Istiqlal, Simbol Toleransi Beragama

advertisement
http://www.sinarharapan.co.id/content/read/istiqlal-simbol-toleransi-beragama/
18.02.2012 11:52
Istiqlal, Simbol Toleransi Beragama
Penulis : Saiful Rizal
(foto:dok/SH)
Tidak afdol agaknya jika umat muslim datang ke Jakarta
tetapi tidak menyempatkan diri salat di Masjid Istiqlal. Karena
itu tidak heran jika pada musim liburan sekolah banyak warga
di luar Jakarta menyempatkan diri mengunjungi Masjid Istiqlal.
Masjid ini tercatat sebagai masjid terbesar di kawasan Asia
Tenggara.
Namun di balik kemegahan measjid ini, terbesit simbol kerukunan antarumat beraga di negeri ini.
Masjid Istiqlal letaknya berhadapan dengan Gereja Katedral; hanya dipisahkan jalan raya yang
lebarnya tidak sampai 100 meter.
Bahkan, berdirinya Masjid Istiqlal memiliki sejarah tersendiri tentang bukti nyata kerukunan umat
beragama. Frederich Silaban, arsitek yang membuat desain Masjid Istiqlal ternyata beragama
Kristen kelahiran Bonandolok, Sumatera Utara, 16 Desember 1912.
Ia adalah anak dari pasangan suami istri Jonas Silaban Nariaboru. Frederich adalah salah satu
lulusan terbaik dari Academie van Bouwkunst Amsterdam tahun 1950. Selain membuat desain
Masjid Istiqlal ia juga merancang kompleks Gelanggang Olahraga Senayan.
Ide untuk mendirikan Masjid Istiqlal bermula pada 1953 dari beberapa ulama. Mereka
mencetuskan ide untuk mendirikan masjid megah yang akan menjadi kebanggaan warga Jakarta
sebagai Ibu Kota dan juga rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Mereka adalah KH Wahid Hasyim, Menteri Agama RI pertama, yang melontarkan ide
pembangunan masjid itu bersama H Agus Salim, Anwar Tjokroaminoto, dan Ir Sofwan beserta
sekitar 200-an orang tokoh Islam pimpinan KH Taufiqorrahman. Ide itu kemudian diwujudkan
dengan membentuk Yayasan Masjid Istiqlal.
Pada 7 Desember 1954, didirikan Yayasan Masjid Istiqlal yang diketuai H Tjokroaminoto untuk
mewujudkan ide pembangunan masjid nasional tersebut. Gedung Deca Park di Lapangan
Merdeka (kini Jalan Medan Merdeka Utara di Taman Museum Nasional) menjadi saksi bisu atas
dibentuknya Yayasan Masjid Istiqlal.
Nama Istiqlal diambil dari bahasa Arab yang berarti 'merdeka' sebagai simbol dari rasa syukur
bangsa Indonesia atas kemerdekaan yang diberikan oleh Allah SAW. Presiden pertama RI
Soekarno menyambut baik ide tersebut dan mendukung berdirinya Yayasan Masjid Istiqlal, lalu
membentuk Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal (PPMI).
Penentuan lokasi masjid sempat menimbulkan perdebatan antara Bung Karno dan Bung Hatta
yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI.
Bung Karno mengusulkan lokasi di atas bekas benteng Belanda Frederick Hendrik dengan Taman
Wilhelmina yang dibangun oleh Gubernur Jenderal van Den Bosch pada 1834 yang terletak di
antara Jalan Perwira, Jalan Lapangan Banteng, Jalan Katedral, dan Jalan Veteran.
Sementara itu, Bung Hatta mengusulkan lokasi pembangunan masjid terletak di tengah-tengah
umatnya, yaitu di Jalan MH Thamrin yang pada saat itu di sekitarnya banyak dikelilingi kampung.
Selain itu, ia juga menganggap pembongkaran benteng Belanda tersebut akan memakan dana
yang tidak sedikit.
Namun akhirnya Soekarno memutuskan untuk membangun di lahan bekas benteng Belanda
karena di seberangnya telah berdiri Gereja Katedral untuk memperlihatkan kerukunan dan
keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia. Setahun sebelumnya, Soekarno menyanggupi
untuk membantu pembangunan masjid, bahkan memimpin sendiri penjurian sayembara desain
maket masjid.
Setelah melalui beberapa kali sidang, di Istana Negara dan Istana Bogor, dewan juri yang terdiri
dari Prof Ir Rooseno, Ir H Djuanda, Prof Ir Suwardi, Hamka, H Abubakar Aceh, dan Oemar Husein
Amin.
Pada 1955, Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal mengadakan sayembara rancangan gambar atau
arsitektur Masjid Istiqlal yang jurinya diketuai oleh Presiden Soekarno dengan hadiah berupa uang
sebesar Rp 75.000 serta emas murni seberat 75 gram. Sebanyak 27 peserta mengikuti sayembara
tersebut.
Setelah melalui proses panjang, akhirnya dewan juri memutuskan lima peserta sebagai
pemenangnya. Mereka adalah Frederich Silaban dengan desain yang berjudul "Ketuhanan", R
Utoyo dengan desain berjudul "Istigfar", Hans Gronewegen dengan desain berjudul "Salam", tim
mahasiswa ITB dengan desain berjudul "Ilham", tim mahasiswa ITB lainnya yang berjudul
"Katulistiwa", serta dari NV Associatie yang bertemakan "Lima Arab".
Obama Mampir
Frederich Silaban, arsitek yang ditetapkan sebagai pemenang oleh dewan juri untuk membangun
masjid di atas lahan seluas kurang lebih 10 hektare itu adalah seseorang yang beragama Kristen
Protestan.
Guna menyempurnakan rancangan Masjid Istiqlal tersebut, Frederich Silaban mempelajari tata
cara dan aturan orang muslim melaksanakan salat dan berdoa selama kurang lebih tiga bulan.
Selain itu, ia juga mempelajari banyak pustaka mengenai masjid-masjid di dunia. Akhirnya setelah
17 tahun masa pembangunan masjid tersebut, pada 22 Februari 1978, Presiden Soeharto
meresmikan masjid terbesar se-Asia Tenggara ini.
Sejak diresmikan, dua tempat ibadah yang memiliki nilai sejarah bagi bangsa ini menjadi simbol
keharmonisan antarumat beragama di Indonesia. Tidak hanya sebuah simbol, nilai toleransi dua
tempat ibadah beda agama itu mewujudkan nyata dalam praktik dan saling menopang kegiatan
keagamaan masing-masing.
Salah satunya, bila ada kegiatan di salah satu tempat ibadah, mereka biasa berbagi tempat parkir.
Selain itu, meskipun di waktu yang bersamaan sedang dilaksanakan kegiatan keagamaan,
antartempat ibadah itu tidak saling mengganggu dan terganggu.
Selain selalu ramai dikunjungi umatnya masing-masing, Presiden negara-negara sahabat juga
pernah menyempatkan waktu singgah untuk melihat langsung simbol kerukunan beragama di
Indonesia.
Bahkan, dalam rangkaian kunjungan ke Indonesia, pada Oktober 2011, Presiden Amerika Serikat
Barack Obama mengunjungi Masjid Istiqlal. Dia tidak berpidato di sana, tapi melihat-lihat masjid
terbesar di Asia Tenggara ini.
Dalam kunjungan singkat itu Obama diajak melihat beduk raksasa berukuran 1,5 x 2 meter
dipandu oleh imam besar Masjid Istiqlal KH Ali Mustofa Ya`qub. Presiden Obama dan Ibu Negara
berada di Masjid Istiqlal kurang lebih 30 menit.
Bila presiden negara tetangga saja mengagumi tingginya toleransi beragama di Indonesia,
mengapa kita harus merusaknya dan selalu berupaya mendominasi kelompok lain.
http://www.sinarharapan.co.id/content/read/wajah-plural-indonesia/
18.02.2012 11:55
Wajah Plural Indonesia
Penulis : Junaidi Hanafiah/Deytri Aritonang/Saiful Rizal/Fransisca Ria Susanti/Sihar Ramse
(foto:SH/Junaidi Hanafiah)
Bayangan bahwa Aceh tidak bersahabat dengan
masyarakat nonmuslim ternyata salah besar.
Provinsi yang dikenal sebagai wilayah yang ketat
memberlakukan syariat Islam ini ternyata
menyimpan toleransi yang luar biasa.
Efendi, pria asal Jakarta, mengaminkan itu.
Selesai bekerja di kantor, Efendi sering duduk di warung kopi untuk melepas lelah atau
bercengkrama dengan teman-temannya.
Kebiasaan duduk di warung kopi telah dilakoni Efendi sejak delapan tahun lalu, setelah
perusahaan tempat dirinya bekerja mengirimkan dirinya ke Banda. Ia sebelumnya dirinya bekerja
di Medan, Sumatera Utara, dan sejak 2003 dikirim ke Aceh.
Teman-teman Efendi di warung kopi sebagian besar adalah orang Aceh, agamanya pun berbeda
dengan dirinya. Sebagian besar teman-temannya beragama Islam, sementara dirinya beragama
Kristen.
"Sedikit pun tidak ada kendala saat bergaul dengan orang Aceh. Di Aceh, khususnya di Banda
Aceh, masyarakat yang berbeda agama saling menghormati," kata Efendi ketika ditemui SH di
salah satu warung kopi di Banda Aceh, Kamis (16/2) sore.
Bagi Efendi, hidup di Aceh sangat berbeda dengan di daerah lain, karena di Aceh, meskipun
diberlakukan syariat Islam, penganut agama lain tetap bisa menjalankan ibadah dengan nyaman.
Selain itu, warga Aceh juga sangat menghargai penganut agama lain.
Menurutnya, meski penganut agama lain selain agama Islam jumlahnya sangat kecil di Aceh,
masyarakat minoritas tersebut tidak pernah diperlakukan sewenang-wenang atau tidak adil oleh
warga Aceh.
"Anak-anak saya yang sudah SMA dan SD tidak pernah mengeluh atau melapor kepada saya
kalau mereka dilecehkan anak-anak lain. Bahkan teman-teman anak saya sering ke rumah untuk
mengerjakan tugas sekolah. Orang tua mereka juga tidak pernah melarang, padahal keluarga saya
beragama Kristen," ia bercerita.
Efendi menyebutkan, tempat ibadah umat Katholik dan umat Islam di Banda Aceh letaknya juga
tidak berjauhan. Jaraknya hanya sekitar 150 meter dan hanya dipisahkan sungai.
Namun hal tersebut tidak pernah dipertentangkan. "Gereja Hati Kudus dan Masjid Baiturrahman
letaknya sangat berdekatan, tetapi tidak pernah ada masalah saat beribadah. Letaknya juga
sama-sama di tengah kota," ujarnya.
Desi Susanti, penganut Kristen lainnya, menuturkan, meskipun dirinya sekolah di SMA 1 Banda
Aceh yang siswanya mayoritas Islam, dirinya tidak pernah mendapatkan perlakuan yang tidak
menyenangkan dari teman-temannya.
"Teman-teman saya sangat menghargai agama yang saya anut. Mereka juga tidak segan-segan
menolong saya saat saya butuh pertolongan," kata siswa kelas dua SMA 1 Banda Aceh ini.
Menurutnya, semua guru di sekolah tempat dirinya menuntut ilmu juga tidak pernah berlaku tidak
adil terhadap dirinya. "Sejak SD hingga SMA saya sekolah di sekolah umum yang mayoritas
siswanya beragama Islam, namun saya tidak sekali pun diperlakukan tidak adil atau diganggu
karena agama saya berbeda," katanya.
Salah seorang pemimpin pesantren tradisional di Aceh Besar, Teungku Idris Umar, menyebutkan,
karakter orang Aceh berbeda dengan masyarakat Indonesia lainnya. "Orang Aceh sangat toleran
dengan masyarakat yang beragama lain selama mereka tidak mengganggu atau merusak tatanan
hidup masyarakat Aceh, baik itu agama atau adat istiadatnya," katanya.
Menurutnya, masyarakat Aceh meyakini masyarakat agama lain yang hidup berdampingan dengan
orang Aceh, selama mereka tidak mengganggu, harus dilindungi.
Isi Renungan Natal
Lain lagi cerita di Klaten, Jawa Tengah (Jateng). Udi Prasojo, seorang muslim warga Pluneng,
Kecamatan Kebonarum, Klaten, Jawa Tengah pada misa Natal 24 Desember tahun lalu pernah
didaulat Romo Kirjito Pr mengisi sepenggal renungan mengenai kebersihan lingkungan di wilayah
tersebut.
Pada saat itu Udi menjadi salah satu warga yang turut mengamankan jalannya ibadah misa Natal.
Sontak saja dia terkejut saat Romo Kirjito memanggilnya. Udi kaget karena diminta berbicara di
hadapan sekitar 2.000 umat di Gereja Katolik Paroki Roh Kudus Kebonarum.
Pada kesempatan tersebut, Udi diminta menceritakan pengalamannya menyelamatkan kebersihan
sungai dan saluran irigasi dari serbuan sampah rumah tangga setempat.
"Rumah saya berada tepat di samping saluran irigasi. Oleh karena itu, saya otomatis setiap hari
melihat sampah-sampah memenuhi saluran tersebut. Akhirnya saya dan warga berinisiatif
membersihkannya. Tentu saja saat membersihkan sampah tersebut saya menggerutu. Tetapi
lama-lama saya berpikir untuk apa menggerutu? Saya lebih baik berzikir,'' tuturnya.
Saat menuturkan pengalamannya tersebut, Udi pun mengucap bacaan zikir itu. "Subhanallah...
subhanallah... Itu yang selalu saya ucapkan sebagai pengganti kata makian dan gerutuan yang
sering kali keluar dari mulut saat menyingkirkan sampah-sampah tersebut," katanya seperti dikutip
Antara.
Ribuan umat di gereja tersebut langsung bertepuk tangan mendengar penuturan Udi. Tidak hanya
Udi yang didaulat menuturkan pengalaman dan perjuangannya membersihkan sungai dan saluran
irigasi di sekitar gereja, ada dua orang lagi yang menyampaikan hal serupa.
Toleransi juga muncul di Kabupaten Semenep, sekitar 100 km dari Sampang, Madura, Jawa Timur.
Gambar nyata kerukunan di kabupaten berusia 741 tahun tersebut tampak di Desa Pabean,
Kecamatan Kota.
Di Jalan Slamet Riadi, desa itu berdiri teguh dan menjadi lambang toleransi rumah ibadah tiga
agama. Ketiganya terletak berdekatan, berdampingan. Berdiri di sisi paling Barat, Masjid Baitul
Arham. Masjid itu berdiri tepat di pinggir kali dan butuh sarana jembatan untuk menempuhnya.
Di seberang kali dan jalan raya, sekitar 50 meter ke arah timur masjid itu, terdapat Gereja Katholik
Maria Gunung Karmel. Meski gereja tampak tertutup, tidak tampak jejak intimidasi terhadap jemaat
gereja pada bangunan gerejanya. Tepat di samping gereja, berdiri kompleks Sekolah Sang Timur
yang merupakan milik sebuah Yayasan Katolik.
Lia (27), warga Desa Pabean yang juga jemaat gereja Maria Gunung Karmel mengakui, meski
merupakan warga minoritas di daerah itu, tidak pernah ada intimidasi dari kaum mayoritas
terhadap kaumnya.
Dia mengatakan, tidak pernah ada kekhawatiran dan ketakutan yang merasukinya dalam
menjalankan ibadah. "Puji Tuhan, toleransi beragama di sini (Sumenep) cukup kuat," katanya.
Di Bojonegoro, Bupati Suyoto mengaku kehidupan antarumat beragamanya di daerahnya sangat
moderat dan lebih longgar. Ia, sebagai aktivis Muhammadiyah, bahkan kadang diundang untuk
mengisi khotbah di gereja. Ia juga sering berkunjung ke kelenteng.
Soal kebebasan mendirikan tempat ibadah, menurut Suyoto, memang ada kasus sebuah gereja
yang belum mendapat izin berdiri di daerahnya. Ini karena yayasan tersebut awalnya mendirikan
perkantoran dan kemudian hendak mendirikan gereja di perkantoran tersebut.
Suyoto secara pribadi tidak ada masalah, tetapi karena gaya berkomunikasi sejumlah orang di
yayasan tersebut kurang bisa diterima masyarakat sekitar, masih terjadi penolakan. “Ini soal trust
building. Jadi harus dibangun silaturahmi terus menerus,” katanya, saat berkunjung ke kantor
redaksi SH baru-baru ini.
Hal sama juga terjadi saat Suyoto harus membatalkan izin sebuah ormas Islam Majelis Tafsir
Alquran yang hendak menggelar tablig akbar di alun-alun karena penolakan dari Nahdlatul Ulama.
“Soal prosedur tidak ada masalah, tetapi sosialnya yang tak bisa,” ujarnya.
Lain lagi di Depok, Jawa Barat. Di sana terdapat rumah ibadah yang letaknya berdampingan di
sekitar wilayah Jalan Kerinci Raya, Depok Timur. Hal ini telah menjadikan wilayah ini bagaikan
miniatur Indonesia dengan falsafah Bhineka Tunggal Ika-annya.
Selain masjid yang ada di sekitar Jalan Kerinci, di situ terdapat Gereja Katholik Santo Markus
Depok II Timur, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Depok II Timur, dan Pura Tri Bhuana Agung.
Letaknya berdampingan, berhadapan, ataupun tak jauh dari setiap rumah ibadah pemeluk umat
agama yang berbeda ini.
Rumah-rumah ibadah yang sudah berdiri sejak 1980-an itu telah lama berinteraksi dengan para
warga. Di depan HKBP saja, ada yang membuka warung kopi, menjual bakso, hingga tempat juru
parkir. Apalagi, di sampingnya, ada kantor pos yang sudah tiga puluh tahun berdiri. Mereka semua
adalah bagian dari warga di Jalan Kerinci.
Tidak jarang, baik yang akan beribadah di pura mau pun yang menunggu kebaktian di HKBP atau
gereja Katholik, mampir membeli rokok ataupun teh botol dan minuman ringan di warung tepat di
samping pura. Kadang terlihat juga anak-anak ataupun orang tua jemaat dari gereja singgah dan
mampir ke halaman di depan pura untuk menyaksikan pepohonan di taman yang terlihat asri itu.
Ibadah Berdampingan
Secuil keharmonisan yang terjaga lebih dari setengah abad, dalam bentuk dua tempat ibadah umat
agama berbeda yang berdampingan, tampak di Jalan Enggano, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Gereja Masehi Injil Sangihe Talaud Mahanaim dan Masjid Al-Muqarrabien berdiri berdampingan di
sana.
Dua tempat ibadah tersebut sudah berdiri berdampingan, hanya dipisahkan tembok sebagai
pembatas kedua bangunan tersebut. Meski berbeda keyakinan, kedua tempat ibadah itu seperti
tampak serasi dengan warna dominan putih dan merah.
"Kalau berdiri sendiri-sendiri, tanpa ada bangunan di sebelahnya, gereja tidak ada masjid, atau
sebaliknya, terlihat kurang bagus," kata Dikson Bawuna, Wakil Ketua Jemaat Gereja Mahanaim,
saat berbincang dengan SH di ruang pengurus Gereja Mahanaim, Jakarta Utara, Kamis (16/2).
Dikson menceritakan bahwa bukan hanya bangunannya yang berdampingan, namun jemaat dan
jemaah masing-masing tempat ibadah itu pun akrab menjalin kebersamaan.
"Saat tragedi Tanjung Priok pada 1984, mereka (jemaah masjid) yang menjaga gereja ini. Mereka
sempat bilang kepada puluhan orang yang mau bakar gereja ini, kalau mereka mau bakar gereja,
bakar masjid dulu, langkahin mereka dulu. Jadi, mereka yang sebenarnya berjuang pada waktu
peristiwa Tanjung Priok dulu. Di sini aman karena mereka yang jaga,” tuturnya.
Suasana saling menjaga masih terlihat hingga kini, khususnya setiap Natal dan Tahun Baru. Umat
muslim dari masjid maupun warga sekitar pasti ikut membantu menjaga keamanan gereja.
Ketua Jemaat Gereja Mahanaim, Tatalede Barakati, menambahkan, sejak awal dibangunnya
gereja tersebut pada 1957 dan masjid pada 1959, kegiatan ibadah di dua tempat tersebut tidak
pernah saling mengganggu dan terganggu. Dicontohkan perempuan yang akrab disapa "oma" ini
adalah dihadapkannya pengeras suara masjid ke arah barat. Gereja itu berada di sisi timur masjid.
Gereja Mahanaim dan Masjid Al-Muqarrabien, Oma menambahkan, memang seperti saudara
sekandung. Dengan letaknya yang berdempetan, menggunakan satu tembok penghubung, tidak
pernah terjadi masalah apa pun dari dua pengurus tempat ibadah itu.
Layaknya saudara, nilai toleransi antara keduanya benar-benar ditanamkan, bukan hanya
antarpemimpin kedua tempat ibadah, tetapi juga ditularkan kepada para jemaat gereja dan jemaah
masjid. Satu bentuk toleransi yang tinggi, yang terjadi antara keduanya terlihat ketika pihak gereja
membatalkan jadwal kebaktian pada Minggu pagi karena bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri.
Begitu juga dengan pihak Masjid Al Muqarrabien, yang juga selalu menanamkan nilai-nilai toleransi
dalam setiap kegiatan pengajian maupun ceramah-ceramah agama lainnya.
"Masjid ini dibangun dengan fondasi kebersamaan yang sangat kokoh, dan nilai-nilai itu harus
tetap dijaga sampai kapan pun," kata Haji Tawakal (38), Ketua Masjid Al Muqaarabien, saat
berbincang dengan SH, Kamis (16/2).
Menurutnya, berbagai cara dilakukan demi menjaga kerukunan antara dua umat beragama,
muslim dan Kristen. Karenanya, saat berada di lingkungan Gereja Mahanaim dan Masjid
Al-Muqarrabien terasa sejuk. Gereja dan masjid berdampingan, berbagi tembok penghubung.
Nyanyian gereja dan azan bisa saling bersahutan tanpa seteru.
Menurutnya, pihak gereja tidak segan membantu ketika pihak masjid melakukan khitanan massal.
Begitu juga dengan kegiatan-kegiatan masjid lainnya, pihak gereja dengan cepat dan kepedulian
yang besar, membantu pihak masjid.
Dia mengatakan, itu seperti arti kata Al-Muqarrabien, yang mengandung arti saling menghormati,
menjaga kesatuan dan persatuan. Dengan begitu, para jemaah di masjid itu, kata Tawakkal, dapat
terus hidup berdampingan tanpa ada masalah apa pun.
Download