tinjauan pustaka

advertisement
9
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)
Jarak pagar (Jatropha curcas L.), merupakan tumbuhan perdu dan banyak
tumbuh di daerah tropis serta banyak ditanam sebagai tanaman pagar pekarangan.
Tanaman ini sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, karena
penyebarannya yang luas. Hal ini terbukti dari aneka ragam nama daerahnya.
Menurut Kusuma (2009), tanaman jarak pagar memiliki beberapa nama daerah
antara lain jarak budeg, jarak gundul, arak cina (Jawa); baklawah, nawaih (NAD);
dulang (Batak); jarak kosta (Sunda); jarak kare (Timor); peleng kaliki (Bugis);
kalekhe paghar (Madura); jarak pager (Bali); lulu mau, paku kase, jarak pageh
(Nusa Tenggara); dan jarak kosta, jarak wolanda, bindalo, bintalo, tondo utomene
(Sulawesi). Keragaan salah satu komposit jarak pagar yang tumbuh di Indonesia
IP3-P tertera pada Gambar 2.
Gambar 2. Keragaan tanaman dan buah jarak pagar (Jatropha curcas L.) komposit
IP3-P.
10
Jarak pagar termasuk famili Euphorbiaceae, satu famili dengan karet dan
ubi kayu. Klasifikasi tanaman jarak pagar adalah sebagai berikut (Hambali et al.
2006).
Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio
: Angiospermae
Klasis
: Dicotyledoneae
Ordo
: Euphorbiales
Familia
: Euphorbiaceae
Genus
: Jatropha
Spesies
: Jatropha curcas L.
Jarak pagar tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian sekitar 500 mdpl.
Curah hujan yang sesuai untuk tanaman jarak pagar adalah 625 mm/tahun, namun
tanaman ini dapat tumbuh pada daerah dengan curah hujan antara 300-2.380
mm/tahun. Kisaran suhu yang sesuai untuk tanaman jarak adalah 20-26°C. Pada
daerah dengan suhu terlalu tinggi (di atas 35°C) atau terlalu rendah (di bawah
15°C) pertumbuhannya terhambat, kadar minyak dalam biji berkurang dan
berubah komposisinya (Hambali et al. 2006).
Tanaman jarak pagar termasuk perdu dengan tinggi 1-7 m, bercabang
tidak teratur. Batangnya berkayu, silindris dan bila terluka mengeluarkan getah.
Daunnya biasanya berlekuk 3-5, terkadang ada yang sampai 7. Lekukan dangkal
atau agak dalam. Panjang helaiannya 10-19 cm, urat daun menjari, warna helaian
daun hijau muda sampai hijau masak polos. Kedudukan daun berselang-seling,
sekilas seperti berhadapan melingkari batang (spiral). Bunganya muncul di bagian
ujung batang, pada ketiak daun. Panjang tangkai bunga 3-12 cm. Bunga jantan
dan betina terpisah, terdapat di ujung-ujung tangkai bunga. Bunga betina sedikit
lebih besar dibandingkan dengan jantan. Bunganya berwarna kuning kehijauan
(Prana 2006).
Tumbuhan ini dikenal tahan kekeringan karena mempunyai sistem
perakaran yang kuat serta dapat hidup pada berbagai jenis dan tekstur tanah. Oleh
sebab itu, tanaman ini sangat cocok ditanam di lahan kering dan berfungsi sebagai
tanaman penahan erosi. Di kepulauan Comoro, Papua New Guinea dan Uganda
tanaman jarak digunakan sebagai tanaman pendukung pada tanaman vanila,
11
sedangkan di Kuba digunakan sebagai tanaman pelindung untuk tanaman kopi
(Khatri dan Gandhi 2011). Saat ini tanaman jarak banyak dikembangkan di lahanlahan kritis dan tidur yang belum dimanfaatkan. Hal lain yang membuat tanaman
ini berpotensi untuk dikembangkan karena sebagai penghasil minyak nabati yang
bukan merupakan bahan baku untuk kebutuhan pangan, sehingga tidak terjadi
persaingan kebutuhan bahan baku pangan dengan bahan baku energi (Hambali et
al. 2006). Tanaman ini juga dapat dimanfaatkan sebagai minyak pelumas, bahan
baku pembuatan sabun, bahan baku dalam industri insektisida, fungisida dan
molluskasida, untuk obat anti tumor, dan untuk ekorestorasi di semua jenis tanah
marginal (Heller 1996; Prabakaran dan Sujatha, 1999; Lin et al. 2003).
Saat ini biji jarak mendapat perhatian sebagai sumber bahan bakar hayati
untuk mesin diesel karena kandungan minyaknya. Biji jarak pagar mengandung
20-40% minyak nabati, namun bagian biji (tanpa cangkang) dapat mengandung
45-60% minyak kasar (Heller 1996). Komposisi asam lemak dari 11 kultivar jarak
pagar, menunjukkan bahwa asam lemak yang dominan adalah asam oleat, asam
linoleat, asam stearat, dan asam palmitat (Heller 1996). Komposisi asam oleat dan
asam linoleat bervariasi, sementara dua asam lemak lainnya, merupakan asam
lemak jenuh relatif tetap.
Berbagai teknologi telah dihasilkan oleh para peneliti di Indonesia, mulai
dari pengumpulan aksesi plasma nutfah (telah terkumpul 591 aksesi), pelepasan
komposit (IP1-P, IP1-M, IP2-P, IP2-M, IP2-A, IP3-P, IP3-M dan IP3-A),
budidaya tanaman (teknologi pembibitan, pemupukan pengendalian hama,
penyakit dan gulma, pasca panen dan pengembangan alat pengolah biji jarak
(Syakir 2010).
Aksesi dan komposit J. curcas yang berpotensi dikembangkan di
Indonesia adalah aksesi Dompu dan komposit IP3-P. Aksesi Dompu merupakan
salah satu aksesi yang toleran kekeringan dan memiliki kandungan minyak yang
cukup tinggi yaitu 30-37% dengan bobot biji 2.0-2.23 gr, sedangkan komposit
IP3-P merupakan hasil seleksi rekuren dari populasi IP2-P dan IP2-A yang
memiliki potensi produksi 2.3-2.6 ton/ha/tahun untuk tahun pertama dan dapat
mencapai 8-9 ton/ha pada tahan ke empat. Hasil ini jauh melampaui potensi
produksi IP2 yang hanya sekitar 6.0-6.5 ton/ha pada tahun yang sama.
12
Kandungan minyak dari produksi IP3-P adalah sebesar 36% dan tanaman ini
sudah mulai berproduksi 14 minggu setelah pemindahan ke lapangan (Hasnam
2007).
B. Kultur Jaringan
Kultur jaringan adalah suatu metode perbanyakan vegetatif tanaman yang
dilakukan dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti protoplas, sel,
sekelompok sel, jaringan atau organ, kemudian menumbuhkannya dalam kondisi
aseptik, sehingga bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri dan
beregenerasi menjadi tanaman yang lengkap (Gunawan 1992). Cara ini sering
disebut in vitro, karena bagian tanaman tersebut ditumbuhkan dalam tabung
inkubasi atau cawan petri dari kaca atau material tembus pandang lainnya di
dalam laboratorium pada kondisi aseptik dan disebut juga perbanyakan mikro
sebab tanaman yang dihasilkan berupa tanaman kecil (Kyte & Kleyn 1990).
Prinsip yang mendasari teknik kultur jaringan disebut dengan “totipotensi
sel” yaitu bahwa setiap sel mempunyai kemampuan tumbuh dan berkembang
membentuk jaringan, organ dan akhirnya menjadi individu baru yang lengkap
apabila ditumbuhkan dalam media dan lingkungan yang sesuai. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam masing-masing sel tumbuhan mengandung informasi
genetik atau sarana fisiologis tertentu sehingga dapat membentuk tanaman
lengkap bila ditempatkan dalam lingkungan yang sesuai (Doyle & Griffiths
1999). Walaupun secara teoritis seluruh sel bersifat totipotensi, yang
mengekspresikan keberhasilan terbaik adalah sel yang meristematik.
Dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan dapat ditempuh
melalui dua jalur, yaitu organogenesis dan embriogenesis somatik. Organogenesis
adalah suatu proses membentuk dan menumbuhkan tunas dari jaringan
meristematik (Gunawan 1992; Pardal 2002). Menurut Watimena (2006),
regenerasi eksplan menjadi organ dan plantlet dapat diperoleh melalui jalur
organogenesis langsung dan organogenesis tidak langsung. Organogenesis
langsung terjadi tanpa melalui pembentukan kalus, sedangkan organogenesis tidak
langsung diawali dengan pembentukan kalus, lalu muncul organ pada kalus.
Embriogenesis adalah proses pembentukan embrio tanpa melalui fusi gamet,
13
tetapi berkembang dari sel somatik (Williams & Maheswara 1986). Jalur
embriogenesis somatik lebih mendapat perhatian karena bibit dapat berasal dari
satu sel somatik sehingga bibit yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan
melalui jalur organogenesis. Di samping itu, sifat perakarannya sama dengan bibit
asal biji.
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak
tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara
generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa
keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat
diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan
tempat luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu
singkat, bebas dari patogen dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit
lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional. Adapun tahapan
yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman melalui metode kultur jaringan
adalah pembuatan media, pemilihan atau isolasi bahan tanam (eksplan), sterilisasi
eksplan, inokulasi eksplan, aklimatisasi (George & Sherrington 1994; Pierik
1997). Melalui metode ini dapat dibuktikan bahwa bagian tanaman yang diisolasi
dan dipelihara secara aseptik dalam media buatan yang cocok mampu membelah
dan berdiferensiasi sehingga membentuk individu baru yang lengkap seperti
tanaman asalnya, baik melalui tahap multiplikasi, organogenesis ataupun
emriogenesis (Pierik 1997).
Keberhasilan metode kultur jaringan dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya: pemilihan eksplan sebagai bahan dasar untuk pembentukan kalus,
tunas dan akar, penggunaan media yang cocok sebagai sumber nutrisi, dan kondisi
lingkungan tempat kultur di inkubasi. Meskipun pada perinsipnya semua jenis sel
dapat ditumbuhkan, sebaiknya dipilih bagian tanaman yang masih muda dan
mudah tumbuh yaitu bagian meristematik, misalnya: daun muda, ujung akar,
ujung batang, keping biji dan sebagainya. Jaringan meristem terdiri dari sel-sel
yang selalu membelah, dindingnya tipis, belum mempunyai penebalan dari zat
pektin, plasmanya penuh dan vakuolanya kecil-kecil, sehingga jaringan ini selalu
membelah dan mudah tumbuh membentuk jaringan atau organ baru.
14
Pada saat ini, teknologi kultur jaringan tanaman telah dimanfaatkan untuk
penyediaan bibit tanaman penghasil biodisel, antara lain jarak pagar, kelapa sawit
dan Brassica napus (Zou et al. 1995). Teknik regenerasi in vitro jarak pagar
digunakan dengan memanfaatkan fleksibilitas kemampuan sel/totipotensi dan
tergantung dari kemampuan dasar sel alami maupun yang diperoleh melalui
proses induksi. Sistem perbanyakan tanaman tersebut dapat dikelompokkan
menjadi regenerasi langsung dan tidak langsung. Penelitian kultur jaringan jarak
pagar telah banyak dilakukan dengan menggunakan berbagai metode regenerasi
dan jenis eksplan (Mukherjee et al. 2011) (Tabel 1).
Tabel 1. Penelitian J. curcas dengan teknik kultur jaringan dengan berbagai
metode regenerasi dan jenis eksplan.
No.
1.
2.
3.
Jenis eksplan
Buku
Daun
Daun
4.
Daun
5.
Daun dan
hipokotil
6.
Embrio muda
7.
Epikotil
8.
9.
Kotiledon
Mata tunas
Mata tunas
aksilar
Mata tunas
aksilar dan
daun
10.
11.
12.
Pucuk tunas
13.
Tunas aksilar
14.
Tunas apikal
Metode regenerasi
Perbanyakan tunas
Regenerasi embrio somatik
Embriogenesis somatik
Pustaka
Kalimuthu et al. (2007)
Sardana et al. (2000)
Jha et al. (2007)
Deore dan Johnson
Tunas advebtif
(2008)
Soomro dan Memon.
Kalus dan kultur suspensi
(2007)
Varshney dan Johnson
Organogenesis tidak langsung
(2010)
Organogenesis langsung dan
diferensiasi tunas melalui
Qin et al. (2004)
kalus
Induksi embrio somatik
Kalimuthu et al. (2007)
Organogenesis langsung
Datta et al. (2007)
Shrivastava dan Banerjee
Regenerasi tunas langsung
(2008)
Perbanyakan tunas adventif
Organogenesis dan perakaran
tunas
Perbanyakan tunas
Induksi tunas melalui
pembentukan kalus
Sujatha et al. (2005)
Rajore dan Batra (2005)
Thepsamran et al. (2007)
Purkayastha et al. (2010)
C. Zat Pengatur Tumbuh
Perkembangan dan pertumbuhan tanaman dalam teknik kultur jaringan
tanaman tidak lepas dari peran hormon yang dihasilkan secara endogen maupun
15
zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media kultur. Menurut Pierik
(1997), senyawa-senyawa lain yang memiliki karakteristik sama dengan hormon,
tetapi diproduksi secara eksogen dikenal sebagai zat pengatur tumbuh, sedangkan
menurut Hendaryono dan Wijayani (1994), zat pengatur tumbuh adalah senyawa
organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat
dan dapat mengubah proses fisiologi tumbuhan.
Zat pengatur tumbuh tanaman berperan penting dalam mengontrol proses
biologi dalam jaringan tanaman dan dapat menimbulkan tanggapan secara
biokimia, fisiologis, dan morfologis (Gaba, 2005). Aktivitas zat pengatur tumbuh
di dalam pertumbuhan tanaman tergantung dari jenis, struktur kimia, konsentrasi,
genotipe tanaman serta fase fisiologi tanaman (Satyavathi et al. 2004).
Zat pengatur tumbuh ini dapat dibagi menjadi beberapa golongan yaitu
auksin, sitokinin, giberelin dan inhibitor. Zat pengatur tumbuh yang tergolong
auksin adalah Indol Asam Asetat (IAA), Indol Asam Butirat (IBA), Naftalen
Asam Asetat (NAA) dan 2.4-Diklorofenoksiasetat (2.4-D). Zat pengatur tumbuh
yang termasuk golongan sitokinin adalah Kinetin, Zeatin dan Bensil Aminopurin
(BAP), sedangkan golongan giberelin adalah GA1, GA2, GA3, GA4, dan
golongan inhibitor adalah fenolik dan asam absisik.
Zat pengatur tumbuh golongan auksin menurut Pierik (1997), umumnya
berperan merangsang pemanjangan sel, terutama di daerah meristem, pembelahan
sel dan pembentukan akar adventif. Auksin berpengaruh pula untuk menghambat
pembentukan tunas adventif dan tunas aksilar, namun kehadirannya dibutuhkan
dalam meningkatkan embriogenesis
somatik pada kultur suspensi
sel.
Konsentrasi auksin yang rendah meningkatkan pembentukan akar adventif,
sedangkan konsentrasi auksin yang tinggi merangsang pembentukan kalus,
mencegah morfogenesis, mempercepat dan memperbanyak jumlah embrio
somatik yang terbentuk.
Peran auksin pada embriogenesis somatik antara lain untuk inisiasi
embriogenesis somatik, induksi kalus embriogenik, proliferasi kalus embriogenik
dan induksi embrio somatik (Utami et al. 2007). Dari berbagai hasil penelitian
menunjukkan bahwa 2.4-D merupakan auksin yang efektif untuk induksi kalus
16
embriogenik. Di samping auksin, sering pula diberikan sitokinin seperti benzil
adenin (BA) atau kinetin secara bersamaan (Bhojwani dan Razdan 1996).
Golongan auksin merupakan zat pengatur tumbuh yang sering digunakan
dalam embriogenesis somatik. Raemakers et al. (1995) melaporkan keberhasilan
embriogenesis somatik dari 65 spesies tanaman dikotil, pada media tanpa zat
pengatur tumbuh mencapai 17 spesies, pada media yang mengandung auksin
mencapai 29 spesies dan 25 spesies pada media yang mengandung sitokinin.
Diantara zat pengatur tumbuh auksin yang digunakan adalah 2.4-D (49%), NAA
(27%), IAA (6%), picloram (5%) dan Dicamba (5%), sedangkan sitokinin yang
digunakan adalah BAP (57%), kinetin (37%), zeatin (3%) dan thidiazuron (3%)
(Raemaker et al. 1995).
Selain golongan auksin, zat pengatur tumbuh yang sering digunakan
adalah golongan sitokinin. Sitokinin berperan dalam meningkatkan pembelahan
sel serta mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Di dalam kultur
jaringan, sitokinin berperan dalam proliferasi dan morfogenesis pucuk. Golongan
sitokinin yang sering dipergunakan dalam kultur jaringan adalah BAP (6Benzylaminopurine). Menurut George dan Sherrington (1984), BAP merupakan
salah satu sitokinin sintetik yang aktif dan daya merangsangnya lebih lama karena
tidak mudah dirombak oleh enzim dalam tanaman. Menurut Noggle dan Fritz
(1983), BAP memiliki struktur yang mirip dengan kinetin dan juga aktif dalam
pertumbuhan dan proliferasi kalus, sehingga BAP merupakan sitokinin yang
paling aktif.
D. Embriogenesis Somatik
Embrio tumbuhan terbentuk melalui proses embriogenesis, baik sebagai
kelanjutan dari proses pembuahan (embrio zigotik) maupun melalui proses
induksi dari sel-sel somatik (embrio somatik). Pada saat perkembangan embrio,
setidaknya ada beberapa tahap yang dapat diamati secara visual, yaitu fase
globular, triangular, jantung, dan torpedo. Tahap perkembangan selanjutnya
setelah terbentuk kotiledon adalah tahap maturasi dan germinasi (George et al.
2008).
17
Embriogenesis somatik berlangsung melalui tahap yang serupa dengan
embriogenesis zigotik, dan dapat diperoleh secara langsung dari eksplan jaringan,
atau secara tidak langsung melalui kultur sel somatik atau kultur kalus. Embrio
somatik adalah struktur yang harus melalui tahap diferensiasi, sehingga proses
diferensiasi dan metabolisme yang menyertainya dapat ditingkatkan.
Mikropropagasi dalam kultur jaringan dapat dilakukan melalui jalur
organogenesis
dan
embriogenesis
somatik.
Pada
organogenesis,
proses
pembentukan pucuk dan atau akar adventif berkembang dari dalam massa kalus
yang berlangsung setelah periode pertumbuhan kalus (Hartman et al. 1990),
sedangkan embriogenesis somatik merupakan suatu proses dimana sel somatik
(baik haploid maupun diploid) berkembang membentuk tumbuhan baru melalui
tahap perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet (Williams &
Maheswara 1986), sedangkan menurut Zulkarnain (2009), embriogenesis somatik
adalah proses perkembangan embrio lengkap dari sel-sel vegetatif atau sel-sel
somatik yang diperoleh dari berbagai sumber eksplan yang inisiasi dan
diferensiasinya tidak melibatkan proses seksual.
Embrio somatik dapat dicirikan dari strukturnya yang bipolar, yaitu
mempunyai calon meristem akar dan meristem tunas. Mikropropagasi melalui
embriogenesis somatik banyak mendapat perhatian karena jumlah propagula yang
dihasilkan tidak terbatas dan dapat diperoleh dalam waktu lebih singkat.
Regenerasi tumbuhan melalui embriogenesis somatik lebih menguntungkan dari
organogenesis, karena tumbuhan yang diregenerasikan dari embrio somatik dapat
berkembang dari sel tunggal, sehingga mengurangi variasi somaklonal (Endress
1997). Embrio somatik memiliki kemampuan pertumbuhan dan perkembangan
seperti embrio zigotik, sehingga sangat efisien untuk digunakan dalam studi
perkembangan, manipulasi genetik dan benih sintetis (Kumari et al. 2000). Selain
itu, embrio somatik juga diketahui mengakumulasi produk penyimpanan, seperti
protein dan lipid yang dapat digunakan dalam pengembangan produksi metabolit
tanaman secara in vitro (Preil dan Beck 1991).
Di samping keuntungan, terdapat beberapa kendala dalam penerapan
embriogenesis, yaitu peluang terjadi mutasi lebih tinggi, metode lebih sulit, ada
penurunan daya morfogenesis dari kalus embriogenik karena subkultur berulang
18
serta memerlukan penanganan yang lebih intensif karena kultur lebih rapuh.
Namun demikian, variasi yang dihasilkan sering dianggap menguntungkan karena
dapat digunakan sebagai sumber keragaman genetik (gene pool) (Purnamaningsih,
2002).
Embrio somatik biasanya dapat diinisiasi dari jaringan juvenil atau
jaringan meristematik. Eksplan yang digunakan dapat berupa daun muda, embrio
muda, ujung tunas, kotiledon, dan hipokotil. Tetapi respon eksplan sangat
tergantung dari genotip tanaman. Jadi untuk spesies tanaman yang berbeda, hanya
jaringan tertentu yang dapat digunakan untuk inisiasi embrio somatik (Gray,
2005).
Induksi embriogenesis somatik dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung. Embrio somatik dapat langsung terbentuk dari eksplan daun, batang,
protoplas maupun dari mikrospora. Pada tahap ini, sel-sel pada eksplan tersebut
telah mengalami determinasi untuk membentuk embrio dan hanya memerlukan
kondisi yang sesuai untuk ekspresinya. Embriogenesis langsung secara in vitro
umumnya terjadi pada sel-sel eksplan yang masih muda (jaringan meristematik),
sedangkan embriogenesis tak langsung terjadi pada sel-sel yang telah mengalami
diferensiasi, pembelahan sel, dan transformasi menjadi sel embriogenik. Sel-sel
embriogenik yang akan menjadi embrio adalah sel-sel yang berukuran kecil,
dengan isi sitoplasma yang penuh atau tanpa vakuola. Pada pembentukan embrio
somatik secara tidak langsung, pembentukan embrio terjadi melalui fase kalus
terlebih dahulu atau melalui kultur suspensi. Proses embriogenesis somatik secara
tidak langsung memerlukan media yang lebih kompleks, antara lain diperlukan
penambahan zat pengatur tumbuh untuk menginduksi dediferensiasi dan reinisiasi
pembelahan sel dari sel-sel yang telah terdiferensiasi sebelum sel-sel dapat
mengekspresikan kompetensi embriogeniknya (Jimenez 2001).
Tahapan dalam proses embriogenesis somatik adalah induksi kalus
embriogenik, pendewasaan, perkecambahan, dan hardening (tahap aklimatisasi)
(Purnamaningsih 2002). Pada tahap induksi kalus embriogenik, kultur umumnya
ditumbuhkan pada media yang mengandung auksin yang mempunyai daya
aktivitas kuat atau dengan konsentrasi tinggi dibandingkan keperluan auksin pada
pertumbuhan sel normal (Kiyosuke et al. 1983). Dari berbagai hasil penelitian
19
menunjukkan bahwa 2.4-D merupakan auksin yang efektif untuk induksi kalus
embriogenik. Zat pengatur tumbuh tersebut merupakan auksin sintetis yang cukup
kuat dan tahan terhadap degradasi karena reaksi enzimatik dan fotooksidasi. Di
samping auksin, sering pula diberikan sitokinin seperti benzil adedin (BA) atau
kinetin secara bersamaan (Bhojwani dan Razdan, 1989). Auksin yang tinggi
diperlukan untuk tahap awal induksi kalus embriogenik, sedangkan untuk tahap
proliferasi dibutuhkan auksin yang rendah atau tanpa auksin.
Tahap pendewasaan adalah tahap perkembangan dari struktur globular
membentuk kotiledon dan primordia akar. Beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa tahap pendewasaan adalah tahap yang paling sulit. Pada tahap ini sering
digunakan media tanpa auksin (Pierik 1987), media dengan konsentrasi auksin
rendah (Purnamaningsih 2002), media dengan konsentrasi auksin dan sitokinin
yang sangat rendah dapat menginduksi pembentukan embrio bipolar yang
selanjutnya berkembang membentuk planlet (Ammirato 1984).
Tahap perkecambahan adalah fase di mana embrio somatik membentuk
tunas dan akar. Pada media perkecambahan, konsentrasi zat pengatur tumbuh
sitokinin yang digunakan sangat rendah atau tanpa zat pengatur tumbuh. Menurut
Mariska et al. (2001), pada tahap perkecambahan sering ditambahkan GA3.
Tahap hardening, yaitu tahap aklimatisasi bibit embrio somatik dari
kondisi in vitro ke lingkungan baru di rumah kaca. Aklimatisasi dilakukan setelah
embrio berkecambah dan diperoleh plantlet yang siap untuk dipindahkan ke
lapangan. Aklimatisasi plantlet hasil dilakukan dengan menurunkan kelembaban
dan peningkatan intensitas cahaya.
Menurut Namasivayam (2007) pembentukan embrio somatik dapat
dipengaruhi oleh genotipe, jaringan dan tahap perkembangan eksplan, dan kondisi
kultur seperti keseimbangan zat pengatur tumbuh endogen dan eksogen, kondisi
osmotik dan perubahan pH. Penggunaan eksplan yang bersifat merismatik
umumnya memberikan keberhasilan pembentukan embrio somatik yang lebih
tinggi. Eksplan yang digunakan dapat berupa aksis embrio zigotik muda dan
dewasa, kotiledon, mata tunas, epikotil maupun hipokotil. Sumber nitrogen dan
gula yang terdapat dalam komposisi media berperan penting dalam induksi dan
perkembangan embriogenesis somatik. Nitrogen merupakan faktor utama dalam
20
morfogenesis secara in vitro yang berfungsi untuk inisiasi dan perkembangan
embrio, sedangkan gula berfungsi sebagai sumber karbon dan mempertahankan
osmotik media. Menurut Chen dan Chang (2001) zat pengatur tumbuh yang
paling umum digunakan untuk menginduksi embriogenesis somatik adalah auksin
dan sitokinin.
Download