BAB II LANDASAN TEORI A. International Financial Reporting Standards (IFRS) dan Kualitas Akuntansi (Accounting Quality) Standar Pelaporan Keuangan Internasional (International Financial Reporting Standards – IFRS) merupakan peraturan yang digunakan sebagai panduan untuk pelaporan keuangan secara global. The International Accounting Standars Committee (IASC), yang didirikan pada tahun 1973 dan telah diubah menjadi the International Accounting Standars Board (IASB) pada 2001, bertanggung jawab untuk menyusun standar akuntansi internasional yang dikenal dengan nama terdahulu International Accounting Standards (IAS), yang kini menjadi bagian dari International Financial Reporting Standards (IFRS) serta mendorong penggunaan dan pengaplikasian atas standar tersebut. Demi pengakuan kualitas dari IFRS di seluruh dunia, di awal tahun 2000, Organisasi Internasional Komisi Pasar Modal (the International Organization of Securities Commissions - IOSOC) menyatakan otoritas pasar modal dunia untuk mengizinkan emiten asing menggunakan IAS (International Accounting Standard) dalam penerbitan saham internasional (lintas dunia), dan hingga saat ini, lebih dari 100 negara mewajibkan atau mengizinkan untuk menggunakan IFRS (International Financial Reporting Standard), dan telah memiliki ketepatan waktu dalam pengadopsian standar ini. Globalisasi sektor keuangan dan bisnis telah menyebabkan lebih dari 12.000 perusahaan di hampir seratus negara untuk mengadopsi IFRS. Komisi Uni Eropa, 7 8 telah mengadopsi “IAS Regulation” pada 2002, dan mewajibkan semua perusahaan yang terdaftar di Uni Eropa untuk menggunakan IFRS pada laporan keuangan konsolidasi tahun 2005. Dengan demikian, banyak perusahaan Uni Eropa yang telah siap untuk melaporkan secara sukarela (atau didorong secara profesional) dibawah IAS sebelum tahun 2005. Australia, Selandia Baru dan Israel pada dasarnya telah mengadopsi IFRS sebagai standar mereka. Brasil mulai menggunakan IFRS di tahun 2010. Kanada mengadopsi IFRS secara penuh pada tanggal 1 januari 2011. Meksiko menggunakan IFRS untuk semua entitas yang terdaftar di negaranya pada tahun 2012. Jepang dalam usahanya mencapai konvergensi IFRS mengizinkan perusahaan domestik tertentu untuk menerapkan IFRS pada tahun fiskal mulai 1 April 2010. Keputusan mengenai penggunaan wajib IFRS di Jepang dilakukan sekitar tahun 2012. Hong Kong telah mengadopsi standar nasional yang setara dengan IFRS dan Cina sedang mengkonversi standar akuntansinya dengan IFRS. Negara-negara lain telah memiliki rencana untuk mengadopsi IFRS atau mengkonvergensi standar nasional mereka dengan IFRS (AICPA, 2011). IFRS dipercaya menjadi satu peraturan akuntansi berkualitas tinggi yang ideal untuk diterapkan secara konsisten oleh perusahaan publik secara global dengan tujuan perusahaan dapat memastikan bahwa mereka diterima oleh pasar saham diseluruh dunia (IASB 2009). Walaupun tidak ada konsensus tentang standar akuntansi berkualitas tinggi (high-accounting quality), IFRS dianggap menjadi standar akuntansi dengan kualitas tinggi karena mewakili praktik akuntansi terbaik di dunia dan dianggap menjadi lebih berorientasi terhadap pasar 9 saham dibandingkan standar akuntansi domestik (Ding et al. 2007). Berdasarkan prinsip-prinsip IFRS (Carmona dan Trombetta, 2008), perusahaan termotivasi melakukan pelaporan inforrnasi akuntansi yang lebih baik dalam mencerminkan perekonomian perusahaan dan karena itu, dilakukan pengenalan transparansi IFRS yang lebih besar (Maines et al. 2003). Hal ini mengemukakan bahwa adopsi IFRS berhubungan dengan kualitas akuntansi dan penelitian Barth et al (2008) merupakan bukti yang tepat untuk mendukung pandangan ini. Dengan menguji perusahaan-perusahaan dari 21 negara, barth et al. (2008) menunjukkan bahwa perusahaan yang mengadopsi IFRS secara sukarela mengalami penurunan dalam earnings management, dan lebih tepat waktu dalam pengakuan kerugian, serta lebih besar nilai relevansi atas laba akuntansi. Pernyataan Barth et al. (2008) memberikan dukungan terhadap pendapat bahwa perusahaan yang mengadopsi IFRS memiliki kualitas yang lebih tinggi daripada perusahaan-perusahaan yang menerapkan standar akuntansi GAAP lokal. Selanjutnya, kualitas akuntansi juga dikatakan mengalami peningkatan setelah perusahaan-perusahaan mengganti standar akuntansi GAAP lokal menjadi IFRS. Secara keseluruhan, bukti-bukti penelitian atas kualitas akuntansi menyatakan bahwa terjadi peningkatan kualitas akuntansi akibat pengadopsian IFRS secara sukarela di seluruh dunia. Motivasi negara-negara Uni Eropa dan Asia dalam mengadopsi IFRS adalah, dengan mengadopsi IFRS, bisnis perusahaan dapat menyediakan laporan keuangan yang berstandar sama dengan kompetitor asing, hal ini membuat perbandingan menjadi lebih mudah. Selanjutnya, perusahaan dengan anak perusahaan di negara-negara yang membutuhkan atau mengizinkan IFRS dapat 10 menggunakan satu bahasa akuntansi company-wide. Sebuah anak perusahaan perlu mengkonversi IFRS jika induk perusahaan menggunakan IFRS di negaranya, atau jika perusahaan memiliki investor asing yang harus menggunakan IFRS. Karena itu, perusahaan mungkin saja akan mendapat keuntungan bila mengadopsi IFRS ternyata dapat menambah modal luar negeri. B. International Financial Reporting Standards (IFRS) dan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) Badan pengatur standar akuntansi di Indonesia adalah Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) yang merupakan lembaga dibawah Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Dalam hukum Indonesia, baik sektor pemerintah maupun perusahaan swasta harus mematuhi standar akuntansi yang dikeluarkan oleh DSAK-IAI. Tujuan Indonesia dalam mengadopsi IFRS adalah untuk memperbaiki standar pelaporan nasional (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan – PSAK) dan mengkonvergensinya secara bertahap dengan tujuan untuk meminimalisasi psychological impact (IASplus – Deloitte dalam Dima, David and Paiusan, 2010). Tahap pertama dari pengadopsian IFRS telah dilaksanakan pada tahun 2008 sampai 2010. Tahap kedua, yang merupakan masa transisi dari PSAK berbasis US GAAP menjadi PSAK berbasis IFRS dilaksanakan pada tahun 2011. Tahap ketiga, yaitu tahap pengimplementasian IFRS yang dilaksanakan pada tahun 2012. Dalam IFRS framework paragraph 46, penggunaan nilai wajar dalam laporan keuangan mengharuskan pelaporan keuangan perusahaan disajikan dengan basis ’true and fair’, artinya pengungkapan atas laporan keuangan harus 11 memberikan pengakuan, pengukuran, penyajian dengan pandangan yang benar (informasi yang diberikan obyektif dan tidak bias) dan adil. Menurut ketua Tim Implementasi IFRS-Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Dudi M Kurniawan yang dimuat harian kompas tanggal 6 mei 2010 (Harry dan Ludovikus, 2010) mengatakan, dengan mengadopsi IFRS, Indonesia akan mendapatkan tujuh manfaat sekaligus, yaitu : 1. Meningkatkan kualitas standar akuntansi keuangan (SAK). 2. Mengurangi biaya SAK. 3. Meningkatkan kredibilitas dan kegunaan laporan keuangan. 4. Meningkatkan komparabilitas pelaporan keuangan. 5. Meningkatkan transparansi keuangan. 6. Menurunkan biaya modal dengan membuka peluang penghimpunan dana melalui pasar modal. 7. C. Meningkatkan efisiensi penyusunan laporan keuangan. Dasar Perbedaan antara GAAP lokal (PSAK) dan IFRS Banyaknya manfaat dari pengadopsian IFRS , tidak terlepas dari adanya perbedaan yang signifikan antara IFRS dan US GAAP (basis PSAK sebelumnya), misalnya, IFRS tidak mengijinkan metode Last In First Out (LIFO) sebagai metode penilaian persediaan, IFRS menerapkan adanya revaluasi (revaluation model) pada penilaian aktiva dalam keadaan tertentu, IFRS menggunakan single step method untuk penghapusan penurunan nilai (impairment) daripada two step method yang digunakan US GAAP, sehingga membuat penghapusan lebih 12 mungkin, selanjutnya, IFRS juga mensyaratkan kapitalisasi biaya pengembangan, ketika kriteria tertentu terpenuhi. Adapun perbedaan dasar antara IFRS dengan PSAK berlandaskan US GAAP adalah : 1. Nilai wajar Terdapat beberapa karakteristik IFRS yang membedakannya dengan US GAAP, pertama yaitu adanya penerapan nilai wajar (fair value) yang diatur secara khusus di IFRS 13, dengan ruang lingkup seperti aset tetap (PSAK 16), properti investasi (PSAK 13), instrumen keuangan (PSAK 50,55,60), aset tak berwujud (PSAK 19), penurunan nilai aset tidak lancar dimiliki untuk dijual dan operasi yang dihentikan (PSAK 48, 58). Sebelumnya, US GAAP menerapkan nilai historis (historical cost) untuk penilaian asetnya. Nilai historis (historical cost) adalah jumlah kas atau setara kas yang dibayarkan atau nilai wajar imbalan lain yang diserahkan untuk memperoleh aset pada saat perolehan atau konstruksi, atau jika dapat diterapkan jumlah yang dapat diatribusikan langsung ke aset pada saat pertama kali diakui sesuai dengan persyaratan tertentu didalam PSAK lain (Ari Dewi, 2011). Kelebihan dari nilai historis ini adalah dipercaya lebih relevan dalam membuat keputusan ekonomi; selama sejarah, laporan keuangan yang menggunakan nilai historis sangat berguna; nilai historis berdasarkan pada transaksi yang sesungguhnya, tidak pada kemungkinan; dan nilai historis merupakan pengertian terbaik mengenai konsep keuntungan dari harga jual (Yolinda, 2010). Disamping kelebihan dari nilai historis, terdapat 13 kelemahannya, yaitu pengungkapannya yang kurang mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan perubahan nilai mata uang dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, harga tanah pada 30 tahun yang lalu lebih tinggi dibandingkan harga perolehan yang dicatat di neraca, hal ini terjadi karena nilai historis hanya dapat digunakan jika kondisi ekonomi normal (tidak terjadi inflasi). Karena kelemahan atas nilai historis diatas, maka digunakan nilai wajar untuk mengatasinya. Nilai wajar (fair value) dalam IFRS 13 diartikan sebagai harga yang diterima atas penjualan aset atau pembayaran untuk mentransfer liabilitas dalam transaksi antar pihak yang berkepentingan pada tanggal pengukuran (Dwi Martani, 2012). Penentuan nilai wajar sendiri dilakukan dengan kuotasi harga di pasar aktif, namun, jika pasar tidak aktif, maka menggunakan teknik lain seperti menggunakan transaksi-transaksi pasar terkini yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mengerti atau menyewa jasa penilai, dan bilamana ada, mencari referensi atas nilai wajar terkini dari instrumen lain yang secara substansial sama, seperti menganalisis arus kas yang didiskonto (discounted cash flow analysis), dan model penetapan harga opsi (option pricing model). Meskipun bermaksud baik, namun perkiraan manajemen tentang nilai wajar bisa menjadi salah dalam memprediksi dan asumsi yang salah serta memberi kesempatan dan ketidakjujuran manajemen dalam mengambil keuntungan dari penilaian dan estimasi yang digunakan untuk proses manipulasi angka laba yang diinginkan. Namun, ada beberapa keuntungan 14 dari nilai wajar ini, yaitu pengungkapan dengan nilai wajar menyebabkan relevansi laporan keuangan meningkat, karena mengungkapkan keadaan yang sebenarnya. 2. Principle Based Sebelum adanya konvergensi PSAK ke IFRS, PSAK yang berlandaskan US GAAP berbasis rule based, yang berarti segala sesuatu diatur dalam batasan-batasan. Contohnya, sesuatu materialitas ditentukan misalkan diatas 75% dianggap material dan ketentuan-ketentuan jelas lainnya. Standar rule based ini akan meningkatkan konsistensi dan keterbandingan antar perusahaan dan antar waktu, namun di sisi lain mungkin kurang relevan karena ketidakmampuan standar merefleksi kejadian ekonomi entitas yang berbeda antar perusahaan dan antar waktu. Beda halnya dengan US GAAP yang menggunakan rule based, standar akuntansi IFRS menggunakan principle based, yang mana berisi prinsip-prinsip yang dapat dijadikan bahan pertimbangan Akuntan / Manajemen perusahaan sebagai dasar acuan untuk kebijakan akuntansi perusahaan. Namun kelemahannya, principle based sangat memerlukan penalaran, judgement, dan pemahaman yang cukup mendalam dari pembaca aturan dalam menerapkannya. Standar semacam ini konsisten dengan tujuan pelaporan keuangan untuk dapat menggambarkan kejadian yang sesungguhnya di perusahaan. Standar berbasis prinsip memberi keunggulan dalam hal memungkinkan manajer memilih perlakuan akuntansi yang merefleksikan transaksi atau kejadian ekonomi yang mendasarinya, 15 meskipun hal sebaliknya dapat terjadi. Standar berbasis prinsip memungkinkan manajer, anggota komite audit, dan auditor menerapkan judgment profesionalnya untuk lebih fokus pada merefleksi kejadian atau transaksi ekonomi. 3. Pengungkapan (Disclosure) Yang Lebih Banyak Baik Kuantitatif Maupun Kualitatif Standar IFRS mengandung pedoman pengungkapan informasi secara kuantitatif maupun kualitatif dengan maksud untuk memberikan suatu panduan penyajian dan pengungkapan yang terstandarisasi dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip pengungkapan penuh (full disclosure), sehingga dapat memberikan kualitas penyajian dan pengungkapan yang memadai bagi pengguna informasi yang disajikan dalam laporan keuangan perusahaan. Prinsip pengungkapan penuh (full disclosure) mengakui bahwa penyajian informasi dalam laporan keuangan baik jumlah maupun sifat, harus memenuhi kaidah keseimbangan antara manfaat dan biaya. Tingkat pengungkapan yang makin mendekati pengungkapan penuh (full disclosure) akan mengurangi tingkat asimetri informasi (ketidakseimbangan informasi) antara manajer dengan pihak pengguna laporan keuangan. Asimetri informasi adalah kondisi dimana manajer memiliki informasi internal lebih banyak dibandingkan dengan pihak lain (pemegang saham dan stakeholder). Jika dikaitkan dengan nilai perusahaan, ketika terdapat asimetri informasi, manajer dapat memberikan informasi 16 mengenai kondisi perusahaan kepada investor untuk memaksimisasi nilai saham perusahaan. D. Earnings Quality (Kualitas Laba) Earnings quality merupakan subjek yang mendapatkan perhatian lebih beberapa tahun belakangan dan menjadi hal yang di perdebatkan oleh regulator (pembuat peraturan) dan para investor serta para peneliti akuntansi. Hal ini dikarenakan tidak adanya kesepakatan atas definisi earnings quality dalam literatur akuntansi. Namun, menurut Chandrarin (2003) dalam fendy (2011) laba akuntansi yang berkualitas adalah laba akuntansi yang mempunyai sedikit atau tidak mengandung gangguan persepsian di dalamnya dan dapat mencerminkan kinerja perusahaan yang sesungguhnya. Earnings quality atau kualitas laba merupakan salah satu aspek penting dalam mengevaluasi kesehatan finansial sebuah entitas, baik bagi investor, kreditor maupun pengguna laporan keuangan lainnya. Earnings quality memiliki kemampuan untuk mencerminkan laba perusahaan yang sebenarnya serta berguna pula dalam memprediksi laba dimasa depan. Earnings quality dapat menjadi ukuran kestabilan, ketekunan dan kurangnya variabilitas dalam melaporkan laba. Mengevaluasi laba seringkali menghadapi kesulitan, dikarenakan perusahaan menggunakan satu variabel dari angka laba, seperti, pendapatan, laba operasi, laba bersih dan pro forma earnings. 17 Dalam penelitian ini, earnings quality yang secara luas digunakan dalam literatur akuntansi akan diuji, yaitu manajemen laba (earnings management) yang diukur dengan earnings smoothing, accruals quality dan the magnitude of discretionary accruals, serta pengukuran earnings quality dengan value relevance. 1. Manajemen Laba (Earnings Management) Earnings management diakui sebagai upaya manajemen untuk mempengaruhi atau memanipulasi laba yang dilaporkan dengan metode akuntansi tertentu (atau mengubah metode), menunda atau mempercepat transaksi biaya atau pendapatan, atau menggunakan metode lain yang dirancang untuk mempengaruhi laba jangka pendek. Ada beberapa definisi tentang earnings management, berikut definisi dari literatur akademis. Schiper (1989) mendefenisikan earnings management sebagai intervensi terarah dalam proses pelaporan keuangan eksternal, dengan tujuan untuk mendapatkan beberapa keuntungan pribadi. Definisi umum kedua diberikan oleh Healy dan Wahlen (1999), mereka mendefinisikan bahwa earnings management terjadi ketika manajemen menggunakan penilaian dalam pelaporan keuangan dan penataan transaksi untuk mengubah laporan keuangan sehingga dapat menyesatkan pemegang saham dalam menilai kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil kontrak yang bergantung pada laporan angka akuntansi. 18 Motivasi yang melatarbelakangi dilakukannya earnings management adalah untuk memenuhi perkiraan analis sehingga menghindari penurunan saham, untuk meningkatkan bonus dan / atau untuk menghindari pelanggaran perjanjian hutang (kontrak), untuk mempertahankan atau meningkatkan reputasi manajemen, untuk mengurangi atau mengelola hutang pajak penghasilan jika dapat meminimalkan pendapatan yang dilaporkan. Perubahan CEO juga menjadi salah satu motivasi earnings management, hal ini dikarenakan untuk mengurangi kemungkinan dipecat, untuk mengurangi kemungkinan pengambilalihan atau karena mereka mendekati pensiun. Menurut Setiawati dan Na’im (2000) dalam Meriam (2013), terdapat tiga cara untuk melakukan earnings management, yaitu : 1. Accounting estimates, akuntansi untuk perusahaan bisnis sangat memerlukan penilaian dan perkiraan (judgment dan estimates). Sebagai contoh, untuk perkiraan jumlah piutang yang tidak terbayarkan (uncollectible account receivable) dan berapa banyak barang yang akan diretur, dsb. Keleluasaan manajemen untuk memperkirakan angka-angka akuntansi ini memberi kesempatan kepada mereka untuk memanipulasi laba (earnings management). 2. Timing of transaction, menggeser periode biaya atau pendapatan dengan cara mempercepat atau menunda pengeluaran research pada periode berikutnya, mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai periode berikutnya, mempercepat atau menunda 19 pengiriman produk ke pelanggan, mengatur penjualan aset tetap perusahaan. 3. Accounting choices (metode akuntansi), mengubah metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi. Misalnya, mengubah depresiasi aset tetap dari metode jumlah angka tahun ke metode garis lurus. a. Earnings Smoothing Earnings smoothing merupakan special case dari earnings management (manipulasi laba). Earnings smoothing atau perataan laba adalah pengurangan yang disengaja terhadap fluktuasi pada beberapa level laba supaya dianggap normal bagi perusahaan (Barnea et al, 1976) dalam Harry (2012). Koch (1981) dalam Harry (2012) menyatakan bahwa perataan laba merupakan alat yang digunakan oleh manajemen untuk mengurangi besarnya variabilitas pendapatan atau laba yang dilaporkan untuk tujuan tertentu dengan cara memanipulasi variabel artifical (akuntansi) atau variabel real (transaksi). Harry (2012) menyatakan bahwa praktik perataan laba adalah upaya menstabilkan laba dimana tidak banyaknya variance dari satu periode ke periode lain sehingga dinilai sebagai prestasi baik. Definisi earnings smoothing menurut Sahening (2013) adalah usaha untuk memperkecil jumlah laba yang dilaporkan jika laba aktual lebih besar dari laba normal, dan usaha untuk memperbesar jumlah laba yang dilaporkan jika laba aktual lebih kecil dari laba normal. Selain itu, perataan laba didefinisikan sebagai pengurangan yang disengaja terhadap fluktuasi 20 pada beberapa level laba supaya dianggap normal bagi perusahaan (Sahening, 2013). Praktik earnings smoothing dilakukan manajemen perusahaan yang dapat menyebabkan pengungkapan laba dilaporan keuangan menjadi tidak memadai, bahkan terkesan menyesatkan. Hal ini berakibat investor tidak memiliki informasi yang akurat tentang laba, sehingga investor gagal dalam menaksir risiko mereka. Menurut Anshari dkk (1994) dalam Sahening (2013), tindakan earnings smoothing merupakan tindakan yang logis dan rasional bagi manajer untuk meratakan laba dengan menggunakan cara atau metode akuntansi tertentu, alasannya antara lain pertama, rekayasa untuk mengurangi laba dan menaikkan biaya pada periode berjalan dapat mengurangi hutang pajak. Kedua, tindakan earnings smoothing dapat meningkatkan kepercayaan investor, karena mendukung kestabilan penghasilan dan kebijakan dividen sesuai dengan keinginan. Ketiga, tindakan earnings smoothing dapat mempererat hubungan antara manajer dan karyawan, karena dapat menghindari permintaan kenaikan upah/gaji oleh karyawan/pekerja. Dan keempat, tindakan earnings smoothing memiliki dampak psikologis pada perekonomian, dimana kemajuan dan kemunduran dapat dibandingkan dan gelombang optimisme dan pesimisme dapat ditekan. Menurut Eckel (1981) dalam Sunarto (2008) earnings smoothing dibedakan menjadi dua streams : naturally smooth dan intentionally smoothed by management. Pada stream pertama, dinyatakan bahwa 21 earnings smoothing terjadi secara alami (naturally), dan merupakan proses yang melekat (inherently) menghasilkan smooth income stream; sedangkan pada stream kedua, earnings smoothing terjadi karena manajemen menggunakan teknik real smoothing atau artificial smoothing. Real smoothing terjadi ketika manajemen mengambil tindakan (actions) nyata dengan mengatur (menunda atau mempercepat) transaksi pada saat struktur ekonomi (revenue generating) menghasilkan earnings smoothing. Sedangkan artificial smoothing terjadi ketika manajemen memanipulasi timing akuntansi untuk menghasilkan earnings smoothing, contohnya memindahkan biaya atau pendapatan dari satu periode ke periode lainnya dengan mengubah kebijakan akuntansi (Sahening, 2013). Moses (1987) dalam Sunarto (2008) juga menyatakan bahwa dalam literatur income smoothing, manajemen lebih banyak menggunakan metode akuntansi untuk mengurangi fluktuasi laba daripada memaksimalkan atau meminimalkan laba. 22 Gambar 2.1 Earnings Smoothing Type Smooth Earnings Stream Intentionally Smoothed By Management real smoothing naturally smooth artificial smoothing Sumber : Norm Eckel, 1981, The Income Smoothing Hypothesis Revisited, Abacus Vol 17, No 1 (dikutip dari Sallno dan Baridwan, 2000 dalam Sahening, 2013) b. Accruals Quality Akuntansi yang berbasis akrual memiliki fleksibelitas dalam perusahaan. Subramanyam (1996) dalam Maria (2012) menyatakan bahwa akibat kefleksibelan ini kebijakan manajemen akan meningkatkan nilai informasi dalam earnings, karena adanya kemungkinan untuk memasukkan informasi private. Lebih lanjut, akan ada kemungkinan untuk mengatur besaran laba. Akibatnya akrual bisa menjadi salah kaprah dan tidak benarbenar menunjukkan kinerja perusahaan di masa depan. 23 Menurut Bernstein (1993) pada artikel Sloan (1996) dalam Alexander dan Zaki (2012) mengungkapkan bahwa semakin tinggi arus kas operasi terhadap laba bersih, berarti semakin tinggi kualitas laba tersebut; dan sebaliknya perusahaan dengan laba bersih yang tinggi namun arus kas rendah, mengindikasikan adanya pengakuan laba atau pengeluaran akrual. c. The Magnitude of Discretionary Accruals Sebagian besar penelitian menggunakan agregat akrual untuk mendeteksi Earnings Management. Model penelitian yang seringkali digunakan yaitu model Jones (1991) untuk mengestimasi akrual yang diharapkan, membandingkan estimasi akrual dengan akrual yang sebenarnya dan menggunakan perbedaannya sebagai proxy untuk mendeteksi earnings management Akrual seringkali digunakan untuk mengurangi masalah atas ketepatan waktu dan kebenaran, namun hal ini merupakan keinginan manajemen. Investor dapat menggunakan informasi keuangan sebagai dasar pengambilan keputusan mereka. Laba merupakan fokus dari investor, karena tujuan investor adalah untuk memaksimalkan kekayaan mereka. Biasanya, investor menggunakan laba untuk mengukur kinerja dan menyesuaikan keputusan investasi mereka berdasarkan informasi yang tersedia. Namun, manajer juga dapat menggunakan akrual untuk mengatur laba (memanipulasi) dengan tujuan untuk memenuhi atau mengalahkan ekspektasi analisa keuangan atau insentif lainnya. 24 Penelitian dengan menggunakan total akrual telah digunakan oleh Healy (1985) dan DeAngelo (1986) untuk model kerangka mendeteksi earnings management. Healy (1985) berpendapat bahwa discretionary accruals merupakan komponen akrual yang dapat diatur dan direkayasa sesuai dengan kebijakan manajerial, Healy menyatakan bahwa non discretionary accruals merupakan akrual yang tidak dapat dikelola dan diatur oleh manajer seperti halnya discretionary accruals, maka dari itu, ia tidak meyertakan non discretionary accruals karena menurutnya non discretionary accruals tidak dapat di observasi dilaporan keuangan. Model penelitian ini dimulai dengan mencari total akrual (TA). Perhitungan total akrual dengan pendekatan laporan kinerja keuangan dan laporan arus kas dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Sloan, 1996) TACC = Earnt - CFOt TACC = Total Accruals EARN = Earnings CFO = Arus Kas Operasi Model Healy (1985) NDAC = 0 sehingga TACC = NDAC Dimana : NDAC = Non Discretionary Accruals 25 Berdasarkan metode Healy sebelumnya, DeAngelo (1986) membuat perubahan kecil dengan asumsi non-discretionary accrual tetap konstan sepanjang waktu, dengan kata lain, DeAngelo menyatakan bahwa tidak ada earnings management dalam asumsi ini. Namun, asumsi ini tidak realistis, sebagai contoh, Kaplan (1985) dan McNichols (2000) berpendapat jika sebuah perusahaan berkembang maka non-discretionary accruals akan lebih besar, sehingga perusahaan harus bervariasi dalam menanggapi perubahan kondisi ekonomi karena sifat dari proses akuntansi akrual. Model DeAngelo (1986) NDACt = TACCt-1 Dimana : NDACt = Estimasi Non Discretionary Accruals TACCt-1 = Total akrual dibagi total aktiva 1 tahun sebelum tahun t Model Jones menggunakan perubahan total akrual dari periode pelaporan untuk proxy non-discretionary accruals yang diharapkan dalam periode tersebut. Beberapa fitur yang dominan dari model ini adalah: (a) melemahkan asumsi bahwa akrual non-discretionary tetap konstan sepanjang waktu, (b) usaha untuk mengkontrol dampak perubahan di dalam keadaan ekonomi perusahaan pada non-discretionary accruals. Jones (1991) menyatakan, laba bisa menjadi faktor utama peningkatan akrual lancar, sedangkan properti, tanah dan peralatan merupakan faktor utama akrual tidak lancar. 26 Model Jones (1991) NDACt = α1 (1/At-1) + α2 (∆REVt/At-1) + α3 (PPEt/At-1) Dimana : ∆REVt = Pendapatan pada tahun t dikurangi pendapatan pada tahun t-1 dibagi total aktiva tahun t-1 PPEt = Gross property plan and equipment pada tahun t dibagi total aktiva tahun t-1 At-1 = Total aktiva tahun t-1 α1, α2, α3 = Parameter spesifik parameters perusahaan Firm-specific Dechow, Sloan dan Sweeney (1995) mencoba memodifikasi beberapa model Jones yang hampir menyerupai dengan model Jones, yaitu melemahkan asumsi bahwa non-discretionary accruals konstan dari waktu ke waktu, dengan menyesuaikan faktor penentu atas perubahan pendapatan dan juga perubahan piutang bersih untuk mengestimasi non discretionary accruals pada periode yang berjalan (i.e periode yang diduga ada manipulasi laba didalamnya). Model ini mengasumsikan bahwa perusahaan yang melakukan penjualan kredit akan lebih mudah memanipulasi laba daripada perusahaan yang melakukan penjualan secara tunai. Model Modifikasi Jones (1995) NDACt = α1 (1/At-1) + α2 ( [∆REVt - ∆RECt] / At-1) + α3 ( PPEt/At-1) Dimana : ∆RECt = Piutang bersih (net receivable) pada tahun t dikurangi piutang bersih pada tahun t-1 dibagi total aktiva tahun t-1 27 2. Nilai Relevansi (Value Relevance) Relevansi nilai (value relevance) adalah kemampuan informasi akuntansi untuk menjelaskan nilai perusahaan. Sejumlah nilai akuntansi dikatakan memiliki value relevant jika secara signifikan berkaitan dengan variabel dependen (Beaver, 2002). Konstruk terakhir dalam earnings quality ini mempertimbangkan hubungan antara harga saham (P) dengan return saham (EPS) dan nilai buku per saham (BVPS). Nilai relevansi yang diukur dengan return saham dan nilai buku per saham yang relevan menyebabkan perubahan harga saham karena dengan adanya informasi tersebut menyebabkan investor merevisi ekspektasinya. Nilai relevansi didefinisikan sebagai kemampuan informasi yang disajikan oleh laporan keuangan untuk menggambarkan dan meringkas nilai perusahaan. Nilai relevansi dapat diukur dengan hubungan statistik antara informasi yang disajikan di laporan keuangan dengan nilai pasar saham atau returns (Suadiye, 2012). Meskipun konsep ini bukan konsep yang baru, istilah value relevance digunakan oleh Amir et al. untuk pertama kalinya pada tahun 1993 dalam literatur terkait (Carnevale et al., 2009; Suadiye, 2012). Penelitian Ball dan Brown (1968) menyajikan hubungan antara return saham dan laba (Suadiye, 2012). Ohlson (1995) meneliti hubungan nilai pasar terhadap data akuntansi perusahaan (laba, nilai buku dan dividen). 28 E. Kerangka Pemikiran Standar pelaporan keuangan internasional (International Financial Reporting Standards – IFRS) mensyaratkan kepada perusahaan yang mengadopsi IFRS untuk mengungkapkan berbagai informasi tentang risiko baik kualitatif maupun kuantitatif. Pengungkapan yang full disclosure akan mengurangi ketidakseimbangan informasi antara manajemen perusahaan dengan para pengguna laporan keuangan. Ketidakseimbangan informasi merupakan kondisi dimana perusahaan memiliki informasi yang superior dibandingkan pihak lain. Perubahan standar internasional dari GAAP menjadi IFRS di berbagai belahan dunia merupakan jawaban atas meningkatnya keperluan pelaporan keuangan yang berkualitas tinggi setelah diadopsi oleh perusahaan publik, sebagai kontribusi yang efisien dan manfaat harga efektif dari modal pasar dengan tujuan melindungi investor dan memelihara kepercayaan pasar keuangan, terakhir yaitu untuk meng-improve standar akuntansi persaingan pasar modal global. IFRS yang menganut berbasis prinsip berpengaruh terhadap meningkatnya transparansi, akuntabilitas dan keterbandingan laporan keuangan antar entitas secara global sangat berbeda dengan PSAK yang menganut standar akuntansi berbasis aturan, sehingga IFRS dapat meyakinkan investor akan informasi keuangan perusahaan. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa standar akuntansi dapat menambah nilai informasi akuntansi dalam memajukan perekonomian (Hung dan Subramanyam, 2007; Bartov et al, 2005). Namun, tidak jelas apakah manfaat tersebut juga berlaku untuk mengembangkan atau transitional economics. Pada 29 negara berkembang, relatif sedikit bukti empiris yang menunjukkan bahwa standar akuntansi lokal dapat meningkatkan kualitas informasi akuntansi. Bukti terbaru menunjukkan bahwa informasi akuntansi kurang bermanfaat pada keadaan pasar. Misalnya, Ball dkk. (2000) menemukan bahwa terjadi transparansi laba yang rendah pada Hong Kong, Malaysia, Singapura dan Thailand. Mereka berpendapat bahwa hal ini disebabkan lemahnya penegakan standar akuntansi di masing-masing negara. Penelitian ini menunjukkan, sistem hukum yang lemah dan kurangnya standar akuntansi dan transisi infrastruktur ekonomi pasar modal, negara berkembang mungkin menghadapi masalah yang berat dalam mengawasi keputusan manajemen perusahaan. Pengenalan prinsip dan praktik akuntansi internasional di negara berkembang telah terbukti dapat meningkatkan likuiditas pasar, yaitu dengan berkurangnya biaya transaksi dan membaiknya efisiensi harga (Feldman dan Kumar, 1995). Hal ini masih merupakan pertanyaan besar apakah penerapan standar akuntansi internasional dapat meningkatkan kualitas informasi akuntansi dan mengurangi tingkat earnings management. Eccher dan Healy (2003) membandingkan value relevance pada informasi akuntansi yang disusun berdasarkan IAS dan standar akuntansi Cina. Penelitian ini menyatakan bahwa informasi akuntansi yang disusun berdasarkan IAS variabel value relevan tidak lebih baik daripada standar akuntansi Cina untuk saham perusahaan yang dimiliki investor asing. Hal ini dikarenakan kurangnya kontrol dan infrastruktur yang efektif untuk memonitor pelaporan keuangan dibawah standar IAS, pernyataan yang sama juga dikemukakan oleh Ball et al. (2000). 30 Belakangan ini, terdapat beberapa bukti empiris berkaitan kewajiban standar IFRS pada earnings quality di Uni Eropa yang mana periode pengadopsian terhadap IFRS relatif singkat. Capkun et al. (2008) menganalisa sampel 1.722 perusahaan Uni Eropa, dimana awalnya pengadopsian IFRS tidak di izinkan dan menyatakan bahwa pengelolaan laba perusahaan meningkat selama periode transisi IFRS (2004 – 2005). Selain itu, perusahaan membuktikan bahwa angka akuntansi berdasarkan IFRS dari pada standar akuntansi domestik (UE GAAP) lebih value relevant dalam konteks dunia internasional. Hal serupa dinyatakan pula oleh Jeanjean dan Stolowy (2008) yang menunjukkan bahwa meluasnya earnings management di Prancis dan tetap stabil untuk negara Inggris dan Australia setelah transisi ke IFRS. Berdasarkan referensi negara Spanyol, Callao et al (2007) tidak menemukan begitu banyak perbedaan nilai relevan pada angka akuntansi berdasarkan Spanish-GAAP dan juga berdasarkan IFRS. Menggunakan data dari tahun 2003 sampai 2006, Paananen (2008) lebih mengikuti metodelogi yang digunakan oleh Barth et al (2008) dan membandingkan earnings quality saat sebelum dan sesudah pengadopsian IFRS. Peneliti tidak menemukan banyak bukti atas perubahan kualitas akuntansi di Swedia lebih dari satu sampai dua tahun setelah pengadopsian IFRS. Hal ini menarik, karena dokumen peneliti menyatakan kualitas pelaporan keuangan telah mengikuti peraturan pengadopsian. Christensen et al. (2008) menyatakan bahwa penerapan IFRS berdampak menurunnya earnings smoothing dan mundurnya timeliness dalam hal sukarela dan bukan untuk pengadopsian pada Jerman. Bukti ini memperjelas penelitian 31 Gunther et al. (2009), yang menyatakan bahwa value relevance tidak berubah pada sukarela atau transisi pengadopsian IFRS. Sejumlah penelitian lain lebih difokuskan pada konsekuensi ekonomi yang disebabkan pengadopsian IFRS. Daske et al. (2008) menyatakan penurunan harga modal perusahaan dan meningkatnya penilaian ekuitas, tetapi hanya ketika kemungkinan akuntansi terjadi sebelum tanggal resmi adopsi. Mereka juga menunjukkan bahwa terdapat manfaat pasar modal di negara yang perusahaannya memiliki insentif untuk menjadi transparan dan penegakan hukumnya kuat. Demikian pula, Li (2010) menyatakan bahwa pengurang biaya ekuitas hanya terjadi pada negara-negara yang memiliki penegakan hukum yang kuat dan pengungkapan informasi meningkat dibandingkan dengan dua mekanisme dibalik penurunan ini. Bagi auditor, kerumitan dari pengimplementasian IFRS dan kurangnya persiapan klien potensial dapat meningkatkan ketidaktentuan dan resiko bagi catatan audit perusahaan. Sebagai contoh, Hoogendoorn (2006) berpendapat bahwa perusahaan memiliki salah pengertian tentang kompleksitas, dampak dan biaya atas IFRS (sumber lain Jermakowicz dan Gornik-Tomaszewski, 2006). Pada negara Uni Eropa ada beberapa bukti atas persiapan masa transisi ke IFRS (PricewaterhouseCoopers, 2004; ICAEW,2004). Negara Finlandia dalam masa transisinya ke IFRS menyatakan memerlukan biaya besar untuk perusahaan yang diaudit dan untuk perusahaan auditor sendiri (Kementerian Perdagangan dan Industri 2003b; KPMG 2006). Misalnya, untuk meningkatkan kualitas audit dan assurance, KPMG Finlandia mendirikan tim audit khusus IFRS bagi kliennya 32 (KPMG, 2009). Selanjutnya, dibandingkan dengan GAAP lokal, IFRS lebih menjanjikan dalam penilaian oleh pihak manajemen dalam memutuskan bagaimana mereka akan mematuhi IFRS (Marden dan Brackney, 2009). Penelitian baru-baru ini (Street, Gray dan Bryant, 1999; Street dan Bryant 2000; Glaum dan Street, 2003) memiliki bukti yang signifikan dalam ketidakpatuhan atas pengungkapan IFRS diberbagai daerah. Hodgdon et al (2009) menunjukkan bahwa hukum audit (AICPA) memainkan peran penting dalam aturan IFRS. Perubahan signifikan akuntansi, dari standar akuntansi lokal menjadi IFRS menambah resiko klien dan lebih menyita waktu dalam pengauditan untuk auditor. Hasil para peneliti yang bertentangan ini, mendorong peneliti menguji secara empiris perbedaan earnings quality sebelum dan sesudah dari standar akuntansi baru (IFRS), yang diukur dengan menurunnya earnings management dan meningkatnya value relevance. Pengaruh IFRS yang menurunkan (pengaruh negatif) earnings management merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas laba. Sedangkan pengaruh IFRS yang meningkatkan (pengaruh positif) value relevance juga menandai kualitas laba yang lebih baik. 33 Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Sebelum Pengadopsian IFRS Earnings Quality : IFRS Earnings Management dan Value Relevance Setelah Pengadopsian IFRS