9 TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Jarak pagar (Jatropha curcas L.), merupakan tumbuhan perdu dan banyak tumbuh di daerah tropis serta banyak ditanam sebagai tanaman pagar pekarangan. Tanaman ini sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, karena penyebarannya yang luas. Hal ini terbukti dari aneka ragam nama daerahnya. Menurut Kusuma (2009), tanaman jarak pagar memiliki beberapa nama daerah antara lain jarak budeg, jarak gundul, arak cina (Jawa); baklawah, nawaih (NAD); dulang (Batak); jarak kosta (Sunda); jarak kare (Timor); peleng kaliki (Bugis); kalekhe paghar (Madura); jarak pager (Bali); lulu mau, paku kase, jarak pageh (Nusa Tenggara); dan jarak kosta, jarak wolanda, bindalo, bintalo, tondo utomene (Sulawesi). Keragaan salah satu komposit jarak pagar yang tumbuh di Indonesia IP3-P tertera pada Gambar 2. Gambar 2. Keragaan tanaman dan buah jarak pagar (Jatropha curcas L.) komposit IP3-P. 10 Jarak pagar termasuk famili Euphorbiaceae, satu famili dengan karet dan ubi kayu. Klasifikasi tanaman jarak pagar adalah sebagai berikut (Hambali et al. 2006). Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Klasis : Dicotyledoneae Ordo : Euphorbiales Familia : Euphorbiaceae Genus : Jatropha Spesies : Jatropha curcas L. Jarak pagar tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian sekitar 500 mdpl. Curah hujan yang sesuai untuk tanaman jarak pagar adalah 625 mm/tahun, namun tanaman ini dapat tumbuh pada daerah dengan curah hujan antara 300-2.380 mm/tahun. Kisaran suhu yang sesuai untuk tanaman jarak adalah 20-26°C. Pada daerah dengan suhu terlalu tinggi (di atas 35°C) atau terlalu rendah (di bawah 15°C) pertumbuhannya terhambat, kadar minyak dalam biji berkurang dan berubah komposisinya (Hambali et al. 2006). Tanaman jarak pagar termasuk perdu dengan tinggi 1-7 m, bercabang tidak teratur. Batangnya berkayu, silindris dan bila terluka mengeluarkan getah. Daunnya biasanya berlekuk 3-5, terkadang ada yang sampai 7. Lekukan dangkal atau agak dalam. Panjang helaiannya 10-19 cm, urat daun menjari, warna helaian daun hijau muda sampai hijau masak polos. Kedudukan daun berselang-seling, sekilas seperti berhadapan melingkari batang (spiral). Bunganya muncul di bagian ujung batang, pada ketiak daun. Panjang tangkai bunga 3-12 cm. Bunga jantan dan betina terpisah, terdapat di ujung-ujung tangkai bunga. Bunga betina sedikit lebih besar dibandingkan dengan jantan. Bunganya berwarna kuning kehijauan (Prana 2006). Tumbuhan ini dikenal tahan kekeringan karena mempunyai sistem perakaran yang kuat serta dapat hidup pada berbagai jenis dan tekstur tanah. Oleh sebab itu, tanaman ini sangat cocok ditanam di lahan kering dan berfungsi sebagai tanaman penahan erosi. Di kepulauan Comoro, Papua New Guinea dan Uganda tanaman jarak digunakan sebagai tanaman pendukung pada tanaman vanila, 11 sedangkan di Kuba digunakan sebagai tanaman pelindung untuk tanaman kopi (Khatri dan Gandhi 2011). Saat ini tanaman jarak banyak dikembangkan di lahanlahan kritis dan tidur yang belum dimanfaatkan. Hal lain yang membuat tanaman ini berpotensi untuk dikembangkan karena sebagai penghasil minyak nabati yang bukan merupakan bahan baku untuk kebutuhan pangan, sehingga tidak terjadi persaingan kebutuhan bahan baku pangan dengan bahan baku energi (Hambali et al. 2006). Tanaman ini juga dapat dimanfaatkan sebagai minyak pelumas, bahan baku pembuatan sabun, bahan baku dalam industri insektisida, fungisida dan molluskasida, untuk obat anti tumor, dan untuk ekorestorasi di semua jenis tanah marginal (Heller 1996; Prabakaran dan Sujatha, 1999; Lin et al. 2003). Saat ini biji jarak mendapat perhatian sebagai sumber bahan bakar hayati untuk mesin diesel karena kandungan minyaknya. Biji jarak pagar mengandung 20-40% minyak nabati, namun bagian biji (tanpa cangkang) dapat mengandung 45-60% minyak kasar (Heller 1996). Komposisi asam lemak dari 11 kultivar jarak pagar, menunjukkan bahwa asam lemak yang dominan adalah asam oleat, asam linoleat, asam stearat, dan asam palmitat (Heller 1996). Komposisi asam oleat dan asam linoleat bervariasi, sementara dua asam lemak lainnya, merupakan asam lemak jenuh relatif tetap. Berbagai teknologi telah dihasilkan oleh para peneliti di Indonesia, mulai dari pengumpulan aksesi plasma nutfah (telah terkumpul 591 aksesi), pelepasan komposit (IP1-P, IP1-M, IP2-P, IP2-M, IP2-A, IP3-P, IP3-M dan IP3-A), budidaya tanaman (teknologi pembibitan, pemupukan pengendalian hama, penyakit dan gulma, pasca panen dan pengembangan alat pengolah biji jarak (Syakir 2010). Aksesi dan komposit J. curcas yang berpotensi dikembangkan di Indonesia adalah aksesi Dompu dan komposit IP3-P. Aksesi Dompu merupakan salah satu aksesi yang toleran kekeringan dan memiliki kandungan minyak yang cukup tinggi yaitu 30-37% dengan bobot biji 2.0-2.23 gr, sedangkan komposit IP3-P merupakan hasil seleksi rekuren dari populasi IP2-P dan IP2-A yang memiliki potensi produksi 2.3-2.6 ton/ha/tahun untuk tahun pertama dan dapat mencapai 8-9 ton/ha pada tahan ke empat. Hasil ini jauh melampaui potensi produksi IP2 yang hanya sekitar 6.0-6.5 ton/ha pada tahun yang sama. 12 Kandungan minyak dari produksi IP3-P adalah sebesar 36% dan tanaman ini sudah mulai berproduksi 14 minggu setelah pemindahan ke lapangan (Hasnam 2007). B. Kultur Jaringan Kultur jaringan adalah suatu metode perbanyakan vegetatif tanaman yang dilakukan dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti protoplas, sel, sekelompok sel, jaringan atau organ, kemudian menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman yang lengkap (Gunawan 1992). Cara ini sering disebut in vitro, karena bagian tanaman tersebut ditumbuhkan dalam tabung inkubasi atau cawan petri dari kaca atau material tembus pandang lainnya di dalam laboratorium pada kondisi aseptik dan disebut juga perbanyakan mikro sebab tanaman yang dihasilkan berupa tanaman kecil (Kyte & Kleyn 1990). Prinsip yang mendasari teknik kultur jaringan disebut dengan “totipotensi sel” yaitu bahwa setiap sel mempunyai kemampuan tumbuh dan berkembang membentuk jaringan, organ dan akhirnya menjadi individu baru yang lengkap apabila ditumbuhkan dalam media dan lingkungan yang sesuai. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masing-masing sel tumbuhan mengandung informasi genetik atau sarana fisiologis tertentu sehingga dapat membentuk tanaman lengkap bila ditempatkan dalam lingkungan yang sesuai (Doyle & Griffiths 1999). Walaupun secara teoritis seluruh sel bersifat totipotensi, yang mengekspresikan keberhasilan terbaik adalah sel yang meristematik. Dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu organogenesis dan embriogenesis somatik. Organogenesis adalah suatu proses membentuk dan menumbuhkan tunas dari jaringan meristematik (Gunawan 1992; Pardal 2002). Menurut Watimena (2006), regenerasi eksplan menjadi organ dan plantlet dapat diperoleh melalui jalur organogenesis langsung dan organogenesis tidak langsung. Organogenesis langsung terjadi tanpa melalui pembentukan kalus, sedangkan organogenesis tidak langsung diawali dengan pembentukan kalus, lalu muncul organ pada kalus. Embriogenesis adalah proses pembentukan embrio tanpa melalui fusi gamet, 13 tetapi berkembang dari sel somatik (Williams & Maheswara 1986). Jalur embriogenesis somatik lebih mendapat perhatian karena bibit dapat berasal dari satu sel somatik sehingga bibit yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan melalui jalur organogenesis. Di samping itu, sifat perakarannya sama dengan bibit asal biji. Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu singkat, bebas dari patogen dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional. Adapun tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman melalui metode kultur jaringan adalah pembuatan media, pemilihan atau isolasi bahan tanam (eksplan), sterilisasi eksplan, inokulasi eksplan, aklimatisasi (George & Sherrington 1994; Pierik 1997). Melalui metode ini dapat dibuktikan bahwa bagian tanaman yang diisolasi dan dipelihara secara aseptik dalam media buatan yang cocok mampu membelah dan berdiferensiasi sehingga membentuk individu baru yang lengkap seperti tanaman asalnya, baik melalui tahap multiplikasi, organogenesis ataupun emriogenesis (Pierik 1997). Keberhasilan metode kultur jaringan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: pemilihan eksplan sebagai bahan dasar untuk pembentukan kalus, tunas dan akar, penggunaan media yang cocok sebagai sumber nutrisi, dan kondisi lingkungan tempat kultur di inkubasi. Meskipun pada perinsipnya semua jenis sel dapat ditumbuhkan, sebaiknya dipilih bagian tanaman yang masih muda dan mudah tumbuh yaitu bagian meristematik, misalnya: daun muda, ujung akar, ujung batang, keping biji dan sebagainya. Jaringan meristem terdiri dari sel-sel yang selalu membelah, dindingnya tipis, belum mempunyai penebalan dari zat pektin, plasmanya penuh dan vakuolanya kecil-kecil, sehingga jaringan ini selalu membelah dan mudah tumbuh membentuk jaringan atau organ baru. 14 Pada saat ini, teknologi kultur jaringan tanaman telah dimanfaatkan untuk penyediaan bibit tanaman penghasil biodisel, antara lain jarak pagar, kelapa sawit dan Brassica napus (Zou et al. 1995). Teknik regenerasi in vitro jarak pagar digunakan dengan memanfaatkan fleksibilitas kemampuan sel/totipotensi dan tergantung dari kemampuan dasar sel alami maupun yang diperoleh melalui proses induksi. Sistem perbanyakan tanaman tersebut dapat dikelompokkan menjadi regenerasi langsung dan tidak langsung. Penelitian kultur jaringan jarak pagar telah banyak dilakukan dengan menggunakan berbagai metode regenerasi dan jenis eksplan (Mukherjee et al. 2011) (Tabel 1). Tabel 1. Penelitian J. curcas dengan teknik kultur jaringan dengan berbagai metode regenerasi dan jenis eksplan. No. 1. 2. 3. Jenis eksplan Buku Daun Daun 4. Daun 5. Daun dan hipokotil 6. Embrio muda 7. Epikotil 8. 9. Kotiledon Mata tunas Mata tunas aksilar Mata tunas aksilar dan daun 10. 11. 12. Pucuk tunas 13. Tunas aksilar 14. Tunas apikal Metode regenerasi Perbanyakan tunas Regenerasi embrio somatik Embriogenesis somatik Pustaka Kalimuthu et al. (2007) Sardana et al. (2000) Jha et al. (2007) Deore dan Johnson Tunas advebtif (2008) Soomro dan Memon. Kalus dan kultur suspensi (2007) Varshney dan Johnson Organogenesis tidak langsung (2010) Organogenesis langsung dan diferensiasi tunas melalui Qin et al. (2004) kalus Induksi embrio somatik Kalimuthu et al. (2007) Organogenesis langsung Datta et al. (2007) Shrivastava dan Banerjee Regenerasi tunas langsung (2008) Perbanyakan tunas adventif Organogenesis dan perakaran tunas Perbanyakan tunas Induksi tunas melalui pembentukan kalus Sujatha et al. (2005) Rajore dan Batra (2005) Thepsamran et al. (2007) Purkayastha et al. (2010) C. Zat Pengatur Tumbuh Perkembangan dan pertumbuhan tanaman dalam teknik kultur jaringan tanaman tidak lepas dari peran hormon yang dihasilkan secara endogen maupun 15 zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media kultur. Menurut Pierik (1997), senyawa-senyawa lain yang memiliki karakteristik sama dengan hormon, tetapi diproduksi secara eksogen dikenal sebagai zat pengatur tumbuh, sedangkan menurut Hendaryono dan Wijayani (1994), zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat dan dapat mengubah proses fisiologi tumbuhan. Zat pengatur tumbuh tanaman berperan penting dalam mengontrol proses biologi dalam jaringan tanaman dan dapat menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis, dan morfologis (Gaba, 2005). Aktivitas zat pengatur tumbuh di dalam pertumbuhan tanaman tergantung dari jenis, struktur kimia, konsentrasi, genotipe tanaman serta fase fisiologi tanaman (Satyavathi et al. 2004). Zat pengatur tumbuh ini dapat dibagi menjadi beberapa golongan yaitu auksin, sitokinin, giberelin dan inhibitor. Zat pengatur tumbuh yang tergolong auksin adalah Indol Asam Asetat (IAA), Indol Asam Butirat (IBA), Naftalen Asam Asetat (NAA) dan 2.4-Diklorofenoksiasetat (2.4-D). Zat pengatur tumbuh yang termasuk golongan sitokinin adalah Kinetin, Zeatin dan Bensil Aminopurin (BAP), sedangkan golongan giberelin adalah GA1, GA2, GA3, GA4, dan golongan inhibitor adalah fenolik dan asam absisik. Zat pengatur tumbuh golongan auksin menurut Pierik (1997), umumnya berperan merangsang pemanjangan sel, terutama di daerah meristem, pembelahan sel dan pembentukan akar adventif. Auksin berpengaruh pula untuk menghambat pembentukan tunas adventif dan tunas aksilar, namun kehadirannya dibutuhkan dalam meningkatkan embriogenesis somatik pada kultur suspensi sel. Konsentrasi auksin yang rendah meningkatkan pembentukan akar adventif, sedangkan konsentrasi auksin yang tinggi merangsang pembentukan kalus, mencegah morfogenesis, mempercepat dan memperbanyak jumlah embrio somatik yang terbentuk. Peran auksin pada embriogenesis somatik antara lain untuk inisiasi embriogenesis somatik, induksi kalus embriogenik, proliferasi kalus embriogenik dan induksi embrio somatik (Utami et al. 2007). Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa 2.4-D merupakan auksin yang efektif untuk induksi kalus 16 embriogenik. Di samping auksin, sering pula diberikan sitokinin seperti benzil adenin (BA) atau kinetin secara bersamaan (Bhojwani dan Razdan 1996). Golongan auksin merupakan zat pengatur tumbuh yang sering digunakan dalam embriogenesis somatik. Raemakers et al. (1995) melaporkan keberhasilan embriogenesis somatik dari 65 spesies tanaman dikotil, pada media tanpa zat pengatur tumbuh mencapai 17 spesies, pada media yang mengandung auksin mencapai 29 spesies dan 25 spesies pada media yang mengandung sitokinin. Diantara zat pengatur tumbuh auksin yang digunakan adalah 2.4-D (49%), NAA (27%), IAA (6%), picloram (5%) dan Dicamba (5%), sedangkan sitokinin yang digunakan adalah BAP (57%), kinetin (37%), zeatin (3%) dan thidiazuron (3%) (Raemaker et al. 1995). Selain golongan auksin, zat pengatur tumbuh yang sering digunakan adalah golongan sitokinin. Sitokinin berperan dalam meningkatkan pembelahan sel serta mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Di dalam kultur jaringan, sitokinin berperan dalam proliferasi dan morfogenesis pucuk. Golongan sitokinin yang sering dipergunakan dalam kultur jaringan adalah BAP (6Benzylaminopurine). Menurut George dan Sherrington (1984), BAP merupakan salah satu sitokinin sintetik yang aktif dan daya merangsangnya lebih lama karena tidak mudah dirombak oleh enzim dalam tanaman. Menurut Noggle dan Fritz (1983), BAP memiliki struktur yang mirip dengan kinetin dan juga aktif dalam pertumbuhan dan proliferasi kalus, sehingga BAP merupakan sitokinin yang paling aktif. D. Embriogenesis Somatik Embrio tumbuhan terbentuk melalui proses embriogenesis, baik sebagai kelanjutan dari proses pembuahan (embrio zigotik) maupun melalui proses induksi dari sel-sel somatik (embrio somatik). Pada saat perkembangan embrio, setidaknya ada beberapa tahap yang dapat diamati secara visual, yaitu fase globular, triangular, jantung, dan torpedo. Tahap perkembangan selanjutnya setelah terbentuk kotiledon adalah tahap maturasi dan germinasi (George et al. 2008). 17 Embriogenesis somatik berlangsung melalui tahap yang serupa dengan embriogenesis zigotik, dan dapat diperoleh secara langsung dari eksplan jaringan, atau secara tidak langsung melalui kultur sel somatik atau kultur kalus. Embrio somatik adalah struktur yang harus melalui tahap diferensiasi, sehingga proses diferensiasi dan metabolisme yang menyertainya dapat ditingkatkan. Mikropropagasi dalam kultur jaringan dapat dilakukan melalui jalur organogenesis dan embriogenesis somatik. Pada organogenesis, proses pembentukan pucuk dan atau akar adventif berkembang dari dalam massa kalus yang berlangsung setelah periode pertumbuhan kalus (Hartman et al. 1990), sedangkan embriogenesis somatik merupakan suatu proses dimana sel somatik (baik haploid maupun diploid) berkembang membentuk tumbuhan baru melalui tahap perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet (Williams & Maheswara 1986), sedangkan menurut Zulkarnain (2009), embriogenesis somatik adalah proses perkembangan embrio lengkap dari sel-sel vegetatif atau sel-sel somatik yang diperoleh dari berbagai sumber eksplan yang inisiasi dan diferensiasinya tidak melibatkan proses seksual. Embrio somatik dapat dicirikan dari strukturnya yang bipolar, yaitu mempunyai calon meristem akar dan meristem tunas. Mikropropagasi melalui embriogenesis somatik banyak mendapat perhatian karena jumlah propagula yang dihasilkan tidak terbatas dan dapat diperoleh dalam waktu lebih singkat. Regenerasi tumbuhan melalui embriogenesis somatik lebih menguntungkan dari organogenesis, karena tumbuhan yang diregenerasikan dari embrio somatik dapat berkembang dari sel tunggal, sehingga mengurangi variasi somaklonal (Endress 1997). Embrio somatik memiliki kemampuan pertumbuhan dan perkembangan seperti embrio zigotik, sehingga sangat efisien untuk digunakan dalam studi perkembangan, manipulasi genetik dan benih sintetis (Kumari et al. 2000). Selain itu, embrio somatik juga diketahui mengakumulasi produk penyimpanan, seperti protein dan lipid yang dapat digunakan dalam pengembangan produksi metabolit tanaman secara in vitro (Preil dan Beck 1991). Di samping keuntungan, terdapat beberapa kendala dalam penerapan embriogenesis, yaitu peluang terjadi mutasi lebih tinggi, metode lebih sulit, ada penurunan daya morfogenesis dari kalus embriogenik karena subkultur berulang 18 serta memerlukan penanganan yang lebih intensif karena kultur lebih rapuh. Namun demikian, variasi yang dihasilkan sering dianggap menguntungkan karena dapat digunakan sebagai sumber keragaman genetik (gene pool) (Purnamaningsih, 2002). Embrio somatik biasanya dapat diinisiasi dari jaringan juvenil atau jaringan meristematik. Eksplan yang digunakan dapat berupa daun muda, embrio muda, ujung tunas, kotiledon, dan hipokotil. Tetapi respon eksplan sangat tergantung dari genotip tanaman. Jadi untuk spesies tanaman yang berbeda, hanya jaringan tertentu yang dapat digunakan untuk inisiasi embrio somatik (Gray, 2005). Induksi embriogenesis somatik dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Embrio somatik dapat langsung terbentuk dari eksplan daun, batang, protoplas maupun dari mikrospora. Pada tahap ini, sel-sel pada eksplan tersebut telah mengalami determinasi untuk membentuk embrio dan hanya memerlukan kondisi yang sesuai untuk ekspresinya. Embriogenesis langsung secara in vitro umumnya terjadi pada sel-sel eksplan yang masih muda (jaringan meristematik), sedangkan embriogenesis tak langsung terjadi pada sel-sel yang telah mengalami diferensiasi, pembelahan sel, dan transformasi menjadi sel embriogenik. Sel-sel embriogenik yang akan menjadi embrio adalah sel-sel yang berukuran kecil, dengan isi sitoplasma yang penuh atau tanpa vakuola. Pada pembentukan embrio somatik secara tidak langsung, pembentukan embrio terjadi melalui fase kalus terlebih dahulu atau melalui kultur suspensi. Proses embriogenesis somatik secara tidak langsung memerlukan media yang lebih kompleks, antara lain diperlukan penambahan zat pengatur tumbuh untuk menginduksi dediferensiasi dan reinisiasi pembelahan sel dari sel-sel yang telah terdiferensiasi sebelum sel-sel dapat mengekspresikan kompetensi embriogeniknya (Jimenez 2001). Tahapan dalam proses embriogenesis somatik adalah induksi kalus embriogenik, pendewasaan, perkecambahan, dan hardening (tahap aklimatisasi) (Purnamaningsih 2002). Pada tahap induksi kalus embriogenik, kultur umumnya ditumbuhkan pada media yang mengandung auksin yang mempunyai daya aktivitas kuat atau dengan konsentrasi tinggi dibandingkan keperluan auksin pada pertumbuhan sel normal (Kiyosuke et al. 1983). Dari berbagai hasil penelitian 19 menunjukkan bahwa 2.4-D merupakan auksin yang efektif untuk induksi kalus embriogenik. Zat pengatur tumbuh tersebut merupakan auksin sintetis yang cukup kuat dan tahan terhadap degradasi karena reaksi enzimatik dan fotooksidasi. Di samping auksin, sering pula diberikan sitokinin seperti benzil adedin (BA) atau kinetin secara bersamaan (Bhojwani dan Razdan, 1989). Auksin yang tinggi diperlukan untuk tahap awal induksi kalus embriogenik, sedangkan untuk tahap proliferasi dibutuhkan auksin yang rendah atau tanpa auksin. Tahap pendewasaan adalah tahap perkembangan dari struktur globular membentuk kotiledon dan primordia akar. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tahap pendewasaan adalah tahap yang paling sulit. Pada tahap ini sering digunakan media tanpa auksin (Pierik 1987), media dengan konsentrasi auksin rendah (Purnamaningsih 2002), media dengan konsentrasi auksin dan sitokinin yang sangat rendah dapat menginduksi pembentukan embrio bipolar yang selanjutnya berkembang membentuk planlet (Ammirato 1984). Tahap perkecambahan adalah fase di mana embrio somatik membentuk tunas dan akar. Pada media perkecambahan, konsentrasi zat pengatur tumbuh sitokinin yang digunakan sangat rendah atau tanpa zat pengatur tumbuh. Menurut Mariska et al. (2001), pada tahap perkecambahan sering ditambahkan GA3. Tahap hardening, yaitu tahap aklimatisasi bibit embrio somatik dari kondisi in vitro ke lingkungan baru di rumah kaca. Aklimatisasi dilakukan setelah embrio berkecambah dan diperoleh plantlet yang siap untuk dipindahkan ke lapangan. Aklimatisasi plantlet hasil dilakukan dengan menurunkan kelembaban dan peningkatan intensitas cahaya. Menurut Namasivayam (2007) pembentukan embrio somatik dapat dipengaruhi oleh genotipe, jaringan dan tahap perkembangan eksplan, dan kondisi kultur seperti keseimbangan zat pengatur tumbuh endogen dan eksogen, kondisi osmotik dan perubahan pH. Penggunaan eksplan yang bersifat merismatik umumnya memberikan keberhasilan pembentukan embrio somatik yang lebih tinggi. Eksplan yang digunakan dapat berupa aksis embrio zigotik muda dan dewasa, kotiledon, mata tunas, epikotil maupun hipokotil. Sumber nitrogen dan gula yang terdapat dalam komposisi media berperan penting dalam induksi dan perkembangan embriogenesis somatik. Nitrogen merupakan faktor utama dalam 20 morfogenesis secara in vitro yang berfungsi untuk inisiasi dan perkembangan embrio, sedangkan gula berfungsi sebagai sumber karbon dan mempertahankan osmotik media. Menurut Chen dan Chang (2001) zat pengatur tumbuh yang paling umum digunakan untuk menginduksi embriogenesis somatik adalah auksin dan sitokinin.