1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Masalah Nasionalisme sebagai gejala historis mempunyai peranan dominan dalam abad ke-20 dalam proses formatif negara-negara nasional modern di Asia dan Afrika. Nasionalisme sebagai ideologi politik tercipta sebagai counter-ideology terhadap kolonialisme atau imperialisme (Kartodirjo, 1993: 14). Tidak mudah memberikan definisi yang tepat tentang nasionalisme, apalagi secara akademis, dan yang dapat diterima serta disepakati secara bulat oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu. Apalagi kondisi, situasi, dan suasana secara keseluruhan antarnegara atau kawasan juga sangat berbeda (Abdulgani,1995: xvi). Hal ini mirip yang dikatakan oleh Antoni H. Birch: One of the problems faced by all students of politic is that the terms they use are also used in ways that are often confusing, by politicians, journalists and member of the general public. This is conspicuously true of the term ‘nationalism” which is commonly used in great variety of ways. It is sometimes used to describe the belief that one’s own culture and civilization are superior to all others, for which the proper term is chauvinism.(Birch H, 2006:3). Menurut Habsbawn (1994:14-15) bahwa arti nasionalisme yang dulu tidak seperti maknanya di era modern. Perjalanan menuju maknanya yang sekarang membutuhkan proses. Sebelum tahun 1884 nation berarti kumpulan penduduk dari suatu propinsi, suatu negara. Sekarang dimaknai suatu negara atau badan politik yang mengakui pusat pemerintahan bersama sebagai yang tertinggi dan penduduknya dipandang sebagai suatu kesatuan. 2 Idelologi nasionalisme, menurut Smith (2003: 10) telah didefinisikan dengan berbagai cara, tetapi kebanyakan definisi tersebut tumpang tindih dan menyingkap tema yang sama. Tentu saja tema utamanya adalah yang mendominasi bangsa. Nasionalisme adalah suatu ideologi yang meletakkan bangsa di pusat masalahnya dan berupaya mempertinggi keberadaannya. Sasaran umum nasionalisme ada tiga: otonomi nasional, kesatuan nasional, dan identitas nasional. Bagi para nasionalis, suatu bangsa tidak bisa melangsungkan hidupnya kalau tidak terdapat ketiga sasaran ini dalam derajat yang memadai. Nasionalisme (Chamamah, 2011:32) dapat dilihat dari tiga unsur, yaitu, bahasa, bangsa, dan tanah air. Pendapat ini dalam konteks nasionalisme di Indonesia mengkristal dalam keputusan konggres pemuda Indonesia tahun 1928 yang dikenal dengan “Sumpah Pemuda”. Sejalan dengan itu didefinisikan bahwa nasionalisme (Budi, 2007:119) adalah paham untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Spirit nasionalisme pada umumnya lahir dari rasa memiliki -sebagai sebuah bangsa- penderitaan yang sama, tujuan yang sama dan keinginan yang sama. Hal ini mendorong terwujudnya dan menjadi dasar terbentuknya suatu komunitas baru untuk mewujudkan semua hal tersebut. Sebagai contoh, semangat nasionalisme pada saat perang kemerdekaan muncul karena ingin bebas dari penjajahan dan penindasan. Menurut Abdul Rahma Haji Ismail dalam buku Nasionalisme dan Revolusi di Malaysia dan Indonesia (2003:2) bahwa pokok nasionalisme adalah memperjuangkan kedaulatan dan kemerdekaan negarabangsa dari pada penjajahan asing. Maka membicarakan tentang nasionalisme 3 bangsa yang terjajajah yang berusaha membebaskan diri daripada penjajahan adalah nyata dan mudah. Ribuan, bahkan jutaan orang telah gugur dalam peperangan yang mengatasnamakan bangsa mereka, seperti yang terjadi pada Perang Dunia I dan II pada abad ke-20 (Grosby, 2005: 1). Bagi Dunia Ketiga, abad ke-20 (Kartodirjo, 1993:42) dapat dianggap sebagai abad nasionalisme, tidak lain karena menyaksikan timbulnya negara nasion, khususnya setelah usainya Perang Dunia II. Demikian pula dengan Mesir, telah mengalami perjuangan panjang yang sarat dengan pengorbanan baik nyawa maupun harta. Dalam sejarah revolusi perjuangan rakyat Mesir di era modern di saat sistem pemerintahannya masih dalam bentuk kerajaan dan di bawah kolonial Inggris, tercatat ada tiga kali revolusi yang monumenal. Hal ini mengecualikan revolusi 25 Januari 2011 (The Arab Spring) yang telah berhasil menumbangkan rezim Husni Mubarok. Pengecualian ini karena pada revolusi sprink 25 Januari itu situasi Mesir sudah tidak dalam cengkeraman kolonial asing dan bentuk negaranya sudah tidak dalam bentuk kerajaan melainkan sudah lama berubah menjadi republik. Adapun ketiga revolusi monumental Mesir yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pertama revolusi 1882 dipelopori oleh Ahmad Arabi, kedua revolusi 1919 dipelopori Sa’ad Zaghlul, dan ketiga revolusi 1952 yang dipelopori oleh Gamal Abdel Nasir beserta kawan-kawan dari para perwira tinggi angkatan bersenjata. (Ghali, dkk. 1986:80-110). Secara bersamaan, terdapat dua problem besar dalam setiap perjuangan yang dialami rakyat Mesir yang mengkristal dalam ketiga revolusi di atas. 4 Pertama untuk membebaskan negara dari penjajahan Inggris, dan kedua yaitu dalam waktu yang sama perjuangan melawan penguasa Mesir di bawah supremasi Turki-Utsmani yang justru berkolaborasi dengan penjajah dalam menindas rakyatnya sendiri demi melanggengkan kekuasaannya. Hanya saja pembahasan dalam penelitian ini yang berkaitan dengan penjajahan adalah lebih terfokus pada yang dilakukan Inggris sedangkan revolusi yang dimaksudkan juga hanya tertentu pada revolusi Mesir 1952. Revolusi Mesir 23 Juli 1952 meletus sebagai akibat dari akumulasi berbagai krisis, diantaranya adalah merajalelanya korupsi yang dipraktekkan oleh rezim monaki Mesir dan dukungan rezim itu terhadap aksi penjajahan Inggris serta hilangnya tatanan demokrasi akibat dari manipulasi hasil pemilihan umum yang menguntungkan partai-partai yang mendominasi pemerintahan di bawah naungan raja yang didukung oleh Inggris. Diantara contoh kebobrokan pemerintah adalah intervensi raja dalam menghentikan jalannya parlemen dengan cara menggantungkan penerapan undang-undang dan membubarkan parlemen beberapa kali (Ghali, dkk. 1986:102) Secara garis besar, Revolusi Mesir Juli 1952 dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor yang terkait satu sama lain, baik politik, sosial maupun ekonomi yang menginspirasikan akan pentingnya menciptakan perubahan total di Mesir. Diantara faktor-faktor tersebut adalah (Ghali, dkk. 1986:110). Pertama, Penjajahan Inggris yang telah berlangsung lebih dari tujuh puluh tahun. Dengan kondisi dalam negeri dan militer yang tetap seperti itu, maka tidak ada harapan akan terlepasnya Mesir dari panjajahan Inggris. Hal itu mempertegas bahwa jika 5 rakyat Mesir ingin bebas dari penjajahan, maka dibutuhkan adanya perubahan politik dan sistem pemerintahan. Penjajahan Inggris atas Mesir berlangsung lebih dari tujuh puluh tahun dan selama itu pula Inggris terus melakukan intervensi ke seluruh urusan dalam negeri Mesir. Tidak ada isyarat apapun yang menunjukkan akan kemungkinan hengkangnya Inggris dari Mesir, padahal Inggris mengakui bahwa Mesir sebagai negara yang berdaulat. Campur tangan Inggris di Mesir itu tidak hanya terbatas pada urusan dalam negeri saja akan tetapi juga menyeluruh ke berbagai bidang, bahkan melakukan serangan militer di berbagai kawasan di Mesir (Ghali, dkk. 1986:110). Kedua, Rezim kerajaan yang korup dan penindasannya terutama pada era raja Faruq, sehingga rakyat berkeyakinan bahwa penghapusan rezim kerajaan adalah syarat utama bagi reformasi total di Mesir. Ketiga, Buruknya situasi perekonomian. Perekonomian Mesir hanya bergantung pada produksi pertanian saja, terutama kapas. Disamping itu pengangguran menyebar, upah menurun yang diikuti oleh penurunan taraf hidup. Sebelum meletusnya revolusi 1952, krisis ekonomi parah melanda Mesir yang menggoyahkan kondisi sosial dan sektor pekerjaan termasuk maraknya pemogokan kerja baik di sektor pemerintahan maupun swasta. Pemogokan kerja itu juga marak terjadi di kalangan para guru dan aparat kepolisian. Suasana cemas melanda di hampir seluruh negeri. Di sektor pertanian sebagai misal, sepertiga luas lahan pertanian di negara itu hanya dimiliki oleh 5 % saja dari penduduk Mesir, sedangkan lebih dari puluhan juta petani yang merupakan mayoritas penduduk, hanya berstatus sebagai buruh tani. Kabinet yang silih berganti tidak 6 mampu menemukan solusi. Hal itu menunjukkan lemahnya tatanan sosial politik dalam menghadapi krisis yang melanda. Keempat, Buruknya kondisi sosial. Masyarakat Mesir terbagi menjadi dua strata yang berbeda. Pertama, para tuan tanah dan para pemilik modal yang keduanya merupakan jumlah kecil dari penduduk Mesir akan tetapi mampu menguasai kekayaan negara. Kedua adalah merupakan jumlah mayoritas penduduk Mesir, yaitu para petani, buruh dan pedagang kecil yang mana mereka adalah para pemilik penghasilan rendah (Ghali, dkk. 1986:111). Masyarakat Mesir terbelah menjadi dua kelompok kelas sosial yang berjauhan. Kelas pertama jumlahnya sangat sedikit, terdiri dari para petinggi negara dan keluarga bangsawan. Meskipun jumlah mereka sedikit namun mereka menguasai atas kekayaan negara. Sedangkan kelompok kelas kedua yang merupakan mayoritas, terdiri dari para petani, pedagang kecil, dan buruh. Mereka hanya memperoleh hak kepemilikan yang terbatas, pendapatan yang terbatas serta ditelantarkannya pelayanan kesehatan dan pendidikan. Setelah berakhirnya perang dunia kedua, kehidupan politik dan ekonomi Mesir mengalami krisis multi dimensi. Diantaranya memanasnya tuntutan kemerdekaan, krisis ekonomi, tidak adanya keadilan sosial, krisis Palestina, termasuk krisis demokrasi. Tidak ada jalan untuk keluar dari beragam krisis yang saling kait-mengkait itu kecuali dengan proses reformasi politik. Isu kemerdekaan merupakan inti dari beragam persoalan yang mendominasi kehidupan politik di Mesir pada era itu. Tuntutan kemerdekaan rakyat Mesir secara resmi dilakukan melalui cara konvensional yaitu perundingan. Selama jangka waktu antara perang 7 dunia pertama dan kedua, Mesir telah melakukan enam kali perundingan dengan Inggris untuk menuntut kemerdekaan. Seluruh perundingan itu gagal mencapai kesepakatan, bahkan perjanjian Mesir-Inggris 1936 justru meratifikasi tetapnya pangkalan militer Inggris di Mesir. (Ghali, dkk. 1986:105). Selama perang dunia kedua, Inggris semakin memperkokoh cengkeramannya terhadap Mesir, baik di bidang politik maupun ekonomi diakibatkan oleh dampak perjanjian sebelumnya dan situasi perang yang masih berkecamuk di seluruh dunia. Ketika perang dunia kedua usai, tuntutan rakyat Mesir untuk merdeka dari penjajahan Inggris semakin menggelora dan meminta agar perjanjian 1936 ditinjau ulang. Pemerintah Mesir selalu gagal merubah perjanjian yang masih menguntungkan Inggris tersebut, maka kemudian Mesir membawa persoalan itu ke dewan keamanan (DK) PBB, menuntut agar DK membuat resolusi yang mengharuskan pasukan Inggris hengkang dari Mesir. Hanya saja tuntutan Mesir itu tidak mendapatkan dukungan dari seluruh negara anggota DK, kecuali hanya tiga negara, sehingga usulan Mesir tersebut tidak berhasil membuahkan resolusi (Ghali, dkk. 1986:106). Krisis multidimensi di atas telah menggugah spirit rakyat Mesir untuk berjuang demi kemerdekaan negaranya dari penjajahan Inggris dan mereformasi rezim yang berkuasa karena pro penjajah. Disamping itu, perjuangan ini adalah ikhtiyar mempersempit jurang antar kelas-kelas sosial dalam masyarakat, sebagaimana diungkapkan oleh Ihsan Abdul-Quddus: 8 يوليو نعيش قضية وهى قضية جالء االحتالل23 وقد كنا قبل ثورة الربيطاىن مع قضية تغيري نظام احلكم مع قضية التقريب بني طبقات . الشعب Sebelum revolusi 23 Juli dulu kita hidup dalam persoalan bagaimana menyingkirkan penjajah Inggris, mengganti rezim yang berkuasa, dan permasalahan mempersempit jurang perbedaan kelas sosial dalam masyarakat (Abdul-Quddus, 1979: 6). Dalam studi sosiologi sastra disebutkan bahwa karya sastra merupakan cermin dari kondisi kehidupan masyarakat dan sebagai produk sosial. Teks sastra merupakan rekaman dari peristiwa yang telah nyata terjadi di tengah-tengah masyartakat atau rekaman dari kisah diri yang hidup di dalam komunitas masyarakat. Hanya saja, kenyataan yang telah tertulis dalam karya sastra itu tidak lagi sebuah kenyataan obyektif melainkan kenyataan yang sudah diinterpretasikan (Abu Syaqra, Muhyiddin. 2005:45). Dalam banyak kesempatan, Ihsan AbdulQuddus sebagai sastrawan Mesir yang karyanya menjadi objek dalam penelitian ini mengemukakan tentang keterkaitan yang tidak terpisahkan antara karya sastra dengan kompleksitas dalam kehidupan masyarakat. شخصيىت األدبية بنت الظروف والبيئة االجتماعية الىت نشأت فيها وهى.." ويتهم بعضها البعض وهذا التناقض ىف. ظروف متضاربة ومتناقضة للغاية نشأتى االجتماعية األوىل أثر وال يزال يؤثر تأثريا كبريا جدا على شخصيىت " ال كاتب فحسب بل كمفكر وكاتب سياسى واجتماعى أيضا “ ..kepribadian karya sastraku adalah lahir dari kondisi dan lingkungan sosial yang mengitari pertumbuhanku, yaitu situasi yang bergolak dan sangat kontradiktif, sebagian orang menuduh sebagian yang lain. Kondisi sosial masyarakat yang mula-mula aku rasakan itu telah berdampak dalam kehidupanku, bukan saja dalam kehidupanku sebagai seorang sastrawan, tetapi juga berpengaruh dalam membentuk 9 warna diriku sebagai seorang pemikir dan sekaligus sebagai penulis sosial-politik”(Abdul-Quddus, dalam Abulfutuh (1982:37). Meskipun dari sudut pandang sosiologis ada keterkaitan antara karya sastra dengan masyarakat, aka tetapi –sebagaimana diakui oleh Ihsan AbdulQuddus- bahwa karya sastra tidak bisa dikategorikan sebagai dokumen sejarah karena realita empirik yang dikemas dalam sastra itu sudah diolah dengan unsur yang sifatnya imajinasi dari sang pengarang. Seorang novelis lebih banyak memiliki kebebasan dibanding penulis sejarah, terutama bebas mengintegrasikan antara fakta sejarah dengan imajinasi sebagaimana diungkapkan oleh Ihsan Abdul-Quddus: كاتب القصة ميلك حرية خلط الواقع باخليال وكل القصص الىت تعرضت للمعارك احلربية كقصة احلرب والسالم وبقية مثل هذه القصص وهى تعتمد على استحياء الواقع إلطالق اخليال أى هى خيال من وحي الواقع Penulis sastra kisah memiliki kebebasan mengkombinasikan antara fakta dengan imajinasi. Semua kisah fiksi, baik yang mengisahkan tentang pertempuran bersenjata atau kisah peperangan dan perdamaian maupun kisah-kisah lainnya, pada hakekatnya adalah imajinasi yang terinspirasi oleh peristiwa nyata, atau dengan kata lain, imajinasi yang dilatarbelakangi oleh peristiwa nyata (Abdul-Quddus, 1975a:177). Ihsan Abdul-Quddus menekankan hakekat karya sastra sebagai suatu perpaduan antara fakta dengan imajinasi itu bukan hanya pada tataran teori dalam studi sastra, tetapi ia sendiri sebagai sastrawan yang melakukan konvergensi antara realita empirik dengan imajinasi (fact and fiction). 10 هذه قصة كلها من رسم خياىل ولكنها من وحى واقع عشت فيه منذ كنت ىف السابعة من عمرى ألعب بني آالت الطباعة اليدوية إىل أن كربت وكربت األلة “Seluruh kisah ini merupakan potret imajinasi akan tetapi kisah itu terinspirasi dari fakta yang terjadi dalam kehidupan nyataku sejak usiaku tujuh tahun saat aku bermain peralatan percetakan yang masih konvensional sampai aku dewasa dan seiring itu alat percetakan itu menjadi besar” (Abdul-Quddus, 1975a:176). Ihsan Abdul-Quddus memiliki banyak karya yang mengungkap tentang ide-ide dan gerakan nasionalisme. Salah karya itu adalah novel berjudul فى بيتنا ( رجلFĪ BAITINĀ RAJUL) (di rumah kami ada seorang lelaki jantan). Novel ini adalah sebuah seni fiksi sosial-politik yang berlatar belakang sebuah peristiwa yang benar-benar nyata. Dengan demikian, karya sastra yang menjadi objek penelitian ini adalah diangkat dari sebuah peristiwa nyata dan sekaligus pernah dialami sendiri oleh sang pengarang. Hal ini juga menegaskan bahwa wujud karya sastra adalah sebagai potret dari denyut kehidupan masyarakat. Ihsan Abdul-Quddus sebagai sastrawan yang menghasilkan karya sastra, ia juga sering menyatakan pandangannya tentang sastra yang tidak ubahnya sebagai pakar teori sastra. Teori-teori sastra yang ia kemukakan tidak berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh para peneliti dan para pakar teori sosiologi sastra modern. Ia mengemukakan pandangannya tentang kesusasteraan modern dalam muqadimah novelnya yang berjudul “Ba’iul-Chubb (Penjaja Cinta)” tahun 1949: 5-6, bahwa: 11 األدب الذى يصور اإلنسان ىف، األدب العاملى اليوم هو األدب الواقعى انسان له حس وله. صورة إنسان ال ىف صورة مالك وال ىف صورة شيطان عاطفة وله قلب وله حلم ودم وله حق احلب وقد يأمث ىف احلب ويهتدى إنه أدب ال ينافق وال يدعى وال يفتعل وال. باملثل العليا وقد ال يصل إليها يرتفع عن مستوى البشر إمنا هو أدب يعيش بني الناس يصور حياهتم ويعرب عن عواطفهم وأحاسيسهم تعبريا صرحيا صادقا ويصور قبل كل شيئ معركة اخلري والشر الىت نضطرم ىف صدر كل انسان منذ كان االنسان فيجد القارئ ىف هذا النوع من األدب صورة نفسه بال رتوش وبال تزويق وبال خداع وبال وإذا كان البعض ال يتحمل أن يرى صورة نفسه منعكسة على مرآة. تزلف . األدب فليس الذنب ذنب األدب “Kesusastraan dunia saat ini adalah sastra realistis atau sastra yang memotret manusia dalam wujudnya sebagai manusia, bukan dalam wujudnya sebagai malaikat dan juga bukan dalam wujudnya sebagai setan. Manusia itu memiliki perasaan dan emosi. Ia memiliki jantung, daging dan darah. Manusia memiliki hak mencintai yang terkadang mendustai cintanya, demikian pula sadar akan idealismenya akan tetapi ia tidak dapat sampai merealisasikannya. Sastra itu tidak munafiq, tidak mengada-ada, tidak meledak-ledak, tidak merasa lebih unggul dari manusia. Akan tetapi sastra itu hidup di tengah-tengah manusia, memotret kehidupan mereka, mengekspresikan perasaan dan emosi mereka secara jujur dan terus terang apa adanya. Sastra juga memotret pergolakan antara kebajikan dan keburukan yang bergolak di dada setiap insan sejak manusia itu ada. Dengan demikian maka pembaca sastra ini akan mendapatkan potret dirinya yang sebenarnya tanpa dibuat-buat, tanpa polesan, tanpa rekayasa dan tanpa dilebihlebihkan. Jika sebagian orang tidak dapat melihat potret dirinya melalui cermin sastra maka itu bukanlah dosanya sastra”(AbdulQuddus 1949: 5-6). Dalam catatan di berbagai dokumen atau referensi tentang sejarah revolusi Mesir tahun 1952 selalu disebutkan bahwa para perwira pembebas Mesir (Arab: dhubāth Achrār) yang dipimpin oleh Gamal Abdel Naser adalah sebagai tokohtokoh yang mempeloporinya. Kaitannya dengan rakyat, hanya disebutkan 12 mengenai penderitaan yang dialami mereka dalam berbagai aspek kehidupan, sosial, politik, maupun ekonomi. Sejarah selalu mengabadikan peran aktif para elit dalam setiap peristiwa, sementara gigihnya perjuangan masyarakat lapisan bawah jarang memperoleh apresiasi dari lembar catatan sejarah. Penonjolan para elit dalam sejarah revolusi dengan mengabaikan peran serta rakyat bawah adalah tidak adil karena di dalam masyarakat pasti terdapat individu atau tingkat keluarga yang tidak kurang jasa-jasanya dalam mendukung dan menciptakan revolusi tersebut. Masyarakat bawah itu ikut berpartisipasi mewujudkan revolusi dengan seluruh jiwa dan raga. Siksaan dan macam-macam penderitaan mereka terima demi terealisasinya cita-cita rakyat bersama. Sejarah sering kurang inten mencatat dalam buku sejarah tentang peran aktif dan kegigihan masyarakat dalam aksi perjuangan padahal tanpa peran masyarakat, usaha-usaha itu tidak akan berhasil. وأحس بقلبه.. حدثت.. فإذا الثورة حتققت.. وصحا حمىي ذات يوم وتابع األحداث السريعة وابتسامة كبرية تعلو.. خيفق ىف صدره كأنه يزغرد أحس احساسا عميقا صادقا بأنه.. أحس كأنه يتباهى بنفسه.. شفتيه هو وأبوه وأمه وسامية ونوال.. اشرتك ىف صنعها.. اشرتك ىف هذه الثورة اشرتكوا فيها.. كل العائلة اشرتكت ىف صنع هذه الثورة.. وعبد احلميد بالسخط الذى كان ينطلق من أعينهم وباألحاديث الىت كانوا يثريوهنا وباإلرادة الىت.. وباخللق الوطىن.. وباجتاه تفكريهم وأماهلم.. حوهلم حتملت العذاب واحلرمان “Di suatu hari Muhyi bangun .. revolusi benar-benar terjadi .. revolusi meledak..Ia merasakan hatinya berdebar bagaikan burung yang sedang berkicau .. ia ikuti peristiwa yang beredar cepat dengan senyuman mengembang yang menghiasi bibirnya.. Ia merasa bangga terhadap dirinya sendiri..Bangga yang mendalam dan jujur karena ia telah ikut berpartisipasi dalam revolusi ..ikut serta menciptakan revolusi ..Ia, ayahnya, ibunya, Samiyah, Nawal, dan Abdul Hamid. Ia sekeluarga 13 dengan seluruh jiwa raga turut menyalakan bara revolusi .. greget revolusi meluncur dari mata dan dari pembicaraan mereka untuk menggugah orang-orang di sekitar mereka .. dengan haluan pemikiran dan cita-cita mereka .. dengan etika nasionalisme .. dengan kamauan kuat yang disertai kesabaran penuh derita dan kekangan”(AbdulQuddus, 1957:438). Dengan demikian maka kehadiran kisah novel yang mengisahkan pejuangpejuang reformasi di tingkat masyarakat bawah menjadi penyeimbang informasi sejarah. Dengan tidak mengabaikan unsur-unsur lain dalam masyarakat Mesir, bahu-membahu dalam perjuangan, novel ini juga menyebut berbagai komunitas yang bersaham dalam terwujudnya revolusi di kalangan masyarakat di segala lapisan. وكان، وبدأ خالل األيام التالية يتتبع أخبار اهليئات واجلمعيات الثورية مجعيات داخل اجليش.. يعلم أن هناك أكثر من مجعية ثورية سرية فبدأ يرسل فتحى وعبد اهلل حملاولة االتصال.. ومجعيات ىف أوساط الشعب هبذه اجلمعيات والعمل على توحيدها وإشراكها ىف عمل واحد “Selama beberapa hari berikutnya ia (Ibrahim) memantau khabar dari berbagai lembaga dan komunitas-komunitas pergerakan revolusi. Ia sangat mengetahui ada banyak organisasi rahasia untuk revolusi, kelompok-kelompok dalam tubuh tentara, di kalangan masyarakat.. Ia mendelegasikan Fatchi dan Abdullah agar menjalin komunikasi dengan berbagai organisasi atau kelompok tersebut dalam upaya mengkonsolidasikannya dan melibatkan semuanya dalam aksi yang sama (Abdul-Quddus, 1957:363). Novel adalah suatu jenis karya sastra yang paling banyak konsen dalam memotret manusia dalam hubungannya dengan masyarakat. Hal itu karena novel merupakan cermin kehidupan masyarakat (Sulaiman, 1998:18). Senada dengan itu, Ihsan Abdul-Quddus (dalam Abul-Futuch: 1982:40) mengakui bahwa tokoh 14 utama dan yang sesungguhnya dalam setiap novel tidak lain adalah masyarakat, bukan seorang individu saja. ، إن البطل احلقيقى لكل قصصى هو اجملتمع الذى وقفت أطل عليه وأسجل بقلمى ىف صراحة وصدق ما كان يعانيه من أمراض وما جيتازه من حمن أخالقية أو اجتماعية أو سياسية Tokoh yang sesungguhnya pada setiap kisahku itu adalah masyarakat yang aku sendiri hidup di tengah-tengahnya. Aku merekam dengan penaku secara terus terang dan jujur segala penyakit yang menjangkiti masyarakat dan segala derita yang dialaminya baik itu penderitaan norma, sosial maupun politik (Abdul-Quddus dalam Abul-Futuch, 1982:40). Peryataan Ihsan Abdul-Quddus di atas diperkuat oleh pendapat dari seorang guru besar bidang sastra dari Suez Canal University Mesir, Abdurrahim el-Kurdi dalam bukunya “al-Sard Wa Manāhij al-Naqd al-Adabi”(2004:145), ia mengatakan:”Tokoh dalam seni novel bukanlah sosok model yang diformat akan tetapi ia adalah manusia atau potret manusia yang hidup dalam alam nyata. Ia juga makan, tidur, mencintai, terpengaruh-mempengaruhi, berkembang, gerakannya terkait dengan situasi yang mengitarinya yang tidak bisa lari dari kondisi internal maupun eksternal, sehingga tokoh dalam novel adalah potret pribadi yang realistis. Sifat realistis ini menjadi salah satu syarat inti bagi jenis sastra novel bahkan sebagai kaidah utamanya. Novel memandang manusia sejak dari bawah dan menganggapnya tetap sebagai wujud yang memiliki kekurangan. Dengan realistis itu maka manusia dalam novel bukan makhluk yang bermukjizat juga bukan sosok yang memiliki kedikdayaan luar biasa, melainkan manusia yang 15 memiliki kemampuan terbatas layaknya manusia dalam kehidupan nyata” (ElKurdi, 2004:145). Karya sastra dalam bentuk cerpen maupun novel bukan hanya sekedar keindahan cerita untuk dinikmati sebagai hiburan oleh pembacanya, namun juga menjadi media penyaluran gagasan bagi sang penulisnya. Dalam pribahasa Indonesia, sekali dayung dua pulau terlampau, menjadi simbol spirit bagi para pekerja sastra untuk mengoptimalkan garapannya sehingga bisa lebih memberikan banyak manfaat kepada masyarakat pembaca. Menurut Sangidu (2007:47) “Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat”. Sastra merupakan sebuah pola tindak bahasa yang dilakukan oleh manusia guna mengekspresikan apa yang ia kehendaki, dan sastra juga sebagai rekaman dengan ediologi, karena sastra dapat mempengaruhi masa pembacannya (Muhyiddin. 2005:81) . Dalam beberapa karya sastra yang ditulis oleh para sastrawan Arab, semisal Abbas Mahmoud al-Aqod, Taufiq al-Hakim, Aziz Abaza dan Naguib Mahfouz, menampilkan cerita-cerita bermutu, bukan hanya karena kualitas alur ceritanya, akan tetapi sarat dengan misi yang dikemukakan demi kepentingan negara dan bangsanya. Dengan kata lain, karya sastra telah ikut berperan dalam memformat corak warna kehidupan dalam masyarakat secara positif. Demikian pula disebutkan oleh Ratna (2007: 315) bahwa tidak ada karya sastra yang semata-mata ditulis demi untuk memenuhi kepuasan batin penulis. Karya sastra seperti ini, kalau memang ada, pertama, gagal sebagai sistem komunikasi itu sendiri, kedua, gagal dalam melaksanakan fungsi-fungsinya sebagai misi kultural. 16 Isu nasionalisme menjadi lahan yang subur bagi para sastrawan untuk menuangkan idenya kedalam karyanya. Baik di Indonesia maupun di belahan bumi lainnya telah banyak dijumpai karya sastra yang memotivasi masyarakatnya untuk memiliki spirit nasionalisme. Isu nasionalisme lewat karya sastra di negaranegara Arab era modern berkembang sekitar tahun 1940 ketika negara-negara Arab itu hidup di bawah cengkeraman kolonialisme barat. Salah satu sastrawan yang inten menggelorakan spirit nasionalisme menentang penindasan kolonial adalah Ihsan Abdul-Quddus lewat karyanya yang monumental, FĪ BAITINĀ RAJUL (di rumah kami ada seorang lelaki jantan). Novel setebal 439 halaman ini terbit pertama kali pada tahun 1957, diangkat dari sebuah kisah nyata dari seorang pemuda revolusioner Mesir, Husein Taufiq yang membunuh Perdana Menteri Mesir, Amin Utsman pada 05 Januari 1946. Sang pembunuh itu disembunyikan oleh Ihsan Abdul-Quddus di rumahnya sendiri, bahkan istri Ihsan Abdul-Quddus ikut mendukung persembunyian sang pembunuh itu (Qindil, 1997:68). Untuk memahami potret peristiwa yang telah terjadi pada waktu yang telah lampau, dimana latar belakang kisah dalam novel ini adalah peristiwa yang terjadi sebelum tahun 1952, maka Ihsan Abdul-Quddus mengajak kepada para pembaca untuk kembali membuka memori peristiwa saat itu. رجاء مالحظة أن ما يتضمنه هذا الكتاب هو جمموعة أراء ودراسات نشرت مع األحداث وتطورات مع األحداث أى أن القارئ جيب أن يقيس الرأى مع تذكر احلدث الذى كون هذا الرأى “Harap dicatat bahwa apa yang termuat dalam buku ini adalah berupa sejumlah ide dan studi yang dipublikasikan seiring dengan berbagai peristiwa dan perkembangannya. Dengan arti bahwa para 17 pembaca harus mengukur ide pemikiran itu dengan seraya mengingat peristiwa yang telah membentuk opini tersebut” ((AbdulQuddus, 1979b:9). Ihsan mengakui adanya kerisauan dalam menulis sebuah peristiwa politik dengan waktu peristiwanya yang ditulis dalam bentuk kisah sastra. Terlebih lagi ia adalah sastrawan yang sekaligus jurnalis dengan konsentrasi kepada persoalan politik. Sebagaimana ia kemukakan: ورمبا كان ما دفع البعض إىل تصور أىن متخصص ىف كتابة القصة هو أىن تعودت أن أمجع قصصى ىف كتب ولكىن مل أمجع أرائى السياسية ىف رمبا ألىن اعتربت أن آرائى السياسية متعلقة.. وال أدري ملاذا.. كتاب واألحداث متر وتنتهى وينساها القارئ وينسى معها.. غالبا باألحداث فإذا مجعت هذه األراء ىف كتاب فإىن.. التعليق عليها أو الراى فيها جيب أن أعد لكل رأى مقدمة طويلة تسجل وتفسر األحداث الىت أى أىن.. بنيت عليها هذا الرأى حىت يستطيع القارئ أن يستوعبها مضطر أن أسجل التاريخ وأنا لست من كتاب التاريخ Barangkali suatu hal yang membuat sebagian orang menilaiku sebagai seorang spesialis penulis kisah adalah karena saya terbiasa mengumpulkan kisah-kisah karanganku ke dalam buku akan tetapi saya tidak terbiasa mengumpulkan gagasan-gagasanku tentang politik ke dalam sebuah buku.. Saya tidak tahu mengapa. Bisa jadi karena saya menganggap bahwa ide-ideku tentang politik, pada umumnya sangat berkaitan erat dengan peristiwa, padahal apaupun peristiwa pasti akan berlalu dan berakhir yang kemudian dilupakan oleh pembaca dan tidak akan ada lagi komentar atau pendapat orang tentang peristiwa tersebut. Jika ide-ide politik itu saya himpun dalam sebuah buku maka saya harus menulis pendahuluan yang panjang untuk membangkitkan ingatan pembaca terhadap peristiwa yang telah terjadi, dengan kata lain bahwa saya terpaksa harus mencatat sejarah padahal saya bukan termasuk penulis sejarahwan (Abdul-Quddus, 1979b:7). 18 Nasionalisme dan revolusi menjadi isu utama dan sekaligus sebagai latar belakang munculnya novel FĪ BAITINĀ RAJUL, hal itu terbaca dari kisah novel ini dari sejak awal bertutur tentang gelora nasionalisme yang menggelagak pada seorang pemuda (Ibrahim Hamdy) dengan serentetan aksi heroiknya hingga ia menemui ajalnya. Kisah novel ini berakhir dengan paparan nuansa panorama gegap gempita meletusnya revolusi Mesir 1952, yaitu revolusi yang cita-citakan oleh mendiang Ibrahim Hamdy. Ihsan Abdul-Quddus sastrawan kenamaan yang sekaligus politikus Mesir, dalam standar tertentu merupakan denyut jantung negara dan umatnya. Karya sastranya dalam bentuk cerpen dan novel, menjadi cermin bagi obsesi dan harapan-harapan bangsa dan negara Mesir. Berkat produk tulisannya yang memiliki uslub (style) seni eksklusif, mendudukkannya pada tempat yang terhormat, khususnya di kalangan sastrawan, cendekiawan, bahkan kalangan politikus. “Hal yang saya kira tidak diperselisihkan adalah bahwa Ihsan AbdulQuddus sungguh merupakan sosok fenomental yang layak ditelaah, bukan hanya dari sisi kesusasteraannya, serta bukan hanya sisi kiprah kewartawanan dan politiknya, akan tetapi juga sisi humanismenya serta norma-norma keluhurannya” (Qindil,1997: 6). Menurut sastrawan Mesir, Najib Mahfudz (Quwaisni, 1991: 234) Dalam bidang sastra, saya menilai dia adalah pionir terdepan novelis Arab. Karena keberaniannya luar biasa, maka ia selalu berhadapan dengan berbagai persoalan besar dan mendapatkan banyak serangan dari berbagai arah. Dengan sistem penulisannya yang sederhana ia mampu manarik perhatian kalangan luas, bahkan 19 sistem penulisannya itu menjadikannya sebagai aliran tertentu, dimana ia menjadikan perempuan Mesir sebagai poros tulisannya. Anehnya, ia sangat pandai menulis cerita-cerita pendek yang berkualitas yang sama kualitasnya pada karya-karyanya dalam bentuk novel. Sebagaimana pula dikatakan oleh Syukri (Quwaisni, 1991: 234) “Menurutku, bahwa kehebatan Ihsan Abdul-Quddus adalah karena artikel-artikel politiknya sebelum ia menerjuni penulisan cerpen dan novel. Keistimewaan artikel politiknya adalah sangat berani, jeli analisisnya dan ukangkapannya yang lugas. Meskipun ia memiliki hubungan persahabatan yang sangat dekat dengan para petinggi revolusi, ia tidak segan-segan melontarkan pendapatnya ketika ia melihat mereka berjalan ke arah kediktatoran”. Dengan mengangkat novel FĪ BAITINĀ RAJUL karya Ihsan Abdul- Quddus dan sejumlah karya novelnya ke dalam penelitian, akan memunculkan paling tidak dua manfaat. Pertama, dari aspek teoretis, dapat digali ide gagasannya tentang konsep nasionalisme, termasuk gagasan tentang etika yang semestinya dipegang secara konsisten oleh para pejabat penyelenggara negara. Kedua, dari aspek praktis, adalah mengupayakan pemahaman sekaligus pemantapan masyarakat akan kesadaran nasionalisme dalam rangka melindungi negara dari praktek imperialisme, serta sebagai langkah ikhtiyar untuk lebih memperkokoh hubungan bilateral bidang budaya antara rakyat Indonesia dan Mesir yang merupakan negara di dunia yang pertama kali mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Repulik Indonesia (Malik, Buku Sekitar Pejanjian Persahabatan Indonesia-Mesir: 1978: 11). 20 Ihsan Abdul-Quddus (Jaber, 2010:27) sebagai ikon legendaris sastrawan Mesir yang sekaligus wartawan dan analis politik kenamaan. Sang sastrawan yang sekaligus sebagai wartawan dan pakar politik ini Lahir pada 1 januari 1919 dari ayah bernama Mohamed Abdul-Quddus, seorang aktor dan sekaligus penulis. Ibunya bernama Fatimah Al-Youssef atau yang terkenal dengan nama Rose AlYoussef, seorang wanita asal Libanon yang juga berprofesi sebagai bintang film yang dijalaninya selama jangka waktu yang cukup lama, sampai kemudian berganti profesi, yaitu menggeluti di bidang pers. Profesi kedua orang tuanya itulah yang sangat mempengaruhi pola kehidupan Ihsan Abdul-Quddus. Sejak masa kecil, ia sangat gemar membaca, sehingga ayahnya sangat memperhatikan pendidikannya, dan ayahnya pulalah yang mendorongnya terus menuntut ilmu hinga ia memperoleh gelar Bachelor of Laws dari Universitas Cairo pada tahun 1942 (Abul-Futuh, 1982:37). Setamat dari kuliah, Ihsan Abdul-Quddus latihan praktik sebagai advokad pada kantor pengacara senior Edward Qusheri, sambil menekuni bidang jurnalistik pada majalah bernama Rose Al-Youssef yang memang didirikan oleh ibunya, Rose Al-Youssef (Abul-Futuh, 1982:25). Dari sinilah Ihsan AbdulQuddus menapakkan kakinya di dunia pers dan sastra sehingga kedua bidang pekerjaan ini menyatu dan tidak terpisahkan dalam jiwanya. Dia sendiri tidak mengetahui manakah dari keduanya yang lebih kuat yang melekat pada dirinya, sebagaimana ia ungkapkan dalam muqaddimah karyanya berjudul “Khawāthir Siyāsiyyah” (Gagasan Politik) 1979. 21 : السؤال الذى ال يتوقف من مواجهىت منذ بدأت أكتب وإىل اليوم هو أم هل أنا سياسى أم أديب ؟.. هل أنا كاتب سياسى أم كاتب قصص رمبا ألىن مل.. والغريب أىن أترك هذا السؤال للناس وال أسأله أبدا لنفسى أى أىن مل أضع.. أتعمد يوما الكتابة ىف السياسة أو كتابة القصص نفسى أبدا فو موضع الكاتب احملرتف املتخصص ىف املوضوعات حىت ىف دراساتى منذ كنت طالبا مل.. السياسية أو املوضوعات األدبية وكنت خالل.. تنحصر هواياتى ىف األدب وحده أو ىف السياسة وحدها احلركات الوطنية أقضى يومى كله ىف مظاهرات الطلبة السياسية مث أعود .. إىل البيت ألقرأ قصصا ال عالقة هلا بالسياسة وال باحلركات الوطنية وقد استغرقتىن القراءة خالل سنوات اجلامعة وكنت أقرأ كثريا خارج وقد، مقررات كلية احلقوق ولكىن أيضا مل أختصص ىف اختيار ما أقرأه قرأت أيامها عن كل املذاهب والدراسات السياسية على مر التاريخ وىف وكنت أقرأ.. الوقت نفسه قرأت عشرات من اإلنتاج القصصى العاملى كنت أهوى القراءة السياسية كما أهوى القراءة.. كهاو ال كدارس وكنت أحس دائما عندما أقرأ كأىن سائح يطوف باآلثار.. األدبية . الفكرية لكل الشعوب Pertanyaan yang tidak pernah henti aku hadapi sejak aku mulai menulis sampai hari ini adalah: apakah saya ini sebagai penulis politik ataukah penulis cerita .. apakah saya ini politikus ataukah sastrawan? Anehnya, saya menyerahkan pertanyaan tersebut kepada masyarakat dan saya tidak pernah menanyakannya kepada diriku sendiri .. barangkali karena saya tidak pernah satu haripun bermaksud menulis politik atau menulis cerita .. dalam kata lain, saya tidak pernah sengaja berminat untuk meniti karir sebagai spesialis penulis bidang politik atau spesialis bidang sastra .. demikian pula pada masa studiku sejak aku sebagai mahasiswa, hobyku tidak hanya terbatas pada sastra saja atau pada politik saja .. selama dalam masa-masa pergerakan nasionalisme, saya habiskan hari-hariku bergabung dalam demonstrasi politik bersama para mahasiswa kemudian aku pulang ke rumah untuk membaca cerita yang tidak ada kaitan sama sekali dengan urusan politik atau 22 pergerakan nasional. Selama tahun-tahun studiku di universitas aku habiskan waktu untuk membaca. Saya banyak membaca buku-buku yang bukan materi kuliah di fakultas hukum akan tetapi saya tidak pilih-pilih bacaan tertentu. Saya membaca berbagai aliran dan buku-buku kajian politik lintas sejarah dan dalam waktu yang sama saya membaca berpuluh-puluh novel dunia .. saya membaca karena hobby bukan karena studi .. saya hobby membaca buku politik juga hobby membaca buku sastra. Pada saat membaca saya merasa seakan-akan sedang bertamasya mengelilingi museum pemikiran tiap-tiap bangsa (Abdul-Quddus, 1979b:5). Di kantor ayahnya, ia bertemu dengan Ahmad Shauqi yang bergelar amēr syu’arā (raja penyair), Abbas Mahmoud al-Aqod, dan beberapa sastrawan kondang Mesir lainnya. Ihsan Abdul-Quddus yang bekerja pada majalah milik ibunya sendiri, mula-mula ia ditugasi sebagai reporter dan kemudian meningkat jabatan sebagai pimpinan redaktur. Isu penting yang dia angkat dalam tulisan di majalahnya adalah membongkar skandal korupsi pengadaan alat-alat perang yang telah kedaluarsa untuk tentara Mesir pasca perang Palestina pada tahun 40-an. Lewat paparan jurnalistiknya itu, Ihsan Abdul-Quddus berkenalan dengan dua perwira tingi Mesir dari dewan revolusi 23 juli 1952, Gamal Abdel-Nasser dan Anwar Sadat, termasuk dengan Sadik Khalid Mohiuddin yang sering mondarmandir di kantor majalah Rose al-Youssef. Akibat dari tulisannya membongkar skandal korupsi itu, dia terancam serangkaian upaya pembunuhan terhadap dirinya. Tidak kurang dari empat kali ia selamat dari aksi upaya pembunuhan. Tiga kali masuk penjara karena keberanian tulisaannya (Jaber, 2010:14). Pertama, tahun 1945 dalam usia 25 tahun, ia masuk penjara karena tulisan artikelnya berjudul “Orang ini harus pergi dari Mesir”. Yang dimaksud dengan orang ini adalah Lord Clarn, duta besar (singkat: dubes) Inggris di Mesir. Ukuran waktu itu, Dubes Inggris adalah orang yang paling kuat dan berkuasa di Mesir. 23 Kedua, tahun 1948 Ihsan Abdul-Quddus masuk penjara yang kedua kalinya disebabkan oleh tulisannya yang membongkar skandal korupsi pada pembelian senjata yang sudah usang yang dilakukan oleh para petinggi Mesir. Ketiga, tahun 1954 masuk penjara yang ketiga disebabkan tulisannya berjudul “Organisasi Rahasia Yang Memimpin Mesir”. Dalam tulisan tersebut ia mendesak kepada tentara agar menjauhi kancah politik. Tulisan tersebut menyinggung perasaan Presiden Gamal Abdul Naseer (Jaber, 2010:28). Sebagai orang pers yang juga menekuni penulisan naskah cerita film (scriptwriting movies), cerpen dan novel, dia mendedikasikan dirinya pada dunia pers dan sastra, demikan itu setelah dia meninggalkan profesinya coba-coba sebagai advokad. Baginya, sastra dan pers adalah dua hal yang sangat urgen dan merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Beberapa negara telah dia kunjungi dalam misi wartawan, termasuk ke Bandung-Indonesia untuk menyertai Presiden Mesir Jamal Abd. Naser dalam Konggres Asia-Afrika 1955 (Quwaisni, 1991:249). Baru beberapa tahun saja terjun di dunia pers, dia telah disejajarkan menjadi seorang wartawan senior, terutama di rubrik analisis politik dan sekaligus sebagai penulis cerita fiksi. Status ini membuka jalan lapang baginya untuk bekerja di surat kabar ternama di Mesir “Al-Ahbar” yang ditekuninya selama delapan tahun, kemudia ia pindah ke surat kabar Mesir, terbesar di timur-tengah yaitu harian “Al-Ahram” hingga menduduki puncak jabatan sebagai pucuk pimpinan. 24 Ihsan Abdul-Quddus mampu menciptakan lonjakan kualitatif-kuantitatif untuk novel Arab. Dia sendiri mengatakan bahwa telah menulis kisah lebih dari enam ratus judul (Abul-futuh, 1982:40). Bila dibandingkan dengan segenap sastrawan seangkatannya, seperti Naguib Mahfouz, Youssef Al Sibai, Mohamed Abdel Halim Abdullah Ahsan, Ihsan Abdul-Quddus lebih memiliki dua keistimewaan dibanding mereka. Pertama, sejak kecil dia telah hidup dalam lingkungan asuhan diatas pondasi jurnalistik yang dibangun oleh kedua orang tuanya. Dari pijakan itulah dia dengan mudah menerobos berbagai lapisan komunitas dan mudah membangun relasi dengan kaum selebriti di pangung sastra, keartisan serta politik. Kedua, dia sangat mendalami pemahaman yang benar tentang konsep kebebasan pada ranah politik, ekonomi maupun sosial. Dengan demikian, maka buah karya sastranya sukses melesat dari panggung lokal menuju arena global. Sebagian besar karyanya (Quwaisni, 1991: 273) telah diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa asing, seperti, Inggris, Prancis, Ukrania, China dan Jerman. Atas prestasinya itulah, dia sukses berpartisipasi dalam pengelolaan Dewan Tinggi Pers dan institusi perfilman Mesir. Ihsan Abdul-Quddus dengan prinsip hidupnya “al-Hubbu Wal-Churriyyah (cinta dan kebebasan) pergi ke haribaan Allah SWT pada 11 Januari 1990. Terlepas dari pandangan sinis dari sebagian kecil kalangan muslimin Arab yang mengkritiknya sebagai sastrawan yang mengobarkan paham kebebasan seks dengan bungkus nasionalisme (lih. Zainal-Abidin, 1990) atau pihak yang menuduhnya sebagai sastrawan penebar aksi terorisme (lih. Jabir, 2003), tapi dari penelaahan beberapa karya tulisan lewat novelnya, tampak jelas antusiasnya 25 membangkitkan spirit nasionalisme rakyat Mesir untuk melawan kolonialisme sebagaimana tertuang dalam novelnya berjudul FĪ BAITINĀ RAJUL (di rumah kita ada seorang lelaki jantan) yang terbit pertama kali pada 1957”. Novel FĪ BAITINĀ RAJUL ini merupakan salah satu karya avant garde (garda depan) yang diangkat dari sebuah peristiwa nyata yang dialami sendiri oleh Ihsan Abdul-Quddus, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh seorang pemuda revolusioner bernama Husain Taufiq terhadap seorang menteri Keuangan Mesir, Amen Utsman. Sang pembunuh tersebut kabur dari penjara dan dalam pelariannya ia bersembunyi di rumah Ihsan Abdul-Quddus (Abulfutuh, 1982:89). Novel ini juga menjadi ikon novel Arab yang mengobarkan spirit nasionalisme. Novel ini telah diangkat ke layar lebar pada tahun 1961 yang dibintangi oleh aktor kenamaan Mesir, Omar Syarif. Di antara faktor yang mendorong penulis untuk hanya memilih satu buah novel saja FĪ BAITINĀ RAJUL adalah: Pertama, bahwa terfokus hanya kepada satu buah novel adalah agar bisa lebih konsentrasi dalam menganalisis secara detail struktur instriktiknya. Kedua, karya sastra novel ini merekam fakta yang terjadi di Mesir pada era perjuangan menuju revolusi Mesir 1952. Novel FĪ BAITINĀ RAJUL yang merupakan representasi karya sastranya ber-genre politik atau novel revolusioner (El-Kurdi, 2008:522) adalah diangkat dari sebuah kisah nyata yang benar-benar pernah dialami sendiri oleh sang author (Ihsan AbdulQuddus) pada masa sebelum meletusnya revolusi 1952. Novel ini mengisahkan petualangan seorang nasionalis muda yang sangat militan bernama Ibrahim Hamdy yang gigih dan tulus ikhlas mencurahkan jiwa dan raganya dalam 26 perjuangan demi negaranya hingga ia menemui ajalnya dalam aksi penyerbuan, infiltrasi yang dilakukannya seorang diri ke markas tentara Inggris di distrik Abbasea, Cairo. Indikator dari keihlasan perjuangan Ibrahin Hamdy sang hero dalam novel ini diantaranya adalah: 1. Dia sama sekali tidak punya niat menjadi pahlawan, tidak pernah membayangkan bahwa suatu ketika wajahnya akan muncul memenuhi halaman surat kabar dan tidak terpikir olehnya bahwa orang-orang akan pada membicarakan tentang dirinya (Abdul-Quddus, 1957:8-9) 2. Antusias nasionalismenya murni tumbuh karena dorongan rasa nasib bersama yang diderita rakyat (Abdul-Quddus, 1957:10). 3. Tidak bergabung ke dalam partai politik apapun (Abdul-Quddus, 1957:13). 4. Dia tidak memiliki ambisi atau interes pribadi dari apa yang diperbuatnya (Abdul-Quddus, 1957:24). 5. Dia tidak mencari seseorang yang ingin dijadikannya sebagai pemimpin Mesir akan tetapi ia hanya mencari kemerdekaan, persamaan hak dan kesejahteraan Mesir (Abdul-Quddus, 1957:82) 6. Dia tidak merasa mengekor di belakang seorang tokoh tertentu, akan tetapi ia berjalan di belakang prinsip dan idealismenya sendiri (AbdulQuddus, 1957:82). Novel yang diangkat dari peristiwa fakta ini, diliputi aksi mendebarkan dari sejak permulaan hingga akhir ceritanya dengan tokoh utamanya bernama 27 Ibrahim Hamdy, sang pemuda nasionalis yang berjuang demi negaranya hingga menemui ajalnya dalam aksi penyerbuan secara individu ke markas tentara Inggris di Cairo-Mesir. Ibrahim Hamdy berstatus sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) nomor satu oleh pemerintah karena telah menembak mati Menteri Keuangan Mesir (Abdul Rahim Pasha Syukri) yang dia yakini sebagai antek penjajah (Inggris). Menurutnya, bahwa tidak mungkin Mesir dapat lepas dari cengkeraman penjajah Inggris kecuali jika bisa terlebih dahulu melenyapkan para antek inggris. (AbdulQuddus, 1957:22). Dia ditangkap polisi tidak lama setelah melakukan aksi pembunuhan, kemudian langsung dimasukkan ke dalam rumah tahanan. Sejak malam pertama penangkapan, ia langsung menjalani interogasi. Ketika dalam masa tahanan, dia berpura-pura mengidap penyakit sehingga atas desakan opini publik, perawatannya dialihkan ke luar penjara, yaitu di rumah sakit umum Qosr Aini. Dari rumah sakit itu, di saat orang-orang pada menyantap buka puasa Ramadhon, dia kabur dan sejak saat itu status buron diberlakukan padanya. Selama dalam masa buron, dia bersembunyi di sebuah rumah keluarga yang tidak pernah ikut dalam hingar binger aksi politik. Kepala keluarga itu bernama Mustofa Zahir yang memiliki seorang istri (Fatchiya), tiga anak, terdiri satu putra laki-laki bernama Muhyidin atau biasa dipanggil singkat dengan Muhyi yang merupakan teman kuliah dari sang buron dan dua anak perempuan -Samiyah dan Nawal-. (Ihsan Abdel-Qudus, 1957:7-32) Meskipun Mustofa Zahir dan puteranya adalah termasuk golongan nasionalis, namun nasionalisme mereka bersifat pasif. Dalam arti bahwa antusias 28 nasionalisme keluarga ini tidak pernah ditampilkan secara aktif-histeris. Baik sang ayah (Mustofa Zahir) sang pegawai negeri sipil golongan menengah maupun sang anak (Muhyi) mahasiswa tingkat akhir di fakultas hukum, cenderung menghindari aktivitas politik, baik ketika dalam pergaulan di kantor, di kampus maupun dalam pergaulan di masyarakat. Meskipun cenderung berpaham nasionalis pasif namun keluarga ini tidak menolak kedatangan Ibrahim Hamdy sang nasionalis aktif untuk bersembunyi di rumahnya (Ihsan Abdel-Qudus, 1957:33-42). Ini merupakan contoh kerja sama yang baik antara dua karakter nasionalis yang berbeda. Keluarga ini tidak tega menolak kedatangan sang buron bersembunyi di rumahnya meskipun keluarga ini harus menanggung segala akibat. Ketegangan, kewaspadaan, dan kecemasan menyelimuti seluruh anggota keluarga selama hari-hari keberadaan Ibrahim Hamdy. Diskusi tentang wawasan nasionalisme dan pengalaman politik serta adu argumentasi soal perjuangan sering berlangsung antar mereka dan tidak lepas berseminya bibit-bibit asmara di antara Nawal dan Ibrahim. Akhirnya polisi mengetahui bahwa rumah keluarga ini sebagai tempat persembunyian Ibrahim justru setelah ia keluar dari rumah ini menuju ke tempat persembunyian yang lain. Akibatnya, kekerasan fisik dari pihak polisi ditimpakan kepada keluarga yang berkarakter nasionalis pasif ini, dimana Muhyi dan Abdul-Hamid dijebloskan dalam penjara dan memperoleh perlakuan kasar hingga siksaan fisik (Ihsan Abdel-Qudus, 1957:307). Meskipun penelitian ini hanya membatasi pada satu buah novel dari sekian banyak karya Ihsan Abdul-Quddus, hal itu tidak berarti lepas menyinggung beberapa karyanya yang lain (transformation) yang sama-sama ber-genre politik. 29 Senada dengan novel FĪ BAITINĀ RAJUL sebagai karya acuan (hypogram) dia juga menulis cerita pendek yang sarat dengan semangat nasionalisme dalam cerpen yang berjudul Ayyām Mudhāharāt (hari-hari demonstrasi) terbit 1990. Dalam cerpen ini dia mengisahkan gerakan para pelajar dan mahasiswa, turun ke jalan untuk berdemonstrasi sambil meneriakkan yel-yel menentang dominasi kolonialisme Inggris atas Mesir dengan tidak luput dari bentrok berdarah antara para pelajar dan aparat keamanan. Cakrawala harapan nasionalisme juga dia ekspresikan lewat karyakaryanya yang lain (transformatif) semisal Alā Maq-hā Fī Syāri’ Siyāsi”(Di Warung Kopi Di Jalan Politik) 1979a, “ al-Bahtsu ‘An al-Tsaurah” (Pembahasan Revolusi) 1978, dan “Khawāthir Siyāsiyyah” (Gagasan Politik) 1979b. Dalam novel Alā Maq-hā Fī Syāri’ Siyāsi”( Di Warung Kopi di Jalan Politik) Ihsan Abdul-Quddus mengemukakan pandangannya tentang sikap moderat yang ia suguhkan dalam bentuk dialog antara dua orang, orang tua dan anak muda yang tengah berdiskusi di sebuah warung kopi. Menurutnya (AbdulQuddus, 1979a:12) bahwa Sikap tengah di setiap negara di seluruh dunia selalu menjadi paling kuat dan lebih dekat kepada kekuasaan. Kekuasaan yang kuat di negara yang liberal adalah kekuasaan yang bisa merealisasikan keseimbangan antar berbagai aliran politik dan berbagai kelas sosial. Ia juga banyak mengemukakan pandangannya dalam berbagai isu politik, diantaranya tentang agresi Israel di wilayah-wilayah Arab dan komentarnya terhadap sikap Amerika terkait peristiwa-peristiwa di Timur-tengah. Ihsan Abdul-Quddus telah mampu mentransfer dialog masyarakat yang beredar di warung kopi dalam bentuk dialog 30 antara seorang pemuda dengan seorang tua dan bagaimana mereka berbeda pandangan terhadap berbagai peristiwa penting di level Arab maupun internasional yang mengemuka diantara tahun 1976-1978 (Ihsan Abdel-Qudus, 1979a:31). Novel “ al-Bachtsu ‘An al-Tsaurah” 1978 (Pembahasan Revolusi) sama tipenya dengan novel di atas, yaitu berupa dialog antara seorang pemuda dengan seorang tua. Diantara isi dialognya menyebutkan bahwa bentuk penjajahan pada era modern, dimana penjajahan tidak lagi terbatas pada penjajahan militer akan tetapi telah berkembang dalam bentuk lainnya yaitu penjajahan politik, penjajahan ekonomi, dan penjajahan sosial budaya. Negara-negara penjajah tidak akan melakukan aksi militer, kecuali jika mereka telah kehilangan harapan dalam penjajahan politik, ekonomi, dan sosial (Ihsan Abdel-Qudus, 1978:31). Sesuai dengan judulnya “ al-Bachtsu ‘An al-Tsaurah”, tema-tema dialog dalam novel itu lebih terfokus pada tema tujuan revolusi. Apakah revolusi itu telah merealisasi sasarannya ataukah tujuan tersebut hanya sebuah slogan yang hingga saat ini belum ada satupun sasaran yang tercapai. Sehingga novel ini sebagai pengingat kepada masyarakat dan para pemegang otoritas negara kepada tujuan awal revolusi. Novel “Khawāthir Siyāsiyyah” (Gagasan Politik), Novel setebal 216 halaman ini memuat ide-ide politik Ihsan Abdul-Quddus tentang bagaimana idealnya gerakan nasionalisme Mesir dan negara-negara Arab dilakukan. Lebih khusus lagi bagaimana sebaiknya Mesir bersikap terhadap upaya-upaya Israel yang selalu mengancam kepentingan Mesir serta negara-negara Arab lainnya, 31 padahal Mesir telah menandatangani perjanjian damai dengan Israel. (Ihsan Abdel-Qudus, 1979b:11). Secara sosiologis pragmatis karya sastra diciptakan untuk membawa beberapa misi tertentu seperti, sosial, politik, ekonomi, moral, pendidikan dan pengajaran. Demikian pula novel FĪ BAITINĀ RAJUL karya Ihsan Badel-Qudous sebagai novel politik yang sarat dengan gagasan-gagasan idealis tentang kehidupan bernegara yang khususnya isu nasionalisme. “Hal yang saya kira tidak diperselisihkan bahwa Ihsan Abdul-Quddus sungguh merupakan figur fenomental yang layak dipelajari, bukan hanya pada fenomena sastranya saja atau kiprah kejurnalistikannya dan politiknya saja, akan tetapi meluas kepada karakter humanistiknya, nilai-nilai pengabdiannya, kecerdikannya, ketabahannya, dan kerendahanhatinya” (Qindil, 1997: 6). Sejauh yang diketahui penulis, novel ini belum pernah diteliti baik secara individu maupun kolektif di lembaga penyelenggara penelitian di Indonesia. Atas dasar itu maka pantas kiranya Ihsan Abdul-Quddus dan karya sastranya untuk dikaji dan diteliti, khususnya karyanya yang memiliki korelasi langsung dengan perspektif nasionalisme, yaitu novelnya yang berjudul FĪ BAITINĀ RAJUL yang merupakan karya avant garde (garda depan) bagi novel-novel politik-patriotik di negara-negara Arab. Lebih dari itu bahwa novel ini ibaratnya merupakan pintu gerbang dan menjadi ikon bagi novel-novel pergerakan nasionalisme, bukan hanya di Mesir akan tetapi juga di seluruh negara Arab. Agar studi tentang novel ini menjadi lebih komprehensif, maka penilitian tidak hanya terfokus pada isu 32 nasionalismenya saja akan tetapi meliputi juga penggalian unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsiknya. Pada mulanya, penulis diliputi perasaan cemas, was-was dan khawatir mengangkat novel ini ke dalam penelitian disertasi. Khawatir jika penulis dianggap sebagai pendukung terorisme karena kisah cerita novel ini berkisar tentang pembunuhan warga masyarakat terhadap penguasa. Bahkan seorang kritikus sastra di Mesir, Jabir Ashfur, dalam bukunya berjudul “MuwājahatulIrhāb” (2003) menganggap novel FĪ BAITINĀ RAJUL sebagai karya seni yang mengilhami aksi teror. Jabir memplesetkan judul novel FĪ BAITINĀ RAJUL (di Rumah Kami ada Laki-laki Jantan) dengan kalimat FĪ BAITINĀ IRHĀBY (di Rumah Kami ada Teroris) Namun kekhawatiran itu lambat laun hilang setelah penulis mengungkapkan kekhawatiran ini kepada Ibu Profesor Siti Chamamah S. sebagai pembimbing, dimana ditegaskan bahwa penelitian ini merupakan aktivitas ilmiah dan obyektif yang jauh dari spirit yang subyektif dan tendensius. 1.2 Rumusan Masalah Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengungkap pandangan dunia dan sikap nasionalisme sastrawan Mesir, Ihsan Abdul-Quddus yang tercermin dalam novelnya yang berjudul FĪ BAITINĀ RAJUL. Novel ini juga memotret berbagai permasalahan di Mesir pada era sebelum revolusi 23 juli 1952 sebagai kontek sosial yang melatarbelakangi kemunculan novelnya tersebut. Permasalahan dalam penelitian ini mengemuka oleh adanya fenomena nyata kontradiktif antara das sein dan das sollen. Penjajahan sebuah negara terhadap 33 negara lain sebagai pelanggaran prikemanusiaan dan prikeadilan, diperparah lagi oleh kediktatoran penguasa yang pro penjajah dalam menindas rakyatnya sendiri adalah das sein dalam penelitian ini. Apalagi krisis tersebut menjadi semakin parah akibat dari kolaborasi penjajah (Inggris) dengan penguasa (rezim Mesir). Semestinya penjajahan dan penindasan rezim terhadap rakyatnya sendiri tersebut tidak terjadi (das sollen). Secara terperinci masalah di atas dirumuskan berdasarkan pada penelitian sosiologi sastra dengan mengadopsi teori strukturalisme genetik, sebagai berikut: a. Model struktur narasi apa yang dipakai dalam novel FĪ BAITINĀ RAJUL? b. Kondisi struktur sosial-politik masyarakat Mesir apa yang melatarbelakangi kemunculan novel FĪ BAITINĀ RAJUL? c. Bagaimana latar kehidupan sang penulis novel (Ihsan Abdul-Quddus)? d. Pandangan dunia (world vision) apa yang diekspresikan oleh pengarang sebagai cakrawala harapannya dalam novel FĪ BAITINĀ RAJUL? 1.3 Objek Penelitian Objek material utama penelitian ini adalah sebuah novel politik karya sastrawan Mesir, Ihsan Abdul-Quddus yang berjudul FĪ BAITINĀ RAJUL dan sekaligus sebagai karya hipogram. Pemilihan objek material utama yang sekaligus sebagai sampel hanya pada satu buah novel ini adalah agar memberikan peluang yang lebih besar untuk bisa menganalisis karya sastra ini secara lebih mendalam. Namun demikian juga disertakan objek material lain yang berkaitan erat dengan isu politik yang juga hasil karya Ihsan Abdul-Quddus adalah tiga novel 34 transformatifnya yang berbentuk dialok imajinatif, yaitu “Khowāthir Siyāsiyyah” (Ide-ide Politik) 1979b, “al-Bahtsu ‘An Tsaurah (Pembahasan Revolusi) 1978, dan “’Alā Maqhā Fī Syāri’ Siyāsy” (Di Warung Kopi Di Jalan Politik) 1979a, juga cerpennya yang berjudul “Ayyām Mudhāharāt” (hari-hari demonstrasi). Objek material yang sekaligus sebagai populasi ini merupakan karyakarya transformatif, akan berfungsi membantu pendalaman analisis pada objek material utama yang merupakan novel hipogram dan mempertegas analisis pembahasan objek formal yang berkaitan dengan isu nasionalisme dan untuk lebih mengenali sejauh mana konsistensi pandangan dunia sang pengarang terhadap isu politik pada umumnya dan isu nasionalisme khususnya. 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan teoretis dan praktis. Tujuan teoretis penelitian ini adalah: Pertama, mengaplikasikan teori Strukturalisme Genetik dari Lucien Goldmann untuk meneliti pandangan dunia Ihsan Abdul-Quddus dan kelompok sosialnya dalam menyikapi kondisi sosial, politik pada masyarakat Mesir sebelum meletusnya revolusi 1952 yang tercermin pada novel FĪ BAITINĀ RAJUL. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu, khususnya dalam bidang Sosiologi Sastra; Kedua, merepresentasikan faktor yang memicu aksi nasionalisme dalam kisah novel; Ketiga, merepresentasikan pola-pola sikap dan aksi nasionalisme, baik secara aktif maupun pasif. 35 Adapun tujuan praktis dari penelitian ini adalah menguak situasi masyarakat Mesir pra-revolusi 1952 sebagai tonggak sejarah berakhirnya rezim monarki dan berakhirnya penjajahan menuju negara dengan sistem republik dan bebas dari kolonial asing. Penelitian ini ditekankan pada aksi nasionalisme yang terjadi pada saat itu sebagai respon dari tindakan kolonial Inggris. Juga akan diteliti bagaimana sikap masyarakat ketika itu dalam merespon kesewenangan rezim yang berkolaborasi dengan pihak penjajah dalam menindas rakyatnya sendiri. Berdasarkan sebuah teori yang menyatakan bahwa karya sastra bisa dianggap sebagai refleksi masyarakat ketika karya sastra itu lahir, maka penelitian terhadap novel FĪ BAITINĀ RAJUL dilakukan dalam rangka untuk melihat fenomena sosial yang melatari penciptaannya, serta melihat bagaimana respon kalangan sastrawan dalam menyikapi fenomena tersebut seperti yang disuarakan oleh Ihsan Abdul-Quddus. Lebih dari itu, penelitian ini juga akan mengungkap pandangan dunia pengarang berkaitan dengan nasionalisme. 1.5 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka ini dikemukakan dalam rangka menemukan orisinalitas penelitian ini di antara penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dan untuk menguaraikan hasil-hasil penelitian terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan. Demikian pula untuk membedakan antara beberapa penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan sekarang. Penulis membagi tinjauan pustaka ini menjadi dua bagian, pertama menyajikan tentang potret novel Arab sebagai fenomena genre karya sastra yang muncul di 36 dunia Arab pada awal abad dua puluh. Potret novel Arab ini dimaksudkan sebagai pintu masuk bagi penjelasan penelitian tentang karya Ihsan Abdul-Quddus. Bagian kedua merupakan penelitian terdahulu atas novel karya Ihsan AbdulQuddus sekaligus profil atau corak karya sastranya. a. Novel Arab. Subtansi dari penyajian sub-judul ini adalah keinginan peneliti memberikan jalan masuk menuju pengenalan tentang studi novel Arab sebagai salah satu jenis sastra, dimana novel merupakan fenomena baru di abad ke dua puluh dalam blantika kesusastraan Arab. Peneliti mendapatkan beberapa buku yang membahas tentang novel-novel Arab, diantaranya adalah Tathawwur at-Taqniyyāt as-Sardiyyah Fir-Riwāyah alMishriyyah (2008) karya El-Kurdi yang menjelaskan bahwa buku-buku cerita dalam bahasa Arab, khususnya novel telah sangat banyak. Demikian pula bukubuku objek studi, terutama dalam lingkungan Mesir yang memiliki tokoh-tokoh kenamaan di bidang seni sastra. Disebutkan bahwa teknik penulisan novel-novel Arab sesungguhnya murni meniru novel dari negara-negara barat. Hal itu didasarkan pada pengertian bahwa novel Arab belum pernah muncul kecuali setelah persinggungan sastrawan Arab dengan budaya barat. Para sastrawan novel Arab terdahulu mengakui bahwa karya mereka sangat terpengaruh oleh novelnovel barat. (El-Kurdi, 2008: 6) أن التقنيات الفنية الىت قامت عليها الرواية العربية إمنا هى تقنيات غربية استنادا إىل أن الرواية العربية مل تنشأ إال بعد االحتكاك بالثقافة، خالصة 37 وأهنا نشأت ىف أوساط املثقفني بالثقافة الغربية وليس ىف أوساط، الغربية وأن كتاهبا األوائل اعرتفوا بتأثري الرواية، املثقفني بالثقافة العربية اخلالصة . الغربية عليهم Model teknik penulisan novel Arab pada dasarnya adalah meniru teknik novel barat, dasarnya adalah bahwa novel Arab belum muncul kecuali setelah adanya persinggungan dengan budaya barat. Novel Arab tumbuh di kalangan cendekiawan Arab yang telah memiliki pengetahuan barat, bukan dari kalangan cendekiawan yang murni Arab. Para penulis Arab terdahulu mengakui bahwa mereka terpengaruh oleh novel barat. Karya sastra Arab dalam bentuk novel baru muncul pada permulaan abad dua puluh di Mesir. Sebelum itu tidak pernah dikenal adanya novel di seluruh negara Arab (El-Kurdi, 2008: 12). Disebutkan bahwa novel Mesir bahkan novel Arab yang pertama kali muncul adalah berjudul “Zaenab” hasil karya Muhammad Husein Haikal yang kemudian dijuluki sebagai “Ibu” novel Arab (ElKurdi, 2008: 16). Para peneliti sastra Arab hampir sepakat bahwa seni novel di negaranegara Arab dalam pengertian modern adalah bermula dari Mesir, utamanya lagi yaitu atas kepeloporan DR. Muhammad Husein Haikal, lewat buah karya novelnya berjudul “Zaenab” yang di tulis pada tahun 1910 dan dipublikasika pada tahun 1914. Sebenarnya ada sejumlah buku kisah yang lahir sebelum novel “Zaenab”, dengan pola yang hampir sama, akan tetapi teknik narasi yang digunakan tidak sama dengan pada umumnya novel. Sebagai contoh hasil karya Rifa’ah Thahthawi “Waqāi’ Talimak” dan karya Muwailihy berjudul “Chadits Isa bin Hisyam”. Kedua karya seni tersebut tidak dianggap sebagai novel karena lebih banyak memuat kritikan dari pada aspek realistiknya. Demikian pula kisah karya 38 Rifa’ah Thahthawi berjudul “Takhlish Ibriz Fi Takhlish Bariz” dan kisah karya Mahmud Thahir Haqy “Adzra’ Dansyway”. Kedua karya kisah itu tidak dikategorikan sebagai novel dikarenakan terlalu didominasi oleh dokumendokumen sejarah. Meskipun karya-karya sastra kisah tersebut oleh para peneliti belum dapat dikategorikan sebagai novel, telah berjasa ikut andil dalam membangun tegaknya seni novel Arab dalam arti yang sesungguhnya. Dengan itu muncul nama-nama tokoh pelopor dunia novel Arab, seperti Muhammad Husein Haikal dengan novelnya “Zaenab”, Thaha Husein dengan novelnya berjudul “Doa al-Karwan”, Mahmud Thahir Lasyin dengan novelnya “Hawa Bi Lā Adam”, Isa Ubaid dengan judul novelnya “Soraya”, Mahmud Taimur dengan novelnya “alAthlāl”. Menurut El-Kurdi (2008: 52), terpengaruhnya novel-novel Arab pada periode awal kemunculannya terhadap pola sastra Arab kuno dan teknik penulisan novel barat adalah sesuatu yang sangat lumrah. Kesusastraan yang sedang tumbuh adalah suatu kreatifitas baru atau bahkan baru sekedar bentuk saduran. Tidak mungkin hal itu terpisahkan secara tiba-tiba dari keterkaitannya dengan peradaban, kesenian, dan estetika masa lalu. Akan tetapi di sana akan tetap ada keterkaitan yang menghubungkan antara kreatifitas masa lalu dengan kreatifitas masa sekarang. Suatu pusaka akan senantiasa hidup di dalam atau di luar kesadaran seni seorang sastrawan. Pendapat El-Kurdi di atas menyangkal beberapa pendapat para peneliti yang mengatakan bahwa sastra Arab kuno telah mengenal seni novel sejak era awal peradaban Arab-Islam. Menurutnya bahwa hanya orang-orang yang fanatik 39 sajalah yang mengatakan bahwa seni novel –dalam pengertian yang sesungguhnya- telah ada sejak dahulu kala. Namun ia sendiri mengakui bahwa sebelum kemunculan seni novel Arab di permulaan abad dua puluh, dunia Arab dari sejak dulu tidak pernah sepi dari seni kisah, demikian pula telah lama mengenal teknik narasi. Kalangan masyarakat Arab, baik tua maupun muda sangat akrab dengan kisah Seribu Satu Malam (Alfu Laila wa Laila). Demikian pula telah banyak kisah-kisah perjalanan sebuah bangsa yang melegenda di kalangan masyarakat. Di kalangan pemuka agama beredar kisah-kisah spiritual, filosufi, dan kisah ekspansi Islam di berbagai belahan dunia. Hal senada disampaikan oleh al-Balek alam buku “al-Riwāyah alArabiyyah, Rihlatu Bahts ‘An Ma’na” (2008:20) bahwa bersamaan dengan datangnya abad dua puluh dan mulai masuknya Arab ke era Eropa, mulailah upaya awal penulisan novel yang sesungguhnya. Sedikit demi sedikit sastra novel menawan hati masyarakat Arab dan menempatkan posisinya dalam kancah kreasi seni Arab. Perkembangan dan kematangan novel Arab itu seiring dengan situasi perubahan sosial dan pergolakan politik di Mesir dan negeri Syam. Meskipun waktu perjalanan novel Arab telah mencapai sekitar seratus tahun, ia masih mengibaratkannya bayi yang sedang merobek kulit arinya. Imad al-Balek mengutip pernyataan Muhammad Zaghlul Islam dalam bukunya “Dirasat Fi Qishah Arabiyyah, Ushūluha, Ittijāhātuha, A’lāmuhā (Studi tentang karya fiksi Arab, asal-usulnya, orientasinya dan para tokohnya)” menyebutkan bahwa selama perjalanan karya fiksi dengan beragam coraknya telah memberikan pengaruh terhadap gaya hidup masyarakat dan menjadi cermin denyut nadi kehidupan 40 mereka. Pernyataan tersebut sesuai dengan perjalanan kisah fiksi karya sastrawan Arab yang telah memberikan dampak dalam kehidupan masyarakat Arab. Kendatipun kehadiran novel Arab merupakan bentuk tiruan atau imitasi dari karya-karya fiksi Eropa, namun demikian novel aran telah mmmpu membentuk coraknya yang khas. Perbedaan tersebut diakibatkan oleh perbedaan obsesi masyarakat Arab dengan obsesi masyarakat Eropa. Akan tetapi yang mesti mendapat perhatian , menurut al-Balek (2008:20) bahwa sejarah munculnya novel Arab sama sekali tidak bisa dilepaskan dari alur perjalanan novel dunia secara umum. Hal senada diperkuat oleh hasil studi Faishal Darraj dalam bukunya “ar-Riwāyah Wa Ta’wil at-Tārikh (Novel dan interpretasi sejarah)” bahwa tidak mungkin novel Arab itu muncul dengan sendirinya, terlepas dari teori yang berkembag di dunia. Sementara itu Waraqi dalam bukunya “Ittijāāhāt ar-Riwāyah al-Arabiyyah al-Mu’āshirah” (2009: 9) menegaskan, bahwa seni novel dalam sastra barat adalah sebagai model yang selalu ditiru oleh para sastrawan Arab modern. Meskipun adanya beberapa bentuk cerita fiksi pada sastra Arab lama, hanya saja belum ada pengaruhnya yang layak disebutkan terhadap sastra Arab modern. Ia menambahkan bahwasanya sastra Arab modern mengenal berbagai ragam dan aliran cerita fiksi barat pada permulaan abad dua puluh. Dalam waktu yang singkat, seni fiksi yang merupakan hal baru di dunia Arab itu cepat mendapatkan tempat terdepan diantara seni sastra bahkan mampu meredupkan dominasi syi’ir. Demikian pula para generasi dari kalangan penulis fiksi dengan cepat menempati barisan terdepan dalam sastra Arab. Dengan demikian maka kurang dari satu abad 41 karya seni fiksi Arab mampu mengejar ketertinggalan tiga abad perjalanan fiksi modern Eropa. Demikian pula seni fiksi Arab mampu menghimpun berbagai ragam model fiksi yang telah dikembangkan oleh para novelis Eropa, dan pada akhirnya fiksi Arab mampu menciptakan polanya yang khas. Waraqi (2009: 15) membuat garis besar tentang kemunculan dan perkembangan novel Arab ke dalam tiga tahapan. Pertama, fase yang didominasi oleh eksperimen penulisan dan penerjemahan karya barat kedalam bahasa Arab. Kedua, fase permulaan kepeloporan yang mencakup aktifitas penulisan kisahkisah hiburan, pendidikan dan kisah-kisah historis. Ketiga, fase penulisan novel dengan kisah-kisah tentang kehidupan sosial masyarakat (Sosiologi Sastra). b. Novel Ihsan Abdul-Quddus Cukup banyak jumlah tulisan dalam bentuk buku, riset maupun catatancatatan yang membahas karakter Ihsan Abdul-Quddus dan corak karyanya termasuk yang khusus meneliti novelnya yang berjudul FĪ BAITINĀ RAJUL. Setelah penulis menelaah literatur tentang Ihsan Abdul-Quddus, dapat menyimpulkan adanya tiga klasifikasi kecenderungan para penulis tersebut. Pertama, cenderung menyanjung dan pencitraan profil Ihsan Abdul-Quddus, seperti pada buku-buku yang ditulis oleh kalangan jurnalis. Kedua, cenderung mengkritik bahkan mengecamnya, seperti tampak pada buku-buku yang ditulis oleh kalangan Islam garis keras, sedangkan ketiga, tampak obyektif seperti bukubuku yang ditulis oleh kalangan akademisi. Diantara literatur yang diperoleh penulis adalah sebagai berikut: 42 Dikemukakan oleh Qindil dalam buku Jawānib Lāmi’ah fī Hayāti Ihsan Abdul-Quddus (1997) bahwa hal yang saya kira tidak diperselisihkan adalah bahwa Ihsan Abdul-Quddus sungguh merupakan fenomena yang layak dipelajari, bukan hanya fenomena sastranya saja atau kewartawanan saja atau politiknya saja, akan tetapi juga fenomena sisi humanisnya, norma-norma luhurnya seperti pengabdiannya, ketegarannya dalam prinsip, kerendahan hatinya, ketabahan serta sejumlah sifat kebesaran jiwanya. Buku ini secara keseluruhan memuat aspekaspek kehidupan Ihsan Abdul-Quddus baik bidang pers yang ditekuninya maupun karya-karya sastranya, serta sikap politiknya terhadap isu-isu nasional Mesir sejak era penjajahan Inggris dan era monarki hingga era revolusi. Dari aspek nasionalisnya, buku ini menyebut Ihsan Abdul-Quddus sebagai sang revolusioner (hlm. 63) disebabkan sikapnya yang keras terhadap penjajahan yang mengakibatkanya masuk kedalam penjara. El-Kurdi dalam bukunya “Tathawwur at-Taqniyyāt as-Sardiyyah Fi alRiwāyah al-Mishriyyah” (2008) menjadikan salah satu novel karya Ihsan AbdulQuddus FĪ BAITINĀ RAJUL sebagai obyek analisis dalam bukunya, dan novel ini dikategorikan oleh Abdurrahim El-Kurdi sebagai contoh novel revolusioner. `Cerita dalam novel ini menonjolkan kebobrokan moral para petinggi negara dan mengagungkan kepahlawanan para revolusioner yang tulus dalam perjuangan. Teknik performa penyajian cerita sangat mirip dengan performa malchamah (epic). Dalam penilaian Abdurrahim El-Kurdi bahwa novel FĪ BAITINĀ RAJUL mencerminkan perkembangan model baru pernovelan di dunia Arab revolusi Mesir 1952. pasca 43 Abdurrahim El-Kurdi dalam bukunya yang lain “al-Sard Wa Manāhij alNaqd al-Adabi”(2004) menyebutkan bahwa novel karya Ihsan Abdul-Quddus yang berjudul FĪ BAITINĀ RAJUL” adalah sebagai contoh novel yang mengobarkan patriotisme-heroisme dan pertumpahan darah demi terealisasinya revolusi 1952 di Mesir yang utamanya adalah perjuangan membebaskan Mesir dari penjajahan Inggris dan rezim Mesir yang berkolaborasi dengan penjajah. Tentu saja kisah novel ini menonjolkan tokoh revolusioner dari kalangan pemuda yang lahir di tengah-tengah masyarakat. Buku berjudul “Ittijāhāt al-Riwāyat al-Arabiyyah al-Mu’āshirah” (2009) karya as-Said al-Waraqi menilai Ihsan Abdul-Quddus sebagai sastrawan terdepan di pentas kesusastraan Arab modern dengan formula psikologi. Dalam banyak karyanya, Ihsan Abdul-Quddus membangkitkan perasaan yang sedang gundah pada jiwa tokoh novelnya. Hal ini sangat tampak pada sejumlah karyanya, termasuk yang berjudul FĪ BAITINĀ RAJUL. As-Said al-Waraqi juga menegaskan bahwa Ihsan Abdul-Quddus sangat konsen terhadap analisis eksistensi kejiwaan pada tokoh-tokoh utama dalam novelnya. Buku ini mengelompokkan Ihsan Abdul-Quddus sebagai novelis Arab yang beraliran modern dari satu sisi dan sebagai novelis terdepan dalam memformat karyanya menonjolkan aspek sikologis. Amira Abu al-Futuh dalam bukunya berjudul “Ihsan Abdul-Quddus Yatadzakkar” (1982) secara rinci menjelaskan perjalanan hidup Ihsan AbdulQuddus di kancah sastra dari fase ke fase, dan menceritakan kronologis dan motivasinya dalam menekuni penulisan novel. Buku setebal 260 halaman itu juga 44 mengupas perjalanannya di bidang jurnalistik dari sejak sebagai reporter untuk majalah yang diterbitkan oleh ibunya sendiri, Rose al-Yousf, hingga malang melintang sebagai pemimpin di berbagai surat kabar ternama di Mesir. Sikap politiknya yang kritis terhadap berbagai isu nasional yang berkaitan dengan penentangannya terhadap penjajah Inggris dan petinggi negara dijelaskan dalam buku ini termasuk akibat buruk yang diterimanya, semisal berkali-kali masuk penjara. Narmin Quwaisni ( 1991 ) dalam bukunya berjudul “Ihsan Abdul-Quddus, Amsi Wal-Yaum Wal-Ghad” menceritakan perjalanan hidup Ihsan Abdul-Quddus di kancah kesusasteraan, jurnalistik dan politik. Buku ini juga memuat daftar karya-karya Ihsan, baik yang berupa kumpulan cerpen maupun novel, disamping mencantumkan komentar para tokoh Mesir tentang sosok Ihsan Abdul-Quddus. Buku setebal 275 halaman ini menyertakan sejumlah photo berbagai momentum bagi Ihsan Abdul-Quddus. Buku yang senada juga ditulis oleh Lots Abd al-Karem(tt ) yang berjudul “Ihsan Abdul-Quddus” memuat memoar Ihsan Abdul-Quddus dalam catatan dan gambar. Catatan memoar disajikan dalam redaksi filosofis dan dengan nada puitis sedangkan gambar Ihsan Abdul-Quddus berupa photo natural maupun gambar karikatur. Buku ini sangat menonjolkan sisi kepribadian yang kuat Ihsan AbdulQuddus baik dalam lingkup keluarga maupun di kancah profesi, sastra, jurnalistik, dan politik. Syarif al-Jayyar menganalisis novel Ihsan Abdul-Quddus dalam bukunya berjudul at-Tadākhul al-Tsaqāfi Fī Sardiyāt Ihsan Abdul-Quddus (Intervensi 45 Budaya Dalam Narasi Sastra Ihsan Abdul-Quddus) terbitan al-Hai’ah al-‘Āmmah Li Qushūr al-Tsaqāfah, Cairo (tt). Ia mengkomparasikan teknik narasi pada tiga buah novel karya Ihsan dengan tiga buah novel Eropa yang ternyata memiliki kesamaan dalam unsur-unsur kesusasteraan. Kesamaan tersebut mempertegas adanya keterkaitan yang jelas antara karya Ihsan dengan novel-novel Eropa. Syarif (Hal. 5) menilai karya-karya Ihsan baik berupa novel maupun cerita pendek (cerpen) telah berhasil sukses memikat perhatian dari masyarakat pembaca di Mesir maupun di seluruh negara Arab. Kesuksesan tersebut disebabkan oleh kesederhanaan bahasanya dan keberaniannya dalam mengungkap berbagai problematika sosial, politik nasioanl di Mesir dan di dunia Arab pada paruh ke dua abad dua puluh. Kritikan tajam bahkan kecaman yang khusus ditujukan kepada karya bahkan pribadi Ihsan Abdul-Quddus sebagai sastrawan, ditulis oleh Suhailah Zainal-Abidin Hamad dalam buku setebal 600 halaman berjudul Ihsan AbdulQuddus Baina ‘Ilmāniyyah Wa Farwidiyyah (1990). Buku setebal 600 halaman itu diterbitkan secara khusus oleh sebuah lembaga penerbitan Islam yang menuding Ihsan Abdul-Quddus sebagai seorang sastrawan penganut skuleris dan individualis. Karya-karyanya dianggap memotivasi kepada pergaulan bebas di kalangan perempuan Mesir dan menanamkan dekadensi moral dalam masyarakat. Bahkan karyanya selalu dikonfrontasikan dengan ayat-ayat suci al-Qur’an sebagai justifikasi bahwa karya sastranya melanggar norma, adat istiadat dan ajaran alQur’an. Pada mukadimah buku itu disebutkan bahwa sastra Ihsan Abdul-Quddus telah memisahkan pemikirannya dengan aqidah Islam. Ia menjadikan teori 46 individualisnya sebagai ideologinya dan dengan cara itu ia menulis karya-karya serta menganalisis tingkah laku manusia. Pandangannya terhadap perilaku manusia dengan kaca mata individualis itu ia telah menjatuhkan derajat manusia setara dengan binatang dan menganggap masyarakatnya berjalan dengan mengikuti insting seksualnya. Jabir Ashfur, dalam bukunya berjudul “Muwājahatul-Irhāb” (2003) mengkritik sastra Mesir kontemporer yang dalam sudut pandangnya telah mengilhami dan memprovokasi aksi teror. Kreativitas seni sastra telah dimanfaatkan oleh para sastrawan untuk memotivasi praktek kekerasan. Novel FĪ BAITINĀ RAJUL karya Ihsan Abdul-Quddus dijadikan salah satu contoh novel yang membangkitkan semangat terorisme. Bahkan Jabir Ashfur memplesetkan judul novel FĪ BAITINĀ RAJUL (di rumahku ada lelaki jantan)” dengan kalimat lain yaitu FĪ BAITINĀ IRHĀBI (di rumahku ada seorang teroris). Jabir mengakui, novel karya Ihsan Abdul-Quddus ini mendapatkan sambutan luar biasa dari masyarakat, terbukti novel ini diproduksi untuk acara frahmen serial di radio Mesir dan diangkat ke layar lebar yang dibintangi oleh aktor kenamaan Mesir. 1.6 Landasan Teori a. Teori Sosiologi Sastra – Strukturalisme Genetik Penelitian sastra ini terfokus kepada ilmu sosiologi sastra (Sociology of Literature) –khususnya sastra novel- dengan mengadopsi teori Strukturalisme Genetik (asal-usul karya sastra dalam konstruksi sosial) yang dikembangkan oleh Lucien Goldmann (1913-1970) dalam beberapa studinya yang membahas secara 47 analistik hubungan antara sastra dengan masyarakat terutama lewat bukunya The Hidden God dan Toward a Sociology of the Novel. Dengan teori ini dapat dianalisis tiga dunia dalam sastra, yaitu, Pertama, Konteks sosial yang melatarbelakangi kehidupan sang pengarang dan karya sastranya. Kedua, analisis intrinsik karya sastra (“Fī Baitinā Rajul”). Ketiga, analisis pandangan dunia sang pengarang terhadap nasionalisme. Lucien Goldmann, lahir di Bucharest - Rumania, 20 Juli 1913. Ia menghabiskan masa kanak-kanaknya di kota Botosani. Di kota itu ia menempuh pendidikan dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Ia menempuh pendidikan Perguruan Tinggi Strata Satu di Bucharest. Selama masa perkuliahannya, ia mulai bersinggungan dengan pemikiran Marxisme. Pada tahun 1933 ia berimigrasi ke Wina untuk melanjutkan pendidikannya dan ia mempelajari beberapa karya George Lukacs. Usai menamatkan pendidikannya di Wina ia pindah ke Paris – Prancis untuk melanjutkan studi, bekerja dan berdomisili tetap hingga meninggal dunia, 8 Oktober 1970. Selama keberadaannya di Prancis ia bekerja sebagai peneliti pada Lembaga Pusat Penelitian Nasional. Selama periode tugasnya sebagai peneliti, ia menulis disertasi untuk meraih gelar Doktor bidang sastra dengan judul “Le Dieu Caché” Etude sur la vision tragique dans les Pensées de Pascal et dans le théâtre de Racine, diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh Philip Thody, The Hidden God, a Study of Tragic Vision in The Pensees of Pascal and The Tragedies of Racine. Baik sebelum ia menulis karya disertasinya itu maupun setelahnya, ia juga telah menghasilkan sejumlah karya ilmiah tentang studi sastra dan humaniora. Lucien 48 Goldmann merupakan salah seorang intelektual terpenting yang membangun teori strukturalisme Genetik. Ia mengembangkan teorinya dengan bermodalkan beberapa pemikiran gurunya, George Lukacs. (Said, 2008:5). Genetic structuralism (and more specifically the work of Georg Lukacs) represents a real turning point in the sociology of literary, try in effect to establis relation between the contents of literary work and those of the collective consciousness (Goldmann, Lucien. 1977a:158). Strukturalisme genetik (khususnya yang diusulkan oleh George Lukacs) mewakili titik balik ilmu sosiologi sastra . Aliran sosiologi sastra lainnya, baik yang terdahulu maupun sesudahnya berupaya untuk menarik kaitan antara isi karya sastra dan kesadaran umum Goldmann (dalam Faruk, 1994:12) menyebut teorinya sebagai strukturalisme-genetik, artinya ia percaya bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur. Akan tetapi, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan. Untuk menopang teorinya tersebut Goldmann membangun seperangkat kategori yang saling berkaitan satu sama lain sehingga membentuk apa yang disebutnya sebagai strukturalisme-genetik. Kategori-kategori itu adalah fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman dan penjelasan. Fakta kemanusiaan (Faruk, 2013:57) merupakan landasan ontologis dari strukturalisme-genetik. Adapun yang dimaksudkan dengan fakta tersebut adalah segala hasil aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetuan. Fakta ini dapat berwujud aktivitas 49 sosial tertentu seperti Pemilu, maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni patung, dan seni sastra. Fakta kemanusiaan (Faruk, 2013:62) bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, melainkan merupakan hasil aktivitas manusia sebagai subjeknya. Dalam hal ini perlu diperhatikan perbedaan antara subjek individual dan subjek kolektif. Perbedaan itu sesuai dengan perbedaan jenis fakta kemanusiaan. Subjek individual merupakan subjek fakta individual, sedangkan subjek kolektif merupakan subjek fakta sosial. Karya sastra yang besar (Faruk, 2013:71) merupakan strukturisasi dari subjek kolektif. Oleh karena itu, karya sastra mempunyai struktur yang koheren dan terpadu. Dalam konteks strukturalisme-genetik, konsep struktur karya sastra berbeda dari konsep struktur yang umum dikenal. Pandangan dunia (Faruk, 2013:70-71) adalah sebuah pandangan dengan koherensi menyeluruh, merupakan perspektif yang koheren dan terpadu mengenai manusia, hubungan antar-manusia, dan alam semesta secara keseluruhan. Pandangan dunia (Sulaiman, 1998:55) merupakan salah satu makalah Goldmann yang sangat penting. Ia sangat konsen dengan pandangan dunia ini baik pada dataran teori maupun aplikasi sehingga memberikan kesan kepada pembaca bahwa makalahnya ini menjadi pintu utama untuk memasuki pemahaman ilmuilmu humanistik. Goldmann (dalam Sulaiman, 1998:56) menyebutkan bahwa pandangan dunia akan membatu para peneliti dalam membedakan antara ciri-ciri yang esensial dalam karya sastra dan teks itu diteliti karena bersifat totalitas yang bermakna. 50 Pandangan dunia (Goldmann, 1977:15) adalah sebuah perangkat atau instrumen obyektif yang sengaja dibuat untuk menjadikan sejarah filsafat dan sastra sebagai kajian ilmiah. Dengan pandangan dunia ini dapat dibedakan antara sesuatu yang esensial dengan yang aksidental dalam karya sastra. Oleh karena itu, berinteraksi dengan karya sastra harus dilakukan secara komprehensif dan tidak dikaji secara parsial. Demikian pula dengan pandangan dunia, peneliti dapat mempelajari ungkapan pemikiran seseorang terutama ide sang penulis dan karya yang diciptakannya. Teks sastra diteliti karena dinilai sebagai totalitas yang tidak berdiri secara parsial yang memiliki misi tertentu. Pengertian lain pandangan dunia (Goldmann, 1977:17) adalah gagasan, inspirasi, dan perasaan yang kompleks dan total, yang mengkaitkan secara bersama-sama antar anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkan dengan kelompok-kelompok lain, atau merupakan nuansa umum dari pikiran-pikiran dan perasaan suatu kelompok tertentu. “Word Vision” is a convenient term for the whole complex of ideas, aspiration and feelings wich links together the members of a social group (a group which, in most cases, assumes the axistence of social class) and wich opposes them to members of other social groups. Golmann (dalam Faruk, 2013:78) memandang karya sastra sebagai produk strukturasi pandangan dunia sehingga cenderung mempunyai struktur yang koheren. Sebagai struktur yang koheren karya sastra merupakan satuan yang dibangun dari bagian-bagian yang lebih kecil. Oleh karena itu, pemahaman terhadapnya dapat dilakukan dengan konsep “keseluruhan bagian” di atas. 51 Goldmann membangun teorinya juga atas dasar dua proses yang saling terkait, yaitu pemahaman dan penjelasan. Pertama, proses pemahaman menurut Goldmann (Sulaiman, 1998:6) adalah persoalan yang berkaitan dengan teks. Teks ini diansumsikan sebagai hal yang harus dipahami secara harfiah dengan menjauhkan dari pengaruh eksternal (masyarakat – figur pengarang). Sedangkan kedua, proses penjelasan adalah persoalan yang berkaitan dengan penelitian yang kolektif dengan memandang hakekat eksternal yang meliputi struktur karya. Proses ini mengkaitkan karya berupa teks tadi dengan sesuatu yang di luar batasbatas teks. Karya sastra dipandang sebagai struktur sastra yang lahir dari struktur masyarakat yang lebih luas. Goldmann mempertegas bahwa pemahaman dan penjelasan adalah dua proses yang saling terkait dan saling melengkapi. Strukturalisme (Faruk, 2012:155-156) adalah sebuah paham atau kepercayaan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini mempunyai struktur. Sesuatu dikatakan mempunyai struktur apabila ia membentuk suatu kesatuan yang utuh, bukan merupakan jumlah dari bagian-bagian semata. Hubungan antarbagian dalam struktur tidak bersifat kuantitatif, melainkan kualitatif. Strukturalisme Genetik (Faruk, 2012:159) merupakan gabungan antara strukturalisme dengan marxisme. Sebagaimana strukturalisme, strukturalismegenetik memahami segala sesuatu di dalam dunia ini, termasuk karya sastra, sebagai sebuah struktur. Karena itu, usaha strukturalisme-genetik untuk memahami karya sastra secara niscaya terarah pada usaha untuk menemukan struktur karya itu. Namun, bagi paham tersebut, segala aktifitas dan hasil aktifitas manusia tidak hanya mempunyai struktur, melainkan juga mempunyai arti. 52 Karena itu, pemahaman terhadap karya sastra tidak dapat hanya berhenti pada perolehan pengetahuan mengenai strukturnya, melainkan harus dilanjutkan hingga mencapai pengetahuan mengenai artinya. Sebagaimana telah disebutkan, bahwa dengan memanfaatkan teori Lucien Goldmann ini (Muhajir. 1996: 165) maka sekaligus dapat dilakukan analisis terhadap tiga dunia sastra, yaitu pertama, analisis terhadap intrinsik karya sastra itu sendiri, kedua, latar kehidupan sang author dan ketiga, analisis kontek sosial yang melatarbelakangi karya sastra dan pengarangnya. Demikian pula, Rene Wellek dan Austin Warren (1990:111-112) mengklasifikasikan hubungan yang nyata antara sastra dengan masyarakat sebagai berikut: Pertama adalah sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra. Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Kedua adalah isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Ketiga atau yang terakhir adalah permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Sejauh mana sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial adalah pertanyaan yang termasuk dalam ketiga jenis permasalahan di atas: sosiologi pengarang, isi karya sastra yang bersifat sosial, dan dampak sastra terhadap masyarakat. Dengan mengadopsi teori ini, maka akan diketahui pula hubungan antara novel yang dikaji dalam penelitian ini (FĪ BAITINĀ RAJUL) dengan berbagai 53 peristiwa politik yang telah terjadi di Mesir yang menjadi kronologis revolusi 1952. Dengan demikian objek penelitian ini terfokus pada novel politik. Jika Sosiologi dikategorikan sebagai ilmu penting dari cabang pengetahuan humaniora yang senantiasa mencari, mendiskripsikan, memahami, serta menganalisis berbagai fenomena dalam sosial-masyarakat, maka sastra dalam makna ini tidak begitu jauh dari ilmu sosiologi, dimana masing-masing berupaya untuk menganalisis sosial-masyarakat dan memonitor berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat (Abdul-‘Adhim, 1988:5).Tampak jelas pada akhirnya bahwa masing-masing sosiologi maupun ilmu sastra merupakan produk fakta sosial, dan masing-masing pula berupaya menjabarkan dan menganalisis. Sosiologi sastra merupakan suatu disiplin yang memandang teks sastra sebagai pencerminan dari realitas sosial. Berangkat dari teori ini, maka sosiologi sastra diharapkan mampu membuat studi tuntas tentang hubungan antara sastra dengan realitas sosial (Sangidu, 2007: 28). Dalam kerangka upaya ini, arah idiologi berputar antara justifikasi dan pencerahan (katarsis), dimana studi sosiologi beredar di sekitar keinginan mengungkap fakta dan melucuti kekuatan sosial yang ingin melestarikan interesnya dengan cara mengeksploitasi kekuatan masyarakat di satu sisi, dan melanggengkan fakta yang ada serta memantapkan hegemoni kekuatan eksploitasi sosial di sisi lain. Demikian pula dengan sastra yang berupaya merubah dan membongkar berbagai keburukan di satu sisi, tetapi di sisi lain sastra juga dapat dijadikan media untuk melanggengkan status quo.Dengan demikian maka studi sosiologi sastra memiliki kedudukan penting karena ia berdiri bisa sebagai penjastifikasi dan bisa 54 sebagai pencerah. Baik jastifikasi maupun pencerah, keduanya merupakan fenomena sosial yang dengan itu maka kontek sosial dapat dipahami. Sastra adalah bagian dari masyarakat. Berangkat dari asumsi ini maka langkah awal yang harus dikerjakan oleh peneliti sosiologi sastra adalah menentukan jenis masyarakat yang melahirkan sastra sehingga dapat diketahui sifat-sifat masyarakat yang melahirkan sastra tersebut (Sangidu, 2007:26). Studi sastra dewasa ini konsen terhadap urgensinya memahami hubungan antara produk sastra yang tercermin pada karya sastra, dan berbagai perubahan sosial. Dalam rangka memverifikasi hubungan antara novel —sebagai salah satu bentuk karya sastra- dengan fakta kehidupan sosial, maka studi ini akan menelusuri dan menganalisis salah satu karya novel sastrawan kenamaan di Mesir Ihsan Abdul-Quddus yang berjudul FĪ BAITINĀ RAJUL yang dikategorikan sebagai novel politik. Meskipun secara khusus studi ini tertuju pada novel FĪ BAITINĀ RAJUL” akan tetapi tidak terlepas dari menyebut beberapa karya Ihsan Abdul-Quddus lainnya, terutama karya yang berkaitan dengan persoalan politik atau nasionalisme, seperti “’Alā Maqhā Fī Syāri’ Siyāsi” (Caffe di Jalan Politik), “al-Bahtsu ‘An al-Tsaurah” (Pembahasan Revolusi), dan “Khawāthir Siyāsiyyah” (Ide-ide Politik). “Ayyām Mudhāharāt”(hari-hari demonstrasi). Keempat buah karya tersebut bukan sebagai major dalam penelitian ini, akan tetapi berperan sebagai pendukung terhadap obyek major terutama memperkuat analisis pandangan dunia sang author. Penelitian ini intinya mengadopsi teori Genetic Stucturalism yang didefinisikan oleh Lucien Goldmann dalam studinya yang membahas hubungan 55 antara sastra dengan sosial masyarakat melalui metode dialektika (hubungan dwiarah). Dengan Teori Goldmann ini memungkinkan analisis sekaligus terhadap tiga aspek penting, yaitu: pertama konteks sosial yang melatarbelakangi kehidupan sang author (dalam hal ini Ihsan Abdul-Quddus) dan sekaligus melatarbelakangi karya sastra yang dihasilkannya. Kedua analisis teks karya sastra (dalam hal ini novel FĪ BAITINĀ RAJUL ), dan ketiga analisis pada sang author (Ihsan Abdul-Quddus) dari aspek pandangan dunianya. Goldmann menyatakan bahwa pandangan dunia tidak muncul dengan serta merta, akan tetapi merupakan hasil proses panjang. Demikian ini karena pandangan dunia adalah hasil interaksi antara subjek kolektif dengan dunia sekelilingnya. Dalam hal ini Goldmann mencoba mendapatkan pandangan dunia dari suatu novel yang merupakan dunia penulis. Penulis ini bukanlah individu yang berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari suatu kelompok soaial. Pandangan dunia inilah yang menentukan struktur karya sastra dan asal muasal karya itu dari aspek genetika dapat dipahami melalui latar belakang sosialnya. Sebagaimana pula Goldmann (1977:17) mengatakan bahwa karya sastra sebagai strukutur bermakna itu mewakili pandangan dunia penulis, bukan sebagai individu, melainkan sebagai unsur dalam masyarakat. Hubungan antara struktur sastra dan struktur masyarakat dimediasi oleh pandangan dunia pengarang. Dengan demikian karya sastra yang merupakan hasil budaya manusia tidak dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat tempat karya sastra tersebut dilahirkan tidak mendapat perhatian. 56 Menurut Rene Wellek dan Austin Warren (1990:113) bahwa keterlibatan sosial, sikap, dan ideologi pengarang dapat dipelajari tidak hanya melalui karyakaryanya tetapi juga dari dokumen biografi. Pengarang adalah seorang warga masyarakat yang tentunya mempunyai pendapat tentang masalah-masalah politik dan sosial yang penting serta mengikuti isu-isu zamannya. b. Teori Nasionalisme Dari satu segi, nasionalisme terbagi menjadi dua macam, yaitu nasionalisme dalam arti luas dan nasionalisme dalam arti sempit. Dalam arti luas, nasionalisme adalah paham kebangsaan, yaitu mencintai bangsa dan negara dengan tetap mengakui keberadaan bangsa dan negara lain. Dalam arti sempit, nasionalisme diartikan sebagai mengagung-agungkan bangsa dan negara sendiri dan merendahkan bangsa lain. Paham ini biasa disebut dengan paham chauvinisme (Santoso. 2007:16). Demikian pula kerap dijumpai ungkapan beberapa tipe nasionalisme, meskipun demikian tidak dinyatakan secara eksplisit definisi masing-masing. Namun demikian, secara implisit dengan mengikuti konteksnya dapat dipahami maksud dari tipologi nasionalisme yang berbeda-beda tersebut. Misalnya, nasionalisme radikal, nasionalisme moderat, nasionalisme relegius, nasionalisme skuler. Lebih dari itu, nasionalisme yang ada di suatu negara memiliki cirikhas yang berbeda dengan nasionalisme di negara lain. Begitu juga bentuk nasionalisme dapat berubah dari suatu periode ke periode lainnya. 57 Nasionalisme adalah sebuah terminologi yang digunakan guna menunjukkan kepada sikap positif dan dukungan terhadap negara baik dari individu maupun kelompok. Menurut Adisusilo (1986:1) nasionalisme dapat disederhanakan sebagai semangat cinta bangsa dan cinta tanah air. Nasionalisme tumbuh dan berkembang disebabkan oleh berbagai faktor, yang antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain, antara jaman yang satu dengan jaman yang lain, dapat berbeda. Menurut Kartodirjo (1994:24) nasionalisme adalah kounterideologi dari kolonialisme atau imperialisme yang merupakan sistem politik yang mensahkan dominasi orang asing terhadap kaum pribumi, suatu hubungan kekuasaan yang meletakkan superodinasi penjajah dan subordinasi kaum pribumi. Lebih lanjut Kartodirjo menegaskan prinsip-prinsip esensial nasionalisme adalah (1) kesatuan/persatuan (unity); (2) kebebasan (liberty); (3) persamaan (equality); (4) kepribadian (personality-individuality); dan (5) prestasi (performance). Sebagaimana pula dikemukakan oleh Smith (2003:6-7) bahwa ada lima arti nasionalisme, pertama, nasionalisme sebagai suatu proses pembentukan atau pertumbuhan bangsa-bangsa. Kedua, nasionalisme sebagai suatu sentiment atau suatu kesadaran memiliki bangsa. Ketiga, nasionalisme sebagai suatu bahasa atau simbolisme bangsa. Keempat, nasionalisme sebagai suatu gerakan sosial dan politik demi bangsa yang bersangkutan. Kelima, nasionalisme sebagai suatu doktrin atau ideologi bangsa, baik yang umum maupun yang khusus. Kohn (1955 :11) mengartikan nasionalisme dengan suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Perasaan sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah 58 tumpah darahnya dengan tradisi-tradisi setempat dan penguasa-penguasa resmi di daerahnya selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda. Akan tetapi baru pada akhir abad ke delapan belas Masehi nasionalisme dalam arti kata modern menjadi suatu perasaan yang diakui secara umum. Dan nasionalisme ini makin lama makin kuat peranannya dalam membentuk semua segi kehidupan, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat pribadi. Menurut Kohn (1955 :14) nasionalisme adalah gejala jaman modern, akan tetapi beberapa watak nasionalisme sudah lama berkembang dalam jaman-jaman yang lampau. Akar-akar nasionalisme tumbuh di atas tanah yang sama dengan peradaban barat yakni dari bangsa-bansa Ibrani purba dan Yunani Purba. Kohn juga berpandangan bahwa nasionalisme modern yang berasal dari bangsa Ibrani memiliki tiga corak hakiki. Pertama, cita-cita sebagai bangsa terpilih. Kedua, penegasan bahwa mereka mempunyai kenangan yang sama mengenai masa lampau dan harapan yang sama di masa yang akan datang. Ketiga, bahwasanya bangsa mereka mempunyai tugas khusus di dunia ini. Secara umum, nasionalisme dapat diartikan sebagai sebuah situasi kejiwaan dimana kesetiaan seseorang secara total diabdikan langsung kepada negara atas nama sebuah bangsa (Santoso. 2007:19). Gerakan nasionalisme di Mesir di era kolonial abad dua puluh, pada subtansinya tidak berbeda dengan gerakan nasionalisme di negara-negara lain. Pada Umumnya (Padi, 2006:112) tujuan nasionalisme di tanah-tanah jajahan adalah ingin lepas dari penjajahan untuk selanjutnya mendirikan sebuah negara merdeka. Namun demikian ada beberapa perbedaan gerakan nasionalisme di 59 Mesir dengan di tempat-tempat lain. Sebagaimana telah disebutkan bahwa gerakan nasionalisme di Mesir bukan hanya bertujuan untuk lepas dari penjajahan asing akan tetapi juga bertujuan mengganti rezim yang berkolaborasi dengan penjajah. Diskursus nasionalisme bagi rakyat Mesir dikenal dengan sebutan qaumiyyah dan wathaniyyah. Dua kata tersebut dalam telaah sejumlah kamus Arab modern adalah merupakan padan kata yang berarti nasionalisme. Sebagian kamus mengartikan wathaniyyah dengan nasionalisme dan patriotisme. Menurut Sathi’ al-Chushary (1985:21), wathaniyyah dan qaumiyyah merupakan salah satu kecenderungan sosial yang terpenting yang mengaitkan seorang individu manusia dengan komunitas yang ia cintai dan ia banggakan, ia bekerja dan berkorban demi komunitasnya itu. Wathaniyah adalah cinta kepada negara dan perasaan keterkaitan secara bathin terhadap negara tersebut. Sedangkan qaumiyyah adalah cinta kepada ummat dan perasaan keterkaitan secara bathin terhadap ummat tersebut. Atas dasar itu maka dapat dikatakan bahwa wathaniyyah adalah keterkaitan seseorang dengan bidang tanah yang dikenal dengan sebutan negara. Sedangkan qaumiyyah adalah keterkaitan seorang individu dengan kelompok manusia yang dikenal dengan sebutan ummat. Namun demikian, pemahaman keduanya pada dasarnya tidak berbeda. Mencintai negara pada dasarnya adalah mencakup mencintai ummat yang menjadi penduduknyanya. Demikian pula mencintai ummat pada dasarnya adalah mencakup mencintai bumi tempat tinggalnya ummat itu. Namun demikian dapat diartikan pula bahwa qaumiyyah 60 memiliki pengertian nasionalisme yang lebih luas dibanding dengan wathaniyyah yang memiliki pengertian nasionalisme yang lebih sempit. Hampir sanada dikemukakan oleh Amien Rais (Muatakim, Bagus, 2010:217) bahwa nasionalisme ada kaitannya dengan patriotisme. Dalam bahasa Arab modern patriotisme itu disebut sebagai wathaniyyah sedangkan nasionalisme disebut sebagai qaumiyyah. Banyak ulama bisa menerima kalau umat Islam di dunia ini punya perasaan wathaniyyah, dalam arti ada kerinduan dengan tanah air tempat seseorang dilahirkan. Sementara terhadap konsep qaumiyyah terdapat banyak perbedaan pendapat. Menurut Muhammad Noer (dalam Padi, 2006:112-113) menyebut ada dua pengertian mengenai nasionalisme. Pertama, Qaumiyya (nasionalisme dalam arti luas). Tujuannya antara lain: 1) Mengintegrasikan seluruh kekuasaan yang ada di dunia Arab untuk menjadi suatu kekuatan politik. 2) Menginginkan agar kepentingan nasional masing-masing negara Arab dilebur untuk mencapai kepentingan Arab secara luas. Salah satu usaha dari qoumiyya ini ialah pembentukan Liga Arab. Kedua, Wathaniyya (nasionalisme dalam arti sempit). Tujuannya, mengutamakan kepentingan nasional masing-masing negara Arab. 1.7 Metode Penelitian Metode penelitian ini meliputi metode pengumpulan data dan analisis data. Objek yang akan diteliti adalah novel Mesir berjudul FĪ BAITINĀ RAJUL karya Ihsan Abdul-Quddus, terbit pertama kali pada tahun 1957. Metode penelitian (Faruk, 2012:55) adalah cara untuk memperoleh pengetahuan mengenai objek 61 tertentu dan, karenanya, harus sesuai dengan kodrat keberadaan objek itu sebagaimana yang dinyatakan oleh teori. Penelitian ilmiah merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan metode yang bersistem, bernalar, dan sesuai dengan objeknya, yaitu sifat-sifat yang ada pada ilmu (Chamamah, 2011:59). Penelitian yang baik tentu tidak terlepas dari pemilihan metode yang digunakan agar penelitian itu terarah dan sistematis. Penelitian harus memilih metode dan langkah-langkah yang tepat, yang sesuai dengan karakteristik objek kajian (Chamamah, 2003:12). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif-deskriptif. Pada umumnya jenis penelitian sastra yang banyak dilakukan adalah jenis penelitian kualitatif (Sangidu. 2007:7). Penelitian kualitatif ini didesain berdasarkan metode Wiersma (1982:8286), yaitu: (1) menentukan fokus penelitian, (2) mengajukan pertanyaan untuk penelitian, (3) mengumpulkan data, (4) melakukan keabsahan data, (5) menganalisis, menginterpretasi temuan penelitian, dan (6) instrumen penelitian. 7.1 Pengumpulan Data Data yang dimaksudkan dalam penelitian sastra ini adalah bersumber dari dokumen pustaka atau literatur sastra yang berjenis novel. Novel yang menjadi objek utama berjudul FĪ BAITINĀ RAJUL terbit pertama kali pada tahun 1957, ditulis oleh sastrawan Mesir Ihsan Abdul-Quddus. Untuk menggali lebih dalam tentang pandangan dunia pengarang, maka digali pula data lain yang relevan, berupa novel-novel politik dari pengarang yang sama. Untuk itu, penulis juga sekilas memaparkan beberapa karya Ihsan Abdul-Quddus yang lain. 62 7.2 Analisis Data Teknik menganalisis data kualitatif yang merujuk kepada buku Analisis Data Kualitatif karya Miles dan Huberman (1992:16-20), dilakukan dengan menempuh model alir, yaitu mereduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan. Dengan teknik ini diharapkan dapat mengungkap pesan yang terkandung dalam teks, dan mampu dipahaminya ide pokok yang termuat di dalamnya. Tahapan yang telah, sedang dan akan ditempuh dalam penelitian ini adalah: 1) Membaca novel FĪ BAITINĀ RAJUL dan mengidentifikasi beberapa point penting dalam cerita yang dalam interpretasi penulis dapat diabstraksi sebagai pesan-pesan nasionalisme. 2) Menganalisis relasi nasionalisme yang termuat dalam beberapa novel karya Ihsan Abdul-Quddus yang mengungkapkan problematika politik di Mesir. Novel-novel tersebut sebagai transformatif dari novel FĪ BAITINĀ RAJUL. 3) Wawancara dengan sumber terdekat dengan author. Wawancara ini telah dilakukan oleh penulis dengan Ahmad, yaitu salah seorang putera Ihsan Abdul-Qudous, di Cairo pada Kamis malam Jum’at 25 Februari 2010. Wawancara ini dilakukan untuk menggali lebih dalam data tentang latar belakang kehidupan mendiang Ihsan Abdul-Quddus dan pandangan dunianya. 4) Menganalisis peran aksi nasionalisme rakyat Mesir baik yang dikisahkan dalam novel maupun yang tercatat dalam buku-buku dokumen sejarah perjuangan rakyat Mesir. 63 5) menganalisis situasi politik menjelang revolusi Mesir, 23 Juli 1952. 6) menginventarisasi seluruh data temuan ke dalam catatan. 7) menarik kesimpulan. 8) menyusun laporan penelitian. Karya sastra akan dapat dipahami dengan memperhatikan sosial budaya yang melatari karya itu. Dalam penelitian ini, langkah pertama akan dipaparkan potret kondisi sosial budaya negara Mesir ketika masih berbentuk kerajaan dan di bawah penjajahan Inggris. Langkah berikutnya adalah menganalisis relasi antara tokoh dengan objek yang ada di sekitarnya. Menelaah sekilas deskripsi situasi sosial, budaya dan politik yang dominan dalam novel ini, adalah relatif mudah untuk dipahami karena sang penulis menggunakan pola realisme formal, artinya karya sastra ini tidak terpisah dari logika kehidupan nyata. 1.8 Sistematika Penyajian Penulisan Penelitian disertasi ini akan disajikan dalam lima bab, sebagai berikut: Bab I Merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, permasalahan, objek penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, dan metode penelitian. Bab II memaparkan latar belakang kehidupan sang author, karakteristik karya sastranya, dominasi konteks sosial dalam karya sastra, sikap kepribadian nasionalis-liberalis sang pengarang, profil sang pengarang yang dicerminkan dalam novel, termasuk paparan situasi politik yang memicu meletusnya revolusi yang kemudian termasuk hal yang menginspirasikan lahirnya novel FĪ BAITINĀ 64 RAJUL. Bab III menjelaskan novel yang menjadi objek penelitian dari aspek kerangka umum novel, teknik struktur narasi cerita, tokoh kisah realistis dalam novel yang merupakan cirikhas novel modern, kenyataan dan imajinasi dalam novel FĪ BAITINĀ RAJUL, dan tokoh utama dalam novel dengan problematikanya, termasuk kemudian memaparkan amanat nilai-nilai norma dan edukatif yang termuat dalam novel. Bab IV menganalisis pandangan dunia yang dalam disertasi ini disebut dengan cakrawala harapan Ihsan Abdul-Quddus dalam Novel FĪ BAITINĀ RAJUL terhadap ragam persoalan terkait nasionalisme dan cakrawala harapan nasionalismenya dalam empat karya lainnya baik karya yang berbentuk novel maupun dalam bentuk cerita pendek (cerpen). Bab V adalah bab terakhir, merupakan simpulan penelitian serta penutup. Sedangkan data yang dilampirkan berupa sinopsis pendek dan sinopsis panjang dari novel FĪ BAITINĀ RAJUL.