari keluarga maupun orang tua52. 52 Godfrid Hutapea. Analisis anak Jalanan Dalam Perspektif Patologi Sosial. (Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian PTIK, 2015) dan Kartono. Patologi Sosial. Hal 19-24