Chapter II

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru,
mencakup keganasan yang berasal dari paru itu sendiri maupun keganasan dari
luar paru (metastasis tumor di paru). Kanker paru primer yaitu tumor ganas yang
berasal dari epitel bronkus atau karsinoma bronkus atau bronchogenic carcinoma
(PDPI, 2002) .
2.2. Epidemiologi
Kanker paru merupakan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan.
Kanker paru sekarang penyebab kematian akibat kanker baik pada pria maupun
wanita. Menurut perkiraan oleh American Cancer Society, sekitar 160.000
kematian akibat kanker paru di Amerika Serikat pada tahun 2000. Angka ini
melebihi angka kematian akibat kanker kolorektal, payudara, dan kanker prostat,
yang pada tahun 2004 diperkirakan menjadi sekitar 125.000 kematian. Kurang
lebih 1 juta kematian di seluruh dunia setiap tahun akibat kanker paru. Kanker
paru adalah penyebab utama kematian terkait dengan kanker, tidak hanya di
Amerika Serikat tetapi juga di seluruh dunia. Pada tahun 2008 di Amerika serikat
diperkirakan 215.020 penderita kanker paru kasus baru dan sebanyak 161.840
jiwa diperkirakan meninggal karena kanker paru. Pada tahun 2009 terdapat
penderita kanker paru yang meninggal sebanyak 159.000 jiwa (Raza, 2006).
Pada pria, daerah dengan insiden tertinggi (>46/100.000 penduduk per
tahun) adalah Eropa, Amerika Utara dan Australia / Selandia Baru. Angka yang
cukup tinggi (25-46/100.000 penduduk per tahun) terdapat di Cina, Jepang dan
Asia Tenggara, Sedangkan angka terendah (< 25/100.000 penduduk per tahun)
ditemukan di Asia Selatan (India, Pakistan), dan sub-Sahara Afrika. Insiden
kanker paru pada perempuan di seluruh dunia sebagai berikut: relatif tinggi
(>11.5/100.000 penduduk pertahun) yaitu di Kanada, Amerika Serikat, Kuba,
Eropa Utara dan pusat Eropa, Asia Tenggara, Australia, dan Selandia baru,
insiden menengah (6.5-11.5/100.000 penduduk per tahun) yaitu di Meksiko,
Amerika Latin, Eropa Selatan dan Eropa Timur, Afrika Selatan dan Rusia,
sedangkan insiden rendah (<6.5/100.000 penduduk per tahun) yaitu di India,
Afrika, Spanyol (Raza, 2006).
2.3. Etiologi
Etiologi kanker paru dapat dibagi menjadi faktor risiko yang dapat
dimodifikasi dan faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko tidak
dapat dimodifikasi termasuk jenis kelamin, ras, dan predisposisi genetik. Faktorfaktor yang dapat dimodifikasi meliputi paparan asap rokok, asap lingkungan,
karsinogen di lingkungan kerja, polusi udara, dan makanan. Beberapa penyakit
paru yang mendasari juga meningkatkan risiko kanker paru (Josen, 2002).
2.3.1 Jenis Kelamin
Dominasi laki-laki terkena kanker paru secara substansial adalah bahwa
kebiasaan laki-laki merokok lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Bila
dibandingkan antara perempuan dan laki-laki bukan perokok, maka perempuan
memiliki risiko menderita kanker paru 2-7 kali seumur hidupnya dan jika
dibandingkan antara perempuan dan laki-laki perokok, maka perempuan memiliki
risiko lebih besar menderita kanker paru dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini
terjadi karena terdapat perbedaan dalam enzym cytochorome P-450, dan
kemungkinan efek estrogen terhadap perkembangan pertumbuhan kanker paru
(Josen, 2002).
2.3.2. Faktor Genetika
Faktor genetik memicu terjadinya kanker paru dengan angka berkisar
antara 10% dan 15%. Samet menemukan bahwa pada orang tua yang menderita
kanker paru risiko terjadinya kanker paru pada anak meningkat lebih dari lima
kali dibandingkan orang tua yang tidak menderita kanker paru (Deaen 2008;
Senby 2002)
2.3.3. Suku
CYP1A1 adalah gen yang mengkode beberapa enzim yang terlibat dalam
metabolisme hidrokarbon aromatik polynuclear (PAH). PAH adalah karsinogen
yang berlimpah dalam asap rokok, pembakaran arang, gasifikasi batubara, dan
diesel knalpot. Ada beberapa bukti bahwa alel CYP1A1 varian dikaitkan dengan
peningkatan angka kejadian kanker paru pada perokok Afrika dan Amerika
(Senby,2002)
2.3.4. Merokok
Studi epidemiologi secara konsisten mendefinisikan merokok sebagai
faktor risiko utama untuk kanker paru. Asap tembakau yang dihisap baik secara
langsung atau sebagai perokok pasif diperkirakan mengandung 4000 senyawa
kimia, termasuk lebih dari 60 zat yang diketahui menyebabkan kanker. Iritasi
tembakau dan karsinogen merusak sel-sel di paru, dan dari waktu ke waktu sel-sel
yang rusak bisa berubah menjadi kanker. Perokok memiliki tingkat fungsi paru
yang lebih rendah daripada bukan perokok, dan berhenti merokok sangat
mengurangi risiko kumulatif untuk terjadinya kanker paru. Risiko untuk
terjadinya kanker paru meningkat seiring dengan usia awal mulai merokok,
jumlah rokok yang dihisap, dan lama tahun merokok (Prokhorov, 2008)
2.3.5. Environmental Tobacco Smoke (ETS)
ETS adalah campuran dari hampir 5000 senyawa kimia, termasuk 43 zat
karsinogen penyebab kanker paru. Hal ini tidak mengherankan bahwa ETS
menyebabkan penyakit yang sama seperti merokok aktif namun risiko berkurang
secara proporsional dengan pengenceran asap di lingkungan (Josen,2002)
2.3.6. Paparan Pekerjaan
Bahan - bahan karsinogenik di lingkungan pekerjaan dapat meyebabkan
terjadinya kanker paru apabila terpapar lama. Angkanya mencapai antara 3%
sampai 17 %. Bahan karsinogenik yang sering menyebabkan kanker paru antara
lain radon, arsenic, codmium, asbses (josen,2002)
2.4 Gambaran Klinis
Gejala klinis pasien dengan kanker paru dapat berupa sesak napas, batuk,
nyeri dada, suara serak atau kehilangan suara, hemoptisis (sebagian besar dengan
skuamous
sel
karsinoma).
Gambaran
pneumonia
sering
ditemukan.
Adenokarsinoma lebih sering tanpa gejala. Pasien dengan kanker paru sel kecil
(SCLC) berbeda dalam banyak hal dari yang kanker paru bukan sel kecil
(NSCLC). Sekitar 10% pasien dengan SCLC dapat berupa gejala sindroma vena
cava superior. Stridor dan hemoptisis adalah gejala yang jarang pada pasien
dengan SCLC (Hirsch,2004)
Gejala klinis yang timbul disebabkan oleh obstruksi endobronkial,
pneumonia berulang, efek massa dari nodul perifer atau lesi pusat. Gejala juga
bisa dihasilkan dari lesi selain lesi paru primer, seperti metastasis jauh dan
sindrom paraneoplastik. Dalam beberapa kasus, metastasis dapat menjadi
penyebab gejala dan pasien mungkin tidak memiliki keluhan yang dihasilkan dari
lesi paru primer. 50-70% pasien datang dengan keluhan batuk. Gejala lain dapat
berupa suara serak, hemoptisis, mengi dan demam. Timbulnya beberapa gejala
mungkin menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Ada atau tidak adanya
produksi sputum dengan batuk biasanya tidak spesifik. Efusi pleura dan efusi
perikardial merupakan hasil dari invasi oleh sel-sel tumor. Sebanyak 50% dari
semua pasien dengan karsinoma bronkogenik mengeluh nyeri dada pada gejala
awal dan merupakan indikasi dari penyebaran intratoraks nyeri tajam dari
karsinoma bronkogenik adalah pertanda buruk mencerminkan penyakit lanjut atau
invasi pleura. Sekitar 30% dari pasien hadir dengan dipsneu. Obstruksi
endobronkial, atalektasis, dan efusi pleura dapat menjadi penyebab dispneu pada
pasien karsinoma bronkogenik. Tumor pancoast terjadi pada sulkus superior dan
menyerang sekitar ganglia simpatik dan interkostalis saraf serta pleksus brakialis.
Hal ini menyebabkan nyeri bahu, kelemahan atau mati rasa pada ekstremitas atas
ipsilateral, dan sindrom Horner (ptosis, miosis, anhidrosis). Kompresi vena kava
superior dapat menyebabkan sindrom vena kava superior yang manifestasinya
berupa edema ekstremitas atas, wajah, dan dipsneu, pelebaran vena kolateral.
Sindrom paraneoplastik yang disebabkan oleh sekresi hormon dan bahan kimia
oleh tumor terjadi pada sekitar 10 sampai 15% pasien (Raza,2006)
Gejala klinis dari kanker paru secara garis besar dapat dibagi :
A. Manifestasi Lokal Kanker Paru (Intrapulmonal Intratorakal)
Gejala lokal yang timbul berupa batuk berdahak, batuk darah, sesak napas,
nyeri dada.Obstruksi saluran napas biasanya terjadi setelah tumor berukuran
besar.
1. Batuk bisa terjadi akibat tumor endobronkial, pneumonia, atau efusi pleura.
2. Hemoptisis yang sering terlihat pada pasien dengan lesi endobronkial dan
juga dapat mengakibatkan komplikasi terkait kanker paru, seperti emboli paru
atau pneumonia.
3. Sesak napas dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk penyakit pada
endobronkial, atelektasis, emboli paru, penyebaran tumor ke kelenjar limfe
dan efusi perikardial yang menyebabkan aritmia dan tamponade.
4.
Nyeri dada, terjadi sebagai akibat invasi tumor ke pleura, ke dinding dada
dan ke mediastinum (Fosella, 2003;Putnam 2003:Shah 2007).
B. Manifestasi Intratorakal Ekstrapulmonal
1. Disfagia
Invasi tumor secara langsung atau kelenjar mediastinum yang membesar
dapat menyebabkan penekanan pada esophagus, menyebabkan disfagia
(Syahruddin,2008)
2. Suara Serak
Tumor dapat menekan nervus laringeus rekurens menyebabkan paralisis pita
suara. Tumor mediastinum yang besar dapat menyebabkan paralisis pita
suara bilateral, menyebabkan stridor akibat sumbatan pada saluran napas
bagian atas (Fossella,2003)
3. Sindroma Horner,s
Tumor yang berada di apikal dapat meluas, melibatkan saraf simpatis dan
menyebabkan sindroma Horner,s (kelopak mata jatuh, pupil mengecil, tidak
berkeringat pada satu sisi wajah) (Fossella, 2003)
4. Sindroma Vena Kava Superior (SVKS)
Gambaran klinis SVKS adalah sesak napas, bengkak pada muka, leher dan
lengan, batuk, orthopnue, nyeri dada dan sakit kepala. Sedangkan tanda klinis
SVKS adalah pelebaran vena dileher, wajah sembab, venektasi vena dileher,
daerah dada maupun punggung, bengkak pada lengan dan edema (Fossella,
2003;Putnam 2003)
C. Manifestasi Ekstratorakal Non Metastasis
Penderita kanker paru mengalami sindroma paraneoplastik. Hal ini terjadi bukan
karena invasi tumor secara langsung melainkan karena polipeptida yang
dihasilkan oleh sel-sel tumor yang menyerupai hormon.
Tabel 1. Sindroma Paraneoplastik
Tipe kanker
Gejala
Manifestasi klinis
Sindroma cushing
Penurunan berat badan,
hipertensi,intoleransi
Karsinoma sel kecil
glukosa,gangguan
Anti diuretik hormon
elektrolit
Hiponatremia
Parahormon,hormon
Karsinoma sel
Hiperkalsemia
paratiroid
skuamous
Karsinoma sel besar
Human chorionic
Ginekomastia
gonadotropin
Sumber : Putnam,2003
D. Manifestasi Ekstratorakal Metastasis
a. Metastasis ke hati
Keluhan paling sering ditemukan adalah anoreksia, perasaan tidak nyaman
dan penurunan berat badan. Gejala klinis yang jarang ditemukan adalah
ikterik, nyeri perut kanan atas yang berhubungan dengan hepatomegali.
b. Metastasis ke susunan saraf pusat
Gejala klinis metastasis ke otak adalah nyeri kepala, perubahan status
mental, kejang, mual dan muntah, defisit fokal motorik dan sensorik.
c. Metastasis ke tulang
Sepertiga dari penderita kanker paru bermetastasis ke tulang, gejala paling
sering berupa nyeri tulang, biasanya asimptomatik
d. Metastasis ke adrenal
Metastasis adrenal yang luas dapat menyebabkan nyeri punggung dan
bilateral metastasis adrenal dapat menyebabkan terjadinya insufisiensi
adrenal
2.5 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang cermat adalah komponen penting dalam
menegakkan kanker paru karena dapat memberikan petunjuk diagnostik,
prognosis. Penampilan umum mungkin tampak normal atau adanya lemah,
kakhesia, kelesuan, pucat, dan sakit kepala. Suara serak menunjukkan adanya
gangguan N. rekurens laryngeus. Tanda obstruksi berupa sesak nafas dan nafas
berbunyi sering di jumpai sebagai akibat adanya obstruksi ataupun ada penyakit
dasar yang menyertai seperti PPOK. hipertensi vena jugularis dan pulsus
paradoksus merupakan tanda-tanda tamponade pericardium (Fossella,2003).
2.6 Pemeriksaan Laboratorium
Evaluasi klinis pasien yang diduga kanker paru dengan menggunakan
laboratorium rutin, yang terdiri dari hitung darah lengkap (termasuk hitung darah
diferensial dan jumlah trombosit) sangat membantu menegakkan diagnosis. Tes
laboratorium ini dapat menjadi indikator yang berguna untuk melihat adanya
proses metastatik seperti peningkatan alkaline phosphatase, hiponatremia karena
SIADH,
hipokalemia
dan
hiperglikemia
karena
produksi
hormon
adrenokortikotropik ektopik atau hiperkalsemia. Tingkat albumin yang rendah dan
serum laktat dehidrogenase meningkat memberikan prognosis yang lebih buruk
pada pasien kanker paru (Fossella,2003).
2.7 Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologis adalah salah satu pemeriksaan penunjang yang
mutlak dibutuhkan untuk menentukan lokasi tumor primer dan metastasis serta
penentuan stadium penyakit berdasarkan sistem TNM. Pemeriksaan radiologi paru
yaitu Foto toraks PA/lateral, bila mungkin CT-scan toraks, CT Scan tulang, Bone
survey, USG abdomen dan Brain-CT dibutuhkan untuk menentukan letak
kelainan, ukuran tumor dan metastasis (PDPI,2002).
2.7.1 Foto Toraks
Lebih dari 85% kesalahan diagnosis kanker paru pada foto toraks
disebabkan letak lesi yang perifer, ukuran lesi < 2 cm, kekuatan kontras foto
toraks yang rendah, adanya letak lesi yang overlapping dengan tulang kosta
ataupun klavikula. Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan dapat dilihat bila
masa tumor dengan ukuran tumor lebih dari 1 cm. Tanda yang mendukung
keganasan adalah tepi yang ireguler, disertai identasi pleura, tumor satelit, dll.
Pada foto tumor juga dapat ditemukan telah invasi ke dinding dada, efusi pleura,
efusi perikard dan metastasis intrapulmoner. Sedangkan keterlibatan kelenjar
getah bening untuk menentukan N agak sulit ditentukan dengan foto toraks saja
(PDPI,2002).
Gambaran umum yang sering ditemui adalah opasitas lokal (nodul atau
massa), efusi pleura, atelektasis, dan adenopati. Skuamous sel karsinoma biasanya
muncul sebagai massa di sentral atau dekat hilus, yang mungkin dapat berupa
kavitas. Karena berasal dari saluran napas sentral, hingga 50 % dari pasien dengan
skuamous sel karsinoma akan tampak gambaran obstruksi endobronkial dengan
pneumonia atau atelektasis. Adenokarsinoma biasanya muncul di perifer sebagai
nodul soliter atau massa. BAC mungkin muncul sebagai nodul atau alveolar yang
menjadi difus. Diperkirakan foto toraks 70-80 % akurat dalam mendeteksi
keseluruhan kanker paru, 50-60% sensitif dalam mendeteksi adenopati hilar, dan
kurang dari 50 % sensitif dalam mendeteksi adenopati mediastinum
(Tyczynski,2006).
Tabel 2. Gambaran foto toraks berdasarkan tipe histologi kanker paru
Gambaran radiologi
Karsinoma sel Adenokar
Karsinoma
Karsinoma
skuamosa
sinoma
sel kecil
sel besar
Nodul ≤ 4cm
14%
46%
21%
18%
Lokasi perifer
29%
65%
26%
61%
Lokasi sentral
64%
5%
74%
42%
Massa Hilar/parahilar
40%
17%
78%
32%
Kavitas
5%
3%
0%
4%
Keterlibatan
3%
14%
5%
2%
Adenopati hilar
38%
19%
61%
32%
Adenopati
5%
9%
14%
10%
pleura/dinding dada
mediastinal
Sumber: Hirsch,2004
2.7.2 CT scan Toraks
Teknik pencitraan ini dapat menentukan kelainan di paru secara lebih
baik daripada foto toraks. CT-scan dapat mendeteksi tumor dengan ukuran lebih
kecil dari 1 cm secara lebih tepat. Demikian juga tanda-tanda proses keganasan
juga tergambar secara lebih baik, bahkan bila terdapat penekanan terhadap
bronkus, tumor intrabronkial, atelektasis, efusi pleura yang tidak masif dan telah
terjadi invasi ke mediastinum dan dinding dada meski tanpa gejala. Lebih jauh
lagi dengan CT-scan, keterlibatan KGB yang sangat berperan untuk menentukan
stadium juga lebih baik karena pembesaran KGB (N1 s/d N3) dapat dideteksi.
Demikian juga ketelitiannya mendeteksi kemungkinan metastasis intra pulmoner
(PDPI,2002).
Kekurangan dari foto toraks dan CT-scan toraks adalah tidak mampu
mendeteksi telah terjadinya metastasis jauh. Untuk itu dibutuhkan pemeriksaan
radiologik lain, misalnya CT scan kepala untuk mendeteksi metastasis di tulang
kepala / jaringan otak, CT Scan tulang dan/atau bone survey dapat mendeteksi
metastasis diseluruh jaringan tulang tubuh. USG abdomen dapat melihat ada
tidaknya metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ lain dalam rongga perut
(PDPI,2002).
2.7.3 PET (Positron Emission Tomography) atau PET-CT
PET-CT adalah prosedur yang tidak invasif dalam menilai pembesaran
kelenjar getah bening dengan sensitivitas 74 % dan spesifisitas 85 %, namun jika
pembesaran kelenjar getah bening lebih besar sensitivitasnya dapat menjadi 100
% dengan spesifisitas 79 % (Hammerscmidt,2009).
2.7.4 MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Dengan pemeriksaan MRI scan dapat memberikan informasi lebih rinci
tentang invasi tumor ke struktur toraks. Pada pancoast tumor sangat penting untuk
menilai invasi tumor ke vaskular, saraf plexus brakialis dan ketika kanker paru
direncanakan untuk tindakan operasi (Hammerscmidt,2009).
2.7.5 Pemeriksaan Radiologi Tambahan
Dalam menentukan stadium kanker paru, diperlukan pemeriksaan
radiologi tambahan. Untuk mendeteksi metastasis yang jauh diperlukan pencitraan
yang tepat dengan : (Fossella,2003)
a. CT atau MRI kranial dengan kontras
b. Bone Scientigraphy
c. Ultrasonografi
d. CT atau MRI hati dan adrenal
2.8. Histologi Kanker Paru
Karsinoma bronkogenik dibagi menjadi empat jenis histologi yang utama
berdasarkan
sifat
biologi
dan
penanganan
dan
prognosisnya
Hammerscmidt,2009;Patel,2008)
1. Kanker paru karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) sebanyak 70 %
- Karsinoma sel skuamosa (52 %)
yaitu:(
- Adenokarsinoma (13 %)
- Karsinoma sel besar (5 %)
2. Kanker paru karsinoma sel kecil (KPKSK) sebanyak 30 %
2.9. Stadium kanker Paru
Anatomi kelenjar getah bening dalam klasifikasi revisi TNM untuk kanker
paru berdasarkan N1, N2 kelenjar getah bening mediastinum sesuai komite
Staging Internasional (ISC) dari Asosiasi Internasional untuk Studi Kanker Paru
(IASLC) pada nodul stasiun untuk stadium kanker paru (Punamiya,2011).

Sistem TNM
Sistem TNM ini menggambarkan tingkat anatomi penyakit didasarkan pada
penilaian dari tiga komponen : T : besarnya tumor primer, N : ada atau tidaknya
keterlibatan / metastasis kelenjar getah bening, M : ada atau tidaknya metastasis
jauh (Peter,2009).

TNM klasifikasi klinis

T: Tumor primer

TX : tumor primer tidak dapat dinilai, atau tumor dibuktikan oleh adanya
sel-sel ganas di sputum atau hasil bilasan bronkial tetapi tidak di
visualisasikan oleh pencitraan atau bronkoskopi

T0 : Tidak ada bukti tumor primer

Tis : Karsinoma in situ

T1:Tumor 3 cm atau kurang dalam dimensi terbesar, dikelilingi oleh paruparu atau visceral pleura, tanpa bukti dari bronkoskopi dimana invasi lebih
proksimal dari bronkus lobar (yaitu, bukan dalam bronkus utama)
T1a : Tumor 2 cm atau kurang dalam dimensi terbesar
T1b : Tumor lebih dari 2 cm tapi tidak lebih dari 3 cm dalam dimensi
terbesar

T2 :Tumor lebih dari 3 cm tetapi tidak lebih dari 7 cm, atau tumor dengan
salah satu dari poin berikut berikut:
-
Melibatkan bronkus utama, 2 cm atau lebih distal ke karina
-
Menginvasi pleura visceral
-
Terkait dengan atelektasis atau pnemonitis obstruktif yang meluas ke
daerah hilus, tetapi tidak melibatkan seluruh paru-paru
T2A Tumor lebih dari 3 cm tetapi tidak lebih dari 5 cm terbesar
dimensi.
T2B Tumor lebih dari 5 cm tapi tidak lebih dari 7 cm dalam dimensi
terbesar.

T3 : Tumor lebih dari 7 cm atau yang secara langsung menginvasi salah
satu dari berikut: dinding dada (termasuk tumor sulkus superior),
diafragma, saraf frenikus, mediastinum pleura, pericardium parietal, atau
tumor di bronkus utama kurang dari 2 cm distal ke karina tapi tanpa
keterlibatan karina, atau atelektasis terkait atau pneumonitis obstruktif
paru-paru seluruh atau nodul tumor yang terpisah di lobus yang sama
sebagai tumor primer.

T4 : Tumor dari berbagai ukuran yang menyerang salah satu dari berikut:
mediastinum, jantung, pembuluh darah besar, trakea, saraf laryngeal
rekuren, esofagus, tulang belakang, karina, tumor nodul yang terpisah
dalam lobus ipsilateral berbeda dengan tumor primer.

N : Kelenjar getah bening regional

NX : kelenjar getah bening regional tidak dapat dinilai

N0 : Tidak ada metastasis daerah kelenjar getah bening

N1: Metastasis di peribronchial ipsilateral dan / atau kelenjar getah bening
hilus ipsilateral dan di intrapulmonal, termasuk keterlibatan dengan
ekstensi langsung

N2 : Metastasis di kelenjar getah bening mediastinum ipsilateral dan /
atau subkarina

N3 : Metastasis di hilus kontralateral mediastinal, kontralateral, sisi tak
sama panjang ipsilateral atau kontralateral, atau kelenjar getah bening
supraklavikula

M : Metastasis jauh

M0 : Tidak ada metastasis jauh

M1: Metastasis jauh

M1A : Nodul tumor terpisah dalam lobus kontralateral, tumor pleura
dengan nodul atau ganas pleura atau efusi perikardial

M1B : Metastasis jauh
Tabel 3.Derajat Kanker Paru
Versi 6
Versi 7
T
N
M
T
N
M
X
0
0
0
0
0
Is
0
0
Is
0
0
IA
1
0
0
IA
1a,b
0
0
IB
2
0
0
IB
2a
0
0
IIA
1
1
0
IIA
1a,b
1
0
2a
1
0
2b
0
0
2b
1
0
3
0
0
1,2
2
0
3
1,2
0
4
1,0
0
4
2
0
Any
3
0
Any
Any
1a,b
Occult
Carcinoma
0
I
II
IIB
III
IIIA
IIIB
IV
2
1
0
3
0
0
1-3
2
0
3
1
0
4
0-2
0
Any
3
0
Any
Any
1
IIB
IIIA
IIIB
IV
Sumber: Hammerscmidt,2009
2.10 CT Scan (Computer Tomography Scanning)
Computer Tomography (CT) Scanner merupakan alat diagnostik dengan
teknik radiografi yang menghasilkan gambar potongan tubuh secara melintang
berdasarkan penyerapan sinar-x pada irisan tubuh yang ditampilkan pada layar
monitor (Goldman,2007).
CT Scan dapat menghasilkan gambar yang sangat akurat dari organ didalam
tubuh seperti tulang, pembuluh darah. Sejak tahun 1972 CT scan telah di
perkenalkan sebagai alat prosedur diagnostik dalam dunia kedokteran yang di
perkenalkan pertama kali oleh Sir Godfrey Hounsfield di Hayes, Inggris yang
menghasilkan gambar CT Scan untuk keperluan klinis. Prinsip dasar dari
Computer tomograpy sama dengan radiografi konvensional yaitu menggunakan
sinar X melalui teknik tomografi dan komputerisasi. Sinar X menembus tubuh di
buat sedemikian rupa sehingga dalam bentuk potongan penampang tipis, bisa
berupa potongan aksial dan koronal. Absorbsi sinar X oleh jaringan lunak dengan
konstituen perbedaan nomor atom direkam oleh detektor dalam bentuk data
digital, dikonversikan kedalam bentuk bayangan organ hitam putih seksional
(Goldman,2007).
Gambar 1. Prinsip kerja CT Scanner (Goldman,2007)
Indikasi CT scan toraks digunakan untuk meneliti lebih lanjut tentang
kelainan yang ditemukan pada foto toraks, membantu mendiagnosis kelainan yang
timbul di rongga dada, mendeteksi dan mengevaluasi luasnya tumor atau hasil
metastasis dari organ lain dari tubuh, mengevaluasi kemajuan suatu pengobatan
dan mengevaluasi cidera pada dada dan organ didalamnya. Angka sensitivitas dan
spesifisitas CT Scan dalam mendiagnosis metastasis kelenjar limfe sebesar 76 %
dan 78 % (Weitberg,2002).
Keunggulan CT-Scan (Fossella,2003):
a. Memiliki kontras resolusi dan spasial resolusi yang tinggi. Kontras resolusi
adalah kemampuan untuk membedakan dua objek yang memiliki densitas hampir
sama. Spasial resolusi adalah kemampuan untuk membedakan dua objek yang
saling berdekatan letaknya.
b. Hasil gambaran dapat direkonstruksi sesuai kebutuhan, misalnya dari proyeksi
aksial dijadikan proyeksi sagital atau koronal.
c. Gambaran jaringan lunak memiliki karakteristik yang baik dengan adanya
pengaturan window.
d. Hasil gambaran berupa irisan melintang ( cross sectional ) sehingga super
posisi antar organ dapat dihindari
e. Diagnosis lebih akurat dengan adanya pengambilan gambaran dari berbagai
proyeksi seperti proyeksi aksial, sagital dan koronal.
f. CT scan dapat dilakukan dengan cepat.
g. Memberikan pencitraan spesifik terhadap tulang, jaringan lunak dan pembuluh
darah.
Kelemahan CT scan :
1) CT Scan melibatkan pajanan terhadap radiasi sinar X
2) Risiko alergi terhadap bahan kontras
3) Tidak boleh sering dilakukan pada anak anak dan wanita hamil
4) CT Scan tidak baik untuk mengidentifikasi patologi jaringan lunak
5) Membutuhkan biaya mahal
Suatu skala untuk mengukur koefisien atenuasi jaringan pada CT di sebut
Hounsfield Unit (HU). Housfield Unit juga sering disebut CT numbers.
Tabel 4. Contoh Hounsfield Unit dari berbagai jaringan
Jaringan
Hounsfield unit
Tiroid
70 ± 10
Hepar
65 ± 5
Otot
45 ± 5
Limpa
45 ± 5
Darah (beku)
80 ± 10
Darah (Vena)
55 ± 5
Tulang (padat)
>250
Tulang (spongy)
130 ± 100
Pankreas
40 ±10
Ginjal
30 ± 10
Jaringan lemak
-90 ± 100
Sumber: Astowo,2010
Penelitian yang dilakukan Herlambang tahun 2003 dalam meneliti
karakteristik jenis kanker paru berdasarkan peningkatan densitas didapatkan
terdapat perbedaan Housfield Unit (HU) pada jenis sel ganas yaitu antara 55 – 80
HU dimana karsinoma epidermoid mempunyai ukuran HU paling tinggi (80 HU)
dan, diikuti adenocarcinoma (67 HU), small cell ( 62 HU), large cell (61 HU) dan
yang
paling
rendah
jenis
undifferentiated/
malignant
cell
(55
(Herlambang,2003).
Gambar 2. Computer Tomography (CT-Scan) dan hasil (Fossella,2003)
HU)
2.11 TransThoracic Needle Aspration (TTNA)
2.11.1 SEJARAH
TransThoracic Needle Aspiration (TTNA) merupakan suatu tindakan
metode diagnosis invasif dibidang penyakit paru yang biasa digunakan untuk
diagnostik massa ganas di paru. Tindakan ini pertama kali diperkenalkan oleh
Leyden tahun 1883. Tujuan dari tindakan ini adalah mengkonfirmasi diagnosis
pneumonia. Kemudian Menetrier pada tahun 1886 melaporkan penggunaan
prosedur ini pada 3 orang penderita dengan massa di paru. Saat itu tindakan ini
belum banyak digunakan karena efek samping yang sering terjadi dan biasanya
berat karena menggunakan jarum aspirasi yang besar. Efek samping yang sering
terjadi adalah perdarahan dan pneumotoraks, dan tidak jarang menimbulkan
kematian (Astowo,2010).
Dengan perkembangan diagnostik pencitraan dan perkembangan teknik
biopsi seperti diperkenalkan jarum halus dan semakin meluas penerimaan
pemeriksaan sitologi, membuat Transthoracic biopsy diterima luas dan sangat
berguna dalam menyelidiki lesi yang ada di toraks. Selanjutnya banyak publikasi
yang telah banyak dimuat dalam beberapa jurnal untuk diagnosis lesi jinak
maupun ganas pada kelainan paru dengan melakukan TTNA. TTNA dapat
dilakukan dengan tuntunan USG, CT Scan toraks, ataupun dengan C-arm cone –
beam CT (CBCT) (Nitadori,2006).
2.11.2 DEFINISI
Transthoracic Needle Aspiration (TTNA) merupakan tindakan melakukan
biopsi jarum halus secara transtorakal dengan atau tanpa tuntunan fluoroskopi/
USG/ CT scan untuk kepentingan diagnostik. Gupta tahun 2010 mendefinisikan
TTNA adalah tindakan menusukkan jarum kedalam lesi abnormal untuk
mengambil jaringan atau sel untuk menegakkan diagnosis. Tindakan TTNA
dengan tuntunan CT Scan toraks merupakan tindakan yang tidak invasif
dibandingkan dengan biopsi eksisi ataupun biopsi karena berhubungan dengan
tingkat mortalitas dan morbiditas yang rendah dibandingkan dengan biopsi eksisi
ataupun biopsi terbuka (Gupta,2010).
TTNA dapat dilakukan pada pasien pada kasus nodul paru yang soliter
dimana secara klinis, radiologis foto toraks dan tindakan bronkoskopi yang belum
mendapatkan diagnosis definitif. TTNA juga dapat diindikasikan pada kasus
dengan penyakit paru intersisial, infiltrat yang persisten baik single ataupun
multipel yang tidak terdiagnosis dari kultur sputum, kultur darah dan bronkoskopi.
TTNA juga merupakan pilihan diagnostik lesi di perifer yang dicurigai suatu
keganasan (Levine,1988;Boskovich,2013;Dewan,1995).
Pada beberapa tahun ini telah dilaporkan angka tingkat akurasi TTNA ± 80
% untuk penyakit jinak dan ± 90 % untuk penyakit keganasan. Wescott pada
tahun 2011 melaporkan secara keseluruhan angka sensitivitas 93 % dan angka
spesifisitas 100 % dalam mendiagnosis nodul paru dengan ukuran diameter < 1,5
cm. Stanley EK loh pada tahun 2013 melaporkan angka akurasi diagnostik pada
lesi yang malignan sebesar 96,8 % dan angka sensitivitas dan spesifisitas masing
masing 95,7 % dan 100 % dengan menggunakan jarum no 18G – 23G (EK
loh,2013). Beslic pada tahun 2012 membandingkan teknik TTNA dengan
tuntunan CT scan toraks dengan jarum dan core biopsy dan didapatkan hasil
diagnostik dengan jarum sebesar 79,60 % dengan menggunakan jarum no 22G,
sedangkan memakai core biopsy sebesar 96,85%, sedangkan komplikasi
pneumotoraks dengan core biopsy lebih besar yaitu 31,5%, lebih besar
dibandingkan dengan jarum yaitu 9,7 %. Penelitian yang dilakukan Lee pada
tahun 2009 tindakan TTNA dengan jarum aspirasi no 21G dengan C-arm Conebeam CT (CBCT) didapatkan hasil akurasi diagnostik sebesar 97,9% dalam
mendiagnostik lesi di paru (Beslic,2012;Lee,2012).
Lima
dkk
melaporkan
tingkat
akurasi prosedur
TTNA dengan
menggunakan jarum spinal no. 25G dengan tuntunan CT Scan toraks dalam
menegakkan diagnosis keganasan pada lesi di paru adalah sebesar 91%
(Lima,2011). Beg dkk tahun 2002 juga melaporkan tingkat akurasi diagnostik
sebesar 46,74 % dengan jarum no 25G dalam mendiagnosis lesi yang dicurigai
menderita tuberkulosis (Beg,2002). Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni dkk
tahun 2009 di RS Persahabatan dalam mendiagnosis lesi di paru yang dicurigai
keganasan dengan membandingkan hasil bronkoskopi dengan TTNA dengan
jarum spinal no 25G, didapatkan hasil akurasi yang lebih tinggi dengan teknik
TTNA menggunakan jarum spinal no 25G sebesar 80 % dibandingkan dengan
bronkoskopi sebesar 50 % (Wahyuni,2009).
2.11.3 INDIKASI
American Thoracic Society (ATS) mempublikasikan indikasi tindakan TTNA
antara lain ( Astowo,2010 ; Birchad,2011):
1) Massa atau nodul yang soliter maupun multipel
2) Diagnosis dugaan metastasis paru pada pasien dengan diketahui kanker
primer
3) Konfirmasi diagnosis kanker pada pasien yang tidak dianjurkan untuk
reseksi operasional
4) Mendapatkan bahan untuk analisis mikrobiologi yang diduga suatu proses
infeksi
5) Mendapatkan bahan diagnostik dari kelenjar getah bening dan lesi lainnya
di mediastinum
6) lesi pada mediastinum atau di hilus
7) invasi tumor paru ke dinding dada
8) Konsolidasi atau infiltrat di paru
Crestanello pada tahun 2004 mengindikasikan TTNA pada kasus adanya
massa di mediastinum, mengevaluasi massa di perihilar setelah gagal ataupun
negatif didiagnosis dengan bronkoskopi, mengevaluasi nodul ataupun
konsolidasi pada proses infeksi (Crestanello,2004).
Indikasi TTNA menurut BTS :
1. Nodul atau massa soliter pada foto toraks yang tidak dapat diidentifikasi
melalui bronkoskopi atau dari CT Scan torak menunjukkan bronkoskopi
tidak dapat mengakses lesi
2. Nodul multipel yang dicurigai keganasan
3. Infiltrat lokal yang persisten dimana penunjang diagnosis yang dilakukan
tidak diketahui penyebabnya.
2.11.4 KONTRAINDIKASI
Beberapa kontraindikasi untuk tindakan TTNA adalah (Birchard,2011
;Manhire,2003 ; Beamis,2014):
1) Pasien tidak kooperatif
2) Pasien yang tidak menyetujui informed consent
3) Batuk yang sulit diatasi
4) Kista hidatid paru karena beresiko terjadi ruptur kapsul dan penyebaran
sistemik
5) Kurangnya pelatihan atau pengawasan operator
6) Kurangnya peralatan atau personel yang memadai untuk memberikan
perawatan darurat pasien dalam kasus komplikasi termasuk pneumotoraks,
perdarahan, dan serangan jantung.
7) Gangguan koagulopati
8) hipertensi pulmonal berat
9) Kurangnya peralatan pencitraan yang memadai
10) Ketidakmampuan untuk memvisualisasikan lesi pada saat biopsi
11) Lesi diduga vaskular
12) Pasien yang membutuhkan atau diantisipasi membutuhkan ventilasi
mekanis
13) Setiap situasi dimana hasil biopsi tidak akan mempengaruhi pasien
manajemen atau prognosis
Beberapa kondisi dikaitkan dengan peningkatan risiko yang mungkin
memerlukan pertimbangan khusus : (Beamis,2014)
1. Emfisema bulosa atau jaringan paru kistik sepanjang jalur jarum
2. Uremia
3. Hipertensi pulmonal
4. Gangguan koagulasi dikaitkan dengan peningkatan risiko perdarahan
5. Infark miokard, angina tidak stabil, gagal jantung kongestif atau disritmia
jantung yang tidak terkontrol
6. Usia lanjut dan malnutrisi
7. Sindroma Vena Cava Superior
8. Gangguan fungsi pembekuan darah dimana platelet < 100.000/ ml, rasio
APTT atau rasio PT > 1,4.
2.11.5 PROSEDUR TINDAKAN
Dapat dilakukan tanpa atau menggunakan tuntunan/ bantuan Ultrasound
(USG), fluoroskopi atau CT scan toraks. Bila melakukan tindakan tanpa bantuan,
terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaan foto toraks standar yaitu foto toraks
PA (postero Anterior) dan lateral untuk mengetahui lokasi massa tersebut.
Akurasi atau keberhasilan TTNA akan lebih baik bila menggunakan bantuan CT
scan toraks bila dibandingkan dengan yang lain, karena dapat diukur / ditentukan
jarak massa dari dinding dada dan kepadatan massa tersebut (Astowo,2010).
Sulit menentukan daerah yang akan diambil untuk biopsi tanpa bantuan
pencitraan dengan CT scan toraks terutama bila diameter massa tersebut kecil (
kurang dari 1 cm), atau tumor tersebut terdiri dari jaringan nekrotik dan
peradangan atau terbentuk kavitas. Untuk mendapat jaringan tumor tersebut
diambil daerah yang mempunyai kepadatan (ROI=Region Of Interest) 30-50 HU
(Hounsfield Unit), sedangkan bila dilakukan biopsi pada daerah dengan ROI lebih
kecil dari 30 HU akan didapat jaringan nekrotik atau peradangan sehingga
ditemukan negatif palsu (Astowo,2010).
Dalam melakukan tindakan TTNA dapat digunakan jarum biopsi dari
berbagai konfigurasi, panjang jarum, ujung jarum, dan mekanisme pengambilan
sampel yang tersedia. Jarum yang dipilih tergantung pada karakteristik lesi, jenis /
jumlah jaringan yang dibutuhkan, dan preferensi operator. Jarum biopsi dapat
dibagi menjadi tiga kelompok:
(1) Jarum apirasi untuk pengambilan spesimen untuk evaluasi sitologi
(2) jarum pemotongan untuk pengambilan spesimen untuk evaluasi histologis
(3) jarum biopsi inti otomatis (automated core biopsy needle) untuk pengambilan
spesimen untuk evaluasi histologist (Birchard,2011).
Jarum aspirasi yang berdinding tipis dan fleksibel digunakan untuk
memperoleh spesimen untuk sitologi atau evaluasi mikrobiologis. Yang paling
umum digunakan kelompok ini adalah jarum Chiba yang tersedia dalam ukuran
18 sampai 25-gauge (Birchard,2011; Neyaz,2012).
Untuk tumor yang membutuhkan histologis atau spesimen yang lebih
besar untuk analisis, jarum cutting dapat digunakan. Jarum ini memiliki ujung
beraneka ragam. Dua jarum yang biasa digunakan dalam kelas ini adalah
Franseen dan Westcott. Jarum ini dapat dimodifikasi sebagai jarum aspirasi,
dalam arti bahwa mereka dapat dipakai sebagai aspirasi disamping dapat
memotong jaringan (Birchard,2011; Neyaz,2012).
Jarum biopsi inti otomatis biasanya digunakan untuk mendapatkan
jaringan untuk evaluasi histologis. Sebagian besar perangkat biopsi, seperti Temno
atau Achieve merupakan perangkat yang menggunakan mekanisme pegas yang
diaktifkan. Panjang jarum bervariasi antar perangkat. Penggunaan perangkat
biopsi otomatis dapat meningkatkan hasil jika ahli patologi tidak di tempat pada
saat biopsi karena tergantung pada jenis tumor, jarum akan mendapatkan sampel
inti yang bebas dari kerusakan (Birchard,2011).
Gambar 3. Jenis jarum aspirasi (Birchard,2011)
Gambar 4. Core biopsy (Birchard,2011)
Untuk melakukan TTNA dibutuhkan jarum dengan ukuran tertentu. Dalam
penelitian ini akan digunakan jarum spinal 25G. Beberapa ukuran jarum
ditampilkan dalam tabel berikut ini:
Tabel 5.Ukuran jarum spinal
Spinocan® 25 Ga. x 3½
(90 mm)
Spinocan® 22 Ga. x 3½
(90 mm)
Spinocan® 18 Ga. x 3½ in.
(90 mm)
Spinocan® 20 Ga. x 3½ in.
(90 mm)
Spinocan® 22 Ga. x 1½ in.
(40 mm)
Spinocan® 22 Ga. x 3½ in.
(90 mm)
Spinocan® 22 Ga. x 4¾ in.
(120 mm)
Spinocan® 22 Ga. x 5 in.
(130 mm)
Spinocan® 22 Ga. x 7 in.
(180 mm)
Spinocan® 25 Ga. x 3½ in.
(90 mm)
Spinocan® 25 Ga. x 4¾ in.
(120 mm)
Spinocan® 26 Ga. x 3½ in.
(90 mm)
Spinocan® 27 Ga. x 3½ in.
(90 mm)
Sumber: Birchard,2011
Gambar 5. Jarum spinocain 25 G (Birchard,2011)
2.11.6 Tindakan TTNA dengan CT Scan toraks
Tindakan TTNA dilakukan di ruang pemeriksaan CT scan. Penderita di
monitor di ruang pemeriksaan CT scan. Posisi penderita berbaring. Bila pasien
tidak dapat berbaring baik pada posisi supine maupun prone tindakan dibatalkan
karena kesulitan teknis penentuan lokasi. Lakukan pemeriksaan CT scan toraks
untuk mencari massa tumor. Setelah diketahui massa tumor diukur tingkat
kepadatan (ROI). Kemudian diukur jarak antara massa tumor dengan dinding
dada. Kemudian tindakan selanjutnya mencari titik tusuk (Point of entry) dengan
bantuan CT scan toraks yang sebelumnya telah diberi tanda/ marker ( marker di
letakkan di dinding dada). Setelah didapat titik tusuk tersebut, daerah sekitar
tempat tesebut dilakukan tindakan antiseptik. Selanjutnya dilakukan anastesi
infiltrasi dititik tersebut. Jarum ditusukkan dan diarahkan dengan tepat dengan
tuntunan CT scan toraks sampai target yang tepat. Selanjutnya dilakukan biopsi
paru dengan jarum spinal. Jarum spinal yang biasa digunakan adalah ukuran 23G
atau 25G. Tindakan selanjutnya melepas mandrin jarum biopsi tersebut.
Kemudian disambungkan dengan jarum suntik dan diberi tekanan positif.
Dilakukan gerakan biopsi naik turun beberapa kali. Kemudian jarum dicabut dan
dibuat sediaan dengan cara menyemprotkan aspirat pada gelas objek. Sediaan
sesegera mungkin di fiksasi dengan alkohol 96 %. Ulangi prosedur ini beberapa
kali sampai didapatkan bahan yang representatif. Selanjutnya bahan dikirim ke
bagian patologi anatomi (Astowo,2010)
Gambar 6. CT Scan axial nodul multipel di kedua paru (Astowo,2010)
Gambar 7. Mencari point of entry (titik tusuk) (Astowo,2010)
Gambar 8. Membuat marker pada titik tusuk (Astowo,2010)
Gambar 9. Tindakan aspirasi dengan jarum (Astowo,2010)
.
Gambar 10. Tindakan aspirat dibuat sediaan hapus (Astowo,2010)
2.11.7 KOMPLIKASI
British Thoracic Society (BTS) merekomendasikan adanya keseimbangan
antara keuntungan ataupun manfaat yang diperoleh dengan risiko yang akan
dihadapi sebagai komplikasi tindakan TTNA, dan harus melibatkan tim secara
multidisiplin yang minimal melibatkan ahli radiologi dan pulmonologi
(Boskovich,2013).
Komplikasi yang sering terjadi dari tindakan TTNA adalah :
1. Pneumotoraks.
Stanley EK dkk melaporkan angka komplikasi pneumotoraks sebesar 34,8
% dalam mendiagnosis lesi di paru dengan metode TTNA dengan
tuntunan CT Scan toraks (EK loh,2013). Sedangkan De Filippo dkk
melaporkan angka kejadian pneumotoraks sebesar 28,6 % dalam
mendiagnosis lesi di paru dengan teknik TTNA tuntunan CT Scan toraks.
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pneumotoraks adalah
emfisema paru, jarum yang menembus rongga pleura, kedalaman nodul,
letak lesi yang dekat dengan pleura. De filippo tahun 2014 melaporkan
tingkat komplikasi pneumotoraks meningkat pada letak nodul dengan
kedalaman > 3 cm, sedangkan yankelevitz pada tahun 1993 insiden
pneumotoraks meningkat pada lesi < 1 cm. Ukuran jarum yang digunakan
juga berpengaruh terhadap insiden pneumotoraks. Semakin besar ukuran
jarum yang digunakan, semakin besar insiden pneumotoraks. Setelah
dilakukan tindakan dianjurkan dilakukan observasi selama 24 jam untuk
melihat
adanya
komplikasi
pneumotoraks
(Boskovich,2013;De
filippo,2014).
2. Perdarahan
Perdarahan merupakan salah satu komplikasi. Angka insiden berkisar 11
%. Perdarahan lokal dapat terjadi disekeliling lesi yang dibiopsi ataupun
sepanjang alur dari jarum (Birchard,2011).
3. Emboli udara
Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang terjadi tapi fatal bila
sampai terjadi. Insiden berkisar 0,02-1,8%. Emboli udara dapat
menyebabkan
infark
serebri,
infark
miokard,
dan
kematian.
Penatalaksanaan segera adalah dengan melakukan posisi Trendelenburg
(Birchard,2011).
4. Infeksi
Infeksi disebabkan oleh flora kuman yang ada di kulit yang menembus
masuk ke paru. Oleh karena itu sterilisasi kulit sebelum tindakan sangat
diperlukan untuk mencegah komplikasi infeksi (Birchard,2011)
5. Beberapa komplikasi lain yang terjadi dapat berupa nyeri, sesak nafas,
batuk darah, dan tamponade jantung (Birchard,2011)
2.11.8 Kerangka konsep
Pasien diduga kanker paru
Riwayat keluarga
Riwayat radiasi
Progresivitas
Anamnesis dan
pemeriksaan fisik
Jenis
kelamin
Usia
Massa
KGB
ukuran
Pemeriksaan
penunjang
Radiologi toraks
Bronkoskopi
CT scan
toraks
TTNA CT
guided
Sitologi
sputum
Diagnosis
sitologi
Non-diagnostik
Diagnostik
BAB III
Biopsi bedah
/
histopatologi
DIAGNOSIS
AKHIR
Follow-up
klinis
METODE PENELITIAN
Download