LAPORAN PENELITIAN INDIVIDUAL PENGHINDARAN ASPEK GHARAR PADA SCREENING CRITERIA DI JAKARTA ISLAMIC INDEX No. A – DPPM - 602 Peneliti Drs. Agus Triyanta, MA.,MH,PhD. DIREKTORAT PENELITIAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT (DPPM) UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA AGUSTUS 2010 90 t00 'lln wddo tte6 :ylN/dtN t0toete'e6 )lN/dtN 'Rrlaued enlax 0LOZ snlsnbV gZ 'epe1e,(6o1 epe1eA6o1 zLL99tZr/980 ueuals';adua1'ofetolof{'uoqulnld ue>1npedr6 6ue1 e,{erg 'L uErlrlauad eueJ '9 uerllauad rselo'l '9 I rillaued e1o66uy'e rlrlouad elo66uv qelunf ', dH7d1a1':s ' qeurnu leueM'p . xe37d1a1'q 8Lr6Le-rLZj ltPu-a'c p1'ce'11n@q1 89! e^ srsueuel'll 'lln u.rnInH'IPl iln r{ddcl roluex leuelv'e rrlauad enlax lEuelv 'g ueuloued lesnd 'q ;euorsbun3 ueleqef 'a eleday royal 90t00lte6 uesnrnf/se11n1eg '6 uJnlnH nurll . 'Orld' Hy!''Vy1' enl fieFue-l eluelul sn6y'srq lernllruls ueleqer'l ytN/dtN'p ye16ue6 uebuo;og'c uruepy sluarq relaC uep del6ual eueN 'e :rllauad Bnla) "z np!^!pul unlnH duluaang xapul cluelsl epelPf p elrollrc rcteqg ladsy uerepugqbua6 eped :uerlrlouad uobaley 'c bueprg'q :nur1; :uen,leuad InpnrB uBuauad sellluepl 't ueqese6uad ueueleH KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin. Penulis mengucapkan puji syukur kepada Allah swt yang telah memberikan kenikmatan dan kemurahan sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini. Penelitian ini berjudul “Penghindaran Aspek Gharar Pada Screening Criteria Di Jakarta Islamic Index”. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap bagaimana konsep gharar dalam fiqh keuangan. Di samping itu, juga akan diungkap bagaimana konsep tersebut diimplementasikan dalam screening criteria di Jakarta Islamic Index, Pasar Modal Syariah Indonesia. Terakhir, penelitian ini juga mengungkap bagaimana efek atau akibat dari implementasi gharar tersebut. Penelitian ini dapat terlaksana atas bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Rektor Universitas Islam Indonesia 2. Direktur Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Islam Indonesia 3. Kepala Pusat Penelitian Sosial dan Humaniora DPPM Universitas Islam Indonesia 4. Kepada para teman di Fakultas Hukum UII. 5. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan secara khusus. Berbagai pihak tersebut telah banyak memberikan bantuan baik berupa pendanaan bagi terselenggaranya penelitian ini maupun berbagai bantuan dalam bentuk lain yang baik moril maupun spiritual. Kepada mereka penulis mengucapkan banyak terima kasih. Semoga kebaikan yang telah diberikan mendapatkan balasan di sisiNya. Amin. Yogyakarta, 26 Agustus 2010 ii DAFTAR ISI Halaman Pengesahan ................................................................................. i Kata Pengantar ........................................................................................... ii Daftar Isi .................................................................................................. iii Daftar Tabel ............................................................................................... iv Abstrak .................................................................................................. v Bab I Pendahuluan ..................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang Masala………………………………………..1 1.2. Rumusan Masalah……………………………………………. 7 1.3. Tujuan Penelitian…………………………………………….. 7 1.4. Manfaat Penelitian…………………………………………… 8 Bab II Tinjauan Pustaka ............................................................................. 9 Bab III Hipotesis ....................................................................................... 18 Bab IV Metode Penelitian .......................................................................... 19 Bab V Hasil Penelitian dan Pembahasan ................................................... 22 5.1. Konsep Gharar ……………….……………………………...22 5.2. Implementasi Gharar ……………………………..………….30 5.3. Pengaruh Implementasi Gharar ……….……..…….………...71 Bab VI Kesimpulan dan Rekomendasi ..................................................... 82 Daftar Pustaka ............................................................................................ 86 iii DAFTAR TABEL Tabel 1: Kriteria Syariah bagi Perusahaan yang masuk pada JII……………..68 Tabel 2: Kriteria Syariah bagi Perdagangan di JII……………………………69 Tabel 3: Pengaruh Implementasi Gharar terhadap Jenis Transaksi di Pasar Modal Syariah………………………………………..……..79 iv ABSTRAK Penelitian ini berjudul “Penghindaran Aspek Gharar Pada Screening Criteria Di Jakarta Islamic Index”. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap bagaimana konsep gharar dalam fiqh keuangan. Di samping itu, juga akan diungkap bagaimana konsep tersebut diimplementasikan dalam screening criteria di Jakarta Islamic Index, Pasar Modal Syariah Indonesia. Terakhir, penelitian ini juga mengungkap bagaimana efek atau akibat dari implementasi gharar tersebut. Penelitian ini dilaksanakan di Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan menggunakan bahan penelitian hukum primer, yang terdiri dari norma atu kaidah sebagaimana yang dirumuskan dalam hukum Islam (fiqh) serta Peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia terkait dengan Pasar Modal Syariah. Didukung juga dengan bahan hukum sekunder dan tersier sejauh diperlukan. Adapun cara memperoleh data tersebut dilakukan dengan studi kepustakaan / dokumenter. Data diolah dengan metode kualitatif, ialah menganalisis data dengan menggunakan atau memberikan penafsiran terhadap data, mengabil arti yang terkandung di dalamnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Konsep gharar yang dianut secara umum dalam fiqh al-mashraf (fiqh keuangan), ialah adanya unsur yang tidak diketahui atau tersembunyi untuk tujuan yang merugikan atau membahayakan. Selanjutnya, kriteria syariah dalam screening criteria pada Jakarta Islamic Index ( JII) meliputi dua (2) macam atau dua tahap. Pertama, bahwa perusahaan yang akan masuk ke JII haruslah perusahaan yang tidak menyelenggarakan layanan jasa keuangan yang menerapkan konsep ribawi, jual beli risiko yang mengandung gharar dan atau maysir; Kedua, bahwa perdagangan yang dapat diselenggarakan pada JII adalah yang memenuhi prinsip kehati-hatian (ihtiyath), tidak spekulatif dan manipulatif (dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman). Akhirnya, berdasar analisa yang dilakukan, bahwa konsep gharar yang diimplementasikan pada JII mengikuti pendapat jumhur sebagaimana kesimpulan no. 1 di atas. Karenanya, berbagai transaksi yang controversial seperti: bai’ al-inah, bai’ al-dain,dan bai’ al-tawaruq, dihindari. Sebagai efeknya ada beberapa instrument atau produk yang kemudian tidak digunakan atau tidak ditawarkan di JII, yang meliputi: tidak memberlakukan short selling, tidak memberlakukan forward kecuali untuk keperluan hedging, tidak membolehkan SWAP, Forward, Futures, dan Otpion. Selanjutnya, tidak membolehkan insider trading serta margin trading. Kata Kunci: gharar, screening criteria v BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keberadaan pasar modal syariah di Indonesia, yang berawal dengan dibukanya Jakarta Islamic Index (JII) pada tahun 2003, telah memberikan penguatan terhadap bisnis keuangan syariah di Indoensia. Meski Indonesia tidak se-responsif berbagai negara yang mengembangkan bisnis pasar modal berbasis syariah, namun keberadaan JII telah memberikan atmosfir yang lebih kondusif bagi perkembangan bisnis keuangan Islam di Indonesia. Meski dalam level internasional pembukaan ini sudah didahului dengan pendirian berbagai institusi sejenis, namun, dibukanya JII haruslah diapresiasi sebagai suatu bentuk steady progress bagi aplikasi bisnis keuangan Islam di tanah air. Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi pioner dalam pasar mdal syariah (Islam) adalah RHB Unit Trust Management Bhd Malaysia pada tahun 1996, serta Dow Jones Islamic Market Index (DJIM) pada February 1999, Kuala Lumpur Shariah Index (KLSI) pada April 1999 dan FTSE Global Islamic Index Series pada October 1999. (OICU-IOSCO, 2004: 28). Pada prinsipnya, dalam dunia ekonomi dan perdagangan, Islam memberikan prinsip ibahah (kebolehan). Prinsip dimaksud ialah prinsip bahwa segala hal terkait dengan masalah muamalah adalah boleh, kecuali yang telah jelas-jelas dilarang (Kamali, 2002: 66). Implikasi dari hal tersebut adalah, semua bentuk perdagangan, selama yang tidak jelas-jelas dilarang oleh syariat maka dapat dilaksanakan. Karena itulah, Islam mengakomodasi berbagai bentuk kemajuan dunia bisnis dengan melakukan perubahan orientasi nilai-nilai yang berkaitan, dengan maksud agar sesuai, atau tidak bertentangan, dengan aturan syariah. Salah satu wujud dari kemajuan dalam dunia bisnis tersebut adalah keberadaan pasar modal dengan segala aktivitas yang terkait dengannya. Semenjak munculnya pasar modal di Indonesia, pembahasan tentang pasar modal dari sudut pandang Islam 2 sudah diintrodusir.1 Dan dengan berpinsip antara lain pada al-maÎlaÍah, maka kemudian pasar modal ini tidak lagi menghadapi permasalahan hukum dalam Islam.2 Permasalahan yang tersisa kemudian adalah dalam dalam hal bentuk transasksi bisnis yang ada di dalamnya, yang hal tersebut tidak dapat disimplifikasikan dalam alasan al-maÎlaÍah tersebut. Karenanya pasar modal syariah lahir sebagai solusinya. Dengan dibukanya pasar modal syariah di Inodenesia, yakni dengan adanya JII maka keterlibatan berbagai unsur yang terlarang dalam transaksi bisnis sebagaimana yang terjadi di pasar modal konvensional dapat dihindari. Sehingga, keberadaan pasar modal syariah bukan hanya penting, namun sangat diperlukan guna terciptanya lembaga keuangan Islam yang lebih luas, karena keberadaan dan operasionalisasi perbankan Islam akan kurang kondusif tanpa adanya dukungan dari berbagai lembaga keuangan lainnya. Lebih lanjut, urgensi pasar modal syariah dapat disebutkan sebagai berikut : Pertama, memberi peluang investasi bagi orang Islam. Uang yang statis dalam sebuah simpanan akan buruk akibatnya bagi perkembangan ekonomi. Dan Islam, pada hakekatnya melarang adanya penyimpanan uang statis semacam ini. Hal ini bukan sesuatu yang baru bagi umat Islam. Para ahli hukum Islam pada masa klasik sudah menyadari hal semacam ini. Abu Hanifah misalnya, dia dianggap mendahului Tolstoi, ekononom Soviet, beratus-ratus tahun dalam hal ide tentang simpanan masyarakat. Di antara warisan hukum yang dirintis oleh Imam Abu Hanifah adalah bahwa uang yang disimpan mandeg (uninvested saved money) tidak melebihi dari rencana kebutuhan (expenditure). Sehingga, beliau hanya ‘menahan’ uang tidak lebih dari 4000 dirham sesuai yang dibutuhkannya (Adams, 1996:382).3 1 Misalnya pembahasan yang dilakukan oleh Masyfuk Zuhdi dalam Masail Fiqhiyyah (1993:133-136). Pinsip maÎlaÍah adalah pertimbangan kebolehan sesuatu atas dasar ada tiaknya nilai kebaikan yang diakibatkan oleh hal tersebut. 3 Abu Hanifah merupakan pioneer madzhab ahl al-ra’y (rasionalis) dalam hukum Islam. Pendapat dia yang semacam di atas, sebenarnya sangat wajar muncul karena dia sebagai ahli hukum yang hidup di masyarakat yang multikultur dan kosmopolit. Karena itulah dia disebut ‘mengantisipasi pendapat Tolstoy 11 abad lebih awal. Lihat, Charles C.Adams, 1996: 382. 2 3 Hal tersebut secara nyata merupakan anjuran untuk memanfaatkan uang dalam usaha yang produktif. Keberadaan pasar modal syariah, jika demikian, bagai umat Islam khususnya dan semua orang pada umumnya, akan menjadi tempat untuk investasi, untuk secara riil ikut menempatkan uangnya dalam alokasi produksi, yang hal itu merupakan kunci dari penggerakan sektor ekonomi (Halim, 2000: 239-240). Bukan saja bermanfaat bagi pemodal yang bersangkutan untuk mengembangkan kapital, namun juga berfungsi bagi orang lain, masyarakat dan negara yang mengambil manfaat dari proses produksi dan aktivitas ekonomi. Dalam konteks Indonesia, keberadaan pasar modal syariah ini jelas merupakan sarana yang sangat proporsional bagi umat Islam. Selama ini umat Islam belum cukup mengenal dengan dunia pasar modal, bukan saja karena memang mereka tidak cukup akrab dengan lembaga keuangan modern semacam itu, namun menurut dugaan penulis, hal itu juga disebabkan karena adanya apriori terhadap keberadaan lembaga keuangan modern. Dalam pandangan awam, setiap lembaga keuangan hampir digeneralisir sebagai bank, dan image umat Islam awam tentang bank adalah rente, dan rente itu adalah riba. Karenanya, umat Islam tidak merasa dekat dan tidak berusaha mengenali lebih dekat terhadap lembaga keuangan Islam. Fakta ini tidak dapat dpungkiri sebagaimana hasil dari survey yang dilakukan di berbagai propinsi di Indonesia tentang preferensi bank syariah, yang mayoritas menjawab tidak mengenal produk bank syariah. Mayoritas responden (84,40 %) menyatakan hal tersebut (BI dan UNDIP, 2000: 13).4 Atas dasar itu semua, maka adanya pasar modal syariah ini merupakan suatu momentum untuk menyadarkan umat akan urgensi dan ke-halal-an usaha melalui jalur investasi. Kehalalan ini sangat penting, mengingat, al-Qur’an sendiri secara 4 Survaey tentang preferensi bank syariah ini diadakan di berbagai proponsi di Indonesia, di antara kesimpulan penting yang didapat adalah Penelitian Potensi, Preferensi Dan Perilaku Masyarakat Terhadap Bank Syariah Di Wilayah Jawa Tengah Dan Daerah Istimewa Yogyakarta, kerjasama Bank Indonesia dan Pusat Penelitian Kajian Pembangunan, Lembaga penelitian UNDIP, 2000. hlm 13. Diakses dari http://www.bi.go.id/bank_indonesia2/utama/publikasi/upload/BPS-ES-Jatengindonesia.pdf. 14 Mei 2004 . 4 tegas amelarang mencarikeuntungan ekonomi secara tidak benar atau apa yang dikenal dengan cara bathil. Sebagaimana yang dinyatakan al-Qur’an: ⌧ ☺ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. Al-Nisa: 29) Pasar modal syariah, jika demikian, bukan hanya sebagai sarana atau media untuk mempertemukan investor muslim dan produsen muslim –meskipun efek syariah ini sangat terbuka bagi siapapun, termasuk non muslim– bursa namun juga sebagai sarana untuk mengontrol dan membudayakan perilaku ekonomi Islam, dikarenakan para investor muslim juga akan ikut mengontrol syariah compliance (kepatuhan syariah) bagi perusahaan go publik tersebut. Di sinilah kemudian akan tercipta secara otomatis mekanisme check and balance oleh pasar, di mana akan terjadi keadaan saling mengontrol antara pihak-pihak yang terlibat dalam pasar modal syariah ini. Kedua, sebagai sistem ekonomi alternatif. Sebagai layaknya perbankan syariah yang telah terbukti peranannya sebagai pemain baru dalam lembaga keuangan, baik dalam level nasional maupun internasional, yang kemudian dibuktikan bahwa lembaga tersebut bisa dijadikan sebagi alternatif bagi lembaga keuangan yang sudah ada, maka keberadaan pasar modal syariah ini, dari sisi lain, akan menjadi sebuah alternatif bagi pasar modal konvensional (Presley dan 5 Sesssions, 2002: 131). Dalam kaitannya dengan pembicaraan tentang sistem alternatif, maka jika bank syariah telah terbukti resisten terhadap berbagai goncangan ekonomi, termasuk berbagai bentuk krisis,5 maka dalam hal ini, pasar modal diharapkan juga akan menjadi media investasi yang resisten terhadap berbagai tekanan di samping juga bersifat fair. Untuk mewujudkan sebuah pasar modal yang semacam di atas, tentu sangat penting untuk dilihat, bagaimana perangkat aturan yang seharusnya diterapkan bagi pasar modal syariah ini. Di antara yang sangat penting dalam hal ini adalah bagiamana keistimewaan pasar modal jenis ini dapat dijaga, sekaligus sebagai antisipasi berbagai kejahatan pasar modal sebagai yang sering terjadi dalam pasar modal konvensional. Berbagai kejahatan yang sangat besar dan massif pengaruhnya bagi distabilitas ekonomi, sangat mungkin terjadi di lantai bursa. Jika hal itu dianggap sebagai ekspresi dari motif ekonomi yang menyiasati atau melanggar aturan hukum, maka, dalam pasar modal syariah ini, diharapkan, bingkai moralitas keagamaan akan menjadi spirit bagi terciptanya pasar modal yang lebih sportif dan fair. Di sinilah beban berat dari DSN (Dewan Syariah Nasional) terlekat, adalah dalam rangka menyusun shariah good corporate governance (tata kelola syariah) yang akan mampu mengawal aktivitas di lantai bursa syariah.6 Ketiga, memberikan stimulasi perilaku bisnis secara Islami. Lembaga keuangan Islam adalah bagian yang sistemik dari sistem ekonomi syariah (BIMB, 1994: 9, Haron dan Shanmugam, 1997: 69, Antonio, 2001: 5). Dia merupakan mata rantai yang menyambungkan berbagai aktivitas ekonomi syariah. Maka, perilaku bisnis yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam pun tidak akan dapat tumbuh dengan baik jika tidak ada situasi kondusif yang melingkupinya. Dengan adanya keharusan untuk 5 Bank Muamalat Indonesia (BMI), telah membuktikan diri sebagai bank yang paling sehat ketika krisis ekonomi menghantam sektor keuangan di Indonesia sekitar 1998. Rachmat Syafe'i, “ Tinjauan Yuridis terhadap Perbankan Syariah”, Pikiran Rakyat, 21 Maret 2005, diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com pada 25 September, 2007. 6 DSN adalah institusi yang bertugas untuk memberikan fatwa terkait dengan produk bisnis keuangan Islam, mencakup perbankan, asuransi, pasar modal, reksadana dan sebagainya. DSN adalah salah satu bagian (instrument organisasi) dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). (MUI dan BI, 2006). 6 menaati berbagai prinsip syariah, baik dalam berbagai kontrak yang terjadi ataupun dalam operasionalisasi proses produksi dari perusahaan yang masuk dalam listing di lantai bursa, niscaya akan terbentuk sistem bisnis yang lebih baik. Sehingga, kontrol akan tertap dapat dilakukan, yang karenanya, ini semua sangat mungkin akan menciptakan iklim yang lebih baik bagi teraplikasikannya berbagai prinsip-prinsip bisnis yang sejalan dengan syariah Islam. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan pasar modal syariah sangat diperlukan. Namun pasar modal syariah harus menghadapi masalah yang sulit, karena pasar modal konvensional yang telah berkembang selama berabad-abad identik dengan spekulasi, selain tentunya menyandarkan pada sistem bunga (riba). Selain menjual saham, juga menjual surat berharga yang melibatkan berbagai instruement bisnis, yang sifantnya derivative, semacam future trading, option, swapt dan warran. Atas dasar hal itu, maka adanya berbagai bentuk upaya yang muaranya menguntungkan diri sendiri dan merugikan pihak lain menjadi keniscayaan, ialah yang sering disebut dengan spekulasi. Memang harus diakui, spekulasi memang tidak selamanya merugikan, karena di antara faktor yang menyebabkan pasar tetap aktif adalah adanya aktivitas spekulasi. Namun, dalam tingkat tertentu, spekulasi ini akan membawa kerugian yang berdampak luas. Dengan demikian, salah satu aspek utama yang membedakan antara pasar modal konvensional dengan pasar modal syariah adalah ada dan tidaknya unsur spekulasi atau yang dalam terminologi hukum Islam disebut dengan gharar, dalam instrumen bisnis yang ditawarkannya. Maka, mempertimbangkan itu semua, menarik untuk dilihat bagaimana konsep gharar diinterpretasikan dan diimplementasikan dalam seleksi berbagai bentuk transkasi atau instrumen bisnis, atau yang lebih mudah dikenal dengan screening criteria bagi transaksi di JII. Hal ini menarik, di samping untuk melihat apakah konsep gharar sebagaimana yang dianut dalam teori hukum Islam (fiqh) diaplikasikan secara semestinya ataukah tidak, juga pada akhirnya penting untuk melihat latar belakang dari jenis instrumen insvestasi (bisnis) yang ditawarkan. Sebagaimana diketahui bahwa selama ini, hampir keseluruhan produk 7 instrumen investasi yang ditawarkan adalah saham dan obligasi dalam varian yang terbatas, dan belum sampai pada berbagai variasi surat berharga dari sukuk atau bond sebagaimana yang menerapkannya. sebagian negara pengembang bisnis keuangan Islam Dalam tingkat tertentu, hal itu layak diduga terkait dengan bagaimana gharar diimplementasikan dalam screening criteria pada JII. Untuk itulah, sangat urgen untuk diteliti lebih lanjut, bagaimana penghindaran unsur gharar ini diterapkan pada screening criteria pada JII, serta berikut apa pengaruh dari hal tersebut terhadap bentuk transaksi atau instrumen bisnis yang ditawarkan. 1.2. Rumusan Masalah Dari uraian di atas, dapat disimpulkan rumusan masalah dari penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah konsep gharar dalam fiqh al-mashraf (fiqh keuangan). 2. Bagaimanakah implementasi elemen gharar dalam screening criteria di Jakarta Islamic Index (JII)? 3. Bagaimanakah pengaruh dari implementasi penghindaran elemen gharar dalam screening criteria tersebut terhadap macam transaksi atau instrumen bisnis yang ditawarkan di Jakarta Islamic Index (JII)? 1.3. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui konsep gharar dalam fiqh al-marshraf (fiqh keuangan) 2. Untuk mengetahui implementasi penghindaran elemen gharar dalam screening criteria di Jakarta Islamic Index (JII) 3. Untuk mengetahui pengaruh dari implementasi penghindaran elemen gharar dalam screening criteria tersebut terhadap macam transaksi atau instrumen bisnis yang ditawarkan di Jakarta Islamic Index (JII) 8 1.4. Manfaat Penelitian 1. Untuk mengembangkan Ilmu Hukum, khususnya yang berkaitan dengan hukum bisnis keuangan Islam, dalam hal ini adalah tentang bagaimana pengembangan konsep tentang gharar dan implementasinya dalam pasar modal Islam. 2. Untuk memberikan masukan bagi pengembangan pasar modal Islam di Indonesia (Jakarta Islamix Index), terkait dengan upaya pengambangan transaksi atau instrumen bisnis yang disediakan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sebuah pasar modal, untuk dapat dinilai sebagai pasar modal syariah, haruslah memenuhi berbagai kriteria dasar. Selanjutnya, dari kriteria tersebut akan diketahui parameter yang dapat digunakan untuk menentukan ke-syariah-an sebuah pasar modal. Dengan itu akan dapat ditentukan, aturan main yang seperti apakah yang seharusnya ada dan terlekat secara built-in dalam pasar modal syariah tersebut agar pasar modal jenis ini tidak mengalami ‘konvensionalisasi’1 dalam relalisasi praktisnya. Pada prinsipnya pasar modal dapat dikatakan Islami atau syar’i apabila praktek operasional dalam berbagai transaksi dan prosedurnya bersesuaian dengan prinsipprinsip syariah, dilakukan sesuai aturan-aturan dalam Islam. Salman Syed Ali (2008: 1) menyatakan bahwa pasar modal syariah adalah “an integral part of Islamic financial system for efficient mobilization of resources and their optimal allocation” yang melengkapi peranan perbankan Islam. Jassar Al-Jassar, dalam The Islamic Financial and Capital Market Developments (2000: 217), menyatakan bahwa Islamic financial market adalah pool of money yang tidak mengenal batas geografis lokasi, tetapi memiliki persyaratan yang selalu sama ialah, mengikuti cara-cara yang sejalan dengan syariah Islamiyyah. Wahbah Zuhaily menyatakan bahwa di antara prinsip-prisnsip syariah dalam transasksi muamalah adalah; tidak mengandung gharar (spekulasi), paksaan, dan berbagai persyaratan yang merusak (al-shurËÏ al-mufsidah) (Wahbah Zuhaily vol 1. 33-35). Harus diingat, bahwa sesuatu perbuatan yang secara umum dilarang, maka tidak dapat juga menjadi obyek dari transaski perdagangan, misalnya adalah terhadap riba dan maysir (gambling). Sehingga, dapat juga kedua hal tersebut dikaitkan dengan apa yang harus dihindari dalam sebuah kontrak. (OICU-IOSCO, 2004: 5). 1 Konvensionalisasi yang dimaksud penulis adalah praktek transaksi keuangan Islam yang dilakukan dengan cara konvensional, berbasis pada system riba dan mentolerir spekulasi. 10 Dan terkait dengan obyek, haruslah ada kejelasan bahwa obyek tersebut halal, baik secara ÌÉty (fisik, material) maupun maÑnawy (non fisik, non material). Meski hal tersebut nampak sederhana, namun dari persyaratan yang masih besifat ‘nilai’ tersebut tidak mudah untuk diderivasikan ketika harus berhadapan dengan realitas yang sangat praktis dan kompleks, terlebih dalam dunia ekonomi, di mana kecenderungan untuk memaksimalkan profit merupakan tujuan utama. Untuk itulah, permasalahannya di seputar kepatuhan syariah atau yang disebut dengan shariah compliance dalam pasar modal syariah ini menjadi sangat penting. Secara spesifik pada masalah gharar, sebelum lebih jauh masuk pada pemnahasan tentang hal ini, haruslah dipahami bahwa hal ini terkait dengan berbagai aspek. Sehingga, dalam tinjauan pustaka ini, masalah gharar terkait dengan pasar modal ini mencakup tiga aspek utama, ialah tentang prinsip perjanjian dalam muamalah, kedua, tentang unsur dan cakupan dari aspek gharar, serta yang terakhir, perlu dilihat juga bagaimana transaksi yang dilakukan di pasar modal konvensional dan pasar modal syariah. 2.1. Perjanjian yang Sesuai Dengan Syariah Aspek yang bisa dianggap paling sentral peranannya dalam pasar modal syariah ini, sebagaimana juga dalam setiap aktivitas perdagangan adalah perjanjian. Di dalamnya tercakup unsur-unsur yang diperbolehkan, termasuk obyek yang jelas, tidak eksploitatif dan spekulatif. Berbagai kerugian yang terjadi dalam aktivitas ekonomi dan bisnis banyak yang bersumber dari ketidakjelasan dalam perjanjian yang dilakukan. Dengan adanya standarisasi yang jelas, yang dilengkapi dengan parameter yang terukur, maka akan mudah ditentukan apakah prinsip-prinsip dasar perjanjian Islam terpenuhi. Abdurrahman Al-Jazairi berpendapat, bahwa perjanjian dagang dalam Islam harus memenuhi berbagai persyaratan, baik dari sisi para para pihak yang terlibat maupun dari sisi obyeknya. Terkait dengan obyek, disyaratkan bahwa harus ada kejelasan dan terhindarkan dari sisi-sisi yang tidak diketahui, selain harus bebas dari 11 najis (Al-Jazairi, Vol. 2, 131). Demikian pula dalam Majallah al-Ahkam al-Adliyyah, persyaratan tentang obyek menunjuk pada banyak hal, di antara yang utama adalah, bahwa obyek tersebut harus obyek yang bermanfaat dan yang terpenting harus memiliki kejelasan, baik jenis barang, informasi terkait dengan barang serta penyerahannya. (The Majelle:27-32). Sehingga, secara rinci, prinsip-prinsip dasar transaksi perdagangan dalam Islam penting untuk dikemukakan. Sebuah kontrak yang shahih (valid), menurut Islam, haruslah memenuhi beberapa syarat sebagai berikut: Pertama, baik dalam landasan motivasinya. Abdul Karim Zaidan, dalam alMadkhal li Dirasah Syari’ah Islamiyyah menyatakan bahwa, “ seluruh perbuatan bisa ditentukan posisi hukumnya atas dasar niat yang melatarbelakanginya”(Zaidan,1969: 91). Di sini, sebuah motivasi yang tidak baik, yang akan bisa diketahui dari berbagai kesengajaan yang terjadi dalam kesalahan yang diperbuat, menjadikan cideranya sebuah kontrak. Jadi, meskipun motivasi ini adalah masalah niat sesorang, namun dapat dimungkinkan, beberapa perbuatan yang terjadi merupakan refleksi dari motivasi. Di sinilah sebenarnya, Islam menekankan dengan sangat kuat, sebagaimana juga yang hal ini terdapat dalam hukum positif dengan asas itikad baik (Khairandy, 2003: 129).2 Sehingga, salah satu yang harus tercermin dalam kontrak yang dilakukan adalah bagaimana klausul yang ada mengakomodasi dan merefleksikan iktikad yang baik. Kedua, tidak mengandung hal-hal yang memberikan akses bagi sesuatu yang dilarang dalam syariah. Dalam hal ini, kontrak yang melibatkan substansi atau obyek yang haram jelas tidak bisa dikatakan syah. Demikian juga dengan kontrak yang mengandung unsur najis. (Jazairi., vol 2, 131). Keharusan halal sebenarnya bukan hanya dalam obyek transaksi perdagangan, karena hal ini berlaku secara umum dalam kehidupan. 2 Asas iktikad baik (good faith) merupakan hal yang mendasar dalam kontrak. Bahkan dalam berbagai sistem hukum sekalipun, hukum kontrak ditafsirkan dengan menyandarkan pada iktikad baik tersebut. (Khairandy, 2003: 217) 12 Ketiga, tidak terkait dengan unsur perjudian (maisir). Perjudian merupakan suatu perbuatan yang bersifat mengambil keuntungan dengan tanpa melakukan upaya-upaya yang wajar. Kontrak yang berkaitan dengan lotre, undian, dan mengadu nasib, adalah beberapa contoh bentuk maisir. Maka, hal-hal yang bersifat gambling, juga bisa dimaksudkan dengan klasifikasi ini.3 Aleuddin Kharofa, menyebutkan bahwa salah satu syarat dalam obyek perjanjian adalah adanya keharusan segala sesuatu yang terkait tidak dipandang illegal menurut syariah. (Kharofa, 1997:19-20). Sehingga, meskipun larangan maisir tidak secara langsung terkait dengan konrak, namun karena sifat dari transaksi bisnis yang memungkinkan banyak bersinggungan dengan perjudian ini, maka hal ini merupakan suatu hal yang dilarang dalam obyek kontrak. Keempat, mengihindari taghrir dan tadlis, ialah semua tindakan yang mengandung unsur tipu daya yang terjadi atas kesengajaan. Termasuk di sini adalah gharar, ialah potensi terjadinya resiko termasuk karena ketidaktahuan akan informasi secara detail. Dalam hal ini, semua bentuk perjanjian yang menyembunyikan suatu kelemahan akan menjadikan cacatnya sebuah perjanjian. Jika dalam transaksi keuangan ada suatu bentuk kejahatan yang bernama window dressing, maka hal itu merupakan bagian dari bentuk tipu muslihat dalam tema bahasan ini. (Niazi, 121124) Kelima, menghindari pemaksaan (ikrah), atau restraint (Niazi: 118). dimaksudkan dengan restraint adalah sebuah pembatasan tertentu Yang yang mengakibatkan seseorang tidak memiliki alternatif lain dalam melaksanakan sesuatu. Memaksa pekerja untuk melakukan pekerjaan di luar kewajaran, menarik pajak yang sangat tinggi dengan tidak diimbangi pelayanan yang layak, memberikan klausul 3 Spekulasi sangat terkait dengan perkembangan fasilitas dalam kehidupan manusia. Artinya, bahwa sesuatu yang dianggap spekulatif masa lalu sangat mungkin berubah menjadi sesuatu yang pasti pada hari ini. Misalnya saja, jual beli buah-buahan yang sangat tergantung pada cuaca adalah sesuatu yang spekulatif pada masa lalu. Namun dengan ditemukannya teknologi prakiraan cuaca, sebagaimana juga dengan penghitungan gerhana, akan menjadi sesuatu yang tidak spekulatif. Dalam kasus bursa berjangka komoditi (future trading) misalnya, akan sangat nampak bahwa kebolehannya secra syar’i dikarenakan adanya perkembangan teknologi dalam bidang pertanian. 13 yang rasialis bagi pekerjaan tertentu, dan seterusnya, yang kesemuanya itu diterima oleh salah satu pihak atas dasar keterpaksaan dikarenakan tidak ada alternatif lain yang dapat dilakukan. Ini dapat diambil makna sebagai menghindari pemanfaatan posisi pihak yang lemah untuk mengambil keuntungan di luar kewajaran. 2.2. Konsep Tentang Gharar. Dari uraian di atas, nampaklah bahwa salah satu aspek penting yang harus diperhatikan terkait dengan keabsahan transaksi perdagangan dalam Islam adalah penghindaran terhadap gharar. Konsep tentang gharar telah banyak mendapat perhatian dari para ilmuwan, khususnya ahli hukum Islam. Meski demikian, mengkaitkan gharar dengan perkembangan teknologi dan aplikasinya dalam masyarakat modern belum banyak mendapat perhatian. Nabil A. Saleh (1992: 62) dan S.E. Rayner (1991: 240) menjelaskan bahwa gharar secara litterlijk bermakna ketidakpastian, resiko, spekulasi dan penipuan. Berbagai definisi diberikan oleh para ahli hukum Islam, namun pada prinsipnya berbagai definisi tersebut merujuk pada suatu pengertian yang mendasar, bahwa gharar ialah berkenaan dengan berbagai sebab musabab yang dapat memberikan keuntungan tanpa upaya atau kerja dengan akibat terjadinya kerugian pada pihak lain. Atas dasar itulah, gharar ini juga dapat isebut dengan khidÑah (M.Hashim Kamali, 2002: 84) Secara ringkas, Nabil Saleh mengidentifikasi ada tiga elemen utama dari gharar. Pertama adalah al-jahl, yang berarti ketidaktahuan salah satu atau semua pihak akan “keberadaan barang” barang yang ditransaksikan. Kedua, adalah ketidaktahuan satu atau kesemua pihak akan karakterististik dari barang yang ditransaksikan. Sedangkan yang ketiga, ketidak-mungkinan dari satu atau semua pihak atas barang yang ditransaksikan. (Saleh, 66, juga Saleh, 1988: 19-20).4 Di dalam sunnah Nabi, larangan tentang gharar ini tersebar dalam berbagai hadith, 4 Secara singkat, ruang lingkup atau cakupan gharar dapat berbagai macam aspek, sepanjang unsur jahl (ketidaktahuan) nampak. Munawar Iqbal dan Tariqullah Khan (eds), Introduction, in Financial Engineering and Islamic Contracts (New York: Plagrave Macmillan, 2005),7. 14 utamanya pada berbagai larangan mengadakan kontrak perdagangan jÉhiliyyah. Kontrak tersebut adalah berbagai kontrak seperti al-munÉbadhah, al-mulÉmasah, alÍÉssah, dan berbagai bentuk kontrak terlarang lainnya. (Ala’ Eddin Kharofa, 1997: 73-89 dan Nayla Comair Obeyd, 1996: 57-60). Perlu dipahami bahwa Islam melarang keras berbagai bentuk perdagangan yang tidak menyediakan informasi yang lengkap akan obyek yang diperdagangkan. Misalnya saja, dilarang di dalamnya bai’ al-mulamasah, ialah perdagangan yang hanya membolehkan pembeli untuk sekedar menyentuh obyek tanpa memeriksa dengan detail (Kharofa, 81, Niazi: 89). Rasul juga melarang para pedagang kota untuk mencegat dan membeli barang dari orang-orang dari desa yang pergi ke kota untuk menjual barang, padahal orang-orang desa tersebut belum mengetahui perkembangan harga terbaru (talÉq al-rukbÉn). Membeli sesuatu yang yang belum jelas, misalnya buah yang belum siap dipanen atau ikan yang berada dalam kolam, adalah contoh lain yang relevan dengan larangan tersebut. (Triyanta, 2000: 97-110). Hashim Kamali, dalam Islamic Commercial Law (2002:55) bahwa untuk dapat memiliki akibat hukum, menjelaskan gharar ada empat syarat. Pertama, tingkatan gharar tersebut sangat tinggi(eksessif), bukannya gharar yang ringan. Kedua, harus terjadi pada kontrak yang bersifat kumulatif (muÑÉwadÉt), bukannya semacam pemberian (tabarru’Ét). Ketiga, kesamaran itu terjadi pada obyek utama, bukan obyek pelengkap, misalnya jika jual beli pada sapi betina yang hamil, obyek utamanya bukan pada janin sapi tersebut, tapi pada induknya. Terakhir, bahwa obyek dalam kontrak tersebut bukan suatu barang yang sedang dalam kebutuhan mendesak. Dengan definisi gharar semacam itu, maka banyak jenis perdagangan di saat sekarang ini, utamanya terkait dengan transaksi di pasar modal atau lantai bursa, yang keabsahannya menjadi pertanyaan dari aspek hukum Islam. Berbagai jenis transaksi yang teridentifikasi bahwa penyerahan barang tidak dapat dilakukan pada masa transaksi kemudian menjadi tidak sah. Juga, jual beli yang dilakukan dengan cara taksiran, juga menjadi permasalahan. Di samping itu, terkait dengan kondisi di mana barang belum ada di tangan penjual untuk dalam waktu cepat dapat diserahterimakan, 15 adalah terkait dengan kemungkinan berbagai bencana atau kejadian yang dapat menghalangi terjadi serah terima dilakukan, juga menjadi faktor lain. Dengan mengambil kesimpulan dari talÉq al-rukbÉn (QahtÏÉn, 2000: 110), ialah orang yang mencegat orang kampung untuk menjual barangnya di kota, datang ke petani, datang ke produsen, jika ditinjau ulang kaitannya dengan perkembangan hari ini, nampaklah bahwa transaksi perdagangan dengan tidak memberikan informasi, atau dengan menutup akses informasi bagai salah satu pihak, adalah tindakan yang tidak dibenarkan menurut syariat Islam. Isu lain yang sangat terkait dengan perdagangan di lantai bursa adalah tentang jual beli surat hutang. Sebagai dimaklumi bahwa dalam literatur fiqh, hutang adalah bukan barang yang dapat diperjualbelikan. Karenanya, surat berharga yang berbasis pada kesanggupan untuk membayar hutang tidak dapat diperjualbelikan. Sedangkan, hari ini, surat hutang atau bond menjadi salah satu komponen yang meramaikan transaksi di pasar modal. Jual beli hutang atau yang dikenal dengan baiÑ al-dain adalah sesorang yang memiliki piutang kepada pihak kedua, kemudian dikarenakan membutuhkan uang, akan menjual piutangnya itu kepada pihak ketiga. Sehingga, tidak perlu menunggu jatuh tempo pelunasan yang dilakukan oleh pihak kedua, pihak pertama akan mendapatkan uang cash dari pihak ketiga. Para ulama sepakat mengharamkan jual beli hutang semacam ini. Alasan utama dari pengharamannya adalah karena hutang adalah sesuatu yang belum pasti, sesuatu yang tidak jelas penyerahannya karena belum ada di tangan. (Wahbah Zuhaily vol 1. 80). 2.3. Transaksi di Pasar Modal Berbagai bentuk transaksi di pasar modal konvensional perlu dilihat lebih jauh, tentang bagaimana masing-masing transaksi dilakukan, utamanya dalam hal kaitannya dengan ada dan tidaknya elemen gharar di dalamnya. Tony Naughton (2000: 226) mencatat, bahwa pasar modal atau bursa efek selalu identik dengan 16 praktek-praktek pengambilan keuntungan yang berpotensi menghancurkan atau merugikan pihak lain yang terlibat, meliputi: asymmetric information, insider trading, manipulation of stock prices, dan gambling. Karenanya, untuk menciptakan sebuah pasar modal Islam (syariah), praktek-praktek tersebut sangat penting untuk dianalisis melalui kajian hukum Islam. Bahkan, bentuk kejahatan lain juga sangat sering terjadi, misalnya tindak pidana penipuan dan pengelabuhan, serta tindak pidana manipulasi pasar. (Yulfasni, 2005: 116-121) Hal tersebut penting untuk akhirnnya ditentukan ketidakbolehannya dari segi hukum Islam. Juga, dari sisi hukum Islam, sebenarnya pasar modal syariah dapat melakukan seleksi atas berbagai instrumen dan transaksi yang tersedia untuk kemudian dilakukan pemilahan dan pemilihan, instrument dan transaksi tertentu yang dapat diadopsi, serta instrument dan transaksi tertentu lainnya yang dinyatakan haram. Hal ini, menurut hukum Islam juga suatu dilakukan dalam metode ijtihad. hal yang wajar dan sering Menurut Muhammad Hashim Kamali dalam Principles of Islamic Jurisprudence (2000: 245-310), adanya konsep ijtihad dengan metode al-‘adah muhakkamah atau juga istishhab, atau juga al-hifdh ‘ala qadimisshalih wal akhdzu ‘ala jadidi al-ashlah, adalah beberapa ketentuan hukum yang meniscayakan hal tersebut. Sesuai dengan Buku Panduan Pasar Modal yang diterbitkan oleh BAPEPAM, transaksi utama di pasar modal, adalah saham dan obligasi. Di samping itu, pada pasar umunya pasar modal juga menjual instrument yang bersifat derivative, yang meliputi bukti rights, waran (option) dan Kontrak berjangka index saham. (Bapepam, 2003:10-24). Adapun, transaksi atau instrumen yang ada pada pasar modal shariah (JII) adalah kesemuanya terdiri atas saham dan obligasi. Menurut laporan terakhir, transaksi yang ditawarkan keseluruhannya dalam bentuk saham dan obligasi (Daftar 17 Saham JII Juli-Desember 2008).5 Daftar transaksi atau instrumen yang tersedia tersebut menunjukkan bahwa selama ini, kriteria dalam penentuan dari aspek syariah telah melahirkan bentuk transaksi atau instrument tersebut. Dari pemaparan tentang tinjauan pustaka tersebut, dapat dilihat bahwa masalah implementasi penghindaran aspek gharar dalam pasar modal syariah atau JII ternyata belum mendapatkan perhatian yang proporsional dari berbagai penelitian dan literature yang ada. Padahal, menurut pandangan penulis sementara ini, fakor terpenting yang membedakan antara pasar modal syariah dengan pasar modal konvensional adalah bahwa transaksi atau instrumen yang ditawarkan pada pasar modal syariah haruslah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh syariah. Salah satu persyaratan sebagaimana yang telah didiskusikan dalam uraian di depan adalah aspek gharar. Persyaratan inilah yang akan menentukan operasi dari pasar modal yang berbasis syariah memang secara substansial dan prosedur berbeda dengan pasar modal konvensional. Untuk itulah, menarik untuk diteliti lebih lanjut tentang bagaimana kriteria gharar tersebut diaplikasikan dalam ketentuan terkait dengan screening criteria untuk instrumen investasi yang ditawarkan di Jakarta Islamic Index (JII). 5 Hal ini juga didukung dengan regulasi penerbitan efek syariah, dalam hal ini adalah Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep- 314/Bl/2007 Tentang Kriteria Dan Penerbitan Daftar Efek Syariah. Juga, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep- 130 /Bl/2006 Tentang Penerbitan Efek Syariah BAB III HIPOTESIS 3.1. Sebagai sebuah agama dengan pengikut yang relatif besar dan berlatar belakang sangat plural, Islam telah mendapat tantangan untuk menyelesaikan berbagai masalah sepanjang perjalanan sejarah yang dilaluinya, termasuk masalah ekonomi, utamanya pedagangan (al-tijarah) dan keuangan (al-masraf). Terkait dengan masalah keuangan tersebut, dalam masa kejayaan Islam (sekitar abad 7 sampai dengan 12 M), berbagai bentuk perdagangan dan bisnis keuangan telah terjadi perkembangan. Karena itulah, berbagai pandangan fiqh dalam hal ini ( fiqh al-masraf) menurut hemat penulis telah membahas masalah gharar dengan relatif detail. 3.2. Sebagai salah satu elemen utama yang harus dihindari dalam pasar modal Islam, gharar tentu saja menjadi pertimbangan utama dalam screening criteria atas berbagai penawaran atau insturmen pasar modal Islam dari berbagai perusahaan. Sehingga, bagaimana prinsip gharar dalam fiqh diimplementasikan dalam proses seleksi tersebut layak untuk mendapat pencermatan. Dugaan penulis bahwa implementasi dari konsep gharar telah seuai dengan prinsip fiqh yang disepakati oleh para ahli fiqh. 3.3. Pemilihan terhap model atau madzhab fiqh al-masraf, teruatama terkait dengan gharar dan cara atau prosedur implementasinya dalam screening criteria secara sangat signifikan mempengaruhi berbagai bentuk transaksi atau instrumen yang diloloskan dalam seleksi untuk di listing dalam JII. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Tempat atau Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Yogyakarta. Penelitian ini mengambil konsentrasi pada konsep tentang gharar dalam fiqh Islam, berkut implementasinya dalam screening criteria bagi transaksi atau instrument bisnis di Jakarta Islamic Index (JII). 4.2. Cara memperoleh data Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, sehingga bahan penelitian yang diperlukan adalah sebagai berikut : 1. Bahan hukum primer, yang terdiri dari : 1) Norma atu kaidah sebagaimana yang dirumuskan dalam hukum Islam (fiqh), dalam hal ini yang berhubungan dengan masalah gharar. 2) Peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia terkait dengan Pasar Modal Syariah. 2. Bahan hukum sekunder, terdiri dari berbagai karya dan pendapat para ahli hukum agama yang menginterpretasi, mengeksplanasi atau mengelaborasi dari teks-teks hukum agama. Bahan yang digunakan utamanya yang berkaitan dengan diskusi dan analisa gharar dan implementasinya dalam muamalah. 3. Bahan tersier, yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan primer dan sekunder tersebut, yang meliputi; kamus, ensiklopedi dan indeksindeks yang diperlukan. Hal ini akan sangat membantu dalam memberikan penjelasan berbagai kriteria atau parameter terkait gharar. Adapun cara memperoleh data tersebut dilakukan dengan Studi Kepustakaan / Dokumenter. Ini dilakukan untuk menelaah bahan-bahan kepustakaan dan 20 dokumentasi yang diperlukan.Studi ini dilakukan untuk seluruh bahan-bahan hukum yang telah terdokumen. Di antara yang terpenting adalah bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan konsep gharar dalam muamalah. Di samping data didapat dari sumber kepustakaan atau buku-buku, juga didapat dari peraturan perundangundangan serta putusan dari Dewan Syariah Nasional. 4.3. Analisa data Setelah terkumpulnya data dari hasil penelitian, data akan diolah dengan metode kualitatif, ialah menganalisis data dengan menggunakan atau memberikan penafsiran terhadap data, mengabil arti yang terkandung di dalamnya. Tahapan yang dilakukan adalah : 1. Reduksi data Sebagai tahapan yang pertama, data yang diperoleh dengan wawancara dan studi dokumentasi, dalam hal ini adalah data yang berhubungan dengan masalah gharar atau pasar modal syariah, diringkas dan diramu dalam bentuk yang baku dan ilmiah, agar lebih mudah untuk dilakukan analisis tahap selanjutnya. 2. Organisasi data Data yang telah tereduksi tadi kemudian diklarifikasikan (diorganisasikan) dalam kelas-kelas sejenis, dalam genus-genus yang sama. 3. Penarikan interpretasi Dalam studi hukum dan norma agama, interpretasi merupakan salah satu tahap analisis yang harus dilakukan setelah terkumpulnya data yang disajikan secara tertib dan klasifikasi data. Sehingga kemana sebuah norma hukum agama terkait dengan gharar dan implementasinya mengarah dan bermaksud, akan bisa dipahami lewat interpretasi ataupun cara-cara legal reasoning yang lain. 21 Interpretasi juga akan membantu untuk bisa menyajikan konsep norma hukum dalam bentuk yang lebih mudah dipahami dan lebih bersifat aplikatif. 4. Pengambilan kesimpulan Kesimpulan diambil setelah interpretasi terhadap data terkait masalah gharar dan screening criteria pad pasar modal syariah, bisa dilakukan dengan baik, sehingga diharapkan kesimpulan yang diambil tidak akan drifted ke arah yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh norma hukum agama tersebut. Ini penting sekali untuk diperhatikan di sini, mengingat penelitian ini relatif sepenuhnya menyandarkan pada analisis kualitatif. BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Konsep Gharar Dalam Fiqh Keuangan 5.1.1. Definisi Secara literal gharar ( )ال غررberarti resiko atau bahaya. Dalam bentuk yang lain gharar bisa diasosikan dengan kata taghrir yang merupakan kata benda kerja yang berarti adalah menukarkan properti seseorang kepada orang lain dengan adanya unsur yang tidak diketahui atau tersembunyi untuk tujuan yang merugikan atau membahayakan. ( al-Dhareer, 1997: 6, Saleh, 1992: 16-17). Bahkan secara lebih jelas, Hashim Kamali menyebutnya dengan khid’ah, yang berarti penipuan. (Kamali, 2002: 84) Dalam terminologi legal atau jurisprudensi gharar dapat memiliki arti yang berbeda-beda, hal itu nampak dalam penjelasan berikut (al-Dhareer, 1997: 8-10 ). Pertama, gharar yang hanya terkait dengan kasus yang meragukan atau ketidakpastian, misalnya saja apakah sesuatu itu akan terjadi atau tidak. Jadi disini tidak mencakup batasan atau pengertian tentang sesuatu yang tidak diketahui, jadi hanya eksklusif pada hal-hal yang tidak pasti atau meragukan. Pendapat ini sejalan dengan pernyataan Ibnu Abidin. Kedua , gharar dapat diterapkan pada sesuatu yang tidak diketahui, bukannya yang meragukan, pendapat ini dianut oleh mazhab Zahiri, misalnya saja pernyataan Ibnu Hazm yang menyatakan bahwa gharar dalam jual beli itu terjadi apabila pembeli tidak tahu apa yang dia beli dan penjual tidak tahu apa yang dia jual Ketiga , gharar yang merupakan kombinasi dari dua kategori, yakni baik yang tidak diketahui maupun yang meragukan sebagaimana yang didefinisikan oleh As Sarahasi yang berkata gharar akan didapati apabila konsekuensi atau akibatnya itu 23 tidak terungkap dan definisi yang ketiga ini yang banyak diminati di dalam hukum Islam. Paling tidak pengertian tersebut di atas menjelaskan beragamnya pandangan tentang pengertian gharar. Dan suatu hal yang pasti dan secara sederhana disimpulkan adalah bahwa gharar adalah terkait dengan ketidakjelasan akan sesuatu dalam melakukan transaksi. 5.1.2. Dasar Hukum Dari Gharar Larangan tentang jual beli atau transaski yang mengandung gharar itu terdapat dalam al-Qur’an dan hadith Nabi. Hadith tersebut ada dalam berbagai versi termasuk diantaranya adalah hadith-hadith yang melarang transaksi atau jual beli sesuatu yang didalamnya mengandung unsur gharar, meskipun hadith itu tidak menyatakan masalah gharar. Misalnya adanya hadith-hadith terkait dengan larangam jual beli model al-mualasah, al-munabadah dan sebagainya. (Al-Zuhaili, 2003: 8485). Dalam Al-Qur’an, larangan tersebut antara lain dengan ayat berikut ini: ☺ ⌧ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS.Al-Nisa: 29) Sedangkan di antara hadith yang menyebutkan larangan akan transaksi yang mengandung unsure gharar adalah: 24 ان النبى عليه الصال ة والسالم نھى عن بيع الغرر “Bahwa Rasulullah saw telah melarang akan jual beli yang mengandung gharar”. (HR Muslim) (Shariah Resolutions: 101, (al-Zuhayli, 2003: 93). Dalil tersebut di atas merupakan dasar hukum dari dilarangnya aktifitas gharar. Disamping dasar hukum seperti itu pelarangan gharar juga merupakn sesuatu yang dapat diderivasikan dari dalil aqli atau dalil rasional. Dalil rasional yang diamaksud adalah bahwa karena gharar ini adalah merupakan bentuk ketidaktahuan atau keraguan atas sesuatu yang berpotensi merugikan, maka otomatis hal tersebut mencederai asas ar radha’iyyah atau asas kerelaan (konsensual) yang ini merupakan elemen penting kontrak dalam syariat Islam.1 Karena itulah seandainyapun tidak ada hadith yang melarang maka tetap saja gharar merupakan perbuatan yang bertentang dengan prinsip-prinsip kontrak dalam Islam. 5.1.3. Elemen Gharar Hashim Kamali, dalam Islamic Commercial Law (2002:55) menjelaskan bahwa untuk dapat memiliki akibat hukum, gharar ada empat syarat. Pertama, tingkatan gharar tersebut sangat tinggi (eksessif), bukannya gharar yang ringan. Kedua, harus terjadi pada kontrak yang bersifat kumulatif (mu’awadhat), bukannya semacam pemberian (tabarru’at). Ketiga, kesamaran itu terjadi pada obyek utama, bukan obyek pelengkap, misalnya jika jual beli pada sapi betina yang hamil, obyek utamanya bukan pada janin sapi tersebut, tapi pada induknya. Terakhir, bahwa obyek dalam kontrak tersebut bukan suatu barang yang sedang dalam kebutuhan mendesak. Dari empat hal di atas, meski gharar itu dapat berupa berbagai macam, namun empat elemen gharar tersebut dengan jelas memberikan batasan bahwa tidak setiap gharar berperan sebagai faktor yang dapat melarang suatu transaksi. Hanya gharar 1 Hadith Nabi menyatakan: “Jual beli itu didasari oleh kesepakatan yang saling rela”. HR Ibn Hibban (al-Zuhayli, 2003: 45) 25 yang eksessif yang akan dipertimbangkan, ialah gharar yang tinggi tingkatannya yang pada gilirannya jika sebuah kontrak terlibat hal ini akan menjadikan kerugian di salah satu pihak, bukannya gharar tingkat rendah yang sudah umum terjadi dan sulit dihindari serta biasanya diterima oleh para pihak. Misalnya saja bahwa barang yang menjadi obyek transaksi akan dikirimkan dari kota yang satu ke kota lain dengan kendaraaan, sudah jelas, ada potensi kecelakaan, barang sedikit rusak kemasannya, dan seterusnya. Keharusan bahwa gharar tersebut terjadi dalam kontrak yang kumulatif, bukannya kontrak yang bersifat pemberian atau hibah sangat jelas alsannya, ialah bahwa hanya dalam hal gharar yang mengakibatkan kerudian salah satu pihak saja yang akan menjadi factor pelarang, sedangkan seseorang yang menerima pemberian, meski ada unsure gharar sekalipun tidak akan dipertimbangkan, karena pada hakekatnya seseorang yang menerima pemberian tidak akan menderita kerugian. Dari ketentuan yang keempat, adalah suatu ketentuan dasar atau umum dalam hokum Islam, ialah bahwa jika ada kebutuhan mendesak (dharuriyyah), maka sesuatu yang dilarang untuk melakukannya akan menjadi dibolehkan. Demikian halnya dalam implementasi gharar ini, jika memang terkait dengan kebutuhan atau kondisi yang memaksa,misalnya obyek tertentu yang mutlak dibutuhkan maka meskipun ada unsure gharar yang dalam kondisi normal dilarang, maka kemudian untuk obyek tersebut dapat ditolerir. 5.1.4. Aspek Gharar Dengan mengamati berbagai larangan bagi terjadinya gharar dalam transaksi menurut syariat Islam, maka sebagaimana disampaikan oleh Dharir, maka gharar dapat diklasifikasikan menjadi dua. (al-Dhareer, 1997: 23-34). Pertama, gharar terkait dengan kontrak, gharar ini muncul dikarenakan adanya kontrak yang memang berimplikasi pada adanya ketidakjelasan atau ketidaktahuan. Ada beberapa kontrak yang mengandung gharar, meliputi; dua jual beli dalam satu kontrak, yang kedua adalah down payment atau arbun, ketiga adalah 26 jual beli yang hanya sekedar menyentuh dan tidak boleh mengecek barang, yang keempat perdagangan yang disandarkan pada peristiwa tertentu di masa mendatang sebagai syaratnya (mu’allaq), kelima perdagangan yang di ditunda untuk masa tertentu di waktu yang akan dating (mudhaf). Sedangkan yang kedua adalah gharar yang terkait dengan obyek, gharar yang terkait dengan obyek ini pada prinsipnya adalah semua ketidakjelasan atau ketidaktahuan akan jenis dari suatu batang, klasifikasi barang serta sifat-sifat termasuk kuantitas, identitas spesifik ataupun karena waktu pembayarannya yang tidak pasti. Termasuk dalam gharar yang terkait dengan obyek ini adalah jika obyeknya tidak memungkinkan untuk diserahkan atau obyeknya tidak eksis atau tidak ada dan terakhir adalah obyek yang tidak dapat disaksikan atau dilihat. Secara detail, cakupan gharar jenis ini adalah sebagi berikut (al-Dhareer, 1997: 23-34): 1) Ketidaktahuan akan jenis obyek 2) Ketidaktahuan akan spesies obyek 3) Ketidaktahuan akan sifat (atribut) obyek 4) Ketidaktahuan akan kuantitas obyek 5) Ketidaktahuan akan essensi obyek 6) Ketidaktahuan akan kuantitas obyek 7) Ketidak mampuan untuk menyerahkan barang 8) Memperjanjikan obyek yang tidak ada 9) Memperjualbelikan barang yang tidak dapat dilihat 5.1.5. Stratifikasi Gharar Gharar dengan berbagai macamnya di atas memang merupakan suatu aspek negatif, karena akan berdampak pada munculnya kerugian yang tidak semestinya. Di samping itu, gharar juga yang dapat berpotensi untuk memunculkan persengketaan. Namun demikian grarar dalam tingkat tertentu akan selalu ada dalam setiap transaksi. Hanya saja, tidak setiap gharar yang ada itu merupakan gharar yang mutlak harus dihindari. 27 Ada tingkatan tertentu dari gharar ini yang dapat ditolerir. Gharar atau ketidakjelasan atau ketidaktahuan akan obyek atau akan beberapa aspek yang tercantum dalam sebuah kontrak itu Menurut banyak ahli, dapat diklasifikasikan menjadi dua (Zuhayli, 2003: 86, 104-106, Obeid, 1996: 63): Pertama gharar fahisy. Yang dimaksudkan dengan gharar fahisy adalah gharar yang memang jelas-jelas tingkat keghararannya itu sangat tinggi, tingkat ketidaktahuannya atau diragukannya itu sangat tinggi. Karena seperti itulah maka kontrak ataua transasi itu menjadi sangat spekulatif dan adanya sifat yang gambling, mengadu nasib atau untung-untungan serta berpotensi merugikan salah satu pihak dalam transaksi. Gharar fahisy ini menurut para ulama disepakati tidak boleh ada didalam kontrak, atau gharar fahisy ini menjadikan batalnya sebuah kontrak. Bentuk atau contoh dari gharar model ini adalah bentuk-bentuk gharar yang diuraikan di muka, seperti membeli dengan tanpa diketahui kapan atau bagaimana penyerahan barang, atau jual beli atas sesuatu obyek ngan ketidakjelasan karakteristik dari obyek tersebut. Termasuk di antara bentuk dari gharar fahisy atau gharar yang eksessif ini adalah berbagai bentuk transaksi yang tidak dibolehkan untuk melakukan cek atau pemeriksaan terhadap barang, kemudian juga menjual sesuatu yang eksistensinya masih dimasalahkan, misalya menjual hewan yang masih berada dalam kandungan induknya dengan tanpa menjual hewan induknya atau menjual buah sebelum untuk siap dipanen. Sama halnya juga menjual sesuatu dengan harga yang dimasa depan dengan harga yang ditunda dengan ketidaktahuan tentang prospek masa depannya. Kedua Gharar yasir. Sedangkan gharar yasir ini adalah tingkat ke-ghararannya sangat tipis atau kecil, dan disamping itu terkadang sesuatu hal yang terkadang tidak mungkin dapat dihindari dalam sebuah kontrak atau transaksi. Sedangkan untuk contoh dari gharar yasir adalah misalnya menjual rumah tanpa harus melihat fondasinya, kemudian persewaan pemandian umum meskipun dengan harga yang rata-rata sama meski orang itu memakai jumlah yang berbeda. 28 Dengan melihat contoh tersebut,maka dapat dipahami bahwa gharar yasir atau gharar yang ringan ini memang orang tidak mempermasalahkan atau memang tidak mungkin untuk diketahui. Di samping itu, gharar semacam ini secara umum dipandang sebagai sesuatu yang dapat ditolerir atau dimaklumi. Dari kedua jenis gharar tersebut,, maka gharar yang berefek pada rusaknya sebuah kontrak adalah gharar fahisy. Sedangkan gharar yasir tidak berdampak pada keberlangsungan kontrak atau keabsahannya. Yang menjadi masalah adalah gharar yang tengah-tengah antara fahis dan yasir. Sebagian ahli berpendapat bahwa ada gharar jenis yang ketiga ini, yakni gharar yang tengah-tengah. Namun bentuk yang mewakili klasifikasi yang ketiga ini tidak atau jarang dijumpai. (al-Zuhayli, 2003: 8687) Dari berbagai pemaparan dan diskusi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa gharar yang dapat membatalkan transkasi adalah gharar yang memenuhi criteria : 1. Gharar itu bersifat eksesif atau fahisy. 2. bahwa kontrak atau transaksi adalah kontrak tukar menukar barang atau tukar menukar sesuatu (akad mu’awadhat). Kontrak di luar hal tersbut, misalnya kontrak pemberian barang atau hibah, tidak termasuk dalam jenis yang dapat gugur atau dilarang karena adanya unsure gharar. 3. obyek dalam kontrak merupakan aspek yang prinsipil. Yang dimaksudkan adalah bahwa obyek barang yang ditransaksikan harus barang yang memang memiliki arti dan kegunaan dalam kehidupan. Sehingga karena adanya gharar menjadikan terjadinya atau munculnya kerugian dari salah satu pihak. 4. tidak adanya keharusan bahwa kontak itu harus dilakukan. Yang dimaksudkan di sini adalah bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak itu melakukannya melakukannya. tanpa adanya kondisi yang mengahruskan mereka Pihak tersebut sebenanrnya memiliki kesempatan dan keleluasaan untuk melakukan atau tidak melakukannya, termasuk juga tidak berada di bawah paksaan atau tekanan. 29 Jadi jelaslah bahwa gugurnya suatu kontrak karena gharar tidak terjadi dalam setiap bentuk gharar atau bentuk kontrak. Hanya gharar dalam tingkat tertentu saja yang berungsi membatalkan transaksi, serta hanya kontrak-kontak tertentu saja yang dapat gugur karena gharar. 30 5.2. Implementasi Gharar dalam Screening Criteria di Jakarta Islamic Index (JII) Sebagaimana yang telah dijelaskan di muka, bahwa perbedaan mendasar pasar modal syariah jika dibandingkan dengan pasar modal konvensional adalah dalam hal bahwa prinsip-prinsip syariah menjadi acuan. Atas dasar itulah, maka permasalahan penting yang harus diatur dalam pasar modal syariah ini adalah tentang screening criteria. Yang dimaksudkan dengan screening criteria adalah parameter atau landasan yang menjadi criteria bagi jenis surat berharga yang dapat di listing atau dipsarkan pada pasar modal syariah. Meski utamanya adalah pada kriteria terkait dengan syariah, namun criteria non syariah juga akan sedikit disinggung dalam pembahasan berikut ini. 5.2.1. Kriteria Aspek Syariah Kriteria aspek syariah ini merupakan suatu hal yang harus ada pada pasar modal syariah. Sebelum lebih lanjut masuk pada pembahasan tentang hal ini, terlebih dahulu perlu dilihat siapakah yang memiliki kewenangn untuk menentukan kriteria syariah ini ini. 5.2.1.1. Penentu Kriteria Pasar modal syariah di Indonesia, atau yang dikenal juga dengan Jakarta Islamic Index (JII) dipersiapkan oleh JSX bersama dengan PT Dnareksa Investment Management. Karena itulah,penentuan kriteria syariah atas dapat atau tidaknya efek tertentu untuk dimasukkan dalam listing di JII, ditentukan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) dari PT Dnareksa Investment Management. Kriteria syariah yang dimaksud diformulasikan dengan mendasarkan pada keputusan DSN (Dewan Syariah Nasional). (Shariah Product, 2009) Dewan Pengawas Syariah di atas adalah suatu komite pengawas yang pengangakatannya direkomendasikan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Maka, 31 sebagaimana disebutkan di atas, dasar panduan penentuan pengawasan syariah pun mengacu pada fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN. Perlu diketaui di sini bahwa DSN adalah salah satu divisi yang ada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang bersama divisi atau bagian lain ikut mendukung terlaksananya berbagai program kerja dari MUI itu sendiri.Misalnya dari divisi lain itu adalah LPOM (Lembaga Pengawasan Obat dan Makanan) yang berurusan dengan sertifikasi halal. (Pedoman Rumah Tangga, Pasal [1]) Fatwa yang diterbitkan oleh DSN terkait dengan produk, instrumen dan operasional pasar modal syariah adalah sbb: 1) No.20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syariah; 2) No.28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (al-Sharf) 3) No.32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah; 4) No.33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah; 5) No.40/DSN-MUI/IX/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip syariah di Bidang Pasar Modal; 6) No.41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah. (Ngapon, 2005) Posisi DPS dalam pasar modal, adalah sebagai komite yang menjadi partner dari manajemen JII dalam penasehatan (advisory) dan pengawasan (supervisory) dalam aspek syariah terkait produk dan operasinal dari Jakarta Islamic Index (JII). Anggota badan ini bukanlah pegawai atau karyawan dalam lembaga di mana mereka menjadi DPS, namun sebagai orang yang diminta jasanya dikarenakan ilmu atau pengetahuan yang dimilikinya. Sama dengan praktek perbankan syariah di mana setiap bank harus memiliki DPS, maka setiap perusahaan yang berkeinginan untuk menjadi anggota (listing) pada JII ini juga harus memiliki DPS tersendiri.(Per-03/BL/2007 Ps [5]). Mekanisme kerja dari DPS ini pada prinsipnya adalah memberikan fatwa yang diminta oleh pihak manajemen terkait dengan status sebuah produk ditinjau dari kriteria syariah. 32 Namun, di samping itu, DPS, sebagaimana yang tersurat dari namanya “pengawas” juga bertanggung jawab untuk memastikan dan mengawal agar operasional dari perusahaan yang terdaftar pada pasar modal syariah atau Jakarta Islamic Index (JII) itu selalu memathui ketentuan syariat Islam. Sehingga, dalam fungsinya sebagai pemberi nasehat dan fatwa hukum, badan ini bekerja atas dasar permintaan, namun untuk peran pengawasannya, badan ini bekerja secara independen untuk kemudian memberikan laopran pada pihak manajemen, BAPEPAM serta kepada MUI. MUI harus diberikan laporan dikarenakan MUI lah yang mengeluarkan fatwa terkait dengan produk-produk dan operasional pasar modal syariah atau Jakarta Islamic Index (JII). Isu utama terkait dengan mekanisme ini adalah konsekuensi dari ketidakpatuhan terhadap syariah. Yakni jika dalam pengawasan yang dilakukan oleh DPS dijumpai adanya produk-produk yang ditawarkan oleh pasar modal, ataupun juga aspek operasionalnya yang jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, maka kemudian langkah apakah yang mesti diambil atau ditempuh. Berangkat dari fungsi pengawasan itu, maka jika terjadi ketidakpatuhan, maka anggota DPS akan menyampaikan laporan kepada DSN dan BAPEPAM sebagai pihak yang meerekomendasikan dan mengangkat mereka. Adapun jika memang pelanggaran terhadap prinsip syariah yang telah ditetapkan dalam peraturan BAPEPAMKEU maka berarti juga pelanggaran terhadap peraturan tersebut. Hal ini dapat dijatuhi hukum, sebagaimaPelanggaran terhadap Peraturan ini akan dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahan Pembiayaan. (Per-03/BL/2007Ps[13]). Hanya permasalahannya adalah apakah ketidakpatuhan itu menimbulkan resiko tertentu ataukah tidak. Maka jika tidak, berarti resikonya adalah bukan resiko yang bersifat hukuman dri pemegang otoritas, namun lebih kepada resiko reputasi, yang artinya, hukuman yang akan diterima oleh otoritas pasar modal atau JII adalah hukuman dari masyarakat atau stake holders. Nama baik institusi akan menjadi buruk di hadapan masyarakat atau stake holder tersebut. 33 Setelah secara selintas dibahas tentang pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan syariah, di mana di dalam proses pengawasan itulah screening criteria ditetapkan dan diimplementasikan, maka selanjutnya akan didiskusikan aturan yang diberlakukan untuk memastikan bahwa prinsip syariah dipatuhi. 5.2.1.2. Kriteria Syariah bagi Perdagangan di JII Untuk menentukan apakah sebuah efek itu sesuai dengan prinsip syariah atau tidak, menurut fatwa dari DSN, transaksi yang ada harus memenuhi kriteria brikut: 1) Pelaksanaan transaksi harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak diperbolehkan melakukan spekulasi dan manipulasi yang di dalamnya mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman. 2) Transaksi yang mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman sebagaimana dimaksud ayat 1 di atas meliputi: a) Najsy, yaitu melakukan penawaran palsu; b) Bai’ al-ma’dum, yaitu melakukan penjualan atas barang (Efek Syariah) yang belum dimiliki (short selling); c) Insider trading, yaitu memakai informasi orang dalam untuk memperoleh keuntungan atas transaksi yang dilarang; d) Menimbulkan informasi yang menyesatkan; e) Margin trading, yaitu melakukan transaksi atas Efek Syariah dengan fasilitas pinjaman berbasis bunga atas kewajiban penyelesaian pembelian Efek Syariah tersebut; dan f) Ihtikar (penimbunan), yaitu melakukan pembelian atau dan pengumpulan suatu Efek Syariah untuk menyebabkan perubahan harga Efek Syariah, dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain; g) Dan transaksi-transaksi lain yang mengandung unsur-unsur diatas. (Fatwa DSN No.40/DSN-MUI/IX/2003, Ps [5]) 34 Di luar dari itu semua, harus juga diperhatikan bahwa untuk efek syariah ini harus ada Harga Pasar Wajar, sebagaimana dalam fatwa DSN disebutkan: “Harga pasar dari Efek Syariah harus mencerminkan nilai valuasi kondisi yang sesungguhnya dari aset yang menjadi dasar penerbitan Efek tersebut dan/atau sesuai dengan mekanisme pasar yang teratur, wajar dan efisien serta tidak direkayasa.” (Fatwa DSN No.40/DSN-MUI/IX/2003, Ps [6]) Sedangkan dari peraturan yang dikeluarkan oleh BAPEPAM maka harus dipatuhi ketentuan umum sebagaimana yang tekah ditetappak oleh lembaga ini. Kegiatan usaha yang diselenggarakan oleh penerbit efek tidak merupakan aktivitas bisnis atau usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah. Adapun, kegiatan usaha yang dinilai bertentangan dengan prinsip syariah di antara yang paling penting adalah: 1) perjudian dan permainan yang dapat diklasifikasikan sebagai judi atau perdagangan yang dilarang; 2) menyelenggarakan layanan jasa keuangan yang menerapkan konsep ribawi, jual beli risiko yang mengandung gharar dan atau maysir; 3) memproduksi, mendistribusikan, memperdagangkan, dan atau menyediakan: a) barang dan atau jasa yang haram karena zatnya (haram li-dzatihi); b) barang dan atau jasa yang haram bukan karena zatnya (haram li ghairihi) yang ditetapkan oleh DSN- MUI; dan atau c) barang dan atau jasa yang merusak moral dan bersifat menyebabkan bahaya (madarat); dan atau 4) melakukan investasi pada perusahaan yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) hutang perusahaan keuangan ribawi lebih dominan dari (konvensional) kepada lembaga modalnya, kecuali investasi tersebut dinyatakan kesyariahannya oleh DSN-MUI. 5. Penerbitan Efek Syariah wajib dilakukan berdasarkan Akad Syariah. 6. Efek Syariah tidak lagi memenuhi Prinsipprinsip Syariah di Pasar Modal apabila kegiatan usaha, cara pengelolaan, 35 kekayaan Reksa Dana, dan atau kekayaan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset dari Pihak yang menerbitkan Efek tersebut tidak lagi memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal yang terkait dengan Efek Syariah yang diterbitkan. (Peraturan IXA.13, no.2,3 &4) Menarik untuk dikaji di sini apa yang telah tertera di atas, karena dengan pembahasan terhadap masalah tersebut akan diketahui landasan dan latar belakang dari pencantuman criteria pelarangan terhadap hal-hal di atas. Secara substansial, apa yang telah dikeluarkan oleh DSN tersebut di atas tidak berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh BAPEPAM. Hal ini dimungkinkan karena meman peraturan yang dikeluarkan BAPEPAM tersebut mengacu pada fatwa DSN, dan di samping itu penyusunan peraturan tersebut juga dilakukan antara lain oleh peran dari anggota DPS yang ada pada JII yang anggota tersebut adalah juga anggota DSN. Dari apa yang telah didiskusikan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan: Pertama, aspek yang bersifat perjudian atau maysir. Pelarangan perjudian di dalam ajaran Islam (baik al-Qur’an maupun al-hadith) adalah sesuatu yang jelas dan dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada perselisihan di dalamnya. Perjudian diharamkan dalam Islam berdasarkan QS al-Baqarah: 219 and al-Maidah: 93). Perjudian, menurut Islam, mengandung unsur spekulasi yang sangat besar di samping menimbulkan kerugian bagi sementara pihak. Keuntungan yang diperoleh dengan perjudian adalah kerugian bagi pihak lawannya. Karena itulah, berbagai bisnis yang bersinggungan dengan perjudian ini tidak akan dapat memperoleh pengesahan dari DPS. Kedua, bentuk (transaksi) bisnis yang melibatkan keuangan yang menerap kan konsep ribawi. Pelarangan riba diatur dalam berbagai ayat dalam al-Qur’an. Pelarangan tersebut adalah dalam QS al-Rum: 39), al-Nisa: 161, Ali Imran: 130-132, dan al-Baqarah: 275-281. Sedangkan gharar adalah spekulasi sebagaimana yang telah dibahasa secara panjang lebar dan mendetail pada awal-awal dari laporan penelitian ini yang karenanya tidak perlu lagi dibahas di sini. 36 Ketiga, obyek yang haram li dzatih dan lighairih. Haram li dzatih artinya bahwa suatu obyek itu haram karena essensi dari barang tersebut, bukan karena hal di luar essensi materi dari barang atau obyek tersebut. Contoh yang sangat jelas terkait hal ini adalah haramnya khamr atau minuman beralkohol, haramnya daging babi ataupun barang najis. Kesemua barang tersebut haram karena esensi materi dari barang tersebut yang memang diharamkan, tidak boleh dikonsumsi atau dimanfaatkan. Hal ini berbeda dengan apa yang disebut dengan haram li ghairih, yakni suatu barang yang haram dikarenakan suatu sebab yang berasal dari luar esensi materi barang tersebut. Status haram atas sebuah barang disebabkan oleh faktor di luar yang terkait dengan barang tersebut. Misalnya saja adalah haram karena terkait dengan proses bagaimana barang tersebut didapatkan atau untuk tujuan apa barang tersebut ditransaksikan. Sehingga barang yang diperoleh dari hasil perjudian, pencurian atau penggelapan serta pemilikan secara illegal, juga masuh dalam barang yang diharamkan. Sementara penapat juga memasukkan barang yang dibeli dengan uang hasil dari perbuatan yang bertentangan dengan Islam, misalnya saja hasil dari pelacuran. Termasuk juga sebuah barang yang transaksi atas barang tersebut bertujuan untuk ketidakbaikan, juga termasuk dalam jenis atau klasifikasi haram li ghairih. Jadi jelaslah, bahwa klasifikasi haram li ghairih adalah sebuah klasifikasi yang all-embracing atau all-inclusive, artinya, mencakup berbagai masalah selama hal itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh syariah Islam. Hal lain yang menarik dariperaturan tersebut adalah tentang adanya klausul yang memasukkan perusahan yang memiliki rasio hutan kepada institusi keuangan yang berbasis riba lebih besar daripada hutang pada institusi keuangan syariah (Islam) sebagai dilarang untuk ditransaksikan. Hal ini menarik karena berupaya untuk lebih memurnikan perusahaan yang memang berkehendak untuk masuk dalam JII. Meski larangan ini masih sangat elementer, tapi nampaknya ingin memasuki wilayah yang selama ini menjadi perdebatan berkepanjangan. Perdebatan dimaksud 37 adalah apakah sebuah institusi keuangan syariah yang akan beroperasi hanya dapat memanfaatkan modal (uang) yang memang bebas dari riba sama sekali?. Selama ini jawaban masih sangat bersifat procedural, ialah bahwa pemilik modal harus memberikan pernyataan secara tertulis yang menyatakan bahwa modal tersebut berasal dari proses halal, dengan tanpa melihat pembuktian dari hal itu. Sama halnya sebuah perushaan baru yang didirikan oleh sebuah perusahaan keuangan besar yang memang keseluruhan modalnya berasal dari bisnis konvensional yang berbasis riba. Di samping berbagai larangan di atas, ada beberapa larangan yang diberikan dalam peraturan yang lain. Efek yang dapat dijual pada JII juga harus memenuhi berbagai persyaratan sebagaimana berikut: 1. Efek berupa saham, termasuk Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) Sya riah dan WaranSyariah, yang diterbitkan oleh Emiten atau Perusahaan Publik yang tidak menyatakan bahwa kegiatan usaha serta cara pengelolaan usahanya dilakukan berdasarkan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal sepanjang Emiten atau Perusahaan Publik tersebut memenuhi kriteria sebagai berikut (Peraturan No. II.K1, butir e dan f): a. tidak melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf a Peraturan Nomor IX.A.13; b. tidak melakukan perdagangan yang tidak disertai dengan penyerahan barang dan atau jasa; c. tidak melakukan perdagangan dengan penawaran atau permintaan palsu; dan 2. Efek Syariah yang diterbitkan di luar negeri yang memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal. 3. Tidak melebihi rasio-rasio keuangan sebagai berikut: a) total hutang yang berbasis bunga dibandingkan dengan total ekuitas tidak lebih dari 82% (hutang yang berbasis bunga dibandingkan dengan total ekuitas tidak lebih dari 45%: 55%); dan b) total pendapatan bunga dan pendapatan tidak halal lainnya dibandingkan dengan total pendapatan (revenue) tidak lebih dari 10%. 38 Peraturan tersebut di atas (No. II K1), melengkapi dari kriteria yang telah dituangkan dalam Peraturan No. IX.A.13. Meski sebenarnya secara implisit kriteria dalam peraturan yang lebih baru ini (No. II K1) sudah tercakup dalam peraturan sebelumnya, namun pernyataan yang secara eksplisit ini memberikan penekanan yang lebih jelas dan kuat serta sulit disimpangi dengan alasan ketidakjelasan bunyi aturan. Mengapakah dikatakan bahwa secara implisit sudah tercakup dalam aturan sebelumnya?. Ini Nampak pada larangan melakukan perdagangan yang tidak disertai dengan penyerahan barang, serta penawaran atau permintaan palsu. Kedua hal tersebut sebenarnya masuk dalam wilayah gharar, sedangkan gharar telah disebutkan dalam aturan sebelumnya (No. IX.A.13). Sedangkan pernyataan tentang efek syariah yang diterbitkan di luar negeri yang juga harus mentaati prinsip-prinsip syariah, sebenarnya bukan pengaturan baru juga, karena tidak ada pengecualian dalam pengaturan sebelumnya bagi efek yang diterbitkan di luar negeri, artinya bahwa semua efek yang akan didaftarkan untuk penjualan di JII haruslah memenuhi aturan tentang kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah yang telah ditetapkan seca umum. Meski demikian penekanan tersebut juga memberikan nilai berupa penekanan yang lebih tinggi. Peraturan tersebut juga cukup detail dalam memberikan parameter bagi perusahan yang akan listing pada pasar modal bahwa keterlibatannya dengan riba harus dibatasi sedemikian rupa sehingga kehalalannya terjaga. Yang menarik adalah bahwa ketentuan prosentase total hutang berbasis bunga juga dengan pendapatan bunga dan pendapatan tidak halal lainnya, ditentukan dalam jumlah tertentu. Tentu saja, jika dasar pengambilan hukumnya adalah batasan sedikit dan banyak, maka angka tersebut dapat didiskusikan lebih lanjut, mengapa, misalnya saja, untuk pendapatan dari bunga atau non halal dapat ditolerir sampai 10 %, dan kemudian, apa efek hukum jika suatu perusahaan melampaui, atau tepat, atau di bawah dari angka tersebut. Apakah ada efek tentang kepatuhan syariah ataukah tidak, itu tentu perlu diskusi dan penelitian lebih lanjut. 39 Jadi jelaslah bahwa screening criteria untuk aspek syariah menyangkut masalah kehalalan bagi produk yang diberikan oleh perusahaan yang bersangkutan, serta juga ketentuan organisatoris bagi perusahaan tersebut yang harus melibatkan unsure pengawasan syariah. Sebagaimana telah dijelaskan di depan, bahwa kriteria dalam penyeleksian perusahaan yang akan listing di JII tersebut juga melibatkan berbagai criteria non syariah, maka selanjutnya perlu didiskusikan criteria yang dimaksud. 5.2.2. Kriteria terkait Aspek Likuiditas Kriteria yang terkait dengan aspek likuiditas, atau kinerja perusahaan, telah dinyatakan dalam peraturan yang hal itu meliputi: Khusus untuk saham (share), ada persyaratan sebagai berikut: 1) Aktivitas bisnis dari penerbit saham tidak bertentangan dengan hukum Islam,dan saham akan di listing untuk masa lebih dari 3 bulan (kecuali jika saham tersebut termasuk dalam 1o besar daftar kapitalisasi). 2) Laporan keuangan tahunan atau semesteran menunjukkan rasio kewajiban asset maksimal 90% 3) Termasuk dalam 60 saham terbaik di tahun terakhir kapitalisasi pasar. 4) Termasuk dalam 30 saham terbaik di tahun terakhir dalam hal likuiditas di pasar regular. (Syariah Product, 2009) Persyaratan likuiditas tersebut, meskipun tidak terkait dengan masalah kepatuhan syariah, namun sangat penting untuk diterapkan dalam screening criteria di JII. Hal ini dikarenakan pasar modal Islam pun memperlukan kinerja yang baik, atau bahkan idealnya lebih baik dari pasar modal yang telah ada, sehingga tidak akan memperburuk perkembangan dari bisnis keungan Islam. Bahkan, jika diperlukan, justeru harus ada peraturan yang lebih jelas dan konsisten, karena dalam tahap pengembangan dari sistem ini, jika kemudian terbukti kinerjanya memang lebih baik 40 dari kinerja dalam pasar modal konvensional, maka, orang atau pasar akan lebih tertarik pada bisnis keuangan Islam, termasuk di dalamnya pasar modal. Sehingga, ini penting untuk menghindari pengalaman yang terjadi pada perbankan Islam, di mana seolah-olah ada kesan bahwa perbankan Islam hanyalah untuk pelarian (atau dinilai sebagai second class) jika sebuah industri sudah tidak sanggup lagi bersaing di pasar atau system konvensional. Sebagaimana telah dipahami bersama, daya tarik dari bisnis keuangan Islam yang sangat penting adalah pada kesehatan dari sistem tersebut. Bukankah mulai populernya perbankan syariah di Indonesia adalah ketika krisis ekonomi yang terjadi pada akhir decade 90-an adalah karena faktor kesehatan perbankan syariah juga?. Di mana, pada saat itu, banyak industry perbankan yang collaps dan tidak sehat, namun BMI (Bank Muamalat Indonesia) justeru menunjukkan performance nya sebagai perbankan yang paling sehat?. Dalam kasus terkait pasar modal dan pasar uang, kejadian yang telah memicu terjadinya kebangrutan massif di kalangan perusahaan di Amerika, yang dikenal dengan sub prime mortgage, juga telah menunjukkan bahwa aspek di luar produk telah sangat mempengaruhi kinerja. Dalam hal ini, cara-cara yang bertentangan dengan prinsip syariah, terbukti sangat rawan dan rapuh terhadap tindakan profit taking yang sanga bebas, yang pada gilirannya akan mengakibatkan kerugian. Dan kasus tersebut, ternyata kemudian menjadi impetus dari semakin diliriknya bisnis pasar keuangan Islam, ialah Islamic mortgate. Di sinilah pentingnya berbagai persyaratan di luar dari persyaratan terkait kepatuhan syariah. 5.2.3. Kriteria Syariah dalam Tata Kelola (Governance) Aspek tata kelola (governance) merupakan aspek yang penting dalam praketek bisnis keuangan Islam, termasuk pasar modal syariah. Hal ini berangkan dari landasan flosofis bahwa kehalalan sesuatu dalam Islam tidak hanya ditentukan dengan jenis produk saja. Sebagaimana makanan, kehalalan tidak hanya ditentukan 41 oleh bahwa makanan itu termasuk materi/ zat atau substansi yang diharamkan atau tidak. Akan tetapi faktor di luar dari materi tersebut juga penting untuk dilihat, ialah proses yang melatarbelakanginya. Dalam hal ini, tata kelola (governance) menjdi sangat penting untuk dianalisis. Sebagaimana telah namapak jelas dari pembahasan di atas, criteria yang banyak menunjuk pada produk yang ditawarkan sudah diatur dengan jelas dan diberikan rambu-rambu agar tidak ada pertentang dengan prinsip syariah. Maka selanjutnya, untuk menjamin bahwa criteria di atas benar-benar dipatuhi, ada beberapa hal yang harus dipenuhi oleh pihak perusahaan, ialah aspek tata kelola (governance). Pihak atau perusahaan yang menerbitkan Efek Syariah di Pasar Modal syariah wajib untuk memberikan pernyataan sebagai berikut, bahwa (Peraturan Nomor IX.A.13 point 2.f): 1) kegiatan usaha serta cara pengelolaan usaha Pihak yang melakukan Penawaran Umum dilakukan berdasarkan Prinsipprinsip Syariah di Pasar Modal sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasar Perseroan atau Kontrak Investasi Kolektif (KIK); 2) jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan, aset yang dikelola, akad, dan cara pengelolaan perusahaan Pihak yang melakukan Penawaran Umum tidak bertentangan dengan Prinsip- prinsip Syariah di Pasar Modal; dan 3) memiliki anggota direksi, anggota komisaris, Wakil Manajer Investasi, dan penangungjawab atas Kustodian yang mengerti pelaksanaan kegiatan Kustodian kegiatan-kegiatan yang pada Bank bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal. Pernyataan tentang beberapa point di atas merupakan suatu jaminan bahwa pihak penerbit efek memiliki komitmen terhadap kepatuhan syariah dalam pengelolaan dan kegiatan usaha. Meski hanya berupa pernyataan, yang dalam kekuatan hukum seakan hanya tergantung dari pihak yang menyatakan, namun jika 42 dianalisa dengan cermat, maka hal tersebut akan memiliki konsekuensi hukum yang sangat serius bagi penegakan hukum terkit kepatuhan syariah. Pernyataan tersebut akan memberikan akses bagi penegakan kepatuhan syariah dalam, minimal 3 hal: Pertama, kegiatan usaha dan cara pengelolaan. Pernyataan bahwa kegiatan usaha dan cara pengelolaan sebenarnya merupakan penyebutan yang secara allinclusive telah mewakili dari tata kelola. Sehingga ketika kegiatan usaha dan cara pengelolaan harus dinyatakan sebagai tidak bertentangan dengan syariah, maka sudah menunjukkan adanya komitmen untuk melakukan tata kelola tang patuh terhadap syari’ah. Dan ini berarti bahwa keseluruhan prosedur dan mekanisme serta berbagai cara yang ditempuh di dalamnya harus mematui prinsip syariah di pasar modal. Kedua, orang yang terlibat dalam manajemen. Penegasan ini cukup menarik, dikarenakan secara tegas menunjukkan bahwa bahwa urusan terkait kepatuhan syariah bukan hanya diletakkan dalam tanggung jawab DPS, namun bahwa orangorang yang terlibat dalam manajemen,mulai dari direksi, komisaris, dan seterusnya, haruslah memiliki tingat pemahaman terstentu akan asepek-aspek usaha terkait yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Meski kemudian pertanyaannya adalah, apakah pernyatakan ini diikuti dengan berbagai upaya untuk mendukung terwujudnya hal ini ataukah tidak. Dengan kata lain, apakah regulator dan institusi yang bertugas mengawasinya, dalam hal ini BAPEPAM, apakah memiliki instrument pendukungnya, semacam mekanisme pendidikan dan sertifikasi serta metode fit and proper tes nya. Jika belum tersedia hal tersebut, maka hal ini penting untuk segera diupayakan, agar aturan terkait kewajiban membuat pernyataan seperti tersebut di atas bukan hanya aturan semata, namun menjadi sebuah tindakan yang riil. Di samping pengaturan yang berupa keharusan untuk memberikan pernyataan sebagaimana tersebut di atas, emiten atau Perusahaan Publik yang melakukan Penerbitan Efek Syariah berupa saham wajib: 1) mengikuti ketentuan Peraturan Nomor IX.A.1 tentang Ketentuan Umum Pengaj uan Pernyataan Pendaftaran atau Peraturan Nomor IX.B.1 tentang Pedoman Me 43 ngenai Bentuk Dan Isi Pernyataan Pendaftaran Perusahaan Publik dan serta kete ntuan tentang Penawaran Umum yang terkait lainnya; dan 2) mengungkapkan informasi tambahan dalam Prospektus bahwa: a) dalam anggaran dasar dimuat ketentuan bahwa kegiatan usaha serta cara pen gelolaan usahanya dilakukan berdasarkan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal; b) jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan, aset yang dikelola, akad, dan cara pengelolaan Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud tidak bertentanga n dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal; dan c) Emiten atau Perusahaan Publik memiliki anggota direksi dan anggota komis aris yang mengerti kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan Prinsipprinsip Syariah di Pasar Modal. (Peraturan No. IXA.13 point 3) Point no. 2 dari peraturan di atas sebenarnya tidak berbeda dengan peraturan yang mewajibkan pihak emiten untuk memberikan pernyataan sebagaimana di atas. Hanya saja, pada point 2 tersebut menegaskan pentingnya berbagai aspek tersebut dapat diketahui secara mudah oleh orang-orang yang berkepentingan. Dengan dicantumkannya ketentuan tersebut dalam porspektus, maka hal ini berarti bahwa masyarakat akan dengan mudah mengetahui komitmen dari sebuah erusahaan atau emiten bahwa berbagai prinsip terkait dengan kepatuhan syariah menjadi pedoman baik dalam peneluaran produk maupun dalam pengelolaan atau aspek operasional. 5.2.4. Kontrak Syariah yang dapat diterapkan dalam perusahaan pembiayaan yang listing di Pasar Modal. Untuk mengetahui model hukum Islam yang diterapkan, maka penting di sini untuk dilihat bagaimana jenis-jenis akad yang diterapkan pada pasar modal syariah (JII), serta apa kriteria dari masing-masing kontrak tersebut. Hal ini penting, karena dengan mengetahui kriteria untuk masing-masing jenis kontrak, berarti mengetahui 44 madzhab hukum yang dianut atau diadopsi dalam produk dan operasional pasar modal syarriah (JII) di Indonesia. Dalam Peraturan Keuangan Ketua Nomor: Per- Badan Pengawas Pasar Modal 04 /BL/2007 Tentang Akad-Akad Dan Yang Lembaga Digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, dijelaskan bahwa akad yang dipakai atau diterapkan dalam pasar modal syariah (JII) meliputi akad-akad sebagai berikut: 1) Akad Ijarah 2) Akad Ijarah Muntahiah Bi Tamlik 3) Akad Wakalah bil Ujrah 4) Akad Murabahah 5) Akad Salam 6) Akad Istishna’ Masing-masing akad tersebut akan dianalisa satu persatu dalam penjelasan berikut: 5.2.4. 1. Akad Ijarah Ijarah didefinisikan sebagai: “Ijarah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) tanpa diikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri.” (Pasal 1 [1]) Ada beberapa unsur yang harus dipenuhi bagi akad ijarah ini, baik yang terkait dengan perusahaan pemberi sewa, penyewa, obyek barang yang disewakan maupun dokumentasi hukum. 1) Hak dan kewajiban pemberi sewa (muajjir) Bagi Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) memiliki hak antara lain meliputi (Pasal 2 [1]-[2]): 45 a) memperoleh pembayaran sewa dan atau biaya lainnya dari penyewa (musta’jir ); dan b) mengakhiri akad Ijarah dan menarik obyek Ijarah apabila penyewa (musta’jir) tidak mampu membayar sewa sebagaimana diperjanjikan. Sedangkan kewajiban Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) meliputi: a) menyediakan obyek Ijarah yang disewakan; b) menanggung biaya pemeliharaan obyek Ijarah; dan c) menjamin obyek Ijarah yang disewakan tidak terdapat cacat dan dapat berfung si dengan baik. 2) Hak dan kewajiban penyewa (muajjir) Dalam akad sewa (iajarah) ini, penyewa (musta’jir) memiliki hak antara lain meliputi Pasal 3 (1)-(2): a) menerima obyek Ijarah dalam keadaan baik dan siap dioperasikan; dan b) menggunakan obyek Ijarah yang disewakan sesuai dengan persyaratanpersyaratan yang diperjanjikan. Sedangkan Kewajiban yang harus dilakukan oleh penyewa (musta’jir) antara lain meliputi: a) membayar sewa dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan; b) mengembalikan obyek Ijarah apabila tidak mampu membayar sewa; c) menjaga dan menggunakan obyek Ijarah sesuai yang diperjanjikan; dan d) tidak menyewakan kembali dan atau memindahtangankan obyek Ijarah kepada pihak lain. 3). Persyaratan bagi obyek sewa (ijarah) dan macamnya: Adapun tentang obyek sewa (ijarah), adalah berupa barang modal yang memenuhi ketentuan antara lain (Pasal 4): a) obyek Ijarah merupakan milik dan atau dalam penguasaan Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir); 46 b) manfaat obyek Ijarah harus dapat dinilai; c) manfaat obyek Ijarah harus dapat diserahkan Penyewa (musta’jir); d) pemanfaatan obyek Ijarah harus bersifat tidak dilarang secara syariah (tidak di haramkan) e) manfaat obyek Ijarah harus dapat ditentukan dengan jelas; dan f) spesifikasi obyek Ijarah harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui ide ntifikasi fisik, kelaikan, dan jangka waktu pemanfaatannya. Adapun benda atau alat yang dapat menjadi obyek sewa antara lain sebagai berikut(Pasal 5): a) alat-alat berat (Heavy Equipment); b) alat-alat kantor (Office Equipment); c) alat-alat foto (Photo Equipment); d) alat-alat medis (Medical Equipment); e) alat-alat printer (Printing Equipment); f) mesin-mesin (Machineries); g) alat-alat pengangkutan (Vehicle); h) gedung (Building); i) komputer; dan j) peralatan telekomunikasi atau satelit. 4). Dokumentasi hukum dan ketentuan tambahan. Adapun terkait dengan dokumentasi hukum, harus dibuat sekurang-kurangnya dokumen sebagaimana berikut ini (Pasal 8): a) surat persetujuan prinsip (offering letter); b) akad Ijarah; c) perjanjian pengikatan jaminan atas pembayaran sewa; dan d) tanda terima barang. 47 Sedangkan aspek lain yang juga harus terdapat dalam akad ijarah ini adalah (Pasal 7): a) identitas Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) dan penyewa (musta’jir); b) spesifikasi obyek Ijarah meliputi nama, jenis, jumlah, ukuran, tipe dan lokasi penggunaan/penempatan obyek Ijarah; c) spesifikasi manfaat obyek Ijarah; d) harga perolehan, nilai pembiayaan, dan pembayaran sewa Ijarah; e) jangka waktu sewa; f) saat penyerahan obyek Ijarah; g) ketentuan mengenai pengakhiran transaksi yang belum jatuh tempo; h) ketentuan mengenai biaya-biaya yang timbul selama masa sewa; i) ketentuan mengenai biaya-biaya yang ditanggung oleh masing-masing pihak apabila terdapat kerusakan, kehilangan atau tidak berfungsinya obyek Ijarah; j) ketentuan mengenai pengalihan kepemilikan obyek Ijarah oleh Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) kepada pihak lain; dan k) hak dan tanggung jawab masing-masing pihak. 5.2.4.2. Ijarah Muntahiyah Bi al-Tamlik (IMBT) Akad ini dedefinisikan sebagai: “akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) disertai opsi pemindahan hak milik atas tersebut kepada penyewa setelah selesai masa sewa.” (Pasal 1 (2)) barang 48 1). Ketentuan Umum Secara garis besar, ketentuan bagi IMBT adalah (Pasal 9): a) Dalam pelaksanaan (IMBT), Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) wajib membuat wa’ad, yaitu janji pemindahan kepemilikan obyek IMBT pada akhir masa sewa. b) Wa’ad sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat tidak mengikat bagi penyewa (musta’jir) dan apabila wa’ad dilaksanakan, maka pada akhir masa sewa wajib dibuat akad pemindahan kepemilikan. 2). Hak dan kewajiban pemberi sewa (muajjir) Hak Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) antara lain adalah (Pasal 10): a) memperoleh pembayaran sewa dari penyewa (musta’jir); b) Menarik obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik apabila penyewa (musta’jir) tidak mampu membayar sewa sebagaimana diperjanjikan; dan c) Pada akhir masa sewa, mengalihkan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik kepada penyewa lain yang mampu dalam hal penyewa (musta’jir) sama sekali tidak mampu untuk memindahkan kepemilikan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik atau memperpanjang masa sewa atau mencari calon penggantinya. Sedangkan Kewajiban Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (Muajjir) antara lain adalah: a) Menyediakan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik yang disewakan; b) Menanggung biaya pemeliharaan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik kecuali diperjanjikan lain; dan c) Menjamin obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan baik. 49 3). Hak dan kewajiban penyewa (musta’jir) Hak penyewa (musta’jir) antara lain adalah (Pasal 11): a) menggunakan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik sesuaimdengan persyaratan-persyaratan yang diperjanjikan; b) menerima obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik dalam keadaan baik dan siap dioperasikan; c) pada akhir masa sewa, memindahkan kepemilikan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik, atau memperpanjang masa sewa, atau mencari calon penggantinya dalam hal tidak mampu untuk memindahkan hak kepemilikan atas obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik atau memperpanjang masa sewa; dan d) membayar sewa sesuai dengan yang diperjanjikan. Sedangkan Kewajiban penyewa (musta’jir) antara lain adalah (Pasal 11): a) membayar sewa sesuai dengan yang diperjanjikan; b) menjaga dan menggunakan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik sesuai yang diperjanjikan; c) tidak menyewakan kembali obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik kepada pihak lain; dan d) melakukan pemeliharaan kecil (tidak material) terhadap obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik. 4). Obyek IMBT dan Macamnya Obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik adalah berupa barang modal yang memenuhi ketentuan sebagai berikut (Pasal 12): a) obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik merupakan milik Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir); b) manfaatnya harus dapat dinilai dengan uang; c) manfaatnya dapat diserahkan kepada penyewa (musta’jir); d) manfaatnya tidak diharamkan oleh syariah Islam; 50 e) manfaatnya harus ditentukan dengan jelas; dan f) spesifikasinya harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik, kelaikan, dan jangka waktu pemanfataannya. Obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 antara lain (Pasal 13): a) alat-alat berat (Heavy Equipment); b) alat-alat kantor (Office Equipment); c) alat-alat foto (Photo Equipment); d) alat-alat medis (Medical Equipment); e) alat-alat printer (Printing Equipment); f) mesin-mesin (Machineries); g) alat-alat pengangkutan (Vehicle); h) gedung (Building); i) komputer; dan j) peralatan telekomunikasi atau satelit. 5). Ketentuan Harga Adapun penentuan harga dilakukan dengan (Pasal 14): a) Harga sewa (ujrah) dan cara pembayaran atas obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik ditetapkan berdasarkan kesepakatan di awal akad. b) Harga untuk opsi pemindahan kepemilikan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik ditetapkan setelah berakhirnya masa sewa. c) Harga untuk opsi pemindahan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat secara tertulis dalam perjanjian pemindahan kepemilikan. d) Alat pembayaran atas harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah berupa uang atau bentuk lain yang memiliki nilai yang sama dan tidak dilarang secara syariah. 51 6). Dokumentasi Hukum dan Ketentuan Tambahan Dokumentasi dalam Ijarah Muntahiah Bit Tamlik oleh Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) paling kurang meliputi (Pasal 16): a) surat permohonan Ijarah Muntahiah Bit Tamlik; b) surat persetujuan prinsip (offering letter); c) akad Ijarah Muntahiah Bit Tamlik; d) dokumen wa’ad; e) perjanjian pengikatan jaminan atas pembayaran sewa; f) tanda terima barang; dan g) perjanjian pemindahan kepemilikan. Dalam Ijarah Muntahiah Bit Tamlik paling kurang memuat halhal sebagai berikut (Pasal 15): a) identitas Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) dan penyewa (musta’jir); b) spesifikasi obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik meliputi nama, jenis, jumlah, ukuran, tipe dan lokasi penggunaan obyek sewa; c) spesifikasi manfaat obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik; d) harga perolehan, nilai pembiayaan, pembayaran harga sewa (ujrah), ketentuan jaminan dan asuransi atas obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik; e) jangka waktu sewa; f) saat penyerahan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik; g) ketentuan mengenai pengakhiran transaksi yang belum jatuh tempo; h) ketentuan mengenai biaya-biaya yang timbul selama masa sewa; i) ketentuan mengenai biaya-biaya yang ditanggung oleh masing-masing pihak apabila terdapat kerusakan, kehilangan atau tidak berfungsinya obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik; 52 j) ketentuan mengenai pengalihan kepemilikan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik oleh Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) kepada pihak lain; dan k) hak dan tanggung jawab masing-masing pihak. 5.2.4.3. Istishna’ Akad ini didefinisikan sebagai “akad pembiayaan untuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan disepakati antara pemesan (pembeli, persyaratan tertentu yang mustashni`) dan penjual (pembuat, shani`) dengan harga yang disepakati bersama oleh para pihak.” (Pasal 1 [3]) 5.2.4.4. Murabahah Akad ini adalah: “akad pembiayaan untuk pengadaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya (harga perolehan) kepada pembeli dan pembeli membayarnya secara cangsuran dengan harga lebih sebagai laba.” (Pasal 1 [5]) 1). Ketentuan Umum Pada prinsipnya muarabah dapat dilakukan dengan dua macam (Pasal 23): a) Murabahah dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. b) Dalam pelaksanaan Murabahah berdasarkan pesanan, Perusahaan Pembiayaan sebagai penjual (ba’i) melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari konsumen sebagai pembeli (musytari). c) Murabahah berdasarkan pesanan bersifat mengikat atau tidak mengikat pihak yang berhutang untuk membeli barang yang dipesannya. d) Dalam pelaksanaan Murabahah berdasarkan pesanan bersifat mengikat, konsumen sebagai pembeli (musytari) tidak dapat membatalkan pesanannya. 2). Hak dan Kewajiban perusahaan: b. Adapun hak perusahaan pembiayan adalah sbb (Pasal 24): (1) Hak Perusahaan Pembiayaan antara lain: 53 a) memperoleh pembayaran dari konsumen sebesarnharganya secara angsuran sesuai yang diperjanjikan; b) mengambil kembali obyek Murabahah apabila konsumen sebagai pembeli (musytari) tidak mampu membayar angsuran sebagaimana diperjanjikan; dan c) menentukan penyedia barang (supplier) dalam pembelian obyek Murabahah. (2) Kewajiban Perusahaan Pembiayaan sebagai penjual (ba’i) antara lain: a) menyediakan obyek Murabahah sesuai yang disepakati bersama dengan konsumen sebagai pembeli (musytari);dan b) menjamin obyek Murabahah tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan baik. Dalam menyediakan obyek Murabahah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c, Perusahaan Pembiayaan dapat mewakilkan pembelian barang tersebut kepada konsumen berdasarkan prinsip wakalah, yaitu perjanjian (akad) dimana pihak yang memberi kuasa (muwakkil) memberikan kuasa kepada pihak yang menerima kuasa (wakil) untuk melakukan tindakan atau perbuatan tertentu (Pasal 25). 3). Hak dan Kewajiban Konsumen Hak dan kewajiban konsumen antara lain (Pasal 26): a) menerima obyek Murabahah dalam keadaan baik dan siap dioperasikan; b) membayar angsuran dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan; dan c) mengembalikan atau menitipjualkan obyek yang dibiayai. 4). Ketentuan Obyek Obyek Murabahah harus memenuhi ketentuan paling kurang (Pasal 27): a) dapat dinilai dengan uang; b) dapat diterima oleh konsumen; c) tidak dilarang oleh syariah Islam; dan 54 d) spesifikasinya harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik, kelaikan, dan jangka waktu pemanfataannya. Obyek Murabahah di antaranya meliputi (Pasal 28): a) kendaraan bermotor ; b) rumah; c) barang-barang elektronik; d) alat-alat rumah tangga bukan elektronik; dan e) barang konsumsi lainnya. 5). Ketentuan Harga Persyaratan penetapan harga barang dalam Murabahah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut (Pasal 29): a) ketentuan harga jual (pricing) ditetapkan di awal perjanjian dan tidak boleh berubah selama waktu perjanjian; b) pembayaran Murabahah dapat dilakukan secara tunai atau angsuran; c) diperkenankan adanya perbedaan dalam harga barang untuk cara pembayaran yang berbeda; dan d) harga yang disepakati adalah harga jual (harga perolehan) sedangkan harga beli harus diberitahukan kepada konsumen. Persyaratan penetapan uang muka (’urbun) dalam Murabahah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut (Pasal 30): a) Perusahaan Pembiayaan diperbolehkan meminta konsumen untuk membayar uang muka (’urbun) saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan; b) dalam hal konsumen menolak untuk membeli barang tersebut, maka biaya riil Perusahaan Pembiayaan harus dibayar dari uang muka (’urbun) tersebut; dan 55 c) dalam hal nilai uang muka (’urbun) lebih kecil dari kerugian yang harus ditanggung oleh Perusahaan Pembiayaan, maka Perusahaan Pembiayaan dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada konsumen. 6). Penghentian akad dan sanksi Persyaratan mengenai pengakhiran transaksi Murabahah sebelum jatuh tempo wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut (Pasal 31): a) dalam hal konsumen dalam Murabahah melakukan pelunasan pembayaran lebih cepat dari waktu yang telah disepakati, Perusahaan Pembiayaan diperbolehkan memberikan potongan dari kewajiban pembayaran tersebut, dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad Murabahah; dan b) besarnya potongan sebagaimana dimaksud pada huruf a diserahkan pada kebijakan dan pertimbangan Perusahaan Pembiayaan. Apabila konsumen telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan hutang dalam Murabahah, maka Perusahaan Pembiayaan wajib menunda tagihan hutang sampai dengan konsumen ia menjadi sanggup kembali membayar tagihan hutang atau adanya penyelesaian berdasarkan kesepakatan bersama. (Pasal 32). Persyaratan penetapan sanksi dalam Murabahah harus sesuai ketentuan sebagai berikut (Pasal 33): a) konsumen yang mampu, namun menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar angsuran dapat dikenakan sanksi; b) sanksi dapat berupa denda sosial (ta’zir ) ataupun ganti rugi (ta`widh) berdasarkan atas sebab tertundanya pembayaran dan akibat yang ditimbulkan dari penundaan tersebut; c) konsumen yang tidak atau belum mampu membayar disebabkan keadaan memaksa (force majeure) tidak dapat dikenakan sanksi. 56 7). Dokumentasi Hukum dan Ketentuan Tambahan Dokumentasi dalam Murabahah oleh Perusahaan Pembiayaan paling kurang meliputi (Pasal 35): a. surat persetujuan prinsip (offering letter); b. surat permohonan realisasi Murabahah; c. akad Wakalah (bila diperlukan); d. tanda terima uang konsumen, dalam hal Perusahaan Pembiayaan (ba’i) mewakilkan kepada konsumen (musytari) melalui Wakalah; e. akad Murabahah; f. perjanjian pengikatan jaminan; dan g. tanda terima barang. Dalam Murabahah paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut (Pasal 34): a. identitas Perusahaan Pembiayaan dan konsumen; b. spesifikasi obyek Murabahah meliputi nama, jenis, jumlah, ukuran dan tipe; c. harga jual, harga beli dan cara pembayaran angsuran; d. jangka waktu ; e. ketentuan jaminan dan asuransi; f. ketentuan mengenai uang muka; g. ketentuan mengenai diskon/potongan; h. ketentuan mengenai pengakhiran transaksi yang belum jatuh tempo; i. ketentuan mengenai wanprestasi dan sanksi bagi konsumen yang menunda pembayaran angsuran; dan j. hak dan tanggung jawab masing-masing pihak. 5.2.4.5. Salam Akad ini didefinisikan sebagai: “adalah akad pembiayaan untuk pengadaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga dahulu dengan syarat-syarat t ertentu yang disepakati para pihak.” (Pasal 1 [8]) lebih 57 1). Ketentuan Umum Secara umum ketentuan terkait salam adalah sbb (Pasal 36): a) Dalam pelaksanaan transaksi Salam, wajib ditetapkan spesifikasi, waktu dan tempat barang akan diterima. b) Transaksi Salam wajib didahului dengan akad pembiayaan pengadaan barang pesanan antara Perusahaan Pembiayaan dengan konsumen atas suatu produk yang dikehendaki pesanan). c) Akad pembiayaan pengadaan barang pesanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bersifatindependen dan terpisah dengan akad Salam yang dilakukan antara Perusahaan pembiayaan dan produsen. 2). Hak dan Kewajiban Perusahaan Hak Perusahaan Pembiayaan dalam transaksi Salam antara lain adalah (Pasal 37): a) menerima barang pesanan (muslam fiih) dalam keadaanbaik dan tidak cacat sesuai dengan spesifikasi yang diperjanjikan; b) menerima barang pesanan (muslam fiih) pada waktu dan tempat sesuai yang diperjanjikan; c) menerima penggantian seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan sehubungan transaksi salam, apabila Produsen sebagai penjual (muslam Ilaihi) ingkar janji; dan d) membayar barang pesanan (muslam fiih) sesuai dengan harga yang disepakati. Hak dan kewajiban produsen (muslam ilaihi) dalam transaksi Salam antara lain adalah (Pasal 38): a) memperoleh pembayaran di muka atas harga barang pesanan (muslam fiih) dari Perusahaan Pembiayaan (muslim); b) menyerahkan barang pesanan (muslam fiih) dalam keadaan baik dan tidak cacat sesuai dengan spesifikasi yang diperjanjikan; 58 c) menyerahkan barang pesanan (muslam fiih) pada waktu dan tempat sesuai yang diperjanjikan; dan d) menanggung seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan Perusahaan Pembiayaan (muslim), dalam hal produsen sebagai (muslam ilaihi) ingkar janji. 3). Ketentuan Obyek Barang pesanan (muslam fiih) wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut antara lain (Pasal 39): a) barang yang halal; b) dapat diakui sebagai utang; c) harus dapat dijelaskan spesifikasinya; d) penyerahannya dilakukan kemudian; e) waktu dan tempat penyerahan harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan; dan f) tidak boleh ditukar kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan. Penyerahan barang pesanan (muslam fiih) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut (pasal 40 ?): a) produsen (muslam alaih) harus menyerahkan barang pesanan (muslam fiih) tepat pada waktunya sesuai dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati; b) dalam hal produsen (muslam alaih) menyerahkan barang pesanan (muslam fiih) dengan kualitas yang lebih tinggi, produsen (muslam alaih) tidak boleh meminta tambahan harga; c) dalam hal produsen (muslam alaih) menyerahkan barang pesanan (muslam fiih) dengan kualitas yang lebih rendah dan Perusahaan Pembiayaan rela menerimanya, maka Perusahaan Pembiayaan tidak diperbolehkan menuntut pengurangan harga (diskon); d) produsen (muslam alaih) dapat menyerahkan barang pesanan (muslam fiih) lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan kualitas dan jumlah barang 59 pesanan (muslam fiih) sesuai dengan kesepakatan dan tidak diperbolehkan menuntut tambahan harga; dan e) dalam hal semua atau sebagian barang pesanan (muslam fiih) tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan Perusahaan Pembiayaan tidak rela menerimanya, maka Perusahaan Pembiayaan memiliki dua pilihan yaitu membatalkan kontrak dan meminta kembali pembayaran yang telah dilakukan; atau menunggu sampai barang pesanan (muslam fiih) tersedia. 4). Ketentuan Harga Penetapan harga barang pesanan (muslam fiih) wajib ditetapkan sesuai kesepakatan dan tidak diperbolehkan berubah selama masa akad. (Pasal 41). Pembayaran harga barang pesanan (muslam fiih) dilakukan secara penuh dan tunai oleh Perusahaan Pembiayaan kepada produsen pada saat perjanjian disepakati. (Pasal 42). 5). Ketentuan Tambahan Dalam Salam paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut (Pasal 43): a. identitas Perusahaan Pembiayaan (muslim) dan produsen; b. spesifikasi barang pesanan (muslam fiih) meliputi nama, jenis, jumlah, ukuran, tipe dan mutu barang; c. waktu dan lokasi penyerahan barang pesanan (muslam fiih); d. harga barang pesanan (muslam fiih) dan cara pembayarannya; e. ketentuan jaminan dan asuransi atas barang pesanan (muslam fiih); f. jangka waktu Salam; g. ketentuan mengenai biaya-biaya yang ditanggung oleh masing-masing pihak apabila terdapat kerusakan, kehilangan atau tidak berfungsinya barang pesanan (muslam fiih); dan h. hak dan tanggung jawab masing-masing pihak. 60 5.2.4.6. Wakalah bil Ujra Akad ini adalah: “pelimpahan kuasa oleh satu pihak (al muwakkil) kepada pihak lain (al wakil) dalam hal-hal yang boleh diwakilkan dengan pemberian keuntungan (ujrah).” (Pasal 1 [9]) 1). Hak dan Keajiban Perusahaan pembiayaan Hak dan kewajiban Perusahaan Pembiayaan (wakil) antara lain (Pasal 17): a) menagih piutang pengalih piutang (muwakkil) kepada pihak yang berhutang (muwakkal ’alaih); b) dapat memperoleh upah (ujrah) atas jasa penagihan piutang pengalih piutang (muwakkil) dalam hal diperjanjikan; c) meminta jaminan dari pengalih piutang (muwakkil) (with recourse) atau tidak meminta jaminan dari pengalih piutang (muwakkil) (without recourse); dan d) membayar atau melunasi hutang pihak yang berhutang (muwakkal ’alaih) kepada pengalih piutang (muwakkil). 2). Hak dan Kewajiban Pengalih Piutang Hak dan kewajiban pengalih piutang (muwakkil) antara lain (Pasal 18): a) memperoleh pelunasan piutang dari Perusahaan Pembiayaan selaku wakil; b) membayar upah (ujrah) atas jasa pemindahan piutang sesuai yang diperjanjikan; c) dapat menyediakan jaminan kepada Perusahaan Pembiayaan selaku wakil dalam hal diperjanjikan; dan d) memberitahukan kepada pihak yang berhutang (muwakkal ’alaih) mengenai transaksi pemindahan piutang kepada Perusahaan Pembiayaan selaku wakil. 61 3). Hak dan Kewajiban Penghutang Hak dan kewajiban pihak yang berhutang (muwakkal ’alaihl) antara lain (Pasal 19): a) memperoleh informasi yang jelas mengenai transaksi pemindahan hutangnya dari pengalih piutang (muwakkil) kepada Perusahaan Pembiayaan selaku wakil; dan b) membayar atau melunasi hutang kepada Perusahaan Pembiayaan selaku wakil. 4). Ketentuan Obyek yang dialihkan (Hutang) Piutang (muwakkal bih) yang menjadi obyek Wakalah bil Ujrah adalah piutang jangka pendek yang jatuh temponya kurang dari 1 (satu) tahun yang memenuhi ketentuan sebagai berikut (Pasal 20): a) piutang pengalih piutang (muwakkil) yang dipindahkan kepada Perusahaan Pembiayaan selaku wakil harus dipastikan oleh para pihak belum jatuh tempo dan tidak dalam kategori piutang macet; b) piutang yang dialihkan bukan berasal dari transaksi yang diharamkan oleh syariah Islam; dan c) piutang pengalih piutang (muwakkil) harus dibuktikan dengan dokumen tagihan dan dipastikan keasliannya oleh para pihak. 5). Ketentuan Tambahan Selanjutnya, ada beberapa hal yang juga diatur terkait dengan hal ini, yaitu (Pasal 21): a) Wakalah bil Ujrah antara Perusahaan Pembiayaan selaku wakil, pengalih piutang (muwakkil), dan pihak yang berhutang (muwakkal, alaih) wajib ditetapkan secara tertulis dalam akad Wakalah bil Ujrah. b) Dalam Wakalah bil Ujrah paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut: 62 i. identitas Perusahaan Pembiayaan selaku wakil, pengalih piutang (muwakkil) dan pihak yang berhutang (muwakkal’ alaih); ii. nilai, jumlah dan waktu jatuh tempo piutang (muwakkal bih); iii. ketentuan mengenai upah (ujrah) (jika ada); iv. ketentuan jaminan yang diperoleh Perusahaan Pembiayaan (wakil) (jika ada); v. ketentuan mengenai cara-cara pembayaran hutang atau piutang oleh Perusahaan Pembiayaan selaku wakil, pengalih piutang (muwakkil) dan pihak yang berhutang (muwakkal’ alaih); dan vi. hak dan tanggung jawab masing-masing pihak. 6). Dokumentasi Hukum Dokumentasi dalam Wakalah bil Ujrah oleh Perusahaan Pembiayaan selaku wakil paling kurang meliputi (Pasal 22): a) surat persetujuan prinsip (offering letter); b) akad Wakalah bil Ujrah sebagai induk perjanjian; c) perjanjian pengikatan jaminan; d) bukti hutang piutang; e) surat permohonan realisasi Wakalah bil Ujrah; dan f) bukti pelunasan. 5.2.4.7. Istishna’ Dalam ketentuan umum peraturan ini memang tidak terdapat teminologi tentang istisna’. Ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk kelemahan dari peraturan ini. Sehingga, karena tidak adanya definisi dalam peraturan ini, maka definisi diambil dari sumber lain. Istishna’ dapat diartikan dengan akad di mana satu pihak meminta kepada pihak lain untuk membuatkan sesuatu dengan kompensasi pembayaran sejumlah uang.(Zuhayli, 2003: 268). 63 1). Ketentuan umum Ketentuan umum dari istisna’ini adalah (Pasal 44): a) Dalam pelaksanaan transaksi Istishna’, Perusahaan Pembiayaan dapat bertindak sebagai pembeli pembuat (shani’ II) untuk untuk memesan kepada produsen sebagai menyediakan obyek Istishna’ dengan akad Istishna. b) Akad Istishna’ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara Perusahaa Pembiayaan dan produsen sebagai pembuat (shani’ II) bersifat independen dan terpisah dari akad Istishna’ antara Perusahaan Pembiayaan dan konsumen . c) Akad Istishna’ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara Perusahaan Pembiayaan dan produsen sebagai pembuat (shani’ II) harus dilakukan setelah akad Istishna’ antara Perusahaan Pembiayaan dan konsumen atau pemesan(mustashni’). 2). Hak dan Kewajiban Perusahaan Pembiayaan. Adapun Hak dan kewajiban Perusahaan Pembiayaan antara lain Adalah (Pasal 45): a) memperoleh pembayaran dari konsumen atau pemesan (mustashni’) sebesar harga jual barang secara angsuran sesuai yang diperjanjikan; b) mengambil kembali obyek Istishna’ apabila konsumen sebagai pembeli atau pemesan (mustashni’) tidak mampu membayar angsuran sebagaimana diperjanjikan; c. menentukan produsen sebagai pembuat (shani’ II) dalam pemesanan obyek Istishna’; c) menyediakan obyek Istishna’ sesuai dengan spesifikasi yang disepakati bersama dengan konsumen sebagai pembeli atau pemesan (mustashni’); dan d) menjamin obyek istishna’ tidak cacat dan/atau tidak berfungsi. 64 3). Hak dan Kewajiban Produsen Pembuat Sedangkan Hak dan kewajiban produsen sebagai pembuat (Shani’ II) Adalah (Pasal 46): a) memperoleh pembayaran dari Perusahaan Pembiayaan sesuai yang diperjanjikan; b) menyediakan obyek Istishna’ sesuai dengan spesifikasi yang disepakati bersama dengan Perusahaan Pembiayaan; c) menjamin obyek Istishna’ tidak cacat dan/atau tidak berfungsi; dan d) menyediakan obyek Istishna’ sesuai dengan waktu yang diperjanjikan. 4). Hak dan Kewajiban Konsumen Adapun Hak dan kewajiban konsumen (mustashni’) antara adalah (Pasal 47): a) menerima obyek Istishna’ dalam keadaan baik dan siap dioperasikan sesuai spesifikasi yang diperjanjikan; b) menerima obyek Istishna’ sesuai dengan waktu yang diperjanjikan; dan c) membayar angsuran dan atau biaya-biaya lainya sesuai yang diperjanjikan. 5). Ketentuan Obyek Istishna’ Obyek Istishna’ (mashnu’) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut (Pasal 48): a) barang yang halal; b) bapat diakui sebagai utang; c) harus dapat dijelaskan spesifikasinya; d) penyerahannya dilakukan kemudian; e) waktu dan tempat penyerahan harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan; 65 f) tidak diperbolehkan ditukar kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan; dan g) dalam hal terdapat cacat atau tidak sesuai kesepakatan maka pemesan memiliki hak memilih (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan akad. 6). Ketentuan Harga dan Pembayaran Penetapan harga jual atas obyek Istishna’ wajib ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Perusahaan Pembiayaan dan konsumen sebagai pembeli atau pemesan (mustashni’) di awal perjanjian dan tidak boleh berubah selama masa Istishna’ (Pasal 49). Konsumen (mustashni’) dapat melakukan pembayaran cicilan pembiayaan obyek Istishna’ (Mashnu’) atas pemesanan barangsejak akad ditandatangani atau dengan cara pembayaran lain yang disepakati bersama.( Pasal 50) 7). Ketentuan Tambahan Adapun aspek-aspek yang harus Dalam Istishna’ paling kurang memuat halhal sebagai berikut (Pasal 51): a) identitas Perusahaan Pembiayaan dan konsumen; b) spesifikasi obyek Istishna’ (Mashnu’) meliputi nama, jenis, jumlah, ukuran, tipe dan kualitas obyek Istishna’; c) harga jual dan cara pembayarannnya; d) ketentuan jaminan dan asuransi; e) jangka waktu; f) lokasi dan waktu penyerahan; g) ketentuan mengenai pengakhiran transaksi yang belum jatuh tempo; h) ketentuan mengenai biaya-biaya yang ditanggung oleh masing-masing pihak apabila terdapat kerusakan, kehilangan atau tidak berfungsinya obyek Istishna’(mashnu’); dan i) hak dan tanggung jawab masing-masing pihak. 66 8). Dokumentasi Hukum Dokumentasi hukum dalam Istishna’ oleh Perusahaan Pembiayaan paling kurang meliputi (Pasal 52): a) surat kesanggupan menyelesaikan barang pesanan dari produsen sebagai pembuat (shani’ II); b) surat persetujuan prinsip (offering letter) dari Perusahaan Pembiayaan; c) akad Istishna’; d) perjanjian pengikatan jaminan; e) barang/obyek pesanan; f) surat permohonan realisasi Istishna’; g) tanda terima uang dari produsen sebagai pembuat (shani`II); dan h) tanda terima barang oleh konsumen sebagai pembeli atau pemesan (mustashni`). Dari pemaparan tentang berbagai akad atau kontrak yang diterapkan pada produk atau instrumen pasar modal syariah ini dapat dilihat dengan jelas, bahwa tidak semua transksi yang dikenal dalam fiqh dapat diterapkan. Hal ini menunjukkan adanya pemilihan terhadap kontrak atau akad yang dipandang paling sesuai dengan pasar modal syariah. Berbagai ketentuan tersebut masih sangat general dan bersifat umum, dan kurang menunjuk pada produk yang lebih spesifik dan praktis. Namun suatu hal yang menarik adalah bahwa setiap akad sudah diderivasikan dalam berbagai rincian yang detail, bahkan termasuk di dalamnya ketentuan terkait dengan dokumentasi hukum, suatu hal yang memang sangat penting. Sehingga dengan model pengaturan yang detail tersebut, berbagai kontrak yang diadopsi dapat diimplementasikan dengan mudah dengan sedikit peluang terjadi mis interpretasi. Lain dari pada itu, dari pemaparan tersebut nampak bahwa pengaturan akad pasar modal syariah di Indonesia ini menghindari berbagai pendapat kontriversial, ialah 67 pendapat yang diperselihkan oleh para ahli hukum Islam. Dengan kata lain bahwa transaksi yang diperbolehkan adalah transaksi yang tidak dilarang menurut pendapat jumhur ulama. Misalnya saja bahwa dalam transaksi di pasar modal syariah di Indonesia itu mengindari transaksi terhadap efek yang merupakan bai’ al-dain, bai’ al-inah dan bai’ al-ma’dum. Secara arti bahasa, bai’ al-dain berarti jual beli hutang (Al-Zhayli, 2003: 79). Yang dimaksudkan dengan hal ini adalah orang menjual piutang kepada pihak lain. Jika dilihat lebih cermat terhadap hal ini nampaklah bahwa menjual piutang kepada orang lain termasuk menjual sesuatu yang belum jelas. Tentu saja hal terkait dengan spekulasi atau ketidakjelasan. Ada dua issu hukum di sisni, bahwa yang pertama, piutang adalah sesuatu yang masih di tangan orang yang berhutang, karenanya merupakan sesuatu yang belum dipegang oleh pemberi hutang. Jika dikatakan sebagai obyek, piutang tersebut merupakan obyek yang masih ma’dum (belum nampak). Kedua, isu yang ada adalah bahwa jika piutang itu dijual belikan, hal itu akan menjadi suatu transaksi yang sangat dekat, jika bukan sangat mirip dengan riba. Hal ini disebabkan karena jual beli hutang atau putang ini mesti akan mendapatkan laba atau keuntungan dengan berkembangnya jumlah uang karna masalan penundaan (postponement). Sedangkan Bai’ al-‘Inah adalah membeli sesuatu yang kemudian dijual kembali kepada orang dari mana barang tadi dibeli. Ketidakbolehan hal ini karena hal itu sama saja dengan berhutang uang, karena barang yang ada hanya sebagai perantara untuk meminjam uang. (Al-Zhayli, 2003: 114). Adapun bai’ al-ma’dum adalah jual beli atas sesuatu yang barangnya belum ada. Hal ini dilarang dikarenakan ada unsure gharar atau spekulai dikarenakan ketidakjelasan obyek dan penyeran obyek tersebut. Dengan melihat diskusi pada bagian-bagian sebelumnya, maka secara singkat screening criteria yang diterapkan pada Jakarta Islamic Index atau Pasar Modal Syariah dapat dilihat dalam tabel sbb: 68 Tabel 1 Kriteria Syariah bagi Perusahaan Kriteria Umum Tidak menyelenggarakan layanan jasa keuangan yang menerapkan konsep ribawi, jual beli risiko yang mengandung gharar dan atau maysir; Tidak melakukan investasi pada perusahaan yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) hutang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi (konvensional) lebih dominan dari modalnya, kecuali investasi tersebut dinyatakan kesyariahannya oleh DSN-MUI. Tidak memproduksi, mendistribusikan, memperdagangk an, dan atau menyediakan: barang yang haram (lidzatih dan lighairih) serta madharat Kriteria dalam Porspektus dalam anggaran dasar dimu at ketentuan bahwa kegiatan usaha serta cara pengelolaa n usahanya dilakukan berdasarkan Prinsipprinsip Syariah di Pasar Modal; jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan, aset ya ng dikelola, akad, dan cara p engelolaan Emiten atau Peru sahaan Publik dimaksud tid ak bertentangan dengan Prinsipprinsip Syariah di Pasar Modal; dan Emiten atau Perusahaan Publik memiliki anggota dir eksi dan anggota komisaris yang mengerti kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan Prinsip- prinsip Syariah di Pasar Modal. Diolah dari: Fatwa DSN No.40/DSN-MUI/IX/2003, Ps (5)-(6), Peraturan No. IXA.13 point 3, serta Peraturan BAPEPAM no IXA.13, point 2,3-4. 69 Tabel 2 Kriteria Syariah bagi Perdagangan di JII Kriteria Dasar Jenis Akad Dipakai Memenuhi prinsip Penerbitan Efek Syariah wajib dilakukehati-hatian (ihtiyath) kan berdasarkan Aka d Syariah, yang Tidak spekulatif dan terdiri dari akad-akad manipulatif (dharar, sbb: gharar, riba, maisir, o Akad Ijarah risywah, maksiat dan o Akad Ijarah kezhaliman) dengan Muntahiah Bi parameter: Tamlik o Akad Wakalah o Najsy bil Ujrah o Bai’ al-Ma’dum o Akad o Menimbulkan Murabahah Informasi yang o Akad Salam menyesatkan o Akad Istishna’ o Ikhtikar Standar Harga Harga pasar dari Efek Syariah harus mencerminkan nilai valuasi kondisi yang sesungguhnya dari aset yang menjadi dasar penerbitan Efek tersebut dan/atau Sesuai dengan mekanisme pasar yang teratur, wajar dan efisien serta tidak direkayasa Diolah dari: Fatwa DSN No.40/DSN-MUI/IX/2003, Ps (5)-(6), Peraturan No. IXA.13 point 3, serta Peraturan BAPEPAM no IXA.13, point 2,3-4. Jadi, jelaslah bahwa pasar modal syariah di Indonesia atau JII telah memiliki screening criteria yang jelas atas instrumen atau transaksi yang ada di pasar modal syariah. Sehingga dengan criteria tersebut menjadikan Pasar Modal Syariah Indonesia, atau JII, dapat beoperasi dengan tanpa mengabaikan aspek kepatuhan terhadap prinsip syariah. 70 Meski demikian, menurut pengamatan dari penulis, beberapa kriteria perlu dipertegas untuk menghindari penafsiran yang kabur atas suatu kriteria. Misalnya saja untuk menentukan tingkat keharaman atau spekulasi dari usaha tertentu, apakah lebih berat unsur haram atau spekulasinya, ataukah lebih ringan. Sehingga dalam hal ini perlu juga dipertimbangkan untuk dibuatnya bencmarking pada kriteriatyersebut. Hal ini untuk mempermudah usaha-usaha bidang tertentu harus dimasukkan dalam klasifikasi yang diperbolehkan atau tidak. 71 5.3. Pengaruh dari Implementasi Gharar dalam Screening Criteria terhadap Bentuk Transaksi atau Instrumen Bisnis yang Ditawarkan di Jakarta Islamic Index (JII) Dengan melihat apa yang telah dibahas dalam bagian sebelumnya dari penelitian ini, dapat pada bagian ini, akan dianalisa bagaimana konsep gharar yang diadopsi oleh JII. Selanjutnya, akan dilihat juga bagaimana pengaruh dari implementasi konsep gharar tersebut dalam transaksi atau instrument bisnis yang ditawarkan di JII. 5.3.1. Karakter dari Implementasi Gaharar Ada beberapa karakter dari model konsep gharar yang diimplementasikan pada JII, yaitu sebagai berikut: 5.3.1.1. Mengikuti Jumhur Ulama Fiqh Yang dimaksudkan dengan jumhur ulama adalah mayoritas atau kebanyakan dari ahli fiqh. Hal ini dapat dilihat dari berbagai akad yang dipakai dalam transaksi di JII. Dari sejumlah lima (5) akad yang ada, kesemuanya merupakan varian yang disepakati oleh jumhur ulama. Parameter untuk menentukannya adalah bahwa dari berbagai akad tersebut, tidak ada akad yang controversial di kalangan ulama ahli fiqh. Dalam berbagai permasalahan terkait dengan gharar dalam pasar modal syariah ini memang ada berbagai pandangan minoritas dari ahli fiqh. Misalnya saja dalam hal Bai’ al-Inah, (sale and buy back) ialah menjual suatu barang untuk kemudian dijual kembali kepada orang yang menjualnya tadi dengan tujuan untuk mendapatkan uang cash. Jadi jual beli tersebut hanyalah sebuah alasan (hilah) untuk mendapatkan uang cash, bukan dalam maksud jual beli yang sesungguhnya, ialah untuk memperoleh barang. Hal ini merupakan pendapat dari madzhab Syafi’i. Sedangkan mayoritas ulama 72 melarang adanya bai’ al-inah ini. (Al-Zuhayli, 2003, Vol. 1, 114-115, Adawiyah, 2003: lxix-lxx) Contoh lain terkait dengan hal ini adalah tawaruq. Tawaruq adalah transaksi pembiayaan yang mirip dengan bai’ al-Inah di atas. Maksudnya adalah bahwa dalam tawaruq ada 3 pihak yang terlibat dalam transaksi. Ada institusi keuangan yang yang menjual barang kepada orang yang menghendaki barang tersebut, yang kemudian pembeli tadi menjual lagi barang tersebut kepada pihak ketiga, sehingga pada akhirnya, orang tersebut (pembeli dari pihak pertama) akan mendapatkan uang cash, dan bukannya barang. Tawaruq ini juga merupakan salah satu bentuk transaksi yang tidak diterima oleh mayoritas ahli fiqh (jumhur). (Zuhayli, 2003: 117) Adapun contoh yang lain lagi adalah bai al-dain, yang secara harfiah (letterlijk) berarti jual beli hutang. Ialah menjual hutang kepada orang lain untuk mendapatkan cash, meski dengan harga yang lebih rendah (discounted price).(Siddiqi, 2006:5, Adawiah, “Islamic Law Compliance”, lxix.). Transaksi jual beli hutang ini memungkinkan surat bukti hutang beralih kepada banyak orang dengan tanpa diikuti perpindahan barang atau asset yang menjadi dasar dari transaksi awalnya. Dengan mengikuti jumhur ulama fiqh, berarti bahwa berbagai transaksi yang dicontohkan tersebut tidak akan diaplikasikan dalam transaksi pasar modal di Indonesia. 5.3.1.2. Menjunjung tinggi maqashid al-syari’ah dan keadilan Yang dimaksudkan dengan maqashid al-syari’ah atau maqashid alsyari’ah adalah tujuan yang akan dicapai oleh hokum Islam. Hukum Islam diturunkan oleh menjadi aturan bagi muslim dimaksudkan agar tercapai tujuan-tujuan tertentu yang ideal bagi kehpentingan manusia itu sendiri dan juga bagi Islam. Menurut Imas Asy-Syatibi, maqashid al-syari’ah merupakan tujuan-tujuan ideal yang ingin dicapai oleh hokum Islam, yang berbagai 73 tujuan ideal tersebut terklasifikasi dalam tiga genus; ialah tujuan yang bersifat dzruriyat, ialah yang mutlak harus dijaga, hajiyat, ialah kepentingan yang penting untuk dijaga, serta yang terakhir adalah tahsiniyat, ialah kepentingan yang sebaiknya dijaga.(al-Shatibi, 1997:331) Sehingga, yang dimaksudkan suatu perbuatan itu berorientasi pada pertimbangan maqashid al-syari’ah adalah kepada kemashlahatan dari berbagai aspek tersebut. Dan karena itulah, maka antara kepentingan maqashid syar’iyyah dan kepentingan mashlahat dapat dikatakan sama. Sedangkan orientasi di luar maqashid al-syari’ah dan di luar kemaslahatan adalah orientasi pada fiqh yang legalis, ialah berorientasi pada halal dan haram atau posisi hokum dalam fiqh. Bahwa sesuatu itu meskipun tidak banyak membawa maslahat namun selama fiqh tidak melarang maka dapat dilakukan atau diterapkan. Yang terkesan dari orientasi atau pendekatan ini adalah bahwa masalah tarnsaksi keuangan Islam nampak sangat legal formal saja, dan keluar dari hakekat yang sebenarnya ingin dicapai oleh penciptaan system ekonomi atau bisnis keuangan Islam itu sendiri, ialah tercipatanya masyarakat yang bersemangat untuk saling menolong dan terciptanya kesejahteraan. 5.3.1.3. Tidak semata-mata menyandarkan atau mengikuti pada trend pasar, namun bermaksud mengarahkan pasar pada tujuan yang lebih mulia. Memang, adalah suatu perdebatan yang rumit dan tidak mudah dicarikan solusisnya, apakah Islam harus selalu mengikuti pasar dan mencoba membuat adjustment bagi peniruan trend pasar, ataukah Islam akan menginseminasikan nilai-nilai etika ekonomi dan konsumsi bagi masyarakat. Mengikuti dan menyesuaikan diri dengan pasar maksudnya bahwa pasar yang ada dinilai sebagai sesuatu yang telah mapan yang sangat sulit untuk diubah, untuk tidak mengatakan mustahil. Karenanya, yang paling 74 memungkinkan bagi ekonomi syariah, atau lebih khususnya bisnis keuangan Islam yang di dalamnya juga termasuk pasar modal syariah, adalah dengan mengikuti pasar atau system ayng sudah ada, dan yang perlu dilakukan adalah mencari berbagai bentuk produk yang dapat diadopsi oleh Islam dan dipandang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.Hal ini kemudian berakibat pada munculnya pasar modal syariah yang merupakan imitasi, replikasi atau duplikasi dari pasar modal konvensional dalam berbagai produknya. Sebaliknya, orientasi untuk mengarahkan pasar berarti bahwa system ekonomi Islam atau bisnis keuangan Islam itu bermaksud untuk mendorong atau mengarahkan pasar modal pada suatu bentuk yang khas, yang dalam beberapa aspek boleh jadi berbeda dengan yang lainnya sehingga umat Islam harus merintis langkah tersendiri guna mewujudkan tatanan ekonomi Islam yang adil.(Chapra: 228-230). Kehadirannya memang dimaksudkan untuk menjadi alternatif. Adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa pasar modal yang telah ada ini lahir dan dibesarkan dalam kerangka kapitalisme, yang dalam banyak nilai dasarnya berbeda dengan Islam. Karena itu, produk-produk yang lahir pun merupakan buah dari ide dan pemikiran yang melandasinya, Sehingga, meski produk yang ada tersebut dapat di duplikasi, replikasi atau imitasi, sebenarnya merupakan tindakan transplantatif yang dapat diibaratkan sebagai mencerabut sebuah pohon dari akarnya. Sehingga, boleh jadi secara legal-formal syariah dinyatakan syah dan halal, namun secara substansial merupakan realisasi dari ide-ide kapitalistik. Di sinilah perdebatan di seputar apakah pasar modal syariah akan berperan sebagai bentuk alternatif yang khas dan orisinal, ataukan sekedar melakukan duplikasi yang bersifat eklektif. Dengan pilihan model untuk mengikuti jumhur serta dipandu dengan pewujudan mashalahah dan maqashid 75 al-syari’ah, sebenarnya pasar modal syariah di Indonesia bermaksud untuk mengambil opsi yang bertujuan untuk mengarahkan pasar. 5.3.2. Pengaruh dari karakter implementasi gharar terhadap instrument atau transaksi. Dengan adanya pemilihan terhadap konsep gharar sebagaimana yang disebutkan di atas, maka kemudian nampak adanya kondisi tertentu dari pasar modal syariah, yang dalam beberapa hal memberikan kekhasan yang membedakan dari pasar modal di lain tempat (negara). Secara jelas, pengaruh dari pemilihan konsep tersebut terhadap produk atau instrument yang ditawarkan adalah sebagai berikut: a. Menghindari produk derivatif yang sangat sulit untuk memastikan terhindarkannya sebuah transaksi dari spekulasi. Ialah produk yang secara teoritis dapat dikatakan telah menghindari spekulasi, namun dalam prakteknya akan sulit dikontrol apakah transaksi tersebut memang bersih dari spekulasi. Produk atau instrument yang dimaksud adalah beberapa bentuk transaksi sebagaimana tersebut di bawah ini: 1) Forward Transaksi forward merupakan suatu sarana sebagai usaha menghindarkan atau untuk mengurangi risiko kerugian-kerugian dalam tran-saksi valuta asing atau efek, seperti untuk pelunasan tagihan/ pembayaran dalam valuta yang berbeda. Transaksi seperti ini dapat dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank Devisa, antara Bank Devisa dan antara pihak lainnya seperti nasabah. (Permana,9, Fatwa DSN No.28/III/2002 point b) cek fatwa 76 2) SWAP Swap adalah suatu perjanjian di mana masing-masing pihak setuju dan untuk melakukan pembayaran secara berkala antara pihak yang satu dengan pihak lainnya dengan merujuk pada suku bunga yang berbeda interest rate swaps atau dengan nilai mata uang yang berbeda. (Permana,9, Fatwa DSN No.28/III/2002 point c) 3) Option Option adalah suatu kontrak dua pihak yang memberikan hak bukan kewajiban kepada salah satu pihak apakah membeli atau menjual atas sejumlah efek atau valuta tertentu ditukar dengan sejumlah efek atau valuta lainnya dengan nilai tukar yang telah ditentukan dalam kontrak dengan membayar sejumlah premi. (Permana,9, Naughton, 231, Fatwa DSN No.28/III/2002 point d) 4) Futures (Future Trading). Kontrak Berjangka Adalah kontrak atau perjanjian antara 2 pihak yang mengharuskan mereka untuk menjual atau membeli produk yang menjadi variabel pokok di masa yang akan datang dengan harga yang telah ditetapkan sebelumnya. Obyek yang dipertukarkan disebut “Underlying Asset”. (BAPEPAM-JICA, 2003: 10) Ketidakbolehan future contract dari segi syariah dapat diilustrasikan secara singkat. Future trading sangat dekat dengan isu bai’ al-ma’dum, ialah menjual sesuatu yang belum tidak nampak barangnya, dengan kata lain, tidak ada barangnya, atau barang tidak dapat dilahtngankan. Ketiadaan barang tersebut sangat jelas, dikarenakan dalam future trading dimungkinkan menjual obyek (underlying asset) yang pada saat terjadinya kontrak belum berwujud. 77 Bisa jadi hasil pertanian yang belum ditanam, atau hasil tambang yang belum siap. Karena itulah barang yang menjadi obyeknya belum ada. Karena itulah maka ketiadaan barang tersebut telah cukup untuk menjadi penyebab dari ketidakbolehan transaksi ini sebagian bagian dari elemen gharar atau spekulasi. b. Menghindari aktivitas short selling. Ini merupakan bentuk transaksi yang mengandung spekulasi atau gharar. Dalam hal ini adalah. Short selling adalah aktifitas pembelian berbagai produk dalam pasar modal dengan tanpa memiliki barang tersebut terlebih dahulu. (Tony Naughton, 230, Financial Service Authority, 2002:3). Sama halnya dengan future trading, ketiadaan (ma’dum) nya obyek nampak. Jika dalam future trading tidak adanya obyek karena memang belum ada, namun jika pada short selling ini sebenarnya obyek atau asset nya sudah ada. Hanya saja, dalam system pasar yang menghendaki pergerakan sangat cepat, baik untuk profit taking atapun menghindari resiko, maka dibutuhkan adalah langkah yang sangat cepat untuk merespon permintaan terhadap produk atau intrumen. Sehingga, seseorang yang belum memiliki secara penuh, dalam artian bahwa barang tersebut belum berpindah kepemilikan, sudah dapat dijual ke pihak lain dengan metode dan cara tertentu. Sehingga, di sini isunya adalah bahwa short selling dilarang dengan alasan “la tabi’ ma laisa ‘indak” yang artinya: “kamu jangan menjual apaapa yang tidak kamu miliki”.(HRAl-Bukhari, dalam Hasim Kamali, 2002: 112). Dengan demikian, short selling, yang menjual produk dari pasar modal tanpa dengan memegang dulu barang tersebut adalah suatu tindakan yang bertentang dengan larangan tersebut. 78 c. Menghindari margin trading Transaksi margin trading adalah pembeli membayar sebagian harga secara cash, dan kemudian sisanya dicarikan pinjaman kepada bank untuk melunasi sisa harga dengan syarat surat berharga tersebut dijadikan jaminan bagi pialang untuk melunasi harga pinjaman dengan memberikan keuntungan sesuai standar bunga. Transaksi ini biasanya terjadi di pasar sekunder. (Tony Naughton, 2000: 229-230. Permana,6) d. Menghindari insider trading Transaksi ini merupakan jual beli saham dengan memanfaatkan informasi dari dalam perusahaan pasar modal. (Naughton, 230). Hal ini tentu saja perbuatan yang tidak adil dikarenakan orang lian belum dapat mengetahui informasi tersebut. Di sini kompetisi menjadi tidak fair karena pihak penjual maupun pembeli tidak memiliki akses terhadap disclosure informasi. Uraian tentang pengaruh pemilihan konsep gharar dan implementasinya sebagai mana di atas dan dalam bagian-bagian sebelumnya, dapat dilihat dalam tabel berikut ini: 79 Tabel 3 Pengaruh Implementasi Gharar terhadap Jenis Transaksi di Pasar Modal Syariah (JII) Konsep Gharar Implementasi Efek terhadap transaksi atau instrumen Segala bentuk ketidak- Mengikuti pendapat jumhur dan Menghinjelasan yang menjurus dari berbagar transaksi pada terjadinya kontroversi seperti: kerugian pihak lain. o bai’ al-inah Ketidakjelasan o bai’ al-dain menyangkut: o bai’ al-tawaruq o Waktu o Harga o Obyek Tidak memberlakukan short selling Tidak memberlakukan forward kecuali untuk keperluan hedging Tidak membolehkan SWAP, Forward, Futures, dan Otpion Tidak membolehkan insider trading Tidak membolehkan Margin trading, Ketidakjelasan dikarenakan: o barang belum ada di tangan. o Barang belum ada (minus salam dan istishna’) Dibandingkan dengan berbagai tempat, misalnya Malasya pasar modal syariah di Indonesia memang lebih rigid terikat kepada pendapat jumhur ulama. Di sebagian negara muslim, berbagai transaksi yang secara mayoritas disepakati keharamannya, dapat dibolehkan dengan alasan tertentu. Bagi pihak yang membolehkan short selling, alasan yang digunakan adalah, bahwa short selling tidaklah melanggar larangan “menjual sesuatu yang bukan miliknya”. Dalam resolusi syariah yang dikeluarkan oleh Shariah Advisory Council Securities Comission Malaysia disebutkan bahwa short selling dilarang karena terdapat issu gharar, ialah jual beli 80 yang barangnya belum ada. Namun, jika probabilitaspenyerahannya semakin tinggi, maka gharar atau spekulasinya semakin rendah. Sehingga dengan mengadopsi kontrak ijarah dengan dipadukan dengan konsep istihsan. Sehingga pada akhirnya, hambatan yang menjadikan haram nya short selling terhindari sehingga transaksi ini menjadi dibolehkan. (Securities Comission,2006: 71-74). Lebih dari itu, forward maupun futures juga diperbolehkan dalam pasar modal syariah di Malaysia. Untuk kasus forward, kebolehan itu atas dasar ‘urf, ialah mendasarkan hokum kebiasaan untuk melakukan suatu transaksi selama dapat menghindarkan diri dari kemungkinan terjadinya sengketa (niza’). Di samping itu, digunakan juga analogi dengan dibolehkannya akad nikah (perkawinan) dengan mahar mithl, ialah menentukan mahar yang jumlahnya belum diketahui saat pernikahan, namun pernikahan syah karena mahar ditentukan dengan standar tertentu yang disepakati. (Securities Comission,2006: 139-142) Dengan adanya pengaruh implementasi konsep gharar sebagaimana yang didiskusikan di atas, maka ada beberapa hal yang dapat dinilai sebagai kekurangan yang nampak dari perjalanan pasar modal syari’ah di Indonesia. Adapun kekurangan yang nampak adalah: 1). Produk dan instrument tidak variatif. sebagaimana di Pasar Modal konvensional. Pasar modal syariah di Indonesia, sebagimana yang tercantum dalam Jakarta Islamic Index, memiliki 30 daftar perusahaan yang listing. Fungsi dominan yang nampak dari Pasar modal syariah hanya terbatas pada penjualan saham. Kalaupun tidak, produk dan instrument yang tersedia sangatlah terbatas. 2). Tidak ada insentif karena hilangnya spekulasi. Spekulasi sering dikatakan sebagai sweetener (pemanis) dan perangsang. Tanpa spekulasi, pasar modal akan kurang bergairah. Tidak ada kejutan-kejutan dan harapan-harapan untuk mendapatkan profit, yang karenanya akan menggerakkan pasar. Karena itulah, menurut sementara pihak, spekulasi diperlukan. Hal ini juga 81 yang akan menraik banyak investor untuk bermain terlibat dalam transaksi di pasar modal. Melihat kekurangan sebagaimana disebutkan di atas, maka menjadi tantangan bagi pasar modal syariah untuk memperbaiki kinerja, sehingga kehadirannya akan member alternative yang lain yang memang sengaja untuk tampil secara berbeda dengan pasar modal konvensional. BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah didiskusikan dalam bagian-bagian di depan, dapat diambil kesimpulan sebagaimana berikut ini: 1. Konsep gharar yang dianut secara umum dalam fiqh al-mashraf (fiqh keuangan), ialah adanya unsur yang tidak diketahui atau tersembunyi untuk tujuan yang merugikan atau membahayakan. Gharar yang membatalkan transkasi adalah gharar yang bersifat eksesif atau fahisy serta harus dalam kontrak atau transaksi yang bertujuan tukar menukar barang atau tukar menukar sesuatu (akad mu’awadhat). Kontrak di luar hal tersebut, misalnya kontrak pemberian barang atau hibah, tidak termasuk dalam jenis yang dapat gugur atau dilarang karena adanya unsure gharar. Selanjutnya, obyek dalam kontrak merupakan aspek yang prinsipil, yakni bahwa obyek barang yang ditransaksikan harus barang yang memang memiliki arti dan kegunaan dalam kehidupan. Sehingga karena adanya gharar menjadikan terjadinya atau munculnya kerugian dari salah satu pihak. Terakhir, tidak adanya keharusan bahwa kontak itu harus dilakukan, yakni bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak itu melakukannya tanpa adanya kondisi yang mengaharuskan mereka melakukannya. Pihak tersebut sebenanrnya memiliki kesempatan dan keleluasaan untuk melakukan atau tidak melakukannya, termasuk juga tidak berada di bawah paksaan atau tekanan. Jadi jelaslah bahwa gugurnya suatu kontrak karena gharar tidak terjadi dalam setiap bentuk gharar atau bentuk kontrak. Hanya gharar dalam tingkat tertentu saja yang berungsi membatalkan transaksi, serta hanya kontrak-kontak tertentu saja yang dapat gugur karena gharar. Dengan ini dapat dinyatakan bahwa hidpotesis yang telah disampaikan di muka terbukti, berbagai pandangan fiqh dalam hal ini 83 (fiqh al-masraf) menurut hemat penulis telah membahas masalah gharar dengan relatif detail. 2. Kriteria Syariah dalam screening criteria pada Jakarta Islamic Index ( JII) meliputi dua (2) macam atau dua tahap. Pertama, bahwa perusahaan yang akan masuk ke JII haruslah perusahaan yang tidak menyelenggarakan layanan jasa keuangan yang menerapkan konsep ribawi, jual beli risiko yang mengandung gharar dan atau maysir; tidak melakukan investasi pada perusahaan yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) hutang perusahaan kepada lembaga modalnya, kecuali keuangan ribawi (konvensional) investasi tersebut lebih dominan dari dinyatakan kesyariahannya oleh DSN-MUI. Selain itu perusahaan tersebut juga tidak memproduksi, mendistribusikan, memperdagangkan, dan atau menyediakan: barang yang haram (lidzatih dan lighairih) serta madharat. Perusahaan juga harus mengungkapkan informasi tambahan dalam prospektus perusahaan (dalam anggaran dasar), jenis produk mengendalikaannya bahwa tujuan serta manajemen yang patuh dengan prinsip-prinsip syariah dalam bidang terkait. Kedua, bahwa perdagangan yang dapat diselenggarakan pada JII adalah yang memenuhi prinsip kehati-hatian (ihtiyath), tidak spekulatif dan manipulatif (dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman), Penerbitan efek syariah wajib dilakukan berdasarkan akad syariah, yang terdiri dari akad-akad sbb: Akad Ijarah, Akad Ijarah Muntahiah Bi Tamlik, Akad Wakalah bil Ujrah, Akad Murabahah, Akad Salam, Akad Istishna’. Kesimpulan yang kedua ini juga menunjukkan bahwa hipothesis dari penulis terbukti, ialah bahwa implementasi dari konsep gharar telah seuai dengan prinsip fiqh yang disepakati oleh para ahli fiqh. 84 3. Berdasar analisa yang dilakukan, bahwa konsep gharar yang diimplementasikan pada JII mengikuti pendapat jumhur sebagaimana kesimpulan no. 1 di atas. Karenanya, berbagai transaksi yang controversial seperti: bai’ al-inah, bai’ al-dain,dan bai’ al-tawaruq, dihindari. Sebagai efeknya ada beberapa instrument atau produk yang kemudian tidak digunakan atau tidak ditawarkan di JII, yang meliputi: tidak memberlakukan short selling, tidak memberlakukan forward kecuali untuk keperluan hedging, tidak membolehkan SWAP, Forward, Futures, dan Otpion. Selanjutnya, tidak membolehkan insider trading serta margin trading. Pada gilirannya, hal ini menjadikan produk dan instrument pada JII tidak variatif sebagaimana di Pasar Modal konvensional. Di samping itu, pasar modal juga terkesan kurang ada insentif karena hilangnya spekulasi yang dalam tingkat tertentu mendorong gairah transaksi di pasar modal. Dalam hal ini, nampak bahwa hipothesis dari penulis terbukti, ialah bahwa pemilihan terhap model atau madzhab fiqh al-masraf, teruatama terkait dengan gharar dan cara atau prosedur implementasinya dalam screening criteria secara sangat signifikan mempengaruhi berbagai bentuk transaksi atau instrumen yang diloloskan dalam seleksi untuk di listing dalam JII. 6.2. Rekomendasi Dari hasil pnelitian ini, penuulis memberikan saran sebagai berikut: 1. Bagi otoritas pengelola Pasar Modal Syariah atau JII, serta bagi para pelaku pasar, harus mulai memikirkan tentang diperlukannya berbagai inovasi produk yang dapat menambah variasi produk dan instrument. Tentu saja, hal ini juga harus memenuhi kepatuhan syariah. Ini dapat dilakukan dengan melakukan berbagai produk hybrid, atau perpaduan dan kombinasi berbagai akad yang pada kahirnya dapat memenuhi permintaan pasar tetapi tetap patuh keoada prinsip syariah. 85 2. Bagi otoritas yang bertanggung jawab dalam implementasi kepatuhan syariah, terutama DSN dan Bapepam, harus memformulasikan sistem dam mekanisme pemantauan yang lebih sempurna. Harus ada mekanisme pemantauan yang lebih canggih untuk mengantisipasi tindakan spekulasi yang prosesnya sangat halus. Hal ini, karena, DSN dapat mentolerir kontrak terentu yang sebenarnya sangat mendekati spekulasi asal untuk keperluan hedging (menghindari resiko), yakni pada transaksi forward. Sehingga karena tipisnya sekat antara spekulasi dan hedging inilah maka pengawasan di pasar modal syariah harus sangat handal. DAFTAR PUSTAKA Adams, Charles C. 1996. “Abu Hanifa Champion of Liberalism and Tolerance in Islam” dalam Edge, Ian, Islamic Law and Legal Theory, New York: New York University Press. Adawiah, Engku Rabiah. 2003. “Islamic Law Compliance Issues in Sale-Based Financing Structures and as Practiced in Malaysia”, Malayan law Journal (MLJ), 3, 2003 Ali, Salman Syed ed. 2008. ‘Islamic Capital Market: Current State and Development Challanges’ dalam Islamic Capital markets, Products, Regulation & Development. Jeddah: IRTI-IDB. Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press. Bank Indonesia dan Pusat Penelitian Kajian Pembangunan, Lembaga penelitian UNDIP. 2000. Penelitian Potensi, Preferensi Dan Perilaku Masyarakat Terhadap Bank Syariah Di Wilayah Jawa Tengah Dan Daerah Istimewa Yogyakarta, kerjasama, 2000. Diakses dari: http://www.bi.go.id/bank_indonesia2/utama/publikasi/upload/BPS-ES-Jatengindonesia.pdf. 14 Mei 2004. Bank Islam Malaysia Berhad. 1994. Islamic Banking Practice, From Practitioner’s Perspective. Kuala Lumpur: BIMB Bapepam-JICA. 2003. Panduan Investasi di Pasar Modal Indonesia. Jakarta. Chapra, M. Umer. 1995. Towards a Just Monetary System, a Discussion of Money, Banking and Monetary Policy in The Light of Islamic Teachings. Leicester: The Islamic Foundation. Al-Dhareer, Siddiq Mohammad Ai-Ameen. 1997. And Its Effects On Contemporary Transactions. Jeddah: IRTI Islamic Development Bank. Financial Service Authority. 2002. Short Selling, Discussion Paper.London: Financial Service Authority. Dalam httpwww.fsa.gov.ukpubsdiscussiondp17 Diakses dari 14 Maret 2010. Halim, Abdul. 2000. ‘Islamic Equity Markets, dalam dalam Antology of Islamic Banking. London: Institute of Islamic Banking and Insurance, pp. 238-242. Haron, Sudin dan Shanmugam, Bala. 1997. Islamic Banking System, Concepts & Applications. Selangor: Plenaduk Publication. Iqbal, Munawar and Khan, Tariqullah (eds). 2005. ‘Introduction,’ in Financial Engineering and Islamic Contracts, New York: Plagrave Macmillan. 87 Islamic Capital Market Fact Finding Report OICU-IOSCO. 2004. Report Of The Islamic Capital Market Task Force Of The International Organization Of Securities Commissions 2004 diaksess dari http:// islamic-finance.netmediaICM-IOSCOFactfindingReport.pdf Al-Jassar, Jassar. 2000. ‘The Islamic Financial and Capital Market Developments’ dalam Antology of Islamic Banking. London: Institute of Islamic Banking and Insurance, pp. 217-221. al-Jazayri, Abu Bakr. 2004. Al-Fiqh ‘Ala al-Madhahib Al-Arba’ah (vol. 3). Al-Qahirah: Dar alHadith. Kamali, Muhammad Hashim 2000. Principles of Islamic Jurisprudence (Selangor: Ilmiah Publisher. Kamali, Muhammad Hashim. 2002. Islamic Commercial Law; an Analysis of Futures and Options. Kuala Lumpur: Ilmiah Publisher. Kharofa, Ala’ Eddin. 1997. Transactions in Islamic Law. Kuala Lumpur: A.S. Nordeen. Khairandy, Ridwan, 2003. Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Majelis Ulama Indonesia. 2006. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI. Jakarta: Dewan Syariah Nasional & Bank Indonesia. Naughton, Tony. 2000. ‘Is an Islamic Stock Market Viable?’. Anthology of Islamic Banking, London: Institute of Islamic Banking and Insurance. 229-230. Ngapon. 2005. Semarak Pasar Modal Syariah, dlm http//www.bapepam.go.id. Diakses dari 16 Maret 2010. Niazi, Liaquat Ali Khan. 1990. Islamic Law of Contract. Lahore: Research Cell, Dyal Sing Trust Library. Obeyd, Nayla Comair. 1996. The Law of Business Contracts in The Arab Middle East. London: Kluwer Law International. Peraturan Nomor II.K.1 : Kriteria Dan Penerbitan Daftar Efek, Lampiran dari Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep- 314/BL/2007 Tentang Kriteria Dan Penerbitan Daftar Efek Syariah Peraturan Nomor IX.A.13 : Penerbitan Efek Syariah, Lampiran dari Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP- 130 /BL/2006 Tentang Penerbitan Efek Syariah 88 Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: Per- 03 /Bl/2007 Tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah Permana, Sugiri, Transaksi Derivatif Pada Pasar Modal DalamTinjauan Hukum Perjanjian, dalam , httpwww.badilag.net, Diakses pada 15 Maret 2010 Presley, John dan Sesssions, John. 2002. ‘Islamic Economies- The Emergence of a New Paradigm’ dalam : Antology of Islamic Banking. London: Institute of Islamic Banking and Insurance,pp. 131-133. Qahttan ‘Abd al-Rahman al-Duri. 2000. Al-Ikhtikar wa Atharih fi al-Fiqh Islamy. Arduniyah: Dar al-Furqan. Rayner, S.E. 1991. The Theory of Contracts in Islamic Law; a Comparative Analysis With Particular Reference to the Modern Legislation in Kuwait, Bahrain and the United Arab Emirates. London: Graham & Trotman. Saleh, Nabil A. 1988. ‘Financial Transactions and the Islamic Theory of Obligations and Contracts,’ in, Chibli Mallat ed, Islamic Law and Finance. London: Graham & Trotman. Saleh, Nabil A. 1992. Unlawful Gain and legitimate Profit in Islamic Law. London: Graham & Trotman. Siddiqi, M. Nejatullah. (2006, April 21). Shari’ah, Economic and the Progress of Islamic Finance: The Role of Shar’iah Experts”, a Paper presented at The Pre-Forum Workshop on Select Ethical and Methodological Issues in Shariah Compliant Finance, Seventh Harvard Forum on Islamic Finance. Massachusetts. Al-Syatibi, Abu Ishaq. 1997. al-Muwafaqat, vol. 4. al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyyah: Dar Ibn Affan. Syafe'i, Rachmat. 2005. ‘ Tinjauan Yuridis terhadap Perbankan Syariah’, dalam Pikiran Rakyat, 21 Maret 2005, diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com pada 25 September, 2007. Tony Naughton. 2000. ‘Is an Islamic Stock Market Viable?’ dalam : Antology of Islamic Banking. London: Institute of Islamic Banking and Insurance,pp. 226-232. Triyanta, Agus, ‘Resistensi Sistem Bisnis Islami dan Sistem Bisnis Sekular terhadap Deviasi Pasar’ dalam Jurnal Magister Hukum Vol.2 No.4 Oktober 2000, pp. 97-110. Yulfasni. 2005. Hukum Pasar Modal. Jakarta: IBLAM. Zaidan, Abdul Karim. 2002. Al-Madkhal li Dirasah al-Shari’ah al-Islamiyyah (Beirut: AlMuassasah al-Risalah. 89 Al-Zuhayli, Wahbah. 2003. Financial Transaction in Islamic Jurisprudence. Translation of AlFiqh al-Islamiy wa ’Adillatuh. (Vol .1). (Mahmoud A. El-Gamal, Trans). Beirut: Dar al-Fikr. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep314/Bl/2007 Tentang Kriteria Dan Penerbitan Daftar Efek Syariah. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep- 130 /Bl/2006 Tentang Penerbitan Efek Syariah Keputusan DSN MUI No.20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syariah; Keputusan DSN MUI No.28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (al-Sharf) Keputusan DSN MUI No.32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah; Keputusan DSN MUI No.33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah; Keputusan DSN MUI No.40/DSN-MUI/IX/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip syariah di Bidang Pasar Modal; Keputusan DSN MUI No.41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah. Keputusan DSN MUI no 2 tahun 2000 tentang Pedoman Rumah Tangga Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, 2000