BAB II KAJIAN PUSTAKA KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka Guna memperoleh pengantar pemahaman obyek penelitian dan mendapatkan landasan teoritik penyusunan konsep operasional variabel-variabel penelitian dilakukan kajian pustaka. Sesuai dengan judul penelitian maka deskripsi kajian pustaka adalah sebagai berikut : 2.1.1 Hasil Penelitian Terdahulu Hasil penelitian terdahulu pertama yang layak diangkat sebagai refensi studi adalah penelitian yang dilaksanakan oleh saudara Iman Hardiantara dengan judul “Analisa Strategi Promosi dan Insentif Program Terhadap Omset Penjualan PT Multi Husada Farma”. Penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2006 untuk memenuhi syarat ujian Magister Manajemen pada Program Pascasarjana Universitas Kristen Krida Wacana dilakukan dengan pendekatan penelitian kuantitatif. Populasi penelitian adalah seluruh karyawan pada PT Multi Husada Farma sebanyak 120 Karyawan dan Sub-sub Distributor PT Multi Husada Farma sebanyak 65 Karyawan. Jadi jumlah keseluruhan populasi penelitian adalah 185 subyek. Prosedur penarikan sampel dilakukan dengan cara Stratifikasi Random (Stratified Random Sampling), yakni pengambilan sampel dengan cara acak, dimana setiap subyek populasi dipandang sama. Cara pengambilan sampel dengan 11 12 menggunakan cara stratifikasi atau dengan menggunakan satuan yang sering disebut sample fraction (f) untuk masing-masing sub populasi sebagai faktor penggalinya. Jumlah sampel fraction disesuaikan dengan jumlah stratanya. Dengan teknik di atas, maka penarikan sampel penelitian ditetapkan sebanyak 50 responden. Besarnya jumlah sampel per strata penulis tetapkan dengan membagi menjadi dua strata yakni, strata unsur organik dan unsur non organik. Teknik analisis data yang digunakan untuk mengolah hasil penelitian adalah Pengujian Persyaratan Analisis yang meliputi Pengujian Validitas Instrumen dan Pengujian Reliabilitas Alat Ukur; serta pengukuran dan Pengujian Hipotesis baik secara parsial maupun secara bersama-sama. Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang menggunakan metode analisis deskriptif kuantitatif didapat pokok-pokok kesimpulan sebagai berikut: Hipotesis pertama diterima, karena hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa t hitung 3,300 > t tabel 2,021. Artinya, terdapat pengaruh Strategi Promosi terhadap Omset Penjualan PT Multi Husada Farma sebesar 0,649 berdasarkan hasil penghitungan persamaan regresi Ŷ = 11,654 + 0,649 X1. Dengan demikian terbukti bahwa Strategi Promosi berpengaruh positif terhadap Omset Penjualan PT Multi Husada Farma. Pengaruh yang positif itu bermakna bahwa apabila Strategi Promosi ditingkatkan atau meningkat, maka peningkatan tersebut akan diimbangi dengan peningkatan Omset Penjualan PT Multi Husada Farma. Hal ini dapat terjadi karena di antara variabel Strategi Promosi dengan variabel Omset Penjualan PT Multi Husada Farma terjalin suatu mekanisme 13 hubungan kausalitas. Hubungan kausalitas ini didasarkan pada konsep analisis yang memposisikan Strategi Promosi sebagai variabel antecedent dan Omset Penjualan PT Multi Husada Farma sebagai variabel konsekuensi. Dengan demikian omset penjualan produk PT Multi Husada Farma dapat ditingkatkan dengan meningkatkan strategi promosi. Hipotesis kedua diterima karena hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa t hitung 2,862 > t tabel 2,021. Artinya, terdapat pengaruh Insentif Program terhadap Omset Penjualan PT Multi Husada Farma sebesar 0,493 berdasarkan hasil penghitungan persamaan regresi Ŷ = 15,020 + 0,493 X2. Dengan demikian terbukti bahwa Insentif Program berpengaruh positif terhadap Omset Penjualan PT Multi Husada Farma. Pengaruh yang positif itu bermakna bahwa apabila Insentif Program ditingkatkan atau meningkat, maka peningkatan tersebut akan diimbangi dengan peningkatan Omset Penjualan PT Multi Husada Farma. Hal ini dapat terjadi karena diantara variabel Insentif Program dengan variabel Omset Penjualan PT Multi Husada Farma terjalin suatu mekanisme hubungan kausalitas yang memposisikan Insentif Program sebagai variabel antecedent dan Omset Penjualan PT Multi Husada Farma sebagai variabel konsekuensi. Dengan demikian omset penjualan produk PT Multi Husada Farma dapat ditingkatkan dengan meningkatkan juga insentif program untuk para sales yang berperan sebagai ujung tombak promosi dan penjualan. 14 Hipotesis Ketiga diterima, karena hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa F hitung 9,255 > F tabel 3,19. Artinya, terdapat pengaruh Strategi Promosi dan Insentif Program secara bersama-sama terhadap Omset Penjualan PT Multi Husada Farma dengan besaran pengaruh : Ŷ = 2,680 + 0,566 X1 + 0,409 X2. Dari persamaan regresi ini diketahuii bahwa pengaruh Strategi Promosi lebih besar dari pengaruhnya Insentif Program terhadap Omset Penjualan PT Multi Husada Farma, atau 0,566 > 0,409. Hasil penelitian ini menjadi indikator bahwa pengembangan strategi promosi menjadi salah satu pendekatan manajemen strategis yang diperlukan untuk meningkatkan omset penjualan produk PT Mutli Husada Farma. Hasil penelitian yang dipaparkan cukup layak dijadikan referensi studi, karena memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang penulis laksanakan. Penelitian yang dilaksanakan oleh saudara Iman Hardiantara dan penelitian yang penulis laksanakan sama-sama menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif. Perbedaannya adalah bahwa saudara Iman Hardiantara mengangkat strategi promosi dan insentif program sebagai variabel-variabel yang mempengaruhi penjualan produk; namun penulis menggunakan kompetensi telesales officer sebagai variabel yang mepengaruhi penjualan produk. Walaupun begitu, hasil penelitian saudara Iman Hardiantara layak dirujuk karena sama-sama mengangkat masalah penjualan produk sebagai obyek penelitian. 15 Hasil penelitian terdahulu kedua yang layak diangkat sebagai refensi studi adalah penelitian yang dilaksanakan oleh saudara Imron Syarifudin dengan judul “Pengaruh Perencanaan Sumber Daya Manusia dan Profesionalisme Karyawan Terhadap Pemasaran Produk PT Millennium Danatama Internasional”. Penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2003 untuk memenuhi syarat ujian Magister Manajemen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Manajemen “LABORA” dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Perencanaan Sumber Daya Manusia dan Profesionalisme Karyawan terhadap Pemasaran Produk PT Millennium Danatama Internasional dengan mengambil sampel sebanyak 30 responden dari total populasi 120 orang. Kedua variabel bebas dan variabel terikat tersebut dioperasionalisasikan dengan metode penelitian sebagai berikut : (1) Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan Teknik Stratifikasi Random; (2) Scoring atas jawabanjawaban responden menggunakan Teknik Skala Likert; (3) Analisis Data menggunakan Deskriptif Kuantitatif dan Deskriptif Kualitatif; (4) Untuk mengetahui besarnya pengaruh Perencanaan Sumber Daya Manusia terhadap Pemasaran Produk PT Millennium Danatama Internasional dan pengaruh Profesionalisme Karyawan terhadap Pemasaran Produk PT Millennium Danatama Internasional digunakan teknik statistik Regresi dan Korelasi Sederhana. Sedangkan untuk mengetahui besarnya pengaruh Perencanaan Sumber Daya Manusia dan Profesionalisme Karyawan secara bersama-sama terhadap Pemasaran Produk PT Millennium Danatama Internasional digunakan teknik 16 statistik Regresi dan Korelasi Berganda Linear. Berdasarkan pembahasan hasil penelitian, maka akhirnya diperoleh kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut : Terbukti terdapat pengaruh positif Perencanaan Sumber Daya Manusia dan Profesionalisme Karyawan terhadap Pemasaran Produk PT Millenium Danatama Internasional, baik secara parsial maupun secara bersama-sama. Dari hasil pengukuran regresi berganda diketahui bahwa ternyata kontribusi pengaruh Perencanaan Sumber Daya Manusia terhadap Pemasaran Produk PT Millenium Danatama Internasional lebih besar bila dibandingkan dengan kontribusi pengaruh Profesionalisme Karyawan terhadap Pemasaran Produk PT Millenium Danatama Internasional. Adanya pengaruh positif Perencanaan Sumber Daya Manusia dan adanya pengaruh positif Profesionalisme Karyawan terhadap Pemasaran Produk PT Millenium Danatama Internasional merupakan suatu bukti bahwa diantara variabel-varibel yang dikorelasikan terdapat hubungan kausalitas, yaitu variabel Perencanaan Sumber Daya Manusia dan Profesionalisme Karyawan yang diposisikan sebagai faktor antecedent dan variabel Pemasaran Produk PT Millenium Danatama Internasional yang diposisikan sebagai konsekuensi. Dalam dimensi hubungan kausalitas yang demikian itu, apabila kualitas Perencanaan Sumber Daya Manusia dan kualitas Profesionalisme Karyawan ditingkatkan atau meningkat, maka peningkatan tersebut dibarengi dengan peningkatan Pemasaran Produk PT Millenium Danatama Internasional. 17 Dengan demikian diperoleh Implikasi Manajerial bahwa pemasaran produk PT Millenium Danatama Internasional dapat dioptimalisasikan dengan cara meningkatkan efektivitas Perencanaan Sumber Daya Manusia di bidang pemasaran dan dengan cara meningkatkan juga bobot profesionalisme karyawan. Berdasarkan hasil pengukuran bahwa kontribusi Perencanaan Sumber Daya Manusia lebih besar dari kontribusi Profesionalisme Karyawan, maka efektivitas perencanaan sumber daya manusia di bidang pemasaran dapat dipastikan sebagai faktor determinan untuk mengoptimalisasikan pemasaran produk PT Millenium Danatama Internasional. Hasil penelitian yang dipaparkan layak dijadikan referensi studi, karena memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang penulis laksanakan. Penelitian yang dilaksanakan oleh saudara Imron Syarifudin dan penelitian yang penulis laksanakan sama-sama menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif. Perbedaannya adalah bahwa saudara Imron Syarifudin mengangkat Perencanaan SDM dan Profesionalisme Karyawan sebagai variable-variabel yang mempengaruhi penjualan produk; namun penulis menggunakan kompetensi telesales officer sebagai variabel yang mepengaruhi penjualan produk. Walaupun begitu, hasil penelitian saudara Imron Syarifudin dirujuk karena sama-sama mengangkat masalah pemasaran atau penjualan produk sebagai obyek penelitian. 18 2.1.2 Kompetensi Telesales Officers 2.1.2.1 Kerangka Dasar Kompetensi Setiap pekerjaan atau profesi membutuhkan kompetensi tertentu. Kompetensi yang relevan adalah kompetensi yang membuat seseorang menjadi ahli dan pandai menyelesaikan proses pekerjaan dan atau melaksanakan tugas profesinya secara jelas, mudah dan lancar serta memberi nilai tambah atas pekerjaan atau profesinya itu. Dengan demikian kompetensi memberi gambaran karakterisitik sumber daya internal seseorang dalam bekerja atau melaksanakan tugasnya. Dalam perspektif ini, Cohen (1999:173) mengatakan bahwa “competencies are the areas of knowledge, ability and skill that increase and individual’s efffectiveness in dealing with the world”. Pendapat Cohen itu menunjukkan tiga hal penting dalam kompetensi yaitu pengetahuan, kemampuan, dan ketrampilan. Pengetahuan merupakan wawasan seseorang dalam menyerap, memahami, dan menilai pekerjaan atau tugas yang menjadi tanggungjawabnya; kemampuan adalah kepandaian seseorang dalam melakukan pekerjaan dan atau melaksanakan tugasnya sesuai dengan ruang lingkungan peran dan tanggungjawabnya; dan ketrampilan adalah kemahiran seseorang dalam memperjelas, mempermudah, dan memperlancar proses pekerjaan atau pelaksanaan tugasnya sesuai dengan ruang lingkup peran dan tanggungjawabnya. Konsep pemahaman ini merujuk pada pendapat-pendapat berikut : 19 Aisworth et.al. (dalam Cohen, 1999:173) mengatakan bahwa kompetensi merupakan kombinasi pengetahuan dan ketrampilan yang relevan dengan pekerjaan. Kompetensi adalah kapasitas untuk menangani suatu pekerjaan atau tugas berdasarkan suatu standar yang telah ditetapkan. Boyatzis (dalam Thoha, 1998:4) mengatakan bahwa kompetensi sebagai Kapasitas yang ada pada seseorang yang bisa membuat orang tersebut mampu memenuhi apa yang disyaratkan oleh pekerjaan dalam suatu organisasi sehingga organisasi tersebut mampu mencapai hasil yang diharapkan. Dengan pandangan yang agak berbeda, Woordruffe and Woodruffe (dalam Thoha, 1998:4) membedakan pengertian competence dan competency dan menjelaskan bahwa competence adalah konsep yang berhubungan dengan pekerjaan, yaitu menunjukkan “wilayah kerja dimana orang dapat menjadi kompeten atau unggul”. Sedangkan competency merupakan konsep dasar yang berhubungan dengan orang, yaitu menunjukkan “dimensi perilaku yang melandasi prestasi unggul (competent)”. Menurut Dreher (2001: 27) : “Kompetensi” kini mulai sering dipergunakan untuk merefleksikan kemampuan seseorang pada bidang-bidang tertentu atau keterampilan tertentu, seperti komunikasi verbal, keterampilan presentasi, pengetahuan teknis, pengendalian stress, kemampuan perencanaan serta keterampilan pengambilan keputusan. Palan (2008: 5) mengatakan istilah competecies, competence dan competent yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai kompetensi, kecakapan, dan keberdayaan merujuk pada keadaan atau kualitas mampu dan sesuai. 20 Lebih luas lagi, Kusmana (1989 : 43) mengatakan : Kompetensi adalah kemampuan umum (general abiliy) yang diperlukan atau dituntut untuk mendukung penampilan (performance) dalam suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mencakup sejumlah tingkah laku yang amat penting dan menjadi syarat utama bagi penampilan yang memuaskan dalam menjalankan suatu jabatan atau pekerjaan. Berangkat dari pendapat-pendapat di atas, kompetensi dapat dikonseptualisasikan sebagai kepribadian dan kemampuan yang mencakup kualitas sikap mental, kapasitas intelektual dan kapabilitas sosial yang menjadikan seseorang mampu bekerja secara profesional menurut fungsi jabatan atau bidang pekerjaannya. Dalam konteks ini, Shermon (2004:11) mengatakan: A competency is an underlaying characteristic of a person, which enables him to deliver superior performance in a given job, role or a situation. This characteristic may be called an “attribute bundle”. Consisting of knowledge, skills, trait, social role, self image and motive. The “underlying chacteristic”, manifests itself in the form of behavior, which helps identification and masurment of competency. Dengan demikian kompetensi menunjukkan karakteristik dan pola perilaku yang merujuk pada pengetahuan, kepandaian, kebiasaan, peran sosial, pencitraan diri dan motif seseorang. Bagaimana kompetensi itu dikategorikan, Spencer and Spencer (1993 : 14) menjelaskan : Competencies can be divided into two categoris, “threshold” and “differentiating”, according to the job performance citerion they predict. Threshold Competencies. These are the essential characteristics (usually knowledge or basic skills, such as the ability to read) that everyone in a job needs to be minimallly effective but that do not distinguish superior from average performer. A threshold competency for a salesperson inknowledeg of the product or ability to fill out invoices. 21 Differentiatiing Competencies. These factors distinguish superior from average performer. For example, achiement orientation expressed in a person’s setting goals higher than those required by the organization, is a competency that differentiates superir from average salespeople. Dari penjelasan Spencer & Spencer itu, terungkap bahwa bahwa kompetensi dapat dibagi atas dua kategori yaitu “threshold” dan “differentiating” menurut kriteria yang digunakan untuk memprediksi kinerja suatu pekerjaan. Threshold competencies adalah karakteristik utama, biasanya pengetahuan atau keahlian dasar seperti kemampuan untuk membaca, yang harus dimiliki oleh seseorang agar dapat melaksanakan pekerjaannya. Tetapi tidak untuk membedakan seseorang yang berkinerja tinggi dan rata-rata kompetensi “threshold” untuk seorang sales, misalnya, adalah pengetahuan tentang produk atau kemampuannya untuk mengisi formulir. Sedangkan “differentiating competencies” adalah faktor-faktor yang membedakan individu yang berkinerja tinggi dan rendah. Secara individual setiap individu memang memiliki kompetensi dan kinerja yang berbeda antara satu dan yang lainnya. Perbedaan kompetensi dan kinerja ini sebaiknya diorientasikan pada fungsi jabatan atau kebutuhan kerja, agar setiap perbedaan tetap mengacu pada pelaksanaan fungsi jabatan atau pekerjaan. Akan lebih baik jika perbedaan tersebut disinergikan menjadi satu kesatuan potensi kerja yang saling mendukung untuk terwujudkan pelaksanaan fungsi jabatan atau pekerjaan yang terkoordinasi, efektif dan efisien. 22 Dengan perbedaan kompetensi justru menjadi variabel-variabel yang mendukung tercapai tujuan pelaksanaan fungsi jabatan atau pekerjaan. Dalam hal ini, Shermon (2004:11-12) menjelaskan : ”Competency” has two relevant meaning – The first, addresses the ability of an individual to perform effectively in a job-relevant area. The second, is a definition of what is required of an individual, for effective performance. These two are closely related but distinct. The second meaning, involves defining what is important to be successfull in a job, while the first deals with the degree to which an dindividual does, what is important for a job. Defining job competencies is useful in assisting individual develop their competencies for that job. This area related to success in a jobor role. Building on this definition, a competency model is a grouping of individual competencies, which describes all, or most of the requirements for job function, or organizational success. Dari paparan yang dikemukakan oleh Shermon itu terungkap bahwa kompetensi menunjukkan kemampuan seseorang yang relevan untuk bekerja secara efektif, menunjukkan pula apa yang dibutuhkan untuk bekerja secara efektif. Bagaimana aktualisasi kompetensi itu dimengerti, Martin (2002:153) menjelaskan : Kerangka dasar kompetensi mengacu pada langkah-langkah yang disebut FAC, singkatan dari Function, Activities/Process, dan Competency. Untuk menentukan kompetensi apa saja yang diperlukan pada suatu pekerjaan tertentu : pertama, perlu ditentukan fungsi-fungsi khusus pada suatu posisi (Function of job); kedua, baru dipelajari secara khusus aktivitas dalam proses mengerjakan pekerjaan tersebut (Activities/Process); dan terakhir, baru ditentukan kompetensi apa yang diperlukan (Competency) pada posisi tersebut. Dengan demikian, konsep dasar kompetensi terkait erat dengan fungsi jabatan atau pekerjaan serta pelaksanaan fungsi jabatan atau pekerjaan tersebut. Artinya, seseorang baru dapat dikatakan memiliki kompetensi yang relevan bila kepribadian dan kemampuannya sesuai dengan fungsi jabatan atau pekerjaannya, dan dengan demikian ia tampak menujukkan pola perilaku kerja yang efektif. 23 Bagaimana pemahaman kompetensi, Martin (2002:153) menunjukkan gambar kerangka dasar kompetensi berikut : Gambar 2.1 Kerangka Dasar Kompetensi Function Activities/Process Competencies Sumber : Spencer and Spencer (1993:9) Dapat disimpulkan bahwa seseorang baru bisa dikatakan memiliki kompetensi bila kemampuan kerjanya relevan dengan fungsi pekerjaan, pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan proses pekerjaan, dan kemampuan yang dimiliki mendukung efektivitas pekerjaan. Fungsi pekerjaan akan menunjukkan proses dan teknis penyelesaian proses pekerjaan. Efektivitas pekerjaan adalah tujuan atau sasaran pelaksanaan pekerjan yang menunjukkan suatu sistem nilai yang dikehendaki. Misalnya, nilai keberhasilan (output), nilai kemanfaatan (outcome), nilai keuntungan (benefit) atas pelaksanaan pekerjaan tersebut. Bagaimana sistem nilai pekerjaan ini dirancang tentu menjadi persoalan manajemen kinerja yang menjadi bagian integral pengembangan sistem manajemen sumber daya manusia. Pengembangan sistem manajemen sumber 24 daya manusia adalah salah satu strategi organisasi untuk meningkatkan kinerja organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu. Bagaimana keunggulan individu yang relevan dengan tuntutan pekerjaan teraktualisasi ke dalam perilaku serta hasil kerja, dikemukakan oleh Shermon, (2004: 11) dengan gambar berikut : Gambar 2.2 Defining Competencies in term of Behaviors, Outputs, and Results People have and acquire COMPETENCIES We Apply these in the form of BEHAVIOR ( Action, thoughts, feeling ) Our behavior produces OUTPUT ( Product and service ) How this is done yields RESULT Sumber : Shermon, 2004 : 12 Dari gambar diketahui bahwa kompetensi menunjukkan kemampuan seseorang yang relevan untuk bekerja secara efektif, menunjukkan pula apa yang dibutuhkan untuk bekerja secara efektif. Pandangan Shermon ini agaknya dapat dikatakan sebagai suatu pengembangan teori kompetensi kompetensi Spencer & Spencer (1993:11) yang mengatakan : 25 The type of level of competency has practical implication for human resources planning. Knowledge and skill competencies tend to be visible, and relatively surface, characteristics of people. Self-concept, trait, and motive competencies are more hidden, “deeper”, and central to personality. Surface knowledge and skill competencies are relatively easy to develop; training is the most cost-effective way to secure these employee abilities. Core motive and trait competencies at the base of the personality iceberg are more difficult to assess and develop; it is most cost-effective to select for these characteristics. Kompetensi knowledge dan skill relatif mudah diketahui, dapat dikembang-kan melalui pendidikan dan pelatihan. Namun kompetensi motive, trait dan self-concept agak sulit diketahui karena kompetensi ini tersebunyi. Inti Motive dan trait merupakan dasar yang membentuk kepribadian seseorang. Bagaimana kelima karakteristik kompetensi tersebut digambarkan Spencer & Spencer berikut : Gambar 2.3 Central and Surface Competencies Skill Self-concept Visible Skill kowledge Hiden Trait, Motive core personality : Most difficult to develop Self-Concept Trait , Motive Attudes values Knowledge Surface most easily developed Sumber : Spencer and Spencer (1993:11) Dari gambar yang dibuatnya, tampak Spencer & Spencer menunjukkan bahwa skill dan knowledge relatif mudah diidentifikasi. Namun tidak demikian halnya dengan self-concept, trait dan motive. Skill dan knowledge mungkin mudah 26 diidentifikasi dari bagaimana seseorang itu melaksanakan fungsi jabatan atau pekerjaannya. Untuk memahami secara mendalam bagaimana skill dan knowledge itu diaktualisasikan ke dalam pelaksanaan fungsi jabatan atau pekerjaan, tentu diperlukan pemahaman yang jelas terhadap self-concept, trait dan motive yang relevan dengan pelaksanaan fungsi jabatan atau pekerjaan tersebut. Dalam konteks inilah maka kompetensi merupakan suatu konsep sumber daya manusia yang membutuhkan kajian mendalam sehingga kapasitas individu dapat diidentifikasi secara, dan kemudian dapat diidentifikasi pula jabatan atau pekerjaan yang tepat untuk individu tersebut. Kapasitas individu dalam suatu lingkungan kerja merupakan salah satu komponen dalam suatu lingkungan kerja yang merujuk pada nilai-nilai yang dianut dalam lingkungan kerja tersebut. Lingkungan kerja yang dimaksud seperti misalnya suatu organisasi atau suatu perusahaan. Jadi, kapasitas individu merupakan asset sumber daya manusia dalam organisasi atau perusahaan, dan setiap organisasi atau perusahaan mempunyai karakteristik aset sumber daya manusia yang berbeda antara satu sama lain. Karena itu, pemahaman hubungan kompetensi dengan kinerja individu dalam melaksanakan pekerjaan harus dilihat dalam konteks dimana individu itu bekerja. Dalam perspektif ini, Mayo (2001:91) mengatakan : The concept of ”uiversal competences for all” conflicts with the knowledge that man or women achieve results in different ways, and that different nastional cultures have effective leaders with their own distinctive approaches. Also, requirements and pririties change with time, so companies are finding that competency framwork are out of date three to four years after they are developed. Instead, many organizations find creating a dictionary helpful. This lists the range of behavior that have important in the organization in different roles an at different levels, from 27 which those that are important for a specific role can be selected. A dictionary can be added to, and enables each role to be specifically decribed according to the critical attributes. Setiap perubahan dalam setiap organisasi atau perusahaan membutuhkan kompetensi-kompetensi yang relevan untuk meningkatkan kinerja individu dan kinerja organisasi. Dalam perspektif ini, Thoha (2008:64) mengatakan : Kompetensi yang tepat, yang merupakan faktor yang menentukan keunggulan prestasi, dapat dimiliki oleh organisasi apabila organisasi tersebut memiliki fondasi yang kuat, yang tercermin pada seluruh proses yang terjadi dalam organisasi. Artinya, organisasi harus memiliki kompetensi inti (core competency) yang kuat dan sesuai dengan bisnis inti (core business)-nya. Kompetensi inti yang selayaknya dimiliki oleh semua anggota organisasi yang membuat organisasi tersebut berbeda dari organisasi lainnya. Kompetensi inti biasanya merupakan pembentukan misi dan budaya organisasi. Kompetensi inti harus diperkuat oleh kompetensi departemen atau bagian yang ada di organisasi. Bila kompetensi inti yang dimaksud adalah kompetensi inti (core competency) dalam divisi telemarketing, maka kompetensi tersebut harus merupakan kompetensi tenaga pemasaran yang tidak hanya memahami manajemen pemasaran tetapi memahami pula teknologi informasi. Dengan pemahaman ini, maka persoalan lain yang juga perlu diperhatikan adalah faktor-untuk menjadi nasabah. Pemahaman akan faktor-faktor yang dimaksud penting sekali bagi telesales officers, agar dengan pemahaman tersebut telesales officers dapat mengidentifikasi pendekatan yang tepat untuk memikat calon nasabah. 28 2.1.2.2 Kompetensi Komunikasi Menurut Rowley (2002) kompetensi komunikasi adalah kemampuan untuk mengirim pesan-pesan yang mendukung pencapaian tujuan dimana tetap menjaga penerimaan sosial. Definisi kompetensi komunikasi dalam perspektif perilaku dirumuskan oleh Wiemann dan Backlund (dalam Jubaedah, 2009:375) ialah kemampuan seorang individu untuk mendemonstrasikan pengetahuan dari perilaku berkomunikasi yang tepat dalam suatu situasi tertentu. Pendapat lain, dikemukakan oleh Payne (dalam Jubaedah, 2009:375) yang mendefinisikan kompetensi komunikasi yaitu: The set of abilities, henceforth, termed resources, which a communicator has available for use in the communication process. Kompetensi komunikasi diartikan sebagai seperangkat kemampuan seorang komunikator untuk menggunakan berbagai sumber daya yang ada di dalam proses komunikasi. Dengan kata lain, kompetensi komunikasi adalah pengetahuan yang dimiliki pegawai untuk berkomunikasi dengan baik dimana menggunakan pesanpesan yang dianggap tepat dan efektif. Dalam menyampaikan pesan-pesan yang dianggap tepat dan effektif, Alo Liliweri (2004:101-102) menyatakan empat kompetensi yang diperlukan pegawai berikut: a. Kompetensi pegawai untuk menyampaikan semua maksud atau isi hatinya secara professional sesuai dengan kemampuan yang ia tampilkan secara prima. b. Kompentensi pegawai untuk berinteraksi secara baik, mampu mengalihbahasakan semua maksud dan isi hatinya secara tepat dan jelas dalam suasana hati yang bersahabat. 29 c. Kompentensi pegawai untuk menyesuaikan budaya pribadinya dengan budaya yang sedang dihadapinya. d. Kompentensi pegawai untuk memberikan fasilitas atau jaminan bahwa dia bisa menyesuiakan diri atau bisa mengelola berbagai tekanan orang ataupun lingkungan lain terhadap dirinya Keempat aspek tersebut menunjukkan bahwa efektivitas komunikasi tidak hanya ditentukan karena setiap pegawai sudah melakukan interaksi, relasi dan komunikasi sesuai dengan peranan (profesi). Kata kunci efektivitas komunikasi adalah kemampuan seorang komunikator (pemberi informasi) untuk menjaga keseimbangan antara kegiatan interaksi, relasi dan komunikasi diantara dua budaya organisasi. Menurut Payne (dalam Edwardin, 2006:15) menjelaskan bahwa indikator pengkuran kompetensi komunikasi antara lain sebagai berikut: 1. Motivasi komunikasi Motivasi komunikasi sering kali terkait dengan kesediaan seseorang untuk mendekati atau menghindari interaksi dengan yang lain. 2. Pengetahuan komunikasi Untuk membuat rencana tindakan, seringkali disebut sebagai scenario komunikasi. Para komunikator yang kompeten memiliki pengetahuan prosedural untuk menyusun dan menjalankan skenario ini didalam situasi sosial yang berbeda dan harus memiliki kemampuan perseptif untuk membaca situasi sosial. Pengetahuan prosedural adalah mengetahui bagaimana, bukan isi dari mengetahui bahwa atau mengetahui apa. Pengetahuan ini diraih melalui pendidikan, pengalaman, dan dengan pengamatan apa yang disebut prototipe dari kompetensi interpersonal, sebuah role model sekaligus mengetahui standar organisasi untuk komunikasi. 3. Keterampilan komunikasi Mencakup kinerja aktual dari perilaku. Hal ini sering kali merupakan bagian yang sulit bagi komunikator mengubah motivasi dan rencanamenjadi tindakan. Individu sering kali termotivasi untuk berkomunikasi dan memiliki pengetahuan. Namun, kurang keterampilan dalam pengkomunikasiannya secara aktual. Pendekatanpendekatan ketrampilan lain fokus pada kemampuan psikomotor kemampuan seseorang untuk berbicara, mendengar, melihat dan mengungkapkan pesan secara non-verbal dalam situasi tertentu. 30 Ketrampilan yang dibutuhkan oleh organisasi termasuk pembinaan hubungan, menyimak dan mengikuti instruksi, memberikan umpan balik, bertukar informasi, mencari umpan balik, dan penyelesaian masalah. 2.1.2.3 Faktor-Faktor Kompetensi Faktor-faktor yang tercakup dalam kompetensi merujuk pada pendapat Spencer and Spencer (1993:9) yang menunjukkan lima karakteristik kompetensi berikut : 1. Motives. The thing a person consistenly thinks about or wants that cause action. Motives “drive, direct, and select” behavior toward certain action or goals and away from others. 2. Traits. Physical caracteristics and consistent responses to situation of information. 3. Self-concept. A person’s atitude, values, or self-image. 4. Knowledge. Information a person has in specific content areas. 5. Skills. The ability to perform a contain physical or mental task. Pemahaman tentang hubungan central and surface competencies yang terdiri dari motives, traits, self-concept, knowledge, dan skills dapat memandu memprediksi perilaku seseorang dan kinerjanya. Hal ini dikemukakan Spencer & Spencer (1993:10) dengan gambar berikut Gambar 2.4 Competency Causal Flow Model Intent Action Outcome Personal Characteristic Behavior Job Performance Motives Traits Self-Concept Knowledge Skills Sumber : Spencer and Spencer, 1993:10 31 Menurut Spencer and Spencer (1993:10), kompetensi selalu mengandung maksud atau tujuan seperti motives, self-concept atau traits yang menyebabkan suatu tindakan dilakukan untuk memperoleh suatu hasil atau mencapai tujuan tertentu. Tindakan dilakukan dengan kompetensi knowledge dan skills. Bagi organisasi yang tidak mengembangkan kompetensi motives, traits, dan self-concept untuk karyawannya, jangan harap terjadi peningkatan produktivitas, profitabilitas dan kualitas yang signifikan terhadap suatu produk dan jasa yang dikelolanya. Mengapa demikian, karena setiap orang mempunyai motives, traits, dan self-concept tersendiri dalam menghadirkan dirinya di lingkungan kerja, motives, traits, dan self-concept itulah yang mempengaruhi perilaku kerjanya dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan. Guna mengaktualisasikan setiap variabel yang tercermin sebagai suatu karakteristik kompetensi, maka diperlukan konsep pemahaman terhadap masingmasing variabel sebagaimana dimaksud oleh Spencer & Spencer. 2.1.2.3.1 Faktor Motives Motif yang menjadi salah satu elemen kompetensi merupakan faktor internal individu yang turut menentukan bagaimana individu itu bertindak atau melakukan sesuatu. 32 Menurut Spencer & Spencer (1993:9-10) : Motives. The things a person consistently thinks about or wants that cause action. Motives “drive, direct, and select” behavior toward certain actions or goals and away from others. Example: Achievement – motivated people consistently set challenging goals for themselves, take personal responsibility for accomplishing them, and use feedback to do better. Dengan demikian motif merupakan hal-hal yang secara konsisten terpikirkan oleh seseorang dan menyebabkan ia melakukan suatu tindakan. Motif dapat juga diartikan sebagai dorongan langsung perilaku dalam melakukan tindakan tertentu atau mencapai tujuan-tujuan tertentu. Misalnya : prestasi - orang termotivasi secara konsisten untuk menetapkan tujuan yang menantang bagi diri mereka sendiri, mengambil tanggung jawab pribadi untuk mencapainya, dan menggunakan umpan balik untuk berbuat lebih baik. Dalam konteks ini, Terry (1960:390) mengatakan bahwa “Motivation is desire within an individual that stimulates him or her to action.” Mengenai motif dan motivasi, Suradinata (1995:130) mengatakan : Motif adalah suatu dorongan yang ada dalam diri seseorang untuk berbuat baik berupa gerakan maupun ucapan. Sedangkan Motivasi adalah tindak lanjut dari motif yaitu perbuatan atau gerakan baik berupa ucapan maupun tindakan serta perilaku dalam cara-cara tertentu yang dilakukan seseorang. Dengan demikian motif dan motivasi merupakan faktor internal individu yang senantiasa beriringan melatarbelakangi tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh seseorang. Motif dan motivasi ini tentu berkorelasi dengan suatu kebutuhan, keinginan atau harapan tertentu dalam diri seseorang yang diaktualisasikan ke dalam sikap dan perilaku tertentu. Hal inipun berlaku dalam lingkungan kerja. 33 Dengan paparan yang dikemukakan, motives sebagai salah satu variabel kompetensi sebagaimana dimaksud oleh Spencer & Spencer tampak menjadi salah satu faktor internal yang menentukan kinerja seseorang dalam melaksanakan pekerjaan. Artinya, motives yang dimiliki seseorang dalam bekerja melaksanakan pekerjaan dapat mempengaruhi kinerjanya. Kinerja yang dimaksud adalah proses dan hasil pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan tugas dan tanggungjawab. 2.1.2.3.2 Faktor Traits Menurut Spencer and Spencer, ”traits” merupakan physical characteristic and consistent response to situations or information. Selanjutnya, Spencer and Spencer (1993:10) menjelaskan : Emotional self - control and initiative are more complex “consistent responses to situations.” Some people don’t “blow up” at others and do act “above and beyond the call of duty” to solve problems under stress. These trait competencies are characteristic of successful managers. Motives and competencies are intrinsic operant or self-starting “master traits” that predict what people will do on their jobs long term, without close supervision. Dari penjelasan di atas diketahui bahwa emosi diri – kontrol dan inisiatif merupakan hal yang kompleks atas tanggapan yang konsisten terhadap situasi. Dalam variabel ini, mungkin sejumlah orang bersikap emosional pada orang lain dan melakukan tindakan di luar panggilan tugas untuk memecahkan masalah di bawah tekanan. Sifat kompetensi ini merupakan karakteristik manajer yang sukses. Motif dan kompetensi yang intrinsik merupakan "master sifat-sifat" adalah instrumental untuk memprediksi apa yang akan lakukan seseorang pada pekerjaan untuk jangka panjang. Karena traits adalah sifat bawaan seseorang, maka dengan sendirinya 34 traits merupakan faktor internal seseorang yang menjadi cermin karakteristik bagaimana ia berperilaku. 2.1.2.3.3 Faktor Self-Concept Setiap orang cenderung mengaktualisasikan dirinya menurut nilai-nilai yang diyakininya, dan dengan aktualisasi dirinya itu ia berharap memperoleh pengakuan atau penghargaan dari lingkungan kerjanya. Dalam dimensi ini, Sepncer & Spencer (1993:10) mengatakan : Self – Concept. A person’s attitudes, values, or self-image. Example: Self-confidence, a person’s belief that he or she can be effective in almost any situation is part of that person’s concept of self. A person’s values are respondent or reactive motives that predict what he or she will do in the short term and in situations where others are in charge. For example, someone who values being a leader is more likely to exhibit leadership behavior if he or she is told a task or job will be “a test of leadership ability.” Konsep diri (self-concept) adalah sikap, nilai, atau citra diri seseorang. Misalnya : percaya diri, keyakinan seseorang bahwa ia dapat efektif dalam hampir setiap situasi adalah sebagian dari konsep diri seseorang. Nilai adalah responsi atau reaksi motif yang memprediksi apa yang akan melakukan oleh seseorang dalam jangka pendek dan dalam situasi tertentu. Misalnya, nilai-nilai seseorang yang menjadi pemimpin lebih cenderung menunjukkan perilaku kepemimpinan dengan memberitahukan nilai-nilai atas tugas atau pekerjaan kepada orang lain dalam proses manajemen. 35 2.1.2.3.4 Faktor Knowledge Pengetahuan yang dimiliki seseorang adalah suatu kapasitas informasi yang terolah dari proses pendidikan dan pengalaman serta pandangan dan harapannya. Pengetahuan ini sering dijadikan tolok ukur dalam penilaian kompetensi. Dalam dimensi ini. Spencer & Spencer (1993:10) mengatakan: Knowledge is the information a person has in specific content areas. Knowledge is a complex competency. Scores on knowledge tests often fail to predict work performance because they fail to measure knowledge and skills in the ways they are actually used on the job. First, many knowledge tests measure rote memory, when what is really important is the ability to find information. Memory of specific facts is less important than knowing which facts exist that are relevant to a specific problem, and where to find them when needed. Second, knowledge tests are “respondent.” They measure test takers” ability to choose which of several options is the right response, but not whether a person can act on the basis of knowledge. For example, the ability to choose which of five items is an effective argument is very different from the ability to stand up in a conflict situation and argue persuasively. Finally, knowledge at best predicts what someone can do, not what he or she will do. Pengetahuan adalah salah satu unsur kompetensi yang kompleks. Skor pada test pengetahuan sering gagal untuk memprediksi kinerja karena kegagalan dalam mengukur pengetahuan dan keterampilan. Hal yang demikian itu terjadi, karena, pertama, test pengetahuan banyak yang hanya untuk mengukur memori hafalan, padahal yang benar-benar penting adalah kemampuan untuk mendapatkan informasi. Memori yang berisi fakta-fakta spesifik kurang penting ketimbang mengetahui fakta yang relevan dengan masalah tertentu ; kedua, test pengetahuan untuk memilih beberapa pilihan adalah respon yang benar, tapi bukan berarti seseorang dapat bertindak atas dasar pengetahuan saja. Misalnya, kemampuan untuk memilih dari lima item adalah sebuah argumen 36 yang efektif tentu sangat berbeda dengan kemampuan dalam menghadapi situasi konflik. Akhirnya, pengetahuan terbaik memprediksi apa yang seseorang dapat lakukan, bukan apa yang ia akan lakukan. 2.1.2.3.5 Faktor Skills Kinerja seseorang yang memiliki skills dengan kinerja seseorang yang tidak memiliki skills tentu sangat berbeda. Menurut Spencer & Spencer (1993:10), skills merupakan kemampuan untuk melakukan tugas fisik atau mental tertentu. Sebagai misal, keterampilan fisik Seorang dokter gigi untuk mengisi gigi tanpa merusak saraf, kemampuan seorang programmer komputer untuk mengatur 50.000 baris kode dalam urutan logis. Dengan demikian skill merupakan kemampuan yang menuntun atau memandu seseorang untuk melaksanakan pekerjaan dengan cara-cara tertentu yang efektif. Dalam dimensi kemampuan ini, Shermon (2004:29) mengatakan : The ability to perform certain physical or mental tasks, consistently, accurately and when displayed in meaningful ways and behaviorally turns into a competency. Mental or conigtive skill competencies include, analitic thinking, posting konwledge and data determining cost in effect organizing data, plans and conecptual thinking by which we mean recognizing patterns in complex data. Dengan demikian “skills” pada dasarnya adalah kemampuan seseorang untuk melaksanakan suatu tugas atau pekerjaan baik secara fisik maupun mental. Kemampuan dapat juga dikatakan sebagai keahlian teknis seseorang dalam melaksanakan prosedur dan tata cara kerja menurut ukuran tertentu, seperti misalnya melakukan pekerjaan secara produktif, efektif atau efisien. 37 Kemampuan mensinergikan fungsi kecerdasan intelektual dan fungsi kemampuan fisik. Dalam konteks ini, kemampuan merupakan manifestasi kemahiran seseorang dalam melaksanakan teknis pekerjaan yang menuntut ketrampilan fisik tertentu. Kemampuan juga terkait dengan wawasan pengalaman kerja seseorang. Semakin berpengalaman seseorang dalam menyelesaikan suatu teknis pekerjaan, maka dengan sendirinya kemampuan orang tersebut semakin terasah. Misalnya, kemampuan seorang Telesales Officers yang berpengalaman dalam memberikan layanan kepada nasabah tentu berbeda dengan seorang Telesales Officers yang belum berpengalaman. Artinya, kemampuan dapat sekaligus menunjukkan bagaimana kapasitas pengetahuan kerja, kemahiran kerja dan pengalaman kerja seseorang. Karena itu wajar saja bila setiap perusahaan dalam menyeleksi karyawan baru cenderung memilih pelamar yang sudah berpengalaman sebelumnya; bahkan tidak sedikit perusahaan yang mensyaratkan pengalaman kerja sebagai salah satu kriteria untuk menerima para pelamar kerja. Dari deskripsi teori kompetensi yang dipaparkan penulis memilih pendapat Spencer and Spencer yang menunjukkan lima karakteristik kompetensi yang meliputi variabel motives, traits, self-concept, knowledge, dan skills. Pemilihan teori kompetensi dari Spencer & Spencer didasarkan pada alasan : motives, traits, self-concept, knowlegde, dan skills merupakan faktor-faktor internal individu yang langsung mempengaruhi pikiran dan perasaan serta sikap seseorang dalam bekerja. 38 Oleh sebab itu tidak ada sikap kerja dan perilaku kerja seseorang yang lepas dari pengaruh faktor-faktor internal tersebut. Dalam konteks ini, secara stimulan kompetensi dapat mempengaruhi kesuksesan penjualan produk yang dilaksanakan oleh Telesales Officer. Dengan landasan teori kompetensi dari Spencer and Spencer (1993:9) yang menunjukkan lima karakteristik kompetensi yaitu Motives, Traits, Self-concept, Knowledge, dan Skills, disusun definisi operasional variabel berikut : Kompetensi Telesales Officer dipandang sebagai suatu karakteristik kepribadian dan kemampuan dalam melaksanakan aktivitas telemarketing yang terungkap menurut faktor-faktor : motives, traits, self-concept, knowledge dan skills. Dari definisi konseptual ini diperoleh lima variabel : Motives, Traits, Selfconcept, Knowledge, dan skills. Kelima Variabel dikembangkan menjadi 25 indikator penelitian menurut karakteristik masalah yang dijadikan obyek penelitian. 2.1.3 Penjualan Produk AXA Mandiri 2.1.3.1 Konsep Penjualan Menurut Novi (2006:19) penjualan adalah sumber pendapatan utama dari perusahaan dimana hasil penjualan yang diperoleh adalah untuk membiayai kelangsungan hidup operasional perusahaan. Menurut Winarto dan Ismaya (2003:380), penjualan adalah transaksi yang melibatkan pengiriman atau penyerahan produk; hak atau jasa dalam pertukaran untuk penerimaan kas, janji pembayaran, atau yang dapat disamakan dengan uang atau kombinasinya. 39 Mengacu pada pendapat-pendapat di atas, maka dalam praktik penjualan terdapat dua pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang menawarkan barang dan pihak yang memerlukan barang tersebut, di mana pihak yang menerima barang/jasa memberikan imbalan yang telah ditentukan dan disepakati bersama kepada pihak yang menawarkan barang. Dalam hal penjualan ini, menurut Basu Swastha (2004 : 403) : Penjualan adalah interaksi antara individu saling bertemu muka yang ditujukan untuk menciptakan, memperbaiki, menguasai atau mempertahankan hubungan pertukaran sehingga menguntungkan bagi pihak lain. Penjualan dapat diartikan juga sebagai usaha yang dilakukan manusia untuk menyampaikan barang bagi mereka yang memerlukan dengan imbalan uang menurut harga yang telah ditentukan atas persetujuan bersama. Menurut Professor Theodore Levitt (dalam Kotler,1997:20) ada perbedaan yang kontras antara konsep penjualan dan konsep pemasaran. Bagaimana perbedaan tersebut dijelaskan berikut : Selling focuses on the needs of the seller; marketing on the needs of the buyer. Selling is preoccupied with the seller’s need to convert his product into cash; marketing with the idea of satisfying the needs of the customer by means of the product and the whole cluster of things associated with creating, delivering and finally consuming it. Konsep penjualan : dimulai dengan pabrik, berfokus pada produk perusahaan yang ada dengan penekanan pada penjualan yang gencar, dan promosi untuk mencapai penjualan yang menguntungkan. Di lain pihak konsep pemasaran menggunakan pandangan; dimulai dengan keadaan pasar yang baik, berfokus pada kebutuhan pelanggan, mengkoordinasi semua kegiatan pemasaran yang berhubungan dengan pelanggan mendapatkan keuntungan dengan menciptakan kepuasan pelanggan. dan 40 Tabel 2.1 Perbedaan Konsep Penjualan dan Konsep Pemasaran Titik Awal Fokus Kegiatan Tujuan Pabrik Produk Penjualan dan Keuntungan melalui Promosi volume penjualan Konsep Penjualan Pasar Kebutuhan Pemasaran Keuntungan melalui Pelanggan Terpadu kepuasan pelanggan Konsep Pemasaran Sumber : Kotler,1997:20 Searah dengan konsep penjualan yang dikemukakan di atas, menurut Basu Swastha (2004 : 404) tujuan umum penjualan dalam perusahaan yaitu: 1) Mencapai volume penjualan; 2) Mendapatkan laba tertentu; dan 3) Menunjang pertumbuhan perusahaan. Tingkat penjualan produk yang maksimal tentu dijadikan target penjualan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang perdagangan. Target penjualan produk ini erat kaitannya dengan tingkat keuntungan yang diraih oleh setiap perusahaan. Namun kenyataannya tidak semua produk dapat mencapai tingkat penjualan yang maksimal, karena menurut Supranto (2001 : 128), dihadapkan pada sejumlah masalah penjualan. Sebagian masalah penjualan produk ini terungkap dari tanggungjawab eksekutif pemasaran. Menurut Supranto (2001 : 128), tugas pokok marketing manager ialah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut : a. Berapa uang yang harus dikeluarkan untuk biaya usaha penjualan (selling effort) dalam waktu tertentu? b. Bagaimana mendistribusikan biaya tersebut dari daerah geografis yang satu ke daerah lainnya, misalnya dari propinsi yang satu ke propinsi lainnya; dari kabupaten yang satu ke kabupaten lainnya? c. Apabila lebih dari satu jenis barang yang diprodusir, bagaimana mengalokasikan biaya tersebut menurut jenis barang produksi, misalnya 41 berapa biaya advertensi untuk sabun mandi Lux, pasta gigi Pepsodent, sabun cuci Rinso, dan lain sebagainya; yang harus dikeluarkan Unilever untuk suatu tahun tertentu? d. Apakah kepala kantor cabang perusahaan di suatu tempat tertentu benar-benar produktif, kerja secara efisien dan efektif? e. Apakah banyak salesman yang bekerja secara produktif, efisien dan efektif? Untuk membuat keputusan-keputusan atau menjawab pertanyaanpertanyaan tersebut di atas, maka pimpinan perlu memperoleh data dari bagian yang mengurus riset pemasaran. Suatu teknik yang dipergunakan untuk memperoleh data (informasi) yang tepat tersebut dinamakan sales control research. Supranto (2001 : 129) mengemukakan : Sales control research meliputi identifikasi dan pengukuran (identification and measurement) dari semua faktor yang mempunyai pengaruh (effect) langsung dan sangat penting terhadap penjualan (sales) yaitu yang mempunyai hubungan sebab dan akibat (cause and effect relationship) terhadap sales, misalnya mutu yang kurang baik, harga yang terlalu tinggi, adanya saingan, daya beli rendah, biaya promosi dan lain sebagainya. Lebih jauh dikemukakan bahwa sales control research pada dasarnya mencakup tiga kegiatan pokok, yaitu meramalkan penjualan (forecasting sales); menentukan potensi penjualan bagi bagian-bagian pasar (sales potentials for segments of market); dan menentukan jenis produksi yang paling menguntungkan. Ketiga hal tersebut di atas sangat berhubungan satu sama lain. Lebih jauh Supranto (2001 : 129) menjelaskan bahwa ramalan penjualan (sales forecasting) berarti ramalan penjualan dari produk tertentu perusahaan tertentu, cabang perusahaan tertentu, pada suatu waktu tertentu, dari daerah penjualan tertentu. Market analysis berarti suatu studi terhadap pasar secara individu (individual market) untuk menentukan potensi yang ada didalamnya, yaitu kemampuan menyerap barang-barang produksi tertentu. 42 Sales analysis yang meliputi analisa-analisa terhadap catatan-catatan penjualan dari perusahaan (company sales records) untuk menentukan hal-hal seperti konsentrasi penjualan menurut pembeli, menurut produk dan menurut daerah geografis. Menurut Supranto (2001 : 130), ramalan penjualan merupakan subyek yang kompleks, dan beberapa cara untuk membuat ramalan tersebut adalah berikut : 1. Meramalkan Penjualan Berdasarkan Pendapat Para Eksekutif (Executive Opinion). Dengan cara ini masing-masing anggota eksekutif (executive members) membuat ramalan penjualan secara independen yaitu bebas satu sama lain untuk suatu periode yang akan datang. Tentu saja ramalan yang mereka buat bukan saja berdasarkan ”pendapat” atau opinion akan tetapi mungkin berdasarkan data yang ada atau dengan menggunakan suatu ”judgement” yang sudah dipertimbangkan dengan masak-masak. 2. Metode Meramal dengan Menggunakan Beberapa Tenaga Penjual (Sales Force Composite Method). Metode ini sebetulnya sama saja dengan yang pertama tadi hanya bedanya ialah, bahwa yang pertama terdiri dari para anggota pimpinan perusahaan sedangkan cara yang kedua ini terdiri dari orang-orang yang langsung melakukan penjualan yang harus membuat ramalan. 3. Meramalkan dengan Metode Statistik. Ilmu statistik memberikan beberapa metode analisa yang memungkinkan untuk pembuatan ramalan-ramalan (forecasting), khususnya analisa korelasi dan regresi (correlation and regression analysis). Disamping ramalan penjualan yang demikian itu, untuk memahami naik turunnya tingkat penjualan produk dapat juga didasarkan pada analisis pasar. Analisa pasar adalah suatu proses untuk menentukan potensi penjualan. Yang dimaksud dengan potensi pasar ialah suatu perkiraan kapasitas dari suatu pasar untuk menyerap barang produksi. Perkiraan tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk fisik (physical unit) atau dalam jumlah mata uang atau bisa juga dalam bentuk persentase. Misalnya berapa jumlah pasar, berapa nilai barang 43 dalam rupiah yang bisa ditampung dan berapa persen dari barang-barang tersebut yang bisa diserap oleh suatu pasar tertentu atau dari segmen pasar tertentu. Menurut Supranto (2001 : 134), potensi pasar tentu tidak selalu mempunyai arti sama dengan ramalan penjualan. Ramalan penjualan pada umumnya bersifat pasif, memperkirakan pengaruh dari faktor-faktor ekonomi yang eksternal sifatnya serta menentukan suatu nilai ramalan hasil penjualan yang bisa diharapkan di masa yang akan datang dengan syarat, bahwa keadaan sekelilingnya tidak mengalami perubahan-perubahan yang berarti. Potensi pasar mungkin terlalu besar, akan tetapi yang efektif mungkin lebih sedikit/kecil. Adapun kegunaan potensi pasar dijelaskan Supranto (2001 : 134) berikut : a. Untuk Menentukan Daerah Penjualan (Sales Territories) Perencanaan daerah penjualan biasanya didasarkan atas beberapa perkiraan tentang potensi. Untuk suatu perusahaan tertentu akan ada suatu potensi optimum bagi suatu daerah salesman. b. Alokasi Usaha Penjualan Alokasi usaha penjualan sangat erat hubungannya dengan perencanaan daerah penjualan. Semua usaha penjualan, tenaga penjual (sales force) advertensi harus dialokasi hanya setelah diadakan pertimbangan tentang potensi. c. Penentuan Jatah Penjualan (Sales Quota) Jatah penjualan harus ditentukan setelah potensi pasar telah diketahui dan usaha penjualan sudah dialokir. Dengan perkataan lain suatu prosedur diperlukan untuk menentukan potensi pasar, mengalokir usaha penjualan beberapa waktu sebelumnya perlu diadakan perubahan terhadap jumlah usaha penjualan untuk waktu-waktu yang akan datang serta mengharapkan aktivitas dari saingan untuk menentukan jatah (quota). Bila peta potensi suatu pasar telah diidentifikasi, atau potensi suatu pasar dinilai perlu ditingkatkan, maka persoalannya adalah bagaimana mengembangkan potensi pasar tersebut agar omset penjualan produk dapat meningkat. 44 Dalam konteks ini diperlukan pemahaman mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penjualan. 2.1.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penjualan Produk Aktivitas penjualan banyak dipengaruhi oleh faktor yang dapat meningkatkan aktivitas perusahaan, oleh karena itu manajer penjualan perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi penjualan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penjualan menurut Basu Swastha (2005) sebagai berikut : 1) Kondisi dan Kemampuan Penjual : Kondisi dan kemampuan terdiri dari pemahaman atas beberapamasalah penting yang berkaitan dengan produk yang dijual,jumlah dan sifat dari tenaga penjual adalah: a) Jenis dan karakteristik barang atau jasa yang ditawarkan b) Harga produk atau jasa c) Syarat penjualan, seperti: pembayaran, pengiriman 2) Kondisi Pasar : Pasar mempengaruhi kegiatan dalam transaksi penjualan baik sebagai kelompok pembeli atau penjual. Kondisi pasar dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni : jenis pasar, kelompok pembeli, daya beli, frekuensi pembelian serta keinginan dan kebutuhannya. 3) Modal : Modal atau dana sangat diperlukan dalam rangka untuk mengangkut barang dagangan ditempatkan atau untuk membesar usahanya. Modal perusahaan dalam penjelasan ini adalah modal kerja perusahaan yang digunakan untuk mencapai target penjualan yang dianggarkan, misalnya dalam menyelenggarakan stok produk dan dalam melaksanaan kegiatan penjualan memerlukan usaha seperti alat transportasi, tempat untuk menjual, usaha promosi dan sebagainya. 4) Kondisi Organisasi Perusahaan : Pada perusahan yang besar, biasanya masalah penjualan ini ditangani oleh bagian tersendiri, yaitu bagian penjualan yang dipegang oleh orang-orang yang ahli dibidang penjualan. 5) Faktor-faktor lain : Faktor-faktor lain seperti periklanan, peragaan, kampanye, dan pemberian hadiah sering mempengaruhi penjualan karena diharapkan dengan adanya faktor-faktor tersebut pembeli akan kembali membeli lagi barang yang sama. Menurut Efendi Pakpahan (2009) faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi volume penjualan adalah saluran distribusi yang bertujuan untuk melihat peluang pasar apakah dapat memberikan laba yang maksimun. 45 Secara umum mata rantai saluran distribusi yang semakin luas akan menimbulkan biaya yang lebih besar, tetapi semakin luasnya saluran distribusi maka produk perusahaan akan semakin dikenal oleh mayarakat luas dan mendorong naiknya angka penjualan yang akhirnya berdampak pada peningkatan volume penjualan. Promosi penjualan juga mempengaruhi tingkat penjualan. Dalam hal ini Kotler (dalam Susanto, 2001:864) mengatakan : Terdapat beberapa faktor berkontribusi pada kecepatan pertumbuhan promosi penjualan, terutama dalam pasar konsumen. Faktor-faktor internal termasuk hal-hal berikut : Promosi sekarang lebih diterima oleh manajemen puncak sebagai kiat penjualan yang efektif, semakin banyak manajer produk yang memenuhi syarat untuk menggunakan kiat promosi penjualan; dan manajer produk berada di bawah tekanan keras untuk meningkatkan penjualan mereka sekarang. Faktor-faktor eksternal mencakup hal-hal berikut : Jumlah merek telah bertambah; pesaing sering menggunakan promosi; banyak merek yang berada dalam keseimbangan; konsumen semakin berwawasan transaksi, perdagangan menuntut lebih banyak transaksi dari produsen; dan efisiensi iklan telah berkurang karena meningkatnya biaya, kekacauan media, dan hambatan legal. Dalam menggunakan promosi penjualan, perusahaan harus menetapkan tujuan, memilih kiat, mengembangkan program, menguji program itu lebih dulu, menerapkan dan mengontrolnya, dan mengevaluasi hasilnya. (Kotler dalam Susanto, 2001:867), 2.1.3.3 Konsep Produk Dalam Penjualan Product, mengelola unsur produk termasuk perencanaan dan pengembangan produk atau jasa yang tepat untuk dipasarkan oleh perusahaan. Strategi dibutuhkan untuk mengubah produk yang ada, menambah yang baru, dan mengambil tindakan-tindakan lain yang mempengaruhi bermacammacam produk. Keputusan strategi juga dibutuhkan untuk pengemasan, penentuan, cap, dan berbagai segi produk yang lain. (Stanton, 1985 : 46) 46 Daniel Hunt yang dikutip Cravens (1998:3) mengatakan bahwa sebuah produk adalah segala sesuatu yang memiliki nilai di suatu pasar sasaran dimana kemampuannya memberikan manfaat atau kepuasan termasuk benda, jasa, organisasi, tempat, orang dan ide. Produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan ke pasar untuk mendapat perhatian, dibeli, dipergunakan, atau dikonsumsi dan yang dapat memuaskan keinginan atau kebutuhan. Produk mencakup obyek secara fisik, jasa, orang, tempat, organisasi dan ide. (Kotler dan Amstrong, 1997 : 274) Dalam maknanya yang sempit, produk adalah sekumpulan atribut fisik nyata (tangible) yang terakit dalam sebuah bentuk yang dapat diidentifikasikan. Setiap produk menyandang nama deskriptif (atau generik) yang dikenal secara umum, seperti buah mangga, baja, atau tas sekolah. Atribut produk yang menarik motivasi konsumen atau pola beli tidak tercakup dalam definisi sempit ini. (Stanton,1985: 222), Karena itu, Stanton (1985:223) mengemukakan definisi produk sebagai berikut : Sebuah produk adalah sekumpulan atribut yang nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible) di dalamnya sudah tercakup warna, harga, kemasan, prestise pabrik, prestise pengecer dan pelayanan dari pabrik serta pengecer – yang mungkin diterima oleh pembeli sebagai sesuatu yang bisa memuaskan keinginannya. Jasa adalah segala aktivitas atau manfaat yang dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak laina yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak menghasilkan kepemilikan apapun. 47 Produk Inti adalah jasa untuk memecahkan masalah atau manfaat inti yang dicari konsumen ketika mereka membeli suatu produk. (Kotler dan Amstrong, 1997 : 274) Kotler dan Amstrong mengembangkan beberapa klasifikasi produk. Pertama, produk dan jasa menjadi dua kelas besar berdasarkan pada jenis konsumen yang menggunakannya – produk konsumen dan produk industri. Produk konsumen adalah apa yang dibeli oleh konsumen akhir untuk konsumsi pribadi. Pemasar biasanya mengklasifikaikan barang-barang ini berdasarkan pada cara konsumen membelinya. Berbagai produk ini mempunyai perbedaan dalam cara konsumen membelinya; oleh karena itu produk tersebut berbeda dalam cara pemasarannya. (Kotler dan Amstrong, 1997 : 276) Perbedaan yang dimaksud Kotler dan Amstrong (1997 : 276) dikemukakan dengan tabel berikut : 48 Tabel 2.2 Pertimbangan Pemasaran untuk Produk Konsumen Pertimbangan Pemasaran Tingkah laku membeli pelanggan Sehari-hari Sering dibeli, sedikit perencanaan, sedikit membandingkan atau usaha berbelanja, keterlibatan pelanggan rendah Harga Distribusi Harga rendah Distribusi tersebar luas Promosi Promosi massal oleh produsen Contoh Pasta gigi, majalah, detergen, pakaian Tipe Produk Konsumen Shopping Khusus Lebih jarang dibeli, Pemilihan dan loyal perencanaan dan usa- pada merek terkenal, ha berbelanja lebih usaha membeli khusus, banyak, pembanding-an sedikit membandingkan merek menyangkut merek, kepekaan harga, mutu, gaya terhadap harga rendah Tidak dicari Kesadaran produk, pengetahuan rendah (atau bila menyadari sedikit atau bahkan tidak berminat) Harga lebih tinggi Harga tinggi Bervariasi Distribusi selektif di Distribusi eksklusif Bervariasi beberapa toko saja hanya di satu atau beberapa pedagang per wilayah pasar Iklan dan penjualan Promosi terarah yang Iklan agresif dan Pribadi oleh produsen lebih berhati-hati oleh penjualan dan pedagang produsen dan pribadi oleh pedagang produsen dan pedagang Perabot rumah tangga Barang-barang mewah, Asuransi jiwa, berukuran besar, seperti arloji Rolex atau donor darah televisi, mebel, pakaian kristal cantik untuk Palang Merah Sumber: Kotler dan Amstrong (1997 : 276) Kotler dan Amstrong (1997:277) menjelaskan bahwa produk industri adalah barang yang dibeli untuk diproses lebih lanjut atau untuk dipergunakan dalam menjalankan bisnis. Jadi, perbedaannya antara produk konsumen dengan industri didasarkan pada tujuan tersebut dibeli. Dalam hal ini Kotler dan Amstrong memberi contoh bahwa bila seorang konsumen membeli sebuah mesin potong rumput untuk dipergunakan di sekitar rumahnya, mesin pemotong rumut itu adalah produk konsumen. Bila seorang konsumen yang sama membeli mesin pemotong rumput yang sama untuk dipergunakan dalam bisnis pertamanan, mesin pemotong rumuput tadi termasuk produk industri. 49 Terdapat tiga kelompok produk industri, yaitu bahan dan suku cadang, barang modal, serta perlengkapan dan jasa. Bahan dan suku cadang adalah produk industri yang menjadi bagian produk pembeli, lewat pengolahan lebih lanjut atau sebagai komponen. Termasuk disini bahan baku, bahan jadi dan suku cadang. Barang Modal adalah produk industri yang membantu produksi atau operasi. Termasuk dalam kategori ini adalah barang yang dibangun dan peralatan tambahan. Perlengkapan dan Jasa adalah produk industri yang sama sekali tidak memasuki produk akhir. Termasuk dalam perlengkapan adalah perlengkapan operasi (pelumas, batu bara, kertas komputer) dan barang-barang untuk memperbaiki serta memelihara (cat, paku, sapu). Termasuk dalam jasa service adalah pemeliharaan dan perbaikan serta jasa pemberian saran bisnis (hukum, konsultan manajemen, iklan). Jasa ini biasanya diberikan berdasarkan pada kontrak. (Kotler dan Amstrong, 1997 : 277) Tingkat penjualan produk yang maksimal tentu dijadikan target penjualan oleh setiap perusahaan. Target penjualan produk ini erat kaitannya dengan tingkat keuntungan yang diraih oleh setiap perusahaan. Namun kenyataannya tidak semua produk dapat mencapai tingkat penjualan yang maksimal, karena dihadapkan pada sejumlah masalah penjualan. Sebagian masalah penjualan produk ini terungkap dari tanggungjawab eksekutif pemasaran. Dalam konteks ini persoalannya adalah bagaimana suatu produk itu berproses dalam dinamika pemasaran. 50 Tahap Introduksi mulai ketika produk baru pertama kali diluncurkan. Introduksi membutuhkan waktu, dan pertumbuhan penjualan cenderung lambat. Produk yang terkenal seperti kopi instan, sari jeruk beku, dan bubuk krim kopi selama bertahun-tahun berada dalam tahap ”hidup enggan mati tak mau” sebelum memasuki tahap yang cepat. Dalam tahap ini kalau dibandingkan dengan tahap-tahap lain, perusahaan masih merugi atau berlaba kecil karena penjualan yang lambat dan biaya distribusi serta promosi yang tinggi. Banyak dana perlukan untuk menarik distributor untuk menarik mereka agar mau menumpuk sediaan. Pengeluaran promosi relatif tinggi untuk memberi tahu konsumen tentang produk baru dan mendorong agar mereka mau mencoba. Karena pada umumnya pasar belum siap untuk penyaringan produk dalam tahap ini memfokuskan penjualan pada pembeli yang paling siap untuk membeli. (Kotler, 1997 : 327) Sebuah perusahaan mungkin menjalankan satu dari beberapa strategi pemasaran untuk memperkenalkan produk baru. Perusahaan dapat menetapkan level yang tinggi atau rendah untuk setiap variabel pemasaran, seperti harga, promosi, distribusi, dan mutu produk. Dengan hanya memperhatikan harga, dan promosi, misalnya, manajemen mungkin meluncurkan produk baru dengan harga tinggi dan pengeluaran promosi rendah. Harga tinggi mampu meraih laba kotor setinggi mungkin per unit sementara pengeluaran promosi yang rendah menjaga biaya pemasaran rendah. Strategi seperti itu masuk akal kalau ukuran pasar terbatas, ketika sebagian besar konsumen di pasar sudah mengetahui produk dan sedia membayar harga 51 tinggi, dan kalau hanya terdapat sedikit pesaing potensial langsung. Sebaliknya, sebuah perusahaan dapat memperkenalkan produk barunya dengan harga rendah dan pengeluaran promosi tinggi. Strategi ini menjanjikan penetrasi pasar yang paling cepat dan pangsa pasar terbesar. Adalah masuk akal bila pasarnya besar dan pembeli potensialnya peka terhadap harga serta tidak menyadari keberadaan produk, pasti ada persaingan potensial yang kuat, dan biaya produksi per unit turun sejalan dengan skala produksi serta pengalaman manufaktur yang terakumulasi. (Kotler, 1997 : 327) Sebuah perusahaan, terutama pelopor pasar, harus memilih strategi peluncuran yang konsisten dengan keinginan pemosisian produk. Perusahaan harus menyadari bahwa strategi awal hanyalah langkah pertama dalam rencana pemasaran yang lebih utama untuk seluruh daur hidup produk. Bila perusahaan pelopor memilih strategi peluncuran untuk melakukan ”Pembunuhan”, dia akan mengorbankan penghasilan jangka panjang demi keuntungan jangka pendek. Ketika kemudian sang pelopor bergerak melewati tahap-tahap daur hidup, dia harus terus merumuskan penetapan harga baru, promosi, dan strategi pemasaran yang lain. Dia mempunyai peluang paling baik untuk menjadi pemimpin pasar dan mempertahankannya bila dapat memainkan kartunya dengan tepat sejak awal. (Kotler, 1997 : 328) Bila berhasil memuaskan pasar, produk baru akan memasuki tahap pertumbuhan, yang ditandai dengan cepat meningkatnya penjualan. Pembeli awal tetap membeli, dan pembeli belakangan akan mulai memhikuti pemimpinannya, 52 terutama bila mendengar berita yang mendukung. Tertarik oleh peluang memperoleh laba, pesaing baru akan memasuki pasar. Mereka akan memperkenalkan sifat-sifat produk baru, dan pasar akan berkembang. Meningkatnya pesaing membuat jumlah toko distribusi juga bertambah, dan penjualan meroket karena pedagang menimbun sediaan. Harga tetap atau hanya sedikit menurun. Perusahaan mempertahankan pengeluaran promosi atau sedikit menaikkannya. Mendidik pasar tetap merupakan sasaran, tetapi sekarang juga harus mengahadapi pesaing. (Kotler, 1997 : 328) Laba meningkat dalam tahap pertumbuhan, karena biaya promosi dibagi volume penjualan yang tinggi, dan juga karena biaya produksi per unit turun. Perusahaan menggunakan beberapa strategi untuk mempertahankan pertumbuhan pasar yang cepat selama mungkin. Mutu produk ditingkatkan dan sifat serta model baru produk ditambahkan. Perusahaan juga memasuki segmen pasar baru dan saluran distribusi baru; menggeser beberapa iklan yang membina kesadaran akan produk dan menggantikannya dengan yang membina keyakinan akan produk dan membeli, serta menurunkan harga pada saat yang tepat untuk menarik lebih banyak pembeli. Dalam tahap pertumbuhan, menghadapi pertukaran dan harus memilih antara pangsa pasar tinggi dan laba tinggi saat itu. Dengan mengeluarkan banyak biaya untuk memperbaiki produk, promosi, dan distribusi, perusahaan dapat mempertahankan posisi dominan. Akan tetapi, dengan melakukan hal itu 53 perusahaan harus melepas peluang meraih laba maksimum saat itu, yang diharapkan dapat dipulihkan pada tahap berikutnya. (Kotler, 1997 : 328) Pada saat, pertumbuhan penjualan produk akan menurun, dan produk akan memasuki tahap menjadi dewasa. Tahap dewasa ini berlangsung lebih lama ketimbang tahap sebelumnya, dan memberikan tantangan kuat bagi manajemen pemasaran. Kebanyakan produk berada dalam tahap dewasa dari daur hidup, dan oleh karena itu kebanyakan manajemen pemasaran berkaitan dengan produk dewasa. Penurunan pertumbuhan penjualan menyebabkan banyak produsen mempunyai banyak produk untuk dijual. Pada saatnya, kapasitas berlebihan ini menyebabkan persaingan semakin sengit. Pesaing mulai menurunkan harga, meningkatkan iklan dan promosi penjualan, serta menambah anggaran litbang untuk menemukan versi produk yang lebih baik. Langkah-langkah ini menyebabkan laba menurun. Beberapa pesaing yang lebih lemah mulai menghilang, dan pada akhirnya industri hanya diisi pesaing yang paling kokoh. (Kotler, 1997 : 328) Walaupun banyak produk dalam tahap dewasa tetap tidak berubah dalam jangka waktu lama, kebanyakan yang berhasil sebenarnya mengalami evolusi untuk mengimbangkan kebutuhan konsumen yang lebih berubah. Manajer produk tidak boleh hanya sekedar membiarkan atau mempertahankan produk dewasa mereka-penyerangan yang baik adalah pertahanan terbaik. Mereka harus memikirkan untuk memodifikasi pasar, produk, dan bauran pemasaran. 54 Memodifikasi Pasar. Dalam tahap ini, perusahaan mencoba meningkatkan konsumsi produk yang sudah ada. Perusahaan mencari pengguna dan dan segmen pasar baru, seperti ketika Johnson & Johnson membidik pasar orang dewasa dengan bedak dan shampoo bayinya. Manajer juga mencari jalan untuk meningkatkan penggunaan diantara pelanggan yang sudah ada. Campbell melakukan hal ini dengan menawarkan resep dan menyakinkan konsumen bahwa ”sup adalah makanan sehat”. Atau perusahaan mungkin ingin memposisikan ulang merek untuk menarik segmen yang lebih besar atau yang bertumbuh lebih cepat, seperti yang dilakukan Arrow ketika memperkenalkan ini baru baju santai dan mengumumkan, ”Kami melonggarkan kerah kami”. (Kotler, 1997 : 329) Perusahaan juga dapat mengubah karakteristik produk-seperti mutu, sifat, atau gaya- untuk menarik pengguna baru dan menginspirasikan penggunaan banyak. Perusahaan mungkin meningkatkan mutu dan prestasi produk-keawetan, keandalan, kecepatan, rasa. Atau perusahaan mungkin menambahkan sifat yang meningkatkan pengunaan, keamanan atau kenyamanan produk. Misalnya, Sony terus menambahkan gaya dan sifat baru pada lini Walkman dan Discman, serta volvo menambah alat pengamanan baru pada mobilnya. Akhirnya, perusahaan dapat memperbaiki gaya dan daya tarik produknya. Dengan demikian, pabrik mobil mengubah gaya mobil untuk menarik pembeli yang menginkan penampilan baru. Pembuat produk makanan dan alat rumah 55 tangga memperkenalkan aroma, warna, bahan baku, atau kemasan baru guna meningkatkan pembelian konsumen. (Kotler, 1997 : 329) Memodifikasi Bauran Pemasaran. Pemasar juga dapat mencoba memperbaiki penjualan dengan satu atau beberapa elemen bauran pemasaran. Mereka dapat menurunkan harga untuk menarik pengguna baru dan pelanggan pesaing. Mereka dapat meluncurkan iklan yang lebih baik atau menggunakan promosi penjualan yang lebih agresif-rabat, harga khusus, dan undian. Perusahaan dapat juga masuk kesaluran pasar yang lebih besar, menggunkan pedagang massal, bila saluran ini tumbuh. Akhirnya, perusahaan dapat menawarkan jasa baru yang lebih baik kepada pembeli. (Kotler, 1997 : 329) Tahap menurun. Penjualan dari kebanyakan bentuk dan merek produk akhirnya menurun. Penurunan ini mungkin berlangsung lambat, seperti halnya dengan sereal oatmeal; atau cepat, seperti piringan hitam. Penjualan mungkin anjlok sampai nol, atau menukik sampai tingkat rendah yang terus bertahan selama beberapa tahun. Ini adalah tahap menurun. Penjualan karena berbagai alasan, termasuk kemajuan teknologi, selera konsumen berubah, dan meningkatkan persaingan. Ketika penjualan dan laba menurun, beberapa perusahaan mundur dari pasar. Perusahaan yang masih bertahan dapat mengurangi macam produk yang ditawarkannya. Mereka mungkin meninggalkan segmen pasar yang kecil dan saluran perdagangan yang memberikan laba tipis, atau mereka mungkin 56 mengurangi anggaran promosi serta lebih lanjut menurunkan harga. (Kotler, 1997 : 329) Tetap mempertahankan produk lemah merupakan beban berat bagi sebuah perusahaan, dan bukan hanya dari segi laba. Banyak biaya tersembunyi. Produk lemah mungkin lebih banyak menyita waktu manajemen. Produk itu sering kali memerlukan penyesuaian harga dan sediaan; membutuhkan iklan dan perhatian tenaga penjual yang mungkin lebih baik dipergunakan untuk membuat produk “sehat” mampu menghasilkan lebih banyak laba. Produk yang mempunyai reputasi buruk dapat menyebabkan pelanggan perihatin atas perusahaan dan produknya yang lain. Biaya paling besar mungkin terletak jauh di masa depan. Mempertahankan produk lemah menunda pencarian penggantinya, menciptakan ketidakseimbangan bauran produk, menghancurkan laba saat ini, dan melemahkan pijakan perusahaan di masa depan. Basu Swastha (2004 : 404) bahwa tujuan umum penjualan dalam perusahaan yaitu: 1) Mencapai volume penjualan; 2) Mendapatkan laba tertentu; dan 3) Menunjang pertumbuhan perusahaan. Berlandaskan teori penjualan ini dibangun konseptualisasi variabel penjualan bahwa Penjualan Produk AXA Mandiri adalah proses promosi dan transaksi di antara Telesales Officers dengan calon nasabah yang oleh manajemen diarahkan untuk mencapai volume penjualan, mendapatkan laba tertentu; dan menunjang pertumbuhan perusahaan melalui penjualan produk AXA Mandiri. Dari konseptualisasi variabel ini diperoleh tiga dimensi analisis : 57 Dimensi mencapai volume penjualan, Dimensi mendapatkan laba tertentu; dan Dimensi menunjang pertumbuhan perusahaan. Ketiga dimensi analisis tersebut dikembangkan menurut karakteristik obyek penelitian menjadi 15 indikator penelitian. 2.1.3.4 Telemarketing Kaitan Dengan Komunikasi Pemasaran Kemajuan teknologi telah menyediakan fasilitas berkomunikasi yang semakin canggih dan beragam. Dalam rangka memanfaatkan kemajuan telekomunikasi dan teknologi informasi, maka perusahaan asuransi AXA Mandiri memasarkan atau menjual produk-produk asuransinya melalui program telemarketing dengan Telesales Officers sebagai tenaga pemasarnya. Komunikasi Pemasaran Promosi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan suatu program pemasaran. Betapapun berkualitasnya suatu produk, bila konsumen belum pernah mendengarnya dan tidak yakin bahwa produk itu akan berguna bagi mereka, maka mereka tidak akan pernah membelinya. Promosi adalah suatu bentuk komunikasi pemasaran, yang merupakan aktivitas pemasaran untuk menyebarkan informasi, membujuk, dan mengingatkan pasar sasaran atas produk perusahaan agar bersedia menerima, membeli, dan loyal pada produk yang ditawarkan perusahaan. Seperti yang dikemukakan oleh Kotler (2003), Kotler & Amstrong (2001), Kerin & Peterson (1993), bahwa “Marketing Communication is the process by which information about an organization and its offerings is disseminated to selected markets”. 58 Ada tiga unsur pokok dalam struktur proses komunikasi pemasaran sebagaimana yang tergambar dalam gambar 2.5, yaitu : 1. Pelaku Komunikasi, terdiri atas pengirim (sender) yang menyampaikan pesan dan penerima pesan. Dalam konteks ini, komunikatornya adalah produsen, sedangkan komunikan (receiver) nya adalah khalayak, seperti pasar pribadi, pasar organisasi, dan masyarakat umum. 2. Material Komunikasi, yaitu : (a) Gagasan, adalah materi pokok yang hendak disampaikan pengirim ; (b) Pesan, adalah himpunan berbagai simbol (oral, verbal, atau non-verbal) dari suatu gagasan. Pesan hanya dikomunikasikan melalui suatu media ; (c) Media, adalah pembawa pesan komunikasi. Pilihan media komunikasi pemasaran bisa bersifat personal maupun non-personal ; (d) Tanggapan, adalah reaksi pemahaman atas pesan yang diterima oleh penerima ; (e) Umpan-Balik dari sebagian atau keseluruhan tanggapan yang dikirim kembali oleh penerima ; (f) Gangguan, adalah segala sesuatu yang dapat menghambat kelancaran proses komunikasi. 3. Proses Komunikasi. Proses penyampaian pesan dan pengiriman kembali respon akan memerlukan dua kegiatan, yaitu encoding (adalah proses merancang atau mengubah gagasan secara simbolik menjadi sebuah pesan untuk disampaikan kepada penerima) dan decoding (adalah proses menguraikan atau mengartikan simbol sehingga pesan yang diterima dapat dipahami). 59 Gambar 2.5 Model Komunikasi Pemasaran Sender Encoding Message / Media Decoding Receiver Noise Feedback Respons Sumber : Kotler (2003), Kotler & Amstrong (2001), Kerin & Peterson (1993) Tujuan Komunikasi Pemasaran Komunikasi pemasaran meliputi tiga tujuan utama, yaitu untuk menyebarkan informasi (komunikasi informatif), mempengaruhi atau menarik konsumen untuk melakukan pembelian (komunikasi persuasif), dan mengingatkan khalayak untuk melakukan pembelian ulang (komunikasi mengingatkan kembali). (Kotler, 2003 ; Kotler & Amstrong, 2001). Tanggapan konsumen sebagai komunikan terhadap stimuli meliputi : (a) Efek Kognitif, yaitu membentuk kesadaran informasi tertentu. Di tahap ini, konsumen akan menyadari dan bertambah pengetahuannya ; (b) Efek Afeksi, yakni memberikan pengaruh untuk melakukan sesuatu yang diharapkan adalah realisasi pembelian. Di tahap ini konsumen akan menyukai, lebih menyukai dan yakin ; (c) Efek Konatif atau perilaku, yaitu membentuk pola khalayak. Di tahap ini konsumen akan cenderung membeli ; (d) Perilaku konsumen selanjutnya, yang diharapkan penjual adalah pembelian ulang. 60 Alat Promosi (Promotion Tools) Menurut Kotler (2003) ; Kotler & Amstrong (2001), alat-alat promosi terdiri dari : 1. Advertising adalah semua bentuk penyajian dan promosi non-personal atas ide, barang atau jasa yang dilakukan oleh perusahaan sponsor tertentu. Advertising menggunakan media, seperti TV, radio, kemasan katalog, brosur, leaflet, majalah, billboard, spanduk, simbol, logo, balon udara, mobil box, film, dsb. 2. Sales Promotion adalah berbagai insentif jangka pendek untuk mendorong keinginan mencoba atau membeli suatu produk atau jasa. 3. Public Relation & Publicity adalah berbagai program untuk mempromosikan dan atau melindungi citra perusahaan atau masingmasing produknya. 4. Personal Selling adalah interaksi langsung antara salesman perusahaan dengan satu atau lebih calon pembeli guna melakukan presentasi, menjawab pertanyaan, dan menerima pesan. 5. Direct Marketing adalah penggunaan surat, telepon, faksimili, e-mail, dan alat-alat penghubungan non-personal lainnya untuk berkomunikasi secara langsung dengan atau mendapatkan tanggapan langsung dari pelanggan dan calon pelanggan. Pemasaran Langsung (Direct Marketing) Pemasaran langsung adalah sistem pemasaran interaktif yang menggunakan satu, atau lebih media iklan untuk menghasilkan tanggapan dan/atau transaksi yang dapat diukur pada suatu lokasi (Kotler, 2003:345 ; Kotler & Amstrong, 2001:250). Definisi ini menekankan pada tanggapan yang dapat diukur, khususnya pesanan pelanggan. Karena itu, pemasaran langsung kadang-kadang disebut direct-order-marketing (pemasaran pesanan langsung). Kini, banyak pemasar menganggap pemasaran langsung memainkan peranan yang lebih luas, yaitu membangun hubungan jangka panjang dengan pelanggan (relationship marketing), dimana relationship marketing merupakan salah satu cara 61 mempertahankan pelanggan. Dengan kata lain, pemasaran langsung dalam arti luas sama dengan relationship marketing. Menurut Kotler (2003:228), pemasaran hubungan (relationship marketing) adalah “Proses menciptakan, mempertahankan, dan memperbaiki hubungan yang kuat yang berdasarkan nilai, dengan pelanggan dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya”. Salah satu unsur fundamental dari relationship dengan pelanggan adalah fokus pada ketahanan pelanggan. Unsur lain adalah penghargaan terhadap nilai seorang pelanggan. Tujuan dari hubungan yang sejati dengan pelanggan adalah kepuasan jangka panjang yang melampaui transaksi individual (Barnes, 2001:23). Contoh-contoh pemasaran langsung dalam arti luas yang dilakukan oleh perusahaan, yakni perusahaan mengirimkan kartu ulang tahun kepada pelanggannya, memberikan parcel pada event Idul Fitri atau Natal/Tahun Baru ; perusahaan penerbangan memberikan Frequent Fliers Miles (bonus untuk pemakaian jasa penerbangan berdasarkan jumlah mil yang ditempuh) ; menawarkan pelanggan untuk menjadi anggota kelompok pelanggan dengan memberikan member card. Adapun manfaat pemasaran langsung bagi konsumen akhir, antara lain memberikan kesenangan, memberikan kenyamanan, memberikan kemudahan, dapat berhemat waktu, dapat melakukan belanja komparatif dengan membaca katalog dan belanja layanan online. Sedangkan manfaat pemasaran langsung bagi konsumen bisnis, baik produsen, pedagang besar, maupun pengecer, antara lain penjual dapat membeli 62 sebuah daftar alamat yang memuat nama dari hampir semua kelompok konsumen akhir (kelompok orang kidal, kelompok orang-orang kegemukan, kelompok jutawan, dsb). Dengan pemasaran langsung, dapat diatur agar penjual dapat menjangkau calon konsumen yang tepat sasaran, material pemasaran langsung memiliki tingkat bacaan yang lebih tinggi, karena dikirim pada calon pembeli yang lebih berminat. Saluran / Media atau Alat Utama Pemasaran Langsung Menurut Kotler (2003), saluran/media atau alat utama pemasaran langsung yaitu : 1. Face-to-face Selling (Penjualan Tatap Muka) – Personal Selling. Bentuk pertama dan tertua dari direct marketing adalah face-to-face selling atau personal selling - dimana penjual bertemu langsung dengan calon pelanggan. 2. Direct Mail Marketing (Pemasaran melalui Media Surat Langsung). Direct mail adalah pengiriman penawaran, pemberitahuan, pengingat, atau hal-hal lain kepada seseorang di alamat tertentu. Dengan menggunakan daftar alamat yang sangat selektif, pemasaran langsung mengirimkan jutaan paket pos setiap tahun – surat, selebaran, brosur. Media direct mail marketing, yaitu : faksimili, email, voice mail. 3. Catalog Marketing (Pemasaran melalui Media Katalog). Catalog marketing terjadi jika perusahaan mengirimkan satu atau lebih katalog produk pada penerima terpilih yang kemungkinan besar akan memesan produk tersebut. 4. Telemarketing (Pemasaran melalui Telepon). Telemarketing telah menjadi peralatan utama direct marketing. Beberapa sistem telemarketing diotomatisasi penuh, seperti automatic-dialing and recorded message players (ADRMPs) dapat memutar nomor, pesan iklan, yang diaktifkan dengan suara, dan dapat menerima pesanan dari pelanggan yang tertarik melalui mesin penjawab telepon. 5. Others Media for Direct Response Marketing (Media Lain dengan Pemasaran melalui Tanggapan Langsung). Media pemasaran langsung lainnya yang digunakan untuk mendapatkan tanggapan langsung dari pelanggan, yaitu surat kabar, majalah, televisi. 63 6. Kios Marketing (Pemasaran Langsung melalui Kios). Kios Marketing, pada dasarnya merupakan “mesin penerima pesanan pelanggan” yang dinamakan Kios yang ditempatkan di toko, bandara, dan tempat-tempat lainnya. Contoh : Forsheim Shoe Company menempatkan sebuah mesin di beberapa tokonya, yang memungkinkan pelanggan menentukan jenis sepatu, warna, dan ukuran yang diinginkannya. Gambar sepatu Forsheim muncul di layar sesuai dengan kriterianya. Jika sepatu tertentu tidak tersedia di toko tersebut, pelanggan dapat menggunakan telepon yang ada di mesin tersebut dan memasukan nomor kartu kreditnya, serta dimana sepatu tersebut harus dikirim. 7. Electronic Marketing (Pemasaran melalui Elektronik). Saluran/media direct marketing terbaru adalah melalui elektronik, dimana calon pelanggan dapat menjangkau penjual melalui komputer atau modem – dikenal dengan marketing online (pemasaran melalui komputer dan modem). Online marketing disebut sebagai alat komunikasi abad sekarang. Ia pada dasarnya, merupakan saluran yang dapat dijangkau seseorang melalui komputer dan modem. Modem menghubungkan komputer dengan jalur telepon sehingga komputer menjangkau beragam layanan informasi online. 2.1.3.5 Teori Interaksionisme Simbolik Teori interaksionisme simbolik merupakan salah satu pendekatan atau paradigma yang dapat digunakan apabila kita ingin meneliti mengenai fenomenafenomena sosial. Teori ini dikembangkan oleh kelompok The Chicago School dengan tokoh penggagas George H Mead dan tokoh pengikutnya yaitu Herbert Blummer. George H Mead adalah seorang psikolog sosial Amerika di akhir abad ke 19. Pemikiran George H Mead banyak dipengaruhi oleh pandangan Adam Smith tentang “penonton yang tidak memihak”. (Littlejohn, 1996 : 208) Namun, mead justru memandang, “penonton yang tidak memihak” tersebut, sebagai “orang lain yang digeneralisasikan” (generalized other). Istilah ini dipakainya untuk bagian “kedirian” (self) yang merupakan sebuah internalisasi sikap-sikap orang lain terhadap diri kita sendiri dan peran-peran kita. Kata “Interaksionisme Simbolik” sendiri diciptakan oleh seorang murid Mead yaitu 64 Herbert Blummer, pada tahun 1937. Kata interaksionisme simbolik itu dimaksudkan untuk mencakup pemahaman timbal-balik dan penafsiran isyaratisyarat dan percakapan merupakan kunci bagi masyarakat manusia. Selain Mead dan Blummer, tokoh lain yang juga memberikan kontribusi intelektualnya adalah Charles Horton Cooley. Mead memberikan kontribusi besar dalam mengemukakan pandangannya mengenai pemikiran (mind), kedirian (self), dan masyarakat (society). (Fisher, 1986, 221). Jadi interaksionisme simbolik bisa dikatakan interaksi yang terjadi antar individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan, juga berkaitan dengan gerak tubuh (suara/vokal, gerakan fisik, dan ekspresi tubuh), yang semuanya itu mempunyai maksud dan disebut dengan simbol. 2.1.3.6 Konsep Diri Konsep diri dalam interaksionesme simbolik merujuk pada pandangan George Herbert Mead, bahwa kedirian (self) dapat bersifat sebagai obyek maupun subyek; ia merupakan obyek bagi dirinya sendiri. Seseorang yang sudah dewasa telah memiliki “kediriannya sendiri” sebagai teman kemanusiannya dan berbicara dengan dirinya sendiri sebagaimana ia memperlakukan terhadap orang lain. Untuk memperjelas konsep mengenai “kedirian” atau self, Mead kemudian juga mengemukakan konsep mengenai “ I ” dan “ Me “. (Hamlin : 2000). “ I “ adalah diri sebagai subyek, bagian diri yang aktif, spontan, dan kreatif. Sebaliknya, “ Me “ merupakan diri sebagai obyek. “ Me “ terdiri atas sikap yang telah kita internalisasi dari interaksi kita dengan orang lain. 65 Konsep diri juga dianggap sebagai pemegang peranan kunci dalam pengintegrasian kepribadian individu, didalam memotivasi tingkah laku dalam berinteraksi di lingkungan sosialnya. Pengharapan mengenai diri akan menentukan bagaimana individu akan bertindak dalam hidup. Apabila seorang individu berpikir bahwa dirinya bisa, maka, maka individu tersebut cenderung sukses, dan bila mereka berpikir bahwa dirinya akan gagal, maka sebenarnya dirinya telah mnyiapkan diri untuk gagal. Jadi konsep diri merupakan bagian diri yang mempengaruhi setiap aspek pengalaman baik pikiran, perasaan, persepsi, dan tingkah laku individu. (Calhoun dan Acocella, 1990 : 76) Calhoun dan Acocella menyatakan bahwa konsep diri sebagai gambaran mental individu yang terdiri dari pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan bagi diri sendiri, dan penilaian terhadap diri sendiri. (Calhoun dan Acocella, 1990 : 80). Pendapat lain menyatakan bahwa konsep diri merupakan gagasan tentang diri sendiri yang berisikan mengenai bagaimana individu melihat dirinya sebagai pribadi, bagaimana individu merasa tentang dirinya sendiri, dan bagaimana individu menginginkan diri sendiri menjadi manusia yang diharapkan. (Centi, 1993 : 49). Penglihatan atas diri sendiri disebut gambaran diri (self image). Perasaan individu atas dirinya sendiri merupakan penilaian individu atas dirinya sendiri (self evaluation). Harapan individu atas dirinya sendiri menjadi cita-cita diri (self idea). 66 2.2 Kerangka Pemikiran Jika dicermati secara mendalam, ternyata proses penjualan produk AXA Mandiri yang dilaksanakan oleh Divisi Telemarketing AXA Mandiri merupakan suatu fenomena pemasaran produk yang dipengaruhi berbagai faktor. Di antara berbagai faktor yang dimaksud, tentu ada faktor yang pengaruhnya kuat terhadap penjualan produk AXA Mandiri. Di antara beberapa faktor yang secara kondisional berpengaruh kuat, diasumsikan bahwa kompetensi kounikasi Telesales Officers berpengaruh positif terhadap penjualan produk AXA Mandiri pada Divisi Telemarketing AXA Mandiri. Asumsi yang dikemukakan didasarkan pada rekonseptualisasi berikut : Setiap pekerjaan atau profesi membutuhkan kompetensi tertentu. Kompetensi yang relevan adalah kompetensi yang membuat seseorang menjadi ahli dan pandai menyelesaikan proses pekerjaan dan atau melaksanakan tugas profesinya secara jelas, mudah dan lancar serta memberi nilai tambah atas pekerjaan atau profesinya itu. Dengan demikian kompetensi memberi gambaran karakterisitik sumber daya internal seseorang dalam bekerja atau melaksanakan tugasnya. Dalam perspektif ini, Cohen (1999:173) mengatakan bahwa “competencies are the areas of knowledge, ability and skill that increase and individual’s efffectiveness in dealing with the world”. Pendapat Cohen itu menunjukkan tiga hal penting dalam kompetensi yaitu pengetahuan, kemampuan, dan ketrampilan. Pengetahuan merupakan wawasan seseorang dalam menyerap, memahami, dan menilai pekerjaan atau tugas yang 67 menjadi tanggungjawabnya; kemampuan adalah kepandaian seseorang dalam melakukan pekerjaan dan atau melaksanakan tugasnya sesuai dengan ruang lingkungan peran dan tanggungjawabnya; dan ketrampilan adalah kemahiran seseorang dalam memperjelas, mempermudah, dan memperlancar proses pekerjaan atau pelaksanaan tugasnya sesuai dengan ruang lingkup peran dan tanggungjawabnya. Dalam konteks ini, secara stimulan kompetensi dapat mempengaruhi kesuksesan penjualan produk yang dilaksanakan oleh Telesales Officers. Dengan landasan teori kompetensi dari Spencer and Spencer (1993:9) yang menunjukkan lima karakteristik kompetensi yaitu Motives, Traits, Self-concept, Knowledge, dan Skill, maka kompetensi Telesales Officers dipandang sebagai suatu karaktsristik kepribadian dan kemampuan dalam melaksanakan aktivitas telemarketing yang terungkap menurut faktor-faktor : motives, traits, self-concept, knowledge, dan skills. Faktor-faktor kompetensi ini secara parsial atau secara bersama-sama dapat mempengaruhi penjualan produk yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Basu Swastha (2004 : 404) bahwa tujuan umum penjualan dalam perusahaan yaitu: 1) Mencapai volume penjualan; 2) Mendapatkan laba tertentu; dan 3) Menunjang pertumbuhan perusahaan. Berlandaskan teori penjualan ini dibangun konseptualisasi variabel penjualan bahwa Penjualan Produk AXA Mandiri adalah proses promosi dan transaksi di antara Telesales Officers dengan calon nasabah yang oleh manajemen diarahkan untuk mencapai volume penjualan, mendapatkan laba 68 tertentu, dan menunjang pertumbuhan perusahaan melalui penjualan produk AXA Mandiri. Dari konseptualisasi variabel ini diperoleh 3 dimensi analisis : Dimensi mencapai volume penjualan, Dimensi mendapatkan laba tertentu, dan Dimensi menunjang pertumbuhan perusahaan. Ketiga dimensi analisis tersebut dikembangkan menurut karakteristik obyek penelitian menjadi 15 indikator penelitian. Dengan konsep pandangan yang mencakup Kompetensi Komunikasi Telesales Officers yang diposisikan sebagai variabel antecedent (yang mendahului, sebab) dan Penjualan Produk AXA Mandiri yang diposisikan sebagai variabel konsekuensi (fenomena, akibat) dibangun kerangka pemikiran dengan gambar berikut : Gambar 2.6 Kerangka Pemikiran (Kuantitatif) Motives (X1) Kompetensi Komunikasi Telesales Officers (X) (X) Traits (X2) SelfConcept (X3) Knowledge (X4) Skills (X5) Penjualan Produk AXA Mandiri (Y) : - Mencapai volume penjualan - Mendapatkan laba tertentu - Menunjang pertumbuhan perusahaan 69 Kerangka pemikiran yang digambarkan dimaksud untuk menunjukkan konsep gagasan tentang analisis hubungan kausalitas di antara variabel antecedent variabel konsekuensi. Analisis hubungan kausalitas tersebut dilakukan dalam rangka pengujian hipotesis menurut analisis faktor-faktor kompetensi. 2.3 Hipotesis Teori Dengan kerangka pemikiran yang dikemukakan, penulis mengajukan Hipotesis (jawaban sementara) dengan pernyataan sebagai berikut: H1 : Semakin tinggi kompetensi motives Telesales Officers, maka semakin tinggi penjualan produk AXA Mandiri. H2 : Semakin tinggi kompetensi traits Telesales Officers, maka semakin tinggi penjualan produk AXA Mandiri. H3 : Semakin tinggi kompetensi self-concept Telesales Officers, maka semakin tinggi penjualan produk AXA Mandiri. H4 : Semakin tinggi kompetensi knowledge Telesales Officers, maka semakin tinggi penjualan produk AXA Mandiri. H5 : Semakin tinggi kompetensi skills Telesales Officers, maka semakin tinggi penjualan produk AXA Mandiri. H6 : Semakin tinggi kompetensi motives, traits, self-concept, knowledge, dan skills Telesales Officers secara bersama-sama, maka semakin tinggi penjualan produk AXA Mandiri. 70 Gambar 2.7 (Kualitatif) Kompetensi Komunikasi TSO Interaksionisme Simbolik Self / Konsep Diri Mind Society Simbol