7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Udang Mantis 2.1.1 Biologi

advertisement
7 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Udang Mantis
2.1.1
Biologi Udang Mantis
Udang mantis merupakan kelas Malocostraca, yang berhubungan dengan
anggota Crustasea lainnya seperti kepiting, lobster, krill, amphipod, dan udang.
Udang mantis termasuk dalam order Stomatopoda. Berdasarkan publikasi dari
Barber dan Erdmann (2000), menyatakan bahwa terdapat lebih dari 400 spesies
yang masuk kedalam 100 genus telah diketahui, tersusun dalam 19 famili dan
lima superfamilies yaitu Bathysquilloidea, Squilloidea, Erythrosquilloidea,
Lysiosquilloidea dan Gonodactyloidea. Pada publikasi terbaru menyatakan bahwa
sekitar 450 spesies udang mantis diketahui, tersusun dalam 17 famili dan tujuh
superfamilies (Ahyong, 2010). Berdasarkan publikasi tersebut, perkembangan
secara taksonomi masih dalam perkembangan karena mulai banyak hasil
penelitian tentang udang mantis sudah dan sedang dilakukan.
Udang mantis terkenal dengan serangan capitnya yang secepat kilat untuk
menombak ikan, memiliki capit keras melingkar untuk menghancurkan
mangsanya yang bertubuh keras seperti siput laut. Udang mantis yang lebih besar
dapat memecahkan kaca akuarium (Bason, 2004).
Gambar 2.1 udang mantis (hak cipta Erwin Kodiat)
7
8 Udang mantis merupakan hewan Crustacea yang memanjang, datar atau
pipih, mirip seperti udang ataupun lobster. Udang mantis memiliki mata yang
dapat digerakkan, dan tidak terdapat selaput mata. Karapas yang dimiliki udang
mantis tidak panjang bahkan tidak melebihi 1/3 dari panjang tubuhnya. Udang
mantis memiliki tiga pasang kaki untuk bergerak, lima pasang pleopod, satu
pasang uropod, dan memiliki ekor yang pipih (FAO, 1998).
Udang mantis memiliki peran yang penting dalam ekosistem terumbu
karang. Perilaku hidup yang dimiliki dengan menggali lubang pada terumbu
karang memberi peluang untuk oksigenisasi sehingga kesehatan terumbu karang
akan lebih terjaga. Udang mantis akan menggali terumbu karang yang kondisinya
tidak sehat, sehingga terumbu karang yang tidak sehat yang didukung dengan
faktor-faktor tertentu akan menjadi sehat dan ekosistem menjadi lebih baik.
Udang mantis berdasarkan peran yang dimiliki dapat disimpulkan sebagai
bioindikator kesehatan ekosistem terumbu karang (Barber et al., 2002). Udang
mantis kebanyakan ditemukan di perairan yang relatif hangat dan dangkal di
daerah tropis dan subtropis, meskipun ada juga beberapa spesies sedang yang
dapat ditemukan di lintang yang lebih tinggi, seperti Selandia Baru.
Udang mantis merupakan Crustasea yang paling agresif. Penelitian
menunjukkan bahwa udang mantis dapat hidup dua hingga enam tahun (Kai,
2009). Siklus kehidupan dari udang mantis dimulai dari udang mantis dewasa
yang mampu menghasilkan 7.000 hingga 400.000 telur sesuai spesies (Ruppert et
al., 2004). Telur yang hidup akan bertahan dengan memanfaatkan kuning telur
yang
banyak
selama
seminggu.
Perkembangan
selanjutnya
adalah
Mezozooplankton pelagis (0,2-2mm), kemudian menjadi Makrozooplankton
(2-20mm). Pada beberapa spesies, dapat mencapai Megazooplankton (>20mm).
Perkembangan ini terjadi selama kurang lebih tiga hingga lima bulan (Kai, 2009).
Tahapan selanjutnya adalah postlarva hingga udang mantis dapat menetap didasar
laut (Barber et al., 2000).
9 2.1.2 Keragaman Udang Mantis
Udang mantis memiliki tingkat keragaman spesies yang tinggi. Indonesia
merupakan daerah yang tinggi keanekaragaman hayati memiliki potensi bagi
udang mantis hidup dan berkembang. Menurut Barber dan Boyce (2006),
ditemukan 189 dari 327 spesies udang mantis yang telah diketahui di perairan
Indonesia-Pasifik.
Keragaman genetik dari udang mantis masih sedikit diketahui, karena
masih banyaknya spesies yang belum diketahui di Indonesia. Di perairan timur
Indonesia, tingkat keragaman genetik udang mantis yang mengindikasi spesies
Haptosquilla pulcella mencapai 0.99 hd, sedangkan yang mengindikasi spesies
Haptosquilla glyptocercus mencapai angka maksimal yaitu 1 hd (Barber et al.,
2002). Angka tersebut menunjukkan bahwa keragaman genetik udang mantis
sangat tinggi. Tingkat keragaman genetik yang terdapat di perairan timur tersebut
belum dapat mewakili tingkat keragaman genetik udang mantis yang terdapat di
Indonesia.
2.2
Mitokondria DNA
Mitokondria adalah organel sel eukariot yang berfungsi sebagai organ
respirasi pembangkit energi dengan menghasilkan adenosin triphosphat (ATP).
Jumlah mitokondria tiap sel tergantung jenis sel dan organisme. Mitokondria
ditemukan dalam jumlah banyak pada sel yang aktivitas metabolismenya tinggi
(Solihin, 1994). Mitokondria berbeda dengan organel sel lainnya, yaitu memiliki
materi genetik sendiri yang karakteristiknya berbeda dengan materi genetik di inti
sel. DNA mitokondria memiliki ciri-ciri yang berbeda dari DNA nukleus ditinjau
dari ukuran, jumlah gen, dan bentuk. Diantaranya adalah memiliki laju mutasi
yang lebih tinggi, yaitu sekitar lima hingga sepuluh kali DNA inti (Kamarudin et
al., 2011). Selain itu, DNA mitokondria terdapat dalam jumlah banyak (lebih dari
1000 kopi) dalam tiap sel, sedangkan DNA inti hanya berjumlah dua kopi. DNA
inti merupakan hasil rekombinasi DNA kedua orang tua sementara DNA
mitokondria hanya diwariskan dari ibu (maternally inherited) (Brearley dan Zhou,
2006).
10 Sel telur memiliki jumlah mitokondria yang lebih banyak dibandingkan sel
sperma, yaitu sekitar 100.000 molekul sedangkan sel sperma hanya memiliki
sekitar 100-1500 mtDNA (Nishimura et al., 2005). Dalam sel sperma mitokondria
banyak terkandung dalam bagian ekor karena bagian ini yang sangat aktif
bergerak sehingga membutuhkan banyak ATP. Pada saat terjadi pembuahan sel
telur, bagian ekor sperma dilepaskan sehingga hanya sedikit atau hampir tidak ada
mtDNA yang masuk ke dalam sel telur. Hal ini berarti bahwa sumbangan secara
paternal hanya berjumlah 100 mitokondria. Pada proses pertumbuhan sel, jumlah
mtDNA secara paternal semakin berkurang. Jika dibandingkan dengan sumbangan
secara maternal yaitu 100.000, maka sumbangan secara paternal hanya 0,01%.
Oleh karena itu dapat dianggap tidak terjadi rekombinasi sehingga dapat
dikatakan bahwa mtDNA bersifat haploid, diturunkan dari induk betina ke seluruh
keturunannya (Nishimura et al., 2005).
DNA mitokondria tidak memiliki protein histon, dan terletak berdekatan
dengan membran dalam mitokondria, tempat berlangsungnya reaksi fosforilasi
oksidatif yang menghasilkan radikal oksigen sebagai produk samping (Brearley
dan Zhou, 2006). Selain itu, DNA polimerase yang dimiliki oleh mitokondria
adalah DNA polimerase γ yang tidak mempunyai aktivitas proofreading (suatu
proses perbaikan dan pengakuratan dalam replikasi DNA). Tidak adanya aktivitas
ini menyebabkan mtDNA tidak memiliki sistem perbaikan yang dapat
menghilangkan kesalahan replikasi (Johnson et al., 2001).
DNA mitokondria merupakan DNA sirkuler yang berada pada matriks
mitokondria dan berukuran 16.569 pasang basa. MtDNA mengandung 37 gen
penyandi (coding region) yaitu 13 gen penyandi protein dengan perincian, tujuh
subunit untuk kompleks I NADH Dehydrogenase (ND1, ND2, ND3, ND4, ND4l,
ND5 dan ND6), satu subunit untuk sitokrom b, tiga subunit untuk Cytochrome c
oxidase subunit (COI, COII, COIII) serta dua subunit untuk ATP sintase. Untuk
24 gen lainnya, digunakan untuk translasi mtDNA yang terdiri dari dua gen untuk
RNA ribosom (rRNA) dan 22 gen untuk RNA transfer ( tRNA) (Santosa et al.,
2005).
11 DNA barcode merupakan suatu teknik molekular yang menggunakan
sekuen pendek yang diambil dari gen yang digunakan untuk mengidentifikasi
suatu spesies (Herbert dan Gregory, 2005). Cytochrome c oxidase subunit I (COI)
digunakan sebagai DNA barcode. Penggunaannya sering dilakukan untuk
mengindentifikasi suatu spesies. Panjang fragment yang digunakan 655 bp pada
ikan di laut (Ward et al., 2005). Berdasarkan publikasi dari Cheng dan Barber
(2005) dalam memperkirakan pola genetik dan penyebaran tiga spesies udang
mantis di daerah coral triangle menggunakan panjang fragment yang berkisar
400-500 bp. Penggunaan gen Cytochrome c oxidase subunit 1 dari DNA
Mitokondria dilakukan pada penelitian Barber et al. (2002) dan Barber dan Boyce
(2006) untuk memperkirakan tingkat keragaman genetik dari larva udang mantis
di perairan Indonesia Pasifik. Berdasarkan penelitian, COI dipilih sebagai DNA
barcode dikarenakan COI dipastikan sebagai global bioidentifikasi pada hewan
(Herbert et al., 2003). COI yang memiliki laju evolusi yang berbeda-beda.
Beberapa ada yang mengalami perubahan sangat lambat dan ada yang mengalami
perubahan sangat cepat (Buhay, 2009). Karena itu, identifikasi spesies secara
genetik dapat dilakukan pada gen COI mtDNA.
2.3
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase chain reaction (PCR) ditemukan oleh Kary Mullis pada
pertengahan 1980-an. Reaksi berantai polymerase PCR merupakan metode
enzimatis untuk melipatgandakan suatu sekuen nukleotida tertentu secara
eksponensial dengan cara in vitro (Yuwono, 2006). Penemuan PCR merupakan
salah satu tonggak revolusi dalam genetika molekular. Beberapa keunggulan PCR
yaitu polymerase-DNA dapat diarahkan untuk sintesis wilayah DNA tertentu dan
PCR akan menghasilkan amplifikasi wilayah DNA tertentu (Mahardika, 2003).
PCR adalah metode untuk amplifikasi (perbanyakan) primer oligonukleotida yang
diarahkan secara enzimatik urutan DNA spesifik. Teknik ini mampu
memperbanyak sebuah urutan 105-106 kali lipat dari jumlah nanogram DNA
template dalam latar belakang besar pada sekuen yang tidak relevan (Roche,
2006).
12 PCR memungkinkan adanya perbanyakan DNA antara dua primer, hanya
di dalam tabung reaksi, tanpa perlu memasukkannya ke dalam sel (in vivo). Pada
proses PCR dibutuhkan DNA untai ganda yang berfungsi sebagai cetakan
(template) yang mengandung DNA target yang akan diamplifikasi untuk
pembentukan molekul DNA baru, enzim DNA polymerase, deoksinukleosida
trifosfat (dNTP), dan sepasang primer oligonukleotida. Pada kondisi tertentu,
kedua primer akan mengenali dan berikatan dengan untaian DNA komplemennya
yang terletak pada awal dan akhir fragmen DNA target, sehingga kedua primer
tersebut akan menyediakan gugus hidroksil bebas pada karbon 3’. Setelah kedua
primer menempel pada DNA template, DNA polimerase mengkatalisis proses
pemanjangan kedua primer dengan menambahkan nukleotida yang komplementer
dengan urutan nukleotida template. DNA polimerase mengkatalisis pembentukan
ikatan fosfodiester antara OH pada karbon 3’ dengan gugus 5’ fosfat dNTP yang
ditambahkan. Sehingga proses penambahan dNTP yang dikatalisis oleh enzim
DNA polymerase ini berlangsung dengan arah 5’→3’ dan disebut reaksi
polimerisasi. Enzim DNA polymerase hanya akan menambahkan dNTP yang
komplementer dengan nukleotida yang terdapat pada rantai DNA template. PCR
melibatkan banyak siklus yang masing-masing terdiri dari tiga tahap berurutan,
yaitu pemisahan (denaturasi) rantai DNA template, penempelan (annealing)
pasangan primer pada DNA target dan pemanjangan (extension) primer atau
reaksi polimerisasi yang dikatalisis oleh DNA polymerase (Roche, 2006).
Tahapan reaksi Polymerase chain reaction (PCR) secara umum terdiri dari
3 proses. Diawali dari proses denaturasi, annealing, dan elongasi atau ekstensi
(Vierstraete, 2009). Denaturasi dilakukan dengan pemanasan hingga 96oC selama
30-60 detik. Pada suhu ini DNA utas ganda akan memisah menjadi utas tunggal.
Setelah DNA menjadi utas tunggal, suhu diturunkan ke kisaran 40-60oC selama
20-40 detik untuk memberikan kesempatan bagi primer untuk menempel pada
DNA template di tempat yang komplemen dengan sekuen primer, proses ini
dinamakan annealing. Tahapan terakhir merupakan ekstensi atau elongasi yakni
dilakukan dengan menaikkan suhu ke kisaran suhu kerja optimum enzim DNA
polymerase, biasanya 70-72oC. Pada tahap ini DNA polymerase akan
13 memasangkan dNTP yang sesuai pada pasangannya, jika basa pada template
adalah A, maka akan dipasang T di dNTP, begitu seterusnya. Enzim akan
memperpanjang rantai baru ini hingga ke ujung. Lamanya waktu ekstensi
bergantung pada panjang daerah yang akan diamplifikasi, secara kasarnya adalah
satu menit untuk setiap 1000 bp (Vierstraete, 2009).
Download