11 BAB II KAJIAN PUSTAKA KERANGKA PEMIKIRAN DAN

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
Guna
memperoleh
pengantar
pemahaman
obyek
penelitian
dan
mendapatkan landasan teoritik penyusunan konsep operasional variabel-variabel
penelitian dilakukan kajian pustaka. Sesuai dengan judul penelitian maka
deskripsi kajian pustaka adalah sebagai berikut :
2.1.1 Hasil Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian terdahulu pertama yang layak diangkat sebagai refensi
studi adalah penelitian yang dilaksanakan oleh saudara Iman Hardiantara dengan
judul “Analisa Strategi Promosi dan Insentif Program Terhadap Omset
Penjualan PT Multi Husada Farma”.
Penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2006 untuk memenuhi syarat
ujian Magister Manajemen pada Program Pascasarjana Universitas Kristen Krida
Wacana dilakukan dengan pendekatan penelitian kuantitatif. Populasi penelitian
adalah seluruh karyawan pada PT Multi Husada Farma sebanyak 120 Karyawan
dan Sub-sub Distributor PT Multi Husada Farma sebanyak 65 Karyawan. Jadi
jumlah keseluruhan populasi penelitian adalah 185 subyek.
Prosedur penarikan sampel dilakukan dengan cara Stratifikasi Random
(Stratified Random Sampling), yakni pengambilan sampel dengan cara acak,
dimana setiap subyek populasi dipandang sama. Cara pengambilan sampel dengan
11
12
menggunakan cara stratifikasi atau dengan menggunakan satuan yang sering
disebut sample fraction (f) untuk masing-masing sub populasi sebagai faktor
penggalinya. Jumlah sampel fraction disesuaikan dengan jumlah stratanya.
Dengan teknik di atas, maka penarikan sampel penelitian ditetapkan
sebanyak 50 responden. Besarnya jumlah sampel per strata penulis tetapkan
dengan membagi menjadi dua strata yakni, strata unsur organik dan unsur non
organik. Teknik analisis data yang digunakan untuk mengolah hasil penelitian
adalah Pengujian Persyaratan Analisis yang meliputi Pengujian Validitas
Instrumen dan Pengujian Reliabilitas Alat Ukur; serta pengukuran dan Pengujian
Hipotesis baik secara parsial maupun secara bersama-sama.
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang menggunakan metode
analisis deskriptif kuantitatif didapat pokok-pokok kesimpulan sebagai berikut:
Hipotesis pertama diterima, karena hasil pengujian hipotesis menunjukkan
bahwa t hitung 3,300 > t tabel 2,021. Artinya, terdapat pengaruh Strategi Promosi
terhadap Omset Penjualan PT Multi Husada Farma sebesar 0,649 berdasarkan
hasil penghitungan persamaan regresi Ŷ = 11,654 + 0,649 X1.
Dengan demikian terbukti bahwa Strategi Promosi berpengaruh positif
terhadap Omset Penjualan PT Multi Husada Farma. Pengaruh yang positif itu
bermakna bahwa apabila Strategi Promosi ditingkatkan atau meningkat, maka
peningkatan tersebut akan diimbangi dengan peningkatan Omset Penjualan PT
Multi Husada Farma.
Hal ini dapat terjadi karena di antara variabel Strategi Promosi dengan
variabel Omset Penjualan PT Multi Husada Farma terjalin suatu mekanisme
13
hubungan kausalitas. Hubungan kausalitas ini didasarkan pada konsep analisis
yang memposisikan Strategi Promosi sebagai variabel antecedent dan Omset
Penjualan PT Multi Husada Farma sebagai variabel konsekuensi. Dengan
demikian omset penjualan produk PT Multi Husada Farma dapat ditingkatkan
dengan meningkatkan strategi promosi.
Hipotesis kedua diterima karena hasil pengujian hipotesis menunjukkan
bahwa t hitung 2,862 > t tabel 2,021. Artinya, terdapat pengaruh Insentif Program
terhadap Omset Penjualan PT Multi Husada Farma sebesar 0,493 berdasarkan
hasil penghitungan persamaan regresi Ŷ = 15,020 + 0,493 X2.
Dengan demikian terbukti bahwa Insentif Program berpengaruh positif
terhadap Omset Penjualan PT Multi Husada Farma. Pengaruh yang positif itu
bermakna bahwa apabila Insentif Program ditingkatkan atau meningkat, maka
peningkatan tersebut akan diimbangi dengan peningkatan Omset Penjualan PT
Multi Husada Farma.
Hal ini dapat terjadi karena diantara variabel Insentif Program dengan
variabel Omset Penjualan PT Multi Husada Farma terjalin suatu mekanisme
hubungan kausalitas
yang memposisikan Insentif Program sebagai variabel
antecedent dan Omset Penjualan PT Multi Husada Farma sebagai variabel
konsekuensi.
Dengan demikian omset penjualan produk PT Multi Husada Farma dapat
ditingkatkan dengan meningkatkan juga insentif program untuk para sales yang
berperan sebagai ujung tombak promosi dan penjualan.
14
Hipotesis Ketiga diterima, karena hasil pengujian hipotesis menunjukkan
bahwa F hitung 9,255 > F tabel 3,19. Artinya, terdapat pengaruh Strategi Promosi
dan Insentif Program secara bersama-sama terhadap Omset Penjualan PT Multi
Husada Farma dengan besaran pengaruh : Ŷ = 2,680 + 0,566 X1 + 0,409 X2.
Dari persamaan regresi ini diketahuii bahwa pengaruh Strategi Promosi
lebih besar dari pengaruhnya Insentif Program terhadap Omset Penjualan PT
Multi Husada Farma, atau 0,566 > 0,409.
Hasil penelitian ini menjadi indikator bahwa pengembangan strategi
promosi menjadi salah satu pendekatan manajemen strategis yang diperlukan
untuk meningkatkan omset penjualan produk PT Mutli Husada Farma.
Hasil penelitian yang dipaparkan cukup layak dijadikan referensi studi,
karena memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang penulis
laksanakan. Penelitian yang dilaksanakan oleh saudara Iman Hardiantara dan
penelitian yang penulis laksanakan sama-sama menggunakan pendekatan
penelitian kuantitatif.
Perbedaannya adalah bahwa saudara Iman Hardiantara mengangkat
strategi
promosi
dan
insentif
program
sebagai
variabel-variabel
yang
mempengaruhi penjualan produk; namun penulis menggunakan kompetensi
telesales officer sebagai variabel yang mepengaruhi penjualan produk. Walaupun
begitu, hasil penelitian saudara Iman Hardiantara layak dirujuk karena sama-sama
mengangkat masalah penjualan produk sebagai obyek penelitian.
15
Hasil penelitian terdahulu kedua yang layak diangkat sebagai refensi studi
adalah penelitian yang dilaksanakan oleh saudara Imron Syarifudin dengan judul
“Pengaruh Perencanaan Sumber Daya Manusia dan Profesionalisme
Karyawan Terhadap Pemasaran Produk PT Millennium Danatama
Internasional”.
Penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2003 untuk memenuhi syarat
ujian Magister Manajemen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi
Manajemen “LABORA” dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui seberapa
besar pengaruh Perencanaan Sumber Daya Manusia dan Profesionalisme
Karyawan terhadap Pemasaran Produk PT Millennium Danatama Internasional
dengan mengambil sampel sebanyak 30 responden dari total populasi 120 orang.
Kedua variabel bebas dan variabel terikat tersebut dioperasionalisasikan
dengan metode penelitian sebagai berikut : (1) Pengambilan sampel dilakukan
dengan menggunakan Teknik Stratifikasi Random; (2) Scoring atas jawabanjawaban responden menggunakan Teknik Skala Likert; (3) Analisis Data
menggunakan Deskriptif Kuantitatif dan Deskriptif Kualitatif; (4)
Untuk
mengetahui besarnya pengaruh Perencanaan Sumber Daya Manusia terhadap
Pemasaran Produk PT Millennium Danatama Internasional dan pengaruh
Profesionalisme Karyawan terhadap Pemasaran Produk PT Millennium Danatama
Internasional digunakan teknik statistik Regresi dan Korelasi Sederhana.
Sedangkan untuk mengetahui besarnya pengaruh Perencanaan Sumber
Daya Manusia dan Profesionalisme Karyawan secara bersama-sama terhadap
Pemasaran Produk PT Millennium Danatama Internasional digunakan teknik
16
statistik Regresi dan Korelasi Berganda Linear. Berdasarkan pembahasan hasil
penelitian, maka akhirnya diperoleh kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
Terbukti terdapat pengaruh positif Perencanaan Sumber Daya Manusia dan
Profesionalisme Karyawan terhadap Pemasaran Produk PT Millenium Danatama
Internasional, baik secara parsial maupun secara bersama-sama.
Dari hasil pengukuran regresi berganda diketahui bahwa ternyata
kontribusi pengaruh Perencanaan Sumber Daya Manusia terhadap Pemasaran
Produk PT Millenium Danatama Internasional lebih besar bila dibandingkan
dengan kontribusi pengaruh Profesionalisme Karyawan terhadap Pemasaran
Produk PT Millenium Danatama Internasional.
Adanya pengaruh positif Perencanaan Sumber Daya Manusia dan adanya
pengaruh positif Profesionalisme Karyawan terhadap Pemasaran Produk PT
Millenium Danatama Internasional merupakan suatu bukti bahwa diantara
variabel-varibel yang dikorelasikan terdapat hubungan kausalitas, yaitu variabel
Perencanaan Sumber Daya Manusia dan Profesionalisme Karyawan yang
diposisikan sebagai faktor antecedent dan variabel Pemasaran Produk PT
Millenium Danatama Internasional yang diposisikan sebagai konsekuensi.
Dalam dimensi hubungan kausalitas yang demikian itu, apabila kualitas
Perencanaan Sumber Daya Manusia dan kualitas Profesionalisme Karyawan
ditingkatkan atau meningkat, maka peningkatan tersebut dibarengi dengan
peningkatan Pemasaran Produk PT Millenium Danatama Internasional.
17
Dengan demikian diperoleh Implikasi Manajerial bahwa pemasaran
produk PT Millenium Danatama Internasional dapat dioptimalisasikan dengan
cara meningkatkan efektivitas Perencanaan Sumber Daya Manusia di bidang
pemasaran dan dengan cara meningkatkan juga bobot profesionalisme karyawan.
Berdasarkan hasil pengukuran bahwa kontribusi Perencanaan Sumber
Daya Manusia lebih besar dari kontribusi Profesionalisme Karyawan, maka
efektivitas perencanaan sumber daya manusia di bidang pemasaran dapat
dipastikan sebagai
faktor determinan untuk mengoptimalisasikan pemasaran
produk PT Millenium Danatama Internasional.
Hasil penelitian yang dipaparkan layak dijadikan referensi studi, karena
memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang penulis laksanakan.
Penelitian yang dilaksanakan oleh saudara Imron Syarifudin dan penelitian yang
penulis laksanakan sama-sama menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif.
Perbedaannya adalah bahwa saudara Imron Syarifudin mengangkat
Perencanaan SDM dan Profesionalisme Karyawan sebagai variable-variabel yang
mempengaruhi penjualan produk; namun penulis menggunakan kompetensi
telesales officer sebagai variabel yang mepengaruhi penjualan produk. Walaupun
begitu, hasil penelitian saudara Imron Syarifudin dirujuk karena sama-sama
mengangkat masalah pemasaran atau penjualan produk sebagai obyek penelitian.
18
2.1.2 Kompetensi Telesales Officers
2.1.2.1 Kerangka Dasar Kompetensi
Setiap pekerjaan atau profesi membutuhkan kompetensi tertentu.
Kompetensi yang relevan adalah kompetensi yang membuat seseorang menjadi
ahli dan pandai menyelesaikan proses pekerjaan dan atau melaksanakan tugas
profesinya secara jelas, mudah dan lancar serta memberi nilai tambah atas
pekerjaan atau profesinya itu.
Dengan demikian kompetensi memberi gambaran karakterisitik sumber
daya internal seseorang dalam bekerja atau melaksanakan tugasnya. Dalam
perspektif ini, Cohen (1999:173) mengatakan bahwa “competencies are the areas
of knowledge, ability and skill that increase and individual’s efffectiveness in
dealing with the world”.
Pendapat Cohen itu menunjukkan tiga hal penting dalam kompetensi yaitu
pengetahuan, kemampuan, dan ketrampilan. Pengetahuan merupakan wawasan
seseorang dalam menyerap, memahami, dan menilai pekerjaan atau tugas yang
menjadi tanggungjawabnya; kemampuan adalah kepandaian seseorang dalam
melakukan pekerjaan dan atau melaksanakan tugasnya sesuai dengan ruang
lingkungan peran dan tanggungjawabnya; dan ketrampilan adalah kemahiran
seseorang dalam memperjelas, mempermudah, dan memperlancar proses
pekerjaan atau pelaksanaan tugasnya sesuai dengan ruang lingkup peran dan
tanggungjawabnya. Konsep pemahaman ini merujuk pada pendapat-pendapat
berikut :
19
Aisworth et.al. (dalam Cohen, 1999:173) mengatakan bahwa kompetensi
merupakan kombinasi pengetahuan dan ketrampilan yang relevan dengan
pekerjaan. Kompetensi adalah kapasitas untuk menangani suatu pekerjaan
atau tugas berdasarkan suatu standar yang telah ditetapkan.
Boyatzis (dalam Thoha, 1998:4) mengatakan bahwa kompetensi sebagai
Kapasitas yang ada pada seseorang yang bisa membuat orang tersebut
mampu memenuhi apa yang disyaratkan oleh pekerjaan dalam suatu
organisasi sehingga organisasi tersebut mampu mencapai hasil yang
diharapkan.
Dengan pandangan yang agak berbeda, Woordruffe
and Woodruffe
(dalam Thoha, 1998:4) membedakan pengertian competence dan competency dan
menjelaskan bahwa competence adalah konsep yang berhubungan dengan
pekerjaan, yaitu menunjukkan “wilayah kerja dimana orang dapat menjadi
kompeten atau unggul”.
Sedangkan competency merupakan konsep dasar yang berhubungan
dengan orang, yaitu
menunjukkan
“dimensi perilaku yang melandasi
prestasi unggul (competent)”.
Menurut Dreher (2001: 27) :
“Kompetensi” kini mulai sering dipergunakan untuk merefleksikan
kemampuan seseorang pada bidang-bidang tertentu atau keterampilan
tertentu, seperti komunikasi verbal, keterampilan presentasi, pengetahuan
teknis, pengendalian stress, kemampuan perencanaan serta keterampilan
pengambilan keputusan.
Palan (2008: 5) mengatakan istilah competecies, competence dan
competent yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai kompetensi,
kecakapan, dan keberdayaan merujuk pada keadaan atau kualitas mampu dan
sesuai.
20
Lebih luas lagi, Kusmana (1989 : 43) mengatakan :
Kompetensi adalah kemampuan umum (general abiliy) yang diperlukan
atau dituntut untuk mendukung penampilan (performance) dalam suatu
jabatan atau pekerjaan tertentu yang mencakup sejumlah tingkah laku yang
amat penting dan menjadi syarat utama bagi penampilan yang memuaskan
dalam menjalankan suatu jabatan atau pekerjaan.
Berangkat
dari
pendapat-pendapat
di
atas,
kompetensi
dapat
dikonseptualisasikan sebagai kepribadian dan kemampuan yang mencakup
kualitas sikap mental, kapasitas intelektual dan kapabilitas sosial yang menjadikan
seseorang mampu bekerja secara profesional menurut fungsi jabatan atau bidang
pekerjaannya.
Dalam konteks ini, Shermon (2004:11) mengatakan:
A competency is an underlaying characteristic of a person, which enables
him to deliver superior performance in a given job, role or a situation.
This characteristic may be called an “attribute bundle”. Consisting of
knowledge, skills, trait, social role, self image and motive. The
“underlying chacteristic”, manifests itself in the form of behavior, which
helps identification and masurment of competency.
Dengan demikian kompetensi menunjukkan karakteristik dan pola perilaku
yang merujuk pada pengetahuan, kepandaian, kebiasaan, peran sosial, pencitraan
diri dan motif seseorang.
Bagaimana kompetensi itu dikategorikan, Spencer and Spencer (1993 :
14) menjelaskan :
Competencies can be divided into two categoris, “threshold” and
“differentiating”, according to the job performance citerion they predict.
Threshold Competencies. These are the essential characteristics (usually
knowledge or basic skills, such as the ability to read) that everyone in a
job needs to be minimallly effective but that do not distinguish superior
from average performer. A threshold competency for a salesperson
inknowledeg of the product or ability to fill out invoices.
21
Differentiatiing Competencies. These factors distinguish superior from
average performer. For example, achiement orientation expressed in a
person’s setting goals higher than those required by the organization, is
a competency that differentiates superir from average salespeople.
Dari penjelasan Spencer & Spencer itu, terungkap bahwa bahwa
kompetensi dapat dibagi atas dua kategori yaitu “threshold” dan “differentiating”
menurut kriteria yang digunakan untuk memprediksi kinerja suatu pekerjaan.
Threshold competencies adalah karakteristik utama, biasanya pengetahuan
atau keahlian dasar seperti kemampuan untuk membaca, yang harus dimiliki oleh
seseorang
agar
dapat
melaksanakan
pekerjaannya.
Tetapi
tidak
untuk
membedakan seseorang yang berkinerja tinggi dan rata-rata kompetensi
“threshold” untuk seorang sales, misalnya, adalah pengetahuan tentang produk
atau kemampuannya untuk mengisi formulir.
Sedangkan “differentiating competencies” adalah faktor-faktor yang
membedakan individu yang berkinerja tinggi dan rendah. Secara individual setiap
individu memang memiliki kompetensi dan kinerja yang berbeda antara satu dan
yang lainnya.
Perbedaan kompetensi dan kinerja ini sebaiknya diorientasikan pada
fungsi jabatan atau kebutuhan kerja, agar setiap perbedaan tetap mengacu pada
pelaksanaan fungsi jabatan atau pekerjaan.
Akan lebih baik jika perbedaan tersebut disinergikan menjadi satu
kesatuan potensi kerja yang saling mendukung untuk terwujudkan pelaksanaan
fungsi jabatan atau pekerjaan yang terkoordinasi, efektif dan efisien.
22
Dengan perbedaan kompetensi justru menjadi variabel-variabel yang
mendukung tercapai tujuan pelaksanaan fungsi jabatan atau pekerjaan. Dalam hal
ini, Shermon (2004:11-12) menjelaskan :
”Competency” has two relevant meaning – The first, addresses the ability
of an individual to perform effectively in a job-relevant area. The second,
is a definition of what is required of an individual, for effective
performance. These two are closely related but distinct. The second
meaning, involves defining what is important to be successfull in a job,
while the first deals with the degree to which an dindividual does, what is
important for a job. Defining job competencies is useful in assisting
individual develop their competencies for that job. This area related to
success in a jobor role. Building on this definition, a competency model is
a grouping of individual competencies, which describes all, or most of the
requirements for job function, or organizational success.
Dari paparan yang dikemukakan oleh Shermon itu terungkap bahwa
kompetensi menunjukkan kemampuan seseorang yang relevan untuk bekerja
secara efektif, menunjukkan pula apa yang dibutuhkan untuk bekerja secara
efektif. Bagaimana aktualisasi kompetensi itu dimengerti, Martin (2002:153)
menjelaskan :
Kerangka dasar kompetensi mengacu pada langkah-langkah yang disebut
FAC, singkatan dari Function, Activities/Process, dan Competency. Untuk
menentukan kompetensi apa saja yang diperlukan pada suatu pekerjaan
tertentu : pertama, perlu ditentukan fungsi-fungsi khusus pada suatu posisi
(Function of job); kedua, baru dipelajari secara khusus aktivitas dalam
proses mengerjakan pekerjaan tersebut (Activities/Process); dan terakhir,
baru ditentukan kompetensi apa yang diperlukan (Competency) pada posisi
tersebut.
Dengan demikian, konsep dasar kompetensi terkait erat dengan fungsi
jabatan atau pekerjaan serta pelaksanaan fungsi jabatan atau pekerjaan tersebut.
Artinya, seseorang baru dapat dikatakan memiliki kompetensi yang relevan bila
kepribadian dan kemampuannya sesuai dengan fungsi jabatan atau pekerjaannya,
dan dengan demikian ia tampak menujukkan pola perilaku kerja yang efektif.
23
Bagaimana pemahaman kompetensi, Martin (2002:153) menunjukkan
gambar kerangka dasar kompetensi berikut :
Gambar 2.1
Kerangka Dasar Kompetensi
Function
Activities/Process
Competencies
Sumber : Spencer and Spencer (1993:9)
Dapat disimpulkan bahwa seseorang baru bisa dikatakan memiliki
kompetensi bila kemampuan kerjanya relevan dengan fungsi pekerjaan,
pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan proses pekerjaan, dan kemampuan yang
dimiliki mendukung efektivitas pekerjaan.
Fungsi pekerjaan akan menunjukkan proses dan teknis penyelesaian proses
pekerjaan. Efektivitas pekerjaan adalah tujuan atau sasaran pelaksanaan pekerjan
yang menunjukkan suatu sistem nilai yang dikehendaki. Misalnya, nilai
keberhasilan (output), nilai kemanfaatan (outcome), nilai keuntungan (benefit)
atas pelaksanaan pekerjaan tersebut.
Bagaimana sistem nilai pekerjaan ini dirancang tentu menjadi persoalan
manajemen kinerja yang menjadi bagian integral pengembangan sistem
manajemen sumber daya manusia. Pengembangan sistem manajemen sumber
24
daya manusia adalah salah satu strategi organisasi untuk meningkatkan kinerja
organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Bagaimana keunggulan individu yang relevan dengan tuntutan pekerjaan
teraktualisasi ke dalam perilaku serta hasil kerja, dikemukakan oleh Shermon,
(2004: 11) dengan gambar berikut :
Gambar 2.2
Defining Competencies in term of Behaviors, Outputs, and Results
People have and acquire
COMPETENCIES
We Apply these in the form of
BEHAVIOR
( Action, thoughts, feeling )
Our behavior produces
OUTPUT
( Product and service )
How this is done yields
RESULT
Sumber : Shermon, 2004 : 12
Dari gambar diketahui bahwa kompetensi menunjukkan kemampuan
seseorang yang relevan untuk bekerja secara efektif, menunjukkan pula apa yang
dibutuhkan untuk bekerja secara efektif.
Pandangan Shermon ini agaknya dapat dikatakan sebagai suatu
pengembangan teori kompetensi kompetensi Spencer & Spencer (1993:11) yang
mengatakan :
25
The type of level of competency has practical implication for human
resources planning. Knowledge and skill competencies tend to be visible,
and relatively surface, characteristics of people. Self-concept, trait, and
motive competencies are more hidden, “deeper”, and central to
personality. Surface knowledge and skill competencies are relatively easy
to develop; training is the most cost-effective way to secure these employee
abilities. Core motive and trait competencies at the base of the personality
iceberg are more difficult to assess and develop; it is most cost-effective to
select for these characteristics.
Kompetensi knowledge dan skill relatif mudah diketahui, dapat
dikembang-kan melalui pendidikan dan pelatihan. Namun kompetensi motive,
trait dan self-concept agak sulit diketahui karena kompetensi ini tersebunyi. Inti
Motive dan trait merupakan dasar yang membentuk kepribadian seseorang.
Bagaimana kelima karakteristik kompetensi tersebut digambarkan Spencer
& Spencer berikut :
Gambar 2.3
Central and Surface Competencies
Skill
Self-concept
Visible
Skill
kowledge
Hiden
Trait, Motive core
personality : Most
difficult to develop
Self-Concept
Trait , Motive
Attudes values
Knowledge
Surface most easily
developed
Sumber : Spencer and Spencer (1993:11)
Dari gambar yang dibuatnya, tampak Spencer & Spencer menunjukkan
bahwa skill dan knowledge relatif mudah diidentifikasi. Namun tidak demikian
halnya dengan self-concept, trait dan motive. Skill dan knowledge mungkin mudah
26
diidentifikasi dari bagaimana seseorang itu melaksanakan fungsi jabatan atau
pekerjaannya. Untuk memahami secara mendalam bagaimana skill dan knowledge
itu diaktualisasikan ke dalam pelaksanaan fungsi jabatan atau pekerjaan, tentu
diperlukan pemahaman yang jelas terhadap self-concept, trait dan motive yang
relevan dengan pelaksanaan fungsi jabatan atau pekerjaan tersebut.
Dalam konteks inilah maka kompetensi merupakan suatu konsep sumber
daya manusia yang membutuhkan kajian mendalam sehingga kapasitas individu
dapat diidentifikasi secara, dan kemudian dapat diidentifikasi pula jabatan atau
pekerjaan yang tepat untuk individu tersebut.
Kapasitas individu dalam suatu lingkungan kerja merupakan salah satu
komponen dalam suatu lingkungan kerja yang merujuk pada nilai-nilai yang
dianut dalam lingkungan kerja tersebut. Lingkungan kerja yang dimaksud seperti
misalnya suatu organisasi atau suatu perusahaan.
Jadi, kapasitas individu merupakan asset sumber daya manusia dalam
organisasi atau perusahaan, dan setiap organisasi atau perusahaan mempunyai
karakteristik aset sumber daya manusia yang berbeda antara satu sama lain.
Karena itu, pemahaman hubungan kompetensi dengan kinerja individu
dalam melaksanakan pekerjaan harus dilihat dalam konteks dimana individu itu
bekerja. Dalam perspektif ini, Mayo (2001:91) mengatakan :
The concept of ”uiversal competences for all” conflicts with the
knowledge that man or women achieve results in different ways, and that
different nastional cultures have effective leaders with their own
distinctive approaches. Also, requirements and pririties change with time,
so companies are finding that competency framwork are out of date three
to four years after they are developed. Instead, many organizations find
creating a dictionary helpful. This lists the range of behavior that have
important in the organization in different roles an at different levels, from
27
which those that are important for a specific role can be selected. A
dictionary can be added to, and enables each role to be specifically
decribed according to the critical attributes.
Setiap perubahan dalam setiap organisasi atau perusahaan membutuhkan
kompetensi-kompetensi yang relevan untuk meningkatkan kinerja individu dan
kinerja organisasi. Dalam perspektif ini, Thoha (2008:64) mengatakan :
Kompetensi yang tepat, yang merupakan faktor yang menentukan
keunggulan prestasi, dapat dimiliki oleh organisasi apabila organisasi
tersebut memiliki fondasi yang kuat, yang tercermin pada seluruh proses
yang terjadi dalam organisasi. Artinya, organisasi harus memiliki
kompetensi inti (core competency) yang kuat dan sesuai dengan bisnis inti
(core business)-nya. Kompetensi inti yang selayaknya dimiliki oleh semua
anggota organisasi yang membuat organisasi tersebut berbeda dari
organisasi lainnya. Kompetensi inti biasanya merupakan pembentukan
misi dan budaya organisasi. Kompetensi inti harus diperkuat oleh
kompetensi departemen atau bagian yang ada di organisasi.
Bila kompetensi inti yang dimaksud adalah kompetensi inti (core
competency) dalam divisi telemarketing, maka kompetensi tersebut harus
merupakan kompetensi tenaga pemasaran yang tidak hanya memahami
manajemen pemasaran tetapi memahami pula teknologi informasi.
Dengan pemahaman ini, maka persoalan lain yang juga perlu diperhatikan
adalah faktor-untuk menjadi nasabah. Pemahaman akan faktor-faktor yang
dimaksud penting sekali bagi telesales officers, agar dengan pemahaman tersebut
telesales officers dapat mengidentifikasi pendekatan yang tepat untuk memikat
calon nasabah.
28
2.1.2.2 Kompetensi Komunikasi
Menurut Rowley (2002) kompetensi komunikasi adalah kemampuan untuk
mengirim pesan-pesan yang mendukung pencapaian tujuan dimana tetap menjaga
penerimaan sosial.
Definisi kompetensi komunikasi dalam perspektif perilaku dirumuskan
oleh Wiemann dan Backlund (dalam Jubaedah, 2009:375) ialah kemampuan
seorang
individu
untuk
mendemonstrasikan
pengetahuan
dari
perilaku
berkomunikasi yang tepat dalam suatu situasi tertentu.
Pendapat lain, dikemukakan oleh Payne (dalam Jubaedah, 2009:375) yang
mendefinisikan kompetensi komunikasi yaitu: The set of abilities, henceforth,
termed resources, which a communicator has available for use in the
communication process. Kompetensi komunikasi diartikan sebagai seperangkat
kemampuan seorang komunikator untuk menggunakan berbagai sumber daya
yang ada di dalam proses komunikasi.
Dengan kata lain, kompetensi komunikasi adalah pengetahuan yang
dimiliki pegawai untuk berkomunikasi dengan baik dimana menggunakan pesanpesan yang dianggap tepat dan efektif.
Dalam menyampaikan pesan-pesan yang dianggap tepat dan effektif, Alo
Liliweri (2004:101-102) menyatakan empat kompetensi yang diperlukan pegawai
berikut:
a. Kompetensi pegawai untuk menyampaikan semua maksud atau isi
hatinya secara professional sesuai dengan kemampuan yang ia
tampilkan secara prima.
b. Kompentensi pegawai untuk berinteraksi secara baik, mampu
mengalihbahasakan semua maksud dan isi hatinya secara tepat dan jelas
dalam suasana hati yang bersahabat.
29
c. Kompentensi pegawai untuk menyesuaikan budaya pribadinya dengan
budaya yang sedang dihadapinya.
d. Kompentensi pegawai untuk memberikan fasilitas atau jaminan bahwa
dia bisa menyesuiakan diri atau bisa mengelola berbagai tekanan orang
ataupun lingkungan lain terhadap dirinya
Keempat aspek tersebut menunjukkan bahwa efektivitas komunikasi tidak
hanya ditentukan karena setiap pegawai sudah melakukan interaksi, relasi dan
komunikasi sesuai dengan peranan (profesi).
Kata
kunci
efektivitas
komunikasi
adalah
kemampuan
seorang
komunikator (pemberi informasi) untuk menjaga keseimbangan antara kegiatan
interaksi, relasi dan komunikasi diantara dua budaya organisasi.
Menurut Payne (dalam Edwardin, 2006:15) menjelaskan bahwa indikator
pengkuran kompetensi komunikasi antara lain sebagai berikut:
1. Motivasi komunikasi
Motivasi komunikasi sering kali terkait dengan kesediaan seseorang
untuk mendekati atau menghindari interaksi dengan yang lain.
2. Pengetahuan komunikasi
Untuk membuat rencana tindakan, seringkali disebut sebagai scenario
komunikasi. Para komunikator yang kompeten memiliki pengetahuan
prosedural untuk menyusun dan menjalankan skenario ini didalam
situasi sosial yang berbeda dan harus memiliki kemampuan perseptif
untuk membaca situasi sosial. Pengetahuan prosedural adalah
mengetahui bagaimana, bukan isi dari mengetahui bahwa atau
mengetahui apa. Pengetahuan ini diraih melalui pendidikan,
pengalaman, dan dengan pengamatan apa yang disebut prototipe dari
kompetensi interpersonal, sebuah role model sekaligus mengetahui
standar organisasi untuk komunikasi.
3. Keterampilan komunikasi
Mencakup kinerja aktual dari perilaku. Hal ini sering kali merupakan
bagian yang sulit bagi komunikator mengubah motivasi dan
rencanamenjadi tindakan. Individu sering kali termotivasi untuk
berkomunikasi dan memiliki pengetahuan. Namun, kurang
keterampilan dalam pengkomunikasiannya secara aktual. Pendekatanpendekatan ketrampilan lain fokus pada kemampuan psikomotor
kemampuan seseorang untuk berbicara, mendengar, melihat dan
mengungkapkan pesan secara non-verbal dalam situasi tertentu.
30
Ketrampilan yang dibutuhkan oleh organisasi termasuk pembinaan
hubungan, menyimak dan mengikuti instruksi, memberikan umpan
balik, bertukar informasi, mencari umpan balik, dan penyelesaian
masalah.
2.1.2.3 Faktor-Faktor Kompetensi
Faktor-faktor yang tercakup dalam kompetensi merujuk pada pendapat
Spencer and Spencer (1993:9) yang menunjukkan lima karakteristik kompetensi
berikut :
1. Motives. The thing a person consistenly thinks about or wants that
cause action. Motives “drive, direct, and select” behavior toward
certain action or goals and away from others.
2. Traits. Physical caracteristics and consistent responses to situation of
information.
3. Self-concept. A person’s atitude, values, or self-image.
4. Knowledge. Information a person has in specific content areas.
5. Skills. The ability to perform a contain physical or mental task.
Pemahaman tentang hubungan central and surface competencies yang
terdiri dari motives, traits, self-concept, knowledge, dan skills dapat memandu
memprediksi perilaku seseorang dan kinerjanya.
Hal ini dikemukakan Spencer & Spencer (1993:10) dengan gambar berikut
Gambar 2.4
Competency Causal Flow Model
Intent
Action
Outcome
Personal
Characteristic
Behavior
Job
Performance
Motives
Traits
Self-Concept
Knowledge
Skills
Sumber : Spencer and Spencer, 1993:10
31
Menurut Spencer and Spencer (1993:10), kompetensi selalu mengandung
maksud atau tujuan seperti motives, self-concept atau traits yang menyebabkan
suatu tindakan dilakukan untuk memperoleh suatu hasil atau mencapai tujuan
tertentu. Tindakan dilakukan dengan kompetensi knowledge dan skills.
Bagi organisasi yang tidak mengembangkan kompetensi motives, traits,
dan self-concept untuk karyawannya, jangan harap terjadi peningkatan
produktivitas, profitabilitas dan kualitas yang signifikan terhadap suatu produk
dan jasa yang dikelolanya.
Mengapa demikian, karena setiap orang mempunyai motives, traits, dan
self-concept tersendiri dalam menghadirkan dirinya di lingkungan kerja, motives,
traits, dan self-concept itulah yang mempengaruhi perilaku kerjanya dalam
melaksanakan tugas atau pekerjaan.
Guna mengaktualisasikan setiap variabel yang tercermin sebagai suatu
karakteristik kompetensi, maka diperlukan konsep pemahaman terhadap masingmasing variabel sebagaimana dimaksud oleh Spencer & Spencer.
2.1.2.3.1 Faktor Motives
Motif yang menjadi salah satu elemen
kompetensi
merupakan faktor
internal individu yang turut menentukan bagaimana individu itu bertindak atau
melakukan sesuatu.
32
Menurut Spencer & Spencer (1993:9-10) :
Motives. The things a person consistently thinks about or wants that cause
action. Motives “drive, direct, and select” behavior toward certain actions
or goals and away from others. Example: Achievement – motivated people
consistently set challenging goals for themselves, take personal
responsibility for accomplishing them, and use feedback to do better.
Dengan demikian motif merupakan hal-hal yang secara konsisten
terpikirkan oleh seseorang dan menyebabkan ia melakukan suatu tindakan. Motif
dapat juga diartikan sebagai dorongan langsung perilaku dalam melakukan
tindakan tertentu atau mencapai tujuan-tujuan tertentu. Misalnya : prestasi - orang
termotivasi secara konsisten untuk menetapkan tujuan yang menantang bagi diri
mereka sendiri, mengambil tanggung jawab pribadi untuk mencapainya, dan
menggunakan umpan balik untuk berbuat lebih baik.
Dalam konteks ini, Terry (1960:390) mengatakan bahwa “Motivation is
desire within an individual that stimulates him or her to action.” Mengenai motif
dan motivasi, Suradinata (1995:130) mengatakan :
Motif adalah suatu dorongan yang ada dalam diri seseorang untuk berbuat
baik berupa gerakan maupun ucapan. Sedangkan Motivasi adalah tindak
lanjut dari motif yaitu perbuatan atau gerakan baik berupa ucapan
maupun tindakan serta perilaku dalam cara-cara tertentu yang dilakukan
seseorang.
Dengan demikian motif dan motivasi merupakan faktor internal individu
yang senantiasa beriringan melatarbelakangi tindakan atau perilaku yang
dilakukan oleh seseorang.
Motif dan motivasi ini tentu berkorelasi dengan suatu kebutuhan,
keinginan atau harapan tertentu dalam diri seseorang yang diaktualisasikan ke
dalam sikap dan perilaku tertentu. Hal inipun berlaku dalam lingkungan kerja.
33
Dengan paparan yang dikemukakan, motives sebagai salah satu variabel
kompetensi sebagaimana dimaksud oleh Spencer & Spencer tampak menjadi salah
satu faktor internal yang menentukan kinerja seseorang dalam melaksanakan
pekerjaan. Artinya, motives yang dimiliki seseorang dalam bekerja melaksanakan
pekerjaan dapat mempengaruhi kinerjanya. Kinerja yang dimaksud adalah proses
dan hasil pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan tugas dan tanggungjawab.
2.1.2.3.2 Faktor Traits
Menurut Spencer and Spencer, ”traits” merupakan physical characteristic
and consistent response to situations or information.
Selanjutnya, Spencer and Spencer (1993:10) menjelaskan :
Emotional self - control and initiative are more complex “consistent
responses to situations.” Some people don’t “blow up” at others and do
act “above and beyond the call of duty” to solve problems under stress.
These trait competencies are characteristic of successful managers.
Motives and competencies are intrinsic operant or self-starting “master
traits” that predict what people will do on their jobs long term, without
close supervision.
Dari penjelasan di atas diketahui bahwa emosi diri – kontrol dan inisiatif
merupakan hal yang kompleks atas tanggapan yang konsisten terhadap situasi.
Dalam variabel ini, mungkin sejumlah orang bersikap emosional pada orang lain
dan melakukan tindakan di luar panggilan tugas untuk memecahkan masalah di
bawah tekanan.
Sifat kompetensi ini merupakan karakteristik manajer yang sukses. Motif
dan kompetensi yang intrinsik merupakan "master sifat-sifat" adalah instrumental
untuk memprediksi apa yang akan lakukan seseorang pada pekerjaan untuk jangka
panjang. Karena traits adalah sifat bawaan seseorang, maka dengan sendirinya
34
traits merupakan faktor internal seseorang yang menjadi cermin karakteristik
bagaimana ia berperilaku.
2.1.2.3.3 Faktor Self-Concept
Setiap orang cenderung mengaktualisasikan dirinya menurut nilai-nilai
yang diyakininya, dan dengan aktualisasi dirinya itu ia berharap memperoleh
pengakuan atau penghargaan dari lingkungan kerjanya.
Dalam dimensi ini, Sepncer & Spencer (1993:10) mengatakan :
Self – Concept. A person’s attitudes, values, or self-image. Example:
Self-confidence, a person’s belief that he or she can be effective in almost
any situation is part of that person’s concept of self.
A person’s values are respondent or reactive motives that predict
what he or she will do in the short term and in situations where others are
in charge. For example, someone who values being a leader is more likely
to exhibit leadership behavior if he or she is told a task or job will be “a
test of leadership ability.”
Konsep diri (self-concept) adalah sikap, nilai, atau citra diri seseorang.
Misalnya : percaya diri, keyakinan seseorang bahwa ia dapat efektif dalam hampir
setiap situasi adalah sebagian dari konsep diri seseorang.
Nilai adalah responsi atau reaksi motif yang memprediksi apa yang akan
melakukan oleh seseorang dalam jangka pendek dan dalam situasi tertentu.
Misalnya, nilai-nilai seseorang yang menjadi pemimpin lebih cenderung
menunjukkan perilaku kepemimpinan dengan memberitahukan nilai-nilai atas
tugas atau pekerjaan kepada orang lain dalam proses manajemen.
35
2.1.2.3.4 Faktor Knowledge
Pengetahuan yang dimiliki seseorang adalah suatu kapasitas informasi
yang terolah dari proses pendidikan dan pengalaman serta pandangan dan
harapannya.
Pengetahuan ini sering dijadikan tolok ukur dalam penilaian kompetensi.
Dalam dimensi ini. Spencer & Spencer (1993:10) mengatakan:
Knowledge is the information a person has in specific content areas.
Knowledge is a complex competency. Scores on knowledge tests often fail
to predict work performance because they fail to measure knowledge and
skills in the ways they are actually used on the job. First, many knowledge
tests measure rote memory, when what is really important is the ability to
find information. Memory of specific facts is less important than knowing
which facts exist that are relevant to a specific problem, and where to find
them when needed. Second, knowledge tests are “respondent.” They
measure test takers” ability to choose which of several options is the right
response, but not whether a person can act on the basis of knowledge. For
example, the ability to choose which of five items is an effective argument
is very different from the ability to stand up in a conflict situation and
argue persuasively. Finally, knowledge at best predicts what someone can
do, not what he or she will do.
Pengetahuan adalah salah satu unsur kompetensi yang kompleks. Skor
pada test pengetahuan sering gagal untuk memprediksi kinerja karena kegagalan
dalam mengukur pengetahuan dan keterampilan.
Hal yang demikian itu terjadi, karena, pertama, test pengetahuan banyak
yang hanya untuk mengukur memori hafalan, padahal yang benar-benar penting
adalah kemampuan untuk mendapatkan informasi. Memori yang berisi fakta-fakta
spesifik kurang penting ketimbang mengetahui fakta yang relevan dengan masalah
tertentu ; kedua, test pengetahuan untuk memilih beberapa pilihan adalah respon
yang benar, tapi bukan berarti seseorang dapat bertindak atas dasar pengetahuan
saja. Misalnya, kemampuan untuk memilih dari lima item adalah sebuah argumen
36
yang efektif tentu sangat berbeda dengan kemampuan dalam menghadapi situasi
konflik. Akhirnya, pengetahuan terbaik memprediksi apa yang seseorang dapat
lakukan, bukan apa yang ia akan lakukan.
2.1.2.3.5 Faktor Skills
Kinerja seseorang yang memiliki skills dengan kinerja seseorang yang
tidak memiliki skills tentu sangat berbeda.
Menurut Spencer & Spencer (1993:10), skills merupakan kemampuan
untuk melakukan tugas fisik atau mental tertentu. Sebagai misal, keterampilan
fisik Seorang dokter gigi untuk mengisi gigi tanpa merusak saraf, kemampuan
seorang programmer komputer untuk mengatur 50.000 baris kode dalam urutan
logis.
Dengan demikian skill merupakan kemampuan yang menuntun atau
memandu seseorang untuk melaksanakan pekerjaan dengan cara-cara tertentu
yang efektif.
Dalam dimensi kemampuan ini, Shermon (2004:29) mengatakan :
The ability to perform certain physical or mental tasks, consistently,
accurately and when displayed in meaningful ways and behaviorally turns
into a competency. Mental or conigtive skill competencies include, analitic
thinking, posting konwledge and data determining cost in effect organizing
data, plans and conecptual thinking by which we mean recognizing
patterns in complex data.
Dengan demikian “skills” pada dasarnya adalah kemampuan seseorang
untuk melaksanakan suatu tugas atau pekerjaan baik secara fisik maupun mental.
Kemampuan dapat juga dikatakan sebagai keahlian teknis seseorang dalam
melaksanakan prosedur dan tata cara kerja menurut ukuran tertentu, seperti
misalnya melakukan pekerjaan secara produktif, efektif atau efisien.
37
Kemampuan mensinergikan fungsi kecerdasan intelektual dan fungsi
kemampuan fisik. Dalam konteks ini, kemampuan merupakan manifestasi
kemahiran seseorang dalam melaksanakan teknis pekerjaan yang menuntut
ketrampilan fisik tertentu.
Kemampuan juga terkait dengan wawasan pengalaman kerja seseorang.
Semakin berpengalaman seseorang dalam menyelesaikan suatu teknis pekerjaan,
maka dengan sendirinya kemampuan orang tersebut semakin terasah. Misalnya,
kemampuan seorang Telesales Officers yang berpengalaman dalam memberikan
layanan kepada nasabah tentu berbeda dengan seorang Telesales Officers yang
belum berpengalaman.
Artinya, kemampuan dapat sekaligus menunjukkan bagaimana kapasitas
pengetahuan kerja, kemahiran kerja dan pengalaman kerja seseorang. Karena itu
wajar saja bila setiap perusahaan dalam menyeleksi karyawan baru cenderung
memilih pelamar yang sudah berpengalaman sebelumnya; bahkan tidak sedikit
perusahaan yang mensyaratkan pengalaman kerja sebagai salah satu kriteria untuk
menerima para pelamar kerja.
Dari deskripsi teori kompetensi yang dipaparkan penulis memilih pendapat
Spencer and Spencer yang menunjukkan lima karakteristik kompetensi yang
meliputi variabel motives, traits, self-concept, knowledge, dan skills. Pemilihan
teori kompetensi dari Spencer & Spencer didasarkan pada alasan : motives, traits,
self-concept, knowlegde, dan skills merupakan faktor-faktor internal individu yang
langsung mempengaruhi pikiran dan perasaan serta sikap seseorang dalam
bekerja.
38
Oleh sebab itu tidak ada sikap kerja dan perilaku kerja seseorang yang
lepas dari pengaruh faktor-faktor internal tersebut. Dalam konteks ini, secara
stimulan kompetensi dapat mempengaruhi kesuksesan penjualan produk yang
dilaksanakan oleh Telesales Officer. Dengan landasan teori kompetensi dari
Spencer and Spencer (1993:9) yang menunjukkan lima karakteristik kompetensi
yaitu Motives, Traits, Self-concept, Knowledge, dan Skills, disusun definisi
operasional variabel berikut :
Kompetensi Telesales Officer dipandang sebagai suatu karakteristik
kepribadian dan kemampuan dalam melaksanakan aktivitas telemarketing yang
terungkap menurut faktor-faktor : motives, traits, self-concept, knowledge dan
skills. Dari definisi konseptual ini diperoleh lima variabel : Motives, Traits, Selfconcept, Knowledge, dan skills. Kelima Variabel dikembangkan menjadi 25
indikator penelitian menurut karakteristik masalah yang dijadikan obyek
penelitian.
2.1.3 Penjualan Produk AXA Mandiri
2.1.3.1 Konsep Penjualan
Menurut Novi (2006:19) penjualan adalah sumber pendapatan utama
dari perusahaan dimana hasil penjualan yang diperoleh adalah untuk membiayai
kelangsungan hidup operasional perusahaan.
Menurut Winarto dan Ismaya (2003:380), penjualan adalah transaksi yang
melibatkan pengiriman atau penyerahan produk; hak atau jasa dalam pertukaran
untuk penerimaan kas, janji pembayaran, atau yang dapat disamakan dengan uang
atau kombinasinya.
39
Mengacu pada pendapat-pendapat di atas, maka dalam praktik penjualan
terdapat dua pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang menawarkan barang
dan pihak yang memerlukan barang tersebut, di mana pihak yang menerima
barang/jasa memberikan imbalan yang telah ditentukan dan disepakati bersama
kepada pihak yang menawarkan barang.
Dalam hal penjualan ini, menurut Basu Swastha (2004 : 403) :
Penjualan adalah interaksi antara individu saling bertemu muka yang
ditujukan untuk menciptakan, memperbaiki, menguasai atau
mempertahankan hubungan pertukaran sehingga menguntungkan bagi
pihak lain. Penjualan dapat diartikan juga sebagai usaha yang dilakukan
manusia untuk menyampaikan barang bagi mereka yang memerlukan
dengan imbalan uang menurut harga yang telah ditentukan atas
persetujuan bersama.
Menurut Professor Theodore Levitt (dalam Kotler,1997:20) ada perbedaan
yang kontras antara konsep penjualan dan konsep pemasaran. Bagaimana
perbedaan tersebut dijelaskan berikut :
Selling focuses on the needs of the seller; marketing on the needs of the
buyer. Selling is preoccupied with the seller’s need to convert his product
into cash; marketing with the idea of satisfying the needs of the customer
by means of the product and the whole cluster of things associated with
creating, delivering and finally consuming it.
Konsep penjualan : dimulai dengan pabrik, berfokus pada produk
perusahaan yang ada dengan penekanan pada penjualan yang gencar, dan promosi
untuk mencapai penjualan yang menguntungkan.
Di lain pihak konsep pemasaran menggunakan pandangan; dimulai dengan
keadaan pasar yang baik, berfokus pada kebutuhan pelanggan, mengkoordinasi
semua
kegiatan
pemasaran
yang
berhubungan
dengan
pelanggan
mendapatkan keuntungan dengan menciptakan kepuasan pelanggan.
dan
40
Tabel 2.1
Perbedaan Konsep Penjualan dan Konsep Pemasaran
Titik Awal
Fokus
Kegiatan
Tujuan
Pabrik
Produk
Penjualan dan
Keuntungan melalui
Promosi
volume penjualan
Konsep Penjualan
Pasar
Kebutuhan
Pemasaran
Keuntungan melalui
Pelanggan
Terpadu
kepuasan pelanggan
Konsep Pemasaran
Sumber : Kotler,1997:20
Searah dengan konsep penjualan yang dikemukakan di atas, menurut Basu
Swastha (2004 : 404) tujuan umum penjualan dalam perusahaan yaitu: 1)
Mencapai volume penjualan; 2) Mendapatkan laba tertentu; dan 3) Menunjang
pertumbuhan perusahaan.
Tingkat penjualan produk yang maksimal tentu dijadikan target penjualan
oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang perdagangan. Target
penjualan produk ini erat kaitannya dengan tingkat keuntungan yang diraih oleh
setiap perusahaan.
Namun kenyataannya tidak semua produk dapat mencapai tingkat
penjualan yang maksimal, karena menurut Supranto (2001 : 128), dihadapkan
pada sejumlah masalah penjualan. Sebagian masalah penjualan produk ini
terungkap dari tanggungjawab eksekutif pemasaran.
Menurut Supranto (2001 : 128), tugas pokok marketing manager ialah
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut :
a. Berapa uang yang harus dikeluarkan untuk biaya usaha penjualan
(selling effort) dalam waktu tertentu?
b. Bagaimana mendistribusikan biaya tersebut dari daerah geografis yang
satu ke daerah lainnya, misalnya dari propinsi yang satu ke propinsi
lainnya; dari kabupaten yang satu ke kabupaten lainnya?
c. Apabila lebih dari satu jenis barang yang diprodusir, bagaimana
mengalokasikan biaya tersebut menurut jenis barang produksi, misalnya
41
berapa biaya advertensi untuk sabun mandi Lux, pasta gigi Pepsodent,
sabun cuci Rinso, dan lain sebagainya; yang harus dikeluarkan Unilever
untuk suatu tahun tertentu?
d. Apakah kepala kantor cabang perusahaan di suatu tempat tertentu
benar-benar produktif, kerja secara efisien dan efektif?
e. Apakah banyak salesman yang bekerja secara produktif, efisien dan
efektif?
Untuk membuat keputusan-keputusan atau menjawab pertanyaanpertanyaan tersebut di atas, maka pimpinan perlu memperoleh data dari bagian
yang mengurus riset pemasaran.
Suatu teknik yang dipergunakan untuk memperoleh data (informasi) yang
tepat tersebut dinamakan sales control research. Supranto (2001 : 129)
mengemukakan :
Sales control research meliputi identifikasi dan pengukuran (identification
and measurement) dari semua faktor yang mempunyai pengaruh (effect)
langsung dan sangat penting terhadap penjualan (sales) yaitu yang
mempunyai hubungan sebab dan akibat (cause and effect relationship)
terhadap sales, misalnya mutu yang kurang baik, harga yang terlalu tinggi,
adanya saingan, daya beli rendah, biaya promosi dan lain sebagainya.
Lebih jauh dikemukakan bahwa sales control research pada dasarnya
mencakup tiga kegiatan pokok, yaitu meramalkan penjualan (forecasting
sales); menentukan potensi penjualan bagi bagian-bagian pasar (sales
potentials for segments of market); dan menentukan jenis produksi yang
paling menguntungkan. Ketiga hal tersebut di atas sangat berhubungan
satu sama lain.
Lebih jauh Supranto (2001 : 129) menjelaskan bahwa ramalan penjualan
(sales forecasting) berarti ramalan penjualan dari produk tertentu perusahaan
tertentu, cabang perusahaan tertentu, pada suatu waktu tertentu, dari daerah
penjualan tertentu.
Market analysis berarti suatu studi terhadap pasar secara individu
(individual market) untuk menentukan potensi yang ada didalamnya, yaitu
kemampuan menyerap barang-barang produksi tertentu.
42
Sales analysis yang meliputi analisa-analisa terhadap catatan-catatan
penjualan dari perusahaan (company sales records) untuk menentukan hal-hal
seperti konsentrasi penjualan menurut pembeli, menurut produk dan menurut
daerah geografis.
Menurut Supranto (2001 : 130), ramalan penjualan merupakan subyek
yang kompleks, dan beberapa cara untuk membuat ramalan tersebut adalah
berikut :
1. Meramalkan Penjualan Berdasarkan Pendapat Para Eksekutif (Executive
Opinion). Dengan cara ini masing-masing anggota eksekutif (executive
members) membuat ramalan penjualan secara independen yaitu bebas
satu sama lain untuk suatu periode yang akan datang. Tentu saja ramalan
yang mereka buat bukan saja berdasarkan ”pendapat” atau opinion akan
tetapi mungkin berdasarkan data yang ada atau dengan menggunakan
suatu ”judgement” yang sudah dipertimbangkan dengan masak-masak.
2. Metode Meramal dengan Menggunakan Beberapa Tenaga Penjual
(Sales Force Composite Method). Metode ini sebetulnya sama saja
dengan yang pertama tadi hanya bedanya ialah, bahwa yang pertama
terdiri dari para anggota pimpinan perusahaan sedangkan cara yang
kedua ini terdiri dari orang-orang yang langsung melakukan penjualan
yang harus membuat ramalan.
3. Meramalkan dengan Metode Statistik. Ilmu statistik memberikan
beberapa metode analisa yang memungkinkan untuk pembuatan
ramalan-ramalan (forecasting), khususnya analisa korelasi dan regresi
(correlation and regression analysis).
Disamping ramalan penjualan yang demikian itu, untuk memahami naik
turunnya tingkat penjualan produk dapat juga didasarkan pada analisis pasar.
Analisa pasar adalah suatu proses untuk menentukan potensi penjualan.
Yang dimaksud dengan potensi pasar ialah suatu perkiraan kapasitas dari
suatu pasar untuk menyerap barang produksi. Perkiraan tersebut dapat dinyatakan
dalam bentuk fisik (physical unit) atau dalam jumlah mata uang atau bisa juga
dalam bentuk persentase. Misalnya berapa jumlah pasar, berapa nilai barang
43
dalam rupiah yang bisa ditampung dan berapa persen dari barang-barang tersebut
yang bisa diserap oleh suatu pasar tertentu atau dari segmen pasar tertentu.
Menurut Supranto (2001 : 134), potensi pasar tentu tidak selalu
mempunyai arti sama dengan ramalan penjualan. Ramalan penjualan pada
umumnya bersifat pasif, memperkirakan pengaruh dari faktor-faktor ekonomi
yang eksternal sifatnya serta menentukan suatu nilai ramalan hasil penjualan yang
bisa diharapkan di masa yang akan datang dengan syarat, bahwa keadaan
sekelilingnya tidak mengalami perubahan-perubahan yang berarti.
Potensi pasar mungkin terlalu besar, akan tetapi yang efektif mungkin
lebih sedikit/kecil. Adapun kegunaan potensi pasar dijelaskan Supranto (2001 :
134) berikut :
a. Untuk Menentukan Daerah Penjualan (Sales Territories)
Perencanaan daerah penjualan biasanya didasarkan atas beberapa
perkiraan tentang potensi. Untuk suatu perusahaan tertentu akan ada
suatu potensi optimum bagi suatu daerah salesman.
b. Alokasi Usaha Penjualan
Alokasi usaha penjualan sangat erat hubungannya dengan perencanaan
daerah penjualan. Semua usaha penjualan, tenaga penjual (sales force)
advertensi harus dialokasi hanya setelah diadakan pertimbangan tentang
potensi.
c. Penentuan Jatah Penjualan (Sales Quota)
Jatah penjualan harus ditentukan setelah potensi pasar telah diketahui
dan usaha penjualan sudah dialokir. Dengan perkataan lain suatu
prosedur diperlukan untuk menentukan potensi pasar, mengalokir usaha
penjualan beberapa waktu sebelumnya perlu diadakan perubahan
terhadap jumlah usaha penjualan untuk waktu-waktu yang akan datang
serta mengharapkan aktivitas dari saingan untuk menentukan jatah
(quota).
Bila peta potensi suatu pasar telah diidentifikasi, atau potensi suatu pasar
dinilai perlu ditingkatkan, maka persoalannya adalah bagaimana mengembangkan
potensi pasar tersebut agar omset penjualan produk dapat meningkat.
44
Dalam konteks ini diperlukan pemahaman mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi penjualan.
2.1.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penjualan Produk
Aktivitas penjualan banyak dipengaruhi oleh faktor yang dapat
meningkatkan aktivitas perusahaan, oleh karena itu manajer penjualan perlu
memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi penjualan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi penjualan menurut Basu Swastha (2005) sebagai berikut :
1) Kondisi dan Kemampuan Penjual : Kondisi dan kemampuan terdiri dari
pemahaman atas beberapamasalah penting yang berkaitan dengan
produk yang dijual,jumlah dan sifat dari tenaga penjual adalah:
a) Jenis dan karakteristik barang atau jasa yang ditawarkan
b) Harga produk atau jasa
c) Syarat penjualan, seperti: pembayaran, pengiriman
2) Kondisi Pasar : Pasar mempengaruhi kegiatan dalam transaksi
penjualan baik sebagai kelompok pembeli atau penjual. Kondisi pasar
dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni : jenis pasar, kelompok pembeli,
daya beli, frekuensi pembelian serta keinginan dan kebutuhannya.
3) Modal : Modal atau dana sangat diperlukan dalam rangka untuk
mengangkut barang dagangan ditempatkan atau untuk membesar
usahanya. Modal perusahaan dalam penjelasan ini adalah modal kerja
perusahaan yang digunakan untuk mencapai target penjualan yang
dianggarkan, misalnya dalam menyelenggarakan stok produk dan dalam
melaksanaan kegiatan penjualan memerlukan usaha seperti alat
transportasi, tempat untuk menjual, usaha promosi dan sebagainya.
4) Kondisi Organisasi Perusahaan : Pada perusahan yang besar, biasanya
masalah penjualan ini ditangani oleh bagian tersendiri, yaitu bagian
penjualan yang dipegang oleh orang-orang yang ahli dibidang penjualan.
5) Faktor-faktor lain : Faktor-faktor lain seperti periklanan, peragaan,
kampanye, dan pemberian hadiah sering mempengaruhi penjualan
karena diharapkan dengan adanya faktor-faktor tersebut pembeli akan
kembali membeli lagi barang yang sama.
Menurut Efendi Pakpahan (2009) faktor yang sangat penting dalam
mempengaruhi volume penjualan adalah saluran distribusi yang bertujuan untuk
melihat peluang pasar apakah dapat memberikan laba yang maksimun.
45
Secara umum mata rantai saluran distribusi yang semakin luas akan
menimbulkan biaya yang lebih besar, tetapi semakin luasnya saluran distribusi
maka produk perusahaan akan semakin dikenal oleh mayarakat luas dan
mendorong naiknya angka penjualan yang akhirnya berdampak pada peningkatan
volume penjualan. Promosi penjualan juga mempengaruhi tingkat penjualan.
Dalam hal ini Kotler (dalam Susanto, 2001:864) mengatakan :
Terdapat beberapa faktor berkontribusi pada kecepatan pertumbuhan
promosi penjualan, terutama dalam pasar konsumen. Faktor-faktor internal
termasuk hal-hal berikut : Promosi sekarang lebih diterima oleh
manajemen puncak sebagai kiat penjualan yang efektif, semakin banyak
manajer produk yang memenuhi syarat untuk menggunakan kiat promosi
penjualan; dan manajer produk berada di bawah tekanan keras untuk
meningkatkan penjualan mereka sekarang. Faktor-faktor eksternal
mencakup hal-hal berikut : Jumlah merek telah bertambah; pesaing sering
menggunakan promosi; banyak merek yang berada dalam keseimbangan;
konsumen semakin berwawasan transaksi, perdagangan menuntut lebih
banyak transaksi dari produsen; dan efisiensi iklan telah berkurang karena
meningkatnya biaya, kekacauan media, dan hambatan legal.
Dalam menggunakan promosi penjualan, perusahaan harus menetapkan
tujuan, memilih kiat, mengembangkan program, menguji program itu lebih dulu,
menerapkan dan mengontrolnya, dan mengevaluasi hasilnya. (Kotler dalam
Susanto, 2001:867),
2.1.3.3 Konsep Produk Dalam Penjualan
Product,
mengelola
unsur
produk
termasuk
perencanaan
dan
pengembangan produk atau jasa yang tepat untuk dipasarkan oleh perusahaan.
Strategi dibutuhkan untuk mengubah produk yang ada, menambah yang
baru, dan mengambil tindakan-tindakan lain yang mempengaruhi bermacammacam produk. Keputusan strategi juga dibutuhkan untuk pengemasan,
penentuan, cap, dan berbagai segi produk yang lain. (Stanton, 1985 : 46)
46
Daniel Hunt yang dikutip Cravens (1998:3) mengatakan bahwa sebuah
produk adalah segala sesuatu yang memiliki nilai di suatu pasar sasaran dimana
kemampuannya memberikan manfaat atau kepuasan termasuk benda, jasa,
organisasi, tempat, orang dan ide.
Produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan ke pasar untuk
mendapat perhatian, dibeli, dipergunakan, atau dikonsumsi dan yang dapat
memuaskan keinginan atau kebutuhan. Produk mencakup obyek secara fisik, jasa,
orang, tempat, organisasi dan ide. (Kotler dan Amstrong, 1997 : 274)
Dalam maknanya yang sempit, produk adalah sekumpulan atribut fisik
nyata (tangible) yang terakit dalam sebuah bentuk yang dapat diidentifikasikan.
Setiap produk menyandang nama deskriptif (atau generik) yang dikenal secara
umum, seperti buah mangga, baja, atau tas sekolah. Atribut produk yang menarik
motivasi konsumen atau pola beli tidak tercakup dalam definisi sempit ini.
(Stanton,1985: 222),
Karena itu, Stanton (1985:223) mengemukakan definisi produk sebagai
berikut :
Sebuah produk adalah sekumpulan atribut yang nyata (tangible) dan tidak
nyata (intangible) di dalamnya sudah tercakup warna, harga, kemasan,
prestise pabrik, prestise pengecer dan pelayanan dari pabrik serta pengecer
– yang mungkin diterima oleh pembeli sebagai sesuatu yang bisa
memuaskan keinginannya.
Jasa adalah segala aktivitas atau manfaat yang dapat ditawarkan oleh satu
pihak kepada pihak laina yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak
menghasilkan kepemilikan apapun.
47
Produk Inti adalah jasa untuk memecahkan masalah atau manfaat inti yang
dicari konsumen ketika mereka membeli suatu produk. (Kotler dan Amstrong,
1997 : 274)
Kotler dan Amstrong mengembangkan beberapa klasifikasi produk.
Pertama, produk dan jasa menjadi dua kelas besar berdasarkan pada jenis
konsumen yang menggunakannya – produk konsumen dan produk industri.
Produk konsumen adalah apa yang dibeli oleh konsumen akhir untuk
konsumsi pribadi. Pemasar biasanya mengklasifikaikan barang-barang ini
berdasarkan pada cara konsumen membelinya.
Berbagai produk ini mempunyai perbedaan dalam cara konsumen
membelinya; oleh karena itu produk tersebut berbeda dalam cara pemasarannya.
(Kotler dan Amstrong, 1997 : 276)
Perbedaan yang dimaksud Kotler dan Amstrong (1997 : 276)
dikemukakan dengan tabel berikut :
48
Tabel 2.2
Pertimbangan Pemasaran untuk Produk Konsumen
Pertimbangan
Pemasaran
Tingkah laku
membeli
pelanggan
Sehari-hari
Sering dibeli, sedikit
perencanaan, sedikit
membandingkan atau
usaha berbelanja, keterlibatan pelanggan
rendah
Harga
Distribusi
Harga rendah
Distribusi
tersebar
luas
Promosi
Promosi massal oleh
produsen
Contoh
Pasta gigi, majalah,
detergen, pakaian
Tipe Produk Konsumen
Shopping
Khusus
Lebih jarang dibeli, Pemilihan dan loyal
perencanaan dan usa- pada merek terkenal,
ha berbelanja lebih usaha membeli khusus,
banyak, pembanding-an sedikit membandingkan
merek
menyangkut merek,
kepekaan
harga, mutu, gaya
terhadap harga rendah
Tidak dicari
Kesadaran
produk,
pengetahuan
rendah (atau bila
menyadari
sedikit
atau
bahkan
tidak
berminat)
Harga lebih tinggi
Harga tinggi
Bervariasi
Distribusi selektif di Distribusi
eksklusif Bervariasi
beberapa toko saja
hanya di satu atau
beberapa pedagang per
wilayah pasar
Iklan dan penjualan
Promosi terarah yang Iklan agresif dan
Pribadi oleh produsen lebih berhati-hati oleh penjualan
dan pedagang
produsen
dan pribadi
oleh
pedagang
produsen dan
pedagang
Perabot rumah tangga Barang-barang mewah, Asuransi jiwa,
berukuran
besar, seperti arloji Rolex atau donor
darah
televisi, mebel, pakaian kristal cantik
untuk Palang
Merah
Sumber: Kotler dan Amstrong (1997 : 276)
Kotler dan Amstrong (1997:277) menjelaskan bahwa produk industri
adalah barang yang dibeli untuk diproses lebih lanjut atau untuk dipergunakan
dalam menjalankan bisnis.
Jadi, perbedaannya antara produk konsumen dengan industri didasarkan
pada tujuan tersebut dibeli. Dalam hal ini Kotler dan Amstrong memberi contoh
bahwa bila seorang konsumen membeli sebuah mesin potong rumput untuk
dipergunakan di sekitar rumahnya, mesin pemotong rumut itu adalah produk
konsumen. Bila seorang konsumen yang sama membeli mesin pemotong rumput
yang sama untuk dipergunakan dalam bisnis pertamanan, mesin pemotong
rumuput tadi termasuk produk industri.
49
Terdapat tiga kelompok produk industri, yaitu bahan dan suku cadang,
barang modal, serta perlengkapan dan jasa.
Bahan dan suku cadang adalah produk industri yang menjadi bagian
produk pembeli, lewat pengolahan lebih lanjut atau sebagai komponen. Termasuk
disini bahan baku, bahan jadi dan suku cadang.
Barang Modal
adalah produk industri yang membantu produksi atau
operasi. Termasuk dalam kategori ini adalah barang yang dibangun dan peralatan
tambahan.
Perlengkapan dan Jasa adalah produk industri yang sama sekali tidak
memasuki produk akhir. Termasuk dalam perlengkapan adalah perlengkapan
operasi (pelumas, batu bara, kertas komputer) dan barang-barang untuk
memperbaiki serta memelihara (cat, paku, sapu).
Termasuk dalam jasa service adalah pemeliharaan dan perbaikan serta jasa
pemberian saran bisnis (hukum, konsultan manajemen, iklan). Jasa ini biasanya
diberikan berdasarkan pada kontrak. (Kotler dan Amstrong, 1997 : 277)
Tingkat penjualan produk yang maksimal tentu dijadikan target penjualan
oleh setiap perusahaan. Target penjualan produk ini erat kaitannya dengan tingkat
keuntungan yang diraih oleh setiap perusahaan.
Namun kenyataannya tidak semua produk dapat mencapai tingkat
penjualan yang maksimal, karena dihadapkan pada sejumlah masalah penjualan.
Sebagian masalah penjualan produk ini terungkap dari tanggungjawab eksekutif
pemasaran. Dalam konteks ini persoalannya adalah bagaimana suatu produk itu
berproses dalam dinamika pemasaran.
50
Tahap Introduksi mulai ketika produk baru pertama kali diluncurkan.
Introduksi membutuhkan waktu, dan pertumbuhan penjualan cenderung lambat.
Produk yang terkenal seperti kopi instan, sari jeruk beku, dan bubuk krim kopi
selama bertahun-tahun berada dalam tahap ”hidup enggan mati tak mau” sebelum
memasuki tahap yang cepat.
Dalam tahap ini kalau dibandingkan dengan tahap-tahap lain, perusahaan
masih merugi atau berlaba kecil karena penjualan yang lambat dan biaya distribusi
serta promosi yang tinggi. Banyak dana perlukan untuk menarik distributor untuk
menarik mereka agar mau menumpuk sediaan.
Pengeluaran promosi relatif tinggi untuk memberi tahu konsumen tentang
produk baru dan mendorong agar mereka mau mencoba. Karena pada umumnya
pasar belum siap untuk penyaringan produk dalam tahap ini memfokuskan
penjualan pada pembeli yang paling siap untuk membeli. (Kotler, 1997 : 327)
Sebuah perusahaan mungkin menjalankan satu dari beberapa strategi
pemasaran untuk memperkenalkan produk baru. Perusahaan dapat menetapkan
level yang tinggi atau rendah untuk setiap variabel pemasaran, seperti harga,
promosi, distribusi, dan mutu produk.
Dengan hanya memperhatikan harga, dan promosi, misalnya, manajemen
mungkin meluncurkan produk baru dengan harga tinggi dan pengeluaran promosi
rendah. Harga tinggi mampu meraih laba kotor setinggi mungkin per unit
sementara pengeluaran promosi yang rendah menjaga biaya pemasaran rendah.
Strategi seperti itu masuk akal kalau ukuran pasar terbatas, ketika sebagian
besar konsumen di pasar sudah mengetahui produk dan sedia membayar harga
51
tinggi, dan kalau hanya terdapat sedikit pesaing potensial langsung. Sebaliknya,
sebuah perusahaan dapat memperkenalkan produk barunya dengan harga rendah
dan pengeluaran promosi tinggi.
Strategi ini menjanjikan penetrasi pasar yang paling cepat dan pangsa
pasar terbesar. Adalah masuk akal bila pasarnya besar dan pembeli potensialnya
peka terhadap harga serta tidak menyadari keberadaan produk, pasti ada
persaingan potensial yang kuat, dan biaya produksi per unit turun sejalan dengan
skala produksi serta pengalaman manufaktur yang terakumulasi. (Kotler, 1997 :
327)
Sebuah perusahaan, terutama pelopor pasar, harus memilih strategi
peluncuran yang konsisten dengan keinginan pemosisian produk. Perusahaan
harus menyadari bahwa strategi awal hanyalah langkah pertama dalam rencana
pemasaran yang lebih utama untuk seluruh daur hidup produk.
Bila perusahaan pelopor memilih strategi peluncuran untuk melakukan
”Pembunuhan”, dia akan mengorbankan penghasilan jangka panjang demi
keuntungan jangka pendek. Ketika kemudian sang pelopor bergerak melewati
tahap-tahap daur hidup, dia harus terus merumuskan penetapan harga baru,
promosi, dan strategi pemasaran yang lain. Dia mempunyai peluang paling baik
untuk menjadi pemimpin pasar dan mempertahankannya bila dapat memainkan
kartunya dengan tepat sejak awal. (Kotler, 1997 : 328)
Bila berhasil memuaskan pasar, produk baru akan memasuki tahap
pertumbuhan, yang ditandai dengan cepat meningkatnya penjualan. Pembeli awal
tetap membeli, dan pembeli belakangan akan mulai memhikuti pemimpinannya,
52
terutama bila mendengar berita yang mendukung. Tertarik oleh peluang
memperoleh laba, pesaing baru
akan
memasuki
pasar.
Mereka akan
memperkenalkan sifat-sifat produk baru, dan pasar akan berkembang.
Meningkatnya pesaing membuat jumlah toko distribusi juga bertambah,
dan penjualan meroket karena pedagang menimbun sediaan. Harga tetap atau
hanya sedikit menurun. Perusahaan mempertahankan pengeluaran promosi atau
sedikit menaikkannya. Mendidik pasar tetap merupakan sasaran, tetapi sekarang
juga harus mengahadapi pesaing. (Kotler, 1997 : 328)
Laba meningkat dalam tahap pertumbuhan, karena biaya promosi dibagi
volume penjualan yang tinggi, dan juga karena biaya produksi per unit turun.
Perusahaan menggunakan beberapa strategi untuk mempertahankan pertumbuhan
pasar yang cepat selama mungkin. Mutu produk ditingkatkan dan sifat serta model
baru produk ditambahkan.
Perusahaan juga memasuki segmen pasar baru dan saluran distribusi baru;
menggeser beberapa iklan yang membina kesadaran akan produk dan
menggantikannya dengan yang membina keyakinan akan produk dan membeli,
serta menurunkan harga pada saat yang tepat untuk menarik lebih banyak
pembeli.
Dalam tahap pertumbuhan, menghadapi pertukaran dan harus memilih
antara pangsa pasar tinggi dan laba tinggi saat itu. Dengan mengeluarkan banyak
biaya untuk memperbaiki produk, promosi, dan distribusi, perusahaan dapat
mempertahankan posisi dominan. Akan tetapi, dengan melakukan hal itu
53
perusahaan harus melepas peluang meraih laba maksimum saat itu, yang
diharapkan dapat dipulihkan pada tahap berikutnya. (Kotler, 1997 : 328)
Pada saat, pertumbuhan penjualan produk akan menurun, dan produk akan
memasuki tahap menjadi dewasa. Tahap dewasa ini berlangsung lebih lama
ketimbang tahap sebelumnya, dan memberikan tantangan kuat bagi manajemen
pemasaran. Kebanyakan produk berada dalam tahap dewasa dari daur hidup, dan
oleh karena itu kebanyakan manajemen pemasaran berkaitan dengan produk
dewasa.
Penurunan pertumbuhan penjualan menyebabkan banyak produsen
mempunyai banyak produk untuk dijual. Pada saatnya, kapasitas berlebihan ini
menyebabkan persaingan semakin sengit. Pesaing mulai menurunkan harga,
meningkatkan iklan dan promosi penjualan, serta menambah anggaran litbang
untuk menemukan versi produk yang lebih baik.
Langkah-langkah ini menyebabkan laba menurun. Beberapa pesaing yang
lebih lemah mulai menghilang, dan pada akhirnya industri hanya diisi pesaing
yang paling kokoh. (Kotler, 1997 : 328)
Walaupun banyak produk dalam tahap dewasa tetap tidak berubah dalam
jangka waktu lama, kebanyakan yang berhasil sebenarnya mengalami evolusi
untuk mengimbangkan kebutuhan konsumen yang lebih berubah.
Manajer
produk
tidak
boleh
hanya
sekedar
membiarkan
atau
mempertahankan produk dewasa mereka-penyerangan yang baik adalah
pertahanan terbaik. Mereka harus memikirkan untuk memodifikasi pasar, produk,
dan bauran pemasaran.
54
Memodifikasi Pasar. Dalam tahap ini, perusahaan mencoba meningkatkan
konsumsi produk yang sudah ada. Perusahaan mencari pengguna dan dan segmen
pasar baru, seperti ketika Johnson & Johnson membidik pasar orang dewasa
dengan bedak dan shampoo bayinya.
Manajer juga mencari jalan untuk meningkatkan penggunaan diantara
pelanggan yang sudah ada. Campbell melakukan hal ini dengan menawarkan
resep dan menyakinkan konsumen bahwa ”sup adalah makanan sehat”. Atau
perusahaan mungkin ingin memposisikan ulang merek untuk menarik segmen
yang lebih besar atau yang bertumbuh lebih cepat, seperti yang dilakukan Arrow
ketika memperkenalkan ini baru baju santai dan mengumumkan, ”Kami
melonggarkan kerah kami”. (Kotler, 1997 : 329)
Perusahaan juga dapat
mengubah
karakteristik produk-seperti mutu,
sifat, atau gaya- untuk menarik pengguna baru dan menginspirasikan penggunaan
banyak. Perusahaan mungkin meningkatkan mutu dan prestasi produk-keawetan,
keandalan, kecepatan, rasa.
Atau perusahaan mungkin menambahkan sifat yang meningkatkan
pengunaan, keamanan atau kenyamanan produk. Misalnya, Sony terus
menambahkan gaya dan sifat baru pada lini Walkman dan Discman, serta volvo
menambah alat pengamanan baru pada mobilnya.
Akhirnya, perusahaan dapat memperbaiki gaya dan daya tarik produknya.
Dengan demikian, pabrik mobil mengubah gaya mobil untuk menarik pembeli
yang menginkan penampilan baru. Pembuat produk makanan dan alat rumah
55
tangga memperkenalkan aroma, warna, bahan baku, atau kemasan baru guna
meningkatkan pembelian konsumen. (Kotler, 1997 : 329)
Memodifikasi
Bauran
Pemasaran.
Pemasar
juga
dapat
mencoba
memperbaiki penjualan dengan satu atau beberapa elemen bauran pemasaran.
Mereka dapat menurunkan harga untuk menarik pengguna baru dan pelanggan
pesaing.
Mereka dapat meluncurkan iklan yang lebih baik atau menggunakan
promosi penjualan yang lebih agresif-rabat, harga khusus, dan undian. Perusahaan
dapat juga masuk kesaluran pasar yang lebih besar, menggunkan pedagang
massal, bila saluran ini tumbuh. Akhirnya, perusahaan dapat menawarkan jasa
baru yang lebih baik kepada pembeli. (Kotler, 1997 : 329)
Tahap menurun. Penjualan dari kebanyakan bentuk dan merek produk
akhirnya menurun. Penurunan ini mungkin berlangsung lambat, seperti halnya
dengan sereal oatmeal; atau cepat, seperti piringan hitam. Penjualan mungkin
anjlok sampai nol, atau menukik sampai tingkat rendah yang terus bertahan
selama beberapa tahun. Ini adalah tahap menurun.
Penjualan karena berbagai alasan, termasuk kemajuan teknologi, selera
konsumen berubah, dan meningkatkan persaingan. Ketika penjualan dan laba
menurun, beberapa perusahaan mundur dari pasar.
Perusahaan yang masih bertahan dapat mengurangi macam produk yang
ditawarkannya. Mereka mungkin meninggalkan segmen pasar yang kecil dan
saluran perdagangan yang memberikan laba tipis, atau mereka mungkin
56
mengurangi anggaran promosi serta lebih lanjut menurunkan harga. (Kotler, 1997
: 329)
Tetap mempertahankan produk lemah merupakan beban berat bagi sebuah
perusahaan, dan bukan hanya dari segi laba. Banyak biaya tersembunyi. Produk
lemah mungkin lebih banyak menyita waktu manajemen.
Produk itu sering kali memerlukan penyesuaian harga dan sediaan;
membutuhkan iklan dan perhatian tenaga penjual yang mungkin lebih baik
dipergunakan untuk membuat produk “sehat” mampu menghasilkan lebih banyak
laba.
Produk yang mempunyai reputasi buruk dapat menyebabkan pelanggan
perihatin atas perusahaan dan produknya yang lain. Biaya paling besar mungkin
terletak jauh di masa depan. Mempertahankan produk lemah menunda pencarian
penggantinya, menciptakan ketidakseimbangan bauran produk, menghancurkan
laba saat ini, dan melemahkan pijakan perusahaan di masa depan.
Basu Swastha (2004 : 404) bahwa tujuan umum penjualan dalam
perusahaan yaitu: 1) Mencapai volume penjualan; 2) Mendapatkan laba tertentu;
dan 3) Menunjang pertumbuhan perusahaan.
Berlandaskan teori penjualan ini dibangun konseptualisasi variabel
penjualan bahwa Penjualan Produk AXA Mandiri adalah proses promosi dan
transaksi
di antara Telesales Officers
dengan calon nasabah yang oleh
manajemen diarahkan untuk mencapai volume penjualan,
mendapatkan laba
tertentu; dan menunjang pertumbuhan perusahaan melalui penjualan produk AXA
Mandiri. Dari konseptualisasi variabel ini diperoleh tiga dimensi analisis :
57
Dimensi mencapai volume penjualan, Dimensi mendapatkan laba tertentu; dan
Dimensi menunjang pertumbuhan perusahaan. Ketiga dimensi analisis tersebut
dikembangkan menurut karakteristik obyek penelitian menjadi 15 indikator
penelitian.
2.1.3.4 Telemarketing Kaitan Dengan Komunikasi Pemasaran
Kemajuan teknologi telah menyediakan fasilitas berkomunikasi yang
semakin canggih dan beragam. Dalam rangka memanfaatkan kemajuan
telekomunikasi dan teknologi informasi, maka perusahaan asuransi AXA Mandiri
memasarkan
atau
menjual produk-produk
asuransinya
melalui
program
telemarketing dengan Telesales Officers sebagai tenaga pemasarnya.
Komunikasi Pemasaran
Promosi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan suatu program
pemasaran. Betapapun berkualitasnya suatu produk, bila konsumen belum pernah
mendengarnya dan tidak yakin bahwa produk itu akan berguna bagi mereka, maka
mereka tidak akan pernah membelinya.
Promosi adalah suatu bentuk komunikasi pemasaran, yang merupakan
aktivitas pemasaran untuk menyebarkan informasi, membujuk, dan mengingatkan
pasar sasaran atas produk perusahaan agar bersedia menerima, membeli, dan loyal
pada produk yang ditawarkan perusahaan.
Seperti yang dikemukakan oleh Kotler (2003), Kotler & Amstrong (2001),
Kerin & Peterson (1993), bahwa “Marketing Communication is the process by
which information about an organization and its offerings is disseminated to
selected markets”.
58
Ada tiga unsur pokok dalam struktur proses komunikasi pemasaran
sebagaimana yang tergambar dalam gambar 2.5, yaitu :
1. Pelaku Komunikasi, terdiri atas pengirim (sender) yang menyampaikan
pesan dan penerima pesan. Dalam konteks ini, komunikatornya adalah
produsen, sedangkan komunikan (receiver) nya adalah khalayak, seperti
pasar pribadi, pasar organisasi, dan masyarakat umum.
2. Material Komunikasi, yaitu : (a) Gagasan, adalah materi pokok yang
hendak disampaikan pengirim ; (b) Pesan, adalah himpunan berbagai
simbol (oral, verbal, atau non-verbal) dari suatu gagasan. Pesan hanya
dikomunikasikan melalui suatu media ; (c) Media, adalah pembawa
pesan komunikasi. Pilihan media komunikasi pemasaran bisa bersifat
personal maupun non-personal ; (d) Tanggapan, adalah reaksi
pemahaman atas pesan yang diterima oleh penerima ; (e) Umpan-Balik
dari sebagian atau keseluruhan tanggapan yang dikirim kembali oleh
penerima ; (f) Gangguan, adalah segala sesuatu yang dapat menghambat
kelancaran proses komunikasi.
3. Proses Komunikasi. Proses penyampaian pesan dan pengiriman
kembali respon akan memerlukan dua kegiatan, yaitu encoding (adalah
proses merancang atau mengubah gagasan secara simbolik menjadi
sebuah pesan untuk disampaikan kepada penerima) dan decoding
(adalah proses menguraikan atau mengartikan simbol sehingga pesan
yang diterima dapat dipahami).
59
Gambar 2.5
Model Komunikasi Pemasaran
Sender
Encoding
Message /
Media
Decoding
Receiver
Noise
Feedback
Respons
Sumber : Kotler (2003), Kotler & Amstrong (2001), Kerin & Peterson (1993)
Tujuan Komunikasi Pemasaran
Komunikasi pemasaran meliputi tiga tujuan utama, yaitu untuk
menyebarkan informasi (komunikasi informatif), mempengaruhi atau menarik
konsumen untuk melakukan pembelian (komunikasi persuasif), dan mengingatkan
khalayak untuk melakukan pembelian ulang (komunikasi mengingatkan kembali).
(Kotler, 2003 ; Kotler & Amstrong, 2001).
Tanggapan konsumen sebagai komunikan terhadap stimuli meliputi : (a)
Efek Kognitif, yaitu membentuk kesadaran informasi tertentu. Di tahap ini,
konsumen akan menyadari dan bertambah pengetahuannya ; (b) Efek Afeksi,
yakni memberikan pengaruh untuk melakukan sesuatu yang diharapkan adalah
realisasi pembelian. Di tahap ini konsumen akan menyukai, lebih menyukai dan
yakin ; (c) Efek Konatif atau perilaku, yaitu membentuk pola khalayak. Di tahap
ini konsumen akan cenderung membeli ; (d) Perilaku konsumen selanjutnya, yang
diharapkan penjual adalah pembelian ulang.
60
Alat Promosi (Promotion Tools)
Menurut Kotler (2003) ; Kotler & Amstrong (2001), alat-alat promosi
terdiri dari :
1. Advertising adalah semua bentuk penyajian dan promosi non-personal
atas ide, barang atau jasa yang dilakukan oleh perusahaan sponsor
tertentu. Advertising menggunakan media, seperti TV, radio, kemasan
katalog, brosur, leaflet, majalah, billboard, spanduk, simbol, logo,
balon udara, mobil box, film, dsb.
2. Sales Promotion adalah berbagai insentif jangka pendek untuk
mendorong keinginan mencoba atau membeli suatu produk atau jasa.
3. Public Relation & Publicity adalah berbagai program untuk
mempromosikan dan atau melindungi citra perusahaan atau masingmasing produknya.
4. Personal Selling adalah interaksi langsung antara salesman perusahaan
dengan satu atau lebih calon pembeli guna melakukan presentasi,
menjawab pertanyaan, dan menerima pesan.
5. Direct Marketing adalah penggunaan surat, telepon, faksimili, e-mail,
dan alat-alat penghubungan non-personal lainnya untuk berkomunikasi
secara langsung dengan atau mendapatkan tanggapan langsung dari
pelanggan dan calon pelanggan.
Pemasaran Langsung (Direct Marketing)
Pemasaran
langsung
adalah
sistem
pemasaran
interaktif
yang
menggunakan satu, atau lebih media iklan untuk menghasilkan tanggapan
dan/atau transaksi yang dapat diukur pada suatu lokasi (Kotler, 2003:345 ; Kotler
& Amstrong, 2001:250).
Definisi ini menekankan pada tanggapan yang dapat diukur, khususnya
pesanan pelanggan. Karena itu, pemasaran langsung kadang-kadang disebut
direct-order-marketing (pemasaran pesanan langsung). Kini, banyak pemasar
menganggap pemasaran langsung memainkan peranan yang lebih luas, yaitu
membangun
hubungan
jangka
panjang
dengan
pelanggan
(relationship
marketing), dimana relationship marketing merupakan salah satu cara
61
mempertahankan pelanggan. Dengan kata lain, pemasaran langsung dalam arti
luas sama dengan relationship marketing.
Menurut Kotler (2003:228), pemasaran hubungan (relationship marketing)
adalah “Proses menciptakan, mempertahankan, dan memperbaiki hubungan yang
kuat yang berdasarkan nilai, dengan pelanggan dan pihak-pihak yang
berkepentingan lainnya”.
Salah satu unsur fundamental dari relationship dengan pelanggan adalah
fokus pada ketahanan pelanggan. Unsur lain adalah penghargaan terhadap nilai
seorang pelanggan. Tujuan dari hubungan yang sejati dengan pelanggan adalah
kepuasan jangka panjang yang melampaui transaksi individual (Barnes, 2001:23).
Contoh-contoh pemasaran langsung dalam arti luas yang dilakukan oleh
perusahaan,
yakni perusahaan mengirimkan kartu ulang tahun kepada
pelanggannya, memberikan parcel pada event Idul Fitri atau Natal/Tahun Baru ;
perusahaan penerbangan memberikan Frequent Fliers Miles (bonus untuk
pemakaian jasa penerbangan berdasarkan jumlah mil yang ditempuh) ;
menawarkan pelanggan untuk menjadi anggota kelompok pelanggan dengan
memberikan member card.
Adapun manfaat pemasaran langsung bagi konsumen akhir, antara lain
memberikan kesenangan, memberikan kenyamanan, memberikan kemudahan,
dapat berhemat waktu, dapat melakukan belanja komparatif dengan membaca
katalog dan belanja layanan online.
Sedangkan manfaat pemasaran langsung bagi konsumen bisnis, baik
produsen, pedagang besar, maupun pengecer, antara lain penjual dapat membeli
62
sebuah daftar alamat yang memuat nama dari hampir semua kelompok konsumen
akhir (kelompok orang kidal, kelompok orang-orang kegemukan, kelompok
jutawan, dsb).
Dengan pemasaran langsung, dapat diatur agar penjual dapat menjangkau
calon konsumen yang tepat sasaran, material pemasaran langsung memiliki
tingkat bacaan yang lebih tinggi, karena dikirim pada calon pembeli yang lebih
berminat.
Saluran / Media atau Alat Utama Pemasaran Langsung
Menurut Kotler (2003), saluran/media atau alat utama pemasaran langsung
yaitu :
1. Face-to-face Selling (Penjualan Tatap Muka) – Personal Selling.
Bentuk pertama dan tertua dari direct marketing adalah face-to-face
selling atau personal selling - dimana penjual bertemu langsung dengan
calon pelanggan.
2. Direct Mail Marketing (Pemasaran melalui Media Surat Langsung).
Direct mail adalah pengiriman penawaran, pemberitahuan, pengingat,
atau hal-hal lain kepada seseorang di alamat tertentu. Dengan
menggunakan daftar alamat yang sangat selektif, pemasaran langsung
mengirimkan jutaan paket pos setiap tahun – surat, selebaran, brosur.
Media direct mail marketing, yaitu : faksimili, email, voice mail.
3. Catalog Marketing (Pemasaran melalui Media Katalog). Catalog
marketing terjadi jika perusahaan mengirimkan satu atau lebih katalog
produk pada penerima terpilih yang kemungkinan besar akan memesan
produk tersebut.
4. Telemarketing (Pemasaran melalui Telepon). Telemarketing telah
menjadi peralatan utama direct marketing. Beberapa sistem
telemarketing diotomatisasi penuh, seperti automatic-dialing and
recorded message players (ADRMPs) dapat memutar nomor, pesan
iklan, yang diaktifkan dengan suara, dan dapat menerima pesanan dari
pelanggan yang tertarik melalui mesin penjawab telepon.
5. Others Media for Direct Response Marketing (Media Lain dengan
Pemasaran melalui Tanggapan Langsung). Media pemasaran langsung
lainnya yang digunakan untuk mendapatkan tanggapan langsung dari
pelanggan, yaitu surat kabar, majalah, televisi.
63
6. Kios Marketing (Pemasaran Langsung melalui Kios). Kios Marketing,
pada dasarnya merupakan “mesin penerima pesanan pelanggan” yang
dinamakan Kios yang ditempatkan di toko, bandara, dan tempat-tempat
lainnya. Contoh : Forsheim Shoe Company menempatkan sebuah mesin
di beberapa tokonya, yang memungkinkan pelanggan menentukan jenis
sepatu, warna, dan ukuran yang diinginkannya. Gambar sepatu
Forsheim muncul di layar sesuai dengan kriterianya. Jika sepatu
tertentu tidak tersedia di toko tersebut, pelanggan dapat menggunakan
telepon yang ada di mesin tersebut dan memasukan nomor kartu
kreditnya, serta dimana sepatu tersebut harus dikirim.
7. Electronic Marketing (Pemasaran melalui Elektronik). Saluran/media
direct marketing terbaru adalah melalui elektronik, dimana calon
pelanggan dapat menjangkau penjual melalui komputer atau modem –
dikenal dengan marketing online (pemasaran melalui komputer dan
modem). Online marketing disebut sebagai alat komunikasi abad
sekarang. Ia pada dasarnya, merupakan saluran yang dapat dijangkau
seseorang melalui komputer dan modem. Modem menghubungkan
komputer dengan jalur telepon sehingga komputer menjangkau
beragam layanan informasi online.
2.1.3.5 Teori Interaksionisme Simbolik
Teori interaksionisme simbolik merupakan salah satu pendekatan atau
paradigma yang dapat digunakan apabila kita ingin meneliti mengenai fenomenafenomena sosial. Teori ini dikembangkan oleh kelompok The Chicago School
dengan tokoh penggagas George H Mead dan tokoh pengikutnya yaitu Herbert
Blummer. George H Mead adalah seorang psikolog sosial Amerika di akhir abad
ke 19. Pemikiran George H Mead banyak dipengaruhi oleh pandangan Adam
Smith tentang “penonton yang tidak memihak”. (Littlejohn, 1996 : 208)
Namun, mead justru memandang, “penonton yang tidak memihak”
tersebut, sebagai “orang lain yang digeneralisasikan” (generalized other). Istilah
ini dipakainya untuk bagian “kedirian” (self) yang merupakan sebuah internalisasi
sikap-sikap orang lain terhadap diri kita sendiri dan peran-peran kita. Kata
“Interaksionisme Simbolik” sendiri diciptakan oleh seorang murid Mead yaitu
64
Herbert Blummer, pada tahun 1937. Kata interaksionisme simbolik itu
dimaksudkan untuk mencakup pemahaman timbal-balik dan penafsiran isyaratisyarat dan percakapan merupakan kunci bagi masyarakat manusia. Selain Mead
dan Blummer, tokoh lain yang juga memberikan kontribusi intelektualnya adalah
Charles Horton Cooley.
Mead memberikan kontribusi besar dalam mengemukakan pandangannya
mengenai pemikiran (mind), kedirian (self), dan masyarakat (society). (Fisher,
1986, 221). Jadi interaksionisme simbolik bisa dikatakan interaksi yang terjadi
antar individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan, juga
berkaitan dengan gerak tubuh (suara/vokal, gerakan fisik, dan ekspresi tubuh),
yang semuanya itu mempunyai maksud dan disebut dengan simbol.
2.1.3.6 Konsep Diri
Konsep diri dalam interaksionesme simbolik merujuk pada pandangan
George Herbert Mead, bahwa kedirian (self) dapat bersifat sebagai obyek maupun
subyek; ia merupakan obyek bagi dirinya sendiri. Seseorang yang sudah dewasa
telah memiliki “kediriannya sendiri” sebagai teman kemanusiannya dan berbicara
dengan dirinya sendiri sebagaimana ia memperlakukan terhadap orang lain. Untuk
memperjelas konsep mengenai “kedirian” atau self, Mead kemudian juga
mengemukakan konsep mengenai “ I ” dan “ Me “. (Hamlin : 2000). “ I “ adalah
diri sebagai subyek, bagian diri yang aktif, spontan, dan kreatif. Sebaliknya, “ Me
“ merupakan diri sebagai obyek. “ Me “ terdiri atas sikap yang telah kita
internalisasi dari interaksi kita dengan orang lain.
65
Konsep diri juga dianggap sebagai pemegang peranan kunci dalam
pengintegrasian kepribadian individu, didalam memotivasi tingkah laku dalam
berinteraksi di lingkungan sosialnya. Pengharapan mengenai diri akan
menentukan bagaimana individu akan bertindak dalam hidup. Apabila seorang
individu berpikir bahwa dirinya bisa, maka, maka individu tersebut cenderung
sukses, dan bila mereka berpikir bahwa dirinya akan gagal, maka sebenarnya
dirinya telah mnyiapkan diri untuk gagal. Jadi konsep diri merupakan bagian diri
yang mempengaruhi setiap aspek pengalaman baik pikiran, perasaan, persepsi,
dan tingkah laku individu. (Calhoun dan Acocella, 1990 : 76)
Calhoun dan Acocella menyatakan bahwa konsep diri sebagai gambaran
mental individu yang terdiri dari pengetahuan tentang diri sendiri, pengharapan
bagi diri sendiri, dan penilaian terhadap diri sendiri. (Calhoun dan Acocella, 1990
: 80). Pendapat lain menyatakan bahwa konsep diri merupakan gagasan tentang
diri sendiri yang berisikan mengenai bagaimana individu melihat dirinya sebagai
pribadi, bagaimana individu merasa tentang dirinya sendiri, dan bagaimana
individu menginginkan diri sendiri menjadi manusia yang diharapkan. (Centi,
1993 : 49). Penglihatan atas diri sendiri disebut gambaran diri (self image).
Perasaan individu atas dirinya sendiri merupakan penilaian individu atas dirinya
sendiri (self evaluation). Harapan individu atas dirinya sendiri menjadi cita-cita
diri (self idea).
66
2.2 Kerangka Pemikiran
Jika dicermati
secara
mendalam, ternyata
proses penjualan produk
AXA Mandiri yang dilaksanakan oleh Divisi Telemarketing AXA Mandiri
merupakan suatu fenomena pemasaran produk yang dipengaruhi berbagai faktor.
Di antara berbagai faktor yang dimaksud, tentu ada faktor yang
pengaruhnya kuat terhadap penjualan produk AXA Mandiri. Di antara beberapa
faktor yang secara kondisional berpengaruh kuat, diasumsikan bahwa kompetensi
kounikasi Telesales Officers berpengaruh positif terhadap penjualan produk AXA
Mandiri pada Divisi Telemarketing AXA Mandiri. Asumsi yang dikemukakan
didasarkan pada rekonseptualisasi berikut :
Setiap pekerjaan atau profesi membutuhkan kompetensi tertentu.
Kompetensi yang relevan adalah kompetensi yang membuat seseorang menjadi
ahli dan pandai menyelesaikan proses pekerjaan dan atau melaksanakan tugas
profesinya secara jelas, mudah dan lancar serta memberi nilai tambah atas
pekerjaan atau profesinya itu. Dengan demikian kompetensi memberi gambaran
karakterisitik sumber daya internal seseorang dalam bekerja atau melaksanakan
tugasnya.
Dalam perspektif ini, Cohen (1999:173) mengatakan bahwa “competencies
are the areas of knowledge, ability and skill that increase and individual’s
efffectiveness in dealing with the world”.
Pendapat Cohen itu menunjukkan tiga hal penting dalam kompetensi yaitu
pengetahuan, kemampuan, dan ketrampilan. Pengetahuan merupakan wawasan
seseorang dalam menyerap, memahami, dan menilai pekerjaan atau tugas yang
67
menjadi tanggungjawabnya; kemampuan adalah kepandaian seseorang dalam
melakukan pekerjaan dan atau melaksanakan tugasnya sesuai dengan ruang
lingkungan peran dan tanggungjawabnya; dan ketrampilan adalah kemahiran
seseorang dalam memperjelas, mempermudah, dan memperlancar proses
pekerjaan atau pelaksanaan tugasnya sesuai dengan ruang lingkup peran dan
tanggungjawabnya.
Dalam konteks ini, secara stimulan kompetensi dapat mempengaruhi
kesuksesan penjualan produk yang dilaksanakan oleh Telesales Officers. Dengan
landasan teori kompetensi dari Spencer and Spencer (1993:9) yang menunjukkan
lima karakteristik kompetensi yaitu Motives, Traits, Self-concept, Knowledge, dan
Skill, maka kompetensi Telesales Officers dipandang sebagai suatu karaktsristik
kepribadian dan kemampuan dalam melaksanakan aktivitas telemarketing yang
terungkap menurut faktor-faktor : motives, traits, self-concept, knowledge, dan
skills. Faktor-faktor kompetensi ini secara parsial atau secara bersama-sama dapat
mempengaruhi penjualan produk yang dilakukan oleh suatu perusahaan.
Basu Swastha (2004 : 404) bahwa tujuan umum penjualan dalam
perusahaan yaitu: 1) Mencapai volume penjualan; 2) Mendapatkan laba tertentu;
dan 3) Menunjang pertumbuhan perusahaan.
Berlandaskan teori penjualan ini dibangun konseptualisasi variabel
penjualan bahwa Penjualan Produk AXA Mandiri adalah proses promosi dan
transaksi
di antara Telesales Officers
dengan calon nasabah yang oleh
manajemen diarahkan untuk mencapai volume penjualan,
mendapatkan laba
68
tertentu, dan menunjang pertumbuhan perusahaan melalui penjualan produk AXA
Mandiri.
Dari konseptualisasi variabel ini diperoleh 3 dimensi analisis : Dimensi
mencapai volume penjualan, Dimensi mendapatkan laba tertentu, dan Dimensi
menunjang pertumbuhan perusahaan. Ketiga dimensi
analisis tersebut
dikembangkan menurut karakteristik obyek penelitian menjadi 15 indikator
penelitian.
Dengan konsep pandangan yang mencakup Kompetensi Komunikasi
Telesales Officers yang diposisikan sebagai variabel antecedent (yang
mendahului, sebab) dan Penjualan Produk AXA Mandiri yang diposisikan sebagai
variabel konsekuensi (fenomena, akibat) dibangun kerangka pemikiran dengan
gambar berikut :
Gambar 2.6
Kerangka Pemikiran
(Kuantitatif)
Motives
(X1)
Kompetensi
Komunikasi
Telesales Officers
(X)
(X)
Traits
(X2)
SelfConcept
(X3)
Knowledge
(X4)
Skills
(X5)
Penjualan Produk
AXA Mandiri (Y) :
- Mencapai
volume
penjualan
- Mendapatkan
laba tertentu
- Menunjang
pertumbuhan
perusahaan
69
Kerangka pemikiran yang digambarkan dimaksud untuk menunjukkan
konsep gagasan tentang analisis hubungan kausalitas di antara variabel antecedent
variabel konsekuensi. Analisis hubungan kausalitas tersebut dilakukan dalam
rangka pengujian hipotesis menurut analisis faktor-faktor kompetensi.
2.3 Hipotesis Teori
Dengan kerangka pemikiran yang dikemukakan, penulis mengajukan
Hipotesis (jawaban sementara) dengan pernyataan sebagai berikut:
H1 : Semakin tinggi kompetensi motives Telesales Officers, maka semakin tinggi
penjualan produk AXA Mandiri.
H2 : Semakin tinggi kompetensi traits Telesales Officers, maka semakin tinggi
penjualan produk AXA Mandiri.
H3 : Semakin tinggi kompetensi self-concept Telesales Officers, maka semakin
tinggi penjualan produk AXA Mandiri.
H4 : Semakin tinggi kompetensi knowledge Telesales Officers, maka semakin
tinggi penjualan produk AXA Mandiri.
H5 : Semakin tinggi kompetensi skills Telesales Officers, maka semakin tinggi
penjualan produk AXA Mandiri.
H6 : Semakin tinggi kompetensi motives, traits, self-concept, knowledge, dan
skills Telesales Officers secara bersama-sama, maka semakin tinggi
penjualan produk AXA Mandiri.
70
Gambar 2.7
(Kualitatif)
Kompetensi Komunikasi TSO
Interaksionisme Simbolik
Self /
Konsep Diri
Mind
Society
Simbol
Download