BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru, mencakup keganasan yang berasal dari paru itu sendiri maupun keganasan dari luar paru (metastasis tumor di paru). Kanker paru primer yaitu tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus atau karsinoma bronkus atau bronchogenic carcinoma (PDPI, 2002) . 2.2. Epidemiologi Kanker paru merupakan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan. Kanker paru sekarang penyebab kematian akibat kanker baik pada pria maupun wanita. Menurut perkiraan oleh American Cancer Society, sekitar 160.000 kematian akibat kanker paru di Amerika Serikat pada tahun 2000. Angka ini melebihi angka kematian akibat kanker kolorektal, payudara, dan kanker prostat, yang pada tahun 2004 diperkirakan menjadi sekitar 125.000 kematian. Kurang lebih 1 juta kematian di seluruh dunia setiap tahun akibat kanker paru. Kanker paru adalah penyebab utama kematian terkait dengan kanker, tidak hanya di Amerika Serikat tetapi juga di seluruh dunia. Pada tahun 2008 di Amerika serikat diperkirakan 215.020 penderita kanker paru kasus baru dan sebanyak 161.840 jiwa diperkirakan meninggal karena kanker paru. Pada tahun 2009 terdapat penderita kanker paru yang meninggal sebanyak 159.000 jiwa (Raza, 2006). Pada pria, daerah dengan insiden tertinggi (>46/100.000 penduduk per tahun) adalah Eropa, Amerika Utara dan Australia / Selandia Baru. Angka yang cukup tinggi (25-46/100.000 penduduk per tahun) terdapat di Cina, Jepang dan Asia Tenggara, Sedangkan angka terendah (< 25/100.000 penduduk per tahun) ditemukan di Asia Selatan (India, Pakistan), dan sub-Sahara Afrika. Insiden kanker paru pada perempuan di seluruh dunia sebagai berikut: relatif tinggi (>11.5/100.000 penduduk pertahun) yaitu di Kanada, Amerika Serikat, Kuba, Eropa Utara dan pusat Eropa, Asia Tenggara, Australia, dan Selandia baru, insiden menengah (6.5-11.5/100.000 penduduk per tahun) yaitu di Meksiko, Amerika Latin, Eropa Selatan dan Eropa Timur, Afrika Selatan dan Rusia, sedangkan insiden rendah (<6.5/100.000 penduduk per tahun) yaitu di India, Afrika, Spanyol (Raza, 2006). 2.3. Etiologi Etiologi kanker paru dapat dibagi menjadi faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko tidak dapat dimodifikasi termasuk jenis kelamin, ras, dan predisposisi genetik. Faktorfaktor yang dapat dimodifikasi meliputi paparan asap rokok, asap lingkungan, karsinogen di lingkungan kerja, polusi udara, dan makanan. Beberapa penyakit paru yang mendasari juga meningkatkan risiko kanker paru (Josen, 2002). 2.3.1 Jenis Kelamin Dominasi laki-laki terkena kanker paru secara substansial adalah bahwa kebiasaan laki-laki merokok lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Bila dibandingkan antara perempuan dan laki-laki bukan perokok, maka perempuan memiliki risiko menderita kanker paru 2-7 kali seumur hidupnya dan jika dibandingkan antara perempuan dan laki-laki perokok, maka perempuan memiliki risiko lebih besar menderita kanker paru dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan dalam enzym cytochorome P-450, dan kemungkinan efek estrogen terhadap perkembangan pertumbuhan kanker paru (Josen, 2002). 2.3.2. Faktor Genetika Faktor genetik memicu terjadinya kanker paru dengan angka berkisar antara 10% dan 15%. Samet menemukan bahwa pada orang tua yang menderita kanker paru risiko terjadinya kanker paru pada anak meningkat lebih dari lima kali dibandingkan orang tua yang tidak menderita kanker paru (Deaen 2008; Senby 2002) 2.3.3. Suku CYP1A1 adalah gen yang mengkode beberapa enzim yang terlibat dalam metabolisme hidrokarbon aromatik polynuclear (PAH). PAH adalah karsinogen yang berlimpah dalam asap rokok, pembakaran arang, gasifikasi batubara, dan diesel knalpot. Ada beberapa bukti bahwa alel CYP1A1 varian dikaitkan dengan peningkatan angka kejadian kanker paru pada perokok Afrika dan Amerika (Senby,2002) 2.3.4. Merokok Studi epidemiologi secara konsisten mendefinisikan merokok sebagai faktor risiko utama untuk kanker paru. Asap tembakau yang dihisap baik secara langsung atau sebagai perokok pasif diperkirakan mengandung 4000 senyawa kimia, termasuk lebih dari 60 zat yang diketahui menyebabkan kanker. Iritasi tembakau dan karsinogen merusak sel-sel di paru, dan dari waktu ke waktu sel-sel yang rusak bisa berubah menjadi kanker. Perokok memiliki tingkat fungsi paru yang lebih rendah daripada bukan perokok, dan berhenti merokok sangat mengurangi risiko kumulatif untuk terjadinya kanker paru. Risiko untuk terjadinya kanker paru meningkat seiring dengan usia awal mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, dan lama tahun merokok (Prokhorov, 2008) 2.3.5. Environmental Tobacco Smoke (ETS) ETS adalah campuran dari hampir 5000 senyawa kimia, termasuk 43 zat karsinogen penyebab kanker paru. Hal ini tidak mengherankan bahwa ETS menyebabkan penyakit yang sama seperti merokok aktif namun risiko berkurang secara proporsional dengan pengenceran asap di lingkungan (Josen,2002) 2.3.6. Paparan Pekerjaan Bahan - bahan karsinogenik di lingkungan pekerjaan dapat meyebabkan terjadinya kanker paru apabila terpapar lama. Angkanya mencapai antara 3% sampai 17 %. Bahan karsinogenik yang sering menyebabkan kanker paru antara lain radon, arsenic, codmium, asbses (josen,2002) 2.4 Gambaran Klinis Gejala klinis pasien dengan kanker paru dapat berupa sesak napas, batuk, nyeri dada, suara serak atau kehilangan suara, hemoptisis (sebagian besar dengan skuamous sel karsinoma). Gambaran pneumonia sering ditemukan. Adenokarsinoma lebih sering tanpa gejala. Pasien dengan kanker paru sel kecil (SCLC) berbeda dalam banyak hal dari yang kanker paru bukan sel kecil (NSCLC). Sekitar 10% pasien dengan SCLC dapat berupa gejala sindroma vena cava superior. Stridor dan hemoptisis adalah gejala yang jarang pada pasien dengan SCLC (Hirsch,2004) Gejala klinis yang timbul disebabkan oleh obstruksi endobronkial, pneumonia berulang, efek massa dari nodul perifer atau lesi pusat. Gejala juga bisa dihasilkan dari lesi selain lesi paru primer, seperti metastasis jauh dan sindrom paraneoplastik. Dalam beberapa kasus, metastasis dapat menjadi penyebab gejala dan pasien mungkin tidak memiliki keluhan yang dihasilkan dari lesi paru primer. 50-70% pasien datang dengan keluhan batuk. Gejala lain dapat berupa suara serak, hemoptisis, mengi dan demam. Timbulnya beberapa gejala mungkin menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Ada atau tidak adanya produksi sputum dengan batuk biasanya tidak spesifik. Efusi pleura dan efusi perikardial merupakan hasil dari invasi oleh sel-sel tumor. Sebanyak 50% dari semua pasien dengan karsinoma bronkogenik mengeluh nyeri dada pada gejala awal dan merupakan indikasi dari penyebaran intratoraks nyeri tajam dari karsinoma bronkogenik adalah pertanda buruk mencerminkan penyakit lanjut atau invasi pleura. Sekitar 30% dari pasien hadir dengan dipsneu. Obstruksi endobronkial, atalektasis, dan efusi pleura dapat menjadi penyebab dispneu pada pasien karsinoma bronkogenik. Tumor pancoast terjadi pada sulkus superior dan menyerang sekitar ganglia simpatik dan interkostalis saraf serta pleksus brakialis. Hal ini menyebabkan nyeri bahu, kelemahan atau mati rasa pada ekstremitas atas ipsilateral, dan sindrom Horner (ptosis, miosis, anhidrosis). Kompresi vena kava superior dapat menyebabkan sindrom vena kava superior yang manifestasinya berupa edema ekstremitas atas, wajah, dan dipsneu, pelebaran vena kolateral. Sindrom paraneoplastik yang disebabkan oleh sekresi hormon dan bahan kimia oleh tumor terjadi pada sekitar 10 sampai 15% pasien (Raza,2006) Gejala klinis dari kanker paru secara garis besar dapat dibagi : A. Manifestasi Lokal Kanker Paru (Intrapulmonal Intratorakal) Gejala lokal yang timbul berupa batuk berdahak, batuk darah, sesak napas, nyeri dada.Obstruksi saluran napas biasanya terjadi setelah tumor berukuran besar. 1. Batuk bisa terjadi akibat tumor endobronkial, pneumonia, atau efusi pleura. 2. Hemoptisis yang sering terlihat pada pasien dengan lesi endobronkial dan juga dapat mengakibatkan komplikasi terkait kanker paru, seperti emboli paru atau pneumonia. 3. Sesak napas dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk penyakit pada endobronkial, atelektasis, emboli paru, penyebaran tumor ke kelenjar limfe dan efusi perikardial yang menyebabkan aritmia dan tamponade. 4. Nyeri dada, terjadi sebagai akibat invasi tumor ke pleura, ke dinding dada dan ke mediastinum (Fosella, 2003;Putnam 2003:Shah 2007). B. Manifestasi Intratorakal Ekstrapulmonal 1. Disfagia Invasi tumor secara langsung atau kelenjar mediastinum yang membesar dapat menyebabkan penekanan pada esophagus, menyebabkan disfagia (Syahruddin,2008) 2. Suara Serak Tumor dapat menekan nervus laringeus rekurens menyebabkan paralisis pita suara. Tumor mediastinum yang besar dapat menyebabkan paralisis pita suara bilateral, menyebabkan stridor akibat sumbatan pada saluran napas bagian atas (Fossella,2003) 3. Sindroma Horner,s Tumor yang berada di apikal dapat meluas, melibatkan saraf simpatis dan menyebabkan sindroma Horner,s (kelopak mata jatuh, pupil mengecil, tidak berkeringat pada satu sisi wajah) (Fossella, 2003) 4. Sindroma Vena Kava Superior (SVKS) Gambaran klinis SVKS adalah sesak napas, bengkak pada muka, leher dan lengan, batuk, orthopnue, nyeri dada dan sakit kepala. Sedangkan tanda klinis SVKS adalah pelebaran vena dileher, wajah sembab, venektasi vena dileher, daerah dada maupun punggung, bengkak pada lengan dan edema (Fossella, 2003;Putnam 2003) C. Manifestasi Ekstratorakal Non Metastasis Penderita kanker paru mengalami sindroma paraneoplastik. Hal ini terjadi bukan karena invasi tumor secara langsung melainkan karena polipeptida yang dihasilkan oleh sel-sel tumor yang menyerupai hormon. Tabel 1. Sindroma Paraneoplastik Tipe kanker Gejala Manifestasi klinis Sindroma cushing Penurunan berat badan, hipertensi,intoleransi Karsinoma sel kecil glukosa,gangguan Anti diuretik hormon elektrolit Hiponatremia Parahormon,hormon Karsinoma sel Hiperkalsemia paratiroid skuamous Karsinoma sel besar Human chorionic Ginekomastia gonadotropin Sumber : Putnam,2003 D. Manifestasi Ekstratorakal Metastasis a. Metastasis ke hati Keluhan paling sering ditemukan adalah anoreksia, perasaan tidak nyaman dan penurunan berat badan. Gejala klinis yang jarang ditemukan adalah ikterik, nyeri perut kanan atas yang berhubungan dengan hepatomegali. b. Metastasis ke susunan saraf pusat Gejala klinis metastasis ke otak adalah nyeri kepala, perubahan status mental, kejang, mual dan muntah, defisit fokal motorik dan sensorik. c. Metastasis ke tulang Sepertiga dari penderita kanker paru bermetastasis ke tulang, gejala paling sering berupa nyeri tulang, biasanya asimptomatik d. Metastasis ke adrenal Metastasis adrenal yang luas dapat menyebabkan nyeri punggung dan bilateral metastasis adrenal dapat menyebabkan terjadinya insufisiensi adrenal 2.5 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik yang cermat adalah komponen penting dalam menegakkan kanker paru karena dapat memberikan petunjuk diagnostik, prognosis. Penampilan umum mungkin tampak normal atau adanya lemah, kakhesia, kelesuan, pucat, dan sakit kepala. Suara serak menunjukkan adanya gangguan N. rekurens laryngeus. Tanda obstruksi berupa sesak nafas dan nafas berbunyi sering di jumpai sebagai akibat adanya obstruksi ataupun ada penyakit dasar yang menyertai seperti PPOK. hipertensi vena jugularis dan pulsus paradoksus merupakan tanda-tanda tamponade pericardium (Fossella,2003). 2.6 Pemeriksaan Laboratorium Evaluasi klinis pasien yang diduga kanker paru dengan menggunakan laboratorium rutin, yang terdiri dari hitung darah lengkap (termasuk hitung darah diferensial dan jumlah trombosit) sangat membantu menegakkan diagnosis. Tes laboratorium ini dapat menjadi indikator yang berguna untuk melihat adanya proses metastatik seperti peningkatan alkaline phosphatase, hiponatremia karena SIADH, hipokalemia dan hiperglikemia karena produksi hormon adrenokortikotropik ektopik atau hiperkalsemia. Tingkat albumin yang rendah dan serum laktat dehidrogenase meningkat memberikan prognosis yang lebih buruk pada pasien kanker paru (Fossella,2003). 2.7 Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan radiologis adalah salah satu pemeriksaan penunjang yang mutlak dibutuhkan untuk menentukan lokasi tumor primer dan metastasis serta penentuan stadium penyakit berdasarkan sistem TNM. Pemeriksaan radiologi paru yaitu Foto toraks PA/lateral, bila mungkin CT-scan toraks, CT Scan tulang, Bone survey, USG abdomen dan Brain-CT dibutuhkan untuk menentukan letak kelainan, ukuran tumor dan metastasis (PDPI,2002). 2.7.1 Foto Toraks Lebih dari 85% kesalahan diagnosis kanker paru pada foto toraks disebabkan letak lesi yang perifer, ukuran lesi < 2 cm, kekuatan kontras foto toraks yang rendah, adanya letak lesi yang overlapping dengan tulang kosta ataupun klavikula. Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan dapat dilihat bila masa tumor dengan ukuran tumor lebih dari 1 cm. Tanda yang mendukung keganasan adalah tepi yang ireguler, disertai identasi pleura, tumor satelit, dll. Pada foto tumor juga dapat ditemukan telah invasi ke dinding dada, efusi pleura, efusi perikard dan metastasis intrapulmoner. Sedangkan keterlibatan kelenjar getah bening untuk menentukan N agak sulit ditentukan dengan foto toraks saja (PDPI,2002). Gambaran umum yang sering ditemui adalah opasitas lokal (nodul atau massa), efusi pleura, atelektasis, dan adenopati. Skuamous sel karsinoma biasanya muncul sebagai massa di sentral atau dekat hilus, yang mungkin dapat berupa kavitas. Karena berasal dari saluran napas sentral, hingga 50 % dari pasien dengan skuamous sel karsinoma akan tampak gambaran obstruksi endobronkial dengan pneumonia atau atelektasis. Adenokarsinoma biasanya muncul di perifer sebagai nodul soliter atau massa. BAC mungkin muncul sebagai nodul atau alveolar yang menjadi difus. Diperkirakan foto toraks 70-80 % akurat dalam mendeteksi keseluruhan kanker paru, 50-60% sensitif dalam mendeteksi adenopati hilar, dan kurang dari 50 % sensitif dalam mendeteksi adenopati mediastinum (Tyczynski,2006). Tabel 2. Gambaran foto toraks berdasarkan tipe histologi kanker paru Gambaran radiologi Karsinoma sel Adenokar Karsinoma Karsinoma skuamosa sinoma sel kecil sel besar Nodul ≤ 4cm 14% 46% 21% 18% Lokasi perifer 29% 65% 26% 61% Lokasi sentral 64% 5% 74% 42% Massa Hilar/parahilar 40% 17% 78% 32% Kavitas 5% 3% 0% 4% Keterlibatan 3% 14% 5% 2% Adenopati hilar 38% 19% 61% 32% Adenopati 5% 9% 14% 10% pleura/dinding dada mediastinal Sumber: Hirsch,2004 2.7.2 CT scan Toraks Teknik pencitraan ini dapat menentukan kelainan di paru secara lebih baik daripada foto toraks. CT-scan dapat mendeteksi tumor dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm secara lebih tepat. Demikian juga tanda-tanda proses keganasan juga tergambar secara lebih baik, bahkan bila terdapat penekanan terhadap bronkus, tumor intrabronkial, atelektasis, efusi pleura yang tidak masif dan telah terjadi invasi ke mediastinum dan dinding dada meski tanpa gejala. Lebih jauh lagi dengan CT-scan, keterlibatan KGB yang sangat berperan untuk menentukan stadium juga lebih baik karena pembesaran KGB (N1 s/d N3) dapat dideteksi. Demikian juga ketelitiannya mendeteksi kemungkinan metastasis intra pulmoner (PDPI,2002). Kekurangan dari foto toraks dan CT-scan toraks adalah tidak mampu mendeteksi telah terjadinya metastasis jauh. Untuk itu dibutuhkan pemeriksaan radiologik lain, misalnya CT scan kepala untuk mendeteksi metastasis di tulang kepala / jaringan otak, CT Scan tulang dan/atau bone survey dapat mendeteksi metastasis diseluruh jaringan tulang tubuh. USG abdomen dapat melihat ada tidaknya metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ lain dalam rongga perut (PDPI,2002). 2.7.3 PET (Positron Emission Tomography) atau PET-CT PET-CT adalah prosedur yang tidak invasif dalam menilai pembesaran kelenjar getah bening dengan sensitivitas 74 % dan spesifisitas 85 %, namun jika pembesaran kelenjar getah bening lebih besar sensitivitasnya dapat menjadi 100 % dengan spesifisitas 79 % (Hammerscmidt,2009). 2.7.4 MRI (Magnetic Resonance Imaging) Dengan pemeriksaan MRI scan dapat memberikan informasi lebih rinci tentang invasi tumor ke struktur toraks. Pada pancoast tumor sangat penting untuk menilai invasi tumor ke vaskular, saraf plexus brakialis dan ketika kanker paru direncanakan untuk tindakan operasi (Hammerscmidt,2009). 2.7.5 Pemeriksaan Radiologi Tambahan Dalam menentukan stadium kanker paru, diperlukan pemeriksaan radiologi tambahan. Untuk mendeteksi metastasis yang jauh diperlukan pencitraan yang tepat dengan : (Fossella,2003) a. CT atau MRI kranial dengan kontras b. Bone Scientigraphy c. Ultrasonografi d. CT atau MRI hati dan adrenal 2.8. Histologi Kanker Paru Karsinoma bronkogenik dibagi menjadi empat jenis histologi yang utama berdasarkan sifat biologi dan penanganan dan prognosisnya Hammerscmidt,2009;Patel,2008) 1. Kanker paru karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) sebanyak 70 % - Karsinoma sel skuamosa (52 %) yaitu:( - Adenokarsinoma (13 %) - Karsinoma sel besar (5 %) 2. Kanker paru karsinoma sel kecil (KPKSK) sebanyak 30 % 2.9. Stadium kanker Paru Anatomi kelenjar getah bening dalam klasifikasi revisi TNM untuk kanker paru berdasarkan N1, N2 kelenjar getah bening mediastinum sesuai komite Staging Internasional (ISC) dari Asosiasi Internasional untuk Studi Kanker Paru (IASLC) pada nodul stasiun untuk stadium kanker paru (Punamiya,2011). Sistem TNM Sistem TNM ini menggambarkan tingkat anatomi penyakit didasarkan pada penilaian dari tiga komponen : T : besarnya tumor primer, N : ada atau tidaknya keterlibatan / metastasis kelenjar getah bening, M : ada atau tidaknya metastasis jauh (Peter,2009). TNM klasifikasi klinis T: Tumor primer TX : tumor primer tidak dapat dinilai, atau tumor dibuktikan oleh adanya sel-sel ganas di sputum atau hasil bilasan bronkial tetapi tidak di visualisasikan oleh pencitraan atau bronkoskopi T0 : Tidak ada bukti tumor primer Tis : Karsinoma in situ T1:Tumor 3 cm atau kurang dalam dimensi terbesar, dikelilingi oleh paruparu atau visceral pleura, tanpa bukti dari bronkoskopi dimana invasi lebih proksimal dari bronkus lobar (yaitu, bukan dalam bronkus utama) T1a : Tumor 2 cm atau kurang dalam dimensi terbesar T1b : Tumor lebih dari 2 cm tapi tidak lebih dari 3 cm dalam dimensi terbesar T2 :Tumor lebih dari 3 cm tetapi tidak lebih dari 7 cm, atau tumor dengan salah satu dari poin berikut berikut: - Melibatkan bronkus utama, 2 cm atau lebih distal ke karina - Menginvasi pleura visceral - Terkait dengan atelektasis atau pnemonitis obstruktif yang meluas ke daerah hilus, tetapi tidak melibatkan seluruh paru-paru T2A Tumor lebih dari 3 cm tetapi tidak lebih dari 5 cm terbesar dimensi. T2B Tumor lebih dari 5 cm tapi tidak lebih dari 7 cm dalam dimensi terbesar. T3 : Tumor lebih dari 7 cm atau yang secara langsung menginvasi salah satu dari berikut: dinding dada (termasuk tumor sulkus superior), diafragma, saraf frenikus, mediastinum pleura, pericardium parietal, atau tumor di bronkus utama kurang dari 2 cm distal ke karina tapi tanpa keterlibatan karina, atau atelektasis terkait atau pneumonitis obstruktif paru-paru seluruh atau nodul tumor yang terpisah di lobus yang sama sebagai tumor primer. T4 : Tumor dari berbagai ukuran yang menyerang salah satu dari berikut: mediastinum, jantung, pembuluh darah besar, trakea, saraf laryngeal rekuren, esofagus, tulang belakang, karina, tumor nodul yang terpisah dalam lobus ipsilateral berbeda dengan tumor primer. N : Kelenjar getah bening regional NX : kelenjar getah bening regional tidak dapat dinilai N0 : Tidak ada metastasis daerah kelenjar getah bening N1: Metastasis di peribronchial ipsilateral dan / atau kelenjar getah bening hilus ipsilateral dan di intrapulmonal, termasuk keterlibatan dengan ekstensi langsung N2 : Metastasis di kelenjar getah bening mediastinum ipsilateral dan / atau subkarina N3 : Metastasis di hilus kontralateral mediastinal, kontralateral, sisi tak sama panjang ipsilateral atau kontralateral, atau kelenjar getah bening supraklavikula M : Metastasis jauh M0 : Tidak ada metastasis jauh M1: Metastasis jauh M1A : Nodul tumor terpisah dalam lobus kontralateral, tumor pleura dengan nodul atau ganas pleura atau efusi perikardial M1B : Metastasis jauh Tabel 3.Derajat Kanker Paru Versi 6 Versi 7 T N M T N M X 0 0 0 0 0 Is 0 0 Is 0 0 IA 1 0 0 IA 1a,b 0 0 IB 2 0 0 IB 2a 0 0 IIA 1 1 0 IIA 1a,b 1 0 2a 1 0 2b 0 0 2b 1 0 3 0 0 1,2 2 0 3 1,2 0 4 1,0 0 4 2 0 Any 3 0 Any Any 1a,b Occult Carcinoma 0 I II IIB III IIIA IIIB IV 2 1 0 3 0 0 1-3 2 0 3 1 0 4 0-2 0 Any 3 0 Any Any 1 IIB IIIA IIIB IV Sumber: Hammerscmidt,2009 2.10 CT Scan (Computer Tomography Scanning) Computer Tomography (CT) Scanner merupakan alat diagnostik dengan teknik radiografi yang menghasilkan gambar potongan tubuh secara melintang berdasarkan penyerapan sinar-x pada irisan tubuh yang ditampilkan pada layar monitor (Goldman,2007). CT Scan dapat menghasilkan gambar yang sangat akurat dari organ didalam tubuh seperti tulang, pembuluh darah. Sejak tahun 1972 CT scan telah di perkenalkan sebagai alat prosedur diagnostik dalam dunia kedokteran yang di perkenalkan pertama kali oleh Sir Godfrey Hounsfield di Hayes, Inggris yang menghasilkan gambar CT Scan untuk keperluan klinis. Prinsip dasar dari Computer tomograpy sama dengan radiografi konvensional yaitu menggunakan sinar X melalui teknik tomografi dan komputerisasi. Sinar X menembus tubuh di buat sedemikian rupa sehingga dalam bentuk potongan penampang tipis, bisa berupa potongan aksial dan koronal. Absorbsi sinar X oleh jaringan lunak dengan konstituen perbedaan nomor atom direkam oleh detektor dalam bentuk data digital, dikonversikan kedalam bentuk bayangan organ hitam putih seksional (Goldman,2007). Gambar 1. Prinsip kerja CT Scanner (Goldman,2007) Indikasi CT scan toraks digunakan untuk meneliti lebih lanjut tentang kelainan yang ditemukan pada foto toraks, membantu mendiagnosis kelainan yang timbul di rongga dada, mendeteksi dan mengevaluasi luasnya tumor atau hasil metastasis dari organ lain dari tubuh, mengevaluasi kemajuan suatu pengobatan dan mengevaluasi cidera pada dada dan organ didalamnya. Angka sensitivitas dan spesifisitas CT Scan dalam mendiagnosis metastasis kelenjar limfe sebesar 76 % dan 78 % (Weitberg,2002). Keunggulan CT-Scan (Fossella,2003): a. Memiliki kontras resolusi dan spasial resolusi yang tinggi. Kontras resolusi adalah kemampuan untuk membedakan dua objek yang memiliki densitas hampir sama. Spasial resolusi adalah kemampuan untuk membedakan dua objek yang saling berdekatan letaknya. b. Hasil gambaran dapat direkonstruksi sesuai kebutuhan, misalnya dari proyeksi aksial dijadikan proyeksi sagital atau koronal. c. Gambaran jaringan lunak memiliki karakteristik yang baik dengan adanya pengaturan window. d. Hasil gambaran berupa irisan melintang ( cross sectional ) sehingga super posisi antar organ dapat dihindari e. Diagnosis lebih akurat dengan adanya pengambilan gambaran dari berbagai proyeksi seperti proyeksi aksial, sagital dan koronal. f. CT scan dapat dilakukan dengan cepat. g. Memberikan pencitraan spesifik terhadap tulang, jaringan lunak dan pembuluh darah. Kelemahan CT scan : 1) CT Scan melibatkan pajanan terhadap radiasi sinar X 2) Risiko alergi terhadap bahan kontras 3) Tidak boleh sering dilakukan pada anak anak dan wanita hamil 4) CT Scan tidak baik untuk mengidentifikasi patologi jaringan lunak 5) Membutuhkan biaya mahal Suatu skala untuk mengukur koefisien atenuasi jaringan pada CT di sebut Hounsfield Unit (HU). Housfield Unit juga sering disebut CT numbers. Tabel 4. Contoh Hounsfield Unit dari berbagai jaringan Jaringan Hounsfield unit Tiroid 70 ± 10 Hepar 65 ± 5 Otot 45 ± 5 Limpa 45 ± 5 Darah (beku) 80 ± 10 Darah (Vena) 55 ± 5 Tulang (padat) >250 Tulang (spongy) 130 ± 100 Pankreas 40 ±10 Ginjal 30 ± 10 Jaringan lemak -90 ± 100 Sumber: Astowo,2010 Penelitian yang dilakukan Herlambang tahun 2003 dalam meneliti karakteristik jenis kanker paru berdasarkan peningkatan densitas didapatkan terdapat perbedaan Housfield Unit (HU) pada jenis sel ganas yaitu antara 55 – 80 HU dimana karsinoma epidermoid mempunyai ukuran HU paling tinggi (80 HU) dan, diikuti adenocarcinoma (67 HU), small cell ( 62 HU), large cell (61 HU) dan yang paling rendah jenis undifferentiated/ malignant cell (55 (Herlambang,2003). Gambar 2. Computer Tomography (CT-Scan) dan hasil (Fossella,2003) HU) 2.11 TransThoracic Needle Aspration (TTNA) 2.11.1 SEJARAH TransThoracic Needle Aspiration (TTNA) merupakan suatu tindakan metode diagnosis invasif dibidang penyakit paru yang biasa digunakan untuk diagnostik massa ganas di paru. Tindakan ini pertama kali diperkenalkan oleh Leyden tahun 1883. Tujuan dari tindakan ini adalah mengkonfirmasi diagnosis pneumonia. Kemudian Menetrier pada tahun 1886 melaporkan penggunaan prosedur ini pada 3 orang penderita dengan massa di paru. Saat itu tindakan ini belum banyak digunakan karena efek samping yang sering terjadi dan biasanya berat karena menggunakan jarum aspirasi yang besar. Efek samping yang sering terjadi adalah perdarahan dan pneumotoraks, dan tidak jarang menimbulkan kematian (Astowo,2010). Dengan perkembangan diagnostik pencitraan dan perkembangan teknik biopsi seperti diperkenalkan jarum halus dan semakin meluas penerimaan pemeriksaan sitologi, membuat Transthoracic biopsy diterima luas dan sangat berguna dalam menyelidiki lesi yang ada di toraks. Selanjutnya banyak publikasi yang telah banyak dimuat dalam beberapa jurnal untuk diagnosis lesi jinak maupun ganas pada kelainan paru dengan melakukan TTNA. TTNA dapat dilakukan dengan tuntunan USG, CT Scan toraks, ataupun dengan C-arm cone – beam CT (CBCT) (Nitadori,2006). 2.11.2 DEFINISI Transthoracic Needle Aspiration (TTNA) merupakan tindakan melakukan biopsi jarum halus secara transtorakal dengan atau tanpa tuntunan fluoroskopi/ USG/ CT scan untuk kepentingan diagnostik. Gupta tahun 2010 mendefinisikan TTNA adalah tindakan menusukkan jarum kedalam lesi abnormal untuk mengambil jaringan atau sel untuk menegakkan diagnosis. Tindakan TTNA dengan tuntunan CT Scan toraks merupakan tindakan yang tidak invasif dibandingkan dengan biopsi eksisi ataupun biopsi karena berhubungan dengan tingkat mortalitas dan morbiditas yang rendah dibandingkan dengan biopsi eksisi ataupun biopsi terbuka (Gupta,2010). TTNA dapat dilakukan pada pasien pada kasus nodul paru yang soliter dimana secara klinis, radiologis foto toraks dan tindakan bronkoskopi yang belum mendapatkan diagnosis definitif. TTNA juga dapat diindikasikan pada kasus dengan penyakit paru intersisial, infiltrat yang persisten baik single ataupun multipel yang tidak terdiagnosis dari kultur sputum, kultur darah dan bronkoskopi. TTNA juga merupakan pilihan diagnostik lesi di perifer yang dicurigai suatu keganasan (Levine,1988;Boskovich,2013;Dewan,1995). Pada beberapa tahun ini telah dilaporkan angka tingkat akurasi TTNA ± 80 % untuk penyakit jinak dan ± 90 % untuk penyakit keganasan. Wescott pada tahun 2011 melaporkan secara keseluruhan angka sensitivitas 93 % dan angka spesifisitas 100 % dalam mendiagnosis nodul paru dengan ukuran diameter < 1,5 cm. Stanley EK loh pada tahun 2013 melaporkan angka akurasi diagnostik pada lesi yang malignan sebesar 96,8 % dan angka sensitivitas dan spesifisitas masing masing 95,7 % dan 100 % dengan menggunakan jarum no 18G – 23G (EK loh,2013). Beslic pada tahun 2012 membandingkan teknik TTNA dengan tuntunan CT scan toraks dengan jarum dan core biopsy dan didapatkan hasil diagnostik dengan jarum sebesar 79,60 % dengan menggunakan jarum no 22G, sedangkan memakai core biopsy sebesar 96,85%, sedangkan komplikasi pneumotoraks dengan core biopsy lebih besar yaitu 31,5%, lebih besar dibandingkan dengan jarum yaitu 9,7 %. Penelitian yang dilakukan Lee pada tahun 2009 tindakan TTNA dengan jarum aspirasi no 21G dengan C-arm Conebeam CT (CBCT) didapatkan hasil akurasi diagnostik sebesar 97,9% dalam mendiagnostik lesi di paru (Beslic,2012;Lee,2012). Lima dkk melaporkan tingkat akurasi prosedur TTNA dengan menggunakan jarum spinal no. 25G dengan tuntunan CT Scan toraks dalam menegakkan diagnosis keganasan pada lesi di paru adalah sebesar 91% (Lima,2011). Beg dkk tahun 2002 juga melaporkan tingkat akurasi diagnostik sebesar 46,74 % dengan jarum no 25G dalam mendiagnosis lesi yang dicurigai menderita tuberkulosis (Beg,2002). Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni dkk tahun 2009 di RS Persahabatan dalam mendiagnosis lesi di paru yang dicurigai keganasan dengan membandingkan hasil bronkoskopi dengan TTNA dengan jarum spinal no 25G, didapatkan hasil akurasi yang lebih tinggi dengan teknik TTNA menggunakan jarum spinal no 25G sebesar 80 % dibandingkan dengan bronkoskopi sebesar 50 % (Wahyuni,2009). 2.11.3 INDIKASI American Thoracic Society (ATS) mempublikasikan indikasi tindakan TTNA antara lain ( Astowo,2010 ; Birchad,2011): 1) Massa atau nodul yang soliter maupun multipel 2) Diagnosis dugaan metastasis paru pada pasien dengan diketahui kanker primer 3) Konfirmasi diagnosis kanker pada pasien yang tidak dianjurkan untuk reseksi operasional 4) Mendapatkan bahan untuk analisis mikrobiologi yang diduga suatu proses infeksi 5) Mendapatkan bahan diagnostik dari kelenjar getah bening dan lesi lainnya di mediastinum 6) lesi pada mediastinum atau di hilus 7) invasi tumor paru ke dinding dada 8) Konsolidasi atau infiltrat di paru Crestanello pada tahun 2004 mengindikasikan TTNA pada kasus adanya massa di mediastinum, mengevaluasi massa di perihilar setelah gagal ataupun negatif didiagnosis dengan bronkoskopi, mengevaluasi nodul ataupun konsolidasi pada proses infeksi (Crestanello,2004). Indikasi TTNA menurut BTS : 1. Nodul atau massa soliter pada foto toraks yang tidak dapat diidentifikasi melalui bronkoskopi atau dari CT Scan torak menunjukkan bronkoskopi tidak dapat mengakses lesi 2. Nodul multipel yang dicurigai keganasan 3. Infiltrat lokal yang persisten dimana penunjang diagnosis yang dilakukan tidak diketahui penyebabnya. 2.11.4 KONTRAINDIKASI Beberapa kontraindikasi untuk tindakan TTNA adalah (Birchard,2011 ;Manhire,2003 ; Beamis,2014): 1) Pasien tidak kooperatif 2) Pasien yang tidak menyetujui informed consent 3) Batuk yang sulit diatasi 4) Kista hidatid paru karena beresiko terjadi ruptur kapsul dan penyebaran sistemik 5) Kurangnya pelatihan atau pengawasan operator 6) Kurangnya peralatan atau personel yang memadai untuk memberikan perawatan darurat pasien dalam kasus komplikasi termasuk pneumotoraks, perdarahan, dan serangan jantung. 7) Gangguan koagulopati 8) hipertensi pulmonal berat 9) Kurangnya peralatan pencitraan yang memadai 10) Ketidakmampuan untuk memvisualisasikan lesi pada saat biopsi 11) Lesi diduga vaskular 12) Pasien yang membutuhkan atau diantisipasi membutuhkan ventilasi mekanis 13) Setiap situasi dimana hasil biopsi tidak akan mempengaruhi pasien manajemen atau prognosis Beberapa kondisi dikaitkan dengan peningkatan risiko yang mungkin memerlukan pertimbangan khusus : (Beamis,2014) 1. Emfisema bulosa atau jaringan paru kistik sepanjang jalur jarum 2. Uremia 3. Hipertensi pulmonal 4. Gangguan koagulasi dikaitkan dengan peningkatan risiko perdarahan 5. Infark miokard, angina tidak stabil, gagal jantung kongestif atau disritmia jantung yang tidak terkontrol 6. Usia lanjut dan malnutrisi 7. Sindroma Vena Cava Superior 8. Gangguan fungsi pembekuan darah dimana platelet < 100.000/ ml, rasio APTT atau rasio PT > 1,4. 2.11.5 PROSEDUR TINDAKAN Dapat dilakukan tanpa atau menggunakan tuntunan/ bantuan Ultrasound (USG), fluoroskopi atau CT scan toraks. Bila melakukan tindakan tanpa bantuan, terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaan foto toraks standar yaitu foto toraks PA (postero Anterior) dan lateral untuk mengetahui lokasi massa tersebut. Akurasi atau keberhasilan TTNA akan lebih baik bila menggunakan bantuan CT scan toraks bila dibandingkan dengan yang lain, karena dapat diukur / ditentukan jarak massa dari dinding dada dan kepadatan massa tersebut (Astowo,2010). Sulit menentukan daerah yang akan diambil untuk biopsi tanpa bantuan pencitraan dengan CT scan toraks terutama bila diameter massa tersebut kecil ( kurang dari 1 cm), atau tumor tersebut terdiri dari jaringan nekrotik dan peradangan atau terbentuk kavitas. Untuk mendapat jaringan tumor tersebut diambil daerah yang mempunyai kepadatan (ROI=Region Of Interest) 30-50 HU (Hounsfield Unit), sedangkan bila dilakukan biopsi pada daerah dengan ROI lebih kecil dari 30 HU akan didapat jaringan nekrotik atau peradangan sehingga ditemukan negatif palsu (Astowo,2010). Dalam melakukan tindakan TTNA dapat digunakan jarum biopsi dari berbagai konfigurasi, panjang jarum, ujung jarum, dan mekanisme pengambilan sampel yang tersedia. Jarum yang dipilih tergantung pada karakteristik lesi, jenis / jumlah jaringan yang dibutuhkan, dan preferensi operator. Jarum biopsi dapat dibagi menjadi tiga kelompok: (1) Jarum apirasi untuk pengambilan spesimen untuk evaluasi sitologi (2) jarum pemotongan untuk pengambilan spesimen untuk evaluasi histologis (3) jarum biopsi inti otomatis (automated core biopsy needle) untuk pengambilan spesimen untuk evaluasi histologist (Birchard,2011). Jarum aspirasi yang berdinding tipis dan fleksibel digunakan untuk memperoleh spesimen untuk sitologi atau evaluasi mikrobiologis. Yang paling umum digunakan kelompok ini adalah jarum Chiba yang tersedia dalam ukuran 18 sampai 25-gauge (Birchard,2011; Neyaz,2012). Untuk tumor yang membutuhkan histologis atau spesimen yang lebih besar untuk analisis, jarum cutting dapat digunakan. Jarum ini memiliki ujung beraneka ragam. Dua jarum yang biasa digunakan dalam kelas ini adalah Franseen dan Westcott. Jarum ini dapat dimodifikasi sebagai jarum aspirasi, dalam arti bahwa mereka dapat dipakai sebagai aspirasi disamping dapat memotong jaringan (Birchard,2011; Neyaz,2012). Jarum biopsi inti otomatis biasanya digunakan untuk mendapatkan jaringan untuk evaluasi histologis. Sebagian besar perangkat biopsi, seperti Temno atau Achieve merupakan perangkat yang menggunakan mekanisme pegas yang diaktifkan. Panjang jarum bervariasi antar perangkat. Penggunaan perangkat biopsi otomatis dapat meningkatkan hasil jika ahli patologi tidak di tempat pada saat biopsi karena tergantung pada jenis tumor, jarum akan mendapatkan sampel inti yang bebas dari kerusakan (Birchard,2011). Gambar 3. Jenis jarum aspirasi (Birchard,2011) Gambar 4. Core biopsy (Birchard,2011) Untuk melakukan TTNA dibutuhkan jarum dengan ukuran tertentu. Dalam penelitian ini akan digunakan jarum spinal 25G. Beberapa ukuran jarum ditampilkan dalam tabel berikut ini: Tabel 5.Ukuran jarum spinal Spinocan® 25 Ga. x 3½ (90 mm) Spinocan® 22 Ga. x 3½ (90 mm) Spinocan® 18 Ga. x 3½ in. (90 mm) Spinocan® 20 Ga. x 3½ in. (90 mm) Spinocan® 22 Ga. x 1½ in. (40 mm) Spinocan® 22 Ga. x 3½ in. (90 mm) Spinocan® 22 Ga. x 4¾ in. (120 mm) Spinocan® 22 Ga. x 5 in. (130 mm) Spinocan® 22 Ga. x 7 in. (180 mm) Spinocan® 25 Ga. x 3½ in. (90 mm) Spinocan® 25 Ga. x 4¾ in. (120 mm) Spinocan® 26 Ga. x 3½ in. (90 mm) Spinocan® 27 Ga. x 3½ in. (90 mm) Sumber: Birchard,2011 Gambar 5. Jarum spinocain 25 G (Birchard,2011) 2.11.6 Tindakan TTNA dengan CT Scan toraks Tindakan TTNA dilakukan di ruang pemeriksaan CT scan. Penderita di monitor di ruang pemeriksaan CT scan. Posisi penderita berbaring. Bila pasien tidak dapat berbaring baik pada posisi supine maupun prone tindakan dibatalkan karena kesulitan teknis penentuan lokasi. Lakukan pemeriksaan CT scan toraks untuk mencari massa tumor. Setelah diketahui massa tumor diukur tingkat kepadatan (ROI). Kemudian diukur jarak antara massa tumor dengan dinding dada. Kemudian tindakan selanjutnya mencari titik tusuk (Point of entry) dengan bantuan CT scan toraks yang sebelumnya telah diberi tanda/ marker ( marker di letakkan di dinding dada). Setelah didapat titik tusuk tersebut, daerah sekitar tempat tesebut dilakukan tindakan antiseptik. Selanjutnya dilakukan anastesi infiltrasi dititik tersebut. Jarum ditusukkan dan diarahkan dengan tepat dengan tuntunan CT scan toraks sampai target yang tepat. Selanjutnya dilakukan biopsi paru dengan jarum spinal. Jarum spinal yang biasa digunakan adalah ukuran 23G atau 25G. Tindakan selanjutnya melepas mandrin jarum biopsi tersebut. Kemudian disambungkan dengan jarum suntik dan diberi tekanan positif. Dilakukan gerakan biopsi naik turun beberapa kali. Kemudian jarum dicabut dan dibuat sediaan dengan cara menyemprotkan aspirat pada gelas objek. Sediaan sesegera mungkin di fiksasi dengan alkohol 96 %. Ulangi prosedur ini beberapa kali sampai didapatkan bahan yang representatif. Selanjutnya bahan dikirim ke bagian patologi anatomi (Astowo,2010) Gambar 6. CT Scan axial nodul multipel di kedua paru (Astowo,2010) Gambar 7. Mencari point of entry (titik tusuk) (Astowo,2010) Gambar 8. Membuat marker pada titik tusuk (Astowo,2010) Gambar 9. Tindakan aspirasi dengan jarum (Astowo,2010) . Gambar 10. Tindakan aspirat dibuat sediaan hapus (Astowo,2010) 2.11.7 KOMPLIKASI British Thoracic Society (BTS) merekomendasikan adanya keseimbangan antara keuntungan ataupun manfaat yang diperoleh dengan risiko yang akan dihadapi sebagai komplikasi tindakan TTNA, dan harus melibatkan tim secara multidisiplin yang minimal melibatkan ahli radiologi dan pulmonologi (Boskovich,2013). Komplikasi yang sering terjadi dari tindakan TTNA adalah : 1. Pneumotoraks. Stanley EK dkk melaporkan angka komplikasi pneumotoraks sebesar 34,8 % dalam mendiagnosis lesi di paru dengan metode TTNA dengan tuntunan CT Scan toraks (EK loh,2013). Sedangkan De Filippo dkk melaporkan angka kejadian pneumotoraks sebesar 28,6 % dalam mendiagnosis lesi di paru dengan teknik TTNA tuntunan CT Scan toraks. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pneumotoraks adalah emfisema paru, jarum yang menembus rongga pleura, kedalaman nodul, letak lesi yang dekat dengan pleura. De filippo tahun 2014 melaporkan tingkat komplikasi pneumotoraks meningkat pada letak nodul dengan kedalaman > 3 cm, sedangkan yankelevitz pada tahun 1993 insiden pneumotoraks meningkat pada lesi < 1 cm. Ukuran jarum yang digunakan juga berpengaruh terhadap insiden pneumotoraks. Semakin besar ukuran jarum yang digunakan, semakin besar insiden pneumotoraks. Setelah dilakukan tindakan dianjurkan dilakukan observasi selama 24 jam untuk melihat adanya komplikasi pneumotoraks (Boskovich,2013;De filippo,2014). 2. Perdarahan Perdarahan merupakan salah satu komplikasi. Angka insiden berkisar 11 %. Perdarahan lokal dapat terjadi disekeliling lesi yang dibiopsi ataupun sepanjang alur dari jarum (Birchard,2011). 3. Emboli udara Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang terjadi tapi fatal bila sampai terjadi. Insiden berkisar 0,02-1,8%. Emboli udara dapat menyebabkan infark serebri, infark miokard, dan kematian. Penatalaksanaan segera adalah dengan melakukan posisi Trendelenburg (Birchard,2011). 4. Infeksi Infeksi disebabkan oleh flora kuman yang ada di kulit yang menembus masuk ke paru. Oleh karena itu sterilisasi kulit sebelum tindakan sangat diperlukan untuk mencegah komplikasi infeksi (Birchard,2011) 5. Beberapa komplikasi lain yang terjadi dapat berupa nyeri, sesak nafas, batuk darah, dan tamponade jantung (Birchard,2011) 2.11.8 Kerangka konsep Pasien diduga kanker paru Riwayat keluarga Riwayat radiasi Progresivitas Anamnesis dan pemeriksaan fisik Jenis kelamin Usia Massa KGB ukuran Pemeriksaan penunjang Radiologi toraks Bronkoskopi CT scan toraks TTNA CT guided Sitologi sputum Diagnosis sitologi Non-diagnostik Diagnostik BAB III Biopsi bedah / histopatologi DIAGNOSIS AKHIR Follow-up klinis METODE PENELITIAN