IFRS

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
International Financial
Reporting Standards (IFRS) dan Kualitas
Akuntansi (Accounting Quality)
Standar Pelaporan Keuangan Internasional (International Financial
Reporting Standards – IFRS) merupakan peraturan yang digunakan sebagai
panduan untuk pelaporan keuangan secara global. The International Accounting
Standars Committee (IASC), yang didirikan pada tahun 1973 dan telah diubah
menjadi the International Accounting Standars Board (IASB) pada 2001,
bertanggung jawab untuk menyusun standar akuntansi internasional yang dikenal
dengan nama terdahulu International Accounting Standards (IAS), yang kini
menjadi bagian dari International Financial Reporting Standards (IFRS) serta
mendorong penggunaan dan pengaplikasian atas standar tersebut. Demi
pengakuan kualitas dari IFRS di seluruh dunia, di awal tahun 2000, Organisasi
Internasional Komisi Pasar Modal (the International Organization of Securities
Commissions - IOSOC) menyatakan otoritas pasar modal dunia untuk
mengizinkan emiten asing menggunakan IAS (International Accounting
Standard) dalam penerbitan saham internasional (lintas dunia), dan hingga saat
ini, lebih dari 100 negara mewajibkan atau mengizinkan untuk menggunakan
IFRS (International Financial Reporting Standard), dan telah memiliki ketepatan
waktu dalam pengadopsian standar ini.
Globalisasi sektor keuangan dan bisnis telah menyebabkan lebih dari 12.000
perusahaan di hampir seratus negara untuk mengadopsi IFRS. Komisi Uni Eropa,
7
8
telah mengadopsi “IAS Regulation” pada 2002, dan mewajibkan semua
perusahaan yang terdaftar di Uni Eropa untuk menggunakan IFRS pada laporan
keuangan konsolidasi tahun 2005. Dengan demikian, banyak perusahaan Uni
Eropa yang telah siap untuk melaporkan secara sukarela (atau didorong secara
profesional) dibawah IAS sebelum tahun 2005. Australia, Selandia Baru dan
Israel pada dasarnya telah mengadopsi IFRS sebagai standar mereka. Brasil mulai
menggunakan IFRS di tahun 2010. Kanada mengadopsi IFRS secara penuh pada
tanggal 1 januari 2011. Meksiko menggunakan IFRS untuk semua entitas yang
terdaftar di negaranya pada tahun 2012. Jepang dalam usahanya mencapai
konvergensi IFRS mengizinkan perusahaan domestik tertentu untuk menerapkan
IFRS pada tahun fiskal mulai 1 April 2010. Keputusan mengenai penggunaan
wajib IFRS di Jepang dilakukan sekitar tahun 2012. Hong Kong telah mengadopsi
standar nasional yang setara dengan IFRS dan Cina sedang mengkonversi standar
akuntansinya dengan IFRS. Negara-negara lain telah memiliki rencana untuk
mengadopsi IFRS atau mengkonvergensi standar nasional mereka dengan IFRS
(AICPA, 2011).
IFRS dipercaya menjadi satu peraturan akuntansi berkualitas tinggi yang
ideal untuk diterapkan secara konsisten oleh perusahaan publik secara global
dengan tujuan perusahaan dapat memastikan bahwa mereka diterima oleh pasar
saham diseluruh dunia (IASB 2009). Walaupun tidak ada konsensus tentang
standar akuntansi berkualitas tinggi (high-accounting quality), IFRS dianggap
menjadi standar akuntansi dengan kualitas tinggi karena mewakili praktik
akuntansi terbaik di dunia dan dianggap menjadi lebih berorientasi terhadap pasar
9
saham dibandingkan standar akuntansi domestik (Ding et al. 2007). Berdasarkan
prinsip-prinsip IFRS (Carmona dan Trombetta, 2008), perusahaan termotivasi
melakukan pelaporan inforrnasi akuntansi yang lebih baik dalam mencerminkan
perekonomian perusahaan dan karena itu, dilakukan pengenalan transparansi IFRS
yang lebih besar (Maines et al. 2003). Hal ini mengemukakan bahwa adopsi IFRS
berhubungan dengan kualitas akuntansi dan penelitian Barth et al (2008)
merupakan bukti yang tepat untuk mendukung pandangan ini. Dengan menguji
perusahaan-perusahaan dari 21 negara, barth et al. (2008) menunjukkan bahwa
perusahaan yang mengadopsi IFRS secara sukarela mengalami penurunan dalam
earnings management, dan lebih tepat waktu dalam pengakuan kerugian, serta
lebih besar nilai relevansi atas laba akuntansi. Pernyataan Barth et al. (2008)
memberikan dukungan terhadap pendapat bahwa perusahaan yang mengadopsi
IFRS memiliki kualitas yang lebih tinggi daripada perusahaan-perusahaan yang
menerapkan standar akuntansi GAAP lokal. Selanjutnya, kualitas akuntansi juga
dikatakan mengalami peningkatan setelah perusahaan-perusahaan mengganti
standar akuntansi GAAP lokal menjadi IFRS. Secara keseluruhan, bukti-bukti
penelitian atas kualitas akuntansi menyatakan bahwa terjadi peningkatan kualitas
akuntansi akibat pengadopsian IFRS secara sukarela di seluruh dunia.
Motivasi negara-negara Uni Eropa dan Asia dalam mengadopsi IFRS
adalah, dengan mengadopsi IFRS, bisnis perusahaan dapat menyediakan laporan
keuangan yang berstandar sama dengan kompetitor asing, hal ini membuat
perbandingan menjadi lebih mudah. Selanjutnya, perusahaan dengan anak
perusahaan di negara-negara yang membutuhkan atau mengizinkan IFRS dapat
10
menggunakan satu bahasa akuntansi company-wide. Sebuah anak perusahaan
perlu mengkonversi IFRS jika induk perusahaan menggunakan IFRS di
negaranya, atau jika perusahaan memiliki investor asing yang harus menggunakan
IFRS. Karena itu, perusahaan mungkin saja akan mendapat keuntungan bila
mengadopsi IFRS ternyata dapat menambah modal luar negeri.
B.
International Financial
Reporting Standards (IFRS) dan Standar
Akuntansi Keuangan (SAK)
Badan pengatur standar akuntansi di Indonesia adalah Dewan Standar
Akuntansi Keuangan (DSAK) yang merupakan lembaga dibawah Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI). Dalam hukum Indonesia, baik sektor pemerintah maupun
perusahaan swasta harus mematuhi standar akuntansi yang dikeluarkan oleh
DSAK-IAI. Tujuan Indonesia dalam mengadopsi IFRS adalah untuk memperbaiki
standar pelaporan nasional (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan – PSAK)
dan mengkonvergensinya secara bertahap dengan tujuan untuk meminimalisasi
psychological impact (IASplus – Deloitte dalam Dima, David and Paiusan, 2010).
Tahap pertama dari pengadopsian IFRS telah dilaksanakan pada tahun 2008
sampai 2010. Tahap kedua, yang merupakan masa transisi dari PSAK berbasis US
GAAP menjadi PSAK berbasis IFRS dilaksanakan pada tahun 2011. Tahap
ketiga, yaitu tahap pengimplementasian IFRS yang dilaksanakan pada tahun 2012.
Dalam IFRS framework paragraph 46, penggunaan nilai wajar dalam
laporan keuangan mengharuskan pelaporan keuangan perusahaan disajikan
dengan basis ’true and fair’, artinya pengungkapan atas laporan keuangan harus
11
memberikan pengakuan, pengukuran, penyajian dengan pandangan yang benar
(informasi yang diberikan obyektif dan tidak bias) dan adil.
Menurut ketua Tim Implementasi IFRS-Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
Dudi M Kurniawan yang dimuat harian kompas tanggal 6 mei 2010 (Harry dan
Ludovikus, 2010) mengatakan, dengan mengadopsi IFRS, Indonesia akan
mendapatkan tujuh manfaat sekaligus, yaitu :
1.
Meningkatkan kualitas standar akuntansi keuangan (SAK).
2.
Mengurangi biaya SAK.
3.
Meningkatkan kredibilitas dan kegunaan laporan keuangan.
4.
Meningkatkan komparabilitas pelaporan keuangan.
5.
Meningkatkan transparansi keuangan.
6.
Menurunkan
biaya
modal
dengan
membuka
peluang
penghimpunan dana melalui pasar modal.
7.
C.
Meningkatkan efisiensi penyusunan laporan keuangan.
Dasar Perbedaan antara GAAP lokal (PSAK) dan IFRS
Banyaknya manfaat dari pengadopsian IFRS , tidak terlepas dari adanya
perbedaan yang signifikan antara IFRS dan US GAAP (basis PSAK sebelumnya),
misalnya, IFRS tidak mengijinkan metode Last In First Out (LIFO) sebagai
metode penilaian persediaan, IFRS menerapkan adanya revaluasi (revaluation
model) pada penilaian aktiva dalam keadaan tertentu, IFRS menggunakan single
step method untuk penghapusan penurunan nilai (impairment) daripada two step
method yang digunakan US GAAP, sehingga membuat penghapusan lebih
12
mungkin, selanjutnya, IFRS juga mensyaratkan kapitalisasi biaya pengembangan,
ketika kriteria tertentu terpenuhi. Adapun perbedaan dasar antara IFRS dengan
PSAK berlandaskan US GAAP adalah :
1.
Nilai wajar
Terdapat beberapa karakteristik IFRS yang membedakannya dengan
US GAAP, pertama yaitu adanya penerapan nilai wajar (fair value) yang
diatur secara khusus di IFRS 13, dengan ruang lingkup seperti aset tetap
(PSAK 16), properti investasi (PSAK 13), instrumen keuangan (PSAK
50,55,60), aset tak berwujud (PSAK 19), penurunan nilai aset tidak lancar
dimiliki untuk dijual dan operasi yang dihentikan (PSAK 48, 58).
Sebelumnya, US GAAP menerapkan nilai historis (historical cost) untuk
penilaian asetnya. Nilai historis (historical cost) adalah jumlah kas atau
setara kas yang dibayarkan atau nilai wajar imbalan lain yang diserahkan
untuk memperoleh aset pada saat perolehan atau konstruksi, atau jika dapat
diterapkan jumlah yang dapat diatribusikan langsung ke aset pada saat
pertama kali diakui sesuai dengan persyaratan tertentu didalam PSAK lain
(Ari Dewi, 2011).
Kelebihan dari nilai historis ini adalah dipercaya lebih relevan dalam
membuat keputusan ekonomi; selama sejarah, laporan keuangan yang
menggunakan nilai historis sangat berguna; nilai historis berdasarkan pada
transaksi yang sesungguhnya, tidak pada kemungkinan; dan nilai historis
merupakan pengertian terbaik mengenai konsep keuntungan dari harga jual
(Yolinda, 2010). Disamping kelebihan dari nilai historis, terdapat
13
kelemahannya, yaitu pengungkapannya yang kurang mencerminkan
keadaan yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan perubahan nilai mata uang
dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, harga tanah pada 30 tahun yang lalu
lebih tinggi dibandingkan harga perolehan yang dicatat di neraca, hal ini
terjadi karena nilai historis hanya dapat digunakan jika kondisi ekonomi
normal (tidak terjadi inflasi).
Karena kelemahan atas nilai historis diatas, maka digunakan nilai
wajar untuk mengatasinya. Nilai wajar (fair value) dalam IFRS 13 diartikan
sebagai harga yang diterima atas penjualan aset atau pembayaran untuk
mentransfer liabilitas dalam transaksi antar pihak yang berkepentingan pada
tanggal pengukuran (Dwi Martani, 2012). Penentuan nilai wajar sendiri
dilakukan dengan kuotasi harga di pasar aktif, namun, jika pasar tidak aktif,
maka menggunakan teknik lain seperti menggunakan transaksi-transaksi
pasar terkini yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mengerti atau menyewa
jasa penilai, dan bilamana ada, mencari referensi atas nilai wajar terkini dari
instrumen lain yang secara substansial sama, seperti menganalisis arus kas
yang didiskonto (discounted cash flow analysis), dan model penetapan
harga opsi (option pricing model).
Meskipun bermaksud baik, namun perkiraan manajemen tentang nilai
wajar bisa menjadi salah dalam memprediksi dan asumsi yang salah serta
memberi kesempatan dan ketidakjujuran manajemen dalam mengambil
keuntungan dari penilaian dan estimasi yang digunakan untuk proses
manipulasi angka laba yang diinginkan. Namun, ada beberapa keuntungan
14
dari nilai wajar ini, yaitu pengungkapan dengan nilai wajar menyebabkan
relevansi laporan keuangan meningkat, karena mengungkapkan keadaan
yang sebenarnya.
2.
Principle Based
Sebelum adanya konvergensi PSAK ke IFRS, PSAK yang
berlandaskan US GAAP berbasis rule based, yang berarti segala sesuatu
diatur dalam batasan-batasan. Contohnya, sesuatu materialitas ditentukan
misalkan diatas 75% dianggap material dan ketentuan-ketentuan jelas
lainnya. Standar rule based ini akan meningkatkan konsistensi dan
keterbandingan antar perusahaan dan antar waktu, namun di sisi lain
mungkin kurang relevan karena ketidakmampuan standar merefleksi
kejadian ekonomi entitas yang berbeda antar perusahaan dan antar waktu.
Beda halnya dengan US GAAP yang menggunakan rule based,
standar akuntansi IFRS menggunakan principle based, yang mana berisi
prinsip-prinsip yang dapat dijadikan bahan pertimbangan Akuntan /
Manajemen perusahaan sebagai dasar acuan untuk kebijakan akuntansi
perusahaan. Namun kelemahannya, principle based sangat memerlukan
penalaran, judgement, dan pemahaman yang cukup mendalam dari pembaca
aturan dalam menerapkannya. Standar semacam ini konsisten dengan tujuan
pelaporan
keuangan
untuk
dapat
menggambarkan
kejadian
yang
sesungguhnya di perusahaan. Standar berbasis prinsip memberi keunggulan
dalam hal memungkinkan manajer memilih perlakuan akuntansi yang
merefleksikan transaksi atau kejadian ekonomi yang mendasarinya,
15
meskipun
hal
sebaliknya
dapat
terjadi.
Standar
berbasis
prinsip
memungkinkan manajer, anggota komite audit, dan auditor menerapkan
judgment profesionalnya untuk lebih fokus pada merefleksi kejadian atau
transaksi ekonomi.
3.
Pengungkapan (Disclosure) Yang Lebih Banyak Baik Kuantitatif
Maupun Kualitatif
Standar IFRS mengandung pedoman pengungkapan informasi secara
kuantitatif maupun kualitatif dengan maksud untuk memberikan suatu
panduan penyajian dan pengungkapan yang terstandarisasi dengan
mendasarkan pada prinsip-prinsip pengungkapan penuh (full disclosure),
sehingga dapat memberikan kualitas penyajian dan pengungkapan yang
memadai bagi pengguna informasi yang disajikan dalam laporan keuangan
perusahaan. Prinsip pengungkapan penuh (full disclosure) mengakui bahwa
penyajian informasi dalam laporan keuangan baik jumlah maupun sifat,
harus memenuhi kaidah keseimbangan antara manfaat dan biaya.
Tingkat pengungkapan yang makin mendekati pengungkapan penuh
(full
disclosure)
akan
mengurangi
tingkat
asimetri
informasi
(ketidakseimbangan informasi) antara manajer dengan pihak pengguna
laporan keuangan. Asimetri informasi adalah kondisi dimana manajer
memiliki informasi internal lebih banyak dibandingkan dengan pihak lain
(pemegang saham dan stakeholder). Jika dikaitkan dengan nilai perusahaan,
ketika terdapat asimetri informasi, manajer dapat memberikan informasi
16
mengenai kondisi perusahaan kepada investor untuk memaksimisasi nilai
saham perusahaan.
D.
Earnings Quality (Kualitas Laba)
Earnings quality merupakan subjek yang mendapatkan perhatian lebih
beberapa tahun belakangan dan menjadi hal yang di perdebatkan oleh regulator
(pembuat peraturan) dan para investor serta para peneliti akuntansi. Hal ini
dikarenakan tidak adanya kesepakatan atas definisi earnings quality dalam
literatur akuntansi. Namun, menurut Chandrarin (2003) dalam fendy (2011) laba
akuntansi yang berkualitas adalah laba akuntansi yang mempunyai sedikit atau
tidak mengandung gangguan persepsian di dalamnya dan dapat mencerminkan
kinerja perusahaan yang sesungguhnya.
Earnings quality atau kualitas laba merupakan salah satu aspek penting
dalam mengevaluasi kesehatan finansial sebuah entitas, baik bagi investor,
kreditor maupun pengguna laporan keuangan lainnya. Earnings quality memiliki
kemampuan untuk mencerminkan laba perusahaan yang sebenarnya serta berguna
pula dalam memprediksi laba dimasa depan. Earnings quality dapat menjadi
ukuran kestabilan, ketekunan dan kurangnya variabilitas dalam melaporkan laba.
Mengevaluasi laba seringkali menghadapi kesulitan, dikarenakan perusahaan
menggunakan satu variabel dari angka laba, seperti, pendapatan, laba operasi, laba
bersih dan pro forma earnings.
17
Dalam penelitian ini, earnings quality yang secara luas digunakan dalam
literatur akuntansi akan diuji, yaitu manajemen laba (earnings management) yang
diukur dengan earnings smoothing, accruals quality dan the magnitude of
discretionary accruals, serta pengukuran earnings quality dengan value
relevance.
1.
Manajemen Laba (Earnings Management)
Earnings management diakui sebagai upaya manajemen untuk
mempengaruhi atau memanipulasi laba yang dilaporkan dengan metode
akuntansi tertentu (atau mengubah metode), menunda atau mempercepat
transaksi biaya atau pendapatan, atau menggunakan metode lain
yang
dirancang untuk mempengaruhi laba jangka pendek.
Ada beberapa definisi tentang earnings management, berikut definisi
dari
literatur
akademis.
Schiper
(1989)
mendefenisikan
earnings
management sebagai intervensi terarah dalam proses pelaporan keuangan
eksternal, dengan tujuan untuk mendapatkan beberapa keuntungan pribadi.
Definisi umum kedua diberikan oleh Healy dan Wahlen (1999),
mereka mendefinisikan bahwa earnings management terjadi ketika
manajemen menggunakan penilaian dalam pelaporan keuangan dan
penataan transaksi untuk mengubah laporan keuangan sehingga dapat
menyesatkan pemegang saham dalam menilai kinerja ekonomi perusahaan
atau untuk mempengaruhi hasil kontrak yang bergantung pada laporan
angka akuntansi.
18
Motivasi yang melatarbelakangi dilakukannya earnings management
adalah untuk memenuhi perkiraan analis sehingga menghindari penurunan
saham, untuk meningkatkan bonus dan / atau untuk menghindari
pelanggaran perjanjian hutang (kontrak), untuk mempertahankan atau
meningkatkan reputasi manajemen, untuk mengurangi atau mengelola
hutang pajak penghasilan jika dapat meminimalkan pendapatan yang
dilaporkan. Perubahan CEO juga menjadi salah satu motivasi earnings
management, hal ini dikarenakan untuk mengurangi kemungkinan dipecat,
untuk mengurangi kemungkinan pengambilalihan atau karena mereka
mendekati pensiun.
Menurut Setiawati dan Na’im (2000) dalam Meriam (2013), terdapat
tiga cara untuk melakukan earnings management, yaitu :
1.
Accounting estimates, akuntansi untuk perusahaan bisnis sangat
memerlukan penilaian dan perkiraan (judgment dan estimates).
Sebagai contoh, untuk perkiraan jumlah piutang yang tidak
terbayarkan (uncollectible account receivable) dan berapa banyak
barang yang akan diretur, dsb. Keleluasaan manajemen untuk
memperkirakan angka-angka akuntansi ini memberi kesempatan
kepada mereka untuk memanipulasi laba (earnings management).
2.
Timing of transaction, menggeser periode biaya atau pendapatan
dengan cara mempercepat atau menunda pengeluaran research
pada periode berikutnya, mempercepat atau menunda pengeluaran
promosi sampai periode berikutnya, mempercepat atau menunda
19
pengiriman produk ke pelanggan, mengatur penjualan aset tetap
perusahaan.
3.
Accounting choices (metode akuntansi), mengubah metode
akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi.
Misalnya, mengubah depresiasi aset tetap dari metode jumlah
angka tahun ke metode garis lurus.
a.
Earnings Smoothing
Earnings
smoothing
merupakan
special
case
dari
earnings
management (manipulasi laba). Earnings smoothing atau perataan laba
adalah pengurangan yang disengaja terhadap fluktuasi pada beberapa level
laba supaya dianggap normal bagi perusahaan (Barnea et al, 1976) dalam
Harry (2012). Koch (1981) dalam Harry (2012) menyatakan bahwa perataan
laba merupakan alat yang digunakan oleh manajemen untuk mengurangi
besarnya variabilitas pendapatan atau laba yang dilaporkan untuk tujuan
tertentu dengan cara memanipulasi variabel artifical (akuntansi) atau
variabel real (transaksi). Harry (2012) menyatakan bahwa praktik perataan
laba adalah upaya menstabilkan laba dimana tidak banyaknya variance dari
satu periode ke periode lain sehingga dinilai sebagai prestasi baik.
Definisi earnings smoothing menurut Sahening (2013) adalah usaha
untuk memperkecil jumlah laba yang dilaporkan jika laba aktual lebih besar
dari laba normal, dan usaha untuk memperbesar jumlah laba yang
dilaporkan jika laba aktual lebih kecil dari laba normal. Selain itu, perataan
laba didefinisikan sebagai pengurangan yang disengaja terhadap fluktuasi
20
pada beberapa level laba supaya dianggap normal bagi perusahaan
(Sahening, 2013). Praktik earnings smoothing dilakukan manajemen
perusahaan yang dapat menyebabkan pengungkapan laba dilaporan
keuangan menjadi tidak memadai, bahkan terkesan menyesatkan. Hal ini
berakibat investor tidak memiliki informasi yang akurat tentang laba,
sehingga investor gagal dalam menaksir risiko mereka.
Menurut Anshari dkk (1994) dalam Sahening (2013), tindakan
earnings smoothing merupakan tindakan yang logis dan rasional bagi
manajer untuk meratakan laba dengan menggunakan cara atau metode
akuntansi tertentu, alasannya antara lain pertama, rekayasa untuk
mengurangi laba dan menaikkan biaya pada periode berjalan dapat
mengurangi hutang pajak. Kedua, tindakan earnings smoothing dapat
meningkatkan
kepercayaan
investor,
karena
mendukung
kestabilan
penghasilan dan kebijakan dividen sesuai dengan keinginan. Ketiga,
tindakan earnings smoothing dapat mempererat hubungan antara manajer
dan karyawan, karena dapat menghindari permintaan kenaikan upah/gaji
oleh karyawan/pekerja. Dan keempat, tindakan earnings smoothing
memiliki dampak psikologis pada perekonomian, dimana kemajuan dan
kemunduran dapat dibandingkan dan gelombang optimisme dan pesimisme
dapat ditekan.
Menurut Eckel (1981) dalam Sunarto (2008) earnings smoothing
dibedakan menjadi dua streams : naturally smooth dan intentionally
smoothed by management. Pada stream pertama, dinyatakan bahwa
21
earnings smoothing terjadi secara alami (naturally), dan merupakan proses
yang melekat (inherently) menghasilkan smooth income stream; sedangkan
pada stream kedua,
earnings smoothing terjadi karena manajemen
menggunakan teknik real smoothing atau artificial smoothing.
Real smoothing terjadi ketika manajemen mengambil tindakan
(actions) nyata dengan mengatur (menunda atau mempercepat) transaksi
pada saat struktur ekonomi (revenue generating) menghasilkan earnings
smoothing. Sedangkan artificial smoothing terjadi ketika manajemen
memanipulasi timing akuntansi untuk menghasilkan earnings smoothing,
contohnya memindahkan biaya atau pendapatan dari satu periode ke periode
lainnya dengan mengubah kebijakan akuntansi (Sahening, 2013). Moses
(1987) dalam Sunarto (2008) juga menyatakan bahwa dalam literatur
income smoothing, manajemen lebih banyak menggunakan metode
akuntansi untuk mengurangi fluktuasi laba daripada memaksimalkan atau
meminimalkan laba.
22
Gambar 2.1
Earnings Smoothing Type
Smooth Earnings Stream
Intentionally Smoothed
By Management
real smoothing
naturally smooth
artificial smoothing
Sumber : Norm Eckel, 1981, The Income Smoothing Hypothesis Revisited,
Abacus Vol 17, No 1 (dikutip dari Sallno dan Baridwan, 2000 dalam
Sahening, 2013)
b.
Accruals Quality
Akuntansi yang berbasis akrual memiliki fleksibelitas dalam
perusahaan. Subramanyam (1996) dalam Maria (2012) menyatakan bahwa
akibat kefleksibelan ini kebijakan manajemen akan meningkatkan nilai
informasi dalam earnings, karena adanya kemungkinan untuk memasukkan
informasi private. Lebih lanjut, akan ada kemungkinan untuk mengatur
besaran laba. Akibatnya akrual bisa menjadi salah kaprah dan tidak benarbenar menunjukkan kinerja perusahaan di masa depan.
23
Menurut Bernstein (1993) pada artikel Sloan (1996) dalam Alexander
dan Zaki (2012) mengungkapkan bahwa semakin tinggi arus kas operasi
terhadap laba bersih, berarti semakin tinggi kualitas laba tersebut; dan
sebaliknya perusahaan dengan laba bersih yang tinggi namun arus kas
rendah, mengindikasikan adanya pengakuan laba atau pengeluaran akrual.
c.
The Magnitude of Discretionary Accruals
Sebagian besar penelitian menggunakan agregat akrual untuk
mendeteksi Earnings Management. Model penelitian yang seringkali
digunakan yaitu model Jones (1991) untuk mengestimasi akrual yang
diharapkan, membandingkan estimasi akrual dengan akrual yang sebenarnya
dan menggunakan perbedaannya sebagai proxy untuk mendeteksi earnings
management
Akrual seringkali digunakan untuk mengurangi masalah atas ketepatan
waktu dan kebenaran, namun hal ini merupakan keinginan manajemen.
Investor
dapat
menggunakan
informasi
keuangan
sebagai
dasar
pengambilan keputusan mereka. Laba merupakan fokus dari investor,
karena tujuan investor adalah untuk memaksimalkan kekayaan mereka.
Biasanya, investor menggunakan laba untuk mengukur kinerja dan
menyesuaikan keputusan investasi mereka berdasarkan informasi yang
tersedia. Namun, manajer juga dapat menggunakan akrual untuk mengatur
laba (memanipulasi) dengan tujuan untuk memenuhi atau mengalahkan
ekspektasi analisa keuangan atau insentif lainnya.
24
Penelitian dengan menggunakan total akrual telah digunakan oleh
Healy (1985) dan DeAngelo (1986) untuk model kerangka mendeteksi
earnings management. Healy (1985) berpendapat bahwa discretionary
accruals merupakan komponen akrual yang dapat diatur dan direkayasa
sesuai dengan kebijakan manajerial,
Healy menyatakan bahwa non
discretionary accruals merupakan akrual yang tidak dapat dikelola dan
diatur oleh manajer seperti halnya discretionary accruals, maka dari itu, ia
tidak meyertakan non discretionary accruals karena menurutnya non
discretionary accruals tidak dapat di observasi dilaporan keuangan.
Model penelitian ini dimulai dengan mencari total akrual (TA).
Perhitungan total akrual dengan pendekatan laporan kinerja keuangan dan
laporan arus kas dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Sloan, 1996)
TACC = Earnt - CFOt
TACC
=
Total Accruals
EARN
=
Earnings
CFO
=
Arus Kas Operasi
Model Healy (1985)
NDAC = 0
sehingga
TACC = NDAC
Dimana :
NDAC
=
Non Discretionary Accruals
25
Berdasarkan metode Healy sebelumnya, DeAngelo (1986) membuat
perubahan kecil dengan asumsi non-discretionary accrual tetap konstan
sepanjang waktu, dengan kata lain, DeAngelo menyatakan bahwa tidak ada
earnings management dalam asumsi ini. Namun, asumsi ini tidak realistis,
sebagai contoh, Kaplan (1985) dan McNichols (2000) berpendapat jika
sebuah perusahaan berkembang maka non-discretionary accruals akan lebih
besar, sehingga perusahaan harus bervariasi dalam menanggapi perubahan
kondisi ekonomi karena sifat dari proses akuntansi akrual.
Model DeAngelo (1986)
NDACt = TACCt-1
Dimana :
NDACt
=
Estimasi Non Discretionary Accruals
TACCt-1
=
Total akrual dibagi total aktiva 1 tahun sebelum
tahun t
Model Jones menggunakan perubahan total akrual dari periode
pelaporan untuk proxy non-discretionary accruals yang diharapkan dalam
periode tersebut. Beberapa fitur yang dominan dari model ini adalah: (a)
melemahkan asumsi bahwa akrual non-discretionary tetap konstan
sepanjang waktu, (b) usaha untuk mengkontrol dampak perubahan di dalam
keadaan ekonomi perusahaan pada non-discretionary accruals. Jones (1991)
menyatakan, laba bisa menjadi faktor utama peningkatan akrual lancar,
sedangkan properti, tanah dan peralatan merupakan faktor utama akrual
tidak lancar.
26
Model Jones (1991)
NDACt
= α1
(1/At-1) + α2 (∆REVt/At-1) + α3 (PPEt/At-1)
Dimana :
∆REVt
= Pendapatan pada tahun t dikurangi pendapatan pada
tahun t-1 dibagi total aktiva tahun t-1
PPEt
= Gross property plan and equipment pada tahun t
dibagi total aktiva tahun t-1
At-1
= Total aktiva tahun t-1
α1, α2, α3
= Parameter spesifik
parameters
perusahaan
Firm-specific
Dechow, Sloan dan Sweeney (1995) mencoba memodifikasi beberapa
model Jones yang hampir menyerupai dengan model Jones, yaitu
melemahkan asumsi bahwa non-discretionary accruals konstan dari waktu
ke waktu, dengan menyesuaikan faktor penentu atas perubahan pendapatan
dan juga perubahan piutang bersih untuk mengestimasi non discretionary
accruals pada periode yang berjalan (i.e periode yang diduga ada
manipulasi laba didalamnya). Model ini mengasumsikan bahwa perusahaan
yang melakukan penjualan kredit akan lebih mudah memanipulasi laba
daripada perusahaan yang melakukan penjualan secara tunai.
Model Modifikasi Jones (1995)
NDACt
= α1
(1/At-1) + α2 ( [∆REVt - ∆RECt] / At-1) + α3 ( PPEt/At-1)
Dimana :
∆RECt
= Piutang bersih (net receivable) pada tahun t
dikurangi piutang bersih pada tahun t-1 dibagi total
aktiva tahun t-1
27
2.
Nilai Relevansi (Value Relevance)
Relevansi nilai (value relevance) adalah kemampuan informasi
akuntansi untuk menjelaskan nilai perusahaan. Sejumlah nilai akuntansi
dikatakan memiliki value relevant jika secara signifikan berkaitan dengan
variabel dependen (Beaver, 2002). Konstruk terakhir dalam earnings quality
ini mempertimbangkan hubungan antara harga saham (P) dengan return
saham (EPS) dan nilai buku per saham (BVPS). Nilai relevansi yang diukur
dengan return saham dan nilai buku per saham yang relevan menyebabkan
perubahan harga saham karena dengan adanya informasi tersebut
menyebabkan investor merevisi ekspektasinya.
Nilai relevansi didefinisikan sebagai kemampuan informasi yang
disajikan oleh laporan keuangan untuk menggambarkan dan meringkas nilai
perusahaan. Nilai relevansi dapat diukur dengan hubungan statistik antara
informasi yang disajikan di laporan keuangan dengan nilai pasar saham atau
returns (Suadiye, 2012). Meskipun konsep ini bukan konsep yang baru,
istilah value relevance digunakan oleh Amir et al. untuk pertama kalinya
pada tahun 1993 dalam literatur terkait (Carnevale et al., 2009; Suadiye,
2012). Penelitian Ball dan Brown (1968) menyajikan hubungan antara
return saham dan laba (Suadiye, 2012). Ohlson (1995) meneliti hubungan
nilai pasar terhadap data akuntansi perusahaan (laba, nilai buku dan
dividen).
28
E.
Kerangka Pemikiran
Standar
pelaporan
keuangan
internasional
(International
Financial
Reporting Standards – IFRS) mensyaratkan kepada perusahaan yang mengadopsi
IFRS untuk mengungkapkan berbagai informasi tentang risiko baik kualitatif
maupun kuantitatif. Pengungkapan yang full disclosure akan mengurangi
ketidakseimbangan informasi antara manajemen perusahaan dengan para
pengguna laporan keuangan. Ketidakseimbangan informasi merupakan kondisi
dimana perusahaan memiliki informasi yang superior dibandingkan pihak lain.
Perubahan standar internasional dari GAAP menjadi IFRS di berbagai
belahan dunia merupakan jawaban atas meningkatnya keperluan pelaporan
keuangan yang berkualitas tinggi setelah diadopsi oleh perusahaan publik, sebagai
kontribusi yang efisien dan manfaat harga efektif dari modal pasar dengan tujuan
melindungi investor dan memelihara kepercayaan pasar keuangan, terakhir yaitu
untuk meng-improve
standar
akuntansi
persaingan pasar modal global. IFRS yang menganut
berbasis
prinsip
berpengaruh
terhadap
meningkatnya
transparansi, akuntabilitas dan keterbandingan laporan keuangan antar entitas
secara global sangat berbeda dengan PSAK yang menganut standar akuntansi
berbasis aturan, sehingga IFRS dapat meyakinkan investor akan informasi
keuangan perusahaan.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa standar akuntansi dapat
menambah nilai informasi akuntansi dalam memajukan perekonomian (Hung dan
Subramanyam, 2007; Bartov et al, 2005). Namun, tidak jelas apakah manfaat
tersebut juga berlaku untuk mengembangkan atau transitional economics. Pada
29
negara berkembang, relatif sedikit bukti empiris yang menunjukkan bahwa
standar akuntansi lokal dapat meningkatkan kualitas informasi akuntansi.
Bukti terbaru menunjukkan bahwa informasi akuntansi kurang bermanfaat
pada keadaan pasar. Misalnya, Ball dkk. (2000) menemukan bahwa terjadi
transparansi laba yang rendah pada Hong Kong, Malaysia, Singapura dan
Thailand. Mereka berpendapat bahwa hal ini disebabkan lemahnya penegakan
standar akuntansi di masing-masing negara. Penelitian ini menunjukkan, sistem
hukum yang lemah dan kurangnya standar akuntansi dan transisi infrastruktur
ekonomi pasar modal, negara berkembang mungkin menghadapi masalah yang
berat dalam mengawasi keputusan manajemen perusahaan.
Pengenalan prinsip dan praktik akuntansi internasional di negara
berkembang telah terbukti dapat meningkatkan likuiditas pasar, yaitu dengan
berkurangnya biaya transaksi dan membaiknya efisiensi harga (Feldman dan
Kumar, 1995). Hal ini masih merupakan pertanyaan besar apakah penerapan
standar akuntansi internasional dapat meningkatkan kualitas informasi akuntansi
dan mengurangi tingkat earnings management.
Eccher dan Healy (2003) membandingkan value relevance pada informasi
akuntansi yang disusun berdasarkan IAS dan standar akuntansi Cina. Penelitian
ini menyatakan bahwa informasi akuntansi yang disusun berdasarkan IAS variabel
value relevan tidak lebih baik daripada standar akuntansi Cina untuk saham
perusahaan yang dimiliki investor asing. Hal ini dikarenakan kurangnya kontrol
dan infrastruktur yang efektif untuk memonitor pelaporan keuangan dibawah
standar IAS, pernyataan yang sama juga dikemukakan oleh Ball et al. (2000).
30
Belakangan ini, terdapat beberapa bukti empiris berkaitan kewajiban standar
IFRS pada earnings quality di Uni Eropa yang mana periode pengadopsian
terhadap IFRS relatif singkat. Capkun et al. (2008) menganalisa sampel 1.722
perusahaan Uni Eropa, dimana awalnya pengadopsian IFRS tidak di izinkan dan
menyatakan bahwa pengelolaan laba perusahaan meningkat selama periode
transisi IFRS (2004 – 2005). Selain itu, perusahaan membuktikan bahwa angka
akuntansi berdasarkan IFRS dari pada standar akuntansi domestik (UE GAAP)
lebih value relevant dalam konteks dunia internasional. Hal serupa dinyatakan
pula oleh Jeanjean dan Stolowy (2008) yang menunjukkan bahwa meluasnya
earnings management di Prancis dan tetap stabil untuk negara Inggris dan
Australia setelah transisi ke IFRS. Berdasarkan referensi negara Spanyol, Callao
et al (2007) tidak menemukan begitu banyak perbedaan nilai relevan pada angka
akuntansi berdasarkan Spanish-GAAP dan juga berdasarkan IFRS.
Menggunakan data dari tahun 2003 sampai 2006, Paananen (2008) lebih
mengikuti metodelogi
yang digunakan oleh Barth et al (2008) dan
membandingkan earnings quality saat sebelum dan sesudah pengadopsian IFRS.
Peneliti tidak menemukan banyak bukti atas perubahan kualitas akuntansi di
Swedia lebih dari satu sampai dua tahun setelah pengadopsian IFRS. Hal ini
menarik, karena dokumen peneliti menyatakan kualitas pelaporan keuangan telah
mengikuti peraturan pengadopsian.
Christensen et al. (2008) menyatakan bahwa penerapan IFRS berdampak
menurunnya earnings smoothing dan mundurnya timeliness dalam hal sukarela
dan bukan untuk pengadopsian pada Jerman. Bukti ini memperjelas penelitian
31
Gunther et al. (2009), yang menyatakan bahwa value relevance tidak berubah
pada sukarela atau transisi pengadopsian IFRS.
Sejumlah penelitian lain lebih difokuskan pada konsekuensi ekonomi yang
disebabkan pengadopsian IFRS. Daske et al. (2008) menyatakan penurunan harga
modal perusahaan dan meningkatnya penilaian ekuitas, tetapi hanya ketika
kemungkinan akuntansi terjadi sebelum tanggal resmi adopsi. Mereka juga
menunjukkan bahwa terdapat manfaat pasar modal di negara yang perusahaannya
memiliki insentif untuk menjadi transparan dan penegakan hukumnya kuat.
Demikian pula, Li (2010) menyatakan bahwa pengurang biaya ekuitas hanya
terjadi pada negara-negara yang memiliki penegakan hukum yang kuat dan
pengungkapan informasi meningkat dibandingkan dengan dua mekanisme dibalik
penurunan ini.
Bagi auditor, kerumitan dari pengimplementasian IFRS dan kurangnya
persiapan klien potensial dapat meningkatkan ketidaktentuan dan resiko bagi
catatan audit perusahaan. Sebagai contoh, Hoogendoorn (2006) berpendapat
bahwa perusahaan memiliki salah pengertian tentang kompleksitas, dampak dan
biaya atas IFRS (sumber lain Jermakowicz dan Gornik-Tomaszewski, 2006). Pada
negara Uni Eropa ada beberapa bukti atas persiapan masa transisi ke IFRS
(PricewaterhouseCoopers, 2004; ICAEW,2004). Negara Finlandia dalam masa
transisinya ke IFRS menyatakan memerlukan biaya besar untuk perusahaan yang
diaudit dan untuk perusahaan auditor sendiri (Kementerian Perdagangan dan
Industri 2003b; KPMG 2006). Misalnya, untuk meningkatkan kualitas audit dan
assurance, KPMG Finlandia mendirikan tim audit khusus IFRS bagi kliennya
32
(KPMG, 2009). Selanjutnya, dibandingkan dengan GAAP lokal, IFRS lebih
menjanjikan dalam penilaian oleh pihak manajemen dalam memutuskan
bagaimana mereka akan mematuhi IFRS (Marden dan Brackney, 2009). Penelitian
baru-baru ini (Street, Gray dan Bryant, 1999; Street dan Bryant 2000; Glaum dan
Street, 2003) memiliki bukti yang signifikan dalam ketidakpatuhan atas
pengungkapan IFRS diberbagai daerah. Hodgdon et al (2009) menunjukkan
bahwa hukum audit (AICPA) memainkan peran penting dalam aturan IFRS.
Perubahan signifikan akuntansi, dari standar akuntansi lokal menjadi IFRS
menambah resiko klien dan lebih menyita waktu dalam pengauditan untuk
auditor.
Hasil para peneliti yang bertentangan ini, mendorong peneliti menguji
secara empiris perbedaan earnings quality sebelum dan sesudah dari standar
akuntansi baru (IFRS), yang diukur dengan menurunnya earnings management
dan meningkatnya value relevance. Pengaruh IFRS yang menurunkan (pengaruh
negatif) earnings management merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
kualitas laba. Sedangkan pengaruh IFRS yang meningkatkan (pengaruh positif)
value relevance juga menandai kualitas laba yang lebih baik.
33
Gambar 2.2
Kerangka Pemikiran
Sebelum
Pengadopsian
IFRS
Earnings Quality :
IFRS
Earnings Management
dan Value Relevance
Setelah
Pengadopsian
IFRS
Download