NAEPP - ETD UGM

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP),
asma dapat didefinisikan sebagai gangguan peradangan kronik yang terjadi pada
saluran pernafasan, yang melibatkan sel-sel inflamasi. Pada individu yang rentan,
peradangan ini menyebabkan episode yang berulang dari mengi, sesak nafas, rasa
sesak di dada, dan batuk, terutama pada malam atau dini hari. Adanya peradangan
ini juga dapat meningkatkan hiperresponsivitas bronkial terhadap berbagai
rangsang, sehingga mengakibatkan terjadinya sumbatan aliran udara di saluran
pernafasan pada pasien yang menderita asma (Kiley et al., 2007).
Asma adalah salah satu penyakit kronik yang umum, dengan perkiraan
terdapat 300 juta penderita di seluruh dunia. Setiap tahunnya prevalensi penderita
asma terus meningkat selama 20 tahun terakhir ini, terutama pada anak-anak
(FitzGerald et al., 2012b). Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan 100150 juta penduduk dunia menderita asma. Bahkan, jumlah ini diperkirakan akan
terus bertambah hingga mencapai 180.000 orang setiap tahun. Apabila tidak
dicegah dan ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan
pada masa mendatang yang dapat mengganggu proses tumbuh kembang anak dan
kualitas hidup pasien (Kementerian Kesehatan, 2009).
Menurut data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) yang dilakukan
di berbagai provinsi di Indonesia, asma termasuk dalam sepuluh besar penyebab
kesakitan dan kematian di Indonesia. Pada SKRT tahun 1992, asma, bronkitis
1
2
kronik dan emfisema, sebesar 5,6%, adalah penyebab kematian keempat di
Indonesia. Tahun 1995, prevalensi asma menjadi sebesar 13/1000 di seluruh
Indonesia (Ratnawati, 2011). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
dan SKRT tahun 1995 dan 2001 menunjukkan bahwa selama 12 tahun (19952007) kematian karena penyakit menular semakin meningkat, termasuk asma
(Kementerian Kesehatan, 2012a). Tingginya prevalensi asma dapat terjadi karena
tidak dapat tercapainya sasaran terapi sehingga penyakit menjadi kurang
terkontrol. Oleh karena itu diperlukan terapi yang tepat dan efektif dalam
pengobatan asma.
Prevalensi asma yang cukup besar ternyata juga terjadi pada masyarakat
dengan tingkat ekonomi rendah. Berbagai studi membuktikan bahwa faktor sosialekonomi berkontribusi besar terhadap kejadian penyakit saluran pernafasan.
Berbagai hasil evaluasi memperlihatkan bahwa risiko cidera, asma, dan hipertensi
pada remaja meningkat akibat perilaku negatif anak-anak dari kalangan sosioekonomi rendah. Risiko balita yang berasal dari keluarga berpendidikan rendah,
berpengetahuan rendah, dan mengalami pencemaran udara juga relatif tinggi
(Kodim, 2009). Dalam dimensi baru dikatakan bahwa peningkatan pendapatan
tidak menjamin secara otomatis penurunan kemiskinan kecuali jika diikuti oleh
peningkatan derajat kesehatan kelompok miskin. Dengan demikian diperlukan
peningkatan alokasi pembiayaan kesehatan untuk dapat meningkatkan derajat
kesehatan yang akan meningkatkan produktivitas penduduk (Kodim, 2009).
Karena pentingnya kesehatan dan cukup tingginya prevalensi penyakit
asma, pemerintah berusaha untuk dapat memberikan pengobatan yang mencukupi
3
bagi seluruh masyarakat Indonesia. Berbagai cara pelayanan dilaksanakan agar
semua kalangan masyarakat bisa mendapatkan hak yang sama. Salah satunya
adalah dengan program Jamkesmas atau Jaminan kesehatan masyarakat.
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) adalah jaminan perlindungan
untuk pelayanan kesehatan secara menyeluruh (komprehensif) mencakup
pelayanan promotif, preventif, serta kuratif, dan rehabilitatif yang diberikan secara
berjenjang bagi masyarakat atau peserta yang iurannya dibayar oleh Pemerintah
(Anonim, 2012). Berdasarkan pada Undang-undang nomor 40 tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN), seluruh jaminan sosial di bidang
kesehatan, termasuk Jamkesmas, menjadi termasuk dalam Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN). Khusus untuk JKN diselenggarakan melalui suatu Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang implementasinya dimulai
pada 1 Januari 2014 (Kementerian Kesehatan, 2014).
Dari tahun 2010 hingga saat ini pemerintah sedang memantapkan
penjaminan kesehatan melalui Jamkesmas, yang sekarang termasuk dalam JKN,
sebagai awal dari pencapaian jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk. Melalui
Jamkesmas ini diharapkan dapat meningkatkan pelayanan kasus-kasus kesehatan
para pesertanya (Kementerian Kesehatan, 2010).
Pelaksanaan dari program Jamkesmas ini, sistem pembayaran dan
pertanggungjawaban dari fasilitas kesehatan menggunakan paket tarif INA-CBG’s
(Kementerian Kesehatan, 2011c). Paket tarif INA-CBG’s atau Indonesia Case
Based Group dilaksanakan berdasarkan diagnosis penyakit yang diderita pasien.
4
Namun di penerapannya, sering kali biaya riil yang diperlukan untuk pengobatan
pasien sangat bervariasi dan tidak sesuai dengan biaya paket tarif INA-CBG’s.
Biaya pengobatan asma yang meningkat dapat terjadi sebagai akibat dari
peningkatan jumlah peresepan obat (Kelly dan Sorkness, 2008). Smith et al.
mengungkapkan bahwa sebanyak 20% pasien asma disebut dengan “pasien
berbiaya tinggi”. Untuk itu, tingginya biaya pada penyakit saluran pernafasan,
termasuk asma, memberikan peluang untuk dilakukankannya evaluasi dan
intervensi farmakoekonomi (Gupchup et al., 2001).
RSU Bina Kasih, salah satu rumah sakit umum swasta di Kabupaten
Semarang. Rumah sakit ini telah melayani program Jamkesmas sejak program
tersebut mulai dilaksanakan pada tahun 2005 (program Askeskin). Sejak tahun
2005 hingga sekarang, RSU Bina Kasih telah menangani pasien Jamkesmas pada
instalasi rawat jalan sebesar 2.557 pasien dan pada instalasi rawat inap sebesar
1.764 pasien. Penyakit asma juga termasuk dalam sepuluh besar penyakit yang
terjadi dan ditangani di rumah sakit ini (Mustaviah, 2013).
Berdasarkan uraian diatas, penelitian dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui gambaran pengobatan dan faktor yang dapat mempengaruhi biaya
pengobatan pada pasien asma yang menjalani rawat inap di RSU Bina Kasih
Ambarawa. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi RSU Bina
Kasih, pemerintah dan pihak-pihak lain yang terkait dalam pelaksanaan paket tarif
INA-CBG’s pada pelayanan kesehatan, yang mulai Januari 2014 diterapkan
melalui JKN, khususnya dalam melayani penyakit asma.
5
B. Perumusan Masalah
1.
Bagaimanakah gambaran pengobatan dari pasien asma rawat inap di RSU
Bina Kasih Ambarawa?
2.
Faktor apakah yang mempengaruhi biaya pengobatan pasien asma rawat
inap di RSU Bina Kasih Ambarawa?
3.
Berapakah besar perbedaan jumlah antara biaya riil dengan paket tarif INACBG’s pada pasien asma rawat inap peserta Jamkesmas di RSU Bina Kasih
Ambarawa?
C. Tujuan Penelitian
1.
Tujuan umum
Untuk mengetahui gambaran pengobatan asma dan kesesuaian biaya riil
dalam penerapan paket tarif INA-CBG’s pada pasien asma peserta
Jamkesmas di instalasi rawat inap RSU Bina Kasih Ambarawa.
2.
Tujuan khusus
a.
Untuk mengetahui gambaran pengobatan dari pasien asma rawat inap
di RSU Bina Kasih Ambarawa.
b.
Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi biaya pengobatan
pasien asma rawat inap di RSU Bina Kasih Ambarawa.
c.
Untuk mengetahui besar perbedaan jumlah antara biaya riil dengan
paket tarif INA-CBG’s pada pasien asma rawat inap peserta
Jamkesmas di RSU Bina Kasih Ambarawa.
6
D. Manfaat Penelitian
1.
Apoteker
Sebagai bahan dan pertimbangan bagi apoteker dalam pemilihan obat untuk
pasien asma peserta Jamkesmas dalam rangka meningkatkan peran farmasi
klinik dalam pharmaceutical care.
2.
Instalasi Rumah Sakit dan Profesi Kesehatan Lain
Sebagai informasi dan bahan evaluasi bagi rumah sakit dalam pertimbangan
pemilihan tindakan medis dan obat untuk penatalaksanaan terapi asma, serta
pelaksanaan program pelayanan Jamkesmas.
3.
Badan Pemerintahan
Sebagai masukan dalam penyusunan dan penerapan kebijakan mengenai
tarif pengobatan dalam strategi penatalaksanaan terapi khususnya pada
penyakit asma.
4.
Peneliti
Memberikan pengalaman penelitian tentang pelayanan kesehatan, terutama
pada pasien asma peserta Jamkesmas, serta sebagai pembanding dan
pelengkap untuk penelitian selanjutnya.
E. Tinjauan Pustaka
1.
Penyakit Asma
a. Definisi
Berdasarkan Pedoman Pengendalian Penyakit Asma yang diterbitkan oleh
Departemen Kesehatan RI, asma didefinisikan sebagai suatu kelainan berupa
inflamasi (peradangan) kronik saluran nafas yang menyebabkan hiperaktivitas
7
bronkus terhadap berbagai rangsangan. Hiperaktivitas bronkus ini ditandai dengan
gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak nafas dan rasa berat di dada
terutama pada malam hari dan atau dini hari. Gejala tersebut umumnya bersifat
reversibel, baik dengan atau tanpa pengobatan (Kementerian Kesehatan, 2009).
Menurut NAEPP (National Asthma Education and Prevention Program),
asma merupakan gangguan saluran nafas kronik biasa yang kompleks yang
melibatkan berbagai sel inflamasi. Asma ditandai dengan adanya gejala yang
berulang, sumbatan aliran udara, inflamasi dan respon yang berlebihan dari
bronkial. Inflamasi yang terjadi dapat disebabkan karena adanya luka dari sel
epitelial dan melibatkan berbagai mediator dan sel inflamasi seperti neutrofil,
eosinofil, limfosit dan sel mast (Kiley et al., 2007).
Asma bersifat fluktuatif atau hilang timbul yang artinya dapat tenang tanpa
gejala dan tidak mengganggu aktivitas. Tetapi asma dapat kambuh dengan gejala
mulai dari gejala ringan sampai dengan berat, bahkan sampai dapat menimbulkan
kematian (Kementerian Kesehatan, 2009). Manifestasi klinik dari asma ini dapat
dikendalikan jika diberikan pengobatan yang tepat. Ketika penyakit asma dapat
terkontrol dengan baik, kejadian kambuhnya gejala dapat berkurang dan gejala
yang berat dapat dihindari (FitzGerald et al., 2012a).
b. Etiologi
Sejumlah
faktor
yang
mempengaruhi
risiko
seseorang
terhadap
perkembangan asma telah diidentifikasikan. Faktor-faktor tersebut dapat dibagi
menjadi akibat dari faktor genetik dan dari faktor lingkungan (FitzGerald et al.,
2012a). Faktor genetik berhubungan dengan sejarah keluarga. Anak dari keluarga
8
asma lebih beresiko untuk menyandang asma dibandingkan dengan anak yang
tidak memiliki keluarga asma (Zulfikar dkk, 2011). Jika orang tua menderita
asma, maka kemungkinan besar ada anggota keluarga yang menderita asma juga.
Menurut GINA (Global Initative for Atshma) tahun 2008, laki-laki menjadi
salah satu faktor risiko asma pada anak-anak, terutama sampai usia 14 tahun,
prevalensi asma dapat terjadi dua kali lebih besar. Namun semakin beranjak
dewasa, pengaruh jenis kelamin semakin berkurang. Pada dewasa, kejadian asma
pada perempuan lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki dewasa
(FitzGerald et al, 2012a). Namun demikian, asma dapat dimulai pada segala usia,
mempengaruhi pria dan wanita tanpa kecuali, dan bisa terjadi pada setiap orang
pada segala etnis (Ikawati, 2011).
Faktor lain yang berpengaruh diantaranya karena adanya paparan dari
alergen (seperti misalnya debu, bulu binatang, serangga, dan serbuk bunga), asap
rokok, infeksi saluran nafas akibat virus, olahraga, kondisi emosional yang
berlebihan, obat (seperti misalnya aspirin, dan beta blocker), dan karena zat-zat
kimia, serta akibat faktor pekerjaan (FitzGerald et al., 2012b).
c. Patofisiologi
Asma ditandai oleh adanya peradangan dengan obstruksi saluran nafas,
yang sebagian besar bersifat episodik. Obstruksi pada asma sering dapat kembali
seperti semula baik secara spontan atau dengan pengobatan (Donohue et al.,
2006). Pada penderita asma, otot-otot polos bronkial mengalami konstraksi
sebagai respon dari adanya stimulasi baik dari alergen maupun dari iritan. (Kiley
et al., 2007). Ketika saluran nafas terpapar oleh berbagai faktor risiko, aliran
9
udara menjadi terbatas dan menjadi terhambat. Hal itu diakibatkan karena adanya
bronkokonstriksi, sumbatan oleh mukus, dan inflamasi yang terjadi di saluran
nafas (FitzGerald et al., 2012b).
Penyakit asma melibatkan interaksi yang kompleks antara sel-sel inflamasi,
mediator inflamasi, dan jaringan pada saluran nafas. Sel-sel inflamasi utama yang
turut berkontribusi pada rangkaian kejadian pada serangan asma antara lain adalah
sel mast, limfosit, dan eosinofil. Sedangkan mediator inflamasi utama yang
terlibat dalam asma adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil
(eosinofil chemotactic factor), dan beberapa sitokin, yaitu interleukin (IL)-4, IL-5,
dan IL-13 (Ikawati, 2011). Sel-sel yang terlibat dalam inflamasi dari saluran
nafas, diantaranya :
1.) Sel mast
Sel mast diaktivasi oleh alergen melalui ikatan suatu alergen dengan IgE yang
telah melekat pada reseptornya di permukaan sel mast. Ikatan ini memicu
serangkaian peristiwa biokimiawi di dalam sel yang kemudian menyebabkan
terjadinya degranulasi sel mast. Degranulasi adalah pecahnya sel mast yang
menyebabkan pelepasan berbagai mediator inflamasi. Sel mast terdapat pada
lapisan epitelial maupun sub epitelial saluran nafas. (Ikawati, 2011).
2.) Sel limfosit
Sel limfosit terdiri dari dua tipe, yaitu limfosit T, dan limfosit B. Limfosit T
terbagi lagi menjadi dua subtipe, yaitu Th1, dan Th2 (T helper 1, dan T
helper 2). Sel limfosit Th2 mampu memproduksi berbagai sitokin yang
berperan dalam reaksi inflamasi, seperti IL-3, IL-4, IL-6, IL-9, dan IL-13.
10
Sitokin IL-4 dan IL-13 dapat mengaktivasi sel limfosit B untuk memproduksi
IgE, yang kemudian akan menempel pada sel-sel inflamasi dan memicu
terjadi pelepasan berbagai mediator inflamasi (Ikawati, 2011).
3.) Eosinofil dan neutrofil
Karakteristik kelainan fisiologi pada asma ditandai dengan inflamasi
eosinofil. Peningkatan eosinofil yang aktif dan mengalami degranulasi telah
ditunjukkan dalam biopsi pada bronkus dan alveolus pada pasien asma
(Donohue et al., 2006). Meningkatnya jumlah eosinofil sering dihubungkan
dengan tingkat keparahan asma. Semakin besar peningkatan eosinofil maka
semakin besar pula tingkat keparah asma yang diderita. Sedangkan jumlah
neutrofil dalam saluran nafas dan juga sputum akan meningkat jika penyakit
asma sudah berada pada tingkat yang parah (FitzGerald et al., 2012a).
4.) Mediator inflamasi
Banyak sitokin dan kemokin yang terlibat dalam patofisiologi asma. Dalam
dekade terakhir ini diketahui sitokin memainkan peran penting dalam respon
inflamasi asma. Sitokin IL-4, IL-5,IL-9, IL-13 yang berasal dari Th-2, lebih
spesifik terhadap peradangan alergi. Sitokin T helper tipe 2 (Th-2) memegang
peran penting dalam penyakit alergi, termasuk asma (Barnes, 2001).
Imunoglobulin E (IgE) adalah antibodi yang bertanggung jawab dalam
reaksi alergi, yang perannya sangat penting dalam patogenesis penyakit alergi dan
inflamasi yang terjadi. IgE menempel pada permukaan sel melalui reseptor
spesifik berafinitas tinggi. Sel mast mempunyai reseptor IgE yang dapat
11
menyebabkan inflamasi saat terpapar oleh faktor risiko. Selain sel mast, basofil,
sel dendritik, dan limfosit juga memiliki reseptor IgE (Kiley et al., 2007).
Reaksi inflamasi akut terdiri atas reaksi asma dini (early asthma
reaction/EAR) dan reaksi asma lambat (late asthma reaction/LAR). Setelah reaksi
asma awal dan reaksi asma lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi
inflamasi sub-akut atau kronik. Pada keadaan kronik terjadi inflamasi di bronkus
dan sekitarnya, berupa infiltrasi sel inflamasi terutama eosinofil dan monosit
dalam jumlah besar ke dinding dan lumen bronkus (Kementerian Kesehatan,
2009).
Adanya keterbatasan dalam pernafasan dapat juga disebabkan karena terjadi
perubahan di saluran nafasnya. Edema di saluran nafas dapat terjadi jika penyakit
asma menjadi lebih persisten dan proses inflamasi menjadi lebih progresif (Kiley
et al., 2007). Jumlah sel polos yang terdapat di saluran nafas pada penderita asma
akan meningkat, sebagai akibat dari sel-sel yang mengalami hipertrofi, dan
hiperplasia. Hal ini yang mengakibatkan menebalnya dinding saluran nafas
(FitzGerald et al., 2012a). Perubahan yang permanen dari struktural saluran nafas
dapat memperparah sumbatan dari saluran nafas, meningkatkan respon yang
berlebihan dari saluran nafas, dan dapat mengurangi respon dari terapi obat yang
digunakan (Kiley et al., 2007).
Respon terhadap alergi yang terhirup dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu
respon fase cepat dan lambat. Respon asma dengan ciri penyempitan saluran
pernafasan akibat kontraksi otot polos bronkus dapat dilihat dari turunnya nilai
PEF. Respon cepat terjadi grafik puncak hanya beberapa menit setelah antigen
12
terhirup dan grafiknya segera turun. Enam sampai delapan jam kemudian setelah
paparan antigen juga terdapat respon seperti yang terjadi pada fase cepat (Rifa’i,
2011). Obstruksi bronkus dibagi menjadi 3 fase utama, yaitu (Meiyanti, 2000) :
1.) Fase cepat (spasmogenik)
Fase cepat identik dengan respon awal dengan adanya spasme otot polos
bronkus. Reaksi ini berakhir setelah 1-2 jam. Reaksi dapat hilang dengan
sendirinya dan diikuti fase lambat menetap.
2.) Fase lambat menetap (late, sustained)
Reaksi dapat hilang dengan sendirinya dan diikiti fase lambat menetap. Fase
lambat menetap ditandai oleh spasme bronkus dan akumulasi sel mediator
inflamasi. Serangan dapat berlangsung 6-8 jam atau lebih.
3.) Fase sub-akut atau kronis
Pada fase sub-akut, reaksi inflamasi merupakan ciri utamanya, dan terdapat
infiltrasi eosinofil, dan sel mononuklear.
d. Diagnosis
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan semestinya. Mengi dan atau batuk kronik berulang merupakan
titik awal untuk menegakkan diagnosis (Kementerian Kesehatan, 2009). Asma
dapat didiagnosis berdasarkan pada gejala dan riwayat medis dari pasien,
diantaranya (FitzGerald et al., 2012b) :
1.) Wheezing atau mengi, yaitu suara seperti bersiul dengan nada yang tinggi saat
menarik nafas,
13
2.) Kambuhnya mengi, sesak nafas, dada terasa sesak, dan batuk yang semakin
parah pada malam hari,
3.) Gejala yang terjadi dan diperparah saat malam hari dan pada pola musiman,
4.) Gejala yang diperburuk saat penderita melakukan olahraga, adanya paparan
alergen, infeksi,perubahan suhu, atau perubahan emosional,
5.) Adanya sejarah dalam keluarga yang menderita asma.
Secara umum untuk menegakkan diagnosis asma diperlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamesis berhubungan dengan
apa dan kapan terjadinya gejala-gejala asma. Pemeriksaan fisik perlu dilakukan
dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Sedangkan pemeriksaan
penunjang, diantaranya uji reversibilitas dan foto toraks (Kementerian Kesehatan,
2009).
Diagnosis asma dapat ditegakkan melalui gejala klinis, gambaran radiologis
paru, dan tes provokasi. Uji faal paru dilakukan untuk menentukan beratnya
sumbatan saluran nafas hingga beratnya serangan asma. Uji provokasi bronkus
dapat menentukan derajat beratnya hiperreaktivitas. Sedangkan pemeriksaan
radiologis dilakukan untuk mengetahui adanya inflamasi dan edema yang terjadi
di saluran nafas (Meiyanti, 2000).
Pemeriksaan fungsi atau faal paru dilakukan dengan alat yang bernama
spirometer. Spirometer digunakan untuk mengukur keterbatasan dari aliran udara.
Dari pemeriksaan dengan spirometer dapat ditentukan nilai volume ekspiratori
paksa dalam satu detik (FEV1), forced expiratory vital capacity (FVC), dan juga
peak expiratory flow (PEF) (FitzGerald et al., 2012a). Jika nilai variasi PEF lebih
14
dari atau sama dengan 20% antara pagi dan sore hari, dapat dikatakan bahwa
pasien tersebut menderita asma. Hal lain yang mendukung diantaranya adanya
kenaikan PEF lebih dari sama dengan 15% pada pagi dan sore hari, serta adanya
penurunan FEV1 lebih dari 20% setelah pemberian bronkodilator secara inhalasi
pada uji provokasi bronkus (Meiyanti, 2000). Uji alergi juga dapat dilakukan,
seperti dengan tes tusuk kulit atau skin prick test (Kementerian Kesehatan, 2009).
e. Klasifikasi
Berat ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran
klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, dan uji faal
paru). Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat
menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang sangat penting dalam
penatalaksanaannya (Kementerian Kesehatan, 2009).
Berdasarkan NAEPP 2007, keparahan gejala asma diklasifikasikan
berdasarkan jumlah hari munculnya gejala, jumlah malam terbangun karena
munculnya gejala, nilai FEV1 dan FVC, serta nilai variabilitas PEF. Asma dibagi
menjadi persisten (ringan, sedang, berat) dan intermitten (Kiley et al., 2007).
Tabel I. Klasifikasi asma menurut NAEPP 2007
TINGKAT 4
Persisten berat
TINGKAT 3
Hari dengan gejala
Malam dengan
gejala
FEV1/FVC
Variabilitas
PEF
Terus menerus
Sering
≤ 60%
> 30 %
Setiap hari
> 1x per minggu
60% - 80%
< 30%
> 2x per minggu
tetapi < 1x per hari
> 2x per bulan
≥ 80%
20% - 30%
≤ 2x per minggu
≤ 2x per bulan
≥ 80%
< 20%
Persisten sedang
TINGKAT 2
Persisten ringan
TINGKAT 1
Intermitten ringan
15
Berdasarkan pengelompokan Casemix Major Group, penyakit asma
termasuk dalam kategori cronic lower respiratory disease. Dalam International
Classification Diseases 10 (ICD 10), asma memiliki kode J-45. Pada sistem INACBG’s, asma memiliki kode J-4-18 yang dibagi menjadi tiga tingkat keparahan,
yaitu J-4-18-I, J-4-18-II dan J-4-18-III, didasarkan pada ada atau tidak, serta jenis
dari diagnosis sekunder yang menyertai pasien (Kementerian Kesehatan, 2012b).
Contoh diagnosis sekunder pada tingkat keparahan I adalah hipertensi, diabetes
mellitus, dispepsia dan bronkitis. Pada tingkat keparahan II contohnya penyakit
Tuberkulosis, sedangkan diagnosis sekunder pada tingkat keparahan III contohnya
bronko pneumonia, infeksi saluran nafas bagian atas (ISPA), serta efusi pleural.
f. Tatalaksana Terapi
Tatalaksana pasien asma adalah manajemen dari asma itu sendiri untuk
meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup pasien. Pasien dapat hidup
normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari atau dengan kata
lain asmanya terkontrol. Tujuan dari terapi asma diantaranya :
1.) Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma,
2.) Mencegah eksaserbasi akut,
3.) Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin,
4.) Mengupayakan aktivitas normal pasien,
5.) Menghindari efek samping,
6.) Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara,
7.) Mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi genetiknya, dan
8.) Mencegah kematian (Kementerian Kesehatan, 2009).
16
The Expert Panel Reports merekomendasikan pelayanan asma berdasarkan
empat komponen. Komponen ini diyakini penting untuk mendapatkan manajemen
asma yang efektif. Empat komponen tersebut adalah :
1.) Penentuan dan pemantauan asma, yang didapatkan dari tes yang objektif,
pemeriksaan fisik, sejarah pasien dan laporan pasien. Ini digunakan untuk
melakukan diagnosis dan menetukan jenis serta keparahan dari asma. Dapat
digunakan juga untuk memantau apakah pengendalian terhadap asma dapat
tercapai dan terjaga,
2.) Edukasi untuk semua yang terlibat dalam upaya pelayanan penyakit asma,
3.) Pengendalian dari faktor lingkungan dan kondisi komorbiditas yang
mempengaruhi asma,
4.) Terapi farmakologis (Kiley et al., 2007).
Pada prinsipnya pelaksanaan asma diklasifikasikan menjadi saat serangan
atau penatalaksanaan asma akut, dan penatalaksanaan asma jangka panjang.
1.) Penatalaksanaan asma akut
Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui.
Penanganan terhadap serangan harus cepat dan disesuaikan dengan derajat
serangan. Jika terjadi serangan biasanya pasien diberikan obat pelega, seperti
bronkodilator (β-2 agonis aksi cepat, dan ipratropium bromida), dan
kortikosteroid sistemik) (Kementerian Kesehatan, 2009).
2.) Penatalaksanaan asma jangka panjang
Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengkontrol asma dan
mencegah terjadinya serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan
17
dengan klasifikasi beratnya asma. Prinsip pengobatan jangka panjang
meliputi edukasi, obat asma (pengontrol, dan pelega), dan menjaga kebugaran
(Kementerian Kesehatan, 2009).
Dalam melaksanakan manajemen asma dapat dilakukan dengan sebuah
pendekatan bertahap (a stepwise approach) dengan menggabungkan keempat
komponen tersebut. Terapi dimulai berdasarkan pada keparahan asma dan yang
kemudian dapat disesuaikan (step up atau step down) berdasarkan tingkat
pengendalian asma. Beberapa pertimbangan khusus dalam pemilihan terapi ini
mungkin perlu diperhatikan untuk keadaan seperti exercise-induced brocospasm
(EIB), pembedahan, dan kehamilan (Kiley et al., 2007).
g. Obat-Obat Asma
Dalam terapi farmakologis atau terapi menggunakan obat, obat asma
digunakan untuk menghilangkan dan mencegah timbulnya gejala dan obstruksi
saluran nafas. Pada saat ini obat asma dibedakan dalam dua kelompok besar, yaitu
reliever dan controller (Meiyanti, 2000).
1.) Reliever
Pengobatan cepat (quick-relief medication) digunakan untuk mengatasi
serangan akut asma. Contoh obat yang termasuk dalam golongan ini adalah
bronkodilator (β2 agonis aksi cepat, antikolinergik, dan metil ksantin), dan
kortikosteriod oral atau sistemik (Ikawati, 2011).
2.) Controller
Adalah obat yang digunakan untuk mengendalikan asma yang persisten. Dan
obat yang termasuk dalam golongan ini adalah obat antiinflamasi seperti
18
kortikosteriod, natrium kromoglikolat, natrium nedokromil, dan antihistamin
aksi lambat. Obat agonis β2 aksi lambat dan teofilin lepas lambat juga dapat
digunakan dalam pengobatan pemeliharaan ini (Meiyanti, 2000).
Berikut adalah obat-obat asma yang biasa digunakan, diantaranya yaitu :
1.) β2 agonis adrenergik
β2 agonis adalah bronkodilator paling kuat pada pengobatan asma. β2
agonis mempunyai efek bronkodilatasi, menurunkan permeabilitas kapiler,
dan mencegah pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Golongan β2
agonis merupakan stabilisator yang kuat bagi sel mast, tapi golongan obat ini
tidak dapat mencegah respon lambat maupun menurunkan hiperresponsivitas
bronkus (Meiyanti, 2000).
Prinsip kerja dari β2 agonis adalah dengan mengaktivasi adenilat
siklase sehingga meningkatkan kadar siklik AMP atau cAMP intrasel, dan
merelaksasi otot polos bronkus. Berdasarkan durasi kerjanya, obat golongan
β2 agonis terbagi menjadi obat aksi pendek (short acting), dan aksi panjang
(long acting). Obat-obat aksi pendek bekerja dengan cepat, namun aksinya
tidak bertahan lama. Umumnya digunakan untuk pengobatan segera pada
serangan akut. Sedangkan obat-obat aksi panjang, umumnya aksinya bisa
bertahan hingga 12 jam, tetapi onsetnya lambat, sehingga tidak tepat untuk
pengobatan serangan akut tetapi digunakan untuk mengendalikan asma.
Contoh obat β2 agonis aksi cepat adalah salbutamol, albuterol, terbutalin,
pirbuterol, levabuterol, dan fenoterol. Untuk obat yang beraksi panjang
contohnya adalah salmeterol, dan formoterol (Ikawati, 2011).
19
2.) Kortikosteriod
Mekanisme kerja kortikosteroid pada asma belum diketahui dengan
pasti. Salah satu teori mengemukakan bahwa kortikosteriod dapat membentuk
makrokortin dan lipo-modulin yang bekerja menghambat fosfolipase A2
dalam membentuk leukotrien, prostaglandin, tromboksan, dan metabolit
arakidonat lainnya. Mekanisme kerja steroid yang lain adalah menghalangi
pembentukan mediator inflamasi, pelepasannya, dan juga respon yang timbul
akibat lepasnya mediator tersebut (Yunus, 1998). Contoh dari kortikosteriod
yaitu prednisolon, hidrokortison, dan metil prednisolon (Meiyanti, 2000).
Obat pilihan yang paling efektif dalam mengkontrol asma adalah
kortikosteriod, dengan cara pemberian yang baik secara inhalasi. Pemberian
inhalasi mempunyai berbagai manfaat karena efektivitasnya tinggi dan efek
sampingnya
minimal
(Yunus,
1998).
Kortikosteroid
inhalasi
dapat
mengurangi jumlah eosinofil yang berada dalam sirkulasi, dan sel mast yang
berada di saluran nafas, serta dapat juga meningkatkan jumlah reseptor
adrenergik β2. Kortikosteroid inhalasi bersifat sangat lipofilik, dan masuk
secara cepat ke sel target di saluran nafas, dan berikatan dengan reseptor
glukokortikoid di sitosol, atau di nukleus (Ikawati, 2011).
3.) Metil ksantin
Obat golongan metil ksantin yang utama adalah teofilin, teobromin, dan
kafein, tetapi yang paling banyak digunakan dalam terapi asma adalah teofilin
(Ikawati, 2011). Teofilin adalah agen bronkodilator dengan kekuatan ringan
atau sedang. Teofilin merupakan inhibitor fosfodiestrase non selektif, yang
20
telah menunjukkan aktivitas antiinflamasi ringan. Teofilin lepas lambat dapat
digunakan sebagai pilihan dalam terapi pencegahan jangka panjang. Tetapi
dalam penggunaannya teofilin harus selalu dimonitoring kadarnya untuk
memastikan kadarnya tidak berada pada kadar toksik di tubuh. Jika pasien
mengalami tanda dan gejala keracunan, seperti misalnya sakit kepala berat,
takikardi, mual, dan muntah, sebaiknya teofilin dihentikan dan segera
dilakukan pengambilan serum dari pasien tersebut (Kiley et al., 2007).
4.) Antikolinergik
Antikolinergik digunakan untuk pengobatan asma, terutama digunakan
sebagai bronkodilator. Antikolinergik bekerja dengan menghambat pelepasan
asetilkolin yang dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus dan sekresi
mukus. Asetilkolin juga memicu pelepasan dari sitokin dan kemokin dari sel.
Contoh dari antikolinergik ini adalah ipratoprium bromida dan tiotropium
bromida (Gosens et al., 2006).
5.) Leukotrien modifier
Leukonutrien modifier bekerja dengan cara mengantagonis reseptor
leukotrien (contoh montelukast, pranlukast, dan zafirlukast), atau dengan cara
sebagai inhibitor dari 5-lipooksigenase (contoh zileuton). Leukotrien modifier
mempunyai efek bronkodilator yang kecil dan bervariasi, dapat meningkatkan
fungsi paru-paru, dan mengurangi gejala seperti batuk, dan eksaserbasi, serta
inflamasi di saluran nafas. Obat ini dapat digunakan pada pasien dewasa
dengan asma persisten ringan, dan beberapa pasien dengan asma akibat dari
sensitif aspirin (FitzGerald et al., 2012a).
21
6.) Antihistamin
Antihistamin tidak digunakan sebagai obat utama untuk mengobati
asma, biasanya hanya diberikan pada pasien yang mempunyai riwayat
penyakit atopik seperti rhinitis alergi. Pemberian antihistamin selama tiga
bulan pada sebagian penderita asma dengan dasar alergi dapat mengurangi
gejala asma (Meiyanti, 2000).
2.
Jamkesmas dan JKN
Kesadaran
tentang
pentingnya
jaminan
perlindungan
sosial
terus
berkembang sesuai amanat pada perubahan UUD 1945 pasal 34 ayat 2, yaitu
menyebutkan bahwa negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial dalam
perubahan UUD 1945. Terbitnya UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menjadi suatu bukti yang kuat bahwa pemerintah
memiliki komitmen yang besar untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyatnya. Melalui SJSN sebagai salah satu bentuk perlindungan sosial
pada hakekatnya bertujuan untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi
kebutuhan dasar hidupnya yang layak (Kementerian Kesehatan, 2011a).
Kementerian Kesehatan sejak tahun 2005 telah melaksanakan program
jaminan kesehatan sosial tersebut. Dimulai dengan dengan program Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (JP-KMM) (2005) atau lebih
dikenal dengan program Askeskin (2005-2007) yang kemudian berubah nama
menjadi program Jamkesmas sampai dengan tahun 2013 (Kementerian Kesehatan,
2010).
22
JPKMM atau Askeskin, maupun Jamkesmas kesemuanya mempunyai
tujuan yang sama, yaitu melaksanakan penjaminan pelayanan kesehatan terhadap
masyarakat miskin dan tidak mampu dengan menggunakan prinsip asuransi
kesehatan nasional (Kementerian Kesehatan, 2011a). Jamkesmas adalah bentuk
belanja bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi fakir miskin dan tidak
mampu serta peserta lainnya yang iurannya dibayar oleh Pemerintah. Program ini
diselenggarakan secara nasional agar terjadi subsidi silang dalam rangka
mewujudkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin
(Kementerian Kesehatan, 2010).
Penyelengaraan program Jamkesmas dibedakan dalam dua kelompok
berdasarkan tingkat pelayanannya, yaitu :
a) Jamkesmas untuk pelayanan dasar di puskesmas termasuk jaringannya, dan
b) Jamkesmas untuk pelayanan kesehatan lanjutan di rumah sakit dan balai
kesehatan (Kementerian Kesehatan, 2011a).
Pelaksanaan program Jamkesmas tahun 2012 dilaksanakan dengan beberapa
penyempurnaan
pada
aspek
kepesertaan,
pelayanan,
pendanaan,
dan
pengorganisasian. Pada aspek kepesertaan, data yang akan digunakan bersumber
dari basis data terpadu Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
(TNP2K) yang berlaku setelah peserta menerima kartu Jamkesmas yang baru
(Kementerian Kesehatan, 2012c). Kemudian pada pendanaannya, Kementrian
Kesehatan melalui Tim Pengelola Jamkesmas terus melakukan upaya perbaikan
mekanisme pertanggungjawaban dana Jamkesmas. Hal ini bertujuan agar dana
yang dikirimkan sebagai uang muka kepada fasilitas kesehatan dapat segera
23
dipertanggungjawabkan secara tepat waktu, tepat jumlah, tepat sasaran, akuntabel,
efisien, dan efektif (Kementerian Kesehatan, 2011a).
Namun dalam pelaksanaan Jamkesmas dan jaminan sosial lain di bidang
kesehatan, dianggap masih terfragmentasi dan terbagi-bagi yang mengakibatkan
biaya kesehatan dan mutu pelayanan sulit terkendali. Untuk mengatasinya, dalam
UU Nomor 40 tahun 2004, pemerintah mengamanatkan bahwa jaminan sosial
wajib bagi seluruh penduduk termasuk dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
melalui suatu Badan Penyelenggara Kesehatan (BPJS). Penyelenggaraan JKN
oleh BPJS Kesehatan mulai Januari 2014 diharapkan dapat lebih memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak (Kementerian Kesehatan,
2014).
3.
INA-CBG’s
Pada tahun 2010 diperkenalkan paket INA-DRG’s versi 1.6 yang lebih
sederhana, lebih terintegrasi serta mudah dipahami dan diaplikasikan. Namun
demikian pada akhir tahun 2010 dilakukan perubahan penggunaan software
grouper dari INA-DRG’s ke INA-CBG’s (Kementerian Kesehatan, 2011a).
Hingga tahun 2013, INA-CBG’s telah digunakan dalam klaim Jamkesmas
pada sebanyak 747 RS Pemerintah dan 515 RS Swasta. Tarif yang berlaku tahun
2013 merupakan tarif baru yang dimulai pada tanggal 1 Januari 2013, yaitu tarif
pelayanan kesehatan di ruang perawatan kelas III rumah sakit yang berlaku untuk
rumah sakit umum dan rumah sakit khusus milik pemerintah, dan swasta. Hal ini
sesuai dengan Kepmenkes Nomor 440 tahun 2012 (Anjari, 2013).
24
Menurut Kementerian Kesehatan tahun 2011, Case Based Group (CBG)
pada dasarnya mempunyai definisi yang sama dengan DRG yang juga termasuk
dalam sistem casemix. Indonesia Case Based Group (INA-CBG’s) adalah CBG
yang dikaitkan dengan tarif yang dihitung berdasarkan data costing di Indonesia.
Perhitungan biaya perawatan pada sistem ini dilakukan berdasarkan diagnosis
akhir pasien saat dirawat inap di rumah sakit (Pratiwi, 2013), yang dipengaruhi
juga oleh diagnosis sekunder dan tingkat keparahan pasien.
Pada aspek pelayanan Jamkesmas, penggunaan software grouper INACBG’s terus disempurnakan. Seiring dengan penambahan kepesertaan maka perlu
diperluas jaringan fasilitas kesehatan rujukan dengan meningkatkan jumlah
Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Tim Pengelola Jamkesmas Kabupaten/Kota
dan fasilitas kesehatan dasar swasta serta fasilitas kesehatan rujukan setempat
(Kementerian Kesehatan, 2012c). Pada tahun 2013 software INA-CBG’s yang
digunakan adalah tipe 3.1, dan mulai tahun 2014 yang digunakan adalah tipe 4.0.
Paket tarif INA-CBG’s ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
rumah sakit. Manfaat tersebut adalah :
a) Pihak rumah sakit mendapat pembiayaan berdasarkan kepada beban kerja
sebenarnya,
b) Dapat meningkatkan mutu dan efisiensi pelayanan rumah sakit,
c) Dokter, atau klinisi dapat memberikan pengobatan yang tepat untuk kualitas
pelayanan lebih baik berdasarkan derajat keparahan
25
d) Meningkatkan komunikasi antar spesialisasi atau multidisiplin ilmu agar
perawatan dapat secara komprehensif, serta dapat memonitor QA dengan cara
yang lebih objektif,
e) Perencanaan budget anggaran pembiayaan, dan belanja yang lebih akurat,
f) Dapat mengevaluasi kualitas pelayanan yang diberikan oleh masing-masing
klinisi,
g) Keadilan yang lebih baik dalam pengalokasian budget anggaran, dan
h) Mendukung perawatan pasien dengan menerapkan Clinical Pathway (Anjari,
2013).
Clinical pathway adalah konsep pelayanan terpadu yang merangkum setiap
langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan standar pelayanan medis,
standar asuhan keperawatan, dan standar pelayanan tenaga kesehatan lainnya.
Keseluruhan berbasis bukti dengan hasil yang dapat diukur pada periode waktu
tertentu selama di rumah sakit (Rivany, 2009).
4.
Analisis Biaya
Biaya dihitung untuk memperkirakan sumber daya (atau input) dalam suatu
produksi barang atau jasa. Sumber daya yang terkait dengan suatu produk atau
jasa tidak dapat digunakan untuk produk atau jasa yang lain (opportunities)
(Andayani,
2013).
Pada
tahun
1980
dan
1990,
banyak
textbook
mengklasifikasikan biaya dalam empat kategori, yaitu biaya medik langsung,
biaya non-medik langsung, biaya tidak langsung, dan biaya tidak teraba. Biaya
medik langsung adalah biaya yang paling sering diukur, merupakan input yang
digunakan secara langsung untuk memberikan terapi. Misalnya, biaya obat, tes
26
diagnostik, kunjungan dokter, kunjungan ke unit gawat darurat, atau biaya rawat
inap. Biaya non-medik langsung adalah biaya untuk pasien atau keluarga yang
terkait langsung dengan perawatan pasien, tetapi tidak langsung terkait dengan
terapi. Salah satu contohnya adalah biaya menuju atau dari praktek dokter, klinik,
atau rumah sakit. Biaya tidak langsung adalah biaya yang disebabkan hilangnya
produktivitas karena penyakit atau kematian yang dialami oleh pasien. Dan yang
termasuk dalam biaya tidak teraba antara lain biaya untuk nyeri, sakit, cemas, atau
lemah karena penyakit atau terapi suatu penyakit (Andayani, 2013).
Menurut Gani dalam Makalah Seri Manajemen Keuangan tahun 1996,
analisis biaya adalah suatu proses menata kembali data atau informasi yang ada
dalam laporan keuangan untuk memperoleh usulan biaya satuan pelayanan
kesehatan. Dapat dikatakan analisis biaya adalah suatu proses mengumpulkan dan
menghitung biaya output jasa pelayanan (Hamka, 2010).
Analisis farmakoekonomi merupakan cara yang komprehensif untuk
menentukan pengaruh ekonomi dari alternatif terapi obat atau intervensi kesehatan
lain. Pada intervensi farmasi, farmakoekonomi digunakan untuk menilai apakah
tambahan keuntungan sepadan dengan biaya tambahan dari intervensi tersebut
(Andayani, 2013). Salah satu penerapan utama farmakoekonomi di praktek klinis
saat ini adalah untuk membantu pengambilan keputusan klinis dan pembuatan
kebijakan. Praktisi pelayanan kesehatan yang menerapkan prinsip dan metode
farmakoekonomi dapat membuat keputusan yang berhubungan dengan produk
dan pelayanan yang tersedia secara lebih baik (Sanchez, 2008).
27
F. Landasan Teori
Biaya
pengobatan asma yang selalu bervariasi antar pasiennya dapat
disebabkan karena beberapa faktor (Gupchup et al., 2001), termasuk faktor risiko
penyakit yang dapat memicu terjadinya serangan asma. Berdasarkan penelitian
Taher (2012), faktor risiko seperti, jenis kelamin, umur, komorbid, serta lama
tinggal atau Length of Stay terbukti dapat mempengaruhi biaya riil pengobatan
dari pasien asma. Selain itu, hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Heriza
(2013) menunjukkan jenis kelamin, umur dan tingkat perawatan dari pasien juga
dapat berpengaruh terhadap biaya pengobatan.
Prevalensi asma cukup besar ternyata terjadi pada masyarakat dengan
tingkat ekonomi rendah. Oleh karena itu pemerintah berusaha meningkatkan
pelayanan kesehatan bagi semua kalangan masyarakat dengan melaksanakan
program Jamkesmas. Pada pelaksanaannya, besarnya biaya sudah ditetapkan
melalui paket tarif INA-CBG’s. Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Afrianti (2012) di RSI Siti Khadijah Palembang, didapatkan hasil biaya riil
pasien ternyata 62,4% lebih besar daripada paket tarif INA-CBG’s. Penelitian lain
oleh Sari dan Putra (2013), juga menunjukkan adanya perbedaan yang lebih besar
antara biaya pengobatan rata-rata untuk pengobatan diabetes mellitus dan
thalasemia dibandingkan dengan paket tarif INA-CBG’s di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta.
28
G. Kerangka Konsep
Pasien asma
Pasien asma peserta
Jamkesmas
Pasien asma umum
- Jenis kelamin
- Umur
- Komorbid
- Kelas perawatan
- LOS
Komponen biaya:
- Obat dan barang medis
- Penunjang medis
- Kamar opname
- Visite dokter
- Konsultasi dokter
- Asuhan keperawatan
- Tindakan infus
- Periksa dokter IGD
- Jasa rumah sakit
- Administrasi
Biaya paket tarif INACBG’s
Biaya riil
Gambar 1. Skema Kerangka Konsep Penelitian
H. Hipotesis
Berdasarkan uraian dalam landasan teori, dapat dirumuskan hipotesis :
1. Jenis kelamin, umur, komorbid, kelas perawatan dan LOS berpengaruh pada
biaya pengobatan pasien asma rawat inap di RSU Bina Kasih Ambarawa
2. Terdapat ketidaksesuaian antara biaya riil dan paket tarif INA-CBG’s pada
pasien asma rawat inap peserta Jamkesmas di RSU Bina Kasih Ambarawa
Download