1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Masalah

advertisement
1
BAB I
PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Masalah
Nasionalisme sebagai gejala historis mempunyai peranan dominan dalam
abad ke-20 dalam proses formatif negara-negara nasional modern di Asia dan
Afrika. Nasionalisme sebagai ideologi politik tercipta sebagai counter-ideology
terhadap kolonialisme atau imperialisme (Kartodirjo, 1993: 14).
Tidak mudah memberikan definisi yang tepat tentang nasionalisme,
apalagi secara akademis, dan yang dapat diterima serta disepakati secara bulat
oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu. Apalagi kondisi, situasi, dan suasana
secara
keseluruhan
antarnegara
atau
kawasan
juga
sangat
berbeda
(Abdulgani,1995: xvi). Hal ini mirip yang dikatakan oleh Antoni H. Birch:
One of the problems faced by all students of politic is that the terms
they use are also used in ways that are often confusing, by
politicians, journalists and member of the general public. This is
conspicuously true of the term ‘nationalism” which is commonly
used in great variety of ways. It is sometimes used to describe the
belief that one’s own culture and civilization are superior to all
others, for which the proper term is chauvinism.(Birch H, 2006:3).
Menurut Habsbawn (1994:14-15) bahwa arti nasionalisme yang dulu
tidak seperti maknanya di era modern. Perjalanan menuju maknanya yang
sekarang membutuhkan proses. Sebelum tahun 1884 nation berarti kumpulan
penduduk dari suatu propinsi, suatu negara. Sekarang dimaknai suatu negara atau
badan politik yang mengakui pusat pemerintahan bersama sebagai yang tertinggi
dan penduduknya dipandang sebagai suatu kesatuan.
2
Idelologi nasionalisme, menurut Smith (2003: 10) telah didefinisikan
dengan berbagai cara, tetapi kebanyakan definisi tersebut tumpang tindih dan
menyingkap tema yang sama. Tentu saja tema utamanya adalah yang
mendominasi bangsa. Nasionalisme adalah suatu ideologi yang meletakkan
bangsa di pusat masalahnya dan berupaya mempertinggi keberadaannya. Sasaran
umum nasionalisme ada tiga: otonomi nasional, kesatuan nasional, dan identitas
nasional. Bagi para nasionalis, suatu bangsa tidak bisa melangsungkan hidupnya
kalau tidak terdapat ketiga sasaran ini dalam derajat yang memadai.
Nasionalisme (Chamamah, 2011:32) dapat dilihat dari tiga unsur, yaitu,
bahasa, bangsa, dan tanah air.
Pendapat ini dalam konteks nasionalisme di
Indonesia mengkristal dalam keputusan konggres pemuda Indonesia tahun 1928
yang dikenal dengan “Sumpah Pemuda”. Sejalan dengan itu didefinisikan bahwa
nasionalisme (Budi, 2007:119) adalah paham untuk mencintai bangsa dan negara
sendiri.
Spirit nasionalisme pada umumnya lahir dari rasa memiliki -sebagai
sebuah bangsa- penderitaan yang sama, tujuan yang sama dan keinginan yang
sama. Hal ini mendorong terwujudnya dan menjadi dasar terbentuknya suatu
komunitas baru untuk mewujudkan semua hal tersebut. Sebagai contoh, semangat
nasionalisme pada saat perang kemerdekaan muncul karena ingin bebas dari
penjajahan dan penindasan. Menurut Abdul Rahma Haji Ismail dalam buku
Nasionalisme dan Revolusi di Malaysia dan Indonesia (2003:2) bahwa pokok
nasionalisme adalah memperjuangkan kedaulatan dan kemerdekaan negarabangsa dari pada penjajahan asing. Maka membicarakan tentang nasionalisme
3
bangsa yang terjajajah yang berusaha membebaskan diri daripada penjajahan
adalah nyata dan mudah. Ribuan, bahkan jutaan orang telah gugur dalam
peperangan yang mengatasnamakan bangsa mereka, seperti yang terjadi pada
Perang Dunia I dan II pada abad ke-20 (Grosby, 2005: 1).
Bagi Dunia Ketiga, abad ke-20 (Kartodirjo, 1993:42) dapat dianggap
sebagai abad nasionalisme, tidak lain karena menyaksikan timbulnya negara
nasion, khususnya setelah usainya Perang Dunia II. Demikian pula dengan Mesir,
telah mengalami perjuangan panjang yang sarat dengan pengorbanan baik nyawa
maupun harta.
Dalam sejarah revolusi perjuangan rakyat Mesir di era modern di saat
sistem pemerintahannya masih dalam bentuk kerajaan dan di bawah kolonial
Inggris, tercatat ada tiga kali revolusi yang monumenal. Hal ini mengecualikan
revolusi 25 Januari 2011 (The Arab Spring) yang telah berhasil menumbangkan
rezim Husni Mubarok. Pengecualian ini karena pada revolusi sprink 25 Januari itu
situasi Mesir
sudah tidak dalam cengkeraman kolonial asing dan bentuk
negaranya sudah tidak dalam bentuk kerajaan melainkan sudah lama berubah
menjadi republik. Adapun ketiga revolusi monumental Mesir yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah pertama revolusi 1882 dipelopori oleh Ahmad Arabi,
kedua revolusi 1919 dipelopori Sa’ad Zaghlul, dan ketiga revolusi 1952 yang
dipelopori oleh Gamal Abdel Nasir beserta kawan-kawan dari para perwira tinggi
angkatan bersenjata. (Ghali, dkk. 1986:80-110).
Secara bersamaan, terdapat dua problem besar dalam setiap perjuangan
yang dialami rakyat Mesir yang mengkristal dalam ketiga revolusi di atas.
4
Pertama untuk membebaskan negara dari penjajahan Inggris, dan kedua yaitu
dalam waktu yang sama perjuangan melawan penguasa Mesir di bawah supremasi
Turki-Utsmani
yang justru berkolaborasi dengan penjajah dalam menindas
rakyatnya sendiri demi melanggengkan kekuasaannya. Hanya saja pembahasan
dalam penelitian ini yang berkaitan dengan penjajahan adalah lebih terfokus pada
yang dilakukan Inggris sedangkan revolusi yang dimaksudkan juga hanya tertentu
pada revolusi Mesir 1952.
Revolusi Mesir 23 Juli 1952 meletus sebagai akibat dari akumulasi
berbagai krisis, diantaranya adalah merajalelanya korupsi yang dipraktekkan oleh
rezim monaki Mesir dan dukungan rezim itu terhadap aksi penjajahan Inggris
serta hilangnya tatanan demokrasi akibat dari manipulasi hasil pemilihan umum
yang menguntungkan partai-partai yang mendominasi pemerintahan di bawah
naungan raja yang didukung oleh Inggris. Diantara contoh kebobrokan pemerintah
adalah intervensi raja dalam menghentikan jalannya parlemen dengan cara
menggantungkan penerapan undang-undang dan membubarkan parlemen
beberapa kali (Ghali, dkk. 1986:102)
Secara garis besar, Revolusi Mesir Juli 1952 dilatarbelakangi oleh
sejumlah faktor yang terkait satu sama lain, baik politik, sosial maupun ekonomi
yang menginspirasikan akan pentingnya menciptakan perubahan total di Mesir.
Diantara faktor-faktor tersebut adalah (Ghali, dkk. 1986:110). Pertama,
Penjajahan Inggris yang telah berlangsung lebih dari tujuh puluh tahun. Dengan
kondisi dalam negeri dan militer yang tetap seperti itu, maka tidak ada harapan
akan terlepasnya Mesir dari panjajahan Inggris. Hal itu mempertegas bahwa jika
5
rakyat Mesir ingin bebas dari penjajahan, maka dibutuhkan adanya perubahan
politik dan sistem pemerintahan. Penjajahan Inggris atas Mesir berlangsung lebih
dari tujuh puluh tahun dan selama itu pula Inggris terus melakukan intervensi ke
seluruh urusan dalam negeri Mesir. Tidak ada isyarat apapun yang menunjukkan
akan kemungkinan hengkangnya Inggris dari Mesir, padahal Inggris mengakui
bahwa Mesir sebagai negara yang berdaulat. Campur tangan Inggris di Mesir itu
tidak hanya terbatas pada urusan dalam negeri saja akan tetapi juga menyeluruh
ke berbagai bidang, bahkan melakukan serangan militer di berbagai kawasan di
Mesir (Ghali, dkk. 1986:110).
Kedua, Rezim kerajaan yang korup dan penindasannya terutama pada era
raja Faruq, sehingga rakyat berkeyakinan bahwa penghapusan rezim kerajaan
adalah syarat utama bagi reformasi total di Mesir.
Ketiga, Buruknya situasi perekonomian. Perekonomian Mesir hanya
bergantung pada produksi pertanian saja, terutama kapas. Disamping itu
pengangguran menyebar, upah menurun yang diikuti oleh penurunan taraf hidup.
Sebelum meletusnya revolusi 1952, krisis ekonomi parah melanda Mesir yang
menggoyahkan kondisi sosial dan sektor pekerjaan termasuk maraknya
pemogokan kerja baik di sektor pemerintahan maupun swasta. Pemogokan kerja
itu juga marak terjadi di kalangan para guru dan aparat kepolisian. Suasana cemas
melanda di hampir seluruh negeri. Di sektor pertanian sebagai misal, sepertiga
luas lahan pertanian di negara itu hanya dimiliki oleh 5 % saja dari penduduk
Mesir, sedangkan lebih dari puluhan juta petani yang merupakan mayoritas
penduduk, hanya berstatus sebagai buruh tani. Kabinet yang silih berganti tidak
6
mampu menemukan solusi. Hal itu menunjukkan lemahnya tatanan sosial politik
dalam menghadapi krisis yang melanda.
Keempat, Buruknya kondisi sosial. Masyarakat Mesir terbagi menjadi dua
strata yang berbeda. Pertama, para tuan tanah dan para pemilik modal yang
keduanya merupakan jumlah kecil dari penduduk Mesir akan tetapi mampu
menguasai kekayaan negara. Kedua adalah merupakan jumlah mayoritas
penduduk Mesir, yaitu para petani, buruh dan pedagang kecil yang mana mereka
adalah para pemilik penghasilan rendah (Ghali, dkk. 1986:111).
Masyarakat Mesir terbelah menjadi dua kelompok kelas sosial yang
berjauhan. Kelas pertama jumlahnya sangat sedikit, terdiri dari para petinggi
negara dan keluarga bangsawan. Meskipun jumlah mereka sedikit namun mereka
menguasai atas kekayaan negara. Sedangkan kelompok kelas kedua yang
merupakan mayoritas, terdiri dari para petani, pedagang kecil, dan buruh. Mereka
hanya memperoleh hak kepemilikan yang terbatas, pendapatan yang terbatas serta
ditelantarkannya pelayanan kesehatan dan pendidikan.
Setelah berakhirnya perang dunia kedua, kehidupan politik dan ekonomi
Mesir mengalami krisis multi dimensi. Diantaranya memanasnya tuntutan
kemerdekaan, krisis ekonomi, tidak adanya keadilan sosial, krisis Palestina,
termasuk krisis demokrasi. Tidak ada jalan untuk keluar dari beragam krisis yang
saling kait-mengkait itu kecuali dengan proses reformasi politik. Isu kemerdekaan
merupakan inti dari beragam persoalan yang mendominasi kehidupan politik di
Mesir pada era itu. Tuntutan kemerdekaan rakyat Mesir secara resmi dilakukan
melalui cara konvensional yaitu perundingan. Selama jangka waktu antara perang
7
dunia pertama dan kedua, Mesir telah melakukan enam kali perundingan dengan
Inggris untuk menuntut kemerdekaan. Seluruh perundingan itu gagal mencapai
kesepakatan, bahkan perjanjian Mesir-Inggris 1936 justru meratifikasi tetapnya
pangkalan militer Inggris di Mesir. (Ghali, dkk. 1986:105).
Selama
perang
dunia
kedua,
Inggris
semakin
memperkokoh
cengkeramannya terhadap Mesir, baik di bidang politik maupun ekonomi
diakibatkan oleh dampak perjanjian sebelumnya dan situasi perang yang masih
berkecamuk di seluruh dunia. Ketika perang dunia kedua usai, tuntutan rakyat
Mesir untuk merdeka dari penjajahan Inggris semakin menggelora dan meminta
agar perjanjian 1936 ditinjau ulang. Pemerintah Mesir selalu gagal merubah
perjanjian yang masih menguntungkan Inggris tersebut, maka kemudian Mesir
membawa persoalan itu ke dewan keamanan (DK) PBB, menuntut agar DK
membuat resolusi yang mengharuskan pasukan Inggris hengkang dari Mesir.
Hanya saja tuntutan Mesir itu tidak mendapatkan dukungan dari seluruh negara
anggota DK, kecuali hanya tiga negara, sehingga usulan Mesir tersebut tidak
berhasil membuahkan resolusi (Ghali, dkk. 1986:106).
Krisis multidimensi di atas telah menggugah spirit rakyat Mesir untuk
berjuang demi kemerdekaan negaranya dari penjajahan Inggris dan mereformasi
rezim yang berkuasa karena pro penjajah. Disamping itu, perjuangan ini adalah
ikhtiyar mempersempit jurang antar kelas-kelas sosial dalam masyarakat,
sebagaimana diungkapkan oleh Ihsan Abdul-Quddus:
8
‫ يوليو نعيش قضية وهى قضية جالء االحتالل‬23 ‫وقد كنا قبل ثورة‬
‫الربيطاىن مع قضية تغيري نظام احلكم مع قضية التقريب بني طبقات‬
. ‫الشعب‬
Sebelum revolusi 23 Juli dulu kita hidup dalam persoalan
bagaimana menyingkirkan penjajah Inggris, mengganti rezim yang
berkuasa, dan permasalahan mempersempit jurang perbedaan kelas
sosial dalam masyarakat (Abdul-Quddus, 1979: 6).
Dalam studi sosiologi sastra disebutkan bahwa karya sastra merupakan
cermin dari kondisi kehidupan masyarakat dan sebagai produk sosial. Teks sastra
merupakan rekaman dari peristiwa yang telah nyata terjadi di tengah-tengah
masyartakat atau rekaman dari kisah diri yang hidup di dalam komunitas
masyarakat. Hanya saja, kenyataan yang telah tertulis dalam karya sastra itu tidak
lagi sebuah kenyataan obyektif melainkan kenyataan yang sudah diinterpretasikan
(Abu Syaqra, Muhyiddin. 2005:45). Dalam banyak kesempatan, Ihsan AbdulQuddus sebagai sastrawan Mesir yang karyanya menjadi objek dalam penelitian
ini mengemukakan tentang keterkaitan yang tidak terpisahkan antara karya sastra
dengan kompleksitas dalam kehidupan masyarakat.
‫ شخصيىت األدبية بنت الظروف والبيئة االجتماعية الىت نشأت فيها وهى‬.."
‫ ويتهم بعضها البعض وهذا التناقض ىف‬. ‫ظروف متضاربة ومتناقضة للغاية‬
‫نشأتى االجتماعية األوىل أثر وال يزال يؤثر تأثريا كبريا جدا على شخصيىت‬
" ‫ال كاتب فحسب بل كمفكر وكاتب سياسى واجتماعى أيضا‬
“ ..kepribadian karya sastraku adalah lahir dari kondisi dan
lingkungan sosial yang mengitari pertumbuhanku, yaitu situasi yang
bergolak dan sangat kontradiktif, sebagian orang menuduh sebagian
yang lain. Kondisi sosial masyarakat yang mula-mula aku rasakan itu
telah berdampak dalam kehidupanku, bukan saja dalam kehidupanku
sebagai seorang sastrawan, tetapi juga berpengaruh dalam membentuk
9
warna diriku sebagai seorang pemikir dan sekaligus sebagai penulis
sosial-politik”(Abdul-Quddus, dalam Abulfutuh (1982:37).
Meskipun dari sudut pandang sosiologis ada keterkaitan antara karya
sastra dengan masyarakat, aka tetapi –sebagaimana diakui oleh Ihsan AbdulQuddus- bahwa karya sastra tidak bisa dikategorikan sebagai dokumen sejarah
karena realita empirik yang dikemas dalam sastra itu sudah diolah dengan unsur
yang sifatnya imajinasi dari
sang pengarang. Seorang novelis lebih banyak
memiliki kebebasan dibanding penulis sejarah, terutama bebas mengintegrasikan
antara fakta sejarah dengan imajinasi sebagaimana diungkapkan oleh Ihsan
Abdul-Quddus:
‫كاتب القصة ميلك حرية خلط الواقع باخليال وكل القصص الىت تعرضت‬
‫للمعارك احلربية كقصة احلرب والسالم وبقية مثل هذه القصص وهى تعتمد‬
‫على استحياء الواقع إلطالق اخليال أى هى خيال من وحي الواقع‬
Penulis sastra kisah memiliki kebebasan mengkombinasikan
antara fakta dengan imajinasi. Semua kisah fiksi, baik yang
mengisahkan tentang pertempuran bersenjata atau kisah peperangan
dan perdamaian maupun kisah-kisah lainnya, pada hakekatnya adalah
imajinasi yang terinspirasi oleh peristiwa nyata, atau dengan kata lain,
imajinasi yang dilatarbelakangi oleh peristiwa nyata (Abdul-Quddus,
1975a:177).
Ihsan Abdul-Quddus menekankan hakekat karya sastra sebagai suatu
perpaduan antara fakta dengan imajinasi itu bukan hanya pada tataran teori dalam
studi sastra, tetapi ia sendiri sebagai sastrawan yang melakukan konvergensi
antara realita empirik dengan imajinasi (fact and fiction).
10
‫هذه قصة كلها من رسم خياىل ولكنها من وحى واقع عشت فيه منذ كنت‬
‫ىف السابعة من عمرى ألعب بني آالت الطباعة اليدوية إىل أن كربت وكربت‬
‫األلة‬
“Seluruh kisah ini merupakan potret imajinasi akan tetapi kisah itu
terinspirasi dari fakta yang terjadi dalam kehidupan nyataku sejak
usiaku tujuh tahun saat aku bermain peralatan percetakan yang masih
konvensional sampai aku dewasa dan seiring itu alat percetakan itu
menjadi besar” (Abdul-Quddus, 1975a:176).
Ihsan Abdul-Quddus memiliki banyak karya yang mengungkap tentang
ide-ide dan gerakan nasionalisme. Salah karya itu adalah novel berjudul ‫فى بيتنا‬
‫( رجل‬FĪ BAITINĀ RAJUL) (di rumah kami ada seorang lelaki jantan). Novel ini
adalah sebuah seni fiksi sosial-politik yang berlatar belakang sebuah peristiwa
yang benar-benar nyata. Dengan demikian, karya sastra yang menjadi objek
penelitian ini adalah diangkat dari sebuah peristiwa nyata dan sekaligus pernah
dialami sendiri oleh sang pengarang. Hal ini juga menegaskan bahwa wujud
karya sastra adalah sebagai potret dari denyut kehidupan masyarakat.
Ihsan Abdul-Quddus sebagai sastrawan yang menghasilkan karya sastra, ia
juga sering menyatakan pandangannya tentang sastra yang tidak ubahnya sebagai
pakar teori sastra. Teori-teori sastra yang ia kemukakan tidak berbeda dengan apa
yang dikemukakan oleh para peneliti dan para pakar teori sosiologi sastra modern.
Ia
mengemukakan
pandangannya
tentang
kesusasteraan
modern
dalam
muqadimah novelnya yang berjudul “Ba’iul-Chubb (Penjaja Cinta)” tahun 1949:
5-6, bahwa:
11
‫ األدب الذى يصور اإلنسان ىف‬، ‫األدب العاملى اليوم هو األدب الواقعى‬
‫ انسان له حس وله‬. ‫صورة إنسان ال ىف صورة مالك وال ىف صورة شيطان‬
‫عاطفة وله قلب وله حلم ودم وله حق احلب وقد يأمث ىف احلب ويهتدى‬
‫ إنه أدب ال ينافق وال يدعى وال يفتعل وال‬. ‫باملثل العليا وقد ال يصل إليها‬
‫يرتفع عن مستوى البشر إمنا هو أدب يعيش بني الناس يصور حياهتم ويعرب‬
‫عن عواطفهم وأحاسيسهم تعبريا صرحيا صادقا ويصور قبل كل شيئ معركة‬
‫اخلري والشر الىت نضطرم ىف صدر كل انسان منذ كان االنسان فيجد القارئ‬
‫ىف هذا النوع من األدب صورة نفسه بال رتوش وبال تزويق وبال خداع وبال‬
‫ وإذا كان البعض ال يتحمل أن يرى صورة نفسه منعكسة على مرآة‬. ‫تزلف‬
. ‫األدب فليس الذنب ذنب األدب‬
“Kesusastraan dunia saat ini adalah sastra realistis atau sastra
yang memotret manusia dalam wujudnya sebagai manusia, bukan
dalam wujudnya sebagai malaikat dan juga bukan dalam wujudnya
sebagai setan. Manusia itu memiliki perasaan dan emosi. Ia memiliki
jantung, daging dan darah. Manusia memiliki hak mencintai yang
terkadang mendustai cintanya, demikian pula sadar akan idealismenya
akan tetapi ia tidak dapat sampai merealisasikannya. Sastra itu tidak
munafiq, tidak mengada-ada, tidak meledak-ledak, tidak merasa lebih
unggul dari manusia. Akan tetapi sastra itu hidup di tengah-tengah
manusia, memotret kehidupan mereka, mengekspresikan perasaan dan
emosi mereka secara jujur dan terus terang apa adanya. Sastra juga
memotret pergolakan antara kebajikan dan keburukan yang bergolak
di dada setiap insan sejak manusia itu ada. Dengan demikian maka
pembaca sastra ini akan mendapatkan potret dirinya yang sebenarnya
tanpa dibuat-buat, tanpa polesan, tanpa rekayasa dan tanpa dilebihlebihkan. Jika sebagian orang tidak dapat melihat potret dirinya
melalui cermin sastra maka itu bukanlah dosanya sastra”(AbdulQuddus 1949: 5-6).
Dalam catatan di berbagai dokumen atau referensi tentang sejarah revolusi
Mesir tahun 1952 selalu disebutkan bahwa para perwira pembebas Mesir (Arab:
dhubāth Achrār) yang dipimpin oleh Gamal Abdel Naser adalah sebagai tokohtokoh yang mempeloporinya. Kaitannya dengan rakyat, hanya disebutkan
12
mengenai penderitaan yang dialami mereka dalam berbagai aspek kehidupan,
sosial, politik, maupun ekonomi. Sejarah selalu mengabadikan peran aktif para
elit dalam setiap peristiwa, sementara gigihnya perjuangan masyarakat lapisan
bawah jarang memperoleh apresiasi dari lembar catatan sejarah. Penonjolan para
elit dalam sejarah revolusi dengan mengabaikan peran serta rakyat bawah adalah
tidak adil karena di dalam masyarakat pasti terdapat individu atau tingkat keluarga
yang tidak kurang jasa-jasanya dalam mendukung dan menciptakan revolusi
tersebut. Masyarakat bawah itu ikut berpartisipasi mewujudkan revolusi dengan
seluruh jiwa dan raga. Siksaan dan macam-macam penderitaan mereka terima
demi terealisasinya cita-cita rakyat bersama. Sejarah sering kurang inten mencatat
dalam buku sejarah tentang peran aktif dan kegigihan masyarakat dalam aksi
perjuangan padahal tanpa peran masyarakat, usaha-usaha itu tidak akan berhasil.
‫ وأحس بقلبه‬.. ‫ حدثت‬.. ‫ فإذا الثورة حتققت‬.. ‫وصحا حمىي ذات يوم‬
‫ وتابع األحداث السريعة وابتسامة كبرية تعلو‬.. ‫خيفق ىف صدره كأنه يزغرد‬
‫ أحس احساسا عميقا صادقا بأنه‬.. ‫ أحس كأنه يتباهى بنفسه‬.. ‫شفتيه‬
‫ هو وأبوه وأمه وسامية ونوال‬.. ‫ اشرتك ىف صنعها‬.. ‫اشرتك ىف هذه الثورة‬
‫ اشرتكوا فيها‬.. ‫ كل العائلة اشرتكت ىف صنع هذه الثورة‬.. ‫وعبد احلميد‬
‫بالسخط الذى كان ينطلق من أعينهم وباألحاديث الىت كانوا يثريوهنا‬
‫ وباإلرادة الىت‬.. ‫ وباخللق الوطىن‬.. ‫ وباجتاه تفكريهم وأماهلم‬.. ‫حوهلم‬
‫حتملت العذاب واحلرمان‬
“Di suatu hari Muhyi bangun .. revolusi benar-benar terjadi .. revolusi
meledak..Ia merasakan hatinya berdebar bagaikan burung yang sedang
berkicau .. ia ikuti peristiwa yang beredar cepat dengan senyuman
mengembang yang menghiasi bibirnya.. Ia merasa bangga terhadap
dirinya sendiri..Bangga yang mendalam dan jujur karena ia telah ikut
berpartisipasi dalam revolusi ..ikut serta menciptakan revolusi ..Ia,
ayahnya, ibunya, Samiyah, Nawal, dan Abdul Hamid. Ia sekeluarga
13
dengan seluruh jiwa raga turut menyalakan bara revolusi .. greget
revolusi meluncur dari mata dan dari pembicaraan mereka untuk
menggugah orang-orang di sekitar mereka .. dengan haluan pemikiran
dan cita-cita mereka .. dengan etika nasionalisme .. dengan kamauan
kuat yang disertai kesabaran penuh derita dan kekangan”(AbdulQuddus, 1957:438).
Dengan demikian maka kehadiran kisah novel yang mengisahkan pejuangpejuang reformasi di tingkat masyarakat bawah menjadi penyeimbang informasi
sejarah. Dengan tidak mengabaikan unsur-unsur lain dalam masyarakat Mesir,
bahu-membahu dalam perjuangan, novel ini juga menyebut berbagai komunitas
yang bersaham dalam terwujudnya revolusi di kalangan masyarakat di segala
lapisan.
‫ وكان‬، ‫وبدأ خالل األيام التالية يتتبع أخبار اهليئات واجلمعيات الثورية‬
‫ مجعيات داخل اجليش‬.. ‫يعلم أن هناك أكثر من مجعية ثورية سرية‬
‫ فبدأ يرسل فتحى وعبد اهلل حملاولة االتصال‬.. ‫ومجعيات ىف أوساط الشعب‬
‫هبذه اجلمعيات والعمل على توحيدها وإشراكها ىف عمل واحد‬
“Selama beberapa hari berikutnya ia (Ibrahim) memantau khabar dari
berbagai lembaga dan komunitas-komunitas pergerakan revolusi. Ia
sangat mengetahui ada banyak organisasi rahasia untuk revolusi,
kelompok-kelompok dalam tubuh tentara, di kalangan masyarakat.. Ia
mendelegasikan Fatchi dan Abdullah agar menjalin komunikasi
dengan berbagai organisasi atau kelompok tersebut dalam upaya
mengkonsolidasikannya dan melibatkan semuanya dalam aksi yang
sama (Abdul-Quddus, 1957:363).
Novel adalah suatu jenis karya sastra yang paling banyak konsen dalam
memotret manusia dalam hubungannya dengan masyarakat. Hal itu karena novel
merupakan cermin kehidupan masyarakat (Sulaiman, 1998:18). Senada dengan
itu, Ihsan Abdul-Quddus (dalam Abul-Futuch: 1982:40) mengakui bahwa tokoh
14
utama dan yang sesungguhnya dalam setiap novel tidak lain adalah masyarakat,
bukan seorang individu saja.
، ‫إن البطل احلقيقى لكل قصصى هو اجملتمع الذى وقفت أطل عليه‬
‫وأسجل بقلمى ىف صراحة وصدق ما كان يعانيه من أمراض وما جيتازه من‬
‫حمن أخالقية أو اجتماعية أو سياسية‬
Tokoh yang sesungguhnya pada setiap kisahku itu adalah
masyarakat yang aku sendiri hidup di tengah-tengahnya. Aku
merekam dengan penaku secara terus terang dan jujur segala
penyakit yang menjangkiti masyarakat dan segala derita yang
dialaminya baik itu penderitaan norma, sosial maupun politik
(Abdul-Quddus dalam Abul-Futuch, 1982:40).
Peryataan Ihsan Abdul-Quddus di atas diperkuat oleh pendapat dari
seorang guru besar bidang sastra dari Suez Canal University Mesir, Abdurrahim
el-Kurdi dalam bukunya “al-Sard Wa Manāhij al-Naqd al-Adabi”(2004:145), ia
mengatakan:”Tokoh dalam seni novel bukanlah sosok model yang diformat akan
tetapi ia adalah manusia atau potret manusia yang hidup dalam alam nyata. Ia juga
makan, tidur, mencintai, terpengaruh-mempengaruhi, berkembang, gerakannya
terkait dengan situasi yang mengitarinya yang tidak bisa lari dari kondisi internal
maupun eksternal, sehingga tokoh dalam novel adalah potret pribadi yang
realistis. Sifat realistis ini menjadi salah satu syarat inti bagi jenis sastra novel
bahkan sebagai kaidah utamanya. Novel memandang manusia sejak dari bawah
dan menganggapnya tetap sebagai wujud yang memiliki kekurangan. Dengan
realistis itu maka manusia dalam novel bukan makhluk yang bermukjizat juga
bukan sosok yang memiliki kedikdayaan luar biasa, melainkan manusia yang
15
memiliki kemampuan terbatas layaknya manusia dalam kehidupan nyata” (ElKurdi, 2004:145).
Karya sastra dalam bentuk cerpen maupun novel bukan hanya sekedar
keindahan cerita untuk dinikmati sebagai hiburan oleh pembacanya, namun juga
menjadi media penyaluran gagasan bagi sang penulisnya. Dalam pribahasa
Indonesia, sekali dayung dua pulau terlampau, menjadi simbol spirit bagi para
pekerja sastra untuk mengoptimalkan garapannya sehingga bisa lebih memberikan
banyak manfaat kepada masyarakat pembaca. Menurut Sangidu (2007:47) “Karya
sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan
oleh masyarakat”. Sastra merupakan sebuah pola tindak bahasa yang dilakukan
oleh manusia guna mengekspresikan apa yang ia kehendaki, dan sastra juga
sebagai rekaman dengan ediologi, karena sastra dapat mempengaruhi masa
pembacannya (Muhyiddin. 2005:81) .
Dalam beberapa karya
sastra yang ditulis oleh para sastrawan Arab,
semisal Abbas Mahmoud al-Aqod, Taufiq al-Hakim, Aziz Abaza dan Naguib
Mahfouz, menampilkan cerita-cerita bermutu, bukan hanya karena kualitas alur
ceritanya, akan tetapi sarat dengan misi yang dikemukakan demi kepentingan
negara dan bangsanya. Dengan kata lain, karya sastra telah ikut berperan dalam
memformat corak warna kehidupan dalam masyarakat secara positif. Demikian
pula disebutkan oleh Ratna (2007: 315) bahwa tidak ada karya sastra yang
semata-mata ditulis demi untuk memenuhi kepuasan batin penulis. Karya sastra
seperti ini, kalau memang ada, pertama, gagal sebagai sistem komunikasi itu
sendiri, kedua, gagal dalam melaksanakan fungsi-fungsinya sebagai misi kultural.
16
Isu nasionalisme menjadi lahan yang subur bagi para sastrawan untuk
menuangkan idenya kedalam karyanya. Baik di Indonesia maupun di belahan
bumi lainnya telah banyak dijumpai karya sastra yang memotivasi masyarakatnya
untuk memiliki spirit nasionalisme. Isu nasionalisme lewat karya sastra di negaranegara Arab era modern berkembang sekitar tahun 1940 ketika negara-negara
Arab itu hidup di bawah cengkeraman kolonialisme barat. Salah satu sastrawan
yang inten menggelorakan spirit nasionalisme menentang penindasan kolonial
adalah Ihsan Abdul-Quddus lewat karyanya yang monumental,
FĪ BAITINĀ
RAJUL (di rumah kami ada seorang lelaki jantan). Novel setebal 439 halaman ini
terbit pertama kali pada tahun 1957, diangkat dari sebuah kisah nyata dari seorang
pemuda revolusioner Mesir, Husein Taufiq yang membunuh Perdana Menteri
Mesir, Amin Utsman pada 05 Januari 1946. Sang pembunuh itu disembunyikan
oleh Ihsan Abdul-Quddus di rumahnya sendiri, bahkan istri Ihsan Abdul-Quddus
ikut mendukung persembunyian sang pembunuh itu (Qindil, 1997:68).
Untuk memahami potret peristiwa yang telah terjadi pada waktu yang
telah lampau, dimana latar belakang kisah dalam novel ini adalah peristiwa yang
terjadi sebelum tahun 1952, maka Ihsan Abdul-Quddus mengajak kepada para
pembaca untuk kembali membuka memori peristiwa saat itu.
‫رجاء مالحظة أن ما يتضمنه هذا الكتاب هو جمموعة أراء ودراسات‬
‫نشرت مع األحداث وتطورات مع األحداث أى أن القارئ جيب أن‬
‫يقيس الرأى مع تذكر احلدث الذى كون هذا الرأى‬
“Harap dicatat bahwa apa yang termuat dalam buku ini adalah
berupa sejumlah ide dan studi yang dipublikasikan seiring dengan
berbagai peristiwa dan perkembangannya. Dengan arti bahwa para
17
pembaca harus mengukur ide pemikiran itu dengan seraya
mengingat peristiwa yang telah membentuk opini tersebut” ((AbdulQuddus, 1979b:9).
Ihsan mengakui adanya kerisauan dalam menulis sebuah peristiwa politik
dengan waktu peristiwanya yang ditulis dalam bentuk kisah sastra. Terlebih lagi ia
adalah sastrawan yang sekaligus jurnalis dengan konsentrasi kepada persoalan
politik. Sebagaimana ia kemukakan:
‫ورمبا كان ما دفع البعض إىل تصور أىن متخصص ىف كتابة القصة هو‬
‫أىن تعودت أن أمجع قصصى ىف كتب ولكىن مل أمجع أرائى السياسية ىف‬
‫ رمبا ألىن اعتربت أن آرائى السياسية متعلقة‬.. ‫ وال أدري ملاذا‬.. ‫كتاب‬
‫ واألحداث متر وتنتهى وينساها القارئ وينسى معها‬.. ‫غالبا باألحداث‬
‫ فإذا مجعت هذه األراء ىف كتاب فإىن‬.. ‫التعليق عليها أو الراى فيها‬
‫جيب أن أعد لكل رأى مقدمة طويلة تسجل وتفسر األحداث الىت‬
‫ أى أىن‬.. ‫بنيت عليها هذا الرأى حىت يستطيع القارئ أن يستوعبها‬
‫مضطر أن أسجل التاريخ وأنا لست من كتاب التاريخ‬
Barangkali suatu hal yang membuat sebagian orang menilaiku
sebagai seorang spesialis penulis kisah adalah karena saya terbiasa
mengumpulkan kisah-kisah karanganku ke dalam buku akan tetapi
saya tidak terbiasa mengumpulkan gagasan-gagasanku tentang
politik ke dalam sebuah buku.. Saya tidak tahu mengapa. Bisa jadi
karena saya menganggap bahwa ide-ideku tentang politik, pada
umumnya sangat berkaitan erat dengan peristiwa, padahal apaupun
peristiwa pasti akan berlalu dan berakhir yang kemudian dilupakan
oleh pembaca dan tidak akan ada lagi komentar atau pendapat
orang tentang peristiwa tersebut. Jika ide-ide politik itu saya
himpun dalam sebuah buku maka saya harus menulis pendahuluan
yang panjang untuk membangkitkan ingatan pembaca terhadap
peristiwa yang telah terjadi, dengan kata lain bahwa saya terpaksa
harus mencatat sejarah padahal saya bukan termasuk penulis
sejarahwan (Abdul-Quddus, 1979b:7).
18
Nasionalisme dan revolusi menjadi isu utama dan sekaligus sebagai latar
belakang munculnya novel FĪ BAITINĀ RAJUL, hal itu terbaca dari kisah novel
ini dari sejak awal bertutur tentang gelora nasionalisme yang menggelagak pada
seorang pemuda (Ibrahim Hamdy) dengan serentetan aksi heroiknya hingga ia
menemui ajalnya. Kisah novel ini berakhir dengan paparan nuansa panorama
gegap gempita meletusnya revolusi Mesir 1952, yaitu revolusi yang cita-citakan
oleh mendiang Ibrahim Hamdy.
Ihsan Abdul-Quddus sastrawan kenamaan yang sekaligus politikus Mesir,
dalam standar tertentu merupakan denyut jantung negara dan umatnya. Karya
sastranya dalam bentuk cerpen dan novel, menjadi cermin bagi obsesi dan
harapan-harapan bangsa dan negara Mesir. Berkat produk tulisannya yang
memiliki uslub (style) seni eksklusif, mendudukkannya pada tempat yang
terhormat, khususnya di kalangan sastrawan, cendekiawan, bahkan kalangan
politikus. “Hal yang saya kira tidak diperselisihkan adalah bahwa Ihsan AbdulQuddus sungguh merupakan sosok fenomental yang layak ditelaah, bukan hanya
dari sisi kesusasteraannya, serta bukan hanya sisi kiprah kewartawanan dan
politiknya, akan tetapi juga sisi humanismenya serta norma-norma keluhurannya”
(Qindil,1997: 6).
Menurut sastrawan Mesir, Najib Mahfudz (Quwaisni, 1991: 234) Dalam
bidang sastra, saya menilai dia adalah pionir terdepan novelis Arab. Karena
keberaniannya luar biasa, maka ia selalu berhadapan dengan berbagai persoalan
besar dan mendapatkan banyak serangan dari berbagai arah. Dengan sistem
penulisannya yang sederhana ia mampu manarik perhatian kalangan luas, bahkan
19
sistem penulisannya itu menjadikannya sebagai aliran tertentu, dimana ia
menjadikan perempuan Mesir sebagai poros tulisannya.
Anehnya, ia sangat
pandai menulis cerita-cerita pendek yang berkualitas yang sama kualitasnya pada
karya-karyanya dalam bentuk novel.
Sebagaimana pula dikatakan oleh Syukri (Quwaisni, 1991: 234)
“Menurutku, bahwa kehebatan Ihsan Abdul-Quddus adalah karena artikel-artikel
politiknya sebelum ia menerjuni penulisan cerpen dan novel. Keistimewaan
artikel politiknya adalah sangat berani, jeli analisisnya dan ukangkapannya yang
lugas. Meskipun ia memiliki hubungan persahabatan yang sangat dekat dengan
para petinggi revolusi, ia tidak segan-segan melontarkan pendapatnya ketika ia
melihat mereka berjalan ke arah kediktatoran”.
Dengan mengangkat novel
FĪ BAITINĀ RAJUL karya Ihsan Abdul-
Quddus dan sejumlah karya novelnya ke dalam penelitian, akan memunculkan
paling tidak dua manfaat. Pertama, dari aspek teoretis, dapat digali ide
gagasannya tentang konsep nasionalisme, termasuk gagasan tentang etika yang
semestinya dipegang secara konsisten oleh para pejabat penyelenggara negara.
Kedua, dari aspek praktis, adalah mengupayakan pemahaman sekaligus
pemantapan masyarakat akan kesadaran nasionalisme dalam rangka melindungi
negara dari praktek imperialisme, serta sebagai langkah ikhtiyar untuk lebih
memperkokoh hubungan bilateral bidang budaya antara rakyat Indonesia dan
Mesir yang merupakan negara di dunia yang pertama kali mengakui kemerdekaan
dan kedaulatan Repulik Indonesia (Malik, Buku Sekitar Pejanjian Persahabatan
Indonesia-Mesir: 1978: 11).
20
Ihsan Abdul-Quddus (Jaber, 2010:27) sebagai ikon legendaris sastrawan
Mesir yang sekaligus wartawan dan analis politik kenamaan. Sang sastrawan yang
sekaligus sebagai wartawan dan pakar politik ini Lahir pada 1 januari 1919 dari
ayah bernama Mohamed Abdul-Quddus, seorang aktor dan sekaligus penulis.
Ibunya bernama Fatimah Al-Youssef atau yang terkenal dengan nama Rose AlYoussef, seorang wanita asal Libanon yang juga berprofesi sebagai bintang film
yang dijalaninya selama jangka waktu yang cukup lama, sampai kemudian
berganti profesi, yaitu menggeluti di bidang pers.
Profesi kedua orang tuanya itulah yang sangat mempengaruhi pola
kehidupan Ihsan Abdul-Quddus. Sejak masa kecil, ia sangat gemar membaca,
sehingga ayahnya sangat memperhatikan pendidikannya, dan ayahnya pulalah
yang mendorongnya terus menuntut ilmu hinga ia memperoleh gelar Bachelor of
Laws dari Universitas Cairo pada tahun 1942 (Abul-Futuh, 1982:37).
Setamat dari kuliah, Ihsan Abdul-Quddus latihan praktik sebagai advokad
pada kantor pengacara senior Edward Qusheri, sambil menekuni bidang
jurnalistik pada majalah bernama Rose Al-Youssef yang memang didirikan oleh
ibunya, Rose Al-Youssef (Abul-Futuh, 1982:25). Dari sinilah Ihsan AbdulQuddus menapakkan kakinya di dunia pers dan sastra sehingga kedua bidang
pekerjaan ini menyatu dan tidak terpisahkan dalam jiwanya. Dia sendiri tidak
mengetahui manakah dari keduanya yang lebih kuat yang melekat pada dirinya,
sebagaimana ia ungkapkan dalam muqaddimah karyanya berjudul “Khawāthir
Siyāsiyyah” (Gagasan Politik) 1979.
21
: ‫السؤال الذى ال يتوقف من مواجهىت منذ بدأت أكتب وإىل اليوم هو‬
‫ أم هل أنا سياسى أم أديب ؟‬.. ‫هل أنا كاتب سياسى أم كاتب قصص‬
‫ رمبا ألىن مل‬.. ‫والغريب أىن أترك هذا السؤال للناس وال أسأله أبدا لنفسى‬
‫ أى أىن مل أضع‬.. ‫أتعمد يوما الكتابة ىف السياسة أو كتابة القصص‬
‫نفسى أبدا فو موضع الكاتب احملرتف املتخصص ىف املوضوعات‬
‫ حىت ىف دراساتى منذ كنت طالبا مل‬.. ‫السياسية أو املوضوعات األدبية‬
‫ وكنت خالل‬.. ‫تنحصر هواياتى ىف األدب وحده أو ىف السياسة وحدها‬
‫احلركات الوطنية أقضى يومى كله ىف مظاهرات الطلبة السياسية مث أعود‬
.. ‫إىل البيت ألقرأ قصصا ال عالقة هلا بالسياسة وال باحلركات الوطنية‬
‫وقد استغرقتىن القراءة خالل سنوات اجلامعة وكنت أقرأ كثريا خارج‬
‫ وقد‬، ‫مقررات كلية احلقوق ولكىن أيضا مل أختصص ىف اختيار ما أقرأه‬
‫قرأت أيامها عن كل املذاهب والدراسات السياسية على مر التاريخ وىف‬
‫ وكنت أقرأ‬.. ‫الوقت نفسه قرأت عشرات من اإلنتاج القصصى العاملى‬
‫ كنت أهوى القراءة السياسية كما أهوى القراءة‬.. ‫كهاو ال كدارس‬
‫ وكنت أحس دائما عندما أقرأ كأىن سائح يطوف باآلثار‬.. ‫األدبية‬
. ‫الفكرية لكل الشعوب‬
Pertanyaan yang tidak pernah henti aku hadapi sejak aku mulai
menulis sampai hari ini adalah: apakah saya ini sebagai penulis
politik ataukah penulis cerita .. apakah saya ini politikus ataukah
sastrawan? Anehnya, saya menyerahkan pertanyaan tersebut
kepada masyarakat dan saya tidak pernah menanyakannya kepada
diriku sendiri .. barangkali karena saya tidak pernah satu haripun
bermaksud menulis politik atau menulis cerita .. dalam kata lain,
saya tidak pernah sengaja berminat untuk meniti karir sebagai
spesialis penulis bidang politik atau spesialis bidang sastra ..
demikian pula pada masa studiku sejak aku sebagai mahasiswa,
hobyku tidak hanya terbatas pada sastra saja atau pada politik saja
.. selama dalam masa-masa pergerakan nasionalisme, saya habiskan
hari-hariku bergabung dalam demonstrasi politik bersama para
mahasiswa kemudian aku pulang ke rumah untuk membaca cerita
yang tidak ada kaitan sama sekali dengan urusan politik atau
22
pergerakan nasional. Selama tahun-tahun studiku di universitas aku
habiskan waktu untuk membaca. Saya banyak membaca buku-buku
yang bukan materi kuliah di fakultas hukum akan tetapi saya tidak
pilih-pilih bacaan tertentu. Saya membaca berbagai aliran dan
buku-buku kajian politik lintas sejarah dan dalam waktu yang sama
saya membaca berpuluh-puluh novel dunia .. saya membaca
karena hobby bukan karena studi .. saya hobby membaca buku
politik juga hobby membaca buku sastra. Pada saat membaca saya
merasa seakan-akan sedang bertamasya mengelilingi museum
pemikiran tiap-tiap bangsa (Abdul-Quddus, 1979b:5).
Di kantor ayahnya, ia bertemu dengan Ahmad Shauqi yang bergelar amēr
syu’arā (raja penyair), Abbas Mahmoud al-Aqod, dan beberapa sastrawan
kondang Mesir lainnya. Ihsan Abdul-Quddus yang bekerja pada majalah milik
ibunya sendiri, mula-mula ia ditugasi sebagai reporter dan kemudian meningkat
jabatan sebagai pimpinan redaktur. Isu penting yang dia angkat dalam tulisan di
majalahnya adalah membongkar skandal korupsi pengadaan alat-alat perang yang
telah kedaluarsa untuk tentara Mesir pasca perang Palestina pada tahun 40-an.
Lewat paparan jurnalistiknya itu, Ihsan Abdul-Quddus berkenalan dengan dua
perwira tingi Mesir dari dewan revolusi 23 juli 1952, Gamal Abdel-Nasser dan
Anwar Sadat, termasuk dengan Sadik Khalid Mohiuddin yang sering mondarmandir di kantor majalah Rose al-Youssef. Akibat dari tulisannya membongkar
skandal korupsi itu, dia terancam serangkaian upaya pembunuhan terhadap
dirinya. Tidak kurang dari empat kali ia selamat dari aksi upaya pembunuhan.
Tiga kali masuk penjara karena keberanian tulisaannya (Jaber, 2010:14).
Pertama, tahun 1945 dalam usia 25 tahun, ia masuk penjara karena tulisan
artikelnya berjudul “Orang ini harus pergi dari Mesir”. Yang dimaksud dengan
orang ini adalah Lord Clarn, duta besar (singkat: dubes) Inggris di Mesir. Ukuran
waktu itu, Dubes Inggris adalah orang yang paling kuat dan berkuasa di Mesir.
23
Kedua, tahun 1948 Ihsan Abdul-Quddus masuk penjara yang kedua kalinya
disebabkan oleh tulisannya yang membongkar skandal korupsi pada pembelian
senjata yang sudah usang yang dilakukan oleh para petinggi Mesir. Ketiga, tahun
1954 masuk penjara yang ketiga disebabkan tulisannya berjudul “Organisasi
Rahasia Yang Memimpin Mesir”. Dalam tulisan tersebut ia mendesak kepada
tentara agar menjauhi kancah politik. Tulisan tersebut menyinggung perasaan
Presiden Gamal Abdul Naseer (Jaber, 2010:28).
Sebagai orang pers yang juga menekuni penulisan naskah cerita film
(scriptwriting movies), cerpen dan novel, dia mendedikasikan dirinya pada dunia
pers dan sastra, demikan itu setelah dia meninggalkan profesinya coba-coba
sebagai advokad. Baginya, sastra dan pers adalah dua hal yang sangat urgen dan
merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Beberapa negara
telah dia kunjungi dalam misi wartawan, termasuk ke Bandung-Indonesia untuk
menyertai Presiden Mesir Jamal Abd. Naser dalam Konggres Asia-Afrika 1955
(Quwaisni, 1991:249).
Baru beberapa tahun saja terjun di dunia pers, dia telah disejajarkan
menjadi seorang wartawan senior, terutama di rubrik analisis politik dan sekaligus
sebagai penulis cerita fiksi. Status ini membuka jalan lapang baginya untuk
bekerja di surat kabar ternama di Mesir “Al-Ahbar” yang ditekuninya selama
delapan tahun, kemudia ia pindah ke surat kabar Mesir, terbesar di timur-tengah
yaitu harian “Al-Ahram” hingga menduduki puncak jabatan sebagai pucuk
pimpinan.
24
Ihsan Abdul-Quddus mampu menciptakan lonjakan kualitatif-kuantitatif
untuk novel Arab. Dia sendiri mengatakan bahwa telah menulis kisah lebih dari
enam ratus judul (Abul-futuh, 1982:40). Bila dibandingkan dengan segenap
sastrawan seangkatannya, seperti Naguib Mahfouz, Youssef Al Sibai, Mohamed
Abdel Halim Abdullah Ahsan, Ihsan Abdul-Quddus lebih memiliki dua
keistimewaan dibanding mereka. Pertama, sejak kecil dia telah hidup dalam
lingkungan asuhan diatas pondasi jurnalistik yang dibangun oleh kedua orang
tuanya. Dari pijakan itulah dia dengan mudah menerobos berbagai lapisan
komunitas dan mudah membangun relasi dengan kaum selebriti di pangung sastra,
keartisan serta politik. Kedua, dia sangat mendalami pemahaman yang benar
tentang konsep kebebasan pada ranah politik, ekonomi maupun sosial. Dengan
demikian, maka buah karya sastranya sukses melesat dari panggung lokal menuju
arena global. Sebagian besar karyanya (Quwaisni, 1991: 273) telah diterjemahkan
kedalam bahasa-bahasa asing, seperti, Inggris, Prancis, Ukrania, China dan
Jerman. Atas prestasinya itulah, dia sukses berpartisipasi dalam pengelolaan
Dewan Tinggi Pers dan institusi perfilman Mesir. Ihsan Abdul-Quddus dengan
prinsip hidupnya “al-Hubbu Wal-Churriyyah (cinta dan kebebasan) pergi ke
haribaan Allah SWT pada 11 Januari 1990.
Terlepas dari pandangan sinis dari sebagian kecil kalangan muslimin Arab
yang mengkritiknya sebagai sastrawan yang mengobarkan paham kebebasan seks
dengan bungkus nasionalisme (lih. Zainal-Abidin, 1990)
atau pihak yang
menuduhnya sebagai sastrawan penebar aksi terorisme (lih. Jabir, 2003), tapi
dari penelaahan beberapa karya tulisan lewat novelnya, tampak jelas antusiasnya
25
membangkitkan spirit nasionalisme rakyat Mesir untuk melawan kolonialisme
sebagaimana tertuang dalam novelnya berjudul FĪ BAITINĀ RAJUL (di rumah
kita ada seorang lelaki jantan) yang terbit pertama kali pada 1957”.
Novel FĪ BAITINĀ RAJUL ini merupakan salah satu karya avant garde
(garda depan) yang diangkat dari sebuah peristiwa nyata yang dialami sendiri oleh
Ihsan Abdul-Quddus, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh seorang pemuda
revolusioner bernama Husain Taufiq terhadap seorang menteri Keuangan Mesir,
Amen Utsman. Sang pembunuh tersebut kabur dari penjara dan dalam pelariannya
ia bersembunyi di rumah Ihsan Abdul-Quddus (Abulfutuh, 1982:89). Novel ini
juga menjadi ikon novel Arab yang mengobarkan spirit nasionalisme. Novel ini
telah diangkat ke layar lebar pada tahun 1961 yang dibintangi oleh aktor
kenamaan Mesir, Omar Syarif.
Di antara faktor yang mendorong penulis untuk hanya memilih satu buah
novel saja FĪ BAITINĀ RAJUL adalah: Pertama, bahwa terfokus hanya kepada
satu buah novel adalah agar bisa lebih konsentrasi dalam menganalisis secara
detail struktur instriktiknya. Kedua, karya sastra novel ini merekam fakta yang
terjadi di Mesir pada era perjuangan menuju revolusi Mesir 1952. Novel FĪ
BAITINĀ RAJUL yang merupakan representasi karya sastranya ber-genre politik
atau novel revolusioner (El-Kurdi, 2008:522) adalah diangkat dari sebuah kisah
nyata yang benar-benar pernah dialami sendiri oleh sang author (Ihsan AbdulQuddus) pada masa sebelum meletusnya revolusi 1952. Novel ini mengisahkan
petualangan seorang nasionalis muda yang sangat militan bernama Ibrahim
Hamdy yang gigih dan tulus ikhlas mencurahkan jiwa dan raganya dalam
26
perjuangan demi negaranya hingga ia menemui ajalnya dalam aksi penyerbuan,
infiltrasi yang dilakukannya seorang diri ke markas tentara Inggris di distrik
Abbasea, Cairo.
Indikator dari keihlasan perjuangan Ibrahin Hamdy sang hero dalam novel
ini diantaranya adalah:
1. Dia sama sekali tidak punya niat menjadi pahlawan, tidak pernah
membayangkan bahwa suatu ketika wajahnya akan muncul memenuhi
halaman surat kabar dan tidak terpikir olehnya bahwa orang-orang akan
pada membicarakan tentang dirinya (Abdul-Quddus, 1957:8-9)
2. Antusias nasionalismenya murni tumbuh karena dorongan rasa nasib
bersama yang diderita rakyat (Abdul-Quddus, 1957:10).
3. Tidak bergabung ke dalam
partai politik apapun (Abdul-Quddus,
1957:13).
4. Dia tidak memiliki ambisi atau interes pribadi dari apa yang
diperbuatnya (Abdul-Quddus, 1957:24).
5. Dia tidak mencari seseorang yang ingin dijadikannya sebagai pemimpin
Mesir akan tetapi ia hanya mencari kemerdekaan, persamaan hak dan
kesejahteraan Mesir (Abdul-Quddus, 1957:82)
6. Dia tidak merasa mengekor di belakang seorang tokoh tertentu, akan
tetapi ia berjalan di belakang prinsip dan idealismenya sendiri (AbdulQuddus, 1957:82).
Novel yang diangkat dari peristiwa fakta ini, diliputi aksi mendebarkan
dari sejak permulaan hingga akhir ceritanya dengan tokoh utamanya bernama
27
Ibrahim Hamdy, sang pemuda nasionalis yang berjuang demi negaranya hingga
menemui ajalnya dalam aksi penyerbuan secara individu ke markas tentara Inggris
di Cairo-Mesir.
Ibrahim Hamdy berstatus sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) nomor
satu oleh pemerintah karena telah menembak mati Menteri Keuangan Mesir
(Abdul Rahim Pasha Syukri) yang dia yakini sebagai antek penjajah (Inggris).
Menurutnya, bahwa tidak mungkin Mesir dapat lepas dari cengkeraman penjajah
Inggris kecuali jika bisa terlebih dahulu melenyapkan para antek inggris. (AbdulQuddus, 1957:22).
Dia ditangkap polisi tidak lama setelah melakukan aksi
pembunuhan, kemudian langsung dimasukkan ke dalam rumah tahanan. Sejak
malam pertama penangkapan, ia langsung menjalani interogasi. Ketika dalam
masa tahanan, dia berpura-pura mengidap penyakit sehingga atas desakan opini
publik, perawatannya dialihkan ke luar penjara, yaitu di rumah sakit umum Qosr
Aini. Dari rumah sakit itu, di saat orang-orang pada menyantap buka puasa
Ramadhon, dia kabur dan sejak saat itu status buron diberlakukan padanya.
Selama dalam masa buron, dia bersembunyi di sebuah rumah keluarga yang tidak
pernah ikut dalam hingar binger aksi politik. Kepala keluarga itu bernama
Mustofa Zahir yang memiliki seorang istri (Fatchiya), tiga anak, terdiri satu putra
laki-laki bernama Muhyidin atau biasa dipanggil singkat dengan Muhyi yang
merupakan teman kuliah dari sang buron dan dua anak perempuan -Samiyah dan
Nawal-. (Ihsan Abdel-Qudus, 1957:7-32)
Meskipun Mustofa Zahir dan puteranya adalah termasuk golongan
nasionalis, namun nasionalisme mereka bersifat pasif. Dalam arti bahwa antusias
28
nasionalisme keluarga ini tidak pernah ditampilkan secara aktif-histeris. Baik sang
ayah (Mustofa Zahir) sang pegawai negeri sipil golongan menengah maupun sang
anak (Muhyi) mahasiswa tingkat akhir di fakultas hukum, cenderung menghindari
aktivitas politik, baik ketika dalam pergaulan di kantor, di kampus maupun dalam
pergaulan di masyarakat. Meskipun cenderung berpaham nasionalis pasif namun
keluarga ini tidak menolak kedatangan Ibrahim Hamdy sang nasionalis aktif untuk
bersembunyi di rumahnya (Ihsan Abdel-Qudus, 1957:33-42).
Ini merupakan contoh kerja sama yang baik antara dua karakter nasionalis
yang berbeda. Keluarga ini tidak tega menolak kedatangan sang buron
bersembunyi di rumahnya meskipun keluarga ini harus
menanggung segala
akibat. Ketegangan, kewaspadaan, dan kecemasan menyelimuti seluruh anggota
keluarga selama hari-hari keberadaan Ibrahim Hamdy. Diskusi tentang wawasan
nasionalisme dan pengalaman politik serta adu argumentasi soal perjuangan sering
berlangsung antar mereka dan tidak lepas berseminya bibit-bibit asmara di antara
Nawal dan Ibrahim. Akhirnya polisi mengetahui bahwa rumah keluarga ini
sebagai tempat persembunyian Ibrahim justru setelah ia keluar dari rumah ini
menuju ke tempat persembunyian yang lain. Akibatnya, kekerasan fisik dari
pihak polisi ditimpakan kepada keluarga yang berkarakter nasionalis pasif ini,
dimana Muhyi dan Abdul-Hamid dijebloskan dalam penjara dan memperoleh
perlakuan kasar hingga siksaan fisik (Ihsan Abdel-Qudus, 1957:307).
Meskipun penelitian ini hanya membatasi pada satu buah novel dari sekian
banyak karya Ihsan Abdul-Quddus, hal itu tidak berarti lepas menyinggung
beberapa karyanya yang lain (transformation) yang sama-sama ber-genre politik.
29
Senada dengan novel FĪ BAITINĀ RAJUL sebagai karya acuan (hypogram) dia
juga menulis cerita pendek yang sarat dengan semangat nasionalisme dalam
cerpen yang berjudul Ayyām Mudhāharāt (hari-hari demonstrasi) terbit 1990.
Dalam cerpen ini dia mengisahkan gerakan para pelajar dan mahasiswa, turun ke
jalan untuk berdemonstrasi sambil meneriakkan yel-yel menentang dominasi
kolonialisme Inggris atas Mesir dengan tidak luput dari bentrok berdarah antara
para pelajar dan aparat keamanan.
Cakrawala harapan nasionalisme juga dia ekspresikan lewat karyakaryanya yang lain (transformatif) semisal Alā Maq-hā Fī Syāri’ Siyāsi”(Di
Warung Kopi Di Jalan Politik) 1979a, “ al-Bahtsu ‘An al-Tsaurah” (Pembahasan
Revolusi) 1978, dan “Khawāthir Siyāsiyyah” (Gagasan Politik) 1979b.
Dalam novel Alā Maq-hā Fī Syāri’ Siyāsi”( Di Warung Kopi di Jalan
Politik) Ihsan Abdul-Quddus
mengemukakan pandangannya tentang sikap
moderat yang ia suguhkan dalam bentuk dialog antara dua orang, orang tua dan
anak muda yang tengah berdiskusi di sebuah warung kopi. Menurutnya (AbdulQuddus, 1979a:12) bahwa Sikap tengah di setiap negara di seluruh dunia selalu
menjadi paling kuat dan lebih dekat kepada kekuasaan. Kekuasaan yang kuat di
negara yang liberal adalah kekuasaan yang bisa merealisasikan keseimbangan
antar berbagai aliran politik dan berbagai kelas sosial. Ia juga banyak
mengemukakan pandangannya dalam berbagai isu politik, diantaranya tentang
agresi Israel di wilayah-wilayah Arab dan komentarnya terhadap sikap Amerika
terkait peristiwa-peristiwa di Timur-tengah. Ihsan Abdul-Quddus telah mampu
mentransfer dialog masyarakat yang beredar di warung kopi dalam bentuk dialog
30
antara seorang pemuda dengan seorang tua dan bagaimana mereka berbeda
pandangan terhadap berbagai peristiwa penting di level Arab maupun
internasional yang mengemuka diantara tahun 1976-1978 (Ihsan Abdel-Qudus,
1979a:31).
Novel “ al-Bachtsu ‘An al-Tsaurah” 1978 (Pembahasan Revolusi) sama
tipenya dengan novel di atas, yaitu berupa dialog antara seorang pemuda dengan
seorang tua. Diantara isi dialognya menyebutkan bahwa bentuk penjajahan pada
era modern, dimana penjajahan tidak lagi terbatas pada penjajahan militer akan
tetapi telah berkembang dalam bentuk lainnya yaitu penjajahan politik, penjajahan
ekonomi, dan penjajahan sosial budaya. Negara-negara penjajah tidak akan
melakukan aksi militer, kecuali jika mereka telah kehilangan harapan dalam
penjajahan politik, ekonomi, dan sosial (Ihsan Abdel-Qudus, 1978:31). Sesuai
dengan judulnya “ al-Bachtsu ‘An al-Tsaurah”, tema-tema dialog dalam novel itu
lebih terfokus pada tema tujuan revolusi. Apakah revolusi itu telah merealisasi
sasarannya ataukah tujuan tersebut hanya sebuah slogan yang hingga saat ini
belum ada satupun sasaran yang tercapai. Sehingga novel ini sebagai pengingat
kepada masyarakat dan para pemegang otoritas negara kepada tujuan awal
revolusi.
Novel “Khawāthir Siyāsiyyah” (Gagasan Politik), Novel setebal 216
halaman ini memuat ide-ide politik Ihsan Abdul-Quddus tentang bagaimana
idealnya gerakan nasionalisme Mesir dan negara-negara Arab dilakukan. Lebih
khusus lagi bagaimana sebaiknya Mesir bersikap terhadap upaya-upaya Israel
yang selalu mengancam kepentingan Mesir serta negara-negara Arab lainnya,
31
padahal Mesir telah menandatangani perjanjian damai dengan Israel. (Ihsan
Abdel-Qudus, 1979b:11).
Secara sosiologis pragmatis karya sastra diciptakan untuk membawa
beberapa misi tertentu seperti, sosial, politik, ekonomi, moral, pendidikan dan
pengajaran. Demikian pula novel FĪ BAITINĀ RAJUL karya Ihsan Badel-Qudous
sebagai novel politik yang sarat dengan gagasan-gagasan idealis tentang
kehidupan bernegara yang khususnya isu nasionalisme.
“Hal yang saya kira tidak diperselisihkan bahwa Ihsan Abdul-Quddus
sungguh merupakan figur fenomental yang layak dipelajari, bukan hanya pada
fenomena sastranya saja atau kiprah kejurnalistikannya dan politiknya saja, akan
tetapi meluas kepada karakter humanistiknya, nilai-nilai pengabdiannya,
kecerdikannya, ketabahannya, dan kerendahanhatinya” (Qindil, 1997: 6).
Sejauh yang diketahui penulis, novel ini belum pernah diteliti baik secara
individu maupun kolektif di lembaga penyelenggara penelitian di Indonesia. Atas
dasar itu maka pantas kiranya Ihsan Abdul-Quddus dan karya sastranya untuk
dikaji dan diteliti, khususnya karyanya yang memiliki korelasi langsung dengan
perspektif nasionalisme, yaitu novelnya yang berjudul FĪ BAITINĀ RAJUL yang
merupakan karya avant garde (garda depan) bagi novel-novel politik-patriotik di
negara-negara Arab. Lebih dari itu bahwa novel ini ibaratnya merupakan pintu
gerbang dan menjadi ikon bagi novel-novel pergerakan nasionalisme, bukan
hanya di Mesir akan tetapi juga di seluruh negara Arab. Agar studi tentang novel
ini menjadi lebih komprehensif, maka penilitian tidak hanya terfokus pada isu
32
nasionalismenya saja akan tetapi meliputi juga penggalian unsur-unsur intrinsik
dan ekstrinsiknya.
Pada mulanya, penulis diliputi perasaan cemas, was-was dan khawatir
mengangkat novel ini ke dalam penelitian disertasi. Khawatir jika penulis
dianggap sebagai pendukung terorisme karena kisah cerita novel ini berkisar
tentang pembunuhan warga masyarakat terhadap penguasa. Bahkan seorang
kritikus sastra di Mesir, Jabir Ashfur, dalam bukunya berjudul “MuwājahatulIrhāb” (2003) menganggap novel FĪ BAITINĀ RAJUL sebagai karya seni yang
mengilhami aksi teror. Jabir memplesetkan judul novel FĪ BAITINĀ RAJUL (di
Rumah Kami ada Laki-laki Jantan) dengan kalimat FĪ BAITINĀ IRHĀBY (di
Rumah Kami ada Teroris) Namun kekhawatiran itu lambat laun hilang setelah
penulis mengungkapkan kekhawatiran ini kepada Ibu Profesor Siti Chamamah S.
sebagai pembimbing, dimana ditegaskan bahwa penelitian ini merupakan aktivitas
ilmiah dan obyektif yang jauh dari spirit yang subyektif dan tendensius.
1.2 Rumusan Masalah
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengungkap pandangan dunia
dan sikap nasionalisme sastrawan Mesir, Ihsan Abdul-Quddus yang tercermin
dalam novelnya yang berjudul FĪ BAITINĀ RAJUL. Novel ini juga memotret
berbagai permasalahan di Mesir pada era sebelum revolusi 23 juli 1952 sebagai
kontek
sosial
yang
melatarbelakangi
kemunculan
novelnya
tersebut.
Permasalahan dalam penelitian ini mengemuka oleh adanya fenomena nyata
kontradiktif antara das sein dan das sollen. Penjajahan sebuah negara terhadap
33
negara lain sebagai pelanggaran prikemanusiaan dan prikeadilan, diperparah lagi
oleh kediktatoran penguasa yang pro penjajah dalam menindas rakyatnya sendiri
adalah das sein dalam penelitian ini. Apalagi krisis tersebut menjadi semakin
parah akibat dari kolaborasi penjajah (Inggris) dengan penguasa (rezim Mesir).
Semestinya penjajahan dan penindasan rezim terhadap rakyatnya sendiri tersebut
tidak terjadi (das sollen).
Secara terperinci masalah di atas dirumuskan berdasarkan pada penelitian
sosiologi sastra dengan mengadopsi teori strukturalisme genetik, sebagai berikut:
a. Model struktur narasi apa yang dipakai dalam novel FĪ BAITINĀ RAJUL?
b. Kondisi
struktur
sosial-politik
masyarakat
Mesir
apa
yang
melatarbelakangi kemunculan novel FĪ BAITINĀ RAJUL?
c. Bagaimana latar kehidupan sang penulis novel (Ihsan Abdul-Quddus)?
d. Pandangan dunia (world vision) apa yang diekspresikan oleh pengarang
sebagai cakrawala harapannya dalam novel FĪ BAITINĀ RAJUL?
1.3 Objek Penelitian
Objek material utama penelitian ini adalah sebuah novel politik karya
sastrawan Mesir, Ihsan Abdul-Quddus yang berjudul FĪ BAITINĀ RAJUL dan
sekaligus sebagai karya hipogram. Pemilihan objek material utama yang sekaligus
sebagai sampel hanya pada satu buah novel ini adalah agar memberikan peluang
yang lebih besar untuk bisa menganalisis karya sastra ini secara lebih mendalam.
Namun demikian juga disertakan objek material lain yang berkaitan erat dengan
isu politik yang juga hasil karya Ihsan Abdul-Quddus adalah tiga novel
34
transformatifnya yang berbentuk dialok imajinatif, yaitu “Khowāthir Siyāsiyyah”
(Ide-ide Politik) 1979b, “al-Bahtsu ‘An Tsaurah (Pembahasan Revolusi) 1978,
dan “’Alā Maqhā Fī Syāri’ Siyāsy” (Di Warung Kopi Di Jalan Politik) 1979a, juga
cerpennya yang berjudul “Ayyām Mudhāharāt” (hari-hari demonstrasi).
Objek material yang sekaligus sebagai populasi ini merupakan karyakarya transformatif, akan berfungsi membantu pendalaman analisis pada objek
material utama yang merupakan novel hipogram dan mempertegas analisis
pembahasan objek formal yang berkaitan dengan isu nasionalisme dan untuk lebih
mengenali sejauh mana konsistensi pandangan dunia sang pengarang terhadap isu
politik pada umumnya dan isu nasionalisme khususnya.
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan teoretis dan praktis.
Tujuan teoretis penelitian ini adalah:
Pertama, mengaplikasikan teori Strukturalisme Genetik dari Lucien Goldmann
untuk meneliti pandangan dunia Ihsan Abdul-Quddus dan kelompok sosialnya
dalam menyikapi kondisi sosial, politik
pada masyarakat Mesir sebelum
meletusnya revolusi 1952 yang tercermin pada novel FĪ BAITINĀ RAJUL.
Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
pengembangan ilmu, khususnya dalam bidang Sosiologi Sastra; Kedua,
merepresentasikan faktor yang memicu aksi nasionalisme dalam kisah novel;
Ketiga, merepresentasikan pola-pola sikap dan aksi nasionalisme, baik secara
aktif maupun pasif.
35
Adapun tujuan praktis dari penelitian ini adalah menguak situasi
masyarakat Mesir pra-revolusi 1952 sebagai tonggak sejarah berakhirnya rezim
monarki dan berakhirnya penjajahan menuju negara dengan sistem republik dan
bebas dari kolonial asing. Penelitian ini ditekankan pada aksi nasionalisme yang
terjadi pada saat itu sebagai respon dari tindakan kolonial Inggris. Juga akan
diteliti bagaimana sikap masyarakat ketika itu dalam merespon kesewenangan
rezim yang berkolaborasi dengan pihak penjajah dalam menindas rakyatnya
sendiri. Berdasarkan sebuah teori yang menyatakan bahwa karya sastra bisa
dianggap sebagai refleksi masyarakat ketika karya sastra itu lahir, maka penelitian
terhadap novel
FĪ BAITINĀ RAJUL dilakukan dalam rangka untuk melihat
fenomena sosial yang melatari penciptaannya, serta melihat bagaimana respon
kalangan sastrawan dalam menyikapi fenomena tersebut seperti yang disuarakan
oleh Ihsan Abdul-Quddus. Lebih dari itu, penelitian ini juga akan mengungkap
pandangan dunia pengarang berkaitan dengan nasionalisme.
1.5 Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka ini dikemukakan dalam rangka menemukan orisinalitas
penelitian ini di antara penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dan
untuk menguaraikan hasil-hasil penelitian terdahulu yang ada kaitannya dengan
penelitian yang akan dilakukan. Demikian pula untuk membedakan antara
beberapa penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan sekarang.
Penulis membagi tinjauan pustaka ini menjadi dua bagian, pertama menyajikan
tentang potret novel Arab sebagai fenomena genre karya sastra yang muncul di
36
dunia Arab pada awal abad dua puluh. Potret novel Arab ini dimaksudkan sebagai
pintu masuk bagi penjelasan penelitian tentang karya Ihsan Abdul-Quddus.
Bagian kedua merupakan penelitian terdahulu atas novel karya Ihsan AbdulQuddus sekaligus profil atau corak karya sastranya.
a. Novel Arab.
Subtansi dari penyajian sub-judul ini adalah keinginan peneliti
memberikan jalan masuk menuju pengenalan tentang studi novel Arab sebagai
salah satu jenis sastra, dimana novel merupakan fenomena baru di abad ke dua
puluh dalam blantika kesusastraan Arab.
Peneliti mendapatkan beberapa buku yang membahas tentang novel-novel
Arab, diantaranya adalah Tathawwur at-Taqniyyāt as-Sardiyyah Fir-Riwāyah alMishriyyah (2008) karya El-Kurdi yang menjelaskan bahwa buku-buku cerita
dalam bahasa Arab, khususnya novel telah sangat banyak. Demikian pula bukubuku objek studi, terutama dalam lingkungan Mesir yang memiliki tokoh-tokoh
kenamaan di bidang seni sastra. Disebutkan bahwa teknik penulisan novel-novel
Arab sesungguhnya murni meniru novel dari negara-negara barat. Hal itu
didasarkan pada pengertian bahwa novel Arab belum pernah muncul kecuali
setelah persinggungan sastrawan Arab dengan budaya barat. Para sastrawan novel
Arab terdahulu mengakui bahwa karya mereka sangat terpengaruh oleh novelnovel barat. (El-Kurdi, 2008: 6)
‫أن التقنيات الفنية الىت قامت عليها الرواية العربية إمنا هى تقنيات غربية‬
‫ استنادا إىل أن الرواية العربية مل تنشأ إال بعد االحتكاك بالثقافة‬، ‫خالصة‬
37
‫ وأهنا نشأت ىف أوساط املثقفني بالثقافة الغربية وليس ىف أوساط‬، ‫الغربية‬
‫ وأن كتاهبا األوائل اعرتفوا بتأثري الرواية‬، ‫املثقفني بالثقافة العربية اخلالصة‬
. ‫الغربية عليهم‬
Model teknik penulisan novel Arab pada dasarnya adalah meniru
teknik novel barat, dasarnya adalah bahwa novel Arab belum muncul
kecuali setelah adanya persinggungan dengan budaya barat. Novel
Arab tumbuh di kalangan cendekiawan Arab yang telah memiliki
pengetahuan barat, bukan dari kalangan cendekiawan yang murni
Arab. Para penulis Arab terdahulu mengakui bahwa mereka
terpengaruh oleh novel barat.
Karya sastra Arab dalam bentuk novel baru muncul pada permulaan abad
dua puluh di Mesir. Sebelum itu tidak pernah dikenal adanya novel di seluruh
negara Arab (El-Kurdi, 2008: 12). Disebutkan bahwa novel Mesir bahkan novel
Arab yang pertama kali muncul adalah berjudul
“Zaenab” hasil karya
Muhammad Husein Haikal yang kemudian dijuluki sebagai “Ibu” novel Arab (ElKurdi, 2008: 16).
Para peneliti sastra Arab hampir sepakat bahwa seni novel di negaranegara Arab dalam pengertian modern adalah bermula dari Mesir, utamanya lagi
yaitu atas kepeloporan DR. Muhammad Husein Haikal, lewat buah karya
novelnya berjudul “Zaenab” yang di tulis pada tahun 1910 dan dipublikasika pada
tahun 1914. Sebenarnya ada sejumlah buku kisah yang lahir sebelum novel
“Zaenab”, dengan pola yang hampir sama, akan tetapi teknik narasi yang
digunakan tidak sama dengan pada umumnya novel. Sebagai contoh hasil karya
Rifa’ah Thahthawi “Waqāi’ Talimak” dan karya Muwailihy berjudul “Chadits Isa
bin Hisyam”. Kedua karya seni tersebut tidak dianggap sebagai novel karena lebih
banyak memuat kritikan dari pada aspek realistiknya. Demikian pula kisah karya
38
Rifa’ah Thahthawi berjudul “Takhlish Ibriz Fi Takhlish Bariz” dan kisah karya
Mahmud Thahir Haqy “Adzra’ Dansyway”. Kedua karya kisah itu tidak
dikategorikan sebagai novel dikarenakan terlalu didominasi oleh dokumendokumen sejarah. Meskipun karya-karya sastra kisah tersebut oleh para peneliti
belum dapat dikategorikan sebagai novel, telah berjasa ikut andil
dalam
membangun tegaknya seni novel Arab dalam arti yang sesungguhnya. Dengan itu
muncul nama-nama tokoh pelopor dunia novel Arab, seperti Muhammad Husein
Haikal dengan novelnya “Zaenab”, Thaha Husein dengan novelnya berjudul “Doa
al-Karwan”, Mahmud Thahir Lasyin dengan novelnya “Hawa Bi Lā Adam”, Isa
Ubaid dengan judul novelnya “Soraya”, Mahmud Taimur dengan novelnya “alAthlāl”.
Menurut El-Kurdi
(2008: 52), terpengaruhnya novel-novel Arab pada
periode awal kemunculannya terhadap pola sastra Arab kuno dan teknik penulisan
novel barat adalah sesuatu yang sangat lumrah. Kesusastraan yang sedang tumbuh
adalah suatu kreatifitas baru atau bahkan baru sekedar bentuk saduran. Tidak
mungkin hal itu terpisahkan secara tiba-tiba dari keterkaitannya dengan
peradaban, kesenian, dan estetika masa lalu. Akan tetapi di sana akan tetap ada
keterkaitan yang menghubungkan antara kreatifitas masa lalu dengan kreatifitas
masa sekarang. Suatu pusaka akan senantiasa hidup di dalam atau di luar
kesadaran seni seorang sastrawan.
Pendapat El-Kurdi di atas menyangkal beberapa pendapat para peneliti
yang mengatakan bahwa sastra Arab kuno telah mengenal seni novel sejak era
awal peradaban Arab-Islam. Menurutnya bahwa hanya orang-orang yang fanatik
39
sajalah
yang mengatakan bahwa seni
novel
–dalam pengertian
yang
sesungguhnya- telah ada sejak dahulu kala. Namun ia sendiri mengakui bahwa
sebelum kemunculan seni novel Arab di permulaan abad dua puluh, dunia Arab
dari sejak dulu tidak pernah sepi dari seni kisah, demikian pula telah lama
mengenal teknik narasi. Kalangan masyarakat Arab, baik tua maupun muda
sangat akrab dengan kisah Seribu Satu Malam (Alfu Laila wa Laila). Demikian
pula telah banyak
kisah-kisah perjalanan sebuah bangsa yang melegenda di
kalangan masyarakat. Di kalangan pemuka agama beredar kisah-kisah spiritual,
filosufi, dan kisah ekspansi Islam di berbagai belahan dunia.
Hal senada disampaikan oleh al-Balek alam buku “al-Riwāyah alArabiyyah, Rihlatu Bahts ‘An Ma’na” (2008:20) bahwa bersamaan dengan
datangnya abad dua puluh dan mulai masuknya Arab ke era Eropa, mulailah
upaya awal penulisan novel yang sesungguhnya. Sedikit demi sedikit sastra novel
menawan hati masyarakat Arab dan menempatkan posisinya dalam kancah kreasi
seni Arab. Perkembangan dan kematangan novel Arab itu seiring dengan situasi
perubahan sosial dan pergolakan politik di Mesir dan negeri Syam. Meskipun
waktu perjalanan novel Arab telah mencapai sekitar seratus tahun, ia masih
mengibaratkannya bayi yang sedang merobek kulit arinya. Imad al-Balek
mengutip pernyataan Muhammad Zaghlul Islam dalam bukunya “Dirasat Fi
Qishah Arabiyyah, Ushūluha, Ittijāhātuha, A’lāmuhā (Studi tentang karya fiksi
Arab, asal-usulnya, orientasinya dan para tokohnya)” menyebutkan bahwa selama
perjalanan karya fiksi dengan beragam coraknya telah memberikan pengaruh
terhadap gaya hidup masyarakat dan menjadi cermin denyut nadi kehidupan
40
mereka. Pernyataan tersebut sesuai dengan perjalanan kisah fiksi karya sastrawan
Arab yang telah memberikan dampak dalam kehidupan masyarakat Arab.
Kendatipun kehadiran novel Arab merupakan bentuk tiruan atau imitasi dari
karya-karya fiksi Eropa, namun demikian novel aran telah mmmpu membentuk
coraknya yang khas. Perbedaan tersebut diakibatkan oleh perbedaan obsesi
masyarakat Arab dengan obsesi masyarakat Eropa. Akan tetapi yang mesti
mendapat perhatian , menurut al-Balek (2008:20)
bahwa sejarah munculnya
novel Arab sama sekali tidak bisa dilepaskan dari alur perjalanan novel dunia
secara umum. Hal senada diperkuat oleh hasil studi Faishal Darraj dalam bukunya
“ar-Riwāyah Wa Ta’wil at-Tārikh (Novel dan interpretasi sejarah)” bahwa tidak
mungkin novel Arab itu muncul dengan sendirinya, terlepas dari teori yang
berkembag di dunia.
Sementara itu Waraqi dalam bukunya “Ittijāāhāt ar-Riwāyah al-Arabiyyah
al-Mu’āshirah” (2009: 9) menegaskan, bahwa seni novel dalam sastra barat
adalah sebagai model yang selalu ditiru oleh para sastrawan Arab modern.
Meskipun adanya beberapa bentuk cerita fiksi pada sastra Arab lama, hanya saja
belum ada pengaruhnya yang layak disebutkan terhadap sastra Arab modern. Ia
menambahkan bahwasanya sastra Arab modern mengenal berbagai ragam dan
aliran cerita fiksi barat pada permulaan abad dua puluh. Dalam waktu yang
singkat, seni fiksi yang merupakan hal baru di dunia Arab itu cepat mendapatkan
tempat terdepan diantara seni sastra bahkan mampu meredupkan dominasi syi’ir.
Demikian pula para generasi dari kalangan penulis fiksi dengan cepat menempati
barisan terdepan dalam sastra Arab. Dengan demikian maka kurang dari satu abad
41
karya seni fiksi Arab mampu mengejar ketertinggalan tiga abad perjalanan fiksi
modern Eropa. Demikian pula seni fiksi Arab mampu menghimpun berbagai
ragam model fiksi yang telah dikembangkan oleh para novelis Eropa, dan pada
akhirnya fiksi Arab mampu menciptakan polanya yang khas.
Waraqi (2009: 15) membuat garis besar tentang kemunculan dan
perkembangan novel Arab ke dalam tiga tahapan. Pertama, fase yang didominasi
oleh eksperimen penulisan dan penerjemahan karya barat kedalam bahasa Arab.
Kedua, fase permulaan kepeloporan yang mencakup aktifitas penulisan kisahkisah hiburan, pendidikan dan kisah-kisah historis. Ketiga, fase penulisan novel
dengan kisah-kisah tentang kehidupan sosial masyarakat (Sosiologi Sastra).
b. Novel Ihsan Abdul-Quddus
Cukup banyak jumlah tulisan dalam bentuk buku, riset maupun catatancatatan yang membahas karakter Ihsan Abdul-Quddus dan corak karyanya
termasuk yang khusus meneliti novelnya yang berjudul FĪ BAITINĀ RAJUL.
Setelah penulis menelaah literatur tentang Ihsan Abdul-Quddus, dapat
menyimpulkan adanya tiga klasifikasi kecenderungan para penulis tersebut.
Pertama, cenderung menyanjung dan pencitraan profil Ihsan Abdul-Quddus,
seperti pada buku-buku yang ditulis oleh kalangan jurnalis. Kedua, cenderung
mengkritik bahkan mengecamnya, seperti tampak pada buku-buku yang ditulis
oleh kalangan Islam garis keras, sedangkan ketiga, tampak obyektif seperti bukubuku yang ditulis oleh kalangan akademisi.
Diantara literatur yang diperoleh penulis adalah sebagai berikut:
42
Dikemukakan oleh Qindil dalam buku Jawānib Lāmi’ah fī Hayāti Ihsan
Abdul-Quddus (1997) bahwa hal yang saya kira tidak diperselisihkan adalah
bahwa Ihsan Abdul-Quddus sungguh merupakan fenomena yang layak dipelajari,
bukan hanya fenomena sastranya saja atau kewartawanan saja atau politiknya saja,
akan tetapi juga fenomena sisi humanisnya, norma-norma luhurnya seperti
pengabdiannya, ketegarannya dalam prinsip, kerendahan hatinya, ketabahan serta
sejumlah sifat kebesaran jiwanya. Buku ini secara keseluruhan memuat aspekaspek kehidupan Ihsan Abdul-Quddus baik bidang pers yang ditekuninya maupun
karya-karya sastranya, serta sikap politiknya terhadap isu-isu nasional Mesir sejak
era penjajahan Inggris dan era monarki hingga era revolusi. Dari aspek
nasionalisnya, buku ini menyebut Ihsan Abdul-Quddus sebagai sang revolusioner
(hlm. 63) disebabkan sikapnya yang keras terhadap penjajahan yang
mengakibatkanya masuk kedalam penjara.
El-Kurdi dalam bukunya “Tathawwur at-Taqniyyāt as-Sardiyyah Fi alRiwāyah al-Mishriyyah” (2008) menjadikan salah satu novel karya Ihsan AbdulQuddus FĪ BAITINĀ RAJUL sebagai obyek analisis dalam bukunya, dan novel ini
dikategorikan oleh Abdurrahim El-Kurdi sebagai contoh novel revolusioner.
`Cerita dalam novel ini menonjolkan kebobrokan moral para petinggi negara dan
mengagungkan kepahlawanan para revolusioner yang tulus dalam perjuangan.
Teknik performa penyajian cerita sangat mirip dengan performa malchamah
(epic). Dalam penilaian Abdurrahim El-Kurdi bahwa novel FĪ BAITINĀ RAJUL
mencerminkan perkembangan model baru pernovelan di dunia Arab
revolusi Mesir 1952.
pasca
43
Abdurrahim El-Kurdi dalam bukunya yang lain “al-Sard Wa Manāhij alNaqd al-Adabi”(2004) menyebutkan bahwa novel karya Ihsan Abdul-Quddus
yang berjudul FĪ BAITINĀ RAJUL” adalah sebagai contoh novel yang
mengobarkan patriotisme-heroisme dan pertumpahan darah demi terealisasinya
revolusi 1952 di Mesir yang utamanya adalah perjuangan membebaskan Mesir
dari penjajahan Inggris dan rezim Mesir yang berkolaborasi dengan penjajah.
Tentu saja kisah novel ini menonjolkan tokoh revolusioner dari kalangan pemuda
yang lahir di tengah-tengah masyarakat.
Buku berjudul “Ittijāhāt al-Riwāyat al-Arabiyyah al-Mu’āshirah” (2009)
karya as-Said al-Waraqi menilai Ihsan Abdul-Quddus sebagai sastrawan terdepan
di pentas kesusastraan Arab modern dengan formula psikologi. Dalam banyak
karyanya, Ihsan Abdul-Quddus membangkitkan perasaan yang sedang gundah
pada jiwa tokoh novelnya. Hal ini sangat tampak pada sejumlah karyanya,
termasuk yang berjudul FĪ BAITINĀ RAJUL.
As-Said al-Waraqi
juga
menegaskan bahwa Ihsan Abdul-Quddus sangat konsen terhadap analisis
eksistensi kejiwaan pada tokoh-tokoh utama dalam novelnya. Buku ini
mengelompokkan Ihsan Abdul-Quddus sebagai novelis Arab yang beraliran
modern dari satu sisi dan sebagai novelis terdepan dalam memformat karyanya
menonjolkan aspek sikologis.
Amira Abu al-Futuh dalam bukunya berjudul “Ihsan Abdul-Quddus
Yatadzakkar” (1982) secara rinci menjelaskan perjalanan hidup Ihsan AbdulQuddus di kancah sastra dari fase ke fase, dan menceritakan kronologis dan
motivasinya dalam menekuni penulisan novel. Buku setebal 260 halaman itu juga
44
mengupas perjalanannya di bidang jurnalistik dari sejak sebagai reporter untuk
majalah yang diterbitkan oleh ibunya sendiri, Rose al-Yousf, hingga malang
melintang sebagai pemimpin di berbagai surat kabar ternama di Mesir. Sikap
politiknya yang kritis terhadap berbagai isu nasional yang berkaitan dengan
penentangannya terhadap penjajah Inggris dan petinggi negara dijelaskan dalam
buku ini termasuk akibat buruk yang diterimanya, semisal berkali-kali masuk
penjara.
Narmin Quwaisni ( 1991 ) dalam bukunya berjudul “Ihsan Abdul-Quddus,
Amsi Wal-Yaum Wal-Ghad” menceritakan perjalanan hidup Ihsan Abdul-Quddus
di kancah kesusasteraan, jurnalistik dan politik. Buku ini juga memuat daftar
karya-karya Ihsan, baik yang berupa kumpulan cerpen maupun novel, disamping
mencantumkan komentar para tokoh Mesir tentang sosok Ihsan Abdul-Quddus.
Buku setebal 275 halaman ini menyertakan sejumlah photo berbagai momentum
bagi Ihsan Abdul-Quddus.
Buku yang senada juga ditulis oleh Lots Abd al-Karem(tt ) yang berjudul
“Ihsan Abdul-Quddus” memuat memoar Ihsan Abdul-Quddus dalam catatan dan
gambar. Catatan memoar disajikan dalam redaksi filosofis dan dengan nada puitis
sedangkan gambar Ihsan Abdul-Quddus berupa photo natural maupun gambar
karikatur. Buku ini sangat menonjolkan sisi kepribadian yang kuat Ihsan AbdulQuddus baik dalam lingkup keluarga maupun di kancah profesi, sastra, jurnalistik,
dan politik.
Syarif al-Jayyar menganalisis novel Ihsan Abdul-Quddus dalam bukunya
berjudul at-Tadākhul al-Tsaqāfi Fī Sardiyāt Ihsan Abdul-Quddus (Intervensi
45
Budaya Dalam Narasi Sastra Ihsan Abdul-Quddus) terbitan al-Hai’ah al-‘Āmmah
Li Qushūr al-Tsaqāfah, Cairo (tt). Ia mengkomparasikan teknik narasi pada tiga
buah novel karya Ihsan dengan tiga buah novel Eropa yang ternyata memiliki
kesamaan dalam unsur-unsur kesusasteraan. Kesamaan tersebut mempertegas
adanya keterkaitan yang jelas antara karya Ihsan dengan novel-novel Eropa.
Syarif (Hal. 5) menilai karya-karya Ihsan baik berupa novel maupun cerita pendek
(cerpen) telah berhasil sukses memikat perhatian dari masyarakat pembaca di
Mesir maupun di seluruh negara Arab. Kesuksesan tersebut disebabkan oleh
kesederhanaan bahasanya dan keberaniannya dalam mengungkap berbagai
problematika sosial, politik nasioanl di Mesir dan di dunia Arab pada paruh ke
dua abad dua puluh.
Kritikan tajam bahkan kecaman yang khusus ditujukan kepada karya
bahkan pribadi Ihsan Abdul-Quddus sebagai sastrawan, ditulis oleh Suhailah
Zainal-Abidin Hamad dalam buku setebal 600 halaman berjudul Ihsan AbdulQuddus Baina ‘Ilmāniyyah Wa Farwidiyyah (1990). Buku setebal 600 halaman
itu diterbitkan secara khusus oleh sebuah lembaga penerbitan Islam yang
menuding Ihsan Abdul-Quddus sebagai seorang sastrawan penganut skuleris dan
individualis. Karya-karyanya dianggap memotivasi kepada pergaulan bebas di
kalangan perempuan Mesir dan menanamkan dekadensi moral dalam masyarakat.
Bahkan karyanya selalu dikonfrontasikan dengan ayat-ayat suci al-Qur’an sebagai
justifikasi bahwa karya sastranya melanggar norma, adat istiadat dan ajaran alQur’an. Pada mukadimah buku itu disebutkan bahwa sastra Ihsan Abdul-Quddus
telah memisahkan pemikirannya dengan aqidah Islam. Ia menjadikan teori
46
individualisnya sebagai ideologinya dan dengan cara itu ia menulis karya-karya
serta menganalisis tingkah laku manusia. Pandangannya terhadap perilaku
manusia dengan kaca mata individualis itu ia telah menjatuhkan derajat manusia
setara dengan binatang dan menganggap masyarakatnya berjalan dengan
mengikuti insting seksualnya.
Jabir Ashfur, dalam bukunya berjudul “Muwājahatul-Irhāb” (2003)
mengkritik sastra Mesir kontemporer yang dalam sudut pandangnya telah
mengilhami dan memprovokasi aksi teror. Kreativitas seni sastra telah
dimanfaatkan oleh para sastrawan untuk memotivasi praktek kekerasan. Novel FĪ
BAITINĀ RAJUL karya Ihsan Abdul-Quddus dijadikan salah satu contoh novel
yang membangkitkan semangat terorisme. Bahkan Jabir Ashfur memplesetkan
judul novel FĪ BAITINĀ RAJUL (di rumahku ada lelaki jantan)” dengan kalimat
lain yaitu FĪ BAITINĀ IRHĀBI (di rumahku ada seorang teroris). Jabir mengakui,
novel karya Ihsan Abdul-Quddus ini mendapatkan sambutan luar biasa dari
masyarakat, terbukti novel ini diproduksi untuk acara frahmen serial di radio
Mesir dan diangkat ke layar lebar yang dibintangi oleh aktor kenamaan Mesir.
1.6 Landasan Teori
a. Teori Sosiologi Sastra – Strukturalisme Genetik
Penelitian sastra ini terfokus kepada ilmu sosiologi sastra (Sociology of
Literature) –khususnya sastra novel- dengan mengadopsi teori Strukturalisme
Genetik (asal-usul karya sastra dalam konstruksi sosial) yang dikembangkan oleh
Lucien Goldmann (1913-1970) dalam beberapa studinya yang membahas secara
47
analistik hubungan antara sastra dengan masyarakat terutama lewat bukunya The
Hidden God dan Toward a Sociology of the Novel. Dengan teori ini dapat
dianalisis tiga dunia dalam sastra, yaitu, Pertama, Konteks sosial yang
melatarbelakangi kehidupan sang pengarang dan karya sastranya. Kedua, analisis
intrinsik karya sastra (“Fī Baitinā Rajul”). Ketiga, analisis pandangan dunia sang
pengarang terhadap nasionalisme.
Lucien Goldmann, lahir di Bucharest - Rumania, 20 Juli 1913. Ia
menghabiskan masa kanak-kanaknya di kota Botosani. Di kota itu ia menempuh
pendidikan dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Ia menempuh
pendidikan Perguruan Tinggi Strata Satu di Bucharest. Selama masa
perkuliahannya, ia mulai bersinggungan dengan pemikiran Marxisme. Pada tahun
1933 ia berimigrasi ke Wina untuk melanjutkan pendidikannya dan ia
mempelajari beberapa karya George Lukacs. Usai menamatkan pendidikannya di
Wina ia pindah ke Paris – Prancis untuk melanjutkan studi, bekerja dan
berdomisili
tetap
hingga
meninggal
dunia,
8
Oktober
1970.
Selama
keberadaannya di Prancis ia bekerja sebagai peneliti pada Lembaga Pusat
Penelitian Nasional. Selama periode tugasnya sebagai peneliti, ia menulis disertasi
untuk meraih gelar Doktor bidang sastra dengan judul “Le Dieu Caché” Etude sur
la vision tragique dans les Pensées de Pascal et dans le théâtre de Racine,
diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh Philip Thody, The Hidden God, a
Study of Tragic Vision in The Pensees of Pascal and The Tragedies of Racine.
Baik sebelum ia menulis karya disertasinya itu maupun setelahnya, ia juga telah
menghasilkan sejumlah karya ilmiah tentang studi sastra dan humaniora. Lucien
48
Goldmann merupakan salah seorang intelektual terpenting yang membangun teori
strukturalisme Genetik. Ia mengembangkan teorinya dengan bermodalkan
beberapa pemikiran gurunya, George Lukacs. (Said, 2008:5).
Genetic structuralism (and more specifically the work of Georg
Lukacs) represents a real turning point in the sociology of literary,
try in effect to establis relation between the contents of literary work
and those of the collective consciousness (Goldmann, Lucien.
1977a:158).
Strukturalisme genetik (khususnya yang diusulkan oleh George
Lukacs) mewakili titik balik ilmu sosiologi sastra . Aliran sosiologi
sastra lainnya, baik yang terdahulu maupun sesudahnya berupaya
untuk menarik kaitan antara isi karya sastra dan kesadaran umum
Goldmann
(dalam
Faruk,
1994:12)
menyebut
teorinya
sebagai
strukturalisme-genetik, artinya ia percaya bahwa karya sastra merupakan sebuah
struktur. Akan tetapi, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan
merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi
dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang
bersangkutan. Untuk menopang teorinya tersebut Goldmann membangun
seperangkat kategori yang saling berkaitan satu sama lain sehingga membentuk
apa yang disebutnya sebagai strukturalisme-genetik. Kategori-kategori itu adalah
fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman dan
penjelasan.
Fakta kemanusiaan (Faruk, 2013:57) merupakan landasan ontologis dari
strukturalisme-genetik. Adapun yang dimaksudkan dengan fakta tersebut adalah
segala hasil aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik,
yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetuan. Fakta ini dapat berwujud aktivitas
49
sosial tertentu seperti Pemilu, maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa,
seni patung, dan seni sastra.
Fakta kemanusiaan (Faruk, 2013:62) bukanlah sesuatu yang muncul begitu
saja, melainkan merupakan hasil aktivitas manusia sebagai subjeknya. Dalam hal
ini perlu diperhatikan perbedaan antara subjek individual dan subjek kolektif.
Perbedaan itu sesuai dengan perbedaan jenis fakta kemanusiaan. Subjek
individual merupakan subjek fakta individual, sedangkan subjek kolektif
merupakan subjek fakta sosial.
Karya sastra yang besar (Faruk, 2013:71) merupakan strukturisasi dari
subjek kolektif. Oleh karena itu, karya sastra mempunyai struktur yang koheren
dan terpadu. Dalam konteks strukturalisme-genetik, konsep struktur karya sastra
berbeda dari konsep struktur yang umum dikenal.
Pandangan dunia (Faruk, 2013:70-71) adalah sebuah pandangan dengan
koherensi menyeluruh, merupakan perspektif yang koheren dan terpadu mengenai
manusia, hubungan antar-manusia, dan alam semesta secara keseluruhan.
Pandangan dunia (Sulaiman, 1998:55) merupakan salah satu makalah Goldmann
yang sangat penting. Ia sangat konsen dengan pandangan dunia ini baik pada
dataran teori maupun aplikasi sehingga memberikan kesan kepada pembaca
bahwa makalahnya ini menjadi pintu utama untuk memasuki pemahaman ilmuilmu humanistik. Goldmann (dalam Sulaiman, 1998:56) menyebutkan bahwa
pandangan dunia akan membatu para peneliti dalam membedakan antara ciri-ciri
yang esensial dalam karya sastra dan teks itu diteliti karena bersifat totalitas yang
bermakna.
50
Pandangan dunia (Goldmann, 1977:15) adalah sebuah perangkat atau
instrumen obyektif yang sengaja dibuat untuk menjadikan sejarah filsafat dan
sastra sebagai kajian ilmiah. Dengan pandangan dunia ini dapat dibedakan antara
sesuatu yang esensial dengan yang aksidental dalam karya sastra. Oleh karena itu,
berinteraksi dengan karya sastra harus dilakukan secara komprehensif dan tidak
dikaji secara parsial. Demikian pula dengan pandangan dunia, peneliti dapat
mempelajari ungkapan pemikiran seseorang terutama ide sang penulis dan karya
yang diciptakannya. Teks sastra diteliti karena dinilai sebagai totalitas yang tidak
berdiri secara parsial yang memiliki misi tertentu.
Pengertian lain pandangan dunia (Goldmann, 1977:17) adalah gagasan,
inspirasi, dan perasaan yang kompleks dan total, yang mengkaitkan secara
bersama-sama antar anggota suatu kelompok sosial tertentu dan
yang
mempertentangkan dengan kelompok-kelompok lain, atau merupakan nuansa
umum dari pikiran-pikiran dan perasaan suatu kelompok tertentu.
“Word Vision” is a convenient term for the whole complex of
ideas, aspiration and feelings wich links together the members of a
social group (a group which, in most cases, assumes the axistence
of social class) and wich opposes them to members of other social
groups.
Golmann (dalam Faruk, 2013:78) memandang karya sastra sebagai produk
strukturasi pandangan dunia sehingga cenderung mempunyai struktur yang
koheren. Sebagai struktur yang koheren karya sastra merupakan satuan yang
dibangun dari bagian-bagian yang lebih kecil. Oleh karena itu, pemahaman
terhadapnya dapat dilakukan dengan konsep “keseluruhan bagian” di atas.
51
Goldmann membangun teorinya juga atas dasar dua proses yang saling
terkait, yaitu pemahaman dan penjelasan. Pertama, proses pemahaman menurut
Goldmann (Sulaiman, 1998:6) adalah persoalan yang berkaitan dengan teks. Teks
ini diansumsikan sebagai hal yang harus dipahami secara harfiah dengan
menjauhkan dari pengaruh eksternal (masyarakat – figur pengarang). Sedangkan
kedua, proses penjelasan adalah persoalan yang berkaitan dengan penelitian yang
kolektif dengan memandang hakekat eksternal yang meliputi struktur karya.
Proses ini mengkaitkan karya berupa teks tadi dengan sesuatu yang di luar batasbatas teks. Karya sastra dipandang sebagai struktur sastra yang lahir dari struktur
masyarakat yang lebih luas. Goldmann mempertegas bahwa pemahaman dan
penjelasan adalah dua proses yang saling terkait dan saling melengkapi.
Strukturalisme
(Faruk,
2012:155-156)
adalah
sebuah
paham
atau
kepercayaan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini mempunyai struktur.
Sesuatu dikatakan mempunyai struktur apabila ia membentuk suatu kesatuan yang
utuh, bukan merupakan jumlah dari bagian-bagian semata. Hubungan antarbagian
dalam struktur tidak bersifat kuantitatif, melainkan kualitatif.
Strukturalisme Genetik (Faruk, 2012:159) merupakan gabungan antara
strukturalisme dengan marxisme. Sebagaimana strukturalisme, strukturalismegenetik memahami segala sesuatu di dalam dunia ini, termasuk karya sastra,
sebagai sebuah struktur. Karena itu, usaha strukturalisme-genetik untuk
memahami karya sastra secara niscaya terarah pada usaha untuk menemukan
struktur karya itu. Namun, bagi paham tersebut, segala aktifitas dan hasil aktifitas
manusia tidak hanya mempunyai struktur, melainkan juga mempunyai arti.
52
Karena itu, pemahaman terhadap karya sastra tidak dapat hanya berhenti pada
perolehan pengetahuan mengenai strukturnya, melainkan harus dilanjutkan hingga
mencapai pengetahuan mengenai artinya.
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa dengan memanfaatkan teori Lucien
Goldmann ini (Muhajir. 1996: 165) maka sekaligus dapat dilakukan analisis
terhadap tiga dunia sastra, yaitu pertama, analisis terhadap intrinsik karya sastra
itu sendiri, kedua, latar kehidupan sang author dan ketiga, analisis kontek sosial
yang melatarbelakangi karya sastra dan pengarangnya. Demikian pula, Rene
Wellek dan Austin Warren (1990:111-112) mengklasifikasikan hubungan yang
nyata antara sastra dengan masyarakat sebagai berikut: Pertama adalah sosiologi
pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra. Masalah yang berkaitan di sini
adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang dan
ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya
sastra. Kedua adalah isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam
karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Ketiga atau
yang terakhir adalah permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra.
Sejauh mana sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan
perkembangan sosial adalah pertanyaan yang termasuk dalam ketiga jenis
permasalahan di atas: sosiologi pengarang, isi karya sastra yang bersifat sosial,
dan dampak sastra terhadap masyarakat.
Dengan mengadopsi teori ini, maka akan diketahui pula hubungan antara
novel yang dikaji dalam penelitian ini (FĪ BAITINĀ RAJUL) dengan berbagai
53
peristiwa politik yang telah terjadi di Mesir yang menjadi kronologis revolusi
1952. Dengan demikian objek penelitian ini terfokus pada novel politik.
Jika Sosiologi dikategorikan sebagai ilmu penting dari cabang pengetahuan
humaniora yang senantiasa mencari, mendiskripsikan, memahami, serta
menganalisis berbagai fenomena dalam sosial-masyarakat, maka sastra dalam
makna ini tidak begitu jauh dari ilmu sosiologi, dimana masing-masing berupaya
untuk menganalisis sosial-masyarakat dan memonitor berbagai perubahan yang
terjadi dalam masyarakat (Abdul-‘Adhim, 1988:5).Tampak jelas pada akhirnya
bahwa masing-masing sosiologi maupun ilmu sastra merupakan produk fakta
sosial, dan masing-masing pula berupaya
menjabarkan dan menganalisis.
Sosiologi sastra merupakan suatu disiplin yang memandang teks sastra sebagai
pencerminan dari realitas sosial. Berangkat dari teori ini, maka sosiologi sastra
diharapkan mampu membuat studi tuntas tentang hubungan antara sastra dengan
realitas sosial (Sangidu, 2007: 28). Dalam kerangka upaya ini, arah idiologi
berputar antara justifikasi dan pencerahan (katarsis), dimana studi sosiologi
beredar di sekitar keinginan mengungkap fakta dan melucuti kekuatan sosial yang
ingin melestarikan interesnya dengan cara mengeksploitasi kekuatan masyarakat
di satu sisi, dan melanggengkan fakta yang ada serta memantapkan hegemoni
kekuatan eksploitasi sosial di sisi lain.
Demikian pula dengan sastra yang berupaya merubah dan membongkar
berbagai keburukan di satu sisi, tetapi di sisi lain sastra juga dapat dijadikan media
untuk melanggengkan status quo.Dengan demikian maka studi sosiologi sastra
memiliki kedudukan penting karena ia berdiri bisa sebagai penjastifikasi dan bisa
54
sebagai pencerah. Baik jastifikasi maupun pencerah, keduanya merupakan
fenomena sosial yang dengan itu maka kontek sosial dapat dipahami.
Sastra adalah bagian dari masyarakat. Berangkat dari asumsi ini maka
langkah awal yang harus dikerjakan oleh peneliti sosiologi sastra adalah
menentukan jenis masyarakat yang melahirkan sastra sehingga dapat diketahui
sifat-sifat masyarakat yang melahirkan sastra tersebut (Sangidu, 2007:26).
Studi sastra dewasa ini konsen terhadap urgensinya memahami hubungan
antara produk sastra yang tercermin pada karya sastra, dan berbagai perubahan
sosial. Dalam rangka memverifikasi hubungan antara novel —sebagai salah satu
bentuk karya sastra- dengan fakta kehidupan sosial, maka studi ini akan
menelusuri dan menganalisis salah satu karya novel sastrawan kenamaan di Mesir
Ihsan Abdul-Quddus yang berjudul FĪ BAITINĀ RAJUL yang dikategorikan
sebagai novel politik. Meskipun secara khusus studi ini tertuju pada novel FĪ
BAITINĀ RAJUL” akan tetapi tidak terlepas dari menyebut beberapa karya Ihsan
Abdul-Quddus lainnya, terutama karya yang berkaitan dengan persoalan politik
atau nasionalisme, seperti “’Alā Maqhā Fī Syāri’ Siyāsi” (Caffe di Jalan Politik),
“al-Bahtsu ‘An al-Tsaurah” (Pembahasan Revolusi), dan “Khawāthir Siyāsiyyah”
(Ide-ide Politik). “Ayyām Mudhāharāt”(hari-hari demonstrasi). Keempat buah
karya tersebut bukan sebagai major dalam penelitian ini, akan tetapi berperan
sebagai
pendukung terhadap obyek major terutama memperkuat analisis
pandangan dunia sang author.
Penelitian ini intinya mengadopsi teori Genetic Stucturalism yang
didefinisikan oleh Lucien Goldmann dalam studinya yang membahas hubungan
55
antara sastra dengan sosial masyarakat melalui metode dialektika (hubungan
dwiarah). Dengan Teori Goldmann ini memungkinkan analisis sekaligus terhadap
tiga aspek penting, yaitu: pertama konteks sosial yang melatarbelakangi
kehidupan sang author (dalam hal ini Ihsan Abdul-Quddus) dan sekaligus
melatarbelakangi karya sastra yang dihasilkannya. Kedua analisis teks karya
sastra (dalam hal ini novel FĪ BAITINĀ RAJUL ), dan ketiga analisis pada sang
author (Ihsan Abdul-Quddus) dari aspek pandangan dunianya.
Goldmann menyatakan bahwa pandangan dunia tidak muncul dengan serta
merta, akan tetapi merupakan hasil proses panjang. Demikian ini karena
pandangan dunia adalah hasil interaksi antara subjek kolektif dengan dunia
sekelilingnya. Dalam hal ini Goldmann mencoba mendapatkan pandangan dunia
dari suatu novel yang merupakan dunia penulis. Penulis ini bukanlah individu
yang berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari suatu kelompok soaial.
Pandangan dunia inilah yang menentukan struktur karya sastra dan asal muasal
karya itu dari aspek genetika dapat dipahami melalui latar belakang sosialnya.
Sebagaimana pula Goldmann (1977:17) mengatakan bahwa karya sastra sebagai
strukutur bermakna itu mewakili pandangan dunia penulis, bukan sebagai
individu, melainkan sebagai unsur dalam masyarakat. Hubungan antara struktur
sastra dan struktur masyarakat dimediasi oleh pandangan dunia pengarang.
Dengan demikian karya sastra yang merupakan hasil budaya manusia tidak dapat
dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat tempat karya sastra
tersebut dilahirkan tidak mendapat perhatian.
56
Menurut Rene Wellek dan Austin Warren (1990:113) bahwa keterlibatan
sosial, sikap, dan ideologi pengarang dapat dipelajari tidak hanya melalui karyakaryanya tetapi juga dari dokumen biografi. Pengarang adalah seorang warga
masyarakat yang tentunya mempunyai pendapat tentang masalah-masalah politik
dan sosial yang penting serta mengikuti isu-isu zamannya.
b. Teori Nasionalisme
Dari satu segi, nasionalisme terbagi menjadi dua macam, yaitu
nasionalisme dalam arti luas dan nasionalisme dalam arti sempit. Dalam arti luas,
nasionalisme adalah paham kebangsaan, yaitu mencintai bangsa dan negara
dengan tetap mengakui keberadaan bangsa dan negara lain. Dalam arti sempit,
nasionalisme diartikan sebagai mengagung-agungkan bangsa dan negara sendiri
dan merendahkan bangsa lain. Paham ini biasa disebut dengan paham
chauvinisme (Santoso. 2007:16).
Demikian pula kerap dijumpai ungkapan beberapa tipe nasionalisme,
meskipun demikian tidak dinyatakan secara eksplisit definisi masing-masing.
Namun demikian, secara implisit dengan mengikuti konteksnya dapat dipahami
maksud dari tipologi nasionalisme yang berbeda-beda tersebut. Misalnya,
nasionalisme radikal, nasionalisme moderat, nasionalisme relegius, nasionalisme
skuler. Lebih dari itu, nasionalisme yang ada di suatu negara memiliki cirikhas
yang berbeda dengan nasionalisme di negara lain. Begitu juga bentuk
nasionalisme dapat berubah dari suatu periode ke periode lainnya.
57
Nasionalisme
adalah
sebuah
terminologi
yang
digunakan
guna
menunjukkan kepada sikap positif dan dukungan terhadap negara baik dari
individu maupun kelompok. Menurut Adisusilo (1986:1) nasionalisme dapat
disederhanakan sebagai semangat cinta bangsa dan cinta tanah air. Nasionalisme
tumbuh dan berkembang disebabkan oleh berbagai faktor, yang antara bangsa
yang satu dengan bangsa yang lain, antara jaman yang satu dengan jaman yang
lain, dapat berbeda. Menurut Kartodirjo (1994:24) nasionalisme adalah kounterideologi dari kolonialisme atau imperialisme yang merupakan sistem politik yang
mensahkan dominasi orang asing terhadap kaum pribumi, suatu hubungan
kekuasaan yang meletakkan superodinasi penjajah dan subordinasi kaum pribumi.
Lebih lanjut Kartodirjo menegaskan prinsip-prinsip esensial nasionalisme adalah
(1) kesatuan/persatuan (unity); (2) kebebasan (liberty); (3) persamaan (equality);
(4) kepribadian (personality-individuality); dan (5) prestasi (performance).
Sebagaimana pula dikemukakan oleh Smith (2003:6-7) bahwa ada lima
arti nasionalisme, pertama, nasionalisme sebagai suatu proses pembentukan atau
pertumbuhan bangsa-bangsa. Kedua, nasionalisme sebagai suatu sentiment atau
suatu kesadaran memiliki bangsa. Ketiga, nasionalisme sebagai suatu bahasa atau
simbolisme bangsa. Keempat, nasionalisme sebagai suatu gerakan sosial dan
politik demi bangsa yang bersangkutan. Kelima, nasionalisme sebagai suatu
doktrin atau ideologi bangsa, baik yang umum maupun yang khusus.
Kohn (1955 :11) mengartikan nasionalisme dengan suatu paham yang
berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara
kebangsaan. Perasaan sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah
58
tumpah darahnya dengan tradisi-tradisi setempat dan penguasa-penguasa resmi di
daerahnya selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda.
Akan tetapi baru pada akhir abad ke delapan belas Masehi nasionalisme dalam arti
kata modern menjadi suatu perasaan yang diakui secara umum. Dan nasionalisme
ini makin lama makin kuat peranannya dalam membentuk semua segi kehidupan,
baik yang bersifat umum maupun yang bersifat pribadi.
Menurut Kohn (1955 :14) nasionalisme adalah gejala jaman modern, akan
tetapi beberapa watak nasionalisme sudah lama berkembang dalam jaman-jaman
yang lampau. Akar-akar nasionalisme tumbuh di atas tanah yang sama dengan
peradaban barat yakni dari bangsa-bansa Ibrani purba dan Yunani Purba. Kohn
juga berpandangan bahwa nasionalisme modern yang berasal dari bangsa Ibrani
memiliki tiga corak hakiki. Pertama, cita-cita sebagai bangsa terpilih. Kedua,
penegasan bahwa mereka mempunyai kenangan yang sama mengenai masa
lampau dan harapan yang sama di masa yang akan datang. Ketiga, bahwasanya
bangsa mereka mempunyai tugas khusus di dunia ini.
Secara umum, nasionalisme dapat diartikan sebagai sebuah situasi
kejiwaan dimana kesetiaan seseorang secara total diabdikan langsung kepada
negara atas nama sebuah bangsa (Santoso. 2007:19).
Gerakan nasionalisme di Mesir di era kolonial abad dua puluh, pada
subtansinya tidak berbeda dengan gerakan nasionalisme di negara-negara lain.
Pada Umumnya (Padi, 2006:112) tujuan nasionalisme di tanah-tanah jajahan
adalah ingin lepas dari penjajahan untuk selanjutnya mendirikan sebuah negara
merdeka. Namun demikian ada beberapa perbedaan gerakan nasionalisme di
59
Mesir dengan di tempat-tempat lain. Sebagaimana telah disebutkan bahwa
gerakan nasionalisme di Mesir bukan hanya bertujuan untuk lepas dari penjajahan
asing akan tetapi juga bertujuan mengganti rezim yang berkolaborasi dengan
penjajah.
Diskursus nasionalisme bagi rakyat Mesir dikenal dengan sebutan
qaumiyyah dan wathaniyyah. Dua kata tersebut dalam telaah sejumlah kamus
Arab modern adalah merupakan padan kata yang berarti nasionalisme. Sebagian
kamus mengartikan wathaniyyah dengan nasionalisme dan patriotisme. Menurut
Sathi’ al-Chushary (1985:21), wathaniyyah dan qaumiyyah merupakan salah satu
kecenderungan sosial yang terpenting yang mengaitkan seorang individu manusia
dengan komunitas yang ia cintai dan ia banggakan, ia bekerja dan berkorban demi
komunitasnya itu. Wathaniyah adalah cinta kepada negara dan perasaan
keterkaitan secara bathin terhadap negara tersebut. Sedangkan qaumiyyah adalah
cinta kepada ummat dan perasaan keterkaitan secara bathin terhadap ummat
tersebut. Atas dasar itu maka dapat dikatakan bahwa wathaniyyah adalah
keterkaitan seseorang dengan bidang tanah yang dikenal dengan sebutan negara.
Sedangkan qaumiyyah adalah keterkaitan seorang individu dengan kelompok
manusia yang dikenal dengan sebutan ummat. Namun demikian, pemahaman
keduanya pada dasarnya tidak berbeda. Mencintai negara pada dasarnya adalah
mencakup mencintai ummat yang menjadi penduduknyanya. Demikian pula
mencintai ummat pada dasarnya adalah mencakup mencintai bumi tempat
tinggalnya ummat itu. Namun demikian dapat diartikan pula bahwa qaumiyyah
60
memiliki pengertian nasionalisme yang lebih luas dibanding dengan wathaniyyah
yang memiliki pengertian nasionalisme yang lebih sempit.
Hampir sanada dikemukakan oleh Amien Rais (Muatakim, Bagus,
2010:217) bahwa nasionalisme ada kaitannya dengan patriotisme. Dalam bahasa
Arab modern patriotisme itu disebut sebagai wathaniyyah sedangkan nasionalisme
disebut sebagai qaumiyyah. Banyak ulama bisa menerima kalau umat Islam di
dunia ini punya perasaan wathaniyyah, dalam arti ada kerinduan dengan tanah air
tempat seseorang dilahirkan. Sementara terhadap konsep qaumiyyah terdapat
banyak perbedaan pendapat.
Menurut Muhammad Noer (dalam Padi, 2006:112-113) menyebut ada dua
pengertian mengenai nasionalisme. Pertama, Qaumiyya (nasionalisme dalam arti
luas). Tujuannya antara lain: 1) Mengintegrasikan seluruh kekuasaan yang ada di
dunia Arab untuk menjadi suatu kekuatan politik. 2) Menginginkan agar
kepentingan nasional masing-masing negara Arab dilebur untuk mencapai
kepentingan Arab secara luas. Salah satu usaha dari qoumiyya ini ialah
pembentukan Liga Arab. Kedua, Wathaniyya (nasionalisme dalam arti sempit).
Tujuannya, mengutamakan kepentingan nasional masing-masing negara Arab.
1.7 Metode Penelitian
Metode penelitian ini meliputi metode pengumpulan data dan analisis data.
Objek yang akan diteliti adalah novel Mesir berjudul FĪ BAITINĀ RAJUL karya
Ihsan Abdul-Quddus, terbit pertama kali pada tahun 1957. Metode penelitian
(Faruk, 2012:55) adalah cara untuk memperoleh pengetahuan mengenai objek
61
tertentu dan, karenanya, harus sesuai dengan kodrat keberadaan objek itu
sebagaimana yang dinyatakan oleh teori.
Penelitian ilmiah merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan
metode yang bersistem, bernalar, dan sesuai dengan objeknya, yaitu sifat-sifat
yang ada pada ilmu (Chamamah, 2011:59). Penelitian yang baik tentu tidak
terlepas dari pemilihan metode yang digunakan agar penelitian itu terarah dan
sistematis. Penelitian harus memilih metode dan langkah-langkah yang tepat, yang
sesuai dengan karakteristik objek kajian (Chamamah, 2003:12). Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif-deskriptif. Pada umumnya jenis penelitian sastra
yang banyak dilakukan adalah jenis penelitian kualitatif (Sangidu. 2007:7).
Penelitian kualitatif ini didesain berdasarkan metode Wiersma (1982:8286), yaitu: (1) menentukan fokus penelitian, (2) mengajukan pertanyaan untuk
penelitian, (3) mengumpulkan data, (4) melakukan keabsahan data, (5)
menganalisis, menginterpretasi temuan penelitian, dan (6) instrumen penelitian.
7.1 Pengumpulan Data
Data yang dimaksudkan dalam penelitian sastra ini adalah bersumber dari
dokumen pustaka atau literatur sastra yang berjenis novel. Novel yang menjadi
objek utama berjudul FĪ BAITINĀ RAJUL terbit pertama kali pada tahun 1957,
ditulis oleh sastrawan Mesir Ihsan Abdul-Quddus. Untuk menggali lebih dalam
tentang pandangan dunia pengarang, maka digali pula data lain yang relevan,
berupa novel-novel politik dari pengarang yang sama. Untuk itu, penulis juga
sekilas memaparkan beberapa karya Ihsan Abdul-Quddus yang lain.
62
7.2 Analisis Data
Teknik menganalisis data kualitatif yang merujuk kepada buku Analisis
Data Kualitatif karya Miles dan Huberman (1992:16-20), dilakukan dengan
menempuh model alir, yaitu mereduksi data, penyajian data, dan menarik
kesimpulan.
Dengan teknik ini diharapkan dapat mengungkap pesan yang
terkandung dalam teks, dan mampu dipahaminya ide pokok yang termuat di
dalamnya.
Tahapan yang telah, sedang dan akan ditempuh dalam penelitian ini
adalah:
1) Membaca novel FĪ BAITINĀ RAJUL dan mengidentifikasi beberapa point
penting dalam cerita yang dalam interpretasi penulis dapat diabstraksi sebagai
pesan-pesan nasionalisme.
2) Menganalisis relasi nasionalisme yang termuat dalam beberapa novel karya
Ihsan Abdul-Quddus yang mengungkapkan problematika politik di Mesir.
Novel-novel tersebut sebagai transformatif dari novel FĪ BAITINĀ RAJUL.
3) Wawancara dengan sumber terdekat dengan author. Wawancara ini telah
dilakukan oleh penulis dengan Ahmad, yaitu salah seorang putera Ihsan
Abdul-Qudous, di Cairo pada Kamis malam Jum’at 25 Februari 2010.
Wawancara ini dilakukan untuk menggali lebih dalam data tentang latar
belakang kehidupan mendiang Ihsan Abdul-Quddus dan pandangan dunianya.
4) Menganalisis peran aksi nasionalisme rakyat Mesir baik yang dikisahkan
dalam novel maupun yang tercatat dalam buku-buku dokumen sejarah
perjuangan rakyat Mesir.
63
5) menganalisis situasi politik menjelang revolusi Mesir, 23 Juli 1952.
6) menginventarisasi seluruh data temuan ke dalam catatan.
7) menarik kesimpulan.
8) menyusun laporan penelitian.
Karya sastra akan dapat dipahami dengan memperhatikan sosial budaya
yang melatari karya itu. Dalam penelitian ini, langkah pertama akan dipaparkan
potret kondisi sosial budaya negara Mesir ketika masih berbentuk kerajaan dan di
bawah penjajahan Inggris. Langkah berikutnya adalah menganalisis relasi antara
tokoh dengan objek yang ada di sekitarnya.
Menelaah sekilas deskripsi situasi sosial, budaya dan politik yang dominan
dalam novel ini, adalah relatif mudah untuk dipahami karena sang penulis
menggunakan pola realisme formal, artinya karya sastra ini tidak terpisah dari
logika kehidupan nyata.
1.8 Sistematika Penyajian Penulisan
Penelitian disertasi ini akan disajikan dalam lima bab, sebagai berikut: Bab
I Merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, permasalahan,
objek penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, dan metode
penelitian. Bab II memaparkan latar belakang kehidupan sang author, karakteristik
karya sastranya, dominasi konteks sosial dalam karya sastra, sikap kepribadian
nasionalis-liberalis sang pengarang, profil sang pengarang yang dicerminkan
dalam novel, termasuk paparan situasi politik yang memicu meletusnya revolusi
yang kemudian termasuk hal yang menginspirasikan lahirnya novel FĪ BAITINĀ
64
RAJUL. Bab III menjelaskan novel yang menjadi objek penelitian dari aspek
kerangka umum novel, teknik struktur narasi cerita, tokoh kisah realistis dalam
novel yang merupakan cirikhas novel modern, kenyataan dan imajinasi dalam
novel
FĪ
BAITINĀ
RAJUL,
dan
tokoh
utama
dalam
novel
dengan
problematikanya, termasuk kemudian memaparkan amanat nilai-nilai norma dan
edukatif yang termuat dalam novel. Bab IV menganalisis pandangan dunia yang
dalam disertasi ini disebut dengan cakrawala harapan Ihsan Abdul-Quddus dalam
Novel FĪ BAITINĀ RAJUL terhadap ragam persoalan terkait nasionalisme dan
cakrawala harapan nasionalismenya dalam empat karya lainnya baik karya yang
berbentuk novel maupun dalam bentuk cerita pendek (cerpen). Bab V adalah bab
terakhir, merupakan simpulan penelitian serta penutup. Sedangkan data yang
dilampirkan berupa sinopsis pendek dan sinopsis panjang dari novel FĪ BAITINĀ
RAJUL.
Download