penghindaran aspek gharar pada screening criteria di jakarta

advertisement
LAPORAN PENELITIAN INDIVIDUAL
PENGHINDARAN ASPEK GHARAR
PADA SCREENING CRITERIA DI JAKARTA ISLAMIC INDEX
No. A – DPPM - 602
Peneliti
Drs. Agus Triyanta, MA.,MH,PhD.
DIREKTORAT PENELITIAN PENGABDIAN KEPADA
MASYARAKAT (DPPM)
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
AGUSTUS 2010
90 t00
'lln wddo
tte6 :ylN/dtN
t0toete'e6 )lN/dtN
'Rrlaued enlax
0LOZ snlsnbV gZ 'epe1e,(6o1
epe1eA6o1
zLL99tZr/980
ueuals';adua1'ofetolof{'uoqulnld
ue>1npedr6 6ue1 e,{erg 'L
uErlrlauad eueJ '9
uerllauad rselo'l '9
I rillaued e1o66uy'e
rlrlouad elo66uv qelunf ',
dH7d1a1':s '
qeurnu leueM'p
.
xe37d1a1'q
8Lr6Le-rLZj
ltPu-a'c
p1'ce'11n@q1
89! e^ srsueuel'll 'lln u.rnInH'IPl
iln r{ddcl
roluex leuelv'e
rrlauad enlax lEuelv 'g
ueuloued lesnd 'q
;euorsbun3 ueleqef 'a
eleday royal
90t00lte6
uesnrnf/se11n1eg '6
uJnlnH nurll
.
'Orld' Hy!''Vy1'
enl
fieFue-l
eluelul sn6y'srq
lernllruls ueleqer'l
ytN/dtN'p
ye16ue6 uebuo;og'c
uruepy sluarq
relaC uep del6ual eueN 'e
:rllauad Bnla) "z
np!^!pul
unlnH
duluaang
xapul cluelsl epelPf p elrollrc
rcteqg ladsy uerepugqbua6
eped
:uerlrlouad uobaley 'c
bueprg'q
:nur1;
:uen,leuad InpnrB
uBuauad sellluepl
't
ueqese6uad ueueleH
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin. Penulis mengucapkan puji syukur kepada
Allah swt yang telah memberikan kenikmatan dan kemurahan sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan penelitian ini. Penelitian ini berjudul “Penghindaran Aspek
Gharar Pada Screening Criteria Di Jakarta Islamic Index”.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap bagaimana konsep gharar
dalam fiqh keuangan. Di samping itu, juga akan diungkap bagaimana konsep tersebut
diimplementasikan dalam screening criteria di Jakarta Islamic Index, Pasar Modal
Syariah Indonesia. Terakhir, penelitian ini juga mengungkap bagaimana efek atau
akibat dari implementasi gharar tersebut.
Penelitian ini dapat terlaksana atas bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu
penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1.
Rektor Universitas Islam Indonesia
2.
Direktur
Direktorat
Penelitian
dan
Pengabdian
Masyarakat
Universitas Islam Indonesia
3.
Kepala Pusat Penelitian Sosial dan Humaniora DPPM Universitas
Islam Indonesia
4.
Kepada para teman di Fakultas Hukum UII.
5.
Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan secara khusus.
Berbagai pihak tersebut telah banyak memberikan bantuan baik berupa
pendanaan bagi terselenggaranya penelitian ini maupun berbagai bantuan dalam
bentuk lain yang baik moril maupun spiritual. Kepada mereka penulis mengucapkan
banyak terima kasih. Semoga kebaikan yang telah diberikan mendapatkan balasan di
sisiNya. Amin.
Yogyakarta, 26 Agustus 2010
ii
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan ................................................................................. i
Kata Pengantar ........................................................................................... ii
Daftar Isi .................................................................................................. iii
Daftar Tabel ............................................................................................... iv
Abstrak
.................................................................................................. v
Bab I Pendahuluan ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masala………………………………………..1
1.2. Rumusan Masalah……………………………………………. 7
1.3. Tujuan Penelitian…………………………………………….. 7
1.4. Manfaat Penelitian…………………………………………… 8
Bab II Tinjauan Pustaka ............................................................................. 9
Bab III Hipotesis ....................................................................................... 18
Bab IV Metode Penelitian .......................................................................... 19
Bab V Hasil Penelitian dan Pembahasan ................................................... 22
5.1. Konsep Gharar ……………….……………………………...22
5.2. Implementasi Gharar ……………………………..………….30
5.3. Pengaruh Implementasi Gharar ……….……..…….………...71
Bab VI Kesimpulan dan Rekomendasi ..................................................... 82
Daftar Pustaka ............................................................................................ 86
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Kriteria Syariah bagi Perusahaan yang masuk pada JII……………..68
Tabel 2: Kriteria Syariah bagi Perdagangan di JII……………………………69
Tabel 3: Pengaruh Implementasi Gharar terhadap Jenis Transaksi
di Pasar Modal Syariah………………………………………..……..79
iv
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Penghindaran Aspek Gharar Pada Screening
Criteria Di Jakarta Islamic Index”. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap
bagaimana konsep gharar dalam fiqh keuangan. Di samping itu, juga akan diungkap
bagaimana konsep tersebut diimplementasikan dalam screening criteria di Jakarta
Islamic Index, Pasar Modal Syariah Indonesia. Terakhir, penelitian ini juga
mengungkap bagaimana efek atau akibat dari implementasi gharar tersebut.
Penelitian ini dilaksanakan di Yogyakarta. Penelitian ini merupakan
penelitian hukum normatif, dengan menggunakan bahan penelitian hukum primer,
yang terdiri dari norma atu kaidah sebagaimana yang dirumuskan dalam hukum
Islam (fiqh) serta Peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia terkait
dengan Pasar Modal Syariah. Didukung juga dengan bahan hukum sekunder dan
tersier sejauh diperlukan. Adapun cara memperoleh data tersebut dilakukan dengan
studi kepustakaan / dokumenter. Data diolah dengan metode kualitatif, ialah
menganalisis data dengan menggunakan atau memberikan penafsiran terhadap data,
mengabil arti yang terkandung di dalamnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Konsep gharar yang dianut secara
umum dalam fiqh al-mashraf (fiqh keuangan), ialah adanya unsur yang tidak
diketahui atau tersembunyi untuk tujuan yang merugikan atau membahayakan.
Selanjutnya, kriteria syariah dalam screening criteria pada Jakarta Islamic Index (
JII) meliputi dua (2) macam atau dua tahap. Pertama, bahwa perusahaan yang akan
masuk ke JII haruslah perusahaan yang tidak menyelenggarakan layanan jasa
keuangan yang menerapkan konsep ribawi, jual beli risiko yang mengandung
gharar dan atau maysir; Kedua, bahwa perdagangan yang dapat diselenggarakan
pada JII adalah yang memenuhi prinsip kehati-hatian (ihtiyath), tidak spekulatif dan
manipulatif (dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman).
Akhirnya, berdasar analisa yang dilakukan, bahwa konsep
gharar yang
diimplementasikan pada JII mengikuti pendapat jumhur sebagaimana kesimpulan no.
1 di atas. Karenanya, berbagai transaksi yang controversial seperti: bai’ al-inah, bai’
al-dain,dan bai’ al-tawaruq, dihindari. Sebagai efeknya ada beberapa instrument
atau produk yang kemudian tidak digunakan atau tidak ditawarkan di JII, yang
meliputi: tidak memberlakukan short selling, tidak memberlakukan forward kecuali
untuk keperluan hedging, tidak membolehkan SWAP, Forward, Futures, dan Otpion.
Selanjutnya, tidak membolehkan insider trading serta margin trading.
Kata Kunci: gharar, screening criteria
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Keberadaan pasar modal syariah di Indonesia, yang berawal dengan dibukanya
Jakarta Islamic Index (JII) pada tahun 2003, telah memberikan penguatan terhadap
bisnis keuangan syariah di Indoensia. Meski Indonesia tidak se-responsif berbagai
negara yang mengembangkan bisnis pasar modal berbasis
syariah, namun
keberadaan JII telah memberikan atmosfir yang lebih kondusif bagi perkembangan
bisnis keuangan Islam di Indonesia. Meski dalam level internasional pembukaan ini
sudah didahului dengan pendirian berbagai institusi sejenis, namun, dibukanya JII
haruslah diapresiasi sebagai suatu bentuk steady progress bagi aplikasi bisnis
keuangan Islam di tanah air. Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi pioner
dalam pasar mdal syariah (Islam) adalah RHB Unit Trust Management Bhd Malaysia
pada tahun 1996, serta Dow Jones Islamic Market Index (DJIM) pada February
1999, Kuala Lumpur Shariah Index (KLSI) pada April 1999 dan FTSE Global
Islamic Index Series pada October 1999. (OICU-IOSCO, 2004: 28).
Pada prinsipnya, dalam dunia ekonomi dan perdagangan, Islam memberikan
prinsip ibahah (kebolehan). Prinsip dimaksud ialah prinsip bahwa segala hal terkait
dengan masalah muamalah adalah boleh, kecuali yang telah jelas-jelas dilarang
(Kamali, 2002: 66). Implikasi dari hal tersebut adalah, semua bentuk perdagangan,
selama yang tidak jelas-jelas dilarang oleh syariat maka dapat dilaksanakan. Karena
itulah, Islam mengakomodasi berbagai bentuk kemajuan dunia bisnis dengan
melakukan perubahan orientasi nilai-nilai yang berkaitan, dengan maksud agar sesuai,
atau tidak bertentangan, dengan aturan syariah.
Salah satu wujud dari kemajuan dalam dunia bisnis tersebut adalah keberadaan
pasar modal dengan segala aktivitas yang terkait dengannya. Semenjak munculnya
pasar modal di Indonesia, pembahasan tentang pasar modal dari sudut pandang Islam
2
sudah diintrodusir.1 Dan dengan berpinsip antara lain pada al-maÎlaÍah, maka
kemudian pasar modal ini
tidak
lagi menghadapi permasalahan hukum dalam
Islam.2 Permasalahan yang tersisa kemudian adalah dalam dalam hal bentuk
transasksi bisnis yang ada di dalamnya, yang hal tersebut tidak dapat
disimplifikasikan dalam alasan al-maÎlaÍah tersebut. Karenanya pasar modal syariah
lahir sebagai solusinya.
Dengan dibukanya pasar modal syariah di Inodenesia, yakni dengan adanya JII
maka keterlibatan berbagai unsur yang terlarang dalam transaksi bisnis sebagaimana
yang terjadi di pasar modal konvensional dapat dihindari. Sehingga, keberadaan pasar
modal syariah bukan hanya penting, namun sangat diperlukan guna terciptanya
lembaga keuangan Islam yang lebih luas, karena keberadaan dan operasionalisasi
perbankan Islam
akan kurang kondusif tanpa adanya dukungan dari
berbagai
lembaga keuangan lainnya. Lebih lanjut, urgensi pasar modal syariah dapat
disebutkan sebagai berikut :
Pertama, memberi peluang investasi bagi orang Islam. Uang yang statis dalam
sebuah simpanan akan buruk akibatnya bagi perkembangan ekonomi. Dan Islam,
pada hakekatnya melarang adanya penyimpanan uang statis semacam ini. Hal ini
bukan sesuatu yang baru bagi umat Islam. Para ahli hukum Islam pada masa klasik
sudah menyadari hal semacam ini. Abu Hanifah misalnya, dia dianggap mendahului
Tolstoi, ekononom Soviet, beratus-ratus tahun dalam hal ide tentang simpanan
masyarakat. Di antara warisan hukum yang dirintis oleh Imam Abu Hanifah adalah
bahwa uang yang disimpan mandeg (uninvested saved money) tidak melebihi dari
rencana kebutuhan (expenditure). Sehingga, beliau hanya ‘menahan’ uang tidak lebih
dari 4000 dirham sesuai yang dibutuhkannya (Adams, 1996:382).3
1
Misalnya pembahasan yang dilakukan oleh Masyfuk Zuhdi dalam Masail Fiqhiyyah (1993:133-136).
Pinsip maÎlaÍah adalah pertimbangan kebolehan sesuatu atas dasar ada tiaknya nilai kebaikan yang
diakibatkan oleh hal tersebut.
3
Abu Hanifah merupakan pioneer madzhab ahl al-ra’y (rasionalis) dalam hukum Islam. Pendapat dia
yang semacam di atas, sebenarnya sangat wajar muncul karena dia sebagai ahli hukum yang hidup di
masyarakat yang multikultur dan kosmopolit. Karena itulah dia disebut ‘mengantisipasi pendapat
Tolstoy 11 abad lebih awal. Lihat, Charles C.Adams, 1996: 382.
2
3
Hal tersebut secara nyata merupakan anjuran untuk memanfaatkan uang dalam
usaha yang produktif. Keberadaan pasar modal syariah, jika demikian, bagai umat
Islam khususnya dan semua orang pada umumnya, akan menjadi tempat untuk
investasi, untuk secara riil ikut menempatkan uangnya dalam alokasi produksi, yang
hal itu merupakan kunci dari penggerakan sektor ekonomi (Halim, 2000: 239-240).
Bukan saja bermanfaat bagi pemodal yang bersangkutan untuk mengembangkan
kapital, namun juga berfungsi bagi orang lain, masyarakat dan negara yang
mengambil manfaat dari proses produksi dan aktivitas ekonomi.
Dalam konteks Indonesia, keberadaan pasar modal syariah ini jelas merupakan
sarana yang sangat proporsional bagi umat Islam. Selama ini umat Islam belum
cukup mengenal dengan dunia pasar modal, bukan saja karena memang mereka tidak
cukup akrab dengan lembaga keuangan modern semacam itu, namun menurut dugaan
penulis, hal itu juga disebabkan karena adanya apriori terhadap keberadaan lembaga
keuangan modern. Dalam pandangan awam, setiap lembaga keuangan hampir
digeneralisir sebagai bank, dan image umat Islam awam tentang bank adalah rente,
dan rente itu adalah riba. Karenanya, umat Islam tidak merasa dekat dan tidak
berusaha mengenali lebih dekat terhadap lembaga keuangan Islam. Fakta ini tidak
dapat dpungkiri sebagaimana hasil dari survey yang dilakukan di berbagai propinsi di
Indonesia tentang preferensi bank syariah, yang mayoritas menjawab tidak mengenal
produk bank syariah. Mayoritas responden (84,40 %) menyatakan hal tersebut (BI
dan UNDIP, 2000: 13).4
Atas dasar itu semua, maka adanya pasar modal syariah ini merupakan suatu
momentum untuk menyadarkan umat akan urgensi dan ke-halal-an usaha melalui
jalur investasi. Kehalalan ini sangat penting, mengingat, al-Qur’an sendiri secara
4
Survaey tentang preferensi bank syariah ini diadakan di berbagai proponsi di Indonesia, di antara
kesimpulan penting yang didapat adalah Penelitian Potensi, Preferensi Dan Perilaku Masyarakat
Terhadap Bank Syariah Di Wilayah Jawa Tengah Dan Daerah Istimewa Yogyakarta, kerjasama Bank
Indonesia dan Pusat Penelitian Kajian Pembangunan, Lembaga penelitian UNDIP, 2000. hlm 13.
Diakses
dari
http://www.bi.go.id/bank_indonesia2/utama/publikasi/upload/BPS-ES-Jatengindonesia.pdf. 14 Mei 2004 .
4
tegas amelarang mencarikeuntungan ekonomi secara tidak benar atau apa yang
dikenal dengan cara bathil. Sebagaimana yang dinyatakan al-Qur’an:
⌧
☺
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. (QS. Al-Nisa: 29)
Pasar modal syariah, jika demikian, bukan hanya sebagai sarana atau media
untuk mempertemukan investor muslim dan produsen muslim –meskipun
efek syariah ini sangat terbuka bagi siapapun, termasuk non muslim–
bursa
namun juga
sebagai sarana untuk mengontrol dan membudayakan perilaku ekonomi Islam,
dikarenakan para investor muslim juga akan ikut mengontrol syariah compliance
(kepatuhan syariah) bagi perusahaan go publik tersebut. Di sinilah kemudian akan
tercipta secara otomatis mekanisme check and balance oleh pasar, di mana akan
terjadi keadaan saling mengontrol antara pihak-pihak yang terlibat dalam pasar modal
syariah ini.
Kedua, sebagai sistem ekonomi alternatif. Sebagai layaknya perbankan
syariah yang telah terbukti peranannya sebagai pemain baru dalam lembaga
keuangan, baik dalam level nasional maupun internasional, yang kemudian
dibuktikan bahwa lembaga tersebut bisa dijadikan sebagi alternatif bagi lembaga
keuangan yang sudah ada, maka keberadaan pasar modal syariah ini, dari sisi lain,
akan menjadi sebuah alternatif bagi pasar modal konvensional (Presley dan
5
Sesssions, 2002: 131). Dalam kaitannya dengan pembicaraan tentang
sistem
alternatif, maka jika bank syariah telah terbukti resisten terhadap berbagai goncangan
ekonomi, termasuk berbagai bentuk krisis,5 maka dalam hal ini, pasar modal
diharapkan juga akan menjadi media investasi yang resisten terhadap berbagai
tekanan di samping juga bersifat fair.
Untuk mewujudkan sebuah pasar modal yang semacam di atas, tentu sangat
penting untuk dilihat, bagaimana perangkat aturan yang seharusnya diterapkan bagi
pasar modal syariah ini. Di antara yang sangat penting dalam hal ini adalah
bagiamana keistimewaan pasar modal jenis ini dapat dijaga, sekaligus
sebagai
antisipasi berbagai kejahatan pasar modal sebagai yang sering terjadi dalam pasar
modal konvensional. Berbagai kejahatan yang sangat besar dan massif pengaruhnya
bagi distabilitas ekonomi, sangat mungkin terjadi di lantai bursa. Jika hal itu dianggap
sebagai ekspresi dari motif ekonomi yang menyiasati atau melanggar aturan hukum,
maka, dalam pasar modal syariah ini, diharapkan, bingkai moralitas keagamaan akan
menjadi spirit bagi terciptanya pasar modal yang lebih sportif dan fair. Di sinilah
beban berat dari DSN (Dewan Syariah Nasional) terlekat, adalah dalam rangka
menyusun shariah good corporate governance (tata kelola syariah)
yang akan
mampu mengawal aktivitas di lantai bursa syariah.6
Ketiga, memberikan stimulasi perilaku bisnis secara Islami. Lembaga keuangan
Islam adalah bagian yang sistemik dari sistem ekonomi syariah (BIMB, 1994: 9,
Haron dan Shanmugam, 1997: 69, Antonio, 2001: 5). Dia merupakan mata rantai
yang menyambungkan berbagai aktivitas ekonomi syariah. Maka, perilaku bisnis
yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam pun tidak akan dapat tumbuh dengan baik
jika tidak ada situasi kondusif yang melingkupinya. Dengan adanya keharusan untuk
5
Bank Muamalat Indonesia (BMI), telah membuktikan diri sebagai bank yang paling sehat ketika
krisis ekonomi menghantam sektor keuangan di Indonesia sekitar 1998. Rachmat Syafe'i, “ Tinjauan
Yuridis terhadap Perbankan Syariah”, Pikiran Rakyat, 21 Maret 2005, diakses dari
http://www.pikiran-rakyat.com pada 25 September, 2007.
6
DSN adalah institusi yang bertugas untuk memberikan fatwa terkait dengan produk bisnis keuangan
Islam, mencakup perbankan, asuransi, pasar modal, reksadana dan sebagainya. DSN adalah salah satu
bagian (instrument organisasi) dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). (MUI dan BI, 2006).
6
menaati berbagai prinsip syariah, baik dalam berbagai kontrak yang terjadi ataupun
dalam operasionalisasi proses produksi dari perusahaan yang masuk dalam listing di
lantai bursa, niscaya akan terbentuk sistem bisnis yang lebih baik. Sehingga, kontrol
akan tertap dapat dilakukan, yang karenanya, ini semua sangat mungkin akan
menciptakan iklim yang lebih baik bagi teraplikasikannya berbagai prinsip-prinsip
bisnis yang sejalan dengan syariah Islam.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan pasar modal syariah sangat
diperlukan. Namun
pasar modal syariah harus menghadapi masalah yang sulit,
karena pasar modal konvensional yang telah berkembang selama berabad-abad
identik dengan spekulasi, selain tentunya menyandarkan pada sistem bunga (riba).
Selain menjual saham, juga menjual surat berharga yang melibatkan berbagai
instruement bisnis, yang sifantnya derivative, semacam future trading, option, swapt
dan warran. Atas dasar hal itu, maka adanya berbagai bentuk upaya yang muaranya
menguntungkan diri sendiri dan merugikan pihak lain menjadi keniscayaan, ialah
yang sering disebut dengan spekulasi. Memang harus diakui, spekulasi memang tidak
selamanya merugikan, karena di antara faktor yang menyebabkan pasar tetap aktif
adalah adanya aktivitas spekulasi. Namun, dalam tingkat tertentu, spekulasi ini akan
membawa kerugian yang berdampak luas.
Dengan demikian, salah satu aspek utama yang membedakan antara pasar
modal konvensional dengan pasar modal syariah adalah ada dan tidaknya unsur
spekulasi atau yang dalam terminologi hukum Islam disebut dengan gharar, dalam
instrumen bisnis yang ditawarkannya. Maka, mempertimbangkan itu semua, menarik
untuk dilihat bagaimana konsep gharar diinterpretasikan dan diimplementasikan
dalam seleksi berbagai bentuk transkasi atau instrumen bisnis, atau yang lebih mudah
dikenal dengan screening criteria bagi transaksi di JII. Hal ini menarik, di samping
untuk melihat apakah konsep gharar sebagaimana yang dianut dalam teori hukum
Islam (fiqh) diaplikasikan secara semestinya ataukah tidak, juga pada akhirnya
penting untuk melihat latar belakang dari jenis instrumen insvestasi (bisnis) yang
ditawarkan. Sebagaimana diketahui bahwa selama ini, hampir keseluruhan produk
7
instrumen investasi yang ditawarkan adalah saham dan obligasi dalam varian yang
terbatas, dan belum sampai pada berbagai variasi surat berharga dari sukuk atau bond
sebagaimana
yang
menerapkannya.
sebagian
negara
pengembang
bisnis
keuangan
Islam
Dalam tingkat tertentu, hal itu layak diduga terkait dengan
bagaimana gharar diimplementasikan dalam screening criteria pada JII. Untuk
itulah, sangat urgen untuk diteliti lebih lanjut, bagaimana penghindaran unsur gharar
ini diterapkan pada screening criteria pada JII, serta berikut apa pengaruh dari hal
tersebut terhadap bentuk transaksi atau instrumen bisnis yang ditawarkan.
1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah konsep gharar dalam fiqh al-mashraf (fiqh keuangan).
2. Bagaimanakah implementasi elemen gharar dalam screening criteria di
Jakarta Islamic Index (JII)?
3. Bagaimanakah pengaruh dari implementasi penghindaran elemen gharar
dalam screening criteria tersebut terhadap macam transaksi atau instrumen
bisnis yang ditawarkan di Jakarta Islamic Index (JII)?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui konsep gharar dalam fiqh al-marshraf (fiqh keuangan)
2. Untuk mengetahui implementasi penghindaran elemen gharar dalam
screening criteria di Jakarta Islamic Index (JII)
3. Untuk mengetahui pengaruh dari implementasi penghindaran elemen gharar
dalam screening criteria tersebut terhadap macam transaksi atau instrumen
bisnis yang ditawarkan di Jakarta Islamic Index (JII)
8
1.4. Manfaat Penelitian
1. Untuk mengembangkan Ilmu Hukum, khususnya yang berkaitan
dengan
hukum bisnis keuangan Islam, dalam hal ini adalah tentang bagaimana
pengembangan konsep tentang gharar dan implementasinya dalam pasar
modal Islam.
2. Untuk memberikan masukan bagi pengembangan pasar modal Islam di
Indonesia (Jakarta Islamix Index), terkait dengan upaya pengambangan
transaksi atau instrumen bisnis yang disediakan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sebuah pasar modal, untuk dapat dinilai sebagai pasar modal syariah, haruslah
memenuhi berbagai kriteria dasar. Selanjutnya, dari kriteria tersebut akan diketahui
parameter yang
dapat digunakan untuk menentukan ke-syariah-an sebuah pasar
modal. Dengan itu akan dapat ditentukan, aturan main yang seperti apakah yang
seharusnya ada dan terlekat secara built-in dalam pasar modal syariah tersebut agar
pasar modal jenis ini tidak mengalami ‘konvensionalisasi’1 dalam relalisasi
praktisnya.
Pada prinsipnya pasar modal dapat dikatakan Islami atau syar’i apabila praktek
operasional dalam berbagai transaksi dan prosedurnya bersesuaian dengan prinsipprinsip syariah, dilakukan sesuai aturan-aturan dalam Islam. Salman Syed Ali (2008:
1) menyatakan bahwa pasar modal syariah adalah “an integral part of Islamic
financial system for efficient mobilization of resources and their optimal allocation”
yang melengkapi peranan perbankan Islam. Jassar Al-Jassar, dalam The Islamic
Financial and Capital Market Developments (2000: 217), menyatakan bahwa Islamic
financial market adalah pool of money yang tidak mengenal batas geografis lokasi,
tetapi memiliki persyaratan yang selalu sama ialah, mengikuti cara-cara yang sejalan
dengan syariah Islamiyyah.
Wahbah Zuhaily menyatakan bahwa di antara prinsip-prisnsip syariah dalam
transasksi muamalah adalah; tidak mengandung gharar (spekulasi), paksaan, dan
berbagai persyaratan yang merusak (al-shurËÏ al-mufsidah) (Wahbah Zuhaily vol 1.
33-35). Harus diingat, bahwa sesuatu perbuatan yang secara umum dilarang, maka
tidak dapat juga menjadi obyek dari transaski perdagangan, misalnya adalah terhadap
riba dan maysir (gambling). Sehingga, dapat juga kedua hal tersebut dikaitkan
dengan apa yang harus dihindari dalam sebuah kontrak. (OICU-IOSCO, 2004: 5).
1
Konvensionalisasi yang dimaksud penulis adalah praktek transaksi keuangan Islam yang dilakukan
dengan cara konvensional, berbasis pada system riba dan mentolerir spekulasi.
10
Dan terkait dengan obyek, haruslah ada kejelasan bahwa obyek tersebut halal, baik
secara ÌÉty (fisik, material) maupun maÑnawy (non fisik, non material). Meski hal
tersebut nampak sederhana, namun dari persyaratan yang masih besifat ‘nilai’
tersebut tidak mudah untuk diderivasikan ketika harus berhadapan dengan realitas
yang sangat praktis dan kompleks, terlebih dalam
dunia ekonomi, di mana
kecenderungan untuk memaksimalkan profit merupakan tujuan utama. Untuk itulah,
permasalahannya di seputar kepatuhan syariah atau yang disebut dengan shariah
compliance dalam pasar modal syariah ini menjadi sangat penting.
Secara spesifik pada masalah gharar, sebelum lebih jauh masuk pada
pemnahasan tentang hal ini, haruslah dipahami bahwa hal ini terkait dengan berbagai
aspek. Sehingga, dalam tinjauan pustaka ini, masalah gharar terkait dengan pasar
modal ini mencakup tiga aspek utama, ialah tentang prinsip perjanjian dalam
muamalah, kedua, tentang unsur dan cakupan dari aspek gharar, serta yang terakhir,
perlu dilihat juga bagaimana transaksi yang dilakukan di pasar modal konvensional
dan pasar modal syariah.
2.1.
Perjanjian yang Sesuai Dengan Syariah
Aspek yang bisa dianggap paling sentral peranannya dalam pasar modal syariah
ini, sebagaimana juga dalam setiap aktivitas perdagangan adalah perjanjian. Di
dalamnya tercakup unsur-unsur yang diperbolehkan, termasuk obyek yang jelas, tidak
eksploitatif dan spekulatif. Berbagai kerugian yang terjadi dalam aktivitas ekonomi
dan bisnis banyak yang bersumber dari ketidakjelasan dalam perjanjian yang
dilakukan. Dengan adanya standarisasi yang jelas, yang dilengkapi dengan parameter
yang terukur, maka akan mudah ditentukan apakah prinsip-prinsip dasar perjanjian
Islam terpenuhi.
Abdurrahman Al-Jazairi berpendapat, bahwa perjanjian dagang dalam Islam
harus memenuhi berbagai persyaratan, baik dari sisi para para pihak yang terlibat
maupun dari sisi obyeknya. Terkait dengan obyek, disyaratkan bahwa harus ada
kejelasan dan terhindarkan dari sisi-sisi yang tidak diketahui, selain harus bebas dari
11
najis (Al-Jazairi, Vol. 2, 131). Demikian pula dalam Majallah al-Ahkam al-Adliyyah,
persyaratan tentang obyek menunjuk pada banyak hal, di antara yang utama adalah,
bahwa obyek tersebut harus obyek yang bermanfaat dan yang terpenting harus
memiliki kejelasan, baik jenis barang, informasi terkait dengan barang serta
penyerahannya. (The Majelle:27-32). Sehingga, secara rinci, prinsip-prinsip dasar
transaksi perdagangan dalam Islam penting untuk dikemukakan. Sebuah kontrak yang
shahih (valid), menurut Islam, haruslah memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
Pertama, baik dalam landasan motivasinya. Abdul Karim Zaidan, dalam alMadkhal li Dirasah Syari’ah Islamiyyah menyatakan bahwa, “ seluruh perbuatan bisa
ditentukan posisi hukumnya atas dasar niat yang melatarbelakanginya”(Zaidan,1969:
91). Di sini, sebuah motivasi yang tidak baik, yang akan bisa diketahui dari berbagai
kesengajaan yang terjadi dalam kesalahan yang diperbuat, menjadikan cideranya
sebuah kontrak. Jadi, meskipun motivasi ini adalah masalah niat sesorang, namun
dapat dimungkinkan, beberapa perbuatan yang terjadi merupakan refleksi dari
motivasi. Di sinilah sebenarnya, Islam menekankan dengan sangat kuat, sebagaimana
juga yang hal ini terdapat dalam hukum positif dengan asas itikad baik (Khairandy,
2003: 129).2 Sehingga, salah satu
yang harus tercermin dalam kontrak yang
dilakukan adalah bagaimana klausul yang ada mengakomodasi dan merefleksikan
iktikad yang baik.
Kedua, tidak mengandung hal-hal yang memberikan akses bagi sesuatu yang
dilarang dalam syariah. Dalam hal ini, kontrak yang melibatkan substansi atau obyek
yang haram jelas tidak bisa dikatakan syah. Demikian juga dengan kontrak yang
mengandung unsur najis. (Jazairi., vol 2, 131). Keharusan halal sebenarnya bukan
hanya dalam obyek transaksi perdagangan, karena hal ini berlaku secara umum dalam
kehidupan.
2
Asas iktikad baik (good faith) merupakan hal yang mendasar dalam kontrak. Bahkan dalam berbagai
sistem hukum sekalipun, hukum kontrak ditafsirkan dengan menyandarkan pada iktikad baik tersebut.
(Khairandy, 2003: 217)
12
Ketiga, tidak terkait dengan unsur perjudian (maisir). Perjudian merupakan
suatu perbuatan yang bersifat mengambil keuntungan dengan tanpa melakukan
upaya-upaya yang wajar. Kontrak yang berkaitan dengan lotre, undian, dan mengadu
nasib, adalah beberapa contoh bentuk maisir. Maka, hal-hal yang bersifat gambling,
juga bisa dimaksudkan dengan klasifikasi ini.3 Aleuddin Kharofa, menyebutkan
bahwa salah satu syarat dalam obyek perjanjian adalah adanya keharusan segala
sesuatu yang terkait tidak dipandang illegal menurut syariah. (Kharofa, 1997:19-20).
Sehingga, meskipun larangan maisir tidak secara langsung terkait dengan konrak,
namun karena sifat dari transaksi bisnis yang memungkinkan banyak bersinggungan
dengan perjudian ini, maka hal ini merupakan suatu hal yang dilarang dalam obyek
kontrak.
Keempat, mengihindari taghrir dan tadlis, ialah semua tindakan yang
mengandung unsur tipu daya yang terjadi atas kesengajaan. Termasuk di sini adalah
gharar, ialah potensi terjadinya resiko termasuk karena ketidaktahuan akan informasi
secara detail. Dalam hal ini, semua bentuk perjanjian yang menyembunyikan suatu
kelemahan akan menjadikan cacatnya sebuah perjanjian. Jika dalam transaksi
keuangan ada suatu bentuk kejahatan yang bernama window dressing, maka hal itu
merupakan bagian dari bentuk tipu muslihat dalam tema bahasan ini. (Niazi, 121124)
Kelima, menghindari pemaksaan (ikrah), atau restraint (Niazi: 118).
dimaksudkan
dengan
restraint
adalah
sebuah
pembatasan
tertentu
Yang
yang
mengakibatkan seseorang tidak memiliki alternatif lain dalam melaksanakan sesuatu.
Memaksa pekerja untuk melakukan pekerjaan di luar kewajaran, menarik pajak yang
sangat tinggi dengan tidak diimbangi pelayanan yang layak, memberikan klausul
3
Spekulasi sangat terkait dengan perkembangan fasilitas dalam kehidupan manusia. Artinya, bahwa
sesuatu yang dianggap spekulatif masa lalu sangat mungkin berubah menjadi sesuatu yang pasti pada
hari ini. Misalnya saja, jual beli buah-buahan yang sangat tergantung pada cuaca adalah sesuatu yang
spekulatif pada masa lalu. Namun dengan ditemukannya teknologi prakiraan cuaca, sebagaimana juga
dengan penghitungan gerhana, akan menjadi sesuatu yang tidak spekulatif. Dalam kasus bursa
berjangka komoditi (future trading) misalnya, akan sangat nampak bahwa kebolehannya secra syar’i
dikarenakan adanya perkembangan teknologi dalam bidang pertanian.
13
yang rasialis bagi pekerjaan tertentu, dan seterusnya, yang kesemuanya itu diterima
oleh salah satu pihak atas dasar keterpaksaan dikarenakan tidak ada alternatif lain
yang dapat dilakukan. Ini dapat diambil makna sebagai menghindari pemanfaatan
posisi pihak yang lemah untuk mengambil keuntungan di luar kewajaran.
2.2.
Konsep Tentang Gharar.
Dari uraian di atas, nampaklah bahwa salah satu aspek penting yang harus
diperhatikan terkait dengan keabsahan transaksi perdagangan dalam Islam adalah
penghindaran terhadap gharar.
Konsep tentang gharar telah banyak mendapat
perhatian dari para ilmuwan, khususnya ahli hukum Islam. Meski demikian,
mengkaitkan gharar dengan perkembangan teknologi dan aplikasinya dalam
masyarakat modern belum banyak mendapat perhatian.
Nabil A. Saleh (1992: 62) dan S.E. Rayner (1991: 240) menjelaskan bahwa
gharar secara litterlijk bermakna ketidakpastian, resiko, spekulasi dan penipuan.
Berbagai definisi diberikan oleh para ahli hukum Islam, namun pada prinsipnya
berbagai definisi tersebut merujuk pada suatu pengertian yang mendasar, bahwa
gharar ialah berkenaan dengan berbagai sebab musabab yang dapat memberikan
keuntungan tanpa upaya atau kerja dengan akibat terjadinya kerugian pada pihak lain.
Atas dasar itulah, gharar ini juga dapat isebut dengan khidÑah (M.Hashim Kamali,
2002: 84) Secara ringkas, Nabil Saleh mengidentifikasi ada tiga elemen utama dari
gharar. Pertama adalah al-jahl, yang berarti ketidaktahuan salah satu atau semua
pihak akan “keberadaan barang” barang yang ditransaksikan. Kedua, adalah
ketidaktahuan satu atau kesemua pihak akan karakterististik dari barang yang
ditransaksikan. Sedangkan yang ketiga, ketidak-mungkinan dari satu atau semua
pihak atas barang yang ditransaksikan. (Saleh, 66, juga Saleh, 1988: 19-20).4 Di
dalam sunnah Nabi, larangan tentang gharar ini tersebar dalam berbagai hadith,
4
Secara singkat, ruang lingkup atau cakupan gharar dapat berbagai macam aspek, sepanjang unsur
jahl (ketidaktahuan) nampak. Munawar Iqbal dan Tariqullah Khan (eds), Introduction, in Financial
Engineering and Islamic Contracts (New York: Plagrave Macmillan, 2005),7.
14
utamanya pada berbagai larangan mengadakan kontrak perdagangan jÉhiliyyah.
Kontrak tersebut adalah berbagai kontrak seperti al-munÉbadhah, al-mulÉmasah, alÍÉssah, dan berbagai bentuk kontrak terlarang lainnya. (Ala’ Eddin Kharofa, 1997:
73-89 dan Nayla Comair Obeyd, 1996: 57-60).
Perlu dipahami bahwa Islam melarang keras berbagai bentuk perdagangan yang
tidak menyediakan
informasi yang lengkap
akan obyek yang diperdagangkan.
Misalnya saja, dilarang di dalamnya bai’ al-mulamasah, ialah perdagangan yang
hanya membolehkan pembeli untuk sekedar menyentuh obyek tanpa memeriksa
dengan detail (Kharofa, 81, Niazi: 89). Rasul juga melarang para pedagang kota
untuk mencegat dan membeli barang dari orang-orang dari desa yang pergi ke kota
untuk menjual barang, padahal orang-orang desa tersebut belum mengetahui
perkembangan harga terbaru (talÉq al-rukbÉn). Membeli sesuatu yang yang belum
jelas, misalnya buah yang belum siap dipanen atau ikan yang berada dalam kolam,
adalah contoh lain yang relevan dengan larangan tersebut. (Triyanta, 2000: 97-110).
Hashim Kamali, dalam Islamic Commercial Law (2002:55)
bahwa untuk dapat memiliki akibat hukum,
menjelaskan
gharar ada empat syarat. Pertama,
tingkatan gharar tersebut sangat tinggi(eksessif), bukannya gharar yang ringan.
Kedua, harus terjadi pada kontrak yang bersifat kumulatif (muÑÉwadÉt), bukannya
semacam pemberian (tabarru’Ét). Ketiga, kesamaran itu terjadi pada obyek utama,
bukan obyek pelengkap, misalnya jika jual beli pada sapi betina yang hamil, obyek
utamanya bukan pada janin sapi tersebut, tapi pada induknya. Terakhir, bahwa obyek
dalam kontrak tersebut bukan suatu barang yang sedang dalam kebutuhan mendesak.
Dengan definisi gharar semacam itu, maka banyak jenis perdagangan di saat
sekarang ini, utamanya terkait dengan transaksi di pasar modal atau lantai bursa, yang
keabsahannya menjadi pertanyaan dari aspek hukum Islam. Berbagai jenis transaksi
yang teridentifikasi bahwa penyerahan barang tidak dapat dilakukan pada masa
transaksi kemudian menjadi tidak sah. Juga, jual beli yang dilakukan dengan cara
taksiran, juga menjadi permasalahan. Di samping itu, terkait dengan kondisi di mana
barang belum ada di tangan penjual untuk dalam waktu cepat dapat diserahterimakan,
15
adalah terkait dengan kemungkinan berbagai bencana atau kejadian yang dapat
menghalangi terjadi serah terima dilakukan, juga menjadi faktor lain.
Dengan mengambil kesimpulan dari talÉq al-rukbÉn (QahtÏÉn, 2000: 110),
ialah orang yang mencegat orang kampung untuk menjual barangnya di kota, datang
ke petani, datang ke produsen, jika ditinjau ulang kaitannya dengan perkembangan
hari ini, nampaklah bahwa transaksi perdagangan dengan tidak memberikan
informasi, atau dengan menutup akses informasi bagai salah satu pihak, adalah
tindakan yang tidak dibenarkan menurut syariat Islam.
Isu lain yang sangat terkait dengan perdagangan di lantai bursa adalah tentang
jual beli surat hutang. Sebagai dimaklumi bahwa dalam literatur fiqh, hutang adalah
bukan barang yang dapat diperjualbelikan. Karenanya, surat berharga yang berbasis
pada kesanggupan untuk membayar hutang tidak dapat diperjualbelikan. Sedangkan,
hari ini, surat hutang atau bond menjadi salah satu komponen yang meramaikan
transaksi di pasar modal. Jual beli hutang atau yang dikenal dengan baiÑ al-dain
adalah sesorang yang memiliki piutang kepada pihak kedua, kemudian dikarenakan
membutuhkan uang, akan menjual piutangnya itu kepada pihak ketiga. Sehingga,
tidak perlu menunggu jatuh tempo pelunasan yang dilakukan oleh pihak kedua, pihak
pertama akan mendapatkan uang cash dari pihak ketiga.
Para ulama sepakat mengharamkan jual beli hutang semacam ini. Alasan
utama dari pengharamannya adalah karena hutang adalah sesuatu yang belum pasti,
sesuatu yang tidak jelas penyerahannya karena belum ada di tangan. (Wahbah
Zuhaily vol 1. 80).
2.3.
Transaksi di Pasar Modal
Berbagai bentuk transaksi di pasar modal konvensional perlu dilihat lebih jauh,
tentang bagaimana masing-masing transaksi dilakukan, utamanya dalam hal
kaitannya dengan ada dan tidaknya elemen gharar di dalamnya. Tony Naughton
(2000: 226) mencatat, bahwa pasar modal atau bursa efek selalu identik dengan
16
praktek-praktek pengambilan keuntungan yang berpotensi menghancurkan atau
merugikan pihak lain yang terlibat, meliputi: asymmetric information, insider trading,
manipulation of stock prices, dan gambling. Karenanya, untuk menciptakan sebuah
pasar modal Islam (syariah), praktek-praktek tersebut sangat penting untuk dianalisis
melalui kajian hukum Islam. Bahkan, bentuk kejahatan lain juga sangat sering terjadi,
misalnya tindak pidana penipuan dan pengelabuhan, serta tindak pidana manipulasi
pasar. (Yulfasni, 2005: 116-121)
Hal tersebut penting untuk akhirnnya ditentukan ketidakbolehannya dari segi
hukum Islam. Juga, dari sisi hukum Islam, sebenarnya pasar modal syariah dapat
melakukan
seleksi atas berbagai instrumen dan transaksi yang tersedia untuk
kemudian dilakukan pemilahan dan pemilihan, instrument dan transaksi tertentu yang
dapat diadopsi, serta instrument dan transaksi tertentu lainnya yang dinyatakan
haram. Hal ini, menurut hukum Islam juga suatu
dilakukan dalam metode ijtihad.
hal yang wajar dan sering
Menurut Muhammad Hashim Kamali dalam
Principles of Islamic Jurisprudence (2000: 245-310), adanya konsep ijtihad dengan
metode al-‘adah muhakkamah atau juga istishhab, atau juga al-hifdh ‘ala
qadimisshalih wal akhdzu ‘ala jadidi al-ashlah, adalah beberapa ketentuan hukum
yang meniscayakan hal tersebut.
Sesuai dengan Buku Panduan Pasar Modal yang diterbitkan oleh BAPEPAM,
transaksi utama di pasar modal, adalah saham dan obligasi. Di samping itu, pada
pasar umunya pasar modal juga menjual instrument yang bersifat derivative, yang
meliputi bukti rights, waran (option) dan
Kontrak berjangka index saham.
(Bapepam, 2003:10-24).
Adapun, transaksi atau instrumen yang ada pada pasar modal shariah (JII)
adalah kesemuanya terdiri atas saham dan obligasi. Menurut laporan terakhir,
transaksi yang ditawarkan keseluruhannya dalam bentuk saham dan obligasi (Daftar
17
Saham JII Juli-Desember 2008).5 Daftar transaksi atau instrumen yang tersedia
tersebut menunjukkan bahwa selama ini, kriteria dalam penentuan dari aspek syariah
telah melahirkan bentuk transaksi atau instrument tersebut.
Dari pemaparan tentang tinjauan pustaka tersebut, dapat dilihat bahwa
masalah implementasi penghindaran aspek gharar dalam pasar modal syariah atau JII
ternyata belum mendapatkan perhatian yang proporsional dari berbagai penelitian dan
literature yang ada. Padahal, menurut pandangan penulis sementara ini,
fakor
terpenting yang membedakan antara pasar modal syariah dengan pasar modal
konvensional adalah bahwa transaksi atau instrumen yang ditawarkan pada pasar
modal syariah haruslah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh syariah. Salah
satu persyaratan sebagaimana yang telah didiskusikan dalam uraian di depan adalah
aspek gharar. Persyaratan inilah yang akan menentukan operasi dari pasar modal
yang berbasis syariah memang secara substansial dan prosedur berbeda dengan pasar
modal konvensional.
Untuk itulah, menarik untuk diteliti lebih lanjut tentang bagaimana kriteria
gharar tersebut diaplikasikan dalam ketentuan terkait dengan screening criteria
untuk instrumen investasi yang ditawarkan di Jakarta Islamic Index (JII).
5
Hal ini juga didukung dengan regulasi penerbitan efek syariah, dalam hal ini adalah Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep- 314/Bl/2007 Tentang
Kriteria Dan Penerbitan Daftar Efek Syariah. Juga, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep- 130 /Bl/2006 Tentang Penerbitan Efek Syariah
BAB III
HIPOTESIS
3.1.
Sebagai sebuah agama dengan pengikut yang relatif besar dan berlatar belakang
sangat plural, Islam telah mendapat tantangan untuk menyelesaikan berbagai
masalah sepanjang perjalanan sejarah yang dilaluinya, termasuk masalah
ekonomi, utamanya pedagangan (al-tijarah) dan keuangan (al-masraf). Terkait
dengan masalah keuangan tersebut, dalam masa kejayaan Islam (sekitar abad 7
sampai dengan 12 M), berbagai bentuk perdagangan dan bisnis keuangan telah
terjadi perkembangan. Karena itulah, berbagai pandangan fiqh dalam hal ini ( fiqh
al-masraf) menurut hemat penulis telah membahas masalah gharar dengan relatif
detail.
3.2.
Sebagai salah satu elemen utama yang harus dihindari dalam pasar modal Islam,
gharar tentu saja menjadi pertimbangan utama dalam screening criteria atas
berbagai penawaran atau insturmen pasar modal Islam dari berbagai perusahaan.
Sehingga, bagaimana prinsip gharar dalam fiqh diimplementasikan dalam proses
seleksi tersebut layak untuk mendapat pencermatan. Dugaan penulis bahwa
implementasi dari konsep gharar telah seuai dengan prinsip fiqh yang disepakati
oleh para ahli fiqh.
3.3.
Pemilihan terhap model atau madzhab fiqh al-masraf, teruatama terkait dengan
gharar dan cara atau prosedur implementasinya dalam screening criteria secara
sangat signifikan mempengaruhi berbagai bentuk transaksi atau instrumen yang
diloloskan dalam seleksi untuk di listing dalam JII.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Tempat atau Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Yogyakarta. Penelitian ini mengambil
konsentrasi pada konsep tentang gharar dalam fiqh Islam, berkut implementasinya
dalam screening criteria bagi transaksi atau instrument bisnis di Jakarta Islamic
Index (JII).
4.2. Cara memperoleh data
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, sehingga bahan
penelitian yang diperlukan adalah sebagai berikut :
1. Bahan hukum primer, yang terdiri dari :
1) Norma atu kaidah sebagaimana yang dirumuskan dalam
hukum Islam (fiqh), dalam hal ini yang berhubungan
dengan masalah gharar.
2) Peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia terkait dengan
Pasar Modal Syariah.
2. Bahan hukum sekunder, terdiri dari berbagai karya dan pendapat para ahli
hukum agama yang menginterpretasi, mengeksplanasi atau mengelaborasi
dari teks-teks hukum agama. Bahan yang digunakan utamanya yang berkaitan
dengan diskusi dan analisa gharar dan implementasinya dalam muamalah.
3. Bahan tersier, yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
primer dan sekunder tersebut, yang meliputi; kamus, ensiklopedi dan indeksindeks yang diperlukan. Hal ini akan sangat membantu dalam memberikan
penjelasan berbagai kriteria atau parameter terkait gharar.
Adapun cara memperoleh data tersebut dilakukan dengan Studi Kepustakaan /
Dokumenter. Ini dilakukan untuk menelaah bahan-bahan kepustakaan dan
20
dokumentasi yang diperlukan.Studi ini dilakukan untuk seluruh bahan-bahan hukum
yang telah terdokumen. Di antara yang terpenting adalah bahan-bahan hukum yang
berhubungan dengan konsep gharar dalam muamalah. Di samping data didapat dari
sumber kepustakaan atau buku-buku, juga didapat dari peraturan perundangundangan serta putusan dari Dewan Syariah Nasional.
4.3. Analisa data
Setelah terkumpulnya data dari hasil penelitian, data akan diolah dengan
metode kualitatif, ialah menganalisis data dengan menggunakan atau memberikan
penafsiran terhadap data, mengabil arti yang terkandung di dalamnya. Tahapan yang
dilakukan adalah :
1.
Reduksi data
Sebagai tahapan yang pertama, data yang diperoleh dengan wawancara dan studi
dokumentasi, dalam hal ini adalah data yang berhubungan dengan masalah gharar
atau pasar modal syariah, diringkas dan diramu dalam bentuk yang baku dan
ilmiah, agar lebih mudah untuk dilakukan analisis tahap selanjutnya.
2.
Organisasi data
Data yang telah tereduksi tadi kemudian diklarifikasikan (diorganisasikan) dalam
kelas-kelas sejenis, dalam genus-genus yang sama.
3.
Penarikan interpretasi
Dalam studi hukum dan norma agama, interpretasi merupakan salah satu tahap
analisis yang harus dilakukan setelah terkumpulnya data yang disajikan secara
tertib dan klasifikasi data. Sehingga kemana sebuah norma hukum agama terkait
dengan gharar dan implementasinya mengarah dan bermaksud, akan bisa
dipahami lewat interpretasi ataupun cara-cara legal reasoning yang lain.
21
Interpretasi juga akan membantu untuk bisa menyajikan konsep norma hukum
dalam bentuk yang lebih mudah dipahami dan lebih bersifat aplikatif.
4.
Pengambilan kesimpulan
Kesimpulan diambil setelah interpretasi terhadap data terkait masalah gharar dan
screening criteria pad pasar modal syariah, bisa dilakukan dengan baik, sehingga
diharapkan kesimpulan yang diambil tidak akan drifted ke arah yang sebenarnya
tidak dikehendaki oleh norma hukum agama tersebut. Ini penting sekali untuk
diperhatikan di sini, mengingat penelitian ini relatif sepenuhnya menyandarkan
pada analisis kualitatif.
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Konsep Gharar Dalam Fiqh Keuangan
5.1.1. Definisi
Secara literal gharar (‫ )ال غرر‬berarti resiko atau bahaya. Dalam bentuk yang
lain gharar bisa diasosikan dengan kata taghrir yang merupakan kata benda kerja
yang berarti adalah menukarkan properti seseorang kepada orang lain dengan adanya
unsur yang tidak diketahui atau tersembunyi untuk tujuan yang merugikan atau
membahayakan. ( al-Dhareer, 1997: 6, Saleh, 1992: 16-17). Bahkan secara lebih jelas,
Hashim Kamali menyebutnya dengan khid’ah, yang berarti penipuan. (Kamali, 2002:
84)
Dalam terminologi legal atau jurisprudensi gharar dapat memiliki arti yang
berbeda-beda, hal itu nampak dalam penjelasan berikut (al-Dhareer, 1997: 8-10 ).
Pertama,
gharar yang hanya terkait dengan kasus yang meragukan atau
ketidakpastian, misalnya saja apakah sesuatu itu akan terjadi atau tidak. Jadi disini
tidak mencakup batasan atau pengertian tentang sesuatu yang tidak diketahui, jadi
hanya eksklusif pada hal-hal yang tidak pasti atau meragukan. Pendapat ini sejalan
dengan pernyataan Ibnu Abidin.
Kedua , gharar dapat diterapkan pada sesuatu yang tidak diketahui, bukannya
yang meragukan, pendapat ini dianut oleh mazhab Zahiri, misalnya saja pernyataan
Ibnu Hazm yang menyatakan bahwa gharar dalam jual beli itu terjadi apabila
pembeli tidak tahu apa yang dia beli dan penjual tidak tahu apa yang dia jual
Ketiga , gharar yang merupakan kombinasi dari dua kategori, yakni baik yang
tidak diketahui maupun yang meragukan sebagaimana yang didefinisikan oleh As
Sarahasi yang berkata gharar akan didapati apabila konsekuensi atau akibatnya itu
23
tidak terungkap dan definisi yang ketiga ini yang banyak diminati di dalam hukum
Islam.
Paling tidak pengertian tersebut di atas menjelaskan beragamnya pandangan
tentang pengertian gharar. Dan suatu hal yang pasti dan secara sederhana
disimpulkan adalah bahwa gharar adalah terkait dengan ketidakjelasan akan sesuatu
dalam melakukan transaksi.
5.1.2. Dasar Hukum Dari Gharar
Larangan tentang jual beli atau transaski yang mengandung gharar itu
terdapat dalam al-Qur’an dan hadith Nabi. Hadith tersebut ada dalam berbagai versi
termasuk diantaranya adalah hadith-hadith yang melarang transaksi atau jual beli
sesuatu
yang didalamnya mengandung unsur gharar, meskipun hadith itu tidak
menyatakan masalah gharar. Misalnya adanya hadith-hadith terkait dengan larangam
jual beli model al-mualasah, al-munabadah dan sebagainya. (Al-Zuhaili, 2003: 8485). Dalam Al-Qur’an, larangan tersebut antara lain dengan ayat berikut ini:
☺
⌧
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.”
(QS.Al-Nisa: 29)
Sedangkan di antara
hadith yang menyebutkan larangan akan transaksi yang
mengandung unsure gharar adalah:
24
‫ان النبى عليه الصال ة والسالم نھى عن بيع الغرر‬
“Bahwa Rasulullah saw telah melarang akan jual beli yang mengandung
gharar”. (HR Muslim) (Shariah Resolutions: 101, (al-Zuhayli, 2003: 93).
Dalil tersebut di atas merupakan dasar hukum dari dilarangnya aktifitas
gharar. Disamping dasar hukum seperti itu pelarangan gharar juga merupakn sesuatu
yang dapat diderivasikan dari dalil aqli atau dalil rasional.
Dalil rasional yang
diamaksud adalah bahwa karena gharar ini adalah merupakan bentuk ketidaktahuan
atau keraguan atas sesuatu yang berpotensi merugikan, maka otomatis hal tersebut
mencederai asas ar radha’iyyah atau asas kerelaan (konsensual) yang ini merupakan
elemen penting kontrak dalam syariat Islam.1 Karena itulah seandainyapun tidak ada
hadith yang melarang maka tetap saja gharar merupakan perbuatan yang bertentang
dengan prinsip-prinsip kontrak dalam Islam.
5.1.3. Elemen Gharar
Hashim Kamali, dalam Islamic Commercial Law (2002:55)
menjelaskan
bahwa untuk dapat memiliki akibat hukum, gharar ada empat syarat. Pertama,
tingkatan gharar tersebut sangat tinggi (eksessif), bukannya gharar yang ringan.
Kedua, harus terjadi pada kontrak yang bersifat kumulatif (mu’awadhat), bukannya
semacam pemberian (tabarru’at). Ketiga, kesamaran itu terjadi pada obyek utama,
bukan obyek pelengkap, misalnya jika jual beli pada sapi betina yang hamil, obyek
utamanya bukan pada janin sapi tersebut, tapi pada induknya. Terakhir, bahwa obyek
dalam kontrak tersebut bukan suatu barang yang sedang dalam kebutuhan mendesak.
Dari empat hal di atas, meski gharar itu dapat berupa berbagai macam, namun
empat elemen gharar tersebut dengan jelas memberikan batasan bahwa tidak setiap
gharar berperan sebagai faktor yang dapat melarang suatu transaksi. Hanya gharar
1
Hadith Nabi menyatakan: “Jual beli itu didasari oleh kesepakatan yang saling rela”. HR Ibn Hibban
(al-Zuhayli, 2003: 45)
25
yang eksessif yang akan dipertimbangkan, ialah gharar yang tinggi tingkatannya
yang pada gilirannya jika sebuah kontrak terlibat hal ini akan menjadikan kerugian di
salah satu pihak, bukannya gharar tingkat rendah yang sudah umum terjadi dan sulit
dihindari serta biasanya diterima oleh para pihak. Misalnya saja bahwa barang yang
menjadi obyek transaksi akan dikirimkan dari kota yang satu ke kota lain dengan
kendaraaan, sudah jelas, ada potensi kecelakaan, barang sedikit rusak kemasannya,
dan seterusnya.
Keharusan bahwa gharar tersebut terjadi dalam kontrak yang kumulatif,
bukannya kontrak yang bersifat pemberian atau hibah sangat jelas alsannya, ialah
bahwa hanya dalam hal gharar yang mengakibatkan kerudian salah satu pihak saja
yang akan menjadi factor pelarang, sedangkan seseorang yang menerima pemberian,
meski ada unsure gharar sekalipun tidak akan dipertimbangkan, karena pada
hakekatnya seseorang yang menerima pemberian tidak akan menderita kerugian.
Dari ketentuan yang keempat, adalah suatu ketentuan dasar atau umum dalam
hokum Islam, ialah bahwa jika ada kebutuhan mendesak (dharuriyyah), maka sesuatu
yang dilarang untuk melakukannya akan menjadi dibolehkan. Demikian halnya dalam
implementasi gharar ini, jika memang terkait dengan kebutuhan atau kondisi yang
memaksa,misalnya obyek tertentu yang mutlak dibutuhkan maka meskipun ada
unsure gharar yang dalam kondisi normal dilarang, maka kemudian untuk obyek
tersebut dapat ditolerir.
5.1.4. Aspek Gharar
Dengan mengamati berbagai larangan bagi terjadinya gharar dalam transaksi
menurut syariat Islam, maka sebagaimana disampaikan oleh Dharir, maka gharar
dapat diklasifikasikan menjadi dua. (al-Dhareer, 1997: 23-34).
Pertama, gharar terkait dengan kontrak, gharar ini muncul dikarenakan
adanya kontrak yang memang berimplikasi pada adanya ketidakjelasan atau
ketidaktahuan. Ada beberapa kontrak yang mengandung gharar, meliputi; dua jual
beli dalam satu kontrak, yang kedua adalah down payment atau arbun, ketiga adalah
26
jual beli yang hanya sekedar menyentuh dan tidak boleh mengecek barang, yang
keempat perdagangan yang disandarkan pada peristiwa tertentu di masa mendatang
sebagai syaratnya (mu’allaq), kelima perdagangan yang di ditunda untuk masa
tertentu di waktu yang akan dating (mudhaf).
Sedangkan yang kedua adalah gharar yang terkait dengan obyek, gharar yang
terkait dengan obyek ini pada prinsipnya adalah semua ketidakjelasan atau
ketidaktahuan akan jenis dari suatu batang, klasifikasi barang serta sifat-sifat
termasuk kuantitas, identitas spesifik ataupun karena waktu pembayarannya yang
tidak pasti. Termasuk dalam gharar yang terkait dengan obyek ini adalah jika
obyeknya tidak memungkinkan untuk diserahkan atau obyeknya tidak eksis atau tidak
ada dan terakhir adalah obyek yang tidak dapat disaksikan atau dilihat. Secara detail,
cakupan gharar jenis ini adalah sebagi berikut (al-Dhareer, 1997: 23-34):
1) Ketidaktahuan akan jenis obyek
2) Ketidaktahuan akan spesies obyek
3) Ketidaktahuan akan sifat (atribut) obyek
4) Ketidaktahuan akan kuantitas obyek
5) Ketidaktahuan akan essensi obyek
6) Ketidaktahuan akan kuantitas obyek
7) Ketidak mampuan untuk menyerahkan barang
8) Memperjanjikan obyek yang tidak ada
9) Memperjualbelikan barang yang tidak dapat dilihat
5.1.5. Stratifikasi Gharar
Gharar dengan berbagai macamnya di atas memang merupakan suatu aspek
negatif, karena akan berdampak pada munculnya kerugian yang tidak semestinya. Di
samping itu, gharar juga yang dapat berpotensi untuk memunculkan persengketaan.
Namun demikian grarar dalam tingkat tertentu akan selalu ada dalam setiap transaksi.
Hanya saja, tidak setiap gharar yang ada itu merupakan gharar yang mutlak harus
dihindari.
27
Ada tingkatan tertentu dari gharar ini yang dapat ditolerir. Gharar atau
ketidakjelasan atau ketidaktahuan akan obyek atau akan beberapa aspek yang
tercantum dalam sebuah kontrak itu Menurut banyak ahli, dapat diklasifikasikan
menjadi dua (Zuhayli, 2003: 86, 104-106, Obeid, 1996: 63):
Pertama gharar fahisy. Yang dimaksudkan dengan gharar fahisy adalah
gharar yang memang jelas-jelas tingkat keghararannya itu sangat tinggi, tingkat
ketidaktahuannya atau diragukannya itu sangat tinggi. Karena seperti itulah maka
kontrak ataua transasi itu menjadi sangat spekulatif dan adanya sifat yang gambling,
mengadu nasib atau untung-untungan serta berpotensi merugikan salah satu pihak
dalam transaksi. Gharar fahisy ini menurut para ulama disepakati tidak boleh ada
didalam kontrak, atau gharar fahisy ini menjadikan batalnya sebuah kontrak.
Bentuk atau contoh dari gharar model ini adalah bentuk-bentuk gharar yang
diuraikan di muka, seperti membeli dengan tanpa diketahui kapan atau bagaimana
penyerahan barang, atau jual beli atas sesuatu obyek ngan ketidakjelasan karakteristik
dari obyek tersebut. Termasuk di antara bentuk dari gharar fahisy atau gharar yang
eksessif ini adalah berbagai bentuk transaksi yang tidak dibolehkan untuk melakukan
cek atau pemeriksaan terhadap barang, kemudian juga menjual sesuatu yang
eksistensinya masih dimasalahkan, misalya menjual hewan yang masih berada dalam
kandungan induknya dengan tanpa menjual hewan induknya atau menjual buah
sebelum untuk siap dipanen. Sama halnya juga menjual sesuatu dengan harga yang
dimasa depan dengan harga yang ditunda dengan ketidaktahuan tentang prospek
masa depannya.
Kedua Gharar yasir. Sedangkan gharar yasir ini adalah tingkat ke-ghararannya sangat tipis atau kecil, dan disamping itu terkadang sesuatu hal yang terkadang
tidak mungkin dapat dihindari dalam sebuah kontrak atau transaksi. Sedangkan
untuk contoh dari gharar yasir adalah misalnya menjual rumah tanpa harus melihat
fondasinya, kemudian persewaan pemandian umum meskipun dengan harga yang
rata-rata sama meski orang itu memakai jumlah yang berbeda.
28
Dengan melihat contoh tersebut,maka dapat dipahami bahwa gharar yasir
atau gharar yang ringan ini memang orang tidak mempermasalahkan atau memang
tidak mungkin untuk diketahui. Di samping itu, gharar semacam ini secara umum
dipandang sebagai sesuatu yang dapat ditolerir atau dimaklumi.
Dari kedua jenis gharar tersebut,, maka gharar yang berefek pada rusaknya
sebuah kontrak adalah gharar fahisy. Sedangkan gharar yasir tidak berdampak pada
keberlangsungan kontrak atau keabsahannya. Yang menjadi masalah adalah gharar
yang tengah-tengah antara fahis dan yasir. Sebagian ahli berpendapat bahwa ada
gharar jenis yang ketiga ini, yakni gharar yang tengah-tengah. Namun bentuk yang
mewakili klasifikasi yang ketiga ini tidak atau jarang dijumpai. (al-Zuhayli, 2003: 8687)
Dari berbagai pemaparan dan diskusi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
gharar yang dapat membatalkan transkasi adalah gharar yang memenuhi criteria :
1. Gharar itu bersifat eksesif atau fahisy.
2. bahwa kontrak atau transaksi adalah kontrak tukar menukar barang atau tukar
menukar sesuatu (akad mu’awadhat). Kontrak di luar hal tersbut, misalnya
kontrak pemberian barang atau hibah, tidak termasuk dalam jenis yang dapat
gugur atau dilarang karena adanya unsure gharar.
3. obyek dalam kontrak merupakan aspek yang prinsipil. Yang dimaksudkan
adalah bahwa obyek barang yang ditransaksikan harus barang yang memang
memiliki arti dan kegunaan dalam kehidupan. Sehingga karena adanya gharar
menjadikan terjadinya atau munculnya kerugian dari salah satu pihak.
4. tidak adanya keharusan bahwa kontak itu harus dilakukan. Yang dimaksudkan
di sini adalah bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak itu
melakukannya
melakukannya.
tanpa
adanya
kondisi
yang
mengahruskan
mereka
Pihak tersebut sebenanrnya memiliki kesempatan dan
keleluasaan untuk melakukan atau tidak melakukannya, termasuk juga tidak
berada di bawah paksaan atau tekanan.
29
Jadi jelaslah bahwa gugurnya suatu kontrak karena gharar tidak terjadi dalam
setiap bentuk gharar atau bentuk kontrak. Hanya gharar dalam tingkat tertentu saja
yang berungsi membatalkan transaksi, serta hanya kontrak-kontak tertentu saja yang
dapat gugur karena gharar.
30
5.2. Implementasi Gharar dalam Screening Criteria di Jakarta Islamic Index
(JII)
Sebagaimana yang telah dijelaskan di muka, bahwa perbedaan mendasar pasar
modal syariah jika dibandingkan dengan pasar modal konvensional adalah dalam hal
bahwa prinsip-prinsip syariah menjadi acuan. Atas dasar itulah, maka permasalahan
penting yang harus diatur dalam pasar modal syariah ini adalah tentang screening
criteria. Yang dimaksudkan dengan screening criteria adalah parameter atau landasan
yang menjadi criteria bagi jenis surat berharga yang dapat di listing atau dipsarkan
pada pasar modal syariah. Meski utamanya adalah pada kriteria terkait dengan
syariah, namun criteria non syariah juga akan sedikit disinggung dalam pembahasan
berikut ini.
5.2.1. Kriteria Aspek Syariah
Kriteria aspek syariah ini merupakan suatu hal yang harus ada pada pasar
modal syariah. Sebelum lebih lanjut masuk pada pembahasan tentang hal ini, terlebih
dahulu perlu dilihat siapakah yang memiliki kewenangn untuk menentukan kriteria
syariah ini ini.
5.2.1.1. Penentu Kriteria
Pasar modal syariah di Indonesia, atau yang dikenal juga dengan Jakarta
Islamic Index (JII) dipersiapkan oleh JSX bersama dengan PT Dnareksa Investment
Management. Karena itulah,penentuan kriteria syariah atas dapat atau tidaknya efek
tertentu untuk dimasukkan dalam listing di JII, ditentukan oleh Dewan Pengawas
Syariah (DPS) dari PT Dnareksa Investment Management. Kriteria syariah yang
dimaksud
diformulasikan
dengan mendasarkan pada keputusan DSN (Dewan
Syariah Nasional). (Shariah Product, 2009)
Dewan Pengawas Syariah di atas adalah suatu komite pengawas yang
pengangakatannya direkomendasikan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Maka,
31
sebagaimana disebutkan di atas, dasar panduan penentuan pengawasan syariah pun
mengacu pada fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN. Perlu diketaui di sini
bahwa DSN adalah salah satu divisi yang ada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI),
yang bersama divisi atau bagian lain ikut mendukung terlaksananya berbagai program
kerja dari MUI itu sendiri.Misalnya dari divisi lain itu adalah LPOM (Lembaga
Pengawasan Obat dan Makanan) yang berurusan dengan sertifikasi halal. (Pedoman
Rumah Tangga, Pasal [1])
Fatwa yang diterbitkan oleh DSN terkait dengan produk, instrumen dan
operasional pasar modal syariah adalah sbb:
1) No.20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk
Reksa Dana Syariah;
2) No.28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (al-Sharf)
3) No.32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah;
4) No.33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah;
5) No.40/DSN-MUI/IX/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum
Penerapan Prinsip syariah di Bidang Pasar Modal;
6) No.41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah. (Ngapon, 2005)
Posisi DPS dalam pasar modal, adalah sebagai komite yang menjadi partner
dari manajemen JII dalam penasehatan (advisory) dan pengawasan (supervisory)
dalam aspek syariah terkait produk dan operasinal dari Jakarta Islamic Index (JII).
Anggota badan ini bukanlah pegawai atau karyawan dalam lembaga di mana mereka
menjadi DPS, namun sebagai orang yang diminta jasanya dikarenakan ilmu atau
pengetahuan yang dimilikinya.
Sama dengan praktek perbankan syariah di mana setiap bank harus memiliki
DPS, maka setiap perusahaan yang berkeinginan untuk menjadi anggota (listing)
pada JII ini juga harus memiliki DPS tersendiri.(Per-03/BL/2007 Ps [5]). Mekanisme
kerja dari DPS ini pada prinsipnya adalah memberikan fatwa yang diminta oleh
pihak manajemen terkait dengan status sebuah produk ditinjau dari kriteria syariah.
32
Namun, di samping itu, DPS, sebagaimana yang tersurat dari namanya “pengawas”
juga bertanggung jawab untuk memastikan dan mengawal agar operasional dari
perusahaan yang terdaftar pada pasar modal syariah atau Jakarta Islamic Index (JII)
itu selalu memathui ketentuan syariat Islam. Sehingga, dalam fungsinya sebagai
pemberi nasehat dan fatwa hukum, badan ini bekerja atas dasar permintaan, namun
untuk peran pengawasannya, badan ini bekerja secara independen untuk kemudian
memberikan laopran pada pihak manajemen, BAPEPAM serta kepada MUI. MUI
harus diberikan laporan
dikarenakan MUI lah yang mengeluarkan fatwa terkait
dengan produk-produk dan operasional pasar modal syariah atau Jakarta Islamic
Index (JII).
Isu utama terkait dengan mekanisme ini adalah konsekuensi dari
ketidakpatuhan terhadap syariah. Yakni jika dalam pengawasan yang dilakukan oleh
DPS dijumpai adanya produk-produk yang ditawarkan oleh pasar modal, ataupun
juga aspek operasionalnya yang jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah,
maka kemudian langkah apakah yang mesti diambil atau ditempuh. Berangkat dari
fungsi pengawasan itu, maka jika terjadi ketidakpatuhan, maka anggota DPS akan
menyampaikan laporan kepada DSN dan BAPEPAM sebagai pihak yang
meerekomendasikan dan mengangkat mereka. Adapun jika memang pelanggaran
terhadap prinsip syariah yang telah ditetapkan dalam peraturan BAPEPAMKEU
maka berarti juga pelanggaran terhadap peraturan tersebut. Hal ini dapat dijatuhi
hukum, sebagaimaPelanggaran terhadap Peraturan ini akan dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006
tentang Perusahan Pembiayaan. (Per-03/BL/2007Ps[13]).
Hanya permasalahannya adalah apakah ketidakpatuhan itu menimbulkan
resiko tertentu ataukah tidak. Maka jika tidak, berarti resikonya adalah bukan resiko
yang bersifat hukuman dri pemegang otoritas, namun lebih kepada resiko reputasi,
yang artinya, hukuman yang akan diterima oleh otoritas pasar modal atau JII adalah
hukuman dari masyarakat atau stake holders. Nama baik institusi akan menjadi buruk
di hadapan masyarakat atau stake holder tersebut.
33
Setelah secara selintas dibahas tentang pihak yang memiliki kewenangan
untuk melakukan pengawasan syariah, di mana di dalam proses pengawasan itulah
screening criteria ditetapkan dan diimplementasikan, maka selanjutnya akan
didiskusikan aturan yang diberlakukan untuk memastikan bahwa prinsip syariah
dipatuhi.
5.2.1.2. Kriteria Syariah bagi Perdagangan di JII
Untuk menentukan apakah sebuah efek itu sesuai dengan prinsip syariah atau
tidak, menurut fatwa dari DSN, transaksi yang ada harus memenuhi kriteria brikut:
1) Pelaksanaan transaksi harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta
tidak diperbolehkan melakukan spekulasi dan manipulasi yang di dalamnya
mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan
kezhaliman.
2) Transaksi yang mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah,
maksiat dan kezhaliman sebagaimana dimaksud ayat 1 di atas meliputi:
a) Najsy, yaitu melakukan penawaran palsu;
b) Bai’ al-ma’dum, yaitu melakukan penjualan atas barang (Efek Syariah)
yang belum dimiliki (short selling);
c) Insider trading, yaitu memakai informasi orang dalam untuk memperoleh
keuntungan atas transaksi yang dilarang;
d) Menimbulkan informasi yang menyesatkan;
e) Margin trading, yaitu melakukan transaksi atas Efek Syariah dengan
fasilitas pinjaman berbasis bunga atas kewajiban penyelesaian pembelian
Efek Syariah tersebut; dan
f) Ihtikar (penimbunan), yaitu melakukan pembelian atau dan pengumpulan
suatu Efek Syariah untuk menyebabkan perubahan harga Efek Syariah,
dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain;
g) Dan transaksi-transaksi lain yang mengandung unsur-unsur diatas.
(Fatwa DSN No.40/DSN-MUI/IX/2003, Ps [5])
34
Di luar dari itu semua, harus juga diperhatikan bahwa untuk efek syariah ini
harus ada Harga Pasar Wajar, sebagaimana dalam fatwa DSN disebutkan: “Harga
pasar dari Efek Syariah harus mencerminkan nilai valuasi kondisi yang sesungguhnya
dari aset yang menjadi dasar penerbitan Efek tersebut dan/atau sesuai dengan
mekanisme pasar yang teratur, wajar dan efisien serta tidak direkayasa.” (Fatwa DSN
No.40/DSN-MUI/IX/2003, Ps [6])
Sedangkan dari peraturan yang dikeluarkan oleh BAPEPAM maka harus
dipatuhi ketentuan umum sebagaimana yang tekah ditetappak oleh lembaga ini.
Kegiatan usaha yang diselenggarakan oleh penerbit efek tidak merupakan aktivitas
bisnis atau usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah. Adapun, kegiatan usaha
yang dinilai bertentangan dengan prinsip syariah di antara yang paling penting
adalah:
1) perjudian dan permainan yang dapat
diklasifikasikan
sebagai
judi atau
perdagangan yang dilarang;
2) menyelenggarakan layanan jasa keuangan yang menerapkan konsep ribawi,
jual beli risiko yang mengandung gharar dan atau maysir;
3) memproduksi, mendistribusikan, memperdagangkan, dan atau menyediakan:
a) barang dan atau jasa yang haram karena zatnya (haram li-dzatihi);
b) barang dan atau jasa yang haram bukan karena zatnya (haram li
ghairihi)
yang ditetapkan oleh DSN- MUI; dan atau
c) barang dan atau jasa yang merusak moral dan bersifat menyebabkan bahaya
(madarat); dan atau
4) melakukan investasi pada perusahaan yang pada saat
transaksi tingkat (nisbah) hutang
perusahaan
keuangan ribawi
lebih dominan dari
(konvensional)
kepada
lembaga
modalnya, kecuali
investasi tersebut dinyatakan kesyariahannya oleh DSN-MUI.
5. Penerbitan Efek Syariah wajib dilakukan berdasarkan Akad Syariah.
6. Efek Syariah tidak lagi memenuhi Prinsipprinsip Syariah di Pasar Modal apabila kegiatan
usaha,
cara pengelolaan,
35
kekayaan Reksa Dana, dan atau kekayaan Kontrak Investasi Kolektif Efek
Beragun
Aset dari
Pihak yang
menerbitkan Efek
tersebut
tidak
lagi memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal yang terkait dengan
Efek Syariah yang diterbitkan. (Peraturan IXA.13, no.2,3 &4)
Menarik untuk dikaji di sini apa yang telah tertera di atas, karena dengan
pembahasan terhadap masalah tersebut akan diketahui landasan dan latar belakang
dari pencantuman criteria pelarangan terhadap hal-hal di atas. Secara substansial, apa
yang telah dikeluarkan oleh DSN tersebut di atas tidak berbeda dengan apa yang telah
ditetapkan oleh BAPEPAM. Hal ini dimungkinkan karena meman peraturan yang
dikeluarkan BAPEPAM tersebut mengacu pada fatwa DSN, dan di samping itu
penyusunan peraturan tersebut juga dilakukan antara lain oleh peran dari anggota
DPS yang ada pada JII yang anggota tersebut adalah juga anggota DSN. Dari apa
yang telah didiskusikan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan:
Pertama, aspek yang bersifat perjudian atau maysir. Pelarangan perjudian di
dalam ajaran Islam (baik al-Qur’an maupun al-hadith) adalah sesuatu yang jelas dan
dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada perselisihan di dalamnya. Perjudian
diharamkan dalam Islam berdasarkan QS al-Baqarah: 219 and al-Maidah: 93).
Perjudian, menurut Islam,
mengandung unsur spekulasi yang sangat besar di
samping menimbulkan kerugian bagi sementara pihak. Keuntungan yang diperoleh
dengan perjudian adalah kerugian bagi pihak lawannya. Karena itulah, berbagai
bisnis yang bersinggungan dengan perjudian ini tidak akan dapat memperoleh
pengesahan dari DPS.
Kedua, bentuk (transaksi) bisnis yang melibatkan keuangan yang menerap
kan konsep ribawi. Pelarangan riba diatur dalam berbagai ayat dalam al-Qur’an.
Pelarangan tersebut adalah dalam QS al-Rum: 39), al-Nisa: 161, Ali Imran: 130-132,
dan al-Baqarah: 275-281. Sedangkan gharar adalah spekulasi sebagaimana yang telah
dibahasa secara panjang lebar dan mendetail pada awal-awal dari laporan penelitian
ini yang karenanya tidak perlu lagi dibahas di sini.
36
Ketiga, obyek yang haram li dzatih dan lighairih. Haram li dzatih artinya
bahwa suatu obyek itu haram karena essensi dari barang tersebut, bukan karena hal di
luar essensi materi dari barang atau obyek tersebut. Contoh yang sangat jelas terkait
hal ini adalah haramnya khamr atau minuman beralkohol, haramnya daging babi
ataupun barang najis. Kesemua barang tersebut haram karena esensi materi dari
barang tersebut yang memang diharamkan, tidak boleh dikonsumsi atau
dimanfaatkan.
Hal ini berbeda dengan apa yang disebut dengan haram li ghairih, yakni suatu
barang yang haram dikarenakan suatu sebab yang berasal dari luar esensi materi
barang tersebut. Status haram atas sebuah barang disebabkan oleh faktor di luar yang
terkait dengan barang tersebut. Misalnya saja adalah haram karena terkait dengan
proses bagaimana barang tersebut didapatkan atau untuk tujuan apa barang tersebut
ditransaksikan. Sehingga barang yang diperoleh dari hasil perjudian, pencurian atau
penggelapan serta pemilikan secara illegal, juga masuh dalam barang yang
diharamkan. Sementara penapat juga memasukkan barang yang dibeli dengan uang
hasil dari perbuatan yang bertentangan dengan Islam, misalnya saja hasil dari
pelacuran. Termasuk juga sebuah barang yang transaksi atas barang tersebut
bertujuan untuk ketidakbaikan, juga termasuk dalam jenis atau klasifikasi haram li
ghairih. Jadi jelaslah, bahwa klasifikasi haram li ghairih adalah sebuah klasifikasi
yang all-embracing atau all-inclusive, artinya, mencakup berbagai masalah selama hal
itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh syariah Islam.
Hal lain yang menarik dariperaturan tersebut adalah tentang adanya klausul
yang memasukkan perusahan yang memiliki rasio hutan kepada institusi keuangan
yang berbasis riba lebih besar daripada hutang pada institusi keuangan syariah
(Islam) sebagai dilarang untuk ditransaksikan. Hal ini menarik karena berupaya
untuk lebih memurnikan perusahaan yang memang berkehendak untuk masuk dalam
JII.
Meski larangan ini masih sangat elementer, tapi nampaknya ingin memasuki
wilayah yang selama ini menjadi perdebatan berkepanjangan. Perdebatan dimaksud
37
adalah apakah sebuah institusi keuangan syariah yang akan beroperasi hanya dapat
memanfaatkan modal (uang) yang memang bebas dari riba sama sekali?. Selama ini
jawaban masih sangat bersifat procedural, ialah bahwa pemilik modal harus
memberikan pernyataan secara tertulis yang menyatakan bahwa modal tersebut
berasal dari proses halal, dengan tanpa melihat pembuktian dari hal itu. Sama halnya
sebuah perushaan baru yang didirikan oleh sebuah perusahaan keuangan besar yang
memang keseluruhan modalnya berasal dari bisnis konvensional yang berbasis riba.
Di samping berbagai larangan di atas, ada beberapa larangan yang diberikan
dalam peraturan yang lain. Efek yang dapat dijual pada JII juga harus memenuhi
berbagai persyaratan sebagaimana berikut:
1. Efek berupa saham, termasuk Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) Sya
riah dan WaranSyariah, yang diterbitkan oleh Emiten atau Perusahaan
Publik yang tidak menyatakan bahwa kegiatan usaha serta cara pengelolaan
usahanya dilakukan berdasarkan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal
sepanjang Emiten atau Perusahaan Publik tersebut memenuhi kriteria sebagai
berikut (Peraturan No. II.K1, butir e dan f):
a. tidak melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf a
Peraturan Nomor IX.A.13;
b. tidak melakukan perdagangan yang
tidak disertai dengan penyerahan
barang
dan atau jasa;
c. tidak melakukan perdagangan dengan penawaran atau permintaan palsu; dan
2. Efek
Syariah
yang diterbitkan di luar negeri yang memenuhi Prinsip-prinsip
Syariah di Pasar Modal.
3. Tidak melebihi rasio-rasio keuangan sebagai berikut:
a) total hutang yang berbasis bunga dibandingkan dengan total ekuitas
tidak lebih dari 82% (hutang yang berbasis bunga dibandingkan dengan
total ekuitas tidak lebih dari 45%: 55%); dan
b) total pendapatan bunga dan pendapatan tidak halal lainnya dibandingkan
dengan total pendapatan (revenue) tidak lebih dari 10%.
38
Peraturan tersebut di atas (No. II K1), melengkapi dari kriteria yang telah
dituangkan dalam Peraturan No. IX.A.13. Meski sebenarnya secara implisit kriteria
dalam peraturan yang lebih baru ini (No. II K1) sudah tercakup dalam peraturan
sebelumnya, namun pernyataan yang secara eksplisit ini memberikan penekanan yang
lebih jelas dan kuat serta sulit disimpangi dengan alasan ketidakjelasan bunyi aturan.
Mengapakah dikatakan bahwa secara implisit sudah tercakup dalam aturan
sebelumnya?. Ini Nampak pada larangan melakukan perdagangan yang tidak disertai
dengan penyerahan barang, serta penawaran atau permintaan palsu. Kedua hal
tersebut sebenarnya masuk dalam wilayah gharar,
sedangkan gharar telah
disebutkan dalam aturan sebelumnya (No. IX.A.13).
Sedangkan pernyataan tentang efek syariah yang diterbitkan di luar negeri
yang juga harus mentaati prinsip-prinsip syariah, sebenarnya bukan pengaturan baru
juga, karena tidak ada pengecualian dalam pengaturan sebelumnya bagi efek yang
diterbitkan di luar negeri, artinya bahwa semua efek yang akan didaftarkan untuk
penjualan di JII haruslah memenuhi aturan tentang kepatuhan terhadap prinsip-prinsip
syariah yang telah ditetapkan seca umum. Meski demikian penekanan tersebut juga
memberikan nilai berupa penekanan yang lebih tinggi.
Peraturan tersebut juga cukup detail dalam memberikan parameter bagi
perusahan yang akan listing pada pasar modal bahwa keterlibatannya dengan riba
harus dibatasi sedemikian rupa sehingga kehalalannya terjaga. Yang menarik adalah
bahwa ketentuan prosentase total hutang berbasis bunga juga dengan pendapatan
bunga dan pendapatan tidak halal lainnya, ditentukan dalam jumlah tertentu. Tentu
saja, jika dasar pengambilan hukumnya adalah batasan sedikit dan banyak, maka
angka tersebut dapat didiskusikan lebih lanjut, mengapa, misalnya saja, untuk
pendapatan dari bunga atau non halal dapat ditolerir sampai 10 %, dan kemudian, apa
efek hukum jika suatu perusahaan melampaui, atau tepat, atau di bawah dari angka
tersebut. Apakah ada efek tentang kepatuhan syariah ataukah tidak, itu tentu perlu
diskusi dan penelitian lebih lanjut.
39
Jadi jelaslah bahwa screening criteria untuk aspek syariah menyangkut
masalah kehalalan bagi produk yang diberikan oleh perusahaan yang bersangkutan,
serta juga ketentuan organisatoris bagi perusahaan tersebut yang harus melibatkan
unsure pengawasan syariah.
Sebagaimana telah dijelaskan di depan, bahwa kriteria dalam penyeleksian
perusahaan yang akan listing di JII tersebut juga melibatkan berbagai criteria non
syariah, maka selanjutnya perlu didiskusikan criteria yang dimaksud.
5.2.2. Kriteria terkait Aspek Likuiditas
Kriteria yang terkait dengan aspek likuiditas, atau kinerja perusahaan, telah
dinyatakan dalam peraturan yang hal itu meliputi:
Khusus untuk saham (share), ada persyaratan sebagai berikut:
1) Aktivitas bisnis dari penerbit saham tidak bertentangan dengan hukum Islam,dan
saham akan di listing untuk masa lebih dari 3 bulan (kecuali jika saham tersebut
termasuk dalam 1o besar daftar kapitalisasi).
2) Laporan keuangan tahunan atau semesteran menunjukkan rasio kewajiban asset
maksimal 90%
3) Termasuk dalam 60 saham terbaik di tahun terakhir kapitalisasi pasar.
4) Termasuk dalam 30 saham terbaik di tahun terakhir dalam hal likuiditas di pasar
regular. (Syariah Product, 2009)
Persyaratan likuiditas tersebut, meskipun tidak terkait dengan masalah kepatuhan
syariah, namun sangat penting untuk diterapkan dalam screening criteria di JII. Hal
ini dikarenakan pasar modal Islam pun memperlukan kinerja yang baik, atau bahkan
idealnya lebih baik dari pasar modal yang telah ada, sehingga tidak akan
memperburuk perkembangan dari bisnis keungan Islam. Bahkan, jika diperlukan,
justeru harus ada peraturan yang lebih jelas dan konsisten, karena dalam tahap
pengembangan dari sistem ini, jika kemudian terbukti kinerjanya memang lebih baik
40
dari kinerja dalam pasar modal konvensional, maka, orang atau pasar akan lebih
tertarik pada bisnis keuangan Islam, termasuk di dalamnya pasar modal.
Sehingga, ini penting untuk menghindari pengalaman yang terjadi pada
perbankan Islam, di mana seolah-olah ada kesan bahwa perbankan Islam hanyalah
untuk pelarian (atau dinilai sebagai second class) jika sebuah industri sudah tidak
sanggup lagi bersaing di pasar atau system konvensional. Sebagaimana telah
dipahami bersama, daya tarik dari bisnis keuangan Islam yang sangat penting adalah
pada kesehatan dari sistem tersebut. Bukankah mulai populernya perbankan syariah
di Indonesia adalah ketika krisis ekonomi yang terjadi pada akhir decade 90-an
adalah karena faktor kesehatan perbankan syariah juga?. Di mana, pada saat itu,
banyak industry perbankan yang collaps dan tidak sehat, namun BMI (Bank
Muamalat Indonesia) justeru menunjukkan performance nya sebagai perbankan yang
paling sehat?.
Dalam kasus terkait pasar modal dan pasar uang, kejadian yang telah
memicu terjadinya kebangrutan massif di kalangan perusahaan di Amerika, yang
dikenal dengan sub prime mortgage, juga telah menunjukkan bahwa aspek di luar
produk telah sangat mempengaruhi kinerja. Dalam hal ini, cara-cara yang
bertentangan dengan prinsip syariah, terbukti sangat rawan dan rapuh terhadap
tindakan profit taking yang sanga bebas, yang pada gilirannya akan mengakibatkan
kerugian. Dan kasus tersebut, ternyata kemudian menjadi impetus dari semakin
diliriknya bisnis pasar keuangan Islam, ialah Islamic mortgate.
Di sinilah pentingnya berbagai persyaratan di luar dari persyaratan terkait
kepatuhan syariah.
5.2.3. Kriteria Syariah dalam Tata Kelola (Governance)
Aspek tata kelola (governance) merupakan aspek yang penting dalam
praketek bisnis keuangan Islam, termasuk pasar modal syariah. Hal ini berangkan
dari landasan flosofis bahwa kehalalan sesuatu dalam Islam tidak hanya ditentukan
dengan jenis produk saja. Sebagaimana makanan, kehalalan tidak hanya ditentukan
41
oleh bahwa makanan itu termasuk materi/ zat atau substansi yang diharamkan atau
tidak. Akan tetapi faktor di luar dari materi tersebut juga penting untuk dilihat, ialah
proses yang melatarbelakanginya. Dalam hal ini, tata kelola (governance) menjdi
sangat penting untuk dianalisis.
Sebagaimana telah namapak jelas dari pembahasan di atas, criteria yang
banyak menunjuk pada produk yang ditawarkan sudah diatur dengan jelas dan
diberikan rambu-rambu agar tidak ada pertentang dengan prinsip syariah. Maka
selanjutnya, untuk menjamin bahwa criteria di atas benar-benar dipatuhi, ada
beberapa hal yang harus dipenuhi oleh pihak perusahaan, ialah aspek tata kelola
(governance).
Pihak atau perusahaan yang menerbitkan Efek Syariah di Pasar Modal syariah
wajib untuk memberikan pernyataan sebagai berikut, bahwa (Peraturan Nomor
IX.A.13 point 2.f):
1) kegiatan usaha serta cara pengelolaan usaha Pihak yang melakukan Penawaran
Umum dilakukan berdasarkan Prinsipprinsip Syariah di Pasar Modal sebagaimana
tertuang dalam
Anggaran
Dasar Perseroan atau Kontrak Investasi Kolektif (KIK);
2) jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan, aset yang dikelola, akad, dan
cara pengelolaan perusahaan Pihak yang melakukan Penawaran Umum
tidak bertentangan dengan Prinsip- prinsip Syariah di Pasar Modal; dan
3) memiliki anggota direksi, anggota komisaris, Wakil Manajer Investasi, dan
penangungjawab
atas
Kustodian yang mengerti
pelaksanaan
kegiatan Kustodian
kegiatan-kegiatan
yang
pada
Bank
bertentangan
dengan
Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal.
Pernyataan tentang beberapa point di atas merupakan suatu jaminan bahwa
pihak penerbit efek memiliki komitmen terhadap kepatuhan syariah dalam
pengelolaan dan kegiatan usaha. Meski hanya berupa pernyataan, yang dalam
kekuatan hukum seakan hanya tergantung dari pihak yang menyatakan, namun jika
42
dianalisa dengan cermat, maka hal tersebut akan memiliki konsekuensi hukum yang
sangat serius bagi penegakan hukum terkit kepatuhan syariah. Pernyataan tersebut
akan memberikan akses bagi penegakan kepatuhan syariah dalam, minimal 3 hal:
Pertama, kegiatan usaha dan cara pengelolaan. Pernyataan bahwa kegiatan
usaha dan cara pengelolaan sebenarnya merupakan penyebutan yang secara allinclusive telah mewakili dari tata kelola. Sehingga ketika kegiatan usaha dan cara
pengelolaan harus dinyatakan sebagai tidak bertentangan dengan syariah, maka sudah
menunjukkan adanya komitmen untuk melakukan tata kelola tang patuh terhadap
syari’ah. Dan ini berarti bahwa keseluruhan prosedur dan mekanisme serta berbagai
cara yang ditempuh di dalamnya harus mematui prinsip syariah di pasar modal.
Kedua, orang yang terlibat dalam manajemen. Penegasan ini cukup menarik,
dikarenakan secara tegas menunjukkan bahwa bahwa urusan terkait kepatuhan
syariah bukan hanya diletakkan dalam tanggung jawab DPS, namun bahwa orangorang yang terlibat dalam manajemen,mulai dari direksi, komisaris, dan seterusnya,
haruslah memiliki tingat pemahaman terstentu akan asepek-aspek usaha terkait yang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Meski kemudian pertanyaannya adalah,
apakah pernyatakan ini diikuti dengan berbagai upaya untuk mendukung terwujudnya
hal ini ataukah tidak. Dengan kata lain, apakah regulator dan institusi yang bertugas
mengawasinya,
dalam
hal
ini
BAPEPAM,
apakah
memiliki
instrument
pendukungnya, semacam mekanisme pendidikan dan sertifikasi serta metode fit and
proper tes nya. Jika belum tersedia hal tersebut, maka hal ini penting untuk segera
diupayakan, agar aturan terkait kewajiban membuat pernyataan seperti tersebut di
atas bukan hanya aturan semata, namun menjadi sebuah tindakan yang riil.
Di samping pengaturan yang berupa keharusan untuk memberikan pernyataan
sebagaimana tersebut di atas, emiten atau Perusahaan Publik yang melakukan
Penerbitan Efek Syariah berupa saham wajib:
1) mengikuti ketentuan Peraturan Nomor IX.A.1 tentang Ketentuan Umum Pengaj
uan Pernyataan Pendaftaran atau Peraturan Nomor IX.B.1 tentang Pedoman Me
43
ngenai Bentuk Dan Isi Pernyataan Pendaftaran Perusahaan Publik dan serta kete
ntuan tentang Penawaran Umum yang terkait lainnya; dan
2) mengungkapkan informasi tambahan dalam Prospektus bahwa:
a) dalam anggaran dasar dimuat ketentuan bahwa kegiatan usaha serta cara pen
gelolaan
usahanya
dilakukan
berdasarkan
Prinsip-prinsip Syariah di
Pasar Modal;
b) jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan, aset yang dikelola, akad, dan
cara pengelolaan Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud tidak bertentanga
n dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal; dan
c) Emiten atau Perusahaan Publik memiliki anggota direksi dan anggota komis
aris yang mengerti kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan Prinsipprinsip Syariah di Pasar Modal. (Peraturan No. IXA.13 point 3)
Point no. 2 dari peraturan di atas sebenarnya tidak berbeda dengan peraturan
yang mewajibkan pihak emiten untuk memberikan pernyataan sebagaimana di atas.
Hanya saja, pada point 2 tersebut menegaskan pentingnya berbagai aspek tersebut
dapat diketahui secara mudah oleh orang-orang yang berkepentingan. Dengan
dicantumkannya ketentuan tersebut dalam porspektus, maka hal ini berarti bahwa
masyarakat akan dengan mudah mengetahui komitmen dari sebuah erusahaan atau
emiten bahwa berbagai prinsip terkait dengan kepatuhan syariah menjadi pedoman
baik dalam peneluaran produk maupun dalam pengelolaan atau aspek operasional.
5.2.4. Kontrak Syariah yang dapat diterapkan dalam perusahaan pembiayaan
yang listing di Pasar Modal.
Untuk mengetahui model hukum Islam yang diterapkan, maka penting di sini
untuk dilihat bagaimana jenis-jenis akad yang diterapkan pada pasar modal syariah
(JII), serta apa kriteria dari masing-masing kontrak tersebut. Hal ini penting, karena
dengan mengetahui kriteria untuk masing-masing jenis kontrak, berarti mengetahui
44
madzhab hukum yang dianut atau diadopsi dalam produk dan operasional pasar
modal syarriah (JII) di Indonesia.
Dalam Peraturan
Keuangan
Ketua
Nomor: Per-
Badan Pengawas Pasar Modal
04 /BL/2007 Tentang Akad-Akad
Dan
Yang
Lembaga
Digunakan
Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, dijelaskan
bahwa akad yang dipakai atau diterapkan dalam pasar modal syariah (JII)
meliputi akad-akad sebagai berikut:
1) Akad Ijarah
2) Akad Ijarah Muntahiah Bi Tamlik
3) Akad Wakalah bil Ujrah
4) Akad Murabahah
5) Akad Salam
6) Akad Istishna’
Masing-masing akad tersebut akan dianalisa satu persatu dalam penjelasan berikut:
5.2.4. 1. Akad Ijarah
Ijarah didefinisikan sebagai: “Ijarah adalah akad penyaluran dana untuk
pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan
pembayaran sewa (ujrah), antara Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa
(mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) tanpa diikuti pengalihan kepemilikan
barang itu sendiri.” (Pasal 1 [1])
Ada beberapa unsur yang harus dipenuhi bagi akad ijarah ini, baik yang
terkait dengan perusahaan pemberi sewa, penyewa, obyek barang yang disewakan
maupun dokumentasi hukum.
1) Hak dan kewajiban pemberi sewa (muajjir)
Bagi
Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) memiliki
hak antara lain meliputi (Pasal 2 [1]-[2]):
45
a) memperoleh pembayaran sewa dan atau biaya lainnya dari penyewa (musta’jir
); dan
b) mengakhiri akad Ijarah dan menarik obyek Ijarah apabila penyewa (musta’jir)
tidak mampu membayar sewa sebagaimana diperjanjikan.
Sedangkan kewajiban Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir)
meliputi:
a) menyediakan obyek Ijarah yang disewakan;
b) menanggung biaya pemeliharaan obyek Ijarah; dan
c) menjamin obyek Ijarah yang disewakan tidak terdapat cacat dan dapat berfung
si dengan baik.
2) Hak dan kewajiban penyewa (muajjir)
Dalam akad sewa (iajarah) ini, penyewa (musta’jir) memiliki hak
antara lain meliputi Pasal 3 (1)-(2):
a) menerima obyek Ijarah dalam keadaan baik dan siap dioperasikan; dan
b) menggunakan obyek Ijarah yang disewakan sesuai dengan persyaratanpersyaratan yang diperjanjikan.
Sedangkan Kewajiban yang harus dilakukan oleh penyewa (musta’jir)
antara lain meliputi:
a) membayar sewa dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan;
b) mengembalikan obyek Ijarah apabila tidak mampu membayar sewa;
c) menjaga dan menggunakan obyek Ijarah sesuai yang diperjanjikan; dan
d) tidak menyewakan kembali dan atau memindahtangankan
obyek Ijarah
kepada pihak lain.
3). Persyaratan bagi obyek sewa (ijarah) dan macamnya:
Adapun tentang obyek sewa (ijarah), adalah berupa barang modal yang
memenuhi ketentuan antara lain (Pasal 4):
a) obyek Ijarah merupakan milik dan atau dalam penguasaan Perusahaan
Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir);
46
b) manfaat obyek Ijarah harus dapat dinilai;
c) manfaat obyek Ijarah harus dapat diserahkan Penyewa (musta’jir);
d) pemanfaatan obyek Ijarah harus bersifat tidak dilarang secara syariah (tidak di
haramkan)
e) manfaat obyek Ijarah harus dapat ditentukan dengan jelas; dan
f) spesifikasi obyek Ijarah harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui ide
ntifikasi fisik, kelaikan, dan jangka waktu pemanfaatannya.
Adapun benda atau alat yang dapat menjadi
obyek sewa antara lain
sebagai berikut(Pasal 5):
a) alat-alat berat (Heavy Equipment);
b) alat-alat kantor (Office Equipment);
c) alat-alat foto (Photo Equipment);
d) alat-alat medis (Medical Equipment);
e) alat-alat printer (Printing Equipment);
f) mesin-mesin (Machineries);
g) alat-alat pengangkutan (Vehicle);
h) gedung (Building);
i) komputer; dan
j) peralatan telekomunikasi atau satelit.
4). Dokumentasi hukum dan ketentuan tambahan.
Adapun terkait dengan dokumentasi hukum, harus dibuat sekurang-kurangnya
dokumen sebagaimana berikut ini (Pasal 8):
a) surat persetujuan prinsip (offering letter);
b) akad Ijarah;
c) perjanjian pengikatan jaminan atas pembayaran sewa; dan
d) tanda terima barang.
47
Sedangkan aspek lain yang juga harus terdapat dalam akad ijarah ini adalah
(Pasal 7):
a) identitas
Perusahaan
Pembiayaan sebagai pemberi sewa
(muajjir) dan
penyewa (musta’jir);
b) spesifikasi obyek Ijarah meliputi nama, jenis, jumlah, ukuran, tipe dan lokasi
penggunaan/penempatan obyek Ijarah;
c) spesifikasi manfaat obyek Ijarah;
d) harga perolehan, nilai pembiayaan, dan pembayaran sewa Ijarah;
e) jangka waktu sewa;
f) saat penyerahan obyek Ijarah;
g) ketentuan mengenai pengakhiran transaksi yang belum jatuh tempo;
h) ketentuan mengenai biaya-biaya yang timbul selama masa sewa;
i) ketentuan mengenai biaya-biaya yang ditanggung oleh masing-masing pihak
apabila terdapat kerusakan, kehilangan atau tidak berfungsinya obyek
Ijarah;
j) ketentuan
mengenai
pengalihan
kepemilikan
obyek
Ijarah
oleh
Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) kepada pihak
lain; dan
k) hak dan tanggung jawab masing-masing pihak.
5.2.4.2. Ijarah Muntahiyah Bi al-Tamlik (IMBT)
Akad ini dedefinisikan sebagai: “akad penyaluran dana untuk pemindahan
hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran
sewa (ujrah), antara Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir)
dengan
penyewa (musta’jir) disertai opsi pemindahan hak milik atas
tersebut kepada penyewa setelah selesai masa sewa.” (Pasal 1 (2))
barang
48
1). Ketentuan Umum
Secara garis besar, ketentuan bagi IMBT adalah (Pasal 9):
a) Dalam pelaksanaan (IMBT), Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa
(muajjir) wajib membuat wa’ad, yaitu janji pemindahan kepemilikan obyek
IMBT pada akhir masa sewa.
b) Wa’ad sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat tidak mengikat bagi
penyewa (musta’jir) dan apabila wa’ad dilaksanakan, maka pada akhir masa
sewa wajib dibuat akad pemindahan kepemilikan.
2). Hak dan kewajiban pemberi sewa (muajjir)
Hak Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) antara lain
adalah (Pasal 10):
a) memperoleh pembayaran sewa dari penyewa (musta’jir);
b) Menarik obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik apabila penyewa (musta’jir)
tidak mampu membayar sewa sebagaimana diperjanjikan; dan
c) Pada akhir masa sewa, mengalihkan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik
kepada penyewa lain yang mampu dalam hal penyewa (musta’jir) sama
sekali tidak mampu untuk memindahkan kepemilikan obyek Ijarah
Muntahiah Bit Tamlik atau memperpanjang masa sewa atau mencari calon
penggantinya.
Sedangkan Kewajiban Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa
(Muajjir) antara lain adalah:
a) Menyediakan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik yang disewakan;
b) Menanggung biaya pemeliharaan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik kecuali
diperjanjikan lain; dan
c) Menjamin obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik tidak terdapat cacat dan dapat
berfungsi dengan baik.
49
3). Hak dan kewajiban penyewa (musta’jir)
Hak penyewa (musta’jir) antara lain adalah (Pasal 11):
a) menggunakan
obyek
Ijarah
Muntahiah
Bit
Tamlik
sesuaimdengan
persyaratan-persyaratan yang diperjanjikan;
b) menerima obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik dalam keadaan baik dan siap
dioperasikan;
c) pada akhir masa sewa, memindahkan kepemilikan obyek Ijarah Muntahiah
Bit Tamlik, atau memperpanjang masa sewa, atau mencari calon penggantinya
dalam hal tidak mampu untuk memindahkan hak kepemilikan atas obyek
Ijarah Muntahiah Bit Tamlik atau memperpanjang masa sewa; dan
d) membayar sewa sesuai dengan yang diperjanjikan.
Sedangkan Kewajiban penyewa (musta’jir) antara lain adalah (Pasal 11):
a) membayar sewa sesuai dengan yang diperjanjikan;
b) menjaga dan menggunakan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik sesuai yang
diperjanjikan;
c) tidak menyewakan kembali obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik kepada pihak
lain; dan
d) melakukan pemeliharaan kecil (tidak material) terhadap obyek Ijarah
Muntahiah Bit Tamlik.
4). Obyek IMBT dan Macamnya
Obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik adalah berupa barang modal yang
memenuhi ketentuan sebagai berikut (Pasal 12):
a) obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik merupakan milik Perusahaan Pembiayaan
sebagai pemberi sewa (muajjir);
b) manfaatnya harus dapat dinilai dengan uang;
c) manfaatnya dapat diserahkan kepada penyewa (musta’jir);
d) manfaatnya tidak diharamkan oleh syariah Islam;
50
e) manfaatnya harus ditentukan dengan jelas; dan
f) spesifikasinya harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi
fisik, kelaikan, dan jangka waktu pemanfataannya.
Obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 antara
lain (Pasal 13):
a) alat-alat berat (Heavy Equipment);
b) alat-alat kantor (Office Equipment);
c) alat-alat foto (Photo Equipment);
d) alat-alat medis (Medical Equipment);
e) alat-alat printer (Printing Equipment);
f) mesin-mesin (Machineries);
g) alat-alat pengangkutan (Vehicle);
h) gedung (Building);
i) komputer; dan
j) peralatan telekomunikasi atau satelit.
5). Ketentuan Harga
Adapun penentuan harga dilakukan dengan (Pasal 14):
a) Harga sewa (ujrah) dan cara pembayaran atas obyek Ijarah Muntahiah Bit
Tamlik ditetapkan berdasarkan kesepakatan di awal akad.
b) Harga untuk opsi pemindahan kepemilikan obyek Ijarah Muntahiah Bit
Tamlik ditetapkan setelah berakhirnya masa sewa.
c) Harga untuk opsi pemindahan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dibuat secara tertulis dalam perjanjian pemindahan kepemilikan.
d) Alat pembayaran atas harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
adalah berupa uang atau bentuk lain yang memiliki nilai yang sama dan tidak
dilarang secara syariah.
51
6). Dokumentasi Hukum dan Ketentuan Tambahan
Dokumentasi dalam Ijarah Muntahiah Bit Tamlik
oleh Perusahaan
Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) paling kurang meliputi (Pasal 16):
a) surat permohonan Ijarah Muntahiah Bit Tamlik;
b) surat persetujuan prinsip (offering letter);
c) akad Ijarah Muntahiah Bit Tamlik;
d) dokumen wa’ad;
e) perjanjian pengikatan jaminan atas pembayaran sewa;
f) tanda terima barang; dan
g) perjanjian pemindahan kepemilikan.
Dalam Ijarah Muntahiah Bit Tamlik paling kurang memuat halhal sebagai berikut
(Pasal 15):
a) identitas Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) dan
penyewa (musta’jir);
b) spesifikasi obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik meliputi nama, jenis, jumlah,
ukuran, tipe dan lokasi penggunaan obyek sewa;
c) spesifikasi manfaat obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik;
d) harga perolehan, nilai pembiayaan, pembayaran harga sewa (ujrah), ketentuan
jaminan dan asuransi atas obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik;
e) jangka waktu sewa;
f) saat penyerahan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik;
g) ketentuan mengenai pengakhiran transaksi yang belum jatuh tempo;
h) ketentuan mengenai biaya-biaya yang timbul selama masa sewa;
i) ketentuan mengenai biaya-biaya yang ditanggung oleh masing-masing pihak
apabila terdapat kerusakan, kehilangan atau tidak berfungsinya obyek Ijarah
Muntahiah Bit Tamlik;
52
j) ketentuan mengenai pengalihan kepemilikan obyek Ijarah Muntahiah Bit
Tamlik oleh Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) kepada
pihak lain; dan
k) hak dan tanggung jawab masing-masing pihak.
5.2.4.3. Istishna’
Akad
ini
didefinisikan
sebagai
“akad pembiayaan untuk pemesanan
pembuatan barang tertentu dengan
kriteria
dan
disepakati antara pemesan (pembeli,
persyaratan
tertentu yang
mustashni`) dan penjual (pembuat, shani`)
dengan harga yang disepakati bersama oleh para pihak.” (Pasal 1 [3])
5.2.4.4. Murabahah
Akad ini adalah: “akad pembiayaan untuk pengadaan suatu barang dengan
menegaskan harga belinya
(harga perolehan) kepada pembeli dan pembeli
membayarnya secara cangsuran dengan harga lebih sebagai laba.” (Pasal 1 [5])
1). Ketentuan Umum
Pada prinsipnya muarabah dapat dilakukan dengan dua macam (Pasal 23):
a) Murabahah dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan.
b) Dalam
pelaksanaan
Murabahah
berdasarkan
pesanan,
Perusahaan
Pembiayaan sebagai penjual (ba’i) melakukan pembelian barang setelah ada
pemesanan dari konsumen sebagai pembeli (musytari).
c) Murabahah berdasarkan pesanan bersifat mengikat atau tidak mengikat pihak
yang berhutang untuk membeli barang yang dipesannya.
d) Dalam pelaksanaan Murabahah berdasarkan pesanan bersifat mengikat,
konsumen sebagai pembeli (musytari) tidak dapat membatalkan pesanannya.
2). Hak dan Kewajiban perusahaan:
b. Adapun hak perusahaan pembiayan adalah sbb (Pasal 24):
(1) Hak Perusahaan Pembiayaan antara lain:
53
a) memperoleh pembayaran dari konsumen sebesarnharganya secara angsuran
sesuai yang diperjanjikan;
b) mengambil kembali obyek Murabahah apabila konsumen sebagai pembeli
(musytari) tidak mampu membayar angsuran sebagaimana diperjanjikan; dan
c) menentukan penyedia barang (supplier) dalam pembelian obyek Murabahah.
(2) Kewajiban Perusahaan Pembiayaan sebagai penjual (ba’i) antara lain:
a) menyediakan obyek Murabahah sesuai yang disepakati bersama dengan
konsumen sebagai pembeli (musytari);dan
b) menjamin obyek Murabahah tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan
baik.
Dalam menyediakan obyek Murabahah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 huruf c, Perusahaan Pembiayaan dapat mewakilkan pembelian barang tersebut
kepada konsumen berdasarkan prinsip wakalah, yaitu perjanjian (akad) dimana pihak
yang memberi kuasa (muwakkil) memberikan kuasa kepada pihak yang menerima
kuasa (wakil) untuk melakukan tindakan atau perbuatan tertentu (Pasal 25).
3). Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak dan kewajiban konsumen antara lain (Pasal 26):
a) menerima obyek Murabahah dalam keadaan baik dan siap dioperasikan;
b) membayar angsuran dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan; dan
c) mengembalikan atau menitipjualkan obyek yang dibiayai.
4). Ketentuan Obyek
Obyek Murabahah harus memenuhi ketentuan paling kurang (Pasal 27):
a) dapat dinilai dengan uang;
b) dapat diterima oleh konsumen;
c) tidak dilarang oleh syariah Islam; dan
54
d) spesifikasinya harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi
fisik, kelaikan, dan jangka waktu pemanfataannya.
Obyek Murabahah di antaranya meliputi (Pasal 28):
a) kendaraan bermotor ;
b) rumah;
c) barang-barang elektronik;
d) alat-alat rumah tangga bukan elektronik; dan
e) barang konsumsi lainnya.
5). Ketentuan Harga
Persyaratan penetapan harga barang dalam Murabahah wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut (Pasal 29):
a) ketentuan harga jual (pricing) ditetapkan di awal perjanjian dan tidak boleh
berubah selama waktu perjanjian;
b) pembayaran Murabahah dapat dilakukan secara tunai atau angsuran;
c) diperkenankan adanya perbedaan dalam harga barang untuk cara pembayaran
yang berbeda; dan
d) harga yang disepakati adalah harga jual (harga perolehan) sedangkan harga
beli harus diberitahukan kepada konsumen.
Persyaratan penetapan uang muka (’urbun) dalam Murabahah wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut (Pasal 30):
a) Perusahaan Pembiayaan diperbolehkan meminta konsumen untuk membayar
uang muka (’urbun) saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan;
b) dalam hal konsumen menolak untuk membeli barang tersebut, maka biaya riil
Perusahaan Pembiayaan harus dibayar dari uang muka (’urbun) tersebut; dan
55
c) dalam hal nilai uang muka (’urbun) lebih kecil dari kerugian yang harus
ditanggung oleh Perusahaan Pembiayaan, maka Perusahaan Pembiayaan dapat
meminta kembali sisa kerugiannya kepada konsumen.
6). Penghentian akad dan sanksi
Persyaratan mengenai pengakhiran transaksi Murabahah sebelum jatuh tempo
wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut (Pasal 31):
a) dalam hal konsumen dalam Murabahah melakukan pelunasan pembayaran
lebih cepat dari waktu yang telah disepakati, Perusahaan Pembiayaan
diperbolehkan memberikan potongan dari kewajiban pembayaran tersebut,
dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad Murabahah; dan
b) besarnya potongan sebagaimana dimaksud pada huruf a diserahkan pada
kebijakan dan pertimbangan Perusahaan Pembiayaan.
Apabila konsumen telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan hutang
dalam Murabahah, maka Perusahaan Pembiayaan wajib menunda tagihan hutang
sampai dengan konsumen ia menjadi sanggup kembali membayar tagihan hutang atau
adanya penyelesaian berdasarkan kesepakatan bersama. (Pasal 32).
Persyaratan penetapan sanksi dalam Murabahah harus sesuai ketentuan sebagai
berikut (Pasal 33):
a) konsumen yang mampu, namun menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak
mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar angsuran dapat
dikenakan sanksi;
b) sanksi dapat berupa denda sosial (ta’zir ) ataupun ganti rugi (ta`widh)
berdasarkan atas sebab tertundanya pembayaran dan akibat yang ditimbulkan
dari penundaan tersebut;
c) konsumen yang tidak atau belum mampu membayar disebabkan keadaan
memaksa (force majeure) tidak dapat dikenakan sanksi.
56
7). Dokumentasi Hukum dan Ketentuan Tambahan
Dokumentasi dalam Murabahah oleh Perusahaan Pembiayaan paling kurang
meliputi (Pasal 35):
a. surat persetujuan prinsip (offering letter);
b. surat permohonan realisasi Murabahah;
c. akad Wakalah (bila diperlukan);
d. tanda terima uang konsumen, dalam hal Perusahaan Pembiayaan (ba’i)
mewakilkan kepada konsumen (musytari) melalui Wakalah;
e. akad Murabahah;
f. perjanjian pengikatan jaminan; dan
g. tanda terima barang.
Dalam Murabahah paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut (Pasal 34):
a. identitas Perusahaan Pembiayaan dan konsumen;
b. spesifikasi obyek Murabahah meliputi nama, jenis, jumlah, ukuran dan tipe;
c. harga jual, harga beli dan cara pembayaran angsuran;
d. jangka waktu ;
e. ketentuan jaminan dan asuransi;
f. ketentuan mengenai uang muka;
g. ketentuan mengenai diskon/potongan;
h. ketentuan mengenai pengakhiran transaksi yang belum jatuh tempo;
i. ketentuan mengenai wanprestasi dan sanksi bagi konsumen yang menunda
pembayaran angsuran; dan
j. hak dan tanggung jawab masing-masing pihak.
5.2.4.5. Salam
Akad ini didefinisikan sebagai: “adalah akad pembiayaan untuk pengadaan
suatu
barang
dengan cara
pemesanan
dan
pembayaran
harga
dahulu dengan syarat-syarat t ertentu yang disepakati para pihak.” (Pasal 1 [8])
lebih
57
1). Ketentuan Umum
Secara umum ketentuan terkait salam adalah sbb (Pasal 36):
a) Dalam pelaksanaan transaksi Salam, wajib ditetapkan spesifikasi, waktu dan
tempat barang akan diterima.
b) Transaksi Salam wajib didahului dengan akad pembiayaan pengadaan barang
pesanan antara Perusahaan Pembiayaan dengan konsumen atas suatu produk
yang dikehendaki pesanan).
c) Akad pembiayaan pengadaan barang pesanan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) bersifatindependen dan terpisah dengan akad Salam yang dilakukan
antara Perusahaan pembiayaan dan produsen.
2). Hak dan Kewajiban Perusahaan
Hak Perusahaan Pembiayaan dalam transaksi Salam antara lain adalah (Pasal 37):
a) menerima barang pesanan (muslam fiih) dalam keadaanbaik dan tidak cacat
sesuai dengan spesifikasi yang diperjanjikan;
b) menerima barang pesanan (muslam fiih) pada waktu dan tempat sesuai yang
diperjanjikan;
c) menerima
penggantian
seluruh
biaya-biaya
yang
telah
dikeluarkan
sehubungan transaksi salam, apabila Produsen sebagai penjual (muslam Ilaihi)
ingkar janji; dan
d) membayar barang pesanan (muslam fiih) sesuai dengan harga yang disepakati.
Hak dan kewajiban produsen (muslam ilaihi) dalam transaksi Salam antara lain
adalah (Pasal 38):
a) memperoleh pembayaran di muka atas harga barang pesanan (muslam fiih)
dari Perusahaan Pembiayaan (muslim);
b) menyerahkan barang pesanan (muslam fiih) dalam keadaan baik dan tidak
cacat sesuai dengan spesifikasi yang diperjanjikan;
58
c) menyerahkan barang pesanan (muslam fiih) pada waktu dan tempat sesuai
yang diperjanjikan; dan
d) menanggung seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan Perusahaan
Pembiayaan (muslim), dalam hal produsen sebagai (muslam ilaihi) ingkar
janji.
3). Ketentuan Obyek
Barang pesanan (muslam fiih) wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut
antara lain (Pasal 39):
a) barang yang halal;
b) dapat diakui sebagai utang;
c) harus dapat dijelaskan spesifikasinya;
d) penyerahannya dilakukan kemudian;
e) waktu dan tempat penyerahan harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan; dan
f) tidak boleh ditukar kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
Penyerahan barang pesanan (muslam fiih) harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut (pasal 40 ?):
a) produsen (muslam alaih) harus menyerahkan barang pesanan (muslam fiih)
tepat pada waktunya sesuai dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati;
b) dalam hal produsen (muslam alaih) menyerahkan barang pesanan (muslam
fiih) dengan kualitas yang lebih tinggi, produsen (muslam alaih) tidak boleh
meminta tambahan harga;
c) dalam hal produsen (muslam alaih) menyerahkan barang pesanan (muslam
fiih) dengan kualitas yang lebih rendah dan Perusahaan Pembiayaan rela
menerimanya, maka Perusahaan Pembiayaan tidak diperbolehkan menuntut
pengurangan harga (diskon);
d) produsen (muslam alaih) dapat menyerahkan barang pesanan (muslam fiih)
lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan kualitas dan jumlah barang
59
pesanan (muslam fiih) sesuai dengan kesepakatan dan tidak diperbolehkan
menuntut tambahan harga; dan
e) dalam hal semua atau sebagian barang pesanan (muslam fiih) tidak tersedia
pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan Perusahaan
Pembiayaan tidak rela menerimanya, maka Perusahaan Pembiayaan memiliki
dua pilihan yaitu membatalkan kontrak dan meminta kembali pembayaran
yang telah dilakukan; atau menunggu sampai barang pesanan (muslam fiih)
tersedia.
4). Ketentuan Harga
Penetapan harga barang pesanan (muslam fiih) wajib ditetapkan sesuai
kesepakatan dan tidak diperbolehkan berubah selama masa akad. (Pasal 41).
Pembayaran harga barang pesanan (muslam fiih) dilakukan secara penuh dan tunai
oleh Perusahaan Pembiayaan kepada produsen pada saat perjanjian disepakati. (Pasal
42).
5). Ketentuan Tambahan
Dalam Salam paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut (Pasal 43):
a. identitas Perusahaan Pembiayaan (muslim) dan produsen;
b. spesifikasi barang pesanan (muslam fiih) meliputi nama, jenis, jumlah, ukuran,
tipe dan mutu barang;
c. waktu dan lokasi penyerahan barang pesanan (muslam fiih);
d. harga barang pesanan (muslam fiih) dan cara pembayarannya;
e. ketentuan jaminan dan asuransi atas barang pesanan (muslam fiih);
f. jangka waktu Salam;
g. ketentuan mengenai biaya-biaya yang ditanggung oleh masing-masing pihak
apabila terdapat kerusakan, kehilangan atau tidak berfungsinya barang pesanan
(muslam fiih); dan
h. hak dan tanggung jawab masing-masing pihak.
60
5.2.4.6. Wakalah bil Ujra
Akad ini adalah: “pelimpahan kuasa oleh satu pihak (al muwakkil) kepada
pihak lain (al wakil) dalam hal-hal yang boleh diwakilkan dengan pemberian
keuntungan (ujrah).” (Pasal 1 [9])
1). Hak dan Keajiban Perusahaan pembiayaan
Hak dan kewajiban Perusahaan Pembiayaan (wakil) antara lain (Pasal 17):
a) menagih piutang pengalih piutang (muwakkil) kepada pihak yang berhutang
(muwakkal ’alaih);
b) dapat memperoleh upah (ujrah) atas jasa penagihan piutang pengalih piutang
(muwakkil) dalam hal diperjanjikan;
c) meminta jaminan dari pengalih piutang (muwakkil) (with recourse) atau tidak
meminta jaminan dari pengalih piutang (muwakkil) (without recourse); dan
d) membayar atau melunasi hutang pihak yang berhutang (muwakkal ’alaih)
kepada pengalih piutang (muwakkil).
2). Hak dan Kewajiban Pengalih Piutang
Hak dan kewajiban pengalih piutang (muwakkil) antara lain (Pasal 18):
a) memperoleh pelunasan piutang dari Perusahaan Pembiayaan selaku wakil;
b) membayar upah (ujrah) atas jasa pemindahan piutang sesuai yang
diperjanjikan;
c) dapat menyediakan jaminan kepada Perusahaan Pembiayaan selaku wakil
dalam hal diperjanjikan; dan
d) memberitahukan kepada pihak yang berhutang (muwakkal ’alaih) mengenai
transaksi pemindahan piutang kepada Perusahaan Pembiayaan selaku wakil.
61
3). Hak dan Kewajiban Penghutang
Hak dan kewajiban pihak yang berhutang (muwakkal ’alaihl) antara lain
(Pasal 19):
a) memperoleh informasi yang jelas mengenai transaksi pemindahan hutangnya
dari pengalih piutang (muwakkil) kepada Perusahaan Pembiayaan selaku
wakil; dan
b) membayar atau melunasi hutang kepada Perusahaan Pembiayaan selaku wakil.
4). Ketentuan Obyek yang dialihkan (Hutang)
Piutang (muwakkal bih) yang menjadi obyek Wakalah bil Ujrah adalah
piutang jangka pendek yang jatuh temponya kurang dari 1 (satu) tahun yang
memenuhi ketentuan sebagai berikut (Pasal 20):
a) piutang pengalih piutang (muwakkil) yang dipindahkan kepada Perusahaan
Pembiayaan selaku wakil harus dipastikan oleh para pihak belum jatuh tempo
dan tidak dalam kategori piutang macet;
b) piutang yang dialihkan bukan berasal dari transaksi yang diharamkan oleh
syariah Islam; dan
c) piutang pengalih piutang (muwakkil) harus dibuktikan dengan dokumen
tagihan dan dipastikan keasliannya oleh para pihak.
5). Ketentuan Tambahan
Selanjutnya, ada beberapa hal yang juga diatur terkait dengan hal ini, yaitu
(Pasal 21):
a) Wakalah bil Ujrah antara Perusahaan Pembiayaan selaku wakil, pengalih
piutang (muwakkil), dan pihak yang berhutang (muwakkal, alaih) wajib
ditetapkan secara tertulis dalam akad Wakalah bil Ujrah.
b) Dalam Wakalah bil Ujrah paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut:
62
i.
identitas Perusahaan Pembiayaan selaku wakil, pengalih piutang
(muwakkil) dan pihak yang berhutang (muwakkal’ alaih);
ii.
nilai, jumlah dan waktu jatuh tempo piutang (muwakkal bih);
iii.
ketentuan mengenai upah (ujrah) (jika ada);
iv.
ketentuan jaminan yang diperoleh Perusahaan Pembiayaan (wakil)
(jika ada);
v.
ketentuan mengenai cara-cara pembayaran hutang atau piutang oleh
Perusahaan Pembiayaan selaku wakil, pengalih piutang (muwakkil)
dan pihak yang berhutang (muwakkal’ alaih); dan
vi.
hak dan tanggung jawab masing-masing pihak.
6). Dokumentasi Hukum
Dokumentasi dalam Wakalah bil Ujrah oleh Perusahaan Pembiayaan selaku
wakil paling kurang meliputi (Pasal 22):
a) surat persetujuan prinsip (offering letter);
b) akad Wakalah bil Ujrah sebagai induk perjanjian;
c) perjanjian pengikatan jaminan;
d) bukti hutang piutang;
e) surat permohonan realisasi Wakalah bil Ujrah; dan
f) bukti pelunasan.
5.2.4.7. Istishna’
Dalam ketentuan umum peraturan ini memang tidak terdapat teminologi
tentang istisna’. Ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk kelemahan dari
peraturan ini. Sehingga, karena tidak adanya definisi dalam peraturan ini, maka
definisi diambil dari sumber lain. Istishna’ dapat diartikan dengan akad di mana satu
pihak meminta kepada pihak lain untuk membuatkan sesuatu dengan kompensasi
pembayaran sejumlah uang.(Zuhayli, 2003: 268).
63
1). Ketentuan umum
Ketentuan umum dari istisna’ini adalah (Pasal 44):
a) Dalam pelaksanaan transaksi Istishna’, Perusahaan Pembiayaan dapat
bertindak
sebagai pembeli
pembuat (shani’ II) untuk
untuk memesan kepada produsen sebagai
menyediakan obyek
Istishna’
dengan akad
Istishna.
b) Akad Istishna’ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara Perusahaa
Pembiayaan dan produsen sebagai pembuat (shani’ II) bersifat independen
dan terpisah dari
akad Istishna’ antara Perusahaan Pembiayaan dan
konsumen .
c) Akad Istishna’ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara Perusahaan
Pembiayaan dan produsen sebagai
pembuat (shani’ II) harus dilakukan
setelah akad Istishna’ antara Perusahaan Pembiayaan dan konsumen atau
pemesan(mustashni’).
2). Hak dan Kewajiban Perusahaan Pembiayaan.
Adapun Hak dan kewajiban Perusahaan Pembiayaan antara lain
Adalah (Pasal 45):
a) memperoleh pembayaran dari konsumen atau pemesan (mustashni’) sebesar
harga jual barang secara angsuran sesuai yang diperjanjikan;
b) mengambil kembali obyek Istishna’ apabila konsumen sebagai pembeli atau
pemesan
(mustashni’)
tidak mampu membayar angsuran sebagaimana
diperjanjikan; c. menentukan produsen sebagai pembuat (shani’ II) dalam
pemesanan obyek Istishna’;
c) menyediakan obyek Istishna’ sesuai dengan spesifikasi yang disepakati
bersama dengan konsumen sebagai pembeli atau pemesan (mustashni’); dan
d) menjamin obyek istishna’ tidak cacat dan/atau tidak berfungsi.
64
3). Hak dan Kewajiban Produsen Pembuat
Sedangkan Hak dan kewajiban produsen sebagai pembuat (Shani’ II)
Adalah (Pasal 46):
a) memperoleh pembayaran dari Perusahaan Pembiayaan sesuai
yang
diperjanjikan;
b) menyediakan obyek Istishna’ sesuai dengan spesifikasi yang disepakati
bersama dengan Perusahaan Pembiayaan;
c) menjamin obyek Istishna’ tidak cacat dan/atau tidak berfungsi; dan
d) menyediakan obyek Istishna’ sesuai dengan waktu yang diperjanjikan.
4). Hak dan Kewajiban Konsumen
Adapun Hak dan kewajiban konsumen (mustashni’) antara adalah (Pasal 47):
a) menerima obyek Istishna’ dalam keadaan baik dan siap dioperasikan sesuai
spesifikasi yang diperjanjikan;
b) menerima obyek Istishna’ sesuai dengan waktu yang diperjanjikan; dan
c) membayar angsuran dan atau biaya-biaya lainya sesuai yang diperjanjikan.
5). Ketentuan Obyek Istishna’
Obyek Istishna’ (mashnu’) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut (Pasal
48):
a) barang yang halal;
b) bapat diakui sebagai utang;
c) harus dapat dijelaskan spesifikasinya;
d) penyerahannya dilakukan kemudian;
e) waktu dan tempat penyerahan harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan;
65
f) tidak diperbolehkan ditukar kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan;
dan
g) dalam hal terdapat cacat atau tidak sesuai kesepakatan maka pemesan
memiliki hak memilih (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
6). Ketentuan Harga dan Pembayaran
Penetapan harga jual atas obyek Istishna’ wajib ditetapkan berdasarkan
kesepakatan antara Perusahaan Pembiayaan dan konsumen sebagai pembeli atau
pemesan (mustashni’) di awal perjanjian dan tidak boleh berubah selama masa
Istishna’ (Pasal 49).
Konsumen (mustashni’) dapat melakukan pembayaran cicilan pembiayaan
obyek Istishna’ (Mashnu’) atas pemesanan barangsejak akad ditandatangani atau
dengan cara pembayaran lain yang disepakati bersama.( Pasal 50)
7). Ketentuan Tambahan
Adapun aspek-aspek yang harus Dalam Istishna’ paling kurang memuat halhal sebagai berikut (Pasal 51):
a) identitas Perusahaan Pembiayaan dan konsumen;
b) spesifikasi obyek Istishna’ (Mashnu’) meliputi nama, jenis, jumlah, ukuran,
tipe dan kualitas obyek Istishna’;
c) harga jual dan cara pembayarannnya;
d) ketentuan jaminan dan asuransi;
e) jangka waktu;
f) lokasi dan waktu penyerahan;
g) ketentuan mengenai pengakhiran transaksi yang belum jatuh tempo;
h) ketentuan mengenai biaya-biaya yang ditanggung oleh masing-masing pihak
apabila terdapat kerusakan, kehilangan atau tidak berfungsinya obyek
Istishna’(mashnu’); dan
i) hak dan tanggung jawab masing-masing pihak.
66
8). Dokumentasi Hukum
Dokumentasi hukum dalam Istishna’ oleh Perusahaan Pembiayaan paling
kurang meliputi
(Pasal 52):
a) surat kesanggupan menyelesaikan barang pesanan dari produsen sebagai
pembuat (shani’ II);
b) surat persetujuan prinsip (offering letter) dari Perusahaan Pembiayaan;
c) akad Istishna’;
d) perjanjian pengikatan jaminan;
e) barang/obyek pesanan;
f) surat permohonan realisasi Istishna’;
g) tanda terima uang dari produsen sebagai pembuat (shani`II); dan
h) tanda terima barang oleh konsumen sebagai pembeli atau pemesan
(mustashni`).
Dari pemaparan tentang berbagai akad atau kontrak yang diterapkan pada
produk atau instrumen pasar modal syariah ini dapat dilihat dengan jelas, bahwa tidak
semua transksi yang dikenal dalam fiqh dapat diterapkan. Hal ini menunjukkan
adanya pemilihan terhadap kontrak atau akad yang dipandang paling sesuai dengan
pasar modal syariah. Berbagai ketentuan tersebut masih sangat general dan bersifat
umum, dan kurang menunjuk pada produk yang lebih spesifik dan praktis.
Namun suatu hal yang menarik adalah bahwa setiap akad sudah diderivasikan
dalam berbagai rincian yang detail, bahkan termasuk di dalamnya ketentuan terkait
dengan dokumentasi hukum, suatu hal yang memang sangat penting. Sehingga
dengan model pengaturan yang detail tersebut, berbagai kontrak yang diadopsi dapat
diimplementasikan dengan mudah dengan sedikit peluang terjadi mis interpretasi.
Lain dari pada itu, dari pemaparan tersebut nampak bahwa pengaturan akad pasar
modal syariah di Indonesia ini menghindari berbagai pendapat kontriversial, ialah
67
pendapat yang diperselihkan oleh para ahli hukum Islam. Dengan kata lain bahwa
transaksi yang diperbolehkan adalah transaksi yang tidak dilarang menurut pendapat
jumhur ulama. Misalnya saja bahwa dalam transaksi di pasar modal syariah di
Indonesia itu mengindari transaksi terhadap efek yang merupakan bai’ al-dain, bai’
al-inah dan bai’ al-ma’dum.
Secara arti bahasa, bai’ al-dain berarti jual beli hutang (Al-Zhayli, 2003: 79).
Yang dimaksudkan dengan hal ini adalah orang menjual piutang kepada pihak lain.
Jika dilihat lebih cermat terhadap hal ini nampaklah bahwa menjual piutang kepada
orang lain termasuk menjual sesuatu yang belum jelas. Tentu saja hal terkait dengan
spekulasi atau ketidakjelasan. Ada dua issu hukum di sisni, bahwa yang pertama,
piutang adalah sesuatu yang masih di tangan orang yang berhutang, karenanya
merupakan sesuatu yang belum dipegang oleh pemberi hutang. Jika dikatakan sebagai
obyek, piutang tersebut merupakan obyek yang masih ma’dum (belum nampak).
Kedua, isu yang ada adalah bahwa jika piutang itu dijual belikan, hal itu akan
menjadi suatu transaksi yang sangat dekat, jika bukan sangat mirip dengan riba. Hal
ini disebabkan karena jual beli hutang atau putang ini mesti akan mendapatkan laba
atau keuntungan dengan berkembangnya jumlah uang karna masalan penundaan
(postponement).
Sedangkan Bai’ al-‘Inah adalah membeli sesuatu yang kemudian dijual
kembali kepada orang dari mana barang tadi dibeli. Ketidakbolehan hal ini karena hal
itu sama saja dengan berhutang uang, karena barang yang ada hanya sebagai
perantara untuk meminjam uang. (Al-Zhayli, 2003: 114).
Adapun bai’ al-ma’dum adalah jual beli atas sesuatu yang barangnya belum
ada. Hal ini dilarang dikarenakan ada unsure gharar atau spekulai dikarenakan
ketidakjelasan obyek dan penyeran obyek tersebut.
Dengan melihat diskusi pada bagian-bagian sebelumnya, maka secara singkat
screening criteria yang diterapkan pada Jakarta Islamic Index atau Pasar Modal
Syariah dapat dilihat dalam tabel sbb:
68
Tabel 1
Kriteria Syariah bagi Perusahaan
Kriteria Umum
ƒ
Tidak
menyelenggarakan
layanan jasa keuangan
yang
menerapkan konsep
ribawi, jual beli risiko yang
mengandung
gharar
dan atau maysir;
ƒ
Tidak melakukan investasi
pada
perusahaan
yang
pada saat transaksi tingkat
(nisbah)
hutang
perusahaan
kepada
lembaga keuangan ribawi
(konvensional)
lebih
dominan dari modalnya,
kecuali
investasi tersebut
dinyatakan kesyariahannya
oleh DSN-MUI.
ƒ
Tidak
memproduksi,
mendistribusikan, memperdagangk
an, dan atau menyediakan:
barang
yang
haram
(lidzatih dan lighairih) serta
madharat
Kriteria dalam Porspektus
ƒ
dalam anggaran dasar dimu
at ketentuan bahwa kegiatan
usaha serta cara pengelolaa
n
usahanya
dilakukan
berdasarkan
Prinsipprinsip Syariah di Pasar
Modal;
ƒ
jenis usaha, produk barang,
jasa yang diberikan, aset ya
ng dikelola, akad, dan cara p
engelolaan Emiten atau Peru
sahaan Publik dimaksud tid
ak bertentangan dengan Prinsipprinsip Syariah di Pasar
Modal; dan
ƒ
Emiten atau Perusahaan
Publik memiliki anggota dir
eksi
dan anggota komisaris yang
mengerti kegiatan-kegiatan
yang bertentangan dengan
Prinsip- prinsip Syariah di
Pasar Modal.
Diolah dari: Fatwa DSN No.40/DSN-MUI/IX/2003, Ps (5)-(6), Peraturan
No. IXA.13 point 3, serta Peraturan BAPEPAM no IXA.13, point 2,3-4.
69
Tabel 2
Kriteria Syariah bagi Perdagangan di JII
Kriteria Dasar
Jenis Akad Dipakai
ƒ Memenuhi
prinsip ƒ Penerbitan Efek
Syariah wajib dilakukehati-hatian (ihtiyath)
kan berdasarkan Aka
d
Syariah,
yang
ƒ Tidak spekulatif dan
terdiri
dari
akad-akad
manipulatif
(dharar,
sbb:
gharar, riba, maisir,
o Akad Ijarah
risywah, maksiat dan
o Akad
Ijarah
kezhaliman)
dengan
Muntahiah
Bi
parameter:
Tamlik
o Akad Wakalah
o Najsy
bil Ujrah
o Bai’ al-Ma’dum
o Akad
o Menimbulkan
Murabahah
Informasi
yang
o Akad Salam
menyesatkan
o Akad Istishna’
o Ikhtikar
Standar Harga
ƒ Harga pasar dari
Efek Syariah harus
mencerminkan nilai
valuasi kondisi yang
sesungguhnya dari
aset yang menjadi
dasar
penerbitan
Efek
tersebut
dan/atau
ƒ Sesuai
dengan
mekanisme
pasar
yang teratur, wajar
dan
efisien serta
tidak direkayasa
Diolah dari: Fatwa DSN No.40/DSN-MUI/IX/2003, Ps (5)-(6),
Peraturan No. IXA.13 point 3, serta Peraturan BAPEPAM no
IXA.13, point 2,3-4.
Jadi, jelaslah bahwa pasar modal syariah di Indonesia atau JII telah memiliki
screening criteria yang jelas atas instrumen atau transaksi yang ada di pasar modal
syariah. Sehingga dengan criteria tersebut menjadikan Pasar Modal Syariah
Indonesia, atau JII, dapat beoperasi dengan tanpa mengabaikan aspek kepatuhan
terhadap prinsip syariah.
70
Meski demikian, menurut pengamatan dari penulis, beberapa kriteria perlu
dipertegas untuk menghindari penafsiran yang kabur atas suatu kriteria. Misalnya saja
untuk menentukan tingkat keharaman atau spekulasi dari usaha tertentu, apakah lebih
berat unsur haram atau spekulasinya, ataukah lebih ringan. Sehingga dalam hal ini
perlu juga dipertimbangkan untuk dibuatnya bencmarking pada kriteriatyersebut. Hal
ini untuk mempermudah usaha-usaha bidang tertentu harus dimasukkan dalam
klasifikasi yang diperbolehkan atau tidak.
71
5.3. Pengaruh dari Implementasi Gharar dalam Screening Criteria
terhadap Bentuk
Transaksi atau Instrumen Bisnis yang
Ditawarkan di Jakarta Islamic Index (JII)
Dengan melihat apa yang telah dibahas dalam bagian sebelumnya dari
penelitian ini, dapat pada bagian ini, akan dianalisa bagaimana konsep gharar
yang diadopsi oleh JII. Selanjutnya, akan dilihat juga bagaimana pengaruh
dari implementasi konsep gharar tersebut dalam transaksi atau instrument
bisnis yang ditawarkan di JII.
5.3.1. Karakter dari Implementasi Gaharar
Ada
beberapa
karakter
dari
model
konsep
gharar
yang
diimplementasikan pada JII, yaitu sebagai berikut:
5.3.1.1. Mengikuti Jumhur Ulama Fiqh
Yang dimaksudkan dengan jumhur ulama adalah mayoritas atau
kebanyakan dari ahli fiqh. Hal ini dapat dilihat dari berbagai akad yang
dipakai dalam transaksi di JII. Dari sejumlah lima (5) akad yang ada,
kesemuanya merupakan varian yang disepakati oleh jumhur ulama. Parameter
untuk menentukannya adalah bahwa dari berbagai akad tersebut, tidak ada
akad yang controversial di kalangan ulama ahli fiqh.
Dalam berbagai permasalahan terkait dengan gharar dalam pasar
modal syariah ini memang ada berbagai pandangan minoritas dari ahli fiqh.
Misalnya saja dalam hal Bai’ al-Inah, (sale and buy back) ialah menjual
suatu barang untuk kemudian dijual kembali kepada orang yang menjualnya
tadi dengan tujuan untuk mendapatkan uang cash. Jadi jual beli tersebut
hanyalah sebuah alasan (hilah) untuk mendapatkan uang cash, bukan dalam
maksud jual beli yang sesungguhnya, ialah untuk memperoleh barang. Hal ini
merupakan pendapat dari madzhab Syafi’i. Sedangkan mayoritas ulama
72
melarang adanya bai’ al-inah ini. (Al-Zuhayli, 2003, Vol. 1, 114-115,
Adawiyah, 2003: lxix-lxx)
Contoh lain terkait dengan hal ini adalah tawaruq. Tawaruq adalah
transaksi pembiayaan yang mirip dengan bai’ al-Inah di atas. Maksudnya
adalah bahwa dalam tawaruq ada 3 pihak yang terlibat dalam transaksi. Ada
institusi keuangan yang yang menjual barang kepada orang yang
menghendaki barang tersebut, yang kemudian pembeli tadi menjual lagi
barang tersebut kepada pihak ketiga, sehingga pada akhirnya, orang tersebut
(pembeli dari pihak pertama) akan mendapatkan uang cash, dan bukannya
barang. Tawaruq ini juga merupakan salah satu bentuk transaksi yang tidak
diterima oleh mayoritas ahli fiqh (jumhur). (Zuhayli, 2003: 117)
Adapun contoh yang lain lagi adalah bai al-dain, yang secara harfiah
(letterlijk) berarti jual beli hutang. Ialah menjual hutang kepada orang lain
untuk mendapatkan cash, meski dengan harga yang lebih rendah (discounted
price).(Siddiqi, 2006:5, Adawiah, “Islamic Law Compliance”, lxix.).
Transaksi jual beli hutang ini memungkinkan surat bukti hutang beralih
kepada banyak orang dengan tanpa diikuti perpindahan barang atau asset
yang menjadi dasar dari transaksi awalnya.
Dengan mengikuti jumhur ulama fiqh, berarti bahwa berbagai
transaksi yang dicontohkan tersebut tidak akan diaplikasikan dalam transaksi
pasar modal di Indonesia.
5.3.1.2. Menjunjung tinggi maqashid al-syari’ah dan keadilan
Yang dimaksudkan dengan maqashid al-syari’ah atau maqashid alsyari’ah adalah tujuan yang akan dicapai oleh hokum Islam. Hukum Islam
diturunkan oleh menjadi aturan bagi muslim dimaksudkan agar tercapai
tujuan-tujuan tertentu yang ideal bagi kehpentingan manusia itu sendiri dan
juga bagi Islam. Menurut Imas Asy-Syatibi, maqashid al-syari’ah merupakan
tujuan-tujuan ideal yang ingin dicapai oleh hokum Islam, yang berbagai
73
tujuan ideal tersebut terklasifikasi dalam tiga genus; ialah tujuan yang bersifat
dzruriyat, ialah yang mutlak harus dijaga, hajiyat, ialah kepentingan yang
penting untuk dijaga, serta yang terakhir adalah tahsiniyat, ialah kepentingan
yang sebaiknya dijaga.(al-Shatibi, 1997:331)
Sehingga, yang dimaksudkan suatu perbuatan itu berorientasi pada
pertimbangan maqashid al-syari’ah adalah kepada kemashlahatan dari
berbagai aspek tersebut. Dan karena itulah, maka antara kepentingan
maqashid syar’iyyah dan kepentingan mashlahat dapat dikatakan sama.
Sedangkan orientasi di luar maqashid al-syari’ah dan di luar
kemaslahatan adalah orientasi pada fiqh yang legalis, ialah berorientasi pada
halal dan haram atau posisi hokum dalam fiqh. Bahwa sesuatu itu meskipun
tidak banyak membawa maslahat namun selama fiqh tidak melarang maka
dapat dilakukan atau diterapkan. Yang terkesan dari orientasi atau pendekatan
ini adalah bahwa masalah tarnsaksi keuangan Islam nampak sangat legal
formal saja, dan keluar dari hakekat yang sebenarnya ingin dicapai oleh
penciptaan system ekonomi atau bisnis keuangan Islam itu sendiri, ialah
tercipatanya masyarakat yang bersemangat untuk saling menolong dan
terciptanya kesejahteraan.
5.3.1.3. Tidak semata-mata menyandarkan atau mengikuti pada trend
pasar, namun bermaksud mengarahkan pasar pada tujuan yang
lebih mulia.
Memang, adalah suatu perdebatan yang rumit dan tidak mudah
dicarikan solusisnya, apakah Islam harus selalu mengikuti pasar dan mencoba
membuat adjustment bagi peniruan trend pasar, ataukah Islam akan
menginseminasikan nilai-nilai etika ekonomi dan konsumsi bagi masyarakat.
Mengikuti dan menyesuaikan diri dengan pasar maksudnya bahwa
pasar yang ada dinilai sebagai sesuatu yang telah mapan yang sangat sulit
untuk diubah, untuk tidak mengatakan mustahil. Karenanya, yang paling
74
memungkinkan bagi ekonomi syariah, atau lebih khususnya bisnis keuangan
Islam yang di dalamnya juga termasuk pasar modal syariah, adalah dengan
mengikuti pasar
atau system ayng sudah ada, dan yang perlu dilakukan
adalah mencari berbagai bentuk produk yang dapat diadopsi oleh Islam dan
dipandang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.Hal ini kemudian
berakibat pada munculnya pasar modal syariah yang merupakan imitasi,
replikasi atau duplikasi dari pasar modal konvensional dalam berbagai
produknya.
Sebaliknya, orientasi untuk mengarahkan pasar berarti bahwa system
ekonomi Islam atau bisnis keuangan Islam itu bermaksud untuk mendorong
atau mengarahkan pasar modal pada suatu bentuk yang khas, yang dalam
beberapa aspek boleh jadi berbeda dengan yang lainnya sehingga umat Islam
harus merintis langkah tersendiri guna mewujudkan tatanan ekonomi Islam
yang adil.(Chapra: 228-230).
Kehadirannya memang dimaksudkan untuk menjadi alternatif. Adalah
suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa pasar modal yang telah ada ini
lahir dan dibesarkan dalam kerangka kapitalisme, yang dalam banyak nilai
dasarnya berbeda dengan Islam. Karena itu, produk-produk yang lahir pun
merupakan buah dari ide dan pemikiran yang melandasinya, Sehingga, meski
produk yang ada tersebut dapat di duplikasi, replikasi atau imitasi, sebenarnya
merupakan tindakan transplantatif yang dapat diibaratkan sebagai mencerabut
sebuah pohon dari akarnya. Sehingga, boleh jadi secara legal-formal syariah
dinyatakan syah dan halal, namun secara substansial merupakan realisasi dari
ide-ide kapitalistik.
Di sinilah perdebatan di seputar apakah pasar modal syariah akan
berperan sebagai bentuk alternatif yang khas dan orisinal, ataukan sekedar
melakukan duplikasi yang bersifat eklektif. Dengan pilihan model untuk
mengikuti jumhur serta dipandu dengan pewujudan mashalahah dan maqashid
75
al-syari’ah, sebenarnya pasar modal syariah di Indonesia bermaksud untuk
mengambil opsi yang bertujuan untuk mengarahkan pasar.
5.3.2. Pengaruh dari karakter implementasi gharar terhadap instrument
atau transaksi.
Dengan adanya pemilihan terhadap konsep gharar sebagaimana yang
disebutkan di atas, maka kemudian nampak adanya kondisi tertentu dari pasar
modal syariah, yang dalam beberapa hal memberikan kekhasan yang
membedakan dari pasar modal di lain tempat (negara). Secara jelas, pengaruh
dari pemilihan konsep tersebut terhadap produk atau instrument yang
ditawarkan adalah sebagai berikut:
a. Menghindari produk derivatif yang sangat sulit untuk memastikan
terhindarkannya sebuah transaksi dari spekulasi. Ialah produk yang secara
teoritis dapat dikatakan telah menghindari spekulasi, namun dalam
prakteknya akan sulit dikontrol apakah transaksi tersebut memang bersih
dari spekulasi. Produk atau instrument yang dimaksud adalah beberapa
bentuk transaksi sebagaimana tersebut di bawah ini:
1) Forward
Transaksi forward merupakan suatu sarana sebagai usaha
menghindarkan
atau
untuk
mengurangi risiko kerugian-kerugian dalam
tran-saksi valuta asing atau efek, seperti untuk pelunasan tagihan/
pembayaran dalam valuta yang berbeda. Transaksi seperti ini dapat
dilakukan oleh
Bank Indonesia dengan Bank Devisa, antara Bank
Devisa dan antara pihak lainnya seperti nasabah. (Permana,9, Fatwa
DSN No.28/III/2002 point b) cek fatwa
76
2) SWAP
Swap adalah suatu perjanjian di mana masing-masing pihak setuju dan
untuk melakukan pembayaran secara berkala antara pihak yang satu
dengan pihak lainnya dengan merujuk pada suku bunga yang berbeda
interest rate swaps atau dengan nilai mata uang yang berbeda.
(Permana,9, Fatwa DSN No.28/III/2002 point c)
3) Option
Option adalah suatu kontrak dua pihak yang memberikan hak bukan
kewajiban kepada salah satu pihak apakah membeli atau menjual atas
sejumlah efek atau valuta tertentu ditukar dengan sejumlah efek atau
valuta lainnya dengan nilai tukar yang telah ditentukan dalam kontrak
dengan membayar sejumlah premi. (Permana,9, Naughton, 231, Fatwa
DSN No.28/III/2002 point d)
4) Futures (Future Trading).
Kontrak Berjangka Adalah kontrak atau perjanjian antara 2 pihak yang
mengharuskan mereka untuk menjual atau membeli produk yang
menjadi variabel pokok di masa yang akan datang dengan harga yang
telah ditetapkan sebelumnya. Obyek yang dipertukarkan disebut
“Underlying Asset”. (BAPEPAM-JICA, 2003: 10)
Ketidakbolehan future contract dari segi syariah dapat
diilustrasikan secara singkat. Future trading sangat dekat dengan isu
bai’ al-ma’dum, ialah menjual sesuatu yang belum tidak nampak
barangnya, dengan kata lain, tidak ada barangnya, atau barang tidak
dapat dilahtngankan. Ketiadaan barang tersebut sangat jelas,
dikarenakan dalam future trading dimungkinkan menjual obyek
(underlying asset) yang pada saat terjadinya kontrak belum berwujud.
77
Bisa jadi hasil pertanian yang belum ditanam, atau hasil tambang yang
belum siap.
Karena itulah barang yang menjadi obyeknya belum ada.
Karena itulah maka ketiadaan barang tersebut telah cukup untuk
menjadi penyebab dari ketidakbolehan transaksi ini sebagian bagian
dari elemen gharar atau spekulasi.
b. Menghindari aktivitas short selling. Ini merupakan bentuk transaksi yang
mengandung spekulasi atau gharar. Dalam hal ini adalah. Short selling
adalah aktifitas pembelian berbagai produk dalam pasar modal dengan
tanpa memiliki barang tersebut terlebih dahulu. (Tony Naughton, 230,
Financial Service Authority, 2002:3).
Sama halnya dengan future trading, ketiadaan (ma’dum) nya obyek
nampak. Jika dalam future trading tidak adanya obyek karena memang
belum ada, namun jika pada short selling ini sebenarnya obyek atau asset
nya sudah ada. Hanya saja, dalam system pasar yang menghendaki
pergerakan sangat cepat, baik untuk profit taking atapun menghindari
resiko, maka dibutuhkan adalah langkah yang sangat cepat untuk
merespon permintaan terhadap produk atau intrumen. Sehingga, seseorang
yang belum memiliki secara penuh, dalam artian bahwa barang tersebut
belum berpindah kepemilikan, sudah dapat dijual ke pihak lain dengan
metode dan cara tertentu.
Sehingga, di sini isunya adalah bahwa short selling dilarang dengan
alasan “la tabi’ ma laisa ‘indak” yang artinya: “kamu jangan menjual apaapa yang tidak kamu miliki”.(HRAl-Bukhari, dalam Hasim Kamali, 2002:
112). Dengan demikian, short selling, yang menjual produk dari pasar
modal tanpa dengan memegang dulu barang tersebut adalah suatu
tindakan yang bertentang dengan larangan tersebut.
78
c. Menghindari margin trading
Transaksi margin trading adalah pembeli membayar sebagian harga
secara cash, dan kemudian sisanya dicarikan pinjaman kepada bank untuk
melunasi sisa harga dengan syarat surat berharga tersebut dijadikan
jaminan bagi pialang untuk melunasi harga pinjaman dengan memberikan
keuntungan sesuai standar bunga. Transaksi ini biasanya terjadi di pasar
sekunder. (Tony Naughton, 2000: 229-230. Permana,6)
d. Menghindari insider trading
Transaksi ini merupakan jual beli saham dengan memanfaatkan informasi
dari dalam perusahaan pasar modal. (Naughton, 230). Hal ini tentu saja
perbuatan yang tidak adil dikarenakan orang lian belum dapat mengetahui
informasi tersebut. Di sini kompetisi menjadi tidak fair karena pihak
penjual maupun pembeli tidak memiliki akses terhadap disclosure
informasi.
Uraian tentang pengaruh pemilihan konsep gharar dan implementasinya sebagai mana
di atas dan dalam bagian-bagian sebelumnya, dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
79
Tabel 3
Pengaruh Implementasi Gharar terhadap Jenis Transaksi
di Pasar Modal Syariah (JII)
Konsep Gharar
Implementasi
Efek terhadap transaksi atau
instrumen
ƒ Segala bentuk ketidak- ƒ Mengikuti pendapat
jumhur dan Menghinjelasan yang menjurus
dari berbagar transaksi
pada
terjadinya
kontroversi seperti:
kerugian pihak lain.
o bai’ al-inah
ƒ Ketidakjelasan
o bai’ al-dain
menyangkut:
o bai’ al-tawaruq
o Waktu
o Harga
o Obyek
ƒ Tidak memberlakukan short
selling
ƒ Tidak memberlakukan forward
kecuali
untuk
keperluan
hedging
ƒ Tidak membolehkan SWAP,
Forward, Futures, dan Otpion
ƒ Tidak membolehkan insider
trading
ƒ Tidak membolehkan Margin
trading,
ƒ Ketidakjelasan
dikarenakan:
o barang belum ada
di tangan.
o Barang belum ada
(minus salam dan
istishna’)
Dibandingkan dengan berbagai tempat, misalnya Malasya pasar modal syariah
di Indonesia memang lebih rigid terikat kepada pendapat jumhur ulama. Di sebagian
negara muslim, berbagai transaksi yang secara mayoritas disepakati keharamannya,
dapat dibolehkan dengan alasan tertentu.
Bagi pihak yang membolehkan short
selling, alasan yang digunakan adalah, bahwa short selling tidaklah melanggar
larangan “menjual sesuatu yang bukan miliknya”. Dalam resolusi syariah yang
dikeluarkan oleh Shariah Advisory Council
Securities Comission Malaysia
disebutkan bahwa short selling dilarang karena terdapat issu gharar, ialah jual beli
80
yang barangnya belum ada. Namun, jika probabilitaspenyerahannya semakin tinggi,
maka gharar atau spekulasinya semakin rendah. Sehingga dengan mengadopsi
kontrak ijarah dengan dipadukan dengan konsep istihsan. Sehingga pada akhirnya,
hambatan yang menjadikan haram nya short selling terhindari sehingga transaksi ini
menjadi dibolehkan. (Securities Comission,2006: 71-74).
Lebih dari itu, forward maupun futures juga diperbolehkan dalam pasar modal
syariah di Malaysia. Untuk kasus forward, kebolehan itu atas dasar ‘urf, ialah
mendasarkan hokum kebiasaan untuk melakukan suatu transaksi selama dapat
menghindarkan diri dari kemungkinan terjadinya sengketa (niza’). Di samping itu,
digunakan juga analogi dengan dibolehkannya akad nikah (perkawinan) dengan
mahar mithl, ialah menentukan mahar yang jumlahnya belum diketahui saat
pernikahan, namun pernikahan syah karena mahar ditentukan dengan standar tertentu
yang disepakati. (Securities Comission,2006: 139-142)
Dengan adanya pengaruh implementasi konsep gharar sebagaimana yang
didiskusikan di atas, maka ada beberapa hal yang dapat dinilai sebagai kekurangan
yang nampak dari perjalanan pasar modal syari’ah di Indonesia. Adapun kekurangan
yang nampak adalah:
1). Produk dan instrument tidak variatif. sebagaimana di Pasar Modal konvensional.
Pasar modal syariah di Indonesia, sebagimana yang tercantum dalam Jakarta
Islamic Index, memiliki 30 daftar perusahaan yang listing. Fungsi dominan yang
nampak dari Pasar modal syariah hanya terbatas pada penjualan saham. Kalaupun
tidak, produk dan instrument yang tersedia sangatlah terbatas.
2). Tidak ada insentif karena hilangnya spekulasi.
Spekulasi sering dikatakan sebagai sweetener (pemanis) dan perangsang.
Tanpa spekulasi, pasar modal akan kurang bergairah. Tidak ada kejutan-kejutan dan
harapan-harapan untuk mendapatkan profit, yang karenanya akan menggerakkan
pasar. Karena itulah, menurut sementara pihak, spekulasi diperlukan. Hal ini juga
81
yang akan menraik banyak investor untuk bermain terlibat dalam transaksi di pasar
modal.
Melihat kekurangan sebagaimana disebutkan di atas, maka menjadi tantangan
bagi pasar modal syariah untuk memperbaiki kinerja, sehingga kehadirannya akan
member alternative yang lain yang memang sengaja untuk tampil secara berbeda
dengan pasar modal konvensional.
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah didiskusikan dalam bagian-bagian di depan,
dapat diambil kesimpulan sebagaimana berikut ini:
1. Konsep gharar yang dianut secara umum dalam fiqh al-mashraf (fiqh
keuangan), ialah adanya unsur yang tidak diketahui atau tersembunyi untuk
tujuan yang merugikan atau membahayakan. Gharar yang membatalkan
transkasi adalah gharar yang bersifat eksesif atau fahisy serta harus dalam
kontrak atau transaksi yang bertujuan tukar menukar barang atau tukar
menukar sesuatu (akad mu’awadhat). Kontrak di luar hal tersebut, misalnya
kontrak pemberian barang atau hibah, tidak termasuk dalam jenis yang dapat
gugur atau dilarang karena adanya unsure gharar. Selanjutnya, obyek dalam
kontrak merupakan aspek yang prinsipil, yakni bahwa obyek barang yang
ditransaksikan harus barang yang memang memiliki arti dan kegunaan dalam
kehidupan. Sehingga karena adanya gharar menjadikan terjadinya atau
munculnya kerugian dari salah satu pihak. Terakhir, tidak adanya keharusan
bahwa kontak itu harus dilakukan, yakni bahwa pihak-pihak yang terlibat
dalam kontrak itu melakukannya tanpa adanya kondisi yang mengaharuskan
mereka melakukannya. Pihak tersebut sebenanrnya memiliki kesempatan dan
keleluasaan untuk melakukan atau tidak melakukannya, termasuk juga tidak
berada di bawah paksaan atau tekanan. Jadi jelaslah bahwa gugurnya suatu
kontrak karena gharar tidak terjadi dalam setiap bentuk gharar atau bentuk
kontrak. Hanya gharar dalam tingkat tertentu saja yang berungsi
membatalkan transaksi, serta hanya kontrak-kontak tertentu saja yang dapat
gugur karena gharar. Dengan ini dapat dinyatakan bahwa hidpotesis yang
telah disampaikan di muka terbukti, berbagai pandangan fiqh dalam hal ini
83 (fiqh al-masraf)
menurut hemat penulis telah membahas masalah gharar
dengan relatif detail.
2. Kriteria Syariah dalam screening criteria pada Jakarta Islamic Index ( JII)
meliputi dua (2) macam atau dua tahap. Pertama, bahwa perusahaan yang
akan masuk ke JII haruslah perusahaan yang tidak menyelenggarakan layanan
jasa keuangan yang menerapkan konsep ribawi, jual beli risiko yang
mengandung gharar dan atau maysir; tidak melakukan investasi pada
perusahaan yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) hutang perusahaan
kepada
lembaga
modalnya,
kecuali
keuangan ribawi
(konvensional)
investasi tersebut
lebih dominan dari
dinyatakan
kesyariahannya
oleh DSN-MUI. Selain itu perusahaan tersebut juga tidak memproduksi,
mendistribusikan, memperdagangkan, dan atau menyediakan: barang yang
haram (lidzatih dan lighairih) serta madharat. Perusahaan juga harus
mengungkapkan informasi
tambahan dalam
prospektus
perusahaan (dalam anggaran dasar), jenis produk
mengendalikaannya
bahwa
tujuan
serta manajemen yang
patuh dengan prinsip-prinsip syariah dalam bidang
terkait. Kedua, bahwa perdagangan yang dapat diselenggarakan pada JII
adalah yang memenuhi prinsip kehati-hatian (ihtiyath), tidak spekulatif dan
manipulatif (dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman),
Penerbitan efek syariah wajib dilakukan berdasarkan akad syariah, yang
terdiri dari akad-akad sbb: Akad Ijarah, Akad Ijarah Muntahiah Bi Tamlik,
Akad Wakalah bil Ujrah, Akad Murabahah, Akad Salam, Akad Istishna’.
Kesimpulan yang kedua ini juga menunjukkan bahwa hipothesis dari penulis
terbukti, ialah bahwa implementasi dari konsep gharar telah seuai dengan
prinsip fiqh yang disepakati oleh para ahli fiqh.
84 3. Berdasar
analisa
yang
dilakukan,
bahwa
konsep
gharar
yang
diimplementasikan pada JII mengikuti pendapat jumhur sebagaimana
kesimpulan no. 1 di atas. Karenanya, berbagai transaksi yang controversial
seperti: bai’ al-inah, bai’ al-dain,dan bai’ al-tawaruq, dihindari. Sebagai
efeknya ada beberapa instrument atau produk yang kemudian tidak digunakan
atau tidak ditawarkan di JII, yang meliputi: tidak memberlakukan short
selling, tidak memberlakukan forward kecuali untuk keperluan hedging, tidak
membolehkan SWAP, Forward, Futures, dan Otpion. Selanjutnya, tidak
membolehkan insider trading serta margin trading. Pada gilirannya, hal ini
menjadikan produk dan instrument pada JII tidak variatif sebagaimana di
Pasar Modal konvensional. Di samping itu, pasar modal juga terkesan kurang
ada insentif karena hilangnya spekulasi yang dalam tingkat tertentu
mendorong gairah transaksi di pasar modal. Dalam hal ini, nampak bahwa
hipothesis dari penulis terbukti, ialah bahwa pemilihan terhap model atau
madzhab fiqh al-masraf, teruatama terkait dengan gharar dan cara atau
prosedur implementasinya dalam screening criteria secara sangat signifikan
mempengaruhi berbagai bentuk transaksi atau instrumen yang diloloskan
dalam seleksi untuk di listing dalam JII.
6.2.
Rekomendasi
Dari hasil pnelitian ini, penuulis memberikan saran sebagai berikut:
1. Bagi otoritas pengelola Pasar Modal Syariah atau JII, serta bagi para pelaku
pasar, harus mulai memikirkan tentang diperlukannya berbagai inovasi
produk yang dapat menambah variasi produk dan instrument. Tentu saja, hal
ini juga harus memenuhi kepatuhan syariah. Ini dapat dilakukan dengan
melakukan berbagai produk hybrid, atau perpaduan dan kombinasi berbagai
akad yang pada kahirnya dapat memenuhi permintaan pasar tetapi tetap patuh
keoada prinsip syariah.
85 2. Bagi otoritas yang bertanggung jawab dalam implementasi kepatuhan syariah,
terutama DSN dan Bapepam, harus memformulasikan sistem dam mekanisme
pemantauan yang lebih sempurna. Harus ada mekanisme pemantauan yang
lebih canggih untuk mengantisipasi tindakan spekulasi yang prosesnya sangat
halus. Hal ini, karena, DSN dapat mentolerir kontrak terentu yang sebenarnya
sangat mendekati spekulasi asal untuk keperluan hedging (menghindari
resiko), yakni pada transaksi forward. Sehingga karena tipisnya sekat antara
spekulasi dan hedging inilah maka pengawasan di pasar modal syariah harus
sangat handal.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, Charles C. 1996. “Abu Hanifa Champion of Liberalism and Tolerance in Islam” dalam
Edge, Ian, Islamic Law and Legal Theory, New York: New York University Press.
Adawiah, Engku Rabiah. 2003. “Islamic Law Compliance Issues in Sale-Based Financing
Structures and as Practiced in Malaysia”, Malayan law Journal (MLJ), 3, 2003
Ali, Salman Syed ed. 2008.
‘Islamic Capital Market: Current State and Development
Challanges’ dalam Islamic Capital markets, Products, Regulation & Development.
Jeddah: IRTI-IDB.
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani
Press.
Bank Indonesia dan Pusat Penelitian Kajian Pembangunan, Lembaga penelitian UNDIP. 2000.
Penelitian Potensi, Preferensi Dan Perilaku Masyarakat Terhadap Bank Syariah Di
Wilayah Jawa Tengah Dan Daerah Istimewa Yogyakarta, kerjasama, 2000. Diakses
dari:
http://www.bi.go.id/bank_indonesia2/utama/publikasi/upload/BPS-ES-Jatengindonesia.pdf. 14 Mei 2004.
Bank Islam Malaysia Berhad. 1994. Islamic Banking Practice, From Practitioner’s Perspective.
Kuala Lumpur: BIMB
Bapepam-JICA. 2003. Panduan Investasi di Pasar Modal Indonesia. Jakarta.
Chapra, M. Umer. 1995. Towards a Just Monetary System, a Discussion of Money, Banking and
Monetary Policy in The Light of Islamic Teachings. Leicester: The Islamic Foundation.
Al-Dhareer,
Siddiq Mohammad Ai-Ameen. 1997. And Its Effects On Contemporary
Transactions. Jeddah: IRTI Islamic Development Bank.
Financial Service Authority. 2002. Short Selling, Discussion Paper.London: Financial Service
Authority. Dalam httpwww.fsa.gov.ukpubsdiscussiondp17 Diakses dari 14 Maret
2010.
Halim, Abdul. 2000. ‘Islamic Equity Markets, dalam dalam Antology of Islamic Banking.
London: Institute of Islamic Banking and Insurance, pp. 238-242.
Haron, Sudin dan Shanmugam, Bala. 1997. Islamic Banking System, Concepts & Applications.
Selangor: Plenaduk Publication.
Iqbal, Munawar and Khan, Tariqullah (eds). 2005. ‘Introduction,’ in Financial Engineering
and Islamic Contracts, New York: Plagrave Macmillan.
87
Islamic Capital Market Fact Finding Report OICU-IOSCO. 2004. Report Of The Islamic Capital
Market Task Force Of The International Organization Of Securities Commissions
2004 diaksess dari http:// islamic-finance.netmediaICM-IOSCOFactfindingReport.pdf
Al-Jassar, Jassar. 2000. ‘The Islamic Financial and Capital Market Developments’ dalam
Antology of Islamic Banking. London: Institute of Islamic Banking and Insurance, pp.
217-221.
al-Jazayri, Abu Bakr. 2004. Al-Fiqh ‘Ala al-Madhahib Al-Arba’ah (vol. 3). Al-Qahirah: Dar alHadith.
Kamali, Muhammad Hashim 2000. Principles of Islamic Jurisprudence (Selangor: Ilmiah
Publisher.
Kamali, Muhammad Hashim. 2002. Islamic Commercial Law; an Analysis of Futures and
Options. Kuala Lumpur: Ilmiah Publisher.
Kharofa, Ala’ Eddin. 1997. Transactions in Islamic Law. Kuala Lumpur: A.S. Nordeen.
Khairandy, Ridwan, 2003. Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia. 2006. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI. Jakarta:
Dewan Syariah Nasional & Bank Indonesia.
Naughton, Tony. 2000. ‘Is an Islamic Stock Market Viable?’. Anthology of Islamic Banking,
London: Institute of Islamic Banking and Insurance. 229-230.
Ngapon. 2005. Semarak Pasar Modal Syariah, dlm http//www.bapepam.go.id. Diakses dari 16
Maret 2010.
Niazi, Liaquat Ali Khan. 1990. Islamic Law of Contract. Lahore: Research Cell, Dyal Sing Trust
Library.
Obeyd, Nayla Comair. 1996. The Law of Business Contracts in The Arab Middle East. London:
Kluwer Law International.
Peraturan Nomor II.K.1 : Kriteria Dan Penerbitan Daftar Efek, Lampiran dari Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep- 314/BL/2007
Tentang Kriteria Dan Penerbitan Daftar Efek Syariah
Peraturan Nomor IX.A.13 : Penerbitan Efek Syariah, Lampiran dari Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP- 130 /BL/2006 Tentang
Penerbitan Efek Syariah
88
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: Per- 03
/Bl/2007 Tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah
Permana, Sugiri, Transaksi Derivatif Pada Pasar Modal DalamTinjauan Hukum Perjanjian,
dalam , httpwww.badilag.net, Diakses pada 15 Maret 2010
Presley, John dan Sesssions, John. 2002. ‘Islamic Economies- The Emergence of a New
Paradigm’ dalam : Antology of Islamic Banking. London: Institute of Islamic Banking
and Insurance,pp. 131-133.
Qahttan ‘Abd al-Rahman al-Duri. 2000. Al-Ikhtikar wa Atharih fi al-Fiqh Islamy. Arduniyah:
Dar al-Furqan.
Rayner, S.E. 1991. The Theory of Contracts in Islamic Law; a Comparative Analysis With
Particular Reference to the Modern Legislation in Kuwait, Bahrain and the United
Arab Emirates. London: Graham & Trotman.
Saleh, Nabil A. 1988. ‘Financial Transactions and the Islamic Theory of Obligations and
Contracts,’ in, Chibli Mallat ed, Islamic Law and Finance. London: Graham &
Trotman.
Saleh, Nabil A. 1992. Unlawful Gain and legitimate Profit in Islamic Law. London: Graham &
Trotman.
Siddiqi, M. Nejatullah. (2006, April 21). Shari’ah, Economic and the Progress of Islamic
Finance: The Role of Shar’iah Experts”, a Paper presented at The Pre-Forum
Workshop on Select Ethical and Methodological Issues in Shariah Compliant Finance,
Seventh Harvard Forum on Islamic Finance. Massachusetts.
Al-Syatibi, Abu Ishaq. 1997. al-Muwafaqat, vol. 4. al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyyah:
Dar Ibn Affan.
Syafe'i, Rachmat. 2005. ‘ Tinjauan Yuridis terhadap Perbankan Syariah’, dalam Pikiran Rakyat,
21 Maret 2005, diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com pada 25 September,
2007.
Tony Naughton. 2000. ‘Is an Islamic Stock Market Viable?’ dalam : Antology of Islamic
Banking. London: Institute of Islamic Banking and Insurance,pp. 226-232.
Triyanta, Agus, ‘Resistensi Sistem Bisnis Islami dan Sistem Bisnis Sekular terhadap Deviasi
Pasar’ dalam Jurnal Magister Hukum Vol.2 No.4 Oktober 2000, pp. 97-110.
Yulfasni. 2005. Hukum Pasar Modal. Jakarta: IBLAM.
Zaidan, Abdul Karim. 2002. Al-Madkhal li Dirasah al-Shari’ah al-Islamiyyah (Beirut: AlMuassasah al-Risalah.
89
Al-Zuhayli, Wahbah. 2003. Financial Transaction in Islamic Jurisprudence. Translation of AlFiqh al-Islamiy wa ’Adillatuh. (Vol .1). (Mahmoud A. El-Gamal, Trans). Beirut: Dar
al-Fikr.
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep314/Bl/2007 Tentang Kriteria Dan Penerbitan Daftar Efek Syariah.
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep- 130
/Bl/2006 Tentang Penerbitan Efek Syariah
Keputusan DSN MUI No.20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk
Reksa Dana Syariah;
Keputusan DSN MUI No.28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (al-Sharf)
Keputusan DSN MUI No.32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah;
Keputusan DSN MUI No.33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah;
Keputusan DSN MUI No.40/DSN-MUI/IX/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum
Penerapan Prinsip syariah di Bidang Pasar Modal;
Keputusan DSN MUI No.41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah.
Keputusan DSN MUI no 2 tahun 2000 tentang Pedoman Rumah Tangga Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia, 2000
Download