Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi dimilikinya. Lagi

advertisement
Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi
dimilikinya. Lagi-lagi, mesti ditekankan bahwa Plotinus tidak membayangkan tiga serangkai Yang Esa, Pikiran, dan Jiwa ini sebagai
suatu tuhan "di luar sana". Keilahian melingkupi seluruh eksistensi.
Tuhan adalah semua di dalam semua, dan wujud-wujud yang lebih
rendah hanya ada selama mereka menjadi bagian dalam wujud absolut
Yang Esa.50
Aliran emanasi ke arah luar diserap oleh gerakan kembali kepada
Yang Esa. Sebagaimana kita tahu dari cara kerja pikiran kita sendiri
dan dari ketidakpuasan kita terhadap konflik dan kemajemukan,
semua wujud merindukan kesatuan; mereka rindu untuk kembali
kepada Yang Esa. Lagi, ini bukanlah pendakian menuju suatu realitas
yang ada di luar diri, melainkan jalan menurun menuju kedalaman
pikiran kita. Jiwa mesti mengingat kembali simplisitas yang telah
dilupakannya dan kembali kepada kesejatian dirinya. Karena semua
jiwa dihidupkan oleh Realitas yang sama, kemanusiaan mungkin
dapat diperbandingkan dengan sekelompok paduan suara yang
berdiri mengelilingi seorang konduktor. Jika ada seseorang yang
melantur, maka akan timbul ketidakpaduan dan ketidakselarasan.
Namun, jika semua memperhatikan konduktor dan berkonsentrasi
kepadanya, keseluruhan komunitas akan diuntungkan sebab "mereka
akan menyanyi sebagaimana mestinya, dan sungguh-sungguh berada
bersamanya."51
Yang Esa sangat impersonal; tidak bergender dan sama sekali
tidak menyadari kita. Demikian pula, Pikiran (nous) secara gramatikal
adalah maskulin dan Jiwa (psyche) adalah feminin. Ini menunjukkan
suatu keinginan dari Plotinus sendiri untuk mempertahankan visi
kuno pagan tentang keseimbangan dan harmoni seksual. Tidak seperti
Tuhan biblikal, Yang Esa tidak datang untuk menemui kita dan membimbing kita pulang. Dia tidak merindukan kita, atau mencintai kita,
atau mengungkapkan dirinya kepada kita. Dia tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu di luar dirinya. 52 Namun demikian, jiwa manusia
kadang tergetar dalam pengenalan memabukkan tentang Yang Esa.
Filsafat Plotinus bukan merupakan sebuah proses berlogika, melainkan sebuah pencarian spiritual:
Kita di sini, demi tujuan kita, mesti mengesampingkan segala sesuatu
yang lain dan menyediakan diri untuk Ini saja, menjadi Ini
saja,
meninggalkan semua beban; kita mesti bersegera keluar dari sini, tak
sabar akan ikatan duniawi kita, untuk merangkul Tuhan dengan
151
Sejarah Tuhan
segenap keberadaan kita sehingga tak ada bagian kita yang tidak
tergantung kepada Tuhan. Di sana kita bisa melihat Tuhan dan diri
kita sendiri terungkap: diri kita dalam kemegahan, dipenuhi cahaya
Akal, atau tepatnya, cahaya itu sendiri, murni, mengapung, terbang,
menjadi—pada kenyataannya, adalah—tuhan.53
Tuhan ini bukanlah suatu objek asing, melainkan diri kita yang
terbaik. la timbul "bukan dengan cara mengetahui, bukan pula dengan
Pemikiran yang menemukan wujud-wujud Akal [di dalam Pikiran
atau nous], tetapi melalui suatu kehadiran (parousid) yang melampaui
semua pengetahuan."54
Kristen menemukan dirinya berada dalam sebuah dunia yang
didominasi ide-ide Platonis. Semenjak itu, ketika para pemikir Kristen
mencoba menjelaskan pengalaman religius mereka sendiri, secara
alamiah mereka beralih kepada visi Neoplatonis dari Plotinus dan
pengikut-pengikut pagannya di kemudian hari. Gagasan tentang
pencerahan yang impersonal, di luar kategori-kategori manusia, dan
alamiah bagi kemanusiaan juga dekat dengan cita-cita Hindu dan
kaum Buddha di India, tempat yang begitu ingin dipelajari Plotinus.
Dengan demikian, meski ada beberapa perbedaan yang lebih
superfisial, terdapat kemiripan nyata antara monoteisme dan visivisi lain tentang realitas. Tampaknya ketika manusia berkontemplasi
tentang yang mutlak, mereka tiba pada gagasan dan pengalaman
yang sangat mirip. Rasa kehadiran, mabuk, dan gentar dalam kehadiran
sebuah realitas—yang disebut nirvana, Yang Esa, Brahman, atau
Tuhan—sepertinya merupakan keadaan pikiran dan persepsi yang
alamiah dan tak henti-hentinya dicari manusia.
Sebagian orang Kristen memutuskan untuk menjalin hubungan
persahabatan dengan dunia Yunani. Yang lainnya tidak menginginkan
hubungan apa pun dengan mereka. Selama masa merebaknya penyiksaan terhadap Kristen di kekaisaran Romawi pada tahun 170-an,
seorang nabi bafu bernama Montanus muncul di Phyrgia di wilayah
Turki modern, yang mengaku sebagai avatar ilahi: "Akulah Tuhan
yang Mahakuasa, yang turun kepada seorang manusia," begitu pernah
diucapkannya; "Aku adalah Bapa, putra, dan Perantara." Sahabatsahabatnya Priscilla dan Maximilla juga membuat klaim serupa. 55
Montanisme merupakan kredo apokaliptik keras yang melukiskan
gambaran menakutkan tentang Tuhan. Para pengikutnya bukan hanya
diwajibkan berpaling dari dunia dan harus menjalani kehidupan
152
Cahaya bagi Kaum Non-Yahudi
membujang, mereka juga diajarkan bahwa mati sebagai
martir
merupakan satu-satunya jalan menuju Tuhan. Kematian mereka yang
mengenaskan demi iman akan mempercepat kedatangan Kristus:
para martir adalah prajurit-prajurit Tuhan yang terlibat dalam
pertempuran melawan kejahatan. Kredo yang mengerikan ini menarik hati
ekstremisme laten dalam semangat Kristen: Montanisme menjalar
seperti kobaran api di Phyrgia, Thrace, Siria, dan Gaul. Aliran
ini
menjadi kuat secara khusus di Afrika Utara, yang penduduknya pernah
menyembah dewa-dewa yang menuntut pengurbanan manusia.
Pemujaan mereka terhadap Baal, yang mencakup pengurbanan anak
sulung, baru ditumpas oleh Kaisar pada abad kedua. Segera
bid'ah
itu pun menarik bagi pribadi sekaliber Tertullian, teolog terkemuka
Gereja Latin. Di Timur, Clement dan Origen mengajarkan cara
yang
damai dan bahagia untuk kembali kepada Tuhan, tetapi di Gereja
Barat ada Tuhan yang lebih menakutkan yang menuntut kematian
tragis sebagai syarat kesetiaan. Pada tahapan ini, Kristen
merupakan
agama yang berjuang untuk tumbuh di Eropa Barat dan Afrika
Utara,
dan sejak awal telah terdapat kecenderungan ke arah ekstremisme
dan kekerasan.
Akan tetapi, Kristen di Timur sedang membuat langkah besar,
dan menjadi salah satu agama terpenting di kekaisaran Romawi
pada
tahun 235. Orang-orang Kristen kini berbicara tentang sebuah Gereja
Agung dengan satu aturan keimanan yang jauh dari sikap ekstrem
dan eksentrik. Para teolog ortodoks ini telah meninggalkan
visi-visi
pesimistik kaum Gnostik, Marcionis, dan Montanisme, dan mengambil
jalan tengah. Kristen menjadi kredo perkotaan yang menghindari
kompleksitas kultus-kultus misteri dan aksetisme yang tidak fleksibel.
la mulai memikat orang-orang berkecerdasan tinggi yang mampu
mengembangkan keimanan dalam garis yang bisa dipahami oleh
dunia Yunani-Romawi. Agama baru itu juga memikat kaum
wanita:
kitab sucinya mengajarkan bahwa di dalam Kristus tak ada istilah
lelaki atau perempuan dan mengajarkan agar kaum pria
menghargai
istri-istri mereka sebagaimana Kristus menghargai gerejanya. Kristen
memiliki semua keuntungan yang dahulu pernah membuat Yudaisme
menjadi sebuah keimanan yang menarik, dikurangi keharusan
bersunat dan Hukum yang terasa asing. Orang-orang pagan terkesan
oleh sistem kesejahteraan yang dikembangkan gereja-gereja dan sikap
kasih sayang yang diamalkan orang Kristen satu sama lain.
Dalam
Sejarah Tuhan
perselisihan dari dalam, Gereja juga telah mengembangkan organisasi
yang efisien, yang membuatnya nyaris seperti mikrokosmos
kekaisaran itu sendiri: multirasial, meluas, internasional, ekumenikal,
dan dijalankan oleh birokrasi yang efisien.
Begitu ia menjadi sebuah kekuatan bagi stabilitas dan
memikat
Kaisar Konstantin, yang menjadi penganut Kristen setelah pertempuran
di Jembatan Milvian pada tahun 312, Kristen dilegalisasi pada
tahun
berikutnya. Orang Kristen kini bisa memiliki rumah, bebas beribadah,
dan memberi sumbangsih yang nyata bagi kehidupan masyarakat.
Meskipun paganisme masih berkembang selama dua abad berikutnya,
Kristen menjadi agama resmi kerajaan dan mulai menarik
minat
pengikut-pengikut baru yang datang bergabung ke Gereja demi
memperoleh kesejahteraan material. Tak lama kemudian
Gereja—
yang mengawali kehidupan sebagai sebuah sekte terlarang yang
memohon toleransi—juga menuntut kesesuaian dengan hukum dan
kredonya sendiri. Alasan kemenangan Kristen tidak jelas; tetapi
pasti
ia tidak akan berhasil tanpa dukungan kekaisaran Romawi, meskipun
ini juga tak pelak menimbulkan persoalan sendiri. Pada puncaknya
merupakan agama yang selalu dirundung malang, Kristen tak
pernah
benar-benar tiba pada suatu masa keemasan. Salah satu persoalan
utama yang mesti dipecahkannya adalah doktrin tentang Tuhan:
tak
lama setelah Konstantin membawa kedamaian kepada Gereja, bahaya
baru pun muncul dari dalam yang memecah Kristen menjadi
kubukubu yang saling bermusuhan.[]
154
Trinitas: Tuhan Kristen
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
[email protected]
Sekitar tahun 320, gairah teologis yang membara merasuki
gereja-gereja di Mesir, Siria, dan Asia kecil. Para pelaut dan
pelancong melantunkan senandung masyhur yang menyatakan Tuhan yang sejati hanyalah sang Bapa, yang tidak dapat dijangkau
dan unik, tetapi sang Putra tidaklah abadi dan bukannya tidak
diciptakan, karena dia mendapat kehidupan dan wujud dari sang
Bapa. Kita mendengar tentang penjaga tempat pemandian yang menceramahi para pengunjung bahwa sang Putra berasal dari ketiadaan;
tentang seorang penukar uang yang, ketika ditanya tentang nilai
tukar, malah memberi pengantar jawabannya dengan uraian panjang
tentang perbedaan antara tatanan yang diciptakan dengan Tuhan
yang tidak diciptakan; juga seorang tukang roti yang memberitahukan
pelanggannya bahwa Bapa lebih agung daripada sang Putra. Mereka
mendiskusikan persoalan pelik ini dengan semangat yang sama
seperti orang-orang memperbincangkan sepakbola di masa sekarang. 1
Kontroversi ini disulut oleh Arius, seorang pemuka gereja yang
tampan dan karismatik dari Aleksandria, yang memiliki suara lembut,
menawan, dan wajah yang sangat melankolis. Dia melemparkan
sebuah tantangan yang oleh uskupnya, Aleksander, tidak mungkin
diabaikan, tetapi akan lebih sulit lagi untuk dijawab: bagaimana
mungkin Yesus Kristus menjadi Tuhan dalam cara yang sama dengan
Tuhan Bapa? Arius tidak menyangkal ketuhanan Kristus; bahkan, dia
155
Sejarah Tuhan
menyebut Yesus "Tuhan kuat" dan "Tuhan sepenuhnya," 2 tetapi
berpendapat bahwa meyakini dia itu ilahiah secara hakikinya
merupakan suatu penghujatan: Yesus sendiri secara spesifik telah
mengatakan bahwa Tuhan Bapa itu lebih agung daripada dirinya.
Aleksander dan asistennya yang brilian, Athanasius, segera menyadari
bahwa ini tidak lebih dari pernik-pernik teologis semata. Arius
telah
mengajukan persoalan vital menyangkut hakikat Tuhan. Sementara
itu, Arius, seorang propagandis yang mahir, telah meramu gagasannya
ke dalam bentuk yang populer, dan tak lama kemudian kaum
awam
pun memperdebatkan isu tersebut dengan tak kalah hangatnya
dibandingkan uskup-uskup mereka.
Kontroversi itu menjadi begitu memanas sehingga Kaisar Konstantin sendiri turun tangan dan mengimbau penyelenggaraan sebuah
sinode di Nicaea, di kawasan Turki modern, Untuk membahas masalah
ini. Pada masa sekarang, nama Arius menjadi kata lain untuk
bid'ah,
tetapi pada saat konflik itu merebak belum ada posisi ortodoks
yang
resmi dan sama sekali tak bisa dipastikan mengapa, atau bahkan
apakah, Arius salah. Sebetulnya tak ada yang baru dalam
klaimnya:
Origen, orang yang dihormati oleh kedua pihak yang berseberangan,
pernah mengajarkan doktrin yang mirip. Akan tetapi, iklim intelektual
di Aleksandria telah berubah sejak masa Origen dan orang-orang
tidak lagi yakin bahwa Tuhan Plato dapat berhasil disandingkan
dengan Tuhan Alkitab. Arius, Aleksander, dan Athanasius,
misalnya,
mempercayai sebuah doktrin yang pasti mengejutkan setiap orang
yang penganut Platonis: mereka beranggapan bahwa Tuhan telah
menciptakan alam dari ketiadaan (ex nihilo) dengan mendasarkan
pendapat mereka pada kitab suci. Pada kenyataannya, Kitab Kejadian
tidak memuat klaim semacam ini. Penulis tradisi Para Imam
pernah
menyiratkan bahwa Tuhan telah menciptakan alam dari kekacauan
primordial, tetapi ajaran bahwa Tuhan menghadirkan seluruh alam
dari sebuah kehampaan absolut sepenuhnya merupakan pendapat
yang baru. Gagasan ini asing bagi pemikiran Yunani dan tak
pernah
diajarkan oleh para teolog semacam Clement dan Origen,
yang
berpegang pada skema emanasi Platonis. Namun pada abad keempat,
orang Kristen mulai sependapat dengan kaum Gnostis bahwa dunia
ini secara inheren rentan, tak sempurna, dan terpisah dari Tuhan
oleh suatu jurang yang sangat lebar. Doktrin baru penciptaan
ex
nihilo ini menekankan pandangan tentang kosmos yang pada
dasarnya lemah dan sepenuhnya bergantung kepada Tuhan untuk
Download