BAB I Pendahuluan

advertisement
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Industri perbankan memainkan peranan yang sangat penting dalam
perekonomian suatu negara. Dengan fungsi intermediasi yang dijalankannya,
perbankan mengumpulkan dana dari masyarakat
untuk disalurkan ke dalam
perekonomian dalam bentuk investasi dan pemanfaatan lain yang lebih produktif.
Selain itu, bank menyediakan mekanisme dan alat pembayaran yang efisien bagi
masyarakat dalam aktivitas mereka sehari-hari. Dengan demikian, kinerja
perekonomian suatu negara tidak dapat dilepaskan dari kinerja industri
perbankan dalam suatu negara tersebut (Mishkin, 2004).
Bank yang sudah dikenal sejak akhir abad ketujuhbelas di Inggeris,
diperkenalkan di Indonesia pertama kali pada tahun 1828 oleh Hindia Belanda
untuk memperlancar perdagangan hasil bumi di dalam negeri maupun ekspor ke
luar negeri. Sejak itu, industri perbankan berkembang menjadi bentuknya yang
ada sekarang setelah melalui berbagai tahapan penting sejalan dengan
perkembangan politik dan ekonomi Indonesia. Kemerdekaan Indonesia pada
tahun 1945 misalnya menyebabkan terjadinya nasionalisasi berbagai bank milik
Belanda. Bank swasta dan bank pemerintah juga sejak itu terus berkembang
sehingga mencapai aset lebih dari 3000 Triliun pada akhir tahun 2010 (BI-SPI,
2011).
Terlepas dari berbagai tahapan perkembangan yang dilalui oleh industri
perbankan Indonesia sejak awal berdirinya pada zaman Hindia Belanda, sistem
perbankan yang digunakan pada dasarnya tetap sama yaitu sistem yang dikenal
sebagai sistem konvensional. Sistem bunga memegang peranan sentral dalam
2
rancangan berbagai produk dan aktivitas perbankan dalam sistem ini. Walaupun
sistem perbankan konvensional telah terbukti mendukung pertumbuhan ekonomi
suatu negara dan dunia, sejarah juga mencatat berbagai krisis ekonomi yang
berakar pada sistem perbankan yang digunakan. Regulasi ketat yang diterapkan
untuk mengantisipasi terjadinya berbagai dampak negatif yang melekat pada
sistem yang digunakan ternyata tidak cukup kuat untuk mencegah terjadinya
berbagai krisis tersebut.
Sejak tahun 1992, perkembangan industri perbankan di Indonesia
mencatat sejarah baru perkembangan perbankan di Indonesia. Pada tahun
tersebut berdiri Bank Muámalat sebagai bank dengan dasar syariah Islam yang
pertama. Sistem perbankan islam yang di Indonesia dikenal dengan perbankan
syariah ini diinisiasi sebagai antitesa terhadap berbagai kelemahan yang dimiliki
oleh
sistem
perbankan
konvensional,
sekaligus
untuk
mengakomodasi
permintaan dari segmen umat Islam yang selama ini tidak nyaman bertransaksi
dengan sistem perbankan konnensional.
Perbankan syariah di Indonesia dapat dikatakan berkembang agak
terlambat dibandingkan dengan perkembangan di negara lain seperti Malaysia
dan negara-negara Timur Tengah.
Perbankan syariah di beberapa negara
tersebut sudah berkembang satu dekade lebih awal dan ternyata menunjukkan
perkembangan yang sangat cepat sehingga pada saat ini sudah menguasai
pangsa pasar cukup signifikan dalam perekonomian.
Berkaca dari pengalaman negara lain yang telah terlebih dahulu
mengembangkan perbankan syariah, tidak berlebihan jika Indonesia merasa
optimistis bahwa perbankan syariah di Indonesia juga akan tumbuh dengan
pesat, bahkan lebih baik dari negara lain yang sudah lebih dahulu. Hal ini
tergambar dari berbagai target tinggi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan
3
para pemangku kepentingan perbankan syariah untuk dicapai pada berbagai
tahapan periode. Untuk jumlah aset, misalnya, BI menargetkan perbankan
syariah sudah dapat mencapai pangsa pasar lima persen pada akhir tahun 2008.
Target optimistis perbankan syariah di Indonesia bukan tanpa justifikasi
mengingat Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi sangat besar
untuk berkembangnya industri perbankan syariah. Sampai sensus penduduk
tahun 2010, Indonesia masih tercatat sebagai negara dengan penduduk
mayoritas beragama Islam. Dengan persentase 85.1 persen dan jumlah total
penduduk sekitar 240 juta, maka jumlah umat Islam di Indonesia mencapai lebih
dari 202 juta orang. Jumlah ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan
penduduk muslim terbesar di dunia. Selain jumlah penduduk muslim, sektor rill
yang bernuansa Islam atau mempraktekkan prinsip syariah Islam juga sudah
sejak lama berkembang pesat. Rumah Sakit, Sekolah dan banyak perdagangan
serta kegiatan sektor riil yang berlabel Islam
logikanya menuntut sistem
pendanaan dan transaksi yang sejalan, yaitu yang didasari prinsip syariah.
Namun demikian, berbagai lembaga dan kegiatan ekonomi yang bernuansa
syariah ini sebelum didirikannya perbankan syariah terpaksa bertransaksi
dengan perbankan konvensional yang pada dasarnya tidak sepenuhnya sesuai.
Masyarakat dan kegiatan seperti ini sejatinya akan otomatis berpindah ke
perbankan syariah sebaik layanan tersedia.
Data pada Tabel 1 memperlihatkan ternyata memang perbankan syariah
mengalami pertumbuhan yang sangat cepat dan umumnya lebih tinggi dari ratarata pertumbuhan perbankan konvensional. Laju pertumbuhan aset perbankan
syariah selalu mencatat angka double digit, bahkan jarang sekali lebih rendah
dari 30 persen sehingga aset yang hanya berjumlah Rp. 1.8 Trilyun pada tahun
2000 berkembang menjadi Rp. 97.5 Trilyun sepuluh tahun kemudian. Nilai aset
4
ini hampir mengejar tingkat aset perbankan syariah di Malaysia yang telah berdiri
satu dekade lebih awal. Sementara itu, perbankan konvensional tidak pernah
mencapai laju pertumbuhan 20 persen bahkan tidak jarang hanya single digit.
Namun karena jumlah aset yang sudah sangat besar, pertumbuhan perbankan
konvensional yang relatif lebih kecil tersebut tetap menghasilkan angka nominal
yang sangat besar dibandingkan angka nominal peetumbuhan aset perbankan
syariah.
Kecenderungan nasional di atas sejalan dengan pertumbuhan di tingkat
internasional. Industri perbankan syariah menjadi industri yang mengalami
pertumbuhan tercepat (Vayanos et al., 2008).
IMF bahkan meramalkan aset
perbankan syariah dunia akan mencapai US$ 1 Trilyun pada tahun 2016 dengan
pertumbuhan rata-rata 10-15 persen per tahun. Pertumbuhan yang relatif tinggi
tersebut diduga karena semakin meningkatnya permintaan dari umat Islam
sendiri, investor non-muslim yang mencari alternatif sistem perbankan yang lebih
adil dan besarnya pendapatan minyak dari Timur Tengah (Rohilina dan
Wibisono, 2011).
Tabel 1. Perbandingan Nilai dan Pertumbuhan Aset Perbankan Syariah dengan
Perbankan Konvensional di Indonesia Tahun 2000-2010
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Konvensio
nal (M Rp)
1 039 855
1 099 699
1 112 204
1 213 518
1 272 081
1 469 827
1 693 850
1 986 501
2 310 557
2 534 106
3 008 853
Growth
(%)
5.76
1.14
9.11
4.83
15.55
15.24
17.28
16.31
9.68
18.73
Syariah
(M Rp)
1 794
2 728
4 087
7 944
15 210
20 880
26 722
33 016
49 555
66 090
97 519
Growth
(%)
52.06
49.82
94.37
91.47
37.28
27.98
23.55
50.09
33.37
47.55
Sumber: Diolah dari Statistik Perbankan Indonesia BI, Berbagai tahun.
Pangsa
Syariah (%)
0.17
0.25
0.37
0.65
1.20
1.40
1.55
1.63
2.10
2.54
3.14
5
1.2. Perumusan Masalah Penelitian
Terlepas dari tingginya pertumbuhan industri perbankan syariah di
Indonesia, ada beberapa indikasi yang mendasari dugaan bahwa laju
pertumbuhan
tersebut masih berada di bawah potensi terbaiknya.
Dugaan
potensi pasar yang besar dan masih belum tergali sangat berdasar karena
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.
Praktek ekonomi yang bernuansa atau didasarkan pada syariah Islam juga telah
berkembang lama di tengah-tengah masyarakat, bahkan lebih lama dari mulai
dikembangkannya industri perbankan syariah itu sendiri. Oleh karena itu, wajar
jika diperkirakan perkembangan perbankan syariah akan disambut dengan
antusias oleh masyarakat Indonesia. Pada sisi lain, perbankan konvensional
sudah berkali-kali menunjukkan kerentanannya dalam menghadapi situasi krisis.
Hal ini menyebabkan masyarakat, muslim maupun non-muslim, mencari alternatif
perbankan dengan sistem yang lebih aman dan menenteramkan (adil).
Perbankan syariah tampil menawarkan konsep alternatif yang dibutuhkan.
Dengan logika tersebut, ditambah dengan pengalaman berbagai negara yang
terlebih dahulu mengembangkan perbankan syariah serta kecenderungan laju
pertumbuhan di tingkat dunia, maka tidak berlebihan jika Bank Indonesia sempat
menargetkan pangsa pasar perbankan syariah akan mencapai 5 persen pada
akhir tahun 2008.
Pada kenyataannya, seperti yang terlihat pada Tabel 1, perbankan
syariah baru bisa menembus pangsa pasar sedikit di atas 3 persen pada akhir
tahun 2010. Walaupun secara nominal pertumbuhan aset industri perbankan
syariah sangat tinggi, tetapi laju pertumbuhan pangsa pasarnya sangat lambat.
Pertumbuhan pangsa perbankan syariah bahkan sempat menurun cukup tajam
6
dari tahun 2005 sampai tahun 2007 sebelum kembali meningkat. Hal ini
menyebabkan
cita-cita
awal
Indonesia
untuk
mengembangkan
industri
perbankan dengan dual-system, masih jauh dari harapan. Tingkat pangsa pasar
yang masih sangat kecil tersebut belum cukup signifikan bagi industri perbankan
syariah untuk mengklaim sebagai alternatif bagi sistem perbankan yang sudah
ada.
Tantangan ke depan untuk mempercepat peningkatan penguasaan pasar
diperkirakan tidak semakin mudah (Fahmi, 2010). Pada saat awal perbankan
syariah didirikan sebagian besar nasabah masih merupakan syariah loyalist yang
tidak menjadikan perbankan konvensional sebagai alternatif sehingga tingkat
persaingan yang dihadapi masih relatif rendah. Dengan semakin berkembangnya
perbankan syariah dan semakin meluasnya segmen masyarakat yang menjadi
nasabah, maka persaingan yang dihadapi oleh masing-masing bank syariah
menjadi semakin tinggi.
Selain harus bersaing ketat dengan sesama bank
syariah, perbankan syariah juga berhadapan dengan nasabah yang mempunyai
permintaan yang semakin elastis karena masih menjadi nasabah perbankan
konvensional. Dengan kata lain, market boundary industri perbankan syariah
menjadi meluas dengan juga harus menghadapi perbankan konvensional yang
mempunyai sejarah dan pengalaman jauh lebih tua. Dalam hal ini, diduga
banyak perbankan syariah akan tertinggal dalam hal kemampuan memberikan
pelayanan atau fleksibilitas dalam memenuhi berbagai kebutuhan nasabah yang
‘mengambang’ tersebut.
Pertanyaan besar dari fakta yang terlihat anomali di atas adalah kenapa
industri perbankan syariah belum mampu mengkonversi potensi pasar yang
diduga demikian besar menjadi pasar yang riil secara cepat?
Belajar dari
pengalaman negara yang telah mampu mencapai pangsa yang cukup signifikan
7
seperti Malaysia dan negara-negara Timur Tengah, lingkungan eksternal yang
kondusif sangat membantu percepatan (Vayanos et al., 2008). Malaysia dapat
mencapai tingkat pangsa seperti sekarang karena tingkat keberpihakan yang
sangat tinggi dari pemerintahnya kepada perbankan syariah. Keberpihakan
tersebut dapat berbentuk penyiapan lingkungan regulasi yang kondusif maupun
pendanaan
langsung.
Negara-negara
Timur
Tengah
diuntungkan
oleh
tersedianya dana dari minyak yang berlimpah sebagai sumber pertumbuhan
pendanaan perbankan syariah. Kedua alasan yang dirasakan oleh Malaysia dan
Timur Tengah sayangnya tidak dimiliki oleh Indonesia. Perbankan Syariah
Indonesia pada awalnya berkembang dengan usaha sendiri. Keberpihakan
pemerintah baru mengikuti belakangan dengan terus memfasilitasi dalam bentuk
berbagai peraturan dan perundangan. Indonesia terkesan tidak proaktif dalam
menyediakan berbagai fasilitas dan perundangan yang dibutuhkan oleh industri.
Mengingat privelege yang dialami oleh pelaku perbankan syariah
berbagai negara lain dari lingkungan maupun pemerintahnya, maka tidak
berlebihan kalau industri perbankan syariah Indonesia juga mengharapkan
dukungan yang sama dari pemerintah untuk mencapai target pertumbuhan yang
diharapkan.
Dalam hal ini industri perbankan syariah mencatat berbagai
keberhasilan dalam melakukan lobi kepada pemerintah seperti dikeluarkannya
UU perbankan syariah No.21 Tahun 2008, yang merupakan penyempurnaan
dasar yang sebelumnya tidak secara spesifik diatur dan hanya merupakan
bagian dari UU Perbankan No. 7/1992 dan UU No. 10/1998. Pengenaan pajak
berganda pada transaksi murabahah yang sebelum tahun 2010 membuat Bank
Syariah terbebani juga sudah ditiadakan oleh pemerintah.
Secara struktural
Bank Indonesia sudah mengelevasi pengurusan perbankan syariah ke tingkat
Direktorat
sehingga produk-produk Bank Indonesia semakin banyak yang
8
mengakomodasi keperluan perbankan syariah. Pada level masyarakat, Majelis
Ulama Indonesia (MUI) secara eksplisit mengeluarkan fatwa haramnya bunga
bank pada tahun 1995. Industri dan masyarakat juga mendirikan berbagai
lembaga seperti Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Pusat Komunikasi
Ekonomi Syariah (PKES) dan Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) untuk turut
melakukan edukasi masyarakat dalam rangka mendorong laju pertumbuhan
ekonomi syariah secara umum dan perbankan syariah secara khusus.
Berbagai dukungan eksternal industri yang telah dilakukan ternyata belum
cukup untuk mengangkat pertumbuhan industri ke tingkat yang dikehendaki.
Pertanyaan yang muncul dari fakta ini adalah seberapa penting sebenarnya
peran dukungan faktor eksternal terhadap pertumbuhan industri perbankan
syariah. Selain lingkungan makro dan kebijakan pemerintah, peran perilaku
konsumen juga diperkirakan merupakan faktor eksternal yang belum sepenuhnya
dipahami dan diantisipasi oleh industri perbankan syariah. Jumlah penduduk
muslim yang besar ternyata tidak otomatis dapat dikonversi secara langsung
menjadi nasabah perbankan syariah.
Ratusan tahun interaksi masyarakat
dengan perbankan konvensional menyebabkan diperlukan upaya sistematis
yang didasarkan pada riset yang kuat untuk mengkonversi potensi yang besar
tersebut menjadi nasabah yang riil. Berbagai upaya telah dilakukan untuk itu,
tetapi informasi yang didasari oleh riset yang kokoh masih belum banyak
tersedia.
Bagaimanapun kondusifnya lingkungan eksternal untuk pertumbuhan
industri perbankan syariah, tetap saja karakter faktor eksternal adalah tidak
sepenuhnya di bawah kendali industri. Faktor yang lebih berada di bawah kendali
tentu saja adalah faktor internal industri yang dapat dimodifikasi untuk merespon
berbagai perkembangan eksternal dalam rangka untuk mencapai tujuan.
9
Disinilah dinamika struktur pasar perbankan syariah dan perilaku masing-masing
bank maupun perbankan secara industri menjadi sangat menentukan kinerja
industri secara keseluruhan.
Paradigma Structure-Conduct-Performance (SCP) merupakan salah satu
pendekatan dalam Ekonomi Industri yang banyak digunakan untuk menganalisa
dinamika suatu industri. Namun untuk dapat menggunakan pendekatan ini
secara valid, terlebih dahulu harus jelas batasan pasar dari industri yang akan
dianalisa. Hal ini penting untuk diklarifikasi dalam kasus industri perbankan
syariah karena pangsanya yang masih kecil dan pesaing utamanya, perbankan
konvensional, sudah mempunyai sejarah panjang melayani masyarakat dan
mempunyai pangsa pasar yang sangat dominan. Setelah batasan pasar jelas,
barulah analisis persaingan yang terjadi dalam industri dapat dianalisa. Tingkat
persaingan dan berbagai faktor lain yang relevan kemudian perlu dikaji
pengaruhnya terhadap pertumbuhan industri sebelum berbagai implikasi dan
strategi untuk mengakselerasi pertumbuhan industri perbankan syariah dapat
dirumuskan secara baik.
Secara akademis, dinamika industri perbankan syariah di Indonesia
merupakan laboratorium yang menarik untuk dikaji karena masih dalam periode
awal pertumbuhan. Pada saat-saat awal pertumbuhan, perbankan syariah
mungkin menikmati masa-masa menjadi perusahaan dominan baik karena masih
sedikitnya kompetitor maupun oleh karakter nasabah yang masih termasuk
idiologis. Semakin berkembangnya industri diperkirakan akan mengurangi
kekuatan pasar yang dimiliki oleh perbankan sedikit demi sedikit dengan semakin
banyaknya
perbankan
pesaing
dan
pada
saat
yang
sama
semakin
mengambangnya nasabah perbankan syariah. Nasabah yang diperebutkan tidak
lagi mereka yang secara idiologis akan loyal kepada perbankan syariah saja,
10
tetapi juga mereka yang pragmatis masih tetap bertransaksi dengan bank
konvensional. Dengan kata lain market boundary dari perbankan syariah tidak
hanya terbatas pada industri perbankan syariah saja, melainkan sudah meluas
kepada industri perbankan secara keseluruhan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka masalah yang akan dikaji pada
penelitian ini adalah:
1.
Apakah industri perbankan syariah merupakan industri yang terpisah dengan
industri perbankan konvensional?
2.
Bagaimana hubungan struktur pasar dengan tingkat keuntungan bank
syariah?
3.
Bagaimana tingkat persaingan industri perbankan syariah?
4.
Apa faktor-faktor yang menjadi determinan tingkat pertumbuhan industri
perbankan syariah?
5.
Apa implikasi kebijakan bagi pelaku industri maupun pemerintah untuk
meningkatkan laju pertumbuhan industri perbankan syariah di Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk merumuskan pilihan
kebijakan yang dapat digunakan oleh industri perbankan syariah maupun
pemerintah untuk meningkatkan laju pertumbuhan industri perbankan syariah.
Tujuan umum tersebut akan dicapai dengan secara bertahap mencapai
beberapa tujuan antara sebagai berikut:
1.
Menganalisa batas pasar (market boundary) industri perbankan syariah.
2.
Menganalisa hubungan struktur pasar dengan kinerja industry perbankan
syariah Indonesia.
3.
Menganalisa tingkat persaingan dalam industri perbankan syariah Indonesia.
11
4.
Menganalisa faktor-faktor yang menjadi determinan tingkat pertumbuhan
industri perbankan perkembangan syariah Indonesia.
5.
Merumuskan pilihan implikasi kebijakan bagi industri perbankan syariah dan
pemerintah untuk meningkatkan laju pertumbuhan industri perbankan
syariah Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi industri perbankan syariah
untuk merumuskan berbagai strategi untuk meningkatkan laju pertumbuhan
industri secara keseluruhan.
Strategi yang dapat dirumuskan dapat berupa
strategi individual di tingkat masing-masing perusahaan ataupun strategi yang
dapat dikerjasamakan di tingkat industri.
Dalam hal strategi yang dirumuskan berada di luar kendali perusahaan
atau industri, maka pilihan strategi dapat menjadi masukan bagi pemerintah
untuk merumuskan kebijakan yang dapat mengakselerasi pertumbuhan industri
syariah ke depan. Implikasi kebijakan ini dapat berupa affirmative action yang
diperlukan ataupun intervensi kebijakan yang tidak diperlukan agar tidak
mengganggu laju pertumbuhan yang terjadi.
Mengingat belum banyaknya studi Struktur-Perilaku-Kinerja di industri
perbankan syariah, kajian ini diharapkan memperkaya khasanah koleksi kajian
ekonomi industri dalam sektor yang relatif baru ini. Masih relatif mudanya umur
industri perbankan syariah ini menyebabkan berbagai keterbatasan terhadap
upaya kajian yang ingin dilakukan. Keterbatasan data yang tersedia memberikan
tantangan
tersendiri
dalam
merumuskan
model
yang
digunakan
dan
menginterpretasi hasil yang diperoleh. Terlepas dari berbagai keterbatasan yang
12
ada, kajian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dinamika sebuah industri
pada tahapan dua dekade awal pertumbuhannya.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Karena terbatasnya data time series yang tersedia, maka dalam
penelitian ini akan digunakan metode ekonometrika yang diterapkan terhadap
panel data. Sebagai akibatnya, tidak seluruh data dapat digunakan. Beberapa
tahapan awal terpaksa dihilangkan, demikian juga beberapa perbankan yang
baru berdiri untuk mendapakan panel yang seragam.
Hal ini menyebabkan
beberapa informasi penting akan luput dari tangkapan model yang dirumuskan.
Katerbatasan ini akan dicoba untuk diatasi semaksimal mungkin dengan analisis
kualitatif.
Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
sehingga tidak seluruhnya variabel yang diukur dapat diukur sesuai dengan
konsep yang ideal. Berbagai upaya manipulasi variabel akan digunakan untuk
menghasilkan variabel yang dapat menjadi proksi variabel yang diinginkan.
Variabel-variabel perilaku pasar khususnya akan memberi tantangan sendiri
untuk dapat dirumuskan dengan data sekunder yang tersedia. Bagaimanapun
hasilnya, penelitian lanjutan dengan menggunakan data primer diperkirakan akan
menjadi pelengkap yang sangat berharga baik untuk menegaskan, memperkaya
atau menjawab berbagai aspek yang tidak dapat dijangkau oleh model dan data
yang digunakan dalam penelitian ini.
Keterbatasan data juga yang menyebabkan ruang lingkup perbankan
yang dianalisa pada penelitian ini hanya mencakup kategori Bank Umum Syariah
dan Unit Usaha Syariah. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) tidak
dimasukkan dengan justifikasi paling tidak hal. Pertama, BPRS mempunyai
13
karakteristik operasional yang berbeda dengan BUS dan UUS. BPRS tidak dapat
memberikan pelayanan jasa dalam lalu lintas pembayaran atau transaksi dalam
lalu lintas giral seperti halnya BUS dan UUS. Kedua, pangsa pasar BPRS dalam
industri perbankan syariah masih sangat kecil, yaitu hanya 2.7 persen dari total
industri perbankan syariah, sehingga diperkirakan tidak akan terlalu mengganggu
gambaran keseluruhan industri jika diabaikan. Ketiga, data yang tersedia untuk
BPRS tidak selengkap yang tersedia untuk BUS dan UUS sehingga tidak akan
terlalu banyak membantu meningkatkan kualitas dan kuantitas data panel yang
diperlukan dalam penelitian. Terkahir, walaupun segmen pasar yang digarap
oleh BPRS dan BUS serta UUS sebagian besar adalah sama-sama UMKM,
namun diperkirakan nasabah UMKM yang digarap oleh BUS dan UUS tidak
sepenuhnya berimpit dengan nasabah yang digarap oleh BPRS.
Keterbatasan terakhir dari penelitian ini adalah dalam hal implikasi
kebijakan yang dirumuskan.
Pilihan yang dirumuskan sifatnya hanya berupa
masukan yang perlu dikaji lebih dalam untuk menjadi kebijakan akhir. Strategi
untuk tingkat perusahaan, misalnya, tentu saja harus mempertimbangkan kondisi
internal dan keragaman yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan. Demikian
juga untuk pemerintah, kebijakan yang dirumuskan perlu mempertimbangkan
dampak lebih makro dari kebijakan yang ditujukan untuk industri perbankan
syariah.
Download