BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP), asma dapat didefinisikan sebagai gangguan peradangan kronik yang terjadi pada saluran pernafasan, yang melibatkan sel-sel inflamasi. Pada individu yang rentan, peradangan ini menyebabkan episode yang berulang dari mengi, sesak nafas, rasa sesak di dada, dan batuk, terutama pada malam atau dini hari. Adanya peradangan ini juga dapat meningkatkan hiperresponsivitas bronkial terhadap berbagai rangsang, sehingga mengakibatkan terjadinya sumbatan aliran udara di saluran pernafasan pada pasien yang menderita asma (Kiley et al., 2007). Asma adalah salah satu penyakit kronik yang umum, dengan perkiraan terdapat 300 juta penderita di seluruh dunia. Setiap tahunnya prevalensi penderita asma terus meningkat selama 20 tahun terakhir ini, terutama pada anak-anak (FitzGerald et al., 2012b). Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan 100150 juta penduduk dunia menderita asma. Bahkan, jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah hingga mencapai 180.000 orang setiap tahun. Apabila tidak dicegah dan ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan pada masa mendatang yang dapat mengganggu proses tumbuh kembang anak dan kualitas hidup pasien (Kementerian Kesehatan, 2009). Menurut data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) yang dilakukan di berbagai provinsi di Indonesia, asma termasuk dalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia. Pada SKRT tahun 1992, asma, bronkitis 1 2 kronik dan emfisema, sebesar 5,6%, adalah penyebab kematian keempat di Indonesia. Tahun 1995, prevalensi asma menjadi sebesar 13/1000 di seluruh Indonesia (Ratnawati, 2011). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan SKRT tahun 1995 dan 2001 menunjukkan bahwa selama 12 tahun (19952007) kematian karena penyakit menular semakin meningkat, termasuk asma (Kementerian Kesehatan, 2012a). Tingginya prevalensi asma dapat terjadi karena tidak dapat tercapainya sasaran terapi sehingga penyakit menjadi kurang terkontrol. Oleh karena itu diperlukan terapi yang tepat dan efektif dalam pengobatan asma. Prevalensi asma yang cukup besar ternyata juga terjadi pada masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah. Berbagai studi membuktikan bahwa faktor sosialekonomi berkontribusi besar terhadap kejadian penyakit saluran pernafasan. Berbagai hasil evaluasi memperlihatkan bahwa risiko cidera, asma, dan hipertensi pada remaja meningkat akibat perilaku negatif anak-anak dari kalangan sosioekonomi rendah. Risiko balita yang berasal dari keluarga berpendidikan rendah, berpengetahuan rendah, dan mengalami pencemaran udara juga relatif tinggi (Kodim, 2009). Dalam dimensi baru dikatakan bahwa peningkatan pendapatan tidak menjamin secara otomatis penurunan kemiskinan kecuali jika diikuti oleh peningkatan derajat kesehatan kelompok miskin. Dengan demikian diperlukan peningkatan alokasi pembiayaan kesehatan untuk dapat meningkatkan derajat kesehatan yang akan meningkatkan produktivitas penduduk (Kodim, 2009). Karena pentingnya kesehatan dan cukup tingginya prevalensi penyakit asma, pemerintah berusaha untuk dapat memberikan pengobatan yang mencukupi 3 bagi seluruh masyarakat Indonesia. Berbagai cara pelayanan dilaksanakan agar semua kalangan masyarakat bisa mendapatkan hak yang sama. Salah satunya adalah dengan program Jamkesmas atau Jaminan kesehatan masyarakat. Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) adalah jaminan perlindungan untuk pelayanan kesehatan secara menyeluruh (komprehensif) mencakup pelayanan promotif, preventif, serta kuratif, dan rehabilitatif yang diberikan secara berjenjang bagi masyarakat atau peserta yang iurannya dibayar oleh Pemerintah (Anonim, 2012). Berdasarkan pada Undang-undang nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN), seluruh jaminan sosial di bidang kesehatan, termasuk Jamkesmas, menjadi termasuk dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Khusus untuk JKN diselenggarakan melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang implementasinya dimulai pada 1 Januari 2014 (Kementerian Kesehatan, 2014). Dari tahun 2010 hingga saat ini pemerintah sedang memantapkan penjaminan kesehatan melalui Jamkesmas, yang sekarang termasuk dalam JKN, sebagai awal dari pencapaian jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk. Melalui Jamkesmas ini diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kasus-kasus kesehatan para pesertanya (Kementerian Kesehatan, 2010). Pelaksanaan dari program Jamkesmas ini, sistem pembayaran dan pertanggungjawaban dari fasilitas kesehatan menggunakan paket tarif INA-CBG’s (Kementerian Kesehatan, 2011c). Paket tarif INA-CBG’s atau Indonesia Case Based Group dilaksanakan berdasarkan diagnosis penyakit yang diderita pasien. 4 Namun di penerapannya, sering kali biaya riil yang diperlukan untuk pengobatan pasien sangat bervariasi dan tidak sesuai dengan biaya paket tarif INA-CBG’s. Biaya pengobatan asma yang meningkat dapat terjadi sebagai akibat dari peningkatan jumlah peresepan obat (Kelly dan Sorkness, 2008). Smith et al. mengungkapkan bahwa sebanyak 20% pasien asma disebut dengan “pasien berbiaya tinggi”. Untuk itu, tingginya biaya pada penyakit saluran pernafasan, termasuk asma, memberikan peluang untuk dilakukankannya evaluasi dan intervensi farmakoekonomi (Gupchup et al., 2001). RSU Bina Kasih, salah satu rumah sakit umum swasta di Kabupaten Semarang. Rumah sakit ini telah melayani program Jamkesmas sejak program tersebut mulai dilaksanakan pada tahun 2005 (program Askeskin). Sejak tahun 2005 hingga sekarang, RSU Bina Kasih telah menangani pasien Jamkesmas pada instalasi rawat jalan sebesar 2.557 pasien dan pada instalasi rawat inap sebesar 1.764 pasien. Penyakit asma juga termasuk dalam sepuluh besar penyakit yang terjadi dan ditangani di rumah sakit ini (Mustaviah, 2013). Berdasarkan uraian diatas, penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui gambaran pengobatan dan faktor yang dapat mempengaruhi biaya pengobatan pada pasien asma yang menjalani rawat inap di RSU Bina Kasih Ambarawa. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi RSU Bina Kasih, pemerintah dan pihak-pihak lain yang terkait dalam pelaksanaan paket tarif INA-CBG’s pada pelayanan kesehatan, yang mulai Januari 2014 diterapkan melalui JKN, khususnya dalam melayani penyakit asma. 5 B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah gambaran pengobatan dari pasien asma rawat inap di RSU Bina Kasih Ambarawa? 2. Faktor apakah yang mempengaruhi biaya pengobatan pasien asma rawat inap di RSU Bina Kasih Ambarawa? 3. Berapakah besar perbedaan jumlah antara biaya riil dengan paket tarif INACBG’s pada pasien asma rawat inap peserta Jamkesmas di RSU Bina Kasih Ambarawa? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk mengetahui gambaran pengobatan asma dan kesesuaian biaya riil dalam penerapan paket tarif INA-CBG’s pada pasien asma peserta Jamkesmas di instalasi rawat inap RSU Bina Kasih Ambarawa. 2. Tujuan khusus a. Untuk mengetahui gambaran pengobatan dari pasien asma rawat inap di RSU Bina Kasih Ambarawa. b. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi biaya pengobatan pasien asma rawat inap di RSU Bina Kasih Ambarawa. c. Untuk mengetahui besar perbedaan jumlah antara biaya riil dengan paket tarif INA-CBG’s pada pasien asma rawat inap peserta Jamkesmas di RSU Bina Kasih Ambarawa. 6 D. Manfaat Penelitian 1. Apoteker Sebagai bahan dan pertimbangan bagi apoteker dalam pemilihan obat untuk pasien asma peserta Jamkesmas dalam rangka meningkatkan peran farmasi klinik dalam pharmaceutical care. 2. Instalasi Rumah Sakit dan Profesi Kesehatan Lain Sebagai informasi dan bahan evaluasi bagi rumah sakit dalam pertimbangan pemilihan tindakan medis dan obat untuk penatalaksanaan terapi asma, serta pelaksanaan program pelayanan Jamkesmas. 3. Badan Pemerintahan Sebagai masukan dalam penyusunan dan penerapan kebijakan mengenai tarif pengobatan dalam strategi penatalaksanaan terapi khususnya pada penyakit asma. 4. Peneliti Memberikan pengalaman penelitian tentang pelayanan kesehatan, terutama pada pasien asma peserta Jamkesmas, serta sebagai pembanding dan pelengkap untuk penelitian selanjutnya. E. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit Asma a. Definisi Berdasarkan Pedoman Pengendalian Penyakit Asma yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan RI, asma didefinisikan sebagai suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran nafas yang menyebabkan hiperaktivitas 7 bronkus terhadap berbagai rangsangan. Hiperaktivitas bronkus ini ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak nafas dan rasa berat di dada terutama pada malam hari dan atau dini hari. Gejala tersebut umumnya bersifat reversibel, baik dengan atau tanpa pengobatan (Kementerian Kesehatan, 2009). Menurut NAEPP (National Asthma Education and Prevention Program), asma merupakan gangguan saluran nafas kronik biasa yang kompleks yang melibatkan berbagai sel inflamasi. Asma ditandai dengan adanya gejala yang berulang, sumbatan aliran udara, inflamasi dan respon yang berlebihan dari bronkial. Inflamasi yang terjadi dapat disebabkan karena adanya luka dari sel epitelial dan melibatkan berbagai mediator dan sel inflamasi seperti neutrofil, eosinofil, limfosit dan sel mast (Kiley et al., 2007). Asma bersifat fluktuatif atau hilang timbul yang artinya dapat tenang tanpa gejala dan tidak mengganggu aktivitas. Tetapi asma dapat kambuh dengan gejala mulai dari gejala ringan sampai dengan berat, bahkan sampai dapat menimbulkan kematian (Kementerian Kesehatan, 2009). Manifestasi klinik dari asma ini dapat dikendalikan jika diberikan pengobatan yang tepat. Ketika penyakit asma dapat terkontrol dengan baik, kejadian kambuhnya gejala dapat berkurang dan gejala yang berat dapat dihindari (FitzGerald et al., 2012a). b. Etiologi Sejumlah faktor yang mempengaruhi risiko seseorang terhadap perkembangan asma telah diidentifikasikan. Faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi akibat dari faktor genetik dan dari faktor lingkungan (FitzGerald et al., 2012a). Faktor genetik berhubungan dengan sejarah keluarga. Anak dari keluarga 8 asma lebih beresiko untuk menyandang asma dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki keluarga asma (Zulfikar dkk, 2011). Jika orang tua menderita asma, maka kemungkinan besar ada anggota keluarga yang menderita asma juga. Menurut GINA (Global Initative for Atshma) tahun 2008, laki-laki menjadi salah satu faktor risiko asma pada anak-anak, terutama sampai usia 14 tahun, prevalensi asma dapat terjadi dua kali lebih besar. Namun semakin beranjak dewasa, pengaruh jenis kelamin semakin berkurang. Pada dewasa, kejadian asma pada perempuan lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki dewasa (FitzGerald et al, 2012a). Namun demikian, asma dapat dimulai pada segala usia, mempengaruhi pria dan wanita tanpa kecuali, dan bisa terjadi pada setiap orang pada segala etnis (Ikawati, 2011). Faktor lain yang berpengaruh diantaranya karena adanya paparan dari alergen (seperti misalnya debu, bulu binatang, serangga, dan serbuk bunga), asap rokok, infeksi saluran nafas akibat virus, olahraga, kondisi emosional yang berlebihan, obat (seperti misalnya aspirin, dan beta blocker), dan karena zat-zat kimia, serta akibat faktor pekerjaan (FitzGerald et al., 2012b). c. Patofisiologi Asma ditandai oleh adanya peradangan dengan obstruksi saluran nafas, yang sebagian besar bersifat episodik. Obstruksi pada asma sering dapat kembali seperti semula baik secara spontan atau dengan pengobatan (Donohue et al., 2006). Pada penderita asma, otot-otot polos bronkial mengalami konstraksi sebagai respon dari adanya stimulasi baik dari alergen maupun dari iritan. (Kiley et al., 2007). Ketika saluran nafas terpapar oleh berbagai faktor risiko, aliran 9 udara menjadi terbatas dan menjadi terhambat. Hal itu diakibatkan karena adanya bronkokonstriksi, sumbatan oleh mukus, dan inflamasi yang terjadi di saluran nafas (FitzGerald et al., 2012b). Penyakit asma melibatkan interaksi yang kompleks antara sel-sel inflamasi, mediator inflamasi, dan jaringan pada saluran nafas. Sel-sel inflamasi utama yang turut berkontribusi pada rangkaian kejadian pada serangan asma antara lain adalah sel mast, limfosit, dan eosinofil. Sedangkan mediator inflamasi utama yang terlibat dalam asma adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil (eosinofil chemotactic factor), dan beberapa sitokin, yaitu interleukin (IL)-4, IL-5, dan IL-13 (Ikawati, 2011). Sel-sel yang terlibat dalam inflamasi dari saluran nafas, diantaranya : 1.) Sel mast Sel mast diaktivasi oleh alergen melalui ikatan suatu alergen dengan IgE yang telah melekat pada reseptornya di permukaan sel mast. Ikatan ini memicu serangkaian peristiwa biokimiawi di dalam sel yang kemudian menyebabkan terjadinya degranulasi sel mast. Degranulasi adalah pecahnya sel mast yang menyebabkan pelepasan berbagai mediator inflamasi. Sel mast terdapat pada lapisan epitelial maupun sub epitelial saluran nafas. (Ikawati, 2011). 2.) Sel limfosit Sel limfosit terdiri dari dua tipe, yaitu limfosit T, dan limfosit B. Limfosit T terbagi lagi menjadi dua subtipe, yaitu Th1, dan Th2 (T helper 1, dan T helper 2). Sel limfosit Th2 mampu memproduksi berbagai sitokin yang berperan dalam reaksi inflamasi, seperti IL-3, IL-4, IL-6, IL-9, dan IL-13. 10 Sitokin IL-4 dan IL-13 dapat mengaktivasi sel limfosit B untuk memproduksi IgE, yang kemudian akan menempel pada sel-sel inflamasi dan memicu terjadi pelepasan berbagai mediator inflamasi (Ikawati, 2011). 3.) Eosinofil dan neutrofil Karakteristik kelainan fisiologi pada asma ditandai dengan inflamasi eosinofil. Peningkatan eosinofil yang aktif dan mengalami degranulasi telah ditunjukkan dalam biopsi pada bronkus dan alveolus pada pasien asma (Donohue et al., 2006). Meningkatnya jumlah eosinofil sering dihubungkan dengan tingkat keparahan asma. Semakin besar peningkatan eosinofil maka semakin besar pula tingkat keparah asma yang diderita. Sedangkan jumlah neutrofil dalam saluran nafas dan juga sputum akan meningkat jika penyakit asma sudah berada pada tingkat yang parah (FitzGerald et al., 2012a). 4.) Mediator inflamasi Banyak sitokin dan kemokin yang terlibat dalam patofisiologi asma. Dalam dekade terakhir ini diketahui sitokin memainkan peran penting dalam respon inflamasi asma. Sitokin IL-4, IL-5,IL-9, IL-13 yang berasal dari Th-2, lebih spesifik terhadap peradangan alergi. Sitokin T helper tipe 2 (Th-2) memegang peran penting dalam penyakit alergi, termasuk asma (Barnes, 2001). Imunoglobulin E (IgE) adalah antibodi yang bertanggung jawab dalam reaksi alergi, yang perannya sangat penting dalam patogenesis penyakit alergi dan inflamasi yang terjadi. IgE menempel pada permukaan sel melalui reseptor spesifik berafinitas tinggi. Sel mast mempunyai reseptor IgE yang dapat 11 menyebabkan inflamasi saat terpapar oleh faktor risiko. Selain sel mast, basofil, sel dendritik, dan limfosit juga memiliki reseptor IgE (Kiley et al., 2007). Reaksi inflamasi akut terdiri atas reaksi asma dini (early asthma reaction/EAR) dan reaksi asma lambat (late asthma reaction/LAR). Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi inflamasi sub-akut atau kronik. Pada keadaan kronik terjadi inflamasi di bronkus dan sekitarnya, berupa infiltrasi sel inflamasi terutama eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke dinding dan lumen bronkus (Kementerian Kesehatan, 2009). Adanya keterbatasan dalam pernafasan dapat juga disebabkan karena terjadi perubahan di saluran nafasnya. Edema di saluran nafas dapat terjadi jika penyakit asma menjadi lebih persisten dan proses inflamasi menjadi lebih progresif (Kiley et al., 2007). Jumlah sel polos yang terdapat di saluran nafas pada penderita asma akan meningkat, sebagai akibat dari sel-sel yang mengalami hipertrofi, dan hiperplasia. Hal ini yang mengakibatkan menebalnya dinding saluran nafas (FitzGerald et al., 2012a). Perubahan yang permanen dari struktural saluran nafas dapat memperparah sumbatan dari saluran nafas, meningkatkan respon yang berlebihan dari saluran nafas, dan dapat mengurangi respon dari terapi obat yang digunakan (Kiley et al., 2007). Respon terhadap alergi yang terhirup dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu respon fase cepat dan lambat. Respon asma dengan ciri penyempitan saluran pernafasan akibat kontraksi otot polos bronkus dapat dilihat dari turunnya nilai PEF. Respon cepat terjadi grafik puncak hanya beberapa menit setelah antigen 12 terhirup dan grafiknya segera turun. Enam sampai delapan jam kemudian setelah paparan antigen juga terdapat respon seperti yang terjadi pada fase cepat (Rifa’i, 2011). Obstruksi bronkus dibagi menjadi 3 fase utama, yaitu (Meiyanti, 2000) : 1.) Fase cepat (spasmogenik) Fase cepat identik dengan respon awal dengan adanya spasme otot polos bronkus. Reaksi ini berakhir setelah 1-2 jam. Reaksi dapat hilang dengan sendirinya dan diikuti fase lambat menetap. 2.) Fase lambat menetap (late, sustained) Reaksi dapat hilang dengan sendirinya dan diikiti fase lambat menetap. Fase lambat menetap ditandai oleh spasme bronkus dan akumulasi sel mediator inflamasi. Serangan dapat berlangsung 6-8 jam atau lebih. 3.) Fase sub-akut atau kronis Pada fase sub-akut, reaksi inflamasi merupakan ciri utamanya, dan terdapat infiltrasi eosinofil, dan sel mononuklear. d. Diagnosis Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani dengan semestinya. Mengi dan atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis (Kementerian Kesehatan, 2009). Asma dapat didiagnosis berdasarkan pada gejala dan riwayat medis dari pasien, diantaranya (FitzGerald et al., 2012b) : 1.) Wheezing atau mengi, yaitu suara seperti bersiul dengan nada yang tinggi saat menarik nafas, 13 2.) Kambuhnya mengi, sesak nafas, dada terasa sesak, dan batuk yang semakin parah pada malam hari, 3.) Gejala yang terjadi dan diperparah saat malam hari dan pada pola musiman, 4.) Gejala yang diperburuk saat penderita melakukan olahraga, adanya paparan alergen, infeksi,perubahan suhu, atau perubahan emosional, 5.) Adanya sejarah dalam keluarga yang menderita asma. Secara umum untuk menegakkan diagnosis asma diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamesis berhubungan dengan apa dan kapan terjadinya gejala-gejala asma. Pemeriksaan fisik perlu dilakukan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Sedangkan pemeriksaan penunjang, diantaranya uji reversibilitas dan foto toraks (Kementerian Kesehatan, 2009). Diagnosis asma dapat ditegakkan melalui gejala klinis, gambaran radiologis paru, dan tes provokasi. Uji faal paru dilakukan untuk menentukan beratnya sumbatan saluran nafas hingga beratnya serangan asma. Uji provokasi bronkus dapat menentukan derajat beratnya hiperreaktivitas. Sedangkan pemeriksaan radiologis dilakukan untuk mengetahui adanya inflamasi dan edema yang terjadi di saluran nafas (Meiyanti, 2000). Pemeriksaan fungsi atau faal paru dilakukan dengan alat yang bernama spirometer. Spirometer digunakan untuk mengukur keterbatasan dari aliran udara. Dari pemeriksaan dengan spirometer dapat ditentukan nilai volume ekspiratori paksa dalam satu detik (FEV1), forced expiratory vital capacity (FVC), dan juga peak expiratory flow (PEF) (FitzGerald et al., 2012a). Jika nilai variasi PEF lebih 14 dari atau sama dengan 20% antara pagi dan sore hari, dapat dikatakan bahwa pasien tersebut menderita asma. Hal lain yang mendukung diantaranya adanya kenaikan PEF lebih dari sama dengan 15% pada pagi dan sore hari, serta adanya penurunan FEV1 lebih dari 20% setelah pemberian bronkodilator secara inhalasi pada uji provokasi bronkus (Meiyanti, 2000). Uji alergi juga dapat dilakukan, seperti dengan tes tusuk kulit atau skin prick test (Kementerian Kesehatan, 2009). e. Klasifikasi Berat ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, dan uji faal paru). Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang sangat penting dalam penatalaksanaannya (Kementerian Kesehatan, 2009). Berdasarkan NAEPP 2007, keparahan gejala asma diklasifikasikan berdasarkan jumlah hari munculnya gejala, jumlah malam terbangun karena munculnya gejala, nilai FEV1 dan FVC, serta nilai variabilitas PEF. Asma dibagi menjadi persisten (ringan, sedang, berat) dan intermitten (Kiley et al., 2007). Tabel I. Klasifikasi asma menurut NAEPP 2007 TINGKAT 4 Persisten berat TINGKAT 3 Hari dengan gejala Malam dengan gejala FEV1/FVC Variabilitas PEF Terus menerus Sering ≤ 60% > 30 % Setiap hari > 1x per minggu 60% - 80% < 30% > 2x per minggu tetapi < 1x per hari > 2x per bulan ≥ 80% 20% - 30% ≤ 2x per minggu ≤ 2x per bulan ≥ 80% < 20% Persisten sedang TINGKAT 2 Persisten ringan TINGKAT 1 Intermitten ringan 15 Berdasarkan pengelompokan Casemix Major Group, penyakit asma termasuk dalam kategori cronic lower respiratory disease. Dalam International Classification Diseases 10 (ICD 10), asma memiliki kode J-45. Pada sistem INACBG’s, asma memiliki kode J-4-18 yang dibagi menjadi tiga tingkat keparahan, yaitu J-4-18-I, J-4-18-II dan J-4-18-III, didasarkan pada ada atau tidak, serta jenis dari diagnosis sekunder yang menyertai pasien (Kementerian Kesehatan, 2012b). Contoh diagnosis sekunder pada tingkat keparahan I adalah hipertensi, diabetes mellitus, dispepsia dan bronkitis. Pada tingkat keparahan II contohnya penyakit Tuberkulosis, sedangkan diagnosis sekunder pada tingkat keparahan III contohnya bronko pneumonia, infeksi saluran nafas bagian atas (ISPA), serta efusi pleural. f. Tatalaksana Terapi Tatalaksana pasien asma adalah manajemen dari asma itu sendiri untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup pasien. Pasien dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari atau dengan kata lain asmanya terkontrol. Tujuan dari terapi asma diantaranya : 1.) Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, 2.) Mencegah eksaserbasi akut, 3.) Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin, 4.) Mengupayakan aktivitas normal pasien, 5.) Menghindari efek samping, 6.) Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara, 7.) Mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi genetiknya, dan 8.) Mencegah kematian (Kementerian Kesehatan, 2009). 16 The Expert Panel Reports merekomendasikan pelayanan asma berdasarkan empat komponen. Komponen ini diyakini penting untuk mendapatkan manajemen asma yang efektif. Empat komponen tersebut adalah : 1.) Penentuan dan pemantauan asma, yang didapatkan dari tes yang objektif, pemeriksaan fisik, sejarah pasien dan laporan pasien. Ini digunakan untuk melakukan diagnosis dan menetukan jenis serta keparahan dari asma. Dapat digunakan juga untuk memantau apakah pengendalian terhadap asma dapat tercapai dan terjaga, 2.) Edukasi untuk semua yang terlibat dalam upaya pelayanan penyakit asma, 3.) Pengendalian dari faktor lingkungan dan kondisi komorbiditas yang mempengaruhi asma, 4.) Terapi farmakologis (Kiley et al., 2007). Pada prinsipnya pelaksanaan asma diklasifikasikan menjadi saat serangan atau penatalaksanaan asma akut, dan penatalaksanaan asma jangka panjang. 1.) Penatalaksanaan asma akut Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui. Penanganan terhadap serangan harus cepat dan disesuaikan dengan derajat serangan. Jika terjadi serangan biasanya pasien diberikan obat pelega, seperti bronkodilator (β-2 agonis aksi cepat, dan ipratropium bromida), dan kortikosteroid sistemik) (Kementerian Kesehatan, 2009). 2.) Penatalaksanaan asma jangka panjang Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengkontrol asma dan mencegah terjadinya serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan 17 dengan klasifikasi beratnya asma. Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi edukasi, obat asma (pengontrol, dan pelega), dan menjaga kebugaran (Kementerian Kesehatan, 2009). Dalam melaksanakan manajemen asma dapat dilakukan dengan sebuah pendekatan bertahap (a stepwise approach) dengan menggabungkan keempat komponen tersebut. Terapi dimulai berdasarkan pada keparahan asma dan yang kemudian dapat disesuaikan (step up atau step down) berdasarkan tingkat pengendalian asma. Beberapa pertimbangan khusus dalam pemilihan terapi ini mungkin perlu diperhatikan untuk keadaan seperti exercise-induced brocospasm (EIB), pembedahan, dan kehamilan (Kiley et al., 2007). g. Obat-Obat Asma Dalam terapi farmakologis atau terapi menggunakan obat, obat asma digunakan untuk menghilangkan dan mencegah timbulnya gejala dan obstruksi saluran nafas. Pada saat ini obat asma dibedakan dalam dua kelompok besar, yaitu reliever dan controller (Meiyanti, 2000). 1.) Reliever Pengobatan cepat (quick-relief medication) digunakan untuk mengatasi serangan akut asma. Contoh obat yang termasuk dalam golongan ini adalah bronkodilator (β2 agonis aksi cepat, antikolinergik, dan metil ksantin), dan kortikosteriod oral atau sistemik (Ikawati, 2011). 2.) Controller Adalah obat yang digunakan untuk mengendalikan asma yang persisten. Dan obat yang termasuk dalam golongan ini adalah obat antiinflamasi seperti 18 kortikosteriod, natrium kromoglikolat, natrium nedokromil, dan antihistamin aksi lambat. Obat agonis β2 aksi lambat dan teofilin lepas lambat juga dapat digunakan dalam pengobatan pemeliharaan ini (Meiyanti, 2000). Berikut adalah obat-obat asma yang biasa digunakan, diantaranya yaitu : 1.) β2 agonis adrenergik β2 agonis adalah bronkodilator paling kuat pada pengobatan asma. β2 agonis mempunyai efek bronkodilatasi, menurunkan permeabilitas kapiler, dan mencegah pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Golongan β2 agonis merupakan stabilisator yang kuat bagi sel mast, tapi golongan obat ini tidak dapat mencegah respon lambat maupun menurunkan hiperresponsivitas bronkus (Meiyanti, 2000). Prinsip kerja dari β2 agonis adalah dengan mengaktivasi adenilat siklase sehingga meningkatkan kadar siklik AMP atau cAMP intrasel, dan merelaksasi otot polos bronkus. Berdasarkan durasi kerjanya, obat golongan β2 agonis terbagi menjadi obat aksi pendek (short acting), dan aksi panjang (long acting). Obat-obat aksi pendek bekerja dengan cepat, namun aksinya tidak bertahan lama. Umumnya digunakan untuk pengobatan segera pada serangan akut. Sedangkan obat-obat aksi panjang, umumnya aksinya bisa bertahan hingga 12 jam, tetapi onsetnya lambat, sehingga tidak tepat untuk pengobatan serangan akut tetapi digunakan untuk mengendalikan asma. Contoh obat β2 agonis aksi cepat adalah salbutamol, albuterol, terbutalin, pirbuterol, levabuterol, dan fenoterol. Untuk obat yang beraksi panjang contohnya adalah salmeterol, dan formoterol (Ikawati, 2011). 19 2.) Kortikosteriod Mekanisme kerja kortikosteroid pada asma belum diketahui dengan pasti. Salah satu teori mengemukakan bahwa kortikosteriod dapat membentuk makrokortin dan lipo-modulin yang bekerja menghambat fosfolipase A2 dalam membentuk leukotrien, prostaglandin, tromboksan, dan metabolit arakidonat lainnya. Mekanisme kerja steroid yang lain adalah menghalangi pembentukan mediator inflamasi, pelepasannya, dan juga respon yang timbul akibat lepasnya mediator tersebut (Yunus, 1998). Contoh dari kortikosteriod yaitu prednisolon, hidrokortison, dan metil prednisolon (Meiyanti, 2000). Obat pilihan yang paling efektif dalam mengkontrol asma adalah kortikosteriod, dengan cara pemberian yang baik secara inhalasi. Pemberian inhalasi mempunyai berbagai manfaat karena efektivitasnya tinggi dan efek sampingnya minimal (Yunus, 1998). Kortikosteroid inhalasi dapat mengurangi jumlah eosinofil yang berada dalam sirkulasi, dan sel mast yang berada di saluran nafas, serta dapat juga meningkatkan jumlah reseptor adrenergik β2. Kortikosteroid inhalasi bersifat sangat lipofilik, dan masuk secara cepat ke sel target di saluran nafas, dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid di sitosol, atau di nukleus (Ikawati, 2011). 3.) Metil ksantin Obat golongan metil ksantin yang utama adalah teofilin, teobromin, dan kafein, tetapi yang paling banyak digunakan dalam terapi asma adalah teofilin (Ikawati, 2011). Teofilin adalah agen bronkodilator dengan kekuatan ringan atau sedang. Teofilin merupakan inhibitor fosfodiestrase non selektif, yang 20 telah menunjukkan aktivitas antiinflamasi ringan. Teofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai pilihan dalam terapi pencegahan jangka panjang. Tetapi dalam penggunaannya teofilin harus selalu dimonitoring kadarnya untuk memastikan kadarnya tidak berada pada kadar toksik di tubuh. Jika pasien mengalami tanda dan gejala keracunan, seperti misalnya sakit kepala berat, takikardi, mual, dan muntah, sebaiknya teofilin dihentikan dan segera dilakukan pengambilan serum dari pasien tersebut (Kiley et al., 2007). 4.) Antikolinergik Antikolinergik digunakan untuk pengobatan asma, terutama digunakan sebagai bronkodilator. Antikolinergik bekerja dengan menghambat pelepasan asetilkolin yang dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus dan sekresi mukus. Asetilkolin juga memicu pelepasan dari sitokin dan kemokin dari sel. Contoh dari antikolinergik ini adalah ipratoprium bromida dan tiotropium bromida (Gosens et al., 2006). 5.) Leukotrien modifier Leukonutrien modifier bekerja dengan cara mengantagonis reseptor leukotrien (contoh montelukast, pranlukast, dan zafirlukast), atau dengan cara sebagai inhibitor dari 5-lipooksigenase (contoh zileuton). Leukotrien modifier mempunyai efek bronkodilator yang kecil dan bervariasi, dapat meningkatkan fungsi paru-paru, dan mengurangi gejala seperti batuk, dan eksaserbasi, serta inflamasi di saluran nafas. Obat ini dapat digunakan pada pasien dewasa dengan asma persisten ringan, dan beberapa pasien dengan asma akibat dari sensitif aspirin (FitzGerald et al., 2012a). 21 6.) Antihistamin Antihistamin tidak digunakan sebagai obat utama untuk mengobati asma, biasanya hanya diberikan pada pasien yang mempunyai riwayat penyakit atopik seperti rhinitis alergi. Pemberian antihistamin selama tiga bulan pada sebagian penderita asma dengan dasar alergi dapat mengurangi gejala asma (Meiyanti, 2000). 2. Jamkesmas dan JKN Kesadaran tentang pentingnya jaminan perlindungan sosial terus berkembang sesuai amanat pada perubahan UUD 1945 pasal 34 ayat 2, yaitu menyebutkan bahwa negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial dalam perubahan UUD 1945. Terbitnya UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menjadi suatu bukti yang kuat bahwa pemerintah memiliki komitmen yang besar untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya. Melalui SJSN sebagai salah satu bentuk perlindungan sosial pada hakekatnya bertujuan untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak (Kementerian Kesehatan, 2011a). Kementerian Kesehatan sejak tahun 2005 telah melaksanakan program jaminan kesehatan sosial tersebut. Dimulai dengan dengan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (JP-KMM) (2005) atau lebih dikenal dengan program Askeskin (2005-2007) yang kemudian berubah nama menjadi program Jamkesmas sampai dengan tahun 2013 (Kementerian Kesehatan, 2010). 22 JPKMM atau Askeskin, maupun Jamkesmas kesemuanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu melaksanakan penjaminan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin dan tidak mampu dengan menggunakan prinsip asuransi kesehatan nasional (Kementerian Kesehatan, 2011a). Jamkesmas adalah bentuk belanja bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi fakir miskin dan tidak mampu serta peserta lainnya yang iurannya dibayar oleh Pemerintah. Program ini diselenggarakan secara nasional agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin (Kementerian Kesehatan, 2010). Penyelengaraan program Jamkesmas dibedakan dalam dua kelompok berdasarkan tingkat pelayanannya, yaitu : a) Jamkesmas untuk pelayanan dasar di puskesmas termasuk jaringannya, dan b) Jamkesmas untuk pelayanan kesehatan lanjutan di rumah sakit dan balai kesehatan (Kementerian Kesehatan, 2011a). Pelaksanaan program Jamkesmas tahun 2012 dilaksanakan dengan beberapa penyempurnaan pada aspek kepesertaan, pelayanan, pendanaan, dan pengorganisasian. Pada aspek kepesertaan, data yang akan digunakan bersumber dari basis data terpadu Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang berlaku setelah peserta menerima kartu Jamkesmas yang baru (Kementerian Kesehatan, 2012c). Kemudian pada pendanaannya, Kementrian Kesehatan melalui Tim Pengelola Jamkesmas terus melakukan upaya perbaikan mekanisme pertanggungjawaban dana Jamkesmas. Hal ini bertujuan agar dana yang dikirimkan sebagai uang muka kepada fasilitas kesehatan dapat segera 23 dipertanggungjawabkan secara tepat waktu, tepat jumlah, tepat sasaran, akuntabel, efisien, dan efektif (Kementerian Kesehatan, 2011a). Namun dalam pelaksanaan Jamkesmas dan jaminan sosial lain di bidang kesehatan, dianggap masih terfragmentasi dan terbagi-bagi yang mengakibatkan biaya kesehatan dan mutu pelayanan sulit terkendali. Untuk mengatasinya, dalam UU Nomor 40 tahun 2004, pemerintah mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Kesehatan (BPJS). Penyelenggaraan JKN oleh BPJS Kesehatan mulai Januari 2014 diharapkan dapat lebih memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak (Kementerian Kesehatan, 2014). 3. INA-CBG’s Pada tahun 2010 diperkenalkan paket INA-DRG’s versi 1.6 yang lebih sederhana, lebih terintegrasi serta mudah dipahami dan diaplikasikan. Namun demikian pada akhir tahun 2010 dilakukan perubahan penggunaan software grouper dari INA-DRG’s ke INA-CBG’s (Kementerian Kesehatan, 2011a). Hingga tahun 2013, INA-CBG’s telah digunakan dalam klaim Jamkesmas pada sebanyak 747 RS Pemerintah dan 515 RS Swasta. Tarif yang berlaku tahun 2013 merupakan tarif baru yang dimulai pada tanggal 1 Januari 2013, yaitu tarif pelayanan kesehatan di ruang perawatan kelas III rumah sakit yang berlaku untuk rumah sakit umum dan rumah sakit khusus milik pemerintah, dan swasta. Hal ini sesuai dengan Kepmenkes Nomor 440 tahun 2012 (Anjari, 2013). 24 Menurut Kementerian Kesehatan tahun 2011, Case Based Group (CBG) pada dasarnya mempunyai definisi yang sama dengan DRG yang juga termasuk dalam sistem casemix. Indonesia Case Based Group (INA-CBG’s) adalah CBG yang dikaitkan dengan tarif yang dihitung berdasarkan data costing di Indonesia. Perhitungan biaya perawatan pada sistem ini dilakukan berdasarkan diagnosis akhir pasien saat dirawat inap di rumah sakit (Pratiwi, 2013), yang dipengaruhi juga oleh diagnosis sekunder dan tingkat keparahan pasien. Pada aspek pelayanan Jamkesmas, penggunaan software grouper INACBG’s terus disempurnakan. Seiring dengan penambahan kepesertaan maka perlu diperluas jaringan fasilitas kesehatan rujukan dengan meningkatkan jumlah Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Tim Pengelola Jamkesmas Kabupaten/Kota dan fasilitas kesehatan dasar swasta serta fasilitas kesehatan rujukan setempat (Kementerian Kesehatan, 2012c). Pada tahun 2013 software INA-CBG’s yang digunakan adalah tipe 3.1, dan mulai tahun 2014 yang digunakan adalah tipe 4.0. Paket tarif INA-CBG’s ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi rumah sakit. Manfaat tersebut adalah : a) Pihak rumah sakit mendapat pembiayaan berdasarkan kepada beban kerja sebenarnya, b) Dapat meningkatkan mutu dan efisiensi pelayanan rumah sakit, c) Dokter, atau klinisi dapat memberikan pengobatan yang tepat untuk kualitas pelayanan lebih baik berdasarkan derajat keparahan 25 d) Meningkatkan komunikasi antar spesialisasi atau multidisiplin ilmu agar perawatan dapat secara komprehensif, serta dapat memonitor QA dengan cara yang lebih objektif, e) Perencanaan budget anggaran pembiayaan, dan belanja yang lebih akurat, f) Dapat mengevaluasi kualitas pelayanan yang diberikan oleh masing-masing klinisi, g) Keadilan yang lebih baik dalam pengalokasian budget anggaran, dan h) Mendukung perawatan pasien dengan menerapkan Clinical Pathway (Anjari, 2013). Clinical pathway adalah konsep pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan standar pelayanan medis, standar asuhan keperawatan, dan standar pelayanan tenaga kesehatan lainnya. Keseluruhan berbasis bukti dengan hasil yang dapat diukur pada periode waktu tertentu selama di rumah sakit (Rivany, 2009). 4. Analisis Biaya Biaya dihitung untuk memperkirakan sumber daya (atau input) dalam suatu produksi barang atau jasa. Sumber daya yang terkait dengan suatu produk atau jasa tidak dapat digunakan untuk produk atau jasa yang lain (opportunities) (Andayani, 2013). Pada tahun 1980 dan 1990, banyak textbook mengklasifikasikan biaya dalam empat kategori, yaitu biaya medik langsung, biaya non-medik langsung, biaya tidak langsung, dan biaya tidak teraba. Biaya medik langsung adalah biaya yang paling sering diukur, merupakan input yang digunakan secara langsung untuk memberikan terapi. Misalnya, biaya obat, tes 26 diagnostik, kunjungan dokter, kunjungan ke unit gawat darurat, atau biaya rawat inap. Biaya non-medik langsung adalah biaya untuk pasien atau keluarga yang terkait langsung dengan perawatan pasien, tetapi tidak langsung terkait dengan terapi. Salah satu contohnya adalah biaya menuju atau dari praktek dokter, klinik, atau rumah sakit. Biaya tidak langsung adalah biaya yang disebabkan hilangnya produktivitas karena penyakit atau kematian yang dialami oleh pasien. Dan yang termasuk dalam biaya tidak teraba antara lain biaya untuk nyeri, sakit, cemas, atau lemah karena penyakit atau terapi suatu penyakit (Andayani, 2013). Menurut Gani dalam Makalah Seri Manajemen Keuangan tahun 1996, analisis biaya adalah suatu proses menata kembali data atau informasi yang ada dalam laporan keuangan untuk memperoleh usulan biaya satuan pelayanan kesehatan. Dapat dikatakan analisis biaya adalah suatu proses mengumpulkan dan menghitung biaya output jasa pelayanan (Hamka, 2010). Analisis farmakoekonomi merupakan cara yang komprehensif untuk menentukan pengaruh ekonomi dari alternatif terapi obat atau intervensi kesehatan lain. Pada intervensi farmasi, farmakoekonomi digunakan untuk menilai apakah tambahan keuntungan sepadan dengan biaya tambahan dari intervensi tersebut (Andayani, 2013). Salah satu penerapan utama farmakoekonomi di praktek klinis saat ini adalah untuk membantu pengambilan keputusan klinis dan pembuatan kebijakan. Praktisi pelayanan kesehatan yang menerapkan prinsip dan metode farmakoekonomi dapat membuat keputusan yang berhubungan dengan produk dan pelayanan yang tersedia secara lebih baik (Sanchez, 2008). 27 F. Landasan Teori Biaya pengobatan asma yang selalu bervariasi antar pasiennya dapat disebabkan karena beberapa faktor (Gupchup et al., 2001), termasuk faktor risiko penyakit yang dapat memicu terjadinya serangan asma. Berdasarkan penelitian Taher (2012), faktor risiko seperti, jenis kelamin, umur, komorbid, serta lama tinggal atau Length of Stay terbukti dapat mempengaruhi biaya riil pengobatan dari pasien asma. Selain itu, hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Heriza (2013) menunjukkan jenis kelamin, umur dan tingkat perawatan dari pasien juga dapat berpengaruh terhadap biaya pengobatan. Prevalensi asma cukup besar ternyata terjadi pada masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah. Oleh karena itu pemerintah berusaha meningkatkan pelayanan kesehatan bagi semua kalangan masyarakat dengan melaksanakan program Jamkesmas. Pada pelaksanaannya, besarnya biaya sudah ditetapkan melalui paket tarif INA-CBG’s. Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Afrianti (2012) di RSI Siti Khadijah Palembang, didapatkan hasil biaya riil pasien ternyata 62,4% lebih besar daripada paket tarif INA-CBG’s. Penelitian lain oleh Sari dan Putra (2013), juga menunjukkan adanya perbedaan yang lebih besar antara biaya pengobatan rata-rata untuk pengobatan diabetes mellitus dan thalasemia dibandingkan dengan paket tarif INA-CBG’s di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 28 G. Kerangka Konsep Pasien asma Pasien asma peserta Jamkesmas Pasien asma umum - Jenis kelamin - Umur - Komorbid - Kelas perawatan - LOS Komponen biaya: - Obat dan barang medis - Penunjang medis - Kamar opname - Visite dokter - Konsultasi dokter - Asuhan keperawatan - Tindakan infus - Periksa dokter IGD - Jasa rumah sakit - Administrasi Biaya paket tarif INACBG’s Biaya riil Gambar 1. Skema Kerangka Konsep Penelitian H. Hipotesis Berdasarkan uraian dalam landasan teori, dapat dirumuskan hipotesis : 1. Jenis kelamin, umur, komorbid, kelas perawatan dan LOS berpengaruh pada biaya pengobatan pasien asma rawat inap di RSU Bina Kasih Ambarawa 2. Terdapat ketidaksesuaian antara biaya riil dan paket tarif INA-CBG’s pada pasien asma rawat inap peserta Jamkesmas di RSU Bina Kasih Ambarawa